Disusun oleh :
Muhammad Rafif Alfian Dita 011823143104
Yonatan Eslia Alexander 011823143017
M. Irsyad Adli 011913143117
Herdiyanti 011823143009
Violita Surya Lencana 011823143212
Pembimbing:
Nur Rochmah, dr., Sp.A (K)
2.2 Etiologi
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan kelainan metabolisme kompleks dengan
etiologi yang heterogen seperti faktor genetik risiko sosial, perilaku, dan
lingkungan. Pada anak, obesitas dan pubertas berperan penting mencetuskan
diabetes mellitus tipe 2. Selama masa pubertas, terjadi peningkatan resistensi
terhadap insulin. Peningkatan sekresi hormon pertumbuhan pada masa pubertas
dikatakan bertanggung jawab atas resistensi insulin selama masa pubertas. Usia
puncak pada presentasi diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak bertepatan dengan
usia pertengahan pubertas yang biasa (Reinehr, 2013). Resistensi insulin yang
terjadi pada masa pubertas dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi growth
hormone. Mereka yang memiliki cacat bawaan pada sekresi insulin dan respon yang
tidak adekuat terhadap resistensi cenderung berkembang menjadi diabetes mellitus
tipe 2. Usia rata-rata saat diagnosis T2DM pada anak-anak adalah 13,5 tahun, sesuai
dengan waktu pertumbuhan dan perkembangan remaja puncak (Zhou et al., 2008).
Faktor risiko yang mendukung terjadinya diabetes mellitus tipe 2 pada anak
masuk, seperti etnis yang berisiko tinggi (Afrika Amerika, Hispanik, Asli Amerika,
Kepulauan Pasifik, Asia Amerika), keluarga tingkat pertama yang positif dengan
riwayat diabetes, obesitas, berat badan lahir rendah, ibu dengan diabetes gestasional,
dan jenis kelamin wanita. Beberapa laporan pada studi Dabelea D. et al di Amerika
secara meyakinkan menunjukkan bahwa paparan diabetes ibu dalam kandungan
merupakan faktor risiko yang signifikan untuk obesitas, gangguan toleransi glukosa,
dan diabetes tipe 2 di kemudian hari. Breastfeeding adalah pelindung terhadap
perkembangan selanjutnya dari obesitas dan diabetes tipe 2. (Dabelea et al., 2000).
Obesitas pada anak merupakan masalah yang muncul di seluruh dunia (Pulungan,
Afifa and Annisa, 2018). Resistensi insulin yang menjadi underlying
pathophysiology dari sindroma metabolik, termasuk diabetes mellitus pada anak.
Faktor genetik juga berperan besar dalam perkembangan diabetes mellitus tipe 2
pada anak. Studi luas genome memimpin penemuan single-nucleotide
polymorphisms (SNPs) di beberapa lokus yang mengatur sekresi insulin. Hingga
saat ini, lebih dari 30 SNPS terkait diabetes (diabetoSNPs) telah diidentifikasi.
Beberapa gen telah ditemukan terkait diabetes mellitus tipe 2, antara lain :
1. Peroxisome proliferator-Activated receptor-γ2 (PPAR-γ2) Gene: Regulator
penting homeostasis lipid dan glukosa. Mutasi Missense Pro12Ala di PPAR-
γ2 dikaitkan dengan penurunan risiko T2DM.
2. Gen Kir6.2 (KCNJ11): Mutasi missense pada gen Kir6.2 telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko T2DM.
3. Gen MODY (HNF4a dan HNF1β)
4. Transcription Factor 7-like (TCF7L2) Gene: Produk kotak HMG yang
mengandung faktor transkripsi yang berperan dalam homeostasis glukosa.
Polimorfisme spesifik pada gen TCF7L2 meningkatkan risiko perkembangan
dari IGT ke T2DM.
5. Calpain-10 Gene: Calpain adalah Ca + 2 dependen cystein protease dan
berperan dalam mengatur sekresi dan aksi insulin (Grarup et al., 2014).
Studi epidemiologis telah menunjukkan hubungan yang kuat antara
pertumbuhan intrauterin yang buruk dan perkembangan selanjutnya dari Metabolic
Syndrome. Efek nutrisi yang buruk dalam kehidupan awal merusak perkembangan
pankreas dan mengakibatkan perubahan permanen pada metabolisme glukosa-
insulin (Hales and Barker, 2013).
2.3 Epidemiologi
Peningkatan prevalensi diabetes mellitus tipe 2 pada anak dan remaja secara
global selalu meningkat dalam 2 dekade terakhir. (Pulungan, Afifa and Annisa,
2018). Diabetes tipe 1 tetap merupakan bentuk diabetes yang paling umum pada
anak-anak. Namun, diabetes mellitus tipe 2 diperkirakan terjadi pada satu dari tiga
(20% hingga 33%) diagnosis baru diabetes pada anak-anak saat ini. Tingkat
diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak terus meningkat bahkan ketika tingkat
obesitas telah meningkat pada kelompok usia ini. Secara global, WHO melaporkan
peningkatan anak-anak yang kelebihan berat badan dan obesitas, dari 32 juta pada
1990 menjadi 41 juta pada 2016. Mayoritas anak-anak ini tinggal di negara
berkembang, terutama di Asia dan Afrika. Tingkat kenaikan diperkirakan 30%
lebih tinggi daripada di negara maju. Pada remaja, angka ini bahkan lebih tinggi,
mencapai lebih dari 340 juta pada 2016 secara global (Pulungan, Afifa and Annisa,
2018). Lebih mungkin untuk didiagnosis selama masa remaja ketika resistensi
insulin sering terjadi karena beberapa faktor termasuk perubahan hormone
(Tillotson and Boktor, 2019). Saat ini, anak-anak dengan diabetes mellitus tipe 2
biasanya didiagnosis di atas usia 10 tahun dan berada di pubertas menengah ke
akhir. Di Jepang, kejadian diabetes mellitus tipe 2 meningkat dua kali lipat dari 7,3
menjadi 13,9 per 100.000 pada anak-anak sekolah dasar. Di Thailand, pada anak-
anak dan remaja terjadi peningkatan dari 5% selama 1986-1995 menjadi 17,9%
pada 1996-1999. The Center for Disease Control and Prevention memperkirakan
bahwa dalam 40 tahun mendatang tingkat diabetes mellitus tipe 2 pada masa anak
cenderung meningkat dengan cepat dan penyebarannya diperkirakan 4 kali lipat
dari situasi saat ini. Saat ini, didapatkan peningkatan cepat dalam kasus DMII yang
dikonfirmasi pada pasien muda berusia 4-5 tahun.
Sebuah studi Hendarto di Jakarta memperlihatkan bahwa 315-75% anak obesitas
yang berusia <10 tahun terjadi resistensi insulin. Sensitivitas insulin juga
dipengaruhi oleh etnis, status pubertas, jenis kelamin, berat badan lahir, tekanan
darah, kadar HDL, riwayat keluarga obesitas dan diabetes, dislipidemia, dan
acanthosis nigricans (Pulungan, Afifa and Annisa, 2018)
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan kelainan metabolisme yang ditandai dengan
resistensi insulin perifer dan kegagalan kompensasi sel beta, yang menyebabkan
hiperglikemia. Meskipun pernah dianggap sebagai patologi pada orang dewasa,
prevalensinya meningkat pada anak-anak. Faktor risiko untuk anak-anak mirip
dengan yang ada pada orang dewasa seperti etnis, riwayat keluarga, obesitas, dan
gaya hidup yang tidak sehat. Namun, presentasi dan manajemen berbeda dari orang
dewasa dengan gangguan tersebut. Anak-anak dengan diabetes (dalam bentuk apa
pun) berisiko lebih tinggi mengalami banyak komplikasi penyakit. Pengenalan dini
dan perawatan anak-anak dengan diabetes mellitus tipe 2 penting untuk pencegahan
komplikasi jangka panjang dari penyakit ini (Tillotson and Boktor, 2019).
Studi skrining pada remaja obesitas telah melaporkan prevalensi 0,4% hingga
1% dari diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak obesitas ≥ 12 tahun. Dalam seluruh
kohort pediatrik yang disurvei, keseluruhan insiden diabetes mellitus tipe 2 tetap
rendah bila dibandingkan dengan diabetes mellitus tipe 1. Ini telah membuat
beberapa peneliti mempertanyakan klaim "epidemi" diabetes mellitus tipe 2 anak,
meskipun ada kesepakatan umum bahwa diabetes mellitus tipe 2 pada remaja
tampaknya muncul sebagai masalah klinis yang serius (Sinha et al., 2002).
Survei nasional anak-anak T2DM di Indonesia dilakukan pada bulan April
2009-Maret 2012 ada 38 anak dengan T2DM (16 laki-laki, 22 perempuan). Dua
puluh dua anak didiagnosis pada usia> 10 tahun. Kasus tersebar luas dari 11
provinsi, sebagian besar kasus berasal dari Jakarta (16), Jawa Tengah (7) dan Jawa
Barat (6). Riwayat keluarga diabetes ditemukan pada 16 subjek, (1 T1DM dan 15
T2DM); 4 subjek tidak memiliki riwayat keluarga.
2.4 Patofisiologi
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan dari sel β pankreas sebagai
respons terhadap peningkatan glukosa darah. Pada keadaan puasa, glukagon
dikeluarkan dari sel α pankreas dan mencegah hipoglikemia dengan mengaktifkan
proses glukoneogenesis hepatik. Pengembangan diabetes mellitus tipe 2 melibatkan
ketidakseimbangan progresif dalam homeostasis glukosa. Pada orang dewasa dan
anak-anak, gangguan sekresi insulin dari sel β pankreas dan penurunan sensitivitas
insulin pada jaringan perifer (Erin St. Onge, 2019).
Resistensi insulin dalam jaringan perifer menyebabkan hipersekresi insulin dari
sel β pankreas. Sekresi kompensasi ini diduga menyebabkan overtaxing dari sel-β,
yang berkontribusi terhadap penurunan lebih lanjut dalam fungsi sel-β secara
keseluruhan, membuka jalan bagi intoleransi glukosa. Di hati, resistensi insulin
menyebabkan berkurangnya regulasi konsentrasi glukagon. Pengambilan glukosa
plasma perifer yang buruk dalam keadaan makan ditambah dengan produksi
glukosa hepar yang berkelanjutan menyebabkan keadaan glikemik yang
memburuk. Hiperglikemia terjadi ketika ada kekurangan relatif insulin
dibandingkan dengan glukosa dalam darah. Pada diabetes mellitus tipe 2, resistensi
insulin pertama-tama menyebabkan peningkatan produksi insulin oleh sel beta
pankreas. Ketika sel beta tidak dapat menghasilkan insulin yang cukup untuk
mempertahankan euglikemia, menimbulkan hiperglikemia. Hiperglikemia memiliki
efek merusak pada banyak organ, termasuk ginjal, mata, jantung, dan saraf. Lebih
lanjut, hiperglikemia menempatkan anak-anak pada risiko gangguan elektrolit
lainnya (Tillotson and Boktor, 2019). Diabetes mellitus tipe 2 merupakan kelainan
metabolisme kompleks dengan etiologi yang heterogen seperti faktor genetik
risiko sosial, perilaku, dan lingkungan. Pada anak, pubertas menjadi peran dalam
perkembangan diabetes mellitus tipe 2. Selama masa pubertas, terjadi peningkatan
resistensi terhadap insulin, menghasilkan hiperinsulinemia. Setelah pubertas,
respons insulin basal dan stimulasi menurun. Studi klem hiper-insulinemik-
euglikemik menunjukkan bahwa pembuangan glukosa yang dimediasi insulin rata-
rata 30% lebih rendah pada remaja antara Tanner tahap II dan IV dibandingkan
dengan anak-anak prapubertas dan dengan orang dewasa muda.
Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, terjadi gangguan aksi insulin dan
kegagalan sekresi insulin. Keadaan hiperglikemia juga dapat memperburuk
resistensi insulin dan kelainan sekresi insulin, sehingga meningkatkan transisi dari
toleransi glukosa yang terganggu ke diabetes mellitus. Efek obesitas pada
metabolisme glukosa terbukti sejak dini di masa kanak-kanak. Anak-anak obesitas
terjadi hiperinsulinemia dan memiliki metabolisme glukosa yang distimulasi
insulin sekitar 40% lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang tidak
obesitas. Jaringan adiposa yang berkembang dalam keadaan obesitas mensintesis,
mengeluarkan hasil metabolit dan protein pemberi sinyal seperti leptin,
adiponektin, dan tumor necrosis factor-alpha. Faktor-faktor ini diketahui mengubah
sekresi dan sensitivitas insulin dan bahkan menyebabkan resistensi insulin
(Reinehr, 2013).
Obesitas menyebabkan resistensi insulin perifer, yang pada gilirannya
menyebabkan hiperglikemia seperti yang dibahas. Terlepas dari obesitas, etnis
tertentu memiliki risiko resistensi insulin dan disfungsi sel beta yang lebih tinggi.
Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik (poliuria), yang meningkatkan rasa
haus (polidipsia). Diuresis ini menyebabkan dehidrasi sedang hingga berat.
Hiperglikemia yang berkepanjangan dapat menghasilkan dua keadaan muncul yang
berbeda pada diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak. Pertama ketoasidosis
diabetikum yang jauh lebih umum pada anak-anak dengan diabetes mellitus tipe 2
dibandingkan dengan orang dewasa. Kurangnya insulin menghambat kemampuan
tubuh untuk menggunakan glukosa untuk energi dan kembali memecah lemak
untuk energi. Hal ini menyebabkan ketosis, asidosis, dan kelainan elektrolit dan
dapat menyebabkan koma dan kematian. Kedua yaitu hiperglikemik hiperosmolar
state (HHS) yang ditandai oleh hipertonisitas, hiperglikemia ekstrim (> 600 mg /
dl), dan dehidrasi berat. Hiperglikemia yang berat menyebabkan kelanjutan diuresis
osmotik dan penipisan intravascular (Tillotson and Boktor, 2019).
membutuhkan klasifikasi spesifik untuk dibuat, dapat dilakukan tes lain seperti
insulin puasa atau penentuan C-peptida dan kadang-kadang, pengukuran
autoantibodi sel-β. Kadar C-peptida meningkat pada individu dengan diabetes
mellitus tipe 2, berbeda dengan pasien dengan diabetes mellitus tipe 1.
Autoantibodi spesifik terhadap insulin, terhadap GAD-II, atau terhadap antibodi
insulin tirosin fosfatase (IA) -2 dan IA-2b ditemukan pada presentasi pada 85% -
98% individu dengan diabetes mellitus tipe 1 yang dimediasi kekebalan. Diabetes
mellitus tipe 1 juga memiliki hubungan HLA yang kuat, namun HLA bukan
menjadi alat diagnostik yang berguna.
Ketika diketahui onset awal pada anak, dapat menyebabkan perkembangan
komplikasi seperti neuropati progresif, retinopati yang menyebabkan kebutaan,
nefropati yang menyebabkan gagal ginjal kronis, dan penyakit kardiovaskular
aterosklerotik. Oleh sebab itu, diagnosis dini dan perawatan intensif sangat penting
pada anak. Rekomendasi untuk pengujian spesifik komorbiditas dan komplikasi
diabetes mellitus tipe 2 pada anak adalah sebagai berikut:
• Pengujian albuminuria harus dilakukan pada saat diagnosis dan setiap tahun
sesudahnya;
• Tekanan darah harus dipantau pada setiap kunjungan;
• Tes untuk dislipidemia harus dilakukan segera setelah diagnosis ketika kontrol
glukosa darah telah dicapai dan setiap tahun sesudahnya;
• Evaluasi untuk NAFLD harus dilakukan saat diagnosis dan setiap tahun
sesudahnya
• Pertanyaan tentang pubertas, penyimpangan menstruasi, dan OSA harus
dilakukan pada saat diagnosis dan secara teratur sesudahnya;
• Pemeriksaan retinopati harus dilakukan saat diagnosis dan setiap tahun
sesudahnya (OR Temneanu, LM Trandafir and MR Purcarea, 2019).
2.7 Tatalaksana
Menurut American Academy of Pediatrics tujuan pengobatan diabetes mellitus
tipe 2 pada anak yaitu menormalkan HbA1c dan mengontrol komorbiditas
(hipertensi, dislipidemia) dengan pujuan akhir dari perawatan ini untuk mengurangi
risiko komplikasi akut dan kronis yang terkait dengan diabetes. American Academy
of Pediatrics merekomendasikan modifikasi gaya hidup dan metformin sebagai
terapi lini pertama. Perubahan gaya hidup termasuk olahraga sedang hingga berat
selama 60 menit per hari, membatasi waktu layar menjadi kurang dari dua jam per
hari, dan rujukan diet. Metformin dan atau insulin harus dimulai saat diagnosis.
Metformin adalah lini pertama dan tersedia dalam bentuk cairan. dimulai ketika
anak-anak berusia 10-16 tahun dengan 500 mg / hari (satu tablet = 500 mg), yang
dapat ditingkatkan menjadi 500 mg setiap 1-2 minggu, tergantung pada profil
glikemik, hingga dosis maksimum 2000 mg tercapai. Peningkatan obat secara
bertahap dan meminumnya membantu mencegah efek samping gastrointestinal.
Sejak tahun 2000, Food and Drug Administration (FDA) menyetujui metformin
untuk digunakan untuk anak berusia 10 tahun atau lebih yang tediagnosis diabetes
mellitus tipe 2 (OR Temneanu, LM Trandafir and MR Purcarea, 2019).
Metformin bekerja terutama dengan menghambat glukoneogenesis hati dan
menurunkan glukosa basal. Monoterapi dengan metformin dapat menyebabkan
penurunan HbA1c rata-rata 1,5 persen. Toleransi umumnya baik, efek samping
yang paling umum terjadi pada gastrointestinal (mis. Diare, mual, sakit perut).
Penggunaan obat antidiabetik oral memberi keuntungan seperti kepatuhan pasien
yang lebih tinggi dengan pengobatan,mengurangi risiko hipoglikemia, pengurangan
HbA1c sebesar 1-2% jika digunakan untuk jangka waktu yang lama, risiko rendah
asidosis laktat, dan perbaikan metabolisme lipid dengan menurunkan trigliserida
dan kolesterol LDL. Metformin tidak boleh digunakan pada pasien dengan
penyakit hipoksia yang diketahui, infeksi berat, penyakit hati, atau penyalahgunaan
alkohol, pasien dengan gagal ginjal dan harus dihentikan jika diberikan secara
paralel dengan zat radiokontras setidaknya 48 jam sebelum prosedur dan dipasang
kembali hanya setelah fungsi ginjal terbukti normal. Pasien yang menerima
metformin bersamaan dengan beberapa obat (amilorida, digoksin, morfin,
procainamide, quinidine, quinine, ranitidine, triamterene, trimethoprim, dan
vankomisin) harus dipantau adanya potensi toksisitas (OR Temneanu, LM
Trandafir and MR Purcarea, 2019).
Jika monoterapi metformin tidak berhasil selama 3-6 bulan, beberapa
alternatif dapat dipertimbangkan. Namun, obat lain yang tidak disetujui untuk anak
dan remaja lebih jarang digunakan. Tiazolidinediones memiliki efek hipoglikemik
yang meningkatkan sensitivitas insulin dalam hati, otot, dan jaringan adiposa dan
mengurangi sintesis produksi glukosa hepatik. Kelas obat ini tidak disetujui untuk
penggunaan pediatrik. Namun, Rosiglitazone dalam dosis 4 hingga 8 mg setiap hari
dipelajari dalam uji coba secara acak pada tahun 2012 (TODAY study) pada remaja
dibandingkan dengan perubahan gaya hidup dan co-administrasi Metformin.
Monoterapi dengan metformin dikaitkan dengan kontrol glikemik yang tahan lama
pada sekitar setengah dari pasien. Rosiglitazone tanpa perubahan besar gaya hidup
lebih unggul daripada monoterapi metformin. Namun, rosiglitazone telah ditarik
dari pasar karena efek sampingnya dan tidak lagi tersedia.
Insulin harus dimulai untuk pasien yang ketotik atau ketoasidosis diabetikum
(KAD), memiliki glukosa darah acak> 250 mg / dl, A1C> 9,0%, atau yang
diagnosisnya masih belum jelas. Dapat menggunakan regimen basal / bolus seperti
pada diabetes mellitus tipe 1, tetapi biasanya pasien diabetes mellitus tipe 2
memerlukan dosis yang lebih tinggi (2 unit/kg/hari - 3 unit/kg/hari). Anak yang
mengonsumsi insulin memiliki risiko hipoglikemia, sehingga perlu pemantauan
ketat. Pemantauan glukosa di rumah dianjurkan bagi mereka yang menggunakan
insulin, atau belum memenuhi tujuan kontrol glukosa, maupun yang mengganti
obat.
Tujuan tes A1C bervariasi berdasarkan asosiasi. American Diabetes Association
dan American Academy of Pediatrics daftar tujuan tes A1C <7%, sedangkan
American Association of Clinical Endocrinologists menempatkan tujuan di <6,5%
(Tillotson and Boktor, 2019).
Perawatan dan monitoring diabetes mellitus tipe 2 pada anak dan remaja perlu
fokus pada pengurangan komplikasi. Ada beberapa penelitian mengenai anak-anak
dengan diabetes mellitus tipe 2, tetapi data yang diberikan menunjukkan bahwa
kontrol gula darah yang ketat mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular.
Menurut American Diabetes Association tujuan terapeutik pada diabetes mellitus
tipe 2 yaitu menurunkan berat badan, meningkatkan kapasitas latihan, normalisasi
gula darah,mengontrol komorbiditas, termasuk hipertensi, dislipidemia, nefropati,
dan steatosis hati.
Manajemen nutrisi mereka harus difokuskan pada pendidikan pasien dan
keluarga dan intervensi gaya hidup untuk mencegah penambahan berat badan dan
mengembalikan berat badan mereka kembali ke berat ideal, sesuai grafik
pertumbuhan dan untuk memastikan pertumbuhan ke potensi maksimal. Modifikasi
makanan yang direkomendasikan di Indonesia termasuk menghindari minuman
dengan tambahan gula, mengonsumsi lima atau lebih porsi buah dan sayuran,
membatasi konsumsi makanan instan atau olahan, mengendalikan jumlah makanan
per porsi, mengurangi waktu makan di luar, dan mengganti karbohidrat dengan
indeks glikemik tinggi untuk karbohidrat indeks glikemik rendah (Pulungan, Afifa
and Annisa, 2018).
2.7.1 Komplikasi Jangka Pendek
I. KELUHAN UTAMA
Jatuh 3x karena kaki terasa lemas
VII.RIWAYAT NUTRISI
ASI eksklusif : 0 – 6 bulan
Susu formula : Sejak usia 6 bulan
Bubur susu : 9 bulan – 13 bulan
MP ASI : 6 bulan – 1 tahun
` Makanan keluarga : Sejak usia 13 bulan
18
Riwayat penyakit keluarga bapak dan ibu pasien memiliki riwayat diabetes
dan meninggal akibat diabetes.
2. Object
GDA : 628 (IGD)
HbA1C : 11,3
C – Peptide : 2,15
Kontrol gula darah selama di ruangan :
Glukosa Darah (11/09/2019)
Glukosa Darah 2PP 211
HbA1c 13,7
Glukosa Darah (13/09/2019)
Pagi Siang Malam
GD 2PP - - 218
Gula Acak - 353 213
Glukosa Darah (15/09/2019)
Pagi Siang Malam
GD 2PP 369 384 294
Gula Acak 279 285 264
GDA (14/09/2019)
GDA premeal 228
GDA postmeal 337 (diinjeksikan novorapid)
GDA (15/09/2019)
GDA premeal 286
GDA postmeal 337 (diinjeksikan Levemir)
ABI : 0,667
3. Assessment
Diebetes Mellitus Tipe 2 (Diagnosis utama)
Berdasarkan perkeni 2019, terdapat 4 kriteria diagnosis dari diabetes
mellitus, yaitu : (diagnosis tegak apabila terpenuhi salah satu kriteria)
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa dalah
kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
19
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral dengan beban glukosa 75 gram
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan gejala
klasik, yang meliputi : polifagi, polidipsi, poliuri, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
4. Pemeriksaan HbA1C ≥6,5%
Pasien memenuhi kriteria no. 3, yaitu pasien memiliki keluhan klasik
diabetes mellitus yang terdiri dari polifagi, polidipsi, poliuri, dan penurnan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, serta saat pasien sampai
di IGD RSUD Dr. Soetomo, gula darah acak pasien mencapai 628 mg/dl.
Pasien juga memenuhi kriteria no.4, dimana nilai HbA1C pasien mencapai
11,3% dengan keadaan Hb yang normal. Pasien juga mengeluh keluhan
lain dari diabetes mellitus, berupa kesemutan dan lemas badan. Maka dari
itu, dengan hasil anamnesis serta didukung pemeriksaan penunjang, pasien
memenuhi kriteria dan dapat didiagnosis sebagai Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus terbagi menjadi 2 tipe, yaitu diabetes mellitus tipe 1
dan tipe 2. Dilihat dari angka kejadian diabetes mellitus pada anak dan
remaja, diketahui bahwa 90% merupakan tipe 1. Pada kasus ini, gejala
yang dialami oleh pasien bersifat kronik, dimana keluhan klasik timbul
sejak 3 tahun yang lalu dan tidak pernah terdapat komplikasi akut seperti
Ketoasidosis Diabetikum, sedangkan seharusnya pada diabetes mellitus
tipe 1 dimana terjadi kerusakan sel beta secara keseluruhan akibat proses
autoimun atau idiopatik, dapat gejala klasik yang akut diikuti dengan
komplikasi berupa Ketoasidosis Diabetikum. Hal ini disebabkan karena
pada diabetes mellitus tipe 1, tubuh tidak bisa mensekresi insulin sehingga
pasien dependen terhadap insulin dari luar tubuh yang mana pada akhirnya
komplikasi berupa KAD dapat terjadi secara cepat dengan onset gejala
klasik yang akut. Pada diabetes mellitus tipe 2, gangguan awalnya terjadi
pada sel, yang mana terjadi penurunan tingkat responsif sel terhadap
insulin atau disebut resistensi insulin. Gangguan resisten insulin masih
dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan sekresi insulin di sel
beta. Namun lama kelamaan, daya kompensasi akan berkurang akibat
20
kerusakan sel beta secara progresif. Hal ini menyebabkan pada diabetes
mellitus tipe 2, komplikasi berupa KAD tidak muncul secara cepat setelah
onset gejala klasik diabetes mellitus. Pada kasus ini, terlihat bahwa pasien
lebih mengarah ke diabetes mellitus tipe 2. Untuk konfirmasi diagnosis,
perlu dilakukan pemeriksaan C-Peptide. Dari hasil pemeriksaan C-Peptide,
didapatkan nilai 2,15 ng/ml sehingga disimpulkan bahwa pasien menderita
diabetes mellitus tipe 2.
Peripheral Arterial Disease (Diagnosis Komplikasi)
Berdasarkan pedoman American College of Cardiology (Gambar
3.1), pada pasien berumur dibawah 50 tahun dan memiliki faktor
resiko aterosklerosis perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
terhadap gangguan anggota gerak untuk menentukan adanya penyakit
arteri perifer.
21
rasa kesemutan di ujung jari sejak 3 tahun lalu. Pasien memiliki
riwayat luka sulit sembuh pada kaki kanan. Namun pada pasien ini
tidak ada rasa nyeri di kaki sehingga berdasarkan gambar 3.1,
dilanjutkan pemeriksaan Ankle Brachial Index dan dilanjutkan pada
gambar 3.2.
22
dan wali pasien juga perlu diedukasi mengenai klasifikasi diabetes
mellitus serta terapi farmakologi, non – farmakologi, dan
pencengahan dari diabetes mellitus.
Pasien dan wali pasien juga perlu diedukasi mengenai
pemantauan H.D.L, yaitu :
Target H (Hipertensi) adalah kurang dari 140/80 mmHg
Target D (Diabetes) kadar glukosa sebelum makan antara
70 – 130 mg/dl dan kadar glukosa puncak 1 jam setelah
makan adalah kurang dari 180 mg/dL
Target L (Lemak) yang penting adalah kolesterol-LDL
kurang dari 100 mg/dL, kolesterol total kurang dari 200
mg/dL. Sedangkan pada kolesterol-HDL adalah lebih dari
40 mg/dL
Pasien dan wali pasien juga diedukasi mengenai pola hidup
sehat GULOH-SISAR, yaitu :
Gula
Uric Acid (Asam Urat)
Lemak
Obesitas
Hipertensi
Sigaret
Inaktivitas
Stress
Alkohol
Regular check up (Kontrol teratur)
2. Terapi Nutrisi Medis
Pemberian nutrisi sebagai tindakan terapi juga perlu dilakukan
pada pasien. Pasien harus menjalankan program 3J (Jumlah –
Jadwal – Jenis) :
Jumlah : Pasien harus menghabiskan porsi makanan yang
telah diberikan oleh tenaga medis. Hal ini terkait dengan
dosis obat anti diabetes (OAD) atau insulin yang telah
23
diberikan kepada pasien karena dosis OAD maupun insulin
juga mempertimbangkan jumlah kalori yang dikonsumsi
pasien.
Jadwal : Jadwal makan pasien harus diatur agar dosis OAD
atau insulin yang diberikan dapat bekerja secara maksimal.
Jenis : Pasien harus mentaati jenis makanan yang tidak
boleh dikonsumsi, yaitu pantang gula atau makanan manis
yang cepat serap
Diet nutrisi yang diberikan kepada pasien ini adalah Diet-B1
yang mengandung 60% kal-karbohidrat, 20% kal-lemak, dan 20%
kal-protein. Diet-B1 merupakan salah satu diet diabetes yang
diberikan dengan kondisi penderita yang masih dalam
pertumbuhan, maka dari itu Diet-B1 diberikan pada pasien ini.
Jumlah kalori yang dibutuhkan pasien dihitung berdasarkan
status gizinya. Status gizi pasien berdasarkan IMT adalah 21,7
sehingga status gizi pasien normal. Maka jumlah kalori pasien
yang dibutuhkan adalah :
Berat Badan x 30 kalori sehari
65 kg x 30 kalori/hari = 1.950 kalori/hari
3. Latihan Fisik
Latihan fisik pada pasien ini yang disarankan adalah latihan
jasmani non-weight-bearing seperti berenang, sepeda atau latihan
tangan. Jenis latihan jasmani ini ditujukan pada pasien – pasien
diabetes mellitus dengan komplikasi berupa neuropati perifer dan
peripheral arterial disease karena untuk menghindari komplikasi
yang semakin memberat. Regimen latihan fisik harus dilakukan
secara teratur sebanyak 3 kali dalam seminggu dimana setiap kali
latihan fisik dilakukan selama 30 menit.
4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diabetes mellitus tipe 2 dilaksanakan
berdasarkan konsesus perkeni 2015.
24
Gambar 3.3 Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia
Berdasarkan gambar 3.3, pelaksanaan terapi farmakologi
dilakukan berdasarkan nilai HbA1C pasien dan ada tidaknya gejala
klasik. Pada pasien ini, nilai HbA1C mencapai 11,3% dan
didapatkan gejala klasik diabetes mellitus berupa polidipsi, poliuri,
dan penurunan berat badan tanpa sebab, maka dari itu regimen
terapi diabetes mellitus tipe 2 pada pasien ini terdiri dari pemberian
kombinasi insulin dan OAD.
Pemberian insulin, pada kombinasi insulin dan OAD,
menggunakan insulin jangka panjang, seperti Levemir atau
Glargine (Lantus). Dosis insulin jangka panjang pada kombinasi
dengan OAD dimulai dengan dosis 6 – 10 unit dan kemudian
dievaluasi. Tekhnik evaluasi dan perubahan dosis insulin dapat
dilakukan melalui 2 cara, yaitu :
1. Konsensus Perkeni 2015
Evaluasi dilakukan keesokan harinya setelah pemberian insulin
jangka panjang pertama dengan melakukan pemeriksaan gula
darah puasa. Jika hasil gula darah puasa belum mencapai target
(80 – 130 mg/dL), maka dosis insulin jangka panjang dapat
dinaikkan sebanyak 2 unit.
25
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR 2015
Evaluasi dan perubahan dosis insulin dilakukan dengan
menggunakan rumus 3.3.5, yaitu :
(3) : Evaluasi pemeriksaan gula darah puasa dilakukan setiap 3
hari
(3) : Jika hasil gula darah puasa antara 130 – 200 mg/dL, maka
dosis insulin jangka panjang dinaikkan sebanyak 3 unit.
(5) : Jika hasil gula darah puasa diatas 200 mg/dL, maka dosis
insulin jangka panjang dinaikkan sebanyak 5 unit.
Obat OAD yang merupakan lini pertama pada pasien umur 10
– 16 tahun berdasarkan American Academic of Pediatry adalah
Metformin. Metformin dapat mulai diberikan dengan dosis 500
mg/hari dengan dosis maksimum 2000 mg.
Dari penjabaran diatas, maka disimpulkan bahwa pada pasien
ini kami memberikan terapi farmakologis berupa :
1. Levemir 1x10 unit (Pagi Hari)
2. Metformin 3x500 mg (Sesudah Makan)
5. Cangkok Pankreas
Cangkok Pankreas saat ini belum banyak dilakukan di Indonesia
sehingga kami tidak menyarankan pasien ini untuk melakukan
cangkok pankreas.
4.2 Peripheral Arterial Disease
Tatalaksana PAD pada pasien ini mengikuti penatalaksanaan
diabetes mellitus tipe 2. Sesuai dengan gambar 3.3, penatalaksaan
PAD terdiri dari :
1. Perbaiki kebiasaan merokok
2. Perbaiki hipertensi
3. Perbaiki profil lemak
4. Perbaiki diabetes mellitus
Maka dari itu, diharapkan dengan memperbaiki pola hidup dan
melakukan terapi diabetes mellitus secara adekuat dapat mencegah
26
komplikasi PAD memberat dan mecegah komplikasi diabetes
mellitus tipe 2 lainnya.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Reinehr, T. (2013). Type 2 diabetes mellitus in children and adolescents. World
Journal of Diabetes, 4(6), p.270.
Scott LJ, Mohlke KL, Bonnycastle LL, et al. A genome-wide association study of
type 2 diabetes in Finns detects multiple susceptibility
variants. Science. 2007;316(5829):1341-1345
Tillotson, C. and Boktor, S. (2019). Pediatric Type 2 Diabetes Mellitus. [online]
Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431046/ [Accessed 9 Dec.
2019].
Who.int. (2018). WHO | Diabetes mellitus. [online] Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs138/en/ [Accessed 10
December 2019].
Zhou P, Ten S, Sinha S, Ramchandani N, Vogiatzi M, Maclaren N. Insulin
receptor autoimmunity and insulin resistance. J Pediatr Endocrinol
Metab. 2008;21(4):369-375.
29