Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Konsep Pengembangan Wilayah Melalui Konsep Pusat-pusat


Pertumbuhan

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang

terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) dalam

Sulistiono (2008), wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-

batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain

saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu

bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen

wilayah mencakup komponen biofisik alam, Sumberdaya buatan (infrastruktur),

manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah

menekankan interaksi antar manusia dengan Sumberdaya-Sumberdaya lainnya yang

ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik

(Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah,

mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah

homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3)

wilayah perencanaan (planning region atau programming region).

Menurut Saefulhakim, dkk (2002), dalam Sulistiono, (2008), wilayah adalah

Universitas Sumatera Utara


10
satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara

fungsional. Perkataan “wilayah” berasal dari bahasa Arab “wālā-yuwālī-wilāyah”

yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara

geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah

pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas

hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara

bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah

pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Sedangkan

konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan

sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non

alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah

perencanaan.

Dalam konteks keruangan, beberapa konsep pembangunan wilayah telah

diciptakan, misalnya konsep “lokasi industri” yang menerangkan tentang analisis

penentuan lokasi optimum dan aglomerasi industri (Weber, 1909 dalam Adisasmita,

2008), konsep “central place” yang menjelaskan model hirarki perkotaan

(Christaller, 1966, dalam Adisasmita, 2008) dan konsep “growth pole” yang

mengidentifikasikan tata ruang sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya

terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat (Perroux, 1955 dalam Adisasmita, 2008).

Konsep tersebut kemudian digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan,

dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang dianggap berhasil

Universitas Sumatera Utara


dilaksanakan dan diterapkan di berbagai wilayah di dunia biasanya diikuti oleh

negara maupun wilayah lainnya. Salah satu konsep keruangan yang banyak diikuti

adalah konsep growth pole (kutub pertumbuhan).

Keberhasilan penerapan strategi growth pole di negara asalnya, membuat

pemerintahan yang berkuasa di negara lain pada masa itu berusaha mencoba

menerapkan juga di negara masing-masing termasuk di Indonesia, seperti dinyatakan

oleh Nagamine Haruo dalam Martina (2004): “Perencanaan wilayah sebagai

peramalan masa depan dalam pendekatan analitis dari Isard membawa pada publikasi

tentang pembangunan ‘kutub’, growth pole, growth centers dan kelompoknya selama

paruh terakhir dari tahun 1960an. Pendekatan ini didasarkan pada realitas negara-

negara industri di Barat dalam penerapannya efektif, begitu juga besar harapan dapat

efektif diterapkan pada Negara-negara Dunia Ketiga”.

Pendapat Stern dalam Martina (2004) menyatakan bahwa pada era tahun

1960an pemerintah pada berbagai negara mempunyai kekuasaan penuh terhadap

perencanaan pembangunan di negaranya, hal ini mengingat pada tahun 1960an, baik

masyarakat umum maupun pejabat pemerintah percaya bahwa pemerintah dapat

mengerti ekonomi secara baik dan dengan kuat membawa negaranya ke arah tertentu.

Sehingga dapat dipahami mengapa konsep growth pole yang dianggap berhasil di

negara Barat banyak diikuti oleh berbagai negara pada tahun 1960an.

Di Indonesia selain konsep growth pole, kebijakan pembangunan yang

diterapkan lainnya yang mendukung konsep growth pole juga menimbulkan

permasalahan, seperti urban bias (bias perkotaan) dan pro Jawa, sentralisasi kegiatan

Universitas Sumatera Utara


industri, dan lain-lain. Selain terciptanya megaurban pada berbagai wilayah yang sulit

dibatasi, seperti Jabodetabek, Gerbangkertasusila dan lain-lain sebagai akibat

penerapan konsep growth pole, dampak lain yang dirasakan adalah pengangguran di

perkotaan, sulitnya mencari alternatif pekerjaan di pedesaan dan lain-lain.

Masalah berikutnya terjadi ketimpangan wilayah, terutama dalam hal

kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu ada

kecenderungan masyarakat untuk mendekati kawasan potensial/Sumber penghidupan,

yaitu menuju kota-kota utama tersebut (Martina, 2004).

Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial,

sebagaimana halnya dengan perkembangan industri adalah bahwa “pertumbuhan

tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan

itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang

berubah-ubah; perkembangan ini menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka

ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian”.

(Sitohang, 1977 dalam Martina, 2004).

Selanjutnya Perroux juga mengindikasikan bahwa pembangunan harus

disebabkan/ditimbulkan oleh suatu konsentrasi (aglomerasi) tertentu bagi kegiatan

ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak. (Miyoshi, 1997 dalam Martina, 2004)

Boudeville mendefinisikan kutub pertumbuhan (growth pole) sebagai

“sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah

perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh

daerah pengaruhnya”. (Sitohang, 1977 dalam Martina, 2004) dan ia juga membangun

Universitas Sumatera Utara


konsep growth pole sebagai suatu model perencanaan yang bersifat operasional, yang

menerangkan suatu kondisi di mana pertumbuhan akan tercipta pada wilayah yang

menimbulkan adanya kutub (polarized region). Menurut Glasson (Sitohang, 1977

dalam Martina, 2004) konsep-konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografik

berkaitan dengan teori growth pole, didefinisikan sebagai berikut:

a. Konsep “leading industries” dan perusahaan-perusahaan propulsip, menyatakan

pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahan propulsip yang

besar, yang termasuk dalam “leading industries” yang mendominasi unit-unit

ekonomi lainnya.

b. Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading

industries mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutub

pertumbuhan.

c. Konsep “spread effect” atau “trickling down effect” menyatakan bahwa pada

waktunya, kualitas propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memencar

keluar dan memasuki ruang di sekitarnya.

Dalam konteks pembangunan spasial, terjadi urban bias yang cenderung

mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan yang

diharapkan dapat menimbulkan efek penetesan (trickle down effect) ke wilayah

hinterland-nya, ternyata tidak terwujud, yang terjadi malah justru back wash effect

yang pada akhirnya mengakibatkan disparitas wilayah dan sektoral yaitu kesenjangan

antara perkotaan dan perdesaan dan antara sektor industri dengan sektor pertanian.

Sektor industri di perkotaan tidak berbasis pada sektor primer, yaitu pertanian,

Universitas Sumatera Utara


sementara sektor pertanian di perdesaan bersifat enclave. Kawasan perkotaan

dicirikan oleh aktifitas ekonomi berupa industri, perdagangan, jasa dan dihuni oleh

Sumberdaya manusia yang berkualitas serta didukung oleh pelayanan infrastruktur

yang lengkap, sementara kawasan perdesaan dicirikan oleh aktivitas pertanian secara

luas, dihuni oleh Sumberdaya manusia dengan tingkat pendidikan yang rendah,

kemiskinan dan infrastruktur yang terbatas. Pembangunan sektor industri di

perkotaan maupun didalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier tenaga

kerja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas penduduk di

wilayah perdesaan. Sebagian besar penduduk miskin di Indonesia bekerja pada sektor

pertanian. Dari total penduduk miskin yang berjumlah 37-38 juta jiwa, sebanyak 68%

merupakan kelompok yang bermatapencaharian sebagai petani. Oleh karena sektor

pertanian berada di wilayah pedesaan maka sebagian besar penduduk miskin juga

bertempat tinggal di perdesaan, sebagaimana situasi shared poverty dan involusi

pertanian di perdesaan yang digambarkan oleh Cilford Geertz (Andry, 2006 dalam

Baskoro, 2010)

Banyaknya permasalahan yang diakibatkan oleh konsep growth pole baik di

Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya, mengakibatkan konsep

growth pole menuai kritik (Miyoshi,1977 dalam Martina, 2004). Sehingga untuk

mengantisipasi permasalahan yang muncul, dan agar pemecahan persoalan efektif,

perlu dipikirkan konsep keruangan yang dapat memecahkan permasalahan yang

timbul sekaligus mempunyai tujuan keadaan lebih baik di masa depan. Konsentrasi

kegiatan dan jumlah penduduk di pulau Jawa dibanding pulau-pulau lain di

Universitas Sumatera Utara


Indonesia, serta strategi pembangunan growth pole yang juga diikuti oleh pemerintah

Indonesia pada masanya, menunjukkan bahwa konsep growth pole pada akhirnya

menimbulkan masalah, khususnya di pulau Jawa.

Jumlah penduduk pulau Jawa sebesar 59,97% dari seluruh penduduk

Indonesia pada tahun 1990, meningkat menjadi 61,54% pada tahun 2000. Jumlah

penduduk perkotaan di pulau Jawa pada tahun 1971 baru sebesar 18,04% menjadi

48,75% pada tahun 2000. Kebijakan pemerintah Indonesia yang pro Jawa dan pro

urban menurut Garcia-Garcia, 2000 dalam Martina (2004) dan sentralisasi industri di

pulau Jawa yang menimbulkan mega urban di pulau Jawa (Henderson dan Kuncoro,

dalam Martina, 2004), menunjukkan konsep growth pole telah menimbulkan

permasalahan baik di pulau Jawa maupun Indonesia secara keseluruhan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa suatu strategi

pembangunan akan dirasakan dampaknya setelah beberapa tahun diterapkan. Suatu

strategi pembangunan yang berhasil diterapkan pada suatu wilayah dan pada suatu

masa, belum tentu berhasil atau memuaskan bila diterapkan di wilayah lain, hal ini

mengingat setiap wilayah mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda antar

wilayah. Adanya permasalahan yang muncul setelah diterapkannya suatu strategi

pembangunan akan mendorong penciptaan suatu strategi pembangunan yang baru

sebagai antisipasi permasalahan yang muncul sebelumnya dan dalam rangka

mencapai tujuan yang lebih baik.

Soenarno (2003) dalam Seminar Seminar Nasional Agroindustri dan

Pengembangan Wilayah, menyebutkan bahwa pendekatan pembangunan yang lebih

Universitas Sumatera Utara


menonjolkan pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak bisa dipungkiri telah

mengakibatkan pertumbuhan diperkotaan melampaui kawasan lainnya atau dengan

kata lain telah mendorong percepatan urbanisasi (punctuated urbanization).

Percepatan urbanisasi ini selain menimbulkan akibat-akibat positif juga

menimbulkan dampak negatif yakni terserapnya Sumberdaya yang dimiliki perdesaan

oleh kawasan perkotaan, baik Sumber daya alam maupun Sumber daya manusia

(migrasi dari desa ke kota).

Secara lebih mikro, tingginya urbanisasi ditunjukkan dengan terjadinya

konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan, di mana di pantai

utara Jawa mencapai kurang lebih 20%. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah

terjadinya migrasi penduduk perdesaan ke perkotaan akibat semakin menyempitnya

lapangan pekerjaan di bidang pertanian.

Akibat kondisi ini Indonesia belum mampu mandiri sepenuhnya dalam

menjaga kedaulatan pangan, sehingga masih harus mengimpor produk-produk

pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tercatat, Indonesia harus

mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal

sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran

senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta dan angka ini masih terus

meningkat karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan menjadi

tanaman keras dan lahan untuk pemukiman membuat kondisi pertanian Indonesia

semakin rawan.

Universitas Sumatera Utara


Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia menurut Sumodiningrat

(2000), yang seharusnya adalah bagaimana meletakkan masyarakat sebagai pelaku

utama dalam pembangunan (people centered develepment), modal pembangunan

demikian merupakan arus utama sebagai penajaman arah baru bagi pembangunan

pertanian, yaitu pembangunan yang demokratis. Penajaman arah baru pembangunan

pertanian tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui

pengembangan struktur masyarakat tani yang muncul dari kemampuan petani itu

sendiri. Syarat mutlak pembangunan pertanian, adalah:

1. Adanya pasar untuk hasil usaha tani.

2. Teknologi yang senantiasa berkembang.

3. Tersedianya bahan-bahan dan alat produksi bagi petani.

4. Adanya faktor perangsang bagi petani.

5. Adanya pengangkutan yang lancar dan kontinyu.

Apabila kita lihat pada kenyataan yang ada di Indonesia, bahwa di pedesaan

sekarang ini banyak petani yang luas lahannya kurang dari 0,5 hektar. Hal ini

menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat masih rendah. Dengan rendahnya

pendapatan serta pertumbuhan penduduk yang pesat, mengakibatkan timbulnya

pergeseran pola kesempatan kerja dari sektor pertanian kesektor non pertanian. Salah

satu indikator yang ditunjuk-kan adanya tenaga kerja pertanian yang mulai

mencurahkan jam kerjanya dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.

Pergeseran kesempatan kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian

dapat diartikan sebagai: proporsi tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian

Universitas Sumatera Utara


semakin berkurang, dan tenaga kerja di bidang pertanian mencurahkan jam kerjanya

di sektor pertanian berkurang dan mengalihkan kepada pekerjaan-pekerjaan lain di

sektor non pertanian. Namun demikian, kesempatan kerja disektor pertanian masih

menjadi pilihan yang utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dalam

memenuhi pendapatan hidup, karena sektor pertanian relatif mudah dikuasai petani,

Prijono (2000).

Perkembangan Kinerja Ekonomi (khususnya Sektor Pertanian) dan

Perkembangan Penduduk di Indonesia berkaitan dengan Penerapan Konsep Growth

Pole (Martina, 2004), dapat dilihat dari perkembangan pertanian di Indonesia. Selama

dua dasawarsa (1970-an sampai tahun 1980-an) strategi pembangunan nasional

menitikberatkan pada sektor pertanian, utamanya tanaman pangan, yaitu padi. Pada

periode tersebut (1969 – 1989), sektor pertanian menyumbang 3,8% terhadap PDB,

dan sektor tanaman pangan menyumbang sebesar 60% dari PDB sektor pertanian.

Pada saat bersamaan, pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 4,6% jauh melebihi

pertumbuhan penduduk sebesar 2,1%. Pada masa itu sektor tanaman pangan

menyerap tenaga kerja lebih banyak. (Anwar, 2001 dalam Martina, 2004).

Setelah pertengahan dasawarsa 1980-an, pada waktu Indonesia mengalami

transformasi struktur ekonomi, sektor industri dan jasa perbankan memperoleh

proteksi pemerintah yang lebih besar, yang sering merugikan sektor pertanian berupa

dikenakannya pajak-pajak ekspor dan pungutan dalam negeri ataupun pajak implisit

seperti mata uang rupiah yang kelebihan nilai. Hal ini merugikan para petani serta

menghambat pendapatan negara untuk memperoleh devisa dari ekspor sektor

Universitas Sumatera Utara


pertanian. Disertai tingginya sukubunga serta inflasi turut menjadi penghambat

investasi di sektor pertanian budidaya. (Anwar, 2001 dalam Martina, 2004).

Meskipun sektor pertanian menurun, tetapi secara keseluruhan ekonomi nasional

bertumbuh dengan kecepatan relatif tinggi mencapai rata-rata 7,2% antara tahun 1970

– 1996. Keadaan ini mampu mendorong peningkatan pendapatan per kapita sebesar

5,1%. Tetapi diperkirakan pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut terutama telah

didorong oleh pasokan-pasokan input melalui eksploitasi Sumber daya alam secara

besar-besaran seperti penebangan hutan, pemanfaatan Sumberdaya bahari serta

penambangan minyak, gas alam dan mineral lainnya (Anwar, 2001 dalam Martina,

2004). Transformasi struktur ekonomi yang bergeser dari sektor pertanian menjadi

sektor industri, tentunya telah merubah peta keruangan di Indonesia. Ketika titik berat

perekonomian pada sektor pertanian (tahun 1970-an), yang menyerap lebih banyak

tenaga kerja dibanding sektor industri, menjadikan pedesaan masih menjadi tempat

penyebaran maupun lokasi penduduk. Tetapi begitu titik berat perekonomian pada

sektor industri pada pertengahan tahun 1980-an, pergeseran konsentrasi penduduk ke

wilayah perkotaan menjadi semakin besar. Hal ini mengingat sektor industri pada

umumnya terkonsentrasi dan berada di wilayah perkotaan. Dapat dilihat dari

persentase jumlah penduduk perkotaan di Indonesia pada tahun 1971 yang baru

mencapai 17,42% dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 35,91%. Bahkan pada

tahun 2000 mencapai 42,15%.

Berdasarkan perkembangan titik berat perekonomian nasional dan penyebaran

penduduk, menunjukkan sektor industri sangat berpengaruh terhadap pola keruangan

Universitas Sumatera Utara


di Indonesia. Bila dikaitkan dengan dasar pemikiran konsep growth pole, dapat

disimpulkan bahwa Indonesia juga menerapkan konsep ini dalam kebijakan

pembangunan nasional.

Seperti halnya di negara asalnya dan di negara-negara lain, penerapan konsep

growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak yang tidak dapat dihindari,

seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban, pengangguran di perkotaan dan

pedesaan, bias perkotaan dan pro Jawa.

Untuk mengetahui sentralisasi sektor industri di Indonesia sebagai dampak

dari penerapan konsep growth pole akan dilihat berdasarkan data PDB di Indonesia

yang dibagi dalam wilayah pedesaan dan perkotaan. Bila diasumsikan sektor primer

lebih terkonsentrasi di pedesaan, sektor sekunder dan tersier lebih terkonsentrasi di

perkotaan, maka berdasarkan data PDB menunjukkan sumbangan sektor sekunder

dan tersier bagi PDB semakin meningkat dari tahun 1976 s/d tahun 1998 (lihat Tabel

2.1 dan Gambar 2.1). Hal ini memperkuat dugaan bahwa strategi growth pole diikuti

di Indonesia.

Tabel 2.1. Persentase PDB Sektor Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia

Tahun Pedesaan Perkotaan Jumlah


1976 47,8 52,2 100,0
1983 43,0 57,0 100,0
1992 32,0 68,0 100,0
1997 25,9 74,1 100,0
1998 26,9 73,1 100,0
Sumber: BPS data diolah

Universitas Sumatera Utara


Catatan: Diasumsikan sektor primer lebih terkonsentrasi di pedesaan, sektor sekunder

dan tersier terkonsentrasi di perkotaan.

Gambar 2.1. Konstribusi PDB Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia Tahun


1976 s/d 1998

Seperti dijelaskan sebelumnya, permasalahan sebagai akibat penerapan

konsep growth pole lebih banyak dirasakan oleh penduduk pedesaan, meskipun akar

permasalahan berawal di kota. Oleh karena itu untuk memecahkan permasalahan

yang timbul perlu dipikirkan suatu konsep ruang yang dapat memberdayakan potensi

pedesaan. Sehingga pemecahan sekaligus dilaksanakan baik bagi penduduk pedesaan

maupun penduduk perkotaan.

2.2. Agropolitan Sebagai Konsep Alternatif dalam Pengembangan Wilayah


Pedesaan

Konsep pengembangan Agropolitan pertama kali diperkenalkan Friedmann

dan Mac Doughlas, 1974 (dalam BPTP, 2008) sebagai suatu siasat untuk percepatan

Universitas Sumatera Utara


pembangunan pedesaan. Gatra terkait dengan pengembangan agropolitan antara lain

adalah pembangunan dalam arti luas, seperti redistribusi lahan, kesesuaian lahan,

desain tata guna lahan dan pembanguna sarana dan prasarana. Secara fenomenal

konsep ini mewujudkan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan atau istilah lain

yang digunakan oleh Friedmann adalah “menciptakan kota di pedesaan”.

Agropolitan terdiri dari kata Agro dan Politan (polis). Agro berarti pertanian

dan politan berarti kota sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota di lahan

pertanian. Dengan demikian agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan

berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani,

mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di

wilayah sekitarnya. Dalam konteks pembangunan, agropolitan merupakan paradigma

pembangunan daerah di mana pembangunan kota dimaksud untuk mendukung

pembangunan pertanian pedesaan. Perkembangan dan pengembangan kota-kota

ditentukan oleh perkembangan atau pengembangan pertanian-pedesaan. Karena itu

aktivitas-aktivitas atau fungsi yang mendukung pertanian pedesaan. Pengembangan

sektor industri dan jasa di perkotaan dimaksudkan untuk memfasilitasi atau

mendukung pembangunan pertanian-pedesaan. Dengan kata lain yang dikembangkan

di perkotaan adalah fungsi-fungsi dari system agribisnis mulai dari hulu sampai hilir.

Secara garis besar, konsep agropolitan mencakup beberapa dimensi yang

meliputi:

(a). Pengembangan kota-kota berukuran kecil sampai sedang dengan jumlah

penduduk maksimum 600.000 jiwa dan luas maksimum 30.000 hektar (setara

Universitas Sumatera Utara


dengan kota kabupaten);

(b). Daerah belakang (pedesaan) dikembangkan berdasarkan konsep perwilayahan

komoditi yang menghasilkan satu komoditi/bahan mentah utama dan beberapa

komoditi penunjang sesuai dengan kebutuhan;

(c). Pada derah pusat pertumbuhan (kota) dibangun agroindustri terkait, yaitu terdiri

atas beberapa perusahaan sehingga terdapat kompetisi yang sehat;

(d). Wilayah pedesaan didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang optimal

dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan

menengah, dan

(e). Lokasi dan sistem transportasi agroindustri dan pusat pelayanan harus

memungkinkan para petani untuk bekerja sebagaipekerja paruh waktu (partime

workers).

(Rusastra, et al., 2002) menyatakan bahwa terdapat syarat kunci untuk

pembumian Agropolitan, yakni:

(1). Produksi dengan bobot sektor pertanian;

(2). Prinsip ketergantungan dengan aktivitas pertanian sehingga neuro-systemnya;

(3) Prinsip pengaturan kelembagaan; dan

(4). Prinsip seimbang dinamis. Keempat syarat kunci tersebut bersifat mutlak dan

harus dikembangkan secara simultan dalam aplikasi pengembangan agropolitan.

Sebagai konsep pendekatan pengembangan wilayah perdesaan yang lebih

mengedepankan pemberdayaan masyarakat, maka agropolitan lebih bersifat

desentralistis. Penentuan jenis komoditi unggulan yang dikembangkan dalam skala

Universitas Sumatera Utara


agribisnis dan agroindustri di lakukan oleh masyarakat yang disesuaikan dengan

kondisi biofisik wilayah dan lingkungan perdesaan.

Kurang berhasilnya program SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis

Komoditi Unggulan), Program Inkubasi Bisnis, Program Pengembangan Wilayah

Terpadu (khusus bobot pertanian) dan program sejenis lainnya, disebabkan oleh

sifatnya yang parsial dan tidak mengakomodasi secara utuh dan simultan keempat

syarat utama pengembangan agropolitan tersebut.

Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah pedesaan, maka pemahaman

konsep agropolitan dalam pengembangan wilayah merupakan hal yang penting,

karena hal ini akan memberikan arah dasar perencanaan pembangunan perdesaan dan

aktivitasnya dalam proses pengembangan wilayah selanjutnya.

Konsep agropolitan sebetulnya merupakan konsep yang ditawarkan oleh

Friedmann dan Doughlas (1974) dalam Sulistiono (2008) atas pengalaman kegagalan

pengembangan sektor industri di beberapa negara berkembang (di Asia) yang

mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan,antara lain:

(a). Terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk dikota-kota

yang padat;

(b). Pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja, sementara daerah

pinggiran relatif tertinggal;

(c). Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang relatif tinggi;

(d). Pembagian penadapatan yang tidak merata (kemiskinan);

(e). Kekurangan bahan pangan, akibat perhatian pembangunan terlalu tercurah pada

Universitas Sumatera Utara


percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid industrialization);

(f). Penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (petani) dan

(g). Terjadinya ketergantungan pada dunia luar.

Konsep agropolitan berdasarkan Friedmann dalam Martina (2004), terdiri dari

distrik-distrik agropolitan sebagai kawasan pertanian pedesaan yang memiliki

kepadatan penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani

dengan jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik

adalah cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah

penduduk total antara 50.000–150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di sektor

pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian konvensional) dan

tiap-tiap distrik dianggap sebagai satuan tunggal yang terintegrasi.

Menurut Rivai (2003), tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah

untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan

pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan

mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis

kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi

(wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan.

Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan

tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga "off

farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir

(pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan

Universitas Sumatera Utara


mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan

mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan

kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui:

a) Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi,

produktifitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang

dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan

menguntungkan serta berwawasan lingkungan,

b) Penguatan kelembagaan petani,

c) Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengolahan

hasil, pemasaran dan penyediaan jasa),

d) Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pembangunan Terpadu,

e) Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.

Dalam pendekatan agropolitan wilayah pedesaan didorong untuk membentuk

satuan-satuan usaha yang optimal melalui kebijaksanaan perkreditan dan perpajakan.

Satuan usaha pengembangan diorganisasikan ke dalam koperasi, perusahaan kecil

dan menengah, dengan mempertimbangkan konsepsi pengembangan seperti,

Perkembangan kelembagaan usaha dilakukan melalui pengembangan sistem insentif

(Rivai, 2003).

Persyaratan sebuah wilayah disebut sebagai Kawasan Agropolitan apabila

(Departemen Pertanian, 2002):

Universitas Sumatera Utara


1. Memiliki Sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk

mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan (komoditi unggulan)

serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha komoditi unggulannya.

2. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk

mendukung perkembangan sistem dan usaha agribisnis.

3. Memiliki berbagai sarana dan prasarana umum yang memadai (transportasi,

listrik, telekomunikasi, air bersih dll).

4. Memiliki berbagai sarana dan prasarana kesejahteraan sosial masyarakat yang

memadai (kesehatan, pendidikan kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan,

dan).

5. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian Sumberdaya alam, kelestarian

sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota dan desa terjamin.

Departemen Pertanian menjelaskan bahwa kota agropolitan berada dalan

kawasan sentra produksi pertanian (selanjutnya kawasan tersebut disebut sebagai

kawasan Agropolitan). Kota pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil,

Kota Kecamatan, Kota Perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagi pusat

pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan pedesaan dan

desa-desa hinterland di wilayah sekitarnya. Sistem Kawasan Agropolitan dapat dilihat

pada Gambar 2.2.

Universitas Sumatera Utara


Sumberdaya Sarana dan Sarana dan Sarana dan
dan Komoditi Prasarana Prasarana prasarana
Unggulan Agribinis Umum Sosial

Kelestarian
Lingkungan

Gambar 2.2. Diagram Alir Sistem Kawasan Agropolitan

Kawasan agropolitan yang telah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut

(Rivai, 2003):

a. Mayoritas masyarakatnya memperoleh pendapat dari kegiatan agribisnis

b. Didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk didalamnya usaha industri

(pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian, perdagangan

agrobisnis hulu(sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.

c. Relasi antara kota dan daerah-daerah hinterlandnya bersifat interpendensi yang

harmonis dan saling membutuhkan. Kawasan pertanian mengembangkan usaha

budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm) dan kota

menyediakan penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi

pengolahan hasildan pemasaran hasil produksi pertanian.

d. Pola kehidupan masyarakatnya sama dengan kehidupan kota karena prasarana dan

sarana yang dimilikinya tidak berbeda dengan di kota.

Batasan kawasan agropolitan ditentukan oleh skala ekonomi dan ruang lingkup

Universitas Sumatera Utara


ekonomi bukan oleh batasan administratif. Penetapan kawasan agropolitan hendaknya

dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agrobisnis yang

ada disetiap daerah.

Permodalan/Teknologi Pemasaran /Sarana


pertanian/Investasi Hasil Pertanian

Gambar 2.3. Kawasan Agropolitan

Keterangan Gambar:

: Agropolitan.
: Pemukiman termasuk di dalamnya terdapat kelembagaan, petani yang --
inovatif dan lahan pertanian (Desa Hinterland atau desa sekitarnya)yang --
memasok produk segar dan olahan pertanian.
: Irigasi.
: Prasarana jalan.
: Batas atas wilayah pelayanaan Agropolitan (Kawasan Agropolitan)

Batasan suatu kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif

pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi lebih ditentukan dengan

Universitas Sumatera Utara


memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Karena itu, penetapan

kawasan agropolitan hendaknya di rancang secara lokal dengan memperhatikan

realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk

dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi satu wilayah Desa/kelurahan atau

kecamatan atau beberapa kecamatan dalam kabupaten/kota atau dapat juga meliputi

wilayah yang dapat menembus wilayah kabupaten/kota lain yang berbatasan.

Kotanya dapat berupa kota desa atau kota nagari atau kota kecamatan atau kota kecil

atau kota menengah.

Menurut Rivai, (2003), bahwa pengembangan kawasan agropolitan menjadi

sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat beberapa hal yakni:

1) kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan spesifik lokal,

2) Pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan pemerataan sektor yang

dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat, 3) Keberlanjutan dari pengembangan

kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai

keunggulan kompetetif dan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya dan

4) Dalam penetapan pusat agropolitan terkait dengan sistem pusat-pusat nasional,

propinsi dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten) sehingga dapat menciptakan

pengembangan wilayah yang serasi dan seimbang.

Selanjutnya Rivai, (2003) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan

pengembangan kawasan agropolitan maka ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu

1) strategi pemberdayaan masyarakat/Sumberdaya manusia dan 2) strategi

pengembangan wilayah. Kedua strategi tersebut dapat diuraikan berikut:

Universitas Sumatera Utara


a. Strategi pemberdayaan masyarakat/SDM:

1. Meningkatkan peran serta aktif masyarakat di kawasan agropolitan mulai dari

perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Perencanaan disusun

secara partisipatif dan hasilnya digunakan untuk bahan master plan atau

program pengembangan kawasan agropolitan. Dengan melibatkan

masyarakat, mereka akan merasa memiliki program-program yang akan

dikembangkan pada kawasan agropolitan. Peran pemerintah disini hanya

sebatas menfasilitasi apa yang sebenarnya diperlukan masyarakat.

2. Meningkatkan kemampuan masyarakat pada kawasan agropolitan dalam

pengelolaan usaha pertanian yang tidak hanya terbatas pada aspek produksi

(budidaya) tetapi juga pada aspek agribisnis secara keseluruhan. Peningkatan

kemampuan masyarakat ini dilakukan salah satunya melalui pendidikan dan

pelatihan (diklat) secara berjenjang dari pusat, propinsi, kabupaten/kota dan

kawasan agropolitan.

3. Mengembangkan kelembagaan agribisnis dalam upaya meningkatkan posisi

tawar pelaku agribisnis, menunjang pengembangan dan keberlanjutan usaha,

dan meningkatkan daya saing produk. Kelembagaan yang perlu ditingkatkan

keberadaannya diantaranya kelembagaan petani seperti kelompok tani,

kelembagaan kemitraan antara petani dengan pengusaha penyedia sarana

produksi, pemasaran dan pengolahan, kelembagaan pendanaan pedesaaan

seperti lembaga keuangan pedesaan/mikro seperti bank dan lembaga

perkreditan desa .

Universitas Sumatera Utara


4. Meningkatkan kemampuan analisis pasar dan pemasaran Sumberdaya

manusia di kawasan agropolitan dengan mengembangkan sarana dan

prasarana pemasaran terutama 1) Penataan struktur pasar dalam negeri untuk

meningkatkan efisiensi pasar, menjamin perdagangan yang transparan dan

distribusi nilai tambah yang lebih proporsional, 2) Prasarana angkutan dan

jalan pedesaan untuk menjamin akses produk pertanian ke pusat konsumen

dan perdagangan, c) Fasilitas pergydangan (storage) yang memadai terutama

bagi komoditi yang mudah rusak seperti produk hortikultura dan peternakan,

4) Rasionalisasi biaya angkutan udara bagi komoditi ekspor, mengingat biaya

kargo udara perusahaan penerbangan nasional masih dirasakan terlalu tinggi

untuk produk-produk pertanian.

b. Strategi Pengembangan Wilayah, melalui:

1. Mengembangkan sarana dan prasarana ekonomi mendukung pengembangan

usaha pertanian skala kecil dan menengah berupa jalan desa, jalan usahatani,

sarana penagairan, pelabuhan, transportasi dan telekomunikasi.

2. Menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi petani dan pelaku agribisnis

lainnya dalam hal: a) Pemberian intensif dalam keringanan pajak, kemudahan

dalam pengadaan barang modal, kepastian hukum, keamanan berusaha dan

dukungan kebijaksanaan pemerintah daerah dalam tata ruang dan tata guna

lahan dan b) Penyederhanaan prosedur, pelayanan yang cepat dan sederhana

dalam perijinan usaha.

3. Mengembangkan teknologi di bidang agribisnis yang sangat diperlukan untuk

Universitas Sumatera Utara


meningkatkan produktivitas, peningkatan mutu dan diversifikasi produk

olahan baik untuk usaha kecil, menengah dan besar berupa:

a) Teknologi biologis (benih, varietas) yang sesuai permintaan pasar,

b) Teknologi pengolahan produk pertanian untuk berbabagai skala usaha,

c) Teknologi pengepakan/pengemasan dan distribusi untuk menjamin produk

tetap dalam kondisi segar sampai ke konsumen akhir dan

d) Teknologi budidaya untuk memberikan hasil keuntungan yang tinggi

seperti mekanisasi pertanian.

4. Penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan

menjadi acuan masing-masing wilayah. Master plan ini disusun berdasarkan

hasil perencanaan partisipatif masyarakat bersama dengan pemerintah daerah

sehingga program yang disusun lebih akomodatif.

5. Penetapan lokasi agropolitan di mana kegiatan ini dimulai dari usulan

penetapan kabupaten oleh pemerintah propinsi. Untuk selanjutnya oleh

pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih

dahulu melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi

dan potensi lokasi (komoditi unggulan) antara lain; potensi SDA, SDM,

kelembagaan, iklim usaha dan sebagainya, serta terkait dengan sistem

permukiman nasional, propinsi dan kabupaten/kota.

6. Melakukan gerakan dan sosialisasi program pengembangan kawasan

agropolitan kepada seluruh stakeholders yang terkait dengan pengembangan

program agropolitan baik pusat maupun daerah, sehingga pengembangan

Universitas Sumatera Utara


program agropolitan dapat lebih terpadu, terkordinasi dan terintegrasi dengan

baik.

Kawasan agropolitan yang telah berkembang memliki ciri-ciri sebagai berikut.

(Deptan, 2002):

a. Mayoritas masyarakatnya memperoleh pendapat dari kegiatan agribisnis

b. Didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk didalamnya usaha industri

(pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian, perdagangan

agrobisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa

pelayanan.

c. Relasi antara kota dan daerah-daerah hinterlandnya bersifat interpendensi yang

harmonis dan saling membutuhkan. Kawasan pertanian mengembangkan usaha

budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm) dan kota

menyediakan penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi

pengolahan hasildan pemasaran hasil produksi pertanian.

d. Pola kehidupan masyarakatnya sama dengan kehidupan kota karena prasarana

dan sarana yang dimilikinya tidak berbeda dengan di kota. Batasan kawasan

agropolitan ditentukan oleh skala ekonomi dan ruang lingkup ekonomi bukan

oleh batasan administratif.

Penetapan kawasan agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan

memperhatikan realitas perkembangan agrobisnis yang ada disetiap daerah.

Universitas Sumatera Utara


2.3. Konsep Struktur Tata Ruang Agropolitan

Secara umum struktur hirarki sistem kota-kota agropolitan dapat digambarkan

sebagai berikut: (Rustan, 2002 dalam Martina, 2004).

Orde yang paling tinggi (kota tani utama) dalam lingkup wilayah agropolitan skala

besar sebagai:

1. Kota perdagangan yang berorientasi ekspor ke luar daerah (nasional dan

internasional) dan bila berada di tepi pantai maka kota ini memiliki pelabuhan

samudra

2. Pusat berbagai kegiatan final manufacturing industri pertanian (packaging), stok

pergudangan dan perdagangan bursa komoditi

3. Pusat berbagai kegiatan tertier agrobisnis, jasa perdagangan, asuransi pertanian,

perbankan dan keuangan.

4. Pusat berbagai pelayanan (general agro-industry services)

Orde kedua (pusat distrik agropolitan) yang berfungsi sebagai:

a. Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir dan

pergudangan komoditi sejenis

b. Pusat kegiatan agro-industri berupa pengolahan barang pertanian jadi dan

setengah jadi serta kegiatan agro-bisnis.

c. Pusat pelayanan agro-industri khusus (special agro-industry services),

pendidikan, pelatihan dan pemuliaan tanaman unggulan.

Universitas Sumatera Utara


Orde ketiga (pusat satuan kawasan pertanian)

1. Pusat perdagangan lokal yang ditandai dengan adanya pasar harian

2. Pusat koleksi komoditi pertanian yang dihasilkan sebagai bahan mentah industri

3. Pusat penelitian, pembibitan dan percontohan komoditi

4. Pusat pemenuhan pelayanan kebutuhan permukiman pertanian

5. Koperasi dan informasi pasar barang perdagangan.

Dilihat dari sektor transportasi, adanya konsep agropolitan dapat memberikan

arahan pengembangan .pembangunan jaringan jalan sesuai hirarki perkotaan, dimulai

dari pedesaan menuju kota kecil dihubungkan oleh jalan lokal. Kota kecil ini dapat

berfungsi sebagai pengumpul hasil pertanian dari pedesaan, merupakan kota orde

ketiga dalam sistem kota-kota agropolitan. Berikutnya adalah dari kota kecil menuju

kota menengah, dihubungkan oleh jalan kolektor. Di sini kota menengah sudah

berfungsi sebagai pusat grosir, yang mengumpulkan hasil pertanian berSumber dari

kota kecil, serta menjadi pusat pelayanan kegiatan agro industri. Terakhir dari kota

menengah menuju kota besar yang dihubungkan oleh jaringan jalan arteri. Sebagai

kota orde tertinggi barang yang diangkut dari kota-kota menengah semakin banyak,

sehingga dibutuhkan prasarana jalan dan jenis kendaraan yang lebih besar. Oleh

karena itu penyediaan jaringan jalan arteri sangat diperlukan. Dengan hirarki kota dan

hirarki jalan yang jelas, akan dapat mengurangi risiko kerusakan jalan akibat

penggunaan jalan yang tidak sesuai ukuran kendaraan maupun volume kendaraan.

Pada Rancang Bangun Lokalita Percontohan KADTBB Sumatera Utara struktur

Agropolitan dari unit terkecil sampai dengan yang terluas adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


a. Lokalita Percontohan

Lokalita Percontohan Agropolitan adalah merupakan unit/satuan terkecil dari

suatu kawasan agropolitan yang telah disepakati oleh masing-masing kabupaten/kota

di Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan (KADTBB) Sumatera Utara.

Unsur-unsur dari lokalita agropolitan adalah sebagai berikut:

1. Suatu hamparan lahan pertanian dengan luasan 1.000-1.500 ha yang memiliki

kesamaan agroekosistem dengan sejumlah komoditi unggulan yang berkembang

dan yang akan dikembangkan.

2. Memiliki sejumlah usahatani individu yang terorganisir dalam kelompok-

kelompok tani.

3. Memiliki usaha kelompok/koperasi atau usaha individu yang bergerak dalam

perdagangan benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian, alat pascapanen,

pergudangan dan pengolahan.

4. Memiliki sistem kelembagaan dan organisasi kerjasama sehamparan dalam sistem

pengendalian hama dan penyakit, serta system manajemen mutu.

5. Memiliki kelembagaan dan sistem penyuluhan agribisnis.

6. Memiliki lembaga keuangan mikro dan atau jaringan informasi pasar

7. Memiliki jaringan ke Sumber teknologi dan jaringan informasi pasar

8. Memiliki jalan antar usahatani dan jalan penghubung lokalita ke daerah lain.

b. Distrik Agropolitan

Distrik Agropolitan merupakan suatu hamparan yang merupakan gabungan

Universitas Sumatera Utara


dari beberapa lokalita agropolitan. Unsur-unsur suatu distrik agropolitan adalah

sebagai berikut:

1. Terdiri dari 5-10 lokalita agropolitan

2. Memiliki sistem manajemen mutu dan pangendalian hama penyakit tanaman

masing-masing lokalita agropolitan.

3. Memiliki sistem dan jaringan jalan serta sarana transportasi yang

menghubungkan antar lokalita agroplitan.

c. Kawasan Agropolitan

Kawasan agropolitan merupakan gabungan dari distrik-distrik yang ada dalam

suatu kawasan.

Peta Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara dapat

dilihat pada Gambar 2.4.


PETA KAWASAN AGROPOLITAN DATARAN TINGGI
BUKIT BARISAN SUMATERA UTARA

N
MEDA N

KARO

SIMALUNGUN
DAI RI

Ke c. D.Pa nrib ua n

PAKPAKBHARAT SAMOSIR

TOBASAMOSIR

HUMBANGHASUNDUTAN

TAPANULI UTARA

Elevasi > 750 M

Batas Kecamatan

Jalan

Gambar 2.4. Peta KADTBB Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


2.3.1. Dasar Pemilihan Lokalita Percontohan

Pemilihan wilayah atau lokalita percontohan adalah berdasarkan usulan dari

masing-masing Pemerintah Kabupaten dan Kota se KADTBB. Luasan lahan Lokalita

yang disyaratkan untuk pengembangan adalah 1.000-1.500 ha berada dalam satu

hamparan dengan agroekosistem yang sama. Dengan syarat tersebut suatu lokalita

dapat terdiri dari 1 sampai 3 desa/kelurahan yang berdampingan. Disamping itu,

lokasi yang direkomendasikan harus memiliki Sumber daya lahan, dan air serta iklim

yang sesuai untuk pengembangan komoditi unggulan. Memiliki sejumlah usahatani

yang bersifat individu yang terorganisir dalam kelompok-kelompok tani serta

pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi/Pusat memiliki komitmen untuk pengembangan

lokalita tersebut.

2.3.2. Pemilihan Komoditi Unggulan

Penentuan komoditi pertanian unggulan dilakukan berdasarkan pada potensi

masing-masing lokalita yang diusulkan oleh masing-masing Pemerintah

Kabupaten/Kota pada pertemuan Forum Komunikasi Sekretaris Daerah

Kabupaten/Kota se-KADTBB yang diadakan pada tanggal 10 Agustus 2007 di Hotel

Sibayak Berastagi.

Komoditi pertanian unggulan di yang diajukan dikelompokkan atas komoditi:

(1) Tanaman Pangan, (2) Hortikultura, (3) Perkebunan, (4) Peternakan, dan (5)

Perikanan. Pemilihan komoditi juga berdasarkan pertimbangan lainnya adalah: a)

Universitas Sumatera Utara


mempunyai potensi untuk dikembangkan, b) mempunyai prospek/peluang pasar yang

baik, dan c) mempunyai kaitan erat dengan perekomonian masyarakat.

Sayuran dan buah-buahan merupakan kelompok komoditi yang mempunyai

prospek yang baik untuk dikembangkan, ditinjau dari potensi wilayah maupun

peluang pasarnya. Disamping itu komoditi ini dikenal sebagai komoditi komersial

yang telah lama memasuki pasar ekspor. Komoditi unggulan sayuran yang

dikembangkan di Lokalita adalah: kentang, tomat, cabai, wortel, kubis, dan bawang

merah, sedangkan untuk komoditi buah-buahan adalah nenas dan alpokat.

Penentuan komoditi unggulan untuk jenis tanaman didasarkan kepada beberapa

parameter, antara lain: luas lahan, produksi, produktifitas, ketersediaan bibit,

keterlibatan masyarakat, pemasaran, kesesuaian lahan, nilai ekonomis, faktor resiko,

penghasil devisa, derivat produk, ketergantungan impor. Pada Master Plan KADTBB

Sumatera Utara tertera Nilai LQ komoditi hortikultura sayuran pada 8 Kabupaten di

KADTBB, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2. Nilai LQ Komoditi Hortikultura Sayuran 8 Kabupaten di KADTBB

Kabupaten/Nilai LQ Nilai
Pakpa KADTBB
N Komodita
k Kar Tapu Simalungu Dair Humbaha Tobas Samosi (Rp.
o s
Bhara o t n i s a r Juta)
t
1. Cabe 323.567,4
5,96 1,66 4,07 6,07 5,57 - 1,47 2,76
0
2 Tomat 253.536,0
- 0,97 0,37 - 0,28 0,67 0,33 0,66
0
3 Kubis 138.763,1
- 1,18 0,74 1,70 1,70 1,59 1,41 1,61
5
4 Sawi - 1,43 1,92 - - - - - 1.404,64
5 Kentang 401.346,0
1,22 2,52 1,22 1,67 1,22 0,96 1,22 1,22
0
6 Lobak/gob 13.412,00
- 3,83 - - - - - -
o
7 Wortel - 2,93 - - - 1,47 - - 62.568,82
8 Bawang 1,48 42.300,40
- 1,47 1,48 0,90 1,10 1,48 1,42
Merah
9 Bawang - 14.624,00
- 0,03 - 1,20 0,80 - 0,13
Putih
Sumber: Master Plan KADTBB Sumatera Utara, 2005

Pada Tabel 2.2 terlihat bahwa nilai LQ komoditi kentang memiliki nilai >1

pada hampir semua kabupaten yang ada pada Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi

Bukit Barisan Sumatera Utara. Hanya Kabupaten Humbang Hasundutan yang nilai

LQ komoditi kentangnya yang kurang dari 1. Demikian juga nilai produksinya

menurut data Tahun 2003 menunjukkan angka nilai jual yang paling tinggi untuk

komoditi hortikultura. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi tanaman kentang

memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan komoditi lainnya.

2.4. Peranan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat

Reorientasi pembangunan pertanian yang ditempuh oleh Departemen

Pertanian untuk mewujudkan pertanian modern secara mendasar merubah pola usaha

tani (proses produksi pertanian) termasuk yang menyangkut alokasi Sumberdaya

lahan dan air. Secara umum kelembagaan agribisnis belum secara terpadu memberi

Universitas Sumatera Utara


dukungan kepada sentra-sentra pengembangan agribisnis komoditi unggulan untuk

terciptanya iklim usaha yang kondusif. Sejarah telah membuktikan bahwa rapuhnya

kelembagaan di Afrika menimbulkan persoalan pangan yang sampai saat ini belum

terpecahkan. Oleh karena itu, pembangunan kelembagaan agribisnis perlu mendapat

perhatian dan penanganan yang serius, terencana dan terus menerus.

Sementara itu, peran pemerintah dalam hal ini, bertindak selaku fasilitator

yang menfasilitasi berbagai prakarsa masyarakat, dengan memberikan stimilasi dana,

sesuai dengan kemampuan anggarannya. Selain itu, sesuai dengan fungsi

penyelenggaraan pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan, juga memberikan

contoh nyata untuk mengembangkan berbagai komiditi unggulan, yang diharapkan

berdampak positif untk menghela kesadaran motivasi masyarakat, dengan berusaha

mengembangkan dan meningkatkan produksi komoditi pertanian unggulan tersebut,

sesuai dengan potensi dan minat masing-masing anggota masyarakat di wilayahnya

(Departemen Pertanian, 2002).

Kelembagaan mempunyai arti seperangkat aturan yang mengatur masyarakat,

yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang

tersedia dan bentuk–bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu

terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab

yang harus mereka lakukan diantara kelembagaan memudahkan koordinasi dan

kerjasama penduduk dalam pemakaian Sumberdaya yang ada, dengan membantu

mereka membentuk harapan-harapan yang sewajarnya dimiliki di setiap orang dalam

hubungan dengan orang lain (Soesilo, 2001).

Universitas Sumatera Utara


Analisis kelembagaan merupakan salah satu upaya memahami dinamika

struktur masyarakat. pemahaman ini perlu dilakukan agar orang luar yang akan

melakukan intervensi mecapai tujuanya. Pengabaian terhadap lembaga lokal ini

sering mengakibatkan kegagalan program-program yang sebenarnya dirancang untuk

meningkatkankesejahteraan masyarakat. Analisis kelembagaan dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu:

1. Pemetaan kelembagaan, dilakukan dengan menyusun daftar kelembagaan dengan

mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: a) Status kelembagaan, apakah sebagai

kelembagaan yang bersifat formal atau informal. b) Bidang gerak kelembagaan,

apakah bergerak di bidang ekonomi, sosial dan bidang lain. c) Keanggotaan,

apakah berjumlah sedikit atau banyak. d) Cakupan kerja kelembagaan, apakah

berdimensi lokal, regional dan internasional. e) Aset yang dimiliki dalam bentuk

benda fisik atau maupun uang tunai. f) Norma kelembagaan yang mengatur

prilaku aktor dalam kelembagaan tersebut.

2. Pemetaan jaringan, dari daftar panjang yang dibuat, kemudian disusun jaringan

kelembagaan yang ada untuk menelusuri keterkaitannya, sehingga dapat

dilakukan analisis adanya saling menguatkan sebagai suatu sistem atau

kebalikanya sebagai sesuatu yang counter produktif. Pemetaan jaringan ini

dilakukan untuk menilai tingkat kompleksitas kelembagaan.

Penguatan kelembagaan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Rekontruksi pengetahuan lokal, yang menggambarkan: pemetaan Sumberdaya

Universitas Sumatera Utara


alam, pemetaan aktivitas pengolaan Sumberdaya, pemetaan potensi konflik

penggunaan Sumberdaya, pemetaan politik lokal dan jaringanya di lingkngan

sosial luar yang berkaitan dengan pengolaan Sumberdaya alam.

2. Pendekatan Stakeholders Consultation Analysis (SCA), pendekatan ini dilakukan

dengan pertimbangan: Apakah sebagai suatu pengguna Sumberdaya (user).

Bagaimana dengan kedekatan tempat tinggal (residential) dengan rencana

kegiatan. Apakah memiliki jiwa kepemimpinan (leadership). memiliki

kewenangan formal (authority). Sampai seberapa jauh memiliki pengalaman

(experience) dengan rencana kegiatan dan bagaimana dengan suatu kegiatan

(Soesilo, 2001).

Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu

disusun master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan

penyusunan program pengembangan. Adapun muatan-muatan yang terkandung

didalamnya diantaranya:

1. Penetapan pusat agropolitan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan

tranportasi pertanian (agricultural trade or transport center), penyedia jasa

pendukung pertanian (agriculture support services), pasar konsumen produk non

pertanian (non agriculture consumers market), pusat industri pertanian (agro

based industry), Penyedia pekerjaan non pertanian (non agricultural employment)

dan pusat agropolitan serta hinterlannya terkait dengan sistem permukiman

nasional, propinsi dan kabupaten.

Universitas Sumatera Utara


2. Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai pusat

produksi pertanian (agricultural production), intensifikasi pertanian (agricultural

intensification), pusat pendapatan pedesaan dan permintaan untuk barang-barang

dan jasa non pertanian (rural income and demand fo agricultural goods and

services) dan produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop

production and agricultural diversivication).

3. Penetapan sektor unggulan, yaitu merupakan sektor unggulan yang sudah

berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya, kegiatan agibisnis yang banyak

melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar dan mempunyai skala

ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangakan dengan orientasi ekspor.

4. Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung

pengembangan kawasan agropolitan di antaranya jaringan jalan, irigasi, Sumber-

Sumber air dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi)

5. Dukungan sistem kelembagaan, yaitu dukungan kelembagaan pengelola

pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari pemerintah

daerah dengan fasilitasi pemerintah pusat dan pengembangan sistem kelembagaan

insentif dan disinsentif pengembangan kawasan agropolitan. Melalui keterkaitan

tersebut, pusat agropolitan dan kawasan pedesaan berinteraksi satu sama lainnya

secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan dapat

meningkatkan nilai tambah (value added) produksi kawasan agropolitan sehingga

pembangunan pedesaan dapat dipacu dan migrasi desa kota yang terjadi dapat

dikendalikan (Rivai, 2003).

Universitas Sumatera Utara


Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di

Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan

awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang

berkembang belakangan.

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang

merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru

pembangunan, yakni yang bersifat “people centered, participatory, empowering, and

sustainable” (Chambers, 1995 dalam Subejo dan Supriyanto, 2004). Konsep ini lebih

luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau

menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net),

yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari

alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu:

pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap

manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,

tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah

punah. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat

(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari

hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata,

dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke

dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi

Universitas Sumatera Utara


berdaya.

Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan

taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam Sumber-Sumber

kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.

Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana

dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas

pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling

bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di

perdesaan, di mana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.

Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena

program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan

masyarakat ini.

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat,

tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja

keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari

upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan

pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di

dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses

pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu,

pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan,

pengamalan demokrasi.

Universitas Sumatera Utara


Friedmann, (1992) menyatakan “The empowerment approach, which is

fundamental to an altenative development, places the emphasis an autonomy in the

decesion marking of territorially organized communities, local self-reliance (but not

autachy), direct (participatory) democracy, and experiential sosial learning”.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses

pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena

kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan

pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan

masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena

hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.

Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang

tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan

masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai

program pemberian (charity).

Masalah sosial ekonomi masyarakat petani merupakan suatu fenomena yang

mempunyai berbagai dimensi. Begitu banyaknya dimensi yang terkandung di

dalamnya mengakibatkan berbagai permasalahan walaupun gejala ini telah sejak lama

menjadi objek kajian tapi sampai sekarang belum diperoleh rumusan yang disepakati

berbagai pihak. Pada umumnya masyarakat sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi

yang tidak diinginkan oleh sebagian warga masyarakat. Hal ini disebabkan karena

gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai

dengan norma nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu suatu kondisi

Universitas Sumatera Utara


juga dapat dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan penderitaan dan

kerugian baik fisik maupun non fisik bagi masyarakat petani (Soetomo, 1995).

Pengembangan kawasan agropolitan melalui konsep pendekatan

pemberdayaan Sumberdaya manusia atau masyarakat juga harus seiring dan sejalan.

Pemberdayaan Sumberdaya manusia merupakan hal yang sangat penting, karena

tanpa didukung oleh Sumberdaya manusia yang berkualitas maka pengembangan

kawasan agropolitan dengan pendekatan wilayah akan kurang bisa mencapai hasil

yang optimal.

Beberapa aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam

pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan, antara lain:

a. Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang dikembangkan dan

berfungsi dalam mendinamisir kegiatan produktif masyarakat, misalnya

berfungsinya HKTI, HNSI , dan organisasi lokal lainya.

b. Pengembangan jaringan strategis antar kelompok/organisasi masyarakat yang

terbentuk dan berperan dalam pengembangan masyarakat tani dan nelayan,

misalnya asosiasi dari organisasi petani dan nelayan, baik dalam skala nasional,

wilayah, maupun lokal.

c. Kemampuan kelompok petani dan nelayan kecil dalam mengakses Sumber-

Sumber luar yang dapat mendukung pengembangan mereka, baik dalam bidang

informasi pasar, permodalan, serta teknologi dan manajemen, termasuk

didalamnya kemampuan lobi ekonomi. Di sinilah maka perlunya ekonomi

jaringan dipembangkan. Ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang

Universitas Sumatera Utara


menghimpun para pelaku ekomomi, baik dari produsen, konsumen, service

provider, equipment provider, cargo, dan sebagainya di dalam jaringan yang

terhubung baik secara elektronik maupun melalui berbagai forum usaha yang

aktif dan dinamis. Ekonomi jaringan ini harus didukung oleh jaringan

telekomunikasi, jaringan pembiayaan, jaringan usaha dan perdagangan, jaringan

advokasi usaha, jaringan saling belajar, serta jaringan lainnya seperti hasil temuan

riset dan teknologi/inovasi baru, jaringan pasar, infomasi kebijakan dan

pendukung lainnya yang dapat diakses oleh semua dan tidak dimonopoli oleh

kelompok tertentu (Sasono, 2000).

d. Pengembangan kemampuan-kemampuan teknis dan manajerial kelompok-

kelompok masyarakat, sehingga berbagai masalah teknis dan organisasi dapat

dipecahkan dengan baik. Di sini, selain masyarakat sasaran (petani dan nelayan),

juga para petugas penyuluh/pendamping pemberdayaan masyarakat harus

meningkatkan kompetensi diri sebagai petugas yang mampu memberdayakan,

karena banyak diantara mereka justru ketinggalan kemampuannya dengan

kelompok sasarannya. (Ravik. K, 2002)

2.5. Kerangka Pemikiran

Untuk menganalisis permasalahan dan tujuan penelitian, maka dapat

digambarkan kerangka pemikiran untuk menjelaskan dampak pembangunan kawasan

Agropolitan terhadap pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat dapat

diuraikan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


PEMBANGUNAN
KAWASAN AGROPOLITAN DATARAN TINGGI BUKIT BARISAN
SUMATERA UTARA

LOKALITA
AGROPOLITAN

- KELEMBAGAAN PENINGKATAN PRODUKTIFITAS


- PARTISIPASI PENGGUNAAN KOMODITI
MASYARAKAT LAHAN UNGGULAN
- PEMERINTAH (KENTANG)
- DUNIA USAHA

PEMBERDAYAAN PENINGKATAN
MASYARAKAT PENDAPATAN PETANI

PENGEMBANGAN
WILAYAH

Gambar 2.5. Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian

2.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan yang telah diuraikan

pada Bab-I, untuk mengarahkan pelaksanaan penelitian agar tujuan penelitian dapat

Universitas Sumatera Utara


dicapai, maka rumusan hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini

adalah:

1. Terdapat perbedaan yang nyata penggunaan lahan sebelum dan sesudah

pembangunan Kawasan Agropolitan di Lokalita Saribu Dolok.

2. Terdapat perbedaan yang nyata produktifitas komoditi unggulan sebelum dan

sesudah pembangunan Kawasan Agropolitan di Lokalita Saribu Dolok.

3. Terdapat perbedaan yang nyata pendapatan petani sebelum dan sesudah

pembangunan Kawasan Agropolitan di Lokalita Saribu Dolok.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai