Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323303331

EKSISTENSI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR DI SUB DAS PERAPAU (Desa


Muara Danau dan Desa Tanah Abang, Kecamatan Semende Darat Laut,
Kabupaten Muara Enim)

Conference Paper · September 2016

CITATIONS READS

0 156

4 authors:

Efendi Agus Waluyo Nur Arifatul Ulya


Forestry Research and Development Agency Forestry Research and Development Agency, Indonesia
29 PUBLICATIONS   14 CITATIONS    27 PUBLICATIONS   12 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Adi Kunarso Tubagus Angga Anugrah Syabana


Ministry of Environment and Forestry, Indonesia Forestry Research and Development Agency
7 PUBLICATIONS   7 CITATIONS    3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Urban Forest View project

Traditional Medicine View project

All content following this page was uploaded by Efendi Agus Waluyo on 21 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Aspek Sosial Ekonomi

EKSISTENSI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR DI SUB DAS PERAPAU


(Desa Muara Danau dan Desa Tanah Abang,
Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim)

Efendi Agus Waluyo*, Nur Arifatul Ulya*, Adi Kunarso dan


Tubagus Angga Anugrah Syahbana
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang
*
E-mail: eawaluyo@gmail.com; nurarifatululya@gmail.com

ABSTRAK

Pandangan petani tentang air dalam kehidupan sehari-hari secara filosofi bahwa air merupakan bagian
dari sistem nilai perilaku bermasyarakat tani. Kelangkaan air dan semakin meningkatnya kebutuhan air
berpotensi menimbulkan konflik air pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Kenyataan yang
terjadi saat ini pada musim kemarau sering terjadi kelangkaan air untuk usaha pertanian. Kelembagaan
pengelolaan air merupakan hal yang penting dalam menjaga keberlanjutan penggunaan air.
Pengumpulan data dilakukan melalui survey lapangan, data dan informasi dikumpulkan melalui
wawancara semi-tersetruktur, wawancara mendalam (indept interview) dan Diskusi Kelompok Fokus
(Focus Group Discussion/FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan pengelolaan air
sawah sudah tidak ada lagi dimasyarakat sedangkan kelembagaan pengelolaan air untuk rumah tangga
mengalami penurunan. Hal ini karena kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah cenderung kurang
melembaga di masyarakat karena bersifat top down. Sehingga diperlukan usaha pemerintah untuk
mengaktifkan lembaga-lembaga pengelolaan air dengan memperhatikan nilai lokal yang ada.
Kata kunci: Air, DAS, kelembagaan, lokal, Semendo

I. PENDAHULUAN

Air merupakan sumber kehidupan (nyawa) bagi petani. Ketersediaan air yang
cukup untuk usaha pertanian diyakini oleh mereka bahwa apapun yang diusahakan
dipastikan berhasil. Pandangan petani tentang air dalam kehidupan sehari-hari secara
filosofi bahwa air merupakan bagian dari sistem nilai perilaku bermasyarakat tani. Air
sebagai salah satu bentuk barang publik dimana setiap orang berhak mendapatkannya
tanpa persaingan maupun batas pengkhususan. Namun, dengan ketersediaan air yang
terbatas di dunia, maka air cenderung lebih cocok jika disebut dengan Common Pool
Resources (CPR), yaitu suatu jenis barang publik dengan manfaat yang terbatas sehingga
ada persaingan dalam penggunaannya (Randall, 1983). Karena ada persaingan antar
penggunanya, maka untuk pengelolaannya diperlukan aturan main yang baik.
Kelembagaan pengelolaan air merupakan hal yang penting dalam menjaga keberlanjutan
penggunaan air. Kelembagaan adalah seperangkat aturan yang digunakan (aturan-aturan
kerja atau aturan-aturan yang benar-benar dipakai) oleh sejumlah individu untuk
mengatur kegiatan-kegiatan yang berulang yang mendatangkan hasil sehingga
mempengaruhi semuai individu-individu tersebut dan secara potensial mempengaruhi
yang lain (Ostrom, 1992).
Perubahan iklim yang terjadi menyebabkan penyediaan air tanah relatif terbatas.
Meningkatnya degradasi lahan hutan tangkapan hujan karena ulah manusia
menyebabkan penyediaan air pada sumber mata air dari tahun ke tahun semakin
menurun (Suwardji et al., 2002). Perubahan pola curah hujan bedampak terhadap
ketersediaan air masa mendatang, sehingga ketersediaan sistem pengelolaan air yang
efisien dan efektif akan semakin diperlukan (Boer et al., 2005).

241
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

Berbagai bukti menunjukkan bahwa sumber air untuk pertanian di beberapa desa
di sekitar sub DAS Perapau mempunyai kecenderungan semakin berkurang. Degradasi
hutan di daerah hulu, prasarana jaringan irigasi yang semakin rusak dan kinerja
kelembagaan air dalam pengelolaan sumber daya air untuk pertanian yang semakin
menurun merupakan faktor utama terjadinya krisis air. Kelangkaan air dan semakin
meningkatnya kebutuhan air berpotensi menimbulkan konflik air pada berbagai sektor
kehidupan masyarakat. Kenyataan yang terjadi saat ini pada musim kemarau sering
terjadi kelangkaan air untuk usaha pertanian. Pengendalian sistem pengelolaan air yang
ditangani langsung oleh pemerintah menyebabkan rasa memiliki petani rendah sehingga
masyarakat menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab pemerintah. Hal ini
memberikan gambaran bahwa masalah modal sosial merupakan faktor utama yang perlu
dibangun kembali dalam penguatan kelembagaan pemanfaatan air untuk pertanian.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


Kajian ini dilakukan di desa Muara Danau dan Desa Tanah Abang, Kecamatan
Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan pada Bulan
Agustus 2015.
B. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui survey lapangan, data dan informasi
dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur, wawancara mendalam (indept
interview) dan Diskusi Kelompok Fokus (Focus Group Discussion/FGD). Responden yang
dipilih terdiri dari masyarakat petani pengguna air, pengurus air, aparat desa, para tetua
masyarakat desa, dan penyuluh.
C. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Data yang telah
diperoleh diidentifikasi, diinterpretasi dan ditarik kesimpulan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik DAS Perapau


Tutupan lahan di wilayah studi didominasi oleh perkebunan (64,71%), yaitu
berupa kebun karet, kopi, dan kebun campuran (durian, coklat, jengkol, petai) (Tabel 1).
Di bagian selatan wilayah DAS Perapau, pada ketinggian 1000 - 1490 mdpl, terdapat
hutan primer yang menjadi hulu Sungai Betung yang bermuara di Sungai Perapau. Hutan
primer tersebut merupakan bagian dari Hutan Lindung (HL) Bukit Jambul Asahan.
Sedangkan di bagian utara DAS, juga terdapat hutan primer yang menjadi bagian dari
Hutan Suaka Alam (HSA) Isau-Isau Pasemah, yang sekaligus merupakan hulu Sungai
Perapau. Luas tutupan hutan saat ini diperkirakan sekitar 19,07% dari luas DAS Perapau.

242
Aspek Sosial Ekonomi

Tabel 1. Luas tutupan lahan DAS Perapau


Tutupan Lahan Luas (ha) Persen (%)
Hutan primer 748,40 19,07
Hutan sekunder 78,65 2,00
Semak/ belukar 43,90 1,12
Perkebunan 2.539,00 64,71
Pertanian lahan kering 23,74 0,60
Sawah 256,84 6,55
Pemukiman 17,05 0,43
Tanah terbuka 215,97 5,50
Total 3.923,54 100,00
(Sumber: Data primer yang diolah)
B. Kelembagaan Pengelolaan Air
Peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk dan mengingkatnya jumlah petani
yang mengusahakan lahan pertanian dan keberhasilan pembangunan di bidang pertanian
menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan akan air terutama di sektor pertanian.
Penduduk di desa Tanah Abang dan Muara Danau sebagian besar bermatapencaharian
sebagai petani kopi dan sawah untuk memenuhi kebutuhan pangan (BPS, 2016). Untuk
mengimbangi kebutuhan akan air yang semakin meningkat maka diperlukan pengelolaan
atau manajemen air yang lebih efisien serta peningkatan kemampuan dan partisipasi
kelembagaan dalam pengelolaan air.
Menurut Bulu et al., (2006) ada 3 aspek utama yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan sumber daya air yaitu teknik, kelembagaan dan sosial budaya. Ke tiga aspek
tersebut harus saling menunjang dalam pengelolaan sumberdaya air. Pada aspek
kelembagaan tidak hanya menyangkut organisasi dalam penyediaan dan penggunaan
yang terkait dengan pendistribusian air serta pelayanan umum, tetapi yang lebih penting
adalah penggunaan air secara efektif dan efisien. Kecenderungan semakin menurunnya
kuantitas atau terjadinya kelangkaan air yang terjadi akhir-akhir ini tentunya
membutuhkan pengelolaan pengelolaan air yang lebih arif termasuk pemilihan teknologi
yang sesuai dengan ketersediaan air.
1. Desa Tanah Abang
Mata air Sungai Perapau yang mengaliri Desa Tanah Abang berasal dari perbukitan
yang dikenal oleh masyarakat Desa Tanah Abang sebagai Talang Ampe. Menurut
informasi dari tokoh masyarakat Desa Tanah Abang, sumber mata air tersebut berada di
hutan lindung. Pada Musim kemarau panjang tahun 1997 yang dimulai pada bulan Mei,
masyarakat mulai kekurangan air, tetapi masih bisa bercocok tanam. Sehubungan dengan
semakin maraknya pembukaan hutan di Talang Ampe, pada tahun 2002 sampai 2003
maka pada musim kemarau masyarakat benar-benar tidak bisa bercocok tanam. Tahun
2015 terjadi musim kemarau kering. Air sudah tidak ada mulai bulan Maret, sehingga
masyarakat tidak bisa membudidayakan sawah.
Secara umum ada 2 pengelolaan air di desa Tanah Abang, yaitu pengelolaan air
untuk persawahan dan air rumah tangga. Sumber air bagi masayarakat Desa Tanah Abang
adalah Sungai Perapau, sumur dan jaringan air bersih WSLIC (Water Sanitation for Low
Income Community) yang merupakan program dari Kementerian Kesehatan. Sungai
Perapau dimanfaatkan utamanya untuk irigasi sawah. Sumur dan jaringan air bersih
WSLIC dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga.

243
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

a. Kelembagaan air pertanian


Pengaturan air untuk persawahan pada periode sebelum tahun 1970 diatur oleh
kepala siring. Kepala siring merupakan jabatan yang diperoleh secara turun temurun dan
merupakan pemilik sawah yang letak sawahnya paling hulu dalam suatu hamparan
sawah. Tugas kepala siring yaitu mengkoordinir pembagian air dalam suatu hamparan
sawah. Akan tetapi jabatan kepala siring merupakan jabatan sosial karena tidak ada
imbalan jasa bagi kepala siring. Terdapat seorang kelapa siring dalam suatu hamparan
sawah. Adapun di Desa Tanah Abang terdapat 8 hamparan sawah (bahasa lokal : ataran),
yaitu: (1) air betung, (2) padang kunyit, (3) padang sepit, (4) nanjungan, (5) danau nipis,
(6) danau barang, (7) danau buntak, dan (8) dusun (di tepi dusun). Ataran padang sepit,
padang kunyit merupakan hamparan sawah yang paling dekat dengan Talang Ampe.
Posisi kepala siring di ataran nanjungan sudah tidak ada sejak tahun 1960-an awal.
Hilangnya posisi kepala siring di ataran nanjungan karena debit air semakin kecil sehingga
dianggap tidak perlu diatur lagi karena tidak ada yang bisa diatur lagi. Posisi kepala siring
di Desa Tanah Abang secara umum sudah tidak ada pada tahun 1970. Pengaturan air
dilakukan secara gotong royong oleh pemilik sawah. Apabila ada permasalahan
pengairan, biasanya masyarakat melakukan gotong royong mulai dari bendungan,
kemusian air dialirkan ke siring dan diatur ke bidang sawah (bahasa lokal : tanggam).
Masyarakat di Desa Tanah Abang dengan rentang usia sekitar 30 tahun bisa dinyatakan
tidak lagi mengenal istilah kepala siring.
Pada dasarnya masyarakat di Desa Tanah Abang mempunyai aturan adat dari
nenek moyang (Puyang) yang menyatakan bahwa hutan di sekitar sumber mata air tidak
boleh dibuka (dalam bahasa lokal = dipanaskan). Apabila hutan yang berada di sekitar
mata air ditebang/dibuka, maka orang yang membuka/menebang akan dikenakan hukum
adat yaitu dikucilkan dari masyarakat. Larangan untuk membuka/menebang hutan di
sekitar sumber diperkuat oleh aturan pemerintah yang dalam hal ini disampaikan oleh
camat kepada kepala desa (Keriyo) dan seluruh masyarakat di Desa Tanah Abang, bahwa
hutan dengan radius 100 meter dari sumber mata air tidak boleh ditebang/dibuka. Aturan
ini sangat potensial untuk dijadikan landasan dalam pembentukan lembaga-lembaga
pengelolaan air. Karena nilai-nilai lokal ini sangat mendukung dalam pengelolaan sumber
daya air (Sulastriyono, 2009).
b. Kelembagaan Air rumah tangga
Pada periode sebelum tahun 1980-an masyarakat Desa Tanah Abang
memanfaatkan air Sungai Perapau untuk air minum, memasak dan kegiatan mandi, cuci,
kakus (MCK). Air minum diambil dengan menggunakan bambu (bahasa lokal: sambang).
Sumur mulai dibuat oleh sebagian kecil masyarakat mulai tahun 1980-an. Sumur pada
awalnya digunakan sebagai sumber air minum dan memasak, sedangkan kegiatan MCK
masih dilakukan di sungai.
Pembangunan sumur semakin marak pada tahun 2000-an, setelah listrik masuk ke
Desa Tanah Abang pada tahun 1999. Selain karena adanya jaringan listrik, masyarakat
beralih dari sungai ke sumur sebagai sumber air karena air Sungai Perapau mulai tidak
layak untuk dikonsumsi baik untuk minum, memasak maupun MCK. Air Sungai Perapau
mulai kotor, cepat keruh pada musim hujan dan pencemarannya tinggi sebagai akibat dari
penggunaan pestisida di bagian hulu sungai yang semakin meningkat. Sumber air bersih
lainnya yang bagi masyarakat Desa Tanah Abang berasal dari Program Water and
Sanitation for Low Income Community (WSLIC) Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. WSLIC merupakan suatu program penyediaan sarana air bersih dan sanitasi

244
Aspek Sosial Ekonomi

yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaannya, mulai dari tahap
perencanaan, pembangunan hingga pengelolaan. Jaringan air bersih melalui program
WSLIC dibangun di Desa tanah Abang pada tahun 2006 dan dioperasikan pada tanggal 18
Juli . Melalui progra W“LIC di a gu tugu air se ara ersa aa , di a a
tugu diproyeksikan untuk melayani 7 rumah tangga. Jaringan ini direncanakan melayani 1
desa (Desa Tanah Abang) yang terdiri dari 3 dusun. Sumber mata air (bahasa lokal = entup
entup) dari jaringan air bersih WSLIC adalah Ayek Hangat yang berada di ataran, tepatnya
di kebun milik Bapak Abdul Haki. Pengelolaan jaringan air bersih WSLIC dilakukan oleh
pengurus yang terdiri dari Ketua, sekretaris, bendahara dan 2 orang datuk air (bahasa
lokal = datuk ayek). Pengurus ini dipilih oleh Badan Permusyawaratan Desa (BDP) dan
perangkat desa.
Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan layanan air bersih WSLIC tidak
dikenakan biaya awal. Biaya sebesar Rp. 1.000 per bulan dikenakan bagi rumah tangga
yang mengambil air di keran-kera ya g terdapat di tugu air. Masyarakat ya g
menya u gka sela g atau pipa dari tugu ke ru ah dike aka iaya ‘p. . per
ula . Pada a al pe goperasia W“LIC terdapat sa u ga dari tugu air ke ru ah
Layanan jaringan air bersih ini berjalan dengan baik sampai tahun 2008. Pada
tahun 2009 sampai 2010 sebagian masyarakat pengguna air WSLIC mulai tidak disiplin,
dengan tidak menutup keran air ketika, sehingga sebagian masyarakat tidak bisa
memperoleh air. Saat ini masyarakat yang menyambung ke jaringan WSLIC secara aktif
tinggal 40 rumah, yang berada di Dusun 1. Kualitas air dari jaringan WSLIC tidak
mengalami penurunan kualitas sampai saat ini meskipun jangkauan layanannya
berkurang. Semakin berkurangnya partisipasi dan anggota yang aktif dalam jaringan
WSLIC karena kurang adanya kontrol dari pemerintah setelah proyek berakhir. Menurut
Nurcahya dan Purboyo (2013) bahwa peran pemerintah dalam pemberlakukan peraturan
terhadap sumberdaya air sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya konflik dan
eksploitasi air yang berlebihan. Anandini (2011) menambahkan bahwa keberhasilan
program WSLIC itu sangat tergantu pada individu-individu setiap desa, adanya tokoh
utama yang peduli dan aktif sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan program ini
sedang kurangnya kapasitas lembaga pengelolanya bisa menyebabkan program ini tidak
berjalan dengan baik.
2. Desa Muara Danau
Masyarakat Desa Muara Danau menggunakan Sungai Betung dan Betung Renik
(bahasa lokal: Betung Ghenik). Desa Muara Muara Danau mulai ada pada tahun 1916. Air
dari kedua sungai tersebut dialirkan melalui siring (saluran air) ke desa yang kemudian
dimanfaatkan untuk irigasi maupun kebutuhan rumah tangga.
a. Kelembagaan air pertanian
Air untuk persawahan berasal dari Sungai Betung yang dialirkan ke siring. Lembaga
pengelolaan air tidak ditentukankan secara adat istiadat. Air dari sumber air di Bukit Blai
dialirkan ke 4 babakan (3 babakan di Desa Muara Danau dan 1 babakan di Desa
Penyandingan). Air dari babakan dialirkan ke 3 siring di Desa Muara Danau. Lembaga
pengelolaan air mulai dibentuk pada tahun 1966 karena terjadi konflik terkait pengaliran
air dari siring ke sawah (tanggam).
Pengelolaan air untuk persawahan mulai tahun 1966 dilakukan oleh datuk air.
Terdapat 3 datuk air, sesuai dengan jumlah siring di Desa Muara Danau. Datuk siring
dipilih dengan musyawarah. Datuk siring mengawasi dan memperbaiki tanggam, serta

245
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

mengajak masyarakat pemilik sawah bergotong royong bila ada gangguan di siring. Datuk
siring diberi imbalan 1 kaleng padi (7 kg) per bidang sawah. Jabatan datuk siring sudah
tidak ada lagi pada tahun 1970-an karena masyarakat sudah sadar akan pembagian air
dan tidak terjadi perebutan/konflik air irigasi.
Lembaga pengelolaan air dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1997 dengan
nama Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). P3A adalah kelembagaan pengelolaan air
irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah atau desa yang
dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga local pengelola
irigasi. Lembaga ini tidak berfungsi lagi sejak ada jabatan pamong tani dalam struktur
pemerintahan desa. Saat ini orang yang dulunya pengurus P3A masih difungsikan ketika
ada permasalahan air. Hasil kajian Agustina dan Subari (2011) menyebutkan bahwa
organisasi P3A meskipun cukup terorganisir tetapi tetapi tidak cukup melembaga karena
kebersamaan antara anggota dan penggurus masih kurang serta banyak dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah yang dibuat secara top down. Sedangkan keberhasilan pengelolaan
air irigasi pertanian sangat tergantung kepada pengelolaan/manajemen ditingkat lokal
(Rahman, 2009).
Mata air utama dari Sungai Betung dan Betung Renik berada di Bukit Balai. Jenis
pohon yang tumbuh alami di hutan yang berada di hulu sungai antara lain adalah cemare,
serian, medang, pampat, seru, penawang mami, tenam dan rimau. Masyarakat Desa
Muara Danau mempunyai ajaran dari nenek moyang (bahasa lokal: puyang), bahwa
dilarang membuka hutan di atas sumber air agar sumber air tidak kering. Pembukaan
hutan untuk perluasan ataran yang dikelola sebagai kebun kopi maupun sawah
menyebabkan jarak hutan dari desa semakin jauh. Mulai tahun 2006 jarak dari desa ke
hutan sekitar 1,5 km. Selain itu kondisi air di Sungai Betung juga berubah, dimana pada
musim hujan meluap sedangkan musim kemarau debitnya kecil meskipun tidak pernah
terjadi kekeringan.
b. Kelembagaan air rumah tangga
Masyarakat Desa Muara Danau memanfaatkan air dari pemandian umum.
Pemandian umum di Desa Muara Danau hanya 1, yang dimanfaatkan oleh masayarakat
untuk mengambil air minum dan MCK. Air pemandian umum berasal dari siring, dan
sisanya dibuang ke siring untuk irigasi sawah.
Pembuatan sumur mulai ada tahun 2000-an. Masyarakat membuat sumur untuk
kemudahan mengambil air dan rasa segan karena aturan air ya g dia il dari siri g
harus ke alu ke siri g , se e tara ereka tidak e galirka air ke siri g.
Saat ini sebagian masyarakat mempunyai sumur untuk mencukupi kebutuhan
rumah tangga, dan juga terdapat jaringan air bersih dari PAMSIMAS (Penyediaan Air
Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) di dusun 2 (dua) yang posisnya berada di
bawah. PAMSIMAS merupakan proyek dari pemerintah dalam menyediaakan air bersih
berbasis masyarakat. Jaringan air bersih PAMSIMAS hanya ada di Dusun 2. Masyarakat di
Dusun 1 tidak mengijinkan pembangunan PAMSIMAS karena direncanakan akan
mengambil air di hulu Sungai Betung. Masyarakat Dusun 1 khawatir air untuk pertanian
berkurang. Permasalahan ini yang mengakibatkan program ini tidak bisa berjalan di
seluruh wilayah desa. Penelitian yang dilakukan oleh Heston dan Wati (2011) terhadap
efektivitas kinerja program PAMSIMAS menemukan bahwa proses pemberdayaan perlu
diperhatikan untuk melihat keterlibatan dan pola prilaku masyarakat terhadap program
tersebut serta perlu adanya kejelasan dalam tahapan sosialisasi di masyarakat.

246
Aspek Sosial Ekonomi

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian di kedua desa dapat disimpulkan bahwa keberadaan


kelembagaan pengelolaan air baik untuk pertanian maupun air rumah tangga mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Kelembagaan pengelolaan air sawah sudah tidak ada lagi
dimasyarakat sedangkan kelembagaan pengelolaan air untuk rumah tangga mengalami
penurunan. Hal ini karena kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah cenderung
kurang melembaga di masyarakat karena bersifat top down. Masih adanya potensi konflik
di masyarakat akibat kekurangan penyediaan air baik untuk pertanian sawah maupun
untuk rumah tangga cenderung menimbulkan sehingga diperlukan usaha pemerintah
untuk mengaktifkan lembaga-lembaga pengelolaan air dengan memperhatikan nilai lokal
yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, D. A. dan Subari. 2011. Potensi kearifan lokal dalam kelembagaan pengelolaan
irigasi di pulau Jawa. Jurnal Irigasi Vol. 6 No. 2. Hal: 104 – 113.
Anandini, F. 2011. Identifikasi prospek keberlanjutan kegiatan penyediaan air bersih
berbasis masyarakat setelah program Water and Sanitation for Low Income
Community 2 (Studi kasus: Kabupaten Bogor). Jurnal Perencanaan Wilayah dan
Kota. Vol. 22 No.3. Hal: 161 – 178.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2016. Kecamatan Semende Darat Laut dalam angka 2016. BPS
Muara Enim.
Boer, R., Y. Koesmaryono, dan H. Harjanto. 2005. Dinamika iklim masa kini dan
mendatang dan hubungannya dengan ketersediaan air. Makalah disampaikan
dalam seminar Nasional PERHIMPI. Mataram tanggal 1 September.
Bulu, Y. G., K. Pupadi, I. M. Wisnu, W. R, Sasongko dan Mashur. 2006. Kerlembagaan air
sebagai solusi mengatasi kelangkaan dan konflik air di kabupaten Lombok Timur.
Dalam Pasandaran, E., B. Sayoko, T. Pranadji. Pengelolaan Lahan dan Air di
Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Hal: 156 – 169.
Heston, Y.P. dan N.A.P. Wati. 2011. Sanitasi dan kesehatan lingkungan: Pengukuran dan
keberlanjutannya. teknosain. Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Bidang Pemukiman. Yogyakarta.
Nurcahya, A. dan H. Purboyo. 2013. Privatisasi lokal dalam penyediaan dan pengelolaan
air bersih di wilayah peri urban. Studi kasus: Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol.2
No.2. Hal: 1- 9.
Ostrom, E. 1992. Crafting institution for self governing irrigation system. Institute for
Contemporary Studies. San Fransisco, California.
Rachman, B. 2009. Kebijakan sistem kelembagaan pengelolaan irigasi: Kasus Provinsi
Banten. Jurnal Kebijakan Pertanian. Vol. 7 No. 1 Hal: 1 – 19.
Randall, A. 1983. The problem of market failures. Natural Resources Journal, Vol. 23, No.
1.

247
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

Sulastriyono. 2009. Nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air di Telaga
Omang dan Ngloro kecamatan Saptosari, Gunung Kidul Yogyakarta. Mimbar
Hukum Vol. 21, No. 2 Hal: 203 – 408.
Suwardji dan Tejowulan. 2002. Pengembangan pertanian lahan kering terpadu dengan
pe erapa ko sep Master BLEQ di Pro i si NTB. Pusat Pe gkajia Laha Keri g
dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL)-UNRAM. Mataram.

248
PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN
さTata Kelola Hutan untuk Mewujudkan Pembangunan Hijau Sumatera Selatanざ
Palembang, 1 September 2016

ISBN:
978-602-98588-6-0

Penyunting:
Abdul Hakim Lukman
Fitri Nurfatriani
Neo Endra Lelana
R Deden Djaenudin

Penerbit
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

Alamat
Jl. Kolonel H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu Palembang
Telp/Fax. (0711) 414864
Email: balithut.palembang@gmail.com
Website: www.bpk-palembang.org atau http://palembang.litbang.menlhk.go.id

Foto Sampul: Agus Sumadi


Disain Sampul dan Tata Letak: Hendra Priatna

Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA


Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang TA. 2017
PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN
さTata Kelola Hutan untuk Mewujudkan
Pembangunan Hijau Sumatera Selatanざ
Palembang, 1 September 2016

Penyunting:
Abdul Hakim Lukman
Fitri Nurfatriani
Neo Endra Lelana
R Deden Djaenudin

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PALEMBANG
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup


dan Kehutanan Palembang (BP2LHK Palembang) tahun 2016 dilaksanakan secara
kolaboratif dengan GIZ BIOCLIME Project dan didukung oleh Bappeda Provinsi Sumatera
Selatan, Universitas Sriwijaya, Balai Penelitian Karet Sembawa dan Institut Pertanian
Bogor di bidang konservasi sumber daya hutan, silvikultur, perlindungan dan biometrika
serta sosial, ekonomi dan kebijakan. Ekspose dilaksanakan pada tanggal 1 September
2016 di Palembang dengan tema Tata Kelola Hutan untuk Mewujudkan Pembangunan
Hijau Sumatera Selatan. Penyelenggaraan ekspose disasar untuk mewujudkan sinergitas
antar pihak dalam mencari solusi bersama guna mewujudkan tata kelola kehutanan untuk
mendukung pembangunan hijau di Sumatera Selatan, membangun capacity building dan
kepercayaan masyarakat terhadap institusi litbang dan lembaga pengelola project
kerjasama, mendukung program-program kerja pemerintah di bidang lingkungan hidup
dan kehutanan, serta membangun jejaring kerja penelitian.
Prosiding ini memuat seluruh materi presentasi dan makalah poster yang relevan
dan mendukung tema ekspose setelah melalui tahap penyuntingan dari tim penyunting
sesuai kepakaran terkait di lingkup Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Data dan informasi dalam prosiding ini bermanfaat menjadi
landasan ilmiah bagi pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan, sebagai tambahan
informasi untuk memahami status terkini pengelolaan hutan di Sumatera Selatan serta
bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan mewujudkan pembangunan hijau di
Sumatera Selatan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada para pihak yang telah
membantu dalam penyelenggaraan Ekspose hingga Prosiding ini dapat tersusun. Semoga
prosiding ini bermanfaat untuk semua pihak.

Palembang, Maret 2017


Kepala Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Palembang,

Ir. Tabroni, MM
NIP. 196302231990031003

iii
13. Tormentella. Sp.: Ektomikoriza Promiscuous Species Untuk Rehabilitasi Hutan
Dipterokarpa
Maliyana Ulfa, Eny Faridah, Su See Lee, Sumardi, Antoine Galiana,
Christine le Roux, Patahayah Mansor dan Andi Nopriansyah ................................ 123
B. ASPEK PERLINDUNGAN HUTAN
1. Potensi Beberapa Jenis Tumbuhan Bawah untuk Pengendalian Hama
Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah ........................................................................ 133
2. Pengendalian Gulma Gadung (Dioscorea hispida Dennst) pada Tanaman Kayu
Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs)
Andika Imanullah dan Agus Kurniawan ................................................................. 141
3. Serangan Hama Babi Hutan pada Tanaman Rotan Jernang dan Alternatif
Pengendaliannya
Agus Kurniawan ...................................................................................................... 149
4. Serangan Hama Kutu Daun (Toxoptera aurantii) pada Jenis Seru di Persemaian
Agus Kurniawan dan Andika Imanullah ................................................................. 157
5. Kandungan Fitokimia Beberapa Tumbuhan Obat di Pesisir Pantai dan Lahan
Basah Serta Potensinya sebagai Pestisida Nabati
Asmaliyah, Etik Erna Wati Hadi, Efendi Agus Waluyo dan Imam Muslimin .......... 165
C. ASPEK KONSERVASI DAN LINGKUNGAN
1. Potensi Penyerapan Karbon pada Pola Tumpang Sari Karet dan Tanaman Kayu
Sahuri ...................................................................................................................... 179
2. Peningkatan Akurasi Pendugaan Emisi Sektor Hutan dan Lahan Melalui Pengukuran
Cadangan Karbon Tier 3 dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim di Sumatera Selatan
Hengki Siahaan, Adi Kunarso dan Tedy Rusolono ................................................. 187
D. ASPEK SOSIAL EKONOMI
1. Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran: Kritik Ideologis dan Alternatif
Pembangunan Lokal
Lukas Rumboko Wibowo, Ismatul Hakim, Yadi, Triyono Puspitojati,
Aneka Prawesti Suka, Dewi Ratna Kurniasari dan Fitri Nurfatriani ....................... 201
2. Dapatkah Pertumbuhan Ekonomi Hijau Mencapai Pembangunan Ekonomi
Berkelanjutan? Pembelajaran dari Riau untuk Sumatera Selatan
Mamat Rahmat ..................................................................................................... 209
3. Pencegahan Karhutla untuk Mendukung Pertumbuhan Hijau di Sumatera Selatan:
Studi Kasus di Desa Riding
Mamat Rahmat, Bondan Winarno, Bastoni dan Adi Kunarso ............................... 219
4. Kelembagaan Pengelolaan DAS untuk Mendukung Kelestarian DAS Musi
Nur Arifatul Ulya. ..................................................................................................... 231
5. Eksistensi Kelembagaan Pengelolaan Air di Sub DAS Perapau (Desa Muara Danau
Laut, Kabupaten Muara Enim)
Efendi Agus Waluyo, Nur Arifatul Ulya, Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah
Syahbana ............................................................................................................... 241

vi
Lampiran

Lampiran 3. Daftar Peserta

No Nama Lengkap Instansi


1 Nesti Andriani BP2LHK Palembang
2 Ahwansah Putra Mahasiswa Kehutanan
3 Zulpan Padli RHLPP Muba
4 Mega Selviani KPHL Banyuasin
5 Heri Kusriyanto Setbadan Litbang
6 Pauli Kristianto Partisipan Palembang
7 Dian Septianita Univ. Syakhyakirti Palembang
8 Ansyori Yunus Dishut Provinsi Sumsel
9 Nurhadi Balai PPI-Karhutla
10 Sahwalita BP2LHK Palembang
11 Cik Aluyah Stiper Sriwigama
12 Asmaliyah BP2LHK Palembang
13 Etik Erna Wati Hadi BP2LHK Palembang
14 Efendi A Waluyo BP2LHK Palembang
15 Ari Nurlia BP2LHK Palembang
16 Imam Muslimin BP2LHK Palembang
17 Novri Sisfanto BDLHK Pekanbaru
18 Mamat Rahmat BP2LHK Palembang
19 Agus Kurniawan BP2LHK Palembang
20 M. Andri PT. KEN
21 Edwin Martin BP2LHK Palembang
22 A.H Lukman BP2LHK Palembang
23 Safrudin Mokodompit BP2LHK Palembang
24 Fitri Agustina BP2TSTH Kuok
25 Gusti Nirwana Putra BLH Provinsi Sumsel
26 Agus Sofyan BP2LHK Palembang
27 Safrul Yunardy BAPPEDA Provinsi Sumsel
28 Bambang Setiyono BP2LHK Palembang
29 Nanang Herdiana BP2LHK Palembang
30 Lukas Rumboko Wibowo P3SEKPI
31 Zulfikar Setda Provinsi Sumsel
32 Joko Triono Dishut Provinsi Jambi
33 Ellyn K Damayanti PPLH IPB – BIOCLIME
34 Hilda Zukifli UNSRI Palembang
35 M. J. Rosyid Balai Penelitian Sembawa
36 Saripin BP2LHK Palembang
37 Joni Muara BP2LHK Palembang
38 Sufyan Suri BP2LHK Palembang
39 M. Sidiq GIZ BIOCLIME

310
Lampiran

No Nama Lengkap Instansi


40 Urip Wiharjo PT. KEN
41 Purwanto BP2LHK Palembang
42 Nys Wardah GIZ BIOCLIME
43 Endang S Stiper Sriwigama
44 Parinah KPHP Lalan
45 Rendra Bayu P GIZ-BIOCLIME
46 Nina Rose Dishut Provinsi Sumsel
47 Nurkholis Dishut Provinsi Sumsel
48 Iwan Setiawan HTI PT. Sinarmas
49 Bambang Supriyadi PT. MHP
50 Hemansyah BALITBANGNOVDA
51 H. Ali Munir BALITBANGNOVDA
52 Hengki Siahaan BP2LHK Palembang
53 Voli Setiawan KPHL Banyuasin
54 Dida Migfar Dit. IGRK MPV KLHK
55 Sri Maryam BALITBANGNOVDA
56 Kurniawati Negara BP2IKHL
57 Neneng H. Liliana KPHP BBC
58 Oktriana Vertasari Tim Restorasi Gambut
59 Laila Fahriati BPDASHL Musi
60 Eni Rulianti BPDASHL Musi
61 Zulkarnaen BAKORLUH
62 Samsul Bachir BTN – BS
63 Arip Rahman KPHP Subanjeriji
64 Bastoni BP2LHK Palembang
65 Alwi K BP2LHK Palembang
66 Nasrun BP2LHK Palembang
67 Ardi Candra Dit. IGRK/UNDP
68 Alimusin BALITBANGNOVDA
69 Yudha Barata Dishut Kabupaten MUBA
70 Ichwan Rosyidi KPHP Lakitan
71 Jun Harbi Univ. Muhamadiyah Palembang
72 Atep Edi H BPKH II Palembang
73 Sri Lestari BP2LHK Palembang
74 Raditya Ariet G Setbadan BLI
75 Indra Yustian UNSRI
76 Fentie P3SEKPI
77 Sahuri Balai Penelitian Sembawa
78 Bondan Winarno BP2LHK Palembang
79 M. Emron Funaka Dishub Kabupaten MUBA

311
Lampiran

No Nama Lengkap Instansi


80 Hadenli Ugihan BLH Provinsi Sumsel
81 Apri Nuryanti UPTB PR
82 Muallimah Gustini UPTB PR
83 Hartati Yusuf BAPEDA Sumsel
84 Andika Imanullah BP2LHK Palembang
85 Andri BPHP V
86 Ahmad Adi Jaya BPHP V
87 Yanita Aryani BAKORLUH
88 Etika BAKORLUH
89 Desy Hafizah BAKORLUH
90 Muhamad Yazid UNSRI
91 M Arif Sardi BAKORLUH
92 Rachman E P3SEKPI
93 Priyono P3SEKPI
94 Fauzi PSDI Kabupaten Banyuasin
95 Fetty F BPTH Wilayah I
96 Sadid PT. REKI
97 Maliyana Ulfa BP2LHK Palembang
98 Andi Nopriansyah BP2LHK Palembang
99 M Ied Akbar UPTB PR
100 Selvi Mahinda H BAPEDA Sumsel
101 Rendi Puji BAPEDA Sumsel
102 Agus Sumadi BP2LHK Palembang
103 Andhi Wiriansyah BAPEDA Sumsel
104 Adi Kunarso BP2LHK Palembang
105 Bambang Tejo Premono BP2LHK Palembang
106 Nur Arifatul Ulya BP2LHK Palembang

312

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai