Anda di halaman 1dari 41

PEMBELAJARAN SEJARAH DI ERA MILLENIAL

Oleh: Drs. Wahdini Purba, M.Pd.

Kerangka Isi:

1. Pendahuluan
2. Pengantar Mempelajari Sejarah
3. Problematika Pembelajaran Sejarah
4. Pebelajaran di Era Millenial
5. Beberapa Kesalahan Guru
6. Pentingnya Narasi Sejarah yang Mencerdaskan
7.

1. Pendahuluan
“.....Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri, Indonesia akan terpecah
dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang
mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan ke mana mereka pergi..” 1

Pernyataan yang bernada miris yang ditulis sejarawan kawakan asal Inggris,
Peter Carey2 -- semoga ini menginspirasi kita para guru sejarah – tentunya sangat
memprihatinkan. Terlebih lagi mengingat bagaimana kondisi yang melanda
negeri ini beberapa tahun terakhir.

Petikan kalimat di atas sangat penting direnungkan dalam rangka merubah


paradigma berpikir kita terhadap hakikat dan tujuan pembelajaran sejarah di
sekolah. Lebih lanjut, Peter Carey, mengemukakan bahwa: “Adalah tugas
genereasi muda untuk menghindari jangan sampai hal ini terjadi. Adalah tugas
generasi lebih tua yang sekarang ada dalam posisi-posisi kepemimpinan untuk
menyediakan sumber daya duna memastikan bahwa sejarah memiliki terhormat
dalam kehidupan bangsa. Dalam zaman reformasi dan pembaruan nasional saat
ini, Indonesia yang sungguh-sungguh beradab adalah sebuah keniscayaan”.

1
Peter Carey, “Prakata” dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855),
diterjemahkan oleh Th. Bambang Murtianto. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hlm. xiv.
Buku di atas merupakan versi ringkas dari penerbitan mahakarya Peter Carey berjudul The Power
of Prophecity: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java 1785-1855 yang diterbitkan
oleh KITLV Press, Leiden, 2007. Buku ini diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, (Jakarta:
Kepustakaan Populer, Jakarta, 2012) oleh wartawan dan sejarawan senior Indonesia, Parakitri T.
Simbolon. Karena teramat tebal menurut ukuran penerbitan buku Indonesia, buku ini kemudian
dijadikan 3 jilid.
2
Peter Carey lahir di Rangoon, Burma (sekarang Myanmar), 30 April 1948. Menempuh
pendidikan di Winchester Collage dan Oxford University, Inggris. Tahun 1969 menempuh
pendidikan pasca sarjana di Cornell University, Amerika Serikat. Di sinilah minat terhadap Sejarah
Indonesia mulai tumbuh, khususnya Sejarah Perang Jawa. Peter Carey pertama kali datang ke
Indonesia tahun 1970, dan pernah tinggal selama tiga tahun di Jakarta dan Yogyakarta (1971-1973
dan 1976-1977). Setelah meraih gelar Ph.D., dengan disertasi tentang Pangeran Diponegoro, ia
menjadi pengajar dan peneliti di Oxford University, Inggris, dan sekarang menjadi YAD Adjunct
Profesor di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) di Universitas Indonesia. Diantara karyanya
Seri Perang Jawa telah diterjemahkan Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy & Lukisan
Raden Saleh, (Jakarta: Pustaka Azet, (1985); Orang Jawa & Masyarakat Gina (1755-1825),
(Jakarta: Pustaka Azet, 1985); Ekologi Kebudayaan Jawa & Kitab Kedung Kebo, (Jakarta: Pustaka
Azet, 1985).
Generasi Emas 2045 Indonesia di tahun 2045, 31 tahun lagi, dari berbagai
sumber dikatakan memiliki “bonus” demografi yang terus berlanjut dan akan
berkontribusi atau sebaliknya berbencana pada berbagai sektor. Salah satu
kontribusi bonus tersebut adalah pada sektor pertumbuhan ekonomi yang akan
mengalami masa kejayaan, seperti ungkapan bahwa “In 2045 Indonesiabetter than
Brazil and China” (Sugiharto, 2012).
Bonus demografi di tahun 2045 akan berkontribusi atau berbencana menjadi
semakin nyata, tergantung bagaimana kita menyiapkan generasi saat ini yang 31
tahun lagi akan pengisi era itu. Jika dimulai saat ini, 2013/2014, maka merekalah
yang pada saat itu berusia 30 hingga 40 tahun yang disebut mencapai usia
produktif, generasi emas. Harapan terhadap generasi emas 2045 merupakan
jawaban terhadap fenomena Paradok-sial tentang Indonesia.
Fenomena ini dikemukakan oleh Prof. BJHabibie pada Silaknas di Kendari
pada tahun 2011 (Sugiharto, 2012), bahwa:
a) Kita kaya tapi miskin, yaitu SDA melimpahtapi miskin penghasilan,
b)Kita besar tapi kerdil, amat besar wilayah danpenduduknya tapi kerdil
dalam produktivitas dan daya saing,
a)(Kita kuat tapi lemah, kuat dalam anarkisme tapi lemah dalam tantangan
global, dan b)Kita indah tapi buruk, indah dalam potensi dan prospeknyanamun
buruk dalam pengelolaannya.
Mengapa demikian, menurut beliau, karena kitaterjangkit“Penyakit
Orientasi”yang lebih:1)mengandalkan SDA ketimbang SDM, 2)berorientasi
jangka pendek daripada jangka panjang, 3)mengutamakan citra daripada karya
nyata, 4)melirik makro daripada mikro, 5)mengandalkan cost addeddaripada value
added, 6)berorientasi pada neraca pembayaran dan perdagangan daripada neraca
jam kerja, 7)menyukai jalan pintas, (korupsi, kolusi, penyelewengan dsb.)
daripada kejujuran dan kebajikan, dan8)menganggap jabatan (power) sebagai
tujuan daripada sebagai sarana untuk mencapai tujuan (power centered rather than
accountable/amanah) Kesialan atau keuntungan yang akan kita hadapi tidak dapat
dihindari atau diraih tanpa usaha keras. Layaknya, nasib sialbangsa ini tidak akan
berubah tanpa bangsa ini sendiri berusaha untuk mengubahnya. Kita wajib
menghindari sialuntuk meraih untung
dengan mengubah pandangan kita terhadap bonus demografi menjadi sebuah
tantangan. Untuk menghadapi tantangan 2045, Sugiharto(2012) menawarkan
delapan langkah, yaitu:(a) Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrim, (b)
Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua, (c) Mendorong Kesetaraan Gender dan
Pemberdayaan, (d) Perempuan Menurunkan Angka Kematian Anak, (e)
Meningkatkan Kesehatan Ibu, (f) Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit
Menular Lainnya, (g) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan (h)
Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan.Dari kedelapan langkah
tersebut, terdapat satu langkah penting yang bagi medan pendidikan merupakan
kesempatan emas untuk berpartisipasi memanfaatkan bonus demografi menjadi
sebuah tantangan, yaitu “Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua”. Langkah
mencapai pendidikan dasar untuk semua dapat diartikan,bahwa semua warga
negara yang akan berada pada tahun 2045 harus disiapkan sejak saat ini dengan
bekal pendidikan dasar yang bermutu. Pendidikan dasar yang bermutu, yaitu
pendidikan dasar yang mampu membekali generasi emas kita mengubah kesialan
menjadi keuntungan. Generasi emas kita dengan berbekal pendidikan dasar yang
bermutu diharapkan mampu mengubah paradok-sial, yaitu generasi yang mampu
mewujudkan bangsa ini sungguh-sungguh: kaya karena memilikiSDA yang
melimpah, besar karena memilikiwilayah dan pendudukyang besar dengan
produktivitas dan daya saingyang besar pula, kuat menghadapitantangan global,
dan indahpengelolaanya sehingga indah pula potensi dan prospeknya. Untuk
mendukung terwujudnya pendidikan dasar yang bermutu, maka diantaranya kita:
harus mengandalkan SDMyang bermutu, berorientasi jangka panjang,
mengutamakan karya nyata, mengandalkan value added, menyukai kejujuran dan
kebajikan, danmenganggap jabatan sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau
amanahyang dimintai pertanggungjawaban di depan sang Khalik kelak di
akhirat.Momenmengubah bangsa ini menjadi kaya, produktif dan daya saing
besar, kuat, sertaindahpotensi dan prospeknya melalui pendidikan dapat dilakukan
diantaranya dengan menyempurnakan curriculum and instruction. Curriculum and
instructionatau kurikulum dan pembelajaran, bukan bermaksud mengisolasi arti
pendidikan yang luas, merupakan program dan metode untuk mencapai tujuan
pendidikan. Oleh karena itu, wajar jika penyempurnaan KTSP menjadi Kurikulum
2013 bernuansa untuk membekali Generasi Emas 2045 denganpendidikan dasar
yang bermutu. Page 6 of 15Universitas Negeri Yogyakartazuhdan@uny.ac.id

“Kodratumatmanusiakinidankemudianditentukanolehpenguasaannyaat
asilmudanpengetahuan.Semua,pribadidanbangsa-
bangsaakantumbangtanpaitu.Melawanpadayangberilmudanpengetahuana
dalahmenyerahkandiripadamautdankehinaan”PramoedyaAnantaToer,Bumi
Manusia

Paradoks tentang Indonesia


•Kita kaya tapi miskin (Kekayaan SDA melimpah, tapi miskin penghasilan)
•Kita besar tapi kerdil (amat besar wilayah & penduduknya, tapi kerdil dalam
produktivitas dan daya saing)
•Kita kuat tapi lemah (kuat dalam anarkisme, lemah dalam tantangan global)
•Kita indah tapi buruk (indah dalam potensi dan prospeknya, namun buruk
dalam pengelolaannya)
Mengapa terjadi Paradoksial>>> karena kita terkena “Penyakit Orientasi”
•Kita lebih mengandalkanSDA ketimbang SDM
•Kita lebih berorientasi jangka pendek daripadajangka panjang
•Kita lebih mengutamakancitra daripadakarya nyata
•Kita lebih melirikmakro daripada mikro
•Kita lebih mengandalkancost added daripada value added•Kita lebih
berorientasi padaneraca pembayaran dan perdagangan daripada neraca jam kerja
•Kita lebih menyukai jalan pintas (korupsi, kolusi, penyelewengan dsb)
daripada kejujuran dan kebajikan
•Kita lebih menganggap jabatan (power) sebagai tujuan daripada sebagai
sarana untuk mencapai tujuan (power centered rather than accountable /amanah)
Menyongsong Indonesia Emas 2045Dr. H. Sugiharto, SE,. MBADisampaikan
pada Kuliah PerdanaUniversitas SarjanawiyataTamansiswa (UST)Yogyakarta17
September 2012

George Herbert Mead menyatakan teori tentang


manusia yang disebut teori Mead. Teori Mead berkembang
dalam konteks alam pikiran dari teori darwin (pencetus teori
evolusi). Manusia adalah makhluk yang sangat rasional dan
menyadari keberadaan dirinya.Tiap tindakan yang
dilakukan oleh manusia benar-benar disadari dan
dimengerti oleh manusia.Abraham Maslow dalam Teorinya
Humasnistik mengemukakan tentang kesadaran diri adalah
mengerti dan memahami siapa diri kita, bagaimana menjadi
diri sendiri, apa potensi yang kita miliki, gaya apa yang
anda miliki, apa langkahlangkah yang anda ambil, apa yang
dirasakan, nilai-nilai apa yang kita miliki dan yakini, kearah
mana perkembangan kita akan menuju. Kesadaran diri
adalah keadaan pada manusia ketika mengarahkan
perhatiannya ke dalam untuk memfokuskan pada isi diri
sendiri atau derajat perhatian yang diarahkan ke dalam
untuk memusatkan perhatian pada aspek diri sendiri [4].
Kesadaran diri terdiri dari dua jenis antara lain: 1.
Kesadaran diri pribadi (private self awarnness): adalah
pemfokusan pada aspek yang relatif pada diri seperti mood,
persepsi dan perasaan. Orang yang memiliki kesadaran
jenis ini yang dominan akan lebih cepat memroses
informasi yang mengacu pada dirinya dan memiliki
gambaran tentang diri sendiri yang lebih konsisten. 2.
Kesadaran diri publik (public self awarnnes): adalah
perahtuan diarahkan pada aspek tentang diri yang tampak
atau kelihatan pada orang lain seperti penampilan dan
tindakan sosial. Orang yang memiliki kesadaran diri publik
yang tinggi akan cenderung menaruh perhatian pada
identitas sosialnya dan reaksi orang lain pada dirinya.
Berdasarkan pemaparan para tokoh diatas dapat
disimpulkan bahwa kesadaran diri adalah kemampuan
untuk mengakui atau mengenal perasaan diri ataupun
keadaan dimana seseorang bisa memahami dirinya
sendiridan juga merupakan syarat agar kita dapat bekerja
dengan orang lain secara efektif.

Faktor dimensi kesadaran diri mengandung tiga


kompetensi antara lain: [5]. 1. Emotional Awareness :
mengenal emosi diri dan pengaruhnya. 2. Accurate Self
Assesment: mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri. 3.
Self Confidence : Pengertian yang mendalam akan
kekuatan diri Rendahnya kesadaran generasi Y dan Z saat
ini mengenai Indonesia Emas 2045 ditandai diantaranya,
ketidakmampuan generasi membedakan berita palsu
(fakenews) dan berita benar, serta hanya menjadi pasar
(konsumen) dari dampak pertumbuhan ekonomi digital.
Padahal, banyak proyeksi mengatakan Indonesia akan
menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor empat

diduniasetelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat


tahun 2050, lima tahun setelah Indonesia merayakan 100
tahun usia kemerdekaannya. Kesadaran tersebut harus
dibangun saat ini jika benarbenar serius untuk mewujudkan
visi Indonesia Emas 2045. Dalam konteks ini, penulis
berpendapat rendahnya kesadaran generasi muda saat ini
mengenai Indonesia Emas tahun 2045 harus diatasi
dengan pemanfaatan kemajuan teknologi digital.Oleh
karena itu, dalam tulisan ini penulis mengajukan sebuah
gagasan mengenai Inovasi platform
www.indonesia2045.org menjadi strategi tepat dan khusus
karena generasi ini mempunyai karakteristik, diantaranya,
melek teknologi digital.

Tanpa adanya kesadaran dari generasi emas yang akan


memegang estafet kepemimpinan dan penggerak ekonomi
(usia produktif dan bonus demografi) negara. Maka jangan
harap partisipasi dan kontribusi akan didapat bahkan
sebaliknya.
Revolusi Industri 4.0 Era Revolusi Industri keempat ini
diwarnai oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence),
super komputer, rekayasa genetika, teknologi nano, mobil
otomatis, dan inovasi. Perubahan tersebut terjadi dalam
kecepatan eksponensial yang akan berdampak terhadap
ekonomi, industri, pemerintahan, dan politik. Pada era ini
semakin terlihat wujud dunia yang telah menjadi kampung
global. Industri 4.0 adalah sebuah istilah yang diciptakan
pertama kali di Jerman pada tahun 2011 yang ditandai
dengan revolusi digital. Industri ini merupakan suatu proses
industri yang terhubung secara digital yang mencakup
berbagai jenis teknologi, mulai dari 3D printing hingga
robotik yang diyakini mampu meningkatkan produktivitas.
Sebelum ini telah terjadi tiga revolusi industri yang ditandai
dengan: 1. Ditemukannya mesin uap dan kereta api tahun
1750-1930; 2. Penemuan listrik, alat komunikasi, kimia, dan
minyak tahun 1870-1900; 3. Penemuan komputer, internet,
dan telepon genggam tahun 1960-sekarang. Kemunculan
mesin uap pada abad ke-18 telah berhasil mengakselerasi
perekonomian secara drastis dimana dalam jangka waktu
dua abad telah mempu meningkatkan penghasilan
perkapita negara-negara di dunia menjadi enam kali lipat
tetapi dampaknya menimbulkan banyak
pengangguran.Revolusi industri kedua dikenal sebagai
Revolusi Teknologi.Revolusi ini ditandai dengan
penggunaan dan produksi besi dan baja dalam skala besar,
meluasnya penggunaan tenaga uap, mesin telegraf.Selain
itu minyak bumi mulai ditemukan dan digunakan secara
luas dan periode awal digunakannya listrik.Pada revolusi
industri ketiga, industri manufaktur telah beralih menjadi
bisnis digital.Teknologi digital telah menguasai industri
media dan ritel.Revolusi industri ketiga mengubah pola
relasi dan komunikasi masyarakat kontemporer,
masyarakat tanpa tapal batas atau yang disebut

masyarakat global.Revolusi ini telah mempersingkat


jarak dan waktu, revolusi ini mengedepankan sisi real time.
Industri 4.0 ditandai dengan peningkatan digitalisasi
manufaktur yang didorong oleh empat faktor: 1)
peningkatan volume data(Big Data), kekuatan komputasi,
dan konektivitas; 2) munculnya analisis, kemampuan, dan
kecerdasan bisnis; 3) terjadinya bentuk interaksi baru
antara manusia dengan mesin; dan 4) perbaikan instruksi
transfer digital ke dunia fisik, seperti robotika dan 3D
printing [12].Prinsip dasar industri 4.0 adalah
penggabungan mesin, alur kerja, dan sistem, dengan
menerapkan jaringan cerdas di sepanjang rantai dan
proses produksi untuk mengendalikan satu sama lain
secara mandiri [13]. Ada empat desain prinsip industri 4.0.
Pertama, interkoneksi (sambungan) yaitu kemampuan
mesin, perangkat, sensor, dan orang untuk terhubung dan
berkomunikasi satu sama lain melalui Internet of Things
(IoT) atau Internet of People (IoP). Prinsip ini membutuhkan
kolaborasi, keamanan, dan standar.Kedua, transparansi
informasi merupakan kemampuan sistem informasi untuk
menciptakan salinan virtual dunia fisik dengan memperkaya
model digital dengan data sensor termasuk analisis data
dan penyediaan informasi. Ketiga, bantuan teknis yang
meliputi; (a) kemampuan sistem bantuan untuk mendukung
manusia dengan menggabungkan dan mengevaluasi
informasi secara sadar untuk membuat keputusan yang
tepat dan memecahkan masalah mendesak dalam waktu
singkat; (b) kemampuan sistem untuk mendukung manusia
dengan melakukan berbagai tugas yang tidak
menyenangkan, terlalu melelahkan, atau tidak aman; (c)
meliputi bantuan visual dan fisik. Keempat, keputusan
terdesentralisasi yang merupakan kemampuan sistem fisik
maya untuk membuat keputusan sendiri dan menjalankan
tugas seefektif mungkin [14].

Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 Dengan Inovasi


Digital Platform www.indonesia2045.org Revolusi Industri
4.0 dan Indonesia Emas tahun 2045 seperti dua kutub yang
tidak bisa dipisahkan. Karena, terwujudnya Indonesia Emas
tahun 2045 tergantung bagaimana kesiapan generasi Y dan
Z yang merupakan Generasi Emas Indonesia dalam
menghadapi Revolusi Industri 4.0.Inovasi platform
www.indonesia2045.org ini menjadi strategi tepat dan
khusus untuk meningkatkan kesadaran generasi Y dan Z
akan visi Indonesia Emas tahun 2045. Karena, generasi ini
mempunyai karakteristik, diantaranya, melek teknologi
digital.

Manusia membutuhkan pendidikan yang bermutu dalam


kehidupannya. Dalam Undang-undang Pendidikan Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal
1 butir 1 dinyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha
sadar dan terencana untuk meuwujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan,pengendalian
diri,kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia,serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat,bangsa
dan negara. Selanjutnya Pasal 3 menyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsimengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa,bertujuanuntuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia,
sehat,berilmu,cakap,kreatif, mandiri,dan menjadi warga
negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.GENERASI EMAS INDONESIA:
APA,SIAPA?Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada
sambutan Peringatan Dalam konteks pendidikan di
Indonesia, pendidikan diharapkan melahirkan sosok
manusia sebagai mana dirumuskan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 3, yaitu pendidikan berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhalk mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa.Visi pendidikan nasionaladalah mewujudkan sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara
Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab
tantangan zaman yang selalu berubah. Misi pendidikan
nasional adalah : (1) mengupayakan perluasan dan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) meningkatkan
mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat
nasional, regional, dan internasional; (3) meningkatkan
relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan
tantangan global; (4) membantu dan menfasilitasi
pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak
usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan
masyarakat belajar; (5) meningkatkan kesiapan masukan
dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral; (6) meningkatkan
keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan
sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan
standar yang bersifat nasional dan global; dan (7)
mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi
dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembelajaran kurikulum 2013 adalah pembelajaran kompetensi
dengan memperkuat proses pembelajaran dan penilaian autentik untuk
mencapai kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penguatan
proses pembelajaran dilakukan melalui pendekatan saintifik, yaitu
pembelajaran yang mendorong siswa lebih mampu dalam mengamati,
menanya, mencoba/mengumpulkan data, mengasosiasi/menalar, dan
mengomunikasikan.

Karakteristik pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait


erat pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar
Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang sasaran
pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi memberikan kerangka
konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang diturunkan
dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi.

Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran


mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga
ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses
psikologis) yang berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas
menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan.
Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Keterampilan
diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar,
menyaji, dan mencipta. Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan
lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar
proses. Penguatan pendekatan saintifik perlu diterapkan pembelajaran
berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk
mendorong kemampuan peserta didik menghasilkan karya kontekstual,
baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan
menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya
berbasis pemecahan masalah (project based learning).

Prinsip pembelajaran pada kurikulum 2013 menekankan perubahan


paradigma: (1) peserta didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari
tahu; (2) guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar
berbasis aneka sumber belajar; (3) pendekatan tekstual menjadi
pendekatan proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah;
(4) pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis
kompetensi; (5) pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu; (6)
pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menjadi
pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi; (7)
pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif; (8)
peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills)
dan keterampilan mental (softskills); (9) pembelajaran yang
mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai
pembelajar sepanjang hayat; (10) pembelajaran yang menerapkan
nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung tulodo),
membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran
(tut wuri handayani); (11) pembelajaran yang berlangsung di rumah,
di sekolah, dan di masyarakat; (12) pembelajaran yang menerapkan
prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan di
mana saja adalah kelas; (13) pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran;
dan (14) pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang
budaya peserta didik.

Betapa tidak, seorang sejarawan asing menulis disertasi (buku) secara serius
dan penuh minat dengan ketebalan kurang lebih 1.200 halaman(?) Upaya serupa,
barangkali, hanya bisa ditandingi dengan penulisan biografi Tan Malaka yang
ditulis oleh sejarawan Harry A. Poeze, Verguisd en vergeten; Tan Malaka, de
linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945 -1949. (Dihujat dan
Dilupakan; Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 1945-1949) yang
berjumlah 2.000 halaman lebih.4

Di sini sengaja dikemukakan bagaimana besarnya perhatian para sarjana asing


dengan sejarah Indonesia, baik itu sejarah nasional Indonesia maupun sejarah
daerah. Barangkali kita tidak bisa mengerti mengapa seorang Peter Carey manaruh
minat begitu besar terhadap Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa yang
menggemparkan Negeri Belanda; animo yang sama diberikan Harry A. Poeze
terhadap Tan Malaka, bahkan berinisiatif untuk menelusuri di mana sebenarnya
makam pahlawan nasional 5 yang legendaris dan misterius dengan rencana

4 Karya ini bukan saja bersifat biografis, melainkan rangkaian dinamika sejarah revolusi
Indonesia secara umum. Meningat ketebalannya buku ini diterjemahkan dan diterbitkan ke bahasa
Indonesia atas kerjasama KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia secara bertahap ,
sebanyak 6 jilid dengan sedikit perubahan judul: Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi
Indonesia (Jilid 1: Agustus 1945 - Maret 1946); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi
Indonesia (Jilid 2: Maret 1946– Maret 1947); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
(Jilid 3: Maret 1947– Agustus 1948); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid 4:
September 1948 – Desember 1949); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid 5:
1950 - 2013, belum terbit); dan (Jilid 6, diterbitkan terpisah dengan judul Madiun 1948, PKI
Bergerak). Mahakarya Harry A. Poeze ini merupakan kelanjutan dari riset awalnya tentang tokoh
revolusioner asal Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, yang
diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia sebanyak 2 jilid, yakni: pertama, Pergulatan Menuju
Republik 1897-1925 (terbit tahun 1988 oleh Pustaka Utama Grafiti dan dibredel tahun 1989);
kedua, Pergulatan Menuju Republik 1 925-1945 (baru diterbitkan tahun 1999).
5 Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Tan Malaka di masa pemerintahan Presid en
Soekarno tahun 1963, karena mengingat jasa, pengabdian, dan perjuangan terhadap kemerdekaan
melakukan tes DNA. Kemudian, kita juga tidak bisa membayangkan bagaimana
hasrat Christine Dobbin 6 dan Jeffrey A. Hadler 7 menguak tabir gelap gerakan
paderi (kebangkitan Islam di Minangkabau) dan perjuangan Tuanku Imam Bonjol
di Sumatera Barat. Demikian juga apa dilakukan oleh sejarawan Audrey Kahin
dengan perjuangan rakyat Sumatera Barat di masa revolusi kemerdekaan 1945-
1950;8 bahkan dilanjutkan dengan dinamika politik Sumatera Barat pada masa

Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 053/TK/Tahun 1963 tertanggal 28 Maret 1963. Pada
masa Orde Baru peran dan perjuangan Tan Malaka diminimalisir – bahkan cenderung dihilangkan
– dalam pelajaran sejarah di sekolah. Buku dan karya-.karyanya serta karya tentang Tan Malaka
dibredel, dan dilarang beredar di Indonesia. Selain Tan Malaka, Presiden Soekarno juga pernah
mengabugerahi gelar pahlawan nasional kepada tokoh Islam berhaluan komunis, Alimin
Prawirodirdjo, dengan Keputusan Presiden No. 162 Tahun 1964.
6 Lihat karyanya yang cukup menarik tentang kebangkitan Islam perubahan ekonomi petani di
Sumatera Barat pada abd ke-1 8 dan 19, Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang
Berubah, Sumatera tengah 1784-1847, Jakarta: INIS (1992). Buku ini kemudian diterbitkan ulang
oleh Komunitas Bambu tahun 2008 dengan judul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan
Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. Tulisan Christine Dobbin lainnya, “Economic Change
in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830”, Indonesia 23 (1977);
“Tuanku Imam Bonjol (1772-1864)”, Indonesia 13 (1972); “Islamic Fervour as a Manifestation of
Regional Personality in Colonial Indonesia: The Kamang Area, West Sumatra, 1803-1908.”
Archipel 56 (1998): 295-308; “Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth
Cenury”, Modern Asian Studies, 8 (1972).
7 Riset mendalam yang dilakukan Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat,
Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau, (Jakarta: Freedom Institute, 2010), seakan
perlu merubah paradigm, pandangan, serta pemahaman kita tentang Perang Padri dengan
personifikasi Tuanku Imam Bonjol di dalamnya; di mana setelah menyadari yang k emudian
menimpa daerah Minangkabau – perang antara kaum adat dan kaum ulama – sementara pada saat
yang sama terjadi perubahan mendasar di Tanah Arab, yakni kalahnya kaum Wahabi di lain pihak,
kemudian merubah pola perjuangan Tuanku Imam Bonjol. “Dalam memoarnya,” demikian tulis
Hadler, “keinginan Tuanku menempur orang Minangkabau sesamanya runtuh ketika dia
mengetahui bahwa pengajaran-pengajaran Wahabi telah tidak berterima lagi. Dengan suatu
tindakan keberanian moral yang besar, Tuanku secara terbuka melepaskan ideologinya, melakukan
perbaikan, dan minta maaf atas penderitaan yang ditimbulkan perangnya.” (hal. 46). Karya
menarik Hadler yang lain tentang Minangkabau, lihat “A Historiography of Violence and the
Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bonjol and the Use of History”, Journal of Asian Studies
67, No. 3 (Agustus 2008); “Home, Fatherhood, Succession: Three Generations of Amrullahs in
Twentieth-Century Indonesia”. Indonesia 65 (1998).
8 Perkenalan pertama Audrey Kahin dengan Indonesia adalah karena suaminya, George
McTurnan Kahin yang menulis disertasi tentang Nationalism dan Revolution in Indonesia (1952),
dan Audrey lebih memilih Sumatera Barat sebagai pusat penelitian. Ia bukan saja sering
berkunjung dan mengenal secara luas tokoh revolusi dan ilmuan asal Minangkabau, juga
menganggap Sumatera Barat sebagai tanah air keduanya. Diantara karya sejarawan dari Cornell
University ini antara lain: Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional
Indonesia 1945-1950 (Padang: Masyarakat Sejarawan Cabang Sumatera Barat (tanpa tahun
penerbit); Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti (1990);
“Perdagangan dan Pajak: Aspek Ekonomi Sumatera Barat di Masa Revolusi”, dalam Taufik
pemberontakan daerah (PRRI) akhir tahun 1950-an dan masa Orde Baru (1965-
1998).9
Lantas, bagaimana dengan kita? Bagaimana perhatian serta pemahaman kita
dengan sejarah daerah kita sendiri? Mampukah kita kelak mempertahankan dan
meneruskan sejarah dan nilai-nilai budaya luhur Minangkabau kepada generasi
berikutnya? Bagaimana dengan kondisi pembelajaran sejarah di sekolah?
Bagaimana dengan kemampuan guru (pengajar) kita di Sumatera Barat dengan
materi sejarah local daerahnya? Bagiamana meningkatkan kemampuan aspek
religious (KI-1), aspek sosial (KI-2), aspek pengetahuan (KI-3), dan aspek
keterampilan (KI-4) sebagaimana yang dituntut dalam Kurikulum 2013? Akankah
kelak sejarah dan kebudayaan kita mampu menerjang derasnya gelombang arus
globalisasi sehingga kita percayakan saja dengan slogan adat kita: “ndak lakang
dekpaneh, ndak lapuak dek hujan?”

II. “Primadona” dalam Kurikulum 2013


Banyak kontroversi yang muncul dengan pemberlakuan Kurikulum 2013,
dan salah satunya adalah menyangkut Mata Pelajaran Sejarah. Jika dalam
Kurikulum 2004 (KBK) yang dilanjutkan dengan Kurikulum 2006 (KTSP) mata
pelajaran sejarah seakan di-marginalkan. Dalam Kurikulum 2004 (KBK) mata
pelajaran sejarah pada Program IPA dihilangkan, sementara dalam Kurikulum
2006 (KTSP) terjadi perubahan di mana Program IPA cukup hanya 1 Jam
Pelajaran (JP); dan belum lagi akibat cara berpikir yang salah di mana
menganggap Program IPA merupakan program unggulan atau superior di sekolah,
sehingga jumlah jam jam Mata Pelajaran Sejarah tersedia sedikit saja, serta
menganggap mata pelajaran Sejarah tidak begitu penting dan kurang diminati.

Abdullah (ed.), Denyut Nadi Revolusi Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama berkerja
sama dengan Program Studi Asia Tenggara, LIPI, 1997).
9 Simpati yang demikian besar dari pasangan George McTurnan Kahin dan Audrey R. Kahin
terhadap tokoh Masjumi seperti Muhammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, terutama
mengenai peristiwa PRRI mendorong mereka menulis buku Subversi Sebagai Politik Luar Negeri:
Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997); Dari
Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1 926-1998, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005); kemudian bersama dengan sejarawan Robert Cribb, Audrey Kahin
menerbitkan sebuah Kamus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). Karya Adrey
Kahin yang baru terbit adalah biografi politik Muhammad Natsir berjudul Islam, Nationalism and
Democracy, A Political Biography Muhammad Natsir, National University of Singapore (2012).
Dalam Kurikulum 2013, terdapat 3 (tiga) mata pelajaran yang menjadi
“primadona” dan senantiasa dikawal eksistensi dan perkembangannya oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni Bahasa Indonesia, Matematika,
dan Sejarah Indonesia. Menurut sejumlah pakar yang menjadi arsitek Kurikulum
2013, ketiga mata pelajaran di atas diharapkan mampu menjawab berbagai
tantangan krusial dan dilematis generasi mendatang, terutama menghadapi
“Indonesia Emas” Satu Abad Indonesia Merdeka tahun 2025. Pemahaman ini
dimaksudkan mata pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan mampu melatih dan
memperkuat peserta didik dari segi “komunikasi”, mata pelajaran Matematika
diharapkan memperkuat “daya nalar dan berpikir kritis-analogis”, dan mata
pelajaran Sejarah Indonesia diharapkan membekali peserta didik “berpikir historis-
analitis, mempertebal semangat kebangsaan, dan membekali anak didik nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia”. Keprihatinan akan pudar dan hilangnya kepribadian dan
jati diri sebagai bangsa Indonesia tersebut akibat perkebangan zaman yang
semakin global, membuat pemerintah menetapkan empat pilar berbangsa yang
harus dipertahankan, yakni: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.10

Dalam Kata Pengantar Sejarah Indonesia 11 (Buku Siswa), Menteri


Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, menjelaskan bahwa:
“Pembelajaran Sejarah Indonesia bukan berisi materi pembelajaran yang dirancang
hanya untuk mengasah kompetensi pengetahuan peserta didik. Sejarah Indonesia
adalah mata pelajaran yang membekali peserta didik dengan pengetahuan tentang
dimensi ruang-waktu perjalanan sejarah Indonesia, keterampilan dalam menyajikan
10 Mengenai ini simak artikel dan kolom menarik Goenawan Mohamad, “Tentang Kurikulum
2013”, Majalah Tempo, 2013. Penjelasan tentang mata pelajaran primadona dalam Kurikulum
2013 saya dengar sendiri paparan yang dikemukakan oleh para desainer ya ng merancang
Kurikulum 2013, seperti staf ahli Mendikbud Prof. Dr. Abdullah Alkaff (ahli Matematika dari
ITS), Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Musliar Kasim, M.Sc., Penanggung
Jawab Kurikulum 2013, Prof. Dr. S. Hamin Hasan (UPI Bandung), dll. sewaktu diikutsertakan
dalam Tim Penulis Buku Teks Sejarah Indonesia Kelas X di Polimedia Kreatif, Jakarta.
11 Kemendikbud, Sejarah Indonesia, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (2013).
Buku ini dikerjakan oleh Tim Penulis: Restu Gunawan, Sardiman AM., Amurwani Dwi
Lestariningsih, Mestika Zed, Wahdini Purba, Wasino, Agus Mulyana, dengan penyelia dari BNSP
Prof Dr. Dadang Supardan. Sebenarnya buku teka Sejarah Indonesia Kelas X ini hanya dikerjakan
oleh Tiga orang Penulis (pasangan suami-isteri Restu Gunawan [sejarawan dari Kemendikbud],
Amurwani Dwi Lestariningsih [sejarawan dari Kementrian Parawisata dan Kebudayaan] dan saya
sendiri dengan pengarah Prof. Dr. Mestika Zed, M.A. [sejaran dari Universitas Negeri Padang].
Naskah itu kemudian direvisi oleh Dr. Sardiman AM [sejawan dari Universitas Negeri
Yogyakarta].
pengetahuan yang dikuasainya seca konkret dan abstrak, serta sikap menghargai
jasa para pahlawan yang telah meletakkan pondasi bangunan Negara Indonesia
beserta segala bentuk warisan sejarah, baik benda maupun takbenda. Sehingga
terbentuk pola piker peserta didik yang sadar sejarah.” (hal. iii).

Disebabkan karena mata pelajaran Sejarah Indonesia sifatnya wajib


dipelajari oleh semua siswa – termasuk peserta didik yang belum tentu berminat
dengan sejarah – maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan regresif,
dengan penulisan yang lebih popular. Maksudnya: melalui pengamatan terhadap
kondisi sosial-budaya dan sejumlah warisan sejarah yang bisa ditemukan sekarang,
peserta didik diajak mengarungi garis waktu mundur ke belakang, ke masa lampau
saat terjadinya peristiwa yang melandasi terbentuknya peradaban yang
melatarbelakangi kondisi sosial-budaya dan warisan sejarah tersebut.
Sementara dalam Kurikulum 2013 mata pelajaran Sejarah kembali
“berkibar” dan “naik daun”, sebagaimana yang pernah terjadi dalam Kurikulum
1984, yakni era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Nugroho
Notosusanto, di mana dikenal mata pelajaran baru, yakni Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB). Atas dasar pemahaman di atas Sejarah Indonesia (2
JP) merupakan mata pelajaran wajib dan harus diikuti oleh peserta didik, baik
SMA/MA maupun SMK; sementara Sejarah merupakan mata pelajaran
peminatan/lintas minat (3-4 JP).
Menurut Prof. Hamid Hasan, Pendidikan Sejarah dalam Kurikulum 2013
didasarkan pada prinsip bahwa pengetahuan masa lalu digunakan untuk mengenal
dan memahami kehidupan masa kini dan membangun kehidupan masa depan.
Dalam prinsip pemahaman seperti ini ini peserta didik diajak untuk menggunakan
tiga dimensi waktu sejarah (masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang)
dalam belajar peristiwa sejarah. Artinya, sejarah tidak berhenti pada masa lalu,
melainkan terus berkelanjutan dalam kehidupan masa kini dan pada kehidupan
masa depan. Kehidupan masa kini mewarisi apa yang sudah dihasilkan dari masa
lalu.

Pengetahuan masa lampau dibangun atas dasar pemahaman dan analisis


terhadap fakta-fakta sejarah, dikembangkan berdasarkan penerapan hukum
kausalitas, perubahan dan kesinambungan. Fakta sejarah dikumpulkan dari sumber
sejarah; sementara untuk mendapatkan sumber sejarah yang layak dipercaya,
informasi yang sahih dari sumber diperlukan kemampuan melakukan kritik
sumber. Proses pembelajaran memberikan pengalaman belajar untuk memahami
dan mampu menggunakan berbagai istilah/konsep sejarah seperti perubahan dan
kesinambungan, interpretasi sejarah, rekonstruksi peristiwa dan cerita sejarah, dan
sebagainya.
Keberlanjutan sejarah pada kehidupan masa kini perlu diidentifikasi dari
peninggalan berupa artefak dan fosil, kebiasan-kebiasaan, cara berpikir, sikap
hidup, ideologi, sistem pemerintahan, dan sebagainya. Berbagai aspek kehidupan
tersebut ada yang dapat dan perlu dilanjutkan, dikembangkan bagi kehidupan masa
depan, dan tentunya ada juga yang sudah tidak dapat dipertahankan. Sehingga
dalam perspektif pemahaman sepertini ini, menurut Prof. Hamid Hasan,
pembelajaran sejarah dalam Kurikulum 2013 harus mampu “mengubah tujuan
dan pandangan kita” yang selama ini terkungkung pada pemahaman berbagai
peristiwa sejarah menjadi tujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
historis, kemampuan menerapkan keterampilan historis, mengembangkan nilai-
nilai kebangsaan, dan sikap religius tanpa mengabaikan hafalan tentang fakta
penting dan peristiwa penting sejarah. Kemampuan dan sikap itu dikembangkan
sebagai kompetensi yang digunakan untuk belajar berbagai peristiwa sejarah.

Dengan perubahan tujuan ini maka berbagai kemampuan yang seharusnya


dimiliki peserta didik dalam pembelajaran sejarah. Perubahan paradigma ini
diharapkan mampu memberikan kesan dan kenyataan bahwa pendidikan sejarah
yang selama ini terfokus pada kemampuan menghafal fakta dan peristiwa berubah
menjadi mata pelajaran yang mampu memberikan kemampuan, sebagaimana yang
dikemukan pakar pendidikan sejarah, Sam Wineburg, “menghubungkan masa
lampau dengan masa kini dan masa yang akan datang.”12
Pelajaran sejarah, menurut Wineburg menyangkut soal memori kolektif
(collective memory), yakni sesuatu yang senantiasa hidup dalam ingatan
masyarakat. Memori tersebut susah untuk dihapus dan dilupakan karena ia tetap
ada di dalam buku, internet, atau terbitan-terbitan ilmiah; sekalipun sebenarnya
tampak kabur dan tidak mudah dilihat. Dalam kategori ini terjadi pertarungan
antara lived memory (ingatan yang hidup) dengan learned memory (ingatan yang
diajarkan). Adanya tuntutan-tuntutan masa kini atas masa lalu bertujuan untuk

12 Penjelasan menarik bagaimana mengajarkan sejarah di sekolah diuraikan secara panjang


lebar oleh Sam Wineburg, Berpikir Historis, Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (2006).
menjembatani jurang antara masa kini dan masa lalu, karena ingatan kolektif
samasekali bukan mengenai masa lalu itu sendiri. Di sinilah menurut Wineburg,
pentingnya kita mencoba memahami bagaimana kekuatan-kekuatan tersebut untuk
membentuk kesadaran sejarah di kalangan peserta didik.13
Dengan penjelasan di atas, tujuan pembelajaran sejarah dalam Kurikulum
2013, menurut Prof. Hamid Hasan,14 dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri, masyarakat, dan bangsanya
(memori kolektif sebagai bangsa).
b. Mengembangkan rasa kebangsaan, cinta tanah air dan penghargaan terhadap
hasil dan prestasi bangsa.
c. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu ruang,
perubahan dan kesinambungan dalam berpikir kesejarahan.
d. Mengembangkan kemampuan berpikir sejarah (historical thinking),
ketrampilan sejarah (historical skills), dan wawasan terhadap isu sejarah
(historical issues), serta menerapkan kemampuan, ketrampilan dan wawasan
tersebut dalam kehidupan masa kini
e. Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang
mencerminkan karakter diri, masyarakat dan bangsa.
f. Menanamkan sikap berorientasi kepada masa kini dan masa depan.
g. Memahami dan mampu menangani isu-isu kontroversial untuk mengkaji
permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.
h. Mengembangkan pemahaman internasional dalam menelaah fenomena aktual
dan global.

Perlu juga dipahami bahwa prinsip pembelajaran – termasuk tentunya


pembejalaran sejarah – sebagaimana yang dirumuskan para design Kurikulum
2013 terjadi perubahan paradigma pembelajaran dengan menekankan pada
perubahan:
(1) peserta didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu;
(2) guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka
sumber belajar;
(3) pendekatan tekstual menjadi pendekatan proses sebagai penguatan
penggunaan pendekatan ilmiah;
(4) pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis kompetensi;

13 Pada bab penutup, Sam Wineburg, memberi judul “Memahami Sejarah di Millenium Baru”,
hal. 344-378.
14 S. Hamin Hasan,” Pendidikan Sejarah dalam Kurikulum 2013: Masalah dan Tantangan,”
Makalah yang disampaikan dalam Workshop Kesejarahan Tingkat Nasional yang diselenggarakan
oleh Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Ke budayan
di Cipanas, 20 Mei 2014.
(5) pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu;
(6) pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menjadi pembelajaran
denganjawaban yang kebenarannya multi dimensi;
(7) pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif;
(8) peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan
keterampilan mental (softskills);
(9) pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
(10) pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan
(ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun
karso), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran (tut wuri handayani);
(11) pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat;
(12) pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa
saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas;
(13) pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan
(14) pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta
didik.

Adapun prosedur analisis pembelajaran dalam Kurikulum 2012 yang


mengikuti pola dan prinsip “pembelajaran saintifik” dapat diilustrasikan dengan
diagram berikut ini.

Materi Pokok Penillaian


(Silabus) (Silabus)

Alternatif
Kegiatan Indikator
Pembelajaran:
Lulusan yang:
Materi Sikap, Cerdas,
Mengamati,
Pem belaja ran Pengethuan,
Menanya, Kreatif,
Fakta, Konsep, dan
Prosedur, dan
Mencoba, Produktif, dan
Mengasosiasi, Keterampilan
meta kognitif Bertanggung
dan untuk
Mengomunikasi Penilaian jawab
kan

Pem bel ajaran


(Silabus)
III. Mengajarkan Sejarah Lokal
Definisi Sejarah Lokal, menurut Taufik Abdullah,15 dengan sederhana dapat
dirumuskan sebagai kisah di kelampauan dari kelompok atau kelompok-kelompok
masyarakat yang berada pada “daerah geografis” yang terbatas. Yang
membedakannya dengan “sejarah nasional” hanya menyangkut “tempat” dan
“ruang”; bukan analisis, perspektif, serta metodologi yang digunakan.
Lebih lanjut, Taufik Abdullah, mengemukan bahwa secara garis besarnya
corak studi sejarah lokal yang pernah dilakukan tentang Indonesia dapat dibedakan
atas empat corak, yakni:

a. Studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu (studi peristiwa


khusus atau apa yang disebut evenemental l ’evenement);
b. Studi yang lebih menekankan pada struktur;
c. Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu
tertentu (studi tematis);
d. Studi sejarah umum, yang menguraikan perkembangan daerah tertentu
(propinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa.16

Orang Minangkabau sepantasnya berbangga karena banyak para ahli sejarah,


sosiologi dan antropologi yang menaruh perhatian mengkaji daerah Sumatera
Barat, baik dari dalam maupun sarjana asing. Selain Audrey Kahin, Christine
Dobbin, Jeffrey A. Hadler, sebagaimana yang dikemukakan pada awal tulisan ini,
juga kita jumpai nama-nama B.J.O. Schrieke (tentang pemberontakan komunis di
Silungkang), Joel S. Kahn (perubahan pola kehidupan ekonomis Minangkabau),
Nancy M. Tanner (berbagai macam corak perselisihan atau dispute dan
mekanisme penyelesaian menurut adat Minangkabau), Lyn Thomas (kelangsungan
sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau), Elizabet Graves, 1 7 J.

15 Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press
(1990), hlm. 15
16 Taufik Abdullah (1990), hlm. 27
17 Buku Elizabeth E. Graves sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Asal-Usul
Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX , Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia (2007) dengan editor ahli Mestika Zed.
Kathirithamby-Wells (persaingan politik antara penguasa Aceh, Minangkabau, dan
kolonialis Inggris-Belanda di pantai Barat Sumatera Barat), Akira Oki
(perkembangan ekonomi pedesaan), J. Maretin (meramalkan ambruknya
masyarakat matrilineal), de Josselin de Jong (sistem politik tradisional di
Minangkabau dan negeri Sembilan), pasangan suami isteri Franz von Benda-
Beckmann & Keebet von Benda-Beckmann18; dan Tsuyoshi Kato19; sementara
dari dalam (orang Minang sendiri) terdapat nama Umar Yunus (sastra &
masyarakat Minangkabau), Harsja W. Bachtiar (sosiologi masyarakat
Minangkabau), Mochtar Naim (merantau &migrasi), Deliar Noer (gerakan
modernis Islam), Taufik Abdullah (sekolah dan politik), Azyumardi Azra (surau
dan jaringan Islam), Mestika Zed (kepialangan & revolusi), Gusti Asnan (dunia
maritime & peradaban pesisir Sumatera), Nursyrwan Effendi (pasar dan
kebudayaan), dll.20
Tampilnya para sejarawan, sosiolog dan antropolog asal Sumatera Barat di
pentas nasional telah turut mewarnai dan berkontribusi dalam penulisan sejarah
nasional versi baru Indonesia Dalam Arus Sejarah (2012) sebanyak 8 jilid dan 1
jilid Faktaneka dengan rata ketebalan antara 400-600 halaman, dengan Editor
Umum Prof. Dr. Taufik Abdullah (sejarawan LIPI asal Sumatera Barat dan Prof.
Dr. Adrian B. Lapian). Dari 8 jilid jumlah keseluruhan, 2 jilid dieditor oleh
sejarawan asal Sumatera Barat, yakni Prof. Dr. Azy umardi Azra (Jilid 3,

18 Karya mereka yang sudah diterjemahkan, yakni Franz von Benda-Beckmann, Properti dan
Kesinambungan Sosial: Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemeliharaan Hubungan -
Hubungan Properti Sepanjang Masa di Minangkabau, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia bekerja sama dengan Perwakilan KITLV-Jakarta, 2000); & Keebet von Benda-
Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan nagari dan Pengadilan Negeri di
Minangkabau, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan Perwakilan
KITLV-Jakarta, 2000).
19 Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), diterjemahkan oleh Gusti Asnan dan Akiko Iwata.
20 Mengenai topik ini lihat tulisan Taufik Abdullah, “Studi Tentang Minangkabau,” dalam A.A.
Navis (ed.). Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik, (Padang: Genta
Singgalang Press, 1983). Tampilnya para ahli sejarah asal Minangkabau dengan kapasistas dan
kemampuan intelektualnya secara nasional turut serta mewarnai penulisan sejarah Nasional
Indonesia yang baru, Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia Dalam Arus
Sejarah [berjumlah 9 jilid], (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012). Karya akbar bersifat
ensiklopedis ini dimaksudkan sebagai pengganti buku babon Sejarah Nasional Indonesia
(berjumlah 6 jilid) hasil editor Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Buku
babon ini sudah dilakukan Edisi Pemutakhiran yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 2009
dengan editor R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa.

Taufik Abdullah & A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid 5,
28
Masa Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hlm. 63-97
Kedatangan dan Peradaban Islam) bersama dengan Dr. Jajat Burhanuddin, dan
Prof. Dr. Mestika Zed (Jilid 6, Perang dan Revolusi) bersama Dr. Mukhlis PaEni.
Belum lagi menyangkut kontribusi dan kedalaman materi kajian, Taufik Abdullah,
Mestika Zed, dan Gusti Asnan, dengan original kajiannya telah menguak
kedalaman materi kupasan sejarah yang selama ini belum ditemukan penerbitan
karya sejarah sebelumnya. Dalam artian, bagaimana “trio-sejarawan” asal Minang
ini (Taufik Abdullah, Mestika Zed, dan Gusti Asnan) mengkaji dan mengupas
peristiwa sejarah (lokal) Sumatera Barat-Minangkabau dalam perspektif nasional.
Jika narasi sejarah persentuhan bangsa asing terhadap Sumatera yang kita kenal
selama ini adalah melalui Pantai Timur Sumatera (Selat Melaka), Prof. Gusti
Asnan justru mengemukakan bahwa peranan Pantai Barat Sumatera juga tidak
kalah pentingnya, serta menawarkan ikon sejarah baru, “peradaban maritim” di
Indonesia. “Pemberontakan Anti-B elasting di Sumatera Barat”, yang ditulis Taufik
Abdullah & Gusti Asnan, juga mewakili narasi sejarah pemberontakan rakyat
terhadap wajib bayar pajak yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Demikian halnya wajah revolusi Indonesia dalam
berbagai aspek, sebagaimana yang digambarkan oleh Mestika Zed (sebagai
kapasitas editor Jilid 6), secara tidak langsung banyak melukiskan wajah revolusi
di Sumatera Barat.

Dalam sebuah artikel sub bab yang berjudul: “Dari Hasrat ‘Kemajuan’ Ke
Pembentukan Bangsa”, sejarawan Taufik Abdullah21, memaparkan dengan cukup
menarik bagaimana gambaran dan kondisi social masyarakat Sumatera Barat yang
berhasrat menuju ke arah “kemajuan” akibat tekanan dari penguasa kolonial
Belanda awal abad ke-20. Perubahan orientasi politik kolonial setelah
diberlakukannya Politik Etis, tumbuhnya sekolah-sekolah yang kelak melahirkan
kaum elit lokal (seterusnya elit nasional), tumbuh berkembangnya pers, lahirnya
penulis-sastrawan yang berorientasi ke arah “kemajuan bangsa”, dan
perkembangan lain di Indonesia, digambarkan oleh Taufik Abdullah secara
memukau yang mengambil fakta-fakta sejarah lokal Sumatera Barat dalam
perspektif nasional (Indonesia). Tak dapat dipungkiri, misalnya, bagaimana
dengan narasi yang cukup menarik dan analisa yang tajam, Taufik Abdullah,
mengupas perubahan sosial dan struktur masyarakat Indonesia di era peralihan –
dari abad ke-19 ke abad ke-20 atau dari perjuangan bersifat lokal-kedaerahan
(fisik/perang) ke perjuangan bersifat nasional (intelektual/organisasi) – dengan
mengangkat sosok tokoh pers Dt. Sutan Maharadja sebagai simbol kultural
kebangkitan masyarakat Minangkabau menuju era kemajuan. Dt. Maharadja
merupakan tokoh elit tradisional dan tokoh pers yang menjadi penengah dari
konflik sosial antara kaum adat dan kaum agama pasca perang paderi di
Minangkabau. Di sini Taufik Abdullah seakan menyodorkan bahwa tokoh elit
tradisional Minangkabau merupakan representasi kebangkitan elit-elit tradisional
daerah-daerah lain di Indonesia menuju terbentuknya atau tumbuhnya kesadaran
nasional di Indonesia.

Narasi di atas menggambarkan betapa kaya dan berlimpahnya materi


“sejarah lokal” – sejarah daerah Sumatera Barat/Minangkabau – bisa dimanfaatkan
dalam pembelajaran sejarah. Realitas ini tentu saja bukan bermaksud “membesar-
besarkan” peristiwa sejarah lokal (Sumatera Barat) dengan peran aktif tokoh
pemimpin asal Minangkabau; dan segi lain mengurangi atau menihilkan peran
etnis lain di pentas nasional. Misalnya, Kerajaan Melayu-Minangkabau yang
berkedudukan di Pagaruyung (pedalaman Sumatera Barat) memiliki posisi dan
kedudukan terhormat di beberapa kerajaan-kerajaan kecil di Sumatera. Sebuah
kerajaan Batak di Silindung, misalnya, sangat menghormati kerajaan Minangkabau
dan menganggap Sultan sebagai penguasan negeri itu. Bahkan dalam hal
kekuasaan mereka mengganggap lebih tinggi dari kepala suku Batak, di mana
perintah sesederhana apapun dari Sultan akan segera dilaksanakan dengan penuh
kepatuhan.22

Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pegawai Inggris dari Bengkulu, pada
bulan Juli 1818 secara sengaja mengunjungi pedalaman Minangkabau, menulis:
“Seluruh negeri, dari Pageruyong [maksudnya: Pagarruyung, pen], sejauh mata
dapat memandang dengan jelas, merupakan pemandangan budi daya yang
berkesinambungan, disela dengan kota dan desa tak terhingga banyaknya,
dinaungi oleh pepohonan kelapa dan bebuahan lainnya .... Di Tanah Datar bagian
yang subur terdapat di bagian barat lembah, di kaki Gunung Merapi di sekitar

22 Demikian pengakuan dan catatan dua orang pengelana asing yang mengunjungi Tanah Batak,
Richard Burton dan Nathaniel Ward, sebagaimana yang terdapat nukilan buku Anthony Reid (ed.),
Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo sampai Tan Malaka. (Jakarta: Komunitas Bambu,
2010), hlm. 212-23 1.
Sungai Tarab dan Gurun, yang sebagian subur berkat adanya tanah vulkanik dan
sungai-sungai untuk irigasi. Di desa-desa semacam itu “kaya, makmur dan
dibangun dengan baik. Di bagian timur lembah, tempat yang paling subur terletak
di lembah-lembah samping Andalas, menjorok ke arah timur dan mendapat
manfaat karena berdekatan dengan Gunung Marapalam.”23
Seyogianya para guru sejarah kita memahami fakta sejarah [lokal] di atas
sehingga dalam pembelajaran sejarah (baik Sejarah Indonesia [mata pelajaran
Wajib) maupun Sejarah [mata pelajaran Peminatan dan Lintas Minat], sehingga
pembelajaran sejarah mampu memberikan “kebanggan historis” sekaligus
“kepuasan kultural” bagi peserta didik. Kebanggan historis dan kepuasan kultural,
tentunya diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran sejarah di kalangan generasi
muda kita di masa mendatang.

Banyak hal dalam peristiwa sejarah lokal Sumatera Barat yang bisa diangkat
dan mampu melahirkan “kebanggan historis” dan “kepuasan kultural” di
kalangan peserta didik. Kita tentunya sama-sama memahami bagaimana peran
yang disumbangkan para tokoh elit nasional asal Minangkabau terhadap
kebangkitan dan berdirinya Republik Indonesia. Sekedar menyebut sejumlah
tokoh: Muhammad Hatta (wakil presiden & perdana menteri), Sutan Sjahrir
(perdana menteri), Tan Malaka (tokoh revolusioner), H. Agus Salim (diplomat dan
menteri luarnegeri), Muhammad Yamin (sasterawan, sejarawan, pencetus Sumpah
Pemuda dan pernah menjabat sebagai menteri), Muhammad Natsir (tokoh Islam,
dan pernah menjabat perdana menteri, tokoh yang berperan dalam kembalinya
negeri ini ke NKRI), Ahmad Khatib (tokoh gerakan modernis Islam dan pernah
menjadi Imam Besar ‘mazhaf Syafi’I’ di Mekkah; sederet tokoh pendidik, seperti:
Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Bunya Hamka), Syaikh Abdullah Ahmad,
Syaikh Ibrahim Musa, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil
Djambek, Rahmah El-Yunisiah. Posisi mereka bukan saja sekedar tampil di
panggung perjuangan, bahkan banyak diantara mereka menjadi “posisi kunci”
yang menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Memahami fakta sejarah tersebut tentunya tidak terlalu berlebihan apa yang
dikemukakan oleh seorang komentator asal Amerika, W.A. Hanna dalam sebuah
artikelnya “The Role of the Minangkabau in Contemporary Indonesia” (1959)
bahwa:
“Daerah Minangkabau, tempat tinggal kira-kira 2,5 persen seluruh penduduk
Indonesia......, menurut perkiraan konservatif telah menghasilkan 25 sampai 30 persen
dari seluruh pemimpin intelektual utama Indonesia abad ini. Sebuah desa kecil di
Minangkabau sendiri, Kota Gedang, menghasilkan mantan Perdana Menteri Syahrir,
dan mantan Menteri Luarnegeri Haji Agus Salim (1884-1954), dan sedikitnya selusin
tokoh-tokoh terkenal dalam pentas nasional. Kota Bukittinggi di dekatnya
menghasilkan, di antara banyak lainnya, mantan Wakil Presiden Hatta, dan mantan
Perdana Menteri Mohammad Natsir. Dari daerah sekitarnya muncul pro sentase tinggi,
kalau tidak mayoritas mutlak, dokter dan hakim terkemuka di Indonesia – golongan
professional yang menjadi pemimpin revolusioner nasional Bahkan tokoh Komunis
bangsa ini yang terkenal, Tan Malaka (w. 1949?), adalah seorang putra
Minangkabau....”24
Sejarawan Audrey Kahin menyebutkan bahwa Sumatera Barat merupakan
“garda depan revolusi” (Kahin, ttp. hal. 88-89) atau “pos terdepan republik”
(Kahin, 1990: 150-179),25 terutama setelah Agresi Militer Belanda II (19
Desember 1948), di mana pusat pemerintahan RI kemudian dipindahkan ke
Bukittinggi. Roda pemerintahan Republik kemudian dijalankan oleh Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Mr. Sjafruddin
Prawiranegara bersama tokoh pemimpin asal Sumatera.26 Begitu besarnya jasa dan
24 Lihat petikan artikel ini yang sengaja dikutip oleh Christine Dobbin dalam buku
Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera tengah 1784-1847
(Jakarta: INIS, 1992), hal.230-23 1.
25 Lihat artikel menarik Audrey Kahin, “Sumatera Barat: Pos Terdepan Republik” dalam
Audrey Kahin (ed.), Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1990), hal. 150-179. Hal menarik apa yang dikemukan Audrey Kahin adalah bahwa elit
pemimpin Sumatera Barat, sekalipun memiliki kebebasan yang demikian luas, namun tetap mampu
memberikan loyalitas yang tinggi terhadap keputusan-keputusan pemerintah pusat; sekalipun
dalam keadaan-keadaan tertentu sering mengecewakan dan menyakitkan. Bahkan, menurutnya,
Sumatera Barat di era revolusi (1945-1950) dan pasca revolusi (1950-1965), “Sumatera Barat telah
mempertaruhkan perjuangan lokal dalam konteks nasional dan akhirnya berhasil; suatu perjuangan
yang lebih mengandalkan kekuatan-kekuatan mereka ketimbang uluran tangan dari pemerintah
pusat dan menyadari bahwa perjuangan mereka merupakan bagian dari perjuangan nasional.”
(tentang ini lihat bukunya Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional
Indonesia 1945-1950 (Padang: Masyarakat Sejarawan Cabang Sumatera Barat (tanpa tahun
penerbit); dan buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia
1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
26 Kajian konprehensif mengenai PDRI lihat Mestika Zed, Somewhere in The Jungle:
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997). Lihat juga Mestika Zed dan Muklis PaEni (Editor Jilid 6),
Perang dan Revolusi dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia Dalam
Arus Sejarah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hal. 319-567.
24 Christine Dobbin. Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah,
Sumatera tengah 1784-1847, (Jakarta: INIS, 1992), hal. 14 dan 24-25.
“pertaruhan sejarah” yang diemban daerah ini dan para elit politik asal Sumatera
Barat kemudian mendorong pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang
Yudono, menetapkan tanggal 19 Desember sebagai hari besar nasional sebagai
“Hari Bela Negara” yang diperingati setiap tahunnya. Sekedar untuk diketahui
bahwa “Hari Bela Negara” merupakan satu-satunya Hari Besar Nasional yang
mengambil event dan peristiwa sejarah di luar Pulau Jawa (?)

IV. Bahaya Regio-centrisme


Tujuan dan fungsi pembelajaran sejarah bukan sekedar mengungkap
“kegemilangan sejarah” masa silam dan kemudian “meratapi masa suram” sejarah
masa kini; melainkan bagaimana mengambil pelajaran dan hikmah dari semua
perjalanan sejarah tersebut sehingga menimbulkan kearifan sejarah menapaki
perjalanan sejarah di masa mendatang. Menyikap realitas tersebut, dalam
mengajarkan sejarah lokal, tentunya hal penting yang perlu dipahami apa yang
diperingatkan sejarawan Taufik Abdullah – seraya mengulang kembali kritik yang
dikemukakan oleh Gerard Johannes Resink (pakar sejarah kelahiran Yogyakarta
(1911-1997), -- yakni suasana pemikiran kesejarahan yang tumbuh pasca
kemerdekaan dari Netherland-centris ke Indonesia-centris tergelincir pada apa
yang disebut dengan regio-centrisme; yakni pemikiran sejarah yang bertolak dari
kesadaran lokal (kedaerahan). 27 Hal ini tentu saja kelak akan menimbulkan
perasaan ethnocentrisme yang berdampak kepada sikap regionalisme sebagaimana
yang terjadi di era 1950-an.
Demikian maka yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan sejarah lokal
dalam pembelajaran sejarah Kurikulum 2013 – tentunya memperhatikan langkah-
langkah pembelajaran saintifik, yang terdiri atas: mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, menganalisis, dan mengomunikasikan -- peserta didik
diarahkan kepada pada prinsip-prinsip sebagai berikut28:
a. Bagaimana mengembang cara berpikir sejarah sebagai kemampuan/kompetensi
yang digunakan peserta didik dalam mempelajari peristiwa sejarah lokal atau
daerahnya sendiri.
27 Taufik Abdullah & A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia dalam Arus Sejarah. “Kata
Pengantar” Taufik Abdullah ini dimuat dalam setiap Jilid.
28 Uraian ini diadopsi dan dikembangkan dari prinsip-prinsip pembelajaran saintifik mata
pelajaran sejarah dalam Kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud.
b. Pengenalan diri dan masyarakat dikembangkan melalui kajian terhadap peristiwa
yang terjadi di lokal (desa, kecamatan, kota/kabupaten/ propinsi) dalam satu poros
waktu dan periode. Pembelajaran ini diharapkan memperkaya kajian peristiwa di
tingkat nasional dengan apa peristiwa di wilayah terdekatnya melalui kajian
terhadap sumber tertulis, artefak, tradisi, nara sumber (mereka yang mempelajari
sejarah lokalnya), dan buku-buku yang pernah tertulis dan tersedia.
c. Peristiwa sejarah lokal hendaknya dipelajari dalam kaitannya dengan peristiwa
sejarah nasional. Peristiwa yang terjadi di suatu lokal tidak dipelajari sebagai
sesuatu yang utuh dan terpisah tetapi sebagai suatu bagian dan terkait dengan
peristiwa sejarah nasional. Misalkan, pada waktu membahas Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia maka peserta didik diajak untuk mempelajari apa yang
terjadi di daerahnya pada waktu itu sebagai tanggapan atas proklamasi di Jakarta,
siapa para pelaku sejarah di lokal tersebut, apa yang mereka lakukan, dan
bagaimana dampaknya, dan sebagainya.
d. Prinsip yang sama digunakan juga untuk mempelajari para tokoh sejarah di
daerah. Mereka harus mengenal tokoh di lingkungan lokalnya baik yang
diabadikan dalam nama jalan. Tokoh lokal untuk suatu periode tertentu dipelajari
bersamaan dengan mempelajari tokoh nasional dan peserta didik diajak untuk
membandingkan persamaan dan perbedaan dalam pemikiran dan tindakan di
antara tokoh-tokoh tersebut, hubungan (komunikasi) antar tokoh-tokoh tersebut.
e. Pembelajaran sejarah lokal dapat juga dilakukan melalui pembelajaran proyek
dimana sejak awal semester peritiwa-peritiwa sejarah yang dipelajari dalam
semester tersebut dibagi sebagai proyek yang harus dikerjakan peserta didik atau
sekelompok peserta didik dalam setengah atau satu semester. Pertemuan
mingguan digunakan untuk membahas kemajuan dan kesulitan peserta didik
dalam melaksanakan proyeknya. Pembelajaran proyek dapat dilakukan ketika
peserta didik sudah memiliki keterampilan mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi, mengolah informasi/merekonstruksi, dan menuis cerita sejarah.
f. Model pembelajaran proyek dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
regresif (waktu mundur dari masa sekarang ke masa lalu) dan juga progresif
(waktu maju dari masa lalu ke sekarang) untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam mengenai suatu suatu masalah-masalah tertentu di masa kini.

Masyarakat Minangkabau terkenal dengan filosofi: “adaik basandi sara’,


sara’ basandi kitabullah ”, dan sendi ini harus mutlak dijadikan fondasi dan
landasan dalam pembangunan pendidikan agar dapat menangkal segala bentuk
perubahan yang meruntuhkan nilai-nilai budaya yang kita miliki. Dalam konteks
ini barangkali sangat tepat kita kutip pendapat Prof. Dr. Winarno Surakhmad,
M.Sc. Ed. yang mengatakan: “Pendidikan harus mampu mengambil hikmah masa
lalu yang memperkaya hari ini. Pendidikan hari ini harus mampu mengembangkan
segala potensi untuk generasi sekarang, dan tetap memungkinkan genearsi
berikut untuk lebih lanjut membangun masa depan mereka.” Pendapat di atas
kalau kita padankan pula dengan pernyataan bernas dari filosof Jurgen Habermas,
yang menegaskan bahwa: “Sang sekarang yang dari sudut pandang cakrawala
zaman baru memahami dirinya sebagai aktualitas dari zaman yang paling baru,
harus menuntaskan pemutusan-hubungan yang dibuatnya dengan masa lampau,
sebagai pembaharuan yang berkelanjutan.” Di sini Habermas seakan menyangkal
kesinambungan kebudayaan dalam hidup manusia, padahal kita mestinya mengerti
bahwa “sang sekarang” itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi melekat
dengan sejarah yang berproses secara dialektis (perjalanan yang tiada ujung).
Persoalannya adalah , “sang sejarah” tidak hanya melibatkan dimensi temporal
(waktu), tetapi juga menyangkut spatial (ruang atau tempat). Di sinilah terjadinya
paradoks sejarah hidup manusia, sebagaimana yang dilansir Alvin Toffler (kejutan
budaya), John Naisbitt (paradox global), Kenichi Ohmae (dinia tanpa batas), dan
Thomas L. Friedman (dunia semakin datar dan sempit), dimana “sang sejarah”
tidak muncul secara bersamaan.

Fakta sejarah telah membuktikan bagaimana masyarakat Minang pada abad


ke-19 dan awal abad ke-20 telah memanfaatkan kebijakan yang ditempuh Belanda
dalam memberikan peluang menikmati pendidikan, sekalipun sebenarnya tujuan
awalnya adalah demi kepentingan kolonial. Elizabeth E. Graves29 menggambarkan
dengan bagaimana cikal bakal prestasi orang Minangkabau terletak pada cara
mereka memberikan tanggapan terhadap kehadiran kekuasaan kolonial Belanda.
Ketika kesempatan memperoleh pendidikan yang diprioritaskan untuk keluarga
kaum elit lokal kurang diminati, akhirnya kesempatan yang kosong segera diisi
oleh para keluarga biasa. Kelak di kemudian hari, mereka inilah yang terjun ke
dunia pergerakan (perjuangan kemerdekaan).

Graves menegaskan lebih lanjut alasan-alasan mengapa orang Minangkabau


bisa maju di bidang pendidikan haruslah dicarikan dalam masyarakat tradisional.
Kasus ini menunjukkan betapa prakarsa setempat, minat dan sebagian didukung
oleh sistem sosialnya, telah memainkan peran yang demikian penting dalam
menentukan bagaimana masyarakat Minangkabau menanggapi keadaan yang
sedang berubah. Dalam akhir kajiannya, Graves menulis: “Sebagai kelompok
masyarakat yang kecil dan lemah, mereka tidak hanya berhasil menghindar agar
tidak ditelan oleh kelompok yang lebih kuat dan berkuasa, tetapi mereka juga

29 Elizabeth.
E. Graves. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial
Belanda AbadXI/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
mampu memanfaatkan kekuasaan penjajah untuk kekuasaan si terjajah ... Ketika
rezim Belanda mulai goyah dan munculnya kesempatan baru, orang Minangkabau
yang pragmatik ini menjadi orang pertama meloncat meninggalkan kapal kolonial
yang tenggelam.”

V. Penutup
Dalam bagian akhir makalah ini saya ingin mengajak kita semua
merenungkan kembali dua peryataan yang dikutip pada bagian awal dan akhir
tulisan ini. Di awal. Peter Carey menegaskan: “Tanpa cinta dan penghargaan pada
sejarah mereka sendiri,” tulis Peter Carey, “Indonesia akan terpecah dan orang-
orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang
mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan ke mana mereka
pergi.. Adalah tugas genereasi muda untuk menghindari jangan sampai hal ini
terjadi. Adalah tugas generasi lebih tua yang sekarang ada dalam posisi-posisi
kepemimpinan untuk menyediakan sumber daya duna memastikan bahwa sejarah
memiliki terhormat dalam kehidupan bangsa. Dalam zaman reformasi dan
pembaruan nasional saat ini, Indonesia yang sungguh-sungguh beradab adalah
sebuah keniscayaan”.
Kemudian, dalam konteks pembelajaran sejarah lokal, kita simak pula
pendapat pakar pendidikan, Winarno Surakhmad, bahwa dalam membangun
pendidikan seyogianya “mampu mengambil hikmah masa lalu yang memperkaya
hari ini. Pendidikan hari ini harus mampu mengembangkan segala potensi untuk
generasi sekarang, dan tetap memungkinkan generasi berikut untuk lebih lanjut
membangun masa depan mereka.”
Disinilah kita harapkan bagaimana kita masyarakat Sumatera Barat yang
pernah dikenal dengan “gerakan seribu” nya tetap menjalin hubungan kerja sama
saling percaya (trust), memupuk dan mempertahankan nilai-nilai dan norma-
norma yang selama ini kita pegang teguh. Dengan jalinan kebersamaan itu dapat
dipastikan kita kembali bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan selama ini,
kemudian maju melangkah menuju masyarakat yang berperadaban yang kita
dambakan bersama. Kelemahan kita selama ini dalam mengembangkan
pendidikan adalah tidak j elasnya filosofi dan politik pendidikan kita sehingga arah
pendidikan juga tidak jelas; hanya sekedar kepentingan-kepentingan sesaat bersifat
semu “menghadapi ujian nasional”. Performans seperti sangat berbahaya, dan

29 Elizabeth.
E. Graves. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial
Belanda AbadXI/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
kenyataan ini sangat berbeda dengan sistem pesekolahan kita di masa silam yang
melahirkan tokoh-tokoh elit pemimpin nasional. ***

Anda mungkin juga menyukai