Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENGANTAR TEORI RELATIVITAS


“ KOSMOLOGI : SEJARAH JAGAD RAYA”

OLEH:

KELOMPOK IV:

1. LA ODE ANSYARULLAH S.SAGALA F1B116059


2. SITI SALEHA BACHMID F1B116060
3. ALISDAR SUKANDARWATI F1B116063
4. UMY KHAIRUNNISA’A F1B116064
5. SAHRUL F1B116065
6. LA ODE ALI SAID F1B116066
7. KARMIATCI F1B116067
8. ASMAYANTI F1B116068
9. DEVI LESTARI OKTAVIA F1B116069
10. LA ODE AMIRUDIN SALAM F1B116070

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah gelombang ini. Salam serta
salawat tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan kita nabi yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang yaitu Nabi Muhammad SAW.
seperti yang kita rasakan saat-saat sekarang ini. Makalah ini kami buat untuk memperdalam
pengetahuan kami tentang KOSMOLOGI : SEJARAH JAGAD RAYA.
Kami menyadari dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan,hal ini
dikarenakan terbatasnya kemampuan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki namun
demikian banyak pula pihak yang membantu kami dengan menyediakan sumber informasi,
memberi masukan pemikiran, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi
perbaikan dan kesempurnaan makalah ini diwaktu yang akan datang, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kami dan orang banyak agar mengetahui apa saja yang ada dalam
pelajaran ini khususnya PENGANTAR TEORI RELATIVITAS.

Kendari, 10 Juni 2019

Tim Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………...

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………...


1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………………..
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………………

Bab II PEMBAHASAN
2.1 Asas Kosmologi
2.2 Geometri Bolahiper
2.3 Metrik Robertson-Walker
2.4 Pergeseran Merah Galaksi
2.5 Ekspansi Jagad Raya
2.6 Sejarah Suhu Jagad Raya Menurut Big Bang
2.7 Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………………
3.2 Saran………………………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana ditulis oleh Krane (1992), setiap kemajuan baru di dalam pemahaman
jagad raya ternyata semakin memperkecil peran kita di dalamnya. Walaupun demikian, setiap
kemajuan ini selalu menimbulkan rasa kekaguman baru. Astronomi abad ke tujuh belas
mengungkapkan fakta bahwa bumi bukanlah pusat tata surya melainkan salah satu dari
beberapa planet yang mengitari matahari. Pada abad ke sembilan belas, para astronom
mengarahkan teleskopnya ke bintang-bintang dan menggunakan peralatan spektroskopi yang
dikembangkan untuk mengukur berbagai panjang gelombang cahaya bintang. Ditemukan
fakta bahwa matahari kita ternyata hanya sebuah bintang biasa yang kedudukannya tidaklah
istimewa dalam skala galaksi. Matahari kita ternyata adalah satu dari sekitar 1011 bintang
dalam galaksi kita yang dikenal dengan nama galaksi Bima Sakti.
Dari teleskop para astronom, terungkap pula beberapa objek aneh seperti gumpalan
nebula redup yaitu sepotong cahaya lebar yang melebihi ukuran bintang. Beberapa nebula ini
kemudian dapat disimpulkan sebagai kabut gas dalam galaksi, yang dapat menyatakan materi
baru dari mana bintang dibentuk, atau sisa dari bintang yang mengakhiri hidupnya dengan
ledakan dahsyat. Selain itu diperoleh pula nebula yang agak redup. Namun hal ini masih
menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya hakikat nebula yang agak redup ini.
Kepastian tentang pertanyaan ini hanya dapat terpecahkan bila cahaya semua objek redup
dapat dipisahkan menjadi bintang-bintang tunggal. Hal ini adalah persoalan eksperimental
yang amat sulit, karena memerlukan pencahayaan sebuah pelat foto sepanjang malam, pada
saat mana para astronom bergulat dalam kedinginan malam di atas puncak gunung untuk
menjaga fokus teleskopnya tetap mengarah ke nebula, sebagai akibat rotasi bumi dan
perubahan suhu yang menyebabkan perubahan ukuran teleskop. Pada tahun 1920-an, Edwin
Hubble berhasil memisahkan cahaya berbagai bintang dalam galaksi tetangga kita, serta
menyimpulkan ukuran, kecemerlangan dan jaraknya dari kita. Semakin banyak nebula dan
galaksi yang ditemukan, semakin pula kedudukan kita di jagad raya. Matahari kita tidak saja
hanya satu dari sekitar 1011 bintang dalam galaksi Bima Sakti, melainkan mungkin galaksi
Bima Sakti sendiri merupakan satu di antara 1011 galaksi yang ada di jagad raya.
Pengamatan Hubble juga menghasilkan pernyataan yang menarik : setiap galaksi bergerak
menjauhi kita (dan menjauhi yang lainnya) dengan kelajuan yang amat tinggi. Semakin jauh
sebuah galaksi dari kita, semakin tinggi lajunya. Kesimpulan mengesankan ini akan
menuntun kita ke model standar jagad raya beserta asal usulnya. Jika semua galaksi bergerak
saling menjauhi, maka mereka sebelumnya tentulah berdekatan. Jika kita kembali cukup jauh
ke masa lampau, semua materi tentulah berasal dari sebuah titik singularitas berkerapatan
takhingga yang mengalami ledakan dahsyat. Peristiwa itu dikenal sebagai Big Bang (Ledakan
Besar).
Informasi yang lebih menghebohkan datang menyusul. Pada tahun 1965, dua
astronom yang bernama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan pijaran radiasi latar
belakang gelombang mikro dari sisa-sisa ledakan besar yang mengisi seluruh jagad raya dan
terus menghujami bumi, meskipun telah mengalami pendinginan selama kurang lebih 15
milyar tahun. Karya eksperimental yang telah dirintis oleh Hubble, Penzias dan Wilson
merupakan landasan untuk berspekulasi mengenai asal mula, evolusi dan masa depan jagad
raya. Semua teori ini termasuk dalam bidang kajian kosmologi yang berasaskan pada teori
relativitas umum dengan paduan bidang astronomi, fisika partikel, fisika statistik,
termodinamika dan elektrodinamika. (Krane, 1992) .
Di dalam jagad raya paling tidak terdapat empat jenis interaksi dasar (mungkin dapat
ditambah satu lagi yaitu interaksi maha lemah atau superweak). Keempat interaksi tersebut
masing-masing adalah interaksi kuat, lemah, elektromagnetik dan gravitasi. Interaksi
elektromagnetik (EM) bermediator foton dan berjangkauan jauh terjalin antara zarahzarah
bermuatan listrik dan/atau bermomen magnet dan berlangsung secara makro dan mikro dalam
atom inti dan zarah elementer. Teori kuantum interaksi medan elektromagnetik dikenal
dengan nama Elektrodinamika Kuantum (QED) dan merupakan teori interaksi yang paling
akurat dan luas cakupannya. Interaksi kuat yang berjangkauan pendek serta bersamasama
dengan interaksi EM mempertahankan paritas, hanya muncu l dalam daerah kuantum serta
berperan dalam interaksi antar nukleon dalam inti atom dan antar penyusun nukleon dan
meson yaitu tiga jenis kuark (u, d dan s) dengan mediator partikel gluon bermassa. Teori
interaksi kuat yang melibatkan zarahzarah hadron ini disebut Kromodinamika Kuantum
(QCD). Interaksi lemah yang hanya muncul pada daerah mikro, melibatkan zarah neutrino
dan bekerja pada peluruhan beta inti, pion, muon dan sebagainya dengan mediator partikel
bermassa W(bermuatan) dan Z (netral) serta melanggar kekekalan paritas. Teori untuk
interaksi ini disebut Flavordinamika Kuantum (QFD). Interaksi yang paling lemah dari
keempat interaksi dasar adalah interaksi gravitasi yang berperan dalam interaksi jangkauan
jauh antar massa dan antar massa dengan foton dengan mediator graviton tak bermassa. Teori
kuantum yang menjelaskan interaksi gravitasi antar partikel bermassa dikenal dengan nama
Geometrodinamika Kuantum (QGD).
Pada materi massif seperti bintang dan galaksi, muatan mereka praktis netral sehingga
interaksi elektromagnetik tak bekerja pada struktur skala besar jagad raya. Pada pada skala
ini, hanya interaksi gravitasi saja yang bekerja. Oleh karena itu hukum gravitasi Einstein
yang didasarkan pada teori relativitas umum akan sanggup memberikan gambaran jagad raya
secara komprehensif, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Teori Gravitasi Einstein
sendiri mampu meramalkan beberapa fenomena di jagad raya dengan ketelitian tinggi. Teori
ini adalah teori yang menyempurnakan teori gravitasi Newton. Beberapa fenomena di jagad
raya yang terbuktikan ramalannya dengan ketelitian tinggi adalah :
1. pembelokan cahaya bintang
2. presesi orbit planet
3. pergeseran merah gravitasi
4. gema tunda waktu radar (Weinberg, 1972; Krane 1992).
Relativitas umum juga menyajikan beberapa ramalan menarik seperti adanya lubang
hitam (black holes), gelombang gravitasi (gravitational waves), singularitas ruang-waktu dan
sebagainya. Meskipun teori ini memiliki daya pikat, keindahan estetis dan sementara ini lulus
dalam tes eksperimental, jumlah tes tersebut sebenarnya masih tergolong langka. Nampaknya
agak berlebihan jika jagad raya dapat ditelaah hanya dengan menggunakan teori ini. Namun
akan diperoleh bahwa paling tidak secara kuantitatif, ramalan teori relativitas umum sesuai
dengan beberapa pengamatan, seperti fenomena ekspansi jagad raya, ramalan sisa-sisa radiasi
Big Bang dan sebagainya. Tidak digunakannya gravitasi Newton untuk menelaah interaksi
gravitasi dalam jagad raya disebabkan oleh keterbatasan teori itu sendiri. Memang gravitasi
Newton itu sendiri memberikan pemerian secara kuantitatif yang serupa dengan solusi
persamaan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya (Weinberg, 1972). Namun teori Newton
menganggap bahwa ruang di jagad raya bersifat Euclid (datar). Newton tidak mengenal
istilah ruang lengkung. Padahal menurut Einstein, keberadaan medan gravitasi dalam ruang
menyebabkan ruang di jagad raya menjadi lengkung, dengan geometri ruang bersifat
Riemannian. Kelengkungan ruang untuk skala galaksi memang masih dapat diabaikan,
namun untuk skala besar jagad raya, efek ini dapat dijumlahkan sehingga tak dapat diabaikan
lagi. Oleh karena itu penelaahan keadaan fisis jagad raya dilakukan dengan menyelesaikan
persamaan medan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Yang Dimaksud Dengan Asas Kosmologi ?
2. Apa Itu Geometri Bolahiper?
3. Apa Itu Metrik Robertson-Walker?
4. Bagaimana Adanya Pergeseran Merah Galaksi?
5. Apa Itu Ekspansi Jagad Raya?
6. Bagaimana Sejarah Suhu Jagad Raya Menurut Big Bang?
7. Bagiamana Terjadinya Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apa Itu Asas Kosmologi ?
2. Untuk Mengetahui Persamaan Geometri Bolahiper?
3. Untuk Mengetahui Metrik Robertson-Walker?
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Pergeseran Merah Galaksi?
5. Untuk Mengetahui Ekspansi Jagad Raya?
6. Untuk Mengetahui Sejarah Suhu Jagad Raya Menurut Big Bang?
7. Untuk Mengetahui Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asas Kosmologi
Dalam skala besar jagad raya, mulai dari jarak 107 parsec, seluruh materi dapat
dianggap sebagai fluida yang kontinu, homogen dan isotrop. Pernyataan ini membawa
kepada kesimpulan bahwa tidak ada pengamat galaksi yang dipandang istimewa di jagad raya
ini. Dengan kata lain, seluruh pengamat bergerak bersama galaksi dan melihat proses skala
besar yang sama dalam evolusi jagad raya. Inilah yang dinamakan dengan asas kosmologi
(cosmological principle). Sedangkan teori keadaan ajeg (steady state theory) didasarkan pada
asas kosmologi sempurna (perfect cosmological principle) yang menyatakan bahwa seluruh
pengamat galaksi melihat struktur skala besar jagad raya yang sama untuk seluruh waktu.
Berdasarkan fakta-fakta, ditemui bahwa yang lebih tepat adalah asas pertama,bukan asas
kedua.

2.2 Geometri Bolahiper (Hypersphere geometry)


Dalam ruang Euclid empat dimensi
𝑥 𝑖 = (𝑥 1 , 𝑥 2 , 𝑥 3 , 𝑥 4 ) (2.1)

kuadrat elemen garis dirumuskan sebagai

𝑑𝑙 2 = ɳ𝑖𝑗 𝑑𝑥 𝑖 𝑑𝑥 𝑗 = (𝑑𝑥 1 )2 + (𝑑𝑥 2 )2 + (𝑑𝑥 3 )2 + (𝑑𝑥 4 )2 (2.2)

Bentuk persamaan bolahiper (hypersphere) tiga dimensi dalam ruang empat dimensi
menyerupai bentuk persamaan permukaan bola dua dimensi dalam ruang tiga dimensi.
Persamaan bolahiper tersebut adalah:
(𝑥 1 )² + (𝑥 2 )2 + (𝑥 3 )2 + (𝑥 4 )2 = 𝑆² (2.3)

dengan S adalah ruji bolahiper. Jika persamaan di atas diturunkan maka bentuknya
menjadi:
𝑥 1 𝑑𝑥 1 + 𝑥 2 𝑑𝑥 2 + 𝑥 3 𝑑𝑥 3 + 𝑥 4 𝑑𝑥 4 = 0 (2.4)

Atau
𝑥 1 𝑑𝑥 1 +𝑥 2 𝑑𝑥 2 +𝑥 3 𝑑𝑥 3
𝑑𝑥 4 = 𝑥4
(2.5)

Dengan memasukkan pers. (2.5) ke (2.2) diperoleh


3 2 2
1
𝑑𝑙 2 = ∑ (𝑑𝑥 𝑖 ) + (2𝑥 4 )2
(𝑑 ∑3𝑖=1(𝑥 1 )2 ) (2.6)
𝑖=1

yang menyatakan bentuk umum persamaan kuadrat elemen garis pada bolahiper.
Jika ruang Euclid tersebut dinyatakan dalam koordinat polar
(𝑢, 𝜃, Ф) (2.7)

melalui persamaan transformasi


𝑥 1 = 𝑢 sin 𝜃 cos Ф, 𝑥 2 = 𝑢 sin 𝜃 cos Ф, 𝑥 3 = 𝑢 cos 𝜃 (2.8)
Maka
𝑢 = ((𝑥1)1 + (𝑥 2 )2 + (𝑥 3 )3 )1/2 (2.9)

Dan
𝑆 = 𝑢2 + (𝑥 4 )2 (2.10)

Sehingga
𝑢2 𝑑𝑢2
𝑑𝑙 2 = 𝑑𝑢2 + 𝑢2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 ) + 𝑆 2 −𝑢2
(2.11)

𝑑𝑢2
= 1−(𝑢/𝑆 2 + 𝑢2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 ) (2.12)

Dengan subtitusi
𝑢 = 𝑆𝑟 (2.13)

Diperoleh
𝑑𝑟 2
𝑑𝑙 2 = 𝑆 2 (1−𝑟2 + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 )) (2.14)

Jika pada pers. (5.3), S 2 diganti dengan S 2 , pers. (5.14) menjadi
𝑑𝑟 2
𝑑𝑙 2 = 𝑆 2 ( + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 )) (2.15)
1−𝑘𝑟 2

Kedua metrik di atas dapat dituliskan sekaligus dalam ungkapan


𝑑𝑟 2
𝑑𝑙 2 = 𝑆 2 ( + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 )) (2.16)
1−𝑘𝑟 2

dengan k = 1 untuk pers. (5.14) dan k = 1 untuk pers. (5.15). Jika diisikan k = 0 ,
dihasilkan ruang Euclid tiga dimensi.

2.3 Metrik Robertson-Walker


Metrik Robertson-Walker dibangun di atas dua asumsi berikut :
1. Adanya waktu kosmik x0 dalam koordinat Gauss, yaitu koordinat yang ikut bergerak
bersama pengamat
2. Asas homogen dan isotrop jagad raya.
Metrik jagad raya mengambil bentuk
𝑑𝑠 2 = 𝑔𝜇𝑣 𝑑𝑥 𝜇 𝑑𝑥 𝑣 (2.17)

Persamaan transformasi untuk gi0 adalah

𝜕𝑥 𝑗 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑗
𝑔̅𝑖0 = 𝑔𝑗𝑘 = 𝑔
𝜕𝑥̅ 𝑖 𝜕𝑥̅ 0 𝜕𝑥̅ 𝑖 𝑗0

yang menggambarkan bahwa gi0 menentukan arah tertentu pada ruang tiga dimensi. Hal ini
bertentangan dengan asumsi kedua di atas sehingga ditarik kesimpulan bahwa 0 0 gi untuk i
= 1, 2, 3. Bentuk metrik jagad raya tereduksi ke bentuk
𝑑𝑠 2 = 𝑔00 (𝑑𝑥 0 )2 + 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥 𝑖 𝑑𝑥 𝑗 (2.18)
Ditinjau dua kejadian yang masing-masing terjadi pada waktu x0 dan x0 dx0 .
Diketahui dadalah swawaktu / waktu pribadi (proper time) antara dua kejadian tersebut.
Karena koordinat spatial pengamat tidak pernah berubah, bentuk metrik (5.18) menjadi
−𝑑𝜏 2 = 𝑔00 (𝑑𝑥 0 )2 (2.19)
Berdasarkan asumsi pertama, swawaktu dsama dengan waktu kosmik x0 t sehingga
00 1g . Bentuk metrik (5.18) menjadi
𝑑𝑠 2 = −𝑑𝑡 2 + 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥 𝑖 𝑑𝑥 𝑗 (2.20)
Dengan mengambil t konstan, metrik di atas menjadi
𝑑𝑠 2 = 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥 𝑖 𝑑𝑥 𝑗 = 𝑑𝑙 2 (2.21)
Berdasarkan asas kosmologi, setiap pengamat akan mendapati ruang spatial bersifat homogen
dan isotrop. Oleh karena itu, bentuk dl 2 adalah bentuk umum elemen garis pers. (5.16)
sehingga pers. (5.20) dituliskan sebagai
𝑑𝑟 2
𝑑𝑠 2 = −𝑑𝑡 2 + 𝑆 2 (1−𝑘𝑟2 + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑑𝜙 2 )) (2.22)

Metrik di atas dinamakan metrik Robertson-Walker. S adalah faktor skala kosmik yang
merupakan fungsi t saja. Untuk k = +1, nilai S menyatakan ruji spatial bolahiper 3 dimensi
dalam ruang empat dimensi spatial.

2.4 Pergeseran Merah Galaksi


Informasi penting yang diperoleh mengenai faktor skala kosmik S(t) akan membawa
pada pengamatan pergeseran frekuensi cahaya yang dipancarkan dari sumber tertentu. Untuk
menghitung pergeseran frekuensi ini, kita akan menempatkan diri kita pada titik awal
koordinat r = 0. Ditinjau cahaya yang merambat hanya pada arah r dengan dan konstan.
Persamaan geodesic cahaya tersebut adalah
𝑑𝑟 2
0 = 𝑑𝜏 2 = 𝑑𝑡 2 − 𝑆 2 1−𝑘𝑟2 (2.23)
Atau
𝑑𝑡 𝑑𝑟
− = √1−𝑘𝑟2 (2.24)
𝑆
Jika cahaya meninggalkan galaks dengan koordinat (𝑟1 , 𝜃1 , 𝜙1 ) pada saat 𝑡1 maka
cahaya tersebut akan sampai pada kita pada saat t0 yang diberikan oleh persamaan
𝑡0 𝑑𝑡
∫𝑡 = 𝑓(𝑟1) (2.25)
1 𝑆
Dengan
sin−1 𝑟1 𝑘 = +1
𝑟1 𝑑𝑟
𝑓(𝑟1 ) = ∫0 √1−𝑘𝑟 2 = { 𝑟1 𝑘=0 (2.26)
−1
sinh 𝑟1 𝑘 = −1
Galaksi tersebut memiliki koordinat (r1,θ1,θ1) konstan sehingga f(r1) tak gayut waktu.
Selanjutnya jika cahaya berikutnya meninggalkan r1 pada waktu t1 δt1, cahaya tersebut akan
sampai kepada kita pada waktu t0 δt0 dengan hubungan sebagai
𝑡0 +𝛿𝑡0 𝑑𝑡
∫𝑡 = 𝑓(𝑟1 ) (2.27)
1 +𝛿𝑡1 𝑆
Yang berimplikasi pada hubungan
𝛿𝑡0 𝛿𝑡
= 𝑆(𝑡1) (2.28)
𝑆(𝑡0 ) 1
Cahaya berfrekuensi V0 yang dipancarkan akan teramati berfrekuensi V1 melalui hubungan
𝑣0 𝛿𝑡 𝑆(𝑡 )
= 𝛿𝑡1 = 𝑆(𝑡1 ) (2.29)
𝑣1 0 0
Didefinisikan pergeseran merah z sebagai fraksi pertambahan panjang gelombang
𝜆0 −𝜆1
𝑧= (2.30)
𝜆1
Karena
𝜆0 𝑣
= 𝑣1 (2.31)
𝜆1 1
Maka
𝑆(𝑡 )
𝑧 = 𝑆(𝑡0 ) − 1 (2.32)
1
Jadi z akan bernilai positif jika
𝑆(𝑡0 ) > 𝑆(𝑡1 ) (2.33)
yang menyatakan adanya ekspansi jagad raya.
Jika galaksi yang diamati cukup dekat pada skala besar, t0 t1 relatif kecil dan S(t1)
dapat dinyatakan dalam deret Taylor sebagai
1
𝑆(𝑡1 ) = 𝑆(𝑡0 ) − (𝑡0 − 𝑡1 )𝑆(𝑡0 ) + (𝑡0 − 𝑡1 )2 𝑆(𝑡0 )−. ..
2
1
= 𝑆(𝑡0 )(1 − 𝐻0 (𝑡0 − 𝑡1 ) − 2 𝑞0 𝐻0 (𝑡0 − 𝑡1 )2 − ⋯ (2.34)
dengan H0 dan q0 berturut-turut menyatakan tetapan Hubble dan parameter perlambatan untuk
saat ini. Kedua besaran itu dikatakan konstanta, meski sebenarnya nilai gayut waktu. Namun
untuk rentang waktu yang relatif kecil, jika dibandingkan dengan usia jagad raya, kedua nilai
di atas praktis konstan. Secara umum keduanya didefinisikan sebagai
𝑆̇
𝐻=𝑆 (2.35)
Dan
𝑆𝑆̈
𝑞 = − 𝑆̇2 (2.36)
Dengan substitusi pers. (5.34) (5.36) ke (5.32) diperoleh hasil
1
𝑧 = 𝐻0 (𝑡0 − 𝑡1 ) + (2 𝑞0 + 1) 𝐻02 (𝑡0 − 𝑡1 )2 + ⋯ (2.37)
Dengan mengamati z untuk sejumlah galaksi serta menghitung (t0 t1) setiap galaksi,
ekspansi z di atas menghasilkan nilai H0 dan q0 saat ini yang besarnya masing-masing adalah
(Weinberg, 1972)
𝐻0 = 75 km/sMpc (2.38)
𝑞0 = 1,2 ± 0,4 (2.39)
Selanjutnya kedua nilai tersebut dipakai untuk menelaah sifat fisis jagad raya.

2.6 Ekspansi Jagad Raya


Bukti adanya ekspansi jagad raya berasal dari efek pergeseran Doppler cahaya yang
dipancarkan oleh galaksi-galaksi jauh. Pergerakan bintang-bintangatau galaksi dekat relatif
terhadap kita tidaklah cukup memberikan bukti adanya ekspansi jagad raya. Beberapa bintang
di galaksi kita bergerak menuju kita dan panjang gelombang yang dipancarkannya teramati
mengalami pergeseran ke panjang gelombang yang lebih pendek (pergeseran biru).
Sementara itu beberapa bintang lainnya bergerak menjauhi kita sehingga cahayanya
mengalami pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar atau dikenal sebagai
pergeseran merah.
Jika kita beralih ke cahaya yang berasal dari galaksi-galaksi di dekat kita, kembali akan
diperoleh beberapa di antara mereka mengalami pergeseran biru, dan beberapa lainnya
mengalami pergeseran merah. Hanya jika kita alihkan perhatian kepada galaksi-galaksi jauh,
barulah nampak secara konvergen galaksi-galaksi tersebut bergerak menjauhi kita serta
cahaya yang dipancarkannya mengalami pergeseran merah.
Bagaimanakah kita dapat meyakini adanya pengembangan jagad raya yang
menyebabkan terjadinya pergeseran merah tersebut ? Sekurang-kurangnya terdapat tiga
alasan yaitu (Krane, 1992) :
1. Menurut pengamatan, jumlah galaksi yang mengalami pergeseran merah dan biru
tidak seimbang. Semua galaksi jauh bergerak menjauhi kita. Oleh karena itu
pergeseran merah ini tidak dapat dijelaskan sebagai pergeseran acak sejumlah galaksi
yang mematuhi suatu distribusi tertentu.
2. Pergeseran merah itu nampaknya bukanlah pergeseran merah galaksi menurut
relativitas umum. Hal ini disebabkan materi dalam galaksi tidaklah terlalu padat
sehingga tidak dapat menghasilkan pergeseran yang besar.
3. Pergeseran yang diamati berbanding lurus dengan jarak galaksi dari kita. Agaknya
kenyataan ini merupakan langkah paling penting untuk mendukung gagasan ekspansi
jagad raya yang biasanya diungkapkan sebagai Hukum Hubble, yaitu:
v = Hd (2.40)
dengan v adalah laju galaksi, H adalah tetapan Hubble dan d adalah jarak galaksi dari kita.
Hukum Hubble tersebut dapat diturunkan dari metrik Robetrson-Walker. Jika tempat
kita dipilih dengan koordinat r = 0, maka jarak radial galaksi (r1,  terhadap kita pada
waktu kosmik t adalah
1 𝑟 𝑑𝑟
𝑑 = 𝑆 ∫𝑟=0 √1−𝑘𝑟 2
= 𝑆𝑓(𝑟1 ) (2.41)
dengan f(r1) seperti pada pers. (5.26). Laju pergerakan galaksi tersebut terhadap
kita diberikan sebagai
𝑑𝑠 𝑆̇
𝑣 = 𝑑 = 𝑓(𝑟1 ) 𝑑𝑠 = 𝑓(𝑟1 )𝑆 𝑆 = 𝐻𝑑 (2.42)
yaitu hukum Hubble.
Bagaimanakah hukum Hubble melukiskan ekspansi jagad raya ? Ditinjau
kiasan jagad raya yang digambarkan oleh sistem koordinat tiga dimensi pada
Gambar 5.1 yang mana setiap titik mewakili sebuah galaksi. Galaksi Bima Sakti
dipilih pada titik O. Jarak mula-mula suatu galaksi terhadap Bima Sakti adalah d.
Setelah jagad raya mengembang yang digambarkan oleh menjauhnya semua titik
tersebut, jarak tersebut menjadi d’. Diasumsikan pengembangan tersebut terjadi sedemikian
sehingga seluruh jarak ukur bertambah dengan faktor pengali konstan
k pada waktu t. Rumus yang berlaku adalah x' kx jadi d' kd
Dengan demikian jika dalam selang waktu t galaksi tersebut menempuh jarak d'd
menjauhi Bima Sakti, laju pergerakannya adalah
𝑑′ −𝑑 𝑑(𝑘−1)
𝑣= = (2.43)
𝑡 𝑡
Jika kita bandingkan antara kelajuan galaksi 1 dan 2 diperoleh
𝑣1 𝑑
= 𝑑1 (2.44)
𝑣2 2
yang identik dengan hukum Hubble. Pers. (5.44) di atas sekaligus menunjukkan
bahwa makin jauh jarak galaksi dari kita, makin cepat pula ia meninggalkan kita.
Peristiwa fisis ekspansi jagad raya ini melahirkan dua teori besar. Teori
pertama, jika setiap galaksi bergerak saling menjauhi, berarti di masa lampau jarak
mereka lebih dekat. Kalau kita menengok lebih jauh lagi, akan didapati seluruh
galaksi dan materi lainnya mula-mula berada pada titik singularitas dengan kerapatan dan
temperatur takhingga besar. Teori ini dikenal sebagai hipotesis Big
Bang (Ledakan Besar) yang dikemukakan oleh George Gamow dkk pada tahun
1948. Teori kedua, kerapatan jagad raya selalu konstan. Sewatu galaksi-galaksi
bergerak saling menjauhi, dalam ruang antargalaksi terus diciptakan materi baru
agar kerapatan jagad raya selalu konstan. Galaksi atau materi baru yang diciptakan
akan menyebabkan jagad raya tampak sama sepanjang masa, baik pada masa
lampau, sekarang maupun masa depan. Teori ini dikenal dengan hipotesis Steady
State (Keadaan Ajeg) yang dikemukakan oleh Hoyle dkk pada tahun 1960. Teori
kedua ini menggunakan asas kosmologi sempurna, sebagaimana tersebut pada
pasal 2. Pengamatan dengan teleskop radio yang dilakukan oleh Penzias dan
Wilson di tahun 1965 berhasil menyingkap adanya suatu radiasi latar belakang
kosmik pada daerah gelombang mikro yang diyakini sebagai sisa-sisa radiasi Big
Bang. Dengan demikian pengamatan tunggal ini mengunggulkan teori Big Bang
dari semua model kosmologi lainnya.

2.7 Sejarah Suhu Jagad Raya menurut Big Bang


Menurut teori Big Bang, jagad raya berasal dari suatu ledakan besar yang
menghamburkan seluruh isi jagad raya ke segala arah ruang. Saat ledakan terjadi,
jagad raya berukuran titik berkerapatan energi takhingga, bersuhu takhingga besar.
Saat jagad raya terus mengembang dan usianya bertambah, suhunya semakin
mengecil. Akhirnya suhu jagad raya sampai pada ambang penciptaan partikelantipartikel.
Menurut Weinberg (1972), garis besar sejarah suhu (thermal history) jagad
raya adalah sebagai berikut :
1. Pada suhu T > 1012 K, jagad raya berisi banyak sekali variasi partikel pada
kesetimbangan suhu, seperti foton, lepton, meson dan nukleon beserta
antipartikel masing-masing. Suhu ambang bagi penciptaan nukleon ini
adalah sekitar 1013 K. Di atas suhu tersebut, energi jagad raya sedemikian
tinggi sehingga mungkin mampu menciptakan kuark yang lebih berat dari
nukleon seperti kuark jenis charmed, bottom dan top (Griffith, 1987).
2. Pada T 1012 K, jagad raya berisi foton, muon, antimuon, elektron, positron,
neutrino dan antineutrino. Terdapat percampuran nukeon dalam jumlah amat
kecil, dengan neutron dan proton berjumlah kurang lebih sama. Semua
partikel masih berada dalam kesetimbangan suhu.
3. Ketika T < 10 12 K, muon dan antimuon mengalami proses pelenyapan
(annihilation). Setelah seluruh muon lenyap, pada T 1,3 1011 K, neutrino
dan antineutrino mengalami ketidakgandengan (decoupled) dengan partikel
lain. Partikel e, dan sebagian kecil nukleon berada pada kesetimbangan
suhu dengan T ∝S 1.
4. Ketika T < 10 11 K atau t 102 s, perbedaan massa proton dan neutron
menyebabkan terjadinya perubahan percampuran nukleon sehingga proton
lebih banyak daripada neutron.
5. Ketika T < 5 109 K atau t 4 s, pasangan elektron-positron mengalami
pelenyapan sehingga melenyapkan seluruh positron dan menyisakan sedikit
elektron. Jagad raya hanya didominasi oleh foton, neutrino dan antineutrino
dengan suhu foton lebih tinggi 40,1 % daripada suhu neutrino-antineutrino.
Perbandingan neutron terhadap proton kira-kira 1 : 5.
6. Pada T 109 K atau t 180 s, terjadi fusi antara proton dengan neutron yang
membentuk inti yang lebih berat seperti deuterium dan helium.
7. Ekspansi bebas foton, neutrino dan antineutrino terus berlanjut dengan T=
1,401T∝S 1. Pada 103 K < T < 105 K, nilai rapat energi foton, neutrinoantinuetrino
menjadi di bawah rapat energi rehat hidrogen dan helium. Atom
hidrogen terbentuk kira-kira pada T ∝4000 K setelah elektron bergabung
dan inti atom membentuk atom hidrogen. Dimulailah masa dominasi radiasi.
Pada tabel 5.1 di bawah ini disajikan beberapa partikel elementer penyusun
jagad raya beserta energi rehat dan suhu ambang yang berkaitan suhu tersebut.
Nilai suhu ambang tersebut diperoleh melalui kaitan persamaan
𝐸
𝑇=𝑘 (2.45)
dengan k adalah tetapan Boltzmann.
Tabel 5.1.
Partikel utama penyusun jagad raya beserta energi dan suhu ambang

Kali ini akan ditelaah sejarah suhu jagad raya secara lebih rinci, dimulai dari
1012 K T 3,1 1011K ketika moun (µ) dan antimuon (µ) cukup jarang. Pengisi penting
jagad raya, adalah elektron-positron ( e,e) foton (γ), neutrinoantineutrino untuk electron
(ve,ve) serta neutrino-antineutrino untuk muon (vµ,Vµ) yang seluruhnya masih berada pada
kesetimbangan suhu (thermal equilibrium). Foton memenuhi distribusi Planck sedangkan
elektron-positron dan neutrino-antineutrino memenuhi distribusi Fermi. Neutrino dan
antineutrino tersebut dihasilkan, dilenyapkan dan dihamburkan melalui reaksi berikut :
𝑒 − + 𝜇 − ↔ 𝑣𝑒 + 𝑣𝜇− (2.46)
𝑣𝑒 + 𝜇 − ↔ 𝑣𝜇 + 𝑒 − (2.47)
𝑣𝜇 + 𝜇 + ↔ 𝑣𝑒 + 𝑒 + (2.48)
𝑒 + + 𝜇 − ↔ 𝑣𝑒− + 𝑣𝜇 (2.49)
𝑣𝑒− + 𝜇 + ↔ 𝑣𝜇− + 𝑒 + (2.50)
𝑣𝜇− + 𝜇 − ↔ 𝑣𝑒− + 𝑒 − (2.51)
Pada masa dominasi radiasi berlaku kaitan antara rapat energi () dengan
suhu (T) jagad raya yang dirumuskan sebagai
𝜌 ∝ 𝑇4 (2.52)
Sedangkan juga pada masa dominasi radiasi, hubungan antara rapat energi dengan
ruji atau faktor skala kosmik (S) jagad raya dirumuskan sebagai
𝑇 ∝ 𝑆 −1 (2.53)
Ketika T turun hingga 1,3 x 1011 K, dan (mungkin juga e dan e )
mengalami ketidakgandengan (decoupled) dengan partikel dalam kesetimbangan
suhu dan mulai melakukan ekspansi bebas (free expansion). Tetapi,
ketidakgandengan ini tidak berdampak apa-apa pada distribusi partikel. Partikel
yang berada di dalam kesetimbangan suhu tersebut masih berperilaku seperti
partikel ultrarelativistik sehingga suhu mereka tetap sebanding dengan S 1. Rapat
jumlah neutrino dan antineutrino bebas sebanding dengan S 3 dan mengalami
pergeseran merah oleh faktor S 1 seperti foton. Suhunya juga menurun mengikuti
S 1. Selanjutnya terjadi ketidakgandengan (decoupled) kedua neutrino (e,e)
pada saat T = 1010 K, namun hal ini juga tidak membawa pengaruh pada fungsi
distribusi neutrino dan antineutrino. Secara keseluruhan pada rentang suhu 1012 K
> T > 5 109 K, nilai rapat energi neutrino dan antineutrino baik untuk elektron
maupun untuk muon adalah sama yaitu sebesar
7𝑎𝑇 4
Ρ𝑣𝑒 = Ρ𝑣−𝑒 = Ρ𝑣𝜇 = Ρ𝑣−𝜇 = Ρ𝑣 = (2.54)
16
dengan tetapan Stefan-Boltzmann
8𝜋 5 𝑘 4
𝑎 = 15𝑐 3 ℎ3 = 7,5 × 10−16 J m-3 K-4 (2.55)
Pada saat m kTe , ebersifat relativistik sehingga
7𝑎𝑇 4
Ρ𝑒 − = Ρ𝑒 + = 2Ρ𝑣 = (2.56)
8
Rapat energi untuk elektron dan positron bernilai dua kali rapat energi neutrino
karena elektron dan positron memiliki dua keadaan spin. Rapat energi total jagad
raya saat rentang suhunya 1012 K > T > 5 109 K adalah jumlah rapat energi
neutrino, elektron, positron dan foton sebesar
9𝑎𝑇 4
Ρ𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = (2.57)
2
Berikutnya saat T di bawah suhu 1010 K, partikel yang berperan penting di
dalam kesetimbangan suhu hanyalah edan γ. Neutrino dan antineutrino tidak
mengalami pemanasan ketika pelenyapan elektron-positron sehingga suhu
keduanya turun sebanding dengan S 1. Selanjutnya untuk T < 5 109 K, suhu
neutrino dan antineutrino (T) harus dibedakan dengan suhu foton dan partikel
bermuatan lainnya (T). Suhu foton lebih besar daripada suhu neutrino dengan
faktor sebesar
𝑇 3 11
(𝑇 ) = √ 4 = 1,401 (2.58)
𝑣 𝑇<109 𝐾

Untuk T < 109 K, partikel yang tersisa di kesetimbangan suhu adalah sejumlah kecil nukleon
dan elektron setelah seluruh pasangan e emengalami proses pelenyapan. Kedua nilai
Tdan T turun mengikuti S 1 dengan perbandingan antara keduanya seperti yang disajikan
pada persamaan di atas. Nantinya suhu foton Tjuga akan berbeda dengan suhu materi T
setelah T turun di bawah 4000 K, yaitu saat suhu yang memungkinkan terbentuknya atom
hidrogen. Suhu foton ini akan terus menurun mengikuti S 1.
Radiasi kosmik latar belakang gelombang mikro yang ditemukan orang memiliki suhu
saat ini sebesar
𝑇𝛾0 = 2,7 K (2.59)
Karena itu seharusnya suhu radiasi benda hitam neutrino dan antineutrino sebesar
𝑇𝛾0
𝑇𝑣0 = 3 = 1,9 K (2.60)
√11⁄4
Dari saat T = 109 K hingga saat ini, rapat energi foton, neutrino dan
antineutrino yang membentuk rapat energi radiasi adalah
Ρ𝑅 = 1,45 𝑎𝑇𝛾4 (2.61)
Selama masa dominasi radiasi, nilai rapat energy P∝S 4 . Solusi persamaan
dinamika jagad raya untuk keadaan tersebut adalah
3
𝑡 = √32𝜋𝐺𝑝 + 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑎𝑛 (2.62)

Tabel 5.2
Deskripsi suhu, usia dan ruji jagad raya
Semenjak 1012 K > T > 5 109 K, rapat energi dirumuskan oleh pers. (2.57)
sehingga diperoleh (nilai c diisikan)
𝑐2
𝑡 = √48𝜋𝐺𝑎𝑇 4 + 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑎𝑛 (2.63)

2.8 Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro


Pengembangan jagad raya menyebabkan suhunya menurun, demikian pula dengan suhu
radiasi foton. Hal ini membawa pula pada perubahan panjang gelombang foton yang bergeser
ke arah yang lebih besar, yang dikenal sebagai pergeseran merah (red shift). Meskipun
demikian, distribusi spektrum radiasi foton tetap seperti yang dimiliki oleh radiasi benda
hitam. Pada tahun 1940-an, para ilmuwan kosmolog Big Bang seperti Gamow dan lainnya
meramalkan bahwa suhu “bola api” sekarang menurun menjadi suhu yang berorde 5 sampai
dengan 10 K. Foton-foton tersebut akan memiliki energi kT dalam orde 103 eV yang
berkaitan dengan panjang gelombang berorde 1 mm, yaitu dalam daerah spectrum gelombang
mikro (microwaves) Spektrum panjang gelombang radiasi ini dilukiskan oleh distribusi
Planck melalui perumusan
8𝜋ℎ𝑐 𝑑𝜆
𝑢(𝜆)𝑑𝜆 = (2.65)
𝜆5 exp( ℎ𝑐 )−1
𝜆𝑘𝑇
Dengan 𝑢(𝜆)𝑑𝜆 adalah rapat energi radiasi yang dipancarkan pada rentang panjang
gelombang 𝜆 dan 𝜆d 𝜆. Distribusi panjang gelombang untuk suatu suhu tertentu memiliki
nilai maksimum pada 𝜆max yang dirumuskan dalam hokum pergeseran Wien sebagai
𝜆𝑚𝑎𝑥 𝑇 = 2,898 × 10−13 Km (2.66)
Rapat energi radiasi total untuk seluruh panjang gelombang diperoleh dari hokum Stefan-
Boltzmann yaitu dengan mengintegralkan pers. (2.65) yang hasilnya
∞ 8𝜋 5 𝑘 4
Ρ = ∫𝜆=0 𝑢(𝜆)𝑑𝜆 = 15𝑐 3 ℎ3 𝑇 4 (2.67)
Ketika jagad raya mengembang, suhu T turun sehingga nilai 𝜆max membesar. Panjang
gelombang 𝜆max membesar dengan faktor f, yang berpadanan dengan penurunan suhu T
dengan faktor f sehingga P mengecil sebesar f 4 . Dengan substitusi
ℎ𝑐
𝜆= (2.68)
𝐸
pers. (2.65) dapat dituliskan sebagai
8𝜋𝐸 3 𝑑𝐸
𝑢(𝐸)𝑑𝐸 = (2.69)
ℎ3 𝑐 3 exp( 𝐸 )−1
𝑘𝑇
Persamaan di atas menyatakan kerapatan energi foton. Jika nilai di atas dibagi E,
hasilnya menyatakan jumlah foton berenergi E persatuan volume atau n(E) yang
dirumuskan sebagai
8𝜋𝐸 3 𝑑𝐸
𝑛(𝐸)𝑑𝐸 = (2.70)
ℎ3 𝑐 3 exp( 𝐸 )−1
𝑘𝑇
Jumlah foton untuk seluruh rentang energi persatuan volume atau N dapat dicari
dengan mengintegralkan persamaan di atas yang nilainya adalah
∞ 8𝜋𝑘 3 𝑇 3 ∞ 𝑥 2 𝑑𝑥
𝑁 = ∫𝐸=0 𝑛(𝐸)𝑑𝐸 = ∫𝑥=0 exp(𝑥)−1 (2.71)
ℎ3 𝑐 3
untuk mana telah dilakukan substitusi
𝐸
𝑥 = 𝑘𝑇 (2.72)
Nilai integral tersebut dapat dicari secara numerik, sehingga akhirnya diperoleh
jumlah foton persatuan volume sebesar
𝑁 = 2,03 × 107 𝑇 3 foton m-3 (2.73)
Sementara itu nilai rapat energi dari pers. (2.67) adalah
Ρ = 4,73 × 103 𝑇 4 eV m-3 (2.74)
sehingga energi rata-rata tiap foton adalah
Ρ
𝐸𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 = 𝑁 = 2,33 × 10−4 T eV (2.75)
Selanjutnya beralih pada upaya eksperimental untuk mendeteksi radiasi gelombang mikro
serta penentuan suhunya. Dari pers. (5.65) tampak bahwa suhu T dapat ditentukan dengan
mengukur energi radiasi benda hitam pada sembarang panjang gelombang. Namun untuk
menunjukkan bahwa radiasinya mematuhi aturan spektrum radiasi benda hitam, maka
diperlukan pengukuran dalam suatu rentang panjang gelombang.
Pada tahun 1965, Penzias dan Wilson menggunakan suatu teleskop radio yang
dipasang untuk panjang gelombang 7,35 cm. Pada panjang gelombang tersebut terekam suatu
“desis” yang mengganggu teleskop mereka yang sulit untuk dihilangkan. Setelah upaya untuk
menghilangkan gangguan itu ternyata sia-sia, mereka berkesimpulan bahwa asal radiasi
tersebut adalah suatu sumber tak dikenalyang menghujami teleskop mereka dari segala arah,
baik siang maupun malam. Dari energi radiasi pada panjang gelombang 7,35 cm tersebut
mereka menyimpulkan bahwa suhu radiasi benda hitam adalah 3,1 1,0 K. Dalam
perkembangan selanjutnya ternyata disimpulkan bahwa radiasi tersebut adalah warisan dari
“bola api” Big Bang. Pada Gambar 5.2 disajikan distribusi radiasi benda hitam pada radiasi
latar belakang gelombang mikro (Krane, 1992).

Gambar 5.2
Distribusi radiasi benda hitam pada radiasi latar belakang gelombang mikro
Sejak penemuan tersebut telah dilakukan pula pengamatan pada berbagai panjang
gelombang dalam rentang 0,1 hingga 100 cm. Semua pengamatan memberikan kesimpulan
suhu yang sama. Nilai baku suhu radiasi kosmik latar belakang gelombang mikro adalah 2,7
0,1 K. Semua hasil pengamatan menampakkan kecocokan yang tinggi. Kecocokan ini akan
lebih meyakinkan jika dilakukan pula pengamatan pada panjang gelombang di bawah 0,1 cm.
Hanya , radiasi pada panjang gelombang tersebut mengalami penyerapan kuat oleh atmosfer
bumi. Oleh karena itu teleskop radio di permukaan bumi tidak dapat bermanfaat. Namun
demikain data yang dicatat oleh stasiun balon yang diterbangkan di atas atmosfer bumi
membuktikan bahwa intensitas radiasi pada rentang panjang gelombang di bawah 0,1 cm
memang mematuhi aturan radiasi benda hitam yang bersuhu 2,7 K (Krane, 1992).
Selain itu terdapat metode eksperimen lain yang mendukung kebenaran nilai suhu
yang disimpulkan dari pengukuran dengan teleskop radio. Salah satu molekul dwiatom dalam
ruang antarbintang yang dicirikan dari spektrum serapnya adalah Sianogen atau CN. Tingkat
energi molekul adalah gabungan dari keadaan elektronik, vibrasi dan rotasi. Pada keadaan
dasar, molekuk CN menyerap energy radiasi pada panjang gelombang = 387,46 nm pada
ujung biru spektrum tampak. Keadaan rotasi pertama memiliki energi sebesar 4,70 104 eV
di atas keadaan dasar. Pada keadaan ini, panjang gelombang garis serapnya adalah 387,40
nm. Jika kita mengukur spektrum serap, perbandingan intensitas kedua garis serap ini
merupakan ukuran perbandingan jumlah molekul pada keadaan dasar dan dalam
keadaan rotasi pertamanya. Jika CN berada pada T = 0, semua molekulnya harus berada
dalam keadaandasar. Pada suhu T, populasi keadaan eksitasi ditentukan oleh faktor
Boltzmann exp(E / kT ) . Bobot statistik tingkat tersebut dirumuskan sebagai
𝑁1 2𝐿 +1
= 2𝐿1 +1 𝑒𝑥𝑝[−(𝐸1 − 𝐸2 ]/𝑘𝑇 (2.76)
𝑁2 2
Oleh karena itu penentuan jumlah relatif molekul pada kedua tingkat tersebut adalah suatu
cara untuk menentukan suhu gas. Pengamatan terhadap intensitas kedua garis serap gas CN di
atas menunjukkan bahwa sekitar 25 % molekulnya berada dalam keadaan tereksitasi.
Persamaan di atas menjadi
25% 2×1+1 10−4 𝑒𝑉
= 2×0+1 exp(−4,70 × ) (2.77)
75% 𝑘𝑇
yang berarti
𝑇 = 2,5 𝐾 (2.78)
Hal ini berarti bahwa pada ruang antar bintang yang amat dingin, terdapat sesuatu yang
memanasi molekul-molekul gas CN sehingga memiliki suhu tersebut (Krane,1992).
Pengamatan terhadap radiasi kosmik menunjukkan bahwa radiasi tersebut bersifat
isotrop (merata) pada seluruh arah hingga ketelitian 103. Sifat ini sesuai dengan asas
kosmologi.
Suhu T = 2,7 K ini dapat dikatakan sebagai suhu jagad raya. Hal ini tentu saja berlaku
untuk skala besar (large scale). Dengan menggunakan suhu ini, dapat dihitung bahwa dalam
setiap volume satu meter kubik ruang di jagad raya, terdapat sekitar 4 108 buah foton.
Sumbangannya bagi rapat energi jagad raya adalah sekitar 2,5 105 eV m3 atau kira-kira
setengah dari energi rehat sebuah elektron. Jadi setiap foton memiliki energi rata-rata sebesar
6,3 104 eV.
Mengingat fenomena di atas, pantaslah jika Big Bang merupakan salah satu teori yang
cukup menerangkan gejala penciptaan jagad raya dan ekspansinya. Namun demikian terdapat
teori baru yang mampu memberikan tambahan penjelasan yang belum mampu dijelaskan oleh
teori Big Bang, diantaranya adalah teori jagad raya yang mengalami inflasi (inflationary
universe). Hal-hal yang belum dapat dijelaskan oleh teori Big Bang adalah, mengapa jagad
raya nampak
begitu datar dan seragam, darimanakah munculnya ketidakteraturan rapat massa jagad raya
pada skala kecil, dan sebagainya. Namun demikian telaah jagad raya yang mengalami inflasi
tersebut tidak akan dibahas di sini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Asas kosmologi sempurna (perfect cosmological principle) yang menyatakan
bahwa seluruh pengamat galaksi melihat struktur skala besar jagad raya yang sama
untuk seluruh waktu.
2. Persamaan
𝑑𝑟 2
𝑑𝑙 2 = 𝑆 2 ( + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 ))
1 − 𝑘𝑟 2
3. Persamaan
𝑑𝑟 2
𝑑𝑠 2 = −𝑑𝑡 2 + 𝑆 2 (1−𝑘𝑟2 + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑑𝜙 2 ))

Metrik di atas dinamakan metrik Robertson-Walker. S adalah faktor skala kosmik


yang merupakan fungsi t saja. Untuk k = +1, nilai S menyatakan ruji spatial
bolahiper 3 dimensi dalam ruang empat dimensi spatial.
4. Jika galaksi yang diamati cukup dekat pada skala besar, t0 t1 relatif kecil dan S(t1)
dapat dinyatakan dalam deret Taylor sebagai
1
𝑆(𝑡1 ) = 𝑆(𝑡0 ) − (𝑡0 − 𝑡1 )𝑆(𝑡0 ) + (𝑡0 − 𝑡1 )2 𝑆(𝑡0 )−. ..
2
1
= 𝑆(𝑡0 )(1 − 𝐻0 (𝑡0 − 𝑡1 ) − 2 𝑞0 𝐻0 (𝑡0 − 𝑡1 )2 − ⋯
5. Bukti adanya ekspansi jagad raya berasal dari efek pergeseran Doppler cahaya yang
dipancarkan oleh galaksi-galaksi jauh. Pergerakan bintang-bintangatau galaksi
dekat relatif terhadap kita tidaklah cukup memberikan bukti adanya ekspansi jagad
raya. Beberapa bintang di galaksi kita bergerak menuju kita dan panjang gelombang
yang dipancarkannya teramati mengalami pergeseran ke panjang gelombang yang
lebih pendek (pergeseran biru). Sementara itu beberapa bintang lainnya bergerak
menjauhi kita sehingga cahayanya mengalami pergeseran ke arah panjang
gelombang yang lebih besar atau dikenal sebagai pergeseran merah.
6. Menurut teori Big Bang, jagad raya berasal dari suatu ledakan besar yang
menghamburkan seluruh isi jagad raya ke segala arah ruang. Saat ledakan terjadi,
jagad raya berukuran titik berkerapatan energi takhingga, bersuhu takhingga besar.
Saat jagad raya terus mengembang dan usianya bertambah, suhunya semakin
mengecil. Akhirnya suhu jagad raya sampai pada ambang penciptaan
partikelantipartikel.
7. Pengembangan jagad raya menyebabkan suhunya menurun, demikian pula dengan
suhu radiasi foton. Hal ini membawa pula pada perubahan panjang gelombang foton
yang bergeser ke arah yang lebih besar, yang dikenal sebagai pergeseran merah (red
shift). Meskipun demikian, distribusi spektrum radiasi foton tetap seperti yang
dimiliki oleh radiasi benda hitam.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anugraha, R., 1997 : Teori Relativitas Umum Einstein dan Penerapannya pada
Model Standar Alam Semesta pada keadaan awal, sekarang dan masa
depan, Skripsi, Fakultas MIPA UGM, Yogyakarta.
Bose, S.K., 1980 : An Introduction to General Relativity, cetakan ke 10, Wiley
Eastern Limited.
Farmer, G., 1966, Derivation of Compton Scattering Relation in Covariant
Notation, American Journal of Physics, Vol. 34, p. 614.
Hawking, S., 1974 : Black Hole Explosion ? Nature, vol. 248, p. 30 33.
Krane, K., 1992 : Fisika Modern, UI Press, Jakarta.
Lapidus, I.R., 1972, Motion of a Relativistic Particle Acted Upon by a Constant
Force and a Uniform Gravitational Field, American Journal of Physics, Vol.
40, p. 984 988.
Lawden, D.F., 1982 : An Introduction to Tensor Calculus, Relativity and
Cosmology, John Wiley & Sons, New York.
Misner, C.W., Thorne, K.S., Wheeler, J.A., 1973 : Gravitation, W.H. Freeman &
Company, New York.
Muller, R.A., 1972, The Twin Paradox in Special Relativity, American Journal of
Physics, Vol. 40, p. 966 969.
Muslim, 1985 : Teori Relativitas Khusus, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Muslim, 1986 : Analisis Vektor dan Tensor dalam Fisika Matematik, Fakultas
Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Muslim, 1997 : Teori Relativitas Khusus, Produk dan Eksponen Paradigma
Simetri, Unifikasi dan Optimasi dalam Fisika Modern, Lab AtomInti
FMIPA UGM, Yogyakarta.
Peebles, P.J.E., 1971 : Physical Cosmology, Princeton University Press
Siemon, R.E., Snider, D.R., Elastic Collisions as Lorentz Transformations with
Application to Compton Scattering, American Journal of Physics, Vol. 34,
p. 614 615.
Weinberg, S., 1972 : Gravitation and Cosmology : Principles and Applications of
the General Theory of Relativity, John Wiley & Sons, New York.
Wospakrik, H.J., 1987 : Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum dan Biografi
Albert Einstein, ITB, Bandung.
Zahara, M., Muslim, 1992 : Relativitas Khusus dan Mekanika Kuantum Sebagai
Sokoguru Fisika Masa Kini, Berkala Ilmiah MIPA, No. 2, Tahun IV,
FMIPA UGM Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai