Anda di halaman 1dari 22

1

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

 Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu
tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau
otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan
seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan
kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan

Dalam prinsip demokrasi ada yang namanya trias politika, yaitu pembagian kekuasaan
didalam sebuah pemerintahan untuk mencapai sebuah kestabilan Negara. Ketiga unsur tersebut
adalah Legislatif selaku pembuat UU, Eksekutif selaku pelaksana UU dan Yudikatif sebagai
pengawas pelaksanaan UU. Konsep yang dibangun Montesquieu itu sebenarnya sangat bagus.
Legislatif sebagai perwakilan rakyat membuat UU yang mana UU itu hakikatnya adalah
kemauan rakyat. Kemudian untuk melaksanakan kemauan rakyat itu dibutuhkan sebuah panitia
agar kemauan rakyat itu bisa berjalan. Fungsi itulah yang yang dijalankan eksekutif atau yang
biasa kita sebut pemerintah [meskipun penamaan pemerintah itu tidak terlalu tepat karena
berkesan yang memerintah, padahal pemerintah itu sebenarnya pelayan rakyat -red]. Untuk
mengawasi apabila pelaksanaan kemauan rakyat dibentuklah yudikatif. Jadi dengan demikian
sesuai prinsip demokrasi dimana vox populi vox dei [suara rakyat adalah suara Tuhan] maka
rakyat benar-benar dimanja dengan triaspolitika ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengertian trias politica ?

2. Bagaimanakah Sejarah trias politica ?

3. Bagaimanakah Prinsip Check and Balance ?

4. Bagaimanakah Trias Politica di Indonesia ?

5. Bagaimanakah Rekrutmen Politika ?

6. Bagaimanakah Fungsi Rekrutmen Politik ?

7. Bagaimanakah Kasus Rekruitmen Politik ?

1.3 Tujuan

3
1. Untuk mengetahui pengertian trias politica

2. Untuk mengetagui sejarah trias politica

3. Untuk mengetahui Prinsip Check and Balance

4. Untuk mengetahui bagaimana Trias Politica di Indonesia

5. Untuk mengetahui bagaimana Rekrutmen Politika

6. Untuk mengetahui Fungsi Rekrutmen Politik

7. Kasus Rekruitmen Politik

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Trias Politika

merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka
belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada
satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang
berbeda.

Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3
lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat
undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif
adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan,
menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga
ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.

Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan


jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu
lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling
mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya
serupa, mulus atau tanpa halangan.

2.2 Sejarah Trias Politika

Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya
mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang

4
biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki.
Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.

Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh
para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan
Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan
daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan
Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut
mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki
atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja.
Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.

Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi
persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali
Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.

Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul
semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa
melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau,
Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar
bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.

Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran
intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang
berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.

 John Locke (1632-1704)

Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar)
yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya
tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan
keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat
melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh
berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya
masalah kerja ini ?

5
Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam
posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang
melakukan akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap
kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini,
misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.

Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain,
demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan
terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan
yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.

1. Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal


penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat
ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu
terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat
yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum
bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang
dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum
bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.

2. Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam


hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan
tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan
diserahkan ke tangan raja/ratu.

3. Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau


kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di
masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik
luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan
sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada
raja/ratu Inggris.

Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan
yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran
Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran
Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.

 Montesquieu (1689-1755)

6
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran
politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum
opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.

Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut:


“Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif,
mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif
yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama,
penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan
kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan
umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum
penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut
kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.

Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia
saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini
terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti
(Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).

1. Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif

Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini,
lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of
Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini
dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari
partai-partai politik.

Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termasuk
beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work,
Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.

a) Lawmaking
adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal
adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-
undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.

b) Constituency Work
Adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota
DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja,

7
orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian
banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat,
yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan. Berat
bukan ?

c) Supervision and Criticism Government


Berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh
presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam
menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi,
angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.

d) Education,
Adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.
Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus
menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada
masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab,
hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi,
surat kabar, ataupun internet.

e) Representation
Merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah
disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih.
Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini
didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep
demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang
yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul
adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para
pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di
aneka isu politik.

2. Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif

Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh


Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of
government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan
Chief legislators.

Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri.
Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan
kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana

8
Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini
misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta
besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.

a) Head of Government
Artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan
kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian
dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi
surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara,
terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di
Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara
tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika
Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.

b) Party Chief
Berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang
menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang
menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala
pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu.
Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku
kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut.
Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di Pemilu 1999, tetapi ia
menjadi presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan parlementer, terdapat hubungan yang
sangat kuat antara eksekutif dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi
hasil suara partai dalam pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan
dan untuk memilih presiden terpisah.

c) Commander in Chief
Adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah
pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun
tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat
pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah
orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana banyak
instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di
masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.

d) Chief Diplomat
Merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di
perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub
kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula

9
di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat
duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.

e) Dispensen Appointment
Merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau
lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri
luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau
perdana menteri.

f) Chief Legislation
Adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang.
Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem
tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-
undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui
oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.

3. Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi


atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam
daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law
(perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran
kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law
(perjanjian internasional).
a) Criminal Law,
penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya
berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi,
dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan
Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.

b) Constitution Law,
kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok,
lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya
penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.

c) Administrative Law,
penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus
sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.

10
d) International Law,
tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas
nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

2.3 Prinsip CHECK AND BALANCE

Upaya pengawasan dan keseimbangan antara badan-badan yang mengatur Trias Politica


memiliki prinsip-prinsip dengan berbagai macam variasi, misalnya:

a) The four branches: legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media. Di sini media di
gunakan sebagai bagian kekuatan demokrasi keempat karena media memiliki
kemampuan kontrol, dan memberikan informasi.

b) Di Amerika Serikat, tingkat negara bagian menganut Trias Politica sedangkat


tingkat negara adalah badan yudikatif.

c) Di Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensid)     Sementara itu, di


Indonesia, Trias Politica tidak di tetapkan secara keseluruhan. Legislatif di isi
dengan DPR, eksekutif di isi dengan jabatan presiden, dan yudikatif oleh mahkamah
konstitusi dan mahkamah agung.

2.4 Trias Politica di Indonesia


Indonesia juga menerapkan teori tentang Trias Politica, namun sistem penerapannya
berbeda ini disesuaikan dengan konteks sosial-politik di Indonesia. Jika dalam konsep asli “Trias
Politica” menghendaki pemisahan kekuasaan (sparation of power), Indonesia memodifikasi
menjadi pembagian kekuasaan (devision of power or distribution of power) tanpa menghilangkan
esensi-esensi dasar teori itu, seperti perlunya kontrol terhadap kekuasaan eksekutif dan lain-lain.

Meskipun UUD 1945 tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa doktrin “Trias Politica”
dianut, namun UUD 1945 menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, dapat disimpulkan
bahwa Indonesia menganut “Trias Politica” dalam arti pembagian kekuasaan.

Apabila ajaran Trias Politica diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas
Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersebut, oleh karena memang dalam UUD 1945

11
kekuasaan negara dipisahkan dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya
diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.

Di dalam UUD 1945 telah termuat penjelasan pembagian kekuasaan, misalnya BAB III
“Kekuasaan Pemerintahan Negara”, BAB VII “Dewan Perwakilan Rakyat”, dan BAB IX
“Tentang Kekuasaan Kehakiman”. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh presiden bersama-sama
dengan DPR. Kekuasaan Eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh menteri-menteri,
sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung.

Sistem penyelenggaraan pemerintahan di negara kita setelah amandemen Undang-


Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, telah melakukan dengan sistem
pemisahan kekuasaan atau yang dikenal dengan “separaticion of power”. Dalam prinsip
pemisahan kekuasaan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan DPD.
DPR memiliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang berkaitan
dengan pemerintahan. DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Namun demikian, setiap
Rancangan Undang-Undang (RUU) harus dibahas dan mendapat persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden sehingga terdapat keseimbangan. Sedangkan DPD hanya dapat mengajukan
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pemekaran daerah,
pengelolah sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.

Dalam hubungannya dengan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, namun harus
dijalankan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar dan sesuai peraturan perundang-undangan
lainnya. Disamping itu prinsip saling mengawasi dan mengimbangi, Presiden juga berhak
mengajukan RUU kepada DPR.

Berkaitan dengan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan


yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap UU, dan mempunyai
kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU. Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan
di bawah UU adalah bentuk pengawasan dan untuk mengimbangi kewenangan peraturan yang
dimiliki oleh eksekutif.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

12
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.

Sedangkan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan


hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan
Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Trias Politica yang berlaku di Indonesia diatur dalam UUD 1945, dimana kekuasaan
tersebut yaitu :
a)   Kekuasaan legislatif yaitu DPR
Pasal 20 ayat (1), yang berbunyi “Tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat” yang berarti DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
b)   Kekuasaan eksekutif yaitu Presiden
Pasal 4 ayat (1), yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” memegang kekuasaan pemerintahan .
c)    Kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Pasal 24 ayat (1), yang berbunyi “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang” yang berarti memegang
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.

Berdasarka penjelasan mengenai Trias Politica di atas, secara umum trias politica di
Indonesia, ada beberapa fungsi dan tujuan negara yang diuraikan secara lebih jauh. Selain
pembagian kekuasaan menurut fungsinya yang berkaitan dengan konsep “Trias Politica”, negara
juga mempunyai fungsi dan tujuan yang lain, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir dari suatu
negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good,
common wealth).

2.5 Rekrutmen Politika


1.     Pengertian Rekrutmen Politik
Rekrutmen  politik adalah proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga
politik termasuk partai politik dan administrasi atau birokrasi oleh orang-orang yang akan
menjalankan kekuasaan politik (Suharno, 2004: 117). Sedangkan menurut Cholisin, rekrutmen
politik adalah seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk melaksanakan sejumlah

13
peran dalam system politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya (Cholisin, 2007:
113).
Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-aggota kelompok untuk mewakili
kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. Dalam pengertian lain, rekrutmen
politik merupakan fungsi penyelekksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan
melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri
untuk jabatan tertentu dan sebagainya.

Setiap sistem politik memiliki sistem atau prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota
kelompok yang direkrut adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat
dibutuhkan untuk suatu jabatan politik. Setiap partai juga memiliki pola rekrutmen yang berbeda.
Pada referensi yang lain, kita bisa menemukan definisi atau pengertia rekrutmen politik yang
lebih memperhatikan sudut pandang fungsionalnya, yaitu “The process by which citizens are
selected for involvement in politics”. Pengertia tersebut di atas menjelaskan bahwa rekrutmen
politik adalah proses yang melibatkan warga negara dalam politik.

Di Indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu setelah setiap calon peserta yang
diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh suatu badan resmi. Seleksi ini dimulai dari
seleksi administrative, penelitian khusus yanitu menyangkut kesetiaaan pada ideology Negara.

Adapun beberapa pilihan partai politik dalam proses rekrutmen politik adalah sebagai
berikut;

1. Partisan, yaitu merupakan pendukung yang kuat, loyalitas tinggi terhadap partai sehingga
bisa direkrut untuk menduduki jabatan strategis.
2. Compartmentalization, merupakan proses rekrutmen yang didasarkan pada latar belakang
pendidikan dan pengalaman organisasi atau kegiatan sosial politik seseorang, misalnya
aktivis LSM.
3. Immediate survival, yaitu proses rekrutmen yang dilakukan oleh otoritas pemimpin partai
tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut.
4. Civil service reform, merupakan proses rekrutmen berdasarkan kemampuan dan loyalitas
seorang calon sehingga bisa mendapatkan kedudukan lebih penting atau lebih tinggi.

Ada beberapa hal menurut Czudnowski, yang dapat menentukan terpilihnya seseorang
dalam lembaga legislatif, sebagaimana berikut;

1. Social background : Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi
keluarga, dimana seorang calon elit dibesarkan.
2. Political socialization : Merupakan suatu proses yang menyebabkan seorang menjadi
terbiasa dengan tugas-tugas yang harus diilaksanakan oleh suatu kedudukan politik.

14
3. Initial political activity : Faktor ini menunjuk kepada aktivitas atau pengalaman politik
calon elit selama ini.
4. Apprenticeship : Faktor ini menunjuk langsung kepada proses “magang” dari calon elit ke
elit yang lain yang sedang menduduki jabatan yang diincar oleh calon elit.
5. Occupational variables : Calon elit dilihat pengalaman kerjanyadalam lembaga formal
yang bisa saja tidak berhubungan dengan politik, kapasitas intelektual dalam kualitas
kerjanya.
6. Motivations : Orang akan termotivasi untuk aktif dalam kegiatan politik karena dua hal
yaitu harapan dan orientasi mereka terhadap isu-isu politik. Selection : Faktor ini
menunjukkan pada mekanisme politik yaitu rekrutmen terbukan dan rekrutmen tertutup.

2.6 Fungsi Rekrutmen Politik


Rekrutmen Politik adalah suatu proses seleksi atau rekrutmen anggota-anggota kelompok
untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administratif maupun politik. Setiap sistem
politik memiliki sistem atau prosedur-prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok
yang rekrut/diseleksi adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan
untuk suatu jabatan atau fungsi politik. Setiap partai politik memiliki pola rekrutmen yang
berbeda. Pola perekrutan anggota partai disesuaikan dengan sistem politik yang dianutnya. Di
Indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu setelah setiap calon peserta yang
diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh suatu badan resmi. Seleksi ini dimulai dari
seleksi administratif, penelitian khusus (litsus) yaitu menyangkut kesetiaan pada ideologi negara.

Czudnowski seperti yang dikutip oleh Fadillah Putra dalam bukunya yang berjudul “Partai
Politik dan Kebijakan Publik” , mengemukakan definisi rekrutmen politik yaitu: “The process
through which individuals or group of individuals are inducted into active political roles”
“Suatu proses yang berhubungan dengan individu-individu atau kelompok individu yang dilantik
dalam peran-peran politik aktif.”

Menurut Czudnomski dalam bukunya Fadillah Putra yang berjudul “Partai Politik dan
kebijakan Publik” mengemukakan mekanisme rekrutmen politik antara lain:
1) Rekrutmen terbuka, di mana syarat dan prosedur untuk menampilkan seseorang tokoh dapat
diketahui secara luas. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai alat bagi elit politik yang
berkualitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Cara ini memberikan kesempatan bagi
rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit politiknya. Dengan demikian cara ini sangat
kompetitif. Jika dihubungkan dengan paham demokrasi, maka cara ini juga berfungsi sebagai
sarana rakyat mengontrol legitimasi politik para elit.
Adapun manfaat yang diharapkan dari rekrutmen terbuka adalah:

15
a) Mekanismenya demokratis
b) Tingkat kompetisi politiknya sangat tinggi dan masyarakat akan mampu memilih
pemimpin yang benar-benar mereka kehendaki
c) Tingkat akuntabilitas pemimpin tinggi
d) Melahirkan sejumlah pemimpin yang demokratis dan mempunyai nilai integritas
pribadi yang tinggi.
2) Rekrutmen tertutup, berlawanan dengan cara rekrutmen terbuka.
Dalam rekrutmen tertutup, syarat dan prosedur pencalonan tidak dapat secara bebas
diketahui umum. Partai berkedudukan sebagai promotor elit yang berasal dari dalam tubuh partai
itu sendiri. Cara ini menutup kemungkinan bagi anggota masyarakat untuk melihat dan menilai
kemampuan elit yang ditampilkan. Dengan demikian cara ini kurang kompetitif. Hal ini
menyebabkan demokrasi berfungsi sebagai sarana elit memperbaharui legitimasinya.

Berdasarkan beberapa penjabaran tentang mekanisme rekrutmen politik di atas, maka


sistem terbuka mencerminkan partai tersebut betul-betul demokratis dalam menentukan syarat-
syarat dan proses yang ditempuh dalam menjaring calon elit politik. Sistem yang demokratis
akan dapat mencerminkan elit politik yang demokratis pula. Sedangkan mekanisme rekrutmen
politik yang tertutup akan dapat meminimalkan kompetisi di dalam tubuh partai politik yang
bersangkutan, karena proses yang ditempuh serba tertutup. Sehingga masyarakat kurang
mengetahui latar belakang elit politik yang dicalonkan partai tersebut.

Ada beberapa variabel penting dalam proses rekrutmen dan pengembangan kader

1. Kualitas Rekrutmen
Partai harus memiliki kualifikasi standar untuk merekrut para kandidat. Biasanya,
dalam era baru demokrasi, partai merekrut para kandidat yang bersedia untuk
memberikan kompensasi politik dan keuangan untuk pencalonan dirinya. Kualifikasi
standar sebaikmya mencakup aspek-aspek, seperti integritas, dekat dengan rakyat
(societal roots), pengalaman politik, keterampilan dasar, dan sesuai dengan platform
partai.

a) Standarisasi Rekrutmen dan Kepatuhan


Standarisasi rekrutmen harus dilakukan secara konsisten di seluruh kantor daerah
partai politik, guna memastikan praktek rekrutmen yang umum dan para kandidat
memiliki kualifikasi yang sama diseluruh tingkatan.
b) Desentralisasi Rekrutmen
Hampir tidak mungkin bagi kantor pusat partai politik untuk memverifikasi
seluruh proses seleksi secara efektif, sehingga diperlukan desentralisasi dalam
tingkatan tertentu. Kantor pusat partai seharusnya berpartisipasi secara aktif dalam
menyeleksi kandidat parlemen di tingkat nasional, akan tetapi ketika menyeleksi

16
kandidat provinsi dan kecamatan kantor pusat partai seharusnya juga memiliki peran
utama. Dalam mengimplementasikan struktur yang terdesentralisasi, kantor pusat
partai hanya menyediakan mekanisme kontrol untuk memastikan unsur kepatuhan
sesuai dengan standarisasi yang tersedia dalam penyeleksian. Kantor daerah partai
dapat berpartisipasi dalam menyeleksi para kandidat di tingkat administrasi yang
lebih tinggi dengan memberikan masukan dan informasi tentang kandidat.
Singkatnya, terdapat tiga aspek utama dalam rekrutmen, antara lain kualitas
kualifikasi, standarisasi dan kepatuhan, dan tingkat desentralisasi.
c) Kualitas Pengembangan Kader
Kegiatan pengembangan kader di dalam partai politik harus berkaitan dengan
kualilfikasi nominasi. Bahan untuk pengembangan kader harus memasukkan
pembangunan integritas, mendorong dan melatih para kader guna membangun
kedekatan dengan masyarakat dan program partai politik, pelatihan keterampilan
dasar di dalam organisasi, dan promisi ideologi dan platform partai. Pengembangan
kader dilakukan guna mencapai tujuan sebagai berikut: Petama, membangun partai
dengan sumber internal untuk pemilihan para kandidat dan memastikan proses
regenerasi di dalam tubuh partai dengan memunculkan beberapa pemimpin partai
masa depan. Kegiatan pengembangan kader yang dilakukan secara regular merupakan
indikator kualitas proses di dalam partai.
d) Standarisasi, Kepatuhan, dan Desentralisasi Pengembangan kader
Sama halnya dengan rekrutmen, konsistensi di seluruh tingkatan yang berbeda
dalam organisasi partai memastikan kader dengan kualitas yang merata. Partisipasi
dari anggota partai di tingkatan yang berbeda dalam organisasi juga dapat
memastikan efisiensi dalam proses yang berarti kader daerah tidak harus bergantung
hanya pada kantor pusat partai.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi dalam Pelaksanaan Rekrutmen Politik


Faktor pertama, ini bukan mempertanyakan atau membahas siapa yang akan menjadi
bakal calon pemimpin untuk negeri ini kedepannya melainkan lebih menekankan
terhadap persoalan disekitar politik, kekuasaan rill dan berada disuatu historis.

Persoalan di sekitar politik berarti setiap calon-calon pemimpin yang akan dipilih
harus mampu mengoptimalisasikan segala tenaga dan upayanya untuk menyeimbangkan
segala polemik-polemik yang sedang terjadi di negara ini untuk dipersempit
dampaknya.Sehingga iming-iming tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat luas
untuk memilihnya sebagai calon pemimpin kedepannya.

Kekuasaan rill berarti seorang calon pemimpin harus memiliki teknik yang
tersimpan di dalam konsep pikiranya untuk dikembangkan ketika telah menjadi

17
pemimpin. Konsep tersebut berisi suatu cara bagimana mempengaruhi masyarakat luas
sehingga mampu dipercaya untuk memimpin dalam periode yang lama dan abadi.
Unsur yang terakhir, berada dalam suatu historis artinya setiap pemimpin
otomatis menginginkan nama dan jasa-jasanya selalu terekam dalam benak pikiran
masyarakat dan setiap calon pemimpin harus mampu merangkai konsep tersebut sebelum
dirinya terpilih menjadi pemimpin.

Rekrutmen politik memiliki suatu pola-pola dalam konsepnya. Apabila kita


mengkaji pola-pola tersebut maka kita akan mnegetahui bahwa sistem nilai, perbedaan
derajat, serta basis dan stratifikasi sosial terkandung di dalam rekrutmen politik. Pola-
pola rekrutmen politik ini secara tidak disengaja menjadi indikator yang cukup penting
untuk melihat pembangunan dan perubahan suatu negara. Di dalam pola-pola ini
memiliki keterkaitan antara rekrutmen dan perekonomian suatu negara mampu menkaji
pergeseran ekonomi masyarakat, infrastruktur politik, serta derajat politisasi dan
partisipasi masyarakat. Artinya pemimpin-pemimpin yang baru akan membentuk
kebijakan-kebijakan terbarunya yang mengarah demi kemajuan negaranya serta faktor
politik menciptakan terjadinya iklim politik yang cukup mempengarauhi pergerakan
ekonomi suatu Negara di dalamnya.

3. Prosedur-prosedur yang Berlaku untuk Mendapatkan Suatu Peran Politik


a) Pemilihan umum
Seluruh masyarakat Indonesia setiap 5 tahun sekali melaksanakan pemilihan
umum yaitu kegiatan rakyat dalam memilih orang atau sekelompok orang untuk menjadi
pemimpin bagi rakyatnya, pemimpin Negara, atau pemimpin di dalam pemerintahan dan
merupakan mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga
negara dalam proses memilih sebagian rakyatnya menjadi pemimpin di dalam
pemerintahan.
b) Ujian
c) Training formal
d) Sistem giliran

4. Jalur-jalur Politik dalam Rekrutmen Politik


Jalur koalisi partai atau pimpinan-pimpinan partai artinya koalisi-koalisi partai
merupakan bagian terpenting di dalam rekrutmen politik karena sebagian besar
kesepakatan dan pengangkatan politik di adopsi dari hasil koalisi-koalisi antarpartai yang
berperan dalam suatu lingkup politik.Artinya rekrutmen politik tidak terlepas dari
peranan koalisi partai.
Jalur rekrutmen berdasarkan kemampuan-kemampuan dari kelompok atau
individu artinya jalur ini menjadi kriteria dasar dalam perekrutan seseorang karena dinilai
dari berbagai segi yaitu kriteria-kritreia tertentu, distribusi-distribusi kekuasaan, bakat-

18
bakat yang terdapat di dalam masyarakat, langsung tidak langsung menguntungkan partai
politik.
Jalur rekrutmen berdasarkan kaderisasi artinya setiap kelompok-kelompok partai
harus menyeleksi dan mempersiapkan anggota-anggotanya yang dianggap mampu dan
cakap dalam mendapatkan jabatan-jabatan politik yang lebih tinggi jenjangya serta
mampu membawa memobilisasi partai-partai politiknya sehingga memberi pengaruh
besar dikalangan masyarakat.
Jalur rekrutmen politik berdasarkan ikatan promodial. Di zaman modern ini jalur
rekrutmen promodial tidak menutup kemungkinan terjadi di dunia politik. Fenomenal itu
terjadi karena adanya hubungan kekerabatan yang dekat antara orang perorangan yang
memiliki jabatan politik sehingga ia mampu memindahtangankan atau memberi jabatan
tersebut kepada kerabat terdekatnya yang dianggap mampu dan cakap dalam mengemban
tugas kenegaraan. Fenomena ini dikenal dengan nama “rekrutmen politik berdasarkan
ikatan promodial”.
5. Pembagian Jabatan di dalam Politik
Jabatan politik artinya jabatan yang diperoleh sebagai dari hasil pemilihan
rakyatnya atau yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dan dikenal sebagai seorang
“politikus”. Masa jabatanya hanya dua kali periode.
Jabatan administratif artinya jabatan yang diperoleh secara manual melalui tahap-
tahap pendidikan dan pelamaran kerja. Jabatan ini dianggap pasti dan mampu menjamin
hidup para “administrator” karena masa jabatanya berlangsung lama. Para administrator
ini dikenal sebagai atribut negara karena menjadi indikator pelengkap dan pendukung
dalam membantu tugas para politikus.

6. Sistem Perekrutan Politik Terdiri dari Beberapa Cara


a) Seleksi pemilihan melalui ujian
b) Latihan ( training ) Kedua hal tersebut menjadi indikator utama didalam perekrutan
politik
c) Penyortiran atau penarikan undian(cara tertua yang digunakan di Yunani kuno)
d) Rotasi memiliki tujuan mencegah terjadinya dominasi jabatan dari kelompok-
kelompok yang berkuasa maka perlu adanya pergantian secara periode dalam
jabatan-jabatan politik.

2.7 Kasus Rekruitmen Politik (Aly, Bachtiar Prof Dr,2012)

Belum pernah dalam sejarah Indonesia merdeka, kredibilitas pemimpin dan elit bangsa
terpuruk seperti sekarang. Pemimpin puncak hingga level paling bawah mengalami krisis
kepercayaan. Mereka hilang wibawa. Legitimasinya melemah. Ucapannya sering jadi bulan-
bulanan dan olok-olok. Lebih lagi, dicap munafik tak tahu diri.

19
Elit bangsa digugat dan dianggap tak peka derita rakyat. Sibuk mengurus dan memperkaya
diri. Kasus-kasus yang melibatkan segelintir anggota DPR daerah dan pusat membuat kita
mengurut dada. Ulah ini bikin berang. Lihatlah urusan rehabilitasi gedung, pengadaan peralatan
kantor, hingga toilet mewah. Biayanya mengalahkan common sense. Mereka pun saling tuding.
Tak ada yang mau tanggung jawab sampai diadukan ke KPK.

Meski masih tebang pilih soal KKN, elan reformasi terus menerjang. Ada yang kapok dan
insaf setelah masuk bui. Tapi orang kini tak terlalu takut dipenjara. Yang ditakuti, kalau terjerat
tak siap bekal. Tanpa uang pasti susah di penjara. Kalau ada teman solider besuk, justru jadi
perkara karena harus bayar sipir.

Yang kreatif menyusun disertasi atau menulis novel. Jeruji besi tak mereduksi impian
mereka untuk berkarya. Penjara tak boleh mengamputasi imajinasi dan mimpi insani. Inilah
hakikat campus (sebutan lain bui) bagi yang masih menyisakan sense of humor. Heinrich Boll,
pemenang nobel sastra mengingatkan, tak mudah menghapus memori kelam di hotel prodeo.
Mari kita bantu rehabilitasi dan reintegrasi mereka sebagai anak bangsa.

Setiap hari media massa kita menyajikan berita miris seperti kekerasan, perkosaan,
kemiskinan, dan ketidakadilan. Ya, rangkaian protes dan demo masyarakat di berbagai daerah
telah menyulut kerisauan. Tapi pendemo brutal yang mengganggu ketentraman umum tak boleh
ditoleransi. Aparat keamanan, bertindaklah profesional dan proporsional, tapi hindari jatuh
korban nyawa.

Jajaran pimpinan nasional hingga daerah kini terus didemo, didamprat, dimaki. Sumpah
serapah jadi lumrah. Pamor pemerintah rontok ke titik nadir. Pemimpin dituding tidak kredibel.

Orang muda muncul ke tampuk kuasa, tapi tak tahan godaan harta, wanita, dan mahkota.
Cepat puas diri. Mereka pun korup, narsis, dan calon menghuni penjara. Belum lagi neraka
mengejarnya. Rasanya tak ada yang dapat diandalkan.Masyarakat mulai frustasi dan masa
bodoh. Yang berang main hakim sendiri.

Celakanya, pejabat negara tak tanggap dan tak sigap mencari solusi. Masyarakat pun
menempuh jalannya sendiri, seperti hilang pegangan dan harapan. Seharusnya pejabat legislatif,
eksekutif, dan yudikatif mempertanggungjawabkan kinerjanya. Juga memperlihatkan sikap
terbuka yang jujur, adil, dan jauh dari kemunafikan. Di sisi lain, demokratisasi telah memberi
masyarakat peran lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan. Mereka tak mau lagi
dijadikan sekadar embel-embel. Hak masyarakat harus diberdayakan untuk memenuhi hajat
hidup di semua lini, termasuk hak politik. Saat masyarakat terlibat dalam proses demokrasi,
peran dan fungsi parpol jadi sangat relevan.

Dalam sistem yang mengedepankan demokrasi, parpol menempati posisi strategis.


Persoalannya, isi benak elit politik kadangkala sulit dipahami. Komunikasi politik elit kita seperti
tak terjangkau, mengalami distorsi, bahkan senjang. Saat LSM menuding studi banding

20
memboroskan uang negara dari hasil negosiasi meminta-minta, wakil rakyat malah emosi
ketimbang mengklarifikasi. Manusia semestinya mampu mengontrol daya emosi dan pikirnya.

Ini tak boleh dibiarkan. Kita harus bersuara. Manfaatkan berbagai forum dengan bijak.
Pejuang restorasi dan pembaharu harus tetap kritis. Pertajam intellectual honesty dan asah
kualitas empati. Situasi makin tak tentu saat masyarakat dituding kurang paham agenda dan
obsesi penguasa. Tampaknya komunikasi politik sudah korslet, ribet, dan sulit dimengerti.

David Easton mencatat komunikasi politik sebagai sejumlah/seperangkat interaksi yang


diabstraksi dari totalitas social behavior, dengan caranya masingmasing mempengaruhi dan
menguasai masyarakat dengan gagasan yang dimiliki. Aktivitas ini mampu mengikat semua
komponen bangsa dengan sanksi dan kompensasi yang disepakati

Saatnya kita kontemplasi dan muhasabah (introspeksi) soal bagaimana keluar dari kemelut
dan masalah kompleks ini. Elit politik harus mawas diri. Pengambil keputusan jangan ragu
bertindak untuk kepentingan yang lebih besar.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a) Trias politika adalah suatu faham kekuasaan yang digulirkan filsuf, konsep tersebut untuk
pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1684-1755) yang
terdiri dari 3 bagian, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b) Di era modern ini, dapat terlihat bahwa teori pemisahan kekuasaan yang diungkapkan oleh
Montesquieu lah yang diterima. Pasalnya, Montesquieu tidak menggunggulkan posisi satu
lembaga. Ketiga lembaga negara yang menjalankan fungsi yang berbeda, yakni legislatif,
eksekutif, dan yudikatif bekerja secara terpisah dan melakukan kontrol satu dan lainnya
dengan check and balance.
c) Lembaga legislatif diharapkan dapat menghasilkan hukum dan kebijakan yang sesuai dengan
rakyat. Lembaga legislatif dengan klaim wakil rakyat akan mengkoreksi kebijakan
pemerintah. Lembaga eksekutif akan memperhatikan rakyat sepenuhnya, karena jika tidak,
rakyat tidak akan memilih mereka.lembaga yudikatif pun diharapkan mandiri dan
independen untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi.

21
d) Tetapi dalam penerapannya di Indonesia tidak berjalan seuai dengan yang diharapkan, karena
system KKN yang mendarah daging di Indonesia sehingga diharuskannya menambah
lembaga untuk mengontrol keadaan tersebut.

22

Anda mungkin juga menyukai