Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN HIV DENGAN ILEUS OBSTRUKSI

A. Pengertian
1. AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome.
Acquired artinya di dapat, jadi bukan merupakan penyakit keturunan.
Immuno berarti sistem kekebalan tubuh. Deficiency artinya kekurangan,
sedangkan Syndrome adalah kumpulan gejala. AIDS adalah sekumpulan
gejala yang didapatkan dari penurunan kekebalan tubuh akibat kerusakan
system imun yang disebabkan oleh infeksi HIV. (Nursalam, 2011).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus golongan
Rubonucleat Acid (RNA) yang spesifik menyerang system kekebalan
tubuh/imunitas manusia dan menyebabkan acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS) (Titik Nuraeni, 2011).
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang
timbul karena rusaknya system kekebalan tubuh manusia akibat infeksi
virus HIV (Sudikno, 2011).
Kesimpulan dari beberapa definisi diatas adalah HIV/AIDS adalah suatu
syndrom atau kumpulan tanda dan gejala yang terjadi akibat penurunan
dan kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi virus HIV.
2. Ileus Obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi
usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut maupun kronik,
partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat
karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian besar dari obstruksi
mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan
gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat
bila penderita ingin tetap hidup.
Ada dua tipe obstruksi yaitu:
a. Mekanis (ileus obstruktif)
Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh
peristaltic. Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia stragulata
atau kronis akibat karsinoma yang melingkari. Misalnya intususepsi,
tumor polipoid dan neoplasma stenosis.
b. Neurogenik/fungsional (ileus paralitik)
Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami paralisis
dan peristaltic usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong isi
sepanjang usus. Contohnya amyloidosis, distropi otot, gangguan endokrin
seperti DM.

B. Anatomi dan Fisiologi


Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses pertahanan
atau imunitas tubuh terhadap senyawa makromolekular atau organisme asing
yang masuk ke dalam tubuh. Zat asing yang masuk tersebut dapat berupa
virus, bakteri, protozoa, atau parasit lainnya. Di samping itu tubuh juga dapat
mengembangkan respon imun terhadap ptotein tertentu yang terdapat di
dalam tubuh sendiri yang disebut autoimunitas dan keberadaan sel yang tidak
dikehendaki, yaitu respon imunitas tubuh terhadap sel tumor.
Sistem imun bekerja untuk melindungi tubuh dari infeksi oleh
mikroorganisme, membantu proses penyembuhan dalam tubuh, dan
membuang atau memperbaiki sel yang rusak apabila terjadi infeksi atau
cedera. Sistem ini juga dapat mengidentifikasi sendiri faktor-faktor yang yang
bukan berasal dari dirinya (non self). Selain itu, sistem imun mengenali dan
mengeliminasi sel pejamu yang telah dipengaruhi oleh virus intrasel atau sel
kanker. Perubahan pada respons imun dapat menyebabkan timbulnya
serangan terhadap sel-sel tubuh sendiri, perkembangan kanker, atau
ketidakmampuan berespons dan menyembuhkan tubuh dari infeksi.
Sistem imunitas yang sehat adalah jika dalam tubuh
bisa membedakan antara diri sendiri dan benda asing yang masuk ke dalam
tubuh. Biasanya ketika ada benda asing yang yang memicu respons imun
masuk ke dalam tubuh (antigen) dikenali maka terjadilah proses pertahanan
diri.
Secara garis besar, sistem imun menurut sel tubuh dibagi menjadi
sistem imun humoral dan sistem imun seluler. Sistem imun humoral terdiri
atas antibody (Imunoglobulin) dan sekret tubuh (saliva, air mata,
serumen, keringat, asam lambung, pepsin, dan lain-lain). Sedangkan sistem
imun dalam bentuk seluler berupa makrofag, limfosit, neutrofil beredar di
dalam tubuh kita.
Tubuh kita mempunyai banyak sekali mekanisme pertahanan yang
terdiri dari berbagai macam sistem imun yaitu organ limfoid (thymus, lien,
sumsum tulang) beserta sistem limfatiknya. Organ tubuh kita yang juga
termasuk dalam mekanisme pertahanan tubuh yaitu jantung, hati, ginjal dan
paru-paru. Organ limfoid seperti thymus sendiri mempunyai tanggung jawab
dalam pembentukan sel T dan penting bagi para bayi baru lahir, karena tanpa
thymus, bayi yang baru lahir akan mempunyai sistem imun yang buruk.
Leukosit (sel darah putih) dihasilkan oleh thymus, lien, dan sumsum tulang.
Sistem imun dikontrol oleh sel darah putih (leukosit). Sel darah putih
befungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi dan kanker serta membantu
proses penyembuhan. Ada dua tipe leukosit pada umumnya, yaitu fagosit
yang bertugas memakan organisme yang masuk ke dalam tubuh dan limfosit
yang bertugas mengingat dan mengenali yang masuk ke dalam tubuh serta
membantu tubuh menghancurkan benda asing. Sedangkan sel lainnya adalah
neutrofil, eosonofil, basofil, monosit, dan makrofag. Neutrofil bertugas
melawan bakteri. Jika kadar neutrofil meningkat, maka bisa jadi ada suatu
infeksi bakteri di dalamnya. Eosinofil berperan dalam respons alergi dan
pertahanan terhadap infeksi parasit (helmintik). Sel-sel ini mengakhiri
respons peradangan, memfagositosis sisa-sisa sel dengan tingkat rendah
daripada neutrofil. Basofil bersirkulasi dalam aliran darah mrengelurkan
bahan alami anti pembekuan heparin, yang memastikan bahwa jalur
pembekuan dan koagulasi tidak terus berlangsung tanpa pengawasan. Basofil
juga terlibat dalam pembentukan respons alergik. Sel-sel ini memiliki fungsi
sangat mirip dengan sel mast, yaitu sel pencetus peradangan jaringan tertentu.
Monosit tidak bersifat fagositik, tetapi setelah beberapa jam berada di
jaringan sel ini berkembang matang menjadi makrofag. Makrofag adalah sel
besar yang mampu mencerna bakteri dan sisa sel dalam jumlah yang sangat
besar. Makrofag dapat memfagositosis sel darah merah dan sel darah putih
lain yang telah lisis.
Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit B dan limfosit T.
Limfosit dihasilkan oleh sumsum tulang, tinggal di dalamnya dan jika matang
menjadi limfosit sel B, atau meninggalkan sumsum tulang ke kelenjar thymus
dan menjadi limfosit sel T. Limfosit B dan T mempunyai fungsi yang berbeda
dimana limfosit B berfungsi untuk mencari target dan mengirimkan tentara
untuk mengunci keberadaan mereka. Sedangkan sel T merupakan tentara
yang bisa menghancurkan ketika sel B sudah mengidentifikasi keberadaan
mereka.
Jika terdapat antigen (benda asing yang masuk ke dalam tubuh)
terdeteksi, maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk mencari tahu siapa
mereka dan memberikan respons. Sel-sel ini memicu limfosit B untuk
memproduksi antibodi, suatu protein khusus yang mengarahkan kepada suatu
antigen spesifik. Antibodi sendiri bisa menetralisir toksin yang diproduksi
dari berbagai macam organisme, dan juga antibodi bisa mengaktivasi
kelompok protein yang disebut komplemen yang merupakan bagian dari
sistem imun dan membantu menghancurkan bakteri, virus, ataupun sel yang
terinfeksi.

C. PENEBAB ILEUS OBSTRUKTIF


1. Perlengketan (adhesi)
Terjadi bila lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh
secara lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen.
Adhesi, hernia inkarserata dan keganasan usus besar paling sering
menyebabkan obstruksi. Pada adhesi, onsetnya terjadi secara tiba-tiba
dengan keluhan perut membesar dan nyeri perut. Dari 60% kasus di USA,
penyebab terbanyak adhesi yaitu pada operasi ginekologik, appendektomi,
dan reseksi kolorektal. Ileus karena adhesi umumnya tidak disertai
strangulasi. Adhesi umumnya berasal dari rongga peritoneum akibat
peritonitis setempat atau umum atau pasca operasi. Adhesi dapatberupa
perlengketan mungkin dalam bentuk tunggal atau multiple.
2. Intususepsi
Terjadi jika salah satu bagian dari usus menyusup kedalam bagian lain
yang ada di bawahnya akibat penyempitan lumen usus. Segmen usus
tertarik kedalam segmen berikutnya oleh gerakan peristaltic yang
memperlakukan segmen itu seperti usus. Paling sering terjadi pada anak-
anak dimana kelenjar limfe mendorong dinding ileum kedalam dan
terpijat disepanjang bagian usus tersebut (ileocaecal) lewat coecum ke
dalam usus besar (colon) dan bahkan sampai sejauh rectum dan anus.
3. Volvulus
Terjadi jika usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir
sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya
gelungan usus yang terjadi amat distensi. Keadaan ini dapat juga terjadi
pada usus halus yang terputar pada mesentriumnya.
4. Hernia
Prostusi usus melalui area yang lemah pada dinding dan otot abdomen.
5. Tumor
Tumor yang ada dalam dinding usus meluas ke lumen usus atau tumor
diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus.

D. Manifestasi Klinik
1. Obstruksi usus halus
a. Gejala awal biasanya berupa nyeri abdomen sekitar umbilicus atau
bagian epigastrium yang cenderung bertambah berat sejalan dengan
beratnya obstruksi yang bersifat intermitten (hilang timbul). Jika
obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus
(jejenum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat
konstan/menetap.
b. Klien dapat mengeluarkan darah dan mucus, tetapi bukan materi fekal
dan tidak terdapat flatus.
c. Umumnya gejala obstruksi usus berupa konstipasi yang berakhir pada
distensi abdomen, tetapi pada klien dengan obstruksi partial bisa
mengalami diare.
d. Pada obstruksi komplit, gelombang peristaltic pada awalnya menjadi
sangat keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong kearah
mulut.
e. Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi.
Semakin ke bawah obstruksi di area gastrointestinal yang terjadi,
semakin jelas adanya distensi abdomen.
f. Jika obstruksi usus berlanjut terus dan tidak diatasi maka akan terjadi
syok hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma,
dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi, suhu tubuh biasanya
normal tetapi kadang-kadang dapat meningkat. Demam menunjukkan
adanya obstruksi strangulate.
g. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi dan
peristaltic meningkat. Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus
berlanjut, peristaltic akan melemah dan hilang. Adanya feses
bercampur darah pada pemeriksaan rectal toucher dapat dicurigai
adanya keganasan dan intususepsi.
2. Obstruksi usus besar
a. Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan
obstruksi pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah.
b. Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada
klien dengan obstruksi di sigmoid dan rectum, konstipasi dapat
menjadi gejala satu-satunya selama beberapa hari.
c. Akhirnya abdomen menjadi sangan distensi, loop dari usus besar
menjadi dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen.
d. Klien mengalami kram akibat nyeri abdomen bawah.
e.
E. Patofisiologi
Obstruksi mekanik pada usus berhubungan dengan perubahan fungsi
dari usus, dimana terjadi peningkatan tekanan intraluminal. Bila terjadi
obstruksi maka bagian proksimal dari usus mengalami distensi dan berisi gas,
cairan dan elektrolit. Bila terjadi peningkatan tekanan intraluminal,
hipersekresi akan meningkat pada saat kemampuan absorbsi usus menurun,
sehingga terjadi kehilangan volume sistemik yang besar dan progresif.
Awalnya, peristaltic pada bagian proksimal usus meningkat untuk melawan
adanya hambatan. Peristaltic yang terus berlanjut menyebabkan aktivitasnya
pecah, dimana frekuensinya tergantung pada lokasi obstruksi. Bila obstruksi
terus berlanjut dan terjadi peningkatan tekanan intraluminal, maka bagian dari
proksimal dari usus tidak akan berkontraksi dengan baik dan bising usus
menjadi tidak teratur dan hilang. Peningkatan tekanan intraluminal dan
adanya distensi menyebabkan gangguan vaskuler terutama statis vena.
Dinding usus menjadi udem dan terjadi translokasi bakteri ke pembuluh
darah. Produksi toksin yang disebabkan oleh adanya translokasi bakteri
menyebabkan timbulnya gejala sistemik. Efek local peregangan usus akibat
udem usus adalah anoksia, iskemik pada jaringan yang terlokalisir, nekrosis
disertai absorbsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan
sirkulasi sistemik.
Pada obstruksi mekanik sederhana, hambatan pasase muncul tanpa
disertai gangguan vaskuler dan neurologic. Makanan dan cairan yang tertelan,
sekresi usus dan udara akan terkumpul dalam jumlah yang banyak jika
obstruksinya komplit. Bagian proksimal dari usus mengalami distensi dan
bagian distalnya kolaps. Fungsi sekresi dan absorbsi membrane mukosa usus
menurun dan dinding usus menjadi edema dan kongesti. Distensi intestinal
yang berat dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan
mengganggu peristaltic dan fungsi sekresi mukosa serta meningkatkan risiko
terjadinya dehidrasi, iskemik, nekrosis, perforasi, peritonitis dan kematian.
Pada obstruksi strangulate, biasanya berawal dari obstruksi vena, yang
kemudian diikuti oleh oklusi arteri, menyebabkan iskemik yang cepat pada
dinding usus. Usus menjadi udem dan nekrosis, memacu menjadi gangrene
dan perforasi.

F. PATWAY
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit yang
abnormal.
2. Pemeriksaan foto polos abdomen
Dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas antara air dan udara
atau gas (air fluid level) yang membentuk pola bagaikan tangga, terutama
pada obstruksi bagian distal. Pada kolon jika terjadi strangulasi dan
nekrosis, maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya mukosa yang
regular dan adanya gas dalam dinding usus. Udara bebas pada foto toraks
tegak menunjukkan adanya perforasi usus.
3. Pemeriksaan CT scan
Dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai adanya
strangulasi. CT scan akan menunjukkan secara lebih teliti adanya kelainan
pada dinding usus (obstruksi komlit, abses, keganasan), kelainan pada
mesenterikus dan peritoneum.
4. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema
Bermanfaat jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada
pemeriksaan foto polos abdomen. Pada anak-anak dengan intususepsi ,
pemeriksaan ini bukan hanya sebagai diagnostic tetapi juga mungkin
sebagai terapi.
5. Pemeriksaan USG
Memberikan gambaran dan penyebab dari obstruksi.
6. Pemeriksaan MRI (Magnetik Resonansi Imaging)
Untuk mengevaluasi iskemia mesenteric kronis
7. Pemeriksaan angiografi
Angiografi mesenteric superior telah digunakan untuk mendiagnosis
adanya herniasi internal, intususepsi, volvulus, malrotation dan adhesi.
H. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan obstruksi usus adalah koreksi keseimbangan cairan dan
elektrolit, menghilangkan peregangan dan muntah dengan intubasi dan
kompresi, memperbaiki peritonitis dan syok bila ada, serta menghilangkan
obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
1. Penatalaksanaan pada obstruksi usus halus
a. Dekompresi pada usus melalui usus halus atau nasogastric bermanfaat
mencegah muntah, mengurangi aspirasi dan mencegah distensi
abdomen. Apabila usus tersumbat secara lengkap, maka strangulasi
yang terjadi memerlukan tindakan pembedahan. Terapi intravena
diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit (natrium,
klorida dan kalium), serta pemberian antibiotic persiapan sebelum
pembedahan.
b. Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus halus tergantung
penyebabnya, paling umum seperti hernia dan perlengketan.
Tindakannya adalah herniotomi.
c. Pasca bedah, pengobatan utama dalam hal cairan dan elektrolit. Harus
dicegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang
cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah, usus klien masih dalam
keadaan paralitik.
2. Penatalaksanaan pada obstruksi usus besar
Tujuan pengobatan yang utama adalah dekompresi kolon yang mengalami
obstruksi sehingga kolon tidak perforasi, tujuan kedua adalah pemotongan
bagian yang mengalami obstruksi.
Persiapan sebelum operasi sama seperti persiapan pada obstruksi usus
halus. Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat
dilakukan untuk membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi,
pembukaan secara bedah yang dibuat pada sekum, dapat dilakukan pada
klien yang beresiko buruk terhadap pembedahan dan sangat memerlukan
pengangkatan obstruksi. Tindakan lain yang biasa dilakukan adalah
reseksi bedah untuk mengangkat lesi penyebab obstruksi. Kolostomi
sementara atau permanen mungkin diperlukan.

I. FOKUS PENGKAJIAN

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Biasanya klien datang dengan keluhan sakit perut yang hebat, kembung,
mual, muntah, dan tidak ada BAB/defekasi yang lama.
b. Riwayat penyakit sekarang
 Perubahan BAB sejak kapan? (frekuensi, jumlah, karakteristik)
 Sakit perut? Kembung?
 Mual, muntah? (frekuensi, jumlah, karakteristik)
 Demam?
 Bisa flatus?
 Apakah diberi obat sebelum masuk RS?
c. Riwayat penyakit dahulu
 Ada atau tidak riwayat tumor ganas, polip, peradangan kronik pada
usus?
 Riwayat pernah dioperasi pada daerah abdomen?
 Apakah ada riwayat hernia?
 Apakah pernah mengalami cedera/trauma abdomen?
d. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi
o Apakah klien tampak sakit, meringis
o Ada muntah? Kaji warna dan karakteristik. Biasanya muntah
fekal
o kelihatan sulit bernapas karena kembung?
o Distensi abdomen
o Tonjolan seperti bengkak pada abdomen
 Auskultasi
Pada awal, bising usus cepat meningkat di atas sisi obstruksi,
kemudian bising usus berhenti.
 Perkusi: Timpani
 Palpasi: Nyeri tekan
e. Pengkajian pola Gordon

1) Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan


Adanya penyakit dalam keluarga mis: Ca. Colon memberi perhatian
ekstra kepada klien untuk lebih sering mencek status kesehatan bila
ditemukan keluhan pada saluran intestinal terlebih lagi saat klien
mengetahui nilai CEA tinggi yang menandakan bahwa ia beresiko
tinggi untuk terkena penyakit yang sama.
2) Pola Eliminasi
Pemantauan haluaran urine harus jadi perhatian sebagai penanda jika
terjadi hipovolemi maka urine bisa berkurang atau sama sekali tidak
ada pada kasus berat. Diare bahkan konstipasi juga dapat terjadi.
Adanya darah dalam feses pemantauan terhadap penyebab dari
obstruksi yaitu keganasan.
3) Pola Nutrisi Metabolik
Aktifitas peristaltic usus yang kuat, melemah bahkan hilang harus
menjadi perhatian utama. Mual, muntah serta distensi abdomen juga
dapat mendorong terjadinya anoreksia. Pemantauan penurunan berat
badan dan adanya aspirasi perlu diwaspadai.
4) Pola Aktivitas Latihan
Adanya nyeri dapat mengakibatkan klien membatasi aktivitasnya
sehingga untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan
pasien dibantu.
5) Pola istirahat Tidur
Adanya nyeri juga sekaligus dapat mengganggu tidur aktivitas
istirahat dan tidur pasien. Oleh karena itu lingkungan yang kondusif
dan menajemen nyeri perlu diterapkan dengan baik.
6) Pola Sensori dan Kognitif
Nyeri adalah respon sensori yang paling berperan. Pengetahuan yang
dimiliki pasien untuk menangani hal ini atau usaha apa saja yang
dilakukan untuk mengurangi gejala lain yang menyertai.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya
sehat, tiba-tiba mengalami sakit. Sebagai orang awam, pasien
mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit
berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan
kehilangan gambaran positif terhadap dirinya. Karena sesak yang
timbul akan meningkatkan emosi dan rasa hawatir klien tentang
penyakitnya.
8) Pola Peran dan Hubungan
Bagaimana cara pasien menyesuaikan kondisinya dengan orang lain
seperti lingkungan keluarga, masyarakat ataupun lingkungan kerja
serta perubahan peran yang terjadi setelah klien mengalami sakit.
9) Pola Mekanisme Koping
Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan
mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada
perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin
dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya. Dengan adanya proses
pengobatan yang lama maka akan mengakibatkan stres pada penderita
yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap pengobatan.
10) Pola Reproduksi dan Seksualitas
Kelemahan fisik dan adanya pembatasan aktivitas merupakan
beberapa faktor yang bisa membuat pasien tidak bisa melakukan
fungsi seksualnya.
11) Pola Nilai dan Kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya
kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu
cobaan dari Tuhan serta lebih sering berdoa untuk memohon
kesembuhan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
b. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien

J. FOKUS INTERVENSI KEPERAWATAN

NO. DIAGNOSA NOC NIC

1. Nyeri akut  Kontrol nyeri Manajemen nyeri


berhubungan dengan  Tingkat nyeri  Lakukan pengkajian
agens cedera biologis nyeri secara
komprehensif yang
meliputi lokasi,
karakteristik,
onset/durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan faktor
pencetus
 Observasi adanya
petunjuk nonverbal
mengenai
ketidaknyamanan
terutama pada mereka
yang tidak dapat
berkomunikasi secara
efektif
 Gunakan strategi
komunikasi terapeutik
untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan
sampaikan penerimaan
pasien terhadap nyeri
 Gali bersama pasien
faktor-faktor yang dapat
menurunkan dan
memperberat nyeri
 Berikan informasi
mengenai nyeri, seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
dirasakan, dan antisipasi
dari ketidaknyamanan
akibat prosedur
 Kendalikan faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan
(misalnya., suhu
ruangan, pencahayaan,
suara bising)
 Dorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyerinya
dengan tepat
 Ajarkan penggunaan
tehnik non farmakologi
(seperti., relaksasi;
sebelum nyeri terjadi
atau meningkat)
 Dorong pasien untuk
menggunakan obat-
obatan penurun nyeri
yang adekuat

Pemberian Analgesik
 Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan keparahan nyeri
sebelum mengobati
pasien
 Cek perintah pengobatan
meliputi obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesic
yang diresepkan
 Cek adanya riwayat
alergi obat
 Berikan analgesic sesuai
waktu paruhnya,
terutama pada nyeri yang
berat
 Evaluasi keefektifan
analgesic dengan interval
yang teratur pada setiap
setelah pemberian
khususnya setelah
pemberian pertama kali,
juga observasi adanya
tanda dan gejala efek
samping (misalnya,
depresi pernafasan, mual
dan muntah, mulut
kering dan konstipasi)
2. Risiko kekurangan  Keseimbangan Manajemen cairan
volume cairan cairan  Jaga intake/asupan yang
berhubungan dengan  Hidrasi akurat dan catat output
kehilangan volume (pasien)
 Masukkan kateter urin
cairan aktif
 Monitor status hidrasi (
misalnya, membran
mukosa lembab,denyut
nadi kuat, dan tekanan
darah ortostatik )
 Monitor tanda-tanda
vital pasien
 Berikan terapi IV, seperti
yang ditentukan
 Arahkan pasien
mengenai status NPO

Monitor Cairan
 Tentukan faktor-faktor
risiko yang mungkin
menyebabkan
ketidakseimbangan
cairan
 Monitor asupan dan
pengeluaran
 Catat dengan akurat
asupan dan pengeluaran
 Monitor tekanan darah,
denyut jantung dan
status pernapasan
 Monitor membrane
mukosa, turgor kulit dan
respon haus
 Monitor warna, kuantitas
dan berat jenis urin
 Berikan cairan dengan
tepat
3. Ketidakseimbangan  Status nutrisi Manajemen Nutrisi
nutrisi: kurang dari  Fungsi  Tentukan status gizi
kebutuhan tubuh gastrointestina pasien dan kemampuan
berhubungan dengan l [pasien] untuk
ketidakmampuan  Keparahan memenuhi kebutuhan
mual dan gizi
mengabsorpsi nutrien muntah  Tentukan jumlah kalori
dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan
gizi
 Anjurkan pasien
mengenai modifikasi diet
yang diperlukan
(misalnya, NPO atau diet
sesuai toleransi)
 Anjurkan pasien terkait
dengan kebutuhan diet
untuk kondisi sakit
 Monitor kalori dan
asupan makanan
 Monitor kecenderungan
terjadinya penurunan dan
kenaikan berat badan

Manajemen Saluran Cerna


 Catat tanggal BAB
terakhir
 Monitor BAB termasuk
frekuensi, konsistensi,
bentuk, volume dan
warna dengan cara yang
tepat
 Monitor bising usus
 Lapor peningkatan
frekuensi dan/atau bising
usus bernada tinggi
 Lapor berkurangnya
bising usus
 Catat masalah BAB yang
sudah ada sebelumnya,
BAB rutin, dan
penggunaan laksatif

Intubasi Gastrointestinal
 Jelaskan kepada pasien
dan keluarga mengenai
alasan menggunakan
selang gastrointestinal
 Masukkan selang sesuai
dengan protocol institusi
 Posisikan pasien di sisi
kanan untuk
memfasilitasi pergerakan
selang ke [arah]
duodenum

Pemberian Nutrisi Total


Parenteral (TPN)
 Gunakan infus sentral
hanya untuk cairan yang
hyperosmolar atau
nutrisi berkalori tinggi
(seperti 10% dekstrosa,
2% asam amino dengan
penambahan standar)
 Yakinkan cairan nutrisi
total parenteral yang
dimasukkan bukan
melalui infus sentral
mempunyai osmolaritas
kurang dari 900 mOsm/L
 Cek cairan nutrisi total
parenteral untuk
meyakinkan bahwa jenis
nutrisi yang diberikan
sesuai dengan kebutuhan
pasien
 Pertahankan tehnik steril
ketika mempersiapkan
dan memberikan cairan
nutrisi total parenteral
 Lakukan perawatan,
aseptic dan hati-hati
pada akses vena sentral,
terutama pada area
insersi, untuk
meyakinkan bahwa area
insersi dapat digunakan
dalam jangka waktu
lama, aman dan bebas
komplikasi
 Hindari penggunaan
jalur intravena untuk
cairan infus lainnya
(misalnya., transfuse
darah dan pengambilan
darah)

K. DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV.Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2016

Manjur,A.,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Syahlan, JH (1997) AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media

Wilkinson,J.M. 2017. Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil
NOC. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Athur,Frank. 2010.s. http://www.scribd.com/doc/81494363/BAB-I-II-III-Edit-


Toxoplasmosis. Diakses pada tanggal 22 Aprili 2019.

Sandy, Indah. 2011. Infeksi Oportunistik Susunan Saraf Pusat Pada Pasien
AIDS.http://www.scribd.com/doc/49900217/Infeksi-Oportunistik-Susunan-Saraf-
Pusat-Pada-AIDS. Diakses pada tanggal 22 April 2019.

Anda mungkin juga menyukai