Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

PERCOBAAN 5
”OBAT TETES MATA ”

Disusun oleh Kelompok :


1. Baiq Liza Zafira
2. I Gusti Ayu Eka Treshna Aryani
3. Nora Alfaiza
4. Wahyu Agus Setiawan

PROGRAM STUDI DIII FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL WATHAN MATARAM
T.A 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkembang
pesat, begitu juga dengan dunia kefarmasian. Hal ini dapat dilihat dari bentuk sediaannya
yang beragam yang telah di buat oleh tenaga farmasis. Diantara sediaan obat tersebut menurut
bentuknya yaitu solid (padat), semisolid (setengah padat) dan liquid (cair).

Salah satu bentuk sediaan cair yang sering diproduksi adalah suspensi. Sediaan
suspense dibuat jika bahan obat padat tidak dapat larut dalam pembawanya sehingga untuk
mendispersikannya dalam pembawa diperlukan suspending agent. Sediaan suspensi memiliki
beberapa keuntungan antara lain absorpsinya lebih cepat dibandingkan dengan sediaan padat
sehingga memberikan efek terapi lebih cepat.

Sediaan yang ditujukan untuk mengobati penyakit mata telah ditemukan sejak dahulu.
Istilah “collyria” diberikan oleh bangsa Yunani dan Romawi terhadap bahan-bahan yang
dapat larut dalam air, susu atau putih telur yang dapat digunakan sebagai tetes mata. Pada
abad pertengahan, tetes mata digunakan untuk memperbesar (dilatasi) pupil. Sebelm Perang
Dunia II, sediaan obat mata sangat sedikit tersedia di pasaran. Pada tahun 1950 hanya tiga
sediaan obat mata yang masuk dalam US Pharmacopoeia (USP) XIV.
Ada berbagai macam zat aktif yang dapat dibuat ke dalam bentuk sediaan suspensi.
Namun tidak semua zat aktif dapat stabil pada air atau mudah terurai jika disimpan dalam
waktu yang lebih lama dan salah satunya adalah antibiotika Klomramfenikol. Tetes mata
kloramfenikol adalah larutan steril Kloramfenikol, mengandung Kloramfenikol tidak kurang
dari 90% dan tidak lebih dari 130% dari jumlah yang tertera pada etiket. Dalam percobaan ini
bahan obat yang digunakan sebagai zat aktif pada sediaan obat tetes mata steril adalah
Kloramfenikol yang mempunyai daya sebagai antimikroba yang kuat melawan infeksi mata
dan merupakan antibiotika spectrum luas bersifat bakteriostatik. Berdasarkan penjelasan di
atas kelompok kami ingin membuat formulasi sediaan obat tetes mata steril dalam bentuk
suspensi.
B. Tujuan
Dapat memahami dan melakukan pembuatan tetes mata klorampenikol.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori
1. Definisi Tetes Mata (Guttae Ophthalmicae)
Tetes mata adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi yang digunakan dengan
cara meneteskan obat pada selaput lender mata di sekitar kelopak mata dan bola mata. (FI III
Hal. 10).
Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan sediaan yang
dibuat dan dikemas sedekimian rupa hingga sesuai digunakan pada mata. (FI IV Hal. 13)
Suspensi obat mata adalah sediaan cair steril yang mengandung partikel-partikel yang
terdispersi dalam cairan pembawa untuk pemakaian pada obat seperti yang tertera pada
suspensiones. (FI IV Hal. 14)
2. Keuntungan dan Kerugian
a. Keuntungan :
 Larutan mata memiliki kelebihan dalam hal kehomogenan, bioavailabilitas dan
kemudahan penanganan.
 Suspensi mata memiliki kelebihan dimana adanya partikel zat aktif dapat
memperpanjang waktu tinggal pada mata sehingga meningkatkan waktu terdisolusinya
oleh air mata sehingga terjadi peningkatan bioavailabilitas dan efek terapinya.
b. Kerugian :
 Volume larutan yang dapat ditampung oleh mata sangat terbatas, maka larutan yang
berlebih dapat masuk ke nasal cavity lalu masuk ke jalur gastrointestinal menghasilkan
absorpsi sistemik yang tidak diinginkan.
 Kornea dan rongga mata sangat kurang tervaskularisasi, selain itu kapiler pada retina
dan iris relatif non permeabel sehingga umumnya sediaan untuk mata adalah efeknya
lokal atau topikal.
3. Syarat sediaan tetes mata
 Steril.
 Isotonis dengan air mata, bila mungkin isohidris dengan pH air mata. Isotonis = 0,9%
b/v NaCl, rentang yang diterima = 0,7 – 1,4% b/v atau 0,7 – 1,5% b/v.
 Larutan jernih, bebas partikel asing dan serat halus.
 Tidak iritan terhadap mata.
4. Pemilihan Bentuk Zat Aktif
Sebagian besar zat aktif yang digunakan untuk sediaan mata bersifat larut air atau dipilih
bentuk garamnya yang larut air. Sifat-sifat fisikokimia yang harus diperhatikan dalam
memilih garam untuk formula larutan tetes mata yaitu:
1. Kelarutan.
2. Stabilitas.
3. pH stabilitas dan kapasitas dapar.
4. Kompatibilitas dengan bahan lain dalam formula.
Sebagian besar zat aktif untuk sediaan tetes mata adalah basa lemah. Bentuk garam yang
biasa digunakan adalah garam hidroklorida, sulfat, dan nitrat. Sedangkan untuk zat aktif yang
berupa asam lemah, biasanya digunakan garam natrium.
5. Formulasi
Formula umum
R/ Zat aktif
Bahan pembantu :
- Pengawet
- Pengisotonis
- Antioksidan
- Pendapar
- Peningkat viskositas
- Pensuspensi
- Surfaktan
6. Teori Bahan Pembantu
a. Pengawet
Pengawet yang dipilih seharusnya mencegah dan membunuh pertumbuhan
mikroorganisme selama penggunaan. Pengawet yang sesuai untuk larutan obat tetes mata
hendaknya memiliki sifat sebagai berikut :
- Bersifat bakteriostatikdan fungistatik. Sifat ini harus dimiliki terutama terhadap
Pseudomonasa aeruginosa.
- Non iritan terhadap mata.
- Kompatibel terhadap bahan aktif dan zat tambahan lain yang dipakai.
- Tidak memiliki sifat alergen dan mensensitisasi.
- Dapat mempertahankan aktivitasnya pada kondisi normal penggunaan sediaan.
b. Pengisotonis
Pengisotonis yang dapat digunakan adalah NaCl, KCl, glukosa, gliserol dan dapar.
Rentang tonisitas yang masih dapat diterima oleh mata berdasarkan FI IV yaitu 0,6 –
2,0%.
c. Pendapar
Secara ideal, larutan obat tetes mata mempunyai pH dan isotonisitas yang sama
dengan air mata. Hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena pada pH 7,4 banyak obat
yang tidak cukup larut dalam air, sebagian besar garam alkaloid mengendap sebagai
alkaloid bebas pada pH ini. Selain itu banyak obat tidak stabil secara kimia pada pH
mendekati 7,4. Tetapi larutan tanpa dapar antara pH 3,5 – 10,5 masih dapat ditoleransi
walaupun terasa kurang nyaman. Rentang pH yang masih dapat ditoleransi oleh mata
menurut FI IV yaitu 3,5 – 8,5.
Syarat dapar yaitu :
 Dapat menstabilkan pH selama penyimpanan.
 Konsentrasinya tidak cukup tinggi sehingga secara signifikan dapat mengubah pH air
mata.
d. Peningkat Viskositas
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemilihan bahan peningkat viskositas
untuk sediaan tetes mata yaitu:
 Sifat bahan peningkat viskositas itu sendiri.
 Perubahan pH yang dapat mempengaruhi aktivitas bahan peningkat viskositas.
 Penggunaan produk dengan viskositas tinggi kadang tidak ditoleransi baik oleh mata
dan menyebabkan terbentuknya deposit pada kelompok mat, sulit bercampur dengan
air mata atau menganggu difusi obat.
Viskositas untuk larutan tetes mata dipandang optimal jika berkisar antara 15 – 25 cps.
Pemilihan bahan pengental dalam obat tetes mata didasarkan pada, yaitu:
 Ketahanan pada saat sterilisasi.
 Kemungkinan dapat disaring.
 Stabilitas.
 Ketidakcanpuran dengan bahan-bahan lain.
e. Antioksidan
Zat aktif untuk sediaan tetes mata ada yng dapat teroksidasi oleh udara. Untuk
itukadang dibutuhkan antioksidan. Antioksidan yang sering digunakan adalah Na
metabisulfit atau Na sulfit dengan konsentrasi sampai 0,3%.
f. Surfaktan
Pemakaian surfaktan dalam obat tetes mata harus memenuhi berbagai aspek:
 Sebagai antimikroba (surfaktan golongan kationik).
 Menurunkan tegangan permukaan antara obat tetes mata dan kornea sehingga
meningkatkan aktif terapeutik zat aktif.
 Meningkatkan ketercampuran antara obat tetes mata dengan cairan lakrimal,
meningkatkan kontak zat aktif dengan kornea dan konjungtiva sehingga meningkatkan
penembusan dan penyerapan obat.
 Tidak boleh meningkatkan pengeluaran air mata, tidak boleh iritan dan merusak
kornea. Surfaktan golongan non ionik lebih dapat diterima dibandingkan dengan
surfaktan golongan lainnya.
7. Metode Sterilisasi
Metode sterilisasi terutama ditentukan oleh sifat sediaan. Jika memungkinkan,
penyaringan dengan penyaring membran steril merupakan metode yang baik jika dapat
ditunjukkan bahwa pemanasan mempengaruhi stabilitas sediaan, sterilisasi obat dalam wadah
akhir dengan autoklaf juga merupakan pilihan baik. Pendaparan obat tertentu disekitar pH
fisiologis dapat menyebabkan obat tidak stabil pada suhu tinggi. Penyaringan dengan
menggunakan penyaring bakteri adalah suatu cara yang baik untuk menghindari pemanasan,
namun perlu perhatian khusus dalam pemilihan, perakitan, dan pengunaan alat-alat. Sedapat I
mungkin gunakan penyaring steril satu kali pakai. (FI IV Hal. 13)
Menurut FI III, kecuali dinyatakan lain tetes mata dibuat dengan salah satu cara
berikut:
 Obat dilarutkan ke dalam cairan pembawa yang mengandung salah satu zat pengawet
tersebut atau zat pengawet lain yang cocok dan larutan dijernihkan dengan
penyaringan, masukkan ke dalam wadah. Tutup wadah dan sterilkan dengan autoklaf
pada suhu 115 – 116°C selama minimal 30 menit, tergantung volume cairan yang akan
disterilkan (cara sterilisasi A).
 Obat dilarutkan ke dalam pembawa berair yang mengandung salah satu zat pengawet
tersebut atau zat pengawet lain yang cocok dan larutan disterilkan dengan cara filtrasi
(cara sterilisasi C) ke dalam wadah yang sudah steril secara aseptik dan ke tutup rapat.
 Obat dilarutkan ke dalam cairan pembawa berair yang mengandung salah satu zat
pengawet tersebut atau zat pengawet lain yang cocok dan larutan dijernihkan dengan
penyaringan, masukkan ke dalam wadah, tutup rapat, sterilkan dengan uap air
mengalir pada suhu 98 - 100°C selama minimal 30 menit tergantung volume cairan
yang akan disterilkan (cara sterilisasi B).
8. Evaluasi Sediaan
a. Evaluasi Fisik
1. Uji kejernihan
2. Penentuan bobot jenis
3. Penentuan pH
4. Penentuan bahan partikulat
5. Penentuan volume terpindahkan
6. Penentuan viskositas dan aliran
7. Volume sedimentasi
8. Kemampuan redispersi
9. Penentuan homogenitas
10. Penentuan distribusi ukuran partikel
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
R/ kloramfenikol 50 mg
Asam borat 150 mg
Natriun tetra borat 30 mg
Ad aquadest bebas CO2 10 ml
A. Perhitungan Tonisitas
Fa Fb Fc
xa+ xb+ x c = 0.28 g/L
Ma Mb Mc

1,8 1,5 1,8


x 0,05 + x 0,15 + x 0,03 = 0,28 g/L
323,132 61,83 381,37

0,00002 + 0,0036 + 0,0001 = 0,28 g/L

0,0039= 0,28 g/L (Hipotonis)

Penambahan NaCl

Mh Fa
x0,28 – ( .a)
Fh Ma

58,44
= x 0,28 – 0,0039
1,8

= 9,09 – 0,0039

9,0861
=
1000

10
= x 9,0861
1000

0,09
=
10 ml

B. Alat dan Bahan


1. Alat:
 beker gless
 batang pengaduk
 gelas ukur
 autoklap
 botol drop sirup
2. Bahan :
 klorampenikol
 asam borat
 natrium tetra borat
 aquadest bebas CO2
 NaOH 0,1 N
 HCL 0,1 N
C. Prosedur Kerja
1. Ditimbang masing masing bahan yang akan digunakan.
2. Larutkan asam borat dan natrii borat pada masing masing beker.kemudian dicampur
untuk digunakn dalam melarutkan klorampenikol sedikit demi sedikit dimasukkan ke
larutan tersebut
3. Kemudian dimasukkan sisa aquadest bebas CO2.Lakukan pengecekan pH (pH yang
diinginkan yaitu 7)
4. Tambahkan carbo 0,1% dan disaring
5. Masukkan dalam botol tetes.
6. Autoclave pada suhu 1210 C selama 15 menit.
BAB IV

PEMBAHASAN

Sediaan obat mata dalam USP didefinisikan sebagai bentuk sediaan steril yang harus
bebas dari partikel-partikel asing, tercampur dengan baik dan dikemas untuk diteteskan ke
dalam mata. Sediaan obat mata adalah sediaan steril berupa salep, larutan atau suspensi,
digunakan pada mata dengan jalan meneteskan, mengoleskan pada selaput lendir mata di
sekitar kelopak mata dan bola mata.

Pada formulasi pembuatan obat tetes mata ini menggunakan bahan buffer yaitu asam
borat dan natrii tetraborat. Bahan pembuffer digunakan untuk meningkatkan kenyamanan
mata dan stabilitas umur pakai yang cukup. Nilai pH produk obat mata cair harus dicapai pada
pH 7,0 yaitu nilai pH alami air mata, untuk meminimalkan ketidaknyamanan dan gangguan
terhadap sistem buffer alami cairan mata. Pemilihan sistem buffer berpengaruh pada potensi
iritasi. Iritasi mata menyebabkan refleks keluarnya mata dimana pada gilirannya mempercepat
pembuangan sediaan obat mata dan menurunkan bioavailabilitasnya. Pemilihan sistem buffer
juga tergantung pada pH bahan obat yang secara optimal stabil dan larut. Pemilihan pKa
buffer harus sedekat mungkin dengan pH target karena kapasitas buffer adalah maksimum
ketika pH sama dengan pKanya.

Kloramfenikol adalah salah satu antibiotik yang secara kimiawi diketahui paling stabil
dalam segala pemakaian dan memiliki stabilitas yang sangat baik pada suhu kamar dan
kisaran pH 2 – 7, stabilitas maksimumnya dicapai pada pH 6. Pada saat yang sama,
kloramfenikol juga peka terhadap katalisis asam-umum/basa-umum yang diakibatkan
oleh bahan-bahan yang ada dalam dapar. Dalam kebanyakan sistem yang penting untuk
farmasi, dapat digunakan untuk mempertahankan pada pH tertentu, sebagai tambahan
efek pH terhadap laju reaksi, sering menjadi kemungkinan reaksi dikatalisis oleh satu
atau beberapa komponen penyusun dapar. Reaksi yang demikian disebut katalis asam
umum atau basa umum tergantung pada apakah komponen katalisis tersebut asam atau basa
(Martin, 1993). Untuk sterilisasi larutan kloramfenikol, metode yang terpilih adalah
pemanasan bersama bakterisida pada suhu 100 OC selama 30 menit, diikuti dengan
pendinginan cepat. Dengan metode ini berlangsungnya hidrolisis hanya terjadi sebesar 3 –
4% saja, sedangkan apabila menggunakan cara autoklaf (suhu 115 oC dengan waktu yang
sama) dihasilkan degradasi sebesar kira-kira 10 – 15%. Reaksi-reaksi fotolisis mudah
dicegah dengan cara menghindari cahaya, hal ini dapat dilakukan dengan pengemasan
hasil obat di dalam wadah yang tidak tembus cahaya, di sini seluruh cahaya akan terhalang
atau digunakan filter yang akan menghilangkan seluruh cahaya yang panjang
gelombangnya dapat mengkatalisis reaksi. Botol gelas warna diketahui mampu bertindak
sebagai pelindung cahaya yang paling baik, karena diketahui bahwa kloramfenikol juga
peka terhadap cahaya (Connors, 1992).

Pada umumnya untuk tetes mata dicantumkan pembatasan daya tahannya yang
secara internasional terletak antara 4-6 minggu setelah pemakaian. Pembatasan waktu ini
diperlukan, oleh karena bahan pengawet sering mengalami kehilangan aktivitasnya pada
tingkat kontaminasi mikroorganisme yang tinggi (Voigt, 1994).

Dengan metode sterilisasi yang menggunakan proses pemanasan dari sediaan


tetes mata terjadi proses degradasi atau penurunan kadar yang lebih cepat dari
kloramfenikol dibandingkan terhadap metode sterilisasi yang tidak menggunakan
pemanasan (bakteri filter).

Kloramfenikol mempunyai rumus kimia yang cukup sederhana yaitu 1-(p-


nitrofenil)-2-dikloroasetamido-1,3-propandiol.

Antibiotik ini bersifat unik diantara senyawa alam karena adanya gugus
nitrobenzen dan antibiotik ini merupakan turunan asam dikloroasetat. Bentuk yang aktif
secara biologis yaitu bentuk levonya. Zat ini larut sedikit dalam air (1:400) dan relatif
stabil. Kloramfenikol diinaktivasi oleh enzim yang ada dalam bakteri tertentu. Disini
terjadi reduksi gugus nitro dan hidrolisis ikatan amida; juga terjadi asetilasi. Berbagai turunan
kloramfenikol berhasil disintesis akan tetapi tidak ada senyawa yang khasiatnya melampaui
khasiat kloramfenikol.
Kloramfenikol adalah salah satu antibiotik yang secara kimiawi diketahui paling
stabil dalam segala pemakaian. Kloramfenikol memiliki stabilitas yang sangat baik pada suhu
kamar dan kisaran pH 2 sampai 7, stabilitas maksimumnya dicapai pada pH 6. Pada suhu
25oC dan pH 6, memiliki waktu paruh hampir 3 tahun. Yang menjadi penyebab utama
terjadinya degradasi kloramfenikol dalam media air adalah pemecahan hidrolitik pada
lingkaran amida. Laju reaksinya berlangsung di bawah orde pertama dan tidak
tergantung pada kekuatan ionik media (Connors, 1992).

Berlangsungnya hidrolisis kloramfenikol terkatalisis asam umum/basa umum,


tetapi pada kisaran pH 2 sampai 7, laju reaksinya tidak tergantung pH. Spesies
pengkatalisasi adalah asam umum atau basa umum yang terdapat pada larutan dapar yang
digunakan; khususnya pada ion monohidrogen fosfat, asam asetat tidak terdisosiasi, serta ion
asam monohidrogen dan dihidrogen sitrat dapat mengkatalisis proses degradasi. Di bawah
pH 2, hidrolisis terkatalisis ion hidrogen spesifik memegang peranan besar pada terjadinya
degradasi kloramfenikol. Obat ini sangat tidak stabil dalam suasana basa, dan reaksinya
terlihat terkatalisis baik asam maupun basa spesifik (Connors, 1992).

Degradasi kloramfenikol lewat dehalogenasi tidak menjadi bagian yang berperan


dalam gambaran degradasi total, setidaknya di bawah pH 7(Connors, 1992).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Obat tetes mata adalah obat tetes steril, umumnya isotoni dan isohidri, digunakan
dengan carameneteskan ke dalam lekuk mata atau ke permukaan selaput bening mata,
umumnya mengandung pengawet yang cocok, disterilkan dengan cara A atau C atau
dibuat secara aseptis, atau larutan encer steril atau larutan minyak steril dari senyawa
alkaloid, antibiotika atau zat aktif lain yang digunakan dengan meneteskannya pada
mata, larutan sebaiknya dibuat isotoni.
 Peranan kloramfenikol sebagai obat tetes mata adalah antibiotik yang mempunyai
aktifitas bakteriostatik, dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Aktivitas
antibakterinya dengan menghambat sintesa protein dengan jalan mengikat ribosom
subunit 50S, yang merupakan langkah penting dalam pembentukan ikatan peptida.
 Evaluasi pada obat tetes mata, yaitu pH sediaan akhir yaitu 7, dan jernih.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1999. Ilmu Meracik Obat. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Departemen Kesehatan RI, 1978. Formularium Nasional, edisi II, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 1979. Farmakope Indonesia, edisi III, Jakarta.

Departemen kesehatan RI, 1995. Farmakope Indonesia, edisi IV, Jakarta.

Syamsuni. 2006. Ilmu Resep. Kedokteran EGC. Jakarta


Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada University Press:

Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai