Anda di halaman 1dari 6

MATERI INISIASI KE LIMA

FORMALISASI

Formalisasi dapat diartikan sebagai derajat atau tingkat pembakuan (standarisasi) dari jabatan-jabatan
yang terdapat dalam suatu organisasi. Apabila derajat formalisasi dari suatu jabatan dalam organisasi
relatif tinggi maka cakupan tugas dan cara untuk melaksanakan atau mengerjakan tugas-tugas tersebut
telah baku. Akibatnya, pemegang jabatan yang harus menjalankan tugas-tugas tersebut hanya memiliki
kebebasan yang terbatas untuk menetapkan apa saja tugas yang perlu diselesaikan dalam jabatan,
bagaimana cara yang sebaiknya digunakan untuk menyelesaikan berbagai tugas itu, dan juga jadwal
penyelesaiannya. Dengan demikian, diharapkan pemangku jabatan akan menangani berbagai masukan
(input) bagi jabatan tersebut maupun menjalankan kegiatannya dengan cara yang sama atau telah
dibakukan sehingga diharapkan keluaran ( output) nya pun akan konsisten dan serupa.

Pada jabatan-jabatan dengan tingkat formalisasi yang tinggi maka uraian jabatan ( job description) atau
keterangan mengenai tugas-tugas yang tercakup dalam setiap jabatan perlu jelas dan terperinci, disertai
dengan adanya berbagai aturan yang baku serta prosedur kerja yang jelas sehingga isi dan cara
menjalankan jabatan menjadi jelas dan baku. Oleh karena baku, siapapun juga yang ditugaskan menjadi
pemangku jabatan semacam itu akan menjalankannya dengan cara yang sama dan membuat perilaku
karyawan dalam menangani jabatan itu seakan-akan telah terprogram. Sementara pada jabatan-jabatan
dengan tingkat formalisasi yang rendah, perilaku pemangku jabatan belum cukup terprogram sehingga
memiliki kebebasan yang tinggi dalam menjalankan jabatannya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat formalisasi merupakan salah satu alat yang dapat
digunakan untuk mengukur derajat standarisasi suatu organisasi. Kebebasan para pemangku jabatan
berbanding terbalik dengan besarnya proporsi cara menjalankan berbagai kegiatan dalam jabatan tersebut,
yang sebelumnya telah ditetapkan oleh organisasi. Dengan demikian, jika standarisasi meningkat maka
semakin banyak peraturan dan prosedur kerja yang mengikat karyawan dalam melaksanakan berbagai
tugas dalam jabatannya. Standarisasi atau pembakuan bukan hanya akan mengurangi alternatif cara yang
bisa diikuti dalam pelaksanaan tugas, tetapi juga membuat karyawan menjadi bebas dari keharusan untuk
memikirkan sendiri cara yang hendak diikuti dalam menyelesaikan tugasnya.

PANDANGAN TENTANG BENTUK FORMALISASI

Tentang bentuk formalisasi ada sementara pihak yang menyatakan bahwa formalisasi sebagai tingkat
penggunaan dokumen tertulis dalam kegiatan organisasi. Menurut pandangan ini bahwa peraturan dan
prosedur formalisasi selalu perlu diwujudkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian, derajat formalisasi
suatu organisasi bisa diukur dengan memeriksa kelengkapan dokumen tertulis yang dimiliki ataupun
digunakan dalam organisasi yang bersangkutan. Perlu diperiksa apakah organisasi memiliki buku petunjuk
atau manual yang memuat seluruh peraturan dan prosedur kerja yang digunakan dalam kegiatan
organisasi. Selanjutnya diperiksa juga jumlah dan kekhususan masing-masing peraturan, tingkat
kedalaman dan ketelitian uraian jabatan ( job description), maupun berbagai jenis dokumen lain yang biasa
digunakan dalam kegiatan organisasi.

Di sisi lain ada pihak yang berpendapat bahwa derajat formalisasi suatu organisasi perlu mencakup
seluruh peraturan dan prosedur yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Cara mengukur derajat formalisasi
semacam ini dianggap lebih lengkap karena mempertimbangkan juga persepsi karyawan dalam
pengukuran derajat formalisasi. Dengan demikian, pengukuran derajat formalisasi menurut pandangan
semacam ini dilakukan dengan cara yang lebih lengkap, yaitu:
1. memeriksa banyaknya dokumen resmi yang digunakan dalam kegiatan organisasi;
2. mempertimbangkan sikap karyawan dalam mematuhi peraturan atau dalam menjalankan prosedur;
3. mempertimbangkan kejelasan prosedur kerja yang berlaku;
4. memeriksa konsistensi organisasi dalam memaksakan dipatuhinya peraturan.

Dua pandangan tersebut merupakan cara yang berbeda dalam mengukur hal yang sama, yaitu formalisasi.
Pandangan yang satu mengukur formalisasi hanya dengan berdasarkan data, yaitu dengan mengukur
banyaknya dokumen resmi yang digunakan dalam kegiatan organisasi, sedangkan pandangan kedua
selain mempertimbangkan banyaknya dokumen resmi yang digunakan dalam kegiatan organisasi, juga
mencoba mendapat gambaran mengenai sikap ( attitude) dari karyawan terhadap berbagai peraturan
maupun prosedur yang digunakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengukuran derajat
formalisasi yang hanya mempertimbangkan tingkat penggunaan dokumen tertulis saja maka dapat
diragukan ketepatannya.

Derajat formalisasi perlu diukur dengan menggunakan dimensi yang lebih lengkap, yaitu baik
menggunakan dokumen tertulis maupun dengan memeriksa persepsi anggota organisasi yang dapat
mempengaruhi sikap (attitude) mereka terhadap corak pengaturan yang diberlakukan. Pengukuran derajat
formalisasi dengan cara semacam ini dianggap mampu memperoleh gambaran yang lebih realistis
mengenai corak kehidupan yang sebenarnya dalam organisasi. Perilaku karyawan mestinya dipengaruhi
oleh corak peraturan dan prosedur resmi yang berlaku, dan juga oleh aturan-aturan tidak resmi maupun
berbagai kebiasaan dalam organisasi. Contoh, para petugas pemasaran sebuah perusahaan selalu
mengenakan dasi apabila mereka mengunjungi pelanggan padahal di perusahaan itu tidak pernah ada
peraturan tertulis ataupun pemberlakuan secara resmi mengenai penggunaan dasi.

FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP DERAJAT FORMALISASI

Perlu disadari bahwa dalam suatu organisasi, derajat formalisasi yang terjadi pada masing-masing bagian
organisasi bisa sangat berbeda satu sama lain, begitu juga apabila derajat formalisasi suatu organisasi
dibandingkan dengan derajat formalisasi pada organisasi yang lain. Contoh detailer obat, yaitu petugas
pemasaran yang mewakili perusahaan-perusahaan farmasi untuk memperkenalkan obat-obatan kepada
para dokter, memiliki kebebasan yang relatif besar untuk menentukan sendiri cara yang hendak digunakan
dalam menjalankan tugasnya. Para detailer ini tidak terikat pada peraturan ataupun prosedur tertentu yang
mengatur cara yang harus diikuti dalam menjalankan tugasnya. Detailer obat-obatan biasanya hanya
diwajibkan mengisi laporan kegiatan mingguan yang menjelaskan nama dokter-dokter yang telah mereka
kunjungi, tanpa menjelaskan cara yang digunakan untuk bisa diterima oleh para dokter tersebut.
Sementara jenis pekerjaan lain di perusahaan farmasi yang sama, misalnya petugas penerima tamu
(receptionist) diwajibkan hadir setiap hari, pada jam tertentu, dan perlu mematuhi prosedur kerja yang telah
ditetapkan oleh pihak manajemen.

Jenis pekerjaan yang hanya menuntut keterampilan rendah, yaitu jabatan yang mengandung tugas-tugas
sederhana dan berulang (repetitive), biasanya merupakan jenis pekerjaan yang diatur dengan derajat
formalisasi yang tinggi. Di pihak lain, pekerjaan yang menuntut tingkat profesionalitas tinggi cenderung
diatur dengan derajat formalisasi yang rendah. Beberapa pengecualian memang terjadi, seperti pada
pekerjaan akuntan yang diharuskan untuk selalu memiliki catatan terperinci dari kegiatan yang telah
mereka lakukan (yang berarti formalisasi yang tinggi) agar perusahaan bisa meminta bayaran yang sesuai
dari pelanggan yang telah mempergunakan jasa akuntan ini. Walaupun terdapat pengecualian, pada
umumnya “aturan” sebelumnya tetap berlaku, semakin tinggi tingkat profesionalitas yang dibutuhkan pada
suatu jabatan maka derajat formalisasi dalam pengaturan jabatan tersebut cenderung berkurang.

Derajat formalisasi bukan hanya bervariasi menurut tingkat profesionalitas yang diperlukan, tetapi juga
menurut tingginya tingkatan hierarki suatu jabatan maupun menurut jenis tugas (fungsi) yang ditangani
oleh jabatan tersebut. Semakin tinggi tingkatan hierarki suatu jabatan biasanya semakin jarang jabatan
tersebut terlibat dalam kegiatan berulang ( repetitive) yang hanya menghasilkan satu jenis solusi ataupun
keluaran. Tingkatan hierarki yang tinggi juga biasanya disertai dengan membesarnya kebebasan yang
dimiliki suatu jabatan untuk menetapkan sendiri cara yang hendak digunakan untuk melaksanakan
pekerjaan. Dengan demikian, tingginya derajat formalisasi pada suatu jabatan berbanding terbalik dengan
tingkatan hierarki maupun tingkatan profesionalitas jabatan tersebut. Semakin tinggi tingkatan hierarki
suatu jabatan semakin rendah derajat formalisasi pada jabatan tersebut.

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap derajat formalisasi adalah jenis pekerjaan ataupun fungsi yang
dijalankan oleh suatu jabatan. Berbagai jenis jabatan pada fungsi produksi biasanya memiliki derajat
formalisasi yang lebih tinggi daripada jabatan-jabatan pada fungsi pemasaran ataupun pada fungsi
penelitian dan pengembangan. Pekerjaan yang dilakukan pada fungsi produksi cenderung merupakan
jenis kegiatan yang menuntut kondisi yang stabil, sifatnya berulang ( repetitive), dan perlu dilaksanakan
dengan standardisasi yang relatif tinggi. Sebaliknya, berbagai jabatan yang terdapat pada fungsi
pemasaran memerlukan sifat lentur (fleksibel) agar mampu secara cepat melakukan penyesuaian terhadap
perubahan situasi pasar. Sementara jabatan-jabatan pada fungsi penelitian dan pengembangan juga perlu
bersifat bebas agar tidak terjebak rutinitas dan menjadi kurang inovatif.

Organisasi membutuhkan formalisasi karena manfaat yang akan diperoleh apabila perilaku karyawan
dibuat menjadi baku. Perusahaan yang memiliki karyawan dengan perilaku yang seragam dan baku, akan
dapat mengurangi penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Contoh, dengan formalisasi gerai makanan
cepat saji, seperti McDonald mampu membuat makanan yang mereka jual terasa sama di tempat mana
pun di dunia.
Pembakuan (standardisasi) menuntut munculnya derajat formalisasi yang lebih kuat. Dengan
memanfaatkan formalisasi, pabrik otomotif yang memproduksi mobil dan sepeda motor dapat menjalankan
kegiatannya secara lancar. Pada setiap stasiun kerja di lini assembling yang memproduksi mobil terdapat
sejumlah karyawan yang melaksanakan tugas-tugas yang dibakukan dan bersifat berulang. Contoh lain,
pembakuan (standardisasi) membuat para petugas kesehatan tidak kebingungan dan paham apa yang
harus mereka lakukan apabila mereka diterjunkan untuk menghadapi keadaan darurat, misalnya apabila
terjadi musibah, seperti kecelakaan lalu lintas, kebakaran, gempa, dan sebagainya.

Formalisasi juga mampu membawa manfaat ekonomis bagi organisasi ataupun perusahaan. Semakin
tinggi derajat formalisasi maka semakin berkurang kebebasan tenaga kerja dalam melaksanakan tugas-
tugas yang tercakup dalam jabatan yang ia pegang. Jabatan dengan derajat formalisasi yang rendah
biasanya perlu ditangani oleh karyawan yang lebih bijaksana sehingga tidak bingung menghadapi situasi
yang cenderung berubah-ubah. Karyawan yang cerdas dan berpengalaman biasanya mampu menjalankan
tugas yang berubah-ubah ini secara efektif dan juga efisien tanpa memerlukan adanya petunjuk dari
atasan. Akan tetapi, tenaga kerja seperti ini biasanya perlu dibayar lebih mahal dari pada karyawan biasa.

Perusahaan bisa berhemat dengan cara mempekerjakan sejumlah karyawan yang kurang berpengalaman
asalkan tenaga kerja tersebut dilengkapi dengan panduan yang isinya lengkap sehingga karyawan akan
mampu menjawab dan bertindak dengan benar menghadapi seluruh pertanyaan maupun permasalahan
yang mungkin muncul dalam pelaksanaan pekerjaan. Ini alasan mengapa organisasi berukuran besar
cenderung memiliki Buku Panduan tugas yang relatif lengkap, bahkan kadang-kadang tebalnya mencapai
ribuan halaman. Organisasi semacam ini mencoba meningkatkan derajat formalisasi berbagai jabatan agar
dapat mencapai kinerja yang maksimal melalui karyawannya, tetapi tetap mampu menekan ongkos
serendah-rendahnya.

FORMALISASI DAN TENAGA PROFESIONAL


Pemanfaatan formalisasi untuk menangani pekerjaan yang memiliki derajat pembakuan (standarisasi) yang
bervariasi biasanya berkaitan dengan pilihan untuk mewujudkan formalisasi di luar pekerjaan ( off the job)
ataupun dilakukan di tempat kerja (on the job).

Apabila formalisasi dicoba diterapkan secara langsung di tempat kerja ( on the job) maka digunakan istilah
externalized behavior, yang berarti bahwa formalisasi berada di luar pribadi si karyawan. Peraturan,
prosedur, maupun kegiatan untuk mengarahkan kegiatan karyawan dirancang secara khusus dan
dipaksakan secara langsung kepada karyawan melalui instruksi dan pengawasan para atasannya.
Biasanya jenis formalisasi yang dipaksakan seperti ini digunakan untuk mengorganisasikan tenaga kerja
dengan tingkat keterampilan rendah, dan tindakan seperti inilah yang sering dianggap sebagai formalisasi.

Profesionalisasi merupakan cara lain untuk menerapkan formalisasi yaitu dengan mengusahakan agar
tenaga kerja mengadopsi formalisasi dan memasukkannya ke dalam diri mereka masing-masing sebagai
kebiasaan ataupun perilaku, sehingga disebut internalized behavior. Tenaga profesional telah dibentuk
melalui pendidikan tertentu pada saat masih berada di luar organisasi sehingga sikap maupun perilakunya
pada saat masuk ke dalam organisasi telah sesuai dengan formalisasi.

Dengan demikian, formalisasi bisa tercapai dengan cara „membuat sendiri‟ di mana karyawan yang
sebelumnya memiliki perilaku yang belum sesuai dengan kebutuhan organisasi dipaksa untuk berperilaku
tertentu melalui instruksi dan pengawasan atasannya ataupun dengan „membeli‟ dari
luar, yaitu dengan mempekerjakan tenaga profesional yang pada saat masih berada di luar telah
terdidik atau terlatih untuk berperilaku tertentu sehingga pada saat memasuki organisasi sudah memiliki
perilaku yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.

Sosialisasi merupakan proses adaptasi, di mana seseorang mempelajari dan akhirnya mengadopsi nilai-
nilai, norma, dan pola perilaku tertentu yang dianggap sesuai untuk dijalankan oleh suatu jabatan ataupun
oleh seseorang yang akan masuk menjadi anggota organisasi. Pada dasarnya semua organisasi
melakukan sosialisasi terhadap seluruh anggotanya. Seluruh karyawan paling sedikit
akan „dicetak‟ ataupun mengalami pembentukan tertentu oleh organisasi tempat mereka bekerja.
Tetapi, bagi sebagian anggota organisasi, yaitu tenaga profesional, proses pembentukan perilaku tersebut
sudah selesai dan terjadi pada saat mereka mengalami proses pelatihan ataupun pendidikan sebelum
menjadi anggota suatu organisasi.

Tenaga profesional telah mengalami proses pelatihan ataupun pendidikan yang membuat mereka telah
berperilaku tertentu sebelum mereka mempraktikkan keahliannya dalam suatu organisasi. Contoh, para
dokter di Indonesia paling sedikit harus melewati masa pendidikan dan praktik selama 5 tahun sebelum
mereka diakui dan dianggap sah untuk mempraktikkan keahliannya sebagai dokter di rumah sakit. Proses
pendidikan dan latihan yang dilalui memberikan semacam kumpulan pengetahuan dan keterampilan yang
kira-kira sama kepada semua dokter, yang sewaktu-waktu akan mereka gunakan dalam menjalankan
kegiatan sebagai dokter. Oleh karena memiliki kumpulan pengetahuan dan keterampilan yang sama maka
sebagian besar dokter akan bertindak sama apabila berhadapan dengan kasus kesehatan yang serupa.

Sering kali dilupakan bahwa dalam proses pendidikan dan latihan tersebut diusahakan untuk membentuk
sikap dan perilaku tertentu yang sama. Oleh karena itu, tugas utama sebuah sekolah bisnis adalah
mensosialisasikan sikap dan perilaku yang sesuai dengan kebutuhan sebuah usaha bisnis kepada para
mahasiswanya. Contoh, apabila pimpinan sebuah perusahaan berpandangan bahwa karyawan yang baik
mestinya memahami bahwa keuntungan merupakan tujuan utama perusahaan, sementara keuntungan
akan dapat diraih apabila perusahaan dijalankan oleh sejumlah pekerja keras yang setia dan patuh pada
atasan maka yang akan diterima bekerja di perusahaan itu adalah pelamar yang memiliki profil yang sesuai
dengan gambaran si pimpinan. Oleh karena itu, pimpinan perusahaan sesungguhnya perlu memahami
bahwa ia dihadapkan pada dua jenis pilihan, yaitu (1) seperti apa profil dan derajat standardisasi perilaku
yang dibutuhkan, dan (2) apakah standardisasi perilaku tersebut perlu terbentuk di dalam atau di luar
organisasi.
Perbedaan antarbagian dalam suatu organisasi semakin terlihat jelas dengan kehadiran karyawan yang
tidak perlu terlatih. Corak jabatan-jabatan yang tidak membutuhkan tenaga terampil yang terlatih biasanya
sangat bervariasi, baik ke arah horizontal maupun vertikal. Formalisasi yang diwujudkan dalam bentuk
peraturan, prosedur aliran kerja dan berbagai program pelatihan, digunakan untuk membakukan,
mengkoordinasikan dan mengendalikan perilaku pekerja semacam itu. Sebaliknya, apabila perusahaan
menggunakan tenaga profesional yang berasal dari luar organisasi, mereka sebenarnya
„membeli‟ individu dari luar yang sebelumnya telah mengalami proses pendidikan dan latihan sehingga
membuat mereka mampu menginternalisasikan uraian dari jabatan yang akan dijalankan dan berbagai
peraturan serta prosedur kerja yang berlaku.

Kedua jenis cara untuk melakukan formalisasi tersebut sesungguhnya memiliki tujuan yang sama, yaitu
untuk mengendalikan perilaku karyawan. Organisasi bisa mengendalikan secara langsung perilaku
karyawan dengan menggunakan peraturan dan prosedur atau melalui pengendalian secara tidak langsung
dengan memanfaatkan tenaga profesional. Oleh karena itu, jika tingkat profesionalisasi meningkat maka
derajat formalisasi yang dibutuhkan organisasi akan berkurang, begitu juga sebaliknya. Organisasi yang
mempekerjakan banyak tenaga profesional tidak perlu memiliki terlalu banyak peraturan karena para
tenaga profesional itu telah mampu mengatur dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai