Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

FARMASETIKA SEDIAAN STERIL


(Sediaan Tetes Mata Fenilefrin dan Sediaan Injeksi Antalgin)

OLEH :
KELOMPOK IX

Yogye Eka Pratama (201510410311170)


Yanuarika Ananda Putri (201510410311176)
Atin Wafirotun Mashuroh (201510410311201)
Anis Nurfaizah (201510410311202)
Ade Ulfa Ismaniya (201510410311206)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah subhanahuwata’ala, karena berkat


rahmatnya kami dapat menyelesaikan “LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM SEDIAAN
INJEKSI ANTALGIN DAN TETES MATA FENILEFRIN” Laporan akhir ini disusun untuk
memenuhi tugas praktikum farmasetika sediaan steril.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
laporan ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Laporan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan laporan ini. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat
dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Malang, 26 Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI
SEDIAAN TETES MATA
FENILEFRIN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan yang pesat dibidang kedokteran dan farmasi telah menyebabkan
produksi berbagai jenis obat meningkat sangat tajam. Setiap perilaku kesehatan dapat
dilihat sebagai fungsi pengaruh kolektif salah satunya dari faktor predisposisi antara lain
pengetahuan, sikap dan persepsi. (ISFI,2008)
Obat tetes mata (opthalmika) adalah tetes mata (oculoguttae), salep mata
(oculenta),pencuci mata (collyria) dan beberapa bentuk pemakaian khusus (lamela dan
penyemprot mata) serta inserte sebagai bentuk depo, yang ditentukan untuk digunakan
pada mata utuh atau terluka. Obat mata digunakan untuk menghasilkan efek diagnostik
dan terapetik lokal, dan yang lain untuk merealisasikan kerja farmakologis, yang terjadi
setelah berlangsungnya penetrasi bahan obat, dalam jaringan yang umumnya disekitar
mata. Mata merupakan organ yang paling peka dari manusia, sehingga sediaan obat mata
mensyaratkan kualitas yang lebih tajam. Tetes mata harus efektif dan tersatukan secara
fisiologis (bebas rasa nyeri, tidak merangsang) dan steril (Voigt, 1995).
Tetes mata adalah larutan steril bebas partikel asing, merupakan sediaanyang
dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai untuk digunakan pada mata (FI IV).
Fenileprin adalah obat yang biasanya digunakan untuk meredakan sementra
hidung, sinus, dan telinga. Dalam bentuk tetes digunakan juga sebagai obat mata pada
penyakit tertentu dan memperbesar pupil mata, baik sebelum atau sesudah operasi.
Dalam sediaan opthalmic phenylephrine digunakan sebagai midriatik dalam konsentrasi
tinggi 10 %. ( martindale edisi 36 )
Secara umum tetes mata lebih stabil dari pada salep mata, meskipun salep dengan
obat yang larut dalam lemak diabsorbsi lebih baik dari pada larutan/salep yang obat-
obatnya larut dalam air, hal ini tidak mengganggu penglihatan ketika digunakan. Semua
bahan-bahan adalah larut dalam cair, keseragaman tidak menjadi masalah, hanya sedikit
pengaruh sifat fisika.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana formula untuk pembuatan sediaan tetes mata fenilefrin ?
2. Bagaimana proses untuk pembuatan sediaan tetes mata fenilefrin ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui formula untuk pembuatan sediaan tetes mata fenilefrin
2. Mengetahui proses untuk pembuatan sediaan tetes mata fenilefrin

1.4 Manfaat
Hasil praktikum ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui bagaimana membuat
sediaan tetes mata fenilefrin serta proses pembuatan sediaan tetes mata fenilefrin dari
formula yang dibuat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sediaan Tetes Mata


Obat tetes mata (opthalmika) adalah tetes mata (oculoguttae), salep mata
(oculenta),pencuci mata (collyria) dan beberapa bentuk pemakaian khusus (lamela dan
penyemprot mata) serta inserte sebagai bentuk depo, yang ditentukan untuk digunakan
pada mata utuh atau terluka. Obat mata digunakan untuk menghasilkan efek diagnostik
dan terapetik lokal, dan yang lain untuk merealisasikan kerja farmakologis, yang terjadi
setelah berlangsungnya penetrasi bahan obat, dalam jaringan yang umumnya disekitar
mata. Mata merupakan organ yang paling peka dari manusia, sehingga sediaan obat mata
mensyaratkan kualitas yang lebih tajam. Tetes mata harus efektif dan tersatukan secara
fisiologis (bebas rasa nyeri, tidak merangsang) dan steril (Voigt, 1995).
Tetes mata adalah larutan steril bebas partikel asing, merupakan sediaanyang
dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai untuk digunakan pada mata (FI IV).

2.2 Syarat Sediaan


1. Sterilitas pengawet
2. Kejernihan
3. Bahan aktif
4. Buffer
5. Viskostas
6. pH
7. Stabilitas
8. Isotonisitas (tonisitas)

2.3 Keuntungan Dan Kerugian Sediaan Tetes Mata


 Keuntungan
Secara umum tetes mata lebih stabil dari pada salep mata, meskipun salep dengan
obat yang larut dalam lemak diabsorbsi lebih baik dari pada larutan/salep yang obat-
obatnya larut dalam air, hal ini tidak mengganggu mata saat digunakan. Semua bahan-
bahan adalah larut dalam cair, keseragaman tidak menjadi masalah, hanya sedikit
pengaruh sifat fisika.
 Kerugian
Kegurian yang prinsipil dari larutan mata adalah waktu kontak yang relatif
singkat antara obat dan permukaan yang terabsorbsi. Bioavaibilitas obat mata diakui
buruk jika larutannya digunakan secara topikal untuk kebanyakan obat kurang dari 1-
3% dari dosis yang dimasukkan melewati kornea sampai keruang anterior karena
bioavaibilitas obat sangat lambat, hendaknya pasien mematuhi atura dan teknik
pemakaian yang tepat.

2.4 Karakteristik Bahan Aktif


2.4.1 Tinjauan Farmakologi Bahan Obat
Merangsang postsynaptic alpha-reseptor, sehingga kenaikan intens
vasokonstriksi arteri perifer. Penyebab ditandai peningkatan sistolik, diastolik dan
tekanan paru serta refleks bradikardia. Sedikit menurunkan cardiac output dan
meningkatkan aliran darah koroner.
Indikasinya unutuk terapi gagal vaskular shock, hipotensi obat-induced atau
hipersensitivitas; koreksi paroxysmal supraventricular tachycardia; perpanjangan
anestesi spinal; vasokonstriksi di analgesia daerah; pemeliharaan tingkat yang
memadai dari BP selama anestesi spinal dan inhalasi; bantuan sementara dari hidung
tersumbat dan iritasi mata ringan; pelebaran pupil di uveitis; pengobatan glaukoma
sudut terbuka; digunakan dalam prosedur diagnostik (funduscopy) dan sebelum
operasi.
Kontraindikasi hipertensi berat; takikardia ventrikel; pheochromocytoma; 10%
larutan tetes mata kontraindikasi pada bayi dan pasien dengan aneurisma.
(A to Z drug Fact)
2.4.2 Tijauan Sifat Fisikokimia Bahan Obat
1. Rumus Molekul : C9H13NO2.HCl

BM : 203,67 (Martindal 28 : 23)


Rumus Bangun :

(-)-m-hidroksi-alpha[(metilamino)metil] benzil alkohol hidroklorida [61-76-7]

(FI IV :667)

2. Data kelarutan berbagai pelarut


mudah larut dalam air dan dalam etanol (FI IV :667). Sedikit larut dalam air dan
alkohol; sedikit larutdalam metil alkohol; larut dalam asam mineral encer dan dalam
larutan hidroksida alkali . air (1:2) alkohol (1:4) mudah larut dalam air dan alkohol
(Martindale ed 36th)
3. Data stabilitas :
Simpan dalam wadah kedap udara. Lindungi dari cahaya. (Martindale 36: 1568).
Tidak stabil terhadap cahaya, stabilpada pH 3,0-6,5/4,0-7,5, stabil pada suhu 15°C-
30°C, mudah teroksidasi. (FI V:421)
4. Inkompatibilitas :
Dengan anestetik local yaitu bufukain, alkalis, garam-garam, dan sumber oksidasi lain
(martindale ed 36th). Inkompatibilitas fenileprin juga pada obat-obat oksitoksik dan
guanethidin. ( AHFS Drug Information Essensial).
2.4.3 Bagan Alir Bahan Aktif

Fenilefrin HCl

membentuk
mudah merupakan
tidak stabil tidak tahan kompleks fenilefrin stabil
teroksidasi sediaan multiple
cahaya pemanasan dengan pada pH 4-7
oleh cahaya dose
logam

menggunakan
menggunakan
sterilisasi dibuat sediaan
wadah diberikan diberi diberikan
filtrasi : dengan rentang
yg terlindung antioksidan pengawet chelating agent
pembuatan pH 4-7
dari cahaya
secara aseptis

2.5 Karakteristik Eksipien


2.5.1 Tinjauan sifat fisika kimia eksipien Benzalkanium klorida (BKC)
1. Rumus molekul : [C6H5CH2N(CH3)R]Cl2
Bobot molekul : 360
Rumus bangun

2. Data kelarutan dalam berbagai pelarut :


Praktis tidak larut dalam eter; sangat larut dalam aseton, etanol (95%),
methanol, propanol, dan air. larutan air dari benzalkonium klorida berbusa ketika
terguncang, memiliki tegangan permukaan rendah dan memiliki deterjen dan properti
pengemulsi
( Handbook of Pharmaceutical Excipients)
3. Data stabilitas
Benzalkonium klorida bersifat higroskopis dan dapat dipengaruhi oleh
cahaya,udara, dan logam. Larutan distabilkan padapH dan temperatur yang luas
jangkauan dan dapat disterilkan dengan autoklaf tanpa kehilangan efektivitas. Selain
itu larutan dapat disimpan untuk waktu yang lama pada suhu kamar. Larutan dapat
disimpan dalam polyvinyl chloride atau polyurethane wadah busa mungkin
kehilangan aktivitas antimikroba. Bahan massal harus disimpan dalam wadah kedap
udara, terlindung dari cahaya dan kontak dengan logam, di tempat yang sejuk dan
kering. Termasuk dalam obat-obatan nonparenteral berlisensi di Inggris.
( Handbook of Pharmaceutical Excipients)
4. Inkompatibilitas
Tidak kompatibel dengan aluminium, surfaktan anionik, sitrat, kapas,
fluorescein, hidrogen peroksida, hypromellose, iodida, kaolin, lanolin, nitrat,
surfaktan nonionik dalam konsentrasi tinggi, permanganates, protein, salisilat, garam
perak, sabun, sulfonamid, tartrat, seng oksida, seng sulfat, beberapa campuran karet,
dan beberapa campuran plastik. Benzalkonium klorida telah terbukti diserap ke
berbagai membran penyaringan, terutama yang hidrofobik atau anionik.
( Handbook of Pharmaceutical Excipients)
2.5.2 Tinjauan sifat fisika kimia eksipien natrium metabisulfit
1. Rumus molekul : Na2S2O5
Bobot molekul : 190.1
Rumus bangun

2. Data kelarutan dalam berbagai pelarut :


Etanol (95%) : agak mudah larut
Gliserin : sangat mudah larut
Air : 1 : 1.9
: 1 : 1.2 pada suhu 100 0C
( Handbook of Pharmaceutical Excipients)
3. Data stabilitas
Saat terpapar udara dan kelembaban, natrium metabisulfit perlahan-lahan
teroksidasi menjadi natrium sulfat dengan adanya peristiwa disintegrasi
kristal.Dalam air, natrium metabisulfit segera dikonversi ke natrium (Na+) dan ion
bisulfit (HSO3). natrium metabisulfit dalam bentuk cair juga terurai di udara,
terutama pada pemanasan. Solusi yang bisa diatasi yaitu disterilkan dengan
autoklaf dan harus dimasukkan ke dalam wadah yang udaranya telah digantikan
dengan gas inert, seperti nitrogen. Penambahan dekstrosa untuk natrium
metabisulfit dalam bentuk cair dapat membuat penurunan stabilitas metabisulfit
tersebut. Bahan massal harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya, di tempat yang sejuk dan tentunya kering.
( Handbook of Pharmaceutical Excipients)
4. Inkompatibilitas
Natrium metabisulfit bereaksi dengan obat-obat simpatomimetik dan obat-
obatan lain yang orto-orpara-hydroxybenzyl yang masih turunan alkohol yang
membentuk turunan asam sulfonat jadi ia memiliki sedikit atau tidak ada aktivitas
farmakologis. Selanjutnya obat yang membuat inaktivasi ini adalah epinefrin
(adrenalin) dan turunannya. Selain itu natrium metabisulfit tidak sesuai dengan
kloramfenikol karena reaksi yang lebih kompleks; itu juga menginaktivasi cisplatin
dalam larutan.
( Handbook of Pharmaceutical Excipients)
2.5.3 Tinjauan sifat fisika kimia eksipien natrium klorida
1. Rumus molekul : Nacl
Bobot molekul : 58.44

2. Data kelarutan dalam berbagai pelarut :


Ethanol : agak mudah larut dalam air
Ethanol (95%) : 1 : 250
Gliserin : 1 : 10
Air : 1 : 2.8
1 : 2.6 at 1000C
Keasaman / alkalinitas pH = 6,7-7,3 (larutan jenuh)
Sudut istirahat 38o untuk kristal kubik
Titik didih 1413oC
( Handbook of Pharmaceutical Excipients hal 637)
3. Data stabilitas
Larutan natrium klorida stabil tetapi dapat menyebabkan pemisahan partikel
dari jenis tertentu pada wadah kaca. larutan air dapat disterilkan dengan autoklaf
atau filtrasi. Bahan padat stabil dan harus disimpan dalam wadah tertutup baik, di
tempat yang sejuk dan kering. Telah terbukti bahwa karakteristik pemadatan dan
sifat mekanik dari tablet dipengaruhi oleh kelembaban relatif dari kondisi
penyimpanan natrium klorida disimpan.
( Handbook of Pharmaceutical Excipients hal 639)
4. Inkompatibilitas
Larutan natrium klorida bersifat korosif untuk besi. Mereka juga bereaksi
membentuk endapan dengan garam perak, timbal, dan merkuri. Oksidator kuat
membebaskan klorin dari solusi diasamkan natrium klorida. Kelarutan
methylparaben pengawet antimikroba menurun dalam larutan natrium klorida
berair dan viskositas gel karbomer dan larutan dari hidroksietil selulosa atau
hidroksipropil selulosa berkurang dengan penambahan natrium klorida.
( Handbook of Pharmaceutical Excipients hal 639)
BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1 Alat dan Bahan


No Nama wadah Ukuran Jumlah Cara sterilisasi Suhu Waktu
1 Panas Kering
Gelas arloji 8 cm 3 180⁰ 30`
(oven)
2 Panas basah
Batang pengaduk 1 121⁰ 15`
(Otoklaf)
3 Panas basah
Beaker glass 100 ml 1 121⁰ 15`
(Otoklaf)
4 Panas Kering
Pinset 1 180⁰ 30`
(oven)
5 Panas basah
Tutup karet 2 121⁰ 15`
(Otoklaf)
6 Panas basah
Gelas ukur 25 ml 1 121⁰ 15`
(Otoklaf)
7 Panas basah
100 ml 1 121⁰ 15`
(Otoklaf)
8 Panas basah
Erlenmeyer 10 ml 1 121⁰ 15`
(Otoklaf)
9 Panas basah
Corong 50 mm 1 121⁰ 15`
(Otoklaf)
10 Panas basah
Filter Holder 1 121⁰ 15`
(Otoklaf)

3.2 Spesifikasi Rancangan Sediaan

 Macam-macam Formulasi
A. Formula 1
No Nama bahan Jumlah
1 Phenylephrine HCl 125 mg
2 Sodium metabisulfit 100 mg
3 Disodium edetat 50 mg
4 Sodium chloride 700 mg
5 BKC 0,02 ml
6 WFI ad 100 ml
( Martindale 28th, page 25)
B. Formula 2
No Nama bahan Jumlah
1 fenileprine HCl 1g
2 Dinatri edetat 5 mg
3 Natri furosulfis 10 mg
4 Benzalkonium chloridum 1 mg
5 Aqua Pro Injeksi 10 ml
(FORNAS ed 2:421)
C. Formula 3
No Nama Bahan jumlah
1 Water purified 2 mg
2 Sodium citrate dyhidrate 1,10 mg
3 Sodium metabisulfit 7,10 mg
4 Sodium chloride 1,32 mg
5 Phenyleprin HCl 2,75 mg
6 Zinc sulfat 0,533 mg
7 1 N Sodium hydroxide qs
(Handbook Of Pharmaceuticl Mnufacturing Formulation Sterile)
3.3 Metode Pembuatan
A. Formula
No Nama Bahan Fungsi Jumlah yang Dalam
dibutuhkan sediaan 20 ml
1 Fenileprin HCl Bahan aktif 125 mg 25 mg
2 Sodium Metabisulfit Antioksidan 100 mg 20 mg
3 Disodium EDTA Chellating Agent 50 mg 1 ml
4 NaCl Agen pengisotonis 700mg 140 mg
5 Benzalkonium klorida Pengawet 0,02 ml 4 ml
6 Aqua pro injeksi Pelarut Ad 100 ml Ad 20 ml
B. Pengambilan Bahan
No Nama Bahan Jumlah yang Jumlah yang Ditimbang Diperiksa
dibutuhkan ditimbang Oleh Oleh
1 Fenileprin HCl 0,025 g 0,025 g Yogye Atin
2 Sodium Metabisulfit 2 ml 2 ml Yogye Atin
3 Disodium EDTA 5 ml 5 ml Faiz Yogye
4 NaCl 0,14 g 0,14 g Faiz Yogye
5 Benzalkonium klorida 4 ml 4 ml Yogye Faiz
6 WFI Ad 20 ml Ad 20 ml Faiz Atin
 Perhitungan
Untuk 20 ml
125 𝑚𝑔
1) Fenileprin HCl : 𝑥 20 𝑚𝑙 = 25 𝑚𝑔 = 0,025 𝑔
100 𝑚𝑙
100 𝑚𝑔
2) Sodium metabisulfit : 100 𝑚𝑙 𝑥 20 𝑚𝑙 = 20 𝑚𝑔 = 0,1 %

Yang tersedia 1% : V1 . N1 = V2 . N2
: 20 ml.0,1% = V2. 1 %
V2 = 2 ml
50 𝑚𝑔
3) Disodium Edetat : 100 𝑚𝑙 𝑥 20 𝑚𝑙 = 10 𝑚𝑔

Yang tersedia 0,1% : V1 . N1 = V2 . N2


:20 ml . 0,005% = V2 . 0,1%
V2 = 1 ml
700 𝑚𝑔
4) NaCl = 𝑥 20 𝑚𝑙 = 140 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
0,02 𝑚𝑙
5) Benzalkonium Klorida = 100 𝑚𝑙 𝑥 20 𝑚𝑙 = 0,04 𝑚𝑙 = 0,02%

Yang tersedia 0,1% = V1 . N1 = V2 . N2


:20 ml . 0,02% = V2 . 0,1%
V2 = 4 ml
6) Aqua pro injeksi ad 20 ml
 Perhitungan larutan isotonis
Larutan isotonis setara dengan 0,9 % NaCl atau 0,9 g dalam 100 ml
Kesetaraan (per 100 ml) NaCl 0,9 g/100 ml
a Fenileprin HCl = 1 g ~ 0,32 g NaCl
125 mg~ X NaCl
X = 0,04 g NaCl
b Na metabisulfit = 1g ~ 0,67 g NaCl
100 mg ~ X g NaCl
X = 0,067 g
c Benzalkonium Klorida = 1% ~ 0,16 g NaCl
0,02% ~ X g NaCl
X = 0,0032 g NaCl
d Disodium edetat = 1 g ~ 0,32 g NaCl
= 50 mg~ x g NaCl
X = 0,0115 g NaCl
Total NaCl = (0,008 g + 0,0134 g + 0,0032 g + 0,0115 g)
= 0,0361 gram < 0, 09 gram (Hipotonis)
Jadi 0,18 g – 0,0361 g = 0,1439 g NaCl ~ 143, 9 mg NaCl
C. Peracikan
1. Siapkan alat dan bahan
2. Menimbang Fenilefrin 0.025 g (25 mg)
3. Mengukur Na. Metabisulfit 2 ml
4. Mengukur Na. EDTA1ml
5. Mengukur BKC 4 ml
6. Aduk ad larut  ditambah WFI sebanyak 2 ml
7. Cek PH ad 6, jika basa diberi HCL jika asam di beri NAOH ad pH 6
8. Pindah larutan ke gelas ukur ditambah WFI ad 2o ml
9. Sediaan disaring meggunakan kertas saring dan filtratnya di tampung pada
tabung erlenmeyer kecil
10. Melakukan sterilisasi filtrasi
a. Diambil larutan dengan spuit sebanyak 5.4 ml
b. Jarum spuit diganti dengan Filter Holder
c. Masukan kedalam vial secara perlahan
11. Lakukan Bubble Point Test
a. Siapakan spuit 5 ml
b. Pasang Filter Holder
c. Siapakan aquadest 100 ml
d. Celupkan spuit sampai tercelup semua
e. Dorong keluar udara secara perlahan
f. Amati udara/gelembung pertama yang keluar apabila skalanya:
<0,8 ml = buntu
>0,8 ml = bocor
D. Prosedur Pengolahan
Aktivitas Pengawasan selama proses (IPC)
1. Ditimbang Fenilefrin HCl 25 mg 1) Ditimbang Fenilefrin HCl 25 mg
2. Ditimbang Na-metabisulfit 2 ml 2) Ditimbang Na-metabisulfit 2 ml
3. Ditimbang NaCl 0,144 g 3) Ditimbang NaCl 0,144 g
4. Na2-EDTA 2 ml 4) Na2-EDTA 2 ml
5. Diukur benzalkonium klorida 4 ml 5) Diukur benzalkonium klorida 4 ml
6. Fenilfrin HCl dimasukkan kedalam 6) Fenilfrin HCl dimasukkan kedalam
beaker glass (+) WFI q.s ad larut (+) beaker glass (+) WFI q.s ad larut
Na- metabisulfit, diaduk ad larut dan (+) Na- metabisulfit, diaduk ad
homogeny ( campuran 1) larut dan homogeny ( campuran 1)
7. NaCl dilarutkan sendiri dengan WFI 7) NaCl dilarutkan sendiri dengan
qs, lalu dimasukkan ke dalam WFI qs, lalu dimasukkan ke dalam
campuran 1 campuran 1
8. Ditambahkan benzalkonium klorida 8) Ditambahkan benzalkonium
4 ml klorida 4 ml
9. Ditambahkan Na2-EDTA 9) Ditambahkan Na2-EDTA
10. Diaduk campuran hingga busa tidak 10) Diaduk campuran hingga busa
terlihat tidak terlihat
11. Dicek pH campuran larutan 11) Dicek pH campuran larutan
12. Kemudian ditambah 1 tetes NaOH 12) Kemudian ditambah 1 tetes NaOH
untuk pengecekan pH 6,00 untuk pengecekan pH 6,00
13. Disaring dengan kertas whattman 13) Disaring dengan kertas whattman
14. Diambil sediaan 5,3 ml 14) Diambil sediaan 5,3 ml
menggunakan spuit menggunakan spuit
15. Diletakkan di botol kaca tetes 15) Diletakkan di botol kaca tetes
3.4 Kemasan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV obat tetes mata adalah sediaan steril
berupa larutan atau suspense yang digunakan dengan meneteskan obat pada selaput
lendir mata disekitar kelopak dan bulu mata. Selain obat tetes mata digunakan untuk
mengobati berbagai penyait dan kondisi pada mata, dapat juga digunakan untuk
menghilangkan ketidaknyamanan pada mata (American academy of opthalmogy, 2011).
Pada praktikum kali ini dibuat sediaan tetes mata dengan bahan aktif fenileprin
HCl. Fenileprin merupakan derivate adrenalin yang hanymemiliki 1 OH pada cincin
benzene. Indikasi dari tetes mata ini adalah treatmen hipotensi, vasokonstriktor, midriasis
dan opthalmik, superventrikular takikardi.
Pada pembuatan sediaan tetes mata, proses sterilisasi dilakukan dengan cara
filtrasi membrane menggunakan filter holder. Hal ini dilakukan karna bahan aktif
fenileprin HCl tidak tahan pemanasan. Untuk pengujian flter holder dilakukan bubble
point test dimana bertujuan untuk menguji apakah filter holder bocor atau tidak. Bahan
tabahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Sodium Metabisulfit yan digunakan
sebagai antioksidan, Na EDTa sebagai chelating agent, Benzalkonium klorida sebagai
pengawet, WFI sebagai pelarut dan agen pengisotonis ditambahkan NaCl.
Untuk sterilisasi emua pekerjaan dilakukan di dalam LAF, dari penimbangan
hingga pencampuran bahan. Sterilisasi filtrasi menggunakan filter holder untuk
memasukkan larutan ke dalam botol tetes . setelah semua dicampurkan dan dimasukkan
kedalam botol tetes, kemudian dilakukan pengemasan. Kemudian dilakukan bubble point
test dengan cara mengambil udara pada spuit ± 5 ml, ujung filter holde dimasukkan ke
dalam beaker glass, kemudian spuit ditekan ad keluar gelembung. Lihat volume gas
dalam spuit yang tersisa. Dikatakan bocor apabila volume < 0,8 ml dan > 0,8 ml maka
dikatakan buntu.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Sediaan tetes mata Fenilefrin HCl merupakan sediaan yang sterilitasnya sangat
diutamakan sehingga harus dibuat dalam Laminar Air Flow. Sterilisasi yang
dilakukan adalah dengan menggunakan sterilisasi filtrasi menggunakan filter holder,
karena bahan aktif tidak tahan terhadap pemanasan apabila dilakukan sterilisasi
menggunakan metode panas basah dengan autoklaf.

4.2 Saran
Sediaan disimpan dalam wadah tertutup rapat tidak tembus cahaya karena
bahan aktif yang tidak stabil terhadap cahaya. Pada saat menggunakan sediaan cuci
tangan terlebih dahulu.
SEDIAAN INJEKSI ANTALGIN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Formulasi sediaan steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang banyak
dipakai, terutama saar pasien dirawat di rumah sakit. Sediaan steril sangat membantu pada
saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka terbuka yang harus diobati, dan
sebagainya. Semuanya sangat membutuhkan kondisi steril karena pengobatan yang langsung
bersentuhan dengan sel tubuh, lapisan mukosa organ tubuh, dan dimasukkan langsung ke
dalam cairan atau rongga tubuh sangat memungkinkan terjadinya infeksi bila obatnya tidak
steril. Oleh karena itu, kita memerlukan sediaan obat yang steril. Di samping steril, kita pun
memerlukan sediaan obat dalam kondisi isohidris dan isotonis agar tidak mengiritasi.

Untuk menghasilkan sediaan yang steril, kita memerlukan pengetahuan tambahan


selain pengetahuan tentang pembuatan bentuk sediaan, yaitu ada jaminan bahwa selama
produksi dan setelah produksi, sediaan bebas dari cemaran mikroba. Kita harus memiliki
pengetahuan tentang mikrobiologi, cara sterilisasi, peralatan produksi steril aseptik, dan lain-
lain yang terkait dengan produksi sediaan steril sebagai bekal dalam memahami formulasi
sediaan steril. Bentuk sediaan steril bisa berbagai bentuk, yaitu cair, padat atau semipadat.
Proses pembuatannya sama dengan sediaan nonsteril. Namun, dalam pembuatan sediaan
steril kita perlu mengetahui proses sterilisasinya yang akan berkaitan dengan stabilitas bahan
aktif maupun bahan-bahan tambahannya. Dengan demikian, dalam pembuatan sediaan steril
bekal pengetahuan tidak sekedar pengetahuan formulasi bentuk sediaan, tetapi juga
pemahaman kimia fisika yang lebih mendalam berkaitan dengan stabilitas selama proses
pembuatan, sehingga menghasilkan sediaan steril yang dikehendaki.

Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup. Pada prinsip ini termasuk sediaan parenteral mata dan irigasi.
Sediaan parenteral ini merupakannsediaan yang unik diantara bentuk obat terbagi-bagi,
karena sediaan ini disuntikan melalui kulit atau membran mukosa ke bagian dalam tubuh.
Karena sediaan mengelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yakni
membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari
komponen toksis, dan harus mempunyai tingkat kemurnian tinggi atau luar biasa. Semua
komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini harus dipilih dan dirancang
untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah fisik, kimia, atau mikrobiologis.
Wadah yang digunakan untuk produk injeksi, salah satunya adalah vial. Vial
adalah wadah gelas yang umumnya digunakan untuk dosis ganda, dengan kapasitas 5 ml, 10
ml, dan seterusnya. Pelarut yang digunakan aqua, non aqua (minyak/ non minyak). Wadah
dosis ganda adalah wadah yang memungkinkan dapat diambil isinya beberapa kali tanpa
mengakibatkan perubahan kekuatan, mutu atau kemurnian sisa zat dalam wadah tersebut.
Wadah dosis ganda dilengkapi dengan penutup karet dan plastik untuk
memungkinkan penusukkan jarum suntik tanpa membuka atau merusak tutup. Bila jarum
ditarik kembali melindungi isi dari kontaminan luar.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan sediaan injeksi ?


2. Apa saja persyaratan sediaan injeksi ?
3. Apa keuntungan dan kerugian dari sediaan injeksi ?
4. Apa saja bahan yang dugunakan dalam pembuatan sediaan injeksi antalgin ?
5. Bagaimana cara pembuatan sediaan steril injeksi antalgin ?
6. Metod sterilisai apa yang digunakan untuk sediaan steril injeksi antalgin ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari sediaan injeksi.


2. Mengetahui persyaratan untuk sedian injeksi
3. Mengetahui keuntungan dan kerugian dari sediaan injeksi.
4. Mengetahui bahan apa saja yang digunakan untuk pembuatan sediaan injeksi analgin.
5. Mengetahui cara pembuatan sediaan steril injeksi antalgin
6. Mengetahui metode sterilisasi yang sesuai pada sediaan steril injeksi antalgin.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sediaan Injeksi

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk yang halus
dilartkan atau disuspensikan dahulu sebelum digunakan secara parenteral, suntikan
dengan cara menenbus, atau merobek jaringan kedalam atau melalui kulit atau selaput
lendir.

Suatu sediaan paren teral harus steril karena sediaan ini diinjeksikan atau disuntikkan
melalui kulit atau membran mukosa ke dalam kompartemen tubuh yang paling dalam.
Sediaan parenteral memasuki pertahanan tubuh yang memiliki efisiensi tinggi yaitu kulit
dan membran mukosa sehingga sediaan parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba
dan bahan beracun serta harus memiliki kemurnian yang dapat diterima. Cara pembuatan
obat yang baik (CPOB) mensyratkan pula tiap wadah injeksi harus diaamti satu persatu
secara fisik. Dalam pembuatan obat suntik, syarat utamanya ialah obat harus steril, tidak
terkontaminasi pirogen, mikroorganisme dan partikel, serta dalam wadah yang menjamin
sterilitas.

2.2 Persyaratan Sediaan Injeksi

1. Sediaan obat harus jernih. Jernih maksudnya tidak ada partikel yang tidak larut
dalam sediaan tersebut. Jadi, meskipun sediaan berwarna, tetap terlihat jernih
(tidak keruh)
2. Tidak berwarna. Maksudnya sediaan bisa saja berwarna, namun warna larutan
sama dengan warna zat aktifnya sehingga tidak ada campuran warna lain dalam
sediaan itu.
3. Bebas dari partikel asing. Partikel asing yang bukan penyusun obat. Sumber
partikel bisa berasal dari air, bahan kimia, personil yang berkerja, serat dari alat
atau pakaian personil, alat-alat, lingkungan, pengemas (gelas,atau plastik).
4. Keseragaman volume atau berat.
5. Memenuhi uji kebocoran. Terutama untuk injeksi yang dikemas dalam ampul.
2.3. Keuntungan dan Kerugian Sediaan Injeksi

2.3.1 Keuntungan

1. Respon fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang menjadi
pertimbangan utama dalam kondisi klinik seperti gagal jantung, asma, shock.
2. Terapi parenteral diperlukan untukobat-obat yang tidak efektif secara oral atau
yang dapat dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin, hormon dan
antibiotik.
3. Obat-obat untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau tidak sadar harus
diberikan secara injeksi.
4. Bila memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari ahli karena
pasien harus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga dalam beberapa kasus,
pasien tidak dapat menerima obat secara oral.
5. Penggunaan parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila diinginkan
seperti pada gigi dan anestesi.
6. Aksi obat biasanya lebih cepat.

2.3.2 Kerugian

1. Bentuk sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan membutuhkan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan pemberian rute lain. Pada pemberian
parenteral dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk pengerjaan secara aseptik dari
beberapa rasa sakit tidak dapat dihindari.
2. Beberapa rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien, terutama bila
sulit untuk mendapatkan vena yang cocok untuk pemakaian i.v.
3. Risiko, kalau alergi atau salah obat maka tidak bisa langsung dihilangkan
4. Tidak praktis

2.4 Karakteristik Bahan Aktif

2.4.1 Tinjauan Farmakologi Bahan Aktif

Antalgin termasuk derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang mudah larut dalam air
dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral di otak dalam menghilangkan
nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin mempengaruhi
hipotalamus dalam menurunkan sensitifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang
mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986).

Sebagai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah
sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan
dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek analgetik opiat, obat ini
tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping sentral yang merugikan. Sebagai
antipiretik, obat ini akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. Kerja
analgetik antalgin lebih besar dibandingkan dengan kerja antipiretik yang dimilikinya.
Sedangkan efek antiinflamasinya sangat lemah (Ganiswara,1981).

Fase farmakokinetik adalah perjalanan antalgin mulai titik masuk ke dalam badan
hingga mencapai tempat aksinya. Antalgin mengalami proses ADME yaitu absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi yang berjalan secara simultan langsung atau tidak
langsung melintasi sel membrane (Anief, 1990).

Pada pemberian secara oral senyawa diserap cepat dan sempurna dalam saluran cerna.
Terdapat 60% antalgin yang terikat oleh protein plasma, masa paru dalam plasma 3 jam.
Obat ini dimetabolisme di hati menjadi metabolit utama dan diekskresi melalui ginjal
(Widodo, 1993).

Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama penggunaan obat
yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat menimbulkan kasus agranulositosis
fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama penggunaan obat ini perlu dilakukan uji
darah secara teratur (Lukmanto, 1986).

Efek samping lain yang mungkin terjadi ialah urtikaria, leukopenia, trombopenia.
Terutama pada pasien usia lanjut terjadi retensi Na dan air dengan edema. Pada kelebihan
dosis, terjadi hipotensi, nafas terengah-engah, torus otot meninggi, rahang menutup,
kehilangan kesadaran dan serangan kram/kejang cerebral (Widodo, 1993).

2.4.2 Tinjauan Sifat Fisika - Kimia Bahan Aktif

1. Rumus Molekul : C13H16N3NaO4SH2O


Berat Molekul : 351.37 g/mol
Rumus Bangun :

2. Data Kelarutan Dalam Berbagai Pelarut :


Larut dalam air 1 : 1,5 dan Hcl 0,02 N ( Dirgen POM, 2006 )
Larut dalam 1 : 30 alkohol, sedikit larut dalam eter
Sangat larut dalam air 1 : 1,5 ( Martindale 36th edition, hal 49 )
3. Data Stabilitas :
a. Terhadap Cahaya : Tidak stabil, harus terlindung dari cahaya, dapat
teroksidasi
b. Oksigen : Tidak stabil dan dapat teroksidasi
c. Suhu : Dalam keadaan anhidrat, stabilitas maksimal. Stabil
dalam suhu panas.
d. pH :
- 6 – 7 (rentang sempit perlu didapar)
- Hampir mendekati pH darah 7,4
- Terdekomposisi pada pH 7,8
- Dibuat dalam rentang pH 6 – 7 ( Marindale 36th Ed,
hal 49 )
4. Inkompatibilitas :
1. Dengan Aspirin aktivitas antalgin akan hilang (interaksi)
2. Dengan iodine aktivitas antalgin akan hilang

5. Data Lain :
Pemerian serbuk hablur, putih atau putih kekuningan. Metanpiron mengandung
tidak kurang dari 89,0% dan tidak lebih dari 101,0% (FI V , hal 833)

2.5 Karakteristik Eksipien


 Tinjauan sifat fisika - kimia Sodium Thiosulfate
1. Rumus Molekul : Na2S2O3
2. Berat Molekul : 158,11 g/mol
3. Rumus Bangun :

4. Data Kelarutan Dalam Berbagai Pelarut :


Larut dalam air; praktis tidak larut dalam etanol(95%).
5. Data Stabilitas :
Sodium tiosulfat terurai pada pemanasan. Serbuk curah harus disimpan di tempat
yang dingin, dan wadah harus disimpan tertutup rapat di tempat yang kering dan
berventilasi baik. Seharusnya tidak disimpan di dekat asam.
6. Inkompatibilitas :
Sodium tiosulfat tidak sesuai dengan yodium, dengan asam, dan dengan garam
timbal, merkuri, dan perak. Ini dapat mengurangi aktivitas beberapa bahan
pengawet, termasuk bronopol, garam phenylmercuric, dan thimerosal.
7. Data Lain :
Sodium tiosulfat terjadi sebagai kristal yang tidak berbau dan tidak berwarna,
bubuk kristal atau butiran. Ini adalah neon di udara kering dan deliquescent di
udara lembab (Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed,hal 671).

 Tinjauan sifat fisika - kimia Air untuk injeksi


1. Rumus Molekul : H20
2. Berat Molekul : 18,02 g/mol
3. Rumus Bangun :

4. Data Stabilitas :
Air secara kimiawi stabil di semua keadaan fisik (es, cair, dan uap air). Air
meninggalkan sistem pemurnian farmasi dan memasuki tangki penyimpanan harus
memenuhi persyaratan khusus. Target ketika merancang dan mengoperasikan
sistem penyimpanan dan distribusi untuk menjaga agar air tidak melebihi batas
yang diizinkan selama penyimpanan. Dikhususnya, sistem penyimpanan dan
distribusi harus memastikan air dilindungi terhadap kontaminasi ionik dan
organik, yang akan menyebabkan peningkatan konduktivitas dan total karbon
organik. Sistem juga harus dilindungi terhadap fisik masuknya partikel asing dan
mikroorganisme sehingga mikroba pertumbuhan dicegah atau diminimalkan.
5. Inkompatibilitas :
Dalam formulasi farmasi, air dapat bereaksi dengan obat dan eksipien lain yang
rentan terhadap hidrolisis (dekomposisi dalam keberadaan air atau uap air) pada
lingkungan dan tinggi suhu. Air dapat bereaksi dengan keras dengan logam alkali
dan dengan cepat logam alkali dapat mengoksida , seperti kalsium oksida dan
magnesium oksida. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk terbentuk
hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan organik tertentu bahan dan kalsium
karbida.
6. Data Lainnya :
USP 32 menggambarkan WFI sebagai air yang dimurnikan melalui proses distilasi
atau RO. Tidak mengandung zat tambahan. The PhEur 6.3 adalah 'air untuk
injeksi' dan terdiri dari dua bagian: ‘air untuk injeksi dalam jumlah besar 'dan' air
yang disterilkan untuk injeksi ‘. Itu PhEur 6.3 menyatakan bahwa air untuk injeksi
dihasilkan melalui proses distilasi (Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th
Edition, hal 766).
 Tinjauan sifat fisika - kimia Natrium Klorida
1. Rumus Molekul : NaCl
2. Berat Molekul : 58.44 g/mol
3. Data Kelarutan Dalam Berbagai Pelarut :
Kelarutan pada suhu 20oC kecuali dinyatakan lain
Ethanol : Sedikit larut
Ethanol (95%) : 1 dalam 250
Gliserin : 1 dalam 10
Air : 1 dalam 2,8
1 dalam 2,6 at 100oC
4. Data Stabilitas :
Larutan natrium klorida encer stabil tetapi dapat menyebabkan pemisahan partikel
kaca dari jenis wadah kaca tertentu. Larutan encer dapat disterilkan dengan
autoklaf atau filtrasi. Bahan padat stabil dan harus disimpan di tempat yang
tertutup rapat wadah, di tempat yang sejuk dan kering. Telah ditunjukkan bahwa
karakteristik pemadatan dan sifat mekanik tablet dipengaruhi oleh kerabat
kelembaban kondisi penyimpanan di mana natrium klorida disimpan.
5. Inkompatibilitas :
Larutan natrium klorida encer bersifat korosif terhadap zat besi. Mereka juga
bereaksi untuk membentuk endapan dengan garam perak, timah, dan merkuri. zat
pengoksidasi kuat membebaskan klorin dari larutan natrium klorida yang
diasamkan . Kelarutan metilparaben pengawet antimikroba berkurang dalam
larutan natrium klorida encer dan viskositas gel karbomer dan larutan hidroksietil
selulosa atau hidroksipropil selulosa dikurangi dengan penambahan Natrium
klorida.
6. Data Lain :
Sodium klorida terjadi sebagai bubuk kristal putih atau tidak berwarna kristal; ini
memiliki rasa asin. Kisi kristal berpusat pada wajah struktur kubik. Natrium
klorida padat tidak mengandung air kristalisasi meskipun, di bawah 0oC, garam
dapat mengkristal sebagai dihidrat. ( Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th
Edition, hal 637)
BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1 Spesifikasi Sediaan

1. Sediaan yang ingin dibuat adalah injeksi metampiron dengan volume 5,3 ml.
2. Dosis yang ingin dibuat adalah 250mg/ml
3. pH yg ingin dibuat adalah 6- 7
4. kemasan yang ingin dibuat adalah vial

3.2 Alat dan Bahan

Alat :

No Nama Wadah Ukuran Jumlah Cara Sterilisasi Suhu Waktu


1 Vial - 5 Oven 180°C 30’
2 Erlenmeyer 100,0 ml 1 Oven 180°C 30’
3 Beaker glass 250,0 ml 2 Oven 180°C 30’
4 Corong 75,0 ml 1 Autoklaf 121° C 15’
5 Pipet - 1 Autoklaf 121° C 15’
6 Gelas ukur - 2 Autoklaf 121° C 15’
7 Batang pengaduk - 2 Autoklaf 121° C 15’
8 Tutup karet vial - 5 Oven 180°C 30’

9 Alumunium cap - 5 Oven 180°C 30’


10 Spatula logam - 1 Oven 180°C 30’
11 Spuit 5 ml 1 - - -
12 Kertas steril - 1 - - -
13 Timbangan digital - 1 - - -

Bahan :

Nama Bahan Fungsi Kelarutan pH stabil Cara Sterilisasi


Metampiron Bahan aktif 1:1,5 dalam air 6-7 Autoklaf

Na-tiosulfat Antioksidan 6,5-8,5 Autoklaf


WFI Pelarut - - -
3.3 Metode Pembuatan

a. Formula Baku

1. Martindale 28th Ed P-251

Bahan Jumlah
Metampiron 500 mg/ml
Na-bisulfit 0,1%
Benzalkonium klorida 0,01%
Aqua PI Ad 5 ml

2. Martindale 28th Ed P-251

Bahan Jumlah
Dipiron 50 g
Na-bisulfat 100 mg
Aqua PI Ad 100 ml

3. Kemenkes RI,1966

Bahan Jumlah
Antalgin 15 g
Aqua PI Ad 50 ml

4. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulation Sterile Product

Bahan Jumlah
Dypirone 500 mg
Chlorobutanol 4 mg
Benzyl alcohol 2%
Sodium hydroxide qs
Hydrochloric acid qs
Water of injection qs
Nitrogen gas qs
b. Pengambilan Bahan

Untuk 30 ml

250 𝑚𝑔
a. Dypirone : x 30 ml = 750 mg ~7.5 g
1 𝑚𝑙
100 𝑚𝑔
b. Na-tiosulfat : x 30 ml = 30 mg
100 𝑚𝑙
1𝑔 0,03 𝑔
Sediaan yang tersedia larutan Na-tiosulfat 1% : 100 𝑚𝑙 x =3 ml
𝐴

c. WFI untuk dypirone : 2 x 7.5 g = 15 ml


Sisa WFI : 30 ml – (7.5 g + 3 ml +15 ml) = 4.5 ml
c. Perhitungan Isotonisitas
Ekivalensi
Dypirone : 1 g dypirone = 0.19 g NaCl
Na-tiosulfat : 1 g Na-tiosulfat = 0.31 g NaCl
 Dypirone : 7.5 g
1 𝑔 𝐷𝑦𝑝𝑖𝑟𝑜𝑛𝑒 7.5 𝑔 𝐷𝑦𝑝𝑖𝑟𝑜𝑛𝑒
Ekivalensi Dypirone dn NaCl : =
0.19 𝑔 𝑁𝑎𝐶𝑙 𝑥

X = 1.425 g NaCl
 Na-tiosulfat : 0.03 g
1 𝑔 𝑁𝑎−𝑡𝑖𝑜𝑠𝑢𝑙𝑓𝑎𝑡 0.03 𝑔 𝑁𝑎−𝑡𝑖𝑜𝑠𝑢𝑙𝑓𝑎𝑡
Ekivalensi Na-tiosulfat dg NaCl : =
0.31 𝑔 𝑁𝑎𝐶𝑙 𝑥

X = 0.0093 g NaCl
 Total : 1.425 g + 0.0093 g = 1.4343 g
0.9 𝑔
NaCl yg dibutuhkan : 100 𝑚𝑙 x 30 ml =0.27 g

Jadi, 1.4343 g NaCl : 0.27 g  Hipertonis


d. Cara Pembuatan
1. Disterilkan alat yang akan digunakan
2. Ditimbang metampiron sebanyak 7.5 g
3. Diambil Na-tiosulfat sebanyak 3 ml
4. Diambil WFI sebanyak 15 ml
5. Kemudian larutkan metampiron dengan WFI sebanyak 15 ml, diaduk ad larut
(campuran 1)
6. Tambahkan Na-tiosulfat sebanyak 3 ml pada campuran 1, aduk ad homogen
7. Cek pH larutan, jika pH tidak memasuki rentang 6-7 maka diadjust dengan
menggunakan NaOH jika pH < 6 , HCl jika pH > 7 kemudian pH dicek lagi
8. Tambahkan sisa WFI sebanyak 4.5 ml
9. Kemudian disaring menggunakan kertas saring Whattman
10. Dimasukkan ke dalam vial dengan menggunakan spuit 5 ml, kemudian tutup
dengan karet vial dan alumunium cup
11. Lakukan sterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 30 menit
12. Dilakukan evaluasi terhadap sediaan

e. Prosedur Pengolahan
No Aktivitas Pengawasan selama proses
1 Ditimbang metampiron 7.5 g Penimbangan menggunakan timbangan
kasar, ditimbang metampiron sebanyak
7.5 g
2 Diambil WFI sebanyak 15 ml Diambil WFI sebanyak 3x5 ml
menggunakan spuit 5 ml
3 larutkan metampiron dengan Dilarutkan metampiron dengan WFI
WFI sebanyak 15 ml, diaduk sebanyak 15 ml, diaduk ad larut
ad larut (Campuran 1)
4 Diambil Na-tiosulfat sebanyak Diambil Na-tiosulfat sebanyak 3 ml
3 ml menggunakan spuit 5 ml
5 Tambahkan Na-tiosulfat Tambahkan Na-tiosulfat sebanyak 3 ml
sebanyak 3 ml pada campuran pada campuran 1, aduk ad homogen
1, aduk ad homogen
6 Cek pH larutan, jika pH tidak Di dapat pH 7
memasuki rentang 6-7 maka
diadjust dengan menggunakan
NaOH jika pH < 6 , HCl jika
pH > 7 kemudian pH dicek lagi

7 Tambahkan sisa WFI sebanyak Tambahkan sisa WFI sebanyak 4.5 ml.
4.5 ml Aduk ad homogen
8 Disaring menggunakan kertas Disaring menggunakan kertas saring
saring Whattman Whattman

9 Dimasukkan ke dalam vial Dimasukkan ke dalam vial dengan


dengan menggunakan spuit 5 menggunakan spuit 5 ml, kemudian
ml, kemudian tutup dengan tutup dengan karet vial dan alumunium
karet vial dan alumunium cup cup

10 Lakukan sterilisasi dengan Dilakukan sterilisasi dengan autoklaf


autoklaf pada suhu 121°C pada suhu 121°C selama 69.5 menit
selama 30 menit
11 Dilakukan evaluasi terhadap Dilakukan evaluasi terhadap sediaan
sediaan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Praktikum
No Parameter Media Tioglikolat Cair Case Amino
yang
diambil
1 Warna yang Kuning jernih (bagian atas Kuning jernih
sebelum media berwarna merah
inkubasi muda)
2 Lama Hari ke -7 dan hari ke-11 Hari ke -7 dan hari ke-11
inkubasi
3 Warna Kuning jernih Kuning jernih
setelah
inkubasi
4 Endapan Tidak terdapat endapan Tidak terdapat endapan
5 Gambar
setelah
inkubasi
(Hari ke-7)
(Hari ke-11)

Keterangan
o Kontrol (+) : untuk mengetahui kemampuan media dalam menumbuhkan
mikroorganisme (jamur dan kapang)
o Kontrol (-) : untuk mengetahui sterilitas media yang digunakan

Kesimpulan : sediaan yang di uji yaitu injeksi antalgin yang diberi


perlakuan uji sterilitas menggunakan media tioglikolat cair dan case amino
memenuhi syarat uji sterilitas

4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dibuat sediaan steril vial menggunakan bahan aktif metampiron
250mg/ml dengan bahan tambahan Na-tiosulfat sebagai antioksidan serta pelarut WFI
(water for injection). Proses sterilisasi dengan cara autoklaf (suhu 121°C). Sediaan
injeksi harus dibuat steril bertujuan mencegah terjadinya infeksi oleh mikroorganisme
yang masuk kedalam tubuh lewat sediaan obat yang diinjeksikan. Sediaan injeksi dapat
diberikan melalui rute subkutan, intraperitoneal, rute intramusukular dan rute intravena.
Sediaan injeksi memiliki keuntungan yaitu memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan
rute peroral dan ditujukan untuk obat yang tidak stabil pada asam lambung, mengiritasi
lambung dan absorpsinya rendah pada gastrointestinal. Kerugian sediaan injeksi adalah
rasa nyeri saat injeksi obat serta rentang terjadinya infeksi, perlu keahlian khusus dalam
penggunaannya.
Sediaan yang telah dibuat diuji sterilitas menggunakan media tioglikolat cair dan case
amino. Pada media tioglikolat cair digunakan untuk mengetahui pertumbuhan bakteri
aerob sedangkan pada case amino media ini digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
kapang dan jamur. Media yang telah dibuat dan sudah disterilisasi, dilakukan uji
inokulasi langsung dengan sediaan injeksi antalgin masing-masing diambil 1 ml
menggunakan spuit dan dimasukkan ke dalam media, kemudian tabung reaksi ditutup
dengan alumunium foil. Lalu, media tioglikolat cair diinkubasi pada suhu 30-35°C
sedangkan media case amino diinkubasi pada suhu 20-25°C dan diamati pada hari ke-7
dan ke-14.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada kedua media yaitu media tioglikolat cair
dan case amino jika dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif tidak ada
perubahan warna atau kekeruhan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil praktikum ini
negatif atau tidak ada pertumbuhan bakteri dan jamur pada kedua media tersebut. Hal ini
ditandai dengan kejernihan sesuai dengan kontrol negatif.
BAB V
KESIMPULAN

Dari pembahasan atas dapat disimpulkan bahwa sediaan injeksi antalgin dibuat
sebanyak 5 ml dalam bentuk vial dengan dosis 125mg/ml. Sediaan yang dibuat
memenuhi persyaratan yaitu yang diinginkan yaitu pH 7, tidak terjadi kebocoran dan
larutan jernih. Sediaan injeksi antalgin dilakukan uji sterilitas dengan diberi perlakuan
menggunakan media tioglikolat cair dan case amino. Dari hasil uji sterilitas dapat
diketahui bahwa sediaan injeksi antalgin bebas dari mikroba dan meme
Daftar Pustaka

Anief, M., 1990, Ilmu Meracik Obat, 52, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Ansel, H. C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke-4, UI-Press, Jakarta.

Ganiswara, 1981, Farmakologi dan Terapi. Edisi 2. Bagian Farmakologi dan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

Allen, L. V., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Rowe R. C.,
Sheskey, P. J., Queen, M. E., (Editor), London, Pharmaceutical Press and American
Pharmacists Assosiation

Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Lukmanto, H., 1986, Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia, Edisi II, Jakarta.

Sweetman, S et al. 2009. Martindale 36th. The Pharmaceutical, Press, London.

Anda mungkin juga menyukai