net/publication/323303331
CITATIONS READS
0 156
4 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Efendi Agus Waluyo on 21 February 2018.
ABSTRAK
Pandangan petani tentang air dalam kehidupan sehari-hari secara filosofi bahwa air merupakan bagian
dari sistem nilai perilaku bermasyarakat tani. Kelangkaan air dan semakin meningkatnya kebutuhan air
berpotensi menimbulkan konflik air pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Kenyataan yang
terjadi saat ini pada musim kemarau sering terjadi kelangkaan air untuk usaha pertanian. Kelembagaan
pengelolaan air merupakan hal yang penting dalam menjaga keberlanjutan penggunaan air.
Pengumpulan data dilakukan melalui survey lapangan, data dan informasi dikumpulkan melalui
wawancara semi-tersetruktur, wawancara mendalam (indept interview) dan Diskusi Kelompok Fokus
(Focus Group Discussion/FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan pengelolaan air
sawah sudah tidak ada lagi dimasyarakat sedangkan kelembagaan pengelolaan air untuk rumah tangga
mengalami penurunan. Hal ini karena kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah cenderung kurang
melembaga di masyarakat karena bersifat top down. Sehingga diperlukan usaha pemerintah untuk
mengaktifkan lembaga-lembaga pengelolaan air dengan memperhatikan nilai lokal yang ada.
Kata kunci: Air, DAS, kelembagaan, lokal, Semendo
I. PENDAHULUAN
Air merupakan sumber kehidupan (nyawa) bagi petani. Ketersediaan air yang
cukup untuk usaha pertanian diyakini oleh mereka bahwa apapun yang diusahakan
dipastikan berhasil. Pandangan petani tentang air dalam kehidupan sehari-hari secara
filosofi bahwa air merupakan bagian dari sistem nilai perilaku bermasyarakat tani. Air
sebagai salah satu bentuk barang publik dimana setiap orang berhak mendapatkannya
tanpa persaingan maupun batas pengkhususan. Namun, dengan ketersediaan air yang
terbatas di dunia, maka air cenderung lebih cocok jika disebut dengan Common Pool
Resources (CPR), yaitu suatu jenis barang publik dengan manfaat yang terbatas sehingga
ada persaingan dalam penggunaannya (Randall, 1983). Karena ada persaingan antar
penggunanya, maka untuk pengelolaannya diperlukan aturan main yang baik.
Kelembagaan pengelolaan air merupakan hal yang penting dalam menjaga keberlanjutan
penggunaan air. Kelembagaan adalah seperangkat aturan yang digunakan (aturan-aturan
kerja atau aturan-aturan yang benar-benar dipakai) oleh sejumlah individu untuk
mengatur kegiatan-kegiatan yang berulang yang mendatangkan hasil sehingga
mempengaruhi semuai individu-individu tersebut dan secara potensial mempengaruhi
yang lain (Ostrom, 1992).
Perubahan iklim yang terjadi menyebabkan penyediaan air tanah relatif terbatas.
Meningkatnya degradasi lahan hutan tangkapan hujan karena ulah manusia
menyebabkan penyediaan air pada sumber mata air dari tahun ke tahun semakin
menurun (Suwardji et al., 2002). Perubahan pola curah hujan bedampak terhadap
ketersediaan air masa mendatang, sehingga ketersediaan sistem pengelolaan air yang
efisien dan efektif akan semakin diperlukan (Boer et al., 2005).
241
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
Berbagai bukti menunjukkan bahwa sumber air untuk pertanian di beberapa desa
di sekitar sub DAS Perapau mempunyai kecenderungan semakin berkurang. Degradasi
hutan di daerah hulu, prasarana jaringan irigasi yang semakin rusak dan kinerja
kelembagaan air dalam pengelolaan sumber daya air untuk pertanian yang semakin
menurun merupakan faktor utama terjadinya krisis air. Kelangkaan air dan semakin
meningkatnya kebutuhan air berpotensi menimbulkan konflik air pada berbagai sektor
kehidupan masyarakat. Kenyataan yang terjadi saat ini pada musim kemarau sering
terjadi kelangkaan air untuk usaha pertanian. Pengendalian sistem pengelolaan air yang
ditangani langsung oleh pemerintah menyebabkan rasa memiliki petani rendah sehingga
masyarakat menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab pemerintah. Hal ini
memberikan gambaran bahwa masalah modal sosial merupakan faktor utama yang perlu
dibangun kembali dalam penguatan kelembagaan pemanfaatan air untuk pertanian.
242
Aspek Sosial Ekonomi
243
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
244
Aspek Sosial Ekonomi
yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaannya, mulai dari tahap
perencanaan, pembangunan hingga pengelolaan. Jaringan air bersih melalui program
WSLIC dibangun di Desa tanah Abang pada tahun 2006 dan dioperasikan pada tanggal 18
Juli . Melalui progra W“LIC di a gu tugu air se ara ersa aa , di a a
tugu diproyeksikan untuk melayani 7 rumah tangga. Jaringan ini direncanakan melayani 1
desa (Desa Tanah Abang) yang terdiri dari 3 dusun. Sumber mata air (bahasa lokal = entup
entup) dari jaringan air bersih WSLIC adalah Ayek Hangat yang berada di ataran, tepatnya
di kebun milik Bapak Abdul Haki. Pengelolaan jaringan air bersih WSLIC dilakukan oleh
pengurus yang terdiri dari Ketua, sekretaris, bendahara dan 2 orang datuk air (bahasa
lokal = datuk ayek). Pengurus ini dipilih oleh Badan Permusyawaratan Desa (BDP) dan
perangkat desa.
Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan layanan air bersih WSLIC tidak
dikenakan biaya awal. Biaya sebesar Rp. 1.000 per bulan dikenakan bagi rumah tangga
yang mengambil air di keran-kera ya g terdapat di tugu air. Masyarakat ya g
menya u gka sela g atau pipa dari tugu ke ru ah dike aka iaya ‘p. . per
ula . Pada a al pe goperasia W“LIC terdapat sa u ga dari tugu air ke ru ah
Layanan jaringan air bersih ini berjalan dengan baik sampai tahun 2008. Pada
tahun 2009 sampai 2010 sebagian masyarakat pengguna air WSLIC mulai tidak disiplin,
dengan tidak menutup keran air ketika, sehingga sebagian masyarakat tidak bisa
memperoleh air. Saat ini masyarakat yang menyambung ke jaringan WSLIC secara aktif
tinggal 40 rumah, yang berada di Dusun 1. Kualitas air dari jaringan WSLIC tidak
mengalami penurunan kualitas sampai saat ini meskipun jangkauan layanannya
berkurang. Semakin berkurangnya partisipasi dan anggota yang aktif dalam jaringan
WSLIC karena kurang adanya kontrol dari pemerintah setelah proyek berakhir. Menurut
Nurcahya dan Purboyo (2013) bahwa peran pemerintah dalam pemberlakukan peraturan
terhadap sumberdaya air sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya konflik dan
eksploitasi air yang berlebihan. Anandini (2011) menambahkan bahwa keberhasilan
program WSLIC itu sangat tergantu pada individu-individu setiap desa, adanya tokoh
utama yang peduli dan aktif sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan program ini
sedang kurangnya kapasitas lembaga pengelolanya bisa menyebabkan program ini tidak
berjalan dengan baik.
2. Desa Muara Danau
Masyarakat Desa Muara Danau menggunakan Sungai Betung dan Betung Renik
(bahasa lokal: Betung Ghenik). Desa Muara Muara Danau mulai ada pada tahun 1916. Air
dari kedua sungai tersebut dialirkan melalui siring (saluran air) ke desa yang kemudian
dimanfaatkan untuk irigasi maupun kebutuhan rumah tangga.
a. Kelembagaan air pertanian
Air untuk persawahan berasal dari Sungai Betung yang dialirkan ke siring. Lembaga
pengelolaan air tidak ditentukankan secara adat istiadat. Air dari sumber air di Bukit Blai
dialirkan ke 4 babakan (3 babakan di Desa Muara Danau dan 1 babakan di Desa
Penyandingan). Air dari babakan dialirkan ke 3 siring di Desa Muara Danau. Lembaga
pengelolaan air mulai dibentuk pada tahun 1966 karena terjadi konflik terkait pengaliran
air dari siring ke sawah (tanggam).
Pengelolaan air untuk persawahan mulai tahun 1966 dilakukan oleh datuk air.
Terdapat 3 datuk air, sesuai dengan jumlah siring di Desa Muara Danau. Datuk siring
dipilih dengan musyawarah. Datuk siring mengawasi dan memperbaiki tanggam, serta
245
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
mengajak masyarakat pemilik sawah bergotong royong bila ada gangguan di siring. Datuk
siring diberi imbalan 1 kaleng padi (7 kg) per bidang sawah. Jabatan datuk siring sudah
tidak ada lagi pada tahun 1970-an karena masyarakat sudah sadar akan pembagian air
dan tidak terjadi perebutan/konflik air irigasi.
Lembaga pengelolaan air dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1997 dengan
nama Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). P3A adalah kelembagaan pengelolaan air
irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah atau desa yang
dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga local pengelola
irigasi. Lembaga ini tidak berfungsi lagi sejak ada jabatan pamong tani dalam struktur
pemerintahan desa. Saat ini orang yang dulunya pengurus P3A masih difungsikan ketika
ada permasalahan air. Hasil kajian Agustina dan Subari (2011) menyebutkan bahwa
organisasi P3A meskipun cukup terorganisir tetapi tetapi tidak cukup melembaga karena
kebersamaan antara anggota dan penggurus masih kurang serta banyak dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah yang dibuat secara top down. Sedangkan keberhasilan pengelolaan
air irigasi pertanian sangat tergantung kepada pengelolaan/manajemen ditingkat lokal
(Rahman, 2009).
Mata air utama dari Sungai Betung dan Betung Renik berada di Bukit Balai. Jenis
pohon yang tumbuh alami di hutan yang berada di hulu sungai antara lain adalah cemare,
serian, medang, pampat, seru, penawang mami, tenam dan rimau. Masyarakat Desa
Muara Danau mempunyai ajaran dari nenek moyang (bahasa lokal: puyang), bahwa
dilarang membuka hutan di atas sumber air agar sumber air tidak kering. Pembukaan
hutan untuk perluasan ataran yang dikelola sebagai kebun kopi maupun sawah
menyebabkan jarak hutan dari desa semakin jauh. Mulai tahun 2006 jarak dari desa ke
hutan sekitar 1,5 km. Selain itu kondisi air di Sungai Betung juga berubah, dimana pada
musim hujan meluap sedangkan musim kemarau debitnya kecil meskipun tidak pernah
terjadi kekeringan.
b. Kelembagaan air rumah tangga
Masyarakat Desa Muara Danau memanfaatkan air dari pemandian umum.
Pemandian umum di Desa Muara Danau hanya 1, yang dimanfaatkan oleh masayarakat
untuk mengambil air minum dan MCK. Air pemandian umum berasal dari siring, dan
sisanya dibuang ke siring untuk irigasi sawah.
Pembuatan sumur mulai ada tahun 2000-an. Masyarakat membuat sumur untuk
kemudahan mengambil air dan rasa segan karena aturan air ya g dia il dari siri g
harus ke alu ke siri g , se e tara ereka tidak e galirka air ke siri g.
Saat ini sebagian masyarakat mempunyai sumur untuk mencukupi kebutuhan
rumah tangga, dan juga terdapat jaringan air bersih dari PAMSIMAS (Penyediaan Air
Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) di dusun 2 (dua) yang posisnya berada di
bawah. PAMSIMAS merupakan proyek dari pemerintah dalam menyediaakan air bersih
berbasis masyarakat. Jaringan air bersih PAMSIMAS hanya ada di Dusun 2. Masyarakat di
Dusun 1 tidak mengijinkan pembangunan PAMSIMAS karena direncanakan akan
mengambil air di hulu Sungai Betung. Masyarakat Dusun 1 khawatir air untuk pertanian
berkurang. Permasalahan ini yang mengakibatkan program ini tidak bisa berjalan di
seluruh wilayah desa. Penelitian yang dilakukan oleh Heston dan Wati (2011) terhadap
efektivitas kinerja program PAMSIMAS menemukan bahwa proses pemberdayaan perlu
diperhatikan untuk melihat keterlibatan dan pola prilaku masyarakat terhadap program
tersebut serta perlu adanya kejelasan dalam tahapan sosialisasi di masyarakat.
246
Aspek Sosial Ekonomi
IV. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, D. A. dan Subari. 2011. Potensi kearifan lokal dalam kelembagaan pengelolaan
irigasi di pulau Jawa. Jurnal Irigasi Vol. 6 No. 2. Hal: 104 – 113.
Anandini, F. 2011. Identifikasi prospek keberlanjutan kegiatan penyediaan air bersih
berbasis masyarakat setelah program Water and Sanitation for Low Income
Community 2 (Studi kasus: Kabupaten Bogor). Jurnal Perencanaan Wilayah dan
Kota. Vol. 22 No.3. Hal: 161 – 178.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2016. Kecamatan Semende Darat Laut dalam angka 2016. BPS
Muara Enim.
Boer, R., Y. Koesmaryono, dan H. Harjanto. 2005. Dinamika iklim masa kini dan
mendatang dan hubungannya dengan ketersediaan air. Makalah disampaikan
dalam seminar Nasional PERHIMPI. Mataram tanggal 1 September.
Bulu, Y. G., K. Pupadi, I. M. Wisnu, W. R, Sasongko dan Mashur. 2006. Kerlembagaan air
sebagai solusi mengatasi kelangkaan dan konflik air di kabupaten Lombok Timur.
Dalam Pasandaran, E., B. Sayoko, T. Pranadji. Pengelolaan Lahan dan Air di
Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Hal: 156 – 169.
Heston, Y.P. dan N.A.P. Wati. 2011. Sanitasi dan kesehatan lingkungan: Pengukuran dan
keberlanjutannya. teknosain. Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Bidang Pemukiman. Yogyakarta.
Nurcahya, A. dan H. Purboyo. 2013. Privatisasi lokal dalam penyediaan dan pengelolaan
air bersih di wilayah peri urban. Studi kasus: Desa Wangunsari Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol.2
No.2. Hal: 1- 9.
Ostrom, E. 1992. Crafting institution for self governing irrigation system. Institute for
Contemporary Studies. San Fransisco, California.
Rachman, B. 2009. Kebijakan sistem kelembagaan pengelolaan irigasi: Kasus Provinsi
Banten. Jurnal Kebijakan Pertanian. Vol. 7 No. 1 Hal: 1 – 19.
Randall, A. 1983. The problem of market failures. Natural Resources Journal, Vol. 23, No.
1.
247
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
Sulastriyono. 2009. Nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air di Telaga
Omang dan Ngloro kecamatan Saptosari, Gunung Kidul Yogyakarta. Mimbar
Hukum Vol. 21, No. 2 Hal: 203 – 408.
Suwardji dan Tejowulan. 2002. Pengembangan pertanian lahan kering terpadu dengan
pe erapa ko sep Master BLEQ di Pro i si NTB. Pusat Pe gkajia Laha Keri g
dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL)-UNRAM. Mataram.
248
PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN
さTata Kelola Hutan untuk Mewujudkan Pembangunan Hijau Sumatera Selatanざ
Palembang, 1 September 2016
ISBN:
978-602-98588-6-0
Penyunting:
Abdul Hakim Lukman
Fitri Nurfatriani
Neo Endra Lelana
R Deden Djaenudin
Penerbit
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang
Alamat
Jl. Kolonel H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu Palembang
Telp/Fax. (0711) 414864
Email: balithut.palembang@gmail.com
Website: www.bpk-palembang.org atau http://palembang.litbang.menlhk.go.id
Penyunting:
Abdul Hakim Lukman
Fitri Nurfatriani
Neo Endra Lelana
R Deden Djaenudin
Ir. Tabroni, MM
NIP. 196302231990031003
iii
13. Tormentella. Sp.: Ektomikoriza Promiscuous Species Untuk Rehabilitasi Hutan
Dipterokarpa
Maliyana Ulfa, Eny Faridah, Su See Lee, Sumardi, Antoine Galiana,
Christine le Roux, Patahayah Mansor dan Andi Nopriansyah ................................ 123
B. ASPEK PERLINDUNGAN HUTAN
1. Potensi Beberapa Jenis Tumbuhan Bawah untuk Pengendalian Hama
Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah ........................................................................ 133
2. Pengendalian Gulma Gadung (Dioscorea hispida Dennst) pada Tanaman Kayu
Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs)
Andika Imanullah dan Agus Kurniawan ................................................................. 141
3. Serangan Hama Babi Hutan pada Tanaman Rotan Jernang dan Alternatif
Pengendaliannya
Agus Kurniawan ...................................................................................................... 149
4. Serangan Hama Kutu Daun (Toxoptera aurantii) pada Jenis Seru di Persemaian
Agus Kurniawan dan Andika Imanullah ................................................................. 157
5. Kandungan Fitokimia Beberapa Tumbuhan Obat di Pesisir Pantai dan Lahan
Basah Serta Potensinya sebagai Pestisida Nabati
Asmaliyah, Etik Erna Wati Hadi, Efendi Agus Waluyo dan Imam Muslimin .......... 165
C. ASPEK KONSERVASI DAN LINGKUNGAN
1. Potensi Penyerapan Karbon pada Pola Tumpang Sari Karet dan Tanaman Kayu
Sahuri ...................................................................................................................... 179
2. Peningkatan Akurasi Pendugaan Emisi Sektor Hutan dan Lahan Melalui Pengukuran
Cadangan Karbon Tier 3 dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim di Sumatera Selatan
Hengki Siahaan, Adi Kunarso dan Tedy Rusolono ................................................. 187
D. ASPEK SOSIAL EKONOMI
1. Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran: Kritik Ideologis dan Alternatif
Pembangunan Lokal
Lukas Rumboko Wibowo, Ismatul Hakim, Yadi, Triyono Puspitojati,
Aneka Prawesti Suka, Dewi Ratna Kurniasari dan Fitri Nurfatriani ....................... 201
2. Dapatkah Pertumbuhan Ekonomi Hijau Mencapai Pembangunan Ekonomi
Berkelanjutan? Pembelajaran dari Riau untuk Sumatera Selatan
Mamat Rahmat ..................................................................................................... 209
3. Pencegahan Karhutla untuk Mendukung Pertumbuhan Hijau di Sumatera Selatan:
Studi Kasus di Desa Riding
Mamat Rahmat, Bondan Winarno, Bastoni dan Adi Kunarso ............................... 219
4. Kelembagaan Pengelolaan DAS untuk Mendukung Kelestarian DAS Musi
Nur Arifatul Ulya. ..................................................................................................... 231
5. Eksistensi Kelembagaan Pengelolaan Air di Sub DAS Perapau (Desa Muara Danau
Laut, Kabupaten Muara Enim)
Efendi Agus Waluyo, Nur Arifatul Ulya, Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah
Syahbana ............................................................................................................... 241
vi
Lampiran
310
Lampiran
311
Lampiran
312