Anda di halaman 1dari 74

PEMERIKSAAN FISIK THT-KL

Pembimbing :
dr. Kote Noordhianta, Sp. THT-KL, M.Kes

Penyusun :
Tom Lieven S. 2014-061-175
Nadia Citradibyaguna 2014-061-176
Kelvin Ade Chendra 2014-061-178
Felicia Nike 2014-061-180
Evan Matthew Putra 2015-061-109
Dominika Bernadian Uge Rinu 2015-061-117

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT – KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH R. SYAMSUDIN, SH.
PERIODE : 13 FEBRUARI – 18 MARET 2017
1. Kelainan kongenital pada aurikula

Microtia
Merupakan perkembangan abnormal telinga yang menyebabkan deformitas pada
aurikula. Berkisar antara deformitas ringan hingga agenesis sempurna dari telinga. Terjadi
di 1:10.000-20.000 kelahiran dan kebanyakan unilateral.

Penyebab:
- Substansia teratogenik : vitamin A dan thalidomide
- Infeksi intrauterine : Rubella. CMV, dll
- Gangguan vascular pada fetus
- Anomali genetik

Klasifikasi:
- Tipe I : deformitas ringan, struktur utama ada, tidak memerlukan jaringan
- Tipe II : struktur utama ada, namun diperlukan beberapa jaringan tambahan
- Tipe III : terdapat beberapa bagian yang dikenali, lobules ada sedikit
- Tipe IV : anotia (tidak ada telinga)

Tipe I
Tipe II

Tipe III

Tipe IV
Prominent Ear (Bat’s Ear)
Merupakan varian normal kongenital tanpa gangguan fungsi. Normalnya sudut aurikula
adalah 200-300. Disebabkan karena konka yang dalam atau kurangnya perkembangan
antihelix. Terapi dengan bedah.

Prominent Ear pada bayi

Cleft Ear Lobe


Merupakan kelainan yang jarang. Dibagi menjadi 4 subtipe yaitu lobus longitudinal,
transversal dan tripel. Terapi yang dapat dilakukan adalah pembedahan untuk
mengembalikan sifat natural lobus telinga

Lobus tripel
2. Gambar – Gambar Granulasi
3. Staging Otitis Media Akut

Stage Gejala Tanda Tatalaksana


Oklusi - Penurunan - Retraksi membrane - Dekongestan
pendengaran timpani - Antibiotik
- Nyeri telinga - Hilangnya refleks - Analgetik
cahaya - Antipiretik
- Tuli konduksi
Hiperemia - Nyeri telinga - Kongesti pars - Dekongestan
berdenyut yang tensa - Antibiotik
dapat mengganggu - Gambaran - Analgetik
tidur cartwheel pada - Antipiretik
- Penunrunan membrane timpani
pendengaran dan - Tuli konduksi
berdenging (dewasa)
- Demam (anak-
anak)
Suppurasi - Nyeri telinga hebat - Membran timpani - Antibiotik
- Penurunan merah dan bulging, - Analgesik
pendengaran lebih serta kehilangan - Antipiretik
berat strukturnya
- Demam - Nyeri di antrum
- Muntah mastoid
- Kejang
Perforasi - Nyeri berkurang - CAE terdapat - H2O2 3% 5 tetes
- Keluar sekret dari sekret dengan/tanpa - Antibiotik
telinga darah
- Demam menurun - Lama kelamaan
menjadi
mukopurulen
Resolusi - Gejala membaik - Sekret berkurang
dan akhirnya kering
- Membran timpani
bisa kembali normal
4. Penyebab Membran Timpani Bulging
Penyebab :
● Glue ear / otitis media serosa / otitis media efusi
Disebabkan oleh transudasi plasma dari pembuluh darah ke dalam rongga telinga
tengah yang terutama disebabkan perbedaan tekanan hidrostatik.
Tanda :
- Membran timpani berwarna abu-abu, merah
- Air fluid level atau gelembung udara
- Retraksi membrane timpani dan bergerak pada tekanan negative
- Membrane timpani opak
- Kehilangan pendengaran
● Cholesteatoma
● Folliculitis
● Labyrinthitis
● Otitis externa
b. Retraksi membran timpani
Penyebab :
● Disfungsi tuba eustachius
● Otitis media adhesive
Ruang telinga tengah obliterasi, membrane timpani menempel pada dinding
medial tulang.
5. Perfomasi Membran Timpani
Berdasarkan letak:
a. Perforasi sentral
Perforasi terletak di sentral dan pars tensa membran timpani. Seluruh tepi perforasi
masi memiliki sisa membran timpani.
b. Perforasi marginal
Sebagian tepi perforasi langsung berhubungan berhubungan dengan annulus/ sulkus
timpanikum. (terletak di pinggir membran timpani)
Menandakan tulang pada margo timpani telah mengalami destruksi.Perforasi tipe ini
bahaya karena sisa epitel dapat masuk ke dalam cavum timpani, menyebabkan
kolesteatoma.
c. Perforasi attic/ flaccid
Perforasi terletak di pars flaccid mempran timpani. Menandakan terdapat
kolesteatoma pada tepi timpani.
d. Perforasi tuba
Perforasi terletak dekat pada muara timpani dengan tuba eustachius.Perforasi tipe tuba
dan sentral relatif lebih aman dibandingkan dengan tipe marginal dan pars flaccida.
Berdasarkan ukuran :

a. Kecil: hanya melibatkan 1 kuadran atau < 10% pars tensa.


b. Sedang: melibatkan 2 kuadran atau 10 - 40 % pars tensa.
c. Besar: melibatkan 3 - 4 kuadran atau > 40% dari pars tensadengan sisa membrana
timpani yang masih lebar.
d. Subtotal: melibatkan 4 kuadran dan mencapai annulus fibrosus.
e. Total: perforasi seluruhnya dari pars tensa dan anulus fibrosus.

6. Perbedaan OMA Rekuren dan OMSK Eksaserbasi Akut

OMA OMSK

Durasi Bersifat akut (0-3 minggu) Bersifat kronis (>2bulan)

Gejala klinis Tidak selalu disertai Selalu terdapat secret


dengan secret telinga telinga

Perjalanan penyakit Tidak didahului dengan Sebelumnya menderita


OMA OMA yang tidak diobati
secara tuntas

Sekret telinga Terdapat masa dimana Selalu disertai dengan


tidak terdapat secret secret telinga
telinga
7. Mastoiditis

Mastoiditis merupakan semua proses inflamasi yang terjadi di mastoid air cell pada tulang
temporal. Mastoid sendiri menyambung lipatan telinga tengah, oleh karena itu dewasa
dengan OMA atau OMSK dapat mengalami mastoiditis.
Etiologi
Sebagai salah satu proses infeksi, faktor pejamu dan mikroba selalu harus
dipertimbangkan dalam mastoiditis.

 Faktor pejamu
- Anak yang berusia <2 tahun yang memiliki riwayat otitis media
- Gangguan anatomi
- Anak dengan gangguan spectrum autistic
 Faktor mikroba
- Streptococcus pneumoniae
- Streptococcus beta-hemolitikus grup A
- Staphylococcus aureus
- Streptococcus pyogenes
- Moraxella catarrhalis
- Haemophilus influenza
- Pseudomonas aeruginosa
- Mycobacterium
- Aspergillus fumigatus
- Nocardia asteroides

Anamnesis

 Riwayat otore >3 minggu


 Demam tinggi persisten dengan pemberian antibiotik
 Nyeri dibelakang telinga, memburuk di malam hari
 Pada anak-anak tidak spesifik, biasanya berupa diare, nafsu makan menurun, demam,
iritabel

Pemeriksaan fisik

 Nyeri didaerah prosesus mastoid, harus dibandingkan dengan sisi kontralateral


 Mungkin disertai perpindahan aurikula ke lateral
 Penurunan pendengaran
 Pembengkakan, eritema, nyeri retroaurikula
 Pada otoskopi ditemukan otitis media, mungkin ditambah 1 gejala berikut
- Sagging dari dinding kanalis posterosuperior
- Protrusi membrane timpani umumnya berupa pus oozing
- Temuan konsisten dengan komplikasi yang melewati prosesus mastoideus, atau
komplikasi intratemporal seperti palsy wajah

Pemeriksaan penunjang

Kehancuran tulang luas pada regio pneumatisasi mastoid, lateral dari sinus sigmoid. Lesi
litik iregular pada tulang temporal lateral dari sinus sigmoid yang dikelilingi oleh area
hiperostotik.
Jenis – jenis foto Rontgen untuk evaluasi mastoiditis:
 Law
- Proyeksi lateral pada mastoid dengan bidang sagital tengkorak sejajar dengan
film; arah sinar X angulasi sefalokaudal 15o.
- Digunakan untuk melihat patokan utama, seperti tegmen mastoid dan sinus
sigmoideus, serta untuk melihat ukuran mastoid secara keseluruan. Selain itu,
dapat memperlihatkan sendi TMJ dan penumatisasi pada bagian anterior
tulang temporal.
- Terdapat tumpang – tindih kanalis auditori interna dan eksterna. Tidak
menunjukkan attic, aditus dan antrum.
 Schüller
- Proyeksi lateral pada mastoid dengan bidang sagital tengkorak sejajar dengan
film; arah sinar X angulasi sefalokaudal 30o.
- Dapat melihat struktur seperti pada foto Law serta memungkinkan visualisasi
attic atau epitimpanum serta antrum.
 Chausse III
- Didapatkan dengan memposisikan oksiput pada film, dengan rotasi 10 – 15o
ke arah berlawanan dengan sisi yang diperiksa, dan dagu difleksikan sampai
ke dada. Tidak ada angulasi sinar x.
- Dapat divisualisasi attic, aditus, antrum mastoid, dan khususnya 2/3 anterior
dinding lateral attic.
 Mayer
- Didapatkan dengan kepala membentuk sudut 45o ke arah sisi yang akan
diperiksa dan sinar x diarahkan tepat pada meatus auditori eksterna dengan
sudut 45o kea rah bawah.
- Memperlihatkan sisi aksial dari os. petrosus dan sel mastoid. Dapat terlihat
antrum mastoid, meatus auditori eksterna, dan bagian atas kavitas timpani.
- Karena posisi oblik ini dapat menimbulkan distorsi yang membingungkan

 Owens
- Serupa dengan modifikasi posisi Mayer, namun distorsi lebih minimal karena
angulasi berkasi sinar yang lebih terbatas memberikan visualisasi lebih baik
dari osikula dan resesus epitimpanikus.
- Kepala pasien pertama – tama diposisikan seperi posisi Schuller, kemudian
dirotasikan dengan wajah menjauh dari film dengan sudut 300. Sinar x
diberikan secara sefalokaudal dengan sudut 35o.
- Film ini memberikan gambaran kunci “surgeon’s eye” pada attic (terutama
bagian posterior), aditus, dan antrum. Selain itu juga memperlihatkan malleus
dan inkus.
 Towne
- Proyeksi anteroposterior dengan elevasi kepala 30o.
- Memperlihatkan kedua pyramid petrosus melalui orbta, sehingga
memungkinkan perbandingan kedua pyramid petrosus dan kanalis akustikus
internus pada film yang sama.
- Dapat tervisualisasi dengan jelas: apeks petrosus, kanalis auditori interna,
antrum mastoid, dan prosesus mastoid.
- Berguna untuk evaluasi pertositis apical, neuroma akustik, dan tumor
cerebellopontine.

 Stenvers
- Didapatkan dengan wajah pasien menghadap film dengan kepala difleksikan
dan dirotasikan sebesar 45o ke arah berlawanan dari sisi yang diperiksa. Sinar
x diberikan secara kaudal sebesar 14o.
- Dapat memvisualisasi dengan jelas keseluruhan pyramid, eminens arkuata,
kanalis auditori interna, porus akustikus, kanalis semisirkularis vestibulat,
vestibular, koklea, antrum mastoid, dan ujung mastoid.
Tatalaksana
Medikamentosa dan bedah  mastoidektomi total dengan pemasangan tuba ventilasi +
terapi antibiotik yang sesuai merupakan pilihan yang paling tepat.
Miringotomi untuk pengambilan kultur, CT pada tulang temporal, antibiotik yang sesuai
untuk 2 – 3 minggu, pemeriksaan periodik (setiap minggu) sampai hasil pencitraan x-ray
menunjukkan mastoid yang normal. Jika terdapat gejala nyeri yang tumpul dan terus
menerus, mastoidectomi dapat dipikirkan. MRI dengan gadolinium berguna untuk
mendeteksi pembentukan abses extradural dan tromboflebitis sinus sigmoid.

Jenis – jenis mastoidektomi:


a) Canal-wall-up
Simple mastoidectomy
 Membuka korteks mastoid, dilakukan pengeboran (drilling) air cell lateral,
sampai memasuki antrum.
 Digunakan untuk drainase infeksi mastoid akut yang tidak responsif terhadap
antibiotika.
 Simple mastoidectomy melibatkan pengangkatan korteks mastoid dan
sejumlah air cell system, tergantung dari proses penyakit. Hanya
pengangkatan air cell dalam jumlah terbatas yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan pus dari coalescent mastoiditis dengan abses subperiosteal,
dimana pengangkatan yang lebih ekstensif dibutuhkan untuk memperlihatkan
antrum untuk mencari kolesteatoma.

Complete mastoidectomy
Complete mastoidectomy atau canal wall up mastoidectomy
melibatkan pengangkatan air cell system yang lebih banyak dibandingkan
simple mastoidectomy. Karena prosedur ini dan simple mastoidectomy
mempertahankan dinding kanalis superior dan posterior tetap intak,
bagaimanapun tetap ada kemungkinan potensi tumpang tindih. Biasanya,
canal wall up mastoidectomy melibatkan pendekatan resesus fasialis dan
tambahan ini secara unik merupakan syarat untuk prosedur ini. Kebanyakan
variasi terbaru dari canal wall up mastoidectomy adalah mengangkat sebagian
dinding kanalis kemudian merekonstruksi kerusakan dengan tulang, kartilago,
atau dengan material alloplastik, untuk mempertahankan barrier anatomis
normal antara kanalis akustikus eksternus dengan kavitas/ruang mastoid.

b) Canal-wall down
Canal wall down mastoidectomy melibatkan pengangkatan sepenuhnya dari sel udara
mastoid, pengerokan jaringan tepi kortikal mastoid secara agresif, pengangkatan
lengkap dari dinding kanalis superior dan posterior dan meatoplasti.

Radical Mastoidectomy
Radical mastoidectomy merupakan prosedur canal wall down dengan peng-
expose-an telinga tengah. tidak ada usaha yang dilakukan untuk mempertahankan atau
mengembalikan fungsi telinga tengah. Tuba eustachius teroklusi dan maleus serta
incus (dan kemungkinan superstruktur stapes) terangkat. Sisa membran timpani
dieksisi dan tidak ada graft yang diletakkan disana, sehingga menyebabkan telinga
tengah terbuka. Epitel gepeng diharapkan untuk tumbuh di sekitar telinga tengah dan
kavitas mastoid. Prosedur ini sudah jarang dilakukan namun mungkin bisa
diindikasikan pada situasi dimana kolesteatoma tidak bisa diangkat secara sempurna
(misal fistula koklear).

Modified Radical Mastoidectomy


Modified radical mastoidectomy digunakan secara bergantian dengan canal
wall down mastoidectomy. Modified radical mastoidectomy mengarah kepada
prosedur Bondy, dimana penyakit yang terbatas pada epitimpanum secara sederhana
di expose dengan pengangkatan bagian superior di sekitar atau dinding kanalis
posterior. Telinga tengah yang tidak terlibat tidak dimasuki dan matriks kolesteatoma
pada permukaan lateral dari kepala osikular dipertahankan dalam tempatnya sebagai
batas untuk membentuk kavitas. Kolesteatoma kecil sering merupakan indikasi untuk
prosedur ini.
c) Mastoid Obliteration
Indikasi untuk perluasan pengangkatan sel udara mastoid bervariasi antara ahli
dengan ahli lainnya. Material beragam digunakan, termasuk tulang autogen dan
kartilago, jaringan lunak yang bebas atau tervaskularisasi dan material alloplastik
bioaktif atau biokompatibel. Mastoid obliteration digunakan ketika dinding kanalis
telah diangkat untuk mengecilkan ukuran kavitas mastoid dan dibuat sebebas
mungkin. Pada kasus yang jarang, tuba eustasius dan kanalis akustikus eksterna
tertutup sehingga menyebabkan isolasi mastoid secara sempurna dari luar.

Komplikasi : meningitis, paralisis fasial, abses otak, hidrosefalus otitik, tromboflebitis


sinus sigmoid, abses ekstradural

8. Kelainan Retroaurikular

a. Congenital : Fistula pada regio retroaurikular, misalnya pada otitis media kronik
b. Infeksi: selulitis (hiperemis, edem, KGB membesar), mastoiditis. Dapat terbentuk
abses, ditandai dengan pecahnya abses dan keluarnya pus melalui fistula.
c. Neoplasma:
● Schwannoma (tumor jinak selubung saraf yang terdiri dari sel Schwann, biasanya
menghasilkan selubung mielin yang menutupi saraf perifer),
● Melanoma (tumor malignan yang berasal dari melanosit. Melanosit menghasilkan
pigmen warna kulit, melanin, yang berperan memberikan warna pada kulit).
d. Another: kelainan kulit, contohnya :
● Dermatitis (inflamasi pada kulit yang umumnya disebabkan reaksi alergi
terhadap alergen spesifik)
● Congenital ichtyosis (kelainan yaitu kulit terlihat kering, menebal, dan
mengelupas. Pada beberapa pasien kulit terlihat berkerak seperti sisik ikan)

9. Drainase Sinus
a. Meatus inferior : terletak di bawah concha inferior dan merupakan meatus
terbesar. Meatus inferior merupakan muara dari duktus nasolakrimal ipsilateral.
b. Meatus media : terletak di antara concha inferior dan media. Meatus media menerima
drainase cairan dari sinus frontalis, sinus maksilaris dan sinus ethmoid anterior.
c. Meatus superior : terletak di antara concha superior dan media. Meatus superior
menerima drainase cairan dari sinus ethmoid posterior.

10. Kelainan Concha Hipertrofi dan Concha Atrofi


a. Concha hipertrofi
Dapat terjadi pada rhinitis alergi, rhinitis simpleks dan rhinitis hipertrofi. Rhinitis
hipertrofi yaitu perubahan mukosa hidung pada konka inferior yang mengalami
hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan infeksi bakteri primer atau
sekunder. Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung akibat
hidung yang tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala, dan gangguan tidur. Sekret
biasanya banyak dan mukopurulen.
b. Concha atrofi
Dapat terjadi pada rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, mukosa hidung mengalami
perubahan secara gradual dari bentuk mukosa respirasi yang fungsional menjadi non-
fungsional, dengan hilangnya fungsi pembersihan oleh mukosiliar dan regulasi
neurologis. Ditandai dengan krusta, fetor, atrofi mukosa, dan keluhan kongesti nasal
pada cavum nasi yang paten dan terbuka. Umumnya terjadi pada penyalahgunaan
kokain, proses penuaan, post-operasi, defisiensi besi atau vitamin A, sinusitis kronik,
dan penyebab infeksius.

11. Kuman-kuman yang sering menginfeksi THT dan DOC nya


a. Telinga
- Acute suppurative otitis media (urutan prevalensinya)
1. Streptococcus pneumonia
2. Haemophilus influenza
3. Moraxella catarrhalis
4. Jarang (Grup A streptococcus, Staphylococcus aureus)
- Chronic otorrhea dengan atau tanpa cholesteatoma (urutan prevalensinya)
1. Mixed aerobic (termasuk di dalamnya S. pneumoniae) dan organisme anaerob
2. Pseudomonas aeruginosa (aerob tersering)
3. S. aureus dan Staphylococcus epidermidis
4. Organisme aerob lain (Proteus, Klebsiella dan E. coli)
- Acute mastoiditis (urutan prevalensinya)
1. Streptococcus pneumoniae
2. Pseudomonas aeruginosa
3. Group A beta-hemolytic Streptococci
4. Coagulase-negative Staphylococcus species
5. Lain-lain (S. aureus, Proteus)
- Intracranial abscesses (otak dan subdural) dengan sumber dari otogenik
1.Streptococcus
2.Staphylococcus
3.Proteus
4.Anaerob (Peptococcus, Peptostreptococcus, B. fragilis)
b. Hidung
- Sinusitis kronis pada anak
1. Aerob (Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis, Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus, Beta-hemolytic streptococci, Pseudomonas
aeruginosa)
2. Anaerob (Peptococci, Peptpstreptococci, Bacteroides)
- Sinusitis pada dewasa
1. Akut (Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis, Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus)
2. Kronis (Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis, Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa)
c. Orofaring
- Oral
1. Streptococcus fakultatif
2. Kokus gram positif (Enterococcus, Staphylococcus aureus)
3. Batang gram positif (Diphteroids, Lactobacillus)
4. Kokus gram negatif (Listeria, Veilonella)
5. Batang gram negatif (Bacteroides, Fusobacterium, Actinobacillus)
- Tonsil dan adenoid
1. Bakteri (Group A beta-hemolytic streptococci, Haemophylus influenza,
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus epidermidis, Moraxella catarrhalis,
Staphylococcus aureus, Neisseria, Mycobacteria, Lactobacillus, E. coli,
Pseudomonas aeruginosa, H. pylori, Chlamydia pneumoniae, Peptococci,
Peptpstreptococci, Bacteroides)
2. Virus (Epstein-Barr, Adenovirus, Influenza A dan B, Herpes simpleks,
Parainfluenza, Respiratory syncytial)
3. Lainnya (Mycobacterium, Candida albicans)
12. Patofisiologi polip nasi
Patogenesis polip masih belum jelas. Pembesaran polip dihubungkan dengan inflamasi
kronis, disfungsi system saraf otonom, dan predisposisi genetik. Faktor resiko dari polip
jinak multiple yaitu: asma bronkial, rhinitis alergi, rhinosinusitis kronis, kistik fibrosis.
Teori Bernstein : Perubahan inflamasi terjadi di dinding hidung lateral atau mukosa sinus
karena interaksi virus atau bakteri atau karena turbulensi aliran udara. Pada kebanyakan
kasus, polip berasal dari meatus tengah terutama bagian anterior ethmoid yang sering
menyebabkan turbulensi aliran udara. Perubahan inflamasi di sel epitel, endothelial dan
fibroblast menyebabkan perubahan pada kanal sodium di sel epitel pernafasan. Hal ini
menyebabkan peningkatan absorbsi sodium, retensi air dan formasi polip. Teori lain
menyatakan adanya ketidakseimbangan saraf vasomotor yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskuler yang berkepanjangan menyebabkan edema. Bila proses ini
berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun kedalam rongga
hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Banyak faktor yang
mempengaruhi pembentukan polip nasi. Kerusakan epitel merupakan patogenesa dari
polip. Sel-sel epitel teraktivasi oleh alergen, polutan dan agen infeksius.Sel melepaskan
berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan perbaikan.Epitel polip
menunjukan hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang berperandalam obstruksi
hidung dan rinorea. Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian
menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul
akibat iritasi kronis yangdisebabkan oleh infeksi hidung dan sinus.

13. Polip Nasal


Nasal polip merupakan penyakit inflamasi kronis dari membran mukosa hidung dan sinus
paranasal (maksilarisethmoid) yang ditandai dengan adanya massa yang edema dan
membentuk massa bertangkai. Umumnya polip terbentuk dari kompleks osteomeatal
hingga kavitas nasal yang menyebabkan obstruksi nasal, sekresi, hiposmia, sakit kepala
dan penurunan kualitas hidup.
Polip nasal ditandai oleh edema jaringan masif yang menyebabkan kebocoran plasma
pada pembuluh darah.Umumnya polip disebabkan oleh inflamasi kronis pada kavitas
nasal. Beberapa penyakit yang berhubungan dengan polip nasal adalah rinitis alergi dan
rinitis non alergi, sinusitis gungal alergi, intoleransi aspirin, asma, churg-strauss
syndrome (demam, asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma), sindrom kartagener
(rinosinusitis, bronkiektasis, situs inversus), sindrom young (penyakit sinopulmonari,
azoospermia, polip nasal).
Pada polip yang kronik dapat menyebabkan sumbatan pada sinus dan cavum nasi
sehingga menyebabkan kerusakan tulang-tulang sinus.

Patofisiologi :
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan interseluler dan
kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat. Polip dapat timbul dari
bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral. Polip hidung paling
sering berasal dari sinus maksila dapat keluar melalui ostium sinus maksila dan masuk ke
rongga hidung dan membesar di koana dan nasofaring. Polip ini disebut polip koana.
Secara makroskopik polip terlihat sebagai massa lunak yang berwarna putih keabu-abuan.
Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit di dalam polip dan dilapisi oleh epitel
torak berlapis semu.

Pathogenesis:
- Proses inflamasi yang multifaktorial termasuk familial dan faktor herediter
Peradangan/ gangguan turbulensi aliran udara  perubahan mukosa hidung 
prolaps submukosa  reepitelialisasi dan pembentukan kelenjar baru 
penyerapan natrium pada permukaan sel meningkat  retensi air  polip.
- Aktivasi respon imun lokal
- Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis
Ketidakseimbangan saraf vasomotor  permeabilitas kapiler meningkat dan gangguan
regulasi vaskuler kebocoran sel-sel inflamasi pelepasan sitokinoleh sel mast 
edema  polip.

Manifestasi klinis
- Gejala utama yang ditimbulkan polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada
sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila
polip ini menyumbat sinus paranasal, maka komplikasinya akan terjadi sinusitis
dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.
- Bila penyebabnya adalah alergi maka gejala utama adalah bersin dan iritasi di
hidung.
- Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka
hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan
konka polipoid adalah polip merupakan massa bertangkai seperti buah anggur
tanpa kulit, mudah digerakkan (mobile), konsistensi lunak, tidak nyeri bila
ditekan, tidak mudah berdarah, pada pemakaian vasokonstriktor tidak mengecil.
Sedangkan, konka hipertrofi yang polipoid umumnya tidak begitu mobile dan
dengan pemberian dekongestan konka hipertrofi akan menciut.
 Score 0 : Tidak terdapat polip nasal
 Score 1 :Terdapat polip yang terletak dibalik meatus media
 Score 2 :Terdapat polip yang telah mengokupasi meatus media
 Score 3 :Polip melebihi meatus media
 Score 4 :Polip mengobstruksi cavum nasal

Tatalaksana Polip Nasal (BSACI Guidelines for Nasal Polyposis)


a. Pada presentasi awal seluruh penderita polip nasal harus diperiksa oleh ahli THT-KL
b. Polip unilateral dapat menandakan adanya sebuah keganasan
c. Polip nasal pada anak perlu dicurigai adanya cystic fibrosis
d. Sensitivitas Aspirin perlu dicurigai pada penderita polip berulang disertai dengan
asma
e. Pasien dapat didiagnosis sebagai sensitive terhadap aspirin dengan melakukan aspirin
chalange test, aspirin challenge harus dilakukan dengan peralatan resusitasi lengkap
dan dilakukan oleh dokter.
f. Pasien dengan senstifitas aspirin harus dianjurkan menghindari obat-obatan dengan
COX-1 inhhibitor
g. Seluruh pasien pasien polip hidung perlu diterapi melalui terapi medikamentosa
terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan terapi operasi
14. Cara membedakan polip dengan concha hipertrofi
POLIP
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada
mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan
pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal
seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan
lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke
dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan
sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh
darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada
anak – anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.

Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :


1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.
Polip :
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.

CONCHA HIPERTROFI
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan konka
hipertrofi, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati – hati
pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan
vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan
hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.

15. Rinoskopi Posterior


Rinoskopi Posterior
Prinsip: Menyinari koane dan dinding-dinding nasofaring dengan cahaya yang
dipantulkan oleh suatu cermin yang ditempatkan dalam nasofaring.
 Syarat yang harus dipenuhi:
 Harus ada tempat yang cukup luas untuk menempatkan kaca. Untuk itu lidah
tetap di dalam mulut dan ditekan ke bawah dengan spatula.
 Harus ada jalan yang lebar antara uvula dan faring, agar cahaya yang
dipantulkan oleh cermin dapat masuk ke dalam nasofaring.
 Cara bernapas: Penderita harus bernafas dari hidung, sehingga palatum molle
akan bergerak ke arah bawah, untuk memberi jalan bagi udara dari kavum nasi ke
paru-paru dan sebaliknya.

Alat
1. Reflektor atau post-nasal
mirror ukuran 0/1
2. Head lamp
3. Spatel lidah
4. Api bunsen
5. Anestesi topikal (lidokain spray, Post Nasal Mirror
tetrakain spray, dll)

Persiapan pasien
 Menjelaskan prosedur dan meminta informed consent
 Mengajarkan pasien agar bernapas dengan nyaman melalui hidung dengan mulut
terbuka secara releks
 Pada penderita yang sangat sensitif, diberikan anestesi topikal ke daerah faring untuk
menekan refleks muntah

Tahapan rinoskopi posterior


 Menyiapkan peralatan yang diperlukan, mempersiapkan pasien, dan menyalakan api
bunsen
 Memanaskan reflektor dengan api bunsen dan cek suhunya pada punggung tangan kiri
agar tidak terlalu panas untuk digunakan pada pasien
 Memakai head lamp, memegang spatula dengan tangan kiri dan memegang reflektor
seperti memegang pensil dengan tangan kanan
 Meminta pasien untuk membuka mulut dan bernapas lewat hidung serta lidah dalam
kondisi releks di dalam mulut, lampu di arahkan ke dinding posterior faring tepat di
bawah uvula
 Ujung spatula menekan 2/3 anterior lidah (di depan uvula) dan reflektor dimasukkan
antara dinding posterior faring dan palatum mole (jangan sampai menyentuh dinding)
dengan posisi tersinari oleh head lamp
 Reflektor di paramedia kanan lidah (terlihat kauda konka nasi media kanan), diputar
ke medial (terlihat margo posterior septum nasi), diputar ke kanan (tampak kauda
konka nasi inferior kanan, kauda konka nasi superior kanan, meatus nasi media kanan,
ostium tuba kanan
 Reflektor di paramedia kiri lidah (terlihat kauda konka nasi media kiri), diputar ke
medial (terlihat margo posterior septum nasi), diputar ke kiri (tampak kauda konka
nasi inferior kiri, kauda konka nasi superior kiri, meatus nasi media kiri, ostium tuba
kiri
 Reflektor sedikit lebih ke dalam dan direndahkan untuk memeriksa atap nasofaring
 Memerhatikan tanda peradangan (misalnya pus dari meatus, atau ulkus pada dinding)
dan tanda tumor (misalnya konka bengkak dan bertangkai)

16. Granul Pada Orofaring

Faringitis kronis ditandai oleh


1. Kongesti dinding faring posterior,sumbatan pada pembuluh darah dan pelebaran pillar
2. Peningkatan sekresi mucus
3. Dinding faring posterior dipenuhi nodul-nodul kemerahan (granul orofaring)
Granul pada orofaring terbentuk akibat reaksi inflamasi kronis sehingga kelenjar
limfa dibawah mukosa faring mengalami hiperplasi, hal tersebut menyebabkan
dinding posterior faring tidak rata dan bergranular
4. Bagian lateral faring membesar serta uvula memanjang dan hipertrofi

17. Waldeyer’s Ring

Waldeyer Ring adalah suatu istilah anatomi yang mendeskripsikan kumpulan jaringan limfoid yang
membentuk gugusan cincin di daerah faring (nasofaring dan orofaring).
Waldeyer Ring ini terdiri dari (dari superior ke inferior):

 Tonsil Faringeal/ Adenoid. (Terletak di atap nasofaring, di bawah tulang sphenoid.)


 Tonsil Eustachius (bilateral, Terletak pada tuba eustachius di daerah nasofaring )
 Tonsil Palatina (bilateral, terletak pada orofaring)
 Tonsil Lingual (terletak pada posterior lidah).

18. Ukuran Tonsil

Ukuran tonsil dibagi menjadi :


 T0 : Post tonsilektomi
 T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris
 T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis
paramedian (pilar posterior)
 T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
 T4 : Sudah melewati garis median

19. Indikasi Tonsilektomi

Table 1: American academy of otolaryngology, head and neck surgery guidelines 2011
20. Kelainan Palatum
Kongenital : Cleft Palate
Cleft palate atau palatoschizis adalah kondisi dimana kedua tulang dari tengkorak
yang membentuk palatum durum tidak saling menutup. Palatum molle dalam kasus
seperti ini juga tidak menutup. Palatoschizis bisa terjadi secara komplit (palatum durum
dan molle, mungkin juga melibatkan celah pada rahang) maupun tidak komplit (terlihat
sebagai lubang pada atap rongga mulut, biasanya sebagai celah pada palatum molle). Jika
terjadi palatoschizis, uvula biasanya terpisah. Palatoschizis terjadi karena gagalnya fusi
dari prosesus palatine lateral, nasal septum, dan/atau prosesus palatine medianus
(pembentukan palatum sekunder).

Infeksi : Ulkus Aftosa


Ulkus aftosa merupakan ulkus pada mulut yang tampak sebagai luka yang nyeri di
dalam rongga mulut atau tenggorokan bagian atas yang ditandai dengan luka pada
membran mukosa. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi tidak menular. Kondisi ini juga
dikenal sebagai stomatitis aftosa (stomatitis = inflamasi pada mukosa) dan juga sebagai
penyakit Sutton, terutama pada kasus mayor, multiple atau yang rekuren. Ulkus aftosa
dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe yaitu ulkus aftosa minor, mayor dan herpetiformis.
 Ulkus aftosa minor secara umum berada pada mukosa labial atau bukal, palatum mole
dan lantai rongga mulut. Ulkus bisa tunggal atau multiple dan cenderung berukuran
kecil (diameter < 1 cm) dan dangkal. Jenis ini merupakan ulkus aftosa yang paling
sering terjadi. Gejalanya adalah rasa terbakar dan kesemutan sebelum terbentuk ulkus
dan rasa nyeri.
 Ulkus aftosa mayor berukuran lebih besar (diameter 1-3 cm), multiple (jumlah sekitar
1–10 buah) dan lebih dalam ulkusnya. Ulkus aftosa mayor juga lebih cenderung untuk
menyembuh dengan jaringan parut. Gejalanya lebih nyeri daripada minor.
 Ulkus aftosa herpetiformis biasanya lebih banyak dan berbentuk vesikular dengan
diameter 1-3 mm dan bertahan lebih dari 1 bulan. Hal ini berisiko untuk terbentuk
jaringan parut juga. Pada pasien dengan ulkus aftosa yang jinak tidak ditemukan
demam, adenopati, gejala gastrointestinal atau gejala kulit atau membran mukosa.
Ulkus aftosa masih belum diketahui penyebabnya (idiopatik), dengan kemungkinan
penyebab imunologis, infeksius, hormonal, dicetuskan oleh stress, traumatik atau
nutrisional. Tatalaksananya dapat dilakukan observasi karena merupakan penyakit
yang swa-sirna. Dapat juga dipertimbangkan untuk diberikan obat anti-inflamasi,
antibiotik, antiviral, kortikosteroid oral dan topikal, kauterisasi (perak nitrat) dan
kapsul Lactobacillus.

Neoplasma : Adenoma Pleomorfik


Tumor yang muncul dari kelenjar saliva minor terjadi 22% dari seluruh neoplasma
kelenjar saliva. Pada neoplasma ini mayoritas merupakan keganasan, hanya 18% yang
jinak. Adenoma pleomorfik merupakan tumor jinak yang paling sering dari kelenjar
saliva, paling sering terjadi pada kelenja parotis dan lebih jarang terjadi pada kelenjar
submandibularis dan kelenjar saliva minor. Adenoma pleomorfik lebih sering terjadi pada
wanita. Secara histologi, tumor mengandung elemen epitel dan mesenkimal (oleh karena
itu disebut tumor campuran). Tumor pada kelenjar saliva minor ini paling sering terjadi di
palatum, di ikuti di bibir, mukosa, lantai rongga mulut, lidah, tonsil, pharynx, daerah
retromolar dan rongga nasal.

Neoplasma : Sarkoma Kaposi


Sarkoma Kaposi biasanya terjadi pada kulit, tetapi dapat mengenai bagian tubuh
lain seperti limfonodus, paru, dan organ digestif, termasuk palatum.

Neoplasma : Karsinoma Sel Skuamosa


Kanker pada palatum molle tejadi pada 2% keganasan mukosa kepala dan leher.
Setengah dari kanker palatum durum merupakan Karsinoma Sel Skuamosa (KSS).
Etiologinya berhubungan penggunakan tembakau dan konsumsi alkohol. KSS palatum
terlihat sebagai lesi ulseratif. Pada stadium awal, biasanya pasien asimptomatik, tetapi
dapat terasa nyeri pada stadium yang sudah akhir. Massa pada palatum, perdarahan, bau
yang amis, kelainan posisi gigi atau gigi yang loose dapat terlihat pada pasien dengan
kanker palatum durum. Pada pasien dengan kanker palatum molle dapat ditemukan
insufisiensi velopharyngeal, perubahan cara bicara, kesulitan menelan, otalgia, trismus
atau massa pada leher. Tumor sering ditemukan pada stadium awal oleh pasien sendiri
atau oleh dokter karena daerah ini mudah dilihat.
Trauma : Lesi Ulseratif
Lesi ini ditandai dengan adanya membran fibrin purulen berwarna kekuningan
yang disertai dengan timbulnya rasa nyeri. Tepi ulkus traumatik ditandai dengan area
berwarna kekuningan yang dikelilingi oleh halo eritematous, namun pada beberapa kasus
tepi ulkus dapat berwarna putih karena adanya hiperkeratosis. Ulkus traumatik dapat
terjadi pada lidah, bibir dan mukosa bukal. Selain itu, dapat juga terjadi pada gingiva,
palatum dan forniks. Lesi ini dapat sembuh dalam beberapa hari atau minggu setelah
penyebab traumanya dihilangkan. Rasa nyeri akan hilang dalam waktu 3-4 hari dan akan
sembuh dalam jangka waktu 10-14 hari. Jika ulkus tidak sembuh dalam waktu 2 minggu,
maka di indikasikan untuk dilakukan biopsi.

Trauma : Penetrating Trauma


Trauma pada palatum sering dilaporkan dan tidak membahayakan. Biasanya
terjadi trauma pada orofaring oleh benda yang dipegang menggunakan mulut. Tetapi jika
benda tajam dapat menyebabkan perforasi dari palatum durum dan menyebabkan
retropharyngeal air.

Another : Abses Peritonsilar


Abses peritonsilar (Peritonsilar abscess, PTA) disebut juga sebagai quinsy
merupakan komplikasi tonsillitis dan terdiri dari kumpulan pus disekitar tonsil (rongga
peritonsilar).
Tidak seperti tonsillitis, yang lebih sering terjadi pada anak-anak, PTA dapat
terjadi pada semua usia. Gejala muncul 2 sampai 8 hari sebelum terbentuk abses.Secara
progresif memburuk, nyeri tenggorokan unilateral, dan nyeri saat menelan (odynophagia)
merupakan gejala awal. Dengan terbentuknya abses, nyeri persisten pada daerah
peritonsillar, demam (lebih dari 39C), malaise, nyeri kepala, dan perubahan suara yang
khas (muffled voice) akan muncul. Nyeri pada leher berhubungan dengan nyeri tekan,
pembesaran KGB, nyeri yang menjalar ke telinga, dan halitosis sering tejadi.Karena
gejala-gejala ini menunjukkan terjadinya tonsillitis, maka PTA harus secara spesifik
dipikirkan jika terdapat trismus.Pada PF dapat ditemukan hiperemis dan edema pada
daerah tonsilar dari sisi yang terkena, pembengkakan dari KGB jugulogastric.Uvula
dapat ditemukan mengarah ke sisi yang tidak sakit.

Tatalaksananya adalah insisi dan drainase pus sehingg melegakan rasa nyeri oleh jaringan
tertekan.Antibiotic diberikan untuk infeksinya.Secara international, infeksinya biasanya
resisten terhadap penisilin, sehingga saat ini biasanya PTA diobati dengan clindamycin.

21. Laringoskopi direk (rigid dan fleksibel)


Tipe-Tipe Laringoskop
a. Laringoskop fleksibel
Inspeksi menggunakan laringoskop fleksibel diindikasikan untuk :
 Diagnostik : disfonia, dyspnea, disfagia, dan stridor
 Diagnostik kelainan kongenital : Laryngomalacia ("floppy" larynx), stenosis
subglotis,vascular rings (abnormalitas dari pembuluh darah utama jantung atau
paru),congenital laryngeal webs (adanya membran yang menutup pita suara),
dan laryngocele (kista).
 Konfirmasi diagnosis : OSNA, Paralisis pita suara, arthritis dari struktur
penunjang (cricoarytenoid arthritis), atau adanya massa pada leher atau laring.
Inspeksi menggunakan laringoskop fleksibel diindikasikan untuk diagnostik,
misalnya ketika pasien mengalami suara serak, kesulitan bernafas, atau nyeri
tenggorokan yang parah. Pengamatan langsung terhadap laring diperlukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis, misalnya paralisis dari pita suara, arthritis dari struktur
penunjang (cricoarytenoid arthritis), atau adanya massa pada leher atau laring.
Beberapa kelainan kongenital juga dapat didiagnosis dengan laringoskopi fleksibel
misalnya laryngomalacia ("floppy" larynx); stenosis subglotis; vascular rings
(abnormalitas dari pembuluh darah utama jantung atau paru); congenital laryngeal
webs (adanya membran yang menutup pita suara); dan laryngocele (kista).

b. Laringoskop rigid
Penggunaan laringoskopi rigid lebih bersifat terapeutik, misalnya untuk
pengambilan jaringan (biopsi), pengambilan benda asing atau mukus yang tebal,
atau dapat juga dikombinasikan dengan operating microscope atau laser untuk
membuang polip atau kista pada pita suara.
c. Mikrolaringskopi
Mikrolaringoskopi adalah laringoskopi yang dikombinasikan dengan mikroskop.
Alat ini biasa digunakan untuk pemeriksaan dini adanya keganasan pada pita
suara. Karena alat ini dilengkapi dengan mikroskop, maka massa sekecil apapun
dapat terdeteksi dengan baik. Alat ini juga dapat digunakan untuk mengambil
sampel jaringan (biopsi) pada pita suara dengan akurat sehingga mengurangi
cedera. Alat ini dapat digunakan juga untuk menilai daerah subglotik walau
pemeriksaan ini paling baik jika menggunakan laringoskopi rigid 0 derajat ke
antara plika vokalis. Pemeriksaan ini dapat dibantu dengan spatula dan retraktor
plika vokalis.

d. Laringoskopoi double katup

Biasa digunakan untuk melakukan


endoskopi reseksi kanker supraglotik dengan
laser karbon dioksida.

22. Laringoskopi Indirek


Laringoskop indirek dilakukan menggunakan reflektor untuk memeriksa keadaan laring
dan adneksanya. Indikasi dari laringoskop indirek adalah batuk kronis, dyspnea, disfonia,
stridor, perubaha suara, sakit tenggorokan kronis, otalgia persisten, disfagia, dan
sebagainya sedangkan kontraindikasinya adalah epiglotitis.
Alat pemeriksaan yang digunakan untuk memeriksa keadaan tenggorok dan adneksanya
secara tidak langsung atau menggunakan reflektor.
i. Alat-alat:
o Reflektor nomor 4/5
o Kassa
o Head lamp
o Lampu spiritus
o Xylocaine spray 10% atau Tetrakain spray 1% pada pasien yang terlalu sensitif.
Anestesi lokal ini digunakan untuk anestesi nervus IX, X, dan XII.
ii. Tahap Persiapan :
o Reflektor dihangatkan terlebih dahulu dengan api bunsen dan dipastikan suhunya
sesuai dengan suhu tubuh dengan mengetesnya ke punggung tangan.
o Pasien tenang dan bernafas melalui mulut.
iii. Cara pemeriksaan:
1. Pada penderita yang sangat sensitif, pemeriksaan baru dapat dimulai 5 menit
setelah ke dalam faring diberikan tetrakain spray 1% (3-4x). Pastikan bahwa
anestesi lokal sudah bekerja dengan melakukan beberapa tes sederhana. Pasien
yang sudah teranestesi lokal akan sulit untuk menelan, merasa kebas di area
belakang mulut, dan kesulitan untuk mengucapkan “r”.
2. Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar kemudian menjulurkan lidahnya
semaksimal mungkin, lalu pemeriksa memegang dan menarik lidah pasien dengan
menggunakan kassa.
3. Dengan hati-hati, pemeriksa memasukkan kaca reflektor ke rongga mulut pasien,
dengan kaca mengarah ke bawah dan mengangkat uvula untuk mendapatkan
gambar laring yang lebih baik.
iv. Penilaian organ
a. Radiks lingue, epiglotis dan sekitarnya
o Kelihatan gambar dari radiks linguae, epiglotis yang menutup introitus
laringis, plika glossoepiglotika, valekula kiri dan kanan
o Perhatikan anatomi dan kelainannya seperti edema epiglotis, ulkus, tumor,
korpus alienum
o Fascies posterior tonsil pada kesempatan ini dapat diperiksa pada awal tahap 1
atau akhir tahap 3
o Perhatikan warna, aftae, ulkus
o Penderita disuruh mengucapkan huruf „iiiii‟ yang panjang dan tinggi sehingga
laring serta epiglottis tertarik ke atas dan membuka sehingga cahaya dapat
masuk laring dan trakea. Korda vokalis bergerak ke garis median.
b. Laring dan sekitarnya. Organ yang perlu diperhatikan antara lain:
o Epiglotis dan pinggirnya
o Aritenoid kiri dan kanan
o Plika ari-epiglotika kiri dan kanan
o Sinus piriformis kiri dan kanan
o Dinding posterior dan dinding lateral faring
o Plika ventrikularis kiri dan kanan
o Komisura anterior dan posterior
o Korda vokalis kiri dan kanan
Dilihat apakah adanya radang, ulkus, edema, cairan, tumor. Perhatikan
gerakan korda vokalis kiri kananapakahnormal, simetris, tidak bergerak
(parese) unilateral atau bilateral.
c. Trakea
o Korda vokalis hanya dapat dilihat dalam stadium fonasi
o Dalam stadium respirasi lumen laring tertutup oleh epiglotis sehingga mukosa
trakea hanya dapat dilihat waktu belum ada aduksi yang komplit, atau di
waktu permulaan abduksi
o Perhatikan anatomi, patologi mukosa, warna mukosa, sekret regio subglotik,
edema, tumor

23. Trauma Maxillofacial


Pada kasus trauma, diperlukan penanganan yang tepat untuk menghindari komplikasi
lanjut, dan ini tidak terkecuali pada trauma maksilofasial. Langkah-langkah tersebut
adalah:
1. Penanganan awal
a. Airway : Menjaga jalan nafas seperti mengeluarkan benda-benda asing sampai
intervensi seperti intubasi trakea bila diperlukan dan memungkinkan. Trakeostomi
tidak dianjurkan dalam trauma maxillofacial kecuali jika segala usaha gagal/tidak
berhasil.
b. Breathing : Menjamin asupan oksigen yang adekuat. Pemberian oksigen dapat
membantu pasien.
c. Circulation: Menjamin aliran darah yang cukup dengan pemberian cairan
intravena. Dengan tujuan mencegah terjadinya syok hipovolemik pada pasien.
2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
a. Anamnesis diperlukan terutama untuk mengetahui kejadian secara rinci, dengan
itu dapat menegakan diagnosis dan terapi yang sesuai.
b. Pemeriksaan fisik:
i. Status kesadaran pasien
ii. Inspeksi: meliputi seluruh area wajah termasuk bagian dalam telinga, hidung,
dan mulutt, sambil memeriksa kemampuan motorik wajah untuk mengetahui
fungsi N. VII.
iii. Palpasi:
1. Dari puncak kepala sampai kebawah
2. Sinus frontal: apakah terdapat tanda-tanda fraktur
3. Hidung: apakah ada deformitas atau pergerakan abnormal
4. Pipi: apakah terdapat fraktur os zygoma
5. Mandibula
6. Gigi
7. Leher: apakah terdapat udara bebas (ruptur percabangan trakeobronkial),
adakah krepitasi dan nyeri tekan
8. Servikalis: apakah terdapat fraktur servikal (ditandai dengan spasme otot-
otot leher. Jika terdapat tanda-tanda fraktur servikalis, maka imobilasasi
leher harus dilakukan sampai terbukti tidak ada dengan pemeriksaan
radiologi.

3. Pemeriksaan Radiologi
a. Fraktur os nasal: dapat dilihat dengan radiogram lateral
b. Fraktur sepertiga tengah wajah dan sinus paranasal: dilihat dengan foto Waters
c. Fraktur basis orbita dan fossa kranii anterior: dilihat dengan laminagrafik
d. Fraktur os mandibula: dilihat dengan foto oblik atau panoramik
Adanya luka pada jaringan lunak harus ditutup pada 4-5 jam pertama. Sementara reduksi
dapat dilakukan sampai hari ke 4-5 dengan maksimal 2 minggu pertama. Hal ini dilakukan
dengan pertimbangan untuk menghindari malunion (karena penyembuhan yang cepat) dan
non union (karena keterlambatan reduksi dan fiksasi).
1. Fraktur os nasal
a. Merupakan cedera tulang tersering pada trauma wajah
b. Jenis tersering dari fraktur os nasal: depresi salah satu hidung dengan pergeseran
piramid
c. Tanda-tanda fraktur os nasal:
o Depresi atau pergeseran tulang hidung
o Edema hidung
o Epistaxis
o Fraktur kartilago septum disertai pergeseran atau dapat digerakkan
2. Fraktur os mandibula
a. Merupakan fraktur kedua tersering pada trauma maxillofacial
b. Lokasi tersering adalah bagian angulus dan korpus
c. Perawatan awal: menjaga higiene mulut, pemberian antibiotik, analgetik dan
stabilisasi
d. Tanda-tanda fraktur mandibula:
o Maloklusi geligi
o Gigi dapat digerakkan
o Laserasi intraoral
o Nyeri saat mengunyah
o Deformitas tulang
3. Fraktur os zygoma dan dasar orbita
a. Fraktur os zygoma umumnya disebabkan karena benturan pada korpus zygoma
b. Fraktur dasar orbita terutama disebabkan oleh benturan dari objek yang menutup
orbita saat menerpa wajah
c. Tanda-tanda fraktur os zygoma:
o Deformitas yang teraba pada lingkar bawah orbita
o Diplopia saat melirik ke atas
o Hipestesia pada pipi
o Pendataran sisi lateral pipi
o Ekimosis periorbita
o Pergeseran bola mata ke bawah
4. Fraktur os maxilla
a. Tanda-tanda fraktur os maxilla
o Mobilitas atau pergeseran palatum
o Mobilitas hidung menyertai palatum
o Epistaxis
o Mobilitas atau pergeseran seluruh bagian sepertiga tengah wajah
b. Klasifikasi Le Fort
 Le Fort I : Trauma yang dapat menyebabkan fraktur jenis ini adalah yang
hantamannya pada bagian bawah perbatasan alveolar di tulang maksila yang
mengarah ke bawah.
Fraktur ini mengenai bagian septum nasal hingga perbatasan piriformis lateral,
memanjang secara horizontal di atas gigi, dan melewati sambungan
zigomatikomaksilari, dan melewati sambungan pterigomaksilari hingga mengenai
lempengan pterigoid. Fraktur ini juga diketahui sebagai fraktur Guerin atau
“floating palate”, dan melibatkan palatum dengan ciri mobilitas atau pergeseran
arkus dentalis maxilla dan palatum ditambah dengan maloklusi gigi.

LeFort I fracture
 Le Fort II : Trauma yang dapat menyebabkan fraktur jenis ini adalah dengan
adanya hantaman pada bagian bawah atau tengah maksila, dan melibatkan
rima orbita inferior. Fraktur ini berbentuk piramid, dan memanjang dari nasal
bridge pada sutura nasofrontal atau dibawahnya, melewati processus frontalis
dari maksila, dan berjalan secara inferolateral melalui tulang-tulang lakrimal
dan inferior orbita. dan lanjut berjalan secara inferior melewati dinding
anterior sinus maksilaris, sampai ke bawah zigoma dan melewati fisura
pterigomaksilaris hingga mengenai lempengan pterigoid atau pterygoid plates.
LeFort II fracture
 Le Fort III : Trauma yang mengakibatkan fraktur jenis ini adalah hantaman
pada nasal bridge atau maksila bagian atas. Fraktur ini merupakan fraktur
paling berat, meliputi terputusnya seluruh perlekatan rangka wajah pada
kranium (craniofacial dissociation). Fraktur ini mulai dari sutura nasofrontal
dan sutura frontomaksilaris dan memanjang secara posterior sepanjang
dinding medial orbita melalui celah (groove) nasolakrimal dan tulang etmoid.
Tulang sphenoid yang lebih tebal biasanya mencegah garis patah yang
kontinyu ke dalam canalis optikus. Fraktur ini cenderung berlanjut ke lantai
orbita sepanjang fisura orbita inferior dan berlanjut secara superolateral
melalui dinding lateral orbita, sambungan (junction) zigomatikofrontal dan
arkus zigomatika. Fraktur dapat bercabang di dalam intranasal yang
memanjang ke dasar etmoid, melewati vomer, dan melalui lempengan
pterigoid ke dasar sphenoid. Jenis ini dapat menimbulkan rinore berisi cairan
serebrospinal (CSS) lebih sering daripada tipe lain.

LeFort III fracture


c. Prinsip dasar pada fraktur os maxilla adalah fiksasi fragmen-fragmen fraktur secara
kuat.
d. Fraktur os maxilla bersifat compound/majemuk sehingga perlu diberikan antibiotik.
Pilihan utama antibiotik yang digunakan adalah penisilin.
a. Gejala dan Tanda-tanda Fraktur Le Fort
i. Lefort I
o Edema ringan pada bibir superior
o Ekimosis pada sulkus bukal di bawah arkus zigomatika
o Maloklusi, mobilitas gigi
o Fraktur yang terimpaksi dapat menjadi imobil dan hanya dengan memegang
gigi pada maksila dan menekan sedikit hingga terasa adanya krepitasi
- Perkusi pada gigi atas menghasilkan suara cracked pot
o Guerin's sign (+), dengan adanya ekimosis pada regio greater palatine vessels
- Lefort II and Lefort III (sering)
o Edema yang luas pada jaringan lunak pada bagian tengah wajah
o Ekimosis bilateral pada sekeliling orbita
o Perdarahan bilateral pada subkonjungtiva
o Epistaxis, rinore CSS
o Dish face deformity
o Diplopia, enofthalmos
o Cracked pot sound
ii. Lefort II
o Step deformity pada margo infraorbital
o wajah bagian tengah yang mobile
o Anesthesia atau paresthesia pada pipi
iii. Lefort III
o Nyeri dan pemisahan pada sutura frontozigomatika
o Pemanjangan pada wajah
o Depresi pada bagian ocular
o enophthalmos, hooding of eyes
o Satu sisi miring pada lempeng oklusal dengan gagging (tilting of occlusal
plane with gagging on one side)
5. Fraktur sinus frontalis
a. Fraktur yang jarang tapi merupakan jenis fraktur yang serius, dikarenakan adanya
dformitas kosmetik dan keterlibatan sistem saraf pusat
b. Tanda-tanda fraktur sinus frontalis :
• Depresi tabula anterior dari sinus frontalis
• Epistaxis
• Kadang terputus tabula posterior sinus frontalis dengan ruptur duramater dan
rinore CSS
6. Fraktur Nasal
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma pada bagian wajah, seringnya disebabkan oleh
kecelakaan olahraga, baku hantam, jatuh, dan kecelakaan lalu lintas. Gejala yang dapat
ditemukan berupa hematom, edema, nyeri, deformitas pada daerah yang terkena,
perdarahan dari hidung dan regio nasalis pada wajah
Jenis-jenis fraktur septum nasal dapat dibedakan menjadi 3. Klasifikasi ini dapat
membantu dalam menentukan tatalaksana yang tepat untuk fraktur tersebut.
 Fraktur septum nasal Tipe I: Pada tipe ini, garis fraktur terbatas pada hanya kartilago
atau hanya bagian tulang dari septum nasalis. Yang paling penting dari tipe ini adalah
garis fraktur tidak melewati sambungan (junction) antara os dan kartilago.
 Fraktur septum nasal Tipe II: Pada tipe ini, garis fraktur melalui kedua bagian
kartilago dan tulang dengan melewati sambungan osteokartilago.

 Fraktur septum nasal Tipe III: Tipe fraktur ini merupakan fraktur multipel yang
melibatkan bagian tulang dan kartilago dari septum nasalis.

Klasifikasi fraktur septum nasal juga perlu penilaian apakah septum nasal terdislokasi
dari nasal spine atau tidak. Jika tidak terdislokasi, maka fraktur tersebut termasuk
dalam subkategori A, namun bila terdislokasi, fraktur tersebut termasuk subkategori
B.
24. Nervus Cranialis
N. I
Perjalanan Nervus
Epitelium olfaktorius hidung  fila olfaktoria (Nervus olfaktorius ) bulbus olfaktorius
 traktus olfaktorius  kortikal (unkus lobus temporalis melewati substansia perforate
anterior ke permukaan medial lobus frontalis di bawah genu korpus calosum.
Kelainan
Gangguan penghidu kualitatif dan kuantitatif.
Kuantitatif (kelainan perifer): hiposmia/anosmia
Kualitatif (kelainan sentral, mis: epilepsy lobus temporal): kakosmia yang tidak
menyenangkan dan hiperosmia

Cara pemeriksaan
1. Sebelumnya periksa lubang hidung apakah ada sumbatan atau kelainan setempat,
misalnya ingus atau polip.
2. Salah satu hidung pasien ditutup, dan pasien diminta untuk mencium bau-bauan
tertentu yang tidak merangsang .
3. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lubang hidung yang
lainnya dengan tangan.

N.II
Perjalanan Nervus
Sel-sel bipolar retina  meninggalkan mata sebagai nervus opticus  separuh serabut
menyilang di khiasma opticus : serabut dari separuh bagian temporal masing-masing
retina tidak menyilang, sedangkan serabut yagn berasal dari separuh bagian nasal telinga
menyilang ke sisi kontralateral  pada distal khiasma opticum, serabut dari separuh
bagian temporal retina ipsilateraldan separuh bagian temporal ipsilateral dan separuh
bagian nasal retina kontralateral bergabung di traktus opticus  traktus optikus berakhir
di korpus genikulatum laterale, yang mengandung enam lapisan selular radiasio optica
(berjalan mengelilingi kornu temporale dan oksipitaleventrikel lateral korteks visual
(medial lobus oksipitalis)
Kelainan
Hilangnya reflex pupil
Lesi khiasma opticum: hemianopsia bitemporal
Lesi traktus opticus: hemianopsia homonym
Lesi radiasio optica : hemianopsia homonim
Pemeriksaan: asies visus, campus visus, penglihatan warna, funduskopi

N.III
Perjalanan Nervus
N okulomotorius berjalan kea rah posterior di antara a. serebelaris superior dan a.
serebelaris posterior  menembus duramater  melewati sinus cavernosus  memasuki
rongga orbita melalui fisura orbitalis superior  serabut motoric somatic nervus
okulomotorius terbagi menjadi dua cabang, cabang superior mempersyarafi m. levator
palebra dan m. rectus superior dan cabang inferior mempersyarafi m. rekti medialis dan
inferior serta m. obliquus inferior

N.IV
Perjalanan Nervus
Nucleus berada di ventral substansia grisea periakueductus tepat dibawah kompleks
nucleus okulomotorius setinggi kolikulus inferior  serabut radicular berjalan di sekitar
substansia grisea menyilang sisi kontralateral di dalam velum medulare superius. Nervus
trokhlearis keluar dari permukaan dorsal batang otak  muncul dari tegmentum
mesensefali menuju sisterna kuadrigeminalis  mengitari pedunkulus serebeli menuju
permukaaan ventral batang otak sehingga saraf ini mencapai orbita melalui fisura orbitalis
superior berdama dengan nervus okulomotorius

N.VI
Perjalanan Nervus
Nukleus nervus abduscen terletak di di kaudal tegmentum pontis, tepat dibawah dasar
ventrikel keempat  serabut radicular nervus abduscen berjalan ke pons dan keluar dari
batang otak di taut pontomedularis  nervus abduscen menembus dura dan bergabung
dnegan saraf lain ke otot-oto mata di sinus cavernosus.

Kelainan dan Pemeriksaan N.III, N.IV, dan N.VI


Kelainan : kelainan gerak bola mata , menghambat kemampuan bola mata untuk melirik
kea rah tertentu
Pemeriksaan : kedudukan bola mata, ptosis, diplopia, gerak bola mata, bentuk dan besar
pupil, refleks cahaya
N.V
Perjalanan Nervus
Serabut somatosensorik trigeminalis :
Distribusi kutan nervus trigeminus berbatasan dengan dermatom radiks nervi servikalis II
dan III (radiks nervus I adalah motorik murni)
Tiga nukleus yang berperan penting adalah : nukleus sensorik prinsipalis nervi trigemini
(untuk raba dan diskriminasi), nukleus spinalis nervi trigemini (nyeri dan suhu) dan
nukleus mesensefali nervis trigemini  ketiganya membentang dari medulla spinalis
servikalis hingga ke mesensefalon  ganglion trigeminal terletak di basis kranii
membentuk 3 buah cabang nervus trigeminus ke area wajah yang berbeda
Nervus oftalmicus : keluar dari tengkorak melalui fisura orbitalis superior, nervus
maksilaris : keluar melalui foramen rotundum dan nervus mandibularis : keluar melalui
foramen ovale
Serabut motorik trigemnialis :
Serabut motorik nervus trigeminus terletak di lateran tegmentum pontis  keluar dari
tengkorak melalui foramen ovale bersama nervus mandibularis dan mempersyarafi m.
maseter, m. temporalis dan m.pterigoideus lateralis dan medialis, serta m. tensor veli
palatine, m. tensor timpani, m. milohideus dan venter anterior m. digastricus

Kelainan
Kelainan : mata kehilangan sensasi sentuhan; parestesia; muskulus masseter dan
temporalis tidak bisa berkontraksi; deviasi mandibula ke sisi lesi ketika mulut dibuka
Kelainan: neuralgia trigeminalis, sindrom gradenigo ( nyeri di distribusi nervus
oftalmicus disertai oleh kelumpuhan nervus abdusens ipsilateral, sindroma ini disebabkan
oleh infeksi pada sel-sel udara di apex os. Petrosus).
Pemeriksaan: membuka mulut, menggerakkan rahang, menggigit/mengunyah,
pemeriksaan raba, suhu, dan nyeri, refleks kornea, refleks masseter
N. VII
Perjalanan Nervus
Nucleus komponen nervus fascialis terletak di bagian ventrolateral tegmentum pontis
serabut radiks nervus fascialis berjalan memutari nucleus abdusen(membentuk yang
disebut genu internum nervus fascialis  berjalan ke kaudal pons kemudian keluar dari
batang otak menembus ruang subarachnoid  memasuki meatus acusticus internus
bersama dengan nervus intermedius dan nervus cranialis VII  berjalan ke lateral di
kanalis fasialis menuju ganglion geniculatum  setinggi ganglion kanalis fasialis
menurun curam  pada bagian ujung bawah kanalis fasialis, nervus fasialis keluar dari
tengkorak melalui foramen stilomastoideus  serabut-serabut syarafnya mempersyarafi
semua otot ekspresi wajah yang berasal dari lengkung brachialis kedua yaitu m.
orbicularis oris dan m orbicularis okul, m. businator, m. oksipitalis, m. frontalis dan otot-
otot yang lebih kecil di daerah ini dan juga m. stapedius, m. platisma, m. stilohiodeus dan
venter posterior m. digastricus
Kelainan
Paresis flasid pada otot-otot ekspresi wajah, mata tidak bisa menutup penuh; sudut mulut
jatuh; dahi tidak bisa mengerut; kornea kering dan kehilangan sensasi rasa pada 2/3
anterior lidah
Pemeriksaan
Raut wajah, mengangkat alis, menutup mata rapat, mengembungkan pipi,
memperlihatkan gigi, mencucurkan bibir, rasa kecap 2/3 depan

N.VIII
Perjalanan Nervus
Nervus kokhlearis, berjalan di sepanjang kanalis auditorius internus bersama dengan
nervus vestibularismelewati ruang subarachnoid di cerebrebellopontine angle dan
kemudian masuk ke batang otak tepat dibelakang pedunculus serebelaris inferior. Di
nucleus kokhlearis ventralis, serabut-serabut nervus kokhlearis bercabang dua; masing-
masing kemudian melanjutkan ke lokasi relay berikutnyadi bagian ventral atau dorsal
nucleus kokhlearis  neurit nucleus kokhlearis ventralis menyilang garis tengah di dalam
korpus trapezoideum. Impuls auditorik asenden kemudian berjalan melalui lemniskus
lateralis ke kolikulus inferior.
Neurit nucleus kokhlearis dorsalis menyilang garis tengah di belakang pedunkulus
serebelaris posterior, berjalan naik di lemniskus lateralis ke kolikulus inferior 
kolikulus inferiorberproyeksi ke korpus genikulatum mediale talami  impuls berjalan di
radiasio auditoria di kapsula interna korteks auditorik primer di girus temporalis
transversus (broadmann 41) yang juga disebut girus transversus heschl.
Kelainan
Gangguan pendengaran: tuli konduktif dan tuli sensorineural, gangguan neurologis yang
menimbulkan ketulian (penyakit Meniere, ketulian tiba-tiba, neuroma akustik)
Gangguan keseimbangan: dizziness dan disekuilibrium, vertigo
Pemeriksaan : vertigo, nystagmus, keseimbangan, tes gesekan jari, tes Schwabach, tes
Rinne, tes Weber

N. IX
Perjalanan Nervus
Nervus glosofaringeus keluar dari tengkorak bersama-sama melalui foramen jugulare
berjalan diantara arteri carotis interna dan vena jugularis kea rah m. stilofaringeus 
melanjutkan perjalanan diantara m. stilofaringeus dan m. stiloglosus dan kemudian
mempersyarafi pangkal lidah, mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah
Cabang-cabang:
Ramus timpanicus : berjalan dari ganglion inferior ke ruang timpanik dan pleksus
timpanikus
Ramus stilofaringeus: ke m. stilofaringeus
Ramus faringeus: bersama-sama nervus vagus membentuk pleksus faringus. Pleksus ini
mepersyarafi otot-otot lurik faring
Ramus sinus karotikus: berjalan bersama arteri karotis ke sinus karotikus dan glomus
karotikum
Ramus lingualis:menghantarkan impuls gustatorik dari sepertiga posterior lidah.
Kelainan
• Gangguan pengecapan pada sepertiga posterior lidah
• Berkurang atau hilangnya reflex muntah dan reflex palatal
• Anesthesia dan analgesia pada bagian atas faring dan area tonsil serta dasar lidah
• Gangguan ringan saat menelan
• Gangguan salivasi dari glandula parotidea
Pemeriksaan:

Suara, menelan, batuk, kesimetrisan arkus faring, refleks faring

N.X
Perjalanan Nervus
Dibawah ganglion inferius (nodosum), sarag mengikuti arteri karotis interna dan arteri
karotis komunis kemudian melewati aperture toracis superior ke mediastinum  trunkus
vaginalis menyilang arteri subclavia, trunkus kiri berjalan di belakang hilus dan melewati
arkus aorta cabang vagal terminal kemudian menyertai esophagus melalui hiatus
esofagus diafragma ke rongga abdomen
Lesi nervus vagus unilateral
• Palatum molle pada sisi lesi jatuh, reflex muntah menghilang dan pasien berbicara
dari hidung karena ronga hidung tidak dapat tertutup lagi dari rongga mulut. Paresis m
konstriktor faring menyebabkan mukosa palatal terdorong ke sisi normal ketika pasien
berfonasi.
• Suara serak akibat paresis plika
• Disfagia dan kadang-kadang takikardia dan aritmia jantung

N. XI
Perjalanan Nervus
Medulla  terbagi 2 :

• Cranial root  bergabung dengan nervus vagus di fossa kranialis posterior dan
didistribusikan pada cabang motorik nervus vagus di palatum, faring, dan laring
• Spinal root  melalui foramen jugular dan memasuki otot sternocleidomastoideus
dan trapezius
Kelainan

Kelumpuhan muskulus sternokleidomastoideus dan muskulus trapezius bagian superior;


bahu jatuh

Pemeriksaan:

 Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan gerakan fleksi


lateral dari kepala / leher penderita atau sebaliknya (pemeriksa yang melawan /
mendorong sedangkan penderita yang menahan pada posisi lateral fleksi)
 Kekuatan otot trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua bahu penderita
kebawah, sementara itu penderita berusaha mempertahankan posisi kedua bahu
terangkat
Lesi nuclear: paralisis flasid bilateral pada lidah dengan atrofi dan fasikulasi
Lesi perifer: memiliki alibat yang sama dengan lesi nuclear, tetapi paralisis biasanya
hanya unilateral.

N.XII
Perjalanan Nervus
Akson N. hipoglosus turun di medulla dan keluar dari batang otak sebagai serabut-serabut
radiks di sulkus anterolateralis antara oliva inferior dan piramis  keluar dari tengkorak
melalui kanalis hipoglosus dan berjalan di region servikal bawah diantara vena jugularis
dan arteri karotis bersama dengan serabut-serabut dari tiga segmenservikal pertama.
Nervus hipoglosus mempersyarafi otot-otot lidah, m. stiloglosus, m. hioglosus dan m.
genioglosus.
Kelainan
Pemeriksaaan: disartria, posisi lidah, gerakan lidah, fasikulasi atau atrofi lidah

25. Kelainan Maxillofacial


KONGENITAL
1. Mobius syndrome
Kelainan kongenital yang langka yang disebabkan oleh kurangnya atau tidak adanya
pertumbuhan saraf kranial VI dan VII. Saraf kranial lainnya juga dapat terkena,
termasuk saraf kranial ke-III, V, VIII, IX, XI, dan XII. Gejala awal yang dirasakan
pada saat lahir adalah ketidakmampuan menghisap. Gejala lain yang dapat ditemukan
adalah kesulitan makan, menelan, dan berekspresi seperti senyum, cemberut,
meringis, ataupun mengedipkan mata. Penglihatan, pendengaran, dan kemampuan
berbicara juga dapat terganggu. Deformitas yang dapat menyertai penyakit ini
mencakup deformitas pada lidah, mandibula, dan ekstremitas. Ketika anak-anak
dengan sindrom Mobius beranjak dewasa, gejala yang paling dominan adalah
kurangnya ekspresi pada wajah dan kesulitan tersenyum. Sekitar 30-40% anak-anak
dengan sindrom Mobius berada dalam spektrum autisme.

Gambar:
A Menaikkan alis
B Tersenyum
Sumber: http://brain.oxfordjournals.org/content/128/7/1728
2. Albers-Schonberg syndrome
Sindrom Albers-Schonberg adalah suatu gejala klinis yang diakibatkan oleh
kegagalan osteoklas dalam meresorpsi tulang, yang mengakibatkan gangguan pada
modeling dan remodeling tulang. Onset penyakit ini bisa terjadi pada saat infantil,
pada kanak-kanak, dan pada saat dewasa. Kelainan ini dapat menyebabkan
kelumpuhan pada wajah, kebutaan, dan ketulian karena adanya penekanan yang
berlebih pada saraf kranial akibat pertumbuhan tulang yang berlebih. Pada onset
infantil, gejala yang sering didapat adalah hidung yang terasa penuh akibat
malformasi mastoid dan sinus paranasal. Walaupun massa tulang meningkat, namun
tulang lebih rapuh dan mudah patah, dan juga dapat menyebabkan gangguan
hematopoiesis, gangguan pertumbuhan gigi, dan gangguan pertumbuhan.
3. Goldenhar‟s syndrome
Golhenhar syndrome (juga dikenal sebagai sindroma oculo-auriculo-vertebra (OAV))
adalah suatu kelainan kongenital yang langka dengan pertumbuhan telinga, hidung,
pallatum molle, bibir, dan mandibula yang tidak lengkap. Penyakit ini diasosiasikan
dengan kelainan pertumbuhan arkus brakialis pertama dan kedua. Sindroma ini juga
sering disebut sebagai mikrosomia hemifasial, namun istilah ini hanya digunakan
pada kasus-kasus yang tidak melibatkan kelainan pada organ internal maupun
vertebra.
Gejala-gejala yang sering didapat adalah dermoid epibulbar atau kelainan mata
lainnya, skin tag preaurikuler, mikrotia, atresia meatus eksternal, dan kelainan telinga
lainnya. Hipoplasi wajah unilateral, kening yang menonjol, hipoplasia dari regio
zigomatika, maxilla, dan mandibula juga dapat ditemukan. Manifestasi pada tulang
belakang, tulang rusuk, dan jantung juga terkadang muncul.

INFEKSI
1. Ramsay-Hunt Syndrome
Awitan suatu paralisis wajah seringkali bersama otalgia dan erupsi herpetik pada
bagian telinga luar dianggap sebagai akibat infeksi virus pada ganglion genikulatum.
Lesi kulit vesikular mungkin hanya terbatas pada sebagian meatus acousticus externus
yang dipersarafi suatu cabang sensorik kecil dari N. VII, atau dapat meluas ke
aurikula, atau telah manghilang saat pasien datang ke dokter.
2. Otitis media supuratif kronik
Otitis media supuratif kronik dapat membuat asimetri pada wajah dengan 2
mekanisme:
• Inflamasi secara langsung pada N. VII yang berjalan dalam canalis facialis
• Penekanan pada N.VII akibat pertumbuhan kolesteatoma
3. Otitis externa nekrotikans
Pada beberapa kasus, pasien datang dengan disfungsi N. VII dan pemeriksaan telinga
normal. Pencitraan diagnostik yang menyeluruh termasuk CT scan, scan tulang, dan
scan gallium dapat membantu menentukan adanya penyakit ini.
4. Lyme Disease
Infeksi spiroketa Borrelia burgdorferi menyebabkan Lyme disease, dan dapat
mengakibatkan paralisis wajah. Pemeriksaan serologis perlu dilakukan, dan diikuti
dengan terapi antibiotik. Pada anak yang mengalami paralisis wajah dengan riwayat
rash dan artralgia, perlu diwaspadai adanya penyakit Lyme.
5. Abses Submandibula
Adanya abses di satu bagian leher menimbulkan satu sisi bawah wajah membengkak,
menjadikan wajah tidak simetris.
NEOPLASMA
Asimetri dapat terjadi bila tumor mengenai atau tumbuh dari N. VII, atau tumor yang
tumbuh pada bagian wajah itu sendiri. Pada facial palsy yang disebabkan oleh tumor,
gejala cenderung perlahan timbul dan ada gejala lain yang menyertai tergantung posisi
tumor.
Tumor parotis ganas adalah salah satu yang paling sering menyebabkan paralisis wajah,
dimana gejala diawali perlahan, lalu mulai terasa nyeri pada massa yang berlokasi di
dalam glandula parotis. Bila dibiarkan kanker ini dapat memasuki otak melalui nervus di
sekitar, atau menyebar ke paru-paru.
Tumor jinak dan ganas pada otak seperti meningioma, paraganglioma, kondrosarkoma,
dan kondroma dapat tumbuh dalam kranium dan mempengaruhi N.VII.

TRAUMA
1. Trauma tumpul yang menyebabkan fraktur os temporal atau basis cranii yang
mengenai foramen tylomastoid
2. Trauma tajam yang mengenai N. VII
3. Trauma lahir yang mengenai N. VII
4. Trauma menembus telinga dapat melukai N. VII

ANOTHER
1. Stroke
2. Myastenia gravis
3. Guillaine-barre
4. Multiple sclerosis
5. Bell‟s palsy

26. Drainase KGB leher


Secara garis besar, region leher dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu bagian anterior dan
posterior oleh M. Sternocleidomastoideus. Kelenjar limfe dibagi menjadi beberapa level,
yaitu :
 Level 1
Dibagi menjadi 2 sublevel. Sublevel 1A (submental)dan sublevel IB (submandibular)
 Level 2
Terletak di 1.3 atas M. Sternocleidomastoideus, berisi kelenjar jugularis superior,
kelenjar jugularis digastrikus dan kelenjar servikalis posterior.
- Batas Superior : tulang tengkorak
- Batas inferior : tulang hyoid
- Batas anterior : tulang stylohyoid
- Batas posterior : M. Sternocleidomastoideus posterior
 Level 3
Level 3 dan 4 dibatasi oleh M. Omohioideus yang melintangi V. Jugularis Interna
- Batas Superior : batas bawah dari tulang Hyoid
- Batas Inferior : kartilago Krikoid
- Batas Anterior : batas lateral dari M. sternohyoid
- Batas Posterior: M. Sternocleidomastoideus posterior
 Level 4
Berisi kelenjar limfe jugularis inferior, skalenus dan kelenjar supraklavikula.
- Batas superior : Kartilago Krikoid
- Batas Inferior : Klavikula
 Level 5
Berisi kelenjar servikalis pada segitiga posterior leher
- Batas superior : hasil konvergen dari M. Sternocleidomastoid dan M. Trapezius
- Batas inferior : Klavikula
- Batas anterior : M. Sternocleidomastoideus posterior
- Batas posterior : M. Trapezius anterior
 Level 6
Berisi kelenjar limfe pretracheal dan paratracheal, precricoid (Delphian) dan
peritiroidal.
- Batas superior : tulang hyoid
- Batas inferior : suprasternal notch
- Batas posterior : common carotid arteries.
 Grup kelenjar limfe yang lain

Nodus limfe yang tidak terletak di level di atas diberi nama sesuai dengan grup nodus
yang spesifik.
Kelenjar limfatik pada leher kebanyakan terletak pada rangkaian jugularis interna dan
spinalis aksesorius. Kelenjar limfe pada leher dibagi menjadi 2, yaitu
o Kelenjar limfa jugularis interna (profunda)
- Superior
- Inferior
- Medial
o Kelenjar superfisialis
- Submental
- Submandibular
- Servikalis
- Retrofaring
- Paratrakeal
- Spinalis aksesorius
- Skalenus anterior
- Supraklavikula
Kelenjar limfe superfisial akan menuju Kelenjar limfe yang profunda.
 Kelenjar Limfe Profunda:
• Kelenjar limfa jugularis interna superior
Menerima aliran limfe dari :
• Palatum molle
• Tonsil
• Submandibular
• Parotis
• Spinalis aksesoris
• Retrofiring
• Sinus piriformis
• Kelenjar limfa jugularis interna media
Menerima aliran limfe dari :
• Subglotik laring
• Sinus piriformis inferior
• Krikoid posterior
• Jugularis interna superior
• Retrofaring posterior
• Kelenjar limfa jugularis interna inferior
Menerima aliran limfe dari :
• Glandula tiroid
• Trakea
• Esofagus bagian servikal
• Jugularis interna superior dan media
• Paratrakea
 Kelenjar limfe superfisialis
• Limfa submentalis
Menerima limfa dari :
• Medial bibir, dagu, gusi, dasar mulut bagian depan, 1/3 inferior lidah
Menyalurkan limfe ke :
• Kelenjar limfe submandibular sisi ipsilateral atau kontralateral, dapat langsung
ke kelenjar limfa jugularis interna.
• Limfa submandibular
Menerima limfa dari :
• Kelenjar liur submandibular, bibir atas, bibir bawah 1/3 lateral, rongga hidung,
anterior rongga mulut, palatum molle.
Menyalurkan limfe ke :
• Kelenjar limfa jugularis interna superior
• Limfa retrofaring
Menerima limfa dari :
• Nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius
Menyalurkan limfe ke :
• Kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinal aksesorius
• Limfa paratrakea
Menerima limfa dari :
• Hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea superior dan tiroid
Menyalurkan limfe ke :
• Kelenjar limfa jugularis interna inferior dan kelenjar limfe mediastinum
superior
 Limfa spinal aksesorius
Menerima limfa dari :
• Kulit kepala parietal
• Bagian posterior leher
 Kelenjar Limfe parafaring
Menerima limfa dari :
• Nasofaring dan orofaring
• Sinus paranasalis
27. Anatromi Ruang Leher
Anatomi Fasia Servikal
1. Fasia servikal superfisial
2. Fasia servikal profunda
a. lapisan superfisial
b. lapisan tengah
- divisi otot
- divisi viseral
c. lapisan dalam
- divisi prevertebral
- divisi alar
• Fasia superfisial servikal: lapisan lemak subkutan dengan tempat perlekatan pada
processus zigomatika sampai ke toraks dan aksila. Isi dari lapisan ini adalah platisma
dan otot-otot untuk berekspresi.
• Lapisan superfisial dari fasia profunda servikal: membungkus M.
sternokleidomastoideus, M. trapezius, M. omohyoid pada bagian posterior, glandula
parotid, dan glandula submandibular
• Lapisan tengah dari fasia profunda servikal: pada bagian superior melekat ke tulang
hyoid dan kartilago tiroid, dan pada bagian inferior melekat pada sternum, klavikula,
dan skapula. Lapisan ini mengelilingi organ tiroid, trakea, dan esofagus
• Lapisan dalam dari fasia profunda servikal: berisi M. paraspinosus dan vertebra
servikal. Dibagi menjadi 2 bagian:
• Prevertebral: Pada bagian anterior berawal dari vertebral body, lalu menyebar secara
lateral pada processus transversus, dan memanjang ke posterior untuk menutupi otot-
otot leher yang dalam dan melekat pada processus spinosus. Ini membentuk dinding
posterior “danger space” dan dinding anterior ruang prevertebral.
• Alar: terletak di antara bagian prevertebral dengan fasia middle dari lapisan profunda
servikal
 Ruang suprahyoid:
• Pharyngomaxillary / Lateral pharyngeal
• Submandibula
• Parotis
• Mastikator
• Peritonsillar
• Bukal
 Ruang faringomaxillary/parapharyngeal/lateral faringeal
• Berada di bagian lateral leher
• Batas-batas:
• apex: os hyoid, dasar: bagian petrous dari os temporal
• Lateral: lapisan superfisial dari fasia profunda servikal di atas mandibula, parotid, dan
pterygoid internal
• Medial: lateral pharyngeal wall
• Ant/post: pterygomandibular raphe/ prevertebral fascia
• Dibagi menjadi 2 kompartemen karena adanya tulang styloid dan otot
• Kompartemen otot:
• Tonsillar fossa medial, internal pterygoid lateral
• Lemak, nodus limfe, massa parotid
• Post-styloid, kompartemen neurovaskuler:
• Carotid, vena jugularis interna, rantai simpatis servikal, CN. IX-XII
• Massa tersering - schwannoma
• Berhubungan dengan beberapa ruang leher lainnya
• Sumber infeksi bisa dari: parotid, masticator, submandibular, peritonsillar,
tonsils/pharynx, odontogenic, nodus limfe dari hudung dan tenggorokan, mastoiditis
(abses Bezold)
• Untuk terapinya, jangan melakukan pendekatan intraoral, bisa dengan Moscher
incision
 Ruang submandibular
• Ruang sublingual di superiornya, dan ruang submaksilaris di inferior, dipisahkan oleh
M. mylohyoid
• Batas: FOM mucosa secara superior, lapisan superficial dari deep fascia secara
inferior, mandible secara anterolateral, hyoid inferiorly, otot BOT posterior
• Ruang sublingual: gland, Wharton, CN. XII
• Ruang submaxillaris: gland, A. facialis, N. lingual; berhubungan dengan ruang
sublingual di bagian batas posterior mylohyoid melewati glandula submandibular
• Ludwig‟s angina: selulitis bilateral dari ruang submandibular dan sublingual
• Inspeksi molar 2 dan 3: apex memanjang ke bawah mylohyoid sehingga memberikan
akses langsung ke dalam ruang submandibula
 Ruang parotid
• Dibentuk oleh lapisan superfisial dari lapisan profunda fasia servikal; hubungan
langsung dengan ruang lateral faringeal
• Isi: parotid glandula, carotis externa, vena posterior facial, nervus facialis,
lymphnodus
 Ruang masticator
• Lapisan superfisial dari lapisan profunda fasia servikal yang berpisah di sekitar
mandibula untuk membentuk ruangan ini agar dapat mengelilingi otot mastikasi
• 4 kompartmen: Masseteric, Pterygoid, Superficial Temporal, Deep Temporal
• Isi: otot masseter, otot pterygoid, tendon temporalis, nervus dan vasa inferior alveolar,
corpus dan ramus mandibula, arteri maxilaris interna
• Sumber infeksi tersering: molar 3
• Komplikasi: osteomyelitis mandibula
 Ruang Peritonsillar
• Batas: anterior dan posterior pillars, palatine tonsil, otot superior constrictor
• Sumber infeksi tersering: infeksi di daerah tonsil
 Ruang bukal
• Batas: M. buccinator, pipi, arkus zigomatika, pterygomandibular raphe, mandibula
inferior
• Sumber infeksi: odontogenik
• Gejala-gejala: pembengkakan bagian bukal dengan adanya kemungkinan selulitis
preseptal
• Komplikasi: thrombosis sinus kavernosus

 Ruang infrahyoid:
• Visera anterior (ruang pretrakeal)
• Ruang-ruang yang melibatkan seluruh kepanjangan leher:
- Retrofaringeal
- Danger zone
- Prevertebral
- Viseral vaskular

 Ruang anterior viseral


• Pretracheal space from thyroid cartilage to T4 level, enclosed by visceral division of
middle layer, just deep to straps, surrounds trachea
• Source: esophageal anterior wall perforation, external trauma
• Symptoms: mainly dysphagia, later hoarseness, dyspnea, airway obstruction
• Complication: mediastinitis, airway
• Network of infectious extension
• Ruang Retrofaringeal: Ruang potensial pada bagian viseral di lapisan tengah dari
lapisan profunda fasia servikal dan anterior terhadap divisi alar dari lapisan dalam dari
lapisan profunda fasia servikal
• Isi: lemak, nodus limfe yang drainase hidung, palatum molle, sinus paranasalis
• Paling sering pada pediatri karena sumber drainase. Pasien pediatrik seringnya sudah
terkena infeksi saluran napas atas, demam, disfagia, odinofagia, rigiditas nukal, dan
pembesaran asimetris pada dinding posterior faringeal
• Pasien dewasa biasanya datang dengan keluhan nyeri, disfagia, gerakan servikal yang
terbatas, dan pernapasan yang bersuara.
• Dapat menyebar ke dalam mediastinum, danger space, dan ruangan parafaringeal
 Danger Space
• Ruangan potensial antara divisi alar dan prevertebral pada bagian dalam dari fasia
profunda servikal. Terletak posterior dari ruang retrofaringeal dan anterior terhadap
ruang prevertebral
• Ruangan ini memanjang dari basis cranii sampai dengan mediastinum posterior dan
diafragma
• Abses pada ruangan ini dapat disebabkan oleh penyebaran langsung dari infeksi
ruangan retrofaringeal, prevertebral and parapharyngeal, atau yang jarang, dari
perpanjangan limfe dari hidung dan tenggorokan.
• Awasi ketat untuk apakah ada dispneu, nyeri dada, dan pelebaran mediastinum
 Ruangan prevertebral
• Ruangan potensial yang berada di anterior dari vertebral body
• Perpanjangan dari basis cranii sampai ke coccyx
• Penyebab tersering untuk terjadinya abses adalah iatrogenik atau trauma penetratif.
Sebelumnya, TB juga menjadi salah satu penyebab yang paling banyak.
 Ruangan viseral vaskuler
• Ruangan di dalam carotid sheath, dan aliran limfe ini menerima drainase dari limfe-
limfe wajah dan leher.
• Yang paling sering menyebabkan infeksi di sini adalah infeksi ruangan parafaringeal
28. Abses Ruang Leher
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai
akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah, dan leher. Gejala dan tanda klinis biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang dalam leher yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah
golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides, atau kuman
campuran.
Abses ruang leher dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula, dan Ludwig’s angina.
1. Angina Ludwig
Merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior ruang suprahioid.
Peradangan ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut
dan mendorong lidah ke atas dan kebelakang dan dengan demikian dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial.
 Etiologi: Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal
dari gigi geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis
pada ruang submaksilaris.
 Gejala dan tanda: Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengakakan
didaerah submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan.
 Terapi: terdiri dari pembedahan insisi melalui garis tengah, dengan demikian
menghentikan ketegangan yang terbentuk pada dasar mulut. Karena ini
merupakan selulitis, maka sebenarnya pus jarang diperoleh.
2. Abses Peritonsiler (Quinsy)
 Etiologi: Infeksi tonsila yang berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila
meluas sampai palatum mole. Infeksi dipicu oleh tonsilitis atau akhir perjalanan
tonsilitis akut. Biasanya unilateral.
 Gejala dan tanda: Terdapat disfagia, nyeri alih ke telinga pada sisi yang terkena,
salivasi yang meningkat dan bicara menjadi sulit. Terjadi deman tinggi.
 Terapi: Diberikan antibiotik setelah dilakukan biakan kuman. Kuman yang sering
yaitu Streptococcus pyogenes. Jika terbentuk abses, maka diperlukan tindakan
pembedahan drainase baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi
dan drainase.
3. Abses Retrofaring
 Etiologi: Penyebaran abses spatium parafarigeum atau gangguan traumatik dari
batas dinding faring posterior oleh trauma yang berasal dari benda asing atau
selama penggunaan alat-alat atau intubasi.
 Gejala dan tanda: Demam, hilang nafsu makan, perubahan dalam bicara, kesulitan
menelan dan gejala-gejala lain yang memberikan kesan obstruksi.
 Terapi: pada stadium dini dengan antibiotik dapat menghentikan terbentuknya
abses. Namun jika sudah terbentuk abses maka sebaiknya dilakukan drainase
abses dengan menggunakan pisau skalpel tajam, dilakukan insisi vertikal pendek
pada titik dimana pembengkakan paling besar.
4. Abses Parafaring
 Etiologi: Ruang parafaring dapat terjadi infeksi melalui kontaminasi ujung jarum
pada saat tonsilektomi, proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi,
tonsil, faring, hidung, sinus paranasal dan penjalaran infeksi dari ruang peritonsil,
retrofaring atau submandibula.
 Gejala dan tanda: Trismus, pembengkakan disekitar angulus mandibula, demam
tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring.
 Terapi: Antibiotik dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan
anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam.
5. Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
 Etiologi: dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam
lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.
 Gejala dan tanda: terdapat demam, nyeri leher, disertai pembengkakan di bawah
mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering
ditemukan.
 Terapi: antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan
secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk
abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak
abses dalam dan luas. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi
reda.

Anda mungkin juga menyukai