1. Apa yang dimaksud dengan fase eksposisi, fase toksikodinamik dan fase toksikokinetik?
Jawaban:
- Fase eksposisi adalah ketika xenobiotika atau tokson masuk kedalam tubuh dan xenobiotika
akan mengalami desintegrasi(pemecahan molekul-molekul besar menjadi kecil) atau pelepasan
zat aktif. Zat aktif yang besifat asam lemah (terionisas) akan berpindah ke usus ( tidak
terionisasi) untuk menjadi dalam bentuk basa karena pada dasarnya darah bersifat basa dan baru
akan terabsorpsi. Sedangkan untuk yang bersifat basa lemah (yang ada diusus) langsung bisa
terabsorpsi.
Fase eksposisi dapat terjadi melalui kulit, oral, saluran pernafasan (inhalasi) atau
penyampaian xenobiotika langsung ke dalam tubuh organisme (injeksi). Penyerapan
xenobiotika sangat tergantung pada konsentrasi dan lamanya kontak antara xenobiotika dengan
permukaan organisme yang berkemampuan untuk mengaborpsi xenobiotika tersebut. Dalam
hal ini laju absorpsi dan jumlah xenobitika yang terabsorpsi akan menentukan potensi efek
biologik/toksik. Pada pemakaian obat, fase ini dikenal dengan fase farmaseutika, yaitu semua
proses yang berkaitan dengan pelepasan senyawa obat dari bentuk farmasetikanya (tablet,
kapsul, salep, dll).
- Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada dalam
ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran
darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfe
didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor). Pada saat yang
bersamaan sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau tereksresi bersama urin
melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya.
- Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja toksik) dan
juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek toksik/farmakologik.
Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini
mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari
tempat kerjanya (reseptor).
Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik (irreversibel)
antara xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara
xenobiotika dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersbersifat
irreversibel atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran
kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan peroksida. Terbentuknya peroksida ini
mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi.
3. Jelaskan bagaimana mekanisme kerja terjadi nya efek keracunan dan antidotum pada
penggunaan alkohol, acetaminophen dan antihistamin?
Jawaban:
Alkohol : Mekanisme nya alkohol yang masuk ke dalam tubuh akan langsung diserap dan
menyebar melewati organ-organ tubuh melalui aliran darah, dan sisanya masuk ke saluran
pencernaan, mulai dari kerongkongan, lambung, sampai ke usus untuk dialirkan ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah. Jantung akan memompa darah bercampur alkohol ini ke seluruh bagian
tubuh, sampai ke otak. Baru terakhir, hati (liver) akan membakar atau menghancurkan alkohol
dibantu dengan enzim khusus untuk dikeluarkan melalui air seni dan keringat. Alkohol
mengganggu keseimbangan antara eksitantasi dan inhibisi di otak, ini terjadi karena penghambatan
atau penekanan saraf perangsangan. Sejak lama diduga efek depresi alcohol pada SSP berdasarkan
melarutnya lewat membran iipid. Efek alcohol terhadap berbagai saraf berbeda karena perbedaan
distribusi fosfolipid dan kolesterol di membran tidak seragam. Data eksperimental menyokong
dugaan mekanisme kerja alcohol di SSP serupa barbiturate.
Terapi Antidotum nya : Penanganan ketergantungan alkohol biasanya dilakukan dengan terapi
psikososial, ditambah dengan pemberian obat sebagai penunjang keberhasilan terapi. Obat yang
digunakan ialah disulfiram dan naltrekson.
Acetaminophen : Mekanisme toksisitasnya yaitu jumlah GSH jauh lebih rendah daripada NAPQI.
Pada kondisi overdosis metabolisme dengan glukoronidasi dan sulfatasi suatu saat akan menjadi
jenuh. Hal ini karena jumlah glukoronidasi dan sulfatasi terbatas. Dimana suatu saat jumlah
glukoronidasi dan sulfat akan habis dan metabolisme parasetamol akan dibebankan pada jalur CYP
2E1. Jika jumlah parasetamol yang lewat jalur CYP 2E1 meningkat, maka jumlah NAPQI juga
meningkat. Kelanjutannya, jumlah NAPQI akan terlalu banyak bagi GSH. GSH yang ada akan
berusaha menetralkan NAPQI dengan semua kemampuan yang dia miliki (dramatis). Namun
jumlah GSH semakin lama semakin sedikit dan dapat habis karena biosintesisnya lambat.dan
jika GSH habis nasib sisa NAPQI yaitu : NAPQI yang tersisa akan berusaha mencari tempat
ikatan, dan celakanya dia berikatan dengan protein-protein di hati. Sehingga fungsi hati dapat
terganggu dan kalo kondisi ini dibiarkan/jumlah NAPQI banyak banget maka dapat terjadi
kerusakan dan nekrosis hati.
Gejala yang timbul : Banyak muntah-muntah, berkeringat, perasaan gak enak. Kalo minumnya
banyak bisa sampe koma dan kegagalan organ lain yang tentunya vital.
Terapi antidotum
a. Norit
- Jika korban ditemukan mengonsumsi parasetamol secepatnya, sekitar 1 jam / kurang, maka beri
norit. akan mencegah parasetamol terabsorpsi ke dalam aliran darah. Parasetamol akan diikat
oleh norit. Makanya kalo minum norit sbg obat diare kita harus ngasih jeda minum obat ini
dengan obat lain sekitar 2 jam agar obat lainnya tidak diikat oleh norit. Setelah diberikan norit,
segera bawa ke rumah sakit terdekat
- Bagaimana kalo kita menemukannya dalam waktu > 2 jam atau lebih lama? Langsung bawa ke
rumah sakit, jangan diberikan norit karena parasetamol kemungkinan sudah ada di sirkulasi
darah atau fase eliminasi.
b. N-acetylcysteine (NAC)
Mekanisme N-acetylcysteine (NAC) sebagai antidotum paracetamol
- Glutathione (GSH) sendiri butuh sistein sebagai salah satu prekursornya. Dengan pemberian
NAC maka sistein dalam tubuh akan meningkat dan demikian pula pembentukan Glutathione
(GSH). Jika GSH ada banyak dan jumlahnya mampu mengimbangi atau melebihi jumlah
NAPQI maka tidak ada lagi NAPQI bebas yang akan mengikat protein hati
- NAC memiliki atom S dalam gugus tiolnya (S-H), menurut beberapa sumber NAC dapat
menyumbangkan S nya ini untuk digunakan dalam proses metabolisme parasetamol
sulfatasi. Dengan adanya sulfat dari NAC maka sulfatasi akan dapat berjalan lagi sehingga
metabolisme di CYP dan pembentukan NAPQI akan menurun
- NAC dapat menggandeng NAPQI karena dia juga punya nukleofil, hal ini dapat mencegah
pembentukan ikatan NAPQI dengan protein hati
Sedangkan untuk di negara USA, NAC hanya ada dalam bentuk per oral karena FDA belum
meng-approve bentuk iv, sedangkan di negara-negara lain tersedia NAC dalam bentuk iv,
biasanya dilarutkan dalam infus (misal dextrose) Regimen dose pemberian NAC sebagai
berikut:
diberikan loading dose 150 mg/kgBB selama 15-30 menit
maintenance dose 50 mg/kgBB dalam 500 cc dextrose 5% selama 4 jam
100 mg/kgBB dalam 1000 cc dextrose 5% selama 6 jam
Sehingga pemberian NAC kurang lebih selama 20 jam, atau dapat juga diberikan sampai 72
jam tergantung keparahannya.
Antihistamin