MUHAMMAD KASUM
XX/XXXX/PN/XXX
TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
Intisari
Ekosistem dibedakan menjadi tiga kategori utama yaitu ekosistem laut, ekosistem air
tawar, dan ekosistem estuari. Daerah estuari merupakan daerah tempat terjadinya
pencampuran antara air laut dengan air tawar dan juga merupakan tempat hidup beberapa
biota perairan. Secara sederhana estuari didefinisikan sebagai tempat pertemuan antara air
tawar dan air asin. Lingkungan estuari merupakan lingkungan yang penting bagi
tumbuhan dan hewan, di lingkungan ini biasanya ditumbuhi dengan tumbuhan khas yaitu
mangrove. Praktikum acara estuari ini dilaksanakan di estuari pesisir Baros, Bantul,
Yogyakarta pada hari Sabtu, 23 Maret 2019 pukul 09.00 WIB sampai selesai. Praktikum
estuari bertujuan untuk mempelajarari karateristik ekosistem estuari (muara) dan faktor
pembatasnya, mempelajari korelasi antara beberapa tolokukur lingkungan dengan
populasi biota estuari serta mempelajari perairan estuari berdasarkan indeks diversitas
plankton. Pada praktikum ini dilakukan pengamatan terhadap 3 parameter yaitu parameter
fisika berupa suhu air, suhu udara, kecerahan serta TSS (Total Suspended Solid) dan
parameter kimia yaitu salinitas, alkalinitas, pH, CO2 bebas, BOD0, BOD5, DO dan bahan
organik, serta parameter biologi yaitu diversitas dan densitas plankton. Pengambilan data
ini dilakukan dengan cara sampling dan diolah dengan beberapa metode, metode yang
digunakan yaitu pengamatan langsung serta metode alkalimetri untuk mengukur
alkalinitas dan metode winkler untuk mengukur tingkat oksigen terlarut atau DO, dan
BOD (Biochemical Oxygen Demand) sedangkan untuk parameter biologi dilakukan
pengamatan menggunakan mikroskop di dalam laboratorium. Setelah dilakukan
pengamatan disimpulkan lingkungan estuari dan mangrove merupakan daerah estuari
yang subur dengan tingkat densitas serta diversitas plankton yang tinggi serta tingkat
kelarutan oksigen tinggi yang mendukung kelangsungan hidup organisme perairan.
Kata kunci: BOD, DO, estuari, organisme, pH
PENDAHULUAN
Ekosistem merupakan tatanan secara utuh dari sebuah unsur lingkungan hidup
yang saling memengaruhi. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik
yang kompleks antar organisme dengan llingkungan (Prawirohartono, 2004).
Ekosistem perairan adalah suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun.
Ekosistem dibedakan menjadi tiga kategori utama yaitu ekosistem laut, ekosistem air
tawar, dan ekosistem estuari (Dahuri, 2006).
Lingkungan mangrove adalah lingkungan berupa hutan yang tumbuh di air payau,
dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat
di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat
dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Estuari (aestus, air pasang), menurut definisi yang dimodifikasikan dari Pritchard
(1967) dalam Odum (1998), adalah suatu badan air pantai setengah tertutup yang
berhubungan langsung dengan laut terbuka; jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang
surut, di mana air laut bercampur (dan biasanya bila diukur, lebih cair) dengan air tawar
dari buangan air daratan.Selain itu, estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang
berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur
dengan air tawar.
Kombinasi air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang
khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain; 1. Tempat bertemunya arus
surau dengan arus pasang surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat
pada sedimentasi, percampuran air, dan cirri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh
besar pada biotanya. 2. Percampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat
fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat suatu fisika
lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air laut; 3. Perubahan yang terjadi akibat
adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis
denga\|= lingkungan sekelilingnya. 4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung
pada pasang surut air laut, banyaknya alliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi
daerah estuaria tersebut.
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain: sebagai
sumber zat hara dan hutan organic yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (Tidal
circulation) penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria
sebagai tempat untuk berproduksi dan/atau tepat tumbuh besar (nursery ground) terutama
bagi sejumlah spesies ikan dan udang.
Aktifitas yang ada dalam rangka memanfaatkan potensi suhu, salinitas, dan pasang
surut air merupakan faktor penting dalam perairan estuari karena dengan adanya suhu,
salinitas, dan pasang surut dapat diketahui batasan dan produktivitas perairan estuari. Pada
daerah perairan estuari terjadi fluktuasi perubahan salinitas yang berlangsung secara tetap
yang berhubungan dengan gerakan air pasang. Massa air yang masuk ke dalam daerah
estuari pada waktu terjadi air surut hanya bersumber dari air tawar, akibatnya salinitas air
di daerah estuari pada saat itu umumnya rendah. Pada waktu air pasang, massa air masuk
ke dalam estuari sehingga mengakibatkan salinitasnya naik (Hutabarat dan Evans, 1985).
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajarari karateristik ekosistem estuari
(muara) dan faktor pembatasnya, mempelajari korelasi antara beberapa tolokukur
lingkungan dengan populasi biota estuari serta mempelajari perairan estuari berdasarkan
indeks diversitas plankton.
METODE
Lokasi penelitian berada di estuari pesisir Baros, Bantul, Yogyakarta pada hari
Sabtu, 23 Maret 2019 pukul 09.00 WIB sampai selesai. Fokus praktikum ini adalah
mengenai kualitas ekosistem estuari terutama ditinjau dari parameter fisika (suhu air, suhu
udara, TSS, dan kecerahan air), kimia (oksigen terlarut, alkalinitas, CO2 bebas, BOD0,
BOD5, salinitas, pH, dan bahan organik), dan biologi (densitas serta diversitas plankton).
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan
pengambilan sampel kemudian mengamati parameter fisika, kimia secara langsung di
lokasi dan parameter biologi (plankton) di laboratorium Ekologi Perairan Departemen
Perikanan Universitas Gadjah Mada.
Praktikum menggunakan beberapa alat yaitu, secchi-disk, mikroskop, Sedgwick-
rafter counting cell, rollmeter, penggaris, termometer, botol oksigen, erlenmeyer, gelas
ukur, pipet ukur (buret), pipet tetes, refractometer, ember plastik, saringan, botol cuka,
dan kertas label. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu, larutan reagen oksigen, larutan
H2SO4 pekat, larutan MnSO4, larutan 1/80 N Na2S2O3, larutan 1/44 N NaOH, larutan 1/50
N H2SO4, larutan 1/50 N HCl, larutan indikator Phenolphphtalein (PP), larutan indikator
amilum, larutan indikator Methyl Orange (MO), dan larutan 4% formalin.
Metode yang digunakan dalam praktikum ekosistem estuari ada berbagai macam,
untuk kecerahan digunakan secchi-disk dengan cara memasukkan alat kedalam air
sebanyak dus kali. Secchi-disk dimasukkan ke dalam air sampai warna hitam-putih pada
alat menghilang dan diukur kedalamannya dengan mengukur panjang tali yang tercelup
air. Kemudian setelah diukur, secchi-disk diangkat ke permukaan air sampai warna hitam-
putih pada alat terlihat kembali dan diukur kedalamannya dengan mengukur panjang tali
yang tercelup air. Hasil dali pengukuran kedua tali di rata-rata dan akan didapatkan hasil
angka kecerahan air. dalam hal pengukuran suhu yaitu memakai metode pengukuran
menggunakan termometer. pH meter digunakan untuk pengukuran pH. Untuk mengukur
kandungan oksigen terlarut digunakan metode winkler dengan langkah pertama
pengambilan sampel air menggunakan botol oksigen dan jangan sampai timbul
gelembung udara, ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat dan ditunggu sampai larut kemudian
ditambahkan 1 ml reagen O2 ditunggu hingga mengendap, setelah itu diambil 50 ml dari
botol oksigen dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer secara perlahan. Ada dua
kemungkinan warna air sampel jika air sampel kuning pekat, maka dititrasi dengan 1/80
N Na2S2O3 sambil digoyang hingga menjadi kuning jerami ditambahkan 2-3 tetes
indikator amilum dan sampel akan berubah menjadi warna biru kemudian di titrasi
kembali dengan 1/80 N Na2S2O3 sambil digoyang hingga menjadi bening. Kemungkinan
selanjutnya jika air sampel berubah menjadi kuning jerami, maka langsung ditambahkan
larutan amilum dengan proses selanjutnya sama. Larutan titran yang digunakan harus
1000
dicatat dan dihitung menggunakan rumus × Y × 0,1 mg/l dengan keterangan Y
50
merupakan banyaknya larutan 1/80 N Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi dari awal
hingga akhir.
Metode yang digunakan selanjutnya adalah alkalimetri untuk pengukuran CO2
bebas dalam air. CO2 bebas dapat diukur dengan mengambil air sampel menggunakan
botol oksigen dan jangan sampai timbul gelembung udara, air sampel diambil 50 ml dari
botol oksigen dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer secara perlahan dan ditambahkan 3
tetes indikator phenolphtatein (PP). Jika air sampel tidak berubah (bening) maka dititrasi
dengan larutan 1/44 N NaOH hingga menjadi merah muda dicatat volume larutan 1/44
NaOH yang habis digunakan namun jika air sampel berubah warna menjadi pink maka
1000
CO2 bebas = 0. Hasil dari perlakuan dapat dihitung menggunakan rumus ×C ×
50
1 mg/l dengan keterangan C adalah larutan 1/44 N NaOH yang digunakan dalam titrasi.
Metode alkalimetri juga digunakan untuk mengukur alkalinitas suatu perairan.
Alkalinitas dapat diukur dengan mengambil air sampel menggunakan botol oksigen dan
jangan sampai timbul gelembung udara, air sampel diambil 50 ml dari botol oksigen dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer secara perlahan dan ditambahkan 3 tetes indikator
phenolphtatein (PP). Jika air sampel berubah menjadi merah muda, maka dilanjut titrasi
dengan larutan 1/50 N H2SO4 hingga menjadi bening dan dicatat sebagai X ml. Jika warna
tetap bening, maka X=0. Kemudian ditetesi 3 tetes indikator MO dan dititrasi dengan 1/50
N H2SO4 sampai merah bata dan dicatat sebagai Y ml. Hasil dari perlakuan dapat dihitung
1000
menggunakan rumus × (X + Y) × 1 mg/l dengan keterangan X dan Y adalah
50
volume 1/50 N H2SO4 yang digunakan dalam titrasi.
Pengukuran BOD dibedakan menjadi 2, yaitu BOD dan BOD₅. Pengukuran BOD
menggunakan metode winkler seperti untuk mengukur DO namun sebelumnya air sampel
yang telah diambil menggunakan botol oksigen harus terlebih dahulu ditambahkan 1ml
larutan 4N H2SO4, 1-2 tetes 0,1 N Kalium Permanganat setelah penambahan ini akan
berubah warna menjadi merah muda dan ditambahkan lagi 1-2 tetes 0,1 N Ammonium
Oksalat sampai bening kembali. Selanjutnya, ditambahkan 1ml MnSO4, 1ml Reagen O2
dan 1ml H2SO4 kemudian tahapan dilanjutkan seperti pengukuran DO. Hasil catatan
1000
perlakuan dapat dihitung menggunakan rumus 𝑣𝑜𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × (A − B) × 0,1 mg/l dengan
keterangan A adalah hasil analisis O2 terlarut awal dan B adalah hasil analisis O2 setelah
5 hari.
Pengukuran bahan organik menggunkan metode dengan pengambilan air sampel
sebanyak 50 ml yang ditambahkan 2-3 tetes larutan 0,01 N kalium permanganat dan 1-2
ml latutan 6 N H2SO4 hingga tidak berwarna merah muda. Jika sudah hilanh air sampel
ditambahkan 10 ml 0,01 N kalium permanganat dan dipanaskan hingga mendidih. Jika
warna merah muda hilang ditambahkan 0,01 N kalium permanganat dan 10 ml 0,01 N
asam oksalat kemudian didinginkan. Kemudian dititrasi dengan larutan 0,01 N kalium
permanganate lagi hingga terbentuk warna merah muda kembali. Hasil perlakuan dapat
1000
dihitung menggunakan rumus × [{(10 + a) × f} − 10 ]} × 0,3163 mg/l
𝑣𝑜𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
dengan keterangan a adalah titrasi 0,01 N kalium permanganat.
Metode yang digunakan selanjutnya adalah metode gravimetri untuk pengukuran
kandungan padatan tersuspensi total (TSS = Total Suspension Solid) dengan melakukam
pengambilan air sampel dengan volume tertentu yang kemudian air sampel tersebut
disaring menggunakan kertas saring yang sudah ditimbang beratnya. Ketika selesai
disaring, kertas saring yang digunakan dikeringkan kemudian setekah kering ditimbang
1000
kembali beratnya. Hasil perlakuan dapat dihitung menggunakan rumus 𝑣𝑜𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × (B −
A) mg/l dengan keterangan B adalah berat (mg) kertas saring yang sudah digunakan dan
dikeringkan dan A adalah berat kertas saring awal yang belum digunakan.
Parameter biologi digunakan metode penyaringan menggunakan plankton net
dengan menyaring air sampel sebanyak 20 liter dan hasil saringannya ditambahkan
formalin sebesar 4% kemudian setelah diolah dapat dihitung menggunakan rumus H =
ni 2 ni 𝑂𝑖 𝑋 𝑉𝑟 𝑋 𝑛
− ∑N log N untuk diversitas plankton dan N = untuk densitas
𝑂𝑝 𝑋 𝑉𝑜 𝑥 𝑉𝑠 𝑋 𝑃
plankton.
PEMBAHASAN
Parameter Stasiun
1 2 3 4 5 6
Salinitas ( ppt ) 0 3 0 0 0 0
densitas plankton
(indv/L) 13978 9881 8917 7230 2892 5302
1 2 3 4 5 6
Salinitas ( ppt ) 0 0 0 0 0 0
BO 106,276 95,522
96,7878 93,6248 92,9922 91,727 8 6
densitas plankton
5784 6266 8435 5061 5784 7953
(indv/L)
Suhu
28 28 28 28 28
27.5 Suhu Udara
27 27 27 27
(°C)
26
25
1 2 3 4 5 6
Stasiun
35
32 32 32.5
30 30.5
29
28 28 28 28.5 29 29
25 26.5
20
Suhu
Suhu Udara
15 (°C)
10 Suhu Air (°C)
5
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Suhu air pada stasiun 1,2,3,4, 5, dan 6 (estuari) adalah 28; 28; 28; 28,5; 26,5; 29
(dalam oC) dan suhu udaranya yaitu 29; 32; 30,5; 32; 29; 32,5 (dalam oC ). Suhu air pada
stasiun 1,2,3,4, 5, dan 6 (mangrove) adalah 28; 27,5; 29; 28; 29; 29 (dalam oC ). Suhu
udaranya yaitu 27; 28; 28; 27; 27; 30 (dalam oC ).
Perbedaan suhu dari setiap stasiun baik di estuari maupun di mangrove disebabkan
karena partikel air sangat banyak dan partikelnya dapat menyimpan panas atau kalor dari
paparan sinar matahari. Untuk stasiun lain (mangrove) suhu air dan suhu udaranya tidak
terlalu memiliki perbedaan yang signifikan karena kondisi air dari air tawar lebih banyak
dan saat itu kondisi cuaca adalah musim penghujan. Suhu dapat menjadi faktor penentu
flora dan fauna akuatis. Suhu pada setiap stasiun di daerah estuari Pantai Baros masih
terbilang normal karena setiap ikan atau biota perairan diketahui mempunyai suhu optimal
untuk dapat tumbuh secara optimal yaitu berkisar antara 23 oC - 29 oC dengan suhu
optimum 24 oC (Asdak, 2007). Teori menyebutkan bahwa suhu air lebih tinggi dari suhu
udara, disebabkan karena air memiliki kerapatan molekul yang lebih tinggi sehingga
mampu menyimpan panas lebih lama dibandingkan molekul udara (Effendi,2003).
Secara alami, suhu air merupakan lapisan yang lebih hangat karena mendapat radiasi
matahari pada siang hari. Suhu air pemukaan di perairan nusantara umumnya berkisar
antara 28 – 31℃. Oleh karena kerja angin, maka di lapisan teratas sampai kesalaman kira-
kira 50-70 m dapat terjadi pengadukan. Akibatnya, di lapisan kedalaman 50 – 70 m
terdapat suhu hangat yang homogen (28℃). Di perairan dangkal, lapisan homogen ini
berlanjut sampai ke dasar (Nontji, 2007).
Menurut Hardjojo dan Djoko (2005) dalam Irawan (2009), suhu air normal adalah
suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme dan
berkembang biak. Suhu yang layak untuk organism berkisar antara 20℃ - 300℃. Dari
data yang dihasilkan dari stasiun 1 sampai 6 (estuari dan mangrove) suhu dapat
mendukung untuk organisme berkembang biak karena suhunya tidak kurang dari 20℃
dan tidak lebih dari 300℃.
25
20 20.5 20.55
18.25
Kecerahan
15 14.5
13.5
10 Kecerahan (cm)
8
5
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Kecerahan
10
8 8
7.25 Kecerahan (cm)
6
4
2
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Perairan alami kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan aktivitas
fotosintesis. Dari grafik diketahui stasiun 4 memiliki kecerahan yang tinggi yaitu 20,55
cm (estuari) dan 16 cm (mangrove). Pada estuari kecerahan terendah terdapat pada stasiun
6 yaitu sebesar 8 cm. Pada mangrove kecerahan terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu
sebesar 8 cm.
Menurut Effendi (2003), rendahnya kecerahan disebabkan tingginya nilai fosfat
pada permukaan air, dimana fosfat merupakan sumber nutrisi utama bagi pertumbuhan
plankton, alga dan mikroorgaisme nabati lainnya sehingga terjadi peningkatan populasi
secara masal pada permukaan air. Namun ada faktor lain yaitu karena pada saat penelitian
kondisi air sungai yang masuk lebih banyak dari air yang berada di awal dan saat itu
merupakan musim penghujan, air tawar yang datang akan berwarna keruh disebabkan
materi tanah yang terbawa dari pinggiran sungai yang terkikis karena derasnya air.
Kecerahan perairan merupakan suatu kondisi yang menunjukan kemampuan
cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Menurut Akrimi (2002)
bahwa kecerahan di bawah 100 cm tergolong tingkat kecerahan rendah. Berdasarkan hasil
praktikum di kawasan Baros memiliki tingkat kecerahan yang rendah karena hasil dari
stasiun 1 sampai 6 baik di estuari maupun di mangrove tingkat kecerahannya kurang dari
100 cm.
2
1.5 1.58
1.24 1.26
1.14 1.14
TSS
1 1.02
TSS ( mg/l)
0.5
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
2
1.72
1.5
1.06 1.06
TSS
1 1
0.86 0.94
TSS ( mg/l)
0.5
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir,
lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa
komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun
komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel anorganik. Dari grafik TSS
tertinggi ada pada stasiun 5 (estuari) dan stasiun 1 (mangrove) yaitu sebesar 1580 mg/l
dan 1720 mg/l, terendah pada stasiun 1 (estuari) yaitu 1020 mg/l dan pada stasiun 4
(mangrove) yaitu sebesar 860 mg/l. Menurut Prescod (1973), kandungan padatan tersuspensi
dalam perairan tidak boleh lebih dari 1000 mg/l. Tingginya kandungan TSS dalam perairan akan
mengurangi kedalaman penetrasi cahaya matahari ke dalam air sehingga berpengaruh langsung
terhadap fotosintesis oleh fitoplankton dan pengaruh tidak langsung terhadap keberadaan
zooplankton dalam perairan (Fardiaz, 1992).
10
8.6 8.05
8 7.9
7.5 7.4
6 6.7
DO
4
DO (ppm)
2
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
7
6
5.3 5.8
5 5.2
4.6 4
4
DO
3
2 2 DO (ppm)
1
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari
fotosintesa dan absorbsi atmosfer/udara (Salmin, 2000). Kandungan oksigen terlarut
minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun
(toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
organisme (Swingle, 1968).
Dari grafik stasiun 1 sampai stasiun 6 memiliki kandungan DO yang baik karena
semua stasiun sudah berada diatas 2 ppm. Stasiun 1 (estuari) memiliki kualitas air terbaik
karena kandungan DO yang tertinggi yaitu sebesar 8,6 ppm, dan stasiun 1 (mangrove)
yaitu sebesar 5,3 ppm. Menurut Salmin (2000), semakin banyak jumlah DO (Dissolved
Oxygen) maka kualitas air semakin baik. Jika kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah
akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerobik yang mungkin saja
terjadi.
25
22
20
15
CO2
12 11.75
10 9.44 8.4 8.4 CO2(ppm)
5
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
45
40 40
35
30
25
CO2
20 20
15 14.4 CO2(ppm)
10 12
10
5
0 0.5
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Karbon dioksida adalah senyawa kimia yang terbentuk dari 1 atom karbon dan 2
atom oksigen (CO2), mudah larut dalam air dingin, tidak berbau dan tidak berwarna. CO2
di perairan sangat dibutuhkan oleh tumbuhan baik mikro maupun yang berukuran makro
(tumbuhan tingkat tinggi) untuk proses fotosintesis. Walaupun memiliki peranan yang
penting dalam perairan untuk kelangsungan hidup organisme air, namun kandungannya
yang berlebihan dapat menggangu bahkan menjadi racun bagi organisme di
perairan (Kordi, 2004).
Dari grafik dapat dilihat bahwa stasiun 4 (estuari) memiliki kadar CO2 tertinggi
sebsar 22 ppm, kadar masih dalam batas normal karena kadar CO2 bebas yang bisa
ditolelir oleh ikan adalah lebih dari 5 mg/liter. Dapat pula sebesar 10 mg/liter asal
diimbangi dengan kadar oksigennya. Namun pada stasiun 5 (mangrove) kandungan CO2
sangat tinggi yaitu sebesar 40 mg/liter. Semakin kecil kandungan DO maka kandungan
CO2 semakin besar, begitu pula sebaliknya (Barus, 2002).
150
120 122 125
Alkalinitas
100 99
50 58 51
Alkalinitas (ppm)
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
350
300 290
250
Alkalinitas
200
150 140 Alkalinitas
128
100 (ppm)
78
50 52
0 3.5
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Salinitas
2
1.5
Salinitas ( ppt )
1
0.5
0 0 0 0 0 0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
1
0.9
0.8
0.7
0.6
Salinitas
0.5
0.4 Salinitas ( ppt )
0.3
0.2
0.1
0 0 0 0 0 0 0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Dari grafik
dapat dilihat bahwa salinitas dari stasiun 1 sampai stasiun 6 (mangrove) sebesar 0 ppt atau
dapat dikatakan bahwa air daerah estuari ini adalah air tawar. Pada stasiun 1 sampai 6
(estuari) semua salinitas sebesar 0 ppt, kecuali pada stasiun 2 yaitu sebesar 3 ppt. Salinitas
di daerah estuari memang bersifat fluktuatif, pada kasus ini salinitasnya 0 ppt karena air
tawar yang masuk lebih banyak daripada air payau yang ada didaerah estuari maka saat
dihitung salinitasnya sama dengan salinitas air tawar.
Massa air yang masuk ke dalam daerah estuari pada waktu terjadi air surut hanya
bersumber dari air tawar, akibatnya salinitas air di daerah estuari pada saat itu umumnya
rendah. Pada waktu air pasang, massa air masuk ke dalam estuari sehingga mengakibatkan
salinitasnya naik (Hutabarat dan Evans, 1985).
7.25
7.2 7.2 7.2
7.15
7.1 7.1 7.1
pH 7.05
7 7
6.95 6.95 pH
6.9
6.85
6.8
1 2 3 4 5 6
Stasiun
7.4
7.3 7.3
7.2
7.1 7.1 7.1 7.1
pH
7 7
pH
6.9 6.9
6.8
6.7
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Derajat keasaman (pH) suatu perairan sering digunakan sebagai petunjuk untuk
menyatakan kualitas air sebagai media hidup. Derajat keasaman yang dianjurkan adalah
sebesar 7 (netral). Tinggi rendahnya pH dipengaruhi oleh fluktuasi kandungan O2 maupun
CO2. Tingkat pH lebih kecil dari 4, 8 dan lebih besar dari 9, 2 sudah dapat dianggap
tercemar (Sary, 2006). Data grafik dapat dilihat dari stasiun 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 baik di
estuari maupun di mangrove relatif memiliki pH sekitar 7 dan yang menandakan bahwa
pH pada perairan tersebut netral dan menunjukkan kualitas air baik karena sebagian besar
biota akuatik sensitive terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 - 8,5
(Effendi, 2003).
7
6 6.3
5.9
5
4
BOD5
3 3.3
2.95
2 2.05 BOD5
1.5
1
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
5
4.5
4
3.4
3
BOD5
2.8
2 2 2
BOD5
1
0.6
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
BO
86 85.401 84.7684 BO
84
82
80
1 2 3 4 5 6
Stasiun
110
105 106.277
100
96.7878
BO
95 95.523
93.625 92.99291.727
90 BO
85
80
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Dari grafik diatas stasiun 4 (estuari) memiliki tingkat BO tertinggi yaitu sebesar
92,3596 dan pada mangrove kandungan BO tertinggi ada pada stasiun 5 yaitu sebesar
106,277 yang menunjukkan bahwa pada perairan tersebut banyak terdapat sumber energi
karena bahan organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme
yang hidup di dalam tanah perairan. Mikroorganisme perairan saling berinteraksi dengan
kebutuhannya akan bahan organik karena bahan organik menyediakan karbon sebagai
sumber energi untuk tumbuh. Bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan
aktivitas mikroorganisme (Effendi, 2007).
4 3.50061592
3.39067985
Diversitas Plankton
2
3 3.24849635 3.18872187 7
5 6
2 1.59805387
1 0.922192386 Diversitas
1
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
4.00000 3.52526
Diversitas Plankton
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa stasiun 3 (estuari) dan stasiun 5 (mangrove)
memiliki diversitas plankton paling tinggi dari stasiun lainnya, yaitu sebesar 3,500 dan
3,564. Hal tersebut menunjukkan bahwa stasiun 3 (estuari) dan stasiun 5 (mangrove)
memiliki kualitas air yang baik. Keanekaragaman jenis merupakan parameter yang biasa
digunakan dalam mengetahui kondisi suatu komunitas tertentu, parameter ini mencirikan
kekayaan jenis dan keseimbangan dalam suatu komunitas (Pirzan, 2008).
16000
14000 13978
Densitas Plankton
12000
10000 9881
8917
8000
7230
6000 Densitas
5302
4000
2892
2000
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Gambar 23. Grafik Densitas Plankton vs Stasiun (estuari)
9000
8435
8000 7953
7000
Densitas Plankton
6000 6266
5784 5784
5000 5061
4000
3000 Densitas
2000
1000
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
KESIMPULAN
Akrimi. 2002. Teknik Pengamatan Kualitas Air Stasiun Lido. Balai Riset Perikanan
Perairan Umum, Palembang.
Alaerts. 1987. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya.
Asdak. 2004. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Dahuri. R., J. Rais., S. P. Ginting. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Irawan. 2009. Faktor-Faktor Penting dalam Proses Pembesaran Ikan di Fasilitas Nursey
dan Pembesaran. ITB Press, Bandung.
Kordi. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Bina Adiaksara, Jakarta.
Millero, F.J., M.L. Sohn. 1992. The Carbonate System. In F. J. Millero and M.
L.. Sohn, Chemical Oceanography. CRC Press, Boca Raton, Fla, page 267-
319.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Fourth Edition. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Pirzan, A.M. dan Petrus Rani Pong-Masak. 2008. Hubungan Keragaman Fitoplankton
dengan. Kualitas Air di Pulau Bauluang, Kabupaten Takalar, Sulawesi
Selatan. Jurnal Kementrian Perikanan dan Kelautan.
Prawirohartono, Slamet. 2004. Sains Biologi 3. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara
Karang dan Teluk Banten. Dalam : Foraminifera Sebagai Bioindikator
Pencemaran, Hasil Studi di Perairan EstuarinSungai Dadap, Tangerang
(Djoko P. Praseno, Ricky Rositasari dan S. Hadi Riyono, eds.) P3O - LIPI hal
42 – 46.
Sary, 2006. Bahan Kuliah Manajemen Kualitas Air. Politehnik vedca: Cianjur.
Swingle, H.S. 1968. Standardization of Chemical Analysis for Water and Pond Muds.
F.A.O. Fish, Rep. 44, 4 , 379 - 406 pp.
Tarigan, M.S, dan Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total
Suspended Solid) di Perairan Raha. Makara, Sulawesi Tenggara.