Anda di halaman 1dari 138

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

PENINGKATAN KEJADIAN TB ANAK


(Studi di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kebong
Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang)

SKRIPSI

Oleh:
ANANIAS AGUS DWI LEKSONO
NPM: 141510750

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT K. SINTANG


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2018
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PENINGKATAN KEJADIAN TB ANAK
(Studi di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kebong
Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi sarjana


kesehatan masyarakat (SKM)

Oleh:

ANANIAS AGUS DWI LEKSONO


NPM: 141510750

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT K. SINTANG


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2018

i
MOTTO

“TERIMA, MENGALIR, TERSENYUM”


“Kita diberkati Talenta dan Kemampuan oleh TUHAN Yang Maha Esa
untuk, “berkarya kebaikan bagi sesama bukan untuk Mengkaryakan
kebaikan sesama”. Karena Benar bagi Kita belum tentu benar bagi orang
lain, tapi jika kita sesuai bagi orang lain semoga akan benar pula bagi orang
lain”
(Penulis)

PERSEMBAHAN:

Dengan bernampankan kerendahan hati diatas kebodohan diri


penulis dalam naungan berkat Tuhan Yang Maha Esa. Karya ini penulis
persembahkan untuk :
1. Dinas Kesehatan Sintang beserta jajarannya, semoga karya ini bisa
membawa manfaat untuk pengembangan program dan
pembangunan kualitas kesehatan manusia di Kabupaten Sintang
semakin meningkat.
2. Kampus Muhammdiyah Pontianak K. Sintang, semoga karya ini
bisa menjadi inspirasi bagi mahasiswa angkatan selanjutnya untuk
bisa lebih berkarya buat sesama melalui penelitian tugas akhir.
3. Dua putraku terkasih yang menjadi motivator penulis sehingga
mampu menjalani semua proses perkuliahan hingga tugas akhir
ini.
4. Keluarga, rekan dan teman yang selalu memberikan semangat
kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Karya yang indah akan senantiasa berkembang dan menghiasi di
kehidupan nyata bukan menghiasi untaian kalimat dan deretan katalog
buku semata. Salam damai dalam Kasih Tuhan Yang Maha Esa....

v
BIODATA PENULIS

Nama : Ananias Agus Dwi Leksono


Tempat, tanggal Lahir : Temanggung, 18 Agustus 1975
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Khatolik
Nama Orang Tua
a. Bapak : Gideon Rusmin
b. Ibu : Rebeka Sunarti
Alamat : Jalan Kelam Permai – Dedai No. 20 Rt.01
Rw. 01 Desa kebong Kecamatan Kelam
Permai Kabupaten Sintang

JENJANG PENDIDIKAN

SD : SDN Lundang Baru (Lulus Tahun 1987) .

SMP : SMPN Pandan Jaya (Lulus Tahun1991).

SMA : SPK Kelas Jauh Singkawang di Sintang


(Lulus Tahun 1996)

Perguruan Tinggi : S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu


Kesehatan, Universitas Muhammadiyah
Pontianak(Lulus Tahun 2018)

vi
PENGALAMAN KERJA

1. Oktober 1996- Juni 1998 : Sebagai Paramedis di Pustu Sepan Mengaret desa Kerta
Sari kecamatan Ketungau Tengah.
2. Juni 1998-Desember 1998 : Sebagai Para medis di pustu Batang Antu desa
Panding Jaya kecamatan Ketungau Tengah
3. Tahun 1999-2003 : Sebagai Paramedis di Pustu Nanga Beloh desa Sumber Sari
kecamatan Ketungau Tengah.
4. Tahun 2004-2009 : Sebagai Paramedis di Pustu Nanga Enteloi desa Gut Jaya Bakti
kecamatan Ketungau Tengah
5. Tahun 2010-2012 : Sebagai Paramedis di Pustu Sekapat desa Tirta Karya
kecamatan Ketungau Tengah.
6. Tahun 2013-Mei 2014 : Sebagai Para Medis di Pustu Batang Antu desa Panding
Jaya kecamatan Ketungau Tengah.
7. Juni 2014 sampai saat ini sebagai staff UPTD Puskesmas Kebong kecamatan
Kelam Permai.

vii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan berkat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PENINGKATAN KEJADIAN TB ANAK (Studi di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Kebong Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang)” tepat
pada waktunya.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak
memperoleh bimbingan, koreksi, dorongan motivasi dan arahan serta dukungan
dari beberapa pihak. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada bapak Gandha
Sunaryo Putra, SKM, M.Kes selaku pembimbing pertama dan ibu Ria Risti
Komala Dewi, SKM, M.Kes selaku pembimbing kedua yang telah bersedia
membimbing dengan ketulusan hati dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
serta dengan penuh ketelitian dan kesabaran memberikan arahan dan bimbingan
yang sangat bermanfaat kepada peneliti selama penyusunan skripsi ini. Pada
kesempatan ini peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Helman Fachri, SE, MM selaku Rektor Universitas


Muhammadiyah Pontianak
2. Ibu Dr. Linda Suwarni, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Pontianak.
3. Bapak Gandha Sunaryo Putra, SKM, M.kes selaku Ketua Prodi Kesehatan
Masyarakat K. Sintang
4. Bapak dr Harysinto Linoh, MM selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Sintang yang telah memberikan dukungan, motivasi, saran dan ijin
pengambilan data kesehatan serta ijin penelitian.
5. Ibu Makarina Inachulata, S.ST selaku Kepala Puskesmas Kebong yang telah
membantu dan mendukung penulis dalam proses perijinan dan memberikan
kemudahan dalam proses penelitian.
6. Petugas Kesehatan yang bertugas di Poskesdes wilayah kerja Puskesmas
Kebong yang membantu dan memberikan dukungan selama penelitian.

viii
7. Ibu-ibu kader Posyandu yang telah membantu dan memudahkan dalam
menemui responden.
8. Florensius Agri Dwi Sasmito putera bungsu terkasih dan Ibu Nurul Hikmah
Alhidayati selaku rekan penelitian yang selalu memberikan, motivasi,
semangat, saran dan tempat bertukar pikiran, selama proses penelitian.
9. Bunda Supriyati terkasih, yang senantiasa mendoakan dan mendampingi
dengan tulus selama menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah
Kampus Sintang serta keluarga yang selalu memberikan semangat dan
dukungannya.
10. Rekan satu angkatan prodi kesmas, yang telah banyak mengisi waktu
bersama dengan penuh keakraban serta kekeluargaan selama menjalani
proses belajar di program studi ini, serta telah banyak membantu penulis
memberikan motivasi serta inspirasi selama masa pendidikan.

Juga kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
semoga amal kebaikannya diberikan imbalan yang berlimpah penuh kasih dari
Tuhan Yang Maha Esa. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik, masukan dan saran yang membangun, penulis harapkan
guna menyempurnakan penyusunan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat
bagi semua pihak demi pengembangan ilmu pengetahuan dan promosi kesehatan
ke depannya untuk membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.

Sintang, Agustus 2018

Peneliti

ix
ABSTRAK

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


SKRIPSI, OKTOBER 2018

ANANIAS AGUS DWI LEKSONO


FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN
KEJADIAN TB ANAK (STUDI DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS
KEBONG KECAMATAN KELAM PERMAI)

Xvii + 105 halaman + 22 tabel + 6 gambar + 11 lampiran

Kenaikan angka kejadian TB anak di dunia diperkirakan mengalami peningkatan


pertahunnya sebesar 5-6% dari total kasus TB paru. Kasus TB anak di UPTD
puskesmas Kebong 3 tahun terakhir mengalami peningkatan, tahun 2015 tidak ada
kasus, tahun 2016 sebesar 10 kasus TB anak dan tahun 2017 sebesar 40 kasus TB
anak. Dampak yang dapat ditimbulkan jika balita terinfeksi TB yaitu penurunan
daya tahan tubuh, menurunkan status gizi, terhambat tumbuh kembang dan
terganggunya konsentrasi belajar. Anak yang terinfeksi akan berkembang menjadi
kasus infeksi laten TB paru di masa depan dan dapat terjadi infeksi kembali
(reinfeksi) jika tidak diobati sampai tuntas.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan peningkatan kejadian TB anak.
Jenis penelitian ini observasional analitik dengan rancangan case control dengan
perbandingan 1:1. Sampel dalam penelitian ini adalah 28 kasus dan 28 kontrol
yang diambil melalui teknik total sampling. Uji yang digunakan adalah uji chi-
square.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan (p value= 0,000; OR= 36,000) dan tidak ada hubungan antara ASI
eksklusif (p value= 0,666;OR=2,167), Status ekonomi (p value= 0,329; OR=
2,400), kepadatan hunian (p value= 0,421; OR= 1,783), kelembaban udara(p
value= 0,561;OR= 1,667) dan suhu ruangan (p value= 1,000; OR= 1,184)
terhadap kejadian TB anak di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kebong
Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang Tahun 2018.
Disarankan kepada petugas kesehatan untuk melakukan skrining kasus baru dan
penyuluhan mengenai penularan, pencegahan, dan perawatan TB anak.

Kata Kunci : TB anak, TB paru.


Daftar Pustaka : 63 (2008-2018)

x
ABSTRACT

FACULTY OF HEALTH SCIENCE


SKRIPSI, OKTOBER 2018

ANANIAS AGUS DWI LEKSONO


FACTORS RELATING TO INCREASING CHILDREN'S TB EVENTS
(STUDY IN THE WORKING AREA OF PUSKESMAS KEBONG
KECAMATAN KELAM PERMAI)

Xvii + 105 pages + 22 tables + 6 images + 11 attachments

The increase in the incidence of child TB in the world is estimated to have


increased annually by 5-6% of the total cases of pulmonary TB. Cases of child TB
in the UPTD Kebong health center in the last 3 years have increased, in 2015
there were no cases, in 2016 amounted to 10 cases of child TB and 2017 was 40
cases of child TB. The impact that can be caused if toddlers are infected with TB
is a decrease in body resistance, reducing nutritional status, obstructed growth and
development of learning concentration. Infected children will develop into cases
of latent pulmonary TB infection in the future and reinfection can occur if it is not
treated completely.
The purpose of this study is to determine the factors associated with an increase in
the incidence of child TB.
This type of research is analytic observational with a case control design with a
ratio of 1: 1. The samples in this study were 28 cases and 28 controls were taken
through total sampling technique. The test used is the chi-square test.
Statistical test results show that there is a significant relationship between
knowledge (p value = 0,000; OR = 36,000) and there is no relationship between
exclusive breastfeeding (p value = 0,666; OR = 2,167), economic status (p value =
0,329; OR = 2,400 ), occupancy density (p value = 0.421; OR = 1.783), air
humidity (p value = 0.561; OR = 1.667) and room temperature (p value = 1,000;
OR = 1.184) on the incidence of TB in the UPTD Puskesmas Kebong working
area Kelam Permai District, Sintang Regency, 2018.
It is recommended for health workers to screen new cases and counsel about
transmission, prevention and treatment of child TB.

Keywords: child TB, pulmonary TB.


Bibliography: 63 (2008-2018)

xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN .................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
BIODATA ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
ABSTRAK ..................................................................................................... x
ABSTRACT ..................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................xvii

BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang Masalah ............................................................. 1
I.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 7
I.3 Tujuan penelitian ....................................................................... 7
I.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 9
I.5 Keaslian penelitian ..................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Penyakit Tuberkulosis .............................................................. 13
II.2 Riwayat terjadinya Tuberkulosis ............................................... 15
II.3 Tuberkulosis pada anak ............................................................ 18
II.4 Faktor yang mempengaruhi terjadinya TB anak ........................ 38
II.5 Kerangka Teori......................................................................... 51

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN


III.1 Kerangka Konsep .................................................................... 52
III.2 Variabel Penelitian .................................................................. 53
III.3 Definisi Operasional ................................................................ 54
III.4 Hipotesis ................................................................................. 56

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN


IV.1 Desain Penelitian .................................................................... 57
IV.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 58
IV.3 Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling ................................... 59
IV.4 Instrumen penelitian ................................................................ 61
IV.5 Tekhik Pengumpulan, Pengolahan dan Penyajian Data ............ 62

xii
IV.6 Teknik Analisis Data ............................................................... 64

BAB V PEMBAHASAN
V.1 Hasil Penelitian ........................................................................ 70
V.2 Gambaran Proses Penelitian ..................................................... 72
V.3 Karakteristik Responden........................................................... 75
V.4 Analisis Univariat ..................................................................... 79
V.5 Analisis Bivariat ....................................................................... 83
V.5 Pembahasan ............................................................................. 87
V.6 Keterbatasan Penelitian ............................................................ 96

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


VI.1 Kesimpulan ............................................................................. 97
VI.2 Saran....................................................................................... 98

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................101


LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel I.1 Keaslian Penelitian .............................................................. 11

Tabel II.1 Sistem Skoring pada TB Anak ............................................. 26


Tabel III.1 Definisi Operasional ............................................................ 54
Tabel IV.1 Rumusan Odds Ratio (OR) .................................................. 68
Tabel V.1 Distribusi penduduk menurut jenis kelamin diwilayah kerja
UPTD Puskesmas Kebong Tahun 2016................................ 71
Tabel V.2 Jenis ketenagaan di Puskesmas Kebong Tahun 2016 ............ 72
Tabel V.3 Kegiatan pelaksanaan penelitian diwilayah kerja UPTD
Puskesmas Kebong Tahun 2016........................................... 73
Tabel V.4 Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan
pendidikan ........................................................................... 75
Tabel V.5 Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan
pekerjaan ............................................................................ 76
Tabel V.6 Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan Jenis
kelamin kelompok kasus dan kontrol ................................... 76
Tabel V.7 Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur
balita kelompok kasus dan kontrol ....................................... 77
Tabel V.8 Distribusi frekuensi berat badan lahir kelompok kasus dan
kontrol ................................................................................. 78
Tabel V.9 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat ASI eksklusif
kelompok kasus dan kontrol............................................... 78
Tabel V.10 Distribusi frekuensi riwayat kontak balita kelompok kasus dan
kontrol ................................................................................. 79
Tabel V.11 Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan status
ekonomi............................................................................... 80
Tabel V.12 Distribusi frekuensi berdasarkan pengetahuan ..................... 80
Tabel V.13 Distribusi frekuensi berdasarkan item pertanyaan kuesioner
pengetahuan......................................................................... 81

xiv
Tabel V.14 Distribusi frekuensi berdasarkan kelembaban udara pada
kelompok kasus dan kontrol................................................. 82
Tabel V.15 Distribusi frekuensi berdasarkan suhu ruangan pada kelompok
kasus dan kontrol ................................................................. 82
Tabel V.16 Distribusi frekuensi berdasarkan kepadatan hunian pada
kelompok kasus dan kontrol................................................. 83
Tabel V.17 Hasil analisis hubungan antara riwayat Asi eksklusif terhadap
kejadian TB anak ................................................................. 84
Tabel V.18 Hasil analisis hubungan antara pengetahuan terhadap kejadian
TB anak ............................................................................... 84
Tabel V.19 Hasil analisis hubungan antara status ekonomi terhadap kejadian
TB anak ............................................................................... 85
Tabel V.20 Hasil analisis hubungan antara kelembaban ruangan terhadap
kejadian TB anak ................................................................. 86
Tabel V.21 Hasil analisis hubungan antara suhu ruangan terhadap kejadian
TB anak ............................................................................... 87
Tabel V.22 Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian terhadap
kejadian TB anak ................................................................. 88

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Patogenesis Terjadinya TB Paru .......................................... 18

Gambar II.2 Alur Diagnosis TB anak....................................................... 27

Gambar II.3 Kerangka Teori Penelitian (Modifikasi kerangka teori Achmadi


(2009), Darmanto, (2007), Notoatmojo (2003) dan Corwin,
(2009)) ................................................................................ 51

Gambar III.1 Kerangka Konsep Penelitian ................................................ 52

Gambar IV.1 Rancangan Penelitian Kasus Kontrol ................................... 58

Gambar V.1 Bagan alur penelitian ........................................................... 74

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Pengantar Dinas kesehatan untuk Pengambilan Data


ke Puskesmas Kebong, Puskesmas Emparu, Puskesmas
Dedai dan Puskesmas Lebang
Lampiran 2 : Surat Ijin Penelitian di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Kebong
Lampiran 3 : Surat Balasan Ijin Penelitian di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Kebong
Lampiran 4 : Surat Pernyataan Telah Selesai Kegiatan Penelitian dari
UPTD Puskesmas Kebong
Lampiran 5 : Lembar Persetujuan Menjadi responden (Informed
Consent)
Lampiran 6 : Kuesioner Penelitian
Lampiran 7 : Rekapitulasi Data Responden
Lampiran 8 : Uji Normalitas Variabel Penelitian
Lampiran 9 : Hasil uji Univariat
Lampiran 10 : Hasil uji Bivariat
Lampiran 11 : Dokumentasi Penelitian

xvii
1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

TB Paru (TB Paru) merupakan penyakit menular terutama menyerang pada

paru-paru sebagai tempat infeksi primer. TB Paru bisa juga menyerang kulit,

kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TB paru merupakan penyakit dengan

tingkat morbiditas yang tinggi dan sangat mudah menyebar di udara melalui

sputum (air ludah) yang dibuang sembarang oleh penderita TB paru. TB paru

sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia

walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS (Direct Observed Treatment,

Shorcourse Chemothetapi) telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995

(Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan data WHO (2015), menyatakan Indonesia sebagai negara

dengan penderita TB Paru terbanyak kedua di dunia yaitu sebanyak 10% dari total

global kasus TB Paru dunia. Landasan lahirnya SDGs (Sustainable Development

Goals) pada tanggal 21 Oktober 2015 tergambar dalam tujuan ketiga yaitu

menggalakan hidup sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua. Salah satu

target utama pengendalian TB Paru pada tahun 2015-2019 adalah penurunan

insidensi TB Paru yang lebih cepat, dari hanya sekitar 1-2% per tahun menjadi 3-

4% per tahun dan penurunan angka mortalitas lebih dari 4-5% per tahun, sehingga

diharapkan Indonesia pada tahun 2020 target penurunan insidensi sebesar 20% dan

1
2

angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015, bisa tercapai

targetnya (Kemenkes RI, 2016).

Menurut Word Health Organization (WHO) pada Tahun 2016 kasus TB

Paru mengalami peningkatan sebesar 2 juta kasus dari tahun 2015. Estimasi kasus

baru tuberculosis sebesar 10,4 juta atau 142 kasus/100.000 populasi, dengan kasus

multidrug-resistant sebesar 480.000 kasus, menempatkan Indonesia berada pada

peringkat dua dengan kasus baru penderita TB Paru terbanyak setelah India,

(WHO, 2016).

Meskipun jumlah kematian dengan TB Paru menurun sebesar 22% antara

tahun 2000 hingga 2015, TB Paru tetap menjadi salah satu penyebab dari 10

penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2015. WHO telah menargetkan

untuk menurunkan kematian akibat TB Paru sebesar 90% dan menurunkan

insidens sebesar 80% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2014. Kasus

TB anak dapat diperkirakan pertahunnya adalah 5% sampai 6% dari total kasus TB

Paru, dengan perkiraan kejadian 1,3 juta kasus baru pertahunnya karena anak

dengan umur 5 tahun imunitas selulernya belum berkembang sempurna untuk

mengalami progresi TB Paru. Anak-anak yang sudah mendapatkan imunisasi

BCG, diharapkan menjadi kebal terhadap penularan dan infeksi bakteri TB (WHO,

2016).

Menurut Profil Kesehatan Indonesia 2017, angka prevalensi TB Paru di

Indonesia sebesar 137,8/100.000 penduduk dengan 360.770 kasus TB Paru, kasus

2
3

TB Paru mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2016 sebesar 351.893

kasus. Di Indonesia jumlah kasus tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa

Timur dan Jawa Tengah dengan penduduknya yang padat dan berjumlah besar.

Ditemukan sebesar 60,5% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia dengan

kasus berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi yaitu 1,4 kali dibandingkan pada

perempuan. Dari kelompok umur, pada tahun 2017 kasus TB Paru terbanyak

ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar 20,05%, diikuti kelompok

umur 35-44 sebesar 19,05% dan kelompok umur 25-34 sebesar 19,03% dan

ditemukan kasus TB anak sebanyak 36.348 kasus, 19.191 kasus pada anak laki-

laki dan 17.157 kasus pada anak perempuan (Profil Kesehatan Indonesia, 2017).

Berdasarkan data profil kesehatan Provinsi Kalimantan Barat angka

penderita TB tercatat jumlah kasus baru TB paru sebanyak 3.327 kasus di tahun

2017 dengan angka prevalensi 67,45/100.000 penduduk. Presentase kesembuhan

penderita TB paru dengan BTA positif sebesar 68,31%, dengan rincian dari 3.440

penderita yang diobati sebanyak 2.198 penderita dinyatakan sembuh. TB anak di

temukan sebanyak 262 kasus dengan angka prevalensi kasus baru sebesar 20,48/

1.000 penduduk (Profil Dinkes Kalbar, 2017).

Kabupaten Sintang memiliki penderita TB semua tipe terdata yaitu 491

kasus dari sasaran sebesar 832 kasus pada tahun 2015, mengalami penurunan

kasus menjadi 272 kasus dari sasaran sebesar 845 kasus pada tahun 2016 dan turun

kembali pada tahun 2017 menjadi 161 kasus dari sasaran sebesar 855 kasus

3
4

dengan angka prevalensi kasus baru tahun 2017 sebesar 36,53/ 100.000 penduduk.

Target kasus baru TB (BTA positif) yang disembuhkan dalam Renstra Dinas

Kesehatan tahun 2015 adalah 90 % (Profil Dinkes Sintang, 2017).

Jumlah kasus TB semua tipe dari data Dinkes Sintang mengalami penurunan

dalam tiga tahun terakhir, namun menurut data TB di UPTD Puskesmas Kebong

Kecamatan Kelam Permai kasus TB pada tahun 2015 berjumlah 15 orang dan

tidak ditemukan TB anak, pada tahun 2016 kasus TB paru meningkat menjadi 30

kasus dengan TB anak sebanyak 10 orang, dan pada tahun 2017 kasus TB paru

meningkat kembali menjadi 45 kasus dan kasus TB anak menjadi 40 orang,

dengan angka prevalensi kasus baru sebesar 3,44/1000 penduduk. Penemuan kasus

baru menggambarkan kenaikan pada angka TB anak, semakin ditemukannya kasus

baru pada TB anak maka perbaikan kualitas kesehatan sejak dini terancam gagal

dengan tertularnya bakteri TB akan menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan

status gizi, terhambat tumbuh kembang dan terganggunya konsentrasi belajar bagi

penderita TB anak pada khususnya ( P3M Kebong, 2017).

Anak yang terinfeksi bakteri TB tidak selalu akan mengalami sakit TB

Paru,tetapi lebih banyak mengalami sakit TB kelenjar. Ada beberapa faktor yang

dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB paru. Faktor

risiko antara lain usia, infeksi baru, malnutrisi, keadaan imuno kompromais

(misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan

imunosupresi), diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Resiko sakit TB paru ini

4
5

akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia (Darmawan,

2013). Anak yang terinfeksi akan berdampak berkembang menjadi kasus infeksi

laten TB paru yang di masa depan dapat terjadi reinfeksi (infeksi kembali) atau

reaktivasi jika tidak diobati sampai tuntas, sehingga meningkatkan kejadian kasus

baru TB paru dewasa. Infeksi TB paru pada anak perlu dilakukan penanganan dan

pengobatan segera dan cepat, karena selain paru-paru, otak juga dapat terinfeksi

bakteri TB sehingga menyebabkan gangguan pada tumbuh kembang anak (CDC,

2013).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamidi (2011)

menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang penyakit TB

paru dengan kejadian TB anak usia 0-14 tahun (p= 0,012 dan OR= 8,25), ada

hubungan antara sikap ibu dengan kejadian TB anak usia 0-14 tahun (p= 0,015

dan OR= 12,6), ada hubungan antara perilaku ibu dengan kejadian TB anak usia 0-

14 tahun (p= 0,044 dan OR= 6,07). Kesimpulan penelitian ini adalah ada

hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dengan kejadian TB anak

usia 0-14 tahun di BP4 Kota Salatiga (Hamidi, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati W dkk (2015)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status ekonomi

dengan kejadian tuberkulosis pada anak di kecamatan ngamprah kabupaten

bandung barat dengan nilai p= 0,001. Sejalan dengan hasil penelitian yang

5
6

dilakukan oleh Luzia 2012 menunjukan bahwa terdapat hubungan antara sosial

ekonomi dengan TB paru dengan p= 0,001.

Hasil penelitian Rahmawati dkk (2015) tentang hubungan ASI eksklusif

dengan TB anak menunjukkan nilai OR=2,25 (OR>1) artinya anak dengan ASI

eksklusif berisiko 2,25 kali lebih besar terkena tuberkulosis dibandingkan anak

dengan non ASI eksklusif tetapi dari nilai Interval Kepercayaan (CI) 95% (0,726-

6,976) serta nilai p=0,129 (p<0,005) menunjukkan hasil penelitian yang tidak

bermakna secara statistik (Rahmawati dkk, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh

Mudiyono dkk pada tahun 2015 menemukan hubungan yang signifikan antara

lingkungan fisik rumah dengan kejadian TB Paru anak yaitu variabel kepadatan

hunian (p value= 0,001), luas ventilasi (p value= 0,004), suhu ruangan (p value=

0,036), kelembaban rumah (p value= 0.001), pencahayaan alami (p value=0,016)

(Mudiyono dkk, 2015).

Berdasarkan hasil survey pendahuluan di wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kebong kepada 10 ibu yang memiliki balita dengan kasus TB, ditemukan 100%

balita positif TB anak, diperoleh hasil bahwa 70% anak tidak mendapatkan ASI

eksklusif, 60% ibu memiliki pengetahuan berkategori kurang mengenai penyakit

TB anak , 80% keluarga memiliki pendapatan rendah, 70% rumah responden

memiliki kelembaban ruangan <40%-70%, 70% rumah responden memiliki suhu

ruangan <310 >370C dan 60% rumah responden memiliki kepadatan hunian

kurang dari 9 m2/orang (Data Primer, 2018).

6
7

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan meningkatnya

kejadian TB anak di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan Kelam

Permai Kabupaten Sintang.

I.2. Rumusan Masalah

Penderita TB tercatat jumlah kasus baru TB paru sebanyak 3.327 kasus di

tahun 2017 dengan angka prevalensi 67,45/100.000 penduduk di Kalimantan

Barat. Tahun 2017 kasus TB di Kabupaten Sintang menjadi 161 kasus dengan

angka prevalensi kasus baru tahun 2017 sebesar 36,53/ 100.000 penduduk. Data

Puskesmas Kebong tahun 2017 menunjukkan kasus TB paru mengalami

peningkatan, dan ditemukan sebanyak 45 kasus dan kasus TB anak menjadi 40

kasus baru. Dari uraian dan penjelasan di atas, maka rumusan masalah yang akan

dibahas dalam Penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang berhubungan

dengan meningkatnya kejadian TB anak di wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kebong Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang tahun 2018 ?

I.3. Tujuan Penelitian

I. 3.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan peningkatan

kejadian TB anak wilayah kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan

Kelam Permai Kabupaten Sintang Kalimantan Barat.

7
8

I.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan antara riwayat ASI eksklusif dengan

peningkatan kejadian TB anak wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kebong.

2. Mengetahui hubungan antara pengetahuan responden dengan

peningkatan kejadian TB anak wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kebong.

3. Mengetahui hubungan antara status ekonomi dengan peningkatan

kejadian TB anak wilayah kerja UPTD Puskesmas Kebong.

4. Mengetahui hubungan antara kelembaban ruangan rumah responden

dengan peningkatan kejadian TB anak wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kebong.

5. Mengetahui hubungan antara suhu ruangan rumah responden dengan

peningkatan kejadian TB anak wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kebong.

6. Mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan peningkatan

kejadian TB anak wilayah kerja UPTD Puskesmas Kebong.

8
9

I.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi warga Kecamatan Kelam Permai

Diharapkan dengan penelitian ini melalui tenaga kesehatan terkait

dapat memberikan informasi dan masukan bagi perangkat desa, tokoh

masyarakat dan warga kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang

Propinsi Kalimantan Barat. Tentang TB anak dan bahayanya Penyakit TB

Paru, bagaimana cara Penularan TB Paru, bagaimana cara pencegahan TB

Paru, bagaimana cara pengobatan TB Paru yang Tepat dan Benar, serta

cara berperilaku hidup bersih dan sehat, menuju kemandirian Indonesia

sehat.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang.

Diharapkan dengan hasil penelitian ini, dapat dijadikan media

informasi sebagai salah satu kerangka acuan dan evaluasi dalam

penyusunan program P3M (Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Penyakit Menular) Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat.

Khususnya pemberantasan dan pengendalian penyakit menular

Tuberculosis.

3. Bagi Puskesmas Kebong

Diharapkan dengan hasil penelitian ini, dapat dijadikan salah satu

kerangka acuan dalam penyusunan program P2M Unit Pelaksana Teknis

Daerah (UPTD) Puskesmas Kebong kecamatan kelam Permai Kabupaten


9
10

Sintang Provinsi Kalimantan Barat. Khususnya pemberantasan dan

pengendalian penyakit menular.

4. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat Kampus Sintang

Sebagai bahan masukan kepustakaan Universitas Muhamadiyah

kampus Sintang yang dapat dijadikan sebagai informasi bagi riset maupun

penelitian selanjutnya dengan variabel yang lebih luas.

5. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam penelitian

selanjutnya tentang determinan penyakit Tuberculosis dengan variabel

yang lebih luas.

I.5. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai faktor-faktor meningkatnya kejadian TB anak di

wilayah kerja UPTD Puskesmas Kebong kecamatan Kelam Permai Kabupaten

Sintang belum pernah dilakukan oleh orang lain, adapun penelitian sebelumnya

yang serupa adalah sebagai berikut.

Tabel I.1 Keaslian Penelitian

Perbedaan dan persamaan


No Peneliti / judul Hasil
Penelitian
1. Ardhitya Sejati dan Tidak ada hubungan kepadatan 1. Penelitian dilakukan pada
Liena Sofiana, 2015/ rumah (p value 0,422, OR 2,250), subyek, waktu dan tempat
Faktor- Faktor kebiasaan merokok (p value 1,000, yang berbeda.
Terjadinya OR 1,000) dan status ekonomi (p
Tuberkolosis value 1,000, OR 1,123)

10
11

Perbedaan dan persamaan


No Peneliti / judul Hasil
Penelitian
2. Penelitian menggunakan
desain case control
sedangkan penelitian ini
menggunakan desain cross
sectional
Variabel yang memiliki
kesamaan hanya variabel
status ekonomi
2. Siti Nurul Kholifah 1. Tidak terdapat hubungan jenis 1. Penelitian dilakukan pada
dan Sri Andarini kelamin dengan kejadian TB subyek, waktu dan tempat
Indreswari, 2015/ paru anak (p value= 1,000) yang berbeda
Faktor Terjadinya BBLR (p value= 1,000), 2. Penelitian menggunakan
Tuberkulosis Paru pengetahuan (p value= 0,763) metode observasional
Pada Anak dan imunisasi BCG (p value= dengan pendekatan uji beda
Berdasarkan Riwayat 1,000) dengan kejadian TB paru 3. Variabel yang diteliti
Kontak Serumah pada anak meliputi jenis kelamin, status
2. Terdapat hubungan antara status gizi, BBLR, pengetahuan
gizi (p value= 0,038), orang tua dan imunisasi
BCG, dimana variabel yang
memiliki kesamaan dengan
penelitian ini adalah
pengetahuan orang tua.
3. Mudiyono dkk, 2015/ 1. Tidak ada hubungan bermakna 1. Penelitian dilakukan pada
Hubungan Antara antara tingkat pengetahuan ibu subyek, waktu dan tempat
Perilaku Ibu Dan (p=0,186 OR=1,994), tindakan yang berbeda
Lingkungan Fisik ibu (p=0,841, OR 1,175) dengan 2. Penelitian observasional
Rumah Dengan kejadian TB paru anak dengan metode retrospektif
Kejadian TB Paru 2. Ada hubungan antara kepadatan study pendekatan case
Paru Anak Di Kota hunian (p value= <0,001 OR= control
Pekalongan 6,641), suhu ruangan (p value= 3. Variabel yang memiliki
0,036 OR=2,298), kelembaban persamaan adalah variabel
rumah (p value= <0,001 OR= perilaku ibu dan lingkungan
6,000), pencahayaan alami (p fisik rumah
value= 0,016 OR 2,912) dengan
kejadian TB paru anak
3. Tidak ada hubungan antara jenis
lantai dengan kejadian TB paru
anak (p value= 0,552
OR=1,714)
4. Al Asyary dkk, 2017/ Terdapat hubungan antara paparan 1. Peneiltian dilakukan pada
Tingkat Paparan (p=0,004) dan status gizi (p=0,045) subyek, waktu dan tempat
Terhadap Kejadian dengan kejadian TB anak yang yang berbeda
Tuberkolosis Anak memiliki kontak serumah dengan 2. Penelitian menggunakan
Yang Memiliki penderita TB dewasa. desain case control
Kontak Serumah 3. Variabel yang diambil adalah
Dengan Penderita TB paparan penderita TB dewasa
Paru Dewasa serumah.

11
12

Perbedaan dan persamaan


No Peneliti / judul Hasil
Penelitian
5. Halim dkk,2015/ Variabel yang berhubungan dngan 1. Peneiltian dilakukan pada
Faktor Risiko kejadian TB anak adalah: subyek, waktu dan tempat
Kejadian Tb Paru Pada 1. Kelembaban rumah (p=0,000, yang berbeda
Anak Usia 1-5 Tahun OR=5,547) 2. Penelitian observasional
Di Kabupaten 2. Kelembaban kamar anak menggunakan desain case
Kebumen (p=0,000, OR=6,451) control study sedangkan
3. Pencahayaan rumah (p=0,000, penelitian ini cross sectional
OR=6,526) 3. Mengangkat 14 variabel yang
4. Pencahayaan kamar (p=0,000, diambil sedangkan penelitian
OR=5,102) ini hanya 5 variabel
5. Ventilasi kamar anak (p=0,009
OR=2,117)
6. Jenis lantai (p=0,002
OR=3,615)
7. Bahan bakar memasak
(p=0,000 OR=4,252)
8. Riwayat kontak (p=0,000
OR=9,643)
9. PM 10 (p=<0,001 OR= 11,999)

12
13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Penyakit Tuberkulosis

II.1.1. Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), Sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes

RI, 2016). Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan

berpindah dari satu orang ke orang lain baik secara langsung maupun

melalui perantara ditandai dengan hadirnya agent atau penyebab penyakit

yang hidup dan dapat berpindah (Notoatmodjo, 2011)

Terdapat beberapa spesies Mycobakterium, antara lain: Mycobakterium

tuberkulosis, Mycobakterium africanum, Mycobakterium bovis,

Mycobacterium leprae, yang dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Kelompok bakteri Mycobakterium selain Mycobakterium tuberkulosis yang

bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT

(Mycobakterium Other Than Tuberkulosis) yang terkadang bisa mengganggu

penegakan diagnosis dan pengobatan TB paru, untuk itu pemeriksaan

bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap Mycobakterium

tuberkulosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB paru (Restiawati. N

dan Burhan. E, 2011).

13
14

Secara umum sifat kuman TB Paru (Mycobakterium tuberkulosis)

antara lain sebagai berikut:

1) Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.

2) Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.

3) Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowensten

Jenseen, Ogawa.

4) Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan

di bawah mikroskop.

5) Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam

jangka waktu lama pada suhu antara 40 C sampai minus 700 C.

6) Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar

ultraviolet.

7) Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman

akan mati dalam waktu beberapa menit.

8) Dalam dahak pada suhu antara 300 sampai 370 C akan mati dalam

waktu lebih kurang 1 minggu kuman dapat bersifat

dormant(“tidur”/tidak berkembang) (Kemenkes RI, 2014).

Perbedaan TB anak dan TB Paru dewasa adalah TB anak lokasinya

pada setiap bagian paru sedangkan pada dewasa di daerah apeks dan infra

klavikuler. Kemudian terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan

pada dewasa tanpa pembesaran kelenjar limfe regional. Pada anak

14
15

penyembuhan dengan perkapuran dan pada dewasa dengan fibriosis. Pada

anak lebih banyak terjadi penyebaran hematogen sedangkan pada dewasa

jarang (Sulaifi, 2011).

II.2.2. Riwayat Terjadinya Tuberkulosis

Paru-Paru merupakan port d’entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB

Paru, kuman TB Paru dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukuranya

sangat kecil (<5 µm) akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Kuman

ini berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam

pada pewarnaan yang disebut juga sebagai basil tahan asam (BTA). Kuman

TB Paru cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat hidup

beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh

kuman ini dapat dormant tertidur lama selama beberapa hari (Putra, 2011).

Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar

matahari dan sinar ultraviolet (Nurarif, 2013).

Kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme

imunologis nonspesifisik, sehingga tidak terjadi respon imunologis

spesifik, akan tetapi pada sebagian kasus lainnya tidak dapat dihancurkan,

pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makroflag

alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan

(Kemenkes RI, 2016).

15
16

Sebagian kecil kuman yang tidak dapat dihancurkan akan terus

berkembang biak di dalam makroflag, dan akhirnya menyebabkan lisis

makrofag selanjutnya membentuk lesi di tempat tersebut yang dinamakan

fokus primer ghon. Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui

saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang

mempunyai saluran limfe ke locus primer. Penyebaran ini menyebabkan

terjadinya inflamasi di saluran limfe(limfangitis) dan di kelenjar limfe yang

terkena(limfadenitis). Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan

limfadenitis dinamakan kompleks primer(primary complex) (Kemenkes RI,

2016).

Rentang waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga

terbentuknya kompleks primer disebut masa inkubasi. Masa inkubasi BTA

Positif selama 3-6 bulan dapat menularkan kepada 10-15 orang lainnya

sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular tuberkulosis adalah

17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya

keluarga serumah) akan 2 kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa

(tidak serumah) (Widiyono, 2011).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya beukuran normal

pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,

sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat

tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui

16
17

mekanisme ventil (ballvalue mechanism), obstruksi total dapat

menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis

perkijauan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,

sehingga menyebabkan TB indobronkial atau membentuk fistula. Masa

kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut

sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Kemenkes RI, 2016).

Sebelum terbentuknya imunitas selular dalam masa inkubasi, dapat

terjadi penyebaran limfogen dan hematogen, pada penyebaran limfogen

kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer

atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. TB paru disebut sebagai

penyakit sistemik saat terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu

kuman masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh

(Kemenkes RI, 2016).

17
18

Sumber:

Sumber: Kemenkes RI, 2016

Gambar II.1 Patogenesis Terjadinya TB Paru

II.3. Tuberkulosis pada Anak

Tuberkulosis anak adalah terduga anak yang mempunyai keluhan atau

gejala klinis mendukung gambaran penyakit TB paru, yang terbagi menjadi

pasien TB anak terkonfirmasi bakteriologis yaitu anak yang terdiagnosis

dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif dan pasien TB anak

18
19

terdiagnosis secara klinis yaitu anak yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis

secara bakteriologis sebagai pasien TB paru oleh dokter dan diputuskan untuk

diberikan pengobatan TB (Kemenkes RI, 2016).

II.3.1. Gejala Tuberkulosis anak

Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik atau

umum atau sesuai organ terkait. Gejala umum TB pada anak yang sering

dijumpai adalah batuk persiten, berat badan turun, atau gagal tumbuh,

demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering

dianggap tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit lain. Gejala TB

paru sebenarnya bersifat khas yaitu menetap (batuk lebih dari 2 minggu)

walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika

atau anti malaria untuk demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk

lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan)

(Kemenkes RI, 2016).

1. Gejala Sistemik TB anak

Gejala Umum TB anak (Sunarjo, 2009):

a. Berat badan menurun berturut-turut selama 3 bulan tanpa sebab

jelas atau tidak naik selama 1 bulan meskipun dengan intervensi

gizi

b. Anoreksia dan gagal tumbuh (failure to trive)

c. Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas

19
20

d. Pembesaran Kelenjar limfe superfisial (KGB leher, KGB

inguinal, dan sebagainya)

e. Gejala saluran napas seperti batuk lama > 30 hari

f. Gejala saluran gastrointestinal seperti diare yang lama dan

berulang atau ditemukannya massa di abdomen dan sebagainya.

2. Gejala Spesifik TB anak

Pada TB ekstra paru dapat dijumpai gejala dan tanda klinis yang

khas pada organ yang terkena (Kemenkes RI, 2016).

a. Tuberkulosis Kelenjar

1) Biasanya di daerah leher (regio colli)

2) Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri,

konsistensi kenyal, multiple dan kadang saling melekat

(konfluens)

3) Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaran KGB

terlihat jelas bukan hanya teraba

4) Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika

5) Bisa terbentuk rongga dan dicharge

b. Tuberkulosis sistem saraf pusat

1) Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan sering kali

disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.

20
21

2) Tuberkuluma otak: gejala-gejala adanya lesi desak ruang

c. Tuberkulosis sistem skeletal

1) Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang

(gibbus)

2) Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau

tanda peradangan di daerah panggul

3) Tulang lutut (gonitis): pincang dan atau bengkak pada lutut

tanpa sebab yang jelas

4) Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/ daktilitis)

d. Tuberkulosis mata

1) Konjungtivitis fliktenularis ( conjungtivitis phlyctenularis)

2) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

e. Tuberkulosis kulit

Ditandai dengan adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar

tepi ulkus (skin bridge)

f. Tuberkulosis organ-organ lainnya misalnya peritonitis TB, TB

ginjal; dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ

tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya

infeksi TB.

21
22

II.3.2. Penegakan Diagnosis TB Anak

Pada sebagian besar TB paru pada anak tidak menunjukkan gejala

batuk kronik, kecuali bila terjadi limfadenitis regional yang menekan

bronkus sehingga merangsang reseptor batuk (Setyanto, 2013).

Tuberkulosis anak dapat ditegakan melalui pemeriksaan

penunjang untuk menentukan diagnosa pasti TB, yaitu melalui

pemeriksaan uji Tuberkulin (Kemenkes RI, 2016).

1. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting

untuk menentukan diagnosis TB paru, baik pada anak maupun

dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan pada

anak berusia lebih dari lima tahun, HIV positif, dan gambaran

kelainan paru luas (Kemenkes RI, 2016).

Merupakan diagnosis pasti bila ditemukan kuman basil tahan

asam, tetapi sulit pada bayi dan anak. Bahan pemeriksaan dapat

diambil dari sputum (pada anak besar), bilasan lambung pagi hari

atau dari cairan lain : LCS, cairan pleura, cairan pericard.

Pemeriksaan dapat dilakukan cara langsung, biakan dengan metode

lama, radiometrik (Bactec), dan PCR (Sunarjo, 2009).

22
23

2. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa jenis pemeriksan penunjang lainnya untuk membantu

menegakan diagnosis TB anak yaitu:

a. Uji Tuberkulin

Ada 2 macam tuberkulin yang dipakai yaitu Old tuberkulin dan

Purified protein derivate dengan cara Mantoux. Yaitu dengan

menyuntikkan 0,1 ml tuberkulin PPD intrakutan di volar lengan

bawah. Reaksi dilihat 48 – 72 jam setelah penyuntikan. Uji Tuberkulin

positif menunjukkan adanya infeksi TB. Reaksi ini akan bertahan

cukup lama walaupun pasien sudah sembuh sehingga uji Tuberkulin

tidak dapat digunakan untuk memantau pengobatan (Sunarjo, 2009).

b. Foto Toraks

Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakan

diagnosis TB anak, gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali

gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang

menunjang TB paru adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016):

1) Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa

infiltrat (visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus

disertai foto toraks lateral)

2) Konsolidasi segmental atau lobar

3) Efusi pleura
23
24

4) Milier

5) Atelektasis

6) Kavitas

7) Kalsifikasi dengan infiltrate

8) Tuberkuloma

c. Pemeriksaan Hispatologi

Pemeriksaan hispatologi atau patologi anatomi akan

menunjukan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijaun di

tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans

dan atau kuman TB (Kemenkes RI, 2016). Jarang dilakukan pada

anak, dilakukan dengan biopsi misalnya dari kelenjar limfe

(Sunarjo, 2009).

II.3.3. Diagnosis TB pada Anak

Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan

pada empat hal, yaitu (Kemenkes RI, 2016):

1) Konfirmasi bakteriologis TB

2) Gejala klinis yang khas TB

3) Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak

erat dengan pasien TB)

4) Gambaran foto toraks sugestif TB

24
25

Karena sulitnya menemukan M. Tuberculosis sebagai etiologi

dari penyakit tuberculosis pada anak, maka salah satu yang diterapkan

di sarana pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas adalah dengan

menggunakan sistim skoring (tabel II.1) (Setyanto, 2013). Parameter

yang digunakan dalam sistem skoring ini adalah: riwayat kontak dengan

penderita dewasa, keadaan gizi, demam yang tidak diketahui

penyebabnya, batuk kronik. Parameter lainnnya, dari aspek pemeriksaan

fisik adalah: pembesaran kelenjar limfe, pembengkakan sendi panggul,

lutut, falang. Parameter dari aspek pemeriksaan penunjang berupa: uji

tuberkulin dan foto thoraks (Rahajoe, 2008).

Pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas atau dengan akses

yang sulit untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks, diagnosis TB

pada anak dapat ditegakkan tanpa menggunakan sistem skoring seperti

pada alur diagnosis TB anak (gambar II.2) alur diagnosis ini digunakan

untuk penegakan diagnosis TB pada anak yang bergejala TB paru, baik

dengan maupun tanpa kontak TB, pada anak yang tidak bergejala tetapi

kontak dengan pasien TB dewasa, pendekatan tata laksananya

menggunakan alur investigasi kontak (Kemenkes RI, 2016).

25
26

Tabel II.1 Sistem Skoring TB Anak

Parameter 0 1 2 3

Laporan
Tidak keluarga, BTA
Kontak TB - BTA(+)
Jelas (-)/ BTA tidak
jels/tidak tahu
Positif (≥10
Uji mm atau ≥5
Tuberkulin Negatif - - mm pada
(Mantoux) imunokompro
mais
Klinis gizi
buruk atau
Berat Badan/ BB/TB<90% atau
- BB/TB<70% -
Keadaan Gizi BB/U<80%
atau BB/U
<60%
Demam yang
tidak - ≥2 minggu - -
diketahui

Batuk Kronik - ≥2 minggu - -

Pembesaran
Kelenjar limfe ≥1 cm, > 1 KGB,
- - -
kolli, aksila, tidak nyeri
inguinal
Pembengkaka
Ada
n tulang/sendi - - -
pembengkakan
panggul, lutut
Normal/ Gambaran
Foto toraks Kelainan sugestif - -
tidak (mendukung) TB
Skor Total

Sumber: Kemenkes RI, 2016

26
27

Sumber: Kemenkes RI, 2016.

Gambar II.2 Alur Diagnosis TB Anak

Keterangan:
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TB paru dewasa dan kontak TB paru anak terkonfirmasi
bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan, Jika tidak ada respon dengan pengobatan
adekuat, evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau rujuk.
27
28

Langkah awal pada alur diagnosis TB paru adalah pengambilan

dan pemeriksaan sputum, adapun langkah-langkahnya sebagai berikut

(Kemenkes RI, 2016):

1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan

fasilitas yang tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan

OAT.

2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif, atau

spesimen tidak dapat diambil,lakukan pemeriksaan uji tuberkulin

dan foto toraks maka:

a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin

dan foto toraks:

1) Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB paru

menular, anak dapat didiagnosis TB dan diberikan OAT.

2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis

selama 2 sampai 4 minggu. Bila ada follow up gejala

menetap, rujuk anak untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan

foto toraks.

b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung

skor total menggunakan sistem skoring:

1) Jika skor total ≥ 6 maka diagnosis TB paru dan obati

dengan OAT

28
29

2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada

kontak erat dengan pasien TB paru maka diagnosis TB

paru dan obati dengan OAT.

3) Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada

kontak erat dengan pasien TB paru maka observasi gejala

selama 2 sampai 4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang

kemungkinan diagnosis TB paru atau rujuk ke Fasilitas

pelayanan yang lebih tinggi (Kemenkes RI, 2016).

II.3.4. Klasifikasi TB Anak

Pasien anak yang terdiagnosis pasti TB paru dapat

diklasifikasikan menurut (Kemenkes RI, 2016):

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit.

1) Tuberkulosis paru

a) Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. TB

milier dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada

jaringan paru.

b) Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum)

atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang

mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB paru.

c) Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita

TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

29
30

2) Tuberkulosis ekstra paru

a) Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya:

pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,

selaput otak dan tulang.

b) Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra

paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobakterium

tuberculosis.

c) Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ,

diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ

menunjukan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

1) Pasien baru TB yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari

1 bulan (kurang dari 28 dosis)

2) Pasien yang pernah diobati TB, adalah pasien TB yang pernah

menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien

ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB

terakhir, yaitu;

a) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis

30
31

TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis

(baik karena benar-benar sembuh atau karena reinfeksi)

b) Pasien yang diobati setelah gagal: adalah pasien TB yang

pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan

terakhir.

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow up): adalah pasien yang pernah diobati dan

dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya

dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat

atau default).

d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun

hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan

contoh uji dari mycobakterium tuberculosis terhadap OAT dan

dapat berupa (Kemenkes RI, 2016):

1) Mono resisten (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT

lini pertama saja.

31
32

2) Poli resisten (TB PR): resisten terhadap salah satu jenis OAT

lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara

bersamaan.

3) Multi drug resistant (TB MDR): resistant terhadap Isoniazid

(H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

4) Extensive drug resistant (TB XDR): TB MDR yang sekaligus

juga resistant terhadap salah sat OAT golongan flourokuinolon

dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan

(Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

5) Resistant Rifampisin (TB RR): resistant terhadap Rifampisin

dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi

menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip

(konvensional).

d. Klasifikasi berdasarkan status HIV

Pemeriksaan HIV wajib ditawarkan pada semua pasien TB

anak, yang berdasarkan pemeriksaan HIV, yaitu (Kemenkes RI,

2016):

1) HIV positif

2) HIV negatif

3) HIV tidak diketahui.

32
33

II.3.5. Jenis-jenis Tuberkulosis Ekstra Paru Pada Anak

1. Tuberkulosis Meningitis

TB meningitis merupakan salah satu bentuk TB pada sistem

saraf pusat yang sering ditemukan pada anak, merupakan TB dengan

gejala klinis yang berat, dapat mengancam nyawa atau meninggalkan

gejala sisa pada anak. Gejala umum yang ditemukan : demam lama,

sakit kepala dengan diikuti kejang dan kesadaran menurun. Apabila

ditemukan anak mengalami gejala tersebut, harus segera dirujuk ke

fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.

2. Tuberkulosis Tulang atau Sendi

Tuberkulosis tulang atau sendi paling sering mengenai tulang atau

sendi dengan insidensi TB sendi berkisar 1-7% dari seluruh

Tuberkulosis. Tulang atau sendi yang terkena adalah: tulang belakang

(spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi lutut (gonitis). Pada

TB spondylitis dapat ditemukan gibbus yaitu benjolan pada tulang

belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukan tanda-

tanda peradangan. Warna benjolan sama dengan kulit di sekitarnya,

tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin (Kemenkes RI, 2016).

3. Tuberkulosis Kelenjar

Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial disebut skrofula,

merupakan bentuk TB ektrapulmonal pada anak yang paling sering


33
34

terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kasus akan timbul 6-9

bulan setelah infeksi awal Mycobakterium tuberculosis tetapi beberapa

kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian.

Lokasi pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal

anterior, submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal,

epitroklear atau daerah aksila. Kelenjar limfe biasanya membesar

perlahan-lahan pada stadium awal penyakit, pembesaran kelenjar limfe

bersifat kenyal, tidak keras, discrete, dan tidak nyeri. Ukuran besar

(lebih dari 2x2 cm), biasanya terlihat jelas bukan hanya teraba, pada

perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan di bawah atau di

atasnya.

4. Tuberkulosis Pleura

Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus

efusi pleura di Indonesia adalah TB, efusi pleura adalah penumpukan

abnormal cairan dalam rongga pleura.

Efusi pleura TB bisa ditemukan dalam 2 bentuk yaitu: Cairan

serosa, bentuk ini yang paling banyak dijumpai dan Empisema TB, yang

merupakan efusi pleura TB primer yang gagal mengalami resolusi dan

berlanjut ke proses supuratif kronik. Pleuritis TB sering terjadi pada

anak biasanya terjadi dalam 3-9 bulan pertama setelah terjadi TB

primer.

34
35

5. Skrofuloderma

Skrofuloderma merupakan manifestasi TB di kulit yang paling

sering dijumpai pada anak, terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum

dari kelenjar Iimfe yang terkena TB. Manifestasi klinis skrofuloderma

adalah sama dengan gejala umum Tb pada anak. Skrofuloderma

biasanya ditemukan di leher atau di tempat yang menpunyai kelompok

kelenjar limfe misalnya di daerah Parotis, submandibula,

supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu skrofuloderna dapat

timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang disebabkan oleh TB

tulang dan sendi.

6. Tuberkulosis Abdomen

TB abdomen mencakup lesi , granulomatosa yang bisa

ditemukan di peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, dan

mesentrium, Mycobakterium tuberculosis sampai ke organ tersebut

secara hematogen ataupun penjalaran langsung.

Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasilitas pelayanan

kesehatan rujukan dengan ditunjang pemeriksaan lanjutan berupa USG

abdomen, foto toraks, foto polos abdomen, analisis cairan asites dan

biopsi peritoneum (Kemenkes RI, 2016).

35
36

7. Tuberkulosis Sistem Retikuloendotelial

Jarang dilaporkan terjadi, pada anak dapat mengenai hati,

sumsum tulang, atau lien yang umumnya merupakan bagian dari TB

diseminata.

8. Tuberkulosis Ginjal

TB ginjal pada anak terjadi karena masa inkubasinya bertahun-

tahun merupakan hasil penyebaran hematogen. Fokus perkijuan kecil

berkembang di parenkim ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam

tubulus, massa yang besar akan terbentuk dekat dengan korteks ginjal,

yang mengeluarkan kuman melalui fistula ke dalam pelvis ginjal, infeksi

menyebar secara lokal ke ureter, prostat atau epididimis.

9. Tuberkulosis Jantung

Lebih umum terjadi pada jantung adalah perikarditis TB dan

hanya 0,5-4% dari TB anak. Perikarditis TB terjadi akibat invasi kuman

secara langsung atau drainase limfatik dari kelenjar limfe subkarinal.

II.3.6. Tata Laksana Pengobatan TB Anak

Pengobatan atau tata laksana medikamentosa TB anak terbagi atas 2

terapi yaitu:

1. Terapi

Pengobatan TB diberikan pada anak yang positif sakit TB

36
37

2. Profilaksis

Pengobatan pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak

dengan pasien TB (profilaksis primer). Atau anak yang terinfeksi TB

tanpa sakit TB (profilaksis sekunder)

Pengobatan TB anak sama dengan TB dewasa dengan prinsip tujuan

utama pemberian OAT sebagai berikut:

1) Menyembuhkan pasien TB

2) Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya

3) Mencegah TB relaps

4) Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat.

5) Menurunkan transmisi TB

6) Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal

mungkin

7) Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang

(Kemenkes RI, 2016).

Beberapa hal penting dalam Tata laksana TB anak adalah:

1) Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai

monoterapi

2) Pengobatan diberikan setiap hari

3) Pemberian gizi yang adekuat

37
38

4) Mencari penyakit penyerta, jika ada, ditata laksana secara bersamaan

(Kemenkes RI, 2016).

II.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TB Anak

Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB, 10%-15%

yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Pemberian terapi pencegahan pada

anak infeksi TB mengurangi kemungkinan berkembangnya sakit TB. Anak yang

terinfeksi tuberkulosis dapat memperlihatkan hasil uji tuberkulin positif tanpa

ditemukan kelainan manifestasi klinis, radiologis, ataupun laboratorium. Anak

yang sudah terinfeksi TB harus dicegah untuk berkembang menjadi sakit

tuberkulosis (WHO, 2014).

Faktor yang memengaruhi seseorang anak sakit TB adalah daya tahan

tubuh yang lemah, sosial dan ekonomi yang rendah, kemiskinan, perumahan

yang kurang memenuhi syarat kesehatan, kepadatan penduduk, besar keluarga,

gizi kurang, serta kebersihan lingkungan. Disamping itu, ada faktor lain, seperti

sumber penularan penyakit, usia, tidak mendapat imunisasi, virulensi serta

jumlah kuman memegang peran penting dalam sakit TB paru (Setyanto dan

Rahajoe, 2008).

Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB paru

adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan

malnutrisi (gizi buruk), faktor lingkungan yaitu ventilasi, kepadatan hunian,

faktor perilaku, kesehatan perumahan, lama kontak dan kosentrasi kuman.

38
39

(Depkes RI, 2009). Faktor yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru

diantaranya adalah faktor anak, faktor orang tua, dan faktor lingkungan (Febrian,

2015).

II.4.1. Faktor Anak

1. Status Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang di

konsumsi secara normal melalui proses digesti, absopsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak

digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi

normal dari organ-organ serta menghasilkan energi (Supariasa, 2012).

Status gizi buruk akan menyebabkan kekebalan tubuh menurun

sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru. TB Paru lebih banyak

terjadi pada anak yang mempunyai gizi buruk sehubungan dengan

lemahnya daya tahan tubuh anak yang kurang gizi. TB Paru juga dapat

memperburuk status gizi anak (Achmadi, 2009).

2. Kontak Dengan Penderita

Riwayat kontak adalah adanya hubungan dengan penderita

(Notoatmodjo, 2012). Timbulnya penyakit TB paru pada anak dapat

dipengaruhi juga oleh riwayat kontak dengan penderita TB paru dewasa

yang merupakan pencetus. Karena kejadian TB anak sering diakibatkan

39
40

oleh penularan penderita dewasa yang selalu berhubungan dengan anak

baik langsung maupun tidak langsung (Febrian, 2015).

Peluang seorang anak terinfeksi TB paru lebih banyak dijumpai

pada kelompok anak yang memiliki intensitas kontak <8 jam/hari

dibandingkan dengan >8 jam/hari. Beberapa kepustakaan yang

menyebutkan bahwa semakin erat kontak seorang anak dengan sumber

penularan, semakin tinggi peluang anak tersebut mengalami infeksi TB

paru. Kontak erat dengan pasien TB paru dewasa dapat dilihat dari 2

aspek yaitu aspek jarak seperti menggunakan kriteria “satu tempat tidur”

dan aspek waktu “intensitas waktu < / > 8 jam/hari” (Diani, Darmawan, &

Nurhanzah, 2010).

3. Riwayat Pemberian ASI Eksklusif

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 pada Ayat

1 diterangkan “Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya disebut ASI

Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada Bayi sejak dilahirkan

selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti

dengan makanan atau minuman lain”(Permenkes RI, 2012).

Hasil penelitian yang dilakukan Indrawati A (2008) , dapat

disimpulkan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian suspek Tb

pada balita yang berobat jalan di RST dr Soedjono dan RSU Tidar

Magelang menunjukkan hubungan yang signifikan dengan nilai p sebesar

40
41

0,008 dan anak yang tidak diberi ASI eksklusif mempunyai kemungkinan

terkena suspek TB 4,297 kali lebih besar dibandingkan anak yang diberi

ASI eksklusif (Indrawati A,2008).

4. Imunisasi BCG

Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan perlindungan

(kekebalan) di dalam tubuh bayi dan anak (Maryunani, 2010). Imunisasi

adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif

terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang

serupa, tidak menjadi sakit (Maryunani, 2010).

Upaya pencegahan suatu penyakit, termasuk penyakit TB Paru,

ialah dengan imunisasi. Pemberian imunisasi dimaksudkan untuk

menurunkan morbiditas, mortilitas, cacat, serta bila mungkin didapatkan

eradikasi di suatu daerah atau negeri. Pemberian imunisasi BCG

merupakan bagian dari faktor imunisasi yang dianalisa untuk

memprediksi kejadian TB Paru pada anak. Pemberian imunisasi BCG

dapat melindungi dari meningitis TB dan TB milier dengan derajat

proteksi sekitar 86 %. Imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan

kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC) pada anak (Atikah,

2010).

Pada hal ini menimbulkan hipotesis bahwa BCG melindungi

terhadap penyebaran bakteri secara hematogen, tetapi tidak mampu

41
42

membatasi pertumbuhan fokus yang terlokalisasi seperti pada TB Paru

(Wahab, 2012).

II.4.2. Faktor Orang Tua

1. Pengetahuan Orang Tua

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Terbentuknya

perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain

kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang

berupa materi atau objek di luarnya (Notoatmodjo, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh setiarni 2009 hasil analisis bivariat

menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara tingkat

pengetahuan dengan kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa

dengan nilai p=0,026 < α=0,05. Hasil uji statistik diperoleh nilai

RR=1,857 artinya bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan

rendah akan meningkatkan risiko untuk terkena penyakit TB paru

sebesar 1,857 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang

memiliki tingkat pengetahuan tinggi (Setiarni dkk, 2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohayu dkk (2016) yaitu

besar risiko pengetahuan terhadap kejadian TB Paru BTA Positif,

42
43

diperoleh OR sebesar 2,5 setelah mengontrol tempat timggal. Artinya

responden yang memiliki pengetahuan kurang mempunyai risiko

menderita TB paru BTA postif 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan

responden yang memiliki pengetahuan cukup (Rohayu dkk, 2016).

2. Sosial Ekonomi Keluarga

Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang

dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang

keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial

ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan

sebagainya. Karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan

anak baik primer maupun sekunder (Soetjiningsih, 2010).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati W dkk (2015)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

pemberian ASI eksklusif dengan kejadian tuberkulosis pada anak di

kecamatan ngamprah kabupaten bandung barat dengan nilai p=

0,001(Rakhmawati W dkk, 2015).

3. Perilaku Orang Tua

Menurut Notoatmodjo (2012) perilaku kesehatan pada dasarnya

adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang

berhubungan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, dan minuman serta lingkungan (Notoatmodjo, 2012).

43
44

Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi

atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup

pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi

dan kepercayaan masyarakat terhadap hal yang berkaitan

dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enambling factors) mencakup

ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi

masyarakat.

3. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing

factors) meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,

tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas

kesehatan. Juga undang-undang dan peraturan.

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari

manusia itu sendiri yang mencakup berjalan, berbicara, bereaksi,

berpakaian, bahkan kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan

emosi (Notoatmodjo, 2012).

44
45

II.4.3 Faktor Lingkungan

Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi di dalam rumah dan

perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat

memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Oleh karena itu rumah

haruslah sehat dan nyaman agar penghuninya dapat berkarya untuk

meningkatkan produktivitas (Syafrudin dkk, 2011).

Komponen rumah harus memiliki persyaratan fisik dan biologis

sebagai berikut :

1) Lantai

Kedap air dan mudah dibersihkan, harus cukup kuat untuk

manahan beban di atasnya. Ada berbagai jenis lantai rumah seperti

dari semen atau ubin, keramik atau cukup tanah biasa yang di

padatkan. Syarat yang penting adalah tidak berdebu pada musim

kemarau dan tidak becek pada musim hujan. Lantai yang basah

dan berdebu merupakan sarang penyakit.

2) Dinding

a) Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana

ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara.

b) Di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah

dibersihkan .

45
46

3) Atap

Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan

kecelakaan. Atap genteng umum dipakai baik di daerah perkotaan

maupun di pedesaan. Disamping atap genteng cocok untuk daerah

tropis juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan dan bahkan

masyarakat dapat membuatnya sendiri. Namun demikian banyak

masyarakat pedesaan yang tidak mampu menggunakan atap

genteng, maka atap daun rumbia atau daun kelapa yang digunakan

(Syafrudin dkk, 2011).

1. Luas Ventilasi

Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi

dikategorikan ke dalam ventilasi memenuhi syarat kesehatan dan tidak

memenuhi syarat, yaitu:

a. Memenuhi syarat kesehatan bila perbandingan luas ventilasi dengan

luas lantai rumah ≥ 10%

b. Tidak memenuhi syarat kesehatan bila perbandingan luas lantai

rumah dengan luas ventilasi ≤ 10% (Ginanjar, 2008).

2. Cahaya

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang

dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam

ruangan rumah, terutama cahaya matahari di samping kurang nyaman,

46
47

juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan

berkembangnya bibit-bibit penyakit seperti Mycobacterium

Tuberculosis (Ginanjar, 2008).

Rumah membutuhkan intensitas pencahayaan minimum yang

diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux dan tidak

menyilaukan ( Kemenkes RI, 2014).

3. Luas Ruangan Rumah

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni

di dalamnya. Artinya, luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan

dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding

dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berdesakan

(overcrowded). Hal demikian tidak sehat sebab di samping kurangnya

konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena

penyakit menular, seperti TB Paru, akan mudah menular kepada

anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah

apabila dapat menyediakan 2,5– 3 m³ untuk tiap anggota keluarganya

(Ginanjar, 2008).

4. Kelembaban

Kelembaban yang menghasilkan udara yang nyaman, dalam

rumah minimal 40% - 70% dan suhu ruangan yang ideal 18– 30 ºC

(Kemenkes RI, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Halim


47
48

(2015) menunjukan bahwa kelembaban rumah dan kelembaban kamar

memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian TB Paru pada anak

(Halim dkk, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto pada tahun

2008 dan Lisa pada tahun 2013, yang mengungkapkan bahwa terdapat

hubungan bermakna antara kelembaban dengan kejadian TB paru (p =

0,017) dan p = 0,004. Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2011)

menyatakan kelembaban merupakan salah satu kondisi fisik rumah yang

berperan terhadap kejadian TB (Lestari, 2011).

Kelembaban yang tinggi di dalam rumahakan mempermudah

berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakterispiroket,

ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam

tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi dapat

menyebabkanmembran mukosa hidung menjadi kering seingga kurang

efektif dalammenghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang

meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk

bakteri TB (Fatimah, 2008).

Kelembaban menjadi faktor risiko terjadi penularan TB Paru pada

anak yang tinggal pada rumah dengan kelembaban tidak memenuhi

syarat 1.20 kali dibanding anak yang tinggal pada rumah dengan

kelembaban memenuhi syarat, Kelembaban berhubungan dengan

48
49

kepadatan dan ventilasi Untuk mencegah terjadinya penularan basil

tuberkulosis (Lestari, 2011).

5. Suhu Ruangan

Keadaan suhu sangat berperan sekali pada pertumbuhan basil

Mycobacterium Tuberculosis, dimana laju pertumbuhan basil tersebut

ditentukan berdasarkan suhu udara yang berada disekitarnya. Kondisi ini

sangat berkaitan dengan sirkulasi udara yang berada di dalam rumah

yang berhubungan langsung dengan udara luar rumah dan kurang

memenuhi syarat kesehatan akibat dari luas ventilasi yang kurang dari

10% luas lantai. Salah satu usaha untuk menjaga suhu rumah adalah

memasang ventilasi yang cukup yaitu 10% dari luas lantai. Adanya

sirkulasi yang baik diharapkan dapat menjaga suhu rumah dan

memanipulasi penularan tuberkulosis paru BTA positif dalam rumah

(Hera, 2013).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hera.T.S.Batti (2013) di

Wilayah kerja Puskesmas Wara Utara Kota Palopo bahwa variabel suhu

secara satistik bermakna dimana odds ratio sebesar 9,117 dimana

masyarakat yang suhu ruangan nya <180C atau >300C ( tidak normal

atau tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit

tuberkulosis paru 9 kali dibandingkan dengan masyarakat yang suhu

ruagannya >18oC-30C (normal atau memenuhi syarat). Penelitian ini

49
50

juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Fatimah

(2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara

suhu ruangan dengankejadian tuberkulosis paru, dimana p =0,029 dan

OR=2,674 (Hera, 2013).

6. Kepadatan Penghuni

Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi

jumlah penghuni (sleeping density), yaitu luas ruang tidur minimal 8

m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu

ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun (Kemenkes RI, 2014).

Kepadatan hunian dapat meningkatkan kemungkinan paparan

Mycobacterium dan perkembangan penyakit, risikopaparan juga

meningkat jika ada gerakan udara yang terbatas diruang yang tertutup.

penelitian di Kanada ditemukan bahwa peningkatan 0,1 orang perkamar

meningkatkan resiko dua atau lebih kasus TB 40% dimasyarakat

(Roeswandi, 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mudiyono tahun 2015

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian

dengan kejadian TB paru anak dengan nilai p value : 0,001 dan anak

yang tinggal dirumah dengan kepadatan hunian tidak memenuhisyarat

kesehatan (<8m2/orang) berisiko 3,379 kali lebih besar dari pada anak

50
51

yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian memenuhi syarat

(Mudiyono, 2015).

II.5. Kerangka Teori

FAKTOR ANAK
1. Status Gizi
2. Riwayat Kontak dengan
Penderita TB Dewasa
3. Status Imunisasi BCG
4. Riwayat ASI Eksklusif

FAKTOR ORANG TUA


KEJADIAN TB
1. Status Pengetahuan
ANAK (+)
2. Status Sosial Ekonomi
3. Status Perilaku

FAKTOR LINGKUNGAN
1. Luas Ventilasi
2. Cahaya
3. Luas Bangunan
4. Kelembaban
5. Suhu Ruangan
6. Kepadatan Penghuni

Gambar II.3
Kerangka Teori Penelitian (Modifikasi kerangka teori Achmadi
(2009), Darmanto, (2007), Notoatmojo (2003) dan Corwin, (2009)

51
52

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

III.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan

atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati

atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2012).

Kerangka konsep penelitian digambarkan sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat

Riwayat ASI eksklusif

Pengetahuan Orang Tua

Status Ekonomi KEJADIAN TB ANAK (+)

Kelembaban Ruangan

Kelembaban Ruangan
Suhu Ruangan
Kelembaban Ruangan
Kepadatan Hunian

Gambar III.1
Kerangka Konsep Penelitian

52
53

III.2. Variabel Penelitian

Variabel Penelitian adalah suatu ciri, sifat dan ukuran yang dimiliki

suatu anggota kelompok dan tidak didapatkan dari anggota kelompok kain

(Notoadmojo, 2010). Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau

nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2012). Pada penelitian ini variabel yang diteliti yaitu:

III.2.1. Variabel Bebas

Variabel bebas yang diteliti adalah sebagai berikut:

1. Riwayat ASI eksklusif

2. Pengetahuan Orang Tua

3. Status Ekonomi

4. Kelembaban Ruangan

5. Suhu Ruangan

6. Kepadatan Hunian

III.2.2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian TB anak (+)

di wilayah kerja Puskesmas Kebong Kecamatan Kelam Permai.

53
54

III.3. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati yang memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena (Aditya dan Dodiet, 2009).

Tabel III.1 Definisi Operasional

N Cara Alat Skala


Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur
o Ukur Ukur Ukur

Variabel Terikat
Kejadian TB anak (+) pada
anak usia 0- 5 tahun yang telah
0= Ya
menunjukka gejala klinis dan Register
Kejadian TB disertai dengan pemeriksaan Observa TB Paru
1 1 = Tidak Nominal
anak (+) penunjang yang diperoleh dari si dan Rekam
catatan medik Puskesmas Medik
Kebong tahun 2017

Variabel Bebas
0= Tidak
Jika non ASI
Praktik pemberian ASI
eksklusif
selama 6 bulan tanpa
Riwayat ASI
2 pemberian makanan Wawancara Kuesioner Nominal
eksklusif 1= Ya
tambahan lain selain
Jika ASI
ASI
eksklusif

0= kurang baik
Jika skor x ≤
Tingkat pengetahuan ibu
mean (9,29)
atau bapak mengenai
Pengetahuan 1= Baik
3 Definisi, cara penularan, Wawancara Kuesioner Ordinal
Orang Tua Jika skor x >
pencegahan penyakit TB
mean (9,29)
Paru

54
55

N Skala
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
o Ukur
0 =Rendah
Pendapatan bulanan Jika UMR <
yang diperoleh keluarga Rp2.025.000
dalam satuan rupiah
Status
4 yang dikategorikan Wawancara Kuesioner 1 =Tinggi Ordinal
Ekonomi
dengan UMR Jika UMR ≥
Kabupaten Sintang =Rp Rp 2.025.000
2.025.000 (Disnakertrans,
2017)
0= Tidak
memenuhi
syarat
Jika <40 dan
Kandungan uap air >70%
5 Kelembaban Observasi Hygrometer Ordinal
dalam ruangan
1= Memenuhi
syarat
Jika 40-70%

0= Tidak
memenuhi
syarat
Suhu ruangan yang Jika < 310C
Suhu Termometer
6 diukur pada saat Observasi >370C Ordinal
Ruangan Ruangan
penelitian
1= memenuhi
syarat
Jika 310 -370
0= Tidak
memenuhi
syarat
Jumlah orang yang
Jika ruang tidur
hidup serumah dengan
Kepadatan <9 m2/2 org
7 anak minimal 3 bulan Wawancara Kuesioner Ordinal
Hunian 1= memenuhi
yang melebihi batas
syarat
normal
Jika ruang tidur
≥9 m2/2org

55
56

III.4. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis dari penelitian yang akan dilakukan meengunakan hipotesis

alternatif (Ha) sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara riwayat ASI eksklusif dengan kejadian TB

anak (+) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan

Kelam Permai

2. Terdapat hubungan antara pengetahuan responden dengan kejadian TB

anak (+) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan

Kelam Permai

3. Terdapat hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian

TB anak (+) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan

Kelam Permai

4. Terdapat hubungan antara kelembaban ruangan dengan kejadian TB

anak (+) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan

Kelam Permai

5. Terdapat hubungan antara suhu ruangan dengan kejadian TB anak (+)

di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan Kelam Permai

6. Terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB anak

(+) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan Kelam

Permai

56
57

BAB IV

METODE PENELITIAN

IV.1 Desain Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian case control

dengan pendekatan retrospektif. Penelitian case control atau kasus kontrol

merupakan suatu penelitian (survei) analitik yang menyangkut bagaimana

faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif. Pada

studi kasus-kontrol, observasi atau pengukuran terhadap variabel bebas dan

tergantung tidak dilakukan dalam satu waktu, melainkan variabel tergantung

(efek) dilakukan pengukuran terlebih dahulu, baru meruntut kebelakang untuk

mengukur variabel bebas (faktor risiko). Studi kasus-kontrol sering disebut

studi retrospektif karena faktor risiko diukur dengan melihat kejadian masa

lampau untuk mengetahui ada tidaknya faktor risiko yang dialami (Saryono,

2010).

Dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok meliputi kelompok

kasus adalah balita penderita TB anak dan kelompok kontrol adalah balita

sehat. Kedua kelompok balita tersebut diambil melalui pembagian kuesioner

dan khusus pada kelompok kasus juga dilakukan penyuluhan kesehatan tentang

TB anak dan sekaligus melakukan skrining terhadap anggota keluarga lain

apakah terinfeksi bakteri TB. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besar

risiko dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kasus TB anak

57
58

di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan Kelam Permai Tahun

2018.

Faktor Risiko (-)


Retrospektif TB anak (+)
Faktor Risiko (+)

Matching/ non matching

Faktor Risiko (-)


Retrospektif TB anak (-)

Faktor Risiko (+)

Sumber: Notoatmojo, 2010

Gambar IV.1 Rancangan Penelitian Kasus Kontrol

IV.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian

IV.2.1. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas

Kebong Kecamatan Kelam Permai.

IV.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan

September 2018.

58
59

IV.3. Populasi Sampel Dan Tehnik Sampling

IV.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti

(Notoatmojo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak

usia 1 - 5 tahun yang dinyatakan positif TB anak dan sudah tercatat di

catatan medik yaitu sebanyak 40 anak positif TB anak di wilayah

kerja UPTD Puskesmas Kebong Kecamatan Kelam Permai tahun

2017.

IV.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2010). Sampel

dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang tercatat dengan TB anak

(+) di wilayah kerja Puskesmas Kebong Kecamatan Kelam Permai.

1. Sampel Kasus

Subyek penelitian dalam kelompok kasus adalah balita usia

1-5 tahun yang mengalami gejala klinis dan telah di diagnosa

menderita penyakit tersebut oleh Puskesmas Kebong Kelam

Permai tahun 2017 yaitu sebanyak 40 balita.

Kriteria inklusi:

59
60

a. Balita dengan diagnosa TB anak (+) melalui uji Tuberkulin

yang tercatat di catatan medik Puskesmas Kebong tahun

2017

b. Balita umur 1- 5 tahun

c. Balita yang tinggal di wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kebong

Kriteria eksklusi:

a. Balita yang saat penelitian sudah berumur >5 tahun

b. Balita yang pindah dari tempat domisili saat penelitian

2. Sampel Kontrol

Dalam penelitian ini, subyek penelitian dalam kelompok

kontrol adalah anak yang sehat dan tidak menderita TB anak

sebanyak 40 balita dan menggunakan perbandingan 1:1 antara

kelompok kasus dan kelompok kontrol.

Kriteria inklusi:

a. Balita sehat yang tidak pernah mengalami gejala klinis

dan tidak didiagnosis menderita TB anak (+) menurut

catatan medik

b. Tidak memiliki penyakit kronis

c. Balita umur 1- 5 tahun.

d. Balita yang tinggal di wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kebong

60
61

Kriteria eksklusi:

a. Balita yang saat penelitian sudah berumur >5 tahun

b. Balita yang pindah dari tempat domisili saat penelitian

IV.3.3. Tehnik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik

total sampling yaitu teknik pengambilan sampel bila semua anggota

populasi digunakan sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012).

IV.4. Instrumen penelitian

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan

studi dokumentasi, kuesioner dan observasi langsung. Studi dokumentasi

meliputi pengambilan data sekunder dari Puskesmas Kebong. Kuesioner

merupakan pertanyaan terstruktur dan digunakan sebagai panduan wawancara

dalam menggali informasi yang diperlukan dari responden. Sedangkan

observasi langsung merupakan pengamatan secara langsung yang dilakukan

saat wawancara. Beberapa instrumen tambahan dalam penelitian ini yaitu

catatan rekam medik, buku KIA dan KK (kartu keluarga) keluarga balita

sebagai acuan catatan kesehatan dan data balita dan data keluarga meliputi

nama, usia, dan jumlah anggota keluarga. Alat yang digunakan sebagai

penunjang penelitian meliputi rol meter, Hygrometer, dan kuesioner.

61
62

IV.5. Teknik pengumpulan, pengolahan dan penyajian data

IV.5.1 Pengumpulan Data

1. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini meliputi data hasil pengukuran

BB dan Fisik rumah yang di ambil dengan cara observasi dan

pengukuran langsung dan wawancara dengan instrumen

kuesioner.

b. Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini yaitu register di Poli DOTS

TB dan catatan rekam medik kesehatan di UPTD Puskesmas

Kebong

2. Prosedur dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:

a. Pengamatan (Observasi)

Pengamatan adalah hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh

perhatian untuk meyadari adanya rangsangan. Dalam penelitian,

pengamatan adalah suatu prosedur yang berencana, yang antara

lain meliputi melihat, dan mencatat jumlah dan taraf aktifitas

tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti

(Notoatmodjo, 2012)

62
63

b. Pengukuran

Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan

menggunakan metode pembacaan langsung dan alat Termometer

serta Hygrometer.

IV.5.2. Pengolahan Data

Data yang sudah terkumpul kemudian dilakukan pengolahan

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing (memeriksa)

Editing dalam penelitian ini berupa kegiatan pengecekan

kelengkapan, kejelasan, konsistensi dan keragaman data.

2. Coding (memberi tanda kode)

Coding dalam penelitian ini berupa pemberian kode terhadap

segmen-segmen data berupa angka untuk memudahkan

dalam pengolahan data dengan mengelompokan data.

3. Tabulating (menyusun tabel)

Kegiatan tabulating dalam penelitian ini meliputi

mengelompokkan data sesuai dengan tujuan penelitian

kemudian dimasukkan ke dalam tabel yang telah tersedia.

4. Entry Data (memsukkan data)

Tahap akhir dalam penelitian ini yaitu pemrosesan data

kedalam program komputer dengan aplikasi SPSS 16.0.

63
64

IV.5.3. Penyajian Data

Dalam penelitian ini untuk memudahkan pembacaan data terhadap

hasil penelitian, maka data disajikan dalam bentuk tekstular dan

tabular, yaitu mendiskripsikan analisa dari hasil uji statistik dan tabel.

IV.6. Teknik analisis data

Langkah-langkah dalam melakukan analisis adalah sebagai

berikut:

IV.6.1. Analisis Univariat

Analisis dimana data yang telah terkumpul disajikan

dalam bentuk tabel frekuensi untuk masing-masing variabel yang

diteliti. Analisis univariat dilakukan pada variabel hasil

penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan atau

mendiskripsikan variabel yang telah diteliti (Notoadmojo, 2010).

Dapat di hitung dengan rumus:

f
P= x 100%
n

Keterangan:

P= Proporsi

f= Frekuensi kategori

n= Jumlah sampel

64
65

IV.6.2. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mendapatkan hubungan antara

variabel dependent (Kejadian TB anak (+) dan variabel independent

(riwayat ASI, sosial ekonomi keluarga, kepadatan huni, kelembaban

ruangan, suhu ruangan dan pengetahuan orang tua) apakah variabel

tersebut mempunyai hubungan yang signifikan atau hubungan secara

kebetulan.

1. Uji Chi square

Dalam analisis ini digunakan uji chi square, uji signifikan

menggunakan batas kemaknaan α = 0,05 dengan taraf

signifikansi 95%. Aturan yang berlaku untuk interpretasi uji chi

square pada analisis menggunakan komputer adalah sebagai

berikut:

1) Jika pada tabel silang 2x2 dijumpai expected count

kurang dari 5 lebih dari 20% jumlah sel, maka uji

hipotesis yang digunakan adalah uji alternatif Chi-

Square, yaitu uji fisher. Hasil yang dibaca pada bagian

Fisher,s Exact Test.

2) Pada tabel selain 2x2 atau 2xk maka dilakukan

penggabungan sel, kemudian ulangi kembali analisis

dengan uji Chi- Square.

65
66

3) Jika pada tabel silang 2x2 tidak dijumpai Expected

Count kurang dari 5 atau dijumpai tetapi tidak lebih

dari 20% jumlah sel maka hipotesis yang digunakan

adalah uji Chi-Square. Hasil yang dibaca pada bagian

Continuity correction.

4) Jika tabel silang selain 2x2 tidak dijumpai Expected

Count kurang dari 5 atau dijumpai tetapi tidak lebih

dari 20% jumlah sel, maka uji hipotesis yang

digunakan adalah uji Chi-Square,Hasil yang dibaca

pada bagian Pearson Chi- Square.

Hasil Uji Chi Square dilihat dengan nilai p value <0,05

maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.

Sebaliknya suatu nilai analisa tidak memiliki hubungan apabila

nilai p value > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak, rumus uji

chi-square yang digunakan dalam uji ini adalah sebagai berikut

(Chandra, 2008).

Rumus Chi square:

(0i-Ei)2
X2 = ∑
E

66
67

Keterangan:

X2 = Chi kuadrat hitung

E = frekuensi expected (harapan)

O = frekuensi observasi (amatan)

Setelah X dihitung diketahui, kemudian dibandingkan

dengan daerah kritis penolakan (df) = 2 dan (df) = 1, dengan

level signifikan yang digunakan adalah 95% dan level

kemaknaan yaitu 5% (0,05).

1) Apabila X² hitung > X² tabel maka hasilnya signifikan (Ha

diterima dan Ho ditolak)

2) Apabila X² hitung < X² tabel maka hasilnya tidak signifikan

(Ha ditolak dan Ho diterima).

2. Penentuan Faktor Risiko

Ada tidaknya faktor risiko pada variabel bebas terhadap

variabel tergantung dapat dilihat dari Odds Ratio. Odds

merupakan perbandingan antara probabilitas A (sakit) denagn

probabilitas A (tidak sakit). Lebih jelasnya dapat dilihat dalam

persamaan dibawah ini (Notoatmojo, 2010). Odds ratio (OR)

adalah rasio antar odds dari yang terpapar dengan odds dari yang

tidak terpapar. Odds ratio yang diperoleh dari analisis regresi

67
68

logistik disebut adjusted odds ratio karena asumsinya bahwa

tidak ada pengaruh variabel bebas yang lain (Widarsa, 2010).

Rumus dari odds ratio adalah “ad/bc”, yang menjelaskan

empat cell yang berbeda dengan rumusan sebagai berikut

(Andrade, 2015):

Tabel IV.1 Rumusan Odds Ratio (OR)

Faktor Risiko Faktor Risiko (efek) Total


(TB anak) Tidak Ya
Tidak a b a+b
Ya c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Keterangan:

a = subjek dengan faktor risiko yang mengalami efek

b = subjek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek

c = subjek tanpa faktor risiko yang mengalami efek

d = subjek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek

Simbol “a”merupakan cerminan dari isi cell a. Demikian

pula simbol “b”, “c”, dan “d” masing-masing merupakan

cerminan dari cell b, c, dan cell d. Cell a menunjukkan jumlah

responden yang tidak terpapar faktor risiko dan tidak memiliki

riwayat TB anak. Cell b menunjukkan jumlah responden yang

terpapar faktor risiko tetapi tidak mengalami TB anak. Cell c

menunjukkan jumlah responden terpapar faktor risiko tetapi

68
69

tidak mengalami TB anak. Cell d menunjukkan jumlah

responden yang terpapar faktor risiko dan menderita TB anak.

Semua data yang dikumpulkan merupakan skala data nominal

dikotom.

Interpretasi hasil selain di dasarkan pada nilai confidence interval

(CI) juga didasarkan pada nilai OR dengan parameter sebagai berikut:

1. Jika nilai OR = 1, maka dapat disimpulkan bahwa faktor risiko

bersifat netral, yaitu risiko kelompok terpajan sama dengan

kelompok tidak terpajan.

2. Jika nilai OR > 1 ; nilai confient interval (CI) jika CI > 1 maka

disimpulkan faktor risiko menyebabkan sakit.

3. Jika nilai OR < 1 ; nilai confient interval (CI) jika CI < 1 maka

disimpulkan faktor risiko mencegah sakit.

69
70

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

V.I Hasil Penelitian

V.I.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

V.1.1.1 Geografi

1. Letak geografis

Kecamatan Kelam Permai merupakan salah satu kecamatan

dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Sintang. Kecamatan

Kelam Permai terdiri dari 13 desa yang sebagian besar dapat

ditempuh dengan transportasi darat. Kondisi jalan utama sudah

beraspal dan mudah dijangkau dengan sarana transportasi darat,

tapi jalan menuju desa masih masih banyak yang belum diaspal

melainkan dengan kondisi jalan tanah yang rusak ditambah

dengan jalan menanjak dan berliku (Profil Puskesmas Kebong,

2017).

2. Letak Wilayah

Luas wilayah kerja puskesmas kebong sekitar 417,88 km2

dari luas wilayah Kecamatan Kelam Permai sebesar 523,80 km2

berbagi dengan wilayah kerja puskesmas Nanga Lebang (Profil

Puskesmas Kebong, 2017).

3. Batas Wilayah

Batas wilayah kerja Puskesmas Kebong adalah sebagai

berikut (Profil Puskesmas Kebong, 2017):

70
71

a. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sintang

b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Nanga Mau

dan Kecamatan Dedai

c. Sebelah utara berbatasan langsung dengan Kabupaten

Kapuas Hulu

d. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Dedai dan

sebagian wilayah Kecamatan Sintang.

V.1.1.2 Demografi

Puskesmas Kebong menangani 13 desa binaan yang ada di

Kecamatan Kelam Permai. Jumlah penduduk di wilayah kerja

Puskesmas Kebong tahun 2016 sebanyak 12.911 jiwa, terdiri dari

penduduk wanita sebanyak 6.646 jiwa dan penduduk laki-laki

sebanyak 6.265 jiwa (Profil Puskesmas Kebong, 2017).

Tabel V.1
Distribusi penduduk menurut jenis kelamin di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Kebong Tahun 2016
Jumlah Penduduk Total Penduduk
No Nama Desa Laki-laki Perempuan (jiwa)
1 Kebong 1.092 1.030 2.122
2 Sepan Lebang 349 327 676
3 Pelimping 574 541 1.115
4 Sungai Pukat 353 333 686
5 Bengkuang 500 471 971
6 Sungai Maram 770 725 1.495
7 Baning Panjang 853 804 1.657
8 Ensaid Panjang 306 289 595
9 Gemba Raya 517 489 1.006
10 Merpak 527 497 1.024
11 Kelam Sejahtera 297 280 577
12 Sungai Labi 293 277 570
13 Landau Kodam 215 202 417
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang, 2016

71
72

V.1.3 Sosial Ekonomi

Penduduk sebagian besar adalah suku dayak dan menganut

agama Katolik. Bahasa pengantar dalam pergaulan sehari-hari

adalah bahasa dayak dan sebagian besar penduduk bermata

pencaharian sebagai petani dan berkebun (Karet dan Sawit)

(Profil Puskesmas Kebong, 2017).

V.1.4 Tenaga Kesehatan

Ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas Kebong adalah

sebagai berikut:

Tabel V.2
Jenis Ketenagaan di UPTD Puskesmas Kebong Tahun 2016
No Jenis Ketenagaan Tahun 2016
1 Kepala Puskesmas 1
2 Kepala Tata Usaha 1
3 Dokter Umum 2
4 Dokter Gigi 1
5 Perawat Kesehatan 28
6 Perawat Gigi 1
7 Bidan Puskesmas 4
8 Bidan Desa 9
9 Bendahara Puskesmas 2
10 Petugas Gizi 1
11 Petugas Farmasi 1
12 Petugas Laboratorium 1
13 Petugas Kesehatan Lingkungan 1
14 Tenaga Tata Usaha 1
15 Tenaga Promkes (kontrak dinkes) 1

Jumlah 55

Sumber: Tata Usaha Puskesmas Kebong, 2016

V.2 Gambaran Proses Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan mulai tanggal 10

September 2018. Sebelum melakukan pengumpulan data peneliti berkordinasi

72
73

dan meminta ijin terlebih dahulu kepada puskesmas dengan memberikan

surat ijin penelitian. Data primer dalam penelitian ini didapat dari hasil

pengukuran dan wawancara langsung dengan responden penelitian dengan

menggunakan kuesioner yang terstruktur. Peneliti melakukan pengambilan

data secara langsung tanpa bantuan pihak lain.

Sebelum melakukan wawancara responden terlebih dahulu diberi

penjelasan dan menyampaikan maksud dan tujuan dari penelitian, dan

pengambilan data dilakukan setelah responden menyatakan setuju dan

bersedia menandatangani informed consent. Pengambilan data meliputi data

anak, data orang tua, pengetahuan, dan pengukuran langsung meliputi luas

ruangan, kelembaban udara dan suhu ruangan.

Pada saat melakukan penelitian terhadap 40 kasus TB anak terdapat 12

anak tidak dapat dijadikan sampel (kriteria eksklusi) dikarenakan pindah

domisili ikut orang tuanya, 1 anak pindah domisili ke wilayah kecamatan

lain, 10 anak pindah domisili disebabkan karena orangtuanya pindah tugas

kabupaten lain dan 1 anak umurnya sudah diatas 5 tahun.

Tabel V.3
Kegiatan Pelaksanaan Penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Kebong Tahun 2018
No Kegiatan Lokasi Sasaran Waktu pelaksanaan
1 Penentuan sampel Kebong 28 kasus 9 September 2018
menggunakan total 28 kontrol
sampling
2 Mengatur jadwal Kebong 13 Desa 10 September 2018
penelitian
3 Pengumpulan data Kebong 28 kasus 12 – 20 September
28 kontrol 2018
4 Pengolahan data Sintang Coding, Entry data 21-26 September 2018

5 Analisis data Sintang Analisis, pembahasan 28 September 2018


dan simpulan
Sumber: Data Primer, 2018

73
74

Populasi Studi

Kasus Kontrol

Target Target

Studi Studi

Kriteria Inklusi Kriteria Inklusi

Sampel: 40 kasus + 40 kontrol

Inform Consent
Wawancara (Kuesioner)
Pengukuran Langsung Fisik Rumah
Dokumentasi

Pengolahan Data:
Editing
Coding
Entry Data
Cleaning

Analisis Data

Hasil dan
pembahasan

Gambar V.1 Bagan alur penelitian

74
75

V.3 Karakteristik Responden

Jumlah responden pada peneliian ini adalah 56 ibu anak sedangkan

sampel yang digunakan adalah anak sebanyak 28 anak pada kelompok kasus

dan 28 anak pada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil wawancara dengan

kuesioner dan pengukuran langsung diperoleh data sebagai berikut:

V.3.1 Karakteristik Ibu

1. Pendidikan

Variabel pendidikan ibu dalam penelitian ini dibagi menjadi 5

yaitu TS, SD, SMP, SMA dan Diploma/PT. Distribusi frekuensi

responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel

V.4 sebagai berikut:

Tabel V.4
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Pendidikan
Pendidikan n %
Tidak sekolah 1 1,8
SD 22 39,3
SMP 9 16,1
SMA 15 26,8
Diploma/Perguruan Tinggi 9 16,1
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel V.4 dapat dilihat bahwa sebagian besar

responden berpendidikan SD yaitu sebesar 39,3%, dan hanya

sebagian kecil berpendidikan tinggi yaitu sebesar 16,1%.

2. Pekerjaan

Variabel pekerjaan yang menjadi mata pencaharian mayoritas

masyarakat yaitu petani dan pekebun. Pegawai Negeri Sipil(PNS),

75
76

pegawai swasta, wiraswasta, dan lainnya. Distribusi frekuensi dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel V.5
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Pekerjaan
Pekerjaan N %
Tidak bekerja/IRT 12 21,4
PNS 1 1,8
Pegawai swasta 3 5,4
Petani 29 51,8
Wiraswasta 8 14,3
lainnya 3 5,4
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Dari tabel V.5 diketahui bahwa sebagian besar responden

bekerja sebagai petani yaitu sebesar 51,8% responden dan sebagian

kecil responden bekerja pada bidang lainnya yaitu PNS (1,8%),

pedagang keliling (1,8%), pengrajin (1,8%), dan penenun (1,8%).

V.3.2 Karakteristik Anak

1. Jenis Kelamin

Karakteristik anak menurut jenis kelamin diperoleh dari hasil

match dari masing-masing kelompok antara kelompok kasus dan

kelompok kontrol. Distribusi frekuensi jenis kelamin dapat dilihat

pada tabel dibawah ini:

Tabel V.6
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Kelompok Kasus Dan
Kontrol
Jenis kelamin N %
Laki-laki 22 39,3
Perempuan 34 60,7
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

76
77

Berdasarkan tabel V.6 dapat diketahui bahwa sebagian besar

sampel berjenis kelamin kelamin perempuan yaitu sebesar 60,7%

dan sebagian kecil berjenis kelamin laki-laki sebesar 39,9%.

2. Umur Anak

Umur anak berdasarkan penelitian diketahui bahwa umur

anak rata-rata berusia antara 36-59 bulan. Sebagaimana dapat di lihat

pada tabel V.7 sebagai berikut:

Tabel V.7
Distribusi Frekuensi Umur Anak Kelompok Kasus Dan Kontrol
Umur anak N %
12-35 bulan 18 32,1
36-59 bulan 38 67,9
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel V.7 dapat diketahui bahwa dari 56

anak,sebagian besar usia anak berada pada umur 36-59 bulan yaitu

67% dan sebagian kecil usia anak berada pada kelompok umur 12-35

bulan yaitu 32,1%

3. Berat Badan Lahir

Berdasarkan hasil penelitian bahwa berat badan lahir anak

dikategorikan berat badan lahir rendah (BBLR) jika berat lahir

<2500 gr dan kategori normal jika berat lahir >2500 gr. Dapat dilihat

pada tabel V.8 sebagai berikut:

77
78

Tabel V.8
Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir Anak Kelompok Kasus
Dan Kontrol

Berat Badan Lahir n %


BBLR 8 14,3
Normal 48 85,7
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer 2018

Berdasarkan tabel V.8 diperoleh hasil bahwa dari 56 anak

yang diambil sebagai sampel, sebagian besar anak memiliki berat

lahir normal yaitu 85,7% dan sebagian kecil memiliki riwayat BBLR

yaitu sebesar 14,3%.

4. Riwayat Kontak dengan Penderita TB

Berdasarkan hasil penelitian bahwa riwayat kontak

dikategorikan menjadi ada dan tidak ada kontak penderita. Distribusi

frekuensi riwayat kontak dapat dilihat pada tabel V.10 sebagai

berikut:

Tabel V.10
Distribusi Frekuensi Riwayat kontak Anak Kelompok Kasus Dan
Kontrol
Riwayat Kontak Penderita n %
Ada 19 33,9
Tidak ada 37 66,1
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer 2018

Tabel V.10 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak tidak memiliki

riwayat kontak penderita TB sebesar 66,1% dan sebagian kecil anak

yang memiliki riwayat kontak dengan penderita tuberculosis dewasa

positif yaitu sebesar 33,9%.

78
79

5. Riwayat ASI Eksklusif

Riwayat ASI eksklusif berdasarkan hasil penelitian yaitu

riwayat pemberian makanan lain selain air susu ibu (ASI) sebelum 6

bulan. Kategori tidak ASI eksklusif apabila bayi diberikan makanan

lain termasuk air putih dan kategori eksklusif apabila bayi hanya

diberikan ASI saja sampai dengan usia 6 bulan. Dapat dilihat pada

tabel V.9 sebagai berikut:

Tabel V.9
Distribusi Frekuensi Riwayat ASI ekslusif Anak Kelompok
Kasus Dan Kontrol

Riwayat ASI Eksklusif n %


Tidak ASI Eksklusif 50 89,3
ASI Eksklusif 6 10,7
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer 2018

Berdasarkan tabel V.9 dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar anak tidak mendapatkan ASI eksklusif sebesar 89,3% dan

sebagian kecil anak yang mendapatkan riwayat ASI eksklusif yaitu

sebesar 10,7%.

V.4 Analisis Univariat

1. Status Ekonomi

Variabel status ekonomi di kategorikan menjadi 2 yaitu rendah dan

tinggi berdasarkan pendapatan keluarga dalam satu bulan. Kategori

rendah yaitu penghasilan responden yang kurang dari UMR yaitu sebesar

Rp. 2.025.000,- dan kategori tinggi jika penghasilan perbulan lebih dari

UMR. Dapat dilihat pada tabel distribusi frekuensi dibawah ini:

79
80

Tabel V.11
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Ekonomi
Status Ekonomi n %
Rendah 44 78,6
Tinggi 12 21,4
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel V.11 Dapat disimpulkan 56 responden diketahui

bahwa sebagian besar responden berpenghasilan rendah yaitu sebesar

78,6% dan sebagian kecil responden berpenghasilan tinggi yaitu sebesar

21,4%.

2. Pengetahuan Ibu

Variabel pengetahuan dikatakan rendah jika total skor kurang dari

nilai mean (≤9,29) dan baik jika lebih besar dari nilai mean (>9,29).

Dapat dilihat pada tabel distribusi frekuensi di bawah ini:

Tabel V.12
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan

Pengetahuan N %
Kurang Baik 28 50,0
Baik 28 50,0
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel V.12 dapat dilihat bahwa proporsi

responden yang memiliki pengetahuan baik dan kurang baik

memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 50%.

Terdapat 15 pertanyaan yang diajukan kepada responden untuk

melihat seberapa jauh responden mengetahui penyakit TB anak,

penularan, gejala, dan cara pencegahan. Distribusi data yang normal

sehingga pengkategorian didasarkan pada nilai mean. Didapatkan

80
81

hasil bahwa 85,7% responden berpengetahuan rendah dan 85,7%

berpengetahuan baik. Adapun analisis pertanyaan pengetahuan TB

anak adalah sebagai berikut:

Tabel V.13
Analisis Per Item Pertanyaan Kuesioner Pengetahuan
Salah Benar
No Pertanyaan
F % f %
1 Definisi TB anak 5 8,9 51 91,1
2 Penyebab TB anak 27 48,2 29 51,8
3 Cara penularan TB 29 51,8 27 48,2
4 Cara pencegahan TB anak 20 35,7 36 64,3
5 Risiko penularan TB anak 23 41,1 33 58,9
6 Lingkungan fisik rumah yang sehat 8 14,3 48 85,7
7 Perilaku pencegahan TB 28 50,0 28 50,0
8 Manfaaf pola makan yang sehat 25 44,6 31 55,4
9 Cara membuang dahak yang benar 30 53,6 26 46,4
10 Kebiasaan yang dianjurkan 17 30,4 39 69,6
11 Ciri dan gejala TB anak 27 48,2 29 51,8
12 Manfaat imunisasi BCG 40 71,4 16 28,6
13 Yang harus dilakukan jika terinfeksi TB 5 8,9 51 91,1
14 TB anak bis adisembuhkan 10 17,9 46 82,1
15 Standar rumah sehat 26 46,4 30 53,6
Sumber: Data Primer, 2018

Dari tabel V.13 dapat disimpulkan bahwa responden masih belum

mengetahui manfaat dari imunisasi BCG yaitu sebesar 71,4% dan masih

rendahnya pengetahuan reponden tentang cara membuang dahak yang

benar yaitu sebesar 53,6%. Responden sudah mengetahui mengenai

definisi TB anak yaitu sebesar 91,1% dan mengetahui tindakan yang harus

dilakukan jika terinfeksi TB yaitu sebesar 91,1%

3. Kelembaban Udara

Kelembaban udara dikategorikan memenuhi syarat jika berada pada

rentang suhu ruangan antara 40%- 70% dan tidak memenuhi syarat jika

81
82

kurang dari 40% dan lebih dari 70%. Distribusi frekuensi kelembaban

udara dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel V.14
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelembaban Udara
Kelembaban Udara N %
Tidak memenuhi syarat 17 30,4
Memenuhi syarat 39 69,9
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel V.15 bahwa sebagian

besar terdapat anak tinggal di ruangan yang kelembaban udara memenuhi syarat

yaitu sebesar 69,9% dan sebagian kecil yang tidak memenuhi syarat yaitu sebesar

30,4%.

4. Suhu Ruangan

Suhu ruangan dikategorikan memenuhi syarat jika berada pada

rentang suhu antara 18o-30o dan tidak memenuhi syarat jika kurang dari

18o dan lebih dari 30o. Distribusi frekuensi suhu ruangan dapat dilihat pada

tabel sebagai berikut:

Tabel V.15
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Suhu Ruangan
Suhu Ruangan N %
Tidak memenuhi syarat 17 30,4
Memenuhi syarat 39 69,6
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel V.16 bahwa

sebagian besar anak sudah tinggal di suhu ruangan yang memenuhi syarat

yaitu sebesar 69,6% dan sebagian kecil anak tinggal di suhu ruangan yang

tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 30,4%.

82
83

5. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dikategorikan memenuhi syarat jika luas ruangan

tidur lebih dari 9 m2/orang dan tidak memenuhi syarat jika kurang dari 9

m2/orang. Distribusi frekuensi kepadatan hunian dapat dilihat pada tabel

sebagai berikut:

Tabel V.16
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian
Kepadatan Hunian N %
Tidak memenuhi syarat 30 53,6
Memenuhi syarat 26 46,4
Total 56 100,0
Sumber: Data Primer, 2018

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel V.14 bahwa sebagian

besar anak tinggal di rumah yang luas, ruang tidurnya tidak memenuhi syarat pada

yaitu sebesar 60,7% dan sebagian kecil anak ruang tidurnya memenuhi syarat

yaitu sebesar 46,4%

V.5 Analisis Bivariat

Hasil analisis bivariat untuk kejadian TB anak pada masing-masing

variabel antara lain:

1. Hubungan antara riwayat ASI eksklusif dengan kejadian TB anak

Tabel V.17
Hasil analisis hubungan antara riwayat ASI eksklusif terhadap
kejadian TB anak
Riwayat ASI Kasus Kontrol Total P value OR 95%
Eksklusif f % f % N % CI
Tidak Asi 26 92,9 24 85,7 50 89,3 0,669 2,167 0,363-
Eksklusif 2 7,1 4 14,3 6 10,7 12,922
Asi Eksklusif
Total 28 100 28 100 56 100
Sumber: Data primer, 2018

83
84

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan riwayat

tidak ASI Eksklusif cenderung menderita TB anak sebesar 92,9% lebih

besar dibandingkan dengan yang tidak menderita TB anak yaitu sebesar

85,7%. Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa nilai p value

sebesar 0,669 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara

riwayat ASI eksklusif orang tua dengan kejadian TB anak .

2. Hubungan antara pengetahuan orang tua dengan kejadian TB anak

Tabel V.18
Hasil analisis hubungan antara pengetahuan terhadap
kejadian TB anak
Pengetahuan Kasus Kontrol Total P OR 95% CI
F % f % N % value
Kurang Baik 24 85,7 4 14,3 28 50 0,000 36,000 8,057-
Baik 4 14,3 24 85,7 28 50 160,849
Total 28 100 28 100 56 100
Sumber: Data primer, 2018

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang

pengetahuannya kurang baik cenderung menderita TB anak sebesar

85,7% lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menderita TB anak

yaitu sebesar 14,3%. Hasil uji chi square menunjukkan nilai p value

sebesar 0,000 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara

pengetahuan orang tua dengan kejadian TB anak .

Hasil uji statistik yang menunjukkan nilai OR sebesar 36,000

yang berarti orang tua yang pengetahuannya kurang baik berisiko 36 kali

anaknya untuk terkena penyakit TB anak dibandingkan dengan orang tua

yang pengetahuannya baik.

84
85

3. Hubungan antara status ekonomi dengan kejadian TB anak

Tabel V.19
Hasil analisis hubungan antara status ekonomi terhadap kejadian TB
anak
Status Ekonomi Kasus Kontrol Total P OR 95%
f % f % N % value CI
Rendah (<UMR) 24 85,7 20 71,4 44 78,6 0,329 2,400 0,629-
Tinggi (>UMR) 4 14,3 8 28,6 12 21,4 9,156
Total 28 100 28 100 56 100
Sumber: Data primer, 2018

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang status

ekonominya rendah cenderung menderita TB anak sebesar 85,7% lebih

besar dibandingkan dengan yang tidak menderita TB anak yaitu sebesar

71,4%. Hasil uji chi square menunjukkan nilai p value sebesar 0,329

yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi

orang tua dengan kejadian TB anak .

4. Hubungan antara kelembaban ruangan dengan kejadian TB anak

Tabel V.20
Hasil analisis hubungan antara kelembaban ruangan terhadap
kejadian TB anak
Kelembaban Kasus Kontrol Total P OR 95%
Ruangan F % f % N % value CI
a. Tidak memenuhi 10 35,7 7 25,0 17 30,4 0,561 1,667 0,52
syarat (<40% dan 6-
>70%) 5,27
b. Memenuhi syarat 18 64,3 21 75,0 39 69,6 9
(40%-70%)
Total 28 100 28 100 56 100
Sumber: Data primer, 2018

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tinggal di

rumah dengan kelembaban ruangan kamar tidur yang tidak memenuhi

syarat cenderung menderita TB anak sebesar 35,7% lebih besar

85
86

dibandingkan dengan yang tidak menderita TB anak yaitu sebesar 25,0%.

Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa nilai p value

sebesar 0,561 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara

kelembaban ruangan kamar tidur dengan kejadian TB anak .

5. Hubungan antara suhu ruangan dengan kejadian TB anak

Tabel V.21
Hasil analisis hubungan antara suhu ruangan terhadap
kejadian TB anak
Suhu Ruangan Kasus Kontrol Total P OR 95%
F % f % N % value CI
a. Tidak memenuhi 9 32,1 8 28,6 17 30,4 1,000 1,184 0,378-
syarat (<18o dan 3,705
>30o) 19 67,9 20 71,4 39 69,6
b. Memenuhi syarat
(18o-30o)
Total 28 100 28 100 56 100
Sumber: Data primer, 2018

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tinggal di

rumah dengan suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat cenderung

menderita TB anak sebesar 32,1%, lebih besar dibandingkan dengan yang

tidak menderita TB anak yaitu sebesar 28,6%. Berdasarkan hasil uji chi

square menunjukkan bahwa nilai p value sebesar 1,000 yang artinya

tidak ada hubungan yang signifikan antara suhu ruangan rumah dengan

kejadian TB anak .

86
87

6. Hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB anak

Tabel V.22
Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian terhadap kejadian
TB anak
Kepadatan Kasus Kontrol Total P OR 95%
Hunian f % f % N % value CI
a. Tidak 17 60,7 13 46,4 30 53,6 0,421 1,783 0,617-
memenuhi syarat 5,155
(<9m2/org) 11 39,3 15 53,6 26 46,4
b. Memenuhi
syarat (>9m2/org)
Total 28 100 28 100 56 100
Sumber: Data primer, 2018

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tinggal di

rumah dengan kepadatan hunian tidak memenuhi syarat cenderung

menderita TB anak sebesar 60,7%, lebih besar dibandingkan dengan yang

tidak menderita TB anak yaitu sebesar 46,4%. Berdasarkan hasil uji chi

square menunjukkan bahwa nilai p value sebesar 0,421 yang artinya tidak

ada hubungan yang signifikan antarakepadatan hunian rumah dengan

kejadian TB anak .

V.5 Pembahasan

1. Hubungan antara riwayat ASI eksklusif dengan kejadian TB anak

Hasil penelitian diperoleh nilai p value sebesar 0,669 yang

menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara riwayat ASI

eksklusif dengan kejadian TB anak. Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2009) bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan

kejadian TB anak. ASI mengandung zat kekebalan yang akan melindungi

87
88

bayi dari penyakit infeksi, baik bakteri, virus, parasit dan jamur.

Pemberian ASI eksklusif akan mengurangi risiko terkena sakit yang berat,

selain itu pemberian makanan padat terlalu dini dapat meningkatkan

angka kesakitan pada bayi (Wicaksono, 2009).

Hasil penelitian ini bertentangan dengan teori tersebut

kemungkinan karena sulitnya menjumpai ibu yang memberikan ASI

eksklusif kepada anaknya dan hanya ditemukan 10,3% responden yang

memberikan ASI secara eksklusif kepada anaknya. Hal ini di dukung oleh

pengakuan ibu sebesar 73,2% pada saat wawancara bahwa bayi <6 bulan

menurut responden boleh diberikan air putih, 25% ibu mengatakan boleh

diberikan susu formula agar bayi cepat gemuk, 25% ibu mengatakan

boleh diberikan nasi pirit atau kole-kole, 12,5% ibu mengatakan boleh

memberikan nasi lumat agar bayi cepat tumbuh kuat badannya, 8,9% ibu

memberikan air tajin atau air nasi,5,4% ibu mengatakan bayi harus diberi

madu, dan 1,8% ibu mengatakan harus diberi ramuan tradisional agar bayi

sehat.

2. Hubungan antara pengetahuan orang tua dengan kejadian TB anak

Hasil analisis didapatkan nilai p value sebesar 0,000 menunjukkan

adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua dengan

kejadian TB anak dan nilai OR sebesar 36,00 yang artinya anak yang

memiliki orang tua dengan pengetahuan kurang akan berisiko 36 kali

lebih besar untuk anaknya mengalami TB anak. Penelitan ini sejalan

dengan penelitian Wicaksono (2009) yang menyebutkan bahwa anak

88
89

dengan orang tua berpengetahuan kurang baik berisiko 0,25 kali untuk

mendetita TB dibandingkan anak dengan orang tua berpengetahuan baik.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kusuma (2011) juga

mendapatkan hasil yang sama yaitu ada hubungan pengetahuan orang tua

yang rendah dengan penyakit TB anak, didapatkan hasil analisis nilai p

value <0,05. Pengetahuan tentang penyakit TB dan cara pencegahannya

menjelaskan bahwa pendidikan kesehatan berperan penting dalam

mengubah perilaku dan mendapatkan pengetahuan serta motivasi untuk

mencegah penyakit.

Seperti yang diungkapkan Notoatmodjo bahwa pengetahuan

merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk tindakan

seseorang. Pendidikan, pengetahuan dan sikap yang positif akan menjadi

suatu perubahan perilaku yang positif. Pengetahuan yang benar terhadap

sesuatu seseorang juga dharapkan dapat menghasilkan keputusan yang

tepat (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan tentang TB anak akan membuat seseorang

mempunyai gambaran seperti apa penyakit TB anak itu dan menjadi lebih

sadar, peka serta waspada terhadap diri sendiri, anggota keluarga, maupun

orang sekitar yang memiliki gejala penyakit TB. Diharapkan dengan

kesadaran untuk segera memeriksakan diri ataupun membawa orang

dengan gejala TB ke pelayanan kesehatan setempat dengan tujuan

meminimalisir penularan dan upaya pencegahan infeksi bakteri TB.

89
90

Disarankan kepada tenaga kesehatan dan instansi terkait agar

proaktif memberikan edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang

penyakit TB, cara penularannya dan cara pencegahannya serta cara hidup

bersih dan sehat.

3. Hubungan antara status ekonomi dengan kejadian TB anak

Hasil analisis diperoleh nilai p value sebesar 0,329 dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan secara

statistik antara status ekonomi orang tua dengan kejadian TB anak dengan

nilai odds ratio sebesar 2,400 yang artinya anak yang memiliki orang tua

dengan penghasilan rendah akan berisiko 2,4 kali lebih besar akan

menderita TB anak dibandingkan dengan orang tua yang memiliki status

ekonomi yang tinggi.

Menurut WHO 90% penderita TB di dunia menyerang pada

kelompok ekonomi rendah atau miskin. Secara teori penelitian ini berbeda

dengan teori yang ada karena seharusnya status ekonomi memiliki

kontribusi besar terhadap kejadian TB anak (WHO, 2014)

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Inggariwati (2008) bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara

kondisi sosial ekonomi dengan kejadian TB anak. Hasil penelitian ini

mematahkan anggapan bahwa penyakit TB hanya diderita oleh penduduk

miskin saja. Penyakit ini bisa menyerang semua usia, semua golongan

sosial ekonomi. Walaupun mayoritas responden berpenghasilan rendah

baik pada kelompok kasus (85,7%) maupun kontrol ( 71,4%) tetapi

90
91

ditemukan sebesar 14,3% penderita TB anak adalah dari keluarga

berpenghasilan tinggi.

Adapun faktor yang menyebabkan tidak bermaknanya penelitian

ini dimungkinkan karena adanya ketidak jujuran responden saat

menyampaikan jumlah penghasilan pada saat wawancara. Ditemukan

beberapa responden tidak mau menyebutkan penghasilan keluarganya

dalam sebulan.

4. Hubungan antara kelembaban ruangan dengan kejadian TB anak

Hasil penelitian menunjukan bahwa kelembaban ruangan tidak

memiliki hubungan dengan kejadian TB anak p value sebesar 0,561 dan

kelembaban ruangan merupakan faktor risiko (OR>1) terhadap kejadian

TB anak ,OR sebesar 1,667; 95% CI sebesar 0,526-5,279.

Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan

mikroorganisme termasuk kuman TB. Keputusan menteri Kesehatan

tentang persyaratan kesehatan perumahan bahwa kelembaban udara

berkisar 40-70 %. Kelembaban menjadi faktor risiko terjadinya penularan

TB anak yang tinggal pada rumah dengan kelembaban tidak memenuhi

syarat 1,667 kali dibanding dengan anak yang tinggal di rumah dengan

kelembaban yang memenuhi syarat.

Untuk mencegah terjadinya penularan basil tuberkel menurut

shulman et al. menganjurkan untuk mengurangi ketidaknyamanan

ruangan yang disebabkan oleh kelembaban udara dengan memberikan

ventilasi yang cukup, karena jika pada rumah ada anggota keluarga

91
92

menderita penyakit TB Paru, disertai dengan udara yang lembab, maka

orang-orang yang kontak dengan penderita 25-50% akan mudah terinfeksi

dan total 5-15% individu yang terinfeksi berkembang menjadi TB paru

(+).

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Satrio dan Naning (2015) bahwa kelembaban rumah memiliki hubungan

dengan kejadian TB Paru pada anak. Kelembaban rumah tidak memenuhi

syarat berisiko 3,09 kali menderita TB dibandingkan rumah dengan

kelembaban memenuhi syarat. Hal ini disebabkan karena menurut hasil

analisa baik kasus maupun kontrol sebagian besar anak tinggal pada

rumah yang memiliki kelembaban ruangan yang memenuhi syarat yaitu

sebesar 64,3% pada kelompok kasus dan 75,0% pada kelompok kontrol.

5. Hubungan antara suhu ruangan dengan kejadian TB anak

Hasil penelitian menunjukan bahwa suhu ruangan tidak memiliki

hubungan dengan kejadian TB anak p value sebesar 1,000 dan nilai OR

sebesar 1,184 yang artinya jika suhu ruangan tidak memenuhi syarat

maka akan meningkatkan risikoanak terserang TB anak1,1 kali lebih

besar dibandingkan anak yang tidur pada ruangan yang memenuhi syarat.

Mikrobakterium tuberculosis tidak tahan terhadap panas dan akan

mati pada pemanasan suhu 60oC selama 15-20 menit. Ketahanan hidup

mikrobakterium tuberculosis sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya.

Kuman akan mati jika terkena cahaya matahari langsung selama 2 jam.

Jika dalam spuntum dapat bertahan 20-30 menit. Sebaiknya rumah yang

92
93

sehat memiliki pencahayaan alami sinar matahari yang mengandung

cahaya alam yang berisi ultra violet.

Penelitian ini juga tidak sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hera.T.S.Batti (2013) di Wilayah kerja Puskesmas Wara

Utara Kota Palopo bahwa variabel suhu secara satistik bermakna dimana

odds ratio sebesar 9,117 dimana masyarakat yang suhu ruangan nya

<180C atau >300C ( tidak normal atau tidak memenuhi syarat)

kemungkinan menderita penyakit tuberkulosis paru 9 kali dibandingkan

dengan masyarakat yang suhu ruagannya >18oC-30oC (normal atau

memenuhi syarat) (Hera, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti

Fatimah (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna

antara suhu ruangan dengan kejadian tuberkulosis paru, dimana p =0,029

dan OR=2,674 .

Tidak terbuktinya suhu ruangan dengan terjadinya TB anak

dikarenakan karena dari hasil observasi diperoleh data bahwa sebagian

besar anak baik kasus maupun kontrol tinggal di rumah dengan suhu yang

sudah memenuhi syarat yaitu sebesar 67,9% pada kasus dan 71,4% pada

kontrol.

6. Hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB anak

Hasil penelitian menunjukan bahwa kepadatan hunian tidak

memiliki hubungan dengan kejadian TB anak p value sebesar 0,421 dan

nilai OR sebesar 1,783 yang artinya anak yang tinggal di rumah yang

padat hunian <9m2/org berisiko 1,7 kali lebih besar menderita TB anak

93
94

dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang memiliki

kepadatan hunian yang memenuhi syarat.

Kepadatan merupakan prasyarat untuk proses penularan penyakit,

semakin padat maka perpindahan penyakit melalui udara semakin mudah

dan cepat, karena itu kepadatan merupakan variabel yang berperan

terhadap kejadian TB. Kepadatan hunian dapat meningkatkan

kemungkinan paparan Mycobacterium dan perkembangan penyakit, risiko

paparan juga meningkat jika ada gerakan udara yang terbatas diruang

yang tertutup. penelitian di Kanada ditemukan bahwa peningkatan 0,1

orang perkamar meningkatkan resiko dua atau lebih kasus TB 40% di

masyarakat ( Santoso, 2011).

Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah

sehat dimana luas kamar tidur minimal 9m2 dan tidak dianjurkan

digunakan lebih dari 2 orang kecuali anak dibawah 5 Tahun. Kepadatan

hunian dapat mendorong terjadi penularan mikroorganisme pernafasan

yang terjadi bisa melewati batuk, bersin dilontar melalui droplet nuclei

yang melayang diudara dalam waktu lama sehingga dapat dihisap oleh

individu lain. (Depkes, 2009).

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

Sofiana dan Sejati (2015) variabel kepadatan hunian rumah memperoleh

nilai P value 0,422 < 0,05 berarti tidak ada hubungan antara kepadatan

hunian rumah dengan terjadinya tuberkulosis di Puskesmas Depok 3

Kabupaten Sleman.

94
95

Rumah yang cukup luas dan tidak padat, kemungkinan tidak

terdapat kuman M. tuberculosis yang masuk ke dalam rumah. Responden

yang memiliki rumah dengan padat penghuninya akan berisiko tertularnya

penyakit tuberkulosis karena sirkulasi udara yang padat penghuninya

berpengaruh terhadap kelembaban rumah sehingga kuman M.

tuberculosis berterbangan di dalam rumah yang padat penghuninya.

Sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kepadatan hunian

rumah bukan merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru atau

tidak ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian

tuberkulosis paru (Fatimah, 2008).

Sama halnya dengan hasil penelitian Rosiana (2013), bahwa

kepadatan hunian tidak ada hubungannya dengan kejadian TB paru di

wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Semarang, hal ini dikarenakan

subjek kasus maupun pembanding mempunyai peluang yang sama untuk

terpapar dan menderita TB paru.

Tidak terbuktinya kepadatan hunian rumah dengan terjadinya

tuberkulosis dikarenakan karena dari hasil observasi diperoleh data bahwa

rata- rata kepadatan hunian rumah 45m2, hal ini masih memenuhi syarat

kesehatan artinya luas rumah masih sebanding dengan jumlah

penghuninya, sehingga tidak menyebabkan overcrowded dan

kemungkinan kecil untuk terkena tuberkulosis.

95
96

V.6 Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari akan adanya keterbatasan yang dapat mempegaruhi

hasil penelitian. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian hanya meneliti beberapa faktor saja dari sekian banyak faktor

penyebab terjadinya TB anak, masih banyak faktor lain yang bisa

diangkat dan kemungkinan bisa menjadi faktor risiko

2. Adanya kesulitan responden saat menjawab butir pertanyaan pada lembar

kuesioner sehingga membutuhkan ekstra waktu untuk menjelaskan secara

rinci

96
97

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa

dari 56 responden yang terdiri dari 28 responden kelompok kasus dan 28

responden kelompok kontrol didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Sebagian besar anak tidak mendapatkan ASI eksklusif sebesar 89,3%

dan sebagian kecil anak yang mendapatkan riwayat ASI eksklusif

yaitu sebesar 10,7%.

2. Sebagian besar anak tidak memiliki riwayat kontak penderita TB

sebesar 66,1% dan sebagian kecil anak yang memiliki riwayat kontak

dengan penderita tuberculosis dewasa positif yaitu sebesar 33,9%.

3. Sebagian besar anak tinggal di rumah yang luas, ruang tidurnya tidak

memenuhi syarat pada yaitu sebesar 60,7% dan sebagian kecil anak

ruang tidurnya memenuhi syarat yaitu sebesar 46,4%.

4. Sebagian besar terdapat anak tinggal di ruangan yang kelembaban

udara memenuhi syarat yaitu sebesar 69,9% dan sebagian kecil yang

tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 30,4%.

5. Sebagian besar anak sudah tinggal di suhu ruangan yang memenuhi

syarat yaitu sebesar 69,6% dan sebagian kecil anak tinggal di suhu

ruangan yang tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 30,4%.

6. Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua dengan

kejadian TB anak p value sebesar 0,000; OR sebesar 36,00.

97
98

7. Tidak ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi orang tua

dengan kejadian TB anak p value sebesar 0,329; OR sebesar 2,400.

8. Tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat ASI eksklusif

dengan kejadian TB anak p value sebesar 0,666 ;OR sebesar 2,167.

9. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan

kejadian TB anak p value sebesar 0,421; OR sebesar1,783.

10. Tidak ada hubungan yang signifikan antara suhu ruangan dengan

kejadian TB anak p value sebesar 1,000; OR sebesar 1,184.

11. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban udara dengan

kejadian TB anak p value sebesar 0,561; OR sebesar 1,667.

VI.2 Saran

VI.2.1 Bagi Puskesmas

1. Melakukan pencarian kasus baru secara aktif untuk menemukan

suspek dan memutus rantai penularan. Pencarian kasus baru dapat

dilakukan dengan pemeriksaan kontak serumah sedini mungkin

bagi penderita tuberkulosis dewasa untuk mencegah anak yang

tinggal serumah atau di sekitar tetangga kasus terinfeksi

tuberkulosis

2. Selain melakukan pencarian kasus kegiatan yang dapat dilakukan

instansi terkait adalah melakukan konseling gizi saat pertama

anak didiagnosis tuberkulosis khususnya terkait asupan nutrisi

anak selama sakit. Mengingat ada 3 angka tertinggi jawaban yang

salah dari responden mengenai, jenis dan manfaat imunisasi, cara

98
99

membuang dahak yang benar dan tentang penyakit TB anak serta

pengananannya yang harus dilakukan saat terinfeksi TB.

Penyuluhan wajib kembali rutin dilakukan tentang jenis dan

manfaat imunisasi kepada masyarakat, memberitahukan cara

pembuangan dahak yang benar dan tentang cara pencegahan serta

perawatan TB paru dewasa untuk mencegah kontak kepada anak-

anak tanpa alat perlindungan berupa masker.

3. Melakukan pendampingan selama minum obat dengan tujuan

mencegah terjadinya kegagalan pengobatan karena waktu

pengobatan yang relatif panjang

VI.2.2 Bagi Masyarakat

Keluarga dapat melakukan upaya pencegahan terjadinya

infeksi TB di tingkat rumah tangga dengan menjauhkan atau

mengurangi intensitas kontak anak yang belum terinfeksi TB dengan

anggota keluarga yang menderita TB atau yang mengalami batuk

lama. Keluarga juga dapat berperan melakukan pengasuhan anak dan

lebih selektif untuk mengijinkan anak diasuh oleh orang yang

memiliki tanda gejala penderita tuberculosis.

VI.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Pengkajian ulang terkait variabel lain yang mempengaruhi

kejadian tuberkulosis anak dan riwayat kontak dengan penderita TB

Paru positif di luar keluarga hendaknya perlu dilakukan pada

penelitian berikutnya. Variabel lain dan faktor yang dapat

99
100

dikembangkan antara lain sumber penularan dan lamanya waktu

kontak dengan penderita TB paru dewasa.

100
101

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, N. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan TBC. Jakarta: Depkes RI.

Achmadi. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi. http:


www.rajawana.com/component/cont ent/article/32-health/334-2-
faktor- faktor.yang-mempengaruhi-status- gizi.pdf. akses pada tanggal
03 Juli 2018 pukul 19.22

Aditya, Ig. Dodiet. 2009. Handout: “Metodologi Research” Untuk Prodi D III
Kebidanan Poltekkes Surakarta. Semester V Tahun Akademik 2008 /
2009

Al Asyary dkk. 2017. Tingkat Paparan Terhadap Kejadian Tuberkolosis Anak


Yang Memiliki Kontak Serumah Dengan Penderita Tuberkulosis
Dewasa

Amaral A, Amaral L, Bastos M, Nascimento L, Alves M, Andrade M . (2014).


Prevention Of Lower-Limb Lesions and reduction of morbidity in
diabetic patients. Revista Brasileira De Ortopedia , Vol. 49 Hal: 482-
487. www.rbo.org.br (diakses pada tanggal 25 desember 2017 )

Arikunto. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Atika. 2010. Imunisasi dan Vaksinasi. Bantul: Yogyakarta Nuha medika

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2013. Latent Tuberculosis
Infection: A Guide for Primary Health Care Providers. Available:
www.cdc.gov/tb/publications/ltbi/.../targetedltbi.p.diakses tanggal 27
juli 2018

Chandra ,Budiman. Metode penelitian kesehatan (Jakarta : penerbit buku


kedokteran EGC, 2010)

Darmawan BS, Rifan Fauzie. 2013. Sistem Respirasi. In :Editors. Nelson. Ilmu
Kesehatan Anak Esensial. Ed.6. Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Saunders;2013.p.552- 558

Data P3M, 2017. Data Surveilens Puskesmas Kebong. Puskesmas Kebong

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes

Diani, Darmawan, & Nurhanzah. 2010. Proporsi Infeksi Tuberkulosis dan


Gambaran Faktor Resiko pada Balita yang Tinggal dalam Satu Rumah
dengan Pasien Tuberkulosis Paru Dewasa. jurnal Sari Pediatri, Vol 13,
no 1 Juni 2018.
101
102

Dinkes Kalbar, 2017. Profil Kesehatan Kalimantan Barat tahun 2017.Pontianak:


Pemerintah Provinsi Kalbar

Dinkes Sintang, 2017. Profil Kesehatan Kabupaten Sintang tahun 2017. Sintang:
Pemerintah Kabupaten Sintang

Fatimah, Siti, 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan


Dengan Kejadian Tuberkulosis Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan :
Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari)
Tahun 2008. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal
of Nursing), 2 (3).

Fatimah, Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang


Berhubungandengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap
(Kecamatan: Sidareja,Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrumangu,
Bantarsari) Tahun 2008, Semarang: Tesis. Universitas Diponegoro

Febrian. M. A. 2015. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tb paru


anak di wilayah puskesmas garuda kota bandung. Jurnal ilmu
keperawatan. Vol. III no. 2

Ginanjar, G. 2008. Demam Berdarah: A Survival Guide. Yogyakarta: B-First

Halim, Roni Naning, Dwi Budi Satrio. 2015. Faktor Risiko Kejadian Tb Paru
Pada Anak Usia 1 – 5 Tahun Di Kabupaten Kebumen. Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi. Volume 17, Nomor
2, Hal. 26-39 ISSN:0852-8349 Juli – Desember 2015

Hamidi H. 2011. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku IbuTentang


Pencegahan Penyakit TB Paru dengan Kejadian TB Paru Anak Usia 0-
14Tahun di Balai PengobatanPenyakit Paru-Paru Kota Salatiga Tahun
2010. Skripsi. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Negeri Semarang

Hera.T.S.Batii. 2013. Analisis hubungan antara kondisi ventilasi,kepadatan


hunian, kelembaban udara, suhu, dan pencahayaan alami rumah
dengan kejadian tuberkulosis paru di Wilayah kerja puskesmas Wara
Utara Kota Palopo . Manado FKM UNSRAT

Idreswari dan Kholifah. 2015. Faktor Terjadinya Tuberkulosis Paru Pada Anak
Berdasarkan Riwayat Kontak. Visikes Jurnal Kesehatan Masyarakat
Vol 14, No 2 tahun 2015 ISSN 2549-6557

Indrawati A. 2008. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Kejadian Suspek


Tuberkulosis Pad Baduta Yang Berobat Jalan Di Rst Dr Soedjono Dan
Rsu Tidar Magelang

102
103

Inggariwati. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru


Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta
Selatan Tahun 2008. Skripsi FKM UI

Kemenkes RI, 2017. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2017. Jakarta: Kemenkes
RI

Kemenkes RI, 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:


DirJend Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kemenkes RI, 2016. Petunjuk Teknis Manajemen dan TatalaksanaTB Anak.


Jakarta: DirJend Pencegahan dan pengendalian Penyakit

Kusuma, Irma Surya. 2011. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Tuberculosis (Tb) Paru Pada Anak Yang Berobat Di Puskesmas
Wilayah Kecamatan Cimanggis Depok. Skripsi. FKM UI

Maryunani, A. 2010. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : CV. Trans Info Media

Mudiyono dkk. 2015. Hubungan Antara Perilaku Ibu Dan Lingkungan Fisik
Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Anak Di Kota Pekalongan

Ni Ketut Lisa. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Paru di


PuskesmasKarang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB Tahun 2013.
Bali: Tesis Universitas Udayana

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.


Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi.


Jakarta: Rinerka Cipta.

Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing
Diagnosis Association) NIC-NOC. Mediaction Publishing.

Nurliza Rohayu, Sartiah Yusran dan Karma Ibrahim. 2016. Analisis Faktor Risiko
Kejadian Tb Paru Bta Positif Pada Masyarakat Pesisir Di Wilayah
Kerja Puskesmas Kadatua Kabupaten Buton Selatan Tahun 2016.
Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Halu Oleo

Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.033 Tahun 2012. Tentang Bahan Tambahan
Makanan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Rahajoe NR dkk.2008. Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.


Edisi ke-2. Jakarta:Badan Penerbit IDAI

103
104

Rakhmawati W, dkk.2015. faktor yang berhubungan dengan kejadian


tuberkulosis pada anak di kecamatan ngamprah kabupaten bandung
barat

Roeswandi. 2009. Faktor Determinan Kejadian TB Paru Pada Anak di


Kabupaten Purworejo ProvinsiJawa Tengah. Tesis, Universitas Gadjah
Mada

Rosiana, A.M,. 2013. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru. Unnes Journal of Public Health, 2 (1): 1-8.

Rusnoto. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru pada


Usia Dewasa (Studi Kasus di Balai Pencegahan dan Pengobatan
Penyakit Paru Pati). Semarang: Tesis Universitas Diponegoro

Santoso.B. 2011. Faktor-Faktor Risiko Kondisi Rumah Dan Lingkungan Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Di Kota Palembang Propinsi
Sumatera Selatan. Thesis. Universitas Gadjah Mada

Saryono. 2010. Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Alfabeta

Sejati, Ardhitya. Liena Sofiana. 2015. Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis.


Semarang: Jurnal Kesehatan Masyarakat UNNES.

Setiarni, M, S, Sutomo, H, A, Hariyono, W. 2009. Hubungan Antara Tingkat


Pengetahuan, Status Ekonomi Dan Kebiasaan Merokok Dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa Di Wilayah Kerja
Puskesmas Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan.
Yogyakarta: Jurnal Kes Mas Vol. 5, No. 3, September 2011 : 162-232

Setyanto DB, Rahajoe NN. 2008. Diagnosis tuberkulosis pada anak. Dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: IDAI

Setyanto DB. 2013. Tantangan diagnosis TB pada anak. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia

Shulman, S.T., Phair, J.P., Sommers, H.M., Dasar Biologis dan Klinis Penyakit
Infeksi , Ed. Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
1994 Hal.208.

Siti Nurul Kholifah dan Sri Andarini Indreswari. 2015. Faktor Terjadinya
Tuberkolosis Paru Pada Anak Berdasarkan Riwayat Kontak Serumah

Soetjiningsih. 2010. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

104
105

Sofiana dan Sejati. 2015. Faktor-Faktor Terjadinya Tuberculosis. Jurnal


Kesehatan Masyarakat. FKM Universitas Ahmad Dahlan. Kemas 10 (2)
(2015) 122-128

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta

Sulaifi, 2011, Penyakit TB pada Anak, (online),


(http://www.sulaifi.wordpress.com, diakses 18 Juli 2018)

Sunarjo. 2009. Kesulitan Makan Pada Anak, jurnal Kesehatan Anak. Jakarta:
FKUI

Supariasa, Dewa. 2012. Buku Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Sutiari, N. K & Widarsa, T (2010). Perilaku Makan Dan Pengasuhan Gizi Anak
Balita di Kawasan Pemukiman Kumuh Kota Denpasar. ISBN
978‐602‐8566‐95‐7. Diunduh: Juli 03, 2017. Dari:
https://rusmanefendi.files.wordpress.com

Syafrudin, Damayani, Delmaifanis, 2011. Himpunan penyuluhan kesehatan :


pada remaja, keluarga, lansia dan masyarakat. Jakarta : Trans Info
Media

Wahab, A. Samik. 2012. Sistem Imun Imunisasi dan Penyakit Imun. Jakarta:
Widya Medika.

WHO. 2014. Guidance for national tuberculosis programmes on the management


of tuberculosis in children. Second Edition. Geneva; WHO

Wicaksono, Dipo. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb


Paru Pada Anak Usia 0-12 Tahun Dengan Status Gizi Kurang
Diwilayah Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Skripsi
FKM UI

Widoyono. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga; 2011.

World Health Organization, 2017. Global Tuberculosis Report. Geneva. Profil


Indonesia, 2017

105

Anda mungkin juga menyukai