Kerangka Isi:
1. Pendahuluan
2. Pengantar Mempelajari Sejarah
3. Problematika Pembelajaran Sejarah
4. Pebelajaran di Era Millenial
5. Beberapa Kesalahan Guru
6. Pentingnya Narasi Sejarah yang Mencerdaskan
7.
1. Pendahuluan
“.....Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri, Indonesia akan terpecah
dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang
mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan ke mana mereka pergi..” 1
Pernyataan yang bernada miris yang ditulis sejarawan kawakan asal Inggris,
Peter Carey2 -- semoga ini menginspirasi kita para guru sejarah – tentunya sangat
memprihatinkan. Terlebih lagi mengingat bagaimana kondisi yang melanda
negeri ini beberapa tahun terakhir.
1
Peter Carey, “Prakata” dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855),
diterjemahkan oleh Th. Bambang Murtianto. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hlm. xiv.
Buku di atas merupakan versi ringkas dari penerbitan mahakarya Peter Carey berjudul The Power
of Prophecity: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java 1785-1855 yang diterbitkan
oleh KITLV Press, Leiden, 2007. Buku ini diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, (Jakarta:
Kepustakaan Populer, Jakarta, 2012) oleh wartawan dan sejarawan senior Indonesia, Parakitri T.
Simbolon. Karena teramat tebal menurut ukuran penerbitan buku Indonesia, buku ini kemudian
dijadikan 3 jilid.
2
Peter Carey lahir di Rangoon, Burma (sekarang Myanmar), 30 April 1948. Menempuh
pendidikan di Winchester Collage dan Oxford University, Inggris. Tahun 1969 menempuh
pendidikan pasca sarjana di Cornell University, Amerika Serikat. Di sinilah minat terhadap Sejarah
Indonesia mulai tumbuh, khususnya Sejarah Perang Jawa. Peter Carey pertama kali datang ke
Indonesia tahun 1970, dan pernah tinggal selama tiga tahun di Jakarta dan Yogyakarta (1971-1973
dan 1976-1977). Setelah meraih gelar Ph.D., dengan disertasi tentang Pangeran Diponegoro, ia
menjadi pengajar dan peneliti di Oxford University, Inggris, dan sekarang menjadi YAD Adjunct
Profesor di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) di Universitas Indonesia. Diantara karyanya
Seri Perang Jawa telah diterjemahkan Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy & Lukisan
Raden Saleh, (Jakarta: Pustaka Azet, (1985); Orang Jawa & Masyarakat Gina (1755-1825),
(Jakarta: Pustaka Azet, 1985); Ekologi Kebudayaan Jawa & Kitab Kedung Kebo, (Jakarta: Pustaka
Azet, 1985).
Generasi Emas 2045 Indonesia di tahun 2045, 31 tahun lagi, dari berbagai
sumber dikatakan memiliki “bonus” demografi yang terus berlanjut dan akan
berkontribusi atau sebaliknya berbencana pada berbagai sektor. Salah satu
kontribusi bonus tersebut adalah pada sektor pertumbuhan ekonomi yang akan
mengalami masa kejayaan, seperti ungkapan bahwa “In 2045 Indonesiabetter than
Brazil and China” (Sugiharto, 2012).
Bonus demografi di tahun 2045 akan berkontribusi atau berbencana menjadi
semakin nyata, tergantung bagaimana kita menyiapkan generasi saat ini yang 31
tahun lagi akan pengisi era itu. Jika dimulai saat ini, 2013/2014, maka merekalah
yang pada saat itu berusia 30 hingga 40 tahun yang disebut mencapai usia
produktif, generasi emas. Harapan terhadap generasi emas 2045 merupakan
jawaban terhadap fenomena Paradok-sial tentang Indonesia.
Fenomena ini dikemukakan oleh Prof. BJHabibie pada Silaknas di Kendari
pada tahun 2011 (Sugiharto, 2012), bahwa:
a) Kita kaya tapi miskin, yaitu SDA melimpahtapi miskin penghasilan,
b)Kita besar tapi kerdil, amat besar wilayah danpenduduknya tapi kerdil
dalam produktivitas dan daya saing,
a)(Kita kuat tapi lemah, kuat dalam anarkisme tapi lemah dalam tantangan
global, dan b)Kita indah tapi buruk, indah dalam potensi dan prospeknyanamun
buruk dalam pengelolaannya.
Mengapa demikian, menurut beliau, karena kitaterjangkit“Penyakit
Orientasi”yang lebih:1)mengandalkan SDA ketimbang SDM, 2)berorientasi
jangka pendek daripada jangka panjang, 3)mengutamakan citra daripada karya
nyata, 4)melirik makro daripada mikro, 5)mengandalkan cost addeddaripada value
added, 6)berorientasi pada neraca pembayaran dan perdagangan daripada neraca
jam kerja, 7)menyukai jalan pintas, (korupsi, kolusi, penyelewengan dsb.)
daripada kejujuran dan kebajikan, dan8)menganggap jabatan (power) sebagai
tujuan daripada sebagai sarana untuk mencapai tujuan (power centered rather than
accountable/amanah) Kesialan atau keuntungan yang akan kita hadapi tidak dapat
dihindari atau diraih tanpa usaha keras. Layaknya, nasib sialbangsa ini tidak akan
berubah tanpa bangsa ini sendiri berusaha untuk mengubahnya. Kita wajib
menghindari sialuntuk meraih untung
dengan mengubah pandangan kita terhadap bonus demografi menjadi sebuah
tantangan. Untuk menghadapi tantangan 2045, Sugiharto(2012) menawarkan
delapan langkah, yaitu:(a) Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrim, (b)
Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua, (c) Mendorong Kesetaraan Gender dan
Pemberdayaan, (d) Perempuan Menurunkan Angka Kematian Anak, (e)
Meningkatkan Kesehatan Ibu, (f) Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit
Menular Lainnya, (g) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan (h)
Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan.Dari kedelapan langkah
tersebut, terdapat satu langkah penting yang bagi medan pendidikan merupakan
kesempatan emas untuk berpartisipasi memanfaatkan bonus demografi menjadi
sebuah tantangan, yaitu “Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua”. Langkah
mencapai pendidikan dasar untuk semua dapat diartikan,bahwa semua warga
negara yang akan berada pada tahun 2045 harus disiapkan sejak saat ini dengan
bekal pendidikan dasar yang bermutu. Pendidikan dasar yang bermutu, yaitu
pendidikan dasar yang mampu membekali generasi emas kita mengubah kesialan
menjadi keuntungan. Generasi emas kita dengan berbekal pendidikan dasar yang
bermutu diharapkan mampu mengubah paradok-sial, yaitu generasi yang mampu
mewujudkan bangsa ini sungguh-sungguh: kaya karena memilikiSDA yang
melimpah, besar karena memilikiwilayah dan pendudukyang besar dengan
produktivitas dan daya saingyang besar pula, kuat menghadapitantangan global,
dan indahpengelolaanya sehingga indah pula potensi dan prospeknya. Untuk
mendukung terwujudnya pendidikan dasar yang bermutu, maka diantaranya kita:
harus mengandalkan SDMyang bermutu, berorientasi jangka panjang,
mengutamakan karya nyata, mengandalkan value added, menyukai kejujuran dan
kebajikan, danmenganggap jabatan sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau
amanahyang dimintai pertanggungjawaban di depan sang Khalik kelak di
akhirat.Momenmengubah bangsa ini menjadi kaya, produktif dan daya saing
besar, kuat, sertaindahpotensi dan prospeknya melalui pendidikan dapat dilakukan
diantaranya dengan menyempurnakan curriculum and instruction. Curriculum and
instructionatau kurikulum dan pembelajaran, bukan bermaksud mengisolasi arti
pendidikan yang luas, merupakan program dan metode untuk mencapai tujuan
pendidikan. Oleh karena itu, wajar jika penyempurnaan KTSP menjadi Kurikulum
2013 bernuansa untuk membekali Generasi Emas 2045 denganpendidikan dasar
yang bermutu. Page 6 of 15Universitas Negeri Yogyakartazuhdan@uny.ac.id
“Kodratumatmanusiakinidankemudianditentukanolehpenguasaannyaat
asilmudanpengetahuan.Semua,pribadidanbangsa-
bangsaakantumbangtanpaitu.Melawanpadayangberilmudanpengetahuana
dalahmenyerahkandiripadamautdankehinaan”PramoedyaAnantaToer,Bumi
Manusia
Betapa tidak, seorang sejarawan asing menulis disertasi (buku) secara serius
dan penuh minat dengan ketebalan kurang lebih 1.200 halaman(?) Upaya serupa,
barangkali, hanya bisa ditandingi dengan penulisan biografi Tan Malaka yang
ditulis oleh sejarawan Harry A. Poeze, Verguisd en vergeten; Tan Malaka, de
linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945 -1949. (Dihujat dan
Dilupakan; Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 1945-1949) yang
berjumlah 2.000 halaman lebih.4
4 Karya ini bukan saja bersifat biografis, melainkan rangkaian dinamika sejarah revolusi
Indonesia secara umum. Meningat ketebalannya buku ini diterjemahkan dan diterbitkan ke bahasa
Indonesia atas kerjasama KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia secara bertahap ,
sebanyak 6 jilid dengan sedikit perubahan judul: Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi
Indonesia (Jilid 1: Agustus 1945 - Maret 1946); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi
Indonesia (Jilid 2: Maret 1946– Maret 1947); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
(Jilid 3: Maret 1947– Agustus 1948); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid 4:
September 1948 – Desember 1949); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid 5:
1950 - 2013, belum terbit); dan (Jilid 6, diterbitkan terpisah dengan judul Madiun 1948, PKI
Bergerak). Mahakarya Harry A. Poeze ini merupakan kelanjutan dari riset awalnya tentang tokoh
revolusioner asal Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, yang
diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia sebanyak 2 jilid, yakni: pertama, Pergulatan Menuju
Republik 1897-1925 (terbit tahun 1988 oleh Pustaka Utama Grafiti dan dibredel tahun 1989);
kedua, Pergulatan Menuju Republik 1 925-1945 (baru diterbitkan tahun 1999).
5 Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Tan Malaka di masa pemerintahan Presid en
Soekarno tahun 1963, karena mengingat jasa, pengabdian, dan perjuangan terhadap kemerdekaan
melakukan tes DNA. Kemudian, kita juga tidak bisa membayangkan bagaimana
hasrat Christine Dobbin 6 dan Jeffrey A. Hadler 7 menguak tabir gelap gerakan
paderi (kebangkitan Islam di Minangkabau) dan perjuangan Tuanku Imam Bonjol
di Sumatera Barat. Demikian juga apa dilakukan oleh sejarawan Audrey Kahin
dengan perjuangan rakyat Sumatera Barat di masa revolusi kemerdekaan 1945-
1950;8 bahkan dilanjutkan dengan dinamika politik Sumatera Barat pada masa
Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 053/TK/Tahun 1963 tertanggal 28 Maret 1963. Pada
masa Orde Baru peran dan perjuangan Tan Malaka diminimalisir – bahkan cenderung dihilangkan
– dalam pelajaran sejarah di sekolah. Buku dan karya-.karyanya serta karya tentang Tan Malaka
dibredel, dan dilarang beredar di Indonesia. Selain Tan Malaka, Presiden Soekarno juga pernah
mengabugerahi gelar pahlawan nasional kepada tokoh Islam berhaluan komunis, Alimin
Prawirodirdjo, dengan Keputusan Presiden No. 162 Tahun 1964.
6 Lihat karyanya yang cukup menarik tentang kebangkitan Islam perubahan ekonomi petani di
Sumatera Barat pada abd ke-1 8 dan 19, Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang
Berubah, Sumatera tengah 1784-1847, Jakarta: INIS (1992). Buku ini kemudian diterbitkan ulang
oleh Komunitas Bambu tahun 2008 dengan judul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan
Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. Tulisan Christine Dobbin lainnya, “Economic Change
in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830”, Indonesia 23 (1977);
“Tuanku Imam Bonjol (1772-1864)”, Indonesia 13 (1972); “Islamic Fervour as a Manifestation of
Regional Personality in Colonial Indonesia: The Kamang Area, West Sumatra, 1803-1908.”
Archipel 56 (1998): 295-308; “Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth
Cenury”, Modern Asian Studies, 8 (1972).
7 Riset mendalam yang dilakukan Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat,
Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau, (Jakarta: Freedom Institute, 2010), seakan
perlu merubah paradigm, pandangan, serta pemahaman kita tentang Perang Padri dengan
personifikasi Tuanku Imam Bonjol di dalamnya; di mana setelah menyadari yang k emudian
menimpa daerah Minangkabau – perang antara kaum adat dan kaum ulama – sementara pada saat
yang sama terjadi perubahan mendasar di Tanah Arab, yakni kalahnya kaum Wahabi di lain pihak,
kemudian merubah pola perjuangan Tuanku Imam Bonjol. “Dalam memoarnya,” demikian tulis
Hadler, “keinginan Tuanku menempur orang Minangkabau sesamanya runtuh ketika dia
mengetahui bahwa pengajaran-pengajaran Wahabi telah tidak berterima lagi. Dengan suatu
tindakan keberanian moral yang besar, Tuanku secara terbuka melepaskan ideologinya, melakukan
perbaikan, dan minta maaf atas penderitaan yang ditimbulkan perangnya.” (hal. 46). Karya
menarik Hadler yang lain tentang Minangkabau, lihat “A Historiography of Violence and the
Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bonjol and the Use of History”, Journal of Asian Studies
67, No. 3 (Agustus 2008); “Home, Fatherhood, Succession: Three Generations of Amrullahs in
Twentieth-Century Indonesia”. Indonesia 65 (1998).
8 Perkenalan pertama Audrey Kahin dengan Indonesia adalah karena suaminya, George
McTurnan Kahin yang menulis disertasi tentang Nationalism dan Revolution in Indonesia (1952),
dan Audrey lebih memilih Sumatera Barat sebagai pusat penelitian. Ia bukan saja sering
berkunjung dan mengenal secara luas tokoh revolusi dan ilmuan asal Minangkabau, juga
menganggap Sumatera Barat sebagai tanah air keduanya. Diantara karya sejarawan dari Cornell
University ini antara lain: Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional
Indonesia 1945-1950 (Padang: Masyarakat Sejarawan Cabang Sumatera Barat (tanpa tahun
penerbit); Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti (1990);
“Perdagangan dan Pajak: Aspek Ekonomi Sumatera Barat di Masa Revolusi”, dalam Taufik
pemberontakan daerah (PRRI) akhir tahun 1950-an dan masa Orde Baru (1965-
1998).9
Lantas, bagaimana dengan kita? Bagaimana perhatian serta pemahaman kita
dengan sejarah daerah kita sendiri? Mampukah kita kelak mempertahankan dan
meneruskan sejarah dan nilai-nilai budaya luhur Minangkabau kepada generasi
berikutnya? Bagaimana dengan kondisi pembelajaran sejarah di sekolah?
Bagaimana dengan kemampuan guru (pengajar) kita di Sumatera Barat dengan
materi sejarah local daerahnya? Bagiamana meningkatkan kemampuan aspek
religious (KI-1), aspek sosial (KI-2), aspek pengetahuan (KI-3), dan aspek
keterampilan (KI-4) sebagaimana yang dituntut dalam Kurikulum 2013? Akankah
kelak sejarah dan kebudayaan kita mampu menerjang derasnya gelombang arus
globalisasi sehingga kita percayakan saja dengan slogan adat kita: “ndak lakang
dekpaneh, ndak lapuak dek hujan?”
Abdullah (ed.), Denyut Nadi Revolusi Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama berkerja
sama dengan Program Studi Asia Tenggara, LIPI, 1997).
9 Simpati yang demikian besar dari pasangan George McTurnan Kahin dan Audrey R. Kahin
terhadap tokoh Masjumi seperti Muhammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, terutama
mengenai peristiwa PRRI mendorong mereka menulis buku Subversi Sebagai Politik Luar Negeri:
Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997); Dari
Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1 926-1998, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005); kemudian bersama dengan sejarawan Robert Cribb, Audrey Kahin
menerbitkan sebuah Kamus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). Karya Adrey
Kahin yang baru terbit adalah biografi politik Muhammad Natsir berjudul Islam, Nationalism and
Democracy, A Political Biography Muhammad Natsir, National University of Singapore (2012).
Dalam Kurikulum 2013, terdapat 3 (tiga) mata pelajaran yang menjadi
“primadona” dan senantiasa dikawal eksistensi dan perkembangannya oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni Bahasa Indonesia, Matematika,
dan Sejarah Indonesia. Menurut sejumlah pakar yang menjadi arsitek Kurikulum
2013, ketiga mata pelajaran di atas diharapkan mampu menjawab berbagai
tantangan krusial dan dilematis generasi mendatang, terutama menghadapi
“Indonesia Emas” Satu Abad Indonesia Merdeka tahun 2025. Pemahaman ini
dimaksudkan mata pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan mampu melatih dan
memperkuat peserta didik dari segi “komunikasi”, mata pelajaran Matematika
diharapkan memperkuat “daya nalar dan berpikir kritis-analogis”, dan mata
pelajaran Sejarah Indonesia diharapkan membekali peserta didik “berpikir historis-
analitis, mempertebal semangat kebangsaan, dan membekali anak didik nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia”. Keprihatinan akan pudar dan hilangnya kepribadian dan
jati diri sebagai bangsa Indonesia tersebut akibat perkebangan zaman yang
semakin global, membuat pemerintah menetapkan empat pilar berbangsa yang
harus dipertahankan, yakni: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.10
13 Pada bab penutup, Sam Wineburg, memberi judul “Memahami Sejarah di Millenium Baru”,
hal. 344-378.
14 S. Hamin Hasan,” Pendidikan Sejarah dalam Kurikulum 2013: Masalah dan Tantangan,”
Makalah yang disampaikan dalam Workshop Kesejarahan Tingkat Nasional yang diselenggarakan
oleh Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Ke budayan
di Cipanas, 20 Mei 2014.
(5) pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu;
(6) pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menjadi pembelajaran
denganjawaban yang kebenarannya multi dimensi;
(7) pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif;
(8) peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan
keterampilan mental (softskills);
(9) pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
(10) pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan
(ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun
karso), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran (tut wuri handayani);
(11) pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat;
(12) pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa
saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas;
(13) pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan
(14) pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta
didik.
Alternatif
Kegiatan Indikator
Pembelajaran:
Lulusan yang:
Materi Sikap, Cerdas,
Mengamati,
Pem belaja ran Pengethuan,
Menanya, Kreatif,
Fakta, Konsep, dan
Prosedur, dan
Mencoba, Produktif, dan
Mengasosiasi, Keterampilan
meta kognitif Bertanggung
dan untuk
Mengomunikasi Penilaian jawab
kan
15 Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press
(1990), hlm. 15
16 Taufik Abdullah (1990), hlm. 27
17 Buku Elizabeth E. Graves sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Asal-Usul
Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX , Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia (2007) dengan editor ahli Mestika Zed.
Kathirithamby-Wells (persaingan politik antara penguasa Aceh, Minangkabau, dan
kolonialis Inggris-Belanda di pantai Barat Sumatera Barat), Akira Oki
(perkembangan ekonomi pedesaan), J. Maretin (meramalkan ambruknya
masyarakat matrilineal), de Josselin de Jong (sistem politik tradisional di
Minangkabau dan negeri Sembilan), pasangan suami isteri Franz von Benda-
Beckmann & Keebet von Benda-Beckmann18; dan Tsuyoshi Kato19; sementara
dari dalam (orang Minang sendiri) terdapat nama Umar Yunus (sastra &
masyarakat Minangkabau), Harsja W. Bachtiar (sosiologi masyarakat
Minangkabau), Mochtar Naim (merantau &migrasi), Deliar Noer (gerakan
modernis Islam), Taufik Abdullah (sekolah dan politik), Azyumardi Azra (surau
dan jaringan Islam), Mestika Zed (kepialangan & revolusi), Gusti Asnan (dunia
maritime & peradaban pesisir Sumatera), Nursyrwan Effendi (pasar dan
kebudayaan), dll.20
Tampilnya para sejarawan, sosiolog dan antropolog asal Sumatera Barat di
pentas nasional telah turut mewarnai dan berkontribusi dalam penulisan sejarah
nasional versi baru Indonesia Dalam Arus Sejarah (2012) sebanyak 8 jilid dan 1
jilid Faktaneka dengan rata ketebalan antara 400-600 halaman, dengan Editor
Umum Prof. Dr. Taufik Abdullah (sejarawan LIPI asal Sumatera Barat dan Prof.
Dr. Adrian B. Lapian). Dari 8 jilid jumlah keseluruhan, 2 jilid dieditor oleh
sejarawan asal Sumatera Barat, yakni Prof. Dr. Azy umardi Azra (Jilid 3,
18 Karya mereka yang sudah diterjemahkan, yakni Franz von Benda-Beckmann, Properti dan
Kesinambungan Sosial: Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemeliharaan Hubungan -
Hubungan Properti Sepanjang Masa di Minangkabau, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia bekerja sama dengan Perwakilan KITLV-Jakarta, 2000); & Keebet von Benda-
Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan nagari dan Pengadilan Negeri di
Minangkabau, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan Perwakilan
KITLV-Jakarta, 2000).
19 Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), diterjemahkan oleh Gusti Asnan dan Akiko Iwata.
20 Mengenai topik ini lihat tulisan Taufik Abdullah, “Studi Tentang Minangkabau,” dalam A.A.
Navis (ed.). Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik, (Padang: Genta
Singgalang Press, 1983). Tampilnya para ahli sejarah asal Minangkabau dengan kapasistas dan
kemampuan intelektualnya secara nasional turut serta mewarnai penulisan sejarah Nasional
Indonesia yang baru, Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia Dalam Arus
Sejarah [berjumlah 9 jilid], (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012). Karya akbar bersifat
ensiklopedis ini dimaksudkan sebagai pengganti buku babon Sejarah Nasional Indonesia
(berjumlah 6 jilid) hasil editor Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Buku
babon ini sudah dilakukan Edisi Pemutakhiran yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 2009
dengan editor R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa.
Taufik Abdullah & A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid 5,
28
Masa Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hlm. 63-97
Kedatangan dan Peradaban Islam) bersama dengan Dr. Jajat Burhanuddin, dan
Prof. Dr. Mestika Zed (Jilid 6, Perang dan Revolusi) bersama Dr. Mukhlis PaEni.
Belum lagi menyangkut kontribusi dan kedalaman materi kajian, Taufik Abdullah,
Mestika Zed, dan Gusti Asnan, dengan original kajiannya telah menguak
kedalaman materi kupasan sejarah yang selama ini belum ditemukan penerbitan
karya sejarah sebelumnya. Dalam artian, bagaimana “trio-sejarawan” asal Minang
ini (Taufik Abdullah, Mestika Zed, dan Gusti Asnan) mengkaji dan mengupas
peristiwa sejarah (lokal) Sumatera Barat-Minangkabau dalam perspektif nasional.
Jika narasi sejarah persentuhan bangsa asing terhadap Sumatera yang kita kenal
selama ini adalah melalui Pantai Timur Sumatera (Selat Melaka), Prof. Gusti
Asnan justru mengemukakan bahwa peranan Pantai Barat Sumatera juga tidak
kalah pentingnya, serta menawarkan ikon sejarah baru, “peradaban maritim” di
Indonesia. “Pemberontakan Anti-B elasting di Sumatera Barat”, yang ditulis Taufik
Abdullah & Gusti Asnan, juga mewakili narasi sejarah pemberontakan rakyat
terhadap wajib bayar pajak yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Demikian halnya wajah revolusi Indonesia dalam
berbagai aspek, sebagaimana yang digambarkan oleh Mestika Zed (sebagai
kapasitas editor Jilid 6), secara tidak langsung banyak melukiskan wajah revolusi
di Sumatera Barat.
Dalam sebuah artikel sub bab yang berjudul: “Dari Hasrat ‘Kemajuan’ Ke
Pembentukan Bangsa”, sejarawan Taufik Abdullah21, memaparkan dengan cukup
menarik bagaimana gambaran dan kondisi social masyarakat Sumatera Barat yang
berhasrat menuju ke arah “kemajuan” akibat tekanan dari penguasa kolonial
Belanda awal abad ke-20. Perubahan orientasi politik kolonial setelah
diberlakukannya Politik Etis, tumbuhnya sekolah-sekolah yang kelak melahirkan
kaum elit lokal (seterusnya elit nasional), tumbuh berkembangnya pers, lahirnya
penulis-sastrawan yang berorientasi ke arah “kemajuan bangsa”, dan
perkembangan lain di Indonesia, digambarkan oleh Taufik Abdullah secara
memukau yang mengambil fakta-fakta sejarah lokal Sumatera Barat dalam
perspektif nasional (Indonesia). Tak dapat dipungkiri, misalnya, bagaimana
dengan narasi yang cukup menarik dan analisa yang tajam, Taufik Abdullah,
mengupas perubahan sosial dan struktur masyarakat Indonesia di era peralihan –
dari abad ke-19 ke abad ke-20 atau dari perjuangan bersifat lokal-kedaerahan
(fisik/perang) ke perjuangan bersifat nasional (intelektual/organisasi) – dengan
mengangkat sosok tokoh pers Dt. Sutan Maharadja sebagai simbol kultural
kebangkitan masyarakat Minangkabau menuju era kemajuan. Dt. Maharadja
merupakan tokoh elit tradisional dan tokoh pers yang menjadi penengah dari
konflik sosial antara kaum adat dan kaum agama pasca perang paderi di
Minangkabau. Di sini Taufik Abdullah seakan menyodorkan bahwa tokoh elit
tradisional Minangkabau merupakan representasi kebangkitan elit-elit tradisional
daerah-daerah lain di Indonesia menuju terbentuknya atau tumbuhnya kesadaran
nasional di Indonesia.
Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pegawai Inggris dari Bengkulu, pada
bulan Juli 1818 secara sengaja mengunjungi pedalaman Minangkabau, menulis:
“Seluruh negeri, dari Pageruyong [maksudnya: Pagarruyung, pen], sejauh mata
dapat memandang dengan jelas, merupakan pemandangan budi daya yang
berkesinambungan, disela dengan kota dan desa tak terhingga banyaknya,
dinaungi oleh pepohonan kelapa dan bebuahan lainnya .... Di Tanah Datar bagian
yang subur terdapat di bagian barat lembah, di kaki Gunung Merapi di sekitar
22 Demikian pengakuan dan catatan dua orang pengelana asing yang mengunjungi Tanah Batak,
Richard Burton dan Nathaniel Ward, sebagaimana yang terdapat nukilan buku Anthony Reid (ed.),
Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo sampai Tan Malaka. (Jakarta: Komunitas Bambu,
2010), hlm. 212-23 1.
Sungai Tarab dan Gurun, yang sebagian subur berkat adanya tanah vulkanik dan
sungai-sungai untuk irigasi. Di desa-desa semacam itu “kaya, makmur dan
dibangun dengan baik. Di bagian timur lembah, tempat yang paling subur terletak
di lembah-lembah samping Andalas, menjorok ke arah timur dan mendapat
manfaat karena berdekatan dengan Gunung Marapalam.”23
Seyogianya para guru sejarah kita memahami fakta sejarah [lokal] di atas
sehingga dalam pembelajaran sejarah (baik Sejarah Indonesia [mata pelajaran
Wajib) maupun Sejarah [mata pelajaran Peminatan dan Lintas Minat], sehingga
pembelajaran sejarah mampu memberikan “kebanggan historis” sekaligus
“kepuasan kultural” bagi peserta didik. Kebanggan historis dan kepuasan kultural,
tentunya diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran sejarah di kalangan generasi
muda kita di masa mendatang.
Banyak hal dalam peristiwa sejarah lokal Sumatera Barat yang bisa diangkat
dan mampu melahirkan “kebanggan historis” dan “kepuasan kultural” di
kalangan peserta didik. Kita tentunya sama-sama memahami bagaimana peran
yang disumbangkan para tokoh elit nasional asal Minangkabau terhadap
kebangkitan dan berdirinya Republik Indonesia. Sekedar menyebut sejumlah
tokoh: Muhammad Hatta (wakil presiden & perdana menteri), Sutan Sjahrir
(perdana menteri), Tan Malaka (tokoh revolusioner), H. Agus Salim (diplomat dan
menteri luarnegeri), Muhammad Yamin (sasterawan, sejarawan, pencetus Sumpah
Pemuda dan pernah menjabat sebagai menteri), Muhammad Natsir (tokoh Islam,
dan pernah menjabat perdana menteri, tokoh yang berperan dalam kembalinya
negeri ini ke NKRI), Ahmad Khatib (tokoh gerakan modernis Islam dan pernah
menjadi Imam Besar ‘mazhaf Syafi’I’ di Mekkah; sederet tokoh pendidik, seperti:
Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Bunya Hamka), Syaikh Abdullah Ahmad,
Syaikh Ibrahim Musa, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil
Djambek, Rahmah El-Yunisiah. Posisi mereka bukan saja sekedar tampil di
panggung perjuangan, bahkan banyak diantara mereka menjadi “posisi kunci”
yang menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Memahami fakta sejarah tersebut tentunya tidak terlalu berlebihan apa yang
dikemukakan oleh seorang komentator asal Amerika, W.A. Hanna dalam sebuah
artikelnya “The Role of the Minangkabau in Contemporary Indonesia” (1959)
bahwa:
“Daerah Minangkabau, tempat tinggal kira-kira 2,5 persen seluruh penduduk
Indonesia......, menurut perkiraan konservatif telah menghasilkan 25 sampai 30 persen
dari seluruh pemimpin intelektual utama Indonesia abad ini. Sebuah desa kecil di
Minangkabau sendiri, Kota Gedang, menghasilkan mantan Perdana Menteri Syahrir,
dan mantan Menteri Luarnegeri Haji Agus Salim (1884-1954), dan sedikitnya selusin
tokoh-tokoh terkenal dalam pentas nasional. Kota Bukittinggi di dekatnya
menghasilkan, di antara banyak lainnya, mantan Wakil Presiden Hatta, dan mantan
Perdana Menteri Mohammad Natsir. Dari daerah sekitarnya muncul pro sentase tinggi,
kalau tidak mayoritas mutlak, dokter dan hakim terkemuka di Indonesia – golongan
professional yang menjadi pemimpin revolusioner nasional Bahkan tokoh Komunis
bangsa ini yang terkenal, Tan Malaka (w. 1949?), adalah seorang putra
Minangkabau....”24
Sejarawan Audrey Kahin menyebutkan bahwa Sumatera Barat merupakan
“garda depan revolusi” (Kahin, ttp. hal. 88-89) atau “pos terdepan republik”
(Kahin, 1990: 150-179),25 terutama setelah Agresi Militer Belanda II (19
Desember 1948), di mana pusat pemerintahan RI kemudian dipindahkan ke
Bukittinggi. Roda pemerintahan Republik kemudian dijalankan oleh Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Mr. Sjafruddin
Prawiranegara bersama tokoh pemimpin asal Sumatera.26 Begitu besarnya jasa dan
24 Lihat petikan artikel ini yang sengaja dikutip oleh Christine Dobbin dalam buku
Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera tengah 1784-1847
(Jakarta: INIS, 1992), hal.230-23 1.
25 Lihat artikel menarik Audrey Kahin, “Sumatera Barat: Pos Terdepan Republik” dalam
Audrey Kahin (ed.), Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1990), hal. 150-179. Hal menarik apa yang dikemukan Audrey Kahin adalah bahwa elit
pemimpin Sumatera Barat, sekalipun memiliki kebebasan yang demikian luas, namun tetap mampu
memberikan loyalitas yang tinggi terhadap keputusan-keputusan pemerintah pusat; sekalipun
dalam keadaan-keadaan tertentu sering mengecewakan dan menyakitkan. Bahkan, menurutnya,
Sumatera Barat di era revolusi (1945-1950) dan pasca revolusi (1950-1965), “Sumatera Barat telah
mempertaruhkan perjuangan lokal dalam konteks nasional dan akhirnya berhasil; suatu perjuangan
yang lebih mengandalkan kekuatan-kekuatan mereka ketimbang uluran tangan dari pemerintah
pusat dan menyadari bahwa perjuangan mereka merupakan bagian dari perjuangan nasional.”
(tentang ini lihat bukunya Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional
Indonesia 1945-1950 (Padang: Masyarakat Sejarawan Cabang Sumatera Barat (tanpa tahun
penerbit); dan buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia
1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
26 Kajian konprehensif mengenai PDRI lihat Mestika Zed, Somewhere in The Jungle:
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997). Lihat juga Mestika Zed dan Muklis PaEni (Editor Jilid 6),
Perang dan Revolusi dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia Dalam
Arus Sejarah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hal. 319-567.
24 Christine Dobbin. Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah,
Sumatera tengah 1784-1847, (Jakarta: INIS, 1992), hal. 14 dan 24-25.
“pertaruhan sejarah” yang diemban daerah ini dan para elit politik asal Sumatera
Barat kemudian mendorong pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang
Yudono, menetapkan tanggal 19 Desember sebagai hari besar nasional sebagai
“Hari Bela Negara” yang diperingati setiap tahunnya. Sekedar untuk diketahui
bahwa “Hari Bela Negara” merupakan satu-satunya Hari Besar Nasional yang
mengambil event dan peristiwa sejarah di luar Pulau Jawa (?)
29 Elizabeth.
E. Graves. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial
Belanda AbadXI/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
mampu memanfaatkan kekuasaan penjajah untuk kekuasaan si terjajah ... Ketika
rezim Belanda mulai goyah dan munculnya kesempatan baru, orang Minangkabau
yang pragmatik ini menjadi orang pertama meloncat meninggalkan kapal kolonial
yang tenggelam.”
V. Penutup
Dalam bagian akhir makalah ini saya ingin mengajak kita semua
merenungkan kembali dua peryataan yang dikutip pada bagian awal dan akhir
tulisan ini. Di awal. Peter Carey menegaskan: “Tanpa cinta dan penghargaan pada
sejarah mereka sendiri,” tulis Peter Carey, “Indonesia akan terpecah dan orang-
orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang
mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan ke mana mereka
pergi.. Adalah tugas genereasi muda untuk menghindari jangan sampai hal ini
terjadi. Adalah tugas generasi lebih tua yang sekarang ada dalam posisi-posisi
kepemimpinan untuk menyediakan sumber daya duna memastikan bahwa sejarah
memiliki terhormat dalam kehidupan bangsa. Dalam zaman reformasi dan
pembaruan nasional saat ini, Indonesia yang sungguh-sungguh beradab adalah
sebuah keniscayaan”.
Kemudian, dalam konteks pembelajaran sejarah lokal, kita simak pula
pendapat pakar pendidikan, Winarno Surakhmad, bahwa dalam membangun
pendidikan seyogianya “mampu mengambil hikmah masa lalu yang memperkaya
hari ini. Pendidikan hari ini harus mampu mengembangkan segala potensi untuk
generasi sekarang, dan tetap memungkinkan generasi berikut untuk lebih lanjut
membangun masa depan mereka.”
Disinilah kita harapkan bagaimana kita masyarakat Sumatera Barat yang
pernah dikenal dengan “gerakan seribu” nya tetap menjalin hubungan kerja sama
saling percaya (trust), memupuk dan mempertahankan nilai-nilai dan norma-
norma yang selama ini kita pegang teguh. Dengan jalinan kebersamaan itu dapat
dipastikan kita kembali bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan selama ini,
kemudian maju melangkah menuju masyarakat yang berperadaban yang kita
dambakan bersama. Kelemahan kita selama ini dalam mengembangkan
pendidikan adalah tidak j elasnya filosofi dan politik pendidikan kita sehingga arah
pendidikan juga tidak jelas; hanya sekedar kepentingan-kepentingan sesaat bersifat
semu “menghadapi ujian nasional”. Performans seperti sangat berbahaya, dan
29 Elizabeth.
E. Graves. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial
Belanda AbadXI/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
kenyataan ini sangat berbeda dengan sistem pesekolahan kita di masa silam yang
melahirkan tokoh-tokoh elit pemimpin nasional. ***