Anda di halaman 1dari 83

Na’rif Oleh sebab itu, sangat tepat kiranya jika UU No.

20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas kemudian mengamanatkan
agar sektor pendidikan diberikan angga-ran 20 persen
Redaksi dari APBN. Sampai saat ini, hal itu memang bisa
direalisasikan secara penuh. Setahap demi setahap,
Pembaca yang budiman, di tahun 2005 kita telah pemerintah bersama-sama masyarakat memang sedang
dikejutkan dengan berbagai peristiwa yang cukup melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan mutu
memperihatinkan. Awal tahun 2005 tidak dimeriahkan pendidikan. Berbagai perubahan terjadi di sana-sini,
dengan berbagai pesta kegembiraan sebagaimana kita mulai dari sistem akreditasi, pemberian bantuan untuk
lihat di tahun-tahun sebelumnya. Barangkali, melalui pendidikan, peningkatan kesejahteraan tenaga
berbagai peristiwa yang telah kita alami, Tuhan kependidikan dan sebagainya –meskipun belum bisa
memberi peringatan kepada kita untuk lebih mawas dikatakan maksimal. Butuh waktu yang lama untuk
diri, dan selalu melakukan instrospeksi atas apa yang membenahi masalah pendidikan yang dialami bangsa ini.
selama ini kita perbuat. Belum lagi kalau kita melihat bahwa pendidikan, dari
Memasuki tahun ini, kita juga harus membuat penilaian banyak segi terutama faktor ekonomi, belum bisa
atas masa lalu kita selama tahun 2004, dengan diakses secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
mempertanyakan apakah semuanya benar-benar lebih Alhasil, masalah pendidikan kita masih begitu banyak
baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ataukah kita masih dan tidak bisa ditunda-tunda lagi penyelesaiannya.
berjalan di tempat, tanpa perubahan yang berarti, atau Jurnal Ma’arif edisi kali ini mengajak para pembaca
malah justru lebih merosot dibanding sebelumnya. untuk merenungkan kembali suasana pendidikan kita,
Berbicara mengenai apa yang telah kita lakukan, tentu khususnya di lingkungan Nahdliyyin, dalam kaitannya
juga terkait dengan persoalan kualitas sumber daya dengan cita-cita peningkatan mutu pendidikan bangsa
manusia (SDM) yang kita miliki. Sebagai bangsa, kita kita yang kini menjadi salah satu agenda prioritas, baik
pantas terpukul ketika beberapa waktu yang lalu, di lingkungan pemerintah maupun masyarakat. Untuk
berbagai hasil penelitian melaporkan bahwa kualitas itu, pada rubrik khazanah disajikan ulasan mengenai
SDM kita begitu rendah dibanding bangsa-bangsa lain. diskusi yang berkembang pada dialog antara Lembaga
Dari sekian banyak penelitian yang memfokuskan Pendidikan Ma’arif NU, Departemen Agama RI, dan
masalahnya pada kualitas sumber daya manusia yang Departemen Pendidikan Nasional RI, pada tanggal 28 Juli
dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia, umumnya 2004 di Jakarta, dengan tajuk “Menyambut Tahun Mutu
menyatakan bahwa tinggi rendahnya kualitas SDM amat Pendidikan 2005”. Dalam dialog tersebut dibahas
ditentukan oleh pendidikan yang dipraktekkan oleh berbagai persoalan menyangkut kondisi kependidikan di
suatu bangsa. Semaikin tinggi kualitas pendi-dikan, lingkungan NU yang notabene merupakan organisasi
maka semakin tinggi kualitas SDM suatu bangsa; begitu sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, namun sebagian
juga sebaliknya. besar warganya terdiri dari masyarakat akar rumput.
1 2
Padahal, potensi yang dimiliki organisasi ini amatlah Selanjutnya, untuk mendorong semangat pendidikan di
besar, tidak saja dari segi jumlah warganya yang begitu lingkungan NU, edisi ini juga menampilkan profil pondok
banyak, tetapi juga karena organisasi ini ditopang oleh Pesantren Al Hikmah 2 yang berlokasi di desa Benda Kec.
basis komunitas pendidikan pendidikan tradi-sional yang Sirampog Kab. Brebes Selatan, secara lengkap dalam
bernama pesantren. Hanya saja, selama ini dirasakan Rubrik Shurah. Rubrik Maraji’ membahas esai-esai
bahwa pe-santren belum mempunyai keterpaduan yang Sosiologi Agama, karya Abdul Aziz, MA yang diterbitkan
begitu kuat dengan pendidikan formal yang pada tahun 2004. Tinjauan buku yang ditulis oleh
dikembangkan di ling-kungan NU, sehingga masing- Redaktur Pelaksana Ahmad el Chumaedy, membedah
masing masih berjalan sendiri-sendiri. secara mendalam isi dari buku tersebut. Selamat
Rubrik Ma’rifat memperluas pembahasan itu melalui Membaca. 
penyajian tiga makalah, yaitu: Reorientasi Pendidikan Khazanah
pesantren (Drs. H. Abd. Aziz, MA); Siner-gi Madrasah:
MEMBINCANG ISU-ISU STRATEGIS PENDIDIKAN
Konsep Pengembangan dan peningkatan Mutu (Asep Opik
Ak-bar); dan Pendidikan NU Pasca Mukta-mar XXXI NU NU:
di Solo (Drs. Aceng Abdul Aziz). Sebagai bahan MENUJU PENDIDIKAN BERMUTU
pengembangan wawasan yang berkaitan dengan masalah
makro umat Islam, Ma’arif edisi ini menyajikan artikel Laporan Redaksi
ilmiah pada rubrik Turats. Yang ditulis oleh Marzuki
Wahid dan Abdul Muqsith Ghozali, dengan Judul Relasi
Agama dan Negara: Perspektif Pemikiran Nahdlatul Mukaddimah
Ulama. Rubrik Silaturrahim, menyajikan hasil
wawancara Jurnal Ma’arif dengan Drs. KH. Nadjid Sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di
Muchtar, MA (Ketua PP LP Ma’arif NU) yang membahas Indonesia, Nahdlatul Ulama dalam perjalanannya telah
pemaknaan kembali “manusia unggulan” (al-insan al- banyak mengukir prestasi membanggakan di berbagai
kamil) yang merupakan tujuan pendidikan NU, aspeknya. Bahkan, lahirnya Indonesia itu sendiri salah
disamping juga sekaligus menyoroti perkembangan satunya dibidani oleh kiprah warganya dalam merebut
pendidikan NU dewasa ini, khususnya yang berada dalam kemerdekaan dari cengkeraman kekuasaan tentara
jalur formal di luar pesantren. Di samping itu, rubrik ini kolonial. Makanya, tak heran jika posisi warga
juga menampilkan biografi singkat dari salah seorang nahdliyin—yang selalu dicitrakan tradisionalis ini—
Ketua PP LP Ma’arif NU masa khidmat 1999-2004 yang ternyata diperhitungkan di antara organisasi-organisasi
kini menjabat sebagai Sekretaris Jendral PB Nahdlatul selevelnya. Di samping tentu saja selalu mewarnai
Ulama. perjalanan bangsa selanjutnya.

3 4
Peran warga nahdliyin yang begitu besar tersebut tentu Menyambut Muktamar PBNU XXXI, Solo, Jawa Tengah
bukanlah hasil yang instan, melainkan proses panjang Pada bulan November 2004 di Solo, Jawa Tengah,
yang telah dihadapi dalam setiap babak-babak
Muktamar PBNU XXXI kembali digelar. Berbeda dengan
sejarahnya. Tidak sedikit aral yang merintangi lokomotif forum basa-basi yang biasanya berlangsung di warung
organisasi ini, tetapi hal itu justru semakin
kopi, momentum Muktamar selalu menyajikan menu
mematangkan epistemologi dan gerak maju warganya yang begitu beragam dan serius. Tapi jangan salah, ini
untuk terus mewarnai dan mengukir kebanggaan bagi
bukan soal makanan, melainkan sederetan daftar
bangsanya. Kalau demikian, apa sesungguhnya yang masalah yang akan didilahap habis para pesertanya.
melatari Nahdlatul Ulama, hingga sedemikian
Forum istimewa dan yang diistimewakan warga
konsistennya dalam mengawal proses pembangunan nahdhiyyin ini, memang selalu ditunggu-tunggu hasilnya.
bangsa di semua perniknya, termasuk yang paling
Pasalnya, ritualitas organisasi yang diselenggarakan lima
penting dalam sebuah bangunan negara-bangsa (nation- tahunan ini memang sejak awal diharapakan
state), yaitu dalam pembangunan moral dan akhlaqul
menghasilkan produk-produk pemikiran segar yang
karimah (moral building) warga negara? Pertanyaan mampu menjawab pelbagai problem keagamaan dan
inilah yang sekilas akan dikupas dalam rubrik ini.
sekalius sosial-kemasyarakatan yang merajam selama
Asumsinya adalah, bahwa faktor yang sangat penting lebih dari lima tahun terakhir. Menariknya, Muktamar
dalam proses pembangunan bangsa adalah sumbangsih
bukan sekedar ritualitas organisasi untuk mengganti
NU dalam mempersiapkan sumber daya manusia (human
kepengurusan lama, dengan kepengurusan baru. Lebih
resource) yang berkualitas dan berakhlakul karimah. dari itu, Muktamar menjadi momentum strategis dalam
Fungsi inilah yang selama ini diperankan oleh lembaga-
menyingkap problem kebangsaan mutakhir. Untuk
lembaga pendidikan yang tersebar di sekian banyak basis selanjutnya, para peserta secara bersama-sama
nahdhiyyin di seluruh Indonesia. Dalam konteks inilah,
membincang ulang problem yang mengemuka, dan pada
PP LP Ma’arif NU adalah lokomotif yang berada pada akhirnya dicarikan solusinya.
garda terdepan pendidikan NU, baik dalam pengertian
kultural maupun struktural. Salah satu yang menjadi agenda penting dalam
Muktamar adalah membincang isu-isu strategis
Melihat betapa pentingnya aspek pendidikan, tentu saja menyangkut dunia pendidikan di lingkungan NU—dalam
persoalan-persoalan menyangkut pendidikan, secara
hal ini yang menjadi tanggung jawab PP LP Ma’arif NU.
langsung juga menjadi hal yang mutlak diselesaikan. Sebab, diakui ataupun tidak pendidikan menjadi
Oleh karena itu, rubrik ini secara khusus menampilkan
problem akut yang menjadi keprihatinan banyak pihak,
diskursus menyangkut isu-isu strategis dunia pendidikan bukan hanya di kalangan internal NU, melainkan juga
mutakhir, terutama yang berada di lingkungan PP LP
secara umum bagi seluruh elemen bangsa. Sehingga,
Ma’arif NU. forum Muktamar dianggap sebagai ruang yang paling

5 6
strategis bagi upaya pemecahan masalah pendidikan, Mengomentari apa yang disebutkan ketua umum PP LP
utamanya yang selama ini menggurita di lingkungan NU. Ma’arif NU di atas, KH. M. Tholchah Hasan memandang,
bahwa selama ini NU nampaknya mengalami
ketidakseimbangan dalam memandang tokoh-tokohnya
Pendidikan NU dalam Perspektif sendiri. Dalam arti, secara organisasional NU cenderung
Dalam konteks inilah, belum lama ini PP LP Ma’arif NU membatasi komunikasi formal maupun non-formal,
(28/07/2004) mengadakan forum silaturrahim hanya pada sektor-sektor struktural an sich. Padahal,
pendidikan dengan tajuk, ”Menyambut Tahun Mutu sebetulnya banyak sekali kekuatan NU yang bisa
Pendidikan 2005”. Forum yang dihadiri oleh banyak diharapkan kontribusinya bagi pelaksanaan program-
komponen ini, yaitu di antaranya oleh pengurus PBNU, program keagamaan dan kemasyarakatan NU, yang di
pengurus PP LP Maa’rif NU, unsur Depdiknas, unsur antaranya adalah pada bidang pendidikan. Ke depan, NU
Depag, dan lainnya, membincang banyak hal lebih baik menyibukkan dirinya dengan persoalan-
menyangkut kondisi obyektif dunia pendidikan, persoalan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan
utamanya lembaga-lembaga pendidikan yang berada di warganya. Ini bisa dilakukan salah satunya dengan
lingkungan NU. Di antaranya, seperti diungkapkan Drs. mengurangi arus keterlibatan NU dalam politik
Nadjid Muchtar, MA. (Ketua Umum PP LP Ma’arif NU), kekuasaan atau politik praktis. PP LP Ma’arif NU masa
bahwa berbagai kebijakan pendidikan yang dikeluarkan bakti 1999-2004, memang telah mampu membuat jarak
PP LP Ma’arif NU, terkait dengan upaya peningkatan dengan “kekuasaan” sehingga tidak menyibukkan dirinya
mutu pendidikan, pada dasarnya baru mulai pada taraf ke dalam kepentingan-kepentingan politik praktis. Yang
sosialisasi. Tentu saja langkah ini ke depan perlu dilakukan PP LP Ma’arif NU selama ini merupakan
ditindaklanjuti dengan menciptakan kondisi atau terobosan baru dalam melakukan komunikasi dan
suasana kependidikan yang efektif dan efisien yang konsolidasi organisasi dengan kekuatan-kekuatan non-
secara langsung dialami satuan-satuan pendidikan yang struktural NU. Oleh karena itu, hal ini perlu dicontoh
ada di lingkungan NU. Beberapa hal yang menjadi oleh lembaga-lembaga lainnya di lingkungan NU.
kendala yang sekarang dirasakan PP LP Ma’arif NU dalam Dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di
meningkatkan mutu pendidikan adalah: [1] ketersediaan lingkungan NU, PP LP Ma’arif ke depan seharusnya lebih
dana yang sangat minim, [2] masih lemahnya konsolidasi mempunyai gagasan-gagasan yang lebih berani. Sebab,
organisasi dan pola hubungan kelembagaan pendidikan selama ini kondisi pendidikan di lingkungan NU masih
antara pengurus Ma’arif dengan penyelenggara satuan terasa timpang, dalam arti, bahwa bidang-bidang yang
pendidikan di bawah naungan Ma’arif, serta [3] mutu dikembangkan masih melulu religio-centris (berpusat
sumber daya manusia (human resource) yang belum pada kajian-kajian agama). Padahal, tuntutan
memadai, di samping persebarannya juga belum merata. masyarakat sekarang ini bukan hanya pada disiplin
agama, melainkan yang juga tidak kalah penting adalah
pengembangan bidang-bidang yang diorientasikan pada
7 8
penguasaan sains dan tekhnologi. Dari beberapa penyatuan atap. Dalam situasi kebimbangan semacam
perguruan tinggi yang ada, misalanya, terasa betapa ini, semestinya tidak perlu ada tokoh-tokoh NU yang
dominannya fakultas Tarbiyah dengan jurusan atau terlalu berani mendukung atau menolak penyatuan atap
program studi Pendidikan Agama Islam dan antara madrasah dan sekolah, sebelum PP LP Ma’arif NU
semacamnya. Bidang-bidang penting yang menjadi mempunyai sikap yang tegas mengenai persoalan ini.
prasyarat kemajuan ilmu pengetahuan modern terkesan Dari situ kemudian, PP LP Ma’arif NU ke depan perlu
diabaikan. Oleh karena itu, perlu keberanian untuk dibuat “master-plan” pendidikan yang baku. Dari
melakukan perombakan visi pendidikan di lingkungan sinilah, perlu juga dibuat proyek percontohan
NU. Di beberapa kalangan di lingkungan NU sekolah/madrasah dan perguruan tinggi di setiap daerah
sesungguhnya mulai tumbuh semangat untuk melakukan yang membuka program-program studi yang sesuai
hal itu. Sebagai contoh, di Banjarmasin ada salah satu dengan kebutuhan masyarakat modern atau program
tokoh NU yang dengan perjuangannya bisa membangun yang bisa memberi bekal keterampilan hidup (life skill)
gedung baru senilai kurang lebih 3 (tiga) miliar dan bagi para lulusannya. Banyaknya sekolah tinggi agama
menurutnya bangunan itu kemudian akan digunakan yang mendominasi lembaga pendidikan NU saat ini,
sebagai perguruan tinggi yang membuka bidang-bidang ternyata menimbulkan masalah tersendiri yang perlu
ilmu pengetahuan modern yang diharapkan mampu segera diatasi. Bahkan, bila perlu dilakukan merjer di
membangkitkan gairah kader-kader terpelajar NU dalam antara beberapa sekolah tinggi agama yang ada di
mengambangkan potensi dan keterampilannya, sehingga lingkungan NU, kemudian mengkonsentrasikan pada
menjadi manusia unggulan di bidang teknologi, dengan pengembangan program-program studi lainnya.
tanpa tercerabut dari nilai-nilai agama.
Di samping itu, PP LP Ma’arif NU harus segera
Sementara dalam amatan Prof. Dr. H. Qodri A. Azizy, melakukan upaya penataan aset pendidikan yang
MA, bahwa yang harus dipikirkan sekarang adalah dimilikinya. Sebab, banyak lembaga-lembaga pendidikan
bagaimana merumuskan masalah-masalah yang yang konon semula dimiliki atau manajemennya diatur
berkaitan dengan politik pendidikan. Hal ini terutama oleh Ma’arif, tetapi sekarang tidak jelas statusnya.
karena selama ini banyak masalah pendidikan yang Untuk memajukan sektor pendidikan, maka sarana dan
belum terselesaikan, misalnya soal desentralisasi pra sarana semacam ini seharusnya ditata ulang.
madrasah, soal penyatuan institusi pemerintah yang sehingga bisa menjadi modal besar bagi organisasi untuk
menangani pendidikan, yakni apakah semua satuan memajukan program-program pendidikan.
pendidikan mesti disatukan dalam satu atap dengan
Mengamati persoalan pendidikan di lingkungan NU, Dr.
institusi pemerintah, dan lain sebagainya. Dalam Bahrul Hayat (Direktur Pusat Penilaian Pendidikan
melihat masalah-masalah tersebut, sepertinya belum
Balitbang Depdiknas RI) barangkali lebih melihat dari sisi
ada sikap dan visi yang sama di lingkugan NU. PP LP lain. Baginya, ada beberapa hal yang terkait dengan
Ma’arif NU misalnya, setuju dalam hal desentralisasi
program-program PP LP Ma’arif NU yang berkaitan erat
madrasah, tetapi bagaimana sikapnya dengan masalah
9 10
dengan Depdiknas dan Depag RI. Oleh karena itu, kerjasama yang baik dengan lembaga-lembaga terkait,
ditandatanginya Memorandum of Understandibng (MoU) LP Ma’arif NU diharapkan mempunyai rencana strategis
atau nota kesepahaman tentang peningkatan mutu (renstra) yang terukur dan aplicable, yang bersifat
pendidikan di lingkungan NU, yaitu antara PP LP Ma’arif praktis dan teknis sehingga bisa dilakukan secara nyata,
NU, Ditjen Dikdasmen Depdiknas RI, dan Ditjen Bagai bukan yang bersifat muluk-muluk yang jauh dari
Depag RI, pada 10 Pebruari 2004 yang lalu, sebaiknya jangkauan masyarakat kita (nahdliyin). Renstra itulah
perlu segera ditindaklanjuti dengan program-program kemudian yang menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang
konkret yang bisa dilakukan bersama oleh ketiga terkait untuk melakukan langkah-langkah peningkatan
lembaga tersebut. Langkah pertama adalah dengan mutu pendidikan di lingkungan NU.
membuat rencana kegiatan dalam rentang waktu hingga Bagi Drs. HM. Suparta, MA., hingga saat ini persoalan
bulan Nopember 2004. Kemudian segera dijadwalkan
pendidikan di lingkungan NU memang terasa berat.
pertemuan antara pihak-pihak yang menandatangi MoU Betapa sulitnya memajukan sektor pendidikan di
tersebut. Sehingga, dalam pertemuan itu, nantinya
lingkungan NU. Tetapi hal itu bukan alasan untuk
dibicarakan berbagai kegiatan yang bisa berhenti berupaya. Barangkali, sulitnya memajukan
dikerjasamakan, misalnya seminar pendidikan, workshop
sektor pendidikan di lingkungan NU kira-kira sama
peningkatan SDM kepala sekolah, guru, dan tenaga dengan sulitnya Muhammadiyah mendirikan pesantren.
kependidikan lainnya. Hal senada juga dikemukakan
Namun, semua itu tentu bisa diatasi dengan kerjasama
oleh Prof. Dr. H. Arif Furqon, MA., bahwa sebenarnya
antar warga NU maupun dengan pihak-pihak lain yang
banyak sekali pihak-pihak di luar struktur NU yang siap memperhatikan masalah pendidikan, terutama instansi
memberikan kontribusi pada pelaksanaan program-
pemerintah (Depdiknas dan Depag). Untuk itu, perlu
program LP Ma’arif NU, terutama dari lingkungan perhatian dan kepedulian yang dalam di kalangan warga
Depdiknas RI maupun Depag RI. Namun demikian, hal
NU yang mempunyai akses kebijakan di lingkungan
itu tentu harus dilakukan dengan cara-cara yang legal pemerintah. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan
atau formal menurut aturan main yang ada. MoU yang
pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan di
ditandatangani PP LP Ma’arif NU, Depdiknas RI, dan lingkungan NU, PP LP Ma’arif NU sekarang ini sedang
Depad RI bisa dijadikan sebagai payung untuk
melakukan penyempurnaan materi dan penerbitan buku-
memperoleh bantuan dari instansi yang bersangkutan buku Ahlussunnah Waljama’ah dan ke-NU-an. Bahkan,
untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan
buku tersebut seharusnya lebih dimodifikasi lagi,
Ma’arif NU. Kita harus mulai memperlebar komunikasi sehingga pangsa pasarnya tidak terbatas pada kalangan
kita dengan orang-orang NU yang berada di luar struktur
NU saja, tetapi bisa menjadi sumbangan khazanah bagi
NU, sebagaimana disinggung oleh Bapak KH. M. Tholchah sejarah dan pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Prof.
Hasan. Sebab, pada dasarnya mereka juga mempunyai
Dr. H. Qodri A. Azizy, MA., wacana yang ditawarkan
visi dan misi yang sama dengan NU dan siap berjuang dalam buku “Islam Ahlussunnah Waljamaah: Sejarah,
untuk kepentingan NU. Untuk bisa mewujudkan
Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia” yang akan
11 12
diterbitkan PP LP Ma’arif NU, sebaiknya perlu diperkaya bukan masalah bagi Ma’arif NU. Karena hal yang sama
dengan wawasan Ahlussunnah Waljama’ah versi juga ditemukan di Muhammadiyah. Persoalannya adalah,
Maturidiyah. Karena selama ini, wawasan yang bagaimana LP Ma’arif NU bisa membuat regulasi
dikembangkan di lingkungan NU terlalu Asy’ariah- keasetan dan manajeman yang harus dijalankan di
sentris. Padahal, untuk urusan-urusan pemikiran dan lingkungan pendidikan NU. Di samping itu, kalau
kemajuan, lebih cocok merujuk pada paham memungkinkan, harus ada political will untuk secara
Maturidiyah. Menurutnya, sikap “jabariyah” warga NU tegas melakukan akreditasi status “kema’arifan” dari
selama ini, terutama dalam urusan-urusan satuan-satuan pendidikan yang ada di lingkungan NU.
kemasyarakatan dan ekonomi-politik, sedikit banyak Sebab, hanya dengan langkah inilah LP Ma’arif NU bisa
disebabkan oleh pandangan dan ideoginya yang terlalu memetakan kualitas pendidikan di lingkungan NU.
Asy’ariyah.
Masalah lain yang cukup krusial adalah hubungan antara
Sementara menurut Prof. Dr. H. Achmad Shodiki, SH, LP Ma’arif NU dengan satuan-satuan pendidikan
MA, paling tidak ada dua hal yang perlu binaannya. Menurut Prof. Dr. H. Arif Furqon, MA.,
dipertimbangkan oleh PP LP Ma’arif NU, yaitu: [1] Untuk selama ini memang belum bisa dijalankan peran dan
memajukan pendidikan di lingkungan NU, langkah fungsi keterkaitan antara keduanya. LP Ma’arif NU
pertama adalah dengan membuat pencitraan positif. Hal sebagai payung organisasi pendidikan di NU sebaiknya
inilah yang akan membuat LP Ma’arif NU mempunyai memulai langkah ini dengan memberikan kontrisbusi
tempat di hati masyarakat. Oleh karena itu, perlu pada marasah/sekolah ataupun perguruan tinggi
diupayakan bagaimana menciptakan pamor terhadap binaannya. Kontribusi itu sendiri tidak harus bersifat
satuan-satuan pendidikan di lingkungan NU, sehingga finansial, tetapi bisa dalam bentuk konsultasi atau
terkesan membanggakan. Hal ini bisa dilakukan dengan asistensi manajemen pengelolaan pendidikan di
sosialisasi atau “marketing issue” yang berkaitan dengan dalamnya. Hal ini juga dikemukakan oleh Drs. H. Irfan,
program-program pendidikan LP Ma’arif NU. Meskipun MA., bahwa selama ini masyarakat, terutama warga
demikian, yang lebih penting lagi adalah, bagaimana nahdiyyin cenderung tidak memahami apa sesungguhnya
membenahi kualitas internal lembaga pendidikan di makna keterkaitan antara satuan pendidikan NU dengan
lingkungan NU, baik secara organisasional maupun dalam LP Ma’arif NU—sebagai payung organisasi pendidikan di
hal kegiatan belajar mengajar. Tentunya yang dilakukan lingkungan NU. Mereka juga kadang bertanya, apa yang
di satuan-satuan pendidikan NU, baik proses maupun bisa diperoleh ketika mereka harus bergabung dan
program-program studi yang dijalankannya. Di sinilah, bernaung di bawah payung LP Ma’arif NU. Bahkan,
lembaga pendidikan di lingkungan NU perlu dengan berada di bawah payung Ma’arif NU, mungkin
mengembangkan program-program studi yang berkaitan sebagian mereka merasa bahwa kondisi sekolah atau
dengan teknologi modern, sekaligus sebagai respon atas madrasah tetap kurang bagus, seolah tidak ada manfaat
tuntutan dan kebutuhan masyarakat sekarang ini. [2] signifikan sebagaimana diharapkan, ketika bergabung
Adanya tiga tipe satuan pendidikan NU, sebenarnya dengan LP Ma’arif NU. Membaca persoalan ini, LP
13 14
Ma’arif NU seharusnya melakukan langkah-langkah Untuk mewujudkan harapan warga nahdhiyyin, menurut
pendampingan (asistensi) dan advokasi kepada satuan- KH. M. Tholchah Hasan, LP Ma’arif NU perlu membuat
satuan binaannya. Sehingga mereka bisa memahami prioritas pengembangan pendidikan yang berjalan
betul, sekaligus merasakan manfaat yang signifikan selama ini. Paling tidak, dibuat pengukuran capaian,
ketika mereka berafiliasi dengan Ma’arif NU. misalnya dalam jangka lima tahun mendatang, baik itu
Berkaitan dengan kenyataan adanya tiga model lembaga berkaiatan dengan pendidikan dasar, menangah,
ataupun pendidikan tinggi. Kemudian, beberapa faktor
pendidikan yang ada di lingkungan NU yang menjadi
binaan Ma’arif NU, Prof. Dr. H. Qodri A. Azizy, MA. yang menjadi penyebab kurang empatiknya masyarakat
terhadap pendidikan Ma’arif NU, tidak terkecuali
berpendapat, bahwa pada dasarnya satuan pendidikan
yang bernaung di bawah Muhammadiyah-pun sama masyarakat NU sendiri di antaranya adalah: [1] Di
lingkungan madrasah/sekolah, maupun perguruan tinggi
dengan yang bernaung di bawah Ma’arif, dan tidak
semuanya menjadi milik Muhammadiyah. Tetapi, ada hal di lingkungan NU masih terjadi salah penempatan (miss-
mact) di sana-sini, misalnya dari segi guru, dosen, atau
yang membuat satuan-satuan pendidikan Muhammadiyah
amat terikat dengan organisasi induknya, yaitu adanya tenaga kependidikan lainnya. Banyak guru atau dosen
menangani bidang pelajaran atau mata kuliah yang
sistem “akreditasi” dan “perlakukan” tertentu dari
Muhammadiyah terhadap satuan pendidikan binannya. sesungguhnya bukan disiplin yang dikuasainya. [2]
Kebanyakan warga nahdhiyyin adalah masyakarat kelas
Sehingga, hal itu memunculkan semacam kewajiban-
bawah (grass root) yang dalam hal pendidikan tentu saja
kewajiban tertentu yang harus dijalankan oleh satuan-
satuan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Sebab, mengharapkan perbaikan-perbaikan ekonomis dan
jaminan masa depan yang menjanjikan. Sementara itu,
jika ada satuan pendidikan tidak memenuhi kewajiban-
kewajibannya, maka keterikatan itu lepas, dan kita membuka bidang-bidang pendidikan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan kebanyakan masyakarat.
Muhammadiyah-pun lepas tanggungjawab untuk
memberikan bantuan-bantuan dari satuan pendidikan Pendidikan yang selama ini tersedia di lingkungan NU
terlalu didominasi oleh bidang-bidang agama, khususnya
tersebut. Ketegasan sikap semacam inilah yang
membuat satuan-satuan pendidikan di Muhammadiyah bidang Tarbiyah (Pendidikan Agama Islam). Lebih parah
lagi, bidang yang tidak terlalu “marketable” ini diurus
berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan oleh
organisasi induknya. Dalam konteks Ma’arif NU—dengan dengan manajemen yang tidak efektif dan profesional.
Karenanya, wajar jika orang lebih memilih, misalnya
segala kondisinya—sebenarnya bisa dilakukan upaya-
upaya serupa, misalnya dengan penyampaian informasi bidang politeknik, akademi-akademi, karena bidang-
bidang tersebut lebih menjanjikan keahlian dan peluang
yang ada kaitannya dengan peningkatan mutu
pendidikan, baik berupa bantuan atau pun lainnya. kerja tertentu. [3] LP Ma’arif NU sementara ini belum
membudayakan profesionalisme dalam pengelolaan
Mungkin ini yang bisa dijadikan sebagai pengikat bagi
satuan-satuan pendidikan di lingkungan NU. (manejemen) satuan pendidikannya. Sehingga, hal ini
kemudian menjadikan LP Ma’arif NU tidak mempunyai

15 16
standar yang jelas dalam menentukan satuan pendidikan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikannya. Di
unggulan, menengah, dan rendah. Oleh karena itu, di samping menggalang dana sukarela dari masyarakat
masa mendatang, paling tidak dalam jangka lima tahun secara teratur, LP Ma’arif NU juga harus menjaring para
ke depan, LP Ma’arif NU hendaknya memprioritaskan donatur tetap dari kalangan nahdliyin yang dari segi
program-programnya untuk membenahi masalah- ekonomi termasuk golongan mampu.
masalah tersebut.
Di samping itu, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Merespon Isu-Isu Strategis Pendidikan Nasional
H. Arif Furqon, MA., bahwa di masa-masa mendatang,
Mutakhir
LP Ma’arif NU harus bisa membuat desain atau model
pendidikan NU, tetntunya sesuai dengan yang I. Badan Hukum Pendidikan
diharapkan oleh warganya. Dengan demikian, model, Masalah Badan Hukum Pendidikan (BHP) belakangan ini
lulusan dan proses pendidikan yang diidealkan NU, bisa nampaknya menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
dirumuskan dalam bentuk-bentuk yang nyata, sehingga Persoalan ini memang bukan persoalan baru, barangkali
capaian yang dihasilkan bisa terukur. Jadi, peran LP bedanya sekarang ini memunculkan semacam nuansa
Ma’arif NU tidak sebatas pada penambahan kurikulum baru bagi dunia pendidikan nasional. Perbincangan
Ahlussunnah Waljama’ah dan Ke-NU-an saja, tetapi tentang BHP semakin mencuat di permukaan, seiring
harus integral dalam seluruh aspek pendidikan yang dengan mengorbitnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang
dijalankannya. Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Dalam Bab XIV
Drs. H. Abdurrahman Saleh, APU dalam hal ini lebih tentang pengelolaan pendidikan, terdapat bagian khusus
melihat, bahwa berbagai pemikiran tersebut sebaiknya yang bejudul Badan Hukum Pendidikan. Istilah BHP,
ditindaklanjuti dengan pembentukan tim-tim kerja, pertama kali muncul dalam PP No 61/1999, tentang
terutama untuk membuat rumusan-rumusan program Penetapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yang
kongkret yang akan dilakukan PP LP Ma’arif NU, bersama didefinisikan sebagai badan hukum yang mengatur PTN
dengan lembaga-lembaga lainnya. Adapun mengenai berbadan hukum milik negara, yang mengatur
aspek pembiayaan kegiatan-kegiatan, bisa diupayakan kelembagaan dan kewenangan perguruan tinggi (PT).
dengan penggalangan dana dari warga NU sendiri. BHP dalam pengertian ini, meskipun tidak dijelaskan
Sebab, dengan aset warga yang cukup banyak (sekitar 40 tentang kejelasan status hukum dan wewenangnya
juta jiwa), LP Ma’arif NU seharusnya mampu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, agaknya tidak
membangkitkan kesadaran warga nahdhiyyin untuk ikut terlalu bermasalah bagi pendidikan-pendidikan swasta
ambil bagian dalam upaya memajukan pendidikan di NU, yang umumnya bernaung di bawah yayasan.
melalui kontribusi dana secara gotong royong. Sebab, Hal itu amat berbeda dengan apa yang disebutkan dalam
tanpa dukungan finansial yang cukup, mustahil bagi LP UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Bab XIV pasal
Ma’arif NU untuk bisa berbuat banyak dalam 53 disebutkan, bahwa:

17 18
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal pendidikan merasa ruang geraknya terlalu dibatasi,
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat bahkan menyangkut wewenang dan kebijakannya.
berbentuk badan hukum pendidikan Meskipun hal ini kadang-kadang dilandasi oleh sikap
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud kehati-hatian yayasan, tetapi seringkali hal itu
memunculkan kesan tidak adanya kepercayaan (trust)
dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan kepada peserta didik. yayasan terhadap pengelola operasional dari satuan
pendidikan yang bernaung di bawahnya.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
Lain halnya dengan lingkungan yayasan yang lebih mirip
dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola
dana secara mandiri untuk memajukan satuan dengan ”yayasan” milik keluarga, di manajemennya
secara keseluruhan hanya melibatkan sekelompok
pendidikan.
kerabat saja. Yayasan seperti ini terkadang terjerumus
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur pada kepentingan rent seeking and profit oriented
dengan Undang-undang tersendiri meskipun satuan pendidikan yang dikelolanya ditangani
Penjelasan tersebut disambut dengan respon yang secara professional dengan menggunakan pendidikan
beragam oleh masyarakat, terutama di lingkungan bermutu dan berkualitas. Akibatnya, merebak apa yang
pendidikan swasta. Sebab, pasal itu mengesankan disebut dengan ”komersialisasi pendidikan”. Semakin
adanya ’generalisasi masalah’ yang mencerminkan banyak satuan pendidikan yang ditangani dengan cara
keberlakuannya secara umum, baik bagi lembaga seperti ini, maka semakin besar jarak antara pendidikan
pendidikan swasta maupun negeri. Padahal, kenyataan dan masyarakat luas dan menjadi sesuatu yang ”elitis”.
di tengah masyarakat menunjukkan, bahwa lembaga- Masalah seperti ini barangkali tidak ditemukan dalam
lembaga atau satuan pendidikan itu mayoritas bernaung lingkungan satuan pendidikan negeri di mana dukungan
di bawah yayasan (swasta). Dari segi prinsip, BHP yang finansialnya dilakukan oleh Pemerintah dan juga orang
dimaksud dalam UU tersebut sama dengan yayasan tua yang tergabung dalam Badan Pengelola Penunjang
sebagai mana dijelaskan dalam UU No. 16 tentang Pendidikan (BP3), dan Persatuan orang tua dan Guru
yayasan. Memang harus diakui, bahwa dalam dunia (POMG) atau organisasi sejenisnya. Di sektor swasta,
pendidikan kita, terutama dalam lingkungan yayasan fasilitasi, dukungan financial dan advokasi satuan
yang diprakarsai oleh banyak pihak, sering terjadi pendidikan dilakukan oleh yayasan dengan dukungan
”benturan” atau tarik-menarik kepentingan dan donatur, dan beberapa di antaranya sangat professional
kekuasaan (vested interest) antara satuan pendidikan, sehingga kualitas pendidikannya bisa diandalkan.
dengan pihak yayasan yang menaunginya. Sebagai Pemberlakukan BHP bagi lingkungan pendidikan negeri
pemilik yayasan merasa berhak untuk mencampuri barangkali tidak terlalu bermasalah, karena
masalah operasional sampai yang ”se-teknis” mungkin. Pemerintahlah yang memilikinya. Meski begitu perlu
Hal itu kemudian membuat pihak pengelola satuan dicatat bahwa dalam beberapa kasus hal ini justru

19 20
mengundang reaksi ”miring” dari beberapa kalangan pendidikan dan kemandirian pendidikan. Sebab,
termasuk manajemen satuan pendidikan negeri sendiri, bagaimananpun Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
terutama perguruan tinggi. Alasannya adalah bahwa mensyaratkan adanya kemandirian
dengan diterapkannya BHP bagi satuan pendidikan sekolah/madrasah/perguruan tinggi sebagai pihak yang
tinggi, maka biaya pendidikan akan menjadi mahal, bersentuhan langsung dengan pengelolaan pendidikan.
karena dukungan finansial dari Pemerintah tentu tidak Dengan adanya BHP yang mandiri, maka diharapkan
akan seperti sediakala. Itulah sebabnya mengapa pengelolaan pendidikan bisa lebih ditangani secara lebih
penerapan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) serius dan dengan demikian, peran masyarakat dalam
bagi perguruan-perguruan tinggi hingga saat ini masih pengelolaan satuan pendidikan lebih bisa ditingkatkan.
berhadapan dengan berbagai kendala baik internal Namun demikian, penyusunan UU BHP sebagai tindak
maupun ekternal.
lanjut dari ketetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Kita tidak berada dalam posisi yang mendukung jika Sisdiknas Bab IV Pasal 53 ayat 4, harus mampu
didirikannya BHP bagi satuan pendidikan justru akan menjelaskan keharusan dan tidaknya lembaga-lembaga
memperberat satuan pendidikan itu sendiri, apalagi atau satuan pendidikan swasta dan negeri untuk
kemudian satuan pendidikan pada akhirnya dianggap menjadikan keberadaanya di bawah badan yang
sebagai sebuah unit usaha yang diharuskan membayar berbadan hukum pendidikan. Sebab kalau tidak, maka
pajak kepada pemerintah sebagaimana layaknya ruang perbedaan penafsiran terhadap keharusan BHP
perusahaan-perusahaan profit yang berorientrasi bisnis. akan semakin besar di masyarakat yang bisa saja
Ini sangat bertentangan dengan pronsip BHP sebagai nantinya akan menimbulkan persoalan-porsoalan yang
lembaga nirlaba seperti dijelaskan dalam UU No. 20 lebih besar bagi penyelenggaraan pendidikan yang saat
Tahun 2003 tentang Sisdiknas. ini sedang berjalan.
Jika demikian yang terjadi, maka BHP hanya akan Di samping itu, agaknya perlu juga diperhatikan adanya
dianggap sebagai upaya untuk menghindari konsekuensi beberapa persoalan yang akan muncul akibat
ketentuan yang berkaitan dengan ”yayasan” yang diberlakukannya UU BHP nanti. Apakah yayasan-yayasan
prinsipnya adalah organisasi sosial nirlaba, di mana ataupun dinas pendidikan di daerah sudah siap
realitasnya saat ini merupakan lembaga yang menaungi menjalankannya? Seberapa besar tingkat kesiapan itu?
satuan-satuan pendidikan. Bagaimana dengan yayasan yang selama ini memiliki
banyak satuan pendidikan, bahkan dari tingkat
Tujuan dari BHP adalah agar akuntabilitas dan mutu
pendidikan yang dikelola oleh satuan pendidikan dapat pendidikan usia dini, dasar, menengah dan perguruan
tinggi?
lebih dipertanggungjawabkan pada masyarakat. Sebagai
pihak yang bertanggungjawab, baik Pemerintah dan Bukan penyelesaian masalah jika yayasan yang memiliki
masyarakat tentu memerlukan kerjasama yang baik dan satuan pendidikan saat ini kemudian harus berubah
simultan dalam menunjang upaya peningkatan mutu statusnya menjadi badan hukum pendidikan. Yang bisa

21 22
dilakukan adalah bagaimana yayasan itu tetap eksis dan Masyarakat (Community Based Education, selanjutnya
menjalankn fungsinya sebagaimana diatur dalam UU No. ditulis PBM) merupakan dua hal yang satu sama lain
16 Tahun 1999 tentang yayasan (dengan tidak bisa dipisahkan. MBS merupakan konsep di mana
mempertimbangkan berbagai usulan perubahannya). sekolah diberi keleluasaan dan wewenang yang lebih
Bisa saja nantinya, BHP bersifat independen dalam besar dalam pengelolaan pendidikan. Sementara dalam
urusan pengelolaan pendidikan bagi sebuah satuan konteks PBM, penyelenggaraan pendidikan sangat
pendidikan, sedangkan kepemilikian sarana dan pra mengandalkan tanggung jawab bersama di lingkungan
sarana merupakan tanggungjawab yayasan. Jadi tingkat masyarakat.
independensi BHP adalah dalam hal pengelolaan
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan,
langsung menejemen pendidikan yang terangkum dalam masyarakat di tuntut berperan aktif dalam proses
konsep-konsep manajemen berbasis sekolah. Namun,
pendidikan, baik moril maupun materil. Sebab, untuk
harus ada pemilahan yang jelas antara fungsi Dewan memajukan sektor pendidikan, diperlukan biaya yang
Pendidikan, Komite Sekolah/Madrasah dengan BHP itu
tidak sedikit—bukan berarti pendidikan harus
sendiri. diselenggarakan dengan biaya yang mahal. Oleh sebab
Atas dasar pemikiran seperti itu, maka jika setiap itu, secara konstitusional, UUD 1945 pasal 31 ayat (4)
satuan pendidikan diharuskan memiliki BHP relatif bisa hasil amandemen mengamanatkan, bahwa 20 % dari
diterima di masyarakat, sekalipun, misalnya, sebuah total APBN/APBD dialokasikan untuk sektor pendidikan.
yayasan yang menaungi banyak satuan pendidikan harus Meskipun demikian, dengan melihat kenyataan
membuatkan beberapa akte notaris untuk membentuk sekarang—di mana bangsa Indonesia belum sepenuhnya
BHP bagi masing-masing lembaga pendidikan yang terlepas darti lilitan krisis—pemenuhan angka sebesar
dimilikinya. UU BHP yang akan diberlakukan nantinya itu nampaknya belum bisa dilakukan secara langsung.
harus pula menyinggung posisi, fungsi, wewenang, dan Berdasarkan Rapat Kerja Komisi VI DPR dengan
tanggungjawab yang harus diemban bersama antara Mendiknas, Menkeu, dan Kepala Bappenas pada 16
yayasan, dewan pendidikan, komite Januari 2004, bahwa angka itu baru bisa tercapai kira-
sekolah/madrasah/perguruan tinggi, dan BHP itu kira tahun 2009. Ini karena beban yang harus ditanggung
sendiri, demi mengantisipasi kemungkinan timbulnya negara terlampau berat. Jika saat ini anggaran
masalah-masalah yang menghambat penyelenggaraan pendidikan adalah 3,49 persen dari total APBN atau
pendidikan di masyarakat saat ini. sebesar 15,34 triliun, maka untuk memenuhi angka 20 %,
pemerintah harus menyediakan 87, 76 triliun. Padahal,
di tahun 2004 ini, utang yang harus dibayar pemerintah
II. Dukungan Dana dari Masyarakat untuk Pendidikan adalah sebesar 131,2 triliun atau 149 persen dari
Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Managemen, anggaran pendidikan.
selanjutnya ditulis MBS) dan Pendidikan Berbasis

23 24
Dukungan moril dari masyarakat, dengan adanya memiliki tingkat perkembangan yang lebih baik, bisa
otonomi daerah, otonomi sekolah/madrasah, maupun saja dilakukan subsidi dana untuk alokasi pendidikan.
perguruan tinggi, sedikit demi sedikit mengalami Hasil pembayaran pajak dari perusahaan-perusahaan
peningkatan. Namun dari segi materil, partisipasi besar misalnya, bisa saja sekian persen diberikan untuk
masyarakat terbentur oleh tingkat kemampuan pendanaan pendidikan. Organisasi-organisasi nirlaba
kontribusi ekonomi rata-rata mereka, sehingga sulit juga perlu memberikan kepedulian yang berarti untuk
untuk dilaksanakan, bahkan sampai pada satuan-satuan memperbaiki pendidikan. Di sini bukan seberapa besar
pendidikan negeri di mana BP3 dan POMG belum bisa alokasi yang diberikan untuk dunia pendidikan, yang
memberikan peran yang lebih berarti dalam hal terpenting adalah kesinambungan upaya dalam
pendanaan. menunjukkan sikap kepedulian terhadap masalah
pendidikan. Dengan demikian diharapkan kesadaran
Keharusan dibentuknya BHP bagi satuan-satuan
pendidikan pada dasanya akan menjadikan posisi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
penyelenggaraan pendidikan agar bisa tumbuh lebih
masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan
pendidikan negeri dan swasta menjadi sama. Artinya, baik. Dan di sini perlunya dipertimbangkan adanya pajak
yang dikhususkan untuk pendidikan.
BHP –di satuan pendidikan negeri maupun swasta--yang
dalam hal ini merupakan lembaga independen yang Selain itu jika dipetakan, satuan-satuan pendidikan kita
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan di (selain yang negeri), mempunyai afiliasi yang cukup kuat
satuan-satuan pendidikan, memiliki ruang yang cukup dengan organisasi, perkumpulan, bahkan yayasan yang
besar dalam mengupayakan pendanaan, fasilitasi, dan memiliki cukup banyak anggota, baik dalam skala daerah
advokasi pendidikan. Masalahnya, dalam suasanan krisis (kabupaten/kota), wilayah (provinsi), bahkan nasional.
sekarang ini, sumber-sumber dana semakin berkurang Ini artinya, bahwa ada peluang untuk melakukan
dan tidak mudah dicari. Sementara upaya peningkatan koordinasi penggalangan dana dari masyarakat dengan
mutu pendidikan harus terus berjalan jika masyarakat cara yang lebih efektif melalui organisasi, perkumpulan,
tidak mau ketinggalan. atau yayasan-yayasan tersebut untuk memajukan
pendidikan. Banyaknya anggota yang berada di dalam
Padahal hampir semua komponen menyepakati, bahwa
sektor pendidikan merupakan salah satu agenda organisasi, perkumpulan, atau yayasan-yayasan tersebut
sebetulnya merupakan potensi yang amat besar untuk
priorotas dalam membangun bangsa. Dengan demikian
seharusnya ada upaya-upaya serius dari Pemerintah menggalang pendanaan pendidikan. Organisasi-
organisasi tersebut juga bisa bekerja sama dengan
untuk membiayai sektor ini di setiap lininya (dalam
tenggang waktu menunggu angka 20% dari total APBN pemerintah dalam mengkampanyekan pentingnya
peningkatan mutu pendidikan bagi bangsa Indonesia.
tercapai). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan Pemerintah dalam memberikan subsidi Di masyarakat Islam, kita bisa melihat misalnya,
terhadap sektor pendidikan. Sektor-sektor lain yang Nahdlatul Ulama yang di lingkungan warganya ada

25 26
begitu banyak satuan pendidikan dari semua jenjang pembiyaaan pendidikan melalui BP3. Namun dalam
pendidikan, baik formal maupun non-formal. Begitu juga ketentuan perundangan yang baru ini, peran masyarakat
di Muhammadiyah, Jam’iyah al-Washliyah, al-Irsyad, dapat berbentuk sebagai sumber, pelaksana dan
PUI, GUPPI, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi pengguna hasil pendidikan baik dilakukan secara
ini agaknya bisa lebih efektif jika memprioritaskan perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
program kerjanya pada peningkatan mutu pendidikan di pengusaha, maupun oleh organisasi kemasyarakan dalam
lingkungannya. Di kalangan non-Islam, Katolik menyelenggarakan dan pengendalian mutu pelayanan
mempunyai tradisi yang cukup kuat dalam memajukan pendidikan.
pendidikannya, begitu seterusnya.
Secara operasioal, dalam peningkatan mutu pelayanan
Oleh sebab itu, perlu ada kesepahaman di antara pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan
organisasi dan perkumpulan-perkumpulan masyarakat evaluasi program pelayanan dilakukan melaui dewan
yang ada untuk sama-sama mengupayakan pendanaan pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah. Dewan
bagi dunia pendidikan. Jika, organisasi dan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah mempunyai
perkumpulan-perkumpunan yang ada mampu fungsi untuk memberikan pertimbangan, arahan dan
membangkitkan kesadaran warganya untuk dukungan tenaga, sarana, pra-sarana, serta pengawasan
berpartisipasi aktif dalam pendanaan pendidikan, maka penyelenggaraan pendidikan. Dewan Pendidikan
potensi ekonomi yang amat besar itu akan sangat dibentuk pada tingkat nasional, provinsi, dan
bermanfaat bagi penyelenggaraan pendidikan, serta kabupaten/kota; sementara Komite Sekolah/Madrasah
terbangun komitmen yang tinggi terhadap dunia sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan pada
pendidikan. tingkat satuan pendidikan. Selanjutnya masyarakat juga
dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk
Pemerintah juga perlu memberi prioritas subsidi
terhadap satuan-satuan pendidikan swasta yang memantau dan melakukan evaluasi terhadap proses
kemajuan dan perbaikan hasil belajar secara berkala,
kondisinya masih mamprihatinkan. Tidak perlu lagi ada
pembedaan antara satuan pendidikan negeri dan swasta. menyeluruh, transparan dan sistemik untuk pencapaian
standar nasional pendidikan.
Peningkatan subsidi –sesuai dengan kemampuan yang
ada—oleh pemerintah hendaknya diwujudkan dalam Dengan demikian, kerjasama antara Pemerintah dan
bentuk hibah (blockgrant) secara signifikan dapat masyarakat, terutama melalui lembaga-lembaga
diperuntukkan sebagai upaya ”recovery” bagi pendidikan yang merupakan syarat utama untuk
pendidikan-pendidikan swasta, dengan memberdayakan memperbaiki penyelenggaraan dan kualitas mutu
organisasi-organisasi sosial yang bergerak di bidang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan dapat
pendidikan (nirlaba) yang selama ini ada. diwujudkan.
Di masa lampau, peran serta masyarakat lebih terlihat
dalam menyelenggarakan pendidikan dan bantuan

27 28
II. Desentralisasi Madrasah Bidang tugas pendidikan adalah kewenangan daerah.
Desentralisasi Madrasah merupakan wacana yang Oleh karena itu, penyelenggaraan madrasah juga
kewenangan daerah; [3] Agar tidak terjadi dualisme
berkembang sebagai dampak dari diberlakukannya
sistem otonomi daerah yang perlu mendapat perhatian penyelenggaraan pendidikan; [4] Agar madarasah tidak
terisolasi, sehingga menjadi marjinal; [5] Agar sistem
serius dari berbagai kalangan. Dalam hal ini PP LP
Ma’arif NU mempunyai beberapa catatan penting: mobilitas siswa dan pendayagunaan lulusan madrasah
dapat berlangsung secara optimal; [6] Agar perencanaan
Pertama, sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) pendidikan lebih operasional dan pembiayaan serta
undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan fasilitas yang diperlukan dapat lebih mencukupi
daerah, dinyatakan bahwa kewenangan daerah kebutuhan pendidikan; [7] Agar madrasah dapat
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang mengejar ketertinggalan yang selama ini dialaminya,
pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik sehingga dapat sejajar dan mampu bersaing dengan
luar negeri, pertahanan keamanan peradilan, moneter lembaga pendidikan lain; [8] Agar madrasah tidak
dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. ditinggalkan masyarakat pendukungnya; dan [9] Pada
Kedua, dengan demikian, seluruh bidang tugas daerah-daerah yang belum siap melaksanakan antara
pemerintahan di bidang agama, yang selama ini menjadi lain karena PAD dalam DAU yang tersedia belum
tugas Departemen Agama, adalah tugas pemerintahan mencukupi. Departemen agama agar memberikan
(pusat) yang bersifat sentralistik, yang pelaksanaannya pelayanan yang berkeadilan. Tugas perbantuan dengan
di daerah dilaksanakan oleh perangkat pusat di daerah memberikan kepada daerah yang bersangkutan.
(Kantor Wilayah dan Kantor Departemen Agama Kelima, mengenai kekhawatiran ciri khas agama Islam di
Kabupaten/Kota). madrasah menjadi pudar yang pada gilirannya akan
Ketiga, menjadi permasalahan, apakah penyelenggaraan menjadi sama dengan sekolah-sekolah lain di lingkungan
madrasah merupakan tugas di bidang agama atau tugas Depdiknas. Hal tersebut tidak akan terjadi karena dapat
di bidang pendidikan. Rapat Kerja Lembaga Pendidikan dijaga oleh instansi Departemen Agama di daerah,
Ma’arif Nahdlatul Ulama, secara bulat berpendapat mengingat pengembangan ciri khas agama Islam
bahwa penyelenggaraan madrasah merupakan tugas di merupakan bagian dari substansi agama yang memang
bidang pendidikan. menjadi tugas Departemen Agama.

Keempat, sebagai konsekuensi dari pendapat yang Keenam, kewenangan pemerintah di bidang agama,
demikian, Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif sesuai dengan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 22
Nahdlatul Ulama menegaskan bahwa penyelenggaraan tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, jelas menjadi
madrasah adalah kewenangan daerah, dengan alasan tanggung jawab Departemen Agama. Dalam hal ini,
antara lain: [1] Pembinaan penyelenggaraan madrasah pemerintah (Departemen Agama) dapat melakukan
merupakan bidang tugas di bidang pendidikan; [2] dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang dari

29 30
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah Indonesia untuk melakukan perubahan di segala aspek
dan/atau perangkat pusat di daerah, atau dengan kehidupan, yang pada gilirannya banyak memberi
memberikan tugas perbantuan, yaitu penugasan dari pengaruh bagi kehidupan berbangsa, tidak hanya dalam
pemerintah kepada daerah untuk melaksanakan tugas sektor penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga
tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan semua aspek kehidupan termasuk pendikan. Oleh sebab
prasarana serta sumber daya manusia (SDM) dengan itu, momentum tersebut menjadi kesempatan strategis
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan dan menjadi starting point yang cukup tepat untuk
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. melakukan pembenahan-pembenahan terhadap sektor
Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi madrasah pendidikan.
pada daerah-daerah yang belum siap melaksanakan atau Upaya-upaya yang dilakukan oleh sebagian besar
karena PAD atau DAU yang tersedia tidak mencukupi
masyakarat untuk meningkatkan kualitasi pendidikan
untuk otonomi daerah, maka Departemen Agama dapat sejak bergulirnya era reformasi bukan hanya
mendukungnya dalam tugas perbantuan untuk
dilatarbelakangi munculnya kesadaran akan rendahnya
pembiayaan penyelenggaraan madrasah di daerahnya mutu produk lembaga-lembaga pendidikan yang ada
masing-masing.
dibandingkan dengan negara-negara lain. Ada faktor
Ketujuh, kebijaksanaan Departemen Agama dalam hal yang cukup fundamental yaitu terbangunnya keyakinan
desentralisasi madrasah sudah sangat mendesak. masyarakat, bahwa upaya untuk bangkit dari
Kalangan madrasah mengharapkan adanya petunjuk keterpurukan krisis multidimensional yang berawal pada
pelaksanaan (juklak) di daerah, sekurang-kurangnya medio 1997-an yang lalu, harus dimulai dari dunia
dalam bentuk edaran Menteri Agama tentang pendidikan.
penyerahan kewenangan penyelenggaraan madrasah
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam
kepada gubernur, bupati/walikota di seluruh Indonesia. konteks ini sesungguhnya memperolah kesempatan yang
jauh lebih besar di banding pada masa Orde Baru.
Diberlakukannya produk undang-undang pemerintah
III. Kurikulum
daerah adalah satu sinyalemen, bahwa sekarang ini
Diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 28 pemerintah daerah, baik pada tingkat provinsi ataupun
Tahun 1999 yang secara berturut-turut tentang Otonomi kabupaten/kota memiliki keleluasaan dalam mengelola
Daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah dunia pendidikan sendiri, tanpa harus selalu
pusat dan daerah (provinsi/kabupaten/kota), menandai dikendalikan secara penuh oleh pemerintah pusat.
terjadinya pergeseran yang amat mendasar pada pola Kondisi ini dengan sendirinya memberikan beberapa
pemerintahan di Indonesia, yaitu dari model top-down keuntungan dan peluang yang lebih besar bagi
(instruktif) menjadi buttom-up (partisipatif). Hal ini peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah, dan
merupakan bagian dari perjuangan reformasi bangsa secara khusus peningkatan SDM putra daerah.

31 32
Pemerintah daerah dapat lebih leluasa memberikan koordinasi penyelenggaraan pendidikan dari mulai
kontrol, baik pada taraf proses ataupun hasil pendidikan tingkat dasar, sampai perguruan tinggi di seluruh
di daerahnya. Di samping pada sisi lain, pemerintah Indonesia, PP LP Ma'arif NU dari awal komitmen dan
daerah lebih leluasa mengeluarkan kebijakan pendidikan mendukung sepenuhnya upaya peningkatan mutu
yang disesuaikan dengan kebutuhan (needs), tuntutan, pendidikan nasional. Upaya peningkatan mutu
aspirasi, lokalitas sosial dan budaya daerahnya. pendidikan, tidak cukup sekedar menelorkan produk
perundang-undangan tertentu atau konsepsi pendidikan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) juga memberikan peluang yang yang matang, tapi juga bagaimana mengejewantahkan
itu semua dalam proses penyelenggaraannya.
cukup besar bagi penyelenggara kegiatan pendidikan
untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebab, produk Karena itu, PP LP Ma'arif NU melihat bahwa untuk
undang-undang tersebut memberikan ruang partisipasi mewujudkan pendidikan yang berkualitas, salah satu
yang cukup lebar bagi masyarakat dalam langkah strategis dan fungsional adalah adanya
menyelenggarakan pendidikan, sesuai dengan kebutuhan pemberdayaan seluruh perangkat pendidikan
dan tuntutan masyarakat sekitar. (brainware, software dan hardware) yang dimiliki untuk
Yang langsung berkaitan langsung dengan kegiatan diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan yang
sasarannya adalah mempersiapkan generasi muda yang
belajar mengajar (KBM) adalah bahwa pada tahun 2004
akan diberlakukan kurikulum baru yang lazim disebut memiliki kompetensi (akademik, keterampilan,
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Sejauh mana kepribadian, spiritualitas atau penghayatan terhadap
ajaran agama) dan ketakwaan terhadap Tuhan YME yang
efektifitas pemberlakukan kurikulum ini, memang
membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk diwujudkan dalam sikap dan keterampilan hidup (life
skills) di tengah masyarakat.
mengujinya. Sebab, untuk memberlakukan kurikulum
semacam itu tentu harus ada kesiapan yang solid di Kegagalan pendidikan kita disebabkan salah satunya
kalangan guru maupun siswa, di samping tentunya oleh kurikulum yang terlalu mengandalkan input, dan
perangkat penungjang kegiatan pendidikan lainnya. melaupakan proses serta input seperti apa yang ingin
Maka, langkah awal yang tepat untuk mengefektifkan dicapai dari kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di
kurikulum tersebut adalah dengan cara meningkatkan lembaga-lembaga pendidikan. Inilah ssesungguhnya yang
kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam hendak dicapai dari apa yang populer saat ini dengan
penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru dan siswa. sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Kurikulum Berbasis Kompetensi seharusnya mampu
merangkum kebutuhan-kebutuhan anak didik, baik di
Ulama (PP LP Ma’arif NU) sebagai bagian dari elemen
bangsa, concern pada upaya pencerdasan bangsa dan masa sekarang maupun di masa mendatang. Di samping
itu, kurikulum juga harus mampu mengarahkan pada
penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang berakar dari
semangat religiusitas dan kearifan kultural. Melalui

33 34
pengembangan kepribadian peserta didik menjadi insan sekalipun. Beberapa penelitian memperlihatkan, bahwa
religius, pluralis, humanis, dan bermartabat. peringkat kualitas siswa di negeri kita masih jauh dari
memuaskan, karena masih di bawah kulitas siswa dari
Menyikapi hal ini, di samping menyusun strategi untuk
berperan aktif dalam proses-proses perumusan negeri seperti Malaysia dan Thailand. Dalam hal daya
saing, atau kesiapan kualitas individual dalam
kebijakan berkaitan dengan Kurikulum Nasional, LP
Ma’arif NU juga sedang melakukan perbaikan-perbaikan menyongsong masa depan, anak sekolah di negeri kita
juga masih di bawah anak-nak sekolah negara tetangga
terhadap kurikulum Ahlussunnah Waljama’ah yang
selama ini diberikan secara internal pada satuan-satuan tadi.
pendidikan Ma’arif NU. Langkah pertama yang dilakukan Upaya ke arah peningkatan kualitas memang banyak
LP Ma’arif NU adalah dengan membuat buku sumber dilakukan, baik melalui program pemerintah maupun
yang memuat spektrum pemikiran Ahlussunah program individual sekolah (madrasah). Di beberapa
Waljama’ah dan ke-NU-an secara keseluruhan yang sekolah (madrasah) telah banyak dilakukan program
diberikan kepada peserta didik di satuan-satuan peningkatan kualitas guru atau kemampuan siswa agar
pendidikan Ma’arif NU. Dalam sisa waktu masa khidmah mereka dapat menyerap hasil belajar mereka dengan
1999-2004, Insya Allah sudah dibuat GBPP untuk maksimal. Akan tetapi, masalah pendidikan memang
kurikulum Ahlussunnah Waljama’ah dan ke-NU-an yang bukan hanya itu, sebab yang cukup penting juga adalah
akan diberlakukan secara nasional. [] masih belum terserapnya semua anak usia belajar ke
dalam proses pendidikan yang ada. Oleh karena itu,
Ma’rifat meski pendidikan kita secara umum telah meningkat dan
REORIENTASI PENDIDIKAN PESANTREN: mengalami kemajuan, tetapi di berbagai daerah masih
MEMBANGUN KECAKAPAN HIDUP ditemukan buta huruf (latin). Selain itu, mereka yang
berhasil mengenyam pendidikan pun masih mendapatkan
atau menghadapi masalah lain ketika mereka berhasil
menyelesaikan pendidikannya. Masalah ini terutama
Oleh terkait dengan lapangan kerja yang terbatas. Data BPS
Drs. H. Abdul Aziz, MA tahun 2001 menunjukkan, bahwa dari 1,5 (satu
setengah) juta lulusan SLTA dan PT pencari kerja dalam
setiap tahun, hanya sekitar 1/3 (sepertiga) yang bisa
terserap ke dalam pasar kerja yang ada. Tak heran, bila
sekarang (tahun 2004), menurut BPS—sebagaimana
Pendahuluan banyak dikutip oleh sejumlah media—terdapat sekitar 38
Perkembangan pendidikan di Indonesia memang belum juta "pengangguran".
menggembirakan, mengingat dari berbagai segi masih
ketinggalan dari negara-negara maju, bahkan dari ASEAN
35 36
Masalah lain yang berkaitan dengan pendidikan kita ungkapan sebuah hadis: "Carilah ilmu meskipun sampai
adalah signifikannya jumlah siswa yang mengalami drop- di negeri (yang jauh, seperti) Cina" atau "Carilah ilmu
out. Rendahnya prosentase anak Indonesia yang berhasil sejak dari ayunan sampai masuk liang lahat." Demikian
maju dan lulus ke universitas, bila dibandingkan dengan sebuah hadis yang diyakini kebenarannya oleh umat
jumlah mereka ketika mendaftarkan diri pada jenjang Islam. Dengan penghargaan ini, masyarakat kita
pendidikan dasar. mendirikan berbagai lembaga pendidikan, mulai dari
pesantren sampai perguruan tinggi non-agama.
Penghargaan demikian memang tidak terlepas dari
Pengembangan Life-Skill
pemahaman filosofis kita tentang arti pendidikan
Globalisasi telah membawa banyak dampak (impact) sendiri. Kita paham betul, bahwa pendidikan adalah
yang tak terhindarkan bagi umat manusia di berbagai proses pencerahan (enlightening). Pendidikan adalah
penjuru dunia. Di bidang pendidikan, dengan terbukanya proses pembudayaan dengan membekali manusia dengan
jaringan komunikasi melalui IT (information pengetahuan, mengasah pikirannya dan membentuk
technology), globalisasi bukan hanya sanggup kediriannya agar menjadi manusia yang diridhai Allah
menginformasikan berbagai kemajuan ilmu SWT. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses
pengetahuan, tetapi sekaligus juga menginformasikan memanusiakan manusia agar menjadi makhluk yang
ketertinggalan sebagian manusia dari pengetahuan yang beradab.
berkembang.
Pendidikan dalam pengertian demikian memang menjadi
Selain menghadirkan pengetahuan-pengetahuan baru, pegangan kita semua. Akan tetapi, dengan
globalisasi telah membuat membanjirnya pengetahuan perkembangan yang ada, kita juga harus
yang tidak mungkin setiap orang menyerapnya. Berbagai mempetimbangkan hal lain. Perkembangan yang
ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikian rupa, dimaksud adalah globalisasi, yaitu mendunianya
sehingga spesialisasi di berbagai bidang tak pergaulan dunia. Globalisasi bukan hanya terjadinya
terhindarkan. Sebab, dalam dunia yang mengglobal ini, hubungan antar-manusia dari berbagai belahan dunia
yang diperlukan oleh manusia atau individu bukan hanya atau negara makin terbuka, tetapi kita juga seolah
banyaknya pengetahuan, tetapi juga kedalaman dipaksa untuk mengadopsi nilai-nilai atau norma yang
pengetahuan yang dimiliki. Karena itulah, kemudian dianggap universal dalam berbagai bidang. Apa yang
lahir ahli berbagai ilmu yang secara khusus mendalami dimaksud dengan nilai universal tadi adalah adalah
dan menguasai ilmu tertentu secara spesifik. keterbukaan dan kebebasan untuk berkompetisi. Dua hal
Di kalangan umat manusia, penghargaan terhadap ini telah diaktualisasikan dengan dilahirkannya
pendidikan memang cukup besar, seperti terlihat dari (diputuskannya) AFTA (Asean Free Trade Area) atau
penghargaan kita terhadap orang yang berilmu. Mencari APEC, yang keduanya berkaitan dengan kebebasan
ilmu telah dipahami sebagai keharusan agama, seperti dalam bidang perdagangan. Hal ini pada ujungnya akan

37 38
memaksa kita untuk siap berkompetisi dengan bangsa- yakni pengetahuan yang akan sanggup menopang anak
bangsa lain dalam meraih kepentingan-kepentingan didik dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat.
ekonomi—suatu bidang atau merupakan bagian dari
kehidupan kita. Ini artinya, globalisasi juga menuntut
kita untuk mempersiapkan diri sebagai bangsa yang Apa itu Life-Skill?
berkualitas, cerdas, handal, dan terampil. Karena, Dalam pandangan awam, life skill atau kecakapan hidup
globalisasi bukan saja membuka pintu-pintu yang sering diartikan dengan keterampilan. Akan tetapi,
sebelumnya tertutup, tetapi juga menyodorkan situasi dalam arti yang sebenarnya, konsep ini lebih luas dari
yang cukup keras. sekedar keterampilan. Life skill (kecakapan hidup)
Kenyataan seperti itu pada akhirnya memaksa kita untuk adalah seperangkat pengetahuan yang secara praktis
mempersiapkan diri dalam menghadapi kompetisi di era dapat membekali anak didik (baca: anggota masyarakat)
globalisasi. Dalam menghadapi situasi yang seperti itu, dalam mengatasi berbagai macam persoalan
kita memang tidak boleh pesimis, tetapi juga tidak kehidupannya. Life skill menyangkut aspek pengetahuan
boleh lupa, bahwa bila dibandingkan dengan bangsa sekaligus keterampilan, termasuk sikap yang di
lain, bangsa kita masih mempunyai sumber daya yang dalamnya kebijaksanaan (wisdom). Dalam
kurang mumpuni. Ini artinya, kita harus mulai dan mempraktikkan ilmunya, seseorang bisa mengetahui apa
berani merubah orientasi pendidikan kita. Proses kegunaan ilmu tersebut dan bagaimana
pengajaran jangan hanya ditekankan pada pemberian mengaplikasikannya. Selain itu, siswa juga mengetahui
pengetahuan, tetapi juga harus diarahkan pada rambu-rambu etika, misalnya ketika ilmu tersebut tidak
bagaimana anak didik mempunyai bekal dalam boleh dipraktikkan atau suatu tingkah laku tidak boleh
menjalani kehidupannya di kemudian hari. Karenanya, dilakukan karena bertentangan dengan norma yang
pendidikan jangan hanya sekedar untuk mencerdasakan berlaku. Oleh karena itu, life skill di samping
anak didik, tetapi juga harus diarahkan untuk menyengkut aspek pengetahuan dan keterampilan
membekali mereka dengan keterampilan. Keterampilan (vocational), juga berkaitan dengan pembangunan atau
dimaksud setidaknya untuk membekali anak didik pengembangan akhlak.
dengan pengetahuan praktis, yang bisa menjadi modal Dalam konsep awal, kecakapan hidup (life skill) dapat
bagi mereka dalam mengatasi kehidupan riil mereka. dipilah menjadi lima, yaitu: [1] kecakapan mengenai diri
Dengan keterampilan ini, setidaknya anak lulusan (self awarness) atau disebut juga dengan kemampuan
sekolah mempunyai pengetahuan dan kemampuan lebih. personal (personal skill); [2] kecakapan berfikir rasional
Dengan kemampuan ini, mereka siap memasuki lapangan (thinking skill); [3] kecakapan sosial (social skill);
kerja yang memang memebutuhkan pengetahuan dan kecakapan akademik (academic skill); dan kecakapan
keterampilan praktis. Karena itulah, perlu diperkenalkan vokasional (vocational skill).
apa yang disebut life skill atau keterampilan hidup,

39 40
keputusan (information processing and decision making
Self-Awarness skill); dan [3] kecakapan memecahkan masalah secara
kreatif (creative problem solving skill).
Thinking Skill General Life Skill Kecakapan sosial atau kecakapan interpersonal (social
skill) meliputi: [1] kecakapan komunikasi dengan empati
(communication skill) dan [2] kecakapan bekerja sama
Life-skill (LS) Social Skill (collaboration skill). Di sini, empati, sikap penuh
pengertian dan seni komunikasi dua arah perlu
ditekankan. Sebab, yang dimaksud berkomunikasi bukan
Academic Skill
sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya
Specific Life Skill pesan disertai dengan kesan baik, yang kemudian akan
Vocational Skill (VS) menumbuhkan hubungan harmonis.
Bangsa Indonesia yang merupakan bagian integral dari
masyarakat dunia yang memiliki nilai religius. Sehingga,
Gambar 1: Skema Rincian Kecakapan hidup (Life Skill)
kecakapan hidup (life skill) di atas dalam konteks
bangsa Indonesia, harus ditambah satu lagi sebagai
Kecakapan mengenai diri (self awarness) atau acuan, yaitu akhlak. Artinya, kesadaran diri, berfikir
kecakapan personal (personal skill) mencakup: [1] rasional, hubungan interpersonal, kecakapan akademik
penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, serta kecakapan vokasional harus dijiwai oleh akhlak
anggota masyarakat dan warga negara. Dengan modal mulia. Dengan demikian, akhlak harus menjadi kendali
kecakapan ini, seseorang bisa mengetahui dan setiap tindakan seseorang. Oleh karena itu, kesadaran
menyadari perannya sebagai makhluk Tuhan, di samping diri sebagai makhluk Tuhan harus juga mampu
pada saat yang bersamaan juga mampu menempatkan mengembangkan akhlak mulia. Di sinilah pentingnya
diri dalam memainkan fungsi dirinya sebagai anggota pembentukan jati diri dan kepribadian (character
masyarakat dan warga negara. [2] Kecakapan personal building), guna menumbuhkembangkan nilai-nilai etika-
juga berkaitan dengan potensi dan kekurangan yang sosio-religius, yang merupakan bagian integral dari
dimilikinya. pendidikan di semua jenjang dan jenis.

Kecakapan berfikir adalah kemampuan untuk: [1] Kecakapan hidup yang bersifat khusus (specific life
menggali informasi (information searcing). Di sini, aspek skill, SLS) biasanya juga disebut dengan keterampilan
keingintahuan (curiosity) harus ditekankan, karena hal tekhnis (technical competences) yang terkait denga
ini merupakan inti penggalian ilmu pengetahuan. [2] metode dan isi mata pelajaran atau materi diklat
Kemampuan mengolah informasi dan mengambil tertentu. Seperti disebutkan di atas, SLS mencakup
kecakapan vokasional dan keterampilan yang terkait

41 42
dengan pengembangan akademik. Kecakapan akademik Kecakapan Hidup dalam Menata Pelajaran
sering juga disebut dengan kemampuan berfikir ilmiah Yang cukup penting dalam mengembangkan life skill
(scientific methode), yang mencakup: [1] identifikasi
adalah sederetan program yang menunjang.
variabel; [2] merumuskan hipotesis; dan [3] Pertanyaannya, pelajaran apa saja yang harus
melaksanakan penelitian. Di samping itu, kecakapan
dikembangkan untuk membangun life skill di kalangan
vokasional juga sering disebut dengan keterampilan siswa? Apakah pelajaranan yang diberikan adalah
kejuruan, yaitu keterampilan yang dikaitkan dengan
pelajaran khusus, yang lebih berkaitan dengan
bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat. kehidupan nyata, seperti keterampilan permontiran?
Barangkali perlu disadari, bahwa dalam kehidupan Lalu, di mana tempat pelajaran biasa yang secara
nyata, antara general life skill (kecakapan mengenal reguler diberikan kepada siswa?
diri, kecakapan berfikir rasional, kecakapan sosial) dan Memang harus disadarai, bahwa pengenalan life skill
spesific life skill (kecakapan akademik dan kecakapan
dimaksudkan untuk membekali siswa dalam menghadapi
vokasional), tidak berfungsi secara terpisah, atau tidak kehidupan nyata mereka kelak. Karenanya, mata
terpisah secara eksklusif. Justru yang terjadi adalah
pelajaran yang diajarkan harus berangkat dari
adanya peleburan berbagai kecakapan tersebut yang kebutuhan riil yang situasional. Dalam arti, pelajaran
menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang
tersebut didasarkan pada kemungkinan kebutuhan di
melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan masa depan, dengan melihat perkembangan yang ada di
intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam masa sekarang.
banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan
berbagai aspek pendukung di atas. Mungkin untuk memahami ini, ada baiknya melihat
gambar di bawah ini. Di sana terlihat ada tiga
Dalam menghadapi kehidupan di masyarakat juga akan komponan, yaitu: [1] kehidupan nyata, [2] life skill yang
selalu diperlukan general life skill (GLS) dan specific life
dibutuhkan, dan [3] mata pelajaran yang harus
skill (SLS) yang sesuai dengan masalahnya. Misalnya, mendukung didapatkannya life skill yang dimaksud.
untuk mengatasi masalah mobil yang sedang mogok,
Anak panah dengan garis putus-putus menunjukkan alur
yang diperlukan adalah vocational life skill (bagian dari rekaya kurikulum. Dari sini terlihat, bahwa identifikasi
SLS), khususnya tentang mesin mobil dan juga GLS, yaitu
terhadap life skill yang di butuhkan didasarkan pada
tentang berfikir rasional, menganalisis dan memecahkan kehidupan nyata yang berkembang di lingkungan
masalah secara kreatif. Dengan kata lain, walaupun
masyarakat. Kemudian ditentukan pengetahuan dan
antara kecakapan-kecakapan hidup tersebut dapat sikap apa yang akan mendukung kecakapan hidup
dipilah, tetapi dalam penggunaannya selalu bersama-
tersebut. Dengan begutu, bisa jadi kebutuhan mata
sama dan saling menunjang. pelajaran antara satu komunitas berbeda dengan
komunitas yang lain, karena situasi tuntutan dan
tantangan kehidupan yang berlaku di sana juga berbeda.

43 44
Seperti terlihat pada gambar, diharapkan mata pelajaran atau mata diktat keagamaan, seperti kitab-
pelajaran tersebut akan membentuk life skill, yang kitab kuning, bukan sekedar untuk memahami prinsip
diperlukan anak didik untuk menghadapi kehidupan dan aturan keberagamaannya, tetapi lebih dari itu,
masyarakat ketika mereka telah menjadi anggota penuh yaitu mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-
masyarakat. hari.
Inovasi pendidikan di negara maju kini mengarah pada
pembentukan kecakapan hidup (life skill). Model
KEHIDUPAN LIFE SKILL MATA pembelajaran terpadu (integrated education) dan
NYATA PELAJARAN pembelajaran kontekstual merupakan model
pembelajaran yang mengarah pada pembentukan
kecakapan hidup. Model pendidikan realistik (realistic
Gambar 2: Hubungan antara Kehidupan nyata di education) yang kini sedang berkembang, juga
Masyarakat, merupakan upaya untuk mengatur agar pendidikan
life skill, dan mata pelajaran sesuai dengan kebutuhan nyata peserta didik, agar
hasilnya dapat diterapkan guna memecahkan dan
Dari pemahaman tersebut di atas, sekali lagi perlu mengatasi problem hidup yang dihadapi. Pada model-
ditegaskan, bahwa mata pelajaran atau mata (materi) model pembelajaran tersebut, mata pelajaran atau
diklat adalah alat. Sedangkan yang ingin dicapai adalah mata diktat dipadukan atau dikaitkan satu dengan yang
pembentukan kecakapan hidup. Itulah yang diperlukan lain, agar sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat.
pada saat seseorang memasuki kehidupan sebagai Pembelajaran dikaitkan dengan konteks kehidupan anak
individu yang mandiri, maupun anggota masyarakat dan didik, agar memungkinkan anak belajar menerapkan isi
warga negara. Kompetensi yang dicapai pada mata mata pelajaran atau mata diktat dalam berbagai
pelajaran atau mata diklat hanyalah kompetensi antara problem yang dihadapi di tengah kehidupan keseharian.
untuk mewujudkan kemampuan nyata yang diinginkan, Walaupun dengan istilah berbeda, kecakapan hidup (life
yaitu kecakapan hidup (life skill atau life compenency). skill) sedang dikembangkan di negara maju.
Sebagai contoh, mempelajari matematika bukan sekedar
untuk pandai matematika, tetapi agar dapat Yang perlu diperhatikan adalah evaluasi hasil belajar.
dimanfaatkan dalam kehidupan keseharian, membaca Pembelajaran yang berorientasi pada kecakapan hidup,
data, menganalisa data, mempelajari ilmu lain, dan dengan pembelajaran kontekstual memerlukan model
seterusnya. Demikian pula mata pelajaran Bahasa evaluasi otentik (authentic evaluation), yaitu evaluasi
Indonesia dan Bahasa Inggris, bukan sekedar paham dalam bentuk perilaku peserta didik dalam menerapkan
bahasanya, tetapi mampu menggunakannya untuk apa yang dipelajarinya dalam kehidupan nyata. Paling
bernalar, mengungkapkan dan menyampaikan buah tidak dalam bentuk shadow authentic, yaitu dalam
pikiran dalam bentuk komunikasi yang efektif. Mata

45 46
bentuk tugas proyek atau kegiatan untuk memecahkan tenaga kerja, atau fungsi re-training bagi mereka yang
masalah yang memang terjadi di tengah masyarakat. sebelumnya sudah memiliki keterampilan dasar. Tentu
saja hal ini sangat memungkinkan, mengingat pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang terbuka, di mana
Penutup peserta didiknya datang dari berbagai latar belakang
Pendidikan pesantren yang tumbuh dan berkembang di sosial, ekonomi, bahkan umur yang berbeda. Jika
tengah-tengah kehidupan masyarakat, sangat cocok demikian, ke depan pesantren akan mampu
untuk menerapkan program pembelajaran yang memberdayakan potensinya untuk ikut serta
berorientasi atau berbasis life skill. Selain untuk mengarahkan dan menggerakkan perubahan yang
menjawab tantangan lapangan tenaga kerja yang diinginkan dan mampu beradaptasi dengan
meminta SDM yang memiliki corak keahlian atau perkembangan zaman. Wallahu a'lmu bishshawab 
profesioalisme, juga untuk meminimalisir
kecenderungan gejala reduksi atas nilai amaliyah
diniyah kita. Sebagaimana sering diungkapkan, bahwa Ma’rifat
tujuan khusus pesantren adalah mempersiapkan para INERGI MADRASAH & PONDOK PESANTREN:
santri untuk menjadi orang 'alim dan kelak dapat Konsep Pengembangan & Peningkatan Mutu
mengamalkannya dalam kehidupan masyarakat.
Kini, pendidikan pesantren telah diatur dalam Undang- Oleh
undang Sisdiknas Tahun 2003, walaupun Asep Taufik Akbar, MA
implementasinya telah lebih dahulu dilakukan oleh
Departemen Agama RI, melalui pembentukan Direktorat
Pendidikan Agama dan Pondok Pesantren. Pemerintah Dewasa ini, arus perubahan tengah berjalan secara
kini sedang merancang desain besar kurikulum pesantren linier, dengan mengikuti akselerasi kehidupan
dan pendidikan diniyyah pada umumnya. Salah satu masyarakat yang berkembang semakin maju. Kondisi
tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya lulusan demikian meniscayakan terbentuknya tata kehidupan
pesantren yang kurang mampu memanfaatkan ilmunya— sosial dan struktur masyarakat modern, dengan ciri-ciri
yang bisa jadi karena kurikulumnya tidak relevan dengan yang diidentifikasikan sebagai antitesis terhadap
kehidupan sehari-hari. masyarakat tradisional (conservative society). Tesis Karl
Menurut hemat penulis, dalam konteks sistem Popper yang mengkarakterisasi masyarakat modern
pendidikan integral, pesantren masih bisa melanjutkan dewasa ini sebagai masyarakat terbuka (the open
perannya seperti yang telah terjadi selama ini, yaitu society), praktis mendapatkan pembenaran dari realitas
mengoptimalkan fungsi pre-service training kepada para yang berkembang sekarang ini.
santri yang sering diasumsikan sebagai calon-calon

47 48
Transformasi sosial dan derasanya arus globalisasi watak inklusif dan sangat konstruktif. Hal ini dibuktikan
dengan segala karekteristiknya, membuktikan akurasi dengan kebersaha-batannya dengan budaya dan tradisi
penafsiran Popper atas kenyataan sosial mutakhir. lokal. Bahkan, hal ini diyakini pelbagai pihak, bahwa
Tegasnya, arus pemikiran dan budaya mondial dengan justru nilai-nilai pesantren di sepanjang sejarah telah
segala ramifikasinya yang mewabah, telah menjadikan memperko-koh fundamen kebangsaan. Sehingga, tidak
masyarakat yang dahulu tertutup (eksklusif) menjadi mengherankan pesantran kemu-dian menjadi ajang
sangat terbuka, sehingga terkondisikan untuk siap akulturasi kebudaya-an antar-daerah. Inilah yang
menerima perubahan. Suatu kondisi yang menantang, di menurut penilaian Martin Van Bruinessen, bahwa
mana titik persinggungan dan gesekan dinamika hidup pesantren—demikian juga madrasah—merupakan
semakin tajam, di samping juga seringkali diwarnai institusi pendidikan yang mempunyai keunggulan, baik
dialektika dan benturan di antara sistem nilai dan kultur dari sisi tradisi keilmuan—sebuah tradisi agung (the
yang berbeda. Maka, sebagai bagian dari sistem great tradition)—maupun dari sisi transmisi dan
kehidupan di Indonesia, sistem pendidikan pesantren internalisasi moralitas umat Islam.
pun tak luput menghadapi gelombang perubahan yang
mempengaruhi perkembangannya. Sehingga kondisi ini
seolah memaksa dunia pesantren untuk melakukan Pesanteren dan Madrasah: Relasi dan Integrasi
penyesuaian (adjaustment), terutama dalam mengi-kuti Pada dasarnya madrasah lahir dari proses metamorposis
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sistem pendidikan pesantren. Makanya tidak heran,
modern. antara madrasah dan pesantren memiliki visi dan misi
Fenomena pergumulan tersebut secara tidak langsung yang tidak jauh berbeda. Bahkan, pada tahapan tradi-
berimplikasi terhadap otoritas agama, ideologi dan sionalnya, kedua institusi pendidikan Islam ini memiliki
pendidikan. Pada level inilah, genealogi pendidikan di peran yang sama, yaitu: Pertama, sebagai pusat
Indonesia tidak jarang menghadapi polemik, berlang-sungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional
perdebatan, bahkan proses transformasi, utamanya (transmission of islamis knowledge). Kedua, sebagai
perdebatan mengenai sistem pendidi-kan Islam yang penjaga dan pemelihara keberlangsungan tradisi Islam
direpresentasikan oleh pesantren dan madrasah. (maintanance of islamic tradition); dan ketiga, sebagai
Sehingga, dalam perjalanan sejarahnya, pendidi-kan pusat reproduksi ulama (reproduction of ulama). Ketiga
pesantren dan madrasah sering mengalami fluktuasi dan peran ini menunjukkan, betapa antara pesantren dan
mengikuti ritme perubahan zaman. Realitas perubahan madrasah telah berhasil mensinergikian dan mewariskan
itu menunjukkan, bahwa pemikiran yang mencitrakan nilai-nilai budaya, seperti nilai kebersaman, nilai
pesantren sebagai lembaga pendidikan yang anti-peru- kemandirian, dan nilai-nilai kejua-ngan dalam kehidupan
bahan, eksklusif, konservatif, tradisional ataupun tidak berbangsa dan bermasyarakat.
demokratis dan sebagai-nya, teramat jauh dari
kebenaran. Justru, pesantren sesungguhnya memi-liki
49 50
Kendati demikian, di samping beberapa keunggulan pola manajerial dan kepemimpinan yang relatif
dalam bentuk nilai-nilai, sebagaimana dikatakan oleh tradisional dan bercorak paternalistik, rendahnya
analis pendidikan, nampaknya dua lembaga pendidikan kualitas input, keterbatasan sarana-prasarana, pra-
ini, terutama madrasah juga memiliki sejumlah syarat eksternal semacam akreditasi yang kaku dan
kelemahan dan kendala yang cukup kompleks. Beberapa seterusnya. Namun demikian, tidak bisa menutup diri,
kendala yang sampai saat ini di mash menggejala bahwa ternyata banyak potensi berhar-ga lainnya yang
adalah: pertama, madrasah sering dipandang telah ditemukan dalam madrasah yang tidak dimiliki lembaga
kehilangan orientasi, bahkan telah terlepas dari akar pendidikan lainnya.
his-torisnya. Dengan kata lain, madrasah dipandang
Oleh karena itu, nampaknya upaya mencari solusi yang
telah mengalami keterputu-san sejarah (missing-link) tepat dalam peningkatan mutu pendidikan madra-sah
dari sistem pendidikan pesantren yang telah mela-
adalah sesuatu yang sangat penting dilakukan dalam
hirkannya. Kedua, semakin ditemukan pemaknaan yang waktu dekat ini. Salah satu potensi positif yang dimiliki
ambigu terhadap madrasah. Di satu pihak, madrasah
madrasah adalah karakteristiknya yang fleksibel,
sering diidentikkan dengan sekolah. Hal ini terutama sehingga mudah diadap-tasikan dalam suatu ekologi,
karena madrasah memiliki muatan kurikulum yang
utamanya di lingkungan pesantren. Selain itu, berbagai
relatif sama dengan sekolah umum. Sedangkan pada kelemahan di atas dapat dijadi-kan sebagai starting
pihak lain, madrasah seringkali dipandang sebagai
point dan standar untuk melakukan perbaikan, baik dari
pesantren dengan sistem klasikal, yang kemudian
aspek manajemen maupun kurikulum-nya, yang
disebut dengan madrasah diniyah. Dengan demikian, kemudian diakomodasikan secara akultural dengan
sebagai sub-sistem pendidi-kan nasional, madrasah
kebutuhan dan perkembngan masyarakat.
belum memiliki identitas dan jati diri yang mampu
membedakan secara tegas dengan sistem pendidikan Sistem pengelolaan madrasah di pesantren harus
lainnya. Ketiga, masalah klasik yang sering mendera diarahkan menuju terciptanya out-comes dengan tingkat
madrasah adalah dualisme dalam bidang manajerial, pencapaian yang memadai, baik dari sisi kognitif,
terutama yang sering terjadi pada lembaga pendidikan afektif, maupun psikomotor, dengan tekanan pembinaan
swasta. Sebab, biasanya lembaga swasta memiliki dua moral sebagai ciri khasnya. Substansi peruba-han
top manajer, yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan kebijakan madrasah dan sekolah yang mengkhususkan
(pengurus). Meski sudah ada wilayah pembagian kerja konsen-trasinya pada kajian agama (tafaqquh fi ad-dîn)
yang jelas di antara keduanya, namun dalam prakteknya menjadi sekolah umum dengan karak-ter khusus agama
sering terjadi tumpang-tindih (over-lapping) wewenang. Islam, adalah dalam rangka mengarahkan, membimbing,
Lebih kompleks lagi, ketika di antara pengurus yayasan membina, dan melahirkan out-put pendidikan madrasah
tersebut, ada yang menjadi staf pengajar pada yang qualified, sanggup mengemban pandangan hidup
madrasah itu juga. Sebetulnya masih banyak lagi (kognitif), sikap hidup (afektif) dan vocational
masalah-masalah yang dihadapi oleh madrasah, seperti

51 52
(psikomotor) dalam konteks ke-Islaman, sehingga itu, bagaimana menja-dikan nilai-nilai tersebut mampu
tercipta manusia Indonesia paripurna. menji-wai proses penyelenggaraan pendidikan, mulai
dari aspek proses, lembaga, isi, sampai pada
manajerialnya.
Pola Pengembangan dan Integrasi
Upaya untuk menjadikan pesantren sebagai pendikan
Pada prinsipnya, proses kepen-didikan termasuk di terpadu—sebuah program pendidikan yang memuat dua
dalamnya pesan-tren dan madrasah, dalam praktek sistem sekaligus, antara sekolah dan madrasah—diawali
penyelenggaraannya memiliki tiga dimesi. Ketiga proses dengan melakukan integrasi, baik secara kultural
ini harus berjalan secara simultan, yaitu sebagai proses maupun secara kelem-bagaan. Sebuah institusi
belajar, proses ekonomi, dan sebagai proses budaya. pendidikan, termasuk pesantren dan madrasah akan
Sebagai proses belajar, pendidikan harus mampu dikatakan efektif, manakala memiliki visi, misi, tujuan,
memproduksi kualitas individu dan masyarakat yang sasaran, program peningkatan mutu, dan menghasilkan
relijius, dan secara personal diharapkan memiliki alumni yang mempunyai kompetensi yang memadai.
integritas, kecerdasan dan keterampilan (vocational) Persolanan ini mestinya menjadi semacam tanggung
serta keima-nan. Secara ekonomi, pendidikan meru- jawab bersama di kalangan para penyelenggara
pakan investasi jangka panjang, teru-tama dari sektor pendidikan. Sehingga, tanggung jawab peningkatan
penyiapan dan pening-katan kualitas SDM. Sedangkan mutu, misalnya, bukan sekedar agenda seorang kepala
dalam kapasitasnya sebagai proses sosial-budaya, sekolah (madrasah), tetapi menjadi agenda bersama
pendidikan menjalankan fungsi transmisi dan semua komponen organisasi penyelenggara pendidikan
pemeliharaan nilai-nilai budaya dan tradisi. Dengan bersangkutan, bahkan juga segenap masyarakat. Oleh
demikian, suatu sistem budaya diharapkan akan terus karena itu, untuk menjadi pendidikan yang efektif dan
mempunyai sustainibilitas atau kesinambungannya dari berkualitas, pendidikan Islam memerlukan kematangan
satu generasi ke generasi lainnya. berbagai komponen yang baru saja disebutkan. Lebih
Sementara itu, proses pendidikan Islam yang efektif dari itu, yang lebih penting lagi adalah pemahaman dan
haruslah mencermin-kan sandaran filosofis yang rasa tanggung jawab bersama semua penyelenggara
humanis, membawa misi akademis, nilai-nilai, dan pendidikan tentang hal berbagai komponen tersebut.
keluhuran moral Islami. Di mana, semua komponen Hal ini akan menjadi penting dalam rangka pelak-sanaan
penyelenggaraan pendidikan di pesantren ataupun program secara terarah, tepat dan cepat.
madrasah, seharusnya lebih memper-lihatkan Untuk menuju terciptanya pen-didikn terpadu di
kecenderungan seperti ini, sehingga ke depan lingkungan pesantren dan madrasah, sebelumnya visi
pendidikan Islam be-nar-benar mempunyai relasi dan misi pendidikan harus berpijak pada filosofi dan
tanggung jawab terhadap keberlanjutan penye- nilai dasar pesantren (madrasah) yang relevan dengan
lenggaraan pendidikan Islam di Indo-nesia. Lebih dari cita-cita dan ketentuan prinsip-prinsip pendidikan Islam.

53 54
Di mana, hal ini didasarkan pada ajaran Islam, latar karena di samping membutuhkan keberanian moral, juga
belakang historis, dan kondisi obyektif masyarakat keberanian intelektual.
muslim dalam bingkai budaya multikultural bangsa
Kedua, masalah kurikulum da-lam konteks keterpaduan
Indonesia. Selanjutnya, pendidikan pesantren dan sistem pendidikan Islam. Isi atau materi kurikulum
madrasah hendaknya diletakkan dalam kerangka tujuan
pendidikan modern terang-kum dalam tiga ranah, yaitu
(ghayah) hidup menurut panangan Islam, yaitu ilmu pengetahuan (kognitif) sikap atau nilai-nilai
compatible dengan tujuan hidup manusia menurut
(afketif) dan keterampilan (psiko-motorik). Sementara
pandangan Islam. Sebab, pendidikan hanyalah instrumen dalam konteks pendidikan Islam, di samping ketiga
yang ditempuh agar tujuan hidup tercapai. Oleh karena
ranah di atas, yang dianggap menjadi inti kurikulum
itu, perumusan pendidikan pesantren dan madrasah, dalam konsepsi Islam adalah bertumpu pada nilai
identik dengan tujuan pendidikan Islam sendiri. Dalam
keimanan dan moral. Sehingga, isi kurikulum pendidikan
formulasinya harus memiliki keterpaduan, terutama modern, setelah diadap-tasikan dengan konsepsi Islam,
berorientasi pada hakikat pendidikan.
akan menjadikan kurikulum mendapat-kan spirit atau
Persoalan yang juga penting dalam kaitannya dengan semangat etik-transendental. Dengan demikian, pada
integrasi madrasah dan pesantren, antara lain saat yang bersamaan ada semacam proses integrasi
menyangkut beberapa prinsip berikut, yaitu: masalah antara ilmu yang berorientasi duniawi dengan ilmu-ilmu
integrasi keilmuan (krisis konseptual), integrasi yang berorientasi ukhrawi. Sehingga secara psikologis
kurikulum, integrasi sarana, integrasi manajemen dan hal ini akan melahirkan kepribadian anak didik yang
lain-lain. utuh (integrative personality), atau tidak terlalu
Pertama, problem integrasi keilmuan atau sebagian menonjolkan salah satu di antara orientasi dunia dan
orintasi akhirat. Sementara secara sosiologis, keterpa-
analis menye-butnya dengan krisis konseptual. Persoalan
ini nampaknya terjadi juga di pesantren dan madrasah, duan kurikulum pada saatnya nanti berdampak positif
bagi terciptanya integrasi dalam kehidupan masyarakat.
terutama menyangkut divesifikasi ilmu-ilmu umum dan
Islam. Istilah ilmu-ilmu profan (duniawi) seringkali Ketiga, masalah inte-grasi sarana dan prasarana.
dihadapkan secara konfrontatif dengan ilmu-ilmu agama Sebagai pusat pembe-lajaran, pesantren atau madrasah
yang dianggap sakral. Akibat-nya, hal ini bukan hanya dalam hal ini dituntut menciptakan keselarasan antara
berimplikasi pada sisi keilmuannya sendiri, melainkan lingkungan sekitar. Sehingga akan tercipta situasi
juga berpengaruh pada tatanan kelembagaan. Sehingga pembelajaran di kelas yang kondusif bagi pencapaian
pada gilirnnya melahirkan krisis kelem-bagaan. Oleh pembelajaran. Dari sini kemudian, integrasi sarana dan
karena itu, untuk mem-bangun sinergi di antara prasarana adalah bagaimana mebuat master plan
keduanya, yang diperlukan adalah adanya rekons-truksi mengenai tata ruang dan tata bangunan yang teratur,
keilmuan. Hal ini tentu saja bukan pekerjaan mudah, sehat, dan sesuai dengan standar kesehatan dan
kebersihan. Selanjutnya, perlu terse-dianya kondisi fisik

55 56
sarana bangunan yang meng-gunakan peralatan modern Sistem manajemen pendidikan di pesantren atau
memadai, di samping adanya aturan atau etika yang madrasah merupakan keterpaduan efektivitas dan
menjadi pedoman dalam pengaturan sarana tersebut. produktivitas dalam rangka pembinaan SDM yang
Yang tidak kalah pentingnya adalah, terse-dianya ruang berkualitas, beriman dan bertakwa. Oleh karena itu,
perpustakaan yang memadai. Di mana, kehadiran paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
perpus-takaan tentu saja harus memberikan rasa aman mengenai persoalan manajemen pesantren, yaitu: [1]
dan nyaman serta memiliki daya tarik bagi yang menghindari segala rekayasa dan permainan di luar
memanfaat-kannya. Sehingga, pesantren bukan hanya kepentingan pendidikan, [2] menjadi lembaga yang
disegani karena pularitas seorang kiyainya, tetapi juga terbuka (inklusif) dan mampu keluar dari jebakan-
karena kelengkapan literatur yang terdapat pada jebakan dikotomis seperti yang selama ini terjadi,
perpustakaannya yang dapat dijadikan sebagai sumber seperti dalam masalah dikotomi keil-muan; [3]
bela-jar. Persoalan lainnya yang masih berkaitan dengan mengakomodasi berbagai kritik yang sering dilancarkan
sarana prasa-na adalah soal pelemba-gaan pusat oleh para stakeholders, sekaligus memberikan ke-
informasi. Kehadiran perpustakaan di pesantren percayaan kepada mereka dalam mem-berikan
memang dapat dijadikan sebagai pusat infor-masi, partisipasi—kalau tidak keterli-batan langsung mereka—
tetapi yang lebih penting dalam hal ini adalah terhadap penyelenggaraan madrasah; [4] menja-di
ketersediaan SDM yang memadai, di samping juga institusi yang responsif dan peka terhadap segala
dukungan kelengkapan perangkat penunjang penyebaran perubahan dan kebutu-han masyarakat, terutama
informasi. menyangkut dunia kerja. Di sinilah perlunya perhati-an
dini untuk mempersi-apkan lulusan pesantren atau
Keempat, integrasi manajemen. Manajemen dibutuhkan
oleh hampir semua oragnisasi. Karena tanpa mana- madrasah agar mampu bersaing dalam memasuki pasar
dunia kerja yang sangat kompetitif.
jemen, kegiatan tidak akan dapat dilaksanakan secara
terpola, tidak tera-tur, di samping pencapaian tujuan
juga akan lebih sulit dilakukan. Sekurang-kurangnya ada Catatan Penutup
tiga alasan kenapa manajemen dibutuhkan bagi
pendidikan di pesantren, yaitu: [1] untuk mencapai Memasuki Abad ke-21 ini, dunia pendidikan pesantren
tujuan pendidikan yang diselenggara-kan di pesantren, menghadapi tantangan yang relatif semakin kom-peleks.
[2] untuk menjaga keseimbangan di antara tujuan- Sebagai institusi pendidikan Islam yang khas lokal,
tujuan yang sering berseberangan dalam proses pesantren memi-liki sejumlah keunggulan, sekaligus juga
pendidikan yang berlangsung di dalam pesantren, [3] berbagai persoalan dan kelemahan yang menggurita di
untuk mencapai efisiensi dan efektivitas dalam pengelo- dalamnya. Sehingga hal ini membutuhkan penyikapan
laan pendidikan di pesantren. yang arif dan terbuka, terlebih dalam konteks
mengadaptasikan diri dengan sistem dan budaya global
yang datang dari luar.

57 58
Resonansi arus reformasi pendi-dikan nasional yang baik, dan membuat skala prioritas dalam merancang
kencang dan ber-pengaruh terhadap pelbagai lini kehi- program; [2] pengembangan visi dan misi pendidikan
dupan, memang tidak menggoyahkan sistem nilai pesantren, baik dalam skala mikro maupun makro; [3]
pendidikan pesantren. Bah-kan dalam menghadapi dilakukannya integrasi antara tujuan pendidikan di
goncangan itu, pesantren bukan hanya mampu ber- pesantren dan madrasah, yaitu terciptanya SDM muslim
tahan, melainkan juga mampu meng-emban formulasi yang terampil, cerdas, ikhlas, mandiri dan utuh, baik
sitem pendidikan se-cara sistmatis, rasional, obyektif dalam sikap maupun tindakan. Mereka itulah yang
dan Is-lami. Dari sini kemudian diharapkan mampu secara kompeten akan mengisi kebutuhan tenaga kerja
menyentuh sisi perencanaan, proses, isi, organisasi, dalam berbagia sektor. Sementara di pihak lain, dengan
kelembagaan, jenjang, manajemen dan seterus-nya. berbagi karakteristik yang dimilikinya, diharap-kan
mereka akan dapat berperan dalam pengendalian sosial,
Proses pembentukan sistem pendidikan pesantren dan
madrasah pada hakikatnya bukan hanya melibat-kan terutama dalam konteks kepemimpinan agama di tengah
masyarakat (religious commu-nity leader). Selanjutnya,
pengelola, namun di dalamnya mengandaikan peran
aktif atau keterli-batan masyarakat dan kebijakan pesantren juga diharapkan akan melahirkan keterpadu-
an kemampuan yang dimiliki anak didik (santri), yaitu
peme-rintah. Dengan kesadaran seperti ini, ke depan
peningkatan hubungan partisi-patif antara pihak sebagai seorang muslim yang saleh dan sekaligus
memiliki kemampuan intelektual yang memadai, di
pengelola pendidikan dengan stakeholders dan
samping penguasaan terhadap sains dan tekhnologi
pemerintah lebih dilakukan secara intens dan
berkesinambungan. Dengan begitu, diharapkan akan mumpuni. Inilah sosok lulusan pesantren dan sekaligus
warga negara ideal yang memiliki integritas dan
memperkuat surviva-litas pesantren di era globalisasi.
Hubu-ngan emosional antara pengelola pendi-dikan kapasitas, baik dalam melakukan analisis ilmiah,
maupun concern-nya dalam mengatasi problem
pesantren dengan stakeholders dan rasa memiliki
mereka tehadap lembaga akan semakin kuat, manakala kemanusian dan sosial-kemasyarakatan yang selalu
bermunculan di sepanjang waktu. []
adanya keterbukaan pihak pesantren dalam menerima
berbagai masukan dan setiap keterlibatan masyarakat, Ma’rifat
dari mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, bahkan
dalam pelaksanaan program peningkatan mutu pen-
Pendidikan NU Pasca Muktamar Ke-31 Solo
didikannya.
Sebagai penutup, ada beberapa pointers yang menjadi Oleh
tawaran pada tulisan ini, yaitu: [1] Pembuatan strategi H. Aceng Abdul Azis
atau pendekatan yang komprehensif, seperti dalam hal
keterbukaan dalam memahami norma keagamaan di
pesantren, mempertahankan budaya pesantren yang

59 60
LIMA tahun silam, NU bermuktamar yang ke-30, Pimpinan Cabang LP Maarif NU tersebar di seluruh
tepatnya 21-26 Nopember 1999, di Lirboyo. Seperti Indonesia. Ditaksir sekitar 12 ribu madrasah dan sekolah
muktamar-muktamar sebelumnya, hajat resmi organisasi “bernaung” dibawahnya. Di tambah perguruan tinggi,
muslim terbesar ini dilaksanakan di pesantren. Dengan pesantren dan TK/RA. Sayangnya, keberadaan Maarif
berbagai kekurangan dan kelebihannya, pengambilan belum terekspose dengan optimal.
lokasi muktamar di pesantren terasa lebih pas, karena Ekspose yang proporsional, tentu saja, akan berdampak
Nahdlatul Ulama sendiri adalah “pesantren besar”.
baik. Kekurangan dan kelebihan Maarif perlu
Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama, yang dilaksanakan dibeberkan. Dengan kata lain, kita perlu memberanikan
tanggal 28 Nopember hingga 2 Desember 2004, di diri untuk mengupas problem yang dihadapi,
Asrama Haji Solo, mudah-mudahan berlangsung sukses, menganalisisnya dan memetakan solusinya. Jadi perlu
dapat memberikan pencerahan yang sesungguhnya pada dideskripsikan, bagaimanakah proses pendidikan yang
masyarakat santri Indonesia. Walaupun tidak di berlangsung dalam “sistem pendidikan Nahdlatul
pesantren, yang penting adalah menghadirkan nuansa Ulama”? Apakah ia masih menjadi mata rantai pewaris
dan tradisinya. Artinya, bagaimana muktamar dapat nilai-nilai NU? Kemanakah pendidikan NU tersebut
berjalan dengan cerdas, logis, santun dan apa adanya – dibawa? Bagaimanakah programnya? Adakah grand
khususnya saat membuat keputusan-keputusannya. design-nya?
Kemungkinan besar, pertanyaan di atas dibahas dalam
muktamar ini. Cuma bisa ditebak, jawabannya bersifat
Memperjelas Arah
makro. Hal-hal yang terkait langsung dengan
Perhelatan akbar lima tahunan warga nahdhiyyin tak pengembangan pendidikan NU tidak dirinci dengan tegas
pernah sepi dari pengamatan pakar dalam dan luar --misalnya, tentang peningkatan SDM yang concern di
negeri. Cara pandang mereka menyemarakkan bidang pendidikan, perbaikan manajemen dan
muktamar. Biasanya, eksistensi NU dikupas habis, dilihat administrasi, penggalangan dana, penegasan visi, dan
dari masa lalunya, kini serta terawangan masa seterusnya. Oleh karena itu, pasca muktamar ke-31
depannya. Ranah politik menjadi objek paling menarik, Solo, Maarif (dan lembaga lain yang senafas) perlu
dan ranah lainnya terkesan dikesampingkan –termasuk menggelar forum yang representatif untuk secara
bidang pendidikan. intensif mengurai kebijakan pendidikan NU tersebut.
Sebagi ormas non-politik (jam’iyyah diniyyah), NU Dalam mengkonstruksi format kependidikan NU, kita
memiliki lembaga-lembaga yang langsung mengurusi dihadapkan dengan beberapa problem yang cukup
keperluan konstituennya. Salah satunya adalah Lembaga serius, antara lain: (1) lemahnya visi kependidikan NU;
Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama, disingkat Maarif, (2) merosotnya peran institusional Maarif; (3) rendahnya
sebuah lembaga yang memiliki fokus garapan bidang partisipasi warga nahdhiyyin dalam pengembangan
pendidikan. Sekitar 30 Pimpinan Wilayah dan 300 pendidikan; (4) tertinggalnya profesionalisme

61 62
manajemen dan kepemimpinan lembaga-lembaga kurikulum, proporsionalisasi guru dan siswa, aplikasi
pendidikan NU; selain itu (5) tidak lahirnya gagasan- sistem evaluasi yang holistik, pembaruan manajemen
gagasan inovatif untuk mengimbangi arus perubahan kelas, dan sebagainya; (3) memperbaiki manajemen
kebijakan pendidikan nasional. kelembagaan, dan; (4) meningkatkan mutu sarana
pendidikan.
Keseluruhan problem di atas, kendati sangat terkait
dengan rendahnya mutu insan pendidikan NU, tetapi
lebih dari itu karena jamiyyah ini tidak memiliki rencana
strategis yang berjangka panjang untuk bidang
pendidikan. NU memang belum menyusun konsep grand Transisi Reformasi
design pendidikan yang dapat dipedomani oleh para Ancaman paling serius pendidikan NU adalah indikasi
praktisi, penyelenggara dan pelaksana pendidikan. merosotnya kepercayaan masyarakat. Sewaktu-waktu
Kinerja pendidikan kita bisa kabur jika ukuran warga nahdhiyyin akan meninggalkan, atau menitipkan
keberhasilan dan targetnya belum dipatok. Ibarat kapal anak-anaknya ke lembaga pendidikan lain, jika
berlayar, ia memerlukan kompas untuk menjangkau pendidikan NU tidak segera melakukan perubahan.
tujuannya. Keprihatinan demikian, sering terungkap dalam berbagai
Dalam kepentingan yang lebih luas, grand design pertemuan yang diselenggarakan Maarif di Jakarta sejak
pendidikan NU pun perlu dikenal secara luas oleh warga tahun-tahun reformasi.
NU agar mereka dapat terlibat langsung dalam Setelah UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 diberlakukan,
memajukan pendidikan yang ada di sekitarnya. tidak ada jalan lain bagi lembaga pendidikan NU kecuali
Diseminasi informasi tersebut bahkan harus diupayakan menunjukkan keseriusan, keja keras dan melakukan
dapat mengubah cara pandang masyarakat yang terobosan-terobosan agar dapat meningkat mutunya,
sekarang terlalu percaya pada politik, dan bersamaan setidak-tidaknya setara dengan lembaga pendidikan
dengan itu melemahkan upaya-upaya pemberdayaan dan yang sudah maju. Dalam UU tersebut, pendidikan swasta
pengembangan SDM. Bukankah peran besar NU NU memiliki hak yang sama dalam memperoleh
sebetulnya dimulai dari pesantren, madrasah, masjid, perlakukan pemerintah. Ide demokratisasi pendidikan ini
majelis taklim, dan pendidikan diniyyah, yang telah telah menempatkan swasta ekvivalen dengan negeri.
melahirkan jutaan warga NU yang kini berpartisipasi Selain itu, partisipasi masyarakat sangat diutamakan.
dalam proses berbangsa dan bernegara? Lembaga pendidikan NU pada umumnya telah
Tampaknya, dibutuhkan terobosan atas konservatisme memiliki semangat mandiri sejak dari sononya. Maju
pendidikan NU ini, misalnya, (1) pengarusutamaan ide mundurnya memang tidak tergantung pada pihak lain –
peningkatan mutu atau pemberdayaan pendidikan termasuk pada pemerintah. Ketika terjadi perlakuan
dalam konstelasi internal NU; (2) menawarkan diskriminasi, pendidikan NU terus melangkah
paradigma baru pembelajaran, termasuk review memperbaiki diri. Kondisi sekarang adalah gambaran

63 64
akhir dari proses tersebut –yang menunjukkan masih perbincangan biaya pendidikan, badan hukum
adanya kekurangan dan ketidakpuasan. Kita semua pendidikan (yayasan), desentralisasi madrasah,
mengetahuinya. Dalam konteks ini, agar pendidikan NU beberapa RPP bidang pendidikan (baik agama maupun
kedepan dapat memenuhi harapan semua pihak, umum), dan sebagainya. Nahdlatul Ulama juga
keterlibatan NU secara resmi struktural sangat memberikan respon dan tanggapan terhadap kebijakan
dibutuhkan –terutama posisinya sebagai pendidikan yang kurang aspiratif, seperti persyaratan
penanggungjawab dan “lembaga kontrol” bagi kemajuan rekruitmen guru negeri yang meminta wiyata bhakti
kependidikan NU yang tersebar di seluruh nusantara. hanya dari instansi negeri.
Dalam periode 1999-2004, telah dihasilkan beberapa Akan tetapi, “politik pendidikan yang (sekadar)
pedoman penyelenggaraan pendidikan NU, seperti Pola partisipatif” demikian belum bisa mengakselerasi
Relasi Penyelenggara Pendidikan NU, Pedoman perbaikan kondisi pendidikan NU yang masalahnya tidak
Penyelenggaraan Pendidikan NU, Peraturan-Peraturan hanya pada tingkat kebijakan, melainkan lebih banyak
Organisasi LP Maarif NU, dan Draft Kurikulum Aswaja pada tingkat aplikasinya. Sehingga, boleh jadi
dan Ke-NU-an, yang belum tersosialisasikan secara luas. pendidikan NU terakomodasi di meja parlemen dan
Apabila ke depan dilakukan kinerja yang sinergis pada birokrasi tetapi tidak ada pengaruhnya bagi ribuan
seluruh komponen struktural NU, tidak hanya Maarif-nya madrasah atau sekolah yang dikelolanya. Jadi, selain
saja, maka sektor pendidikan akan menjadi garapan harus serius pada ranah ideal, peran NU lebih ditunggu
utama, yang berarti menjadi “arus utama” Nahdlatul lagi pada ranah pragmatisnya. Maka pembicaraanya
Ulama dari Pusat hingga ke daerah (ranting). adalah, bagaimana madrasah/sekolah mempunyai rasio
Untuk organisasi sebesar NU, fokus hanya satu sektor guru dan siswa yang ideal, bagaimana mempunyai
gedung dan sarana pendukungnya yang memadai,
memang tidak mungkin. NU punya kewajiban untuk
menjalankan aspirasi warganya yang beragam. Kendati bagaimana memiliki buku-buku sumber belajar yang
bermutu, bagaimana memiliki sumber keuangan yang
begitu, sektor pendidikan dapat secara simultan
dikemukakan dalam setiap peran kemasyarakatan NU. tetap, dan sejenisnya. Permasalahan pendidikan NU
sebetulnya ada di sini.
Maraknya dinamika pendidikan NU selama ini merupakan
indikasi bahwa karakter genuine NU akan selalu muncul Pada beberapa daerah memang terdapat lembaga
dalam era dominan politik sekalipun. pendidikan yang relatif sudah berkembang.
Madrasah/sekolah yang demikian, tidak lagi berkutat
Dinamika tersebut, selain karena transisi politik nasional
yang secara langsung melibatkan posisi dan peran NU, dengan kebutuhan sarana fisik, tetapi keinginannya
lebih pada proses perbaikan manajemen pendidikan,
juga kerana pada periode ini pemerintah Indonesia
sedang melakukan “reformasi pendidikan nasional”. kreatifitas pembelajarannya, profesionalisme dan mutu
SDM, peningkatan kesejahteraannya, pencitraan
Pada beberapa bagiannya, NU mengambil peran
signifikan. Misalnya, dalam penyelesaian UU Sisdiknas, madrasah/sekolah, perancangan masa depan lulusan,

65 66
dan sejenisnya. Nah, bagaimanakah NU bisa Eksistensi pesantren yang unik, membutuhkan kesabaran
memfasilitasi upaya perbaikan mutu ini? para eksekutif maupun legislatif dalam mengeluarkan
kebijakan atau “formalisasi”. Peraturan yang
Sebagai ormas nirlaba, kerja keras organisasi selalu
dalam bingkai karitatif yang didominasi oleh rasa berpretensi untuk mensistematisasi pesantren jangan
sampai justru mengusik pesantren dari kulturnya.
kedermawanan sosial. Basis nilai demikian sangat mulia.
Akan tetapi paham “industri pendidikan” tidak perlu Tampaknya sulit memenej pesantren berdasarkan target
pemerintah saja, apalagi dengan cara memaksakan
ditolak, karena aspek positifnya dalam mengembangkan
leadership dan manajemen yang mendorong perbaikan standart tertentu yang tidak menyerap keunikannya.
Pesantren membutuhkan proses formalisasi, setidaknya
pendidikan NU dalam segala aspeknya.
jika formalisasi tersebut akan memberi manfaat yang
lebih besar.
Penyetaraan Pesantren Berkaitan dengan itu, proses standarisasi pendidikan
Sebetulnya, reposisi pesantren telah dimulai. Kini nasional sebaiknya mengakomodasi keunikan, kekhasan
pesantren, sejajar dengan sekolah, madrasah atau dan “multikulturalisme” pesantren sebagai subsistem
perguruan tinggi. Pesantren tidak lagi didiskriminasi pendidikan nasional, baik menyangkut model,
menjadi institusi pendidikan tanpa masa depan. metodologi, pola penyelenggaraan adminisrasi, materi
Sayangnya, hal ini masih di atas kertas sehingga masih dan sumber belajar, dan lain-lain.
terdengar adanya ketidakadilan terhadap lulusan Ada yang menarik, pasca euforia meyambut paradigma
pesantren. baru pendidikan nasional, di beberapa daerah justeru
Tidak ada institusi pendidikan yang sempurna, yang terdengar teriakan alumni pesantren NU yang gagal
terbebas 100 % dari masalah. Sekolah, madrasah dan menembus “sistem pendidikan konsep sekolah”. Ijazah
perguruan tinggi memiliki problem masing-masing. santri tersebut tidak diakui --walaupun masih untung
Cuma, jika diukur dari kerumitan masalah yang tidak disebut memiliki ijazah palsu. Jadi bak tidak
dihadapinya, tentu saja pesantren lebih serius. “bersekolah”, mereka tidak memiliki hak-hak lulusan
Karakternya yang “individual”, memastikan bahwa suatu lembaga pendidikan.
pesantren adalah milik pribadi yang berkembang secara Sebuah contoh, terjadi pada Pondok Pesantren Lirboyo
mandiri --walaupun ada partisipasi masyarakat di Kediri Jawa Timur. Ternyata lulusan pesantren yang
dalamnya. Pesantren tumbuh dengan akar yang kuat, beridiri pada awal abad-20 ini harus menerima nasib
subur dan tersebar di mana-mana dengan keunikan buruk karena tidak mau akomodatif pada konsep
masing-masing. Memang ada kategorisasi pesantren sekolah. Peristiwa naif ini merupakan indikasi macetnya
tradisional (salafi) dan modern (khalafi), tapi ini tidak sistem pendidikan nasional. Perlu solusi secara kasuistis
dapat mewakili. agar tidak menjadi kekecewaan yang makin lama

67 68
menjadi preseden dalam pengembangan pendidikan workers) atau politisi. Terdapat mereka yang ahli dalam
berbasis rakyat. bidang-bidang umum, termasuk sains dan teknologi atau
kaum profesional, tapi jumlahnya sedikit. Rupanya,
Penyetaraan ijazah pesantren dengan madrasah yang
setingkat sangat diperlukan. Dalam hal penyetaraan, sekolah/madrasah Maarif tidak memberikan bekal
motivasi yang kuat untuk belajar ilmu-ilmu eksakta atau
nantinya lulusan pesantren adalah sama dan sebangun
dengan lulusan madrasah atau sekolah tanpa harus keterampilan. Selain itu diduga karena substansi
kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an 1983 bobotnya lebih
mengikuti ujian persamaan. Memang membutuhkan
banyak perubahan dan adaptasi dalam pesantren, pada “sejarah sosial politik NU”.
setidak-tidaknya mengoptimalkan sinergitas pesantren Agak ironis, belakangan ini muncul kaum profesional
dengan madrasah. Artinya, sekali lagi, perlu dibuat bidang keagamaan –maksud saya: mubaligh atau
grand design pengembangan pendidikan NU agar seluruh “pimpinan dzikir”— bukan dari keluaran
aspek dan komponen pendidikan NU dapat diintegrasikan sekolah/madrasah/pesantren NU. Orientasi penguasaan
untuk memajukan umat. keterampilan (skill) memang tidak dominan dalam
proses pembelajaran di lingkungan NU. Termasuk di
dalamnya, millieu pembelajaran belum dikonstruksi
Revisi Kurikulum untuk merangsang pengembangan potensi individual
Revisi kurikulum 1983 mata pelajaran Ahlussunan murid. Guru/Kyai/Ustad masih konsisten dengan
Waljamaah dan Ke-NU-an adalah suatu keharusan. tugasnya untuk mentransfer ilmu penetahuan, dari pada
Sifatnya pun mendesak. Dalil kekenyalan kurikulum menggali kemampuan siswa.
tampaknya sulit untuk membenarkan aktualitas Barangkali ada hal yang sama sekali tidak NU dalam
substansi kurikulum yang telah berumur dua puluh lingkungan pendidikan NU, yaitu lemahnya pembiasaan
tahunan. Perubahan politik, gejolak ekonomi, dalam pendidikan akhlak al-karimah. Ada indikasi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terjadinya reduksi sopan santun sebagai etos individu
reformasi sosial telah terjadi beruntun dalam kurun dan sosial. Terjadinya krisis moral (seperti sering
tersebut. Tanpa perubahan, kurikulum Aswaja dan Ke- disinyalir banyak kalangan) tidak bisa dilepaskan dari
NU-an hanya akan menjadi beban bagi siswa karena krisis akhlak warga NU. Bagaimana tidak, hampir 60 juta
tidak memberi tambahan kognisi, afeksi maupun bangsa ini adalah warga nahdhiyyin. Sulit dibayangkan
psikomotoris mereka. performance bangsa ini di kemudian hari jika NU tidak
Jika pengaruh ide, paham atau ajaran akan terlihat segera melakukan recovery moral secepatnya.
setelah 20 tahun, tampaknya perlu ada riset untuk Berkenaan dengan itu, Maarif merencanakan merevisi
membuktikan peran mata pelajaran ini. Dari yang kurikulum 1983 tersebut. Kita berharap, jangan sampai
tampak sekarang, keluaran sekolah/madrasah Maarif terjadi perubahan palsu. Fisiknya berubah, misalnya
pada umumnya jadi agamawan, pekerja sosial (social melalui penuangan dalam format kurikulum berbasis

69 70
kompetensi, tetapi substansinya tetap yang lama. dapat mengaktualkan potensi-potensi dirinya dan
Membutuhkan perenungan yang intens dari tim memiliki responsi sosial, yang mampu mengemban fungsi
perubahan agar kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an dapat abdullah dan khalifatullah sekaligus. Oleh karena itu,
mendisain karakter warga NU kedepan yang lebih diharapkan Maarif dapat mencetak insan muslim yang
elegan, profesional dan mandiri, dengan tetap menonjol sehat jasmani, beriman, bertakwa, memiliki
prinsip dan nilai-nilai ahlussunah wal jamaah-nya. pengetahuan, keterampilan dan akhlakul karimah, yang
dapat memberikan manfaat besar pada kemanusiaan,
serta memiliki komitmen kerakyatan dan kebangsaan.
Pendidikan NU Ideal Lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola Maarif
Warga NU telah mulai rindu dengan NU yang cinta hendaknya menjadi inspirasi bagi terwujudnya
pendidikan. Jika pendidikan dipahami sebagai starting ukhuwwah nahdhiyah.
point rekayasa sosial kaum nahdhiyyin, maka gerakan- Ikhtiar kependidikan yang dilakukan tokoh-tokoh NU
gerakan NU kedepan hendaknya merupakan proses selama ini --pada semua jenis dan jenjang institusi NU--
pemberdayaan sumber daya manusia NU yang dapat perlu memperoleh apresiasi tinggi. Sebagai bagian dari
membekali mereka untuk memahami eksistensi dirinya masyarakat pendidikan NU, mereka telah melaksanakan
dalam tata sosial-kemasyarakatan Indonesia. Dengan tugas li i’lâi kalimatillâh dengan ikhlas tanpa tanda
kualitas pendidikan yang baik, akan tidak terlalu sulit jasa. Alangkah eloknya andaikan Muktamar kali ini dapat
untuk memperbaiki aspek-aspek kehidupan warga NU menganugerahkan award pendidikan kepada individu
yang lainnya. nahdhiyyin yang berhasil mengembangkan pendidikan
Dalam Muktamar NU ke-31 ini, materi bidang dan mengharumkan NU. Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb.
pendidikan telah melingkupi aspek-aspek ideal dan []
aspek-aspek teknis perbaikan pendidikan NU. Turats
Muktamirin diharapkan dapat memberikan respons yang
lebih progresif, terutama berkaitan dengan peletakan RELASI AGAMA DAN NEGARA
“sistem pendidikan NU” dalam posisi strategisnya di Perspektif Pemikiran Nahdlatul Ulama
kancah pendidikan tingkat nasional dan global. Secara
nasional, bagaimana pendidikan NU sejalan atau lebih Oleh
maju dari cita-cita reformasi pendidikan; sedangkan di
Marzuki Wahid
tingkat global semestinya cita-cita pendidikan NU tetap
Abd Moqsith Ghazali
mendekati prinsip-prinsip education for all, excellent
education, dan life long education.
Bagi NU sendiri, pendidikan merupakan upaya
mengembangkan individu agar menjadi manusia yang

71 72
“Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintahan manapun, termasuk bangsa Indonesia. Selain karena
tertentu, tidak pula mendesakkan kepada kaum tuntutan global, negara-bangsa merupakan konsep
Muslimin agar menganut suatu sistem pemerintahan negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi
tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi setiap bangsa dalam menghadapi kenyataan pluralisme.
Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk Menguraikan hubungan antara agama dan negara
mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi- dalam perspektif Islam bukanlah pekerjaan mudah.
kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita Jalinan hubungannya ternyata begitu rumit dan
miliki, dan dengan mempertimbangkan perkembangan kompleks.3 Pokok soal ini telah cukup lama memancing
sosial dan tuntutan zaman.”1 debat dan sengketa intelektual, baik dalam pemikiran
Ali ‘Abd al-Raziq keislaman klasik maupun dalam kajian politik Islam
kontemporer.4 Sejauh yang dapat ditangkap dari
“Tanpa Pancasila, negara RI tidak akan pernah perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran
ada.”2 dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang
Abdurrahman Wahid, 18 Juni 1992 berbeda, beberapa bahkan saling bertentangan,
mengenai hubungan yang pas antara agama dan negara.5
“Penerimaan dan Pengamalan Pancasila merupakan
perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk
3
menjalankan syari’at agamanya.” Harun Nasution, saat memberikan kuliah di Pascasarjana
IAIN Jakarta, pernah mengatakan bahwa persoalan yang telah
Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila, memicu konflik intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan
Muktamar NU ke-26 1984 umat Islam adalah berkait dengan masalah hubungan agama dengan
negara.
4
Untuk diskusi lebih lanjut mengenai hubungan antara
Prawacana Islam dan negara (politik) pada periode klasik, abad pertengahan,
dan kontemporer, lihat Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara:
Negara-bangsa (nation-state) merupakan Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990); W.
kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Endinburgh:
Endinburgh University Press, 1960); Qamaruddin Khan, Political
Consept in The Quran, (Lahore: Islamic Book Foundation, 1982),
1
Lihat Muhammad ‘Imarah, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm li Erwin I.J Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An
‘Aliy ‘Abd al-Râziq, (Beirut: 1972), hlm. 92. Introductory Outline, (Cambrige: Cambrige University Press, 1961):
2 Erwin I.J Rosenthal, Islam in The Modern National State,
Dikutip dari tulisan Douglas E. Ramage, “Pemahaman
(Cambrige: Cambrige University Press).
Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya dalam Era
5
Paska Asas Tunggal” dalam Ellyasa KH. Dharwis (Editor), Gus Dur Belakangan diskursus perihal relasi Islam dan negara
dan Masyarakat Sipil, Cet. Kedua, (Yogyakarta: LKiS, 1997), marak kembali, seiring dengan antusiasme dan kebangkitan Islam
hlm.101. yang melanda hampir seluruh negara yang berpenduduk mayoritas

73 74
Pengalaman umat Islam di pelbagai belahan Pakistan sebagai representasi negara Islam.8 Atau,
dunia, terutama semenjak berakhirnya perang dunia mungkin dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah
kedua menunjukkan adanya hubungan yang canggung negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai dan
antara Islam dan negara.6 Kecangungan ini kemudian prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dikatakan sebagai
berimplikasi pada lahirnya berbagai jenis eksperimentasi negara Islam.
untuk menjuktaposisikan antara konsep dan kultur Dari sejumlah pertanyaan di atas, upaya
politik masyarakat Muslim; dan secara ipso facto
intelektual untuk penyelidikan doktrinal dan empirik
eksperimen-eksperimen itu dalam banyak hal sangat terus dilakukan. Secara sederhana, paling tidak
beragam. Tingkat penetrasi Islam ke dalam negara juga
berbeda-beda.
Oleh karena itu, tidak bisa lain kecuali harus dalam sejarah politik Islam. Diskursus politik Islam dalam sejarah
dilakukan pengkajian dan penelitian ilmiah yang serius hanya mengenal Dawlah Abbâsiyyah dan Dawlah Umawiyyah. Pada
periode Turki Usmani, istilah dawlah digunakan untuk merujuk pada
tentang bagaimana sesungguhnya Islam mengkonsepsi makna giliran. Hal ini menunjukkan bahwa umat manusia
“negara”; bagaimana hubungan antara Islam dan ditentukan oleh roda nasib yang memiliki masa kebangkitan dan
negara; apakah Islam sebagai agama tidak membutuhkan kejatuhan. Dalam hal ini, masa kebangkitan merujuk pada
negara, oleh karena keduanya memang merupakan dua keberhasilan memperoleh kekuasaan dan wewenang. Gagasan
entitas yang berbeda; Selanjutnya, adakah mengontrol kekuasaan atau wewenang inilah yang kemudian dikenal
dengan istilah dawlah. Lihat Nurcholish Madjid, “Islam Punya
sesungguhnya negara Islam (dawlah islâmiyyah) itu. Konsep Kenegaraan?”, dalam Tempo, 29 Desember 1984, hlm. 17
Negara manakah yang dapat disebut sebagai negara yang 8
Tampaknya, tidak ada konsensus tentang kualifikasi
betul-betul prototype Islam;7 Arab Saudi, Iran ataukah
dan kriteria sebuah negara Islam. Tidak adanya satu konsep
negara Islam yang disepakati sepanjang sejarah membawa
kepada timbulnya berbagai interpretasi tentang apa yang
Muslim. Anehnya, meskipun telah diperbincangkan beberapa abad
disebut negara Islam itu. Ketidaksepakatan itu disebabkan oleh
lalu hingga dewasa ini, hal itu tetap belum terpecahkan secara
beberapa faktor, antara lain [1] negara Islam yang didirikan
tuntas, bahkan cenderung mengalami impasse (kebuntuan).
oleh Nabi di Madinah yang dipandang ideal ternyata tidak
Indonesia modern masih terus dalam proses pencarian pola
memberikan model yang terperinci. [2] pelaksanaan khilafah
hubungan yang pas antara Islam dan negara.
pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah hanya
6
Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari memberikan satu kerangka mengenai lembaga-lembaga politik
Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: dan perpajakan; [3] pembahasan mengenai rumusan ideal
Paramadina, 1996), hlm. 1 (hukum Islam dan teori politik) hanya menghasilkan rumusan
7 idealis dari suatu masyarakat yang utopian; [4]. Hubungan
Jika dilihat dari akar historisnya, persoalan negara
agama dan negara dari masa ke masa hanya menjadi subyek
(dawlah islâmiyyah) lebih merupakan suatu fenomena modern, hasil
bagi keragaman interpretasi. Lihat John L. Esposito, Islam dan
perjumpaan antara dunia Islam dan kolonialisme Barat. Deklarasi
Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 307. Bandingkan
formal mengenai negara Islam tidak pernah ada selama periode
dengan Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain
Islam klasik dan abad pertengahan. Istilah negara Islam,
Haikal, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 3.
sebagaimana diperkenalkan Pakistan, tidak memiliki dasar pijakan

75 76
penyelidikan tentang negara mengandung dua membuka peluang bagi terjadinya pluralitas tafsir.
maksud.9 Pertama, penelitian itu mencoba untuk Konsekuensinya sudah bisa diduga, tidak akan pernah
menelusuri dan menentukan sejauhmana Islam ada pandangan tunggal mengenai bagaimana
menggariskan konsep secara clear-cut tentang negara, seharusnya Islam dan negara dikaitkan secara pas;
politik, dan sistem pemerintahan. Penghampiran yang Kedua adanya anomali praktik politik dari etika dan
menekankan dimensi formalisme dan skripuralisme ini moralitas agama. Pemandangan yang ditayangkan
bertunjang pada sebuah premis bahwa Islam memiliki dalam sejarah kemanusiaan ternyata justru tidak
konsep tentang negara. berkelindan dengan acuan normatif Islam.
Kedua, penelusuran dilakukan untuk
mengidentifikasi sebuah idealitas dari perspektif Islam
Paradigma Relasi Islam-Negara
terhadap proses penyelenggaraan negara. Tujuan
yang kedua ini agaknya lebih beraksentuasi pada Secara kategorial, paling tidak ada tiga paradigma
ranah praksis-substansial, yakni mencoba menjawab pemikiran politik Islam dalam melihat relasi agama dan
pertanyaan “bagaimana isi negara menurut Islam.” negara.10 Pertama, paradigma integralistik yang
Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam
tidak memiliki konsep kenegaraan, tetapi hanya 10
Ketiga kategori ini mengikuti pola yang dibuat oleh Din
menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etik-moral Syamsuddin, integralistik, simbiotik, sekularistik. Masykuri Abdillah
tentang kenegaraan. Bentuk negara yang ada pada membagi kepada kelompok konservatif, modernis, dan sekuler.
suatu masyarakat Muslim dapat diterima sejauh tidak Sementara Bahtiar Effendi mengelompokkannya ke dalam dua
spektrum pemikiran: formal-idealistik dan substansial-realistik.
menyimpang dari prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.
Baca Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-3. Masykuri
Persoalannya adalah data historis tentang relasi Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual
Islam dan negara sering menampilkan fenomena Muslim Indonesia terhadap Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1999), hlm. 57. Bandingkan dengan Bahtiar Effendi,
kegamangan, kesenjangan sekaligus pertentangan Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di
secara frontal-diametral. Membaca sejumlah referensi Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 6-15. Bandingkan juga
kesejarahan, fenomena itu dapat disederhanakan dengan Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam
bersumber pada dua sebab, yaitu; Pertama, adanya Sejarah Pemikiran Politik Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, hlm.
perbedaan konseptual antara Islam dan negara yang 4-7.
menimbulkan problem untuk mensinergikan secara Kategori yang lain diajukan oleh Abdurrahman Wahid.
praksis di lapangan. Dari sudut teks ajaran, Islam Menurutnya, dalam konteks negara Indonesia, pada garis besarnya
ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dan negara,
adalah agama multi interpretasi yang dengan mudah
yaitu responsi integratif, fakultatif, konfrontatif. Dalam responsi
integratif, Islam sama sekali menghilangkan kedudukan formalnya
9
Lihat Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dan sama sekali tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan
dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, dalam Jurnal Ulumul kenegaraan. Hubungan antara kehidupan mereka dengan negara
Qur`an, Nomor 2, Vol. IV, tahun 1992, hlm. 4-7. ditentukan oleh pola hidup kemasyarakatan yang mereka ikuti.

77 78
mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa
Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan syari’ah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara;
(integrated). Islam adalah dîn wa dawlah.11 Apa yang bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa
merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan gagasan tentang negara bangsa (nation-state)
wilayah politik atau negara. Negara merupakan lembaga bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam)
politik dan keagamaan sekaligus. Antara keduanya yang tidak mengenal batas-batas politik dan teritorial.12
merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan. Singkatnya, model yang pertama ini merefleksikan
Menurut pendekatan integralistik, Islam adanya kecenderungan untuk menekankan aspek-aspek
legal-formal idealisme Islam. Konsekuensi dari
diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan
bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah memiliki paradigma ini adalah sistem politik modern diletakkan
dalam posisi vis a vis dengan ajaran-ajaran Islam.13
konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap bidang
kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti
untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang landasan teologis paradigma pertama ini adalah
komprehensif. Bahkan, sebagian kalangan melangkah
lebih jauh dari itu; mereka menekankan bahwa Islam 12
Menurut pemahaman mereka, negara Madinah yang
adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan dibangun oleh Nabi tidak didasarkan pada batas-batas geografis,
pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. ras, warna kulit, atau nasionalitas. Negara ini mewakili kehendak
bersama dari sebuah masyarakat penganut Islam yang terorgnaisir
Pada spektrum ini, beberapa kalangan Muslim dan tidak mengenal klan, suku, serta nasion yang disebut ummah.
terutama kalangan fundamentalisnya beranggapan Ummah yang menegakkan negara ini pada hakekatnya bersifat supra
nasional dan satu-satunya kekuatan pemersatu umat manusia yang
berbeda-beda di dalam tradisi, adat kebiasaan, ras, dan
Dengan kata lain, kalau mereka menjadi Muslim yang sesuai dengan nasionalitas adalah wahyu. Baca Qamaruddin Khan, Pemikiran
standar, itu terjadi karena latar belakang pendidikan dan kultural Politik Ibnu Taymiyah, (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 172.
masing-masing. Untuk yang kedua, jika kekuatan mereka cukup 13
Dalam konteks sekarang, pemahaman ini tidaklah terlalu
besar di parlemen atau di MPR, kaum Muslimin/wakil-wakil gerakan
mengejutkan meskipun kadang-kadang menghawatirkan. Dunia
Islam akan berusaha membuat perundang-undangan yang sesuai
Islam kontemporer menyaksikan sebagian kaum Muslimin yang ingin
dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tak memaksakan,
mendasarkan seluruh kerangka kehidupan sosial, ekonomi dan
melainkan menerima aturan yang dianggap berbeda dengan ajaran
politiknya pada ajaran secara eksklusif tanpa menyadari
Islam. Sifat konfrontatif sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang
keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul
dianggap tidak islami. Baca Abdurrahman Wahid, “Mencari Format
dalam praktiknya. Ekspresi-ekspresinya dapat ditemukan dalam
Hubungan Agama dengan Negara”, dalam Kompas, 5 Nopember
istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer dengan berbagai
1998.
istilah, seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam atau
11
Lihat Muhammad Yusuf Musa, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, fundamentalisme Islam. Dalam konteks negara bangsa yang ada
(Kairo: dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1963), hlm. 18. Bandingkan dengan dewasa ini, seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia,
Abdul Baqi Surur, Dawlah al-Qur`ân, (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1972), Aljazair dan Indonesia, model formal itu mempunyai perbenturan
hlm. 80. dengan sistem politik modern.

79 80
keyakinan akan watak holistik Islam.14 Premis Husayn Fadhl Allah,18 Sayyid Quthb (1906-1966),19 Abu
keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam al-A’la al-Mawdudi (1903-1979),20 dan Hasan Turabi.21
menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua
Model pemikiran pertama ini mempunyai
aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan
menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak
ini telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan
mengakui pemisahan antara agama dan negara, antara untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang literal
yang transendental dan yang profan.
yang hanya menekankan dimensi eksteriornya.
Model pandangan holistikal ini dianut oleh dua Kecenderungan literalistik ini telah dikembangkan
kelompok Islam,15 yaitu: [1] Islam tradisional, yakni
mereka yang tetap mempertahankan tradisi, praktik dan
pemikiran politik Islam klasik, semisal Rasyid Ridla dengan keras bentuk negara sekuler. Pemikiran politiknya dapat
(1865-1935), dan [2] Islam fundamentalis, yakni mereka dibaca dalam Muhammad Asad, The Principles of State and
Government in Islam, (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980).
yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan 18
kembali kepada ajaran Islam dan tradisi Nabi secara Pemikirannya dapat dibaca, antara lain, dalam
Muhammad Husayn Fadh Allah, al-Islâm wa Manthiq al-Quwwah,
total dan menolak sistem yang dibuat manusia, seperti (Beirut: al-Idarah al-Islamiyah, 1986); al-Harâkah al-Islâmiyyah:
Khurshid Ahmad,16 Muhammad As’ad,17 Muhammad Humûm wa Naqdiyah, (Beitur: Dar al-Malak, 1990)
19
Pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb dapat dibaca dalam al-
14 ‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy,
Ada banyak ayat al-Qur`an yang dapat digunakan untuk
1967).
mendukung pernyataan ini. Ayat yang paling sering dirujuk adalah
20
al-Qur`an 16:89 yang berbunyi: “Dan Kami turunkan kepadamu Untuk mengetahui pemikiran politiknya, baca antara lain
kitab suci untuk menjelaskan segala sesuatu, dan petunjuk serta karya-karya [1] Abu al-A’la al-Mawdudi, al-Mabâdî` al-Asâsiyyah li
rahmat dan kabar gembira bagi mereka yang berserah diri (kepada al-Dawlah al-Islâmiyyah, (Jeddah: Dar al-Sa’udiyah li al-Nasyr wa
Allah)”. al-Tawzi’, Tanpa Tahun); [2] Nazhariyyât al-Islâm al-Siyâsiyyah,
15 (Jeddah: Dar al-Sa’udiyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, Tanpa Tahun);
Lihat Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan
[3] Political Theory of Islam (Lahore: Islamic Publications, 1976);
Makna, hlm. 57. Bandingkan dengan Munawir Sjadzali, Islam dan
21
Tata Negara, hlm.1 Secara lebih lengkap dan utuh, pemikirannya dapat
16 dibaca, antara lain, dalam Hasan Turabi, [1] “The Islamic State”
Lihat, Ahmad Khurshid, “Islam: Basic Principles and
dalam dalam Voices of Resurgent Islam, disunting oleh John L.
Characterristics”, dalam Islam: Its Meaning and Message, disunting
Esposito, (New York: Oxford University Press, 1983); [2] “Islam,
oleh Khurshid Ahmad, (Leicester: Islamic Foundation, 1976).
Democracy, the State, and the West”, Middle East Policy 1, No. 3,
17
Bagi Asad, yang sebelum memeluk Islam bernama Leopold 1992; [3] al-Harâkah al-Islâmiyyah fî Sudan: al-Tathawwur wa al-
Weiss, suatu negara dapat menjadi benar-benar islami hanyalah Kasb wa al-Manhaj, (Lahore: Iman, 1410/1990); [3] al-Shahwah al-
dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam Islamiyah wa al-Dawlah al-Quthriyyah fiy al-Wathan al-‘Arabiy,
terhadap kehidupan bangsa dan dengan jalan menyatukan ajaran dalam Sa’d al-Din Ibrahim (ed.), al-Shahwah al-Islâmiyyah wa
itu ke dalam undang-undang negara. Negara, tandas Asad, Humûm al-Wathan al-‘Arabiy, (Amman: Muntadza al-Fikr al-‘Arabiy,
merupakan syarat mutlak bagi kehidupan Islam. Dan ia menolak 1988)..

81 82
sedemikian rupa sehingga menyebabkan terabaikannya perjalanan waktu, makna harfiyah ini telah berkembang
dimensi kontekstual dan interior dari prinsip-prinsip untuk menyatakan kekuasaan politik karena kekuasaan
Islam. Karena itu, apa yang mungkin tersembunyi di itu selalu berpindah tangan.
belakang “penampilan-penampilan tekstual”nya hampir Sungguhpun demikian, penting untuk dicatat
terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya.
bahwa pendapat kedua ini mengakui bahwa al-Qur`an
Kedua, paradigma yang mengajukan pandangan mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat
bahwa agama dan negara berhubungan secara etis yang kemudian menjadi landasan bagi aktivitas
mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini
membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama mencakup prinsip-prinsip keadilan (al-‘adâlah),
membutuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama kesamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ukhuwwah)
dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dan kebebasan (al-hurriyyah). Untuk itu, bagi kalangan
dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga yang berpendapat demikian, sepanjang negara
sebaliknya, negara memerlukan kehadiran agama, berpegang pada prinsip-prinsip seperti itu, maka
karena hanya dengan agama suatu negara dapat mekanisme yang diterapkannya adalah sesuai dengan
berjalan dalam sinaran etik-moral. ajaran Islam (islâmiy).
Paradigma kedua memandang bahwa Islam tidak Dengan alur argumentasi semacam ini, menurut
meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang pandangan kedua, pembentukan sebuah negara Islam
harus dijalankan oleh ummah.22 Meskipun terdapat dalam pengertiannya yang formal dan ideologis tidaklah
berbagai ungkapan dalam al-Qur`an yang seolah-olah begitu penting. Sebagai kebalikan aliran dan model
merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas, ungkapan- pemikiran yang pertama, maka yang kedua ini
ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada menekankan substansi daripada bentuk negara yang
pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka, jelas legal-formal. Bagi pendapat ini, yang pokok adalah
bahwa al-Qur`an bukanlah buku tentang ilmu politik. negara--karena posisinya yang bisa menjadi instrumen
Menurut aliran pemikiran ini, istilah dawlah yang berarti dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama--dapat
negara tidak dijumpai dalam al-Qur`an. Istilah dawlah menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. 23 Para
memang ada, tapi bukan bermakna negara. Istilah ini pendukung pemikiran ini, di antaranya adalah
dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran Muhammad Husayn Haykal (1888-1956),24 Muhammad
atau pergantian tangan dari kekayaan. Hanya dalam
23
22 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, hlm. 14
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam as the Basis of State: A Study
24
of the Islamic Political Ideas as Reflekcted in the Constituent Pemikiran politik Husayn Haikal dapat dibaca dalam karya-
Assembly Debates in Indonesia, disertasi doktor, (University of karya, antara lain; al-Hukûmah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dar al-
Chicago, 1983), hlm. 23. Bandingkan dengan Bahtiar Effendi, Islam Ma’arif, 1993); Mudzakkirat fî al-Siyâsah al-Mishriyyah, (Kairo: Dar
dan Negara, hlm. 13 al-Ma’arif, 1990).

83 84
‘Abduh (1849-1905),25 Fazlurrahman (1919-1988),26 dan negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada
Qamaruddin Khan.27 bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar
negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan
Ketiga, paradigma sekularistik yang menolak
kedua paradigma sebelumnya; integralistik dan individual semata. Dengan perkataan lain, aliran ini
berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam
substantif. Sebagai gantinya, diajukanlah konsep
pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks pengertian Barat yang tidak bertali temali dengan
urusan kenegaraan. Para pemikir politik yang masuk
Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran
dalam kategori paradigma ketiga adalah Ali ‘Abd al-
Raziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-1973),28 Ahmad
25
Muhammah Abduh, sesunggunhnya tidak memiliki
konsepsi politik yang utuh. Hanya dengan melihat pokok-pokok
pikirannya, hemat penulis, ia dapat dikelompokkan ke dalam 28
Di antara gagasan Thaha Husein adalah [a] kejayaan dan
paradigma kedua ini. Sebagian pemikirannya dapat dibaca dalam
kemakmuran dunia Islam dapat terwujud kembali bukan dengan
Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tawhîd, (Kairo: Dar al-Manar, 1993).
jalan kembali kepada ajaran Islam yang lama, dan juga bukan
26
Fazlur Rahman dengan keras mengkritik pandangan dengan mengadakan reformasi atau pembaharuan ajaran Islam,
pertama integralistik. Ia mengatakan bahwa slogan “agama dan tetapi dengan perubahan-perubahan total yang berwatak liberal
politik dalam Islam adalah tak terpisahkan” dipergunakan untuk dan sekular dengan mengacu kepada Barat; [b] dari awal
menipu orang awam agar menerima bahwa alih-alih politik atau sejarahnya, Islam dan negara memang selalu terpisah. “Umat Islam
negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, Islam justru sadar terhadap suatu prinsip yang sekarang ini telah diakui secara
harus melayani tujuan-tujuan sesaat partai-partai politik. Lihat universal bahwa sistem politik dan agama itu dua hal yang terpisah,
Fazlurrahman, Islam and Modernity: Transformation of an dan bahwa negara itu didasarkan atas landasan-landasan praktis.
Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), Lihat Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 139.
hlm. 1401. Tentang pemikiran politiknya, dapat dibaca dalam
Mengomentari pemerintahan Nabi, ia lebih suka menyebut
Fazlurrahman, The Islamic Concept of State, dalam John J.
dengan sistem musyawarah, karena dalam kenyataannya, Tuhan
Donohue dan L. Esposito (ed.), Islam in Transition: Muslim
memerintahkan Rasul agar bermusyawarah dengan umatnya
Perspective, (New York: Oxford University Press, 1982); Islam,
manakala menghadapi problem-problem keduniaan. Ia menolak
(Jakarta: Bina Aksara, 1987).
pendapat Husein Haikal yang menyatakan bahwa pemerintahan Nabi
27
Qamaruddin Khan mengatakan, klaim bahwa Islam dan khalifah empat sebagai pemerintahan demokrasi. Sebab,
merupakan sebuah panduan agama dan politik yang harmonis demokrasi sebagai suatu sistem belum dikenal waktu itu. Lagi pula,
adalah sebuah slogan modern, yang jejaknya tidak dapat ditemukan pelaksanaan pemerintahannya tidak memenuhi kriteria demokrasi;
dalam sejarah masa lalu Islam. Istilah “negara Islam” tidak pernah tidak semua rakyat baik langsung maupun tidak langsung ikut serta
digunakan di dalam teori atau praktik ilmu politik Muslim, sebelum dalam pemilihan kepala negara, rakyat tidak berwenang mengawasi
abad kedua puluh. Juga seandainya tiga puluh tahun pertama Islam dan menuntut tanggung jawab kepala negara, dan tidak ditemukan
dikecualikan, perilaku negara-negara Muslim di dalam sejarah peraturan yang tetap untuk dapat mengawasi pelaksanaan
hampir tidak dapat dibedakan dari perilaku negara-negara lainnya kebijaksanaan kepala negara. Lihat, Thaha Husein, al-Fitnah al-
dalam sejarah dunia”. Tentang pemikiran politiknya, dapat dibaca Kubra, dalam al-Majmû’ah al-Kâmilah li Mu`allafât al-Duktûr
dalam Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, (Bandung: Thâhâ Husayn, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1973), Juz IV, hlm.
Pustaka, 1998) 227 dan 218.

85 86
Luthfi Sayyid (1872-1963),29 kemudian disusul negara Islam. Dengan bersemangat Gus Dur mengatakan
belakangan oleh Muhammad Sa’id al-Asymawi (Mesir, bahwa Islam tidak memasukkan gagasan apapun tentang
lahir 1932).30 negara. Islam dan politik berdiri secara terpisah. Islam
Negara Pancasila: Pandangan Abdurrahman Wahid mesti diterapkan sebagai etika dan moral sosial, bukan
hukum positif yang melekat pada negara. Islam harus
Dalam lanskap keindonesian, pemikiran melindungi wawasan nasional, bukan wawasan
sekularistik menemukan paralelisme dan kesamaan keagamaan eksklusif.31
dengan pandangan politik Abdurrahman Wahid. Di Mesir,
Abdurrahman Wahid adalah tokoh besar yang
di saat umat Islam ada yang hendak menghidupkan
sistem khilafah, Ali Abdurraziq menyatakan dengan tidak saja pernah memimpin organisasi keagamaan
terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, selama tiga
tegas bahwa lembaga khilafah tidak mempunyai
landasan hukum dalam Islam, dengan demikian lembaga periode berturut-turut, sejak 1984-1999, tetapi juga
seorang negarawan, pernah menjadi Presiden RI, dan
ini tidak mesti dipertahankan. Begitu juga, di saat umat
Islam Indonesia ada yang ragu tentang ideologi bangsa seorang kampium dalam memperjuangkan demokratisasi
dan toleransi keagamaan di Indonesia. Komitmen
ini, Gus Dur--panggilan umum Abdurrahman Wahid--
dengan lantang berbicara tentang tidak adanya konsep Abdurrahman Wahid terhadap demokrasi, pluralisme,
dan hak asasi manusia tidak diragukan lagi. Bahkan,
menurut Arief Budiman, Abdurrahman Wahid bukan
29
Luthfi Sayyid lebih menekankan identitas nasional Mesir sekadar memiliki komitmen kuat terhadap demokrasi,
daripada Islam, dan pemisahan antara agama dan politik, serta melainkan juga fanatik terhadap demokrasi.
perlunya Mesir meniru secara selektif pola politik, ekonomi, dan
Abdurrahman Wahid banyak menggantungkan
sosial Barat. Menurutnya, baik pan-islamisme maupun pan-arabisme
tidak lagi relevan dengan realitas dunia Islam pada zaman modern harapannya pada demokrasi. Dengan lantang, ia
ini, yang pada kenyataannya telah terbagi dalam banyak wilayah menyatakan,
dan kebangsaan. Lihat Munawir sadzali, Islam dan Tata Negara,
hlm. 138. “Isu demokratisasi inilah yang dapat
30
mempersatukan beragam arah kecenderungan
Muhammad Sa’id al-Asymawi, seorang hakim dan penulis
Mesir terkemuka, menyatakan bahwa banyak di antara kegagalan
kekuatan-kekuatan bangsa. Ia dapat mengubah
masa lalu dalam sejarah Islam disebabkan oleh tercampur aduknya keterceraiberaian arah masing-masing kelompok,
agama dan politik. Dengan berani dan tanpa ragu ia mengatakan, menjadi berputar bersama-sama menuju arah
“Allah bermaksud menjadikan Islam sebagai sebuah agama, kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa.
sementara orang-orang (al-nas) memahaminya bermakna politik. Jika gerakan Islam dapat memperjuangkan proses
Dalam syari’at Islam, tidak ada sesuatu yang memaksa seseorang
untuk mengikatkan agama ke dalam sebuah bentukan negara.
Syari’ah tidak berhubungan dengan bentuk pemerintahan tertentu.
Pemikiran politiknya dapat dibaca dalam Muhammad Sa’id al-
31
Asymawi, al-Islâm al-Siyâsiy, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992); al- Lihat Dale F. Eickelman & James Piscatori, Ekspresi
Khilâfah al-Islâmiyyah, (Kairo: Sina li al-Nayr, 1990). Politik Muslim, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 68.

87 88
ini, ia akan dapat menyumbangkan sesuatu yang kepada pemikiran yang bukan agama, itu juga tidak bisa
sangat berharga bagi masa depan bangsa ini. dihindari. Itulah demokrasi, serunya.33
Dengan demikian, proses demokratisasi itu dapat Dengan menggunakan dalil demokrasi,
menjadi tumpuan harapan dari mereka yang Abdurrahman Wahid menyeru bahwa sebagai satu
menolak pengagamaan mereka, sekaligus juga komponen penting dari struktur sosial Indonesia, Islam
memberikan tempat untuk agama; bahwa kalau tidak boleh menempatkan dirinya dalam posisi yang
suatu masyarakat demokratis, Islam akan bersaing vis a vis komponen-komponen lainnya, misalnya
terjamin. Ini merupakan appeal atau himbauan konstruk kesatuan nasional dan tatanan sosial politik
kepada orang-orang yang fanatik yang sedang Indonesia. Islam, menurutnya, tidak bisa dijadikan
mencari identifikasi Islam. Sementara bagi orang sebagai suatu ideologi alternatif terhadap konstruk
yang tahu Islam dari yang seram-seramnya saja, negara-bangsa Indonesia yang ada sekarang. Akan
demokratisasi akan menjadi jaminan perlindungan tetapi, Islam harus ditampilkan sebagai unsur
dari Islam…”32 komplementer dalam formasi tatanan sosial, kultural
dan politik di Indonesia.34 Karena corak sosial, kultural,
Persoalannya, tandas Abdurrahman Wahid,
apakah orang Islam sudah siap untuk berdemokrasi, dan masyarakat politik kepulauan Nusantara yang
beragam maka upaya menjadikan Islam sebagai suatu
karena demokrasi menghendaki adanya kesanggupan
untuk melihat masyarakat secara keseluruhan. ideologi alternatif atau pemberi warna tunggal hanya
Sementara golongan ini seringkali hanya berfikir untuk akan membawa ke dalam perpecahan secara
keseluruhan.35
dirinya sendiri. Ini suatu kelemahan. Kelemahan lain,
apakah golongan Islam sudah mempunyai kemampuan Memang pemikiran politik Abdurrahman Wahid
untuk take and give yang serius. Demokrasi itu, menurut senantiasa didasarkan pada sisi politik Indonesia yang
Abdurrahman Wahid, isinya adalah memberi dan
menerima. Tidak ada orang yang bisa memaksa orang 33
lain untuk, misalnya, menanggalkan agamanya. Akan Lihat Abdurrahman Wahid, “Islam, Pluralisme,
Demokratisasi”, dalam Arief Affandi (ed.), , Islam, Demokrasi Atas
tetapi, bahwa masyarakat juga memberikan tempat Bawah, hlm. 118.
34
Lihat Abdurrahman Wahid, “Beberapa Aspek Teoritis dari
Pemikiran Politik dan Negara dalam Islam: Sebuah Tinjauan
Penjajagan”, Pidato pada Dies Natalis Universitas Tribakti, Kediri,
25 Oktober 1986, hlm. 312. Lihat juga Abdurrahman Wahid, “Massa
Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, Prisma, Nomor
32 Ekstra, 1984, hlm. 9
Lihat Abdurrahaman Wahid, “Islam, Pluralisme, dan
35
Demokratisasi”, dalam Arief Affandi, Islam, Demokrasi Atas Bawah: Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan
Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, Bernegara dan Berbangsa”, dalam Prisma, edisi ekstra, 1984, hlm.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 117. 3-9

89 90
demokratis, sekular dan nasionalis.36 Baginya, eksponen terkemuka Islam neo-modernis,37 yang
sekularisasi merupakan langkah pertama ke arah memiliki komitmen kuat pada pluralisme dan nilai-nilai
masyarakat demokratis yang hanya bisa dibangun secara inti demokrasi.38
independen dari demokrasi politik yang sejati. Salah
satu keyakinannya adalah apabila Indonesia benar-benar
akan menjadi civil society yang demokratis, maka 37
Fachri Ali-Bahhtiar Effendy dan Greg Barton menggunakan
aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan sebutan neo-modernisme untuk menyebut pemikiran-pemikiran
melalui agama. Bahkan, dalam amatannya, keterlibatan keislaman Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, karena
kelompok-kelompok agama ke dalam politik praktis kecenderungan keduanya pada upaya untuk menggabungkan
modernisme Islam dan tradisonalisme Islam. Lihat Fachri Ali &
secara tak terelakkan akan menimbulkan ketegangan- Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (Mizan: Bandung,
ketegangan sektarian dan polarisasi yang cukup tajam 1986), hlm. 191-192. Lihat juga Greg Barton, Gagasan Islam Liberal
antar berbagai gerakan Islam. di Indonesia: Pemikiran neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta:
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan Paramadina, 1999), hlm. 5. Tentu ini bisa juga digunakan. Karena
sosialnya dan untuk melegitimasi partisipasinya dalam itu, kategori yang dibuat sangat tergantung pada kombinasi apa
wacana politik Indonesia, Abdurahman Wahid lebih dengan apa yang hendak ditekankan. Kalau tekanannya pada ide-
sering menggunakan ideologi nasional Pancasila ide tertentu diletakkan dalam kategori tradisionalisme,
ketimbang Islam. Abdurraham Wahid menganggap perbandingan dengan modernisme yang dilihat dari sisi
tradisionalisme, istilah neo-tradisionalis mungkin lebih tepat.
Pancasila sebagai kompromi politik yang memungkinkan
semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam Sementara itu, R William Lidlle dan M. Syafi’i Anwar
menyebut Gus Dur sebagai cendekiawan bertipe indigenist dan
sebuah negara kesatuan nasional Indonesia. Menurutnya,
substantifistik. Lihat R. William Lidlle, Politics and Culture in
tanpa Pancasila, Indonesia akan berhenti sebagai Indonesia, (Ann Arbor: Center for Political Studies Institute for
negara. Douglas E. Ramage mencatat bahwa penafsiran Social Reasen the Indonesia, 1998), hlm. 11-14. Bandingkan dengan
Abdurrahman Wahid dan rujukannya yang sering pada M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian
Pancasila erat kaitannya dengan peranannya sebagai Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta:
Paramadina, 1995), hlm. 155-162. Moeslim Abdurrahman menjuluki
Abdurahman Wahid bersama dengan Nurcholish Madjid sebagai
tokoh pemikir Islam yang bercorak “liberal-dialogis”. Baca Moeslim
Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995), hlm. 98. Bahkan, Moeslim menyebut keduanya sebagai
36 pendekar Islam yang sama-sama berasal dari Jombang. Lihat,
Abdurrahman Wahid memaparkan konsep masyarakat
Moeslim Abdurrahman, Semarak Islam, Semarak Demokrasi?,
demokratis sekulernya dalam presentasinya, “Democracy, Religion,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 34.
and Human Right in Shoutheast Asia”, pada East-West Center,
38
Honululu, 16 September 1994. Bandingkan dengan Douglas E. Lihat Douglas E. Ramage, Demokratisasi, Toleransi Agama
Remage, Demokratisasi, Toleransi Agama dan Pancasila: Pemikiran dan Pancasila: Pemikiran Politik Abdurrahaman Wahid, dalam Greg
Politik Abdurrahman Wahid, dalam Greg Fealy & Greg Barton, Fealy & Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan
Tradisionalisme Radikal, (Yogyakarta, LKiS:1997), hlm. 217. Nahdlatul Ulama-Negara.

91 92
Telah lama ia berpendapat bahwa umat harus bentuk negara tidak bisa lagi dilandaskan pada dalil
berpegang pada Pancasila.39 Ia memahami Pancasila naqliy, melainkan pada kebutuhan masyarakat pada
sebagai syarat bagi demokratisasi dan perkembangan suatu waktu.
Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Di Inilah yang menyebabkan mengapa hanya sedikit
matanya, Indonesia adalah sebuah negara yang
sekali Islam berbicara tentang bentuk negara.
didasarkan pada konsensus dan kompromi dan kompromi Menurutnya, Islam memang sengaja tidak mengatur
itu inheren dalam Pancasila. Dengan penuh keyakinan,
konsep kenegaraan. Yang ada dalam Islam hanyalah
Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa pemerintahan komunitas agama (kuntum khayra ummah ukhrijat li al-
yang berideologi Pancasila, termasuk negara damai (dâr
nâs). Jadi, yang ada khayra ummah bukan khayra
al-shulh) yang harus dipertahankan. Menurutnya, hal ini dawlah, khaira jumhûriyyah, apalagi khayra
adalah cara yang paling realistik secara politik jika
mamlakatin, kilahnya.40
dilihat dari pluralitas agama di Indonesia.
Bahkan Abdurrahman Wahid menyatakan, para
Lebih jauh, bagi Abdurrahman Wahid, hal ini teoritisi politik yang besar dalam Islam bukanlah
sepenuhnya konsisten dengan doktrin keagamaan Islam
mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang islami,
yang tidak memiliki perintah mutlak untuk mendirikan melainkan justru menekankan penggunaan bentuk
negara Islam. Islam, tandas Abdurrahman Wahid, tidak
kenegaraan yang sudah ada. Dalam perspektif ahl al-
mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Dalam sunnah wa al-jamâ’ah, pemerintahan ditilik dan dinilai
persoalan yang paling pokok, misalnya suksesi dari segi fungsionalnya, bukan dari norma formal
kekuasaan, ternyata Islam tidak konsisten; terkadang
eksistensinya, negara Islam atau bukan.41 Selama kaum
memakai istikhlâf, bai’ah dan ahl al-hall wa al-‘aqd Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama
(sistem formatur). Padahal, dalam pandangan
mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya
Abdurrahman Wahid, soal suksesi adalah soal yang cukup tidak lagi menjadi pusat pemikirannya. Biarkan setiap
urgen dalam masalah kenegaraan. “Kalau memang Islam
warga negara menjalankan ajaran agamanya, tanpa
punya konsep, tentu tidak terjadi demikian”. intervensi negara. Dan biarkan pula, setiap warga
Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan
proses pemindahan kekuasaan dalam bentuk baku yang
ditinggalkan Rasulullah, baik melalui ayat al-Qur`an
maupun al-Hadits, membuat perubahan historis atas 40
Lihat Abdurrahman Wahid, “Merumuskan Hubungan
bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan dan Ideologi Nasional dan Agama”, Majalah Aula, Surabaya, Mei 1985.
tercegah lagi. Dengan demikian, maka kesepakatan akan Artikel Abdurrahman Wahid ini juga dimuat dalam KH Imron
Hamzah & Choirul Anam (peny.), Gus Dur Diadili Kiai-Kiai,
(Surabaya: Jawa Pos, 1989), hlm. 43-54.
39 41
Abdurrahman Wahid, Islam Politics and Democracy in the Lihat Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama dan Islam di
1950-1990”, 1994, hlm. 151-155. Indonesia”, Prisma, No.4/April 1984, hlm. 35.

93 94
negara menentukan sendiri agama yang hendak komunitas Islam pada sebuah masyarakat modern dan
dianutnya, tanpa campur tangan pihak manapun.42 pluralistik Indonesia. Humanitarianisme Islam pada
intinya menghargai sikap toleran dan memiliki
Filsafat politik yang mendasari pemikiran
Abdurrahman Wahid adalah bagaimana kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial. Dari
kedua elemen asasi inilah sebuah modus keberadaan
mengkombinasikan kesalehan Islam dengan apa yang
disebutnya komitmen kemanusiaan. Baginya, nilai itu politik komunitas Islam negeri ini harus diupayakan.43
bisa digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian tuntas Cita ideal yang diperjuangkan Abdurrahman
persoalan utama kiprah politik umat, yakni posisi Wahid secara konsisten adalah komitmen terhadap
sebuah tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh
proklamasi kemerdekaan. Bahwa, semua warga negara
42
Posisi ini sangat berseberangan dengan kelompok memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal-usul
modernis yang berusaha mengislamkan Indonesia dan membentuk agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin.
masyarakat Islam. Menurut Abdurrahman Wahid, seorang Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia pun
intelektual yang mendukung konsep masyarakat Islam seperti itu terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk
pada hakekatnya masih mengharapkan keberadaan negara Islam di
eksklusifisme, sektarianisme, dan primordialisme politik
Indonesia.
harus dijauhi.44 Termasuk disini adalah pemberlakukan
Dalam sebuah seminar di Universitas Monash pada tahun ajaran melalui negara dan hukum formal, demikian pula
1988, Zifirdaus Adnan membedakan tiga kelompok Islam di
Indonesia. Pertama, kelompok yang memperjuangkan Islam dengan
ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-
berusaha mendirikan negara Islam. Kedua, kelompok yang tidak lembaga negara. Sebab, tuntutan-tuntutan semacam ini
memperjuangkan berdirinya negara Islam, karena dalam Islam yang
penting bukanlah negara, tapi masyarakat. Karena itu, bagi
43
kelompok kedua, yang lebih utama adalah memperbesar jumlah Dalam konteks Indonesia, ide Abdurrahman Wahid ini
umat Islam dalam masyarakat. Masuk dalam kelompok kedua ini, telah memunculkan suatu dinamika dialektis dalam memecahkan
antara lain, adalah Amin Rais, Imaduddin, Jalaluddin Rakhmat, dan masalah konseptual menyangkut hubungan antara wawasan
Endang Saefuddin. Ketiga, kelompok yang mengartikan masyarakat keislaman dan wawasan keindonesiaan, dan telah memberikan
Islam bukan dalam arti umat islamnya banyak, melainkan sumbangan bagi penempatan Islam dalam kerangka negara
dipraktekkannya nilai-nilai Islam di masyarakat tersebut. Bagi Pancasila.
kelompok terakhir ini, persoalan apakah mayoritas warga 44
Terus terang, wajah sektarian dan primordial muncul,
masyarakat ini secara formal memeluk agama Islam, ini bukanlah
tandas Gus Dur, karena sempitnya wawasan keagamaan itu sendiri.
yang utama. Yang lebih penting adalah bahwa nilai-nilai Islam
Yang tidak diletakkan dalam konteks yang integratif bagi wawasan
merupakan realitas yang hidup dan dilaksanakan di masyarakat
kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap
tersebut. Abdurrahman Wahid bersama-sama dengan Nurcholish
sektarian dan eksklusivis ini lantas dikecam Gus Dur sebagai bentuk
Madjid dapat digolongkan kedalam kelompok ketiga ini. Lihat
pelarian psikologis yang sesungguhnya berwatak destruktif. Lihat
tulisannya yang berjudul, “Islamic Religion: Yes, Islam Ideology, No!
Abdurrahman Wahid, “Generasi Muda Islam dan Masa Depan Bangsa
Islam and the State in Indonesia”, dalam Arief Budiman, (ed.),
Indonesia”, makalah pada Temu Wicara Nasional FMGI, Jakarta, 27-
State and Civil Society in Indonesia, Clayton: CSEAS, Monash
30 Desember 1986, hlm. 3
University, Australia, 1994).

95 96
jelas berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas dari luar dan sikap-sikap sektarian dari dalam tak
kesetaraan bagi warga negara. mungkin bisa dihapuskan.
Pandangan ini memiliki implikasi yang Abdurrahman Wahid sepenuhnya berpegang pada
fundamental dalam konstelasi pemikiran politik Islam di gagasan negara sekular yang memposisikan warga negara
Indonesia, bahkan di dunia Islam umumnya. Pemikiran yang bersal latar belakang berbagai agama memiliki hak-
Abdurrahman Wahid ini dipandang lebih radikal hak yang sama. Ia dengan lantang menolak konsep
ketimbang pandangan politik Nurcholish Madjid yang “riddah” seperti yang tercantum dalam sejumlah
sudah dikatakan liberal itu. Akar modernisme Islam literatur fikih konvensional. Ia dengan gigih menentang
masih cukup kuat berkecambah dalam pemikiran setiap upaya untuk memasukkan ketetapan hukum Islam
Nurcholish sehingga jika disimak dengan seksama ide ke dalam kitab undang-undang hukum pidana di
pembentukan sebuah masyarakat Islam masih Indonesia. Bahkan, ia menyebut penerapan hukum
diterimanya, paling kurang sebagai sebuah masyarakat pidana Islam di Malaysia merupakan kegairahan untuk
yang dibayangkan (immagined community).45 Dalam hal “kembali ke zaman kegelapan”.47
ini, tentu saja, wawasan kebangsaan dan kapasitas
Gagasan kontroversial seperti ini agaknya secara
toleransi yang tinggi terhadap yang lain akan sadar dimunculkan oleh Abdurrahman Wahid agar tidak
disyaratkan.
terjadi diskriminasi dan penomorduaan sekelompok
Konsesi semacam itu pasti akan ditolak oleh anggota warga bangsa di bumi Indonesia yang plural
Abdurrahman Wahid sebab ia masih belum bergerak jauh (ta’addudiy) ini. Sebab, menurut keyakinannya,
dari pemahaman eksklusif. Oleh karenanya, pemahaman diskriminasi apalagi hegemoni terhadap sekelompok
ini tidak mampu menjamin terhapusnya hasrat dan warga negara secara telanjang jelas bertentangan
ambisi sektarian dalam batang tubuh umat. Dalam soal
komitmen terhadap asas kesetaraan ini, umat Islam
Lihat Abdurrahman Wahid, Intelektual di Tengah Eksklusifisme,
harus benar-benar total.46 Karena tanpa itu, kecurigaan dalam Nasrullah Ali Fauzi (ed.), ICMI antara Status Quo dan
Demokratisasi, (Bandung: Mizan, 1995). Karena itu, ia--bersama
45
Baca Muhammad AS Hikam, “Gus Dur dan Pemberdayaan kawan-kawannya di luar Islam dan kelompok di pinggir kekuasaan--
Politik Umat”, dalam Arief Afandi (ed.), Islam, Demokrasi Atas membentuk Forum Demokrasi. Lihat wawancara Abdurrahman
Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Wahid dengan Prisma, No. 3, Maret 1991, hlm. 69-72. Dalam
Amien Rais, hlm. 92. Bandingkan dengan Budhy Munawar- pandangan Gus Dur, Fordem (Forum Demokrasi) justru bisa menjadi
Rachman, Kata Pengantar, dalam Nurcholish Madjid, Cita-Cita semacam forum yang bersifat inklusif, merangkul dan mengajak,
Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. bukan eksklusif dan menampik. Lihat Abdurrahman Wahid, “Sekali
xxviii. Lagi tentang Forum Demokrasi”, Editor, No. 36/THn. IV/1991, hlm.
46 91-93.
Sayangnya, menurut Gus Dur, umat Islam--termasuk kaum
47
intelektualnya--dinilai sudah terperangkap ke dalam sikap Untuk kritik Abdurrahman Wahid terhadap UU ini, lihat
sektarianisme dan primordialisme. ICMI dipandang Gus Dur sebagai “Religious Beliefs: The Transmission and Development of Doctrine”,
bentuk baru dari hidupnya primordialisme di kalangan intelektual. Jakarta Post, 7 September 1991.

97 98
dengan prinsip-prinsip demokrasi yang tanpa lelah saja menimbulkan kontroversi paradigmatik yang luar
diperjuangkannya. Baginya, demokrasi adalah salah satu biasa di kalangan semua komponen bangsa, terutama
nilai fundamental yang ada dalam Islam. umat Islam: antara mengikuti kehendak politik Orde
Yang penting, menurut Abdurrahman Wahid, Baru dan menolaknya untuk menegakkan “negara
Islam”. Ini sebuah dilema besar bagi bangsa Indonesia
adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan
universum formalistiknya. Dengan memperjuangkan yang dalam kenyataannya terdiri dari ribuan pulau,
ratusan etnis dan bahasa, dan puluhan agama,
nilai-nilai yang ada dalam Islam, maka Abdurrahman
Wahid bisa mengatakan bahwa dia sedang sementara mayoritas penduduknya beragama Islam di
mana gagasan mendirikan negara Islam masih belum
memperjuangkan Islam. Di mata Abdurrahman Wahid,
Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, pupus dari cita-cita gerakan sebagian penduduknya.
landasan etik-moral, bukan sebagai sistem sosial dan Dilema ini masih berlanjut, meski Pancasila telah
politik yang berlaku secara keseluruhan. Dengan kata ditetapkan sebagai satu-satunya asas dalam UU Nomor 8
lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, tetapi
doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. begitu Orde Baru tumbang dari kekuasaannya, gagasan
Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa pendirian “negara Islam” muncul kembali. Upaya
dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru mencantumkan kembali isi Piagam Jakarta ke dalam
negara bangsa Indonesia. Islam merupakan faktor Batang Tubuh UUD 1945 oleh sebagian gerakan Islam
pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari pada Sidang Tahunan MPR 2000 dan 2002 adalah bukti
faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa. Walhasil, visi masih bersemainya gagasan politik tersebut. Meski
Abdurrahman Wahid tentang Indonesia masa depan berbagai indoktrinasi politik telah dilakukan oleh negara
adalah sebuah Indonesia yang demokratis, misalnya untuk meyakinkan pilihan NKRI dan Pancasila sebagai
adanya kedudukan yang sama bagi semua warga negara pilihan ideologi paling tepat bagi bangsa Indonesia yang
dari berbagai latar belakang agama dan etnis manapun; pluralistik ini, tetapi gagasan itu tetap saja selalu hadir
mempunyai hak dan kewajiban yang sama. kembali pada saat menemukan momentum politiknya.
Di sinilah upaya pencarian penyelesaian
paradigmatik relasi agama dan negara dalam
Dilema Negara Pancasila: Sikap Nahdlatul Ulama
pendekatan keagamaan menjadi penting dilakukan,
Ketika Orde Baru berada dalam puncak kejayaan karena gerakan Islam selalu mendasarkan pemikiran
kekuasaannya muncul kebutuhan mendasar untuk politiknya dari pemikiran keagamaan.
mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya Bagi organisasi Nahdlatul Ulama sebetulnya
diskusi tentang relasi agama vis-a-vis negara, atau Islam
ideologi negara dan satu-satunya asas bagi organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan. Kebutuhan ini tentu vis-a-vis Pancasila, sudah dapat dianggap selesai.
Keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun

99 100
1984 telah mengakhiri perdebatan ini. Muktamar yang dapat menggantikan agama dan tidak dapat
berlangsung tanggal 8-12 Desember 1984 itu dipergunakan untuk menggantikan kedudukan
mengukuhkan keputusan Musyawarah Nasional Alim agama.
Ulama NU 1983 yang memutuskan untuk menerima 2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar
Pancasila sebagai satu-satunya asas dan memulihkan
negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat
kembali NU menjadi organisasi keagamaan sesuai (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai
dengan Khitthah (Semangat) 1926. Melalui forum
sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut
keagamaan kultural Bahstul Masa’il (bahts al-masâ’il), pengertian keimanan dalam Islam.
ulama NU mampu menemukan rumusan yang tepat
untuk mengurai dan memberikan kesimpulan tentang 3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan
relasi Islam dan Pancasila dari perspektif keagamaan, syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia
khususnya pendekatan fiqh. dengan Allah dan hubungan antar manusia.
NU adalah organisasi kemasyarakatan dan 4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila
keagamaan pertama yang menuntaskan penerimaaannya merupakan perwujudan dari upaya umat Islam
atas ideologi Pancasila. NU bukan hanya pertama Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
menerima, tetapi juga yang paling mudah menerima 5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul
Pancasila. Muhamadiyyah menerima Pancasila setelah Ulama berkewajiban mengamankan pengertian
terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya
Kemasyarakatan.48 yang murni dan konsekwen oleh semua fihak.
Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas
Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan
“Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Dalam deklarasi itu, jelaslah bahwa NU mengakui
Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari dan mendukung penuh Pancasila sebagai dasar dan
pembahasan keagamaan (bahtsul masa’il/bahts al- falsafah negara Republik Indonesia, yang pengamalannya
masâ’il) ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi bisa menjadi perwujudan dari upaya umat Islam untuk
negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam menjalankan syari’at agamanya. NU dengan tegas dan
dalam negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu jelas memisahkan antara negara dengan agama.
berbunyi sebagai berikut: Pancasila adalah dasar negara, bukan agama.
Keberadaan Pancasila tidak dapat menggantikan agama
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara atau dipergunakan untuk menggantikan kedudukan
Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak agama. Meski begitu, bukan berarti agama tidak
berurusan dengan negara. Dalam deklarasi itu malah
48
Lihat Lukman Harun, Muhammadiyyah dan Asas Pancasila, dinyatakan bahwa adalah kewajiban NU—atau dengan
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 33-69. kata lain kewajiban umat beragama--untuk
101 102
mengamankan tafsir yang benar tentang Pancasila dan dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus
sekaligus pengamalannya yang murni dan konsekuen dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya.
agar sesuai dengan upaya umat Islam Indonesia dalam
Ditelusuri lebih jauh, seperti termaktub dalam
menjalankan syari’at agamanya. Ini artinya NU makalahnya, pemikiran Kyai Achmad Shiddiq ini dilatari
memposisikan agama sebagai landasan moral-etik bagi
oleh dua landasan yang berkait, yaitu: pertama,
negara agar negara tetap berada dalam kontrol agama landasan historis. Dinyatakan bahwa umat Islam tidak
untuk menegakkan keadilan dan selalu berorientasi pada
pernah absen dalam perjuangan menolak penjajahan
kesejahteraan dan kemaslahatan rakyatnya. dan menegakkan serta mengisi kemerdekaan. Umat
Deklarasi ini sekali lagi menjelaskan posisi agama Islam senantiasa berada dalam garda terdepan dalam
dan negara yang terpisah, tetapi secara relasional mengusir penjajah dan mengisi kemerdekaan yang
mempunyai simbiosa yang mutualistik dalam diperolehnya. Kedua, landasan hukum. Bahwa Allah SWT
mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, telah mewajibkan amar ma’ruf nahy munkar (al-amr bi
kemaslahatan, kerahmatan, dan pembebasan bagi umat al-ma’rûf wa an-nahy ‘an al-munkar) bagi umat
manusia. manusia. Kewajiban ini tentu saja tidak dapat dilakukan
Keputusan penting dan mendasar ini, diakui atau tanpa adanya kekuatan dan imâmah (kepemimpinan
politik) yang kuat dan mendukung. Atas dua landasan
tidak, banyak diilhami oleh pemikiran K.H. Achmad
Shiddiq, Rais Aam Syuriyah PBNU saat itu. Pemikiran inilah, maka mendukung negara Pancasila menjadi wajib
Kyai Achmad Shiddiq ini sekaligus juga merupakan hukumnya sebagai konsekuensi dari perjuangan yang
dilakukan oleh umat Islam di masa lalu.
argumen teologis dan fiqhiyyah atas sikap keagamaan
NU terhadap kenyataan negara-bangsa modern dewasa Konsekuensi dari penerimaan Pancasila sebagai
ini. Beberapa simpul pemikiran Kyai Achmad Shiddiq satu-satunya asas ini, seperti juga ditegaskan oleh Kyai
yang utama adalah sebagai berikut : Achmad Shiddiq, memberikan arti bahwa wujud negara
1. Mendirikan negara dan membentuk Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya
merupakan upaya final seluruh bangsa, terutama kaum
kepemimpinan negara untuk memelihara
keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan Muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah
Nusantara.
duniawi wajib hukumnya.
Nalar ideologi dan kebangsaan ulama NU ini
2. Kesepakatan bangsa Indonesia untuk
mendirikan Negara Kesatuan Republik sebetulnya tidak secara tiba-tiba muncul. Sejak perang
kemerdekaan hingga perkembangan dewasa ini, yakni
Indonesia adalah sah dan mengikat semua
pihak termasuk Islam. dalam menghadapi dua arus utama yang bertolak
belakang antara menjadikan Islam sebagai dasar negara
3. Hasil dari keputusan yang sah itu, yaitu Negara dan menolak Pancasila sebagai ideologi tunggal ini, NU
Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah selalu mengambil jalan tengah (tawassuth) dan peran

103 104
strategis dalam pembentukan negara dan karakter mencukupi untuk menolaknya maka jiwa yang
bangsa. tersebut di dalam nomor 3 wajib membantu
sampai cukup.
Dua bulan setelah Republik Indonesia
diproklamasikan kemerdekaannya, tepatnya tanggal 22 Keputusan keagamaan ini merupakan dukungan
Oktober 1945, Rais Akbar KH. M. Hasyim Asy’ari politik keagamaan NU yang sangat berani dan mampu
mengeluarkan fatwa “Resolusi Jihad” yang mewajibkan mempengaruhi semangat rakyat untuk mempertahankan
setiap orang (fardlu ‘ain/fardl ‘ayn) dalam radius 94 km bentuk baru negara Indonesia yang diproklamasikan,
untuk melakukan jihad fi sabilillah (jihad fî sabîl Allâh) yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan
melawan Belanda. Belanda saat itu tiba kembali di Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai
Tanah Air untuk menjajah. Fatwa ini kemudian landasan konstitusionalnya.
dikukuhkan sebagai Keputusan Muktamar NU ke-16 di Bahkan jauh sebelum kemerdekaan, dalam
Purwokerto, 26-29 Maret 1946.49 Keputusan Muktamar
Muktamar ke-11 di Banjarmasin, 9 Juni 1935, NU telah
itu secara lengkap berbunyi: memberikan status hukum negara Indonesia yang saat
[1] Bahwa berperang menolak penjajah dan para itu masih dikuasai oleh Pemerintah Penjajah Belanda
pembantunya adalah wajib ‘ain (wâjib ‘ayn. dengan “negara Islam”. Meskipun saat itu Indonesia
pen.) atas tiap-tiap jiwa, baik laki-laki atau masih dikuasai oleh Penjajahan Belanda, tetapi dalam
perempuan dan anak-anak juga yang sama berada sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh
di tempat yang dimasuki oleh mereka itu orang Islam dan orang Islam dapat secara bebas
(penjajah atau pembantunya). [2] Wajib ‘ain pula menjalankan syari’at keagamaannya.50 Dengan logika
atas tiap-tiap jiwa yang berada di dalam tempat- ini, maka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan
tempat yang jaraknya kurang dari 94 km terhitung mengisi kemerdekaan dengan persatuan-kesatuan,
dari tempat mereka itu (musuh). [3] Wajib
50
kifayah (wâjib kifâyah. pen.) atas segenap orang- K.H.A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil
orang yang berda di tempat-tempat yang jaraknya Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu-1926 s/d
Kedua Puluh Sembilan 1994, (Surabaya: Kerjasama PP RMI dengan
ada 94 km tersebut. [4] Jikalau jiwa-jiwa yang Dinamika Press, 1997), hlm. 138. Dalam buku ini dijelaskan bahwa
tersebut dalam nomor 1 dan 2 di atas tidak pada Muktamar ke-11 itu muncul pertanyaan: “Apakah nama negara
kita menurut syara’ agama Islam?” Keputusan Muktamar
menyatakan: “Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan
49
K.H.A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang
Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu-1926 s/d Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi
Kedua Puluh Sembilan 1994, (Surabaya: Kerjasama PP RMI dengan nama negara Islam tetap selamanya.” Argumen fiqhnya diambilkan
Dinamika Press, 1997), hlm. 197. Argumen fiqhnya diambilkan dari dari Kitab Bughyah al- Mustarsyidîn, pada Bâb Hudnah wal Imâmah.
Kitab Bujairimi Fath al-Wahhâb Jilid 4 halaman 251, Asnal Mathâlib Dalam teks kitab itu disebutkan “….. fa ‘ulima anna ardla Batawiy
Syarh al-Rawdl Juz 4 Halaman 178 dan Fath al-Qarîb. (Jakarta) bal wa ghâlib ardli jâwâ dâru islâmin li istîlâ’i al-
muslimîna ‘alayhâ qabl al-kuffâr.

105 106
kedamaian, kerukunan, dan lebih-lebih keadilan- Dengan rangkaian ijtihad nalar politik keagamaan
kemanusiaan menjadi sangat penting bagi Nahdlatul ini, “Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam”
Ulama. dirumuskan oleh ulama NU sebagai Keputusan Munas
Atas nalar ini pula, NU secara tegas menolak Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo. Keputusan ini
sebetulnya mengakhiri perdebatan paradigmatik tentang
gagasan dan kehadiran Negara Islam Indonesia (NII) yang
didirikan oleh Kartosuwiryo, dkk. pada zaman Orde hubungan agama dan negara di Indonesia, sekaligus
memperkuat basis teologis penerimaan NU atas
Lama. Ulama NU memberikan keputusan fiqh kepada
Kartosuwiryo sebagai pelaku bughat –bughât- kenyataan negara-bangsa (nation state) yang pluralistik
dan demokratik. NU mendukung kenyataan ini sebagai
(pemberontakan kepada negara yang sah) akibat
pemikiran dan gerakannya itu. Pengakuan NU terhadap ijtihad politik yang tepat.
Pemerintahan yang sah dilakukannya pada Konferensi Sebagai implementasi penerimaan NU atas
Nasional Alim Ulama NU di Cipanas pada 1954. Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
Keputusan Konferensi yang kemudian dikukuhkan oleh berbangsa dan bernegara, maka Anggaran Dasar NU pun
Keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya, 8-13 sejak 1984 berubah sesuai dengan paradigma tersebut.
September 1954, memutuskan bahwa kedudukan Kepala Ada hal yang menarik untuk dicatat dari perkembangan
Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno) sebagai waliyul Anggaran Dasar NU dari muktamar ke muktamar. Dalam
amri dlaruri bisy syawkah – waliyy al-amr al-dlarûriy Anggaran Dasar NU hasil Muktamar ke-27 di Situbondo,
bisy-syaukah-- (penguasa pemerintahan secara dlarurat 8-12 Desember 1984, asas NU berubah dari Islam
sebab kekuasaannya, atau pemegang pemerintahan menjadi Pancasila. Dalam rumusan ini dibedakan antara
sementara (de facto) dengan kekuasaan penuh). 51 “asas” dan “aqidah”. Islam ditempatkan sebagai aqidah,
Keputusan ini dilakukan secara sadar untuk bukan asas. Sedangkan asas diisi dengan Pancasila.
membentengi rongrongan pemberontak yang bermaksud Secara lengkap rumusan itu sebagai berikut:
menggantikan Pancasila sebagai dasar negara.
51
K.H.A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Pasal 2
Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu-1926 s/d Asas
Kedua Puluh Sembilan 1994, (Surabaya: Kerjasama PP RMI dengan Nahdlatul Ulama berasas Pancasila
Dinamika Press, 1997), hlm. 207-208. Dalam buku ini dijelaskan
bahwa pada Muktamar ke-20 itu muncul pertanyaan: “Sahkah atau
tidak Keputusan Konferensi Alim Ulama di Cipanas tahun 1954 Pasal 3
bahwa Presiden RI (Ir. Soekarno) dan alat-alat negara adalah Aqidah
waliyul amri dlaruri bisy syawkah (penguasa pemerintahan secara Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah
dlarurat sebab kekuasaannya)?” Keputusan Muktamar menyatakan: beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal
“Betul, sudah sah keputusan tersebut.” Argumen fiqhnya Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab empat:
diambilkan dari Kitab Syarh al-Ihyâ’ J. I dan Kifâyah al- Akhyâr II,
halaman 159. Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

107 108
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah
Dibandingkan dengan Muktamar Situbondo, rumusan beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah
Anggaran Dasar NU pada Muktamar ke-28 di Krapyak, 25- wal Jama’ah dan menganut salah satu dari madzhab
28 Nopember 1989, dan Muktamar NU ke-29 di Cipasung empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Tasikmalaya, 1-5 Desember 1994, terdapat perubahan
penempatan “asas” dan “aqidah”. Rumusan “aqidah” Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Nahdlatul
ditempatkan di atas rumusan “asas”, sebagaimana Ulama berpedoman kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
dikutipkan secara lengkap sebagai berikut: kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat,
Bab II Aqidah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
Pasal 3 dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah
beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal
Jika kita cermati satu rumusan AD NU dari
Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: muktamar ke muktamar paska-1984, maka tampak
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
terdapat perubahan, bukan saja pada penempatan
“asas” dan “aqidah” melainkan juga pada rumusan
Bab III Asas
substanstif. Perubahan ini adalah konsekuensi dari
Pasal 4
dinamika pemikiran yang bergolak di dalam lingkungan
Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila NU. Akan tetapi, perubahan rumusan Anggaran Dasar ini
ternyata tidak diikuti dengan pencabutan keputusan
Sedangkan pada Muktamar paling akhir, Muktamar XXX Muktamar Situbondo yang menetapkan Pancasila sebagai
di Lirboyo Kediri, tanggal 21-26 Nopember 1999,
dasar dan falsafah negara Republik Indonesia. Ini
rumusan “aqidah” dan “asas” digabung dalam satu bab artinya, sikap dasar NU terhadap negara Pancasila tetap
dan pasal, dengan perubahan substansi yang sangat
tidak berubah, tetapi karena tuntutan euphoria politik
mendasar, bahwa aqidah dan asas NU adalah Islam. eksternal saat Muktamar Lirboyo yang memaksa
Rumusan ini seolah mengulang rumusan AD NU sebelum
menjadikan Islam sebagai alternatif dari krisis
Muktamar 1984. Secara lengkap rumusan tersebut multidimensi, NU mencoba melakukan adaptasi-adaptasi
sebagai berikut:52
secukupnya. Adaptasi ini dilakukan dengan memodifikasi
rumusan AD NU.
Bab II Aqidah/Asas
Pasal 3
Sikap Kebangsaan Nahdlatul Ulama

52
Lihat SK Muktamar XXX NU Nomor: 003/MNU-30/11/1999.

109 110
Konsekuensi dari penerimaan terhadap negara 4. Amar Ma’ruf Nahy Munkar (al-amr bi al-ma’rûf wa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, dalam an-nahy ‘an al-munkar)
kebutuhan praktis dan strategis menumbuhkan sikap
Yakni, sikap selalu memiliki kepekaan untuk
kebangsaan Nahdlatul Ulama dari faham keagamaan mendorong perbuatan yang baik, berguna, dan
yang selama ini digeluti, yakni sikap yang tercermin dari
bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak
nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (ahl as-sunnah dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan
wa al-jamâ’ah). Di antara sikap ini dapat dijelaskan
dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.53
sebagai berikut:
1. Sikap Tawasuth (tawâsuth) dan I’tidal (i’tidâl)
Implementasi sikap dasar kebangsaan ini
Yakni, suatu sikap tengah yang berintikan pada dalam bidang politik-kekuasaan ditegaskan oleh
prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan
Keputusan Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta
berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bahwa NU sebagai suatu organisasi sosial-keagamaan
bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini
(jam’iyyah dîniyyah ijtimâ’iyyah) tidak mempunyai
seharusnya dapat menjadi kelompok panutan yang ikatan organisatoris dalam bentuk apapun dengan
bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat
organisasi kekuatan sosial politik yang manapun juga.
membangun serta menghindari segala bentuk NU tidak akan menggabungkan diri secara
pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
organisatoris ke dalam organisasi sosial politik yang
2. Sikap Tasamuh (tasâmuh) manapun, tetapi juga tidak akan bersikap menentang
organisasi sosial politik yang manapun juga, dan
Yakni, sikap toleran dan menghargai terhadap
perbedaan pandang, baik dalam masalah keagamaan, tidak akan menjadi partai politik sendiri.
terutama hal-hal yang bersifat furû’ atau menjadi Dengan sikap politik seperti ini, diharapkan NU
masalah khilâfiyyah serta dalam masalah selalu terlibat dalam setiap upaya pengembangan
kemasyarakatan dan kebudayaan. budaya politik yang sehat dan bertanggungjawab
agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang
3. Sikap Tawazun (tawâzun)
demokratis, konstitusional, serta membangun
Yakni, sikap seimbang dalam berkhidmah. Dalam hal mekanisme musyawarah-mufakat dalam
ini adalah sikap menyerasikan khidmah kepada Allah memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Oleh
SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada
lingkungan hidupnya, dan menyelaraskan
kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa 53
Khitthah Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lajnah Ta’lif
mendatang. wan Nasyar, 1985), hlm. 15-16.

111 112
karena itu, NU menetapkan prinsip-prinsip dasar 6. Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh
etika politik bagi warganya sebagai berikut: konsensus-konsesus nasional, dan dilakukan sesuai
dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan
1. Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan
warga negara dalam kehidupan berbangsa dan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaa’ah.
bernegara secara menyeluruh sesuai dengan 7. Berpolitik bagi NU, dengan dalih apapun, tidak
Pancasila dan UUD 1945. boleh dilakukan dengan mengorbankan
2. Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kepentingan bersama dan memecah belah
persatuan.
kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan
langkah-langkah yang senantiasa menjunjung 8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran
tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai politik warga NU harus tetap berjalan dalam
cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat suasana persaudaraan, tawadlu’ (tawâdlu’. pen.),
yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di
sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan
dan kehidupan di akherat. kesatuan di lingkungan NU.
3. Politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai 9. Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi
kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan
mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari nasional untuk menciptakan iklim yang
hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk memungkinkan perkembangan organisasi
mencapai kemaslahatan bersama. kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu
4. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan melaksanakan fungsinya sebagai sarana
masyarakat untuk berserikat, menyalurkan
moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan aspirasi, serta berpartisipasi dalam
pembangunan. 54
beradab, menjunjung tinggi persatuan Indoensia,
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijkasanaan dalam Post-wacana
permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan.
5. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan
kejujuran nurani dan moral agama,
konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan 54
Pesan-pesan Mukatamar NU ke-28 tentang Masalah-
norma-norma yang disepakati, serta dapat masalah Masyarakat, Bangsa, dan Negara, (Jakarta: Pusat
mengembangkan mekanisme musyawarah dalam Dokumetasi dan Informasi NU, cet. Pertama, 1992), hlm. 18-22.
memecahkan masalah bersama.

113 114
Dengan meletakkan kunci masalah pada tradisional, tetapi radikal dan kritis. Wa Allâh A’lam bi
pengesahan hukum fiqh, ternyata NU mampu melakukan al-Shawâb.
sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah
negara modern. Tuntutan ini tidak saja menyentuh pada
BIBLIOGRAFI
kebutuhan eksistensial belaka, tetapi juga pada aras
substansial-paradigmatik bagi tatanan kehidupan Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons
bersama yang rukun, damai, demokratis, menghargai Intelektual Muslim Indonesia terhadap Demokrasi (1966-
1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
pluralitas, dan senantiasa bertumpu pada kerangka
dasar keadilan sosial. Tawassuth, tawazun, ta’adul, dan ‘Abduh, Muhammad, Risâlah al-Tawhîd, Kairo: Dar al-Manar, 1993.
tasamuh merupakan prinsip dasar bagi NU dalam Surur, ‘Abd al-Baqi, Dawlah al-Qur`ân, Kairo: Dar al-Nahdhah, 1972
menyelesiakan berbagai masalah kontemporer. Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka
Keberhasilan NU memberikan penyelesaian paradigmatik Firdaus, 1995
relasi agama dan negara ini mengindikasikan adanya ----------, Semarak Islam, Semarak Demokrasi?, Jakarta: Pustaka
pergeseran paradigma di kalangan NU sendiri dalam Firdaus, 1996.
memandang kenyataan negara-bangsa. Baik pada aspek
‘Abd al-Raziq, ‘Ali , al-Islâm wa Ushûl al-Hukm: Bahts fî al-Khilâfah
siyâsah, maupun aspek hukum dan peradaban, wa al-Hukûmah fî al-Islâm, Beirut: 1966.
transformasi pemikiran di kalangan NU terus
Adnan, Zifirdaus, “Islamic Religion: Yes, Islam Ideology, No! Islam
menggelinding.
and the State in Indonesia”, dalam Arief Budiman, (ed.),
Tidak diingkari bahwa masyarakat NU adalah State and Civil Society in Indonesia, Clayton: CSEAS, Monash
masyarakat fiqh. Ini tidak lain karena masih dominannya University, Australia, 1994.
kalangan Pesantren di jajaran NU, sementara paradigma al-Asymawi, Muhammad Sa’id, al-Islâm al-Siyâsiy, Kairo: Sina li al-
pesantren identik dengan fiqh. Dengan kata lain, NU Nasyr, 1992.
adalah pesantren-makro, dan pesantren adalah NU- Ali, Fachri & Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (Mizan:
mikro. Akan tetapi mempertimbangkan pemikiran di Bandung, 1986
atas, saya kira tidak berlebihan jika dicatat bahwa di al-Mawdudi, Abu al-A’la, al-Mabâdî` al-Asâsiyyah li al-Dawlah al-
dalam kalangan NU tengah terjadi transformasi Islâmiyyah, Jeddah: Dar al-Sa’udiyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’,
paradigma fiqh dari literalisme ke kontekstualisme, dari Tanpa Tahun
skripturalisme ke substansialisme, dan dari madzhab ----------, Nazhariyyah al-Islâm al-Siyâsiyyah, Jeddah: Dar al-
qauli (qawliy) ke madzhab manhaji (manhajiy). Sa’udiyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, Tanpa Tahun.

Oleh karena itu, anggapan yang menyatakan ----------, Political Theory of Islam, Lahore: Islamic Publications,
1976
bahwa NU konservatif, ortodoks, mundur dalam berfikir,
menutup pintu ijtihad, dan sejumlah stereotyping lain al-Riys, Dhiya’ al-Din, al-Islâm wa al-Khilâfah fî al-Ashr al-Hadîts:
Naqd Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-Hukm, Jeddah: 1973
kiranya segera dipertimbangkan kembali. NU memang

115 116
Al-Zastrouw Ng, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan: Tafsir Teoritik atas Fauzi, Nasrullah Ali (ed.), ICMI antara Status Quo dan
Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, Jakarta: Erlangga, 1999 Demokratisasi, Bandung: Mizan, 1995.
Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Fazlurrahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicago Press,
Jakarta: Paramadina, 1995 1982.
Arnold, Thomas W., The Caliphate, London: Routledge and Kegan ----------, The Islamic Concept of State, dalam John J. Donohue dan
Paul, 1965. L. Esposito (ed.), Islam in Transition: Muslim Perspective,
(New York: Oxford University Press, 1982.
Asa’d, Muhammad, The Principles of State and Government in
Islam, Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980. Hamzah, KH Imron, & Choirul Anam (peny.), Gus Dur Diadili Kiai-
Kiai, Surabaya: Jawa Pos, 1989.
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme, Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, Haykal, Muhammad Husayn, Mudzakkirât fî al-Siyâsah al-
1996, Mishriyyah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1990.
Bahar, Ahmad, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan ----------, al-Hukumah al-Islâmiyyah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1993
dan Pemikiran, Jakarta: Bina Utama Jakarta, 1999
Hikam, Muhammad AS, “Gus Dur dan Pemberdayaan Politik Umat”,
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo- dalam Arief Afandi (ed.), Islam, Demokrasi Atas Bawah:
Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien
Wahib, dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999 Rais.
Binder, Leonard, Islamic Liberalism, Chicago and London: 1988. Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939,
Cambridge: Cambrige University Press.
Bush, Robin, Islam and Civil Society in Indonesia: the Case of the
Nahdlatul Ulama, Disertasi pada University of Washington, Husein, Thaha, al-Fitnah al-Kubra, dalam al-Majmû’ah al-Kâmilah li
2002. Mu`allafât al-Duktûr Thâhâ Husayn, Beirut: Dar al-Kitab al-
Lubnani, 1973.
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998 Imarah, Muhammad, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm li ‘Aliyy Abd al-
Râziq, Beirut: 1972
Eickelman, Dale F. & James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim,
Bandung: Mizan, 1998. Ismail, Faisal, Islam in Indonesian Politics: A Study of Muslim
Responses to and Acceptance of The Pancasila, Disertasi pada
Enayat, Hamed, Modern Islamic Political Thought, the Response of
Institute of Islamic Studies, McGill University Montreal,
the Syi’i and Sunni Muslims to the Twentieth Century,
Desember 1995.
London: The Macmilland Press, 1982.
Khan, Qamaruddin, Tentang Teori Politik Islam, Bandung: Pustaka,
Esposito, John L., Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
1998
Fadhl Allah, Muhammad Husayn, al-Harakah al-Islâmiyyah: Humûm
----------, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, (Bandung: Pustaka, 1995
wa Naqdliyah, Beitur: Dar al-Malak, 1990
Khurshid, Ahmad, “Islam: Basic Principles and Characterristics”,
----------, al-Islâm wa Manthiq al-Quwwah, Beirut: al-Idarah al-
dalam Islam: Its Meaning and Message, disunting oleh
Islamiyah, 1986
Khurshid Ahmad, Leicester: Islamic Foundation, 1976.

117 118
Kurzman, Charles (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Siradj, Said Aqiel, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri,
Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina, (Jakarta: Fatma Press, 1999).
2001.
Sitompul, Einar Martahan, NU dan Pancasila Sejarah dan Peranan
Lidlle, R. William, Politics and Culture in Indonesia, Ann Arbor: NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka
Center for Political Studies Institute for Social Reasen the Penerimaan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas, (Jakarta:
Indonesia, 1998. Pustaka Sinar Harapan, 1989).
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Islam as the Basis of State: A Study of the Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI-Press, 1990
Islamic Political Ideas as Reflekcted in the Constituent
Syamsuddin, Din, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah
Assembly Debates in Indonesia, disertasi doktor, University of
Pemikiran Politik Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor
Chicago, 1983
2, Vol. IV, tahun 1992.
Macdonald, D.B , Development of Muslim Theology, Jurisprudence,
Turabi, Hasan, al-Harakah al-Islâmiyyah fî Sudan: al-Tathawwur wa
and Constitutional Theory New York: Tanpa Penerbit, 1903.
al-Kasb wa al-Manhaj, Lahore: Iman, 1410/1990
Madjid, Nurcholish, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, dalam
----------, al-Shahwah al-Islamiyah wa al-Dawlah al-Quthriyyah fiy al-
Tempo, 29 Desember 1984, hlm. 17
Wathan al-‘Arabiy, dalam Sa’d al-Din Ibrahim (ed.), al-
Malik , Dedy Djamaluddin, & Idy Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Shahwah al-Islâmiyyah wa Humûm al-Wathan al-‘Arabiy,
Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, Amman: Muntadza al-Fikr al-‘Arabiy, 1988.
Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaludin Rakhmat,
----------, Islam, Democracy, the State, and the West”, Middle East
Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998
Policy 1, No. 3, 1992.
Mulia, Musdah, Negara Islam: pemikiran Politik Husain Haikal,
----------, “The Islamic State” dalam dalam Voices of Resurgent
Jakarta: Paramadina, 2001
Islam, disunting oleh John L. Esposito, New York: Oxford
Munawar-Rachman, Budhy, “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish University Press, 1983
Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta:
Wahid, Abdurrahaman, “Islam, Pluralisme, dan Demokratisasi,”
Paramadina, 1999
dalam Arief Affandi, Islam, Demokrasi Atas Bawah: Polemik
Musa, Muhammad Yusuf, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, Kairo: Dar al- Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais,
Kitab al-‘Arabiy, 1963. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Qutb, Sayyid, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, Beirut: Dar al- ----------, “Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan
Kitab al-‘Arabiy, 1967. Negara dalam Islam: Sebuah Tinjauan Penjajagan”, Pidato
pada Dies Natalis Universitas Tribakti, Kediri, 25 Oktober
Rais, Amien, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Bandung:
1986.
Mizan, 1987.
----------, “Democracy, Religion, and Human Right in Shoutheast
Ramage, Douglas E., “Demokratisasi, Toleransi Agama dan
Asia”, pada East-West Center, Honululu, 16 September 1994.
Pancasila: Pemikiran Politik Abdurrahaman Wahid”, dalam
Greg Fealy & Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal: ----------,“Generasi Muda Islam dan Masa Depan Bangsa Indonesia”,
Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LKiS, makalah pada Temu Wicara Nasional FMGI, Jakarta, 27-30
1997. Desember 1986.

119 120
----------, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?” Tempo, 29 Desember
1984.
----------, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”,
Posisi NU (Nahdlatul Ulama) di tengah pembangunan bangsa
Prisma, Nomor Ekstra, 1984, hlm. 9 memang selalu berada di wilayah pinggiran (pheriperal). Namun
----------, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”,
demikian, barangkali ini merupakan karakter kultural yang justru
dalam Prisma, edisi ekstra, 1984. membuat organisasi sosial-keagamaan ini tetap berperan penting
----------, “Religious Beliefs: The Transmission and Development of
dalam pengembangan masyarakat lokal, terutama di pelosok-pelosok
Doctrine”, Jakarta Post, 7 September 1991. pedasaan. Kalau diperhatikan, salah satu agenda yang diperjuangkan
----------, “Sekali Lagi tentang Forum Demokrasi”, Editor, No. oleh komunitas nahdhiyin sejak awal adalah konsentrasinya pada
36/THn. IV/1991. upaya pemberdayaan dan peningkatan Sumber Daya Manusia
----------, Islam Politics and Democracy in the 1950-1990”, 1994. (human resources), baik dari aspek pengetahuan (knowlwdge),
keterampilah hidup (life skill), maupun dari sisi spiritualitas dan
----------, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam: Tinjauan
Kontemporer atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, Makalah pembentukan akhlâq al-karîmah.
disampaikan pada seminar tentang “Konsep Negara Islam”,
UII, Yogyakarta, 7 Pebruari 1988.
Disadari atau tidak, nampaknya peran-peran kultural semacam ini
telah lama dimainkan kaum muslimin Indonesia, terutama oleh
-----------, Mencari Format Hubungan Agama dengan Negara, dalam
Kompas, 5 Nopember 1998.
komunitas NU. Pada abad ke-19, laporan tentang keberadaan
pendidikan Islam yang bernama pesantren di beberapa daerah, seperti
----------, Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama”,
Majalah Aula, Surabaya, Mei 1985. di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Minangkabau, telah dikemukakan,
misalnya oleh Snouck Hurgronje, Verkerk Pistorius, dan Brumund
----------, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia”, Prisma,
No.4/April 1984, hlm. 35. (Karel A. Steenbrink, 1994: 8). Ini menunjukkan, bahwa eksistensi
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang diselenggarakan
Wahid, Marzuki (ed.), Beyond the Symbols: Jejak Antropologis
Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung: Kerja Sama Rosda oleh masyarakat Indonesia sudah sejak lama ada, meskipun pendirian
dengan INCReS, 2000. organisasi NU baru pada tahun 1926.
Silaturrahim Organisasi NU berdiri setelah pesantren sekian lama menyatu di
GELIAT PENDIDIKAN NU DALAM MEMBENTUK MANUSIA tengah masyarakat. Pengorganisasian NU baru belakangan dilakukan
UNGGULAN oleh para ulama pondok pesantren, setelah jauh sebelumnya
keberadaan pesantren tersebar di seluruh Nusantara. Makanya, tidak
Bersama heran kalau kemudian NU diidentikkan dengan pesantren. Hal ini
Drs. Nadjid Mukhtar, MA karena, NU lahir dari pesantren–sebuah komunitas pendidikan
Jakarta, 08 Desember 2004 tradisio-nal yang indegenous. Dalam perjalanan selanjutnya,
penyelenggaraan pendidi-kan di pesantren mengalami dinamika-nya
tersendiri. Perubahan eksternal, seperti kemajuan ilmu pengetahuan,
121 122
sains dan tekhnologi, di samping juga tuntutan masyarakat, sedikit berfungsi sebagai hamba Allah ('Abdullah), sekaligus
banyak mewarnai dunia pesantren. Sehingga, dari sekian banyak menyadari keberadaan dirinya sebagai khalifatullah di
pesantren, tidak sedikit yang bermetamorfosa menjadi lembaga muka bumi.
pendidikan Islam formal–lembaga pendidikan yang kemudian dikenal Pertama, manusia yang berfungsi menjadi hamba Allah
dengan sebutan madrasah. Akhirnya, sebagaimana dikemukakan oleh adalah manusia yang meyakini kehadiran Allah dan
Drs. Nadjid Mukhtar, MA. (Ketua Umum PP LP Maarif NU Masa meng-Esakan-Nya. Selanjutnya, ia menyadari, bahwa
Bakti 1999-2004), semenjak Muktamar di Menes, Banten, NU manusia mempunyai kewajiban untuk patuh secara total
memutuskan untuk mempunyai bagian struktural-fungsio-nal yang kepada-Nya. Inilah yang disebut dengan 'Abdullah. Hal
secara khusus concern dalam mengkoordinasi dan melakukan pembi- ini sejalan dengan fitrah (potency) manusia sendiri,
naan bagi penyelenggaraan pendidikan formal di lingkungan NU. bahwa setiap manusia yang dilahirkan dibekali oleh
Sementara itu, koordinasi terhadap penyelenggaraan pendidikan di Allah SWT dengan berbagai potensi dan naluri
pesantren-pesantren dilakukan oleh RMI (Rabithathul Ma’ahid al- (Gharîzah, Insting). Di mana, salah satu di antaranya
Islamiyyah). adalah potensi dan naluri untuk mengakui, bahwa Allah
SWT adalah Tuhan (Rabbun) yang telah menciptakan dan
Sejauh mana konsep pendi-dikan, kebijakan, dan upaya-upaya memelihara alam raya ini. Setelah manusia menyadari
strategis LP Maarif NU dalam menye-lenggarakan pendidikan di keberadaan-Nya dan kemudian mengesakan-Nya,
lingkungan NU, berikut perbincangan Ahmad el Chumaedy dari manusia sudah sepatutnya untuk mengabdi secara total
Jurnal Maarif dengan Drs. HM. Nadjid Mukhtar, MA yang kepada-Nya. Kedua, manusia berfungsi sebagai
bertempat di kantor PP LP Maarif NU pada tanggal 8 Desember Khalifatullah. Dalam pengertian, manusia menerima
2004. mandataris dari Allah SWT untuk mengelola alam raya
ini, sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan-Nya.
Di mana, hal itu bertujuan untuk menciptakan
Apakah bapak melihat adanya pergeseran paradigma pendidikan atau kemaslahatan dan kesejahteraan bagi manusia (di dunia
konsep pendidikan yang menjadi landasan bagi penyelenggaraan dan di akhirat), di samping juga untuk keberlangsungan
pendidikan di lingkungan LP Maarif NU? alam raya. Jadi, yang dicita-citakan dari
Sejak Muktamar NU di Menes mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan di lingkungan NU adalah
penyelenggaraan pendidikan di lingkungan NU kepada LP untuk menciptakan manusia yang mempunyai kesadaran
Maarif NU sampai dengan sekarang, paradigma sebagai 'Abdullah dan Khalifatullah. Di samping itu,
pendidikan yang menjadi landasan penyelenggaraan paradigma dan visi pendidikan NU secara umum
pendidikan di LP Maarif NU masih relatif sama, yaitu didasarkan pada al-Qur'an dan as-Sunnah. Inilah visi
untuk menciptakan manusia (baca: peserta didik) yang pendidikan Maarif NU yang sejak dari dulu hingga
bertakwa kepada Allah SWT. Dalam istilah lain, disebut sekarang tidak mengalami perubahan. Dari Muktamar ke
dengan "manusia unggulan", yaitu manusia yang Muktamar, dan dari Mukernas ke Mukernas, pergeserab
barangkali baru terlihat pada uraian misi dan tujuan
123 124
yang akan dicapai oleh kepengurusan yang baru yang baik, tetapi juga tidak takut untuk mengadopsi
terbentuk. Meskipun setiap kali terbentuknya nilai-nilai baru yang lebih baik. Hal-hal yang baru di
kepengurusan baru di tubuh PP LP Maarif NU mempunyai berbagai aspeknya, seperti perkembangan pengetahuan,
rumusan misi pendidikan yang berbeda dengan tekhnologi, kebudayaan, sarana-prasarana dan lain-lain,
sebelumnya, namun perubahan yang terjadi selalu tidak selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam, kita
lepas dari konsep dasar yang tertuang dalam visi tidak perlu takut untuk mengambilnya. Makanya, dari
pendidikan NU, sebagaimana disebutkan di atas. perjalanan Muktamar NU dan Mukernas PP LP Maarif
selama ini, kemudian melahirkan rumusan misi, tujuan
dan orientasi yang berbeda. Di mana, perbedaan ini
Apakah yang menjadi alasan perubahan terhadap misi, tujuan dan tentunya dalam rangka peningkatan mutu pendidikan
orientasi pendidikan yang seringkali terjadi dari satu kepengurusan ke dan optimalisasi pencapaian visi pendidikan di
kepengurusan yang baru di tubuh PP. LP. Maarif NU? lingkungan NU.
Perkembangan ilmu pengetahuan, sains, dan tekhnologi,
di samping besarnya tuntutan masyarakat terhadap Menurut hemat bapak, apakah yang seharusnya dilakukan PP LP
pendidikan, kemudian menjadikan lembaga-lembaga
Maarif NU untuk mengantisipasi persaingan mutu pendidikan yang
pendidikan Maarif NU mulai melakukan pengembangan
begitu kompetitif dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar
diri, baik dari aspek pengelolaan (manajemen),
metodologi, maupun bentuk penyelenggaraannya. Jadi, Lembaga Pendidikan Maarif NU, terutama untuk memenuhi
secara paradigmatik, pendidikan NU tetap konsisten tuntutan pasar tenaga kerja?
atau tidak mengalami pergeseran dengan visi yang sejak Pertama, secara paradigmatik, para penyelenggara
pertama kali dirumuskan. Sementara, perubahan justru lembaga-lembaga pendidikan Maarif NU harus berpegang
lebih pada cara bagaimana mencapai visi pendidikan teguh pada visi yang diusung oleh Lembaga Pendidikan
tersebut. Tentu saja hal ini kemudian berdampak pada Maarif NU, yaitu untuk membentuk manusia (peserta
adanya perubahan misi, tujuan dan orientasi didik) yang unggulan. Dalam arti, manusia yang
pendidikannya. Perkembangan ilmu pengetahuan, sains, mempunyai kesadaran untuk menjalankan fungsi sebagai
dan tekhnologi justru sangat membantu bagi proses 'Abdullah dan Khalifatullah. Kedua, mengembangkan
pencapaian visi pendidikan di lingkungan NU. Dalam pendidikan di berbagai satuan pendidikan—mulai tingkat
kaitan inilah kita berpegang pada kaidah yang dasar sampai perguruan tinggi—berdasarkan tuntutan
dirumuskan oleh para ulama, yaitu: "al-muhâfadzah 'ala masyarakat dan kebutuhan tenaga kerja. Hal itu
al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd al-ashlah" diwujudkan dengan menyelenggarakan satuan
(Mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan pendidikan yang berorientasi pada penguasaan
mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik). Dengan keterampilan hidup (life skill oriented), yaitu dengan
pijakan ini, dalam rangka mencapai visi pendidikannya, menyelenggarakan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)
PP LP Maarif NU tidak mudah membuang nilai-nilai lama
125 126
yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di memberikan bantuan-bantuan secara tekhnis bagi
daerahnya, misalnya pada bidang kerajinan, otomotif, sekolah-sekolah Maarif NU, seperti pengadaan buku,
pertanian, perikanan, dan lain-lain. Meskipun demikian, sarana-prasarana, dan perangkat lain yang dibutuhkan.
yang terpenting dari setiap penyelenggaraan berbagai Kalaupun Pengurus Pusat memberikan bantuan yang
satuan pendidikan di lingkungan LP Maarif NU adalah sifatnya real, sejauh ini kadarnya masih minimal. Selain
membentuk manusia (peserta didik) yang memiliki berperan secara koordinatif dengan pengurus LP Maarif
akhlak mulia (akhlâq al-karîmah). NU di bawahnya, PP LP Maarif NU juga melakukan
Kita harus mengakui, bahwa lembaga-lembaga beberapa upaya-upaya konkret yang dibutuhkan,
misalnya: [1] Menjalin kerja sama dengan lembaga-
pendidikan Maarif NU ada yang sudah maju (baca: high
quality), dan ada yang masih perlu ditingkatkan lembaga donor (founding) yang akan memberikan
bantuan bagi penyelenggaraan pendidikan Maarif NU,
kualitasnya. Inilah yang selama ini diupayakan oleh para
pengurus Maarif NU, baik di tingkat pusat, maupun seperti dengan Departemen Pendidikan Nasional,
Departemen Agama, AUSAID, dan seterusnya; [2]
ditingkat daerah, yaitu dengan bereksperimentasi dalam
mencari metode atau cara yang terbaik dalam mencapai Meningkatkan mutu pengelolaan (Manajemen) dan mutu
guru melalui pelatihan, semiloka, seminar, lokakarya,
cita-cita pendidikan di lingkungan NU. Oleh karena itu,
kita tidak menutup mata dengan dunia luar dan dan seterusnya. Sementara dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tekhnis-operasional, sampai saat
perkembangan yang terjadi di berbagai aspeknya.
ini masih menjadi tanggung jawab Pengurus Wilayah,
Pengurus Cabang, dan para pengelola lembaga-lembaga
Sejauh ini, apakah yang selama ini dilakukan oleh Pengurus Lembaga pendidikan Maarif NU sendiri.
Pendidikan Maarif NU dalam rangka mengembangkan metodologi
yang tepat dalam mencapai visi pendidikannya?
Apakah ciri khas yang membedakan pendidikan yang diselenggarakan
Selama ini, konsentrasi Pengurus Pusat Lembaga oleh LP Maarif NU, dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pendidikan Maarif NU lebih bersifat koordinatif, lembaga-lembaga lain, misalnya yang diselenggarakan oleh
ketimbang tekhnis-operasional. Dengan pola kerja yang Muhammadiyah?
dimilikinya inilah, Pengurus Pusat melakukan koordinasi
dengan Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Saya kira, pendidikan yang diselenggarakan oleh LP
terkadang secara langsung di sekolah-sekolah Maarif NU Maarif NU dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh
dalam rangka mencarikan solusi yang terbaik untuk lembaga-lembaga lain mempunyai visi atau cita-cita
mencapai visi dan misi pendidikan Maarif NU. Memang yang sama, yaitu membentuk manusia yang bertakwa
harus diakui, bahwa peran yang selama ini dilakukan kepada Allah SWT. Barangkali yang membedakan antara
Pengurus Pusat lebih pada tataran konsep (discours), LP Maarif NU dengan lembaga lainnya adalah pada cara
metodologis dan jaringan (networking), ketimbang pencapaiannya. Memang di sini kita harus mengakui,
bahwa LP Maarif NU masih banyak yang belum
127 128
mempunyai sistem pengelolaan (manajemen) yang boleh tokoh-tokoh dan para ulama NU. Meskipun kenyataannya
dibilang kurang efektif dan profesional, meskipun kita demikian, Pengurus LP Maarif NU tetap berkewajiban
juga jangan lupa banyak sekolah-sekolah Maarif NU yang untuk menggarapnya dengan baik. Sampai saat ini, satu-
dikelola secara profesional. Dengan melihat kenyataan satunya ikatan di antara semua sekolah-sekolah di
seperti ini, kita tentu perlu melakukan perbandingan lingkungan NU adalah dengan dimasukkannya mata
(comparative study) dengan lembaga-lembaga pelajaran ke-NU-an dan Aswaja. Dengan latar belakang
pendidikan yang sudah lebih berhasil dalam mengelola seperti ini, tentu saja antara satu sekolah dengan
pendidikan secara efektif dan profesional. Dalam hal ini, sekolah lainnya tidak mempunyai kemampuan
nampaknya terdapat perbedaan yang cukup manajerial yang sama. Di sinilah tantangan sekaligus
diperhitungkan antara pendidikan di lingkungan NU masalah yang harus dihadapi oleh pengurus LP Maarif
dengan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Pada NU, yang harus mengkoordinasi tiga tipe sekolah yang
organisasi Muhammadiyah, suatu daerah tidak bisa berbeda tersebut.
membentuk Pengurus Cabang, tanpa sebelumnya sudah
Selain berupaya mengatasi lemahnya aspek manajemen
mendirikan minimal satu sekolah. Dengan begitu, di sekolah-sekolah Maarif NU, yang juga sekarang sedang
perjuangan para Pengurus Cabang sangat terfokus dalam
diupayakan adalah mengatasi masalah kurikulum. Dulu,
memperjuangkan terselenggaranya pendidikan di LP Maarif NU mempunyai muatan kurikulum tersendiri,
daerahnya. Sementara di lingkungan Maarif NU, hal ini
di samping tentunya kurikulum nasional. Beberapa
nampaknya tidak terjadi. Seperti halnya jam'iyyah NU
muatan kurikulum khas LP Maarif NU yang pernah
sendiri, LP Maarif NU juga terbentuk dari pendidikan diberlakukan berdasarkan GBPP yang disusun pada tahun
yang didirikan oleh para kiayi di pondok-pondok
1983 adalah: [1] Aswaja, [2] ke-NU-an, [2] Fiqh, [3]
pesantren. Nahdlatul Ulama merupakan kumpulan para Tafsir, [4] Hadis, [5] Bahasa Arab. Namun, setelah
kiayi pondok pesantren yang sebelumnya sudah ada,
beberapa kali dilakukan pertemuan dengan Pengurus
baru kemudian diorganisir belakangan. Nampaknya, hal Wilayah dan Pengurus Cabang—terakhir pertemuan di
ini juga yang terjadi pada LP Maarif NU. Sekolah-sekolah
Malang—nampaknya kurikulum tersebut perlu
yang ada di lingkungan NU secara umum ada tiga tipe, mendapatkan penyempurnaan. Inilah yang sekarang
yaitu: [1] Sekolah-sekolah yang didirikan oleh LP Maarif
sedang digarap oleh Pengurus LP Maarif NU. Berdasarkan
NU, [2] Sekolah yang didirikan oleh yayasan-yayasan saran-saran yang muncul di Muktamar NU di Solo
yang dimiliki oleh orang-orang NU, kemudian
kemarin, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh
memayungkan diri kepada Maarif NU, dan [3] Sekolah- pengurus Maarif NU ke depan, yaitu: [1] Dalam rangka
sekolah yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU, dan para
penyempurnaan kurikulum pendidikan Maarif NU, ke
kiayi NU, tetapi tidak mempunyai ikatan struktural- depan rencananya akan diselenggarakan pelatihan-
organisasi dengan NU atau LP Maarif NU. Dalam
pelatihan bagi setiap guru pada masing-masing mata
kenyataannya, yang paling banyak adalah tipe yang pelajaran yang berbeda, baik pelaksanannya
terakhir tadi, yaitu sekolah-sekolah yang didirikan oleh
diselenggarakan oleh Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah,
129 130
maupun oleh Pengurus Cabang. [2] Setiap Wilayah harus Satu hal yang perlu dipertimbangkan oleh Pengurus
membuat "Sekolah Unggulan" atau "Sekolah Pusat yang baru nanti adalah, mengidentifikasi program-
Percontohan"—sekolah yang dikelola secara efektif, program yang sudah dan belum dilakukan oleh Pengurus
mempunyai kurikulum yang baik, mempunyai Pusat sekarang. Dengan demikian, ada kesinambungan
kelengkapan sarana-prasarana yang memadai dan antara pengurus lama dengan pengurus baru. Secara
seterusnya. Sehingga, sekolah-sekolah Maarif NU lainnya konkret ada beberapa program yang perlu
yang ada di setiap wilayah, mempunyai sekolah yang ditindaklanjuti oleh Pengurus Pusat LP Maarif NU yang
bisa dijadikan sebagai model atau percontohan. baru, yaitu: [1] Melanjutkan upaya untuk membuat
sekolah model di setiap wilayah, [2] Memperluas
jaringan kerja sama dengan lembaga-lembaga donor, di
Apakah semua bentuk penyelenggaraan pendidikan di lingkungan NU samping terus menggali sumber-sumber dana dalam
sepenuhnya dikoordinasi, sekaligus penyelenggaraannya menjadi rangka membiayai penyelenggaraan pendidikan di
tanggung jawab LP Maarif NU? sekolah-sekolah Maarif NU.[]
Berdasarkan hasil Muktamar di Solo kemarin, Pengurus Shurah
LP Maarif NU mendapat tugas untuk mengeluarkan PENDIDIKAN BERBASIS LOKAL:
kebijakan NU di bidang pendidikan formal, mulai dari
Madrasah Ibtidaiyah/Madrasah Diniyah, Madrasah
POTRET PONDOK PESANTREN AL HIKMAH 2
Tsanawiyah/SLTP, Madrasah Aliyah/SMU/SMK, sampai BENDA, SIRAMPOG, BREBES SELATAN
Perguruan Tinggi. Sedangkan penyelenggaraan
pendidikan pra-sekolah (TK, TPA, RA), sekarang ini Redaksi
menjadi tanggung jawab Muslimat NU. Sementara yang
mendapatkan tugas untuk mengkoordinasi dan
mengeluarkan kebijakan pendidikan di pesantren-
pesantren adalah RMI. Meskipun demikian, dalam Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Al Hikmah
pelaksanannya ketiga lembaga di bawah naungan PBNU terletak di Desa Benda Kecamatan Sirampog Kabupaten
ini selalu melakukan koordinasi secara intens. Dengan Brebes, Jawa Tengah. Komplek pesantren ini menempati
begitu, penyelenggaraan pendidikan secara umum di areal tanah seluas 10 ha, dan berada pada ketinggian
lingkungan NU dapat dilakukan secara terpadu dan 200 m dari permukaan laut. Meski letaknya cukup jauh
menyeluruh. dari kota Bumiayu, sekitar 7 km, tetapi tetap mudah
dijangkau dengan alat transportasi darat, baik mobil
ataupun motor. Di siang hari, untuk menuju komplek
Apakah saran bapak untuk PP LP Maarif NU pada periode yang pesantren ini bisa menaiki kendaraan umum angkutan
baru nanti? kota. Sebab, setelah malam hari, jenis kendaraan ini
tidak lagi beroperasi. Sehingga, orang yang akan

131 132
berkunjung ke sana pada malam hari, kalau tidak mem- kawasan pesantren. Sementara iklim yang cukup dingin,
bawa kendaraan pribadi, mesti menggu-nakan jasa para terutama menjelang malam dan pagi hari, semakin
tukang ojek. menam-bah nilai perjuangan para santrinya untuk
Komplek Pesantren Al Hikmah amat berdekatan dengan berjuang keras membekali diri dengan berbagai disiplin
ilmu yang digelar di pesantren ini. Bahkan, menurut
perkampungan masyarakat. Bahkan, bisa dibilang
membaur dengan letak kediaman warga Desa Benda. salah seorang santri (identi-tasnya dirahasiakan) yang
sempat ditanyai soal alasannya betah mondok di sana
Sehingga, dengan letak yang berdekatan tersebut,
jalinan sosial antara masyarakat dengan santri atau adalah, karena di samping nilai plus materi
pelajarannya, juga karena baginya belajar di Pondok
santriwati Pondok Pesantren Al Hikmah terlihat amat
akrab dan bersahaja. Aktivitas para santri yang begitu Pesantren Al Hikmah dapat membantunya lebih
konsentrasi dalam belajar. Ini terutama karena letaknya
massif dalam menimba ilmu pengetahuan pada
gilirannya sedikit banyak membari warna budaya bagi yang cukup jauh dari kota, ditambah lagi dengan kondisi
geografis yang indah dan nyaman. Ketika dikonfirmasi
masyarakat sekitar. Betapa tidak, dilihat dari
permormence (penampilan) saja, para santri memiliki soal apa yang dipahaminya tentang nilai plus materi
pelajaran yang dimaksud, ia menjawab, “saya berharap,
karakteristik budaya Islami yang menonjol. Seperti
halnya terlihat pada komplek-komplek pesan-tren lain, setelah keluar dari sini, saya memiliki pemahaman
agama yang mendalam, sekaligus mempunyai bekal
di Pondok Pesantren Al Hikmah juga memperlihatkan
keterampilan yang akan saya gunakan untuk bekerja
kekhasan tradisi dan kebiasaan yang kental dengan
nuansa islaminya. Sebut saja misalnya, bagi santri, kalau saya tidak mampu melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.”
sarung dan kopyah adalah kostum yang nyaman
dikenakan setiap harinya. Sementara bagi santriwati, Jawaban yang diberikan salah seorang santri tersebut
jilbab merupakan kostum wajib yang dikenakan mereka memang cukup beralasan, karena kebetulan ia adalah
di saat berada di sekitar kawasan pesantren tersebut. salah-satu siswa pada Madrasah Aliyah Al Hikmah 2
Kalau harus dibahasakan, situasi semacam ini seolah Terpadu (Malhikdua). Pasalnya, madrasah yang satu
menampilkan dirinya dengan fenomena ’kota santri’, jenjang dengan SMA (sekolah Menengah Atas) ini
meski dengan letak yang cukup jauh dari kota beneran. mempunyai motto, “sekolah sambil kursus, kursus
sambil sekolah”. Di mana, pada aliyah Program Umum,
Dari sisi geografis, Pondok Pesantren Al Hikmah
tepatnya terletak di kaki Gunung Slamet. Kondisi siswa atau siswi diberikan pilihan untuk mengambil
salah-satu di antara empat spesifikasi program berikut:
geografis ini ternyata menjadi semacam daya tarik
tersendiri bagi para santri yang menimba ilmu di sana. [1] spesifikasi Komputer (setara D1), [2] spesifikasi
Bahas Inggris (setara D1), [3] spesifikasi Wirausaha
Sebab, pada cuaca cerah akan tampak terlihat
pemandangan indah. Hamparan perbukitan dan gunung (setara D1) yang meliputi: Tata Busana, Perikanan dan
Pengelasan, dan [4] spesifikasi Kitab Tutats. Sementara
yang menjulang secara lebih dekat bisa disaksikan dari
dalam praktek pengajarannya, Malhikdua menerapkan
133 134
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Life Skill Pondok Pesantren Al Hikmah pertama kali dirintis pada
(keterampilan hidup). tahun 1911 oleh KH. Khalil bin Mahalli dan kepona-
kannya, KH. Suhaimi bin Abdul Ghani. Pada kali pertama
Orientasi Malhikdua yang berani membuka dua program
(MAU dan MAK) ini, bertumpu pada misi untuk digelarnya lembaga pendidikan Islam di kawasan Benda,
Sirampog, Brebes Selatan ini, sistem pendidikan masih
menyiapkan siswa yang bermutu, berwawasan IMTAK
(Iman dan Takwa) dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan menggunakan pende-katan “Mau’idhah Hasanah”. Di
mana, pendekatan ini berorientasi pada dua spektrum,
Tekhnologi) serta siap mandiri di masyarakat, melalui
peningkatan mutu tenaga kependidikan yang yaitu: [1] Fiqh dan Kemasya-rakatan yang dikembangkan
oleh KH. Khalil bin Mahalli dan [2] Tahafudz al-Qur’an
berdedikasi tinggi, pengembangan kurikulum,
optimalisasi fasilitas, sistem pelayanan yang yang dikembangkan oleh KH. Suhaimi bin Abdul Ghani.
profesional, penggalian serta pengelolaan sumber dana Pada periode berikutnya, yaitu semenjak tahun 1930,
secara maksimal dan proporsional, sehingga mampu sistem pendidi-kan mulai menggunakan sistem klasikal-
bersaing pada era AFTA (asean Free Trade Area) dan salafi. Kemudian, pada periode selanjut-nya, yang
AFLA (Asean free Labour Area). Dalam mewujudkan misi dimulai tahun 1965 sampai sekarang, atas asuhan KH.
mulianya ini, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Labib Shodiq (Al Hikmah 1) dan KH. Masruri Abdul
nampaknya menyadari betul betapa pentingnya menjalin Mughni (Al Hikmah 2), lembaga pendidikan Islam ini
kerjasama yang sifatnya kemitraan dengan berbagai semakin memper-cantik dirinya dengan berbagai upaya
instansi-instansi lain. Oleh karena itu, kesadaran ini pembenahan dan pengembangan. Ini, misalnya ditandai
kemudian diwujudkan dengan terjalinnya kerja sama dengan penerapan manajemen (pengelolaan) yang
Pondok Pesantren Al Hikmah 2 dengan berbagai instansi, profe-sional dan penerapan tekhnologi untuk membantu
baik Pemerintah maupun swasta. Hingga saat ini, dalam efektivitas penyelenggaraan pendidikannya.
rangka menunjang terselenggaranya program-program Dalam perkembangan berikut-nya, yayasan berkembang
yang terdapat pada Malhik-dua, Pondok Pesantren Al
menjadi Al Hikmah 1 dan 2. Di dua lembaga pendi-dikan
Hikmah 2 menjalin kerjasama dengan instansi-instansi itu dibuka lembaga pendidikan dari mulai TK sampai
berikut, yaitu: Deperindag RI, Depsos RI, Diknas RI,
SMA. Adapun Al Hikmah 2 mengembangkan Perguruan
Disnakertrans RI, Depag RI, Dephub RI, LAN RI, Disperik, Tinggi (Akper) dan Sekolah Tinggi (Ma’had ’Aly) serta
LP3KM Bandung, IAIN Wali Songo Semarang, Telkom
tentu saja pada satuan pendidikan lainnya (lihat pada
Jakarta Selatan, Lemigas, PPPG Cianjur, Balitkanwar sub-judul: Merubah Idealitas menjadi Realitas).
Sukamandi, TEDC Bandung, New Armada Magelang,
Hospital Equipment Yogyakarta, dan PLN Region Banten. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah
pengaruh jam’iyah NU, penyebutan nama Al Hikmah—
bukan dengan nama Ma’arif—tentu saja mempunyai latar
Lebih Dekat dengan Pondok Pesantren Al Hikmah historis tersendiri. Hal ini terutama dilatarbelakangi
oleh situasi politik yang waktu itu tidak memungkinkan

135 136
dicantumkannya label Ma’arif pada lembaga pendidikan Suatu organisasi akan terlihat pucat pasi, ketika
di lingkungan Yayasan Al Hikmah. Sebagaimana beroperasi tanpa visi. Visi merupakan idealisasi yang
dikemukakan oleh pengasuh Pondok Pesantren Al diandaikan akan tercapai melalui berbagai bentuk aksi.
Hikmah 2, KH. Masruri Abdul Mughni, pencantuman label Maka, begitu pentingnya sebuah visi, sampai suatu
Ma’arif waktu itu berakibat pada ancaman penggusuran organisasi tak mampu menciptakan kreasi yang berarti,
oleh penguasa Orde Baru. Itulah salah satu yang apalagi memberikan manfaat bagi kelompok organisasi,
menyebabkan nama Al Hikmah sampai sekarang ketika di dalamnya tidak ada visi. Dalam konteks inilah,
dipertahankan. Karena, kalaupun sekarang langkah-langkah edukatif-pedagogis yang selama ini
memungkinkan dilakukan perubahan nama—dari Al diupayakan di Pondok Pesantren Al Hikmah berpijak
Hikmah menjadi Ma’arif, tetapi hal itu nampaknya tidak pada sebuah visi. Bagi Pondok Pesantren Al Hikmah,
begitu berpengaruh, karena Pondok Pesantren Al Hikmah pengandaian ideal yang akan dicapai pada masa depan
dalam kenyataannya tetap konsisten dengan semangat adalah dengan bertolak pada visi untuk mewujudkan
NU. Bahkan, dalam konteks kebijakan pendidikan dan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dalam
kurikulum pendidikannya, Al Hikmah tetap mengacu keimanan dan ketaqwaan dengan penguasaan dan
pada PP LP Ma’arif NU—sebuah departementasi PBNU pemahaman terhadap ajaran agama, ilmu pengetahuan,
yang secara khusus bergerak dalam bidang pendidikan. tekhnologi, sehingga mampu beraktualisasi diri di era
Sehingga, tanpa palabelan nama Ma’arif pun, lembaga globalisasi.
pendidikan ini konsisten untuk merujuk pada kebijakan
Untuk memperjelas targetan ideal yang termuat pada
PP LP Ma’arif NU, baik dalam hal kurikulumnya, maupun visi di atas, selanjutnya lebih dirinci ke dalam beberapa
bentuk kebijakan lainnya, yaitu yang berorientasi pada
misi. Di mana, Pondok Pesantren Al Hikmah
peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU. Sebab, menerjemahkan visinya ke dalam beberapa rumusan
bagaimanapun juga Pondok Pesantren Al Hikmah
misi berikut: [1] melaksanakan pendidikan, pengajaran
mempunyai garis struktural dengan PP LP Ma’arif NU, dan dakwah; [2] menyiapkan santri untuk mewarisi
terutama dalam konteks kebijakan-kebijakan pendidikan
tradisi-tradisi ulama terkemuka, melalui pemahaman
yang dikeluarkan PP LP Ma’arif NU. Sehingga secara kitab-kitab kuning dan kekinian; [3] menyiapkan sumber
otomatis, secara primordial dan kultural mempunyai
daya manusia yang memiliki ‘ghirah Islamiyah’
kaitan yang sangat dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). (semangat keislaman) yang tinggi dalam melaksanakan
Hal ini terutama terlihat dari kurikulum yang
ajaran agama; [4] mengkondisikan santri agar
diberlakukannya, yang memuat materi Aswaja dan ke- memahami, mencintai dan mengamal-kan ajaran-ajaran
NU-an.
agama dan [5] menyiapkan santri agar memiliki
kemahiran berbahasa Arab dan Bahasa Inggris serta
Merubah Idealitas Menjadi Realitas memiliki keterampilan hidup (life skill).

137 138
Sampai saat ini, Pondok Pesan-tren Al Hikmah 2 memiliki Program unggulan di Ponpes Al Hikmah 2 secara umum
beberapa satuan Pendidikan, yaitu: [1] SMP (Sekolah dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama, sistem kajian. Pada
Menengah Pertama) Putra dan Putri; [2] MTs (Madrasah program pertama ini, ada beberapa sub-program yang
Tsanawiyah); [3] SMA (Sekolah Menengah Atas); [4] MA dilakukan di pondok pesantren ini: [1] santri pada
(Madrasah Aliyah) 2 Terpadu, yaitu dengan Program Pondok Pesantren Al Hikmah di samping harus
Umum (MAU) dan Program Keagamaan (MAK); [5] memahami referensi-referensi Islam klasik, mereka juga
Madrasah Mu’allimat (MM); [6] AKPER (Akademi mendalami referensi kekinian yang tersedia dalam 3.500
Keperawatan) dan [7] Ma’had ‘Ali. judul buku Islam; [2] sistem kajian memakai dia cara,
yaitu bandongan dan sorogan, kemudian dipertajam
Dibukanya berbagai satuan pendidikan di lingkungan
Pondok Pesantren Al Hikmah semakin menye-dot empati dengan diskusi-diskusi, mudzakarah, dan bahtsul masail;
dan [3] pendalaman yang dipakai dalam pembelajaran
masyarakat untuk memasu-kinya. Masyarakat semakin
jeli melihat institusi pendidikan yang mementingkan terhadap kajian kitab kuning adalah pendekatan Lembar
Kerja Siswa (LKS).
mutu, di samping juga dengan proses yang sistemik.
Makanya, ketika Pondok Pesantren Al Hikmah tampil Kedua, komunikasi harian. Komunikasi antar-santri
sebagai lembaga pendidikan Islam yang menghadirkan ataupun dengan ustadz dikondisikan untuk senantiasa
tiga menu sekaligus, yaitu pengetahuan (knowledge), menggunakan Bahasa Arab atau Bahasa Inggris. Dalam
keterampilan (skills), dan spiritualitas (afektif), pelaksa-naan program ini, santri disatulokalkan ke
membuat masyarakat semakin tergoda memasukkan dalam satu asrama. Para pembim-bing pada program ini
anaknya untuk dipesantrenkan di sana. Sehingga, tidak adalah lulusan Timur Tengah dan lembaga bahasa ter-
terlalu berlebihan menyebut Pondok Pesantren Al kenal di Jawa Timur.
Hikmah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam
Ketiga, keterampilan pilihan. Pada program ini, setiap
yang diminati masyarakat. Hal ini misalnya dilihat dari santri dibekali dengan satu keterampilan dari macam-
jumlah santri pada Ponpes Al Hikmah 2 yang dari tahun
macam keterampilan, yaitu tata busana, perikanan, las
TAHUN 1998 1999 2000 2001 2002 2003 gas dan listrik, operator computer, Bahasa Inggris, dan
per-tanian anggrek. Di mana, aplikasi dan penunjang
Jumlah Santri 4243 4355 4926 5625 6750 7875 program keterampilan ini adalah dengan PKL pada
instansi-instansi Pemerintah, Perusahaan, dan Industri.
ke tahun semakin mengalami peningkatan. Hingga tahun
2003, jumlah santri sebanyak 7875 orang. Mereka Dalam rangka menunjang ter-realisasikannya ketiga
berasal dari berbagai kota, baik dari Jawa maupun luar program terse-but, Pondok Pesantren ini dilengkapi
Jawa. dengan berbagai sarana dan prasarana yang cukup
memadai. Beberapa fasilitas yang tersedia di Ponpes Al
Hikmah, di antaranya adalah: [1] Majid Jami’ berlantai
Animo Masyarakat Beberapa Tahun Terakhir dua, dengan ukuran 20x30 m; [2] Masjid An-Nur

139 140
berlantai dua, dengan ukuran 30x30 m; [3] Asrama santri berbagai kegiatan pelatihan, seperti dalam peningkatan
putra sebanyak 75 kamar dan putri 93 kamar; [4] asrama penguasaan administrasi dan keuangan. Khusus untuk
PTQ 51 kamar; [5] ruang belajar; [6] Laboratorium dan bidang keuangan, pelatih didatangkan dari luar. Di
Perpustakaan sebanyak 2 unit; [6] Workshop kom-puter, samping secara internal, setiap bulan sekali pengasuh Al
Tata Busana, Perikanan, Penge-lasan, dan Kebun Hikmah memberikan orientasi pengembangan wawasan,
Anggrek; [7] Labora-torium Bahasa; dan [8] Ruang AVA baik yang bersifat lokal maupun global.
(Audio Visual).
Di lingkungan pendidikan Al Hikmah, hampir 80 %
Dibukanya ketiga program tersebut, secara umum pengajar sesuai dengan kapabilitas keilmuan yang
diarahkan pada pencapaian sasaran yang diidealkan. dimilikinya. Sementara sisanya (20 %) pengajar, mereka
Berbagai bentuk sasaran yang diharap-kan akan bisa mengajar materi yang sedikit berbeda dengan kapasitas
tercapai oleh para lulusan Pondok Pesantren Al Hikmah keilmuannya. Meskipun yang terakhir ini nampaknya
2 adalah: [1] memiliki ilmu pengetahuan umum yang lebih pada bidang-bidang keagamaan, misalnya seorang
memadai. Hal itu ditandai dengan masuknya santri ke ustadz yang kepakarannya di bidang tafsir, tetapi
berbagai perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri mengajar kitab-kitab fiqh. Sementara mengenai kepala
ternama di Indonesia; [2] memiliki kemampuan yang sekolah, sampai saat ini masih direkrut dari kalangan
memadai dalam ilmu agama yang ditandai dengan keluarga, tetapi dengan mempertimbangkan: [1]
keber-maknaan alumni di tengah masyarakat luas dan kemampuan manajerial, [2] loyalitas yang tinggi
pendirian-pendirian pesantren-pesantren baru oleh terhadap yayasan, dan [3] jiwa dan semangat
alumni di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawsi dan pengabdian kepada masyarakat.
Jawa. [3] Memiliki keterampilan yang memadai yang Dalam penyelanggaraan segala aktivitas pendidikannya,
ditandai dengan pendirian-pendirian unit usaha yang
Pondok Pesantren Al Hikmah didukung oleh staf Asatidz
sesuai dengan kebutuhan masyarakat; [4] memiliki atau tenaga pengajar yang merupakan pembantu
wawasan kemasyarakatan yang ditandai dengan aktifnya
Kiyai/Pengasuh Pondok Pesantren. Staf Asatidz
para alumni di organisasi-organisasi kema-syarakatan; berjumlah 191 orang dari berbagai disiplin ilmu yang
dan [5] memiliki kemam-puan berbahasa asing yang
merupakan tenaga-tenaga ahli di bidangnya masing-
memadai. Hal ini ditandai dengan banyaknya santri yang masing. Mereka berasal dari berbagai pesantren dan
memperoleh beasiswa untuk belajar ke Timur Tengah.
perguruan tinggi, baik dari dalam maupun luar negeri.

Sumber Daya Manusia


Desentralisasi Pendidikan dan Partisipasi Masyarakat
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, terutama
Penerapan kebijakan pemerintah, berupa UU Sisdiknas
melalui penguatan kapabilitas guru dan pengelola No. 20 Tahun 2003 pada tataran tertentu menjadi acuan
pendidikan, Yayasan Al Hikmah menyelenggarakan
bagi penyelenggaraan dan proses pendidikan di

141 142
ligkungan Pondok Pesantren Al Hikmah. Ini misalnya sedikit banyak dipengaruhi kultur masyarakat di wilayah
terlihat dari pemberian materi MAFIKIBB (Matematika, ini. Seperti dituturkan oleh Ustadz Sholahuddin,
Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris). Namun masyarakat wilayah ini cenderung mempunyai
demikian, Al Hikmah mempunyai muatan kurikulum kepedulian yang tinggi terhadap bidang pendidikan. Hal
sendiri, yaitu dengan memasukkan materi-materi yang ini kemudian menjadi faktor dilakukannya pengelolaan
berorientasi pada penguasaan skill, di samping materi pendidikan secara profesional. “Pesan-tren perlu
ke-NU-an dan Aswaja. Sehingga, dalam konteks dikelola secara profesional agar menghasilkan lulusan
desentralisasi pendidikan, Pondok Pesantren Al Hikmah yang bermutu. Karena bagaimanapun juga, pesantren
mengacu pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Dinas merupakan lembaga pendidikan Islam yang dibesarkan
Pendidikan Kabupaten Brebes Selatan. Sebagai contoh, oleh dan untuk masyarakat,” tutur Ustadz Sholahuddin—
Pondok Pesantren Al Hikmah mempunyai satuan putra KH. Masruri bin Abdul Mughni (pengasuh Pondok
pendidikan setingkat SMU (baca: Malhikdua) yang Pesantren Al Hikmah 2).
menerapkan kurikulum nasional, tetapi pada saat yang
Kebijakan yayasan untuk mem-bekali para siswa atau
sama juga mengem-bangkan sayapnya, dengan santrinya dengan berbagai kemampuan skill adalah
memasuk-kan muatan-muatan lokal yang berbasis pada
dengan pertimbangan realitas pendi-dikan di Indonesia.
pengembangan kompetensi. Hal ini tentu saja dengan Secara umum, lulusan SLTA hanya 10 % saja yang
mempertim-bangkan potensi lokal, seperti kompe-tensi
melanjutkan pada jenjang pendidikan tinggi, selebihnya
pertanian dan perikanan air tawar, demikian komentar
yang 90 % lagi kebanyakan “nganggur”. Inilah yang
Ustadz Sholahuddin ketika ditanya soal kurikulum menjadi pertimbangan penting bagi yayasan Al Hikmah
pendidikan yang diterapkan pada salah satu satuan
untuk memper-siapkan dan sekaligus mengantisipasi
pendidikan di Pondok Pesantren Al Hikmah 2. para lulusan lembaga pendidikan di lingkungan Al
Sementara itu, penerapan otonomi pendidikan, sebagai Hikmah. Sehingga, kelak mereka diharapkan mempunyai
konseku-ensi logis dari penerapan kebijakan jiwa kemandirian, baik dalam bidang ekonomi maupun
desentralisasi sistem pemerintahan, sekurang-kurangnya sosial-kemasyara-katan. Untuk mengantisipasi ketatnya
telah membawa berkah tersendiri, misalnya adanya persaingan kerja di tengah masyarakat, yayasan juga
pemberian bantuan SDM dan sarana-prasarana dari melakukan terobosan, dengan membuka spesifikasi
Pemerintah Daerah. Meskipun demikian, sampai saat ini bidang pelajaran dengan wawasan muatan lokal dan
Pondok Pesantren Al Hikmah masih menggantungkan sisi nasional, seperti perikanan, otomotif, elektronika,
pendanaannya kepada masyarakat dan wali murid. manajemen perusahaan, akuntansi, tata busana, dan
Tegasnya, penyelenggaraan pendidikan di Pondok perbengkelan. Terobosan ini merupakan bentuk
Pesantren Al Hikmah sampai saat ini masih antisipasi masa depan, kalau ada di antara santri yang
mengandalkan masya-rakat, baik wali murid maupun tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi,
masya-rakat yang peduli dengan pendidikan Islam di sehingga mereka dapat membuka usaha secara mandiri.
kawasan ini. Kondisi demikian juga nampaknya telah []
143 144
Maraji’ Horkheimer dalam Dialektik of Aufklärung serta yang
diulas oleh Marcuse dalam One-Dimensional Man yang
TEKNOLOGI: AGAMA BARU MODERNITAS? melukiskan bagaimana proses rasionalisasi masyarakat
Sebuah Refleksi Kegetiran Atas Ancaman bermuara ke dalam tragedi besar. Dalam kerangka
Kepunahan Agama modernisasi, manusia mendewakan rasionalitasnya,
sehingga manusia dianggap mempunyai otonomi dan
Oleh kebebasan. Akan tetapi, dengan pendewaan terhadap
Ahmad el Chumaedy rasionalitas tersebut, manusia dewasa ini justru
terperangkap dalam jaringan birokrasi yang impersonal
dan kehilangan makna serta aspirasinya sebagai makhluk
bermartabat. Sehingga, rasionalitas yang semula kritis
Rentetan panjang revolusi politik yang berlangsung di terhadap mitos-mitos tradisional yang menteror
Eropa, terutama sepanjang abad ke-19 dan awal abad manusia, pada gilirannya menjadi mitos atau ideologi
ke-20, telah memunculkan berbagai perubahan. baru yang total dalam bentuk ilmu pengetahuan dan
Perubahan yang berlangsung bukan hanya berdampak tekhnologi.3
positif, tetapi juga sekaligus membawa perubahan
Di era transisi semacam ini, pandangan dunia
negatif. Revolusi politik, terutama yang berlangsung di
(weltanschauung, world view) akan makna dunia-
Prancis disinyalir telah menjungkirbalikkan tatanan
kehidupan (labenswelt) mengalami perubahan yang
masyarakat. Bahkan, konon tragedi ini bermuara pada
begitu dramatis. Perubahan mulanya diawali dengan
munculnnya kekacauan (chaos) tatanan masyarakat.
munculnya pembongkaran besar-besaran terhadap pola
Sebuah tatanan baru yang menjanjikan masa depan,
fikir atau—meminjam istilah Thomas Kuhn—paradigma
tetapi pada saat yang bersamaan juga menyembunyikan
yang berpijak pada sistem kepercayaan semacam
kebobrokan sejarah-kemanusiaan yang teramat
agama, namun akhirnya mengalami pergeseran ke arah
menakutkan.
rasionalisasi etis-kognitif yang sangat bercorak
Revolusi Prancis dan Revolusi Industri, sebagai positivistik.4 Sehingga, fenomena ini bukan saja secara
kelanjutan dari zaman Pencerahan (Aufklärung), spontan mampu merubah cara pandang dalam menilai
kemudian ditengarai sebagai datangnya era baru yang dunianya (culture), seperti nilai-nilai, estetika, dan
menggantikan masa primitif—sebuah zaman yang terlalu etika, tetapi sebagai efek domino dari itu adalah,
didominasi oleh akal-tradisional, mistik dan dengan serta merta mampu merubah dunia kehidupan
kepercayaan—menuju modernitas. Seperti ditulis F. Budi yang secara real terjadi, yaitu dalam skala peradaban
Hardiman, semenjak Max Weber, modernisasi dianggap (civilization). Dalam pandangan Hubermas, proses
sebagai proses rasionalisasi (rationa-lisierung).2 semacam ini terjadi karena berkem-bangnya
Persoalan ini juga yang dikupas oleh Adorno dan kemampuan rasionalisasi ke-budayaan (etis-kognitif)

145 146
untuk diubah menjadi rasionalisasi sosial kemasyara- spesifik, seperti profesi, klub, partai politik dan
katan. Dengan kata lain, pandangan dunia (world view) sebagainya.
yang sangat potensial untuk di-rasiona-lisasikan, mampu
Dalam sebuah kajian tentang perubahan masyarakat
diter-jemahkan ke dalam tindakan sosial.5
(social transformation), Louis Irving Horowitz7
Pergeseran dari masyarakat tradisional menjadi membedakan secara kontras antara pengertian
masyarakat rasional pada gilirannya melahirkan tradisional dengan modern. Menurut Horowitz,
rasionalisasi kehidupan sosial. Sehingga, pergeseran tradisionalisme sekurang-kurangnya dicirikan oleh tiga
tersebut menyebabkan terjadinya perombakan mendasar indikator, yaitu: [1] keterbelakangan. Sebagaimana
dalam berbagai aspek kehidupan. Contoh yang paling diungkapkan oleh Daniel Lerner dalam penelitiannya,
kentara misalnya ditampilkan melalui pengorganisasian pengertian tradisi dihubungkan dengan keter-
(organizing) di dunia industri yang dilakukan secara belakangan, yaitu ditandai oleh komu-nikasi yang lambat
sistemik dan terrencana. Dalam hirarki sosial- dan parokialisme yang diukur dengan terbatasnya
tradisional, kelahiran dan mobi-litas sosial relatif lingkup kehidupan yang dijalani oleh orang-orang awam.
rendah. Sebaliknya, dalam hierarki sosial-modern, Hal ini misalnya dicirikan oleh keterbelakangan
kelahiran, prestasi (ascription) dan mobilitas sosial informasi dan ekologi. [2] Pengawetan kesetiaan
sangat tinggi. Pada saat yang bersama-an, ‘estates’ terhadap keyakinan agama, sehingga hal ini
(sistem tuan tanah, ‘lord’) telah digantikan oleh mempengaruhi kehidupan sehari-hari dalam pengertian
masyarakat yang terdiri atas ‘kelas-kelas’, yang lebih yang seluas-luasnya. Meskipun demikian, tradisi agama
be-sar persamaan kesempatannya. Selain itu, dalam sebetulnya tidak terlalu berkaitan dengan
masyarakat tradisional, unit dasarnya adalah kelompok keterbelakangan. Bahkan, menurut Peter Berger,8
kecil, di mana setiap orang saling kenal, yang oleh keyakinan agama seringkali berfungsi sebagai ideologi
Ferdinand Tönnies disebut ‘komunitas’ (gemeinschaft). massa. [3] Indikator tradisio-nalisme ini memang terkait
Setelah terjadi modernisasi (rasionalisasi), inti dasarnya dengan indikator-indikator sebelumnya, namun pada
adalah ‘masyarakat’ luas yang impersonal (gesellchaft). pada level ini tradisional lebih dicirikan dari bentuk
Dalam bidang ekonomi, impersonalitas ini terwujud identifikasi yang tersendiri, misalnya terlihat dari iden-
dalam bentuk pasar atau menurut Adam Smith, ditandai tifikasi kebudayaan. Berbeda dengan pengertian
dengan kuatnya pengaruh ‘the invisible hand’. tradisional tadi, sebetulnya dalam pengertian yang lebih
Sedangkan dalam konteks politik, gejala imperso-nalitas ketat, modernisasi yang bersifat non-ideologis pada
ditampilkan melalui sebuah sistem yang oleh Weber dasarnya lebih menunjuk pada suatu istilah tekhnologi,
disebut dengan ‘birokrasi’.6 Sehingga, untuk dapat terutama kaitannya dengan penggantian tenaga manusia
berperan dalam masyarakat yang lebih luas, anggota oleh mesin-mesin. Moder-nisasi berkaitan dengan
masyarakat kemudian membentuk perkumpulan- komunikasi informasi dalam tempo cepat, pemin-dahan
perkumpulan sukarela yang mempunyai tujuan-tujuan orang dan jasa dengan cepat, otomasi jasa-jasa, dan

147 148
sebagainya. Tegasnya, modernisasi—sebagaimana pernah untuk melakukan ekspansi pasar ke negara-negara bekas
dicetuskan oleh Harold Rosenberg—adalah sebuah tradisi jajahan. Persebaran TNC’s yang amat cepat, seiring
baru yang mengacu pada urbanisasi, dan pengikisan dengan semakin intensnya pemanfaatan produk-produk
(dalam takaran tertentu) sifat-sifat pedesaan yang bertekh-nologi canggih di seluruh belahan dunia,
berlangsung pada suatu masyarakat.9 membuat sistem perekonomian nega-ra-negara bekas
jajahan terintegrasi ke dalam sistem ekonomi global.
Akibat-nya, bukan hanya investasi dan modal asing saja
Globalisasi dan Kamuflase Agama yang masuk, melainkan produk-produk yang dihasilkan
Di tengah sistem sosial modern-rasional, bentuk oleh TNC’s juga membanjiri pasaran di negara-negara
masyarakat secara perlahan (tapi pasti) menuju pada pinggiran (pheriperal)—untuk tidak menyebut negara-
sebuah tatanan yang sama sekali baru, yang kemudian negara berkembang dan negara-negara miskin, seperti
mengejewantah dalam bentuk sistem global—kondisi ini Indonesia.
kemudian dikenal dengan istilah globalisasi.10 Dalam Kedua, sebagai akibat memban-jirnya produk-produk
pandangan Abdul Aziz, MA, meskipun globalisasi telah TNC’s ke berbagai negara bekas jajahan, pada akhirnya
membawa berkah tersendiri, berupa peluang semakin mempercepat transformasi kebudayaan.
membangun masyarakat sejahtera, terutama secara Konsumsi yang dilakukan oleh massa yang relatif sangat
material, tetapi secara bersamaan juga menyim-pan luas terhadap produk-prduk yang dibuat secara massal,
tantangan tersendiri, khususnya bagi agama-agama menyebabkan tercipta-nya kebudayaan yang berskala
“tradisi besar” (the great tradition), yaitu Yahudi, global—sebuah wujud kebudayaan yang oleh Horkheimer
Kristen dan Islam. dan Adorno disebut dengan mass culture (kebudayaan
massa). Kebudayaan seperti ini ditandai dengan
Penulis buku ini mencatat seku-rang-kurangnya dua
ketidakberdayaan massa untuk menolak konsumsi
bentuk transfor-masi yang melatari munculnya peruba-
berbagai produk baru yang dihasilkan oleh kemajuan
han besar-besaran—untuk tidak menga-takan
tekhnologi. Makanya, Marcuse menganggap masyarakat
revolusioner—yang melanda seluruh belahan dunia,
industri-modern sebagai masyarakat yang tidak sehat.
yaitu: Pertama, transformasi kapitalisme dari model
Sebuah masyarakat yang berdimensi satu, di mana
tradisional yang bertumpu pada perusahaan-perusahaan
segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan,
keluarga, ke model baru yang menakankan petingnya
yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang
tenaga profesional yang dibayar dan relatif independen,
telah memungkinkan tumbuhnya perusa-haan- telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme.11
perusahaan trans-nasional (Trans-National Akibatnya, masyarakat kemudian terjebak oleh—apa
Coorporation, TNC’s). Perubahan model kapitalisme ini yang istilahkan Herbert Marcuse—dengan “kebutuhan
yang dalam pandangan Clause Offe disebut dengan semu,” yaitu semua kebutuhan yang ditanamkan ke
disorganized capitalism, telah menggunakan TNC’s dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial

149 150
tertentu dalam represinya.12 Di mana, dalam memenuhi perekonomian dunia yang ditandai membanjirnya
kebutuhan semu tersebut, orang biasanya tidak tahu produk-produk bertekhnologi canggih yang dihasilkan
mengapa ia membutuhkannya. Dorongan untuk membeli industri negara-negara maju ke seluruh belahan dunia,
atau menggunakan tidak sungguh-sungguh timbul dari melainkan juga berpenetrasi (baca: mengalami
dalam dirinya sendiri, melainkan hanya sekedar melihat perembesan) pada ranah politik, dan bahkan sampai
orang lain berbuat begitu. Kondisi seperti ini banyak pada aspek budaya dan sistem kepercayaan, termasuk
disumbangkan oleh peranan media massa yang begitu agama. Sehingga dalam skala global, “agama-agama
massif menampil-kan iklan produk-produk industri- tradisi besar”, seperti Islam dan Kristen yang nota bene
modern. Dengan kata lain, media massa melalui iklan- merupakan salah-satu ranah kehidupan masya-rakat,
iklan yang ditayangkannya telah menjadi sarana yang praktis dihadapkan dengan tantangan—kalau bukan
paling ampuh untuk merangsang dan membangkitkan ancaman—kepunahan di masa depan.
kehausan selera masyarakat. Dalam memahami agama, Abdul Aziz nampaknya
Dalam perkembangan lebih lanjut, fenomena ekonomi mengikuti pendekatan Robert N. Bellah dalam kajian
konsumen dan politik kapitalisme yang semakin studi agama. Bagi Bellah, agama merupakan seperangkat
melembaga, pada gilirannya menciptakan semacam bentuk-bentuk simbolik dan tindakan-tindakan yang
‘kodrat kedua’ dalam diri manusia yang mengikatnya menghubungkan manusia dengan kondisi-kondisi puncak
secara libidinal (dorongan nafsu) dan agresif pada dari keberada-annya. Agama kemudian lebih dilihat dari
barang-barang. Berbagai kebutuhan semu yang telah di- proses simbolisasi yang mengha-dirkan terang hubungan
’introyeksi’-kan—sebuah istilah yang dipakai Marcuse manusia dengan kondisi puncak eksistensinya.
dalam arti: “dimasukkan sedalam-dalamnya atau Selanjutnya, Bellah mengkaji tentang tahapan-tahapan
dibatinkan”—pada masing-masing individu sudah agama ke arah penyempurnaan—kalau bisa dikatakan
menjadi kebutuhan ‘biologis’ (sebuah kebutuhan yang demikian—menuju ekspresi simbolik yang paling
mesti dipenuhi, bila tidak maka organisme akan sakit), mewakili kondisi zamannya. Tahap-tahap perkembangan
bahkan menjadi bagian pokok kehidupan setiap individu. agama, seperti analisis Bellah, mengikuti lima tahapan,
Seakan-akan, hanya dengan membeli barang-barang itu yaitu mulai dari agama primitif, agama kuno (archaic
(baca: hasil produksi industri-modern-kapitalis), mereka religion), agama historis (the great tradition), agama
dapat mewujudkan kehidupannya, sebab ketika hal itu awal modern (early modern religion), dan terakhir
tidak terpenuhi akan mengakibatkan mereka merasa tahap agama modern. Pada tahapan agama terakhir
frustasi.13 inilah, Bellah mengalami kesulitan untuk merumus-kan
sistem simbol agama modern. Hanya saja, dalam
Pada tataran lain, globalisasi—seperti disinggung di kaitannya dengan agama modern, Bellah menegaskan,
muka—bukan saja berproses pada massifnya lalu-lintas bahwa manusia modern tidaklah identik dengan sekuler,
pertukaran dan peredaran uang melalui sistem pasar materialistik dan dehumanis. Tumbuhnya model ekspresi
bebas (free trade market) dalam kerangka simbolik agama pada taraf modern, misalnya dibuktikan
151 152
dengan munculnya gagasan yang dimotori Tillich tentang tradisional tidak kemudian membawa disintegrasi
naturalisme ekstatik (acstatic natura-lism) atau masyarakat. Sehingga, ketika masyarakat modern
pemikiran Benhoefer mengenai ke-Kristenan tanpa terlampau mem-percayai produk-produk tekhnologi
agama (religionless Christianity) (h. 126). Di sini terlihat ketimbang sistem ajaran agama, maka pada taraf inilah
jelas, betapa pada taraf modern agama mengalami posisi agama sangat dimungkinkan akan tergantikan
kekaburan (kamu-flase) dalam menerjemahkan ekspresi oleh—apa yang dikenal dalam masyarakat modern
simboliknya yang paling genuine (asli, sejati). Dengan dengan—’tekhnologi’. Sehing-ga, tanpa disadari
demikian, tantangan keagamaan pada era globalisasi tekhnologi bisa saja akan menjadi agama baru di tengah
akan mengacu pada proses pencarian simbol-simbol modernitas. Kemungkinan itupun semakin kuat seiring
keagamaan baru yang relevan dengan situasi sosial baru dengan menguat-nya perasaan ketergantungan manusia-
yang dihadapi manusia. manusia modern, menuju ketergantu-ngan total pada
Di samping itu, dalam panda-ngan Comte, tumbuhnya produk-produk tekhnologi. Ritual-ritual keagamaan yang
dulu terpelihara dalam agama tradisi besar atau historis,
keaneka-ragaman pembagian kerja (division of labor)
pada masyarakat yang kompleks (modern), berdampak lambat laun telah tergantikan oleh aktivisme yang pekat
dengan aroma tekhnologis. Dalam komunitas Islam
pada terjadinya konflik dan disintegrasi. Hal ini
terutama disebabkan karena adanya perbedaan misalnya, shalat yang seharusnya dilakukan lima kali
dalam satu hari satu malam (baca: shalat fardhu), kini
kepentingan, kepercayaan dan nilai-nilai yang semakin
tidak jarang tergantikan oleh berbagai jenis kegemaran
meningkat di tengah masyarakat. Sehingga, kondisi
demi-kian hanya bisa diatasi melalui penciptaan suatu baru, seperti nonton televisi, akses internet, atau
mendengarkan ratusan koleksi lagu-lagu pilihan yang
agama baru (pseudo-religion) yang bersumber dari ilmu
pengetahuan, yang kemudian akan membentuk landasan termuat dalam MP-3. Sementara dalam komunitas
Kristen, kebaktian yang biasanya dilakukan pada hari
bagi kesepakatan sosial baru (Cohen, 1968: 224; Coser,
1977: 7) (h 49). Pada taraf inilah, gagasan mengenai minggu, seringkali terabaikan lantaran harus menjalani
agenda refresing di tempat-tempat wisata, nonton film
agama yang di-munculkan oleh Durkheim menemukan
momentumnya. Dalam konteks ini, agama lebih di bioskop-bioskop kenamaan, menyaksikan konser
musik, mengunjungi super-market-supermarket yang
menekankan pada peran-peran sosial dalam memenuhi
kebutuhan integrasi dan kohesi sosial. Lebih jauh lagi, memberikan kenyamanan berbelanja, atau untuk
sekedar mengunjungi butik-butik yang menawarkan
bagi Durkheim agama bukan hanya sebuah penciptaan
sosial, melainkan cermin pengagungan masyarakat oleh koleksi fashion terbaru.
masyarakat. Dengan kata lain, “tuhan” yang disembah Melalui buku yang berjudul, “Esai-esai Sosiologi
sebenarnya adalah proyeksi kekuatan masyarakat itu Agama”, Abdul Aziz, MA nampaknya ingin mengi-ngatkan
sendiri yang ditran-sendensikan, sehingga agama kemu- pembaca pada memori-memori sejarah (historical
dian berubah sesuai dengan perkemba-ngan dan memorized) yang membentuk kehidupan-dunia, seperti
kebutuhan masyarakat. Makanya, hilangnya agama yang ditampilkan sekarang ini. Memang, untuk ukuran
153 154
buku yang setebal 280 halaman ini, penulis nampaknya Catatan Akhir
terlampau berambisi untuk mengupas seluruh persoalan- 1 Pelbagai rentetan sejarah panjang ini pada awalnya dihantarkan oleh
persoalan sosiologis, terutama keterkaitannya dengan Revolusi Prancis tahun 1789 di bidang politik, tetapi selanjutnya hal itu
memicu perubahan-perubahan besar lainnya yang secara umum
fenomena agama yang dalam perjalanan sejarah telah mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropa ketika itu, misalnya
mengawal setiap fase dari perkembangan masya-rakat. terlihat dari pecahnya revolusi industri. George Ritzer dan Douglas J.
Kalau diperhatikan, spektrum materi yang dibahas Goodman mencatat, bahwa revolusi industri bukanlah kejadian
tunggal, tetapi merupakan berbagai perkembangan yang saling
dalam buku ini terlalu luas, yaitu mulai dari masalah berkaitan yang berpuncak pada transformasi dunia Barat dari corak
paradigma (bab ke-1), sosiologi dan perubahan sosial sistem pertanian menjadi sistem industri [George Ritzer dan Douglas J.
(bab ke-2, 3 dan 4), agama dan globalisasi (bab ke-5 Goodman, Teori Sosiologi Modern [Modern Sociological Theory],
Jakarta: Kencana, 2004, Cetakan Pertama, hal. 7].
dan 6), masalah kerukunan agama (bab ke-7, 8, 9, dan
10), bahkan sampai pada pembahasan tentang problem 2 Konsep rasionalitas menurut Weber tidak khas dimiliki oleh manusia
Barat, melainkan merupakan ciri yang melekat pada modernitas itu
etika dalam penelitian sosial (bab ke-11). Seperti diakui sendiri. Sebab, dalam masyarakat tradisional, konsep rasionalisasi
oleh penulisnya sendiri, bahwa luasnya ruang belum berkembang, sehingga rasionalisasi dalam masyarakat juga tidak
pembahasan terutama karena buku ini merupakan mempengaruhi tindakan sosial. Artinya, pada masyarakat tradisional,
masyarakat tidak mengenal rasionalitas tindakan, tetapi yang ada
kumpulan tulisan, baik dalam bentuk makalah yang adalah tindakan tradisional. Perubahan masyarakat tradisional menjadi
pernah disampaikan dalam berbagai kesempatan, masyarakat modern, dengan demikian menandai berprosesnya konsep
maupun dalam bentuk artikel yang dipublika-sikan rasionalitas dalam mempengaruhi tingkah-laku sosial. Konsep
rasionalitas dipergunakan oleh Weber dalam berbagai konteks, seperti
dalam jurnal dan buku (baca: pengantar). segi-segi tindakan tertentu, keputusan, dan pandangan-dunia
sistematis. Weber membagi rasionalitas menjadi dua, yaitu [1]
Buku ini memang tidak menyajikan sesuatu yang terlalu “rasionalitas-tujuan” atau rasionalitas instrumental”
baru dalam kajian sosiologi agama. Meski demikian, (zweckrationalität), yaitu sebuah tindakan yang mengacu pada
menariknya buku ini seolah memancarkan semangat perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran-sasaran
berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal dan dengan sarana-sarana
yang begitu menggebu-gebu, sekaligus juga mengajak yang efisien serta mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang
pembaca untuk merasakan kegetiran ketika menyaksikan mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang terrencana secara
fenomena religiositas mutakhir dalam lanskap sosiologis, konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut. Ia bercirikan formal,
sebab orang yang bekerja dengan rasionalitas ini hanya mementingkan
terlebih ketika disandingkan dengan realitas globalisasi. cara-cara mencapai tujuan, tetapi tidak mengindahkan nilai-nilai yang
Akhirnya, tanpa sedikitpun berpretensi melakukan dihayati sebagai isi kesadaran. [2] “Rasionalitas-nilai”
penilaian, dengan kelebihan sekaligus kekurangan yang (wertrationalität), yaitu kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis, dan
relijius. Pembahasan lebih jau menyangkut rasionalisasi bisa dibaca
terdapat di dalamnya, buku ini setidaknya akan pada tulusan F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu,
memperkaya wawasan para pembacanya, terutama Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas,
untuk menjelajah medan makna di tengah pelik-pelik Yogyakarta: Kanisius, 1993, bab ke-5, hal. 73-100
sosiologi agama, hingga pada taraf perkembangannya 3 F. Budi Hardiman, ibid, hal. 74
yang paling mutakhir. 4 Dalam pandangan Auguste Comte (1798-1857), seorang tokoh yang
dikenal dengan bapak sosiologi (the founding father of sosiology),
bahwa masyarakat mengalami evolusi yang panjang. Evolusi menuju

155 156
tertib sosial baru, ditempuh melalui hukum tiga tahap, yaitu [1] tahap 13
J. Sudarminta, loc. cit. h. 126-127
teologis (ficticious), tahap metafisik (abstrak), dan tahap ilmiah
(positif) [Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik Tabayyun
Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, 2003, Cetakan
Pertama, hal. 40]. Bandingkan dengan pembahasan pada buku yang Catatan Redaksi
ditulis oleh Abdul Aziz, MA, Esai-esai Sosiologi Agama, Jakarta: Diva
Pustaka, 2004, bab III, hal- 45-69. Buku yang terakhir ini diedit oleh Dr.
Mamat Slamet Burhanuddin, M.Ag. Pada beberapa waktu lalu, buku ini
dikupas dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di kampus UIN Data Base Madrasah, Sekolah, dan Perguruan Tinggi
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini juga merupakan resensi atas NU
buku tersebut.
5
F. Budi Hardiman, lock cit. hal. 89 Dalam berbagai pembicaraan menyangkut pendidikan NU
sudah terlalu sering disampaikan, bahwa salah satu yang
6
Pembahasan lebih lanjut mengenai persoalan perubahan sosial bisa
dilihat dari tulisan Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (History and disinyalir menjadi kelemahan organisasi (organizational
Social Theory), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, Cetakan weakness) di lingkungan LP Ma’arif NU adalah problem
Pertama, h. 195-250 lemahnya data base. Untuk ukuran organisasi selevel PP
7
Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi dan Konsolidasi LP Ma’arif NU, problem seperti ini memang sangat
Pembangunan [terjemahan dari buku: Beyond Empire and Revolution,
Militerization and Consolidation in the Third World], Jakarta: Bina
menghambat kerja-kerja organisasi. Apalagi, Mengingat
Aksara, 1985, Cetakan Pertama, h. 39 keberadaan LP Ma’arif NU cukup menentukan terhadap
8
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of Sociological Theory
upaya standardisasi mutu pendidikan di lingkungan NU,
of Religion, Garden City NY: Doubleday & Co, 1967 terlebih dalam kaitannya dengan upaya peningkatan
9 Pembahasan lebih luas menyangkut konsep modernisasi bisa dibaca mutu yang dilakukan beberapa tahun terakhir secara
pada buku yang ditulis Giro Germani (ed.), Modernization, merata di seluruh nusantara.
Urbanization, and the Urban Crisis, New Brunswick, NJ: Transaction
Book, 1937 Secara organisasional, konsekuensi yang ditimbulkan
10 Dalam pandangan Anthony Giddens, globalisasi seperti yang kita alami dari lemahnya data base ini, paling tidak berpengaruh
sekarang ini, dalam banyak hal, tidak hanya baru, melainkan juga terhadap efektif atau tidaknya konsolidasi pengurus,
revolusioner. Bagi Giddens, globalisasi tidak saja berdimensi ekonomi, yaitu antara Pengurus Pusat dengan Pengurus Wilayah
melainkan juga politik, tekhnologi dan budaya. Ia terjadi terutama
sangat dipengaruhi oleh berbagai perkembangan sistem komunikasi dan Pengurus Cabang LP Ma’arif NU. Tentu saja, hal itu
yang baru dimulai pada akhir 1960-an, untuk pembahasan lebih lanjut berdampak pada terputusnya koordinasi di antara
mengenai topik tentang globalisasi, baca misalnya, Anthoni Giddens, pengurus itu sendiri. Parahnya lagi, ketika sudah terjadi
Runway World: Bagaimana globalisasi Merombak Kehidupan Kita,
Jakarta: Gramedia, 2001, hal. 5; lihat juga tulisan Anthony Giddens, keterputusan koordinasi di antara para pengurus, hal itu
The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial, Jakarta: pada akhirnya menghambat sosialisasi kebijakan,
Gramedia, 2000, cet. III, hal. 32-38 terutama dalam hal ini adalah kebijakan pendidikan
11
J. Sudarminta, “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern“, yang diberlakukan di lingkungan NU yang secara
dalam M. Sastrapratedja (ed.), Manusia Multi Dimensional: Sebuah langsung menyentuh pada lembaga-lembaga pendidikan.
Renungan Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1982, cetakan pertama, h. 123
Dari kenyataan seperti ini, wajar kalau citra yang
12 Herbert Marcuse, One-Dimensional Man, London: 1964, h. 5

157 158
berkembang di tengah masyarakat ketika melihat perguruan tinggi yang menjadi binaan Ma’arif NU.
lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU, sangat Bahkan, untuk saat ini PP LP Ma’arif NU sedang
terkesan ”jalan sendiri-sendiri”. Sederhanya, di berkonsentrasi pada pendataan madrasah, setelah pada
lingkungan NU ditemukan sekolah-sekolah (madrasah- bulan Agustus 2002 yang lalu menyelesaikan data
madrasah) yang sangat baik (qualifieq), tetapi perguruan tinggi di lingkungan NU, yang kemudian
sebaliknya ada juga sekolah-sekolah (madrasah- disempurnakan dengan pendirian APTINU (Asosiasi
madrasah) yang mutunya jauh dari standar nasional. Hal Perguruan Tinggi di Lingkungan NU) se-Indonesia.
ini menunjukkan, betapa lebarnya gap kualitas yang Rencananya, setelah data madrasah diselesaikan,
diperlihatkan satu institusi pendidikan dengan intitusi selanjutnya akan dilakukan pendataan sekolah secara
pendidikan lainnya. lebih detail—sementara ini masih didasarkan pada
laporan-laporan rutin sekolah yang disampaikan kepada
Memang, untuk meningkatkan mutu pendidikan di
lingkungan NU secara merata, tidak gampang dilakukan PP LP Ma’arif NU. Sejauh ini, format pendataan
mencakup: [1] daftar sekolah (madrasah), lengkap
dalam tempo yang singkat. Sebab, hal ini bukan hanya
menyangkut masalah data base institusi-institusi dengan alamatnya ; dan [2] jumlah murid dan guru serta
beberapa penambahan informasi penting lainnya,
pendidikan yang bernaung di lingkungan NU. Data base
hanyalah satu faktor dari sekian banyak faktor yang berdasarkan spesifikasi identitas dari tiap-tiap institusi
yang bersangkutan.
terkadang lebih signifikan menyangkut peningkatan
mutu. Ambil contoh misalnya persoalan sarana Sampai dengan tanggal 20 Agustus 2004, tim pendataan
prasarana yang masih minim, kapabilitas dan lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU untuk
profesionalisme pengelola dan tenaga kependidikan, dan sementara telah berhasil mengumpulkan data sebagai
yang juga tidak kalah penting lagi adalah rendahnya berikut:
mutu guru yang mengajar di lingkungan NU. Meski
demikian, justru ketika data base sekolah (madrasah) di
lingkungan NU sudah tercover seluruhnya, maka paling NO Satuan Acuan Pengambilan Jumlah
tidak PP LP Ma’arif NU bisa merancang kebijakan Pendidikan Data Lembaga
pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi real di
lapangan, di samping juga secara akurat membuat
semacam skala prioritas yang akan dilakukan dalam 1. Perguruan Peserta Muker PTNU 74
mengatasi berbagai problem menyangkut Tinggi
penyelenggaraan pendidikan di lingkungan NU.
2. Madrasah (MI, 20 Wilayah 10.694
Menyadari begitu pentingnya pemilikan data base, PP LP MTs dan MA)
Ma’arif NU selama hampir 2 (dua) tahun terakhir ini
sedang melakukan pendataan madrasah, sekolah, dan 3. Sekolah (SD, 6 Wilayah 1084
SLTP,
159 160
SMU/SMK) sekolah, madrasah dan perguruan tinggi NU; [2]
melakukan langkah-langkah revisif terhadap kurikulum
Jumlah 11852 nasional ke-NU-an/Aswaja dan materi pembelajarannya;
dan [3] mensosialisasikan hasil revisi kepada seluruh
satuan pendidikan Ma’arif NU untuk diberlakukan
Selain itu, tim pendataan PP LP Ma’arif NU telah
sebagai kurikulum nasional materi Aswaja atau ke-NU-an
memanfaatkan jaringan internet untuk memudahkan
di satuan-satuan pendidikan Ma’arif NU.
warga nahdliyin yang membutuhkan data tentang
lembaga pendidikan yang berada di lingkungan NU. Di Langkah pertama yang telah dilakukan Tim adalah
samping itu, PP LP Ma’arif NU juga telah meng-upload membuat agenda kerja sebagaimana terlampir di bagian
data pondok pesantren se-Indonesia yang bisa akhir penjelasan ini. Sebelumnya pada tanggal 8-9 Juni
dimanfaatkan dengan cara yang mudah. Dengan 2003, Tim ini juga telah melakukan konsultasi secara
demikian, data satuan pendidikan yang ada di PP LP mendalam kepada Rais Am Syuriah PBNU, KH. A. Sahal
Ma’arif NU dapat akses oleh siapa saja dan di mana saja Mahfudz, di Pati Jawa Tengah. Di samping juga bertemu
yang membutuhkannya, yaitu melalui situs: dengan Rais Syuriah PBNU, KH. M. Thalhah Hasan di
http://www.maarif-nu.or.id. Jakarta pada tanggal 13 Juni 2003 dan Prof. Dr. Qadri A.
Azizy (Direktur Jenderal Bagais Departemen Agama RI)
pada tanggal 1 Juni 2003. Saat ini, Tim Buku Sumber
Penulisan Buku Sumber Aswaja dan Ke-NU-an Aswaja dan ke-NU-an yang dikoordinatori Dr. HA.
Dalam rangka merealisasikan Amanat Munas Alim Ulama Thoyyib, IM., telah menghasilkan draft buku dan sedang
dan Konbes NU tahun 2002 serta hasil Raker LP Maarif dalam proses editing. Dalam waktu dekat ini, buku
NU Tahun 2002 tentang revisi kurikulum dan pengayaan tersebut akan diterbitkan dan kemudian disebarkan di
materi bahan ajar ke-NU-an/Aswaja untuk sekolah, seluruh lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU.
madrasah, dan Perguruan Tinggi di lingkungan NU, PP LP
Maarif NU tanggal 26 Oktober 2002 menetapkan
Implementasi MBS dan Peningkatan Mutu Pendidikan
perlunya peninjauan ulang terhadap kurikulum dan
di Lingkungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU
bahan ajar ke-NU-an/Aswaja yang digunakan pada
lembaga pendidikan di lingkungan Ma’arif NU, dengan Salah satu pedoman organisasi yang dihasilkan melalui
membentuk tim khusus untuk merumuskan dan Raker LP Ma’arif NU Tahun 2002 di Malang Jawa Timur
menyusunnya. Tim yang diangkat berdasarkan SK PP LP adalah menyangkut Pedoman Manajemen Berbasis
Ma’arif NU Nomor: 204/PP/SK/IV/2003 tanggal 28 April Sekolah (MBS) dan Peningkatan Mutu Pendidikan.
2003 tersebut bertugas untuk: [1] melakukan penelitian, Pedoman ini memang belum diimplementasikan
pengkajian dan penilaian terhadap kurikulum dan bahan sepenuhnya. Hal ini antara lain karena kendala
ajar ke-NU-an/Aswaja yang selama ini digunakan pada pembiayaan yang belum terpenuhi. Ribuan madrasah

161 162
dan sekolah Ma’arif NU, seperti yang sering disampaikan konsolidasi dengan pimpinan-pimpinan wilayah dan
oleh pengurus wilayahnya sendiri, bahwa persoalan cabang di lingkungannya.
minimalnya pembiayaan operasional pendidikan, telah
Sejauh ini, upaya memperkuat basis pemikiran dan
menghambat upaya peningkatan mutu pendidikan, baik pengembangan wacana menyangkut peningkatan mutu
dalam kaitannya dengan mutu manajemen, mutu tenaga
pendidikan di lingkungan NU dilakukan dengan
pendidikan maupun untuk memenuhi standar sarana dan menerapkan berbagai langkah strategis, berupa
prasarana pendidikan yang memadai.
penyusunan Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Penerapan kedua agenda tersebut rencananya akan dan pengembangan Sekolah Model (Pebruari 2002).
dilakukan dalam bentuk: [1] penyelenggaraan berbagai Dalam kerangka itulah, PP LP Ma’arif NU pada dua bulan
pelatihan yang menunjang peningkatan mutu terakhir secara maraton telah menyelenggarakan
pendidikan, termasuk pelatihan MBS (Manajemen beberapa kegiatan yang melibatkan lembaga-lembaga
Berbasis Sekolah) dan [2] membantu kelengkapan sarana pendidikan di lingkungan NU, yaitu: [1] Semiloka ’Masa
dan prasarana madrasah dan sekolah LP Ma’arif NU. Depan Pendidikan Pesantren dan Madrasah Pasca
Sejauh ini, dalam rangka mensosialisasikan kebijakan Pemilihan Presiden 2004’, di PBNU Jakarta
tersebut, PP LP Ma’arif NU bekerja sama dengan (11/06/2004); [2] Semiloka ’Strategi Peningkatan Mutu
pimpinan-pimpinan wilayah, cabang, serta lembaga- Pendidikan’ di Karawang, tepatnya di MTs Hidayatul
lembaga pendidikan binaannya. Langkah ini Islamiyah, Jatiragas Kaum, Karawang (19/06/2004); dan
dimaksudkan untuk untuk menyatukan misi, visi, arah [3] Semiloka ’Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan’ di
perjuangan dan cita-cita pendidikan yang akan Banten, tepatnya di Yayasan Anwarul Hidayah, Menes,
dikembangkan ke depan. Pandeglang (03/07/2004).
Berdasarkan data di lapangan, kondisi lembaga-lembaga Pengembangan Perguruan Tinggi NU
pendidikan di lingkungan LP Ma’arif NU yang memenuhi
Sebagai perangkat organisasi LP Ma’arif NU pada tingkat
standar kualifikasi “sedang” dan “maju” masih terlalu Perguruan Tinggi, APTINU (Asosiasi Perguruan Tinggi
sedikit. Di mana, sejauh ini hanya di beberapa wilayah
Nahdlatul Ulama) belakangan ini semakin menunjukkan
dan cabang tertentu saja yang masuk kategori itu, geliatnya. Hal ini terutama diindikasikan dengan adanya
seperti –madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah di
fungsionalisasi dan pemberdayaan pengurusnya.
wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Organisasi yang pusatnya di Malang, Jawa Timur ini,
Yogyakarta, Lampung, dan Sumatera Selatan. Sedangkan
mempunyai anggota dari berbagai wilayah, yaitu terbagi
di wilayah-wilayah lainnya, keadaan madrasah dan dalam 6 (enam) koordinator wilayah. Di mana,
sekolah masih dalam proses-proses pembenahan. Untuk
keberadaannya diaharapkan dapat membantu
itu, saat ini lembaga-lembaga pendidikan yang masih penyediaan tenaga terdidik bagi madrasah atau sekolah
dalam proses pembenahan sedang giat melakukan
di lingkungan LP Ma’arif NU, di samping juga bagi
pemberdayaan NU secara umum. Dengan demikian, ke

163 164
depan keberadaan APTINU menjadi tumpuan dalam PTNU di bawah Yayasan berdasarkan pada ajaran
upaya mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang Aswaja, sesuai dengan Garis-Garis Besar Pendidikan yang
baik dan berkualitas di lingkungan NU yang dilakukan ditetapkan oleh LP Ma'arif NU; dan [2] Apabila terjadi
secara terprogram dan terencana. pembubaran yayasan, maka asetnya menjadi
milik/diserahkan kepada Perkumpulan Nahdlatul Ulama.
Namun demikian, nampaknya masalahnya adalah, di
beberapa Perguruan Tinggi NU sendiri masih ditemukan Ketiga, perlu adanya standardisasi materi Aswaja pada
PTNU. Keempat, Tata Kerja dan Mekanisme Organisasi
berbagai kelemahan yang cukup mendasar. Setidaknya,
sampai saat ini terdapat tiga faktor yang menyebabkan serta Program Kerja akan dirumuskan oleh Pengurus
Pusat APTINU.
terjadinya stagnasi Perguruan Tinggi di Indonesia, yaitu:
[1] Profesionalisme Manajerial; [2] Kemapanan Mengawali kinerjanya, pada tanggal 9-10 Agustus 2003,
kelembagaan; dan [3] Kontinuitas perolehan input APTINU Wilayah III (DKI, Jawa, dan Sumatera)
mahasiswa. Ketiga faktor ini, secara teknis menjadi menyelenggarakan semiloka dengan tema: “Reposisi
ukuran penilain portofolio di beberapa Perguruan Pendidikan Islam: Telaah Implementasi UU Sisdiknas
Tinggi. Sementara itu, kelemahan mendasar yang Tahun 2003”. Kegiatan ini kemudian diarahkan untuk
ditemukan dari PT NU di Indonesia terletak pada membuka akses informasi yang selebar-lebarnya bagi
kombinasi 3 faktor di atas yang jauh dari optimal. warga nahdliyin melalui media berbagai informasi
Sehingga, berangkat dari kesadaran ini, akhirnya seluruh internal, seperti: NU-Online, dan website-website yang
pengelola PTNU secara bersama-sama dapat menyatukan dimiliki oleh lembaga, banom, dan lajnah di lingkungan
persepsi dan terutama untuk mencari formula yang PBNU, Bulletin Aula, dan Harian Duta Masyarakat Baru.
paling tepat dalam menutupi berbagai kekurangan yang []
terdapat pada PTNU di seluruh Indonesia.
Keterbukaan terhadap berbagai persoalan nampaknya
mulai dipecahkan dalam Musyawarah Kerja Perguruan
Tinggi NU se-Indonesia. Kegiatan ini dilangsungkan pada
tanggal 22-25 Agustus 2002 di Hotel Pelangi, Malang
Jawa Timur. Di mana, melalui pertemuan ini sedikitnya
menghasilkan 4 (empat) rekomendasi pengembangan
Perguruan Tinggi, yaitu: Pertama, dalam rangka
pengembangan PTNU ke depan, maka Yayasan
Penyelenggara PTNU bersifat otonom. Kedua, untuk
menjaga keterikatan dengan NU, maka dalam diktum
pasal AD/ART Yayasan Penyelenggara PTNU perlu
mencantumkan 2 (dua) hal berikut, [1] Penyelenggaraan

165 166

Anda mungkin juga menyukai