Anda di halaman 1dari 7

Pagi itu, pukul setengah enam, insan asrama putra TPB (Tingkat Persiapan

Bersama) IPB berhamburan keluar gedung asramanya. Masih dalam periode

akulturasi, kami diwajibkan untuk mengikuti apel setiap pagi harinya. Apel

pagi itu nyaris sama saja dengan apel yang sudah-sudah, kecuali dengan

amanat apel yang disampaikan.

Saya rasa kita sepakat bahwa kebanyakan amanat apel membosankan.

Pembina apel biasanya tidak akan jauh dari menyampaikan himbauan ini-itu

yang sifatnya normatif secara lugas, yang disusun per-poin (supaya runut).

Namun amanat apel pagi itu berbeda. Bang Je, pembina apel, sangat apik

mengemas amanat apel agar tidak membosankan dengan bercerita ringan,

namun sarat akan makna seperti berikut.

***

Alkisah, hiduplah sebuah keluarga kaya dengan dua orang putra yang masih

belia. Sang ayah mendapatkan kekayaannya dari sebuah kebun yang teramat

luasnya. Kebun itu ia tanami berbagai macam sayur-mayur lagi aneka buah-

buahan, lantas rupa-rupa hasil bumi dari kebunnya itu ia jual secara rutin ke

pasar-pasar di sekitar desa. Dengan usahanya ini, sang ayah menghidupi

keluarganya dengan sangat kecukupan.


Namun, karena terlalu sayangnya dengan kedua putranya, sang ayah tidak

pernah sedikitpun membiarkan anak-anaknya mengetahui pekerjaannya,

tentang dari mana sumber penghasilannya berasal. Barangkali, sang ayah

tak ingin anak-anaknya menghidupi diri dan keluarganya seperti dirinya,

dengan bekerja (lebih banyak) dengan otot, bukan dengan otak. Setali tiga

uang, kedua putranya juga tak pernah terbersit rasa penasaran untuk

mengetahui seperti apa mata pencaharian ayahnya, karena sudah terlalu

dimanjakan dengan kecukupan materi.

Ironi, ternyata takdir tak sempat mengizinkan sang ayah ‘mengantar’ kedua

putranya sampai pada kesuksesan ‘menjadi orang’ seperti yang ia harapkan.

Sang ayah terserang sakit keras, dan waktu pun memanggilnya. Sesaat

sebelum menghembuskan nafas terakhir, sang ayah akhirnya masih sempat

menceritakan pada kedua putranya, bahwa ia memiliki sebuah kebun, yang

akan dibagi menjadi dua luasan sama besarnya pada masing-masing

putranya. Sang ayah juga berpesan “Manfaatkan kebun kalian dengan satu

kaidah: jangan kalian pergi dan pulang ke/dari kebun di bawah terik

matahari”. Sesaat setelah mengutarakan pesan tersebut, sang ayah menutup

matanya untuk selamanya, tanpa sempat menjelaskan maksud dari pesannya

tersebut.

Setelah berkabung untuk beberapa saat lamanya, kedua kakak beradik yang

sama-sama baru menginjak dewasa ini pun teringat dengan wasiat

ayahandanya. Keduanya awalnya sama-sama bingung, terutama dalam

menafsirkan yang dimaksud ayahnya dengan kaidah jangan kalian pergi dan

pulang ke/dari kebun di bawah terik matahari. Karena keduanya merupakan

anak yang patuh, mereka sepakat untuk menaati perintah ayahandanya yang

terakhir kali tersebut.


Sang kakak berpikir keras: bagaimana caranya saya pergi dan pulang dari

kebun tanpa berada dibawah terik matahari? Bukankah itu artinya ayah tidak

memperkenankan saya pergi ke kebun sepanjang hari? Ia akhirnya

menyimpulkan, mengingat betapa nyamannya ia dibesarkan oleh ayahnya

semasa ia hidup, ia menafsirkan bahwa maksud ayahnya adalah ia hanya

mengatur kebunnya dari rumah saja, dan membayar orang lain untuk

mengelola kebunnya. Ah, saya sudah berhasil menafsirkan apa maksud

wasiat Ayah. Ayahanda pasti bermaksud demikian.

Lain halnya penafsiran yang keluar dari pemikiran sang adik. Ia

berkesimpulan ia harus berangkat ke kebun pagi-pagi sekali, sebelum

matahari menjadi terik, dan ia akan pulang sejenak sebelum matahari

kembali ke peraduannya. Sang adik pun tersenyum, merasa lega karena telah

menemukan penjelasan dari wasiat ayahandanya. Ia bertekad akan merawat

kebunnya dengan sebaik mungkin, dengan tangannya sendiri.

Singkat cerita, selang beberapa tahun setelahnya, keadaan kedua kakak

beradik itu sangat berbeda. Sang kakak sangat memprihatinkan, ia terlilit

hutang sana-sini. Sebabnya adalah, sulit sekali mencari orang yang bisa

dipercaya untuk mengelola kebunnya. Ia berulang kali ditipu oleh orang

bayarannya karena ia tidak pernah mengecek langsung ke kebun, yang

berkata bahwa hasil kebun sedang buruk karena ada serangan hama,

padahal nyatanya tidak demikian, dan seterusnya. Alhasil, hidupnya semakin

hari semakin berkekurangan.

Sang adik berkeadaan sebaliknya, ia semakin makmur. Kebunnya terkelola

dengan sangat baik. Ia bahkan mempekerjakan beberapa orang untuk

membantu mengelola kebunnya, dan menyalurkan hasil panen ke pasar-pasar


baru, yang sebelumnya belum dipasok oleh ayahandanya selama beliau

masih hidup. Beruntung bagi sang adik.

***

Saya sangat terkesan dengan amanat apel pagi Bang Je ini. Cerita ini

mengajarkan bahwa, walaupun kedua kakak beradik itu sama-sama

mematuhi wasiat ayahandanya, cerita keduanya berakhir sangat berbeda.

Perbedaan nasib yang dimulai dari perbedaan penafsiran antar keduanya atas

input (wasiat) yang dihadapkan.

Seringkali ini benar-benar bersinggungan dengan kehidupan nyata. Kita

seringkali dihadapkan dengan input, sebuah premis. Misalnya kita mendapati

ada sebuah tawaran pekerjaan ideal, yang sama persis dengan cita-cita kita

selama ini. Melihat persyaratannya, kita nyaris memenuhi semua kriteria

yang dipersyaratkan: IPK? Ok. Bahasa inggris? Cincai. Microsoft Office?

Hapalan. Nyaris semuanya, kecuali satu: “Mampu mengolah dan

menganalisa data-sheet via SPSS”. Waduh! Apaan tuh SPSS?!

Hakikatnya, persyaratan “Mampu mengolah dan menganalisa data-sheet via

SPSS” barulah sebatas premis, input, dan sama sekali belum memuat

implikasi apapun! Premis tersebut menunggu penafsiran kita untuk

menentukan implikasi darinya. Jika kita kemudian menafsirkan bahwa

kriteria terakhir yang dipersyaratkan itu adalah suatu handicap yang serius

(yang kemudian kita justifikasi kebenarannya karena kita memang tidak bisa

SPSS) maka implikasi yang akan kita keluarkan adalah putar balik dan

memupuskan harapan untuk mendaftar pekerjaan (ideal) tersebut, maka kita

sama halnya dengan sang kakak pada amanat apel pagi kita tadi.
Namun, lain halnya jika kita menafsirkan bahwa kriteria tersebut adalah

suatu tantangan, hal yang bisa dipelajari kok! Maka implikasi yang akan

keluar adalah kemauan untuk belajar si-SPSS ini. Lantas saat nanti sudah

mahir, pekerjaan ideal tersebut akan semakin dekat dengan kita.

***

Demikian. Akhirnya, semoga kita bisa menafsirkan premis-premis yang ada

dalam kehidupan kita, dengan sebaik-baiknya.

APEL PAGI sebagai sarana membangun KOMITMEN dan DISIPLIN

PEGAWAI

KOMITMEN dan DISIPLIN PEGAWAI merupakan salah satu unsur

suksesnya sebuah perusahaan atau organisasi. Pada perusahaan atau

organisasi baru, hal tersebut justru lebih penting/dominan karena

landasan awal yang kuat pada aspek KOMITMEN dan DISIPLIN

PEGAWAI akan memudahkan di dalam penanaman visi, misi dan

sasaran perusahaan sehingga prosentase pencapaian target

perusahaan dapat lebih dioptimalkan.

PT PMS dalam usianya yang berjalan 2 tahun, menyadari pentingnya 2

aspek tersebut sehingga mulai awal telah menempatkan KOMITMEN

dan DISIPLIN PEGAWAI menjadi bagian penting dalam pembentukan

karakter pegawai.

Untuk mengimplementasikan KOMITMEN dan DISIPLIN PEGAWAI

tersebut, PT PMS menerapkan langkah dengan melakukan APEL PAGI


setiap hari senin dan setiap tanggal 17 yang melibatkan seluruh

elemen yang ada di PT PMS mulai dari Pegawai Outsourcing, Pegawai

Kontrak, Pegawai Tetap, Pegawai Perbantuan, Manajer dan juga

Direksi.

Dalam kegiatan APEL PAGI, yang diutamakan adalah KEDISIPLINAN

mengikuti APEL dan KOMITMEN untuk selalu secara bersama

membaca, memahami dan menerapkan VISI, MISI dan BUDAYA

PERUSAHAAN. Disamping itu, kesempatan APEL PAGI juga

dimanfaatkan oleh MANAJEMEN PMS (Direksi dan Manajer/Kepala

Bidang) untuk sharing informasi perkembangan perusahaan,

mengingatkan kembali tujuan perusahaan dan memberikan arahan-

arahan yang diperlukan dan bersifat motivasional kepada seluruh

elemen yang ada di PT PMS.

Kegiatan ini dirasakan cukup efektif, terbukti adanya peningkatan

disiplin pegawai tidak hanya terkait jam masuk dan pulang kerja saja

tetapi juga disiplin dalam penyelesaian pekerjaan dan target-target

yang menjadi tanggung jawabnya tanpa mengeluhkan jam kerja yang

dijalani.

Bukti lain efektifnya kegiatan APEL PAGI adalah semakin

meningkatnya komitmen untuk menjadikan PMS JAYA, hal ini semakin

terlihat dengan dukungan lingkungan kerja yang saat ini menyatu

dalam 1 lantai/ruangan sehingga komitmen tersebut langsung

diwujudkan dalam bentuk koordinasi yang semakin mudah, intens dan

efektif antar departemen dan bidang.


Ternyata APEL PAGI bukan hanya sekedar berkumpul, berbaris rapi,

hormat, laporan dan tata urutan protokoler lain seperti pada umumnya,

namun dapat juga digunakan sebagai media positif untuk membangun

dan mencapai tujuan perusahaan seperti yang telah dilakukan secara

rutin dan konsisten oleh PT PMS.

Apapun medianya, bagaimanapun caranya, asal diniatkan demi

kebaikan niscaya akan ditemukan nilai nilai kebaikan di dalamnya.

By. Tipung Muljoko

HR & GA Manager PT PMS

Anda mungkin juga menyukai