Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/325393542

IDENTIFIKASI MISKONSEPSI MATEMATIKA SISWA PADA MATERI OPERASI


ALJABAR

Article · May 2018

CITATIONS READS

0 998

2 authors:

Syamsah Fitri Edy Surya


State University of Medan State University of Medan
3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS    235 PUBLICATIONS   331 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PENGGUNAAN PERMAINAN TRADISIONAL ENGKLEK UNTUK PENGENALAN KONSEP MATEMATIKA SEDERHANA PADA TK RIDHO PEKAN KAMIS View project

penelitian pendidikan View project

All content following this page was uploaded by Syamsah Fitri on 27 May 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


IDENTIFIKASI MISKONSEPSI MATEMATIKA SISWA PADA MATERI
OPERASI ALJABAR
Syamsah Fitri 1 , Edy Surya 2
State University of Medan, Jalan Willem Iskandar Pasar V, Kotak Pos No. 1589 Medan
20221, Indonesia
Email : Syamsahfitri@mhs.unimed.ac.id
Email : edy_surya71@yahoo.com
Mahasiswa PPS Jurusan Pendidikan Matematika, Unimed

ABSTRAK
Kesalahan konsep (Miskonsepsi) adalah salah satu jenis kesalahan dalam
memahami konsep-konsep matematika dan dalam menyelesaikan soal
matematika. Miskonsepsi harus diminimalisir karena pengetahuan
konseptual adalah salah satu aspek pengetahuan yang ada dalam
kompetensi siswa tingkat SMP/MTs/SMPLB dan sederajat. Penelitian ini
tergolong pada penelitian deskriptif kualitatif sehingga data yang ada
dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif, yaitu proses mencari
serta menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil tes
diagnostik miskonsepsi, wawancara dan observasi. Analisis data
penelitian kualitatif dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan penggolongan,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang
akan dikaji sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan untuk disampaikan
kepada orang lain. Setiap siswa memiliki proses berpikir yang berbeda-
beda dalam menyelesaikan soal matematika. Subjek dalam penelitian ini
adalah 2 siswa kelas VIII yang dipilih berdasarkan hasil tes pemahaman
konsep. Hasil penelitian menunjukkan siswa mengalami miskonsepsi
hanya pada tahap attack, yaitu pada saat menyamakan penyebut,
manipulasi aljabar, dan mengoperasikan suku sejenis.

Kata Kunci: Aljabar, Miskonsepsi

1
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu cara pembentukan kemampuan manusia untuk
menggunakan akal dan logika seoptimal mungkin sebagai jawaban untuk menghadapi
masalah-masalah yang timbul dalam usaha menciptakan masa depan yang baik
(Suhartini, Syahputra & Surya, 2016).
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah
karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan
belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain
tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Siswa yang menganggap matematika sebagai pelajaran yang relatif sulit dan
membentuk kesan dan pengalaman secara negatif terhadap matematika umumnya
berdampak buruk baik bagi motivasi belajar matematika maupun penyesuaian akademik
di sekolah. Oleh karena itu, sikap yang positif terhadap matematika yang terbentuk
sejak awal merupakan faktor penting pada kesuksesan belajar pada mata pelajaran yang
sulit, khususnya matematika.
Orang yang merasakan ketegangan, ketakutan dan ketakutan akan situasi yang
melibatkan matematika dikatakan memiliki kecemasan matematika Kecemasan
matematis adalah situasi yang terjadi pada beberapa orang ketika menghadapi masalah
matematika. Perasaan yang baik terhadap matematika membawa persepsi yang baik
tentang matematika, dan sebaliknya. Emosi memainkan bagian paling penting dalam
situasi ini (Amalia & Surya, 2017).
Gagasan kehilangan kontrol ini terkait dengan kurangnya kepercayaan diri
memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi dan menyelidiki secara bebas adalah
masalah penting dalam dipersiapkan untuk mengadopsi pemecahan masalah
pendekatan, terutama jika pemecahan masalah dianggap sebagai proses penyelidikan
(Smith, 2000; Surya, 2013; Nasution, Surya & Syahputra, 2015). Selain itu, kompetensi
seorang guru dalam kaitannya dengan pemecahan masalah adalah dianggap sebagai
masalah nyata untuk satu responden yang menyarankan Dalam Kurikulum 2013,
pembelajaran menggunakan metode ilmiah, multi-strategi, multimedia, pembelajaran
yang memadai sumber dan teknologi, dan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber
belajar.

2
Matematika adalah cara mengatur pengalaman kita tentang dunia. Ini
memperkaya pemahaman kita dan memungkinkan kita untuk berkomunikasi dan
memahami pengalaman kita. Dengan melakukan matematika, kita dapat memecahkan
berbagai tugas praktis dan masalah kehidupan nyata. Kami menggunakannya di banyak
bidang kehidupan kita. Siswa akan mengingat fakta dan keterampilan dengan mudah
ketika mereka menggunakannya untuk memecahkan masalah nyata (Peranginangin &
Surya 2017).
Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus
memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus
mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan dating (dalam
Suhartini, Syahputra & Surya, 2016).
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Hasratuddin (2015) bahwa: “matematika
adalah suatu sarana atau cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang
dihadapi manusia; suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan
tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang
paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri untuk melihat dan
menggunakan hubungan-hubungan”.
Pemahaman matematika sangat penting dalam belajar matematika karena itu akan
memudahkan pemecahan masalah matematika, bahkan akan mempertajam pemecahan
masalah. Matematika telah diajarkan sehingga anak-anak dapat memahami data
numerik yang disajikan kepada mereka, dan mampu melakukan perhitungan sederhana
dan rumit dalam pertemuan sehari-hari. Ini juga kepercayaan umum di kalangan siswa
bahwa matematika adalah subjek yang sulit dan sulit untuk dipelajari (Surya, Putri &
Mukhtar, 2017). Matematika diajarkan mulai dari tahap konkret, semi konkret,
kemudian abstrak. Matematika juga diajarkan dari konsep-konsep sederhana hingga
konsep yang kompleks. Matematika yang bersifat hirarkis dimana antara satu topik
dengan topik lainnya saling terkait, mengharuskan siswa memiliki pemahaman yang
baik terhadap konsep untuk belajar konsep lainnya.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Skemp (Dzulfikar, 2017) bahwa konsep-
konsep matematika tersusun secara hirarkis, satu konsep menjadi dasar bagi konsep
lainnya. Hal ini diartikan bahwa untuk mempelajari suatu konsep atau materi baru

3
dibutuhkan konsep atau materi lainnya. Konsep atau materi tersebut merupakan
perluasan atau pendalaman materi yang telah dipelajari. Menjadi sangat fatal apabila
siswa terlebih lagi guru memiliki pemahaman yang salah atau kurang tepat terhadap
suatu konsep matematika tertentu atau yang disebut miskonsepsi.
Depdiknas (dalam Risqi & Surya, 2017) bahwa salah satu tujuan pembelajaran
matematika di sekolah adalah untuk melatih pola pikir dan penalaran dalam mengambil
kesimpulan, mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah, dan
mengembangkan kemampuan untuk memberikan informasi atau mengkomunikasikan
gagasan melalui lisan, tertulis, gambar, grafik, peta , diagram, dll.
Siswa kesulitan dalam menyelesaikan masalah dalam bentuk pemecahan masalah
dan siswa merasa kesulitan untuk menginterpretasikan masalah yang diberikan dalam
bentuk masalah kata ke dalam model matematika. Dengan demikian, siswa tidak dapat
menyelesaikan masalah mengingat siswa cenderung menarik kesimpulan untuk
melakukan operasi angka yang ada dalam soal cerita tanpa memahami masalah apa
yang diberikan dalam masalah. Dimana pemecahan masalah biasanya melibatkan
beberapa kombinasi konsep, membutuhkan kemampuan berpikir dan keterampilan
siswa (Lubis, Panjaitan, Surya, & Syahputra, 2017).
Di proses pembelajaran, aktivitas siswa dimulai dengan observasi, kemudian
mengajukan pertanyaan, mencoba, membuat jaringan, dan menganalisis. Oleh karena
itu sekarang dan di masa depan, kita perlu model pembelajaran yang seharusnya dapat
meningkatkan siswa kemampuan pemecahan masalah matematika di Sekolah Menengah
(Surya & Syahputra, 2017).
Satu cara untuk mengevaluasi hasil belajar adalah dengan menggunakan hasil tes
pembelajaran. Untuk mempelajari hasil tes bisa digunakan sebagai fungsinya untuk
mengukur pencapaian tujuan pembelajaran, salah satu tugas guru adalah mengevaluasi
tes perangkat yang telah dibuat, seperti dengan analisis butir soal untuk menentukan
kualitas pengujian yang telah dibuat. Namun kenyataannya, tidak banyak yang
melakukannya (Siregar, Surya & Syahputra, 2017)
Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan pada kelas VII SMP
Negeri 1 Pancur Batu diperoleh informasi bahwa kemampuan awal siswa masih
tergolong rendah. Hal ini terlihat dari banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam
mengikuti pembelajaran di kelas dikarenakan tidak menguasai materi prasyarat. Selain

4
itu, juga diperoleh informasi bahwa siswa banyak yang mengalamai miskonsepsi pada
materi aljabar untuk membuktikan hal tersebut peniliti memberikan tes sebanyak 5 butir
soal tentang aljabar untuk melihat pemahaman konsep aljabar siswa. Selama
pembelajaran berlangsung, banyak siswa yang terlihat merasa cepat putus sebelum
berusaha mencoba dan emosi dalam mengerjakan soal yang sulit, banyak yang
berkomentar bahwa itu sulit sedangkan materi tersebut telah dipelajari. kurang aktif dan
kurang percaya diri dalam mengikuti pembelajaran matematika.
Rendahnya kemampuan awal siswa dan muculnya sifat tidak mudah menyerah
siswa yang sangat rendah selama pembelajaran berlangsung berimpikasi pada
rendahnya hasil tes kemampuan pemahaman konsep akan di jabarkan sebagai berikut :

Gambar 1. Soal No 1
Berdasarkan jawaban siswa pada gambar di atas, kesalahan yang dilakukan oleh
siswa adalah operasi penjumlahan terhadap suku yang tak sejenis. Siswa kurang
memahami bahwa operasi penjumlahan dan pengurangan bentuk aljabar hanya dapat
dilakukan pada suku-suku yang sejenis.

Gambar 2. Soal No 3

5
Gambar 1 terlihat bahwa siswa melakukan kesalahan dengan jenis kesalahan konsep.
Kesalahan yang dilakukan siswa yaitu tidak menuliskan apa yang diketahui dan
ditanyakan pada soal, siswa juga melakukan kesalahan dalam memahami konsep
pengurangan aljabar. Penelitian Gopal dan Stears (2007) menyatakan diantaranya
bahwa dalam presentasi tertulis dan lisan, jawaban pra-struktural dan uni-struktural
didominasi, tetapi selama wawancara tentang presentasi, peserta didik menunjukkan
tingkat-multi-struktural yang lebih tinggi, relasional, dan, dalam beberapa kasus, abstrak
diperpanjang. Berdasarkan hasil analisis jawaban tes dan hasil wawancara siswa
menunjukkan bahwa kesalahan yang dilakukan siswa pada level prestructural
disebabkan karena : 1) Kemampuan pemahaman siswa yang rendah. 2) Kesulitan siswa
dalam membaca informasi pada soal. 3) Siswa tidak terbiasa menuliskan apa yang
diketahui dan ditanyakan. 4) Siswa tidak dapat mengatur proses pengerjaan dengan
baik.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka masalah yang
akan diteliti dalam penelitian ini adalah identifikasi faktor-faktor miskonsepsi
matematika siswa ditinjau dari prestasi belajar.

METODE
Penelitian ini tergolong pada penelitian deskriptif kualitatif sehingga data yang
ada dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif, yaitu proses mencari serta
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil tes diagnostik miskonsepsi,
wawancara, dan onservasi. Analisis data penelitian kualitatif dilakukan dengan
mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan penggolongan,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dikaji
sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan untuk disampaikan kepada orang lain.
Untuk mendeskripsikan bentuk miskonsepsi siswa pada pembelajaran aljabar dan
memberikan saran yang sesuai dalam mengatasi miskonsepsi siswa pada materi operasi
aljabar. Subjek penelitian ini dipilih hanya dua orang siswa yang berasal dari latar
belakang sekolah SMP yang berbeda.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi,
metode tes, dan wawancara. Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data adalah

6
lembar tes diagnostik miskonsepsi berupa tugas pemahaman konsep dengan 5 indikator
soal dan wawancara berbasis tugas.
Pengujian keabsahan / validasi data pada penelitian ini menggunakan teknik
triangulasi waktu dan menggunakan kecakupan referensi. Hal ini dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Pada penelitian
ini, triangulasi dilakukan dengan membandingkan hasil tes diagnostik miskonsepsi
dengan hasil wawancara mendalam.
Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif naratif dengan
menggunakan model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (Sugiyono10), yang
mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh.Ukuran
kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru.

HASIL
Untuk mendapatkan data yang valid mengenai miskonsepsi yang dialami oleh
siswa dan penyebabnya, maka dilakukan tringulasi data.Tringulasi data yaitu dengan
membandingkan data hasil analisis hasil tes tertulis dengan analisis hasil wawancara.
Berikut hasil validasi data berdasarkan dari 2 orang siswa yang sudah analisis hasil tes
dan wawancaranya.
Proses berpikir A ketika menyelesaikan soal 1 dapat diamati dengan baik melalui
hasil jawaban serta wawancara yang dilakukan terhadap subjek. Kesalahan operasi yang
dilakukan A, yaitu keliru dalam melakukan operasi penjumlahan terhadap suku yang tak
sejenis yang berada didalam kurung. A kurang mampu memahami bahwa tanda kurung
yang di soal bukan untuk perkalian konstanta tetapi untuk perkalian tanda operasi (+,-)
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kesalahan Operasi si A pada soal no. 1


Berikut ini adalah hasil wawancara antara peneliti dan A ketika memahami soal 1.

7
Cuplikan hasil wawancara peneliti (P) dengan siswa A:
P: Setelah kamu membaca soal, apa saja informasi yang terdapat dari soal?
A: diminta menyederhanakan bentuk aljabar dari 4𝑥4y+6b-(-2)-8𝑥4y+7
P: Dari soal tersebut, apa kamu paham dengan apa yang dimaksud pada soal?
A: paham bu
P: Ada berapa variabel yang ada pada soal?
A: ada tiga bu
P: Coba sebutkan variabelnya!
A: 4𝑥4y sama dengan 8𝑥4y, 6b, dan 2 dengan 7
P: Dari yang kamu sebutkan ada berapa suku yang terdapat pada soal?
A: 𝑥4y dan b
Berdasarkan Gambar 1 dan hasil wawancara dapat dikatakan A masih belum
memahami makna variabel, koefisien dan konstanta. Dimana A menjawab ada tiga
variabel 4𝑥4y sama dengan 8𝑥4y, 6b, dan 2 dengan 7. A juga mengalikan konstanta
yang didalam kurung. Selain itu, pemahaman konsep A mengenai perkalian pada tanda
kurung untuk menyederhana juga masih ada yang keliru seperti terlihat pada soal no. 5
Gambar 2.

Gambar 2. Kesalahan Operasi si A pada soal no.5


Cuplikan hasil wawancara peneliti (P) dengan siswa A:
P: Setelah kamu penyelesaikan soal no 1 apakah kamu mengalami kesulitan untu
menyelesaikan soal no 5?
A:tidak bu, karena soalnya hampir mirip dengan soal no 1
P:Apa yang kamu lakukan pada langkah awal penyelesaian soal?
A:mengalikan suku yang berada di dalam kurung bu
P:Seperti apa cara kerjanya?
A:5(4a)=20 a
P:Selanjutnya bagaimana?

8
A:dengan cara mengoperasikan suku yang sejenis bu
P: Bagaimana?
A: 20a+3ab-a-6ab= 19a-3ab
P: kamu yakin hasilnya sudah benar?
SP: yakin bu
Berdasarkan Gambar 2 dan hasil wawancara dapat masih terjadi kesalahan operasi
seperti yang dikatakan siswa A bahwa masih keliru dalam mengopersikan tanda yang
berada didalam kurung. Siswa A hanya mengeluarkan suku yang berada didalam kurung
tanpa mengalikan tanda “+,-“ sehingga hasilnya tetap salah. Pemahaman konsep A
sudah mulai baik dibanding mengerjakan soal no 1, karena sudah mengoperasikan suku
yang sejenis.
Kesalahan konseptual yang dilakukan siswa B yaitu tidak mampu menyelesaikan
operasi dua aljabar dengan dua suku yang berbeda atau dikatakan kesalahan prinsip
perkalian pecahan alajabar dua suku.. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kesalahan Prinsip perkalian si B pada soal no 4


Cuplikan hasil wawancara peneliti (P) dengan siswa B.
P: Setelah membaca soal, apa saja informasi yang terdapat dari soal no 4?
SP: mengopersikan dengan operasi perkalian bentuk pecahan aljabar dari
(𝑝 − 𝑞) (𝑝 − 𝑞)
x
3𝑝2 5𝑞2
P: Dari soal tersebut, apa kamu sudah paham dengan apa yang dimaksud pada soal?
B: paham bu
P: Ada berapa pecahan yang ada pada soal?
B: dua
P: sebutkan kedua pecahan tersebut dan sebutkan pembilang dan penyebutnya!
B: (𝑝 − 𝑞)Pembilangnya 3𝑝2 , (𝑝 − 𝑞)penyebutnya 5𝑞2
P: Langkah apa yang harus kamu lakukan?
B: dengan cara mengalikan silang bu.

9
P:Kamu yakin paham bagaimana mengoperasikan perkalian pada pecahan?
B:saya masih sangat ingat bu, pecahankan pelajaran anak SD bu
Berdasarkan hasil wawancara dan Gambar 3 yang telah dilakukan terlihat bahwa
dalam menyebutkan apa yang diketahui dari soal 4, B mengetahui mana yang
merupakan pembilang dan mana yang merupakan penyebut dari soal. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan, menunjukkan bahwa B dapat menjabarkan informasi yang
diberikan pada soal serta mampu menjelaskan dan menunjukkan bagian pada soal yang
menjabarkan informasi tersebut. Siswa B belum memahami makna dari operasi
pecahan, yang menyatakan bahwa operasi perkalian pada pecahan dengan cara
mengalikan silang antara penyebut dan pembilangnya. B tidak mengalikan suku yang
berada di dalam kurung.
Kesalahan konsep juga dilakukan siswa B pada soal no 3 sama halnya dengan soal
no 4 siswa B keliru dalam mengurangkan pecahan dan menyelesaikan operasi
campuran. Dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kesalahan konsep si B pada soal no 3


Cuplikan hasil wawancara peneliti (P) dengan siswa B.
P: Apa yang kamu lakukan pada langkah awal penyelesaian soal no 3 setelah kamu
menyelesaikan soal no 4 terlebih dahulu?
B:dengan cara menyamakan penyebutnya bu
P: Bagaimana kamu menyelesaikannya?
B: mengalikan penyebut dengan pembilangnya bu
P: kamu yakin itu coba jelaskan?
B: yakin bu, menyamakan penyebut sehingga menjadi 3n(5m)=15mn dan 12(4m)=48 m
48𝑚 + 36 15𝑚𝑛 + 36𝑛
− = 36 − (−36𝑛) = 72𝑛
48𝑚 15𝑚𝑛
P: Apa kamu yakin dengan jawabanmu?
SP: yakin bu

10
Siswa B keliru dalam memahami konsep pengurangan pecahan campuran aljabar.
Dalam mengurangkan pecahan campuran aljabar siswa B menyelesaikannya dengan
menyamakan penyebut dikalikan dengan pembilangnya. Siswa B melupakan konsep
bagaimana melakukan operasi pecahan biasa yang diterapkan pada aljabar cara
menyamakan penyebutnya saja sudah salah harusnya menentukan KPK dari
penyebutnya. Siswa B menentukan pembilangnya dengan cara menggabungkan cara
menentukan pecahan senilai dan mengubah pecahan campuran ke pecahan biasa.
Namun karena pecahan tersebut tidak diubah ke pecahan biasa terlebih dahulu
akibatnya pecahan tersebut tidak senilai.
Kesalahan lainnya yaitu keliru menyelesaikan operasi pecahan pada aljabar yang
dilakukan oleh siswa A yang terlihat seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Kesalahan konsep si A pada soal no 2


Cuplikan hasil wawancara peneliti (P) dengan siswa A.
P: Apa yang kamu lakukan pada langkah awal penyelesaian soal no 2?
A: menyamakan penyebutnya bu
P:Bagaimana cara kamu menyamakan penyebutnya?
A: penyebutnya dikalian bu (x2-1) x (x+1) = x3+x2-x-1
P: Kamu yakin cara kamu lakukan itu benar?
A: yakin sekali bu
P: Setelah menyamakan penyebut langkah apalagi yang kamu lakukan?
A: mejumlahkan pembilangnya bu
P: Coba jelaskan hasilnya!
3
A: begini bu 𝑥3+𝑥2−𝑥−1

P: kamu yakin dengan hasil jawaban kamu?

11
A: yakin bu
Dari jawaban siswa terlihat A tidak mengalami miskonsepsi pada saat
menyamakan penyebut tetapi mengalami miskonsepsi pada saat mengubah pembilang
karena penyebutnya dikalikan bukan dicoret untuk mendapatkan hasil pembilang yang
baru. A beranggapan setelah mengkalikan penyebut bisa langsung menjumlahkan
pembilangnya seharusnya bahwa penyebut (x2-1)(x+1) dibagi 𝑥2 - 1 hasilnya x+1
sehingga pembilang dikali dengan 2 menjadi 2𝑥+2. Untuk langkah selanjutnya yang
dilakukan untuk menyelesaikan soal 2 adalah dengan menjumlahkan kedua pecahan
tersebut.
Pada konsep pecahan aljabar, 2 siswa yang diteliti tidak dapat menyelesaikan
penjumlahan/ pengurangan pecahannya berbentuk pecahan campuran mereka
melakukan beberapa kesalahan, artinya pemahaman konsep mengenai pengurangan/
penjumlahan pecahan masih lemah. Demikian juga dalam menyelesaikan perkalian
pecahan campuran. Beberapa mahasiswa belum memahami dengan benar konsep
perkalian pecahan, dimana ada mahasiswa yang masih keliru dalam mengubah pecahan
campuran menjadi pecahan biasa. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Herutomo dan
Saputro (2014) yang menyatakan bahwa dua bentuk kesalahan yakni miskanselasi dan
kurangnya pemahaman terkait operasi pecahan merupakan dua bentuk kesalahan yang
saling terkait.
Kesalahan lain yaitu dalam menyelesaikan operasi campuran tidak
memperhatikan urutan penyelesaian dan kurangnya pemahaman operasi aljabar satu
suku atau dua suku bilangan bulat negatif. Pada operasi bilangan bulat negatif,
mahasiswa tidak dapat membedakan tanda “+” dan tanda “–“ sebagai jenis suatu
bilangan atau sebagai lambang dari operasi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Titikusumawati (2013) yang menemukan bahwa mahasiswa salah menafsirkan bentuk a
+ (-b) sebagai bentuk a – b, dan bentuk a - (-b) sebagai bentuk a + b.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap hasil pekerjaan siswa dalam menyelesaikan
soal yang diberikan dalam penelitian menunjukkan bahwa siswa mengalami
miskonsepsi dalam menyederhanakan operasi aljabar dan menyamakan penyebut.
Indikasi miskonsepsi dalam menyamakan penyebut ini karena siswa merasa yakin

12
dengan konsep menyamakan penyebut yang digunakan dalam menyelesaikan soal.
Miskonsepsi dalam menyamakan penyebut ini terjadi saat siswa menyelesaikan soal ,
soal 3, dan soal 4.
Miskonsepsi dalam menyamakan penyebut ini terjadi pada tahap attack, semua
subjek dalam penelitian ini mengalami miskonsepsi dalam menyamakan penyebut.
Salah satu siswa yang mengalami miskonsepsi dalam menyamakan penyebut adalah
siswa A dan B. Siswa menganggap menyamakan penyebutnya dengan cara dikalikan
bukan dicoret untuk mendapatkan hasil pembilang yang baru. A beranggapan setelah
mengkalikan penyebut bisa langsung menjumlahkan pembilangnya. Seharusnya bahwa
penyebut (x2-1)(x+1) dibagi 𝑥2 - 1 hasilnya x+1 sehingga pembilang dikali dengan 2
menjadi 2𝑥+2. Untuk langkah selanjutnya yang dilakukan untuk menyelesaikan soal 2
adalah dengan menjumlahkan kedua pecahan tersebut.
Konsep yang diasumsikan benar oleh siswa ini merupakan miskonsepsi. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan Ozkan EM dan Ozkan A (2012) bahwa miskonsepsi
adalah salah konsep atau mengonsepkan yang diasumsikan benar dan digunakan sebagai
suatu kebiasaan. Untuk menggali lebih dalam miskonsepsi yang dialami siswa pada
langkah ini, peneliti memberi soal tambahan yang lebih sederhana. Dari jawaban siswa
terlihat bahwa siswa menggunakan cara yang sama, yaitu mengalikan pembilangnya
dengan penyebutnya sendiri.
Siswa yang mengalami miskonsepsi dalam menjumlahkan suku sejenis adalah
siswa A. Siswa mengalami miskonsepsi pada langkah menjumlahkan suku sejenis, yaitu
mengoperasikan 4𝑥4y+6b-(-2)-8𝑥4y+7 menjadi −4x4y+12b+7 karena siswa
menganggap bahwa 6b-(-2)=12b. Konsep suku sejenis adalah jika bentuknya memiliki
faktor aljabar yang sama, jika tidak memiliki faktor aljabar yang sama maka suku tidak
sejenis (NCERT, 2012). 8 dan 2𝑥 tidak memiliki faktor aljabar yang sama sehingga
merupakan suku tidak sejenis.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurlita (2016) dalam Jurnalnya yang berjudul “
Wawancara Klinis Berbantuan Media Blok Aljabar Dalam Mengatasi Kesulitan Siswa
Memfaktorkan Polinom Berderajat Dua “Berdasarkan analisis dan pembahasan yang
telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa wawancara klinis berbantuan media blok
aljabar dapat mengatasi kesulitan siswa dalam materi memfaktorkan bentuk polinom
berderajat dua di kelas XI MIA SMA Negeri 9 Singkawang. Hal ini ditandai dengan

13
penurunan kesalahan siswa dilihat dari pretest dan postest. Dari perubahan jawaban
siswa dalam menjawab soal postest dapat dikatakan bahwa wawancara klinis
berbantuan media blok aljabar memberikan dampak positif yang sangat baik untuk
mengatasi kesulitan siswa dalam memfaktorkan polinom berderajat dua. Diperoleh
kesimpulan umum bahwa wawancara klinis berbantuan media blok aljabar dapat
membantu mengatasi kesulitan siswa dalam memfaktorkan polinom berderajat dua
dengan langkah-langkah: (1) memberikan pertanyaan-pertanyaan menelusur untuk
mengetahui pemikiran siswa dalam memfaktorkan polinom berderajat dua, dan (2)
memberikan treatment kepada siswa untuk mengatasi kesulitan yang dialami dengan
menggunakan wawancara klinis berbantuan media blok aljabar.
Sejalan dengan penelian yang dilakukan oleh Sarlina (2015) dengan hasil
penelitiannya miskonsepsi yang dialami siswa kelas X5 SMA Negeri 11 Makassar
dalam menyelesaikan soal pokok bahasan persamaan kuadrattergolong tinggi.
Miskonsepsi yang terjadi pada tiap–tiap subyek dapat terletak dalam hal: (1)
Menyatakan ulang sebuah konsep, (2) Mengklasifikasikan objek menurut sifat–sifat
tertentu sesuai dengan konsepnya, (3) Memberi contoh pada suatu konsep, (4)
Menggunakan dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau operasi tertentu, (5)
Mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah. Adapun pesentase
miskonsepsisiswa dalam menyelesaikan soal pokok bahasan persamaan kuadrat,
yaitusiswa yang berkemampuan tinggi (KT) dengan miskonsepsi17%, siswa yang
berkemampuan sedang (KS) sebanyak 27%, dan siswa yang berkemampuan rendah
(KR) dengan miskonsepsi sebanyak 41%.
Selanjutnya NCERT (2012) menjelaskan bahwa suku yang tidak sejenis tidak
dapat dijumlahkan atau dikurangkan sehingga. Siswa mengalami miskonsepsi pada
langkah menjumlahkan suku sejenis diduga karena pemahaman yang rendah terhadap
konsep operasi suku sejenis. Hal ini sesuai dengan pendapat Ozkan (2011) bahwa
pemahaman yang rendah terhadap suatu konsep menjadikan siswa membuat pengertian
sendiri terhadap konsep tersebut.
Maka kesimpumlan dari hasil penelitian ini ialah penyebab miskonsepsi secara
umum yaitu berasal dari siswa, guru / pengajar, buku teks, konteks,dan cara mengajar.
Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti prakonsepsi
awal, kemampuan, tahap perkembangan, minatnya terhadap pelajaran matematika, cara

14
berpikir dan teman lain. Penyebab dari kesalahan guru dapat berupa ketidakmampuan
atau sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. jarangnya konsep
diajarkan di kelas. Rendahnya keinginan dan minatsiswa untuk belajar konsep dan
menggunakan rumus.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap miskonsepsi pada
penyelesaian soal aljabar pada dua siswa dengan latar belakang sekolah SMP yang
berbeda maka peneliti mendapatkan kesimpulan, yaitu semua subjek dalam penelitian
ini mengalami miskonsepsi dalam menyamakan penyebut. Salah satu siswa yang
mengalami miskonsepsi dalam menyamakan penyebut adalah siswa A dan B. Siswa
menganggap menyamakan penyebutnya dengan cara dikalikan bukan dicoret untuk
mendapatkan hasil pembilang yang baru. A beranggapan setelah mengkalikan penyebut
bisa langsung menjumlahkan pembilangnya. Seharusnya bahwa penyebut (x2-1)(x+1)
dibagi 𝑥2 - 1 hasilnya x+1 sehingga pembilang dikali dengan 2 menjadi 2𝑥+2. Untuk
langkah selanjutnya yang dilakukan untuk menyelesaikan soal 2 adalah dengan
menjumlahkan kedua pecahan tersebut.
Siswa juga mengalami miskonsepsi dalam menjumlahkan suku sejenis. A.Ozkan
(2011) bahwa pemahaman yang rendah terhadap suatu konsep menjadikan siswa
membuat pengertian sendiri terhadap konsep tersebut.

SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka beberapa hal yang disarankan yaitu metode
mengajar yang tidak tepat berdasarkan situasi, kondisi, materi yang diajarkan dan
karakteristik peserta didik dapat memunculkan miskonsepsi, sehingga harus dipilih
strategi pembelajaran yang tepat agar penyampaian konsep dapat dipahami dengan
benar. Selain itu, miskonsepsi dapat disebabkan karena pengalaman sehari-hari yang
tidak sesuai dengan konsep matematika, maka pengajar perlu mengungkapkan asal dari
pengalaman yang menyebabkan miskonsepsi untuk mengetahui penyebabnya, kemudian
membetulkan dengan konsep yang benar dengan memberikan pengalaman yang sesuai
dengan konsep matematika.

15
Saran yang dapat peneliti berikan terkait dengan penelitian yang telah dilakukan,
yakni miskonsepsi pada penyelesaian soal aljabar siswa kelas VIII bahwa miskonsepsi
ini dapat dikembangkan dengan pemberian scaffolding guna meminimalisir dan
menghilangkan miskonsepsi.

DAFTAR PUSTAKA
Amalia & Surya. 2017. The Analysis of Math Anxiety Students in X Grade Smk.
International Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR). Volume
33, No 2, pp 217-224.
Hasratuddin. (2015). Mengapa Harus Belajar Matematika?.Medan: Perdana Publishing.
Herutomo, R. A. & Saputro, T. E. M. (2014). Analisis Kesalahan dan Miskonsepsi
Siswa Kelas VIII Pada Materi Aljabar. Jurnal Ilmu Pendidikan dan
Pengajaran,1(2), 173-184.
Lubis, Panjaitan, Surya, & Syahputra. 2017. Analysis Mathematical Problem Solving
Skills of Student of the Grade VIII-2 Junior High School Bilah Hulu Labuhan
Batu. International Journal of Novel Research in Education and Learning
(Novelty Journals). Vol. 4, Issue 2, pp: 131-137.
Nasution, P. R., Surya, E. & Syahputra, E. 2015. Perbedaan Peningkatan Kemampuan
Berpikir Kreatif Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa Pada Pembelajaran
Berbasis Masalah dan Pembelajaran Konvensional di SMPN 4 Padangsidimpuan.
Paradikma Jurnal Pendidikan Matematika, Vol. 8 No.3.
NCERT (National Council of Educational Research and Training). 2012. New Delhi:
National Institute of Education.
Nurlita, Zubainur M . C, Ahmad A, & Saiman. 2016. Miskonsepsi Konsep Prasyarat
Aljabar Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Jurnal Didaktik
Matematika. Vol. 3 No. 2, Pp 85-95
Natalia K. T, Subanji, Sulandra I. M. 2016. Miskonsepsi Pada Penyelesaian Soal
Aljabar Siswa Kelas Viii Berdasarkan Proses Berpikir Mason. Jurnal Pendidikan.
Vol. 1, No. 10, Bln Oktober, Thn 2016, Hal 1917—1925.
Ozkan, E.M. & Ozkan, A. 2012. Misconseption in Exponential Numbers in IST and
IIND Level Primary School Mathematics.
Procedia-Social and Behavioral Sciences (46): 65—69.

16
Peranginangin & Edy Surya. 2017. An Analysis of Students’ Mathematics Problem
Solving Ability in VII Grade at SMP Negeri 4 Pancurbatu. International Journal
of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR). Volume 33, No 2, pp 57-67.
Rizqi,N.R., & Surya,E. 2017. An Analysis Of Students’ Mathematical Reasoning
Ability In VIII Grade Of Sabilina Tembung Junior High School. International
Journal Of Advance Research And Innovative Ideas In Education (IJARIIE). Vol-
3 Issue-2.
Sarlina. 2105. Miskonsepsi Siswa Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Pada
Pokok Bahasan Persamaan Kuadrat Siswa Kelas X5 Sma Negeri 11 Makassar.
Jurnal Matematika dan Pembelajaran. Volume 3, Nomor 2, Desember 2015, Pp
194-209.
Surya & Syahputra. 2017. Improving High-Level Thinking Skills by Development of
Learning PBL Approach on the Learning Mathematics for Senior High School
Students. International Education Studies Published by Canadian Center of
Science and Education. Vol. 10, No. 8 pp.
Surya, Putri, & Mukhtar. 2017. Improving Mathematical Problem-Solving Ability And
Self-Confidence Of High School Students Through Contextual Learning Model.
Journal on Mathematics Education. Volume 8, No. 1, January 2017, pp. 85-94.
Siregar, Surya, & Syahputra. 2017. Quality Analysis Of Multiple Choice Test And
Clasical Test At X Grade Students Of Senior High School. IJARIIE. Vol-3 Issue-
2, pp
Suhartini, I., Syahputra,E.,&Surya,E. 2016. Pengaruh Pembelajaran Kontekstual
Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik. Paradigma. Vol. 9, No.
3, pp 62 – 71.
Titikisumawati, E. (2013). Analisis Miskonsepsi terhadap Operasi Penjumlahan dan
Pengurangan Bilangan Bulat menggunakan Garis Bilangan pada Mahasiswa
STAIN Salatiga. Jurnal Pendidikan, 3(1), 3-16.

17

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai