Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ETIKOLEGAL

ADOPSI

Disusun Oleh :

1.
2.
3.

PROGRAM STUDI KEBIDANAN D III

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2015
KATA PENGANTAR

Asslamu’alaikum wr. wb;

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, karena kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ADOPSI” sebagai Tugas
Etikolegal, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang Adopsi. Dalam
hal ini terdapat beberapa hal yang harus dipahami dan dimengerti terkait dengan tema
terutama bagi bidan dan masyarakat. Harapan kami semoga dengan disusunnya makalah ini
dapat membantu dalam kegiatan belajar kami di perkuliahan.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih dan mohon maaf apabila dalam
penyusunan makalah ini terdapat sesuatu kekurangan. Karena kami adalah manusia yang
tak luput dari salah dan lupa. Selanjutnya kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca sehingga akan menumbuhkan rasa syukur kami kepada rahmat Allah SWT dan
dalam hal perbaikan makalah ini ke depannya.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan anugerah dan amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu anak sebagai amanah dari Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi
oleh keluarga, masyarakat, negara karena didalam diri anak melekat hak anak yang
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat didalam UUD 1945 dan konvensi
PBB tentang hak-hak anak. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap
anak.
Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Oleh karena itu,
apabila dalam suatu perkawinan belum atau tidak dikarunia anak, maka diadakan
pengangkatan anak atau adopsi. Pengertian tentang adopsi dapat dilihat secara etimologi,
terminologi, serta menurut para pakar hukum.

Dari Segi Etimologi


a. Dasti segi etimologi yaitu asal usul kata, Adopsi berasal dari bahasa Belanda “Adoptie”
atau Adoption (Bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak.
b. Dalam bahasa Arab disebut “Tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan
dengan “Mengambil anak angkat” sedang menurut kamus Munjid diartikan
“menjadikannya sebagai anak” (Muderis Zaeni. SH 1985:4).
c. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang
anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.
Dari Segi Terminologi
Dari segi Terminologi (Muderis Zaeni. SH 1985:5) Adopsi diartikan:
a. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu “anak orang
lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”.
b. Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan (Muderis Zaeni. SH 1985:5):
Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak
yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan
untuk mendapatkan pewaris atas untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak
beranak. Akibat dari adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang diadopsi
kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan
kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus memenuhi
syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.

Pendapat Berbagai Pakar Hukum Tentang Adopsi


a. Hilman Hadi Kusuma, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyebutkan
Anak angkat adalah anak orang lain yang di anggap anak sendiri oleh orang tua angkat
dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan
keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
b. Sedangkan Surojo Wignjodipuro, SH dalam bukunya Pengantar dan Asas-asas Hukum
Adat memberikan batasan sebagai berikut:
Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke
dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak
dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang
ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
c. Dr. J.A Nota seorang ahli hukum belanda yang khusus mempelajari adopsi adalah suatu
lembaga hukum yang dapat memindahkan sesorang kedalam ikatan keluarga lain (baru)
sedemikian rupa sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian hubungan
hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya
(Djaja S. Meliala, SH 1982:3)
B. RUMUSAN MASALAH

Pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:


1. Bagaimanakah pengaturan mengenai lembaga pengangkatan anak dalam sistem
hukum Indonesia?
2. Bagaimanakah syarat pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah?
3. Bagaimana adopsi menurut pandangan islam ?
4. Bagaimana adopsi menurut etika dalam kebidanan ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengaturan Mengenai Lembaga Pengangkatan Anak Dalam Sistem Hukum Indonesia

1. Hukum Adat

Sistem hukum Indonesia bersumber pada hukum adat. Dalam hukum adat dikenal
adanya pengangkatan anak,Sebagaimana hukum adat pada umumnya di Nusantara jarang
terdokumentasi secara tertulis, tetapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya. Sebagai
contoh salah satu bagian dari hukum keluarga mengenai pengangkatan anak. Mengangkat
anak disebut “mupu anak” (Banten Utara & Cirebon), “mulung” atau “ngukut anak” (suku
Sunda umumnya) dan “mungut anak” (Jakarta). Orang tua angkat umumnya bertanggung
jawab terhadap anak yang diangkatnya sedangkan orang tua kandung lepas tanggung
jawabnya setelah pengangkatan itu. Cara pengangkatan pun sangat sederhana biasanya
hanya keluarga yang menyerahkan dan yang mengangkat, tetapi tetangga akan segera
mengetahuinya. Adapula yang dihadiri para kerabat dari kedua belah pihak. Pengangkatan
yang menggunakan surat ditemukan hanya di dua tempat yaitu di Meester Cornelis
(Jatinegara) yang disahkan asisten wedana dan Lengkong-Bandung yang disaksikan Kepala
Desa.
Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adalah terang dan tunai. Terang
ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan
diumumkan didepan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua
orang mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika
pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.
Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut, memiliki segi
persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya anak
angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan
keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Perbedaannya didalam
hukum dat diisyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung anak
angkat -- biasanya berupa benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki
kekuatan megis.

Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan
pada kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat
(keluarga yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan
kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian
menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia
terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.

2. Hukum Islam

Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain
untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi
kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah
anaknya.
Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri
yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak. Maka itu, sangat baik jika mengambil
anak orang lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim
piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Hanya saja, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus
hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan
dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya.
Jadi, Adopsi yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, tidak menjadikan anak
yang diangkat mempunyai hubungan dengan orangtua angkat seperti hubungan yang
terdapat dalam hubungan darah.Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era
modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan
mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
2. Adopsi menurut etika
Etika Adopsi adalah suatu kontradiksi ,Karena selama adopsi berisi memalsukan
catatan kelahiran, pemaksaan, eksploitasi reproduksi, pelanggaran HAM, dan
penipuan, hal ini belum etis sedikit pun Tapi seseorang harus kembali keatas
dan memeriksa elemen-elemen yang merupakan adopsi anak untuk melihat. Ini
Satu-satunya alasan bahwa kebanyakan orang menerima adopsi hari modern dan
begitu sedikit telah mempertanyakan itu karena atau waktu yang lama itu telah
disekitar kita sebagai bagian yang diterima dari masyarakat.

Syarat pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007


Pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Berdasarkan adat kebiasaan artinya pengangkatan anak
dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan
dalam kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak berdasarkan peratura perundang-
undangan mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui
lembaga pengasuhan anak. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan
dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Berdasarkan Pasal 12 PP No. 54 Tahun 2007, syarat-syarat pengangkatan anak meliputi:
1. Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.

2. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)
tahun,sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapanbelas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
3. Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima)
tahun
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun
f. tidak merupakan pasangan sejenis
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat, meliputi :
 telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan
 memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

B. Aspek Hukum Adopsi

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi :

1. Pihak yang mengajukan adopsi


2. Pasangan Suami Istri

Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6
tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan
permohonan pengesahan/ pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No.
41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga
menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus
kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya
sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada
dalam asuhan organisasi sosial.

a. Orang tua tunggal

 Staatblaad 1917 No. 129

Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang
selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi
yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya
telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki
pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.

Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki
dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan
mengangkat anak perempuan.

 Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan
anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan
yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private
adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga
negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single
parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak
menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda
untuk melakukannya.
 Tata cara mengadopsi

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi
anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan
permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang
akan diangkat itu berada.

Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera.
Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan
dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .

 Isi permohonan

Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:


1. motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak
tersebut.
2. penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.

Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua orang saksi yang
mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula
orang yang mengetahui betul tentang kondisi pemohon (baik moril maupun materil) dan
memastikan bahwa pemohon akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.

 Yang dilarang dalam permohonan

Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan


pengangkatan anak, yaitu:
1. menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
2. pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
Hal ini disebabkan karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat
tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut
sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.

Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan, maka pemohon perlu


mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti
yang berkaitan dengan kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan
memberikan keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan pemohon dan
kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat
Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.

 Pencatatan di kantor Catatan Sipil

Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan
Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa
ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam
akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu
disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.

 Akibat hukum pengangkatan anak

Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.

1. Perwalian

Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua
angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan
kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak
angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi
wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
2.Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama,
artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan
pewarisan bagi anak angkat.

 Peraturan Per-Undang-undangan

Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak
tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak
yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua
angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata,
yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan
anak tersebut

C. Peran dan Fungsi Bidan


1. Dengan banyaknya kasus pengilegalan identitas bayi, seorang bidan hendaknya
mensiasati dengan cara meminta surat nikah dan kartu keluarga supaya tidak
terjadi pemalsuan Identitas Orang Tua dan bayinya.
2. Memberikan KIE kepada masyarakat umum tentang masalah maraknya
Pemalsuan Identitas bayi, beserta sanksi yang didapat sesuai dengan hukum yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.
3. Mengikutsertakan masyarakat untuk Pro-aktif dalam pencegahan Terjadinya
Pemalsuan Identitas bayi Adopsi
4. Bidan dalam Melakukan Tugas sesuai dengan kewenangannya.
5. Bidan Taat Hukum serta bekerja sesuai dengan etika dan kode etik kebidanan
Bab III
Kesimpulan

Adopsi/pengangkatan anak yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarg


asendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat
timbul hubungan antara anak angkat sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai
orang tua sendiri. Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan (PP
Nomor 54 Tahun 2007).Pengangkatan anak menurut adat yaitu masuknya anak angkat
kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga
dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Hukum Islam tidak mengenal
lembaga adopsi, karena menurut pendapat orang Islam keturunan itu tidak bisa diganti.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) tidak ditemukan suatu ketentuan yang
mengatur masalah adopsi atau anak angkat. BW hanya mengatur tentang pengkuan anak
diluar kawin.
Daftar Pustaka

http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czoyNDoiZD0yMDAwKzcmZj1wcDU0
LTIwMDcuaHRtIjs=
http://rachmiamrinal.blogspot.com/2009/06/adopsi.html
http://id.shvoong.com/books/dictionary/2011100-hukum-perdata-adat-jawa-barat/
Soeroso, R, SH. 2005. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta:Sunan Grafika

Anda mungkin juga menyukai