Anda di halaman 1dari 19

BAB I

LATAR BELAKANG

Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) terjadi akibat destruksi autoimun sel β pankreas
endokrin. Patogenesis DMT1 berbeda dari diabetes mellitus tipe 2, yang di mana DMT2 terjadi
resistensi insulin dan lama-kelamaan dapat terjadi penurunan sekresi insulin oleh sel β. Proses
destruksi oleh karena autoimun terjadi pada individu yang rentan secara genetik karena ada efek
pemicu dari satu atau lebih faktor lingkungan dan biasanya berlangsung selama beberapa bulan
hingga bertahun-tahun, selama periode itu pasien tidak menunjukkan gejala dan euglikemik,
tetapi sudah positif adanya autoantibodi. Hiperglikemia simtomatik dan diabetes terjadi setelah
periode laten yang panjang, yang mencerminkan persentase besarnya sel β telah mengalami
destruksi sebelum diabetes nyata menjadi jelas. (Paschou et all,2018)
Data epidemiologi menunjukkan peningkatan sekitar 3-4% / tahun kejadian di DMT1
didunia, dengan usia onset lebih muda dari sebelumnya. Observasi ini khusus untuk negara maju
dan berkembang, terutama Amerika Serikat, Amerika Latin, Eropa, Australia, India, Asia
Tenggara, dan China. Namun, kejadian DMT1 pada anak bervariasi antar negara. Misalnya, Asia
Timur dan penduduk asli Amerika melaporkan insiden terendah sekitar 0,1–8 / 100.000 / tahun,
sedangkan tingkat tertinggi telah dilaporkan untuk Finlandia dengan> 60 / 100.000 / tahun,
Sardinia dengan 40 / 100.000 / tahun, dan Swedia dengan 47 / 100.000 / tahun. Kerajaan Arab
Saudi adalah negara terbesar di Timur Tengah dengan populasi lebih dari 33,3 juta orang, di
antaranya 26% berada di bawah usia 14 tahun yang menderita DMT1. Sesuai dengan Diabetes
Atlas (edisi 8), 35.000 anak-anak dan remaja di Arab Saudi menderita DMT1, yang membuat
Arab Saudi menjadi peringkat ke-8 dalam hal jumlah pasien DMT1 dan negara ke-4 di dunia
dalam hal tingkat kejadian (33,5 per 100.000 individu) DMT1.. Namun, dibandingkan dengan itu
di negara-negara maju, jumlah intervensi penelitian pada prevalensi, kejadian, dan aspek
sosiodemografi dari DMT1 sangat tidak memadai. (Robert et all,2018)
Diabetes tipe 1 (DMT1) adalah salah satu penyakit kronis yang paling sering
didiagnosis pada masa kanak-kanak dan terjadi pada 1: 400-600 anak-anak Amerika.
Peningkatan jumlah anak-anak muda dipengaruhi oleh DMT1, dengan 15-20% diagnosis baru
terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Ini adalah angka yang mengkhawatirkan dan
alasan meningkatnya insiden pada kelompok usia paling muda ini tidak diketahui. Manajemen

1
diabetes pada anak-anak dapat menjadi tantangan karena berbagai alasan, termasuk faktor-faktor
fisiologis seperti peningkatan sensitivitas insulin dan honey moon period yang berpotensi
diperpendek. Manajemen DMT1 setiap waktunya akan menjadi sulit oleh perkembangan
kognitif, perilaku, dan sosial-emosional anak- anak. Karena hal tersebut penulis mengangkat
judul referat diabetes mellitus tipe 1, yang akan meng review kembali penyakit DM tipe 1 pada
anak. (Streisand dan Monaghan,2014)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DM TIPE 1
Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) terjadi akibat destruksi autoimun sel β pankreas
endokrin. Diabetes melitus tipe 1 (DMT1) adalah salah satu gangguan metabolisme
endokrin yang paling umum yang menyerang anak-anak dan remaja di seluruh dunia;
DMT1 sering disertai dengan komplikasi akut dan kronis yang serius. Selain itu, diabetes
autoimun, yang merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh kekurangan insulin karena
kerusakan sel β pankreas, diketahui menyebabkan hiperglikemia. Onset gejala biasanya
terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja, meskipun gejalanya kadang berkembang
jauh di kemudian hari. Patogenesis DMT1 berbeda dari diabetes mellitus tipe 2, di mana
resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin oleh sel β memainkan peran
sinergis.(Paschou et all,2018)(3)

B. EPIDEMIOLOGI DM TIPE 1
Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) mewakili hanya sekitar 10% kasus diabetes di
seluruh dunia, tetapi terjadi dengan meningkatnya insidens jauh lebih awal dalam
kehidupan. DMT1 terjadi karena kerusakan akibat autoimun sel β dari pankreas endokrin.
Sebagian kecil pasien yang terkena dampak (<10%) diklasifikasikan sebagai tipe 1B,
digolongkan sebagai DMT 1B karena bersifat idiopatik yaitu tanpa bukti autoimunitas
dan patogenesis dalam kasus ini. Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) adalah salah satu
penyakit kronis paling sering didiagnosis pada masa kanak-kanak dan terjadi pada 1: 400-
600 anak-anak Amerika . Peningkatan jumlah anak-anak muda dipengaruhi oleh DMT1,
dengan 15-20% diagnosis baru terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.
Diabetes tipe 1 biasanya ada pada individu tanpa riwayat keluarga. Hanya 10–15% pasien
yang memiliki tingkat pertama atau kedua dalam keturunannya dengan penyakit ini.
Namun, risiko seumur hidup untuk mengembangkan DMT1 meningkat secara signifikan
pada kerabat pasien, karena sekitar 6% anak-anak, 5% saudara kandung dan 50% dari
kembar monozigot ditemukan penyakit ini dibandingkan dengan prevalensi 0,4% dari
populasi umum . Lebih dari 50 lokasi risiko genetic yang menyebabkan DMT1 telah

3
diidentifikasi oleh studi asosiasi genome dan meta-analisis. Gen utama predisposisi
DMT1 berada dalam region major histocompatibility complex (MHC), sering disebut
HLA (human leucocyte antigen) dan terletak di kromosom 6. Alel polimorfik kompleks
HLA bertanggung jawab untuk 40-50% risiko genetik yang akan berkembang menjadi
DMT1. (Paschou et all,2018) (Streisand dan Monaghan,2014)
Menurut WHO prevalensi diabetes tipe 1, terjadi 0,5 kasus per tahun per 100 000 anak-
anak berusia di bawah 15 tahun. Diabetes tipe 1 adalah yang paling umum dalam
populasi Skandinavia dan di Sardinia dan Kuwait, dan terendah di Asia dan Amerika
latin. Data kurang jelas untuk prevalensi DMT1 di sub-Sahara Afrika dan sebagian besar
Amerika Latin. Di beberapa dekade terakhir insidens tampaknya meningkat sekitar 3%.
(WHO,2016)
Data epidemiologi menunjukkan peningkatan sekitar 3-4% / tahun kejadian di
DMT1 secara global, dengan usia onset lebih muda dari sebelumnya. Observasi ini
khusus untuk negara maju dan berkembang, terutama Amerika Serikat, Amerika Latin,
Eropa, Australia, India, Asia Tenggara, dan China . Namun, kejadian DMT1 pada anak
bervariasi antar negara. Misalnya, Asia Timur dan penduduk asli Amerika melaporkan
insiden terendah sekitar 0,1–8 / 100.000 / tahun, sedangkan tingkat tertinggi telah
dilaporkan untuk Finlandia dengan> 60 / 100.000 / tahun, Sardinia dengan 40 / 100.000 /
tahun, dan Swedia dengan 47 / 100.000 / tahun. Kerajaan Arab Saudi adalah negara
terbesar di Timur Tengah dengan populasi lebih dari 33,3 juta orang, di antaranya 26%
berada di bawah usia 14 tahun menderita DMT1. Sesuai dengan Diabetes Atlas (edisi 8),
35.000 anak-anak dan remaja di Arab Saudi menderita DMT1, yang membuat Arab Saudi
menempati peringkat ke-8 dalam hal jumlah penderita DMT1 dan negara ke-4 di dunia
dalam hal tingkat kejadian (33,5 per 100.000 individu) DMT1. Namun, dibandingkan
dengan itu di negara-negara maju, jumlah intervensi penelitian pada prevalensi, kejadian,
dan aspek sosiodemografi dari DMT1 sangat tidak memadai. (Robert et all,2018)

4
Gambar 1. Prevalensi DM tipe 1 dan DM tipe 2 di dunia

C. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS DM TIPE 1


1. Faktor genetik
a. HLA
Human Leukocyte Antigen (HLA) adalah kelompok molekul pengkodean
lokus genetik yang diekspresikan atau terdapat pada permukaan sel imun atau
lainnya dan membatasi spesifitas limfosit T untuk mengenali antigen. Berdasarkan
fungsi spesifiknya , lokus gen HLA dibedakan menjadi dua kelas. Molekul HLA
Kelas I dikaitkan dengan antigen yang terdapat dalam reseptor limfosit T sitotoksik
(CD8 +), yang akhirnya menghancurkan target antigenik dan diekspresikan oleh
sebagian besar sel. Molekul HLA Kelas II sangat penting untuk pengenalan
antigen oleh limfosit T helper (CD4 +), yang memulai respon imun dan
meningkatkan kerja sama seluler dan hanya diekspresikan oleh sel imun. Pada DM
Tipe 1 terdapat kelainan pada HMC/ HLA kelas IInya sehingga sel beta pankreas
di anggap sebagai sel asing dan dihancurkan .HLA memegang sekitar 40-50%
kejadian DM tipe 1. Khususnya, lebih dari 90% pasien dengan T1DM memiliki
HLA-DR3, DQB1 * 0201 (juga disebut DR3-DQ2) atau HLA-DR4, DQB1 * 0302

5
(juga disebut DR4-DQ8) yang merupakan lokus pada HLA kelas 2 yang
mengalami mutasi. (Panchou et all,2018)

b. Insulin-VTR
Insulin- VTR (Variable numbers of Tandem Repeats) memegang 10 % kejadian
DM tipe 1 karena faktor genetik. Insulin-VTR terjadi didalam sel beta pankreas,
yang dimana dalam lengan pendek kromosom 11 terjadi mutase sehingga terjadi
kesalahan dalam pengulangan koding pembentuk proinsulin, sehingga terjadi
kegagalan dalam pembentukan insulin, hal ini mengundang sel T cytotoksik
(CD8+) untuk menghancurkan sel beta pankreas karena dianggap sebagai benda
asing. (Panchou et all,2018)
c. CTLA-4
Gen CTLA-4 (sitotoksik T limfosit antigen-4) terletak di lengan panjang
kromosom 2 (2q33) dan juga dikaitkan dengan DM tipe 1. Ini memiliki peran
supresif, peran transmisi sinyal negatif dan memicu anergi dalam limfosit T yang
diaktifkan. Karena salah transmisi sinyal dari sel beta pankreas yang mengkode
gen CTLA-4, menyebabkan limfosit T sitotoksik (CD8+) akan mengenali sel beta
pankreas sebagai sel asing dan segera dihancurkan. (Panchou et all,2018)
d. Faktor genetik lainnya (PTPN22,AIRE,FoxP3,STAT3,IFIH1,HIP14,ERBB3)
2. Faktor Lingkungan
a. Rubella, enterovirus
Anak-anak yang pernah terinfeksi selama kehidupan janin oleh rubella
memiliki peningkatan insiden DMT1. RNA atau protein dari virus tersebut telah
terdeteksi di pankreas dan jaringan sekitar pankreas dari pasien dengan DMT1.
Enterovirus memainkan peran penting dalam fase awal perkembangan
DMT1, melalui aktivasi kekebalan bawaan. gen helicase 1 (IFIH1) yang diinduksi
interferon yang mengkodekan MDA5. MDA5 bertindak sebagai sensor sitoplasma
terutama untuk coxsackieviruses B dan menstimulasi produksi mediator molekuler
dari respon imun bawaan. Menurut penelitian MDA5 ini juga terdapat pada sel
beta pankreas, dan karena hal tersebut imunitas menganggap sel beta pankreas
sebagai benda asing yang harus di eliminasi. (Panchou et all,2018)

6
b. Diet (susu sapi, sereal, asam lemak omega 3, vitamin D)
Masih sedikit penelitian yang menjelaskan hal ini, tapi albumin yang
terkandung dalam susu sapi, yang dikenal sebagai ABBOS (17 peptida, posisi
152–167), dapat berfungsi sebagai epitop self-reactive karena menyerupai protein
p69 yang ditemukan di permukaan sel β pankreas, sehingga sel β pankreas di
anggap sebagai benda asing oleh tubuh dan harus di eliminasi.
(Panchou et all,2018)
c. Mikrobiota usus
pasien dengan DMT1 menunjukkan perbedaan dalam mikrobiota usus
mereka dibandingkan dengan kontrol yang sehat, khususnya rasio Firmicutes vs
Bacteroidetes yang berkurang. Apakah perubahan komposisi mikrobiota usus
berasal dari perubahan nutrisi, kebersihan pribadi dan penggunaan antibiotik,
terutama selama tahun-tahun pertama kehidupan, yang bertepatan dengan
meningkatnya insiden DMT1. (Panchou et all,2018)
3. Faktor imunologik
a. Immune tolerance
Mutasi pada gen AIRE, tetapi juga faktor non-genetik contohnya
seperti virus coxsackie B4, dapat mengganggu central tolerance pada timus dan
mengarah pada perkembangan DMT1. Hal ini menghasilkan reseptor antigenik
yang dapat bereaksi sendiri untuk banyak jaringan, termasuk sel β pankreas. Sel
imun yang berpotensi berbahaya selama pertumbuhan limfosit T di timus dan
limfosit B di sumsum tulang yang dipilih secara negatif dan dihilangkan (Cental
tolerance). (Panchou et all,2018)
b. Imunitas selular
Penghancuran sel β dari pankreas endokrin pada DMT1 terjadi paling
mungkin melalui apoptosis, mekanisme yang juga dikenal sebagai kematian sel
terprogram. Reaksi inflamasi dengan tingkat tinggi sitokin proinflamasi IL-1,
TNF-α (tumor necrosis factor-α) dan INF-γ (interferon-γ) diinduksi oleh limfosit
T autoreaktif dalam lingkungan sel β pankreas . Sitokin-sitokin IL-1, TNF-α akan
memicu kaskade capse yang akhirnya menghancurkan sel β pankreas. Sebelum
onset T1DM, peradangan atrofi kronis dalam pulau Langerhans (sel beta

7
pankreas) diamati secara histologis, dengan partisipasi limfosit T, makrofag,
limfosit B dan sel dendritik. Kondisi ini biasanya berkembang selama berbulan-
bulan atau bertahun-tahun, ketika pasien tidak menunjukkan gejala dan
euglikemik. Hiperglikemia simtomatik terjadi setelah periode laten yang panjang,
yang mencerminkan sebagian besar sel β yang berfungsi yang telah dihancurkan
sebelum manifestasi klinis penyakit. (Panchou et all,2018)
c. Imunitas humoral
Respon imun imunitas humoral yang terganggu, menghasilkan
autoantibodi yang mungkin mendahului timbulnya manifestasi klinis DMT1
selama bertahun-tahun. Autoantibodi utama yang terdeteksi pada pasien dengan
DMT1 ditemukan adanya kelainan imunitas humoral yang melawan GAD65,
tyrosyl phosphatase (IA-2), insulin (IAA) dan zinc transporter (ZnT8). Studi pada
tikus dengan presentasi awal dari autoantibodi ini menunjukkan bahwa proinsulin
adalah target utama yang potensial. Pentingnya insulin sebagai autoantigen
dikonfirmasi oleh fakta bahwa penghapusan gen pada tikus sangat mempengaruhi
perkembangan penyakit, sementara pemberiannya selama fase pra-diabetes dapat
mencegah atau menunda ekspresi klinis DMT1. Autoantigen lain yang penting
adalah enzim GAD, yang ditemukan dalam sel β pankreas, serta dalam sistem
saraf pusat dan testis. Autoantibodi anti-GAD ditemukan pada sekitar 70% pasien
dengan DMT1 pada saat diagnosis. IA-2 juga merupakan autoantigen yang
penting, dengan sekitar 60% pasien dengan DMT1 menampilkan autoantibodi
positif IA-2 pada saat tediagnosis .
Autoantibodi ke IA-2 biasanya muncul lebih lambat dari autoantibodi
terhadap insulin dan GAD dan sebagian besar terkait dengan perkembangan
penyakit. Seng transporter (ZnT8) juga telah diidentifikasi sebagai autoantigen
untuk DMT1. 60-80% dari pasien yang baru didiagnosis menunjukkan
autoantibodi ZnT8 positif. Pada anak-anak yang dipantau sejak lahir hingga
perkembangan DMT1, diamati bahwa autoantibodi ZnT8 muncul setelah
autoantibodi terhadap insulin dan biasanya menghilang lebih awal setelah
manifestasi klinis penyakit. Sebuah kelompok besar Finlandia memberikan bukti
bahwa konsentrasi autoantibodi ZnT8 terkait dengan usia, genotipe HLA dan

8
status metabolik saat terdiagnosis DMT1, tetapi tidak ditemukan peningkatan
yang signifikan dari deteksi autoimunitas sel β. Salah satu penanda terbaik
perkembangan ke DMT1 klinis adalah ekspresi simultan dari dua atau tiga
autoantibodi dari atas yaitu autoantibodi GAD,IA-2, ZnT8.
Semua faktor diatas merupakan etiologi yang dapat saling berkontribusi dalam
pathogenesis DM tipe 1 pada anak,sebagai contoh faktor imunologik dengan faktor
genetik yang dimana autoimmune akibat autoreaktifnya imunitas seluler dikaitkan juga
dengan adanya mutase genetic HLA-DR dan HLA-DQ dan hal ini merupakan penyebab
tersering dari DM tipe 1 pada anak, walaupun tidak menutup kemungkinan etiologi lain
dapat menjadi dasar pathogenesis DM tipe 1. (Panchou et all,2018)

D. PATOFISIOLOGI DM TIPE 1
DM tipe 1 terjadi karena infiltrasi limfositik dan penghancuran sel beta yang
mensekresi insulin dari pulau Langerhans β di pankreas. Ketika massa sel beta menurun,
akan menyebabkan sekresi insulin menurun sampai insulin yang tersedia tidak lagi cukup
untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Setelah 80-90% sel-sel beta
dihancurkan, hiperglikemia berkembang dan diabetes dapat didiagnosis. Pasien
membutuhkan insulin eksogen untuk membalikkan kondisi katabolik ini, mencegah
ketosis, menurunkan hyperglucagonemia, dan menormalkan lipid dan metabolisme
protein.
Saat ini, autoimunitas dianggap sebagai faktor utama dalam patofisiologi DM tipe
1. Pada individu yang rentan secara genetik, infeksi virus dapat menstimulasi produksi
antibodi terhadap protein virus yang memicu respons autoimun terhadap molekul sel beta
antigen yang serupa contohnya pada coxsackie virus yang memiliki molekul protein
MDA5 yang sama dengan milik sel β pankreas.
Sekitar 85% pasien DM tipe 1 memiliki sirkulasi antibodi sel islet β , dan mayoritas
juga memiliki antibodi anti-insulin yang dapat dideteksi sebelum menerima terapi insulin.
Antibodi sel-sel islet yang paling sering ditemukan adalah antibodi yang diarahkan
terhadap glutamic acid decarboxylase (GAD), suatu enzim yang ditemukan dalam sel
beta pankreas.

9
Prevalensi DM tipe 1 meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun lainnya,
seperti penyakit Graves, Hashimoto thyroiditis, dan penyakit Addison. Pilia dkk
menemukan prevalensi antibodi islet sel (IA2) dan anti-GAD yang lebih tinggi pada
pasien dengan tiroiditis autoimun.
Sebuah penelitian oleh Philippe dkk menggunakan computed tomography (CT)
scan, hasil uji stimulasi glukagon, dan pengukuran fecal elastase-1 untuk mengkonfirmasi
penurunan volume pankreas pada individu dengan DM. Temuan ini, yang sama-sama
hadir di kedua tipe 1 dan tipe 2 DM, mungkin juga menjelaskan disfungsi eksokrin yang
terkait yang terjadi di DM.
Polimorfisme gen antigen leukosit manusia kelas II (HLA) yang mengkodekan DR
dan DQ adalah determinan genetik utama DM tipe 1. Sekitar 95% pasien dengan DM tipe
1 memiliki HLA-DR3 atau HLA-DR4. Heterozygot untuk haplotypes memiliki risiko
yang jauh lebih besar untuk DM daripada homozigot. HLA-DQs juga dianggap sebagai
penanda khusus dari kerentanan tipe 1 DM. Sebaliknya, beberapa haplotype (misalnya,
HLA-DR2) memberikan perlindungan yang kuat terhadap DM Tipe 1. (Khardori,2018)

E. KRITERIA DIAGNOSIS DM TIPE 1


1. Gejala dan Tanda
Adanya gejala klasik DM :
a. Poliuria
b. Polifagia
c. Polidipsia
d. Penurunan berat badan yang tidak dapat dielaskan
e. Bisa disertai dengan keluhan lain seperti : mual,muntah, pandangan kabur

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang berfokus pada diabetes meliputi penilaian tanda-tanda
vital, pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan vaskular dan neurologis, dan
pemeriksaan kaki. Sistem organ lain harus dinilai sebagaimana ditunjukkan oleh
situasi klinis pasien. Pemeriksaan menyeluruh tidak diperlukan di setiap kunjungan.

10
a. Penilaian tanda-tanda vital
Pasien dengan diabetes kronik dan neuropati otonom mungkin memiliki
hipotensi ortostatik. Tanda vital ortostatik mungkin berguna dalam menilai
status volume dan adanya neuropati otonom. Pengukuran denyut nadi adalah
penting, dalam takikardia relatif adalah temuan khas pada neuropati otonom,
sering mendahului perkembangan hipotensi ortostatik. Jika laju pernapasan dan
pola menunjukkan respirasi Kussmaul, DKA harus segera dipertimbangkan, dan
tes yang sesuai harus dilakukan untuk menilai DKA seperti BGA,Ketonuria.
b. Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan funduskopi yang dinilai adalah keadaan retinanya,selain itu
cakram optik dan makula harus divisualisasikan. Jika perdarahan atau eksudat
terlihat, pasien harus dirujuk ke dokter mata sesegera mungkin. Pemeriksa yang
bukan dokter mata cenderung meremehkan tingkat keparahan retinopati, yang
tidak dapat dievaluasi secara akurat kecuali pupil pasien dilatasi.
c. Pemeriksaan kaki
Pedis dorsalis dan pulsasi tibialis posterior harus dipalpasi. Ini terutama
penting pada pasien yang mengalami infeksi kaki: aliran darah ekstremitas
bawah yang rendah dapat menunda penyembuhan dan meningkatkan risiko
amputasi.
Mendeteksi neuropati sensorik ekstremitas bawah berguna pada pasien yang
datang dengan ulkus kaki dengan hipostesia yang memberikan perasaan mati
rasa pada kaki. Jika neuropati perifer ditemukan, pasien harus dibuat sadar
bahwa perawatan kaki (termasuk pemeriksaan kaki setiap hari) sangat penting
untuk pencegahan ulkus kaki dan amputasi ekstremitas bawah. (Khardori,2018)
3. Diagnosis menurut ADA (American Diabetes Association)
a. Kadar glukosa plasma puasa/ fasting plasma glucose (FPG) ≥126 mg / dL (7,0
mmol / L), atau
b. Kadar glukosa plasma 2 jam ≥200 mg / dL (11,1 mmol / L) selama tes toleransi
glukosa oral 75-g (OGTT), atau
c. Glukosa plasma acak ≥200 mg / dL (11,1 mmol / L) pada pasien dengan gejala
klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik. (Khardori,2018)

11
F. KOMPLIKASI DM TIPE 1
1. Komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular
Kontrol glikemik yang intensif telah terbukti mengurangi komplikasi vaskular
jangka panjang hiperglikemia pada DMT1. Sayangnya, komplikasi diabetes selalu
menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan DMT1
dan terutama dengan penyakit kardiovaskular (CVD). Sebuah penelitian dari
Jeddah di Arab Saudi melaporkan bahwa (dalam kelompok usia 5–70 tahun),
komplikasi mikrovaskular terjadi pada 24%, retinopati pada 7%, nefropati dalam
2%, dan neuropati pada 6% pasien DMT1. Lebih dari satu komplikasi
mikrovaskuler terjadi pada 9%, komplikasi makrovaskular pada 6%, komplikasi
kardiovaskular pada 4%, penyakit serebrovaskular pada 1%, dan komplikasi
vaskular perifer pada 1% pasien lainnya. Lebih lanjut, 30% pasien mengalami
komplikasi mikro dan makrovaskular . Studi lain (termasuk 228 anak DMT1 dan
remaja) dari Jeddah, Arab Saudi, melaporkan bahwa komplikasi akut ketoasidosis
terjadi pada 65,4% pasien dan serangan hipoglikemik di 68,9%. Komplikasi
jangka panjang ditemukan sebagai berikut: retinopati (4,4%), mikroalbuminuria
(16,2%), dan dislipidemia (8,3%). (Robert et all,2018)
2. Ketoasidosis Diabetikum
Diabetic ketoacidosis (DKA) adalah komplikasi utama yang mengancam
kehidupan berulang pada penderita DMT1 dan DKA adalah alasan paling umum
kematian pada anak-anak dan remaja dengan DMT1. Dalam beberapa kasus,
DKA mungkin menjadi tanda pertama diabetes yang sebelumnya tidak
terdiagnosis, tetapi mungkin sering terjadi pada mereka yang sebelumnya
memiliki diabetes.
Di seluruh dunia, lebih dari 96.000 anak-anak dan remaja berusia di bawah 15
tahun mengidap DMT1 setiap tahun , dan 13% hingga 80% dari anak-anak ini
hadir dengan DKA pada saat terdiagnosis . Frekuensi tertinggi untuk DKA pada
yang ditemukan pada DMT1 terlihat di Arab Saudi (44,9%) dan Uni Emirat Arab
(80%). Frekuensi terendah untuk DKA pada DMT1 ditemukan di Hungaria
(23%), Finlandia (22%), Kanada (18,6%), dan Swedia (14%) . Tinjauan sistematis
(65 penelitian) yang terdiri lebih dari 29.000 anak-anak dari 31 negara

12
melaporkan bahwa kejadian DKA bervariasi enam kali lipat, dari 80% di Uni
Emirat Arab hingga 12,8% di Swedia. Studi ini juga menunjukkan bahwa insiden
tertinggi dilihat sebagai 59% di Arab Saudi , 80% di Uni Emirat Arab, 67% di
Rumania, 65% di Taiwan, dan insiden terendah terlihat di Swedia (14%), Kanada
(18,6%), Finlandia (22%), dan Hungaria (23%) . Peningkatan risiko DKA
mungkin karena usia yang lebih muda, kesalahan diagnosis, indeks massa tubuh
yang lebih rendah, status etnis minoritas, infeksi sebelumnya, kurangnya asuransi
kesehatan, dan pengobatan yang tertunda. (Robert et all,2018)
3. Neuropati Perifer
Neuropati perifer diabetes (PN) merupakan komplikasi jangka panjang
utama pada anak-anak dan remaja dengan DMT1, dengan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan . Hal ini dikarenakan hiperglikemia akan mengalihkan
metabolism glukosa kearah pembentukan sorbitol, sorbitol yang terakumulasi di
saraf ini akan menyebabkan neuropati perifer. Saat ini hanya ada penelitian
terbatas yang tersedia di Arab Saudi pada neuropati perifer di antara pasien
DMT1 dan sebuah penelitian dari Arab Saudi melaporkan bahwa 6% pasien
dengan DMT1 . Berbagai penelitian menunjukkan perbedaan signifikan dalam
prevalensi PN di kalangan orang Arab, berkisar dari rendah (0-0,5%) seperti di
Libya hingga sangat tinggi (44-71%) seperti di Yordania dan Mesir. Laporan
prevalensi keseluruhan PN di antara pasien DMT1 di wilayah Arab adalah 18% .
Ketidaksamaan PN di antara negara-negara Arab yang berbeda mungkin
mencerminkan heterogenitas genetik dan sosial ekonomi masyarakat di kawasan
Arabi. (Robert et all,2018)
4. Defisiensi Vitamin D
Defisiensi vitamin D dikaitkan dengan kerusakan parenkim ginjal
akibat kadar glukosa darah yang tidak terkontrol. Dalam penelitian prospektif
cross-sectional yang dilakukan di Arab Saudi, kadar serum 25-hidroksi vitamin D
(25OHD) yang diukur adalah ringan pada 64% anak-anak, sedang di 16%, dan
berat di 4% dibandingkan dengan 52%, 6 %, dan 1%, masing-masing, pada anak-
anak normal. Mereka lebih lanjut menyatakan bahwa keseluruhan 84% dari anak-

13
anak DMT1 dan 59% dari yang sehat ditemukan kekurangan vitamin D. (Robert
et all,2018)
5. Celiac Disease
Hubungan antara T1DM dan penyakit celiac (CD) terjadi karena
peningkatan frekuensi antigen leukosit manusia- (HLA-) DR3 dan HLA lainnya [.
Namun, pada sebagian besar pasien, sering ditemukan bahwa CD didiagnosis
segera atau kadang-kadang beberapa tahun setelah onset DMT1. Prevalensi CD
pada T1DM cukup tinggi, dengan tingkat prevalensi 5-7 kali lebih banyak
daripada pada pasien nondiabetes dan perkiraan prevalensi 4,4-11,1% pada
populasi yang berbeda (untuk populasi umum 0,5%). (Robert et all,2018)
6. Tiroiditis autoimun
Hubungan antara tiroiditis autoinun subklinis dan DMT1 telah sering
diteliti. Namun demikian, sangat sedikit data yang tersedia dari Arab Saudi
tentang hal ini meskipun terjadi peningkatan insiden penyakit ini. Sebuah
penelitian terhadap 132 anak-anak Saudi menunjukkan distribusi yang lebih tinggi
dari dekarboksilase asam anti-glutamat (GAD), autoantibodi tiroid antithyroid
peroxidase (TPO), dan anti-thyroglobulin (TG) di antara pasien DMT1.
Selanjutnya, sekelompok pasien dengan antibodi tiroid autoimun positif dikaitkan
dengan peningkatan yang signifikan dalam tingkat hemoglobin A1c (HbA1c)
dibandingkan dengan pada kelompok pasien lain dengan antibodi tiroid negatif.
Di sisi lain, tingkat TSH cukup tinggi (sekitar 9,8%) pada penderita DMT1.
(Robert et all,2018)

G. MANAJEMEN DM TIPE 1
1. Kontrol gula darah
ADA merekomendasikan usia pasien sebagai salah satu pertimbangan
dalam tujuan pengontrolan gula darah, dengan target yang berbeda untuk
preprandial, waktu tidur / semalam, dan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) pada
pasien berusia 0-6, 6-12, dan 13-19 tahun. Manfaat kontrol glikemik yang ketat
tidak hanya mencakup pengurangan tingkat komplikasi mikrovaskuler tetapi juga

14
perbedaan signifikan dalam kejadian kardiovaskular dan mortalitas secara
keseluruhan. (Robert et all,2018)
2. Self monitoring
Kontrol diabetes yang optimal membutuhkan pemantauan diri yang
sering terhadap kadar glukosa darah, yang memungkinkan penyesuaian rasional
dalam dosis insulin. Semua pasien dengan diabetes tipe 1 harus belajar cara
memonitor diri dan mencatat kadar glukosa darah mereka dengan alat analisa di
rumah dan menyesuaikan dosis insulin mereka.
Pemantauan glukosa secara kontinu menggunakan monitor glukosa
kontinyu (CGMs), dapat membantu pasien mengkontrol kadar gula darahnya.
CGMs mengandung sensor subkutan yang mengukur kadar glukosa interstisial
setiap 1-5 menit, menyediakan alarm ketika kadar glukosa terlalu tinggi atau
terlalu rendah atau cepat naik atau turun. (Robert et all,2018)
3. Terapi Insulin
Pasien dengan diabetes tipe 1 membutuhkan terapi insulin seumur
hidup. Kebanyakan membutuhkan 2 atau lebih suntikan insulin setiap hari,
dengan dosis yang disesuaikan berdasarkan pemantauan sendiri kadar glukosa
darah. Penggantian insulin dilakukan dengan memberikan insulin basal dan
insulin preprandial (sebelum makan). Insulin basal adalah long-acting (glargine
atau detemir) atau intermediate-acting (NPH). Insulin preprandial merupakan
insulin long acting (lispro, aspart, insulin dihirup, atau glulisine) atau short-acting
(biasa).
Insulin yang sering digunakan adalah :
a. split atau campuran: NPH dengan short acting (misalnya, lispro, aspart,
atau glulisine) atau insulin reguler sebelum sarapan dan makan malam.
b. Split atau campuran varian: NPH dengan insulin kerja cepat atau reguler
sebelum sarapan, insulin kerja cepat atau reguler sebelum makan malam,
dan NPH sebelum tidur (idenya adalah untuk mengurangi hipoglikemia
puasa dengan memberikan NPH di kemudian hari)
c. Suntikan setiap hari (MDI): insulin kerja panjang (misalnya glargine atau
detemir) sekali sehari di pagi atau sore hari (atau dua kali sehari pada

15
sekitar 20% pasien) dan insulin kerja cepat sebelum makan atau makanan
ringan ( dengan dosis yang disesuaikan dengan asupan karbohidrat dan
kadar glukosa darah)
d. Infus insulin subkutan terus menerus (CSII): insulin kerja cepat diinfuskan
terus menerus 24 jam sehari melalui pompa insulin pada 1 atau lebih
tingkat basal, dengan tambahan bolus diberikan sebelum makan dan
koreksi dosis diberikan jika kadar glukosa darah melebihi tingkat target.
Contoh Insulin yang sering digunakan adalah :
 Lispro (Humalog) : onset aksi yang cepat, 5-15 menit. Efek puncak
terjadi dalam 30-90 menit, dan durasi aksi biasanya adalah 2-4
jam.
 Aspart (Novolog) : memiliki onset aksi yang cepat, 5-15 menit. Efek
puncak terjadi dalam 30-90 menit, dan durasi aksi biasanya adalah
2-4 jam
 Glulisin (Apidra) : Insulin glulisine memiliki onset aksi yang cepat,
5-15 menit. Efek puncak terjadi dalam 30-90 menit, dan durasi aksi
biasanya adalah 2-4 jam
 insulin Detemir (Levemir) : diindikasikan untuk pemberian
subkutan satu kali sehari atau dua kali sehari pada individu dengan
DM tipe 1 yang membutuhkan insulin basal jangka panjang untuk
kontrol hiperglikemia. Durasi kerjanya berkisar dari 5,7 jam (dosis
rendah) hingga 23,2 jam (dosis tinggi).
 Reguler Insulin (Humulin R, Novolin R) : insulin reguler memiliki
onset aksi pendek, 0,5 jam. Efek puncaknya terjadi dalam 2-4 jam,
dan durasi kerjanya yang biasa adalah 5-8 jam. Persiapan yang
mengandung campuran 70% insulin protamine Hagedorn (NPH)
netral dan 30% insulin manusia biasa (misalnya, Novolin 70/30
dan Humulin 70/30) tersedia, tetapi rasio tetap dari insulin
intermediate-acting to rapid-acting dapat membatasi
penggunaannya. (Robert et all,2018)

16
4. Diet dan Aktifitas
Semua pasien yang menggunakan insulin harus memiliki rencana diet
komprehensif, dibuat dengan bantuan ahli diet profesional, yang mencakup hal-
hal berikut:
a. Resep asupan kalori harian
b. Rekomendasi untuk jumlah karbohidrat, lemak, dan protein diet
c. Petunjuk tentang cara membagi kalori antara makanan dan camilan
Latihan juga merupakan aspek penting dari manajemen diabetes. Pasien harus
didorong untuk berolahraga secara teratur. (Robert et all,2018)
H. PROGNOSIS DM TIPE 1
DM tipe 1 dikaitkan dengan morbiditas tinggi dan mortalitas prematur. Lebih dari
60% pasien dengan DM tipe 1 tidak mengalami komplikasi serius dalam jangka panjang,
tetapi banyak dari mereka yang mengalami kebutaan, penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD), dan, dalam beberapa kasus, kematian dini. Risiko ESRD dan retinopati
proliferatif dua kali lebih tinggi pada pria seperti pada wanita ketika onset diabetes terjadi
sebelum usia 15 tahun.
Pasien dengan DM tipe 1 yang bertahan hidup selama 10-20 tahun setelah onset
penyakit tanpa komplikasi fulminan memiliki probabilitas tinggi untuk mempertahankan
kesehatan yang cukup baik. Faktor lain yang mempengaruhi hasil jangka panjang adalah
tingkat pendidikan, kesadaran, motivasi, dan kecerdasan pasien. Standar perawatan
American Diabetes Association (ADA) 2012 menekankan pentingnya manajemen
perawatan jangka panjang yang terkoordinasi untuk hasil yang lebih baik dan
menyarankan perubahan struktural pada sistem pemberian perawatan jangka panjang
yang sudah ada.
Morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan diabetes berhubungan dengan
komplikasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi seperti itu termasuk yang berikut:
1. Hipoglikemia dari manajemen terapi insulin
2. Peningkatan risiko infeksi
3. Komplikasi mikrovaskuler (misalnya retinopati dan nefropati)
4. Komplikasi neuropatik
5. Penyakit makrovaskuler. (Robert et all,2018)

17
BAB III
KESIMPULAN

Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit autoimun yang merusak sel β pankreas
yang terjadi pada anak. 10% populasi DM merupakan diabetes mellitus tipe 1 yang pada era
sekarang ini onset pertama kali dapat ditemukan pada anak berusia < 5 tahun. Banyak faktor
yang dapat saling tumpang tindih sebagai pathogenesis terjadinya DMT1, namun yang tersering
sebagai penyebabnya adalah faktor genetik yang dimana adanya kelainan pada MHC kelas II
yang terjadi mutasi, sehingga terbentuk gen DRQ3 dan DR4, selain hal tersebut faktor imunitas
humoral dan faktor lingkungan juga dapat sebagai faktor triggernya.
Penderita DMT1 memiliki gejala klasik yang khas berupa polifagia, polydipsia dan
polyuria, untuk menegakkan diagnose dilihat dari kadar glukosa sewaktu/acak, gula darah puasa,
dan TTGO. DMT1 pada anak susah terdiagnosis, kebanyakan penderita DMT1 sudah datang
dengan komplikasi, dan paling tersering adalah KAD (Keto Asidosis Diabetikum) dan apabila
komplikasi ini terlambat ditangani akan dapat menyebabkan kematian.
Penderita DMT1 berbeda dengan DMT2, dari onset usia,pathogenesis, dan penanganan.
DMT1 perlu menjadi focus perhatian, pengobatan DMT2 hanya dapat diberikan insulin seumur
hidup, dan terapi insulin disesuaikan dengan keperluan penderita.Modifikasi gaya hidup,
olahraga merupakan anjuran yang terbaik untuk mengontrol gula darah, untuk menghindari pada
komplikasi jangka panjang dari DMT1. Prognosis baik, bila cepat terdiagnosis, cepat ditangani,
dan dengan konsisten dapat mengatur kadar gula darah.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Paschou, Stavroula et all.2018. On Type 1 Diabetes Mellitus Pathogenesis. Division of


Endocrinology, Metabolism and Diabetes,First Department of Pediatrics, “Agha Sophia”
Children Hospital,Athens, Grece.
2. Streisand,Randi and Monaghan,Maureen.2014. Young Children with Type 1 Diabetes:
Challenges, Research, and Future Directions. Center for Translational Science Children’s
National Medical Center 111 Michigan Ave NW Washington,DC.
3. Robert, Asirvatham Alwin et all.2018. Type 1 Diabetes Mellitus in Saudi Arabia: A
Soaring Epidemic. Department of Endocrinology and Diabetes Treatment Center, Prince
Sultan Millitary Medical City,Riyadh,Saudi Arabia.
4. WHO.2016.Global Reports on Diabtes.WHO,20 Avenue Appia,1221 Geneva
27,Switszerland.
5. Khardori, Romesh.2018. Type 1 Diabetes Mellitus. Emedicine.Medscape.

19

Anda mungkin juga menyukai