Anda di halaman 1dari 13

Trias Politika dalam Pemerintahan

di Indonesia

MAKALAH

Ditulis untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Disusun Oleh Kelompok 4 :

Kewarganegaraan – A
1. Alma Shafia ( 165090800111010 )
2. Dinda Lusiferina Amalia Utami ( 165090801111009 )
3. Gregorius Dimas A Yudhana ( 145090701111011 )
4. M. Ali Burhanuddin ( 155090307111019 )
5. Rizhaf Setyo Hartono ( 165090807111011 )
6. Sasa Vio Anggreani ( 165090801111005 )

Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Brawijaya

Malang

2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji serta syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpah dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kami
curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabatnya, dan
para umatnya hingga akhir zaman.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah menganugrahkan rahmat, hidayah serta
inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Trias Politika
dalam Pemerintahan di Indonesia” ini dengan baik dan lancar.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan dan
Kewarganegaraan. Dalam makalah ini membahas tentang sejarah Trias Politika, pengertian
Trias Politika, serta hak dan kewajiban lembaga Legistaltif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami
mohon kritik dan saran pembaca. Dan kami memohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada
kesalahan cetak atau bahasa yang kurang baku di dalam makalah ini.
Akhirnya, penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak,
terutama bagi para mahasiswa yang ingin menambah khazanah pengetahuan mereka.

Malang, 30 Maret 2017

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebuah negara berbeda dengan bangsa dan pemerintah walaupun cirinya tidak
dapat dipahami tanpa merujuk keduanya. Sebabnya negara dibatasi oleh setiap garis
kekuasaan dan semua tindakan dijalankan oleh pemerintah. Sudah merupakan sebuah
hakikat warga negara menentukan kerangka kerja dan fungsi semua pihak yang terkait
dalam kekuasaan negara tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan kehidupan
bernegara mengalami banyak perubahan. Konsep negara mulai mengalami pergeseran
yang pada awalnya negara merupakan negara yang berdasarkan pada kekuasan beralih
pada konsep negara yang mendasarkan atas hukum (rechtstaat). Para ahli sepakat
bahwa salah satu ciri dari sebuah negara hukum adalah adanya konsep pembatasan
kekuasaan. Pembatasan kekuasaan menjadi syarat mutlak sebuah negara hukum yang
demokratis. Adanya pembatasan kekuasaan sebagai perwujudan prinsip
konstitusionalisme yang melindungi hak-hak rakyat.
Dalam prinsip demokrasi ada yang namanya Trias Politika, yaitu pembagian
kekuasaan didalam sebuah pemerintahan untuk mencapai sebuah kestabilan Negara.
Ketiga unsur tersebut adalah Legislatif selaku pembuat UU,Eksekutif selaku pelaksana
UU dan Yudikatif sebagai pengawas pelaksanaan UU.
Semua hal yang ada didalam pemerintahan, menjadi pembahasan politik
didalam manyarakat. Tidak terkecuali dengan Trias Politika. Pembahasan mengenai
politik lahir ketika manusia mulai memikirkan hal peraturan tentang bagaimana mereka
diperintah. Persoalannya ialah adakah peraturan ini perlu diterima atau tidak oleh
masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Trias politika?
2. Bagaimana hubungan antara trias politika dengan kehidupan politik di
Indonesia?
3. Apa hak dan kewajiban lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami trias politika
2. Mengetahui hubungan trias politika dengan kehidupan politik di Indonesia
3. Mengetahui hak dan kewajiban lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif
BAB II
PEMBAHASAN

Trias Politika berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat;


Politika=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi, prinsip trias politika
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya
mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku
yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang
dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh
para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan
Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan
daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan
Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut
mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan
monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu
orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi
persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali
Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik
ini.
Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul
semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa
melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau,
Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar
bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2
pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John
Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.
John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya
besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam
karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah
alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang
baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang
yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian
pentingnya masalah kerja ini ?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada
dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-
wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu,
kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik
ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain,
demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan
terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan
yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting
yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati
miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang
mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah
masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam
kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah
perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini
kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan
sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-
kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan
ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang
dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan
kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan
yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran
Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran
Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran
politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum
opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai
berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan
eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan
yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan
pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan
kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan
keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia
menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita
sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia
saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika
ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan
Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
Pemisahan kekuasaan yang dengan istilah trias politika adalah sebuah ide bahwa suatu
pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kekuasaan yang independen dan
bebas untuk mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kekuasaan yang terlalu besar.
Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan
agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan
kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya
tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh
pihak yang berkuasa. Indonesia merupakan Negara yang menganut paham trias politica yaitu
suatu paham yang menyatakan bahwa cabang pemerintahan dibagi atas 3 kekuasaan yaitu:
Pertama, Kekuasaan legislatif: Kekuasaan legislative adalah kekuasaan membentuk Undang-
undang yaitu MPR, DPR dan DPD. Kedua, Kekuasaan eksekutif; Kekuasaan eksekutif adalah
kekuasaan untuk menjalankan undang-undang yaitu Presiden, Bank Sentral, BPK, dan Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Ketiga adalah kekuasaan yudikatif; Kekuasaan
Yudikatif adalah kekuasaan peradilan atau kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung
Trias politika yang dipakai Indonesia saat sekarang ini adalah pemisahan kekuasaan.
Salah satu buktinya dalam hal membentuk undang-undang. Sebelum perubahan undang-
undang dibentuk oleh presiden, namun setelah perubahan undang-undang dibentuk oleh DPR.
Undang-undang diubah satu kali dalam empat tahap. Saat ini presiden dapat mengajukan
rancangan undang-undang.
DPR selain memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dalam melakukan
pengawasan memiliki:
1. Hak angket yaitu menanyakan kepada presiden mengenai hal-hal yang
mengganggu kepentingan nasional;
2. Hak Interperelasi yaitu untuk melakukan penyelidikan.
Dalam menjalankan fungsi eksekutif, presiden dibantu oleh wakil presiden beserta
mentri-mentri. Presiden sebagai kepala negara, memiliki kewenangan untuk:
1. Mengangkat duta dan konsul;
2. Menempatkan duta negara lain;
3. Pemberian grasi dan rehabilitasi;
4. Pemberian amnesty dan abolisi;
5. Member gelar dan tanda jasa.

Dalam Sistem presidensil di Indonesia setelah amandemen Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia tahun 1945 lebih mempertegas sistem presidensial Indonesia yaitu
dengan adanya kepastian mengenai masa jabatan presiden, Presiden selain sebagai kepala
negara juga sebagai kepala pemerintahan, adanya mekanisme saling mengawasi dan
mengimbangi (check and balances), adanya mekanisme impeachment/ pemakzulan.
Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-undang kepada DPR dan juga
berwenang menjalankan Undang-undang melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang dibuat oleh
presiden untuk melaksanakan undang-undang, jadi suatu UU tanpa PP belum bisa
dilaksanakan. Sedangkan Perpu dibuat dalam hal ikhwal kegentingan Negara.
Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Pengadilan dipegang oleh Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Agung. MK&MA memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman
diatur pada pasal 24, 24A, 24B, 24C, 25 UU NKRI 1945 dan UU No.4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman. Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah
bebas dari intervensi ekstra yudisial. Tugas hakim yaitu menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dalam rangka mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara Implisit Negara Indonesia menerapkan pembagian kekuasaan sesuai Teori Trias
Politika yang dianut oleh Montesquieu dimana adanya pembagian kekuasaan berdasarkan
fungsi negara baik Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif kedalam lembaga - lembaga negara
di Indonesia, namun Selain dari tiga fungsi negara itu, Indonesia membagi kekuasaan lagi yaitu
Kekuasaan Eksaminatif atau pemeriksaan keuangan negara.
Lembaga legislatif di Indonesia terdiri dari MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), ketiganya memiliki
tugas, dan wewenang yang berbeda satu sama lainnya, namun dalam lembaga legislatif atau
lembaga perwakilan rakyat memiliki fungsi utama yakni:
1. Fungsi Legislasi
Menurut teori-teori yang berlaku tugas utama lembaga legislatif terletak di
bidang perundang-undangan atau membuat peraturan, untuk itu lembaga legislatif
diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan
undang-undang yang disusun pemerintah
2. Fungsi Pengawasan
Tidak hanya dibidang legislasi, fungsi kontrol lembaga legislatif di bidang
pengawasan dan kontrol terhadap lembaga eksekutif (pemerintah). Pengawasan
dilakukan lembaga legislatif melalui hak – hak kontrol yang khusus, seperti hak
bertanya (interpelasi), maupun hak angket.
3. Fungsi Anggaran
Lembaga legislatif berhak menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara
melalui DPR bersama presiden dengan melihat pertimbangan DPD
Lembaga Eksekutif di Indonesia dipegang oleh presiden. Secara umum tugas dan
wewenang Presiden meliputi Perencanaan (Program, anggaran); Eksekusi (melaksanakan
program-program yang di susun); Evaluasi, secara internal yang nantinya dipertanggung
jawabkan terhadap pengawasan DPR. Sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 merupakan
sistem pemerintahan presidensial. Dimana kekuasaan Eksekutif di Indonesia dipegang oleh
Presiden yang merupakan Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan. Tugas dan
wewenang Presiden dikelompokan kedalam dua jenis:
1. Presiden sebagai Kepala Negara
Meliputi hal-hal seremonial dan protokoler kenegaraan, yang tugas pokok
Presiden Sebagai Kepala Negara termaktub dalam Pasal 10 sampai 15 UUD 1945
2. Presiden Sebagai Kepala Pemerintahan.
Adalah fungsinya sebagai penyelengara tugas legislatif, dan kewenangan
penyelengaraan pemerintahan. Tugas pokok Presiden sebagai Kepala
Pemerintahan termaktub dalam pasal 4 ayat (1); pasal 5 ayat (1) dan (2); pasal 16;
pasal 17 ayat (2); pasl 20 ayat (2) dan (4); pasal 21 ayat (1); pasal 23 ayat (1) dan
(2); pasal 23 F ayat (1); pasal 24A ayat (3); pasal 24B ayat (3); dan pasal 24C ayat
(3).
Kekuasaan Yudikatif merupakan kekuasaan kehakiman, dimana sudah banyak
mengalami perubahan sejak masa reformasi, dengan di amandemennya UUD 1945, di dalam
kekuasaan yudikatif terdapat tiga lembaga yaitu:
1. Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan:
a) Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir (Final and Binding) yang
putusannya bersifat final untuk: menguji UU terhadap UUD 1945
(Judicial Review); memutus sengketa kewenangan lembaga negara;
memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang
pemilihan umum;
b) Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau
wakil presiden atas permintaan DPR karena melakukan pelanggaran
berupa pengkhinatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak
pidana berat, atau perbuatan tercela.
2. Mahkamah Agung (MA)
MA memiliki kewenagan menyelengarakan kekuasaan peradilan yang berada
dilingkungan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha negara; mengadili
pada tingkat kasasi; dan MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan
dibawah UU terhadap UU.
3. Komisi Yudisial (KY)
Adalah suatu lembaga baru yang bebas dan mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang dalam rangka menegakan
kehormatan dan perilaku hakim.
Hubungan Trias Politika dengan Kehidupan Politik di Indonesia tidak berjalan dengan
baik, karena di Indonesia menganut demokrasi tradisional. Dimana aturan pembatasan
kekuasaan politik menurut trias politika dilanggar, konstitusi organisasi tidak menjadi kontrol
utama, serta hukum yang diterobos dengan model KKN, kabinet bersifat parlementarian karena
ada kongkalikong atau berbagi kursi dan berbagi suara. Fungsional dari yudikatif, legislatif,
dan eksekutif hanya diatas kertas. Tidak didalam praktek.
Sistem demokrasi dengan trias politika di Indonesia, ternyata membentuk rezim otoriter
baru yakni pemilik modal. Para pemilik modallah yang kemudian menguasai ketiga lembaga
demokrasi itu. Contohnya penguasa lebih tunduk kepada pengusaha yang mendanani penguasa
terpilih. Karena untuk bisa terpilih, penguasa memerlukan dana besar. Sementara yudikatif
tutup mata terhadap pelanggaran eksekutif, karena yudikatif juga disuap. Produk hukum yang
dilahirkan oleh parlemen, tidak selalu memihak kepada rakyat. Contohnya di Indonesia
mengeluarkan UU migas, UU kelistrikan, UU sumber daya air, UU penanaman modal.
Semuanya pro liberal. Di masayarakat Indonesia, dewasa ini tampak nyata bahwa media masa
(cetak dan elektronik) mempunyai peran social politik sangat penting. Mahasiswa dan media
masa kadang sangat penting dalam memainkan peran pemisahan kekuatan. Bahkan dalam era
demokrasi ini, LSM dan organisasi non pemerintah berperan dalam trias politika. Maka
lembaga serta unsur yang mendukung demokrasi di Indonesia sangat beraneka ragam.
Trias politika yakni pemerintah, DPR, dan lembaga yudikatif sangat penting karena
mempunyai kekuasaan. Akan tetapi bukan merupakan satu-satunya aktor utama. Dalam sistem
demokrasi di Negara Indonesia yang masih berkembang, maka wawasan penyeimbang
kekuatan mungkin lebih penting daripada trias politika. Selama keseimbangan nyata dan efektif
antara ketiga lembaga tersebut belum berakar dalam di masyarakat, maka kita bisa mencegah
ekses ketiga lembaga tersebut dengan kekuatan penyeimbang yang ada di masyarakat.
Perlu adanya penataan kelembagaan di Indonesia agar lembaga negara baru itu tetap
sejalan dalam proses menuju demokrasi. Menjadi tugas MPR-lah untuk menyusun desain
Indonesia baru. Terlepas dari mampu tidaknya MPR melaksanakan tugas itu, penataan
kelembagaan secara konsepsional menjadi tugas dan tanggungjawab MPR. MPR dituntut lebih
berpikir konsepsional demi mendesain Indonesia baru meskipun publik meragukannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Trias politika adalah suatu faham kekuasaan yang digulirkan filsuf, konsep
tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan
Montesquieu (1684-1755) yang terdiri dari 3 bagian, yaitu legislatif, eksekutif
dan yudikatif.
2. Di era modern ini, dapat terlihat bahwa teori pemisahan kekuasaan yang
diungkapkan oleh Montesquieu lah yang diterima. Pasalnya, Montesquieu tidak
menggunggulkan posisi satu lembaga. Ketiga lembaga negara yang
menjalankan fungsi yang berbeda, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif
bekerja secara terpisah dan melakukan kontrol satu dan lainnya dengan check
and balance.
3. Lembaga legislatif diharapkan dapat menghasilkan hukum dan kebijakan yang
sesuai dengan rakyat. Lembaga legislatif dengan klaim wakil rakyat akan
mengkoreksi kebijakan pemerintah. Lembaga eksekutif akan memperhatikan
rakyat sepenuhnya, karena jika tidak, rakyat tidak akan memilih
mereka.lembaga yudikatif pun diharapkan mandiri dan independen untuk
mengadili pelanggaran hukum yang terjadi.
4. Tetapi dalam penerapannya di Indonesia tidak berjalan seuai dengan yang
diharapkan, karena system KKN yang mendarah daging di Indonesia sehingga
diharuskannya menambah lembaga untuk mengontrol keadaan tersebut.
B. Saran
Pembagian kekuasaan merupakan hal yang bermanfaat bagi jalannya
pemerintahan yang lebih efektif dan lebih adil. Walaupun pemisahan kekuasaan secara
absolut sulit untuk dijalankan, pemerintah harus tetap bekerja keras untuk menjalankan
pemisahan kekuasaan yang ada. Indonesia harus menjalankan pemerintahan yang
bersih. Hal itu merupakan upaya pemerintah dalam menjamin tegaknya hak rakyat
dalam sebuah negara. Untuk mengawasi ketiga lembaga yang berfungsi secara terpisah
tersebut, maka pemerintahan harus giat melaksanakan check and balances sehingga
fungsi dan tujuan utama dari negara untuk memakmurkan rakyatnya dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.


Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : Gramedia.
Ranadireksa, Hendarmin. 2007. Dinamika Konstitusi Indonesia. Bandung: Fokusmedia,
Pickles, Dorothy. 1991. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta.
M.S., Kaelan. 2003. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Paradigma.

Anda mungkin juga menyukai