Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komponen tunggal terbesar dalam tubuh adalah air. Air adalah pelarut bagi

semua zat terlarut dalam tubuh baik dalam bentuk suspensi maupun larutan. Air

tubuh total atau total body water (TBW) merupakan persentase dari berat tubuh

total yang tersusun atas air, jumlahnya bervariasi sesuai dengan jenis kelamin,

umur, dan kandungan lemak tubuh. Air membentuk sekitar 60% berat badan

seorang pria dan sekitar 50% berat badan wanita (Price & Wilson, 2005).

Keseimbangan air perlu dipertahankan dengan mengatur jumlah asupan air

dan keluaran air yang seimbang. Berbagai faktor dapat memengaruhi kebutuhan

air seperti fase pertumbuhan, aktivitas metabolisme, aktivitas fisik, pernapasan,

suhu tubuh, kelembaban, jumlah dan jenis filtrat yang dikeluarkan ginjal,

jumlah asupan zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral

(Santoso, dkk., 2014).

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)

(2014) dalam Pedoman Gizi Seimbang, sebagian besar air yang dibutuhkan

tubuh didapatkan melalui minuman yaitu sekitar dua liter atau delapan gelas

sehari bagi remaja dan dewasa yang melakukan kegiatan ringan pada kondisi

temperatur harian di kantor atau rumah tropis. Berbagai penelitian

membuktikan bahwa kurang air tubuh pada anak sekolah menimbulkan rasa

lelah (fatigue), menurunkan atensi atau konsentrasi belajar. Minum yang cukup

1
2

atau hidrasi tidak hanya mengoptimalkan atensi atau konsentrasi belajar anak

tetapi juga mengoptimalkan memori anak dalam belajar.

Berdasarkan The Indonesian Hydration Regional Study (THIRST) (2009)

dalam Putri dan Mulyani (2012) menunjukkan 46,1% subyek yang diteliti

mengalami kurang air, dimana lebih tinggi pada remaja (49,5%) dibanding pada

orang dewasa (42,5%). Hardiansyah, dkk (2009) mengungkapkan prevalensi

dehidrasi ringan pada kelompok remaja (usia 15-18 tahun) di dataran tinggi

24,75% dan di dataran rendah (perkotaan) 41,67%. Pada kelompok dewasa (25-

50 tahun) proporsi dehidrasi ringan di dataran tinggi 15,40% dan di dataran

rendah 24,00%. Prevalensi dehidrasi ringan pada kedua kelompok lebih tinggi

di dataran rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi.

Penelitian Briawan (2011) tentang kebiasaan minum dan asupan cairan

remaja perkotaan di Bogor juga menunjukkan bahwa terdapat 37,3% remaja

yang minum kurang dari 8 gelas per hari dan sebesar 24,1% remaja asupan

cairannya kurang dari 90% kebutuhan. Penelitian Bardosono, dkk (2015)

tentang intake cairan pada remaja dan dewasa di Indonesia mengungkapkan

hasil rata-rata asupan cairan pada remaja usia 13-17 tahun berdasarkan recall 24

jam 1982 mL, dalam penelitian ini juga ditunjukkan 36% subjek minum air

kurang dari intake adekuat dan 47% diantaranya bahkan minum air kurang dari

6 gelas.

Özen, et al. (2015) mengungkapkan total asupan cairan bervariasi dari 0.6

hingga 3.5 L/hari pada seluruh kelompok usia, dimana laki-laki memiliki

asupan cairan lebih tinggi dibanding perempuan. Air minum atau plain water
3

berkontribusi masing-masing 58%, 75%, dan 80% dari total asupan cairan pada

anak-anak, remaja, dan dewasa. Setelah air minum, konsumsi susu tertinggi

pada anak-anak, kemudian konsumsi soft drinks tertinggi pada remaja,

sedangkan konsumsi teh, kopi, dan minuman beralkohol tertinggi pada usia

dewasa.

Menurut Guelinckx, et al. (2015) kalangan remaja selalu mengonsumsi

regular soft beverages (RSB) yang merupakan minuman-minuman

mengandung gula atau pemanis, soft drink, energy drink, dan sport drink lebih

tinggi dibandingkan anak-anak. Anak-anak dan remaja yang sehari-hari

mengonsumsi RSB akan meningkatkan risiko overweight dan obesitas jika

dibandingkan dengan yang tidak mengonsumsi RSB.

Habibaturochmah dan Deny (2014) menunjukkan 29,8% remaja putri masih

kurang mengonsumsi air dan hampir separuhnya (48,4%) adalah remaja yang

memiliki persen lemak tubuh overfat dan obesitas. Buanasita, dkk. (2015)

mengungkapkan dari 62 mahasiswa usia 18-20 tahun hampir setengahnya

mengalami dehidrasi yaitu 27 mahasiswa terdiri dari 21 responden (77,8%) dari

kelompok obesitas dan 6 responden (22,2%) dari kelompok non obesitas. Penelitian

Arni (2015) pada remaja mengungkapkan sebagian besar responden yang

overweight mempunyai frekuensi kebiasaan minum sehari yang kurang (<8

gelas perhari) yaitu sebanyak 76% sedangkan responden tidak oveweight

sebagian besar mempunyai mempunyai frekuensi kebiasaan minum sehari yang

baik (8-12 gelas perhari) yaitu sebanyak 32%.


4

Menurut Muckelbauer, et al. (2013), konsumsi air memiliki efek terhadap

berat badan melalui mekanisme termogenik dimana air akan berdampak pada

konsumsi energi. Konsumsi 0,5 liter air dapat meningkatkan laju metabolik

sehingga pengeluaran energi dari dalam tubuh juga meningkat sekitar 100 kJ

pada berat badan normal dan 96 kJ pada berat badan lebih.

Kemenkes RI melalui Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013

menunjukkan prevalensi gemuk pada remaja umur 16 – 18 tahun berdasarkan

Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) sebanyak 7,3% yang terdiri dari

5,7% gemuk dan 1,6% obesitas. Data ini menunjukkan peningkatan prevalensi

remaja gemuk dari 1,4% (2010) menjadi 7,3% (2013), sementara

kecenderungan prevalensi remaja kurus relatif sama tahun 2007 dan 2013, dan

prevalensi sangat kurus naik 0,4%.

Keseimbangan cairan mencerminkan hubungan asupan cairan dan

kehilangan cairan. Asupan cairan terutama berada dibawah kontrol individu

yang bersangkutan, dan umumnya cairan yang dikeluarkan dari tubuh dengan

berbagai cara, diluar kontrol individu yang bersangkutan. Pemilihan jenis

minuman dan makanan, aktivitas fisik, serta lingkungan merupakan faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi asupan cairan dalam tubuh (Barasi, 2009).

Menurut pandangan ahli gizi, masa remaja merupakan masa pertumbuhan

penting dan tercepat kedua setelah masa bayi. Terjadinya peningkatan

kebutuhan energi dan zat gizi seiring dengan meningkatnya kebebasan memiliki

dan membelanjakan uang pribadi yang dimilikinya. Pada masa ini juga terjadi

peningkatan sikap otonomi dalam membuat keputusan untuk memilih makanan.


5

Namun, kemampuan berpikir seperti ini umumnya belum matang menjadikan

remaja pada posisi kondisi gizi yang berisiko. Disisi lain, perubahan psikis dan

kognitif menyebabkan terjadinya tekanan psikologis-sosial yang

mempengaruhi kebiasaan atau pola makan remaja (Fikawati, dkk., 2017).

Menurut Hardiansyah, dkk (2009) kurangnya pengetahuan penduduk

tentang air dan minuman merupakan salah satu hal yang mendasari besarnya

masalah dehidrasi di Indonesia. Sekitar separuh remaja dan dewasa baik di

dataran rendah maupun dataran tinggi (42.4 – 49.7%) memiliki pengetahuan

yang rendah (tidak memadai) tentang air minum. Pengetahuan tentang fungsi

air, makanan sebagai sumber air, gejala dehidrasi merupakan aspek yang paling

banyak tidak diketahui oleh remaja dan dewasa di kedua daerah. Penelitian

Manusita (2013) menunjukkan 28,3% subjek penelitian yang merupakan

remaja usia 13-18 tahun memiliki pengetahuan mengenai cairan yang kurang,

dan sebagian besar subjek (57,9%) tersebut memiliki asupan cairan yang tidak

adekuat.

Penelitian ini akan dilakukan di salah satu SMA di Kota Makassar yaitu

SMA Katolik Rajawali. SMA Katolik Rajawali merupakan salah satu SMA

berprestasi serta memiliki lokasi strategis dan berada di kawasan kuliner Kota

Makassar. Hasil penelitian Alhadar, dkk (2014) pada siswa SMA Katolik

Cendrawasih sebanyak 50.9% siswa termasuk dalam kategori gizi lebih. SMA

Katolik Cendrawasih memiliki lokasi yang berdekatan dengan SMA Katolik

Rajawali. Berdasarkan penelitian Hasbullah, dkk (2016), distribusi status gizi

IMT/U pada siswa SMA Negeri 5 17.4% kurus, 53.5% normal, 19.2%
6

overweight, dan 9.9% obesitas dan pada siswa SMA Negeri 12 34% kurus,

43.1% normal, 17.4% overweight, dan obesitas 5.6%.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah dalam

penelitian ini yaitu gambaran tingkat konsumsi dan pengetahuan mengenai

cairan pada remaja berdasarkan status gizi siswa SMA Katolik Rajawali

Makassar.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Adapun tujuan secara umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

tingkat konsumsi dan pengetahuan mengenai cairan remaja berdasarkan

status gizi siswa SMA Katolik Rajawali Makassar.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan secara khusus dari penelitian ini akan dijabarkan sebagai

berikut :

a. Mengetahui status gizi siswa SMA Katolik Rajawali Makassar.

b. Mengetahui gambaran tingkat kecukupan cairan berdasarkan status gizi

pada siswa SMA Katolik Rajawali Makassar.

c. Mengetahui gambaran jenis makanan dan minuman yang berkontribusi

dalam konsumsi cairan berdasarkan status gizi pada siswa SMA Katolik

Rajawali Makassar.
7

d. Mengetahui gambaran pengetahuan tentang cairan berdasarkan status

gizi pada siswa SMA Katolik Rajawali Makassar.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diperoleh baik secara implisit

maupun eksplisit yaitu :

1. Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat bagi remaja, terutama siswa dan pihak

sekolah sebagai sumber informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan

mengenai gizi khususnya asupan cairan.

2. Manfaat Ilmiah

Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan pengembangan ilmu

yang dapat menjadi suatu proses pendidikan dan referensi dalam

meningkatkan derajat kesehatan melalui program gizi.

3. Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini akan menjadi pengalaman dan ilmu yang berharga dalam

memperluas pengetahuan terkait asupan cairan pada remaja dengan basis

sekolah di Kota Makassar.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Konsumsi Cairan

Air merupakan penyedia media dimana sebagian besar reaksi kimia terjadi

dalam tubuh. Manusia membutuhkan cukup air untuk mengganti air yang

keluar dari tubuh oleh berbagai proses. Total asupan air didapatkan dari air

minum, berbagai jenis minuman, serta air yang terdapat dalam makanan. Air

dari makanan menyediakan sekitar 19% asupan air alami. Konsumsi asupan

cairan umumnya 75% didapatkan dari minum air dan berbagai jenis minuman

dan 25% dari makanan. Konsumsi air yang memadai akan ditunjukkan oleh

ekskresi urin yang berwarna pucat dan dalam volume yang normal (Brown, et

al, 2011).

Tubuh wanita terdiri 50-55% air, sedangkan tubuh pria terdiri dari 55-60%

air. Pria memiliki lebih banyak air karena proporsi otot yang lebih dan lemak

yang sedikit. Otot mengandung lebih banyak air dibandingkan jaringan lainnya

kecuali darah. Wanita memiliki proporsi otot yang sedikit dan lemak yang

banyak, dimana lemak memiliki kandungan air yang sedikit (Schlenker &

Gilbert, 2011).

Selain berada dalam otot, air juga merupakan penyusun otak manusia.

Sebagian besar kandungan otak adalah air (sekitar 80%), kemudian lemak,

protein, dan zat gizi lainnya yang dibutuhkan untuk kenormalan fungsi otak.

Salah satu indikasi sederhana kurang air tubuh adalah pusing atatu sakit kepala

8
9

selain dahaga, bibir kering, warna urin kuning-cokelat dan lain sebagainya. Jadi

cukup logis bila kurang air tubuh akan mengganggu mood dan atensi dalam

belajar anak sekolah (Santoso, dkk., 2014).

Total air tubuh sebagai persentase dari total berat badan menurun secara

progresif sesuai pertambahan usia, berikut persentase air tubuh berdasarkan

usia (Biofoundations, 2015):

Tabel 2.1 Persentase Air Tubuh dari Total Berat Badan berdasarkan Usia
Usia Persentase Air Tubuh
Fetus 90% dari berat badan
Infant 74% dari berat badan
Anak 60% dari berat badan
Laki-laki: 59% dari berat badan
Remaja
Perempuan: 56% dari berat badan
Laki-laki: 59% dari berat badan
Dewasa
Wanita: 50% dari berat badan
Laki-laki: 56% dari berat badan
Dewasa >50 tahun
Wanita: 47% dari berat badan
Sumber: Biofoundations.org, 2015

Sebagai zat gizi, air mempunyai fungsi penting bagi tubuh manusia yaitu

sebagai pembentuk sel dan cairan tubuh, sebagai pengatur suhu tubuh, sebagai

pelarut, sebagai pelumas dan bantalan, sebagai media transportasi, sebagai

media eliminasi toksin dan produk metabolisme. Berbagai hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan air dapat mencegah timbulnya

berbagai penyakit dan membuat hidup jadi lebih sehat dan nyaman (Santoso,

dkk., 2012).

Keseimbangan air akan tercapai bila volume asupan air sama dengan

volume keluaran air. Asupan air dapat berupa asupan air wajib dan asupan air

kehendak sendiri (elektif). Asupan air wajib berasal dari air minum volume
10

minimal, air dari makanan, dan air hasil oksidasi zat makanan. Air minum

volume minimal adalah air minum yang harus masuk dalam keadaan basal

(suhu tubuh dan lingkungan normal serta dalam istirahat) untuk menjaga

keseimbangan, volumenya kurang lebih 400 ml, air dari makanan volumenya

kurang lebih 850 ml, dari oksidasi zat makanan kurang lebih 200-300 ml.

sedangkan asupan air elektif tergantung dari besarnya kebutuhan akibat

kemungkinan suhu lingkungan yang tinggi, suhu badan, adanya latihan fisik,

yang merangsang pusat rasa haus sehingga individu tersebut ingin minum

(Santoso, dkk., 2012).

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Air yang Dianjurkan untuk Orang Indonesia
(perorang perhari)
Kelompok Angka Kelompok Angka
Umur Kecukupan Umur Kecukupan
Air (ml) Air (ml)
Bayi/Anak Perempuan
0-6 bulan - 10-12 tahun 1800
7-11 bulan 800 13-15 tahun 2000
1-3 tahun 1200 16-18 tahun 2100
4-6 tahun 1500 19-29 tahun 2300
7-9 tahun 1900 30-49 tahun 2300
Laki-laki 50-64 tahun 2300
10-12 tahun 1800 65-80 tahun 1600
13-15 tahun 2000 80+ tahun 1500
16-18 tahun 2200 Hamil (+an)
19-29 tahun 2500 Trisemester 1 +300
30-49 tahun 2600 Trisemester 2 +300
50-64 tahun 2600 Trisemester 3 +300
65-80 tahun 1900 Menyusui
80+ tahun 1600 6 bulan pertama +800
6 bulan kedua +650
Sumber: Kemenkes, 2013.

Pengaturan keseimbangan air dalam dua kompartemen intraseluler dan

ekstraseluler diatur oleh regulator osmotik, regulator volume, dan difasilitasi


11

oleh ginjal. Air akan bergerak dari kompartemen dengan tekanan osmotik

rendah kearah kompartemen dengan tekanan osmotik yang tinggi. Tekanan

osmotik dipengaruhi oleh rasio solute efektif dan air. Contoh solute efektif

adalah natrium, kalium, klorida, dan glukosa. Satu-satunya solute yang

inefektif di dalam tubuh manusia adalah urea. Solute inefektif ini tidak

memengaruhi tekanan osmotik (Santoso, dkk., 2014).

Pengaturan osmotik diperantarai oleh hipotalamus, hipofisis, dan tubuh

ginjal. Antidiuretic Hormone (ADH) merupakan hormon yang mengatur

keseimbangan cairan untuk mempertahankan isoosmotik atau osmolalitas

plasma (287 mOsm/kg) dan merupakan hormon peptida yang disintesis di

hipotalamus dan disimpan di hipofisis. Hipotalamus juga merupakan pusat rasa

haus dan mempunyai osmoreseptor yang peka terhadap osmolalitas plasma.

Peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang rasa haus dan pelepasan

ADH. Rasa haus merangsang pemasukan air dan mernagsang ADH untuk

mengubah permeabilitas duktus koligentes ginjal, meningkatkan reabsorpsi

air. Akibatnya terjadi peningkatan volume air tubuh yang akan memulihkan

osmolalitas plasma kembali normal dan terbentuk urine yang hiperosmotik

(pekat) dalam volume lebih sedikit. Penurunan osmolalitas plasma

mengakibatkan hal sebaliknya yaitu terjadi penekanan terhadap rasa haus

maupun pelepasan ADH (Price & Wilson, 2005).

Faktor-faktor yang berperan dalam keseimbangan air dalam tubuh, antara

lain (Institute of Medicine, 2004):


12

1. Respiratory Water Loss

Respiratory water loss melalui penguapan paru-paru pada proses

pernapasan tergantung pada volume ventilasi dan tekanan uap air. Aktivitas

fisik lebih dapat memberikan efek terhadap hilangnya air melalui proses

pernapasan dibandingkan dengan faktor lingkungan. Kehilangan air melalui

proses pernasapan pada orang yang sedentary sekitar 250-350 mL/hari dan

dapat meningkat hingga 500-600 mL/hari untuk orang yang aktif dan tinggal

didaerah dengan temperature yang tinggi. Pernapasan pada udara kering saat

latihan fisik dapat meningkatkan respiratory water loss sekitar 120-300

mL/hari dan pernapasan pada udara kering saat istirahat dan stress fisik

masing-masing dapat meningkatkan respiratory water loss sekitar 5

mL/hari dan 15-45 mL/hari. Sebuah penelitian mengungkapkan respiratory

water loss dapat meningkat 340 mL/hari pada suhu udara -20°C dibanding

pada suhu +25°C.

2. Urinary and Gastrointestinal Water Loss

Cairan yang keluar melalui ginjal dapat bervariasi tergantung pada

muatan makronutrien spesifik, garam, dan air. Ginjal membatasi berapa

banyak konsentrasi urin, jumlah air yang menententukan kuantitas produk

akhir yang akan di eksresi. Urin yang keluar umumnya rata-rata 1-2 L/hari

tetapi dapat meningkat hingga 20 L/hari pada orang yang mengonsumsi

cairan dalam jumlah yang banyak. Jika urin dalam konsentrasi maksimal,

urin yang keluar minimal sekitar 500 mL/hari, pada subjek dehidrasi yang

tinggal di daerah panas urin yang keluar harian dapat kurang dari 500
13

mL/hari. Aktivitas fisik dan iklim juga dapat mempengaruhi output urin.

Penelitian menunjukkan latihan dan tekanan panas akan menurunkan urin

yang keluar 20-60%, sedangkan saat dingin dan hypoxia akan

meningkatkan output urin. Air yang keluar melalui proses pencernaan dan

feses pada orang dewasa yang sehat sekitar 100-200 mL/hari.

3. Insensible and Sweat Losses

Kehilangan air melalui kulit terjadi secara difusi tidak sadar dan sekresi

keringat. Pada rata-rata orang dewasa, kehilangan air melalui difusi yang

tidak disadari sekitar 450 mL/hari. Kehilangan air melalui keringat

ditentukan oleh penguapan panas yang dipengaruhi oleh laju metabolik dan

lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keringat seperti

pakaian yang dipakai, temperature, kelembaban, pergerakan udaran, dan

timpaan matahari.

4. Metabolic Water Production

Air dari proses metabolik terbentuk oleh oksidasi selama proses

metabolisme atau pembentukan energi. Oksidasi pada karbohidrat, protein,

dan lemak menghasilkan air masing-masing sekitar 15, 10.5, dan 11.1 g/100

kkal dari metabolisme energi. Estimasi produksi air melalui proses

metabolik sekitar 250-350 mL/hari pada orang yang sedentary dan dapat

meningkat hingga 500-600 mL/hari pada orang yang memiliki aktivitas

fisik. Air dari proses metabolisme, yang merupakan produk proses

pembentukan energi dari makanan menjadi karbon dioksida dan energi ini,

tidak termasuk air yang terkandung dalam bahan makanan tersebut.


14

5. Consumption

Sebuah survey konsumsi yang dilakukan di Amerika Serikat

mengungkapkan total asupan cairan sekitar 28% dari makanan, 28% dari air

minum, dan 44% dari jenis minuman lainnya. Asupan cairan sangat

bervariasi pada setiap orang dan dipengaruhi oleh aktivitas fisik,

lingkungan, pola diet, dan keadaan sosial.

Tabel 2.3 Rekomendasi Asupan Cairan Berdasarkan Usia dan Berat Badan
Usia Rekomendasi
Bayi dan anak:
1-10 kg 100-150 mL/kg
11-20 kg 1000 mL + 50 mL/kg > 10 kg
≥ 21 kg 1500 mL + 25 mL/kg > 20 kg
≥ 31 kg 1700 mL + 30 mL/kg > 30 kg
Remaja 40-60 mL/kg
Dewasa muda 16-30 tahun 35-40 mL/kg
Dewasa 30-35 mL/kg
Dewasa 55-65 tahun 30 mL/kg
Dewasa >65 tahun 25 mL/kg
Sumber: Nelms, et al 2016, p.130

Umumnya mengonsumsi cairan tidak hanya untuk memuaskan dahaga,

tetapi juga sebagai komponen makanan sehari-hari (misalnya sup dan susu),

sebagai minuman yang digunakan sebagai stimulant ringan (teh dan kopi), dan

untuk kesenangan tertentu. Sebagai contoh, konsumsi alkohol biasanya dapat

meningkatkan kenikmatan individu serta sebagai sajian dalam interaksi sosial.

Minuman juga dikonsumsi untuk mendapatkan kandungan energinya, seperti

minuman ringan dan susu, dan digunakan dalam cuaca hangat untuk

pendinginan dan cuaca dingin untuk menghangatkan. Namun minuman selain

air tersebut dapat berkontribusi dalam memberikan asupan kalori yang

berlebihan, atau minuman seperi alkohol yang dapat menimbulkan


15

ketergantungan. Sebuah penelitian pada orang dewasa di Amerika Serikat

didapatkan asupan cairan total meningkat 79 ons pada tahun 1989 menjadi 100

on ditahun 202 dan semuanya berasal dari minuman berkalori (Popkin, et al,

2010).

Popkin, et al (2010) mengemukakan mengganti air minum dengan

minuman lain seperti SSB, jus, dan susu dapat menimbulkan peningkatan 10-

13% asupan energi. Selain itu, mengonsumsi air sebelum makan memiliki

tendensi untuk menurunkan asupan kalori. Beberapa penelitian

mengungkapkan ketika minuman-minuman dengan pemanis dikonsumsi 0-30

menit atau meminum jus maupun susu 2 jam sebelum makan, dapat

meningkatkan asupan energi 10-15% lebih tinggi dibandingkan dengan minum

air saja (Stookey, 2016).

B. Tinjauan Umum tentang Status Gizi Remaja

Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang

ditandai dengan terjadinya perubahan sangat cepat secara fisik, psikis, dan

kognitif. Menurut pandangan ahli gizi, masa remaja merupakan masa

pertumbuhan penting dan tercepat kedua setelah masa bayi. Perubahan fisik

dan organ reproduksi yang pesat berdampak pada meningkatnya kebutuhan

gizi serta makanan remaja. Awal pertumbuhan dan perkembangan biologis

remaja ditandai dengan mulainya pubertas. Pubertas sering disebut sebagai

masa transformasi fisik dari anak-anak menjadi dewasa. Perubahan biologis

tersebut meliputi sexual maturation (kematangan fungsi seksual atau sistem


16

reproduksi), peningkatan tinggi dan berat badan, akumulasi massa tulang, dan

perubahan komposisi tubuh (Fikawati, dkk., 2017).

Masa remaja dibagi berdasarkan kondisi perkembangan fisik, psikologi, dan

sosial. World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s

Emergency Fund (UNICEF) (2005) membagi remaja menjadi tiga stase, yaitu

remaja awal usia 10-14 tahun, remaja pertengahan usia 14-17 tahun, dan remaja

akhir usia 17-21 tahun (Pakar Gizi Indonesia, 2016).

Selama masa remaja, tubuh mengalami sejumlah besar perubahan akibat

pubertas. Setelah pubertas tercapai, orang tersebut memiliki kemampuan

reproduksi seksual. Secara karakteristik, permulaan pubertas lebih dini pada

perempuan dibanding laki-laki (usia 10,5-11 tahun pada perempuan dan usia

12,5-13 tahun pada laki-laki). Pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini

berkaitan dengan perubahan komposisi tubuh yang mempengaruhi gemuk dan

kurusnya badan. Komposisi tubuh dapat menandai status gizi dan kebugaran

fisik (Lanham-New, dkk., 2015).

Sekitar 50% dari berat badan dewasa ideal diperoleh selama masa remaja.

Komposisi tubuh akan berganti secara dramatis selama masa pubertas remaja

putri, dengan massa tubuh bukan-lemak atau lean body mass (LBM) turun dari

80% menjadi 74% berat badan, sementara terjadi peningkatan lemak tubuh atau

fat free mass (FFM) dari 16% menjadi 27% berat badan. Remaja putri

diperkirakan mengalami sekitar 1,14 kg penambahan massa lemak tubuh setiap

tahun selama masa pubertas. Penelitian menunjukkan bahwa 17% lemak tubuh
17

diperlukan untuk menarche dan 25% diperlukan untuk pengembangan dan

pemeliharaan siklus ovulasi regular (Brown, et al, 2011).

Lean body mass mencakup semua kandungan tubuh non-lipid, serta lemak

esensial dan fosfolipid. LBM meningkat lebih banyak pada laki-laki daripada

perempuan, dengan penambahan berat paling banyak selama pertumbuhan

berupa otot dan tulang. Laki-laki dan perempuan menunjukkan peningkatan

linear kandungan mineral FFM dari usia 8-15 tahun. Kandungan air tubuh

menurun dari 81% saat lahir menjadi 72% saat dewasa. Penurunan kandungan

air ini bersamaan dengan mulai meningkatnya densitas FFM rata-rata pada

rentang usia tersebut (Lanham-New, dkk., 2015).

Gizi yang tepat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan yang

optimal pada masa anak-anak dan remaja. Perkembangan kognitif juga

dipengaruhi oleh faktor gizi. Ketika satu dari empat anak diseluruh dunia

menderita malnutrisi, satu dari tiga anak di negara maju mengalami kelebihan

berat badan, dan dalam sejumlah masyarakat terdapat kekurangan gizi serta

obesitas ditemukan berdampingan. Pada masa anak-anak dan remaja,

kelebihan berat badan dan obesitas dapat menyebabkan munculnya penyakit

degeneratif sebagai persoalan kesehatan utama diantara orang muda dalam

sejumlah kelompok populasi (Mann & Truswell, 2014).

Menurut Kemenkes RI (2013), indikator status gizi yang digunakan untuk

kelompok umur 5-18 tahun didasarkan pada hasil pengukuran antropometri

berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk indeks
18

massa tubuh menurut umur (IMT/U). Berdasarkan standar antropometri

penilaian status gizi anak (2010) klasifikasi indikator IMT/U, sebagai berikut:

Sangat kurus : Zscore < -3.0

Kurus : Zscore ≥ -3.0 sampai dengan < -2.0

Normal : Zscore ≥ -2.0 sampai dengan ≤ 1.0

Gemuk : Zscore > 1.0 sampai dengan ≤ 2.0

Obesitas : Zscore > 2.0

Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013 status gizi pada remaja umur

16-18 tahun secara nasional prevalensi remaja kurus sebesar 9.4% terdiri dari

1.9% sangat kurus dan 7.5% kurus. Prevalensi gemuk pada remaja umur 16-18

tahun secara nasional sebanyak 7.8% yang terdiri dari 5.7% gemuk dan 1.6%

obesitas. Terdapat 15 provinsi dengan prevalensi sangat gemuk diatas

prevalensi nasional, salah satunya yaitu Sulawesi Selatan (1.7%).

Kecenderungan status gizi (IMT/U) gemuk pada remaja umur 16-18 tahun

secara nasional mengalami kenaikan dari 1.4% pada tahun 2007 menjadi 7.3%

pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013).

Adanya kebebasan sebagai salah satu karakteristik dari perkembangan

psikologi remaja seringkali mengarahkan kepada perkembangan perilaku

makan yang mengesampingkan kesehatan seperti melakukan diet yang

berlebihan, melewatkan waktu makan, penggunaan zat gizi yang tidak

konvesional dan suplemen nonnutritional, serta penggunaan berbagai jenis

diet. Pola makan dan perilaku pada remaja dipengaruhi oleh banyak faktor,

termasuk pengaruh teman sepergaulan, parental modeling, ketersediaan


19

makanan, pilihan makanan yang disukai, harga makanan, kemudahan,

kepercayaan, media massa, dan body image (Brown, et al, 2011).

Pada masa ini juga terjadi peningkatan sikap otonomi dalam membuat

keputusan untuk memilih makanan. Remaja sering merasa telah terbebas dari

aturan ketat pada masa anak-anak sehingga sering mengambil keputusan

sendiri dalam hal konsumsi makanannya. Umumnya pola diet menggambarkan

tentang pengetahuan serta penerimaan remaja terhadap makanan. Selain itu,

Pendapatan keluarga atau ketersedian uang dalam keluarga menentukan berapa

banyak kebutuhan sandang, pangan, dan papan keluarga dapat dibeli atau

dimiliki. Secara umum, pola penggunaan sumber keuangan sangat dipengaruhi

oleh gaya hidup keluarga, keluarga dengan pendapatan yang baik lebih

memiliki kemungkinan untuk menyisihkan lebih banyak dana untuk membeli

makanan. Sehingga, keluarga dengan pendapatan yang baik diharapkan

memiliki anggota keluarga dengan status gizi yang baik pula (Fikawati, dkk.,

2017).

Pola diet remaja juga sangat dipengaruhi oleh teman sepergaulan.

Kehidupan remaja yang sibuk dengan kegiatan sekolah maupun ekstrakulikuler

membuat remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya.

Hal ini merupakan salah satu alasan remaja memiliki pola konsumsi makan

diluar rumah. Selain itu, ketersediaan makanan, sistem produksi dan distribusi,

media massa dan iklan merupakan faktor yang kuat mempengaruhi pemilihan

makanan pada remaja. Restoran fast food dan food courts merupakan tempat
20

makan favorite para remaja karena suasana informal dan pilihan makanan yang

tidak mahal (Brown, et al, 2011).

Selama beberapa dekade terakhir, baik jumlah maupun sifat bahan

makanan yang tersedia bagi penduduk diberbagai belahan dunia telah banyak

berubah. Perubahan ini meliputi lebih banyak pilihan, dengan banyaknya jenis

makanan sehingga menimbulkan keinginan untuk makan; makanan dijual

sepanjang hari dan dapat dibeli kapan saja; metode pengawetan semakin

canggih, sehingga makanan dapat selalu tersedia, banyak produk makanan

yang hanya memerlukan sedikit proses pemasakan, sehingga dapat segera

dimakan (Barasi, 2007).

C. Tinjauan Umum tentang Konsumsi Cairan pada Remaja

Perkembangan pada anak usia sekolah dan remaja sangat kompleks

sehingga kebutuhan gizi termasuk air akan sangat bervariasi tergantung usia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa makanan dan minuman pada masa ini memiliki

peran penting dalam menentukan pertumbuhan dan kesehatan pada saat

dewasa. Sebagai bagian dari gizi seimbang, hidrasi sehat sangat penting.

Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa asupan air pada usia ini seringkali

belum optimal dibandingkan dengan anjuran kebutuhannya. Dengan demikian

dapat dipahami bahwa anak usia sekolah dan remaja rentan terhadap masalah

gizi dan kurang air tubuh (Santoso, dkk., 2014).

Perubahan massa tubuh pada masa pubertas juga mempengaruhi

kandungan air tubuh remaja. Menurut Institute of Medicine (2004), volume air

tubuh sebagai persentase dari FFM menurun selama masa anak-anak, dengan
21

meningkatnya lemak tubuh akan menurunkan fraksi air pada jaringan adiposa.

Pada masa remaja, khususnya remaja perempuan terjadi peningkatan lemak

tubuh dari 16% menjadi 27%, sedangkan pada remaja laki-laki terjadi kenaikan

berat badan karena akumulasi dari puncak pertumbuhan linear dan kenaikan

massa otot (Brown, et al, 2011).

Menurut Santoso, dkk (2014) sebagian waktu anak sekolah (tergantung

kelas dan tipe) digunakan di sekolah, artinya pada seorang anak sekolah perlu

memenuhi 25-50% air minum dari kebutuhan hariannya selama berada di

sekolah. Berdasarkan Permenkes RI nomor 75 tahun 2013 tentang Angka

Kecukupan Gizi (AKG) bagi masyarakat Indonesia, pada usia remaja 16-18

tahun dianjurkan memenuhi 2100 mL air untuk perempuan dan 2200 mL untuk

laki-laki. .

Institute of Medicine (2004) mengungkapkan sama halnya dengan makanan,

asupan cairan juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, lingkungan, dan pola diet.

Remaja memiliki kehidupan yang sibuk, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler,

aktivitas akademik, hingga bekerja. Aktivitas yang banyak dikombinasikan

dengan kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial, bergaul, dan meningkatkan

akademik sebagai proses bersekolah, membuat remaja memiliki sedikit waktu

untuk makan. Snacking dan melewatkan waktu makan sangat sering dijumpai

pada remaja. Snack atau camilan terhitungan menyumbang hingga 39% dari

asupan makanan harian pada remaja, dengan kandungan 35% kalori bebas dan

43% gula tambahan (Brown, et al, 2011).


22

Menurut Özen dalam Guelinckx, et al (2015) asupan susu tinggi pada

anak-anak dan digantikan oleh soft drink pada remaja. Anak-anak dan remaja

yang mengonsumsi sugar-sweetened beverages (SSB) dalam sehari, dalam

meningkatkan risiko untuk menjadi overweight dan obesitas dibandingkan

yang tidak mengonsumsi. Selain itu, diungkapkan bahwa terdapat perbedaan

jenis minuman yang berkontribusi dalam total asupan cairan pada remaja di

berbagai negara. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan kultural dan letak

rgeografis. Data juga menunjukkan adanya peran prefensi makan orang tua

dalam jenis dan total asupan cairan pada anak dan remaja.

Menurut beberapa penelitian, mengganti SSB dengan air minum dapat

menurunkan asupan energi hingga 235 kkal/hari. Penelitian epidemiologi oleh

Stookey et al (2008) dalam Daniels dan Popkin (2010) menunjukkan

mengonsumsi air >1L/hari selama 12 bulan dapat menurunkan berat badan 2.3

kg dan lingkar pinggang 2.3 cm serta mengganti 1% asupan sweetened

beverage dengan air minum dapat menurunkan berat badan 0.03 kg, lingkar

pinggang 0.03 cm, dan persen body fat 0.02%.

Penelitian menunjukkan air minum atau plain water secara teratur

menghasilkan asupan energi total yang lebih rendah. Minuman diet non kalori

dapat membatasi asupan kalori sedangkan minuman dengan pemanis dapat

meningkatkan asupan makanan. Indeks glikemik yang rendah akan membuat

tingkat oksidasi lemak lebih besar. Indeks glikemik air adalah 0, sementara

minuman lain seperti susu dengan indeks glikemik 30-40, jus 40-60, dan

minuman soda mengandung gila 50-80 (Santoso, dkk., 2014).


23

Terdapat beberapa mekanisme yang berkaitan dengan efek air minum

terhadap regulasi berat badan. Penelitian eksperimen pada wanita

menunjukkan mengonsumsi 2 gelas air minum dapat meningkatkan rasa

kenyang pada ad libitum saat makan. Rolls et al mengungkapkan terdapat

penurunan rasa lapar terhadap pada wanita yang minum 360 mL air

dibandingkan dengan wanita yang makan tanpa minum air. Studi lainnya

melaporkan konsumsi 500 mL air sebelum makan secara signifikan dapat

menurunkan asupan energi pada dewasa obesitas. Mekanisme lainnya yang

berpotensi dalam efek konsumsi air terhadap berat badan adalah efek

termogenik, dimana pada studi eksperimental, konsumsi 500 mL air dapat

meningkatkan 30% laju metabolik yang menghasilkan peningkatan

pengeluaran energi sekitar 100 kJ (Muckelbauer, et al., 2011).

Status hidrasi yang buruk memiliki hubungan dengan perkembangan

kelebihan berat badan. Pengaruh status hidrasi terhadap berat badan lebih lanjut

berkaitan dengan metabolisme lemak. Sebuah studi eksperimen pada usia

dewasa mengungkapkan induksi hipoosmolaliti dapat meningkatkan lipolisis

yang mengarah kepada pengurangan lemak tubuh (Muckelbauer, et al., 2011).

Terjadinya hipohidrasi memiliki hubungan dengan meningkatnya berat

badan dan dapat mendatangkan disfungsi metabolik. Dalam tubuh, mekanisme

ini diatur oleh angiotensin II (AngII) yang merupakan hormon dalam regulasi

cairan tubuh. AngII bekerja dengan menstimulasi keinginan untuk

mendapatkan cairan (terutama air), keinginan untuk mendapatkan natrium,

melepaskan ADH, dan vasoconstriction (konservasi tekanan perfusi pada


24

semua organ dan sel. Secara fisiologi, AngII bekerja ketika dehidrasi pada

ekstraseluler (Hypovolemia). Ketika ekstarseluler terus menerus mengalami

dehidrasi, AngII akan terus diinduksi sehingga dapat menyebabkan disfungsi

kerja mitokondria dan akan berkontribusi tidak hanya pada terjadinya obesitas

dan diabetes, tetapi juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular, kanker,

dan Alzheimer (Thornton, 2016).

Gambar 2.1 Metabolisme jaringan adiposa pada kondisi hidrasi normal,


sedikit dehidrasi, dan dehidrasi kronis

Sumber: Thornton, 2016.

Secara definisi, dehidrasi adalah suatu keadaan penurunan total air di

dalam tubuh karena hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat,

atau kombinasi keduanya. Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air lebih

banyak daripada jumlah yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai

dengan hilangnya elektrolit. Dehidrasi ekstraseluler mengakibatkan penurunan

volume plasma yang berkaitan dengan bekerjanya AngII untuk

mengembalikan volume plasma menjadi normal, sedangkan dehidrasi

intraseluler mengakibatkan peningkatan osmolalitas plasma yang berkaitan


25

dengan kerja ADH untuk mengubah permeabilits sehingga terjadi reabsorpsi

air di duktus koligentes ginjal.

Menurut Mathai (2009) dalam Daniels dan Popkin (2011), penurunan

osmolalitas plasma melalui minum air dapat memperbaiki efisiensi sel dan

meningkatkan metabolisme lemak. Mekanisme yang mengatur osmolalitas

plasma dan volume plasma berbeda, dimana osmolalitas plasma ditentukan

oleh perbedaan zat terlarut terhadap air, sedangkan volume plasma (ECF)

ditentukan oleh jumlah absolut natrium dan air yang ada. Satu-satunya hal yang

tumpah tindih pada dua mekanisme ini adalah rangsangan hipovolemik

terhadap sekresi ADH (Price & Wilson, 2005).

Anak sekolah merupakan salah satu kelompok rentan mengalami kurang

air tubuh yang dapat mengganggu konsentrasi belajar. Hal ini diperparah di

negara sedang berkembang termasuk Indonesia, dimana akses terhadap air

minum di sekolah pada umumnya dilakuakn dengan cara membeli karena tidak

ada air siap minum disekolah. Minum yang cukup atau hidrasi yang baik tidak

hanya mengoptimalkan atensi atau konsentrasi belajar tetapi juga

mengoptimalkan memori dalam belajar. Penelitian menunjukkan kurang air

tubuh pada tingkat 2% dari berat badan mempengaruhi memori, baik memori

jangka pendek maupun jangka panjang. Kurang air tubuh pada anak usia

sekolah dan remaja dapat menyebabkan gangguang mood, penurunan atensi,

memoti, dan kemampuan kognisi lainnya (Santoso, dkk., 2014).

Pada masa remaja, fungsi pengaturan keseimbangan cairan berada pada

kondisi yang cukup baik. Artinya, semua sistem atau organ yang terlibat telah
26

mengalami pematangan yang sempurna dibanding pada masa kanak-kanak.

Adanya keadaan yang dapat mengancam keseimbangan cairan, normalnya

dapat diatasi dengan baik terutama melalui fungsi ginjal sehingga pada keadaan

sehat, seorang remaja seharusnya tidak mengalami dehidrasi. Namun

demikian, keadaan lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara serta

kebiasaan minum seorang remaja dapat mempengaruhi status hidrasinya yang

seringkali tidak disadari karena bersifat kronis (Hardiansyah, dkk., 2009).

Menurut Santoso, dkk. (2014) tidak dipungkiri masih banyak orangtua,

anak usia sekolah dan remaja serta guru yang belum tahu tentang pentingnya

hidrasi sehat, jumlah minum yang cukup, jenis minuman yang sesuai, dan tanda

kurang air. Hasil penelitian Hardiansyah, dkk (2009) menunjukkan bahwa

remaja yang berasal dari dataran tinggi mempunyai pengetahuan tentang air

minum yang lebih baik dibandingkan dengan remaja yang berasal dari dataran

rendah. Berdasarkan penelitian THIRST, hanya sekitar separuh dari subjek

orang dewasa dan remaja yang mengetahui kebutuhan air minum sekitar 2 Liter

sehari. Temasek Polytechnic (TP) menunjukkan alasan yang paling sering

ditemui pada subyek di Singapura yang tidak cukup minum adalah karena

merasa tidak haus, lupa minum, merepotkan, tidak mau sering ke kamar kecil

(Putri & Mulyani, 2012).


D. Kerangka Teori
Media massa

Makanan di sekolah Lingkungan Aktivitas fisik

Tren Water loss

Teman atau
kelompok bergaul
Asupan Cairan Keseimbangan
Remaja cairan tubuh
Pengetahuan

Pola makan keluarga Metabolic water


production status hidrasi
Geografi dan budaya

Pertumbuhan dan
perkembangan Berat Badan

Sumber: Modifikasi Institute of Medicinie (2004),


Brown, et al (2011), Thornton (2016), Daniels dan Barry (2010). Status Gizi
Remaja

27
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)

(2014) dalam Pedoman Gizi Seimbang, sebagian besar (dua-pertiga) air yang

dibutuhkan tubuh didapatkan melalui minuman yaitu sekitar dua liter atau

delapan gelas sehari bagi remaja dan dewasa. Hasil penelitian The Indonesian

Hydration Regional Study (THRIST) dalam Putri dan Erry (2012) mengungkap

dehidrasi atau kekurangan cairan tubuh lebih banyak terjadi pada kelompok usia

remaja (15-18 tahun), yaitu sekitar 49,5% dibandingkan dengan kelompok usia

dewasa (25-55 tahun) yang sekitar 42,5%.

Menurut Guelinckx, et al. (2015) kalangan remaja selalu mengonsumsi

regular soft beverages (RSB) yang merupakan minuman-minuman

mengandung gula atau pemanis, soft drink, energy drink, dan sport drink lebih

tinggi dibandingkan anak-anak. Anak-anak dan remaja yang sehari-hari

mengonsumsi RSB akan meningkatkan risiko overweight dan obesitas jika

dibandingkan dengan yang tidak mengonsumsi RSB.

Menurut Hardiansyah dalam Putri dan Mulyani (2012) kurangnya

pengetahuan penduduk tentang air merupakan salah satu hal yang mendasari

besarnya masalah dehidrasi di Indonesia. Penelitian di 32 sekolah di Jerman

menunjukkan intervensi meningkatkan minum air 220 ml/hari secara signifikan

menurukankan risiko overweight sebesar 31%. Penelitian Manusita (2013)

49
29

menunjukkan 28,3% subjek penelitian yang merupakan remaja usia 13-18 tahun

memiliki pengetahuan mengenai cairan yang kurang, dan sebagian besar subjek

(57,9%) tersebut memiliki asupan cairan yang tidak adekuat. Penelitian Sigit

dan Fillah (2012) menunjukkan subjek non obesitas memiliki pengetahuan baik

tentang cairan sebesar 77,4% sedangkan subjek obesitas 51,6%.

B. Kerangka Konsep

Pengetahuan
Asupan cairan

Lingkungan

Sumber cairan yang Tingkat kecukupan


dikonsumsi cairan
Status Hidrasi
Berat badan
Remaja
Keterangan:
Status Gizi
= Variabel dependent
Remaja
= Variabel independent

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Status Gizi Remaja

Definisi Operasional : Hasil pengukuran antropometri berat badan (BB)

dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam


30

bentuk indeks massa tubuh menurut umur

(IMT/U).

Kriteria Objektif : Berdasarkan standar antropometri penilaian status

gizi (2010):

Sangat kurus jika Zscore <-3.0

Kurus jika Zscore ≥ -3.0 - < -2.0

Normal jika Zscore ≥ -2.0 - ≤ 1.0

Gemuk jika Zscore > 1.0 - ≤ 2.0

Obesitas jika Zscore > 2.0

2. Tingkat Kecukupan Konsumsi Cairan

Definisi Operasional :Perbandingan antara asupan cairan dengan

rekomendasi asupan cairan harian 40 mL/kg BB

(Nelms, et al., 2016; Briawan, dkk., 2011). Sumber

asupan air harian, didapatkan dari makanan dan

minuman yang mempengaruhi kecukupan cairan

dalam tubuh (Institute of Medicine, 2004). Diukur

melalui recall 2 × 24 jam (hari libur dan hari

sekolah).

Kriteria Objektif : Kurang jika < 90% dari rekomendasi

Cukup jika ≥ 90%- 110% dari rekomendasi

Lebih jika > 110% dari rekomendasi (Briawan,

dkk., 2011).
31

3. Sumber Cairan yang Dikonsumsi

Definisi Operasional : Jenis air minum, minuman, dan makanan yang

dikonsumsi sehari-hari (Briawan, dkk., 2011).

Kriteria Objektif : Tabel 3.1 Skor Frekuensi Konsumsi Makanan


Skor Frekuensi
50 > 1 kali per hari
25 1 kali per hari
15 3 sampai 6 kali seminggu
10 1 sampai 2 kali seminggu
1 < 1 kali seminggu
0 Tidak pernah dalam satu bulan

Rata-rata konsumsi harian (ml) jenis minuman

dinilai menggunakan BEVQ15, dimana frekuensi

minum dikalikan dengan seberapa banyak jenis

minuman tersebut dikonsumsi.

Tabel 3.2 Skor frekuensi BEVQ15


Skor Frekuensi
0 tidak pernah atau < 1 kali perminggu
0.142 1 kali perminggu
0.357 2-3 kali perminggu
0.714 4-6 kali perminggu
1 1 kali perhari
2 2 kali perhari
3 ≥ 3 kali perhari

Adapun penilaian untuk seberapa banyak

minuman tersebut dikonsumsi terbagi atas <180 ml,

240 ml, 300 ml, 480 ml, >600 ml, dan berdasarkan

ukuran kemasan untuk jenis minuman berkemasan.


32

4. Pengetahuan mengenai Cairan

Definisi Operasional : Hal-hal yang diketahui remaja tentang kebutuhan

dan fungsi cairan dalam tubuh, serta sumber cairan

dan pengaruhnya terhadap berat badan yang

didapatkan melalui kuesioner dengan 17

pertanyaan dan dianalisis dengan menggunakan

skala Guttman (Benar = 1; Salah = 0).

Kriteria Objektif : Baik jika ≥ 80% jawaban benar

Kurang jika < 80% jawaban benar


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

desktiprif. Penelitian deskriptif merupakan studi yang menjelaskan atau

menggambarkan variabel yang sedang terjadi tanpa ada proses mengikuti ke

depan dan tanpa ada intervensi dari peneliti. Penelitian ini hanya

mendeskripsikan variabel-variabel penelitian (Hasmi, 2016).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Katolik Rajawali Jl.

Lamadukelleng no. 7 Makassar. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive,

dengan pertimbangan kemudahan akses untuk melaksanakan penelitian dan

kawasan sekolah yang strategis dipusat kuliner kota Makassar. Adapun

penelitian ini dimulai pada bulan Mei 2018.

C. Populasi dan Sampel

Adapun populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X dan XI

SMA Katolik Rajawali yang berjumlah 816 orang. Jika besarnya populasi

sasaran diketahui atau terbatas (finite), maka rumus ukuran sampel untuk

menaksir proporsi populasi sebagai berikut (Nasution, 2012):

N× Z2 ×p×q
n=
d2 (N-1)+Z2 ×p×q
dimana:

49
34

n = Besar sampel yang dibutuhkan


N = Jumlah populasi
Z = Statistik Z pada derajat kepercayaan 1- α/2
p = Proposi target populasi
q = p (1-p)
d = kesalahan yang dapat ditolerir
Berdasarkan rumus tersebut, ditentukan nilai Z yaitu 1,96 untuk nilai α = 0,05

dan nilai p yaitu 0,37 sehingga nilai q = 0,23 serta nilai d sebesar 0,05 atau 5%,

maka besarnya minimal sampel dalam penelitian ini adalah:

N× Z2 ×p×q
n=
d2 (N-1)+Z2 ×p×q

266.016
n=
2.03+0.326

=112.9 ≈ 113

Adapun metode pengambilan sampel yaitu Probability Sampling

merupakan metode pengambilan sampel yang hanya boleh digunakan apabila

setiap unit atau anggota populasi bersifat homogen atau diasumsikan homogen

yang berarti setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk

diambil sebagai sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah

teknik proportionate strartified sampling yang merupakan teknik pengambilan

sampel untuk populasi yang memiliki karakteristik yang berbeda, kemudian

dibentuk dalam strata lalu diambil masing-masing sampel yang mewakili starta

tersebut secara acak sistematis (Notoatmodjo, 2010).

jumlah sampel
Jumlah sampel tiap kelas = jumlah populasi × jumlah tiap kelas
113
Sampel kelas X = × 413 = 57.1 ≈ 57 orang
816
35

113
Sampel kelas XI= × 403 = 55.8 ≈ 59 orang
816

Pemilihan sampel dilakukan dengan memperhatikan kriteria inklusi dan

eksklusi sampel sebagai berikut :

1. Kriteria Inklusi

Adapun kriteria inklusi sampel adalah sebagai berikut :

a) Siswa X dan XI yang kelasnya ditunjuk sebagai responden.

b) Usia 14-18 tahun.

2. Kriteria Eksklusi

Adapun yang menjadi kriteria eksklusi sampel adalah sedang menjalani

puasa, dalam keadaan sakit, dan sedang menjalani diet serta terapi obat

tertentu selama waktu penelitian.

D. Instrumen Penelitian

Adapun instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah formulir food

recall dan food frequency questionnaire (FFQ), kuisioner pengetahuan dan

BEVQ-15, serta pengukur tinggi badan dan berat badan. Sebelum pengumpulan

data dilakukan, siswa SMA Katolik Rajawali yang menjadi subjek penelitian

diberikan penjelasan secara umum terkait maksud dan tujuan dilakukannya

penelitian dan data yang akan dikumpulkan.

Sebelum melakukan penelitian di SMA Katolik Rajawali, terlebih dahulu

dilakukan uji validitas dan reabilitas kuesioner pengetahuan di SMA Katolik

Cendrawasih. Adapun SMA Katolik Cendrawasih dipilih sebagai lokasi untuk

melakukan uji validitas karena berada di lokasi yang berdekatan dengan SMA
36

Katolik Rajawali. Menurut Ahmad (2012) uji validitas adalah suatu ukuran yang

menunjukkan tingkat kesahihan suatu instrumen, dimana data diolah

menggunakan rumus korelasi Pearson. Hasil uji validitas yang dilakukan, ada

beberapa pernyataan tidak valid sehingga harus gugur. Pernyataan dikatakan

valid apabila rhitung ≥ rtabel dengan signifikansi 5%, dan tidak valid apabila rhitung

< rtabel. Beberapa pernyataan yang tidak valid merupakan pernyataan yang

diperlukan dalam penelitian, sehingga pernyataan digantikan dengan pertanyaan

baru yang bersifat optional dan terbuka.

Setelah dilakukan pengurangan dan pergantian pertanyaan, dilakukan uji

realibilitas untuk mengetahui taraf keajegan atau keteraturan yang sifatnya tetap

dan tidak berubah. Adapun hasil uji realibilitas kuesioner pengetahuan yaitu

0.688. Menurut Arikunto (2006) hasil uji reabilitas dikatakan cukup jika nilai R

berada antara 0.600 sampai dengan 0.800. Setelah dilakukan uji validitas dan

reliabilitas, maka dapat dikatakan instrumen pengetahuan dalam penelitian ini

layak untuk digunakan.

Selain itu, dilakukan perubahan pada daftar jenis minuman dalam kuesioner

BEVQ15. Daftar jenis minuman yang baru didapatkan dari data minuman

kesukaan siswa yang diisi pada pengambilan data awal responden. Daftar

minuman tersebut kembali disesuaikan dengan daftar minuman dalam BEVQ15

yang asli sebelum digunakan untuk meneliti. Perubahan juga dilakukan agar

siswa lebih mudah mengisi kuesioner dan untuk meminimalisir adanya

kesalahan interpretasi dari jenis minuman yang dimaksud.


37

E. Pengumpulan Data

Berdasarkan cara memperolehnya, data dibagi menjadi data primer dan data

sekunder:

1. Data Primer
Data primer adalah data yang secara langsung diambil dari subjek

penelitian oleh peneliti. Pada penelitian ini data primer adalah data

pengukuran tinggi badan dan berat badan, data dari kuisioner serta food

recall. Pengambilan data dilakukan secara bertahap, pertama-tama dilakukan

pengambilan data diri siswa serta kuisioner kebiasaan minum dan

pengetahuan, kemudian pengukuran berat badan dan tinggi badan serta

pengambilan data food recall, BEVQ-15, dan FFQ. Selain wawancara secara

langsung, pengambilan data juga dilakukan melalui chat LINE khususnya

untuk recall hari libur.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapatkan secara tidak langsung dari

subjek penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini adalah jumlah dan nama

siswa yang didapatkan dari daftar nama siswa SMA Katolik Rajawali.

F. Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data yang telah diambil dari hasil penelitian kemudian diolah dengan

cara:

a. Koding, yaitu kegiatan memeriksa kembali setiap data yang ada kemudian

memberikan kode pada jawaban yang telah tersedia di lembar pertanyaan

sesuai dengan jawaban responden.


38

b. Editing, yaitu kegiatan meneliti kembali setiap daftar pertanyaan yang

telah diisi pada kuesioner. Dalam hal ini editing meliputi kelengkapan dan

kesalahan dalam pengisian pertanyaan yang telah dilakukan.

c. Grouping, yaitu pengelompokan data berdasarkan jawaban yang

dilakukan. Untuk data dengan pertanyaan terbuka akan dilakukan editing

dengan mengelompokkan jawaban yang peneliti rasa memiliki maksud

yang sama. Untuk data pertanyaan tertutup akan dikelompokkan dengan

mengumpulkan jawaban dengan pilihan yang sama.

d. Tabulasi, yaitu kegiatan yang dilakukan setelah proses grouping telah

dilakukan dengan cara menyajikan hasil grouping dalam bentuk tabel.

e. Processing, yaitu memproses data dengan memasukkan data dari

kuesioner ke paket program komputer. Pengolahan data menggunakan

program komputer SPSS 25 dan Microsoft Excel.

f. Cleaning, merupakan kegiatan untuk mengecek kembali data guna melihat

apakah ada kesalahan yang dilakukan.

2. Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif dengan bantuan aplikasi SPSS dan


Microsoft excel.

G. Penyajian Data

Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi untuk

menggambarkan asupan cairan remaja di SMA Katolik Rajawali Makassar.


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

SMA Katolik Rajawali merupakan sebuah institusi pendidikan di bawah

naungan Yayasan Joseph YEEMYE Makassar yang berdiri sejak tahun

1954 dengan status sebagai kelas filial (kelas jauh) dari SMA Katolik

Cenderawasih. SMA Katolik Rajawali memperoleh predikat Terakreditasi

A sejak Januari 2008 sampai sekarang. Terletak di Jalan Lamadukelleng no.

7 Kecamatan Ujung Pandang, sekolah ini berada di kawasan kuliner Kota

Makassar. Berdasarkan data sanitasi yang diperoleh, sekolah tidak

menyediakan air minum untuk siswa dan mayoritas siswa membawa air

minum.

Sejak tahun 2006 hingga saat ini SMA Katolik Rajawali dipimpin oleh

Sr. Leonie Taroreh, JMJ, M.Pd. Berdasarkan data tahun ajaran 2017/2018

semester genap, SMA Katolik Rajawali memiliki 1200 orang siswa yang

terdiri atas kelas X, kelas XI, dan kelas XII serta terbagi dalam 3 program

yaitu Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Kelas

Cambridge. Saat ini SMA Katolik Rajawali juga memiliki 53 orang guru

dan 8 orang tendik.

49
40

2. Karakteristik Sampel

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sampel yang awalnya 113 orang

menjadi 98 orang, karena beberapa siswa tidak hadir saat penelitian

dilakukan.

Tabel 5.1
Distrubusi Jumlah Sampel berdasarkan Kelas di SMA Katolik Rajawali
Tahun 2018
Jumlah Sampel
Kelas
n %
X 50 51
XI 48 49
Total 98 100
Sumber: Data primer, 2018.
Pada tabel 5.1 menunjukkan 51% sampel merupakan siswa kelas X dan

49% merupakan siswa kelas XI. Adapun distribusi umur sampel, disajikan

pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.2
Distribusi Umur Sampel di SMA Katolik Rajawali Tahun 2018

Umur Jumlah Sampel


(Tahun) n %
14 1 1
15 28 29
16 46 47
17 23 23
Total 98 100
Sumber: Data primer, 2018.

Tabel 5.2 menunjukkan rentang umur sampel adalah 14 sampai 17

tahun, dimana sebagian besar sampel berumur 16 tahun yaitu 46 orang

(47%).
41

3. Gambaran Status Gizi Siswa SMA Katolik Rajawali Makassar

Tabel 5.3
Gambaran Status Gizi Siswa SMA Katolik Rajawali berdasarkan
IMT/U Tahun 2018
Jumlah Sampel
Status Gizi
n %
Kurus 4 4.01
Normal 68 69.40
Gemuk 17 17.34
Obesitas 9 9.25
Total 98 100
Sumber : Data Primer, 2018.

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa SMA Katolik

Rajawali berstatus gizi normal yaitu 69.40% (68 orang). Adapun siswa

dengan status gizi kurus sebanyak 4.01% (4 orang) dan siswa dengan

kategori gizi lebih sebanyak 26.59% (17.34% berstatus gizi gemuk dan

9.25% dengan status gizi obesitas).

4. Gambaran Tingkat Kecukupan Konsumsi Cairan berdasarkan

Status Gizi pada Siswa SMA Katolik Rajawali Makassar

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh gambaran tingkat

kecukupan konsumsi cairan total pada siswa SMA Katolik Rajawali

Makassar. Adapun tingkat kecukupan konsumsi cairan ini didapatkan

dengan menghitung rekomendasi konsumsi harian berdasarkan berat

badan yang dibandingkan dengan hasil recall 2 × 24 jam pada setiap

responden.
42

Tabel 5.4
Gambaran Tingkat Kecukupan Konsumsi Cairan Berdasarkan Status
Gizi pada Siswa SMA Katolik Rajawali Tahun 2018

Tingkat Status Gizi


Total
konsumsi Kurus Normal Gemuk Obesitas
cairan n % n % n % n % n %
Kurang 1 25 28 41 14 82 8 89 51 52
Cukup 0 0 22 32 3 18 1 11 26 26.5
Lebih 3 75 18 26 0 0 0 0 21 21.5
Total 4 100 68 100 17 100 9 100 98 100

Sumber: Data Primer, 2018.

Tabel 5.4 menunjukkan sebagian besar siswa yaitu 52%, dimana

siswa dengan status gizi kurus sebanyak 25%, siswa dengan status gizi

normal 41%, siswa dengan status gizi gemuk 82% dan 89% siswa

dengan status gizi obesitas, memiliki tingkat konsumsi cairan yang

kurang.

5. Gambaran Jenis Makanan dan Minuman dalam Konsumsi

Cairan berdasarkan Status Gizi pada Siswa SMA Katolik

Rajawali Makassar

a. Jenis Makanan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tabel dibawah ini

menunjukkan gambaran frekuensi berbagai jenis makanan yang

berkontribusi dalam konsumsi cairan pada siswa SMA Katolik

Rajawali berdasarkan status gizi, yang dinilai menggunakan

skoring FFQ.
43

Tabel 5.5
Frekuensi Makanan yang Berkontribusi dalam Konsumsi Cairan
berdasarkan Status Gizi Siswa SMA Katolik Rajawali Tahun 2018

Jenis Status Gizi


Makanan Kurus Normal Gemuk Obesitas
Makanan n 4 68 17 9
Pokok Skor rata-rata 18.75 15.60 13.51 21.39
Lauk n 4 68 17 9
Hewani Skor rata-rata 1.31 2.05 1.81 1.75
Lauk n 4 68 17 9
Nabati Skor rata-rata 6.25 1.46 1.97 3.50
Sayur- n 4 68 17 9
sayuran Skor rata-rata 3.83 2.77 2.31 2.11
Buah- n 4 68 17 9
buahan Skor rata-rata 2.67 3.49 1.02 1.19
Makanan n 4 68 17 9
sepinggan Skor rata-rata 3.75 3.28 2.65 3.06
n 4 68 17 9
Jajanan
Skor rata-rata 4.18 3.52 3.31 3.89
Sumber : Data Primer, 2018.

Tabel 5.5 menunjukkan makanan pokok merupakan jenis

makanan yang memperoleh skor rata-rata tertinggi pada setiap

kategori status gizi, dimana pada kategori status gizi kurus adalah

18.75, pada status gizi normal 15.60, pada status gizi gemuk 13.51,

dan pada status gizi obesitas 21.39. Hal ini berarti makanan pokok

dikonsumsi 3 sampai 6 kali seminggu.


44

b. Jenis Minuman
Adapun jenis minuman yang berkontribusi dalam konsumsi

cairan disajikan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 5.6
Jenis Minuman yang Berkontribusi dalam Konsumsi Cairan
berdasarkan Status Gizi Siswa SMA Katolik Rajawali Tahun 2018
Status Gizi
Jenis Minuman
Kurus Normal Gemuk Obesitas
n 4 68 17 9
Air putih
konsumsi(ml)* 1084.2 1200 1305 1432.8
n 4 68 17 9
Jus buah
konsumsi(ml)* 0 15.6 58.37 9.47
Jus/Minuman buah n 4 68 17 9
(dalam kemasan) konsumsi(ml)* 8.87 21.74 70.66 63.19
n 4 68 17 9
Susu
konsumsi(ml)* 235.59 110 74.72 46.81
Susu Kemasan n 4 68 17 9
(langsung minum) konsumsi(ml)* 69 82.73 78.93 87.58
Susu rendah n 4 68 17 9
lemak/bebas lemak konsumsi(ml)* 0 10 0 19.94
n 4 68 17 9
Regular soft drink
konsumsi(ml)* 26.62 28.1 29.20 49.52
Teh/kopi tanpa n 4 68 17 9
bahan tambahan konsumsi(ml)* 56.13 60 73.85 63
Teh/kopi dengan n 4 68 17 9
bahan tambahan konsumsi(ml)* 80.32 101.63 98.65 208.77
The/kopi dalam n 4 68 17 9
kemasan konsumsi(ml)* 66.43 49.1 59.58 164.94
Minuman dari n 4 68 17 9
café/kedai konsumsi(ml)* 14.2 19 26.11 7.89
Minuman n 4 68 17 9
energi/sport/isotonik konsumsi(ml)* 22.31 30.36 56.47 84
*= rata-rata per hari
Sumber: Data Primer, 2018
45

Tabel 5.6 menunjukkan air putih merupakan jenis minuman

yang paling banyak dikonsumsi oleh siswa diseluruh kategori

status gizi, dimana oleh siswa berstatus gizi kurus sebanyak 1084.2

ml/hari, siswa dengan status gizi normal mengonsumsi sebanyak

1200 ml/hari, sementara siswa dengan status gizi gemuk dan

obesitas masing-masing mengonsumsi air putih sebanyak 1305

ml/hari dan 1432.8 ml/hari.

c. Sumber Air Minum

Adapun sumber air minum yang biasa dikonsumsi oleh siswa,

disajikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 5.7
Sumber Air Minum berdasarkan Status Gizi Siswa SMA Katolik
Rajawali Tahun 2018
Status Gizi
Kebiasaan Minum Kurus Normal Gemuk Obesitas
n % n % n % n %
Sumber Air Minum
Galon Bermerk 4 100 40 59 13 76 5 56
Galon Isi Ulang 0 0 5 7 1 6 0 0
Pdam (Disaring/Pure It) 0 0 6 9 2 12 1 11
Di Rumah
Pdam (Dimasak) 0 0 11 16 1 6 2 22
Air Sumur (Disaring/Pure It) 0 0 2 3 0 0 0 0
Air Sumur (Dimasak) 0 0 4 6 0 0 1 11
Bawa Dari Rumah 1 25 27 40 7 41 3 33
Di Sekolah Beli Di Sekolah 3 75 38 56 10 59 6 67
Bawa Dan Beli 0 0 3 4 0 0 0 0
Lebih menyukai air putih 1 25 33 49 8 47 3 33
Menyukai minuman lain 3 75 35 51 9 53 6 67
Alasan a.rasa 2 50 32 47 9 53 6 67
menyukai b.keamanan/kesehatan 1 25 3 4 0 0 0 0
minuman
c.harga 0 0 0 0 0 0 0 0
lain
d.kemudahan 0 0 0 0 0 0 0 0
46

Lanjutan Tabel 5.7


Status Gizi
Kebiasaan Minum Kurus Normal Gemuk Obesitas
n % n % n % n %
Alasan a.rasa 0 0 5 7 1 6 0 0
menyukai b.keamanan/kesehatan 2 50 23 34 3 18 2 22
tanpa c.harga 0 0 1 1 0 0 0 0%
kemasan d.kemudahan 0 0 6 9 1 6 1 11%
a.rasa 0 0 6 9 2 12 1 11%
Alasan
b.keamanan/kesehatan 0 0 8 12 6 35 1 11%
menyukai
c.harga 0 0 0 0 0 0 0 0%
dalam
d.kemudahan 2 50 19 28 3 18 5 56%
kemasan
e.lainnya 0 0 0 0 1 6 0 0%
Sumber: Data Primer, 2018.

Tabel 5.7 menunjukkan sumber air sebagian besar siswa saat

di sekolah merupakan air minum kemasan yang dibeli, dengan

persentase berdasarkan status gizi yaitu 75% siswa kurus, 56%

siswa normal, 59% siswa gemuk dan 67% siswa obesitas.

6. Gambaran Tingkat Pengetahuan mengenai Cairan berdasarkan

Status Gizi pada Siswa SMA Katolik Rajawali Makassar

Tabel 5.8
Gambaran Tingkat Pengetahuan mengenai Cairan berdasarkan Status
Gizi Siswa SMA Katolik Rajawali Tahun 2018
Status Gizi
Tingkat Total
Kurus Normal Gemuk Obesitas
Pengetahuan
n % n % n % n % n %
Kurang 4 100 59 87 14 82 9 100 86 88
Baik 0 0 9 13 3 18 0 0 12 12
Total 4 100 68 100 17 100 9 100 98 100
Sumber: Data Primer, 2018.

Tabel 5.8 menunjukkan 88% siswa memiliki tingkat pengetahuan

yang kurang mengenai cairan, yang terdiri dari seluruh siswa yang
47

berstatus gizi kurus dan obesitas, 87% siswa dengan status gizi normal

dan 82% siswa yang berstatus gizi gemuk.

Tabel 5.9
Distribusi Jawaban Pengetahuan Mengenai Cairan Pada Siswa SMA
Katolik Rajawali
Jawaban
Total
No. Pertanyaan Salah Benar
n % n % n %
P1. Asupan cairan dapat berasal dari makanan 7 7.1 91 92.9 98 100
Remaja laki-laki membutuhkan lebih banyak asupan air
P2. 46 46.9 52 53.1 98 100
dibanding perempuan
P3. Kebutuhan cairan dapat ditentukan berdasarkan berat badan 28 28.6 70 71.4 98 100
P4. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi cairan tubuh 9 9.2 89 90.8 98 100
Penduduk di perkotaan lebih rentan mengalami dehidrasi
P5. 20 20.4 78 79.6 98 100
dibandingkan penduduk di pedesaan
P6. Air tubuh dapat hilang melalui penguapan saat pernapasan 45 45.9 53 54.1 98 100
Kecukupan cairan mempengaruhi mood dan konsentrasi
P7. 12 12.2 86 87.8 98 100
belajar
P8. Air minum (plain water ) mengandung kalori 22 22.4 76 77.6 98 100
P9. Minum air sebelum makan dapat meningkatkan nafsu makan 34 34.7 64 65.3 98 100
P10. Kekurangan cairan dapat mempengaruhi berat badan 38 38.8 60 61.2 98 100
Kebutuhan cairan pada usia remaja lebih rendah dibanding
P11. 57 58.2 41 41.8 98 100
dewasa
Minuman ringan seperti soft drink dapat mempengaruhi
P12. 8 8.2 90 91.8 98 100
berat badan
P13. Minuman jus dan susu dapat mempengaruhi berat badan 8 8.2 90 91.8 98 100
P14 Fungsi air bagi tubuh manusia
(2) Mengatur suhu tubuh 50 51 48 49 98 100
(4) Sebagai pelarut/transport 52 53.1 46 46.9 98 100
(5) Sebagai pelumas 90 91.8 8 8.2 98 100
(6) Membantu metabolisme 29 29.6 69 70.4 98 100
(7) Menyediakan elektrolit/mineral 36 36.7 62 63.3 98 100
P15 Tanda tubuh kekurangan air
(1) haus/dahaga 5 5.1 93 94.9 98 100
(2) tenggorokan kering 9 9.2 89 90.8 98 100
(3) bibir kering 25 25.5 73 74.5 98 100
(4) volume urine sedikit 50 51 48 49 98 100
(7) lemas dan pusing 50 51 48 49 98 100
P16 Saat tubuh membutuhkan air lebih banyak dibanding biasanya
(1) Saat olahraga dan berkeringat 6 6.1 92 93.9 98 100
(3) Saat berada dilingkungan panas 9 9.2 89 90.8 98 100
(4) Saat demam 39 39.8 59 60.2 98 100
(5) Saat tubuh dengan berat badan lebih 91 92.9 7 7.1 98 100
(6) Saat belajar 60 61.2 38 38.8 98 100
P17 Berapa banyak air yang harus diminum setiap hari
a. berapa gelas 31 31.6 67 68.4 98 100
b. berapa liter 48 49 50 51 98 100
Tabel 5.9 menunjukkan 68,4% siswa mengetahui berapa gelas dan

51% siswa yang mengetahui berapa liter air yang harus diminum agar
48

tubuh tetap segar dan sehat. Sebanyak 52% dan 90% siswa tidak

mengetahui fungsi cairan sebagai pelarut dan pelumas didalam tubuh.

Selain itu, sumber cairan yang dapat mempengaruhi berat badan

dijawab benar oleh 90% siswa.

B. Pembahasan

1. Gambaran Status Gizi pada Siswa SMA Katolik Rajawali Makassar

Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 5.3 diketahui

distribusi status gizi siswa yaitu normal sebanyak 68 orang (69.4%), kurus

sebanyak 4 orang (4,01%), gemuk 17 orang (17.34%) dan obesitas sebanyak

9 orang (9.25%). Kategori status gizi didapatkan dari hasil pengukuran berat

badan dan tinggi badan yang kemudian dinilai dengan indeks massa tubuh

menurut umur (IMT/U) berdasarkan standar antropometri penilaian status

gizi anak tahun 2010.

Beberapa penelitian tentang status gizi pada siswa SMA di Kota

Makassar menunjukkan hasil yang relatif sama, seperti penelitian Alhadar,

dkk (2014) pada siswa SMA Katolik Cendrawasih menunjukkan 50.9% siswa

termasuk dalam kategori gizi lebih. Penelitian Hasbullah, dkk (2016)

menunjukkan distribusi status gizi IMT/U pada siswa SMA Negeri 5 yaitu

17.4% kurus, 53.5% normal, 19.2% overweight, dan 9.9% obesitas dan pada

siswa SMA Negeri 12 34% kurus, 43.1% normal, 17.4% overweight, dan

obesitas 5.6%.

Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan

prevalensi remaja yang mengalami gizi lebih jika dibandingkan dengan hasil
49

RISKESDAS 2013, dimana secara nasional remaja gemuk usia 13 – 15 tahun

sebanyak 8.3% dan obesitas sebanyak 2.5% sementara pada remaja gemuk

usia 16 – 18 tahun sebanyak 5.7% dan obesitas sebanyak 1.6%.

NCD Risk Factor Collaboration (2017) mengungkapkan adanya

peningkatan IMT pada anak dan remaja dari tahun 1975 hingga 2016, dimana

secara global terjadi peningkatan 0,32 kg/m2 per dekade. Selama analisis

lebih dari 42 tahun, prevalensi obesitas anak dan remaja perempuan di dunia

meningkat dari 0,7% di tahun 1975 menjadi 5,6% di tahun sementara pada

laki-laki dari 0,9% di tahun 1975 menjadi 7,8% ditahun 2016. Prevalensi

underweight mengalami perubahan yang lebih sedikit dibandingkan obesitas,

dari 9,2% di tahun 1975 menjadi 8,4% di tahun 2016 pada anak dan remaja

perempuan, sementara pada anak dan remaja laki-laki dari 14,8% di tahun

1975 menjadi 12,4% di tahun 2016.

Menurut Barasi (2007) prevalensi berat badan berlebih dan obesitas telah

meningkat pesat dikalangan anak – anak di seluruh dunia, seiring dengan

kecenderungan peningkatan obesitas pada semua kelompok usia. Penyebab

peningkatan ini bersifat multifaktoral, dan kemungkinan besar terjadi karena

adanya pernurunan tingkat aktifitas fisik, overkonsumsi pasif sebagai akibat

dari bertambahnya konsumsi kudapan dan minuman berenergi tinggi, serta

berkurangnya konsumsi makanan yang dimasak langsung dari bahan

mentahnya, mengikuti tren konsumsi makanan pabrikan dan olahan yang

mengandung lebih banyak energi. Kochkorova, et al. (2017) mengungkapkan

bahwa gizi pada remaja tidak seimbang dan tidak sehat karena kebanyakan
50

komposisi makanan terdiri dari karbohidrat dan lemak, dengan konsumsi

rendah protein, sayur, dan buah. Hal tersebut menyebabkan tingginya

frekuensi penyakit pada kardiovaskular, pernapasan, dan sistem endokrin.

Menurut Lanham-New, dkk (2015) selama masa remaja tubuh mengalami

sejumlah perubahan besar akibat pubertas, dimana pertumbuhan dan

perkembangan pada masa ini berkaitan dengan perubahan komposisi tubuh

yang mempengaruhi gemuk dan kurusnya badan. Mann dan Truswell (2014)

mengungkapkan dalam sejumlah masyarakat terdapat kekurangan gizi serta

obesitas yang ditemukan berdampingan. Mengagumi tubuh yang ramping dan

media massa, memengaruhi cara remaja memandang bentuk tubuh yang

kemudian terlibat dalam perilaku makan yang tidak sehat dan dapat

menimbulkan risiko gizi pada diri mereka.

Adanya kebebasan sebagai salah satu karakteristik dari perkembangan

psikologi remaja seringkali mengarahkan kepada perilaku makan yang

mengesampingkan kesehatan seperti melakukan diet berlebihan dan

melewatkan waktu makan, selain itu pola makan remaja juga dipengaruh oleh

teman sepergaulan, parental modeling, ketersediaan makanan, pilihan

makanan yang disukai, harga makanan, kemudahan, media massa, dan body

image. Kehidupan remaja yang sibuk dengan kegiatan sekolah maupun

ekstrakulikuler membuat remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan

teman-temannya. Restoran fast food merupakan tempat makanan yang

disukai para remaja karena suasana informal dan pilihan makanan yang tidak

mahal (Brown, et al., 2011).


51

Hasil penelitian Santaliestra-Pası´as, et al. (2012) menunjukkan

peningkatan konsumsi sugar-sweetened beverages (SSB) memiliki hubungan

dengan screen time (menonton TV, penggunaan komputer dan internet) pada

remaja, dimana hal ini memiliki pengaruh yang konsisten terhadap

peningkatan berat badan dan terkait dengan kejadian obesitas. Penelitian

Moreno, et al. (2014) mengungkapkan sedentary activity pada remaja di

Eropa memiliki hubungan dengan pola diet untuk mengonsumsi minuman

manis dan snacking. Penelitian del Mar Bibiloni, et al. (2016)

mengungkapkan adanya hasil yang signifikan dan hubungan positif antara

tingkat aktivitas fisik dan konsumsi minuman pada remaja. Pada penelitian

tersebut menunjukkan SSB merupakan minuman yang sering mendampingi

remaja saat menonton TV dan minuman energi atau sport drink merupakan

minuman yang dikonsumsi untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit

setelah melakukan aktivitas fisik.

2. Gambaran Tingkat Kecukupan Cairan berdasarkan Status Gizi pada

Siswa SMA Katolik Rajawali Makassar

Pada tabel 5.4 hasil penelitian menunjukkan sebagian besar siswa dengan

status gizi gemuk dan obesitas memiliki konsumsi cairan yang kurang, yaitu

82% dan 89%. Konsumsi cairan yang kurang juga terjadi pada siswa kategori

status gizi normal sebanyak 41% dan 25% pada siswa status gizi kurang.

Tingkat kecukupan cairan dihitung berdasarkan rekomendasi 40

ml/kgBB/hari yang kemudian dibandingkan dengan konsumsi cairan dari

hasil recall 2 × 24 jam pada setiap siswa.


52

Penelitian Arni (2015) pada remaja yang menunjukkan 76% responden

yang overweight mempunyai frekuensi kebiasaan minum sehari yang kurang

(<8 gelas perhari). Penelitian Briawan (2011) menunjukkan 24,1% remaja

memiliki asupan cairannya kurang dari 90% kebutuhan. Penelitian Penelitian

Zhang, et al. (2018) menunjukkan rata-rata total intake cairan pada remaja di

daerah perkotaan China adalah 1177 ml/hari dan hanya 36% yang memenuhi

rekomendasi harian. Penelitian Laksmi, et al. (2018) di Indonesia

menunjukkan total intake cairan yang adekuat pada kelompok usia 10-17

tahun sebanyak 79%, perbedaan hasil pada penelitian ini kemungkinan karena

adanya perbedaan standar rekomendasi harian yang digunakan, selain itu

pada penelitian tersebut air dari makanan tidak dihitung.

Pada penelitian ini, tingkat kecukupan cairan tidak dinilai dari air minum

saja. Santoso, dkk (2012) mengungkapkan asupan air wajib berasal dari air

minum volume minimal, air dari makanan, dan air hasil oksidasi zat

makanan. Adapun asupan air elektif tergantung dari besarnya kebutuhan

akibat kemungkinan suhu lingkungan yang tinggi, suhu badan, adanya latihan

fisik, yang merangsang pusat rasa haus sehingga individu tersebut ingin

minum.

Penelitian Guelinckx, et al. (2016) menunjukkan 91% kelompok usia 11

– 18 tahun di Prancis dan 88 % di United Kingdom (UK) memiliki intake

cairan berada dibawah rekomendasi European Food Safety Authority

(EFSA). Selain itu, terdapat perbedaan kontribusi air dari makanan pada

kedua negara tersebut (Prancis 36% dan UK 27%). Beberapa negara di Eropa
53

juga menunjukkan adanya kontribusi yang besar dari makanan terhadap total

intake air diantaranya, di Jerman 33% - 38% dan di Irlandia juga 33%.

Adapun EFSA mengansumsikan makanan berkontribusi dalam 20% - 30%

dari total intake air. Kontribusi minuman dan makanan pada penelitian ini

akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.

Kandungan air tubuh dapat dipengaruhi oleh kandungan lemak tubuh.

Brown, et al. (2011) mengungkapkan meningkatnya lemak tubuh akan

menurunkan fraksi air pada jaringan adiposa. Menurut Lanham-New, dkk

(2015), kandungan air tubuh menurun dari 81% saat lahir menjadi 72% saat

dewasa. Penurunan kandungan air ini bersamaan dengan mulai meningkatnya

densitas fat free mass rata-rata pada rentang usia tersebut. Oleh karena itu,

individu dengan kategori gizi lebih membutuhkan asupan cairan yang lebih

banyak dibandingkan dengan yang berstatus gizi normal. Berdasarkan rata-

rata berat badan responden pada setiap kategori status gizi, didapatkan

rekomendasi cairan untuk status gizi kurus yaitu 1700 ml/hari, status gizi

normal yaitu 2000 ml/hari, status gizi gemuk 2600 ml/hari, dan status gizi

obesitas 3100 ml/hari.

Menurut Sui, et al. (2016), konsumsi total air yang tinggi memiliki

hubungan dengan kualitas diet yang lebih baik, dimana terindikasi oleh intake

serat yang lebih tinggi dari konsumsi buah dan sayur, serta intake yang kurang

dari lemak, gula, garam, dan makanan tidak mengandung nutrisi. Je´quier dan

Constant (2010) mengungkapkan, air sebagai nutrisi vital memiliki peran

penting bagi tubuh manusia. Fungsi optimal tubuh membutuhkan tingkat


54

hidrasi yang baik. Air merupakan satu-satunya nutrisi cair yang esensial bagi

hidrasi tubuh dan sangat penting agar tubuh dapat berfungsi dengan baik.

Santoso, dkk (2014) mengungkapkan kurang air tubuh pada anak sekolah

menimbulkan rasa lelah (fatigue), menurunkan atensi atau konsentrasi

belajar. Minum yang cukup tidak hanya mengoptimalkan atensi atau

konsentrasi belajar, tetapi juga mengoptimalkan memori anak dalam belajar.

Penelitian Institute of Medicine dan European Food Safety Agency

mengungkapkan kurang air tubuh pada tingkat 2% dari berat badan

mengakibatkan penurunan fungsi otak dan kemampuan belajar. Penelitian

Ekpenyong dan Akpan (2017) menunjukkan prestasi akademik yang buruk

lebih banyak terjadi pada responden yang mengalami dehidrasi (68 orang)

dibandingkan dengan yang memiliki hidrasi baik (35 orang).

3. Gambaran Jenis Makanan dan Minuman dalam Konsumsi Cairan

berdasarkan Status Gizi pada Siswa SMA Katolik Rajawali Makassar

Berdasarkann hasil penelitian yang ditunjukkan dalam pada 5.5, jenis

makanan pokok merupakan yang paling banyak berkontribusi dalam

konsumsi cairan pada seluruh kategori status gizi. Hal ini ditunjukkan skor

rata-rata pada kategori status gizi kurus yaitu 18.75, pada status gizi normal

15.60, pada status gizi gemuk 13.51, dan pada status gizi obesitas 21.39. Skor

ini menunjukkan kelompok makanan pokok dikonsumsi 3 sampai 6 kali

seminggu.

Nasi merupakan jenis yang makanan pokok yang paling banyak

dikonsumsi, dimana pada kategori status gizi kurus dan obesitas memiliki
55

skor konsumsi nasi yaitu 50 (konsumsi lebih dari 2 kali sehari), sedangkan

siswa dengan status gizi normal dan gemuk memiliki skor 44.49 dan 39.70,

hal ini karena ada beberapa siswa yang mengonsumsi nasi hanya sekali sehari.

Adapun jenis makanan lainnya dalam kelompok makanan pokok yaitu roti

dan mie instan. Berdasarkan data komposisi pangan Indonesia, 100 gram nasi

mengandung 56,7 ml air. Penelitian Briawan, dkk (2011) yang menunjukkan

kelompok pangan pokok menyumbang cairan terbesar dari makanan. Seluruh

subjek mengonsumsi makanan pokok minimum dua kali dalam sehari.

Lauk hewani dan lauk nabati kurang berkontribusi pada konsumsi cairan

dalam penelitian ini, karena sebagian besar responden mengonsumsi dengan

cara pengolahan digoreng. Sundari, dkk (2015) mengungkapkan pada proses

penggorengan pada makanan sumber protein yang diteliti, terjadi penurunan

kadar air yang lebih signifikan dibandingkan proses perebusan, semakin

tinggi suhu yang digunakan maka semakin tinggi penurunan kadar air.

Penggorengan dapat juga menurunkan kadar protein karena pada proses

penggorengan sebagian minyak goreng akan menempati rongga-rongga

bahan pangan menggantikan posisi air yang menguap sehingga konsentrasi

protein persatuan berat bahan menjadi lebih kecil.

Adapun makanan sepinggan antara lain bakso, coto, kapurung, sop

sodara, mie pangsit, dan soto ayam yang diantaranya merupakan makanan

khas di Kota Makassar. Adapun jajanan yang dimaksudkan adalah pisang ijo,

es buah atau sop buah, es krim, dan puding atau jelly. Pada hasil penelitian

ini, sebagian besar siswa dengan status gizi gemuk (82%) dan obesitas (89%)
56

berada pada kategori konsumsi cairan yang kurang. Berdasarkan hasil skor

FFQ, makanan yang paling banyak di konsumsi pada kategori status gizi ini

yaitu makanan pokok, sementara skor konsumsi sayur dan buah hampir sama

dengan konsumsi makanan sepinggan dan jajanan.

Barasi (2007) mengungkapkan makanan dari luar rumah (makanan siap

saji) memiliki dampak lebih berpengaruh terhadap kecendenrungan obesitas.

Makanan tersebut cenderung kaya lemak dan karbohidrat dengan indeks

glikemik tinggi serta kurang serat dan kurang mikronutrien. Sayur dan buah,

selain mengandung banyak air juga memiliki dampak terhadap berat badan.

Mann dan Truswell (2014) mengungkapkan semua sayur tidak mengandung

lemak dalm jumlah yang berarti dan merupakan sumber serat makanan yang

baik. Sayuran hijau mempunyai kandungan air yang sangat tinggi dan

kandungan energi yang readah sementara kandungan mikronutriennya relatif

tinggi, dengan demikian dalam masyarakat yang sadar berat badan, sayuran

adalah pilihan makanan yang baik.

Penelitian Montenegro-Bethancourt, et al. (2013) mengungkapkan anak

sekolah baik laki-laki dan perempuan yang mengonsumsi buah dan sayur

dalam bentuk solid maupun dibuat dalam bentuk jus, secara signifikan

memiliki free water reserve (FWR) atau cadangan air tubuh yang lebih tinggi.

Dalam penelitian tersebut FWR disebutkan sebagai konsep fisiologi yang

dapat menggambarkan status hidrasi seseorang dan menggambarkan

keseimbangan antara ketersediaan air dalam tubuh dengan kebutuhan air

tubuh.
57

Selain mengandung air, hal yang perlu diperhatikan dalam konsumsi

buah-buahan adalah kandungan gulanya. Popkin et al (2011) mengungkapkan

ketika air digantikan oleh SSB, jus, dan susu terjadi peningkatan intake energi

sekitar 10 – 13% . Menurut Mann dan Truswell (2014) adanya potensi asupan

minuman dan jus buah yang kaya akan gula bebas dalam memberikan

kontribusi pada peningkatan risiko obesitas pada anak-anak. Santoso, dkk

(2014) mengungkapkan indeks glikemik yang rendah akan membuat oksidasi

lemak (pembakaran lemak) lebih besar, dimana indeks glikemik air adalah 0

sementara minuman seperti susu memiliki indeks glikemik 30 – 40%, jus 40

– 60, dan minuman soda 50 – 80.

Pada tabel 5.6 menunjukkan kontribusi berbagai jenis minuman terhadaip

konsumsi cairan berdasarkan status gizi pada siswa SMA Katolik Rajawali.

Sebagian besar asupan minuman pada seluruh kategori status gizi berasal dari

air putih. Penelitian Guelinckx et al. (2015) di 13 negara mengungkapkan

secara umum air merupakan yang paling banyak berkontribusi dalam intake

cairan harian. Kontribusi jenis minuman dalam konsumsi cairan dapat

dipengaruhi oleh iklim dan pola diet suatu negara. Dalam penelitian tersebut,

negara-negara Asia seperti Indonesia dan China memiliki pola konsumsi

dimana air berkontribusi paling tidak pada setengah dari intake cairan total

harian.

Setelah air, jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi oleh siswa

dengan status gizi kurus dan normal adalah susu (235.59 ml dan 110 ml per

hari), sementara pada siswa dengan status gizi gemuk dan obesitas adalah
58

teh/kopi dengan bahan tambahan (98.65 ml dan 208.77 ml per hari). Adapun

bahan tambahan yang dimaksudkan adalah gula, pemanis buatan, susu, dan

berbagai perisa makanan. Dalam peneitian ini, beberapa jenis minuman yang

dikategorikan sebagai SSB adalah jus kemasaan, susu, susu kemasan, soft

drink, teh/kopi dengan bahan tambahan, teh/kopi dalam kemasan, minuman

dari cafe atau kedai, serta minuman energi. Berdasarkan komposisinya, setiap

minuman tersebut mengandung gula maupun pemanis tambahan.

Penelitian Laksmi, et al. (2018) menunjukkan SSB setidaknya seminggu

sekali dikonsumsi oleh 62% pada anak-anak, 72% pada remaja, dan 61%

dewasa di Indonesia, dengan minuman teh dalam kemasan merupakan jenis

SSB yang paling sering dikonsumsi. Konsumsi SSB memiliki hubungan

dengan peningkatan 25% terjadinya risiko Diabetes tipe 2 dimasa depan,

selain itu konsumsi SSB memiliki hubungan independen dan positif terhadap

peningkatan risiko terjadinya obesitas dan penyakit kardiovaskular.

Penelitian Zhang, et al. (2018) menunjukkan 54% intake cairan total pada

usia 10-17 tahun adalah air minum (plain water), kemudian secara berurutan

terdapat susu (16%), SSB (21%), Jus buah 100% (4%), minuman hangat

(3%), dan minuman lainnya (2%). Penelitian Gandy, et al. (2018) di 4 negara

Amerika Latin (Mexico, Brazil, Argentina, dan Uruguay) menunjukkan

konsumsi SSB remaja disetiap negara tersebut >30% dari intake cairan total.

Bahkan remaja di Argentina dan Mexico lebih banyak mengonsumsi SSB

(40% dan 43%) dibanding air putih (38% dan 24%).


59

Menurut Özen dalam Guelinckx, et al. (2015) anak-anak dan remaja yang

mengonsumsi SSB dalam sehari dapat meningkatkan risiko untuk menjadi

overweight dan obesitas dibandingkan yang tidak mengonsumsi. Seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya, kandungan gula dalam minuman berkaitan

dengan risiko tersebut. Beberapa studi epidemiologi dalam Daniels dan

Popkin (2011) menunjukkan mengganti 1% dari intake minuman manis

dengan air secara signifikan dapat menurunkan berat badan 0.03 kg, lingkar

pinggang 0.03 cm, dan lemak tubuh 0.02%.

Penelitian Muckelbauer pada anak sekolah menunjukkan terjadi

penurunan risiko berat badan lebih sebanyak 31% pada kelompok yang

diintervensi untuk meningkaptkan asupan air minum. Intervensi yang

dilakukan antara lain mendistribusikan botol air, penyampaian informasi

kebutuhan air yang dibutuhkan tubuh, serta adanya waktu pengisian botol air

selama waktu belajar. Sebagian waktu anak usia sekolah (sekitar 4 – 8 jam)

digunakan di sekolah, artinya pada saat di sekolah anak perlu 25 – 50%

kebutuhan hariannya di sekolah. Bila persentase tersebut harus dipenuhi anak

di sekolah, maka setiap anak perlu minum sekitar 2 – 4 gelas atau 400 – 800

ml air sehari selama berada di lingkungan sekolah.

Tabel 5.7 menunjukkan sumber air minum sebagian besar siswa saat di

sekolah berasal dari air minum kemasan yang dibeli. Penelitian Laksmi et al.

(2018) menunjukkan persentase yang lebih tinggi pada remaja yang

mengonsumsi air minum kemasan (660 ml/hari) dibanding air yang dimasak

(boiled tap water) (478 ml/hari). Berbeda dengan negara lainnya seperti di
60

Austalia, diungkapkan oleh Sui, et al. 2016 kontribusi air putih dalam total

intake cairan yaitu 44.4%, terbagi atas 42.3% berasal dari tap water atau air

kran dan 2.1% air kemasan.

Siswa yang membeli air sebagai sumber air minum selama di sekolah,

dapat menimbulkan asumsi bahwa siswa tersebut baru mendapatkan asupan

air minum saat jam istirahat, dimana biasanya hanya jam istirahat siswa

memiliki akses untuk membeli di kantin sekolah. Selain dapat

memungkinkan ketidakcukupan cairan saat di sekolah, seperti yang kita

ketahui, pada umumnya air kemasan botol dipasaran hanya berukuran 550 ml

hingga 600 ml. Membeli air minum kemasan juga memiliki dampak yang

buruk terhadap lingkungan, dimana air minum kemasan biasanya dikemas

dalam bentuk botol plastik. Adapun alasan sebagian besar siswa lebih

menyukai air minum kemasan (tabel 5.7) adalah karena kemudahannya. Hal

ini dapat menjadi pertimbangan untuk membuat strategi agar siswa

mendapatkan kecukupan dan kemudahan dalam konsumsi air minum

khususnya saat di sekolah.

Diungkapkan Santoso, dkk (2014), meskipun sebagian besar keluarga

Indonesia tergolong mampu, masyarakat masih sulit memperoleh sumber air

minum yang bersih dan siap minum, karena risiko tercemar dan ketersedian

yang tergantung pada musim. Penelitian Hardiansyah, dkk mengungkapkan

sebagian besar remaja (52.3%) di dataran rendah (perkotaan) lebih menyukai

mengonsumsi air minum dalam kemasan, dengan 65.4% karena keamanan

dan 23.1% karena kemudahannya.


61

Patel, et al. (2013) menemukan hasil pada anak dan remaja yang

mengonsumsi tap water minum setengah gelas air lebih banyak dan

mengonsumsi lebih sedikit jus dibandingan dengan yang tidak mengonsumsi

air dari tap water. Penelitian tersebut mengungkapkan air minum yang

mengandung fluorin dapat berperan dalam penurunan karies gigi yang

memiliki kaitan dengan konsumsi SSB pada anak dan remaja. Namun, tidak

seperti tap water, kebanyakan air kemasan tidak mengandung fluorin yang

mencegah karies gigi.

4. Gambaran Pengetahuan mengenai Cairan berdasarkan Status Gizi pada

Siswa SMA Katolik Rajawali Makassar

Tabel 5.8 menunjukkan 88% siswa memiliki pengetahuan yang kurang

mengenai cairan. Seluruh siswa dengan status gizi kurus dan gemuk memiliki

pengetahuan yang kurang mengenai cairan. Sementara siswa dengan status

gizi normal dan gemuk masing-masing 87% dan 83% memiliki pengetahuan

mengenai cairan yang kurang. Prayitno dan Dieny (2012) mengungkapkan

pengetahuan yang baik dapat mempengaruhi konsumsi cairan baik dalam hal

kualitas maupun kuantitas, serta dalam kebiasaan minum sehari-harinya.

Pengetahuan yang semakin baik akan mendorong seseorang untuk

mengkonsumsi cairan sesuai kebutuhan dan memiliki kebiasaan minum yang

lebih baik pula sehingga risiko mengalami dehidrasi lebih kecil, begitupun

sebaliknya.

Tabel 5.9 menunjukkan distribusi jawaban siswa pada pertanyaan

mengenai cairan mengenai kebutuhan dan fungsi cairan dalam tubuh, sumber
62

cairan dan pengaruhnya terhadap berat badan. Sebagian besar siswa

mengetahui berapa gelas yang harus diminum setiap hari (68.4%), meski

demikian siswa yang tidak mengetahui tubuh membutuhkan lebih banyak air

saat belajar (60%) dan pada tubuh dengan berat badan lebih (91%). Beberapa

fungsi air tidak diketahui tepat oleh siswa, seperti fungsi air sebagai pelumas

(90%), mengatur suhu tubuh (50%), dan fungsi air sebagai pelarut/transport

(52%).

Penelitian Isoldi dan Dolar (2015) menunjukkan hasil intervensi

mengenai SSB yang dilakukan pada remaja memberikan hasil peningkatan

yang signifikan terhadap pengetahuan mengenai kandungan dalam SSB

namun tidak ada perubahan yang signifikan pada sikap. Dalam penelitian

tersebut, adanya perubahan sikap yang tidak signifikan diperkirakan karena

responden telah memilih jawaban yang baik sebelum intervensi. Oleh karena

itu disarankan untuk melakukan intervensi jangka panjang agar mendapatkan

pengaruh yang lebih baik.

Menurut Santoso, dkk. (2014) tidak dipungkiri masih banyak orangtua,

anak usia sekolah dan remaja serta guru yang belum tahu tentang pentingnya

hidrasi sehat, jumlah minum yang cukup, jenis minuman yang sesuai, dan

tanda kurang air. Hasil penelitian Penelitian Prayitno dan Dieny (2012)

menunjukkan sebanyak 83,9% remaja obesitas mengalami dehidrasi,

sedangkan remaja non obesitas sebesar 51,6%. Subjek non obesitas memiliki

pengetahuan baik sebesar 77,4%, sedangkan subjek obesitas 51,6%.

Kurangnya pengetahuan penduduk tentang air dan minuman merupakan salah


63

satu hal yang mendasari besarnya masalah dehidrasi di Indonesia. Penelitian

Manusita (2013) menunjukkan 28,3% subjek penelitian yang merupakan

remaja usia 13-18 tahun memiliki pengetahuan mengenai cairan yang kurang,

dan sebagian besar subjek (57,9%) tersebut memiliki asupan cairan yang

tidak adekuat.

Intervensi gizi merupakan salah satu cara untuk melakukan promosi

kebiasaan sehat dan dapat menurunkan obesitas serta penyakit kronis pada

usia remaja. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan asupan

sayur-sayuran dan penurunan konsumsi kudapan dan minuman manis pada

remaja yang mengikuti intervensi. Program edukasi berbasis sekolah untuk

remaja dalam mempromosikan aktivitas fisik dan pola makan yang sehat

dapat meningkatkan motivasi untuk memperoleh kebiasaan makan yang sehat

(Melo, et al., 2017).

Kegiatan membangun kesadaran pentingnya hidrasi sehat bagi anak sekolah

dan keluarga dapat dilakukan melalui berbagai pilihan, seperti kegiatan

kurikuler dengan pengayaan materi hidrasi sehat pada mata pelajaran

kesehatan dan olahraga, ilmu pengetahuan alam atau biologi, melalui

kegiatan pramuka, palang merah remaja dan usaha kesehatan sekolah,

maupun pada kegiatan non-kurikuler seperti pertemuan orang tua di sekolah

(Santoso, dkk., 2014).

Centers for Disease Control and Prevention atau CDC (2014)

menngungkapkan penting untuk mempromosikan air sebagai bagian dari

kesehatan dan sebagai pilihan minuman sehat. Upaya promosi di sekolah


64

dapat mencakup hal-hal seperti memasukkan pesan tentang manfaat air di

buletin sekolah yang dikirim ke orang tua dan keluarga, mencantumkan air

sebagai minuman yang tersedia dalam menu makanan sekolah, memasukkan

konten tentang air ke dalam rencana pelajaran, dan melibatkan siswa dalam

kegiatan promosi air seperti membuat kompetisi poster dan video yang

menjelaskan mengapa mereka suka minum air.

C. Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini yaitu waktu penelitian yang

berdekatan dengan libur sekolah, sehingga data penelitian pada beberapa siswa

tidak sempat untuk dilengkapi. Hal ini membuat penelitian tidak mencukupi

minimal sampel. Adapun jumlah sampel yang kurang yaitu 15 orang. Penelitian

dilakukan di taman luar sekolah dan ruang BK, cukup membatasi peneliti untuk

bertemu dengan responden, karena peneliti hanya bisa menunggu siswa yang

memiliki waktu luang atau bersedia datang ke tempat yang telah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai