OLEH :
KELOMPOK IX
Penulis
DAFTAR ISI
SEDIAAN TETES MATA
FENILEFRIN
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui formula untuk pembuatan sediaan tetes mata fenilefrin
2. Mengetahui proses untuk pembuatan sediaan tetes mata fenilefrin
1.4 Manfaat
Hasil praktikum ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui bagaimana membuat
sediaan tetes mata fenilefrin serta proses pembuatan sediaan tetes mata fenilefrin dari
formula yang dibuat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
(FI IV :667)
Fenilefrin HCl
membentuk
mudah merupakan
tidak stabil tidak tahan kompleks fenilefrin stabil
teroksidasi sediaan multiple
cahaya pemanasan dengan pada pH 4-7
oleh cahaya dose
logam
menggunakan
menggunakan
sterilisasi dibuat sediaan
wadah diberikan diberi diberikan
filtrasi : dengan rentang
yg terlindung antioksidan pengawet chelating agent
pembuatan pH 4-7
dari cahaya
secara aseptis
METODE PELAKSANAAN
Macam-macam Formulasi
A. Formula 1
No Nama bahan Jumlah
1 Phenylephrine HCl 125 mg
2 Sodium metabisulfit 100 mg
3 Disodium edetat 50 mg
4 Sodium chloride 700 mg
5 BKC 0,02 ml
6 WFI ad 100 ml
( Martindale 28th, page 25)
B. Formula 2
No Nama bahan Jumlah
1 fenileprine HCl 1g
2 Dinatri edetat 5 mg
3 Natri furosulfis 10 mg
4 Benzalkonium chloridum 1 mg
5 Aqua Pro Injeksi 10 ml
(FORNAS ed 2:421)
C. Formula 3
No Nama Bahan jumlah
1 Water purified 2 mg
2 Sodium citrate dyhidrate 1,10 mg
3 Sodium metabisulfit 7,10 mg
4 Sodium chloride 1,32 mg
5 Phenyleprin HCl 2,75 mg
6 Zinc sulfat 0,533 mg
7 1 N Sodium hydroxide qs
(Handbook Of Pharmaceuticl Mnufacturing Formulation Sterile)
3.3 Metode Pembuatan
A. Formula
No Nama Bahan Fungsi Jumlah yang Dalam
dibutuhkan sediaan 20 ml
1 Fenileprin HCl Bahan aktif 125 mg 25 mg
2 Sodium Metabisulfit Antioksidan 100 mg 20 mg
3 Disodium EDTA Chellating Agent 50 mg 1 ml
4 NaCl Agen pengisotonis 700mg 140 mg
5 Benzalkonium klorida Pengawet 0,02 ml 4 ml
6 Aqua pro injeksi Pelarut Ad 100 ml Ad 20 ml
B. Pengambilan Bahan
No Nama Bahan Jumlah yang Jumlah yang Ditimbang Diperiksa
dibutuhkan ditimbang Oleh Oleh
1 Fenileprin HCl 0,025 g 0,025 g Yogye Atin
2 Sodium Metabisulfit 2 ml 2 ml Yogye Atin
3 Disodium EDTA 5 ml 5 ml Faiz Yogye
4 NaCl 0,14 g 0,14 g Faiz Yogye
5 Benzalkonium klorida 4 ml 4 ml Yogye Faiz
6 WFI Ad 20 ml Ad 20 ml Faiz Atin
Perhitungan
Untuk 20 ml
125 𝑚𝑔
1) Fenileprin HCl : 𝑥 20 𝑚𝑙 = 25 𝑚𝑔 = 0,025 𝑔
100 𝑚𝑙
100 𝑚𝑔
2) Sodium metabisulfit : 100 𝑚𝑙 𝑥 20 𝑚𝑙 = 20 𝑚𝑔 = 0,1 %
Yang tersedia 1% : V1 . N1 = V2 . N2
: 20 ml.0,1% = V2. 1 %
V2 = 2 ml
50 𝑚𝑔
3) Disodium Edetat : 100 𝑚𝑙 𝑥 20 𝑚𝑙 = 10 𝑚𝑔
4.2 Saran
Sediaan disimpan dalam wadah tertutup rapat tidak tembus cahaya karena
bahan aktif yang tidak stabil terhadap cahaya. Pada saat menggunakan sediaan cuci
tangan terlebih dahulu.
SEDIAAN INJEKSI ANTALGIN
BAB I
PENDAHULUAN
Formulasi sediaan steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang banyak
dipakai, terutama saar pasien dirawat di rumah sakit. Sediaan steril sangat membantu pada
saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka terbuka yang harus diobati, dan
sebagainya. Semuanya sangat membutuhkan kondisi steril karena pengobatan yang langsung
bersentuhan dengan sel tubuh, lapisan mukosa organ tubuh, dan dimasukkan langsung ke
dalam cairan atau rongga tubuh sangat memungkinkan terjadinya infeksi bila obatnya tidak
steril. Oleh karena itu, kita memerlukan sediaan obat yang steril. Di samping steril, kita pun
memerlukan sediaan obat dalam kondisi isohidris dan isotonis agar tidak mengiritasi.
Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup. Pada prinsip ini termasuk sediaan parenteral mata dan irigasi.
Sediaan parenteral ini merupakannsediaan yang unik diantara bentuk obat terbagi-bagi,
karena sediaan ini disuntikan melalui kulit atau membran mukosa ke bagian dalam tubuh.
Karena sediaan mengelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yakni
membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari
komponen toksis, dan harus mempunyai tingkat kemurnian tinggi atau luar biasa. Semua
komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini harus dipilih dan dirancang
untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah fisik, kimia, atau mikrobiologis.
Wadah yang digunakan untuk produk injeksi, salah satunya adalah vial. Vial
adalah wadah gelas yang umumnya digunakan untuk dosis ganda, dengan kapasitas 5 ml, 10
ml, dan seterusnya. Pelarut yang digunakan aqua, non aqua (minyak/ non minyak). Wadah
dosis ganda adalah wadah yang memungkinkan dapat diambil isinya beberapa kali tanpa
mengakibatkan perubahan kekuatan, mutu atau kemurnian sisa zat dalam wadah tersebut.
Wadah dosis ganda dilengkapi dengan penutup karet dan plastik untuk
memungkinkan penusukkan jarum suntik tanpa membuka atau merusak tutup. Bila jarum
ditarik kembali melindungi isi dari kontaminan luar.
1.3 Tujuan
KAJIAN PUSTAKA
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk yang halus
dilartkan atau disuspensikan dahulu sebelum digunakan secara parenteral, suntikan
dengan cara menenbus, atau merobek jaringan kedalam atau melalui kulit atau selaput
lendir.
Suatu sediaan paren teral harus steril karena sediaan ini diinjeksikan atau disuntikkan
melalui kulit atau membran mukosa ke dalam kompartemen tubuh yang paling dalam.
Sediaan parenteral memasuki pertahanan tubuh yang memiliki efisiensi tinggi yaitu kulit
dan membran mukosa sehingga sediaan parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba
dan bahan beracun serta harus memiliki kemurnian yang dapat diterima. Cara pembuatan
obat yang baik (CPOB) mensyratkan pula tiap wadah injeksi harus diaamti satu persatu
secara fisik. Dalam pembuatan obat suntik, syarat utamanya ialah obat harus steril, tidak
terkontaminasi pirogen, mikroorganisme dan partikel, serta dalam wadah yang menjamin
sterilitas.
1. Sediaan obat harus jernih. Jernih maksudnya tidak ada partikel yang tidak larut
dalam sediaan tersebut. Jadi, meskipun sediaan berwarna, tetap terlihat jernih
(tidak keruh)
2. Tidak berwarna. Maksudnya sediaan bisa saja berwarna, namun warna larutan
sama dengan warna zat aktifnya sehingga tidak ada campuran warna lain dalam
sediaan itu.
3. Bebas dari partikel asing. Partikel asing yang bukan penyusun obat. Sumber
partikel bisa berasal dari air, bahan kimia, personil yang berkerja, serat dari alat
atau pakaian personil, alat-alat, lingkungan, pengemas (gelas,atau plastik).
4. Keseragaman volume atau berat.
5. Memenuhi uji kebocoran. Terutama untuk injeksi yang dikemas dalam ampul.
2.3. Keuntungan dan Kerugian Sediaan Injeksi
2.3.1 Keuntungan
1. Respon fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang menjadi
pertimbangan utama dalam kondisi klinik seperti gagal jantung, asma, shock.
2. Terapi parenteral diperlukan untukobat-obat yang tidak efektif secara oral atau
yang dapat dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin, hormon dan
antibiotik.
3. Obat-obat untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau tidak sadar harus
diberikan secara injeksi.
4. Bila memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari ahli karena
pasien harus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga dalam beberapa kasus,
pasien tidak dapat menerima obat secara oral.
5. Penggunaan parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila diinginkan
seperti pada gigi dan anestesi.
6. Aksi obat biasanya lebih cepat.
2.3.2 Kerugian
1. Bentuk sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan membutuhkan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan pemberian rute lain. Pada pemberian
parenteral dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk pengerjaan secara aseptik dari
beberapa rasa sakit tidak dapat dihindari.
2. Beberapa rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien, terutama bila
sulit untuk mendapatkan vena yang cocok untuk pemakaian i.v.
3. Risiko, kalau alergi atau salah obat maka tidak bisa langsung dihilangkan
4. Tidak praktis
Antalgin termasuk derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang mudah larut dalam air
dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral di otak dalam menghilangkan
nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin mempengaruhi
hipotalamus dalam menurunkan sensitifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang
mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986).
Sebagai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah
sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan
dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek analgetik opiat, obat ini
tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping sentral yang merugikan. Sebagai
antipiretik, obat ini akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. Kerja
analgetik antalgin lebih besar dibandingkan dengan kerja antipiretik yang dimilikinya.
Sedangkan efek antiinflamasinya sangat lemah (Ganiswara,1981).
Fase farmakokinetik adalah perjalanan antalgin mulai titik masuk ke dalam badan
hingga mencapai tempat aksinya. Antalgin mengalami proses ADME yaitu absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi yang berjalan secara simultan langsung atau tidak
langsung melintasi sel membrane (Anief, 1990).
Pada pemberian secara oral senyawa diserap cepat dan sempurna dalam saluran cerna.
Terdapat 60% antalgin yang terikat oleh protein plasma, masa paru dalam plasma 3 jam.
Obat ini dimetabolisme di hati menjadi metabolit utama dan diekskresi melalui ginjal
(Widodo, 1993).
Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama penggunaan obat
yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat menimbulkan kasus agranulositosis
fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama penggunaan obat ini perlu dilakukan uji
darah secara teratur (Lukmanto, 1986).
Efek samping lain yang mungkin terjadi ialah urtikaria, leukopenia, trombopenia.
Terutama pada pasien usia lanjut terjadi retensi Na dan air dengan edema. Pada kelebihan
dosis, terjadi hipotensi, nafas terengah-engah, torus otot meninggi, rahang menutup,
kehilangan kesadaran dan serangan kram/kejang cerebral (Widodo, 1993).
5. Data Lain :
Pemerian serbuk hablur, putih atau putih kekuningan. Metanpiron mengandung
tidak kurang dari 89,0% dan tidak lebih dari 101,0% (FI V , hal 833)
4. Data Stabilitas :
Air secara kimiawi stabil di semua keadaan fisik (es, cair, dan uap air). Air
meninggalkan sistem pemurnian farmasi dan memasuki tangki penyimpanan harus
memenuhi persyaratan khusus. Target ketika merancang dan mengoperasikan
sistem penyimpanan dan distribusi untuk menjaga agar air tidak melebihi batas
yang diizinkan selama penyimpanan. Dikhususnya, sistem penyimpanan dan
distribusi harus memastikan air dilindungi terhadap kontaminasi ionik dan
organik, yang akan menyebabkan peningkatan konduktivitas dan total karbon
organik. Sistem juga harus dilindungi terhadap fisik masuknya partikel asing dan
mikroorganisme sehingga mikroba pertumbuhan dicegah atau diminimalkan.
5. Inkompatibilitas :
Dalam formulasi farmasi, air dapat bereaksi dengan obat dan eksipien lain yang
rentan terhadap hidrolisis (dekomposisi dalam keberadaan air atau uap air) pada
lingkungan dan tinggi suhu. Air dapat bereaksi dengan keras dengan logam alkali
dan dengan cepat logam alkali dapat mengoksida , seperti kalsium oksida dan
magnesium oksida. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk terbentuk
hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan organik tertentu bahan dan kalsium
karbida.
6. Data Lainnya :
USP 32 menggambarkan WFI sebagai air yang dimurnikan melalui proses distilasi
atau RO. Tidak mengandung zat tambahan. The PhEur 6.3 adalah 'air untuk
injeksi' dan terdiri dari dua bagian: ‘air untuk injeksi dalam jumlah besar 'dan' air
yang disterilkan untuk injeksi ‘. Itu PhEur 6.3 menyatakan bahwa air untuk injeksi
dihasilkan melalui proses distilasi (Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th
Edition, hal 766).
Tinjauan sifat fisika - kimia Natrium Klorida
1. Rumus Molekul : NaCl
2. Berat Molekul : 58.44 g/mol
3. Data Kelarutan Dalam Berbagai Pelarut :
Kelarutan pada suhu 20oC kecuali dinyatakan lain
Ethanol : Sedikit larut
Ethanol (95%) : 1 dalam 250
Gliserin : 1 dalam 10
Air : 1 dalam 2,8
1 dalam 2,6 at 100oC
4. Data Stabilitas :
Larutan natrium klorida encer stabil tetapi dapat menyebabkan pemisahan partikel
kaca dari jenis wadah kaca tertentu. Larutan encer dapat disterilkan dengan
autoklaf atau filtrasi. Bahan padat stabil dan harus disimpan di tempat yang
tertutup rapat wadah, di tempat yang sejuk dan kering. Telah ditunjukkan bahwa
karakteristik pemadatan dan sifat mekanik tablet dipengaruhi oleh kerabat
kelembaban kondisi penyimpanan di mana natrium klorida disimpan.
5. Inkompatibilitas :
Larutan natrium klorida encer bersifat korosif terhadap zat besi. Mereka juga
bereaksi untuk membentuk endapan dengan garam perak, timah, dan merkuri. zat
pengoksidasi kuat membebaskan klorin dari larutan natrium klorida yang
diasamkan . Kelarutan metilparaben pengawet antimikroba berkurang dalam
larutan natrium klorida encer dan viskositas gel karbomer dan larutan hidroksietil
selulosa atau hidroksipropil selulosa dikurangi dengan penambahan Natrium
klorida.
6. Data Lain :
Sodium klorida terjadi sebagai bubuk kristal putih atau tidak berwarna kristal; ini
memiliki rasa asin. Kisi kristal berpusat pada wajah struktur kubik. Natrium
klorida padat tidak mengandung air kristalisasi meskipun, di bawah 0oC, garam
dapat mengkristal sebagai dihidrat. ( Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th
Edition, hal 637)
BAB III
METODE PELAKSANAAN
1. Sediaan yang ingin dibuat adalah injeksi metampiron dengan volume 5,3 ml.
2. Dosis yang ingin dibuat adalah 250mg/ml
3. pH yg ingin dibuat adalah 6- 7
4. kemasan yang ingin dibuat adalah vial
Alat :
Bahan :
a. Formula Baku
Bahan Jumlah
Metampiron 500 mg/ml
Na-bisulfit 0,1%
Benzalkonium klorida 0,01%
Aqua PI Ad 5 ml
Bahan Jumlah
Dipiron 50 g
Na-bisulfat 100 mg
Aqua PI Ad 100 ml
3. Kemenkes RI,1966
Bahan Jumlah
Antalgin 15 g
Aqua PI Ad 50 ml
Bahan Jumlah
Dypirone 500 mg
Chlorobutanol 4 mg
Benzyl alcohol 2%
Sodium hydroxide qs
Hydrochloric acid qs
Water of injection qs
Nitrogen gas qs
b. Pengambilan Bahan
Untuk 30 ml
250 𝑚𝑔
a. Dypirone : x 30 ml = 750 mg ~7.5 g
1 𝑚𝑙
100 𝑚𝑔
b. Na-tiosulfat : x 30 ml = 30 mg
100 𝑚𝑙
1𝑔 0,03 𝑔
Sediaan yang tersedia larutan Na-tiosulfat 1% : 100 𝑚𝑙 x =3 ml
𝐴
X = 1.425 g NaCl
Na-tiosulfat : 0.03 g
1 𝑔 𝑁𝑎−𝑡𝑖𝑜𝑠𝑢𝑙𝑓𝑎𝑡 0.03 𝑔 𝑁𝑎−𝑡𝑖𝑜𝑠𝑢𝑙𝑓𝑎𝑡
Ekivalensi Na-tiosulfat dg NaCl : =
0.31 𝑔 𝑁𝑎𝐶𝑙 𝑥
X = 0.0093 g NaCl
Total : 1.425 g + 0.0093 g = 1.4343 g
0.9 𝑔
NaCl yg dibutuhkan : 100 𝑚𝑙 x 30 ml =0.27 g
e. Prosedur Pengolahan
No Aktivitas Pengawasan selama proses
1 Ditimbang metampiron 7.5 g Penimbangan menggunakan timbangan
kasar, ditimbang metampiron sebanyak
7.5 g
2 Diambil WFI sebanyak 15 ml Diambil WFI sebanyak 3x5 ml
menggunakan spuit 5 ml
3 larutkan metampiron dengan Dilarutkan metampiron dengan WFI
WFI sebanyak 15 ml, diaduk sebanyak 15 ml, diaduk ad larut
ad larut (Campuran 1)
4 Diambil Na-tiosulfat sebanyak Diambil Na-tiosulfat sebanyak 3 ml
3 ml menggunakan spuit 5 ml
5 Tambahkan Na-tiosulfat Tambahkan Na-tiosulfat sebanyak 3 ml
sebanyak 3 ml pada campuran pada campuran 1, aduk ad homogen
1, aduk ad homogen
6 Cek pH larutan, jika pH tidak Di dapat pH 7
memasuki rentang 6-7 maka
diadjust dengan menggunakan
NaOH jika pH < 6 , HCl jika
pH > 7 kemudian pH dicek lagi
7 Tambahkan sisa WFI sebanyak Tambahkan sisa WFI sebanyak 4.5 ml.
4.5 ml Aduk ad homogen
8 Disaring menggunakan kertas Disaring menggunakan kertas saring
saring Whattman Whattman
Keterangan
o Kontrol (+) : untuk mengetahui kemampuan media dalam menumbuhkan
mikroorganisme (jamur dan kapang)
o Kontrol (-) : untuk mengetahui sterilitas media yang digunakan
4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dibuat sediaan steril vial menggunakan bahan aktif metampiron
250mg/ml dengan bahan tambahan Na-tiosulfat sebagai antioksidan serta pelarut WFI
(water for injection). Proses sterilisasi dengan cara autoklaf (suhu 121°C). Sediaan
injeksi harus dibuat steril bertujuan mencegah terjadinya infeksi oleh mikroorganisme
yang masuk kedalam tubuh lewat sediaan obat yang diinjeksikan. Sediaan injeksi dapat
diberikan melalui rute subkutan, intraperitoneal, rute intramusukular dan rute intravena.
Sediaan injeksi memiliki keuntungan yaitu memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan
rute peroral dan ditujukan untuk obat yang tidak stabil pada asam lambung, mengiritasi
lambung dan absorpsinya rendah pada gastrointestinal. Kerugian sediaan injeksi adalah
rasa nyeri saat injeksi obat serta rentang terjadinya infeksi, perlu keahlian khusus dalam
penggunaannya.
Sediaan yang telah dibuat diuji sterilitas menggunakan media tioglikolat cair dan case
amino. Pada media tioglikolat cair digunakan untuk mengetahui pertumbuhan bakteri
aerob sedangkan pada case amino media ini digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
kapang dan jamur. Media yang telah dibuat dan sudah disterilisasi, dilakukan uji
inokulasi langsung dengan sediaan injeksi antalgin masing-masing diambil 1 ml
menggunakan spuit dan dimasukkan ke dalam media, kemudian tabung reaksi ditutup
dengan alumunium foil. Lalu, media tioglikolat cair diinkubasi pada suhu 30-35°C
sedangkan media case amino diinkubasi pada suhu 20-25°C dan diamati pada hari ke-7
dan ke-14.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada kedua media yaitu media tioglikolat cair
dan case amino jika dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif tidak ada
perubahan warna atau kekeruhan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil praktikum ini
negatif atau tidak ada pertumbuhan bakteri dan jamur pada kedua media tersebut. Hal ini
ditandai dengan kejernihan sesuai dengan kontrol negatif.
BAB V
KESIMPULAN
Dari pembahasan atas dapat disimpulkan bahwa sediaan injeksi antalgin dibuat
sebanyak 5 ml dalam bentuk vial dengan dosis 125mg/ml. Sediaan yang dibuat
memenuhi persyaratan yaitu yang diinginkan yaitu pH 7, tidak terjadi kebocoran dan
larutan jernih. Sediaan injeksi antalgin dilakukan uji sterilitas dengan diberi perlakuan
menggunakan media tioglikolat cair dan case amino. Dari hasil uji sterilitas dapat
diketahui bahwa sediaan injeksi antalgin bebas dari mikroba dan meme
Daftar Pustaka
Anief, M., 1990, Ilmu Meracik Obat, 52, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ansel, H. C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke-4, UI-Press, Jakarta.
Ganiswara, 1981, Farmakologi dan Terapi. Edisi 2. Bagian Farmakologi dan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Allen, L. V., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Rowe R. C.,
Sheskey, P. J., Queen, M. E., (Editor), London, Pharmaceutical Press and American
Pharmacists Assosiation
Lukmanto, H., 1986, Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia, Edisi II, Jakarta.