Anda di halaman 1dari 34

GL5211

UAS GEOTEKTONIK

Aditya Yuda Kencana


12016012
1. Jelaskan dengan singkat apa yang dimaksudn dengan “ARC-TRENCH GAP” dan “TRENCH-
SLOPE BREAK” pada system konvergen dua lempeng litosfer di wilayah Sumatera saat ini
serta gejala strukturisasi yang dapat dijumpai pada lapisan-lapisan batuan sedimen dan
kristalisn berumur Tersier di kawasan tersebut? Jenis kerak apa yang saat ini mendasari
“ARC-TRENCH GAP” di wilayah yang sama? Gambarkan juga penampang yang sesuai /
relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas dengan jelas!

“ARC-TRENCH GAP” (fore arc) adalah wilayah diantara oceanic trench dan area dekat volcanic
island arc. Biasanya lebarnya 100km. Arc trench gap akan menghasilkan rendahan yang dikontrol
sesar sesar turun sehingga membentuk cekungan depan busur gunungapi.
“TRENCH-SLOPE BREAK” merupakan bagian prisma akresi denganpengangkatan paling tinggi.
Akan banyak dijumpai sesar naik.

Bagian barat pulau Sumatra merupakan contoh arc trench gapyang ideal. Batuan yang muncul
pada umumnya batuan sedimen pelagik, batuan beku dan batuan metamorf yang tergerus kuat
seperti yang dapat diamati di rangkaian pulau kecil di sebelah barat Sumatra, seperti Nias, Siberus
dan Mentawai. Kepulauan yang ada di lepas bantai barat Sumatra merupakan morfologi Trench
slope break pada prisma akresi yang tersingkap di permukaan. merupakan morfologi Trench slope
break pada prisma akresi yang tersingkap di permukaan.
2. Ofiolit tersingkap dengan baik dan penyebarannya cukup luas di pengunungan meratus
(Kalimantan), jelaskan proses terbentuknya dan alih tempat dari ofiolit tersebut ditinjau dari
model tektonik lempeng.
Ekshumasi adalah terangkatnya kembali suatu massa yang pernah tenggelam. Meratus ditafsirkan sebagai
ofiolit hasil diatropisma yang berakar di geosinklin Selat Makassar (van Bemmelen, 1949), atau ofiolit
Meratus adalah hasil subduksi Late Cretaceous yang sejalur dengan ofiolit Ciletuh dan Luk Ulo seperti
diplublikasi Katili (1974) dan Hamilton (1979).

Meratus adalah suture Mesotethys hasil benturan antara mikrokontinen Schwaner dan Paternoster pada
early Late Cretaceous, yang emplacement-nya dengan cara “obduction of detached oceanic slab”, yang
lalu naik ke permukaan karena ekshumasi Paternoster di bawahnya (Satyana, 2003 -HAGI & IAGI;
Satyana & Armandita, 2008-HAGI, Satyana, 2010-IPA; Satyana, 2012-AAPG).

Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, adalah sebuah pegunungan ofiolit yang sejak Paleogen telah
terletak di sebuah wilayah yang jauh dari tepi-tepi konvergensi lempeng. Pegunungan Meratus mulai
terangkat pada Miosen Akhir dan efektif membatasi Cekungan Barito di sebelah baratnya pada Plio-
Pleistosen.

Van de Weerd dan Armin (1992), menafsirkan bahwa pegunungan ini terangkat oleh kompresi lateral
benturan mikrokontinen Buton-Tukang Besi atas Sulawesi Tenggara pada Miosen Awal. Data seismik di
tengah Cekungan Makassar Selatan yang sama-sekali tidak menunjukkan kehadiran struktur kompresi
pada Neogen dan kehadiran mikrokontinen stabil Paternoster yang membatasi Pegunungan Meratus ke
sebelah timur tidak mendukung interpretasi yang diajukan van de Weerd dan Armin (1992).

Satyana (2003) merekonstruksi tektonik wilayah bagian tenggara Sundaland (Kalimantan tenggara, Jawa
Tengah-Jawa Timur, Sulawesi Selatan) dan menyatakan bahwa ofiolit Pegunungan Meratus tidak
seharusnya dihubungkan dengan ofiolit Ciletuh dan Luk Ulo seperti digambarkan oleh Katili (1974) dan
Hamilton (1979) yang menyebutnya sebagai jalur penunjaman Kapur Akhir. Proses pengalihtempatan
(emplacement) ofiolit Meratus berbeda dengan proses emplacement ofiolit Ciletuh dan Luk Ulo.

Satyana (2003) menyatakan bahwa Ciletuh dan Luk Ulo seharusnya disambungkan dengan singkapan
kompleks ofiolit di Bantimala, Sulawesi Selatan yang berdasarkan umur metamorfisme dan radiolaria
terjadi pada sekitar Maastrichtian (Kapur paling akhir), sedangkan emplacement ofiolit Meratus terjadi pada
Albian-Aptian (Kapur Awal bagian atas).
Penelitian lebih lanjut yang dipublikasikan oleh Satyana dkk. (2007) serta Satyana dan Armandita (2008)
berdasarkan interpretasi data geofisika (gayaberat) menunjukkan bahwa ofiolit Pegunungan Meratus
merupakan detached oceanic crust (slab) yang lepas dari akarnya berupa slab induk di depan
mikrokontinen Paternoster (tipe passive margin) pada saat terjadi proses akresi karena benturan antara
mikrokontinen Paternoster dan mikrokontinen Schwaner (SW Borneo) pada Kapur Awal.

Detached slab Meratus terobduksi di atas dua mikrokontinen yang berbenturan ini, sementara sebagian
kerak benua mikrokontinen Paternoster menunjam di bawah detached slab Meratus karena dibawa masuk
ke dalam astenosfer oleh kerak samudera induk di depan mikrokontinen Paternoster.

Pada suatu waktu di sekitar Miosen Awal, karena perbedaan densitas kerak benua Paternoster (2,7 g/cc)
yang ikut menunjam tetapi ringan dengan kerak samudera (2,9 g/cc) di depan benua Paternoster dan
astenosfer di sekelilingnya (2,9-3,0 g/cc); maka kerak benua Paternoster yang densitasnya paling ringan
putus sambungannya (break off) dengan kerak samudera di depannya yang melaju terus memasuki
astenosfer yang makin dalam ke sebelah barat.

Sejak saat itu, kerak benua Paternoster yang sempat menunjam karena dibawa oleh kerak samudera di
depannya terangkat kembali (ekshumasi) oleh tektonik gayaberat akibat perbedaan densitas. Tektonik
gayaberat ekshumasi berupa pengangkatan kembali kerak benua Paternoster yang pernah menunjam ini
turut mengangkat detached oceanic slab ofiolit Meratus yang hanya menumpang secara pasif (obducted)
di atas kerak benua Paternoster.

Dengan cara tersebut, terangkatlah Pegunungan Meratus, seluruhnya melalui tektonik gayaberat
ekshumasi akibat perbedaan densitas.
Penampang melintang NW – SE (A) Oligocen –Miocen Tengah, and (B) Miocene Tengah - Resen
(Pertamina BPPKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006).

3. Jelaskan tentang evolusi dari jalur-jalur magmatisme di Pulau Jawa mulai dari umur Kapur,
Paleogen, Neogen dan Kuarter ditinjau dari tektonik lempeng model konvergen?
Analisis evolusi jalur magmatisme di Pulau Jawa sejak awal Tersier hingga Kuarter adalah sebagai
berikut :

a. Pada Jaman Kapur Akhir jalur subduksi berarah barat daya – timur laut (SW – NE), sehingga jalur
magmatisme yang terbentuk juga berarah SW – NE. Pola struktur geologi yang terbentuk dikenal
dengan sebutan ”Pola Meratus” (Pulunggono & Martodjojo, 1994). Beberapa pola struktur geologi
yang mewakili Pola Meratus antara lain : Sesar Kebumen – Muria (Satyana, 2005), struktur pada
cekungan Zaitun dan Biliton (Pulunggono & Martodjojo, 1994).
b. Pada Jaman Tersier jalur subduksi berubah arah menjadi barat – timur yang menghasilkan jalur
magmatisme juga berarah barat timur. Jalur magmatisme pada Jaman tersier dikenal dengan
sebutan ”Old Andesit Formation” (R.W. Van Bemmelen, 1949).
c. Pada Batas antara Jaman Tersier dan Kuarter jalur subduksi berarah barat – timur, namun lebih ke
arah selatan dari jalur subduksi Jaman Tersier, sehingga relatif mundur ke belakang, hal ini dikenal
dengan proses ”roll back” dengan sudut penunjaman lebih landai dibanding subduksi Jaman
Tersier. Jalur magmatisme yang terbentuk menghasilkan gunungapi kuarter aktif hingga kini yang
dikenal dengan gunungapi tipe C yaitu gunungapi yang pernah meletus sejak tahun 1600
(Direktorat Vulkanologi, 1982), antara lain : di Jawa Barat (Gunung Gede, Tangkuban Parahu,
Papandayan, Galunggung, Guntur, Cereme, Salak), di Jawa Tengah (Gunung Slamet, Merapi,
Dieng, Muria) di Jawa Timur (Gunung Bromo, Semeru, kelud, Arjuno, Welirang, Raung, Ijen).
Evolusi jalur magmatisme di Pulau Jawa ditampilkan pada gambar berikut.
(Katili, 1978)

4. Sejak dulu kita telah mengenal bahwa batas daratan Sunda pada zaman Kapur mengikuti pola
Meratus (Hamilton, 1979). Tetapi akhir-akhir ini beberapa peneliti mempunyai hipotesa bahwa
batas tersebut terletak kea rah Sulawesi Selatan (Bantimala)
a. Jelaskan data apa saja yang menjadi pertimbangan bagi para ahli kebumian dalam
mengemukakan hipotesa tentang batas daratan Sunda tsb?
Data yang menjadi pertimbangan utama bagi para ahli kebumian dalam mengemukakan
hipotesa mengenai batas daratan sunda adalah data subduksi di bawah sundaland pada masa
kapur akhir sepanjang zona dari baratdaya Jawa hingga Pegunungan Meratus. Subduksi
menghasilkan kompleks akresi-kolisi termasuk satuan tektonik yang terbentuk oleh oceanic
spreading, busur vulkanik, dan sedimentasi busur depan, serta metamorfisme. Batuan yang
dihasilkan antara lain batuan ultrabasa terserpentinisasi, basalt, rijang, batugamping, silicieous
shale, shale, breksi vulkanik, dan batuan metamorf tekanan tinggi suhu rendah.
b. Buat sketsa penampang tektonik Barat – Timur pada zaman Kapur melalui Sulawesi
Selatan, Selat Makassar, Pulau Laut, dan Pulau Kalimantan serta memotong
Pengunungan Meratus sampai ke cekungan barito. Sebutkan juga nama elemen-elemen
tektoniknya dari masing-masing tempat pada penampang yang saudara buat.

5. Sebagai akibat tumbukan pada zaman Tersier, antara Lempeng Benua Australia dengan Busur
Kepulauan Pasifik membentuk “Central range fold belt” di Papua, jelaskan struktur apakah
yang berkembang di bagian selatan kawasan tersebut dan bagaimana mekanisme
terbentuknya.
Hampir keseluruhan elemen-elemen struktur geologi di Papua pada saat sekarang ini termasuk ke
dalam evolusi tektonik Kenozoik (gambar 9). Evolusi tektonik Kenozoik merupakan hasil dari direct
convergence dan oblique convergence antara Indo-Australia dengan Lempeng Pasifik (Hamillton,
1979; Dow et al., 1989). Pada Lempeng Benua Australia di Papua terdapat fold dan thrust belt yang
berumur tersier akhir, yaitu Central Thrust Belt (Mobile Belt) dan Lengguru Fold Belt.
Periode tektonik ini menyebabkan penyebaran sedimen klastik yang luas dan tebal menindih group
batuan karbonat dari Formasi Batugamping New Guinea. Di wilayah Papua sedimen klastik ini terdiri
dari Formasi Klasaman, Steenkol dan Formasi Buru. Pada bagian utara Papua Formasi Makats
menindih batuan dasar samudera.
Kemudian pada saat akhir tersier, Papua Fold dan thrust belt terangkat sedangkan subsidence dan
sedimentasi terjadi pada cekungan di dekatnya. Pengangkatan terjadi pada dua tahap terpisah, dan
zona yang mengalami tahapan dua kali telah teridentifikasi di zona interaksi antara Central Thrust Belt
dan Lengguru Fold Belt. Central Thrust Belt memiliki trend barat-timur yang memanjang sepanjang
Papua hingga Papua New Guinea (gambar 10). Lengguru Fold Belt terletak di sebelah barat Central
Thrust Belt dengan trend baratlaut-tenggara pada daerah leher burung Papua.

Elemen-elemen struktur geologi utama Papua

Central Thrust Belt


Lengguru Fold Belt dan Central Thrust Belt bertemu pada sesar Terera dan Aiduna di Aiduna Bay.
Kedua belt tersebut diisi oleh sedimen-sedimen Triassic. Jika sedimen Triassic di interpretasikan
sebagai endapan rift, maka Central Thrust Belt dan Lengguru Fold Belt dapat didefinisikan sebagai
rift Triassic yang terinversikan (gambar 11). Dengan demikian perubahan trend dari barat-timur
Central Thrust Belt menjadi baratlaut-tenggara Lengguru Fold Belt adalah hasil dari geometri awal
rift system.

Perkiraan Lokasi Triassic Rift (Hobson, 1997)

Lengguru Fold Belt pertama kali didefinisikan oleh Visser dan Hermes (1962) yang merupakan
komplek lipatan-lipatan dengan trend baratlaut-tenggara. Lengguru Fold Belt terlihat terpotong oleh
Zona Sesar Terera-Aiduna sepanjang batas selatan. Batas timur Lengguru Fold Belt dibatasi oleh
Wandeman Ridge di sebelah selatan dan oleh Sarera Bay di sebelah utara.
Central Thrust Belt terletak di sebelah selatan batuan metamorf dan ophiolite, sehingga sepertinya
struktur Central Thrust Belt dengan arah barat-timur terbentuk ketika lempeng samudera
terobduksi ke Lempeng Benua Australia, kemudian menginversikan sesar-sesar extensional
Triassic dan sedimen pengisinya. Pada saat itu sepertinya bahwa lempeng Australia dan Pasifik
mengalami direct convergence daripada oblique convergence.
Saat konvergensi terbentuk di barat Papua (Miosen-Pliosen), pecahan kontinen hasil dari rekahan
pada akhir Kretasius dan tanjung yang terbentuk berkolisi dengan Kepala Burung dan membentuk
sabuk lipatan Lengguru ketika konvergen Lempeng Australia dan Pasifik berubah menjadi oblique
convergence dan terjadilah inverse dari sesar-sesar extensional berarah baratlaut-tenggara.

6. Fisiografi Kawasan Timur Indonesia (KTI) memperlihatkan posisi Pulau Sumba yang naik pada
cekungan muka busur Banda. Umbgrove (1949) sudah mensinyalir adanya problem
geodinamik pulau tersebut. Sebutkan apa problemnya ditinjau dari Teori Teknonik Lempeng?
Jelaskan juga evolusi geodinamik dari pulau Sumba sejak umur Kapur hingga Kuarter.

Yang menjadi permasalahan pada Pulau Sumba ditinjau dari Teori Tektonik Lempeng adalah dari segi
perubahan posisi, dimana pulau sumba awalnya diangga masuk dalam deretan Sunda namun pada
saat ini posisinya berubah dimana letak forearc banda lebih dekat dengan benua Australia. Hal itu
juga dapat dilihat pada evolusi tektonik regional Pulau Sumba seperti yang tampak di bawah ini :
Tektonik Regional Pulau Sumba
a. Umur Akhir Kapur (80 – 66 Ma)
Selama akhir Cretaseus dan awal Paleogene, Sumba merupakan bagian dari busur kepulauan
oseanik yang merupakan bagian pinggir Daratan Sunda, khususnya bagian timur Jawa, SE
Kalimantan dan SW Sulawesi. Pernyataan ini didukung oleh data stratigrafi, sedimentologi dan
paleomagnetik Sumba, yang mengindikasikan bahwa Sumba berada dekat sekali dengan busur
vulkanik aktif ini pada masa akhir Cretaceus.

b. Umur Paleosen (65-53 Ma)


Pada kala Paleocene, Sumba masih menjadi bagian dari busur kepulauan aktif. Pernyataan ini
didukung oleh intrusi formasi Tanadaro yang mewakili plutonik yang ekivalen dengan basal Al yang
tinggi, sama dengan yang ditemukan pada sepanjang busur Aleutican modern.
Rekonstruksi umur Paleosen

c. Umur Eosen (53-34 Ma)


Pada kala Eocene hingga sekitar awal Oligocen (31 Ma), Sumba merupakan bagian sisa dari
busur kepulauan.

Tumbukan antara India dan batas Eurasia pada 50 Ma menyebabkan perubahan yang dramatis di
Tenggara Asia. Tumbukan India dan kontinen Eurasi menghasilkan tekanan terhadap blok
Indochina menuju tenggara di melalui system sesar Red River sepanjang kurang lebih 700 km
yang mengakibatkan rotasi utama di tenggara Asia menjadi searah jarum jam. Dampak dari
kejadian diatas, terjadi ekstensi belakang busur di wilayah daratan Sunda. Ekstensi ini diikuti
rifting di Sumatera dan Jawa serta pembukaan graben disepanjang bagian timur paparan Sunda.
Pada kala ini juga, bagian barat Sulawesi memisah (rifting) dari Kalimantan sehingga
menghasilkan cekungan Makassar. Secara keseluruhan, terjadinya migrasi system busur ancestral
ke arah ESE merupakan akibat dari tumbukan India.
Rekonstruksi umur Awal Eosen

Rekonstruksi umur Akhir Eosen

d. Umur Oligosen hingga Awal Miosen (34 - 20 Ma)


Pada kala ini, terjadi tektonik ekstensi di bagian Tenggara Asia sehingga Sumba menjadi bagian
sisa dari busur kepulauan oseanik pada 31 Ma. Hal ini diketahui dari stratigrafi Oligocene di Sumba
yaitu formasi Paumbapa yang didominasi batu gamping berlapis dan reef. Hal yang sama berupa
endapan karbonat laut dangkal juga ditemukan di bagian Tenggara Asia selama kala ini yakni
dibagian timur Jawa, barat Sulawesi dan Kalimantan.
Rekonstruksi umur Akhir Oligosen

Rekonstruksi umur Awal Meosen

e. Umur Miosen hingga Pliosen


Pada Miocene Awal (18Ma) Sumba berada pada daerah yang sekarang menjadi Alor dan Wetar
yaitu pada 12°LS (Fortuin et al., 1997) pada satu blok yang kemudian akan menjadi bagian dari
Busur Banda. Pada 16 Ma blok Sumba bergeser dari area Alor dan Wetar dengan kecepatan 50
mm/tahun ke arah Barat-Baratdaya searah sesar strike-slip. Pergerakan ini membawa serta bagian
barat daya blok Sumba ke arah forearc dan menjauhi daerah yang kemudian menjadi Busur
Volkanik Banda. Pecahnya Sumba ini tercermin dari ketidakselarasan antara batuan busur
paleogene dan platform karbonat dan batuan neogene diatasnya, yang sebagian besar merupakan
volcaniclastic, endapan submarine Formasi Kananggar.

Jika Sumba menerus dengan unit para-autochthon pada Timor utara pada Awal Miocene (van der
Werff et al, 1994), kedua daerah tersebut tentunya telah terpisahkan pada 18 Ma dengan fragmen
Sumba bergerak kea rah forearc. Sumba Ridge dan basement yang menjadi dasar Cekungan
Savu kemungkinan merupakan pecahan Blok Sumba.

Bukti kunci untuk catatan waktu dari pergerakan Sumba ini datang dari stratigraphy Formasi
Kananggar (Fortuin et al, 1992, 1994, 1997). Umur sebelum 16 Ma merekam kejadian saat bagian
barat daya Blok Sumba telah bergeser cukup jauh dari busur vulkanik yang kemudian muncul.
Berpindahnya Blok Sumba menjauh dari busur vulkanik yang baru terbentuk ini tercermin dari
kecepatan subsidence pada bagian timur Pulau Sumba. Hal tersebut diindikasikan dengan
hilangnya dengan cepat foraminifera ke bagian atas dari unit chalky marl dari Formasi Kananggar.

Rekonstruksi umur Akhir Meosen

f. Umur Pliosen hingga Recent


Berhentinya pergerakan Sumba menuju forearc selama miocene ahir disertai juga oleh
pemendekan dan pengangkatan pada forearc Sumba. Sumba mengalami uplift yang menerus
selama Pliosen dan Kuarter dengan pergerakan rata-rata 0,65 mm/tahun. (Fortuin et al., 1994).
Rekonstruksi umur Pliosen

7. Zona sesar mendapat atau “Pure strike slip zona” (Sanderson and Marchine, 1984) dijumpai
adanya daerah transpressional dan transtensional.
a. Jelaskan bagaimana dan di bagian mana dari sistem sesar mendatar daerah tersebut
dapat terbentuk?
Sistem transpressional dan transtensional dapat terbentuk pada zona di antara dua buah
segmen sesar mendatar. Berikut ilustrasinya:
b. Jelaskan dan ceritakan juga bagaimana terbentuknya sesar-sesar duplex transpression
dan sesar-sesar duplex transtension.
Duplex merupakan sebuah thrust sheet (mass) dimana dibatasi oleh floor thrust dan roof thrust
yang memiliki bentuk imbrikasi. Duplex pada sistem sesar normal terjadi apabila sheet
dilingkupi oleh bidang sesar. Jika sistem duplex ini terdapat di bagian atas floor fault sesar
utama maka dapat dinamakan sebagai roof fault.
Duplex strike-slip berbentuk Seperti set horizontal yang ditumpuk dan melensa
dimana dibatasi dengan segmenparalel fault utama pada kedua sisinya. Duplex strike-
slip berkembang padazona transfer di mana displacement dipindahkan dari satu segmen
patahan menuju patahan yang lain di sistem stepped strike-slip fault, dan melengkung, di
mana orientasi fault utama dilengkungkan.
Duplex Strike-slip bisa berupa kompresi atau ekstensi, tergantung pada arah gaya utama
yang berlaku. Penebalan atau penipisan duplex strike-slip, harus terjadi dalam arah
horisontal. Deformasi yang terjadi bergerak secara vertikal, sehingga duplex strike-
slip melibatkan gerakan oblique.
Duplex transpressional merupakan penebalan sheet secara vertikal naik keatas dan keluar
dari blok yang berdekatan karena arah gaya utama saling menekan. Hal ini sering disebut
sebagai positive flower structure. Duplextranspression merupakan pengabungan antara strike-
slip dan reverse-slip.
Duplex transtensional merupakan penipisan sheet secara vertikal
kebawahatau menipis karena arah gaya utama saling tarik-menarik. Hal ini sering dikenal
sebagai negative flower structure. Duplex transtension merupakan pengabungan antara strike-
slip dan normal-slip.

8. Cekungan ombilin di sumatera barat sering disebut oleh para ahli kebumian sebagai cekungan
antar gunung (inter mountain basin). Jelaskan sejarah cekungan ombilin ditinjau dari tatanan
struktur dan stratigrafi sejak umur eosin sampai pleistosen dimana mulai diendapkannya
formasi brani, formasi sangkarewang, formasi sawahlunto, formasi sawahtambang, dan
formasi ombilin.
Koesoemadinata dan Kastowo (1981), mengelompokkan batuan Tersier menjadi Formasi Brani,
Formasi Sangkarewang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawahtambang, Anggota Rasau Formasi
Sawahtambang, Anggota Poro Formasi Sawahtambang, dan Formasi Ombilin.

Formasi Brani tersusun oleh konglomerat polimik berwarna ungu kecoklatan dengan fragmen
berukuran kerikil hingga kerakal dan matriks berupa pasir lempungan. Fragmen konglomerat terdiri
dari bermacam-macam litologi yaitu andesit, batugamping, batusabak, dan granit. Formasi Brani
terendapkan di atas batuan Pre-Tersier secara tidak selaras dan berhubungan saling menjari dengan
Formasi Sangkarewang. Batuan Formasi Brani diperkirakan berumur Paleosen hingga Eosen. Di
dalam Formasi Brani, terdapat Anggota Selo Formasi Brani dan Anggota Kulampi Formasi Brani.
Yang membedakan Anggota Selo Formasi Brani dengan Formasi Brani adalah batuan
konglomeratnya tidak berwarna ungu kecoklatan. Anggota Kulampi Formasi Brani memiliki
karakteristik litologi yang sama dengan Formasi Brani, hanya saja memiliki struktur perlapisan
berselingan dengan batupasir pemilahan buruk (Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

Formasi Sangkarewang tersusun oleh serpih, bersifat karbonatan, dan mengandung material karbon,
pirit, dan mika. Sebagian berlapis dengan perselingan batupasir. Fosil yang ditemukan berupa fosil
polen yang terdiri dari Verrucatosporites dan Monocolpites dengan jumlah yang melimpah, dan
hadirnya Echitriporites trianguliforms dan Ephedripites. Fosil tersebut mengindikasikan umur
Eosen/Pre-Eosen, sehingga batuan Formasi Sangkarewang diperkirakan berumur Paleosen
(Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Menurut Silitonga dan Kastowo (1995) dan Kastowo dkk.
(1996), Formasi Sangkarewang (Tos), tersusun oleh serpih napalan, batupasir arkosa dan breksi
andesit.

Menurut Koesoemadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto berumur Eosen dan terendapkan
secara selaras di atas Formasi Brani dan Formasi Sangkarewang. Formasi tersebut tersusun oleh
serpih abu-abu kecoklatan, serpih lanauan, batulanau, batupasir kuarsa, dan ditandai dengan
ditemukannya batubara. Di atas Formasi Sawahlunto, terendapkan Formasi Sawahtambang (berumur
Oligosen) yang tersusun oleh batupasir yang sebagian besar, setempat terdapat serpih dan
batulanau. Pada bagian bawah Formasi Sawahtambang terdapat Anggota Rasau yang terdiri dari
perselingan batupasir konglomerat dan batulumpur abu-abu, dan tidak mengandung batubara.
Sedangkan pada bagian atas Formasi Sawahtambang terdapat Anggota Poro yang terdiri dari
batupasir kuarsa, dengan selipan serpih abu-abu dan lurik batubara dan batulanau karbonatan
(Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

Menurut Koesoemadinata dan Matasak (1981), di atas Formasi Sawahtambang terendapkan Formasi
Ombilin yang terdiri dari serpih karbonan dan karbonatan berwarna abu-abu gelap, pada bagian
bawah terdapat lensa batugamping, sedangkan pada bagian atas terdapat sisipan batupasir tufaan
berselingan dengan batulanau karbonatan yang mengandung glaukonit dan moluska. Fosil yang
ditemukan berupa Globigerinoides primordius dan Globigerinoides trilobusyang mengindikasikan umur
Miosen awal.
Berdasarkan data geologi yang ada saat ini, Cekungan Ombilin dinyatakan sebagai suatu graben
yang terbentuk akibat struktur pull-apart yang dihasilkan pada waktu Tersier Awal, yang diikuti dengan
tektonik tensional sehubungan dengan pergerakan strike-slip sepanjang zona Patahan Besar
Sumatera. Berikutnya terjadi erosi dan patahan, sehingga menghalangi rekonstruksi dari konfigurasi
Cekungan Ombilin yang sebenarnya.

Elemen struktur Paleogen dan Neogen Cekungan Sumatera Tengah


(Koesoemadinata dan Matasak, 1981).
Cekungan Ombilin pada awalnya lebih luas dari batas-batas tepi cekungan yang ada saat ini.
Walaupun begitu, erosi pasca pengendapan telah menghilangkan batas dari cekungan awal. Sesar
Tanjung Ampolo telah membelah Cekungan Ombilin dalam ukuran besar dan secara struktural
memisahkan cekungan tersebut menjadi dua bagian. Bagian Timur adalah bagian yang turun,
sementara bagian barat adalah bagian yang berada di atas, sehingga memperlihatkan bagian lapisan
yang di bawahnya ((Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

Lokasi Blok South West Bukit Barisan pada Patahan Sumatera (Koesoemadinata dan Matasak,
1981).

Patahan Utara-Selatan Tanjung Ampalo membentuk patahan yang megah menonjol dan kelihatan
nyata, sebagian patahan yang ditandai dengan adanya suatu tebing yang memisahkan bagian dalam
dari Cekungan Ombilin dari daratan Sigalut dan dibentuk oleh batuan pasir konglomeratik dalam
jumlah yang besar dari Formasi Sawahtambang Kala Oligocene.
Patahan Tanjung Ampalo diyakini sebagai tingkat kedua dari dextral wrench yang dihubungkan
dengan Zona Patahan Besar Sumatera. Patahan terbelah di bagian selatan dengan satu bagian
mengarah selatan dari cekungan ke dataran tinggi Pre- tertiary dan bagian yang lain sejajar dengan
batas cekungan barat. Batas timur cekungan tersebut ditandai dengan patahan menonjol Takung
dimana batuan Pre- tertiary terendapkan di atas endapan Tertiary.

Pembentukan pegunungan pada kala Miosen Tengah telah mengangkat bagian tenggara dari
cekungan tersebut dan batuan Formasi Tertiary yang muncul dari erosi berikutnya membentuk tepian
selatan dan barat laut dari cekungan yang ada saat ini. Patahan terbalik telah ditemukan pada
cekungan tersebut, semuanya sejajar dan berhubungan dengan Patahan Takung. Patahan yang
mengarah ke barat daya ditemukan pada bagian barat laut dari cekungan dan memisahkan endapan
Pre-tertiary dan Tertiary (Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

Menurut Situmorang dkk (1991) secara umum Cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban berumur
Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh sesar Tanjung Ampalu berarah utara-selatan. Menurut Hastuti,
dkk (2001) terdapat 5 fase tektonik yang bekerja di cekungan Ombilin pada saat Tersier.
Tektonostratigrafi Cekungan Ombilin (Hastuti, dkk, 2001).

Skema perkembangan Cekungan Ombilin dari Pra-Tersier sampai dengan sekarang sebagai strike
slip basin.
Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatera Barat menurut Hastuti, dkk
(2001). A. Kapur-Tersier Awal. B. Paleosen. C. Miosen Awal. D. Plio-Pleistosen

9. Dilihat dari posisi geografi, Pulau Sumba dan Pulau Timor merupakan rangkaian pulau-pulau
bagian selatan dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, tetapi dari tatanan geologinya sangat jauh
berbeda. Coba jelaskan di mana letak perbedaannya ditinjau dari tatanan stratigrafi, struktur
dan tektonik. Dan jelaskan juga secara singkat (disertai sketsa/gambar) evolusi geodinamik
dari Pulau Sumba sejak umur Kapur hingga Kuarter.
P. Sumba merupakan fragmen dari island arc sedangkan pulau timor merupakan mikro kontinen dari
australia. letak perbedaannya dapat ditinjau dari tatanan stratigrafi, struktur dan tektonik yang akan
dipaparkan berikut ini.

STRATIGRAFI PULAU TIMOR

Pada Kepulauan Timor (Gambar 6.1) secara regional stratigrafinya terdiri dari Formasi Maubisse
yang memiliki litologi batuan batugamping yang berumur Permian Bawah, dan batuan beku ekstrusif
yang dikenal sebagai batuan yang tertua di Timor Barat. Kemudian terdapat Formasi Atahoc yang
terdiri dari batupasir arkose yang diperkirakan berumur Permian. Berikutnya terdapat Formasi Cribas
yang berumur Permian Awal terdiri dari batupasir, lanau, serpih hitam dan batugamping
bioklastik.Terdapat pula Formasi Niof yang berumur Trias Tengah terdiri dari batuan konglomerat
batupasir, dan lanau, terakhir terdapat Formasi Aitutu yang terdiri dari batugamping berumur Trias.

Gambar 6.1. Stratigrafi Kepulauan Timor (Audley-Charles, 1968)

EVOLUSI TEKTONIK DAN STRUKTUR TIMOR

Dalam pemodelan struktural yang terjadi di Kepulaun Timor diajukan 3 model utama dan 2 model
tambahan oleh Richardson dan Blundell (1996) (Gambar 6.2.), namun hanya 3 model utama saja
yang dibahas penulis antara lain:

1 Model overthrust berdasarkan geologi permukaan daerah Timor diman allocthon terdapat sangat
jelas (Audley-Charles and Harris, dalam Darman Herman dan Hasan Sidi, 2000)
2 Model Imbrikasi berdasarkan data geologi dan geofisika menginterpretasi Kepulauan Timor
sebagai akumulasi material
3 Model rebound dimana Kerak kontinen Australia menyusup ke daerah subduksi dekat Selat Wetar
menghasilkan pengangkatan Kepulauan Timor.
Namun, sebelumnya Richardson (Gambar 6.3) telah memberikan gambaran awal mengenai
proses collision di daerah busur banda. Proses ini diawali proses subduksi antara kerak benua dari
australia dan kerak samudera, yang selanjutnya terjadi obduksi.

Gambar 6.2. Model Tektonik Evolusi yang diajukan Oleh Richardson dan Blundell, 1996
Gambar 6.3. Model Tektonik Evolusi yang diajukan Oleh Richardson, 1994

STRATIGRAFI SUMBA

Stratigrafi akhir Cretaceus diindikasikan oleh kompleks akresi Meratus di SE Kalimantan dan sekuen
Balangbaru flysch di bagian Barat Sulawesi yang berkorelasi dengan formasi Lasipu di Sumba.
Sedimentologi diketahui dari analisa Formasi Lasipu di Sumba yang didominasi oleh volcanic
mudstones, sandstones, diamictites dan endapan turbidit pada lingkungan depan busur dan diintrusi
oleh andesit dan dacitic dikes. Volcaniclastic turbidit dari formasi Lasipu ini mengindikasikan bahwa
sumbernya berasal dari busur kepulauan oseanik. Stratigrafi pada Paleocene merupakan intrusi formasi
Tanadaro yang mewakili plutonik yang ekivalen dengan basal Al yang tinggi, sama halnya dengan yang
ditemukan pada sepanjang busur Aleutican modern. Aktifitas magma di Sumba pada kala Paleocene
seumur dengan subduksi yang menghasilkan magma di Ujung Pandang dan bagian selatan dataran
Sunda yang diwakili oleh batuan vulkanik calc-alkaline berumur 60 Ma. Stratigrafi Oligocene di Sumba
yaitu formasi Paumbapa yang didominasi batu gamping berlapis dan reef. Dari Miocene hingga
Pliocene terjadi ketidakselarasan antara batuan busur paleogene dan platform karbonat dan batuan
neogene diatasnya, yang sebagian besar merupakan volcaniclastic, endapan submarine Formasi
Kananggar. Dari Pliocene hingga recent ditandai kehadiran kembali foraminiferal chalk pada Formasi
Kananggar, mengindikasikan bahwa bagian dari Cekungan Savu, yaitu bagian sedimen Kananggar,
sedimen diendapkan diatas batas CCD.

TINJAUAN TEKTONIK DAN STRUKTUR SUMBA

Hamilton (1979) mengusulkan bahwa Sumba merupakan mikrokontinen dari tenggara Eurasia
(Sundaland). Simanjuntak (1993) mencatat kemiripan urut-urutan stratigrafi antara Late Cretaceous
sampai Miocene di Sumba dengan Baratdaya Sulawesi. E.Rutherford, K. Burke, J.Lytwyn
menginterpretasikan bahwa Sumba adalah fragmen dari ‘The Great Indonesian Volcanic Arc’ yang
dekat dengan lepas pantai dari Sundaland. Sumba merupakan fragmen dari ‘Island Arc’ (Aleutian-
Type). Selama akhir Cretaseus dan awal Paleogene, Sumba merupakan bagian dari busur kepulauan
oseanik yang merupakan bagian pinggir Daratan Sunda, khususnya bagian timur Jawa, SE Kalimantan
dan SW Sulawesi. Pada kala Paleocene, Sumba masih menjadi bagian dari busur kepulauan aktif.
Pada kala Eocene hingga sekitar awal Oligocen (~31 Ma), Sumba merupakan bagian sisa dari busur
kepulauan. Pada kala oligoccen hingga Early Miocene terjadi tektonik ekstensi di bagian Tenggara Asia
sehingga Sumba menjadi bagian sisa dari busur kepulauan oseanik. Pada Miocene Awal (~18Ma)
Sumba berada pada daerah yang sekarang menjadi Alor dan Wetar yaitu pada ~12 0 LS (Fortuin et al.,
1997) pada sutu blok yang kemudian akan menjadi bagian dari Busur Banda. Pada ~16Ma blok Sumba
bergeser dari area Alor dan Wetar dengan kecepatan ~50 mm/tahun kearah Barat – BaratDaya searah
sesar strike-slip. Pada kala ini, daerah Sumba mengalami peregangan intra-arc yang dimulai pada
pertengahan Miocene yang kemudian diikuti oleh subsidence yang terjadi dengan cepat pada pulau
tersebut. Umur sebelum ~16Ma merekam kejadian saat bagian barat daya Blok Sumba telah bergeser
cukup jauh dari busur vulkanik yang kemudian muncul. Berpindahnya Blok Sumba menjauh dari busur
vulkanik yang baru terbentuk ini tercermin dari kecepatan subsidence pada bagian timur Pulau Sumba.
Berhentinya pergerakan Sumba menuju forearc selama miocene akhir disertai juga oleh pemendekan
dan pengangkatan pada forearc Sumba.
Gambar 6.4. Stratigrafi Pulau Timor
Gambar 6.5. Tektonostratigrafi Pulau Sumba
Gambar 6.6. Evolusi Geodinamik Pulau Sumba dari Kapur hingga Kuarter
10. Pertemuan dua lempeng pada sistem konvergen menghasilkan model obduksi. Jelaskan apa
yang dimaksud dengan model obduksi tersebut? Sebutkan juga secara lengkap jenis batuan
apa saja yang dapat diobduksikan dan beri contoh di mana saja di Indonesia model obduksi ini
terjadi?

Obduksi ofiolit merupakan model tektonik konvergen dimana lempeng samudra mencuat/terangkat
kepermukaan dan menumpang diatas lempeng benua. Hal ini disebabkan oleh gerakan lempeng
samudra yang cepat, gaya friksi, densitas batuan yang lebih besar sehingga menghasilkan model
seperti buaya (crocodile type).
Batuan khas dari obducted oceanic lithosphere adalah ofiolit. Ofiolit adalah kumpulan dari batuan
litosfer samudera yang telah mengalami pengangkatan ke continent. Kumpulan ini terdiri dari batuan
sedimen laut dalam (rijang, batukapur, sedimen klastik), batuan vulkanik (lava bantal, glass, ash,
sheeted dykes dan gabbro) serta peridotit (batuan mantel)
DAFTAR PUSTAKA

Barber, A.J.,dkk. 2005. Sumatera: Geology, Resources dan Tectonic Evolution. London: The Geology
Society.
Burk, C.A., Drake, C.L. 1974. The Geology of Continental Margins. Springer-Verlag: New-York, p. 249-481)

Hamilton, W. B. 1979. Tectonics of the Indonesian Region. Washington: U.S. Govt.

Koesoemadinata, R.P., Matasak. 1981. Stratigraphy and Sedimentation Basin Central Sumatera.
Indonesia: Proceedings Indonesian Petroleum Association 10th Annual Convention.

Koning, T. 1985. The Petroleum Geology of the Ombilin Intermontane Basin. West Sumatra: Indonesian
Petroleum Association, Fourteenth Annual Convention.

Pulunggono, A., Cameron, N.R., 1984, Sumatran Microplates, Their Characteristics And Their Role In
Evolution Of The Central And South Sumatra Basin, Proceedings PIT XII IAGI, IAGI, Jakarta.

Simandjuntak. 2004. Tektonika. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Tjia, H.D. (1980). The Sunda Shelf, Southeast Asia. Z. Geomorph. 24: 405-427.

Anda mungkin juga menyukai