Anda di halaman 1dari 7

Cahaya Rembulan : Sebuah Naskah Drama

Pemain:

1. Abdullah (Lelaki)
2. Fatimah
3. Aisyah
4. Hasan
5. Bi Inah
6. Lelaki Berjubah Putih
7. Bartender
8. Teman bartender
9. Sopir
10. Petugas rumah sakit

Prolog

Lelaki itu duduk sendirian di sudut pub dengan sebatang rokok yang terselip di jemarinya.
Sebentar-sebentar bola matanya mengerjap seraya menggeleng-gelengkan kepala, seolah hendak
mengenyahkan pikiran yang memenuhi isi kepalanya. Ingin ia lari dari semua persoalan,
membebaskan diri dari segala macam beban yang mendera. Akan tetapi, lelaki itu tak pernah
berhasil.

Babak I

Di Pub (Bar)

Abdullah (lelaki) : (Sambil setengah mabuk) Hei … bartender, tambaah lagi birnya!

Bartender : (Menuangkan bir ke gelas lelaki itu)

Lelaki : (Meneguk bir di gelasnya dengan sempoyongan)

Ka … mu tau, siapa saya he … he? (sambil menepuk dada)

Bartender : (Hanya tersenyum)

Lelaki : Sa … ya, sa … ya seorang lelaki sukses. Kamu, kamu tau, perusahaan saya
besaaar sekali. Istri saya artis top. Anak-anak saya cantik dan ganteng. Saya
punya uang banyak, berlimpah. (berdiri sempoyongan)

Lelaki itu kembali meyodorkan gelasnya yang sudah kosong.

Bartender : (Memegang bahu lelaki) Tuan sudah mabuk, sepuluh gelas sudah cukup,
Tuan. Sebaiknya Tuan pulang saja.
Lelaki : (Menepis tangan bartender) Pulang …? Mabuk …? Akh, … kau gila. Aku
tak mungkin mabuk. Aku ini …. (terjatuh)

Si Bartender dan beberapa pegawai pub itu segera menggotong lelaki itu keluar. Mereka
mencari sopir lelaki itu yang setiap malam setia menemaninya.

Bartender : Ini bos Anda, bukan? (menunjuk lelaki yang digotong teman-temannya)

Sopir : (Mengangguk) Teler lagi, Tuan? (Sambil membukakan pintu mobil,


Bartender dan kawan-kawannya meletakkan lelaki itu)

Kawan bartender : Gila ya, bos kamu itu, tiap malam tak pernah absen dari teler. Sudah, bawa
pulang sana!

Sopir : Terimakasih Tuan-tuan! (Tancap gas dan pergi)

Babak II

Di Mobil (di Jalan)

Lelaki : Eeh … eeh. Di mana, aku? (Setengah sadar)

Sopir : Bos, kita akan pulang.

Lelaki : Pulang?. Ah, kau, Mir! Memang aku punya rumah tempat aku bisa pulang?
Memang ada yang menunggu aku pulang? Paling-paling si Inah, istri kamu
yang ada. Mir, sudah, kita muter ke pub aja lagi.

Sopir : (Memegang kepala) Tuan, itu tidak mungkin. Saya tidak mau diusir sama
pegawai pub.

Lelaki : (Memelototkan mata) Diusir? Hei …, apa salah kamu, Mir?

Sopir : (bingung) Anu, Tuan, maksud saya, saya tidak mau kembali ke pub karena
di tempat itu tadi saya lihat banyak polisi. Saya takut kena razia atau diusir.

Lelaki : (Melonggo) Oo … oo … oo! Kukira kau diusir. Kalau begitu kemana ja


deh, Mir! Pokoknya aku tidak mau pulang. Rumah besar itu seperti neraka
buatku.

Sopir : Baik, Tuan.

Mobil yang ditumpangi lelaki itu melaju membelah malam. Tak jelas arah yang mau dituju.
Amir, sang sopir. membawa mobil itu hanya mengikuti suara hatinya saja. Jika harus
berbelok, maka ia membelokkan mobilnya. Jika harus berhenti ia pun menghentikan
mobilnya. Sementara, lelaki itu tertidur dengan lelapnya.

Babak III

Seorang Lelaki Berpakaian Putih (LBP) memutar-mutar butir tasbih mendekati lelaki itu dan
berbicara dengan suara yang lirih.

LBP : Abdullah, bangun! Bangun Abdullah! Bangun!

Lelaki : (Terkejut, mundur ke tembok putih) Si … si …siapa engkau, wahai lelaki


berjubah putih?

LBP : Aku adalah Kamu, Abdullah. Aku adalah suara hatimu. Aku adalah
nafasmu. Aku adalah Kamu …

Lelaki : Bohong. Kamu hantu, iblis, syaitan. (Suara keras)

LBP : Abdullah! Aku memang Kamu. Bagian lain dari hati nuranimu. Lihat …
lihatlah aku dengan seksama.

Lelaki : (Memandang lekat-lekat ke LBP)

LBP : Abdullah, Kamu sudah sangat jauh tersesat. Apa yang Kamu cari? Semua
sudah Kamu punya. Kamu menyiksa dirimu sendiri. Mengapa Kamu
begitu bodoh menjerumuskan dirimu? Sadarlah! Lihatlah dirimu, tanyalah
hati nuranimu.

Lelaki : (Tertunduk, menggumam) Iya, apa yang kucari! Dunia sudah kuraih. Lalu
apa lagi?

LBP : (Berbicara pelan) Kedamaian dan iman. Itulah yang hilang dan coba kamu
cari. Dunia yang kamu raih ternyata membuat dirimu lupa. Sadarlah
dirimu. Kembali kekeluargamu. Di sana ada cinta yang kamu lupa. Dia
bidadari yang selalu berdoa di tiap malamnya. Pulanglah, Abdullah!

Tiba-tiba sopir mengerem mobil dengan mendadak dan terjagalah lelaki itu dari mimpinya.

Lelaki : (Melotot marah) Apa … apaan kamu, Mir! Bawa mobil tidak hati-hati.
Aku belum mau mati.

Sopir : Maaf, Tuan.

Lelaki : (Dengan mata menerawang) Mir, kita pulang dan jangan bertanya.
Sopir : (Memutar mobil tanpa berani bertanya tentang keputusan pulang tuannya)

Babak IV

(Di rumah lelaki)

Ketika mobil lelaki itu memasuki gerbang sebuah rumah besar, sayup-sayup didengarnya suara
merdu orang mengaji.

Lelaki : (Wajah binggung) Kamu tahu suara apa itu, Mir?

Sopir : Anu, Tuan. Itu suara orang mengaji! Suara neng Fatimah, Tuan.

Lelaki : Fatimah. Putri bungsuku? (Masih heran) Kapan dia pulang?

Sopir : Iya, Tuan (sambil membuka pintu rumah) Dia Sudah pulang tiga hari yang
lalu dari pondok pesantren. Tuan tidak bertemu dengannya?

Sopir : (Bergumam: Bagaimana bisa bertemu, jika sudah tiga hari ini tuan tak
pulang-pulang!)

Lelaki itu berjalan memasuki rumah besarnya. Dia menuju kamar putrinya Fatimah di lantai
tiga rumahnya. Lelaki itu mematung di depan pintu kamar Fatimah.

Fatimah : (Membaca Q.S. Al-Baqorah : 1 – 7)

(Tiba-tiba matanya menangkap sesosok bayangan hitam di depan pintu kamarnya). Ayah?!
Benarkah Ayah?! (Fatimah berlari mencium lengan ayahnya)

Lelaki : (Mengusap kepala Fatimah) Fatimah, anak ayah (gumamnya).

Fatimah : Masuklah ayah. Fatimah kangen sama ayah. Ayah kurusan (memegang-
memegang tubuh ayah) Sakit?

Lelaki : (Menggeleng lemah)

Fatimah : (Menuntun lelaki itu masuk. Mendudukkannya. Melepaskan sepatunya,


bajunya, dan seluruh pakaiannya, lalu berlari ke kamar mandi membawa
satu baskom kecil air. Menyeka tubuh lelaki itu. Memakaikan pakaian yang
bersih kepadanya.

Lelaki : (Menangis) Maafkan ayah, Fatimah. Ayah … (tersedu-sedu)

Fatimah : Ayah, mengapa harus minta maaf? Manusia itu tempatnya khilaf!
Alhamdulillah, ayah sudah pulang! Fatimah senang.
Lelaki : (Tersedu-sedu). Apa yang kamu baca? Bolehkah ayah tahu..

Fatimah : Al-Quran. Buku Allah yang diberikan-Nya untuk dibaca manusia. Ayat
yang Fatimah baca tadi menerangkan tentang keberadaan Al-Quran. Itulah
petunjuk dan pegangan hidup bagi manusia. Ayah masih sering
membacanya?

Lelaki : (Menggeleng) Ayah lupa dengan-Nya.

Fatimah : (Menghapus air mata ayah). Allah itu maha pemaaf. Dia tak akan pernah
lupa pada hamba-Nya yang khilaf. Fatimah senang ayah pulang. Artinya,
kita bisa sahur bersama untuk menyongsong hari pertama Ramadhan tahun
ini. Walaupun cuma berdua.

Lelaki : Apa maksudmu cuma berdua, Fatimah? Bukankah ibumu juga kedua
kakamu ikut sahur bersama kita malam ini? (Heran)

Fatimah : (Tertunduk dalam). Ayah, Ibu … (berhenti)

Lelaki : “Kenapa dengan Ibumu?” (setengah membentak)

Fatimah : Ibu, tadi siang dibawa ke rumah sakit jiwa. Beliau stress, ayah! Tadi beliau
mengamuk hebat begitu tahu, mba Aisyah hamil dan mas Hasan ditangkap
polisi saat sedang perta ganja dengan teman-temannya.

Lelaki : (Terkulai Lemas).

Babak V

Di Rumah Sakit Jiwa

Setelah menjalani proses hukum, Hasan mengalami perawatan intensif di tempat rehabilitasi
ketergantungan obat. Selama enam bulan di sana, akhirnya ia sembuh. Sementara, Aisyah telah
melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Daud juga bersedia bertanggung jawab
terhadap anak itu. Fatimah terus mengajar ayahnya mengaji Rumah itu kembali bercahaya.
Meski ibu masih harus dirawat.

Suatu sore yang cerah. Fatimah lagi asyik bermain-main dengan bayi kecil Aisyah. Tiba-tiba
terdengar bunyi telepon.

kring … kring … kring

Aisyah : (Setengah berteriak). Bi Inah, tolong angkat teleponnya.


Bi Inah : (Berlari-lari kecil) Iya, Non. “Assalamualaikum”. Cari siapa? (Bi Inah
tampak manggut-manggut)

Aisyah : Dari siapa, Bi?

Bi Inah : Anu, Non. Dari rumah sakit tempat ibu dirawat. Katanya penting.

Aisyah : (Beranjak dari tempat duduknya) Ya …, saya anaknya ibu Khadijah. Ada
apa, ya?

Suara di telepon

(Pegawai RS) : Begini. Bisakah Anda ke rumah sakit sekarang. Ada sesuatu dengan ibu
Anda!

Aisyah : Ba … baik. Saya ke sana segera!

Tut … tut … tut … (telepon ditutup)

Sore itu, mereka sekeluarga bergegas pergi ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka
dihantui pertanyaan besar: “Ada apa dengan ibu mereka?”.

Suasana rumah sakit tidak terlalu ramai. Mereka segera memasuki lobi. Beberapa petugas sedang
berjaga.

Hasan : Siang, Pa! Kami keluarga ibu Khadijah. Tadi kami dapat telepon dari sini.
Ada apa dengan ibu kami. (tampak kekalutan tercermin dari wajahnya)

Petugas RS : O iya. Mari silakan ikut saya!

Beriringan mereka mengikuti langkah petugas rumah sakit. Setelah melewati beberapa koridor,
akhirnya sampailah di kamar perawatan ibu Khadijah.

Wajah seluruh anggota keluarga tampak tegang. Fatimah tampak mengamit ayahnya yang
berjalan gemetar.

Petugas RS : Mari! (sambil membukakan pintu kamar dan menyilakan)

Mereka berhamburan memasuki ruangan. Sesosok tubuh tertutup kain putih terbujur kaku di atas
ranjang!

Keluarga : (Serentak) Ibu ….!

Tubuh kaku itu dipeluk beramai-ramai oleh mereka. Ibu yang mereka cintai telah pergi. Pergi
untuk selama-lamanya!
Lelaki itu berpaling dan keluar ruangan. Meninggalkan tubuh istrinya yang terbaring kaku.
Meninggalkan lagu tangis anak-anaknya. Ada bening air jatuh di pelupuk mata lelaki itu.

Lelaki : (Membenturkan dahi pada tembok ruangan) Ya, Tuhan! Aku … telah
berdosa! Aku … berdosa! Ampuni hamba! Ampuni hamba, ya Rob…!

Fatimah : (Keluar dari ruangan, mendekati ayahnya dan memeluknya)

Allah maha pengampun. Ibu juga pasti diampuninya. Ibu beruntung , Yah!
Ia dipanggil oleh Allah di saat cahaya Ramadhan datang menyinari bumi!

Ruang di rumah sakit itu mulai hening. Suara tangis tadi lamat-lamat hilang berganti dengan
suara azan magrib tanda waktu berbuka puasa telah tiba.

Anda mungkin juga menyukai