Anda di halaman 1dari 2

Hukum Islam Di Singapura Pada Masa Kesultanan

Eksistensi Islam di Singapura. Dari hasil penelitian Asep Saefullah, Islam sudah eksis di
Singapura (dulu Tumasik) antara abad 8 M dan 11 M. Sejak masa kuno, Tumasik telah menjadi
kota pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal para pedagang dari berbagai belahan dunia,
India, Persia, Arab, dan termasuk Eropa. Bahkan sejak pertengahan abad ke-19 sampai dengan
awal abad ke-20, Singapura menjadi pusat informasi dan komunikasi dakwah Islam, melalui
produksi, reproduksi, dan distribusi kitab-kitab cetak keagamaan, dari wilayah Asia Tenggara
maupun Timur Tengah dan Eropa (Lihat Makalah Asep Saefullah, Tumasik: Sejarah Islam Awal
di Singapura 1200-1511 M, hal 21).
2.4 Hukum Islam Di Singapura Pada Masa Kemerdekaan
Di era modern, pemeluk Islam di Singapura posisinya minoritas. Yakni sekitar 15% dari
total keseluruhan penduduk Singapura. Dengan komposisi 14% ras melayu dan sisanya dari
Arab, Pakistan dan India. Selain ketiga ras tersebut, di Singapura juga ditemukan orang Cina
yang beragama Islam. Menurut Prof Hussin Mutalib dari National University of Singapore
(NUS), orang Cina yang memeluk agama Islam makin meningkat, namun jumlahnya terbilang
masih kecil.
Singapura tentunya dikenal sebagai negara sekuler. Meskipun begitu, menjalankan syariat
Islam di Negeri Singa bagi umat Islam bukanlah hal yang sulit. Demikian disampaikan Ketua
Indonesian Muslim Association In Singapore (IMAS) Imanuddin Amril dalam pertemuan
dengan Perhimpunan Baitul Maal Wat Tamwil Indonesia. “Alhamdulillah kita bisa menjalankan
syariat,” ujar Imanuddin. Singapura, kata Imanuddin, juga mendukung keberadaan komunitas
muslim di sana. Bentuk konkretnya adalah banyaknya masjid yang dikelola secara profesional.
“Kebanyakan muslim berasal dari penduduk lokal hingga pendatang, termasuk dari Indonesia,”
kata Imanuddin.
Pandangan Lee Terhadap Islam sepanjang hidupnya mendiang Lee Kuan Yew tercatat
pernah memberikan sumbangsih terhadap komunitas Muslim di Singapura. Pertama, Lee
membentuk MUIS pada tahun 1968. Ini semacam Majelis ulamanya untuk menaungi Muslim
Singapura. Kedua, Lee dikenang pernah memberikan dukungan kuat atas skema dana
pembangunan Masjid pada tahun 1975.
Selain sumbangsihnya di atas, di sisi lain, ternyata Lee punya pandangan yang tidak
mengenakkan terkait agama Islam. Pertama, dalam bukunya yang berjudul, “Lee Kuan Yew:
Hard Truths to Keep Singapore Going” (Straits Times Press, 2011), Lee menyatakan “kami
dapat mengintegrasikan semua agama dan ras kecuali Islam”. Lee juga menyerukan agar Muslim
setempat sedikit lebih longgar dalam menjalankan agama mereka agar mereka dapat berintegrasi
dengan warga Singapura lainnya. Pandangan Lee soal integrasi ini direspon oleh mantan PM
Malaysia, Dr Mahathir Mohammad, “Saya tidak terkejut atas pernyataannya karena menurut dia
agama tidaklah penting. Baginya yang terpenting ialah menghalalkan segala cara, jadi jika dia
ingin integrasi rasial di Singapura, ia tidak akan membiarkan Islam mencapai tujuannya”.
Kedua, dalam bocoran dokumen yang dirilis oleh Wikileaks, Lee menyebut Islam sebagai
‘agama yang beracun’ (venomous religion). Dia menyampaikan hal itu sewaktu bertemu senator
AS Hillary Clinton pada tahun 2005. Akan tetapi Lee menyangkal dengan memperjelas bahwa
yang dimaksud ketika itu kelompok teroris seperti Jamaah Islamiyah dan penyeru jihad yang
menyebarkan ajaran Islam versi mereka.
Ketiga, Saat Lee menjadi menteri Senior Singapura, dia berani menuding pimpinan Abu
Bakar Ba`asyir sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah untuk Singapura dan Malaysia. Selain itu,
menurut Lee, masih banyak lagi kelompok Islam radikal di Tanah Air. Dan, mereka
membahayakan Singapura. Bagi Gus Sholah, tudingan tersebut hanya bentuk ketakutan
Singapura karena negeri singa itu dikelilingi negara Muslim besar, seperti Indonesia dan
Malaysia.
Sebelum menutup tulisan ini, belajar dari sosok Lee Kuan Yew, kita bisa mengetahui
bahwa seorang pemimpin non Muslim seperti dia tetap saja mengidap islamo-phobia. Pada
hakekatnya, Lee khawatir dengan pesatnya pertumbuhan agama ini di negaranya. Terbukti
banyak pernyataannya yang tendensius terhadap Islam.[6] Wallahu’allam bishowwab
2.5. Kodifikasi Hukum Islam Di Singapura
Istilah “kodifikasi” berarti mensistemasikan, tetapi secara teknis istilah ini berarti
“menyusun aturan-aturan menjadi suatu kitab Undang-Undang”. Kodifikasi adalah kata benda
yang diasalkan dari kata kode” yang mempunyai beberapa arti, yaitu :
1. Kumpulan aturan yang sistematis yang dibuat oleh suatu badan yang berwenang atau otoritas
legislatif.
2. Sistem aturan atau peraturan tentang berbagai hal.
3. Kitab pokok Undang-undang suatu negara atau aturan.
4. Kumpulan tulisan yang membentuk sebuah buku atau jilid.
Pada zaman sekarang ini, umat Islam Singapura berusaha keras untuk mendekati
Pemerintah singapura agar mensahkan suatu UU yang mengatur Hukum Personal dan Keluarga
Islam. Upaya ini ditempuh melalui perwakilan, baik secara individu maupun melalui organisasi
muslim, yang bekerja Selama bertahun-tahun dan baru pada tahun 1966 Pemerintah
mengeluarkan rancangan undang-undang Parlemen dan menerima UU Administrasi Hukum
Islam 1966 (the Administration of Muslim law Act 1966). Sebelum rancangan UU tersebut
diterima, umat Islam dari berbagai suku dan mmazhab diberi kesempatan untuk membuat
perwakilan dan diminta untuk menghadap Komite Pemilihan Parlemen untuk mengungkapkan
pandangannya terhadap UU tersebut.
Setelah rancangan tersebut diterima dan UU Administrasi Hukum islam 1966
diberlakukan, UU tersebut kemudian mengalami beberapa kali amandemen sesuai dengan
rekomendasi yang diajukan oleh Dewan Agama islam yang digariskan oleh UU itu sendiri.
Sesudahnya, juga ditambahkan beberapa ordonansi ke dalamnya.
UU Administrasi hukum Islam (AMLA) merupakan pengundangan Hukum Islam. Namun
demikian, administrasi ini bukanlah Hukum Islam itu sendiri. Akta ini memberikan ruang yang
fleksibel bagi dewan Agama Islam, Pengadilan Agama, dan Pencatat Perkawinan Islam dalam
menerapkan hukum syari’at.[7]

Anda mungkin juga menyukai