OLEH:
KELOMPOK IV:
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah gelombang ini. Salam serta
salawat tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan kita nabi yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang yaitu Nabi Muhammad SAW.
seperti yang kita rasakan saat-saat sekarang ini. Makalah ini kami buat untuk memperdalam
pengetahuan kami tentang KOSMOLOGI : SEJARAH JAGAD RAYA.
Kami menyadari dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan,hal ini
dikarenakan terbatasnya kemampuan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki namun
demikian banyak pula pihak yang membantu kami dengan menyediakan sumber informasi,
memberi masukan pemikiran, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi
perbaikan dan kesempurnaan makalah ini diwaktu yang akan datang, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kami dan orang banyak agar mengetahui apa saja yang ada dalam
pelajaran ini khususnya PENGANTAR TEORI RELATIVITAS.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN
Bab II PEMBAHASAN
2.1 Asas Kosmologi
2.2 Geometri Bolahiper
2.3 Metrik Robertson-Walker
2.4 Pergeseran Merah Galaksi
2.5 Ekspansi Jagad Raya
2.6 Sejarah Suhu Jagad Raya Menurut Big Bang
2.7 Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apa Itu Asas Kosmologi ?
2. Untuk Mengetahui Persamaan Geometri Bolahiper?
3. Untuk Mengetahui Metrik Robertson-Walker?
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Pergeseran Merah Galaksi?
5. Untuk Mengetahui Ekspansi Jagad Raya?
6. Untuk Mengetahui Sejarah Suhu Jagad Raya Menurut Big Bang?
7. Untuk Mengetahui Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asas Kosmologi
Dalam skala besar jagad raya, mulai dari jarak 107 parsec, seluruh materi dapat
dianggap sebagai fluida yang kontinu, homogen dan isotrop. Pernyataan ini membawa
kepada kesimpulan bahwa tidak ada pengamat galaksi yang dipandang istimewa di jagad raya
ini. Dengan kata lain, seluruh pengamat bergerak bersama galaksi dan melihat proses skala
besar yang sama dalam evolusi jagad raya. Inilah yang dinamakan dengan asas kosmologi
(cosmological principle). Sedangkan teori keadaan ajeg (steady state theory) didasarkan pada
asas kosmologi sempurna (perfect cosmological principle) yang menyatakan bahwa seluruh
pengamat galaksi melihat struktur skala besar jagad raya yang sama untuk seluruh waktu.
Berdasarkan fakta-fakta, ditemui bahwa yang lebih tepat adalah asas pertama,bukan asas
kedua.
Bentuk persamaan bolahiper (hypersphere) tiga dimensi dalam ruang empat dimensi
menyerupai bentuk persamaan permukaan bola dua dimensi dalam ruang tiga dimensi.
Persamaan bolahiper tersebut adalah:
(𝑥 1 )² + (𝑥 2 )2 + (𝑥 3 )2 + (𝑥 4 )2 = 𝑆² (2.3)
dengan S adalah ruji bolahiper. Jika persamaan di atas diturunkan maka bentuknya
menjadi:
𝑥 1 𝑑𝑥 1 + 𝑥 2 𝑑𝑥 2 + 𝑥 3 𝑑𝑥 3 + 𝑥 4 𝑑𝑥 4 = 0 (2.4)
Atau
𝑥 1 𝑑𝑥 1 +𝑥 2 𝑑𝑥 2 +𝑥 3 𝑑𝑥 3
𝑑𝑥 4 = 𝑥4
(2.5)
yang menyatakan bentuk umum persamaan kuadrat elemen garis pada bolahiper.
Jika ruang Euclid tersebut dinyatakan dalam koordinat polar
(𝑢, 𝜃, Ф) (2.7)
Dan
𝑆 = 𝑢2 + (𝑥 4 )2 (2.10)
Sehingga
𝑢2 𝑑𝑢2
𝑑𝑙 2 = 𝑑𝑢2 + 𝑢2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 ) + 𝑆 2 −𝑢2
(2.11)
𝑑𝑢2
= 1−(𝑢/𝑆 2 + 𝑢2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 ) (2.12)
Dengan subtitusi
𝑢 = 𝑆𝑟 (2.13)
Diperoleh
𝑑𝑟 2
𝑑𝑙 2 = 𝑆 2 (1−𝑟2 + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 )) (2.14)
Jika pada pers. (5.3), S 2 diganti dengan S 2 , pers. (5.14) menjadi
𝑑𝑟 2
𝑑𝑙 2 = 𝑆 2 ( + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 )) (2.15)
1−𝑘𝑟 2
dengan k = 1 untuk pers. (5.14) dan k = 1 untuk pers. (5.15). Jika diisikan k = 0 ,
dihasilkan ruang Euclid tiga dimensi.
𝜕𝑥 𝑗 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑗
𝑔̅𝑖0 = 𝑔𝑗𝑘 = 𝑔
𝜕𝑥̅ 𝑖 𝜕𝑥̅ 0 𝜕𝑥̅ 𝑖 𝑗0
yang menggambarkan bahwa gi0 menentukan arah tertentu pada ruang tiga dimensi. Hal ini
bertentangan dengan asumsi kedua di atas sehingga ditarik kesimpulan bahwa 0 0 gi untuk i
= 1, 2, 3. Bentuk metrik jagad raya tereduksi ke bentuk
𝑑𝑠 2 = 𝑔00 (𝑑𝑥 0 )2 + 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥 𝑖 𝑑𝑥 𝑗 (2.18)
Ditinjau dua kejadian yang masing-masing terjadi pada waktu x0 dan x0 dx0 .
Diketahui dadalah swawaktu / waktu pribadi (proper time) antara dua kejadian tersebut.
Karena koordinat spatial pengamat tidak pernah berubah, bentuk metrik (5.18) menjadi
−𝑑𝜏 2 = 𝑔00 (𝑑𝑥 0 )2 (2.19)
Berdasarkan asumsi pertama, swawaktu dsama dengan waktu kosmik x0 t sehingga
00 1g . Bentuk metrik (5.18) menjadi
𝑑𝑠 2 = −𝑑𝑡 2 + 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥 𝑖 𝑑𝑥 𝑗 (2.20)
Dengan mengambil t konstan, metrik di atas menjadi
𝑑𝑠 2 = 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥 𝑖 𝑑𝑥 𝑗 = 𝑑𝑙 2 (2.21)
Berdasarkan asas kosmologi, setiap pengamat akan mendapati ruang spatial bersifat homogen
dan isotrop. Oleh karena itu, bentuk dl 2 adalah bentuk umum elemen garis pers. (5.16)
sehingga pers. (5.20) dituliskan sebagai
𝑑𝑟 2
𝑑𝑠 2 = −𝑑𝑡 2 + 𝑆 2 (1−𝑘𝑟2 + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑑𝜙 2 )) (2.22)
Metrik di atas dinamakan metrik Robertson-Walker. S adalah faktor skala kosmik yang
merupakan fungsi t saja. Untuk k = +1, nilai S menyatakan ruji spatial bolahiper 3 dimensi
dalam ruang empat dimensi spatial.
Kali ini akan ditelaah sejarah suhu jagad raya secara lebih rinci, dimulai dari
1012 K T 3,1 1011K ketika moun (µ) dan antimuon (µ) cukup jarang. Pengisi penting
jagad raya, adalah elektron-positron ( e,e) foton (γ), neutrinoantineutrino untuk electron
(ve,ve) serta neutrino-antineutrino untuk muon (vµ,Vµ) yang seluruhnya masih berada pada
kesetimbangan suhu (thermal equilibrium). Foton memenuhi distribusi Planck sedangkan
elektron-positron dan neutrino-antineutrino memenuhi distribusi Fermi. Neutrino dan
antineutrino tersebut dihasilkan, dilenyapkan dan dihamburkan melalui reaksi berikut :
𝑒 − + 𝜇 − ↔ 𝑣𝑒 + 𝑣𝜇− (2.46)
𝑣𝑒 + 𝜇 − ↔ 𝑣𝜇 + 𝑒 − (2.47)
𝑣𝜇 + 𝜇 + ↔ 𝑣𝑒 + 𝑒 + (2.48)
𝑒 + + 𝜇 − ↔ 𝑣𝑒− + 𝑣𝜇 (2.49)
𝑣𝑒− + 𝜇 + ↔ 𝑣𝜇− + 𝑒 + (2.50)
𝑣𝜇− + 𝜇 − ↔ 𝑣𝑒− + 𝑒 − (2.51)
Pada masa dominasi radiasi berlaku kaitan antara rapat energi () dengan
suhu (T) jagad raya yang dirumuskan sebagai
𝜌 ∝ 𝑇4 (2.52)
Sedangkan juga pada masa dominasi radiasi, hubungan antara rapat energi dengan
ruji atau faktor skala kosmik (S) jagad raya dirumuskan sebagai
𝑇 ∝ 𝑆 −1 (2.53)
Ketika T turun hingga 1,3 x 1011 K, dan (mungkin juga e dan e )
mengalami ketidakgandengan (decoupled) dengan partikel dalam kesetimbangan
suhu dan mulai melakukan ekspansi bebas (free expansion). Tetapi,
ketidakgandengan ini tidak berdampak apa-apa pada distribusi partikel. Partikel
yang berada di dalam kesetimbangan suhu tersebut masih berperilaku seperti
partikel ultrarelativistik sehingga suhu mereka tetap sebanding dengan S 1. Rapat
jumlah neutrino dan antineutrino bebas sebanding dengan S 3 dan mengalami
pergeseran merah oleh faktor S 1 seperti foton. Suhunya juga menurun mengikuti
S 1. Selanjutnya terjadi ketidakgandengan (decoupled) kedua neutrino (e,e)
pada saat T = 1010 K, namun hal ini juga tidak membawa pengaruh pada fungsi
distribusi neutrino dan antineutrino. Secara keseluruhan pada rentang suhu 1012 K
> T > 5 109 K, nilai rapat energi neutrino dan antineutrino baik untuk elektron
maupun untuk muon adalah sama yaitu sebesar
7𝑎𝑇 4
Ρ𝑣𝑒 = Ρ𝑣−𝑒 = Ρ𝑣𝜇 = Ρ𝑣−𝜇 = Ρ𝑣 = (2.54)
16
dengan tetapan Stefan-Boltzmann
8𝜋 5 𝑘 4
𝑎 = 15𝑐 3 ℎ3 = 7,5 × 10−16 J m-3 K-4 (2.55)
Pada saat m kTe , ebersifat relativistik sehingga
7𝑎𝑇 4
Ρ𝑒 − = Ρ𝑒 + = 2Ρ𝑣 = (2.56)
8
Rapat energi untuk elektron dan positron bernilai dua kali rapat energi neutrino
karena elektron dan positron memiliki dua keadaan spin. Rapat energi total jagad
raya saat rentang suhunya 1012 K > T > 5 109 K adalah jumlah rapat energi
neutrino, elektron, positron dan foton sebesar
9𝑎𝑇 4
Ρ𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = (2.57)
2
Berikutnya saat T di bawah suhu 1010 K, partikel yang berperan penting di
dalam kesetimbangan suhu hanyalah edan γ. Neutrino dan antineutrino tidak
mengalami pemanasan ketika pelenyapan elektron-positron sehingga suhu
keduanya turun sebanding dengan S 1. Selanjutnya untuk T < 5 109 K, suhu
neutrino dan antineutrino (T) harus dibedakan dengan suhu foton dan partikel
bermuatan lainnya (T). Suhu foton lebih besar daripada suhu neutrino dengan
faktor sebesar
𝑇 3 11
(𝑇 ) = √ 4 = 1,401 (2.58)
𝑣 𝑇<109 𝐾
Untuk T < 109 K, partikel yang tersisa di kesetimbangan suhu adalah sejumlah kecil nukleon
dan elektron setelah seluruh pasangan e emengalami proses pelenyapan. Kedua nilai
Tdan T turun mengikuti S 1 dengan perbandingan antara keduanya seperti yang disajikan
pada persamaan di atas. Nantinya suhu foton Tjuga akan berbeda dengan suhu materi T
setelah T turun di bawah 4000 K, yaitu saat suhu yang memungkinkan terbentuknya atom
hidrogen. Suhu foton ini akan terus menurun mengikuti S 1.
Radiasi kosmik latar belakang gelombang mikro yang ditemukan orang memiliki suhu
saat ini sebesar
𝑇𝛾0 = 2,7 K (2.59)
Karena itu seharusnya suhu radiasi benda hitam neutrino dan antineutrino sebesar
𝑇𝛾0
𝑇𝑣0 = 3 = 1,9 K (2.60)
√11⁄4
Dari saat T = 109 K hingga saat ini, rapat energi foton, neutrino dan
antineutrino yang membentuk rapat energi radiasi adalah
Ρ𝑅 = 1,45 𝑎𝑇𝛾4 (2.61)
Selama masa dominasi radiasi, nilai rapat energy P∝S 4 . Solusi persamaan
dinamika jagad raya untuk keadaan tersebut adalah
3
𝑡 = √32𝜋𝐺𝑝 + 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑎𝑛 (2.62)
Tabel 5.2
Deskripsi suhu, usia dan ruji jagad raya
Semenjak 1012 K > T > 5 109 K, rapat energi dirumuskan oleh pers. (2.57)
sehingga diperoleh (nilai c diisikan)
𝑐2
𝑡 = √48𝜋𝐺𝑎𝑇 4 + 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑎𝑛 (2.63)
Gambar 5.2
Distribusi radiasi benda hitam pada radiasi latar belakang gelombang mikro
Sejak penemuan tersebut telah dilakukan pula pengamatan pada berbagai panjang
gelombang dalam rentang 0,1 hingga 100 cm. Semua pengamatan memberikan kesimpulan
suhu yang sama. Nilai baku suhu radiasi kosmik latar belakang gelombang mikro adalah 2,7
0,1 K. Semua hasil pengamatan menampakkan kecocokan yang tinggi. Kecocokan ini akan
lebih meyakinkan jika dilakukan pula pengamatan pada panjang gelombang di bawah 0,1 cm.
Hanya , radiasi pada panjang gelombang tersebut mengalami penyerapan kuat oleh atmosfer
bumi. Oleh karena itu teleskop radio di permukaan bumi tidak dapat bermanfaat. Namun
demikain data yang dicatat oleh stasiun balon yang diterbangkan di atas atmosfer bumi
membuktikan bahwa intensitas radiasi pada rentang panjang gelombang di bawah 0,1 cm
memang mematuhi aturan radiasi benda hitam yang bersuhu 2,7 K (Krane, 1992).
Selain itu terdapat metode eksperimen lain yang mendukung kebenaran nilai suhu
yang disimpulkan dari pengukuran dengan teleskop radio. Salah satu molekul dwiatom dalam
ruang antarbintang yang dicirikan dari spektrum serapnya adalah Sianogen atau CN. Tingkat
energi molekul adalah gabungan dari keadaan elektronik, vibrasi dan rotasi. Pada keadaan
dasar, molekuk CN menyerap energy radiasi pada panjang gelombang = 387,46 nm pada
ujung biru spektrum tampak. Keadaan rotasi pertama memiliki energi sebesar 4,70 104 eV
di atas keadaan dasar. Pada keadaan ini, panjang gelombang garis serapnya adalah 387,40
nm. Jika kita mengukur spektrum serap, perbandingan intensitas kedua garis serap ini
merupakan ukuran perbandingan jumlah molekul pada keadaan dasar dan dalam
keadaan rotasi pertamanya. Jika CN berada pada T = 0, semua molekulnya harus berada
dalam keadaandasar. Pada suhu T, populasi keadaan eksitasi ditentukan oleh faktor
Boltzmann exp(E / kT ) . Bobot statistik tingkat tersebut dirumuskan sebagai
𝑁1 2𝐿 +1
= 2𝐿1 +1 𝑒𝑥𝑝[−(𝐸1 − 𝐸2 ]/𝑘𝑇 (2.76)
𝑁2 2
Oleh karena itu penentuan jumlah relatif molekul pada kedua tingkat tersebut adalah suatu
cara untuk menentukan suhu gas. Pengamatan terhadap intensitas kedua garis serap gas CN di
atas menunjukkan bahwa sekitar 25 % molekulnya berada dalam keadaan tereksitasi.
Persamaan di atas menjadi
25% 2×1+1 10−4 𝑒𝑉
= 2×0+1 exp(−4,70 × ) (2.77)
75% 𝑘𝑇
yang berarti
𝑇 = 2,5 𝐾 (2.78)
Hal ini berarti bahwa pada ruang antar bintang yang amat dingin, terdapat sesuatu yang
memanasi molekul-molekul gas CN sehingga memiliki suhu tersebut (Krane,1992).
Pengamatan terhadap radiasi kosmik menunjukkan bahwa radiasi tersebut bersifat
isotrop (merata) pada seluruh arah hingga ketelitian 103. Sifat ini sesuai dengan asas
kosmologi.
Suhu T = 2,7 K ini dapat dikatakan sebagai suhu jagad raya. Hal ini tentu saja berlaku
untuk skala besar (large scale). Dengan menggunakan suhu ini, dapat dihitung bahwa dalam
setiap volume satu meter kubik ruang di jagad raya, terdapat sekitar 4 108 buah foton.
Sumbangannya bagi rapat energi jagad raya adalah sekitar 2,5 105 eV m3 atau kira-kira
setengah dari energi rehat sebuah elektron. Jadi setiap foton memiliki energi rata-rata sebesar
6,3 104 eV.
Mengingat fenomena di atas, pantaslah jika Big Bang merupakan salah satu teori yang
cukup menerangkan gejala penciptaan jagad raya dan ekspansinya. Namun demikian terdapat
teori baru yang mampu memberikan tambahan penjelasan yang belum mampu dijelaskan oleh
teori Big Bang, diantaranya adalah teori jagad raya yang mengalami inflasi (inflationary
universe). Hal-hal yang belum dapat dijelaskan oleh teori Big Bang adalah, mengapa jagad
raya nampak
begitu datar dan seragam, darimanakah munculnya ketidakteraturan rapat massa jagad raya
pada skala kecil, dan sebagainya. Namun demikian telaah jagad raya yang mengalami inflasi
tersebut tidak akan dibahas di sini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Asas kosmologi sempurna (perfect cosmological principle) yang menyatakan
bahwa seluruh pengamat galaksi melihat struktur skala besar jagad raya yang sama
untuk seluruh waktu.
2. Persamaan
𝑑𝑟 2
𝑑𝑙 2 = 𝑆 2 ( + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 𝑑Ф2 ))
1 − 𝑘𝑟 2
3. Persamaan
𝑑𝑟 2
𝑑𝑠 2 = −𝑑𝑡 2 + 𝑆 2 (1−𝑘𝑟2 + 𝑟 2 (𝑑𝜃 2 + 𝑠𝑖𝑛2 𝜃𝑑𝜙 2 ))
Anugraha, R., 1997 : Teori Relativitas Umum Einstein dan Penerapannya pada
Model Standar Alam Semesta pada keadaan awal, sekarang dan masa
depan, Skripsi, Fakultas MIPA UGM, Yogyakarta.
Bose, S.K., 1980 : An Introduction to General Relativity, cetakan ke 10, Wiley
Eastern Limited.
Farmer, G., 1966, Derivation of Compton Scattering Relation in Covariant
Notation, American Journal of Physics, Vol. 34, p. 614.
Hawking, S., 1974 : Black Hole Explosion ? Nature, vol. 248, p. 30 33.
Krane, K., 1992 : Fisika Modern, UI Press, Jakarta.
Lapidus, I.R., 1972, Motion of a Relativistic Particle Acted Upon by a Constant
Force and a Uniform Gravitational Field, American Journal of Physics, Vol.
40, p. 984 988.
Lawden, D.F., 1982 : An Introduction to Tensor Calculus, Relativity and
Cosmology, John Wiley & Sons, New York.
Misner, C.W., Thorne, K.S., Wheeler, J.A., 1973 : Gravitation, W.H. Freeman &
Company, New York.
Muller, R.A., 1972, The Twin Paradox in Special Relativity, American Journal of
Physics, Vol. 40, p. 966 969.
Muslim, 1985 : Teori Relativitas Khusus, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Muslim, 1986 : Analisis Vektor dan Tensor dalam Fisika Matematik, Fakultas
Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Muslim, 1997 : Teori Relativitas Khusus, Produk dan Eksponen Paradigma
Simetri, Unifikasi dan Optimasi dalam Fisika Modern, Lab AtomInti
FMIPA UGM, Yogyakarta.
Peebles, P.J.E., 1971 : Physical Cosmology, Princeton University Press
Siemon, R.E., Snider, D.R., Elastic Collisions as Lorentz Transformations with
Application to Compton Scattering, American Journal of Physics, Vol. 34,
p. 614 615.
Weinberg, S., 1972 : Gravitation and Cosmology : Principles and Applications of
the General Theory of Relativity, John Wiley & Sons, New York.
Wospakrik, H.J., 1987 : Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum dan Biografi
Albert Einstein, ITB, Bandung.
Zahara, M., Muslim, 1992 : Relativitas Khusus dan Mekanika Kuantum Sebagai
Sokoguru Fisika Masa Kini, Berkala Ilmiah MIPA, No. 2, Tahun IV,
FMIPA UGM Yogyakarta.