2. Klasifikasi DM
Terdapat beberapa jenis diabetes mellitus dan berikut adalah
penjelasan klasifikasi DM menurut International Diabetes Federation (IDF)
tahun 2017 :
1) DM Tipe 1
DM Tipe 1 disebabkan oleh reaksi autoimun dimana sistem kekebalan
tubuh menyerang sel beta penghasil insulin dipankreas. Akibatnya, tubuh
menghasilkan insulin yang sangat sedikit dengan defisiensi insulin relatif
atau absolut. Kombinasi kerentanan genetik dan pemicu lingkungan
seperti infeksi virus, racun atau beberapa faktor diet telah dikaitkan
dengan DM tipe 1. Penyakit ini bisa berkembang pada semua umur tapi
DM tipe 1 paling sering terjadi pada anak-anak dan remaja. Orang
dengan DM tipe 1 memerlukan suntikan insulin setiap hari untuk
mempertahankan tingkat glukosa dalam kisaran yang tepat dan tanpa
insulin tidak akan mampu bertahan hidup.
2) DM Tipe 2
Pada DM tipe 2, hiperglikemia adalah hasil dari produksi insulin yang
tidak adekuat dan ketidakmampuan tubuh untuk merespon insulin secara
sepenuhnya, didefinisikan sebagai resistensi insulin. Selama keadaan
resistensi insulin, insulin tidak bekerja secara efektif dan oleh karena itu
pada awalnya mendorong peningkatan produksi insulin untuk
mengurangi kadar glukosa yang meningkat namun seiring waktu suatu
keadaan produksi insulin yang relatif tidak memadai dapat berkembang.
DM tipe 2 paling sering terlihat pada orang dewasa yang lebih tua.
Penyebab DM tipe 2 ada kaitan kuat dengan kelebihan berat badan dan
obesitas, bertambahnya usia serta riwayat keluarga.
3) DM Gestasional
DM gestasional adalah jenis DM yang mempengaruhi ibu hamil biasanya
selama trimester kedua dan ketiga kehamilan meski bisa terjadi kapan
saja selama kehamilan. Pada beberapa wanita DM dapat didiagnosis pada
trimester pertama kehamilan namun pada kebanyakan kasus, DM
kemungkinan ada sebelum kehamilan, namun tidak terdiagnosis. DM
gestasional timbul karena aksi insulin berkurang (resistensi insulin)
akibat produksi hormon oleh plasenta.
3. Etiologi DM
1) DM Tipe 1
DM tipe 1 disebabkan oleh penghancuran autoimun sel β pankreas.
Proses ini terjadi pada orang yang rentan secara genetik dan (mungkin)
dipicu oleh faktor lingkungan (Skyler & Ricordi, 2011). DM tipe 1
disebabkan oleh interaksi genetika dan lingkungan, dan ada beberapa
faktor genetik dan lingkungan yang dapat berkontribusi terhadap
perkembangan penyakit, yaitu :
a. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan terutama virus tertentu dianggap berperan dalam
pengembangan DM tipe 1. Virus penyebab DM tipe 1 adalah rubella,
mumps dan human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi
sitolitik dalam sel β, virus ini mengakibatkan destruksi atau perusakan
sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi otoimunitas yang
menyebabkan hilangnya otoimun (aktivasi limfosit T reaksi terhadap
antigen sel) dalam sel β (Brunner, Suddarth 2001).
b. Enterovirus
Studi epidemiologi telah menunjukkan hubungan yang signifikan
antara kejadian infeksi enterovirus dan perkembangan DM tipe 1 dan /
atau autoimunitas, terutama pada individu yang rentan secara genetis.
Sebuah tinjauan dan meta-analisis terhadap penelitian observasional
menunjukkan bahwa anak-anak dengan DM tipe 1 sembilan kali lebih
mungkin memiliki infeksi enterovirus (Yeung, et al. 2011).
c. Faktor Genetik
Pasien DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya DM tipe 1.
Wilayah genom yang mengandung gen HLA (human leukocyte
antigen), dan risiko genetik terbesar untuk DM tipe 1 terkait dengan
alel, genotipe, dan haplotipe dari gen HLA Kelas II. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan
proses imun lainnya dan merupakan wilayah gen yang terletak di
kromosom 6.
2) DM Tipe 2
Terdapat hubungan yang kuat antara DM tipe 2 dengan kelebihan berat
badan dan obesitas dan dengan bertambahnya usia serta dengan etnis dan
riwayat keluarga (IDF, 2017). DM tipe 2 ditandai oleh resistensi insulin
dan penurunan progresif dalam produksi insulin sel β pankreas.
Resistensi insulin adalah kondisi di mana insulin diproduksi, tetapi
tidak digunakan dengan benar: jumlah insulin yang diberikan tidak
menghasilkan hasil yang diharapkan.
Penurunan progresif dalam fungsi sel β pankreas adalah karena
penurunan massa sel β yang disebabkan oleh apoptosis, ini mungkin
merupakan konsekuensi dari penuaan, kerentanan genetik, dan resistensi
insulin itu sendiri.
Etiologi DM tipe 2 adalah kompleks dan melibatkan faktor genetik
dan gaya hidup (IDF, 2017) yaitu :
a. Faktor Genetik
Efek dari varian gen umum yang diketahui dalam menciptakan
disposisi pra-DM tipe 2 adalah sekitar 5% -10%, jadi tidak seperti
beberapa penyakit warisan, homozigot untuk gen kerentanan ini
biasanya tidak menghasilkan kasus DM tipe 2 kecuali faktor
lingkungan (dalam hal ini gaya hidup).
b. Faktor gaya hidup / demografi
Obesitas jelas merupakan faktor risiko utama untuk pengembangan
DM tipe 2 dan semakin besar tingkat obesitas, semakin tinggi
risikonya. Orang dengan obesitas memiliki risiko 4 kali lebih besar
mengalami DM tipe 2 daripada orang dengan status gizi normal.
c. Usia
Usia yang terbanyak terkena DM adalah 45 tahun yang di sebabkan
oleh faktor degeneratif yaitu menurunya fungsi tubuh, khususnya
kemampuan dari sel β dalam memproduksi insulin untuk
memetabolisme glukosa.
d. Riwayat penyakit keluarga
Pengaruh faktor genetik terhadap DM dapat terlihat jelas dengan
tingginya pasien DM yang berasal dari orang tua yang memiliki
riwayat DM melitus sebelumnya. DM tipe 2 sering juga di sebut DM
life style karena penyebabnya selain faktor keturunan, faktor
lingkungan meliputi usia, obesitas, resistensi insulin, makanan,
aktifitas fisik, dan gaya hidup pasien yang tidak sehat juga bereperan
dalam terjadinya DM ini.
3) DM Gestasional
DM gestasional terjadi karena kelainan yang dipicu oleh kehamilan,
diperkirakan terjadi karena perubahan pada metabolisme glukosa
(hiperglikemi akibat sekresi hormon – hormon plasenta). DM
gestasional dapat merupakan kelainan genetik dengan cara insufisiensi
atau berkurangnya insulin dalam sirkulasi darah, berkurangnya
glikogenesis, dan konsentrasi gula darah tinggi.
5. Patofisiologi
1) DM Tipe 1
Perjalanan DM tipe 1 dimulai pada gangguan katabolik dimana insulin yang
bersirkulasi sangat rendah atau tidak ada, glukagon plasma meningkat, dan
sel beta pankreas gagal untuk merespon semua rangsangan sekresi insulin.
Pankreas menunjukkan infiltrasi limfositik dan penghancuran sel-sel yang
mensekresi insulin dari pulau Langerhans, menyebabkan kekurangan
insulin. Defisiensi insulin absolut memiliki banyak konsekuensi fisiologis,
termasuk gangguan ambilan glukosa ke dalam sel otot dan adiposa dan
tidak adanya efek penghambatan pada produksi glukosa hepar, lipolisis, dan
ketogenesis. Defisiensi insulin yang ekstrim menyebabkan diuresis osmotik
dan dehidrasi serta peningkatan kadar asam lemak bebas dan diabetes
ketoasidosis (DKA), yang dapat mengancam jiwa (Jaberi et al, 2014).
Ketika massa sel beta menurun, sekresi insulin menurun sampai
insulin yang tersedia tidak lagi cukup untuk mempertahankan kadar
glukosa darah normal. Setelah 80-90% sel-sel beta dihancurkan,
hiperglikemia berkembang dan DM dapat didiagnosis. Autoimunitas
dianggap sebagai faktor utama dalam patofisiologi DM tipe I. Pada
individu yang rentan secara genetik, infeksi virus dapat menstimulasi
produksi antibodi terhadap protein virus yang memicu respons autoimun
terhadap molekul sel beta antigen yang serupa (Khardori, 2018).
2) DM Tipe 2
Menurut Gale (2014) DM Tipe 2 adalah kondisi heterogen yang dihasilkan
dari kombinasi sekresi insulin yang berkurang dan peningkatan kebutuhan
insulin. Glukagon adalah hormon pasangan insulin yang mengatur
pelepasan glukosa hati, dan peningkatan pelepasan glukagon memainkan
peran penting dalam patofisiologi DM Tipe 2. Kapasitas untuk regenerasi
sel beta berkurang atau hilang pada orang dewasa, dan penurunan massa sel
beta terlihat dengan bertambahnya usia secara paralel dengan meningkatnya
risiko DM. Penurunan ini mungkin dipengaruhi oleh gen terkait DM yang
memainkan peran dalam pemeliharaan dan fungsi sel beta.
Penyebab langsung hiperglikemia adalah kelebihan produksi glukosa oleh
hati dan mengurangi ambilan glukosa dalam jaringan perifer karena
resistensi insulin. Dalam pelepasan sitokin terjadi inflamasi dimana
inflamasi ini terjadi sebagai konsekuensi dari obesitas, yang dapat juga
menyebabkan peradangan jaringan. Juga terdapat distribusi lemak tubuh
dan penumpukan lemak intramuskular yang juga berkaitan dengan
tingkat resistensi insulin dimana individu akan rentan mengakumulasi
trigliserida (Gale, 2014).
3) DM Gestasional
Mayoritas wanita dengan DM gestasional kelebihan berat badan atau
obesitas, dan banyak yang memiliki sindrom metabolik laten, predisposisi
genetik untuk DM tipe 2, gaya hidup yang tidak aktif secara fisik dan
kebiasaan makan yang tidak sehat sebelum kehamilan. Perubahan metabolik
lainnya seperti peningkatan pelepasan fraksional amylin dan proinsulin
relatif terhadap sekresi insulin dapat menjadi penyebab atau konsekuensi
dari sekresi dan aksi insulin yang disfungsional (Kautzky Willer, 2015).
6. Manifestasi Klinis
1) DM Tipe 1
Tanda dan gejala dari DM tipe 1 menurut IDF (2017) adalah :
a. Haus yang tidak normal dan mulut kering
Polidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar
glukosa terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk
meningkatkan asupan cairan
b. Sering buang air kecil
Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar gula dalam
tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya
dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin.
c. Kekurangan tenaga / kelelahan
Kelelahan terjadi karena penurunan proses glikogenesis sehingga
glukosa tidak dapat disimpan sebagai glikogen dalam hati serta
adanya proses pemecahan lemak (lipolisis) yang menyebabkan
terjadinya pemecahan trigliserida (TG) menjadi gliserol dan asam
lemak bebas sehingga cadangan lemak menurun.
d. Kelaparan yang konstan
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut
disebabkan karena glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan
kadar glukosa dalam darah cukup tinggi.
e. Penurunan berat badan tiba-tiba
Penyusutan BB pada kondisi DM tipe I menunjukkan rendahnya
trigliserida yang tersimpan dalam tubuh sebagai akibat adanya
gangguan metabolisme lipid. Trigliserida seharusnya digunakan
sebagai sumber energi untuk beraktivitas.
f. Penglihatan kabur
Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi) dapat menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa
sehingga akan terjadi penglihatan yang tidak jelas atau kabur.
2) DM Tipe 2
Tanda dan gejala dari DM tipe 2 menurut IDF (2017) adalah :
a. Haus yang berlebihan dan mulut kering
Polidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar
glukosa terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk
meningkatkan asupan cairan.
b. Sering buang air kecil dan berlimpah
Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar gula dalam
tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya
dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin.
c. Kurang energi, kelelahan ekstrim
Kelelahan terjadi karena penurunan proses glikogenesis sehingga
glukosa tidak dapat disimpan sebagai glikogen dalam hati serta
adanya proses pemecahan lemak (lipolisis) yang menyebabkan
terjadinya pemecahan trigliserida (TG) menjadi gliserol dan asam
lemak bebas sehingga cadangan lemak menurun.
d. Kesemutan atau mati rasa di tangan dan kaki
Mati rasa merupakan hasil dari hiperglikemia yang menginduksi
perubahan resistensi pembuluh darah endotel dan mengurangi aliran
darah saraf. Orang dengan neuropati memiliki keterbatasan dalam
kegiatan fisik sehingga terjadi peningkatan gula darah.
e. Infeksi jamur berulang di kulit
Kadar gula kulit merupakan 55% kadar gula darah pada orang biasa.
Pada pasien DM, rasio meningkat sampai 69-71% dari glukosa darah
yang sudah meninggi. Hal tersebut mempermudah timbulnya
dermatitis, infeksi bakterial (terutama furunkel), dan infeksi jamur
terutama kandidosis.
f. Lambatnya penyembuhan luka
Kadar glukosa darah yang tinggi di dalam darah menyebabkan pasien
DM mengalami penyembuhan luka yang lebih lama dibanding dengan
manusia normal.
g. Penglihatan kabur
Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi) dapat menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa
sehingga akan terjadi penglihatan yang tidak jelas atau kabur.
3) DM Gestasional
Tanda dan gejala dari DM gestasional sangatlah mirip dengan pasien DM
pada umumnya, yaitu :
a. Poliuria (banyak kencing)
b. Polidipsia (haus dan banyak minum) dan polifagia (banyak makan)
c. Pusing, mual dan muntah
d. Obesitas, TFU > normal
e. Lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, dan pruritus vulva
f. Ketonemia (kadar keton berlebihan dalam darah)
g. Glikosuria (ekskresi glikosa ke dalam urin)
7. Pemeriksaan Penunjuang
Pemeriksaan penunjang diabetes mellitus berupa pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan laboratorium utama berupa pemeriksaan kadar
gula darah dan HbA1c untuk diagnosis dan kontrol diabetes mellitus
(PERKENI,2015) :
1) Pemeriksaan Gula Darah
Diabetes mellitus didiagnosa berdasarkan kadar gula darah
sewaktu > 200 mg/dL atau kadar gula darah puasa di atas 126 mg/dL.
Jika kadar gula darah di bawah angka tersebut tapi pasien memiliki gejala
klasik diabetes (polidipsi, poliuria, polifagia), lakukan pemeriksaan
ulang. Jika hasil tetap di bawah batas di atas, lakukan pemeriksaan
toleransi glukosa.
Pada pasien yang tidak memiliki gejala klasik diabetes, jika kadar gula
darah puasa di antara 100-125 mg/dL atau kadar gula darah sewaktu
antara 140-199 mg/dL, lakukan pemeriksaan toleransi glukosa. Pasien
tanpa gejala klasik dengan kadar gula darah puasa <100 mg/dL atau
kadar gula darah sewaktu <140 mg/dL dapat langsung didiagnosis
sebagai tidak terkena diabetes mellitus.
2) Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Tes toleransi glukosa oral dilakukan dengan mengukur kadar gula darah
puasa. Pasien kemudian diberikan larutan glukosa oral 75 gram dan
kembali diukur kadar gula darahnya 2 jam setelah meminum larutan
glukosa tersebut. Pada diabetes gestasional, pengukuran juga dilakukan
pada 1 jam pasca meminum larutan glukosa.
Hasil tes toleransi glukosa oral sebesar >200 mg/dL dikategorikan
sebagai diabetes mellitus, 140-199 mg/dL toleransi glukosa terganggu,
dan di bawah angka tersebut dikategorikan sebagai normal.
3) Hemoglobin A1c (HbA1c)
HbA1C merupakan pengukuran gold standard terhadap kontrol diabetes
dalam keberhasilan tata laksana diabetes. Walau demikian, pemeriksaan
ini juga sudah dianjurkan oleh sebagian literatur sebagai alat diagnostik
diabetes mellitus.
Kadar HbA1C menggambarkan perkiraan kadar glukosa selama tiga
bulan yang lalu sehingga tepat digunakan untuk monitor keberhasilan
terapi, dan memprediksi progres komplikasi diabetes mikrovaskular. Hal
inilah yang menjadikannya jauh lebih unggul untuk kontrol diabetes
dibandingkan dengan pemeriksaan kadar gula darah yang hanya dapat
melihat kadar gula darah pada satu waktu dan tidak dapat memprediksi
komplikasi. Nilai rujukan untuk pasien diabetik adalah HbA1c ≥ 6.5%
Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan:
1. Sel darah merah abnormal seperti pada anemia hemolitik, atau anemia
defisiensi besi
2. Anak-anak dengan perkembangan penyakit DM 1 yang cepat
3. Diabetes neonatal
4) Pemeriksaan untuk membedakan diabetes mellitus tipe 1 dan 2
Untuk membedakan diabetes mellitus tipe 1 dan 2, pemeriksaan yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Kadar insulin
b) Kadar c-peptide: dibentuk selama konversi proinsulin ke insulin
c) Kadar insulin atau c-peptide < 0,6 ng/ml mengarah kepada diabetes
mellitus tipe 1
d) Kadar c-peptide puasa > 1 ng/dl pada penderita diabetes sekitar lebih
dari 1-2 tahun mengarah kepada diabetes mellitus tipe 2
e) Marker auto antibodi untuk penentuan tipe diabetes mellitus,
contohnya glutamic acid decarboxylase (gad)
5) Pemeriksaan laboratorium lainnya
Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan berupa hitung jenis
leukosit, kultur darah, dan urin bila ada kecurigaaan infeksi atau sepsis.
Kadar plasma aseton, yaitu β-hidroksibutirat bermanfaat untuk menilai
ada tidaknya ketoasidosis diabetik, nilai normalnya < 0,4-0,5 mmol.
Pemeriksaan terhadap ketoasidosis diabetik juga dapat dilakukan
berdasarkan kadar keton darah. Pada ketoasidosis diabetik, perlu juga
dilakukan pemeriksaan elektrolit karena sering kali ditemukan gangguan
kalium.
Pemeriksaan laboratorium lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
kadar kolesterol darah serta pemeriksaan fungsi ginjal jika dicurigai
adanya komplikasi nefropati.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dm dalam PERKENI (2015) bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara mengendalikan gula
darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid melalui pengelolaan
secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
perilaku. Penatalaksaan ini meliputi 4 pilar DM, yaitu:
1) Edukasi Pemberdayaan
Pasien DM memerlukan partisipasi aktif dari dirinya sendiri, keluarga
dan masyarakat. Tenaga kesehatan bertugas untuk memberikan
informasi terkait pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya kepada pasien DM dan keluarga.
Pemantauan gula darah dapat dilakukan secara mandiri setelah pasien
mendapatkan pengetahuan dan pelatihan khusus.
2) Terapi gizi medis
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing- masing individu.
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45- 65% total asupan energi,
asupan lemak sekitar 20- 25% kebutuhan kalori dan protein sebesar 10 –
20% total asupan energi, pembatasan natrium tidak boleh lebih dari
3000 mg (1 sendok teh), konsumsi cukup serat (kurang lebih 25g/hari)
dan pemanis yang tidak berkalori (aspartam, sakarin, sucralose dll).
3) Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari- hari dan latihan jasmani secara teratur (3- 4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
4) Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis untuk pasien DM terdiri dari obat oral dan injeksi.
Berdasarkan cara kerjanya, OHO (obat hipoglikemik oral) dibagi menjadi
5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (sulfonylurea dan glinid),
peningkat sensitivitas terhadap insulin (metformin dan tiazolidindion),
penghambat glukoneogenesis (metformin), penghambat absorpsi glukosa
(penghambat glukosidase) dan DPPIV inhibitor α.
9. Komplikasi
Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi akut yang terjadi
pada penderita Diabetes Mellitus, tetapi selain ulkus diabetik terdapat
komplikasi yang lain (Corwin, 2009), antara lain yaitu:
a. Komplikasi Akut. Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari
ketidakseimbangan jangka pendek dari glukosa darah. Hipoglikemik dan
ketoadosis diabetik masuk ke dalam komplikasi akut.
b. Komplikasi kronik. Yang termasuk dalam komplikasi kronik ini adalah
makrovaskuler dimana komplikasi ini menyerang pembuluh darah besar,
kemudian mikrovaskuler yang menyerang ke pembuuluh darah kecil bisa
menyerang mata (retinopati), dan ginjal. Komplikasi kronik yang ketiga
yaitu neuropati yang mengenai saraf. Dan yang terakhir menimbulkan
gangren.
c. Komplikasi jangka panjang dapat juga terjadi antara lain, menyebabkan
penyakit jantung dan gagal ginjal, impotensi dan infeksi, gangguan
penglihatan (mata kabur bahkan kebutaan), luka infesi dalam ,
penyembuhan luka yang jelek.
d. Komplikasi pembedahan, dalam perawatan pasien post debridement
komplikasi dapat terjadi seperti infeksi jika perawatan luka tidak
ditangani dengan prinsip steril.
2 Nyeri Akut berhubungan dengan : Perilaku pengendalian nyeri efektif Manajemen nyeri
penyebab cedera Tingkat Nyeri terkontrol Kaji tingkat nyeri yang
Biologis: Tingkat kenyamanan terpenuhi komprehensif : lokasi, durasi,
Infeksi, inflarnasi karakteristik, frekuensi. intensitas,
Gigitan binatang Setelah dilakukan asuban keperawatan x factor pencetus sesuai dengan usia
Fisik 24 jam : dan tingkat perkembangan
Trauma ………… Melaporkan gejala nyeri terkontrol Monitor skala nyeri dan observasi
Cedera ………. Melaporkan kenyamanan fisik dan tanda non verbal dari
Luka bakar / paparan panas psikologis ketidaknyamanan
Operasi Mengenali faktor yang menyebabkan Gunakan tindakan pengendalian nyeri
Kontraksi uterus yang kuat nyeri sebelum menjadi berat
Psikologis Melaporkan nyeri terkontrol (skala Kelola nyeri pasca operasi dengan
Takut nyeri: <4) pemberian analgesik tiap 4 jam, dan
Cemas Tidak menunjukkan respon non monitor keefektifan tindakan
Kimia verbaladanya nyeri mengontrol nyeri
Terpapar bahan kimia Menggunakan terapi analgetik dan non Kontrol faktor lingkungan yaag
analgetik mempengaruhi respon klien terhadap
Data Subyektif Tanda vital dalatn rentang yang ketidaknyamanan : suhu ruangan,
Klien mengungkapkan : diharapkan cahaya, kegaduhan.
Nyeri secara verbal / nonverbal Nadi : Ajarkan tehnik non
Umur 4th: 100xmenit farmakologiskepada klien dan
Data Obyektif Umur 10-14th:85-90x/mnt. keluarga : relaksasi, distraksi, terapi
Perubahan respon otonom: dianoresis, Laki-laki dewasa :60-70x/mnt musik, terapi bermain,terapi aktivitas,
perubahan Prempuan dewasa:70-85x/mnt akupresur, kompres panas/ dingin,
TD: …., RR:……,Nadi…. TD: masase. Imajinas
Umur> 10th: 90/60 mmHg terbimbing(guidedimagery),hipnosis
Tingkah laku ekspresif : gelisah, merintih,
Umur 10-30 th:110/75 mmHg (hipnoterapy) dan pengaturan posisi.
menangis, nafas panjang
Umur 30-40 th: 125/85 mmHg Informasikan kepada klien tentang
Tingkah laku berhati hati: gerakan
Umur 40-60 th: 140/90 mmHg prosedur yang dapat meningkatkan
melindungi,posisimengurangi nyeri
Umur > 60 th : 150/90 mmHg nyeri : misal klien cemas, kurang
P-Penyebab ………….
RR : tidur, posisi tidak rileks.
Q- Type nyeri………..
Anak : 22 x / menit Ajarkan pada klien dan keluarga
R-Regio: ……………. tentang penggunaan analgetik dan
Dewasa: 16-20x/menit
S –Skala…………….. efek sampingnya
T- Time……………… Kolaborasi medis untuk pemberian
analgetik, fisioterapis/ akupungturis.
3 Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah Blood Glucose, Risk for Unstable Hyperglikemi Management
Diabetes Self Management Pantau kadar glukosa darah
Faktor Resiko Pantau tanda-tanda dan gejala
Kurang pengetahuan tentang manajemen Setelah dilakukan tindakan keperawatan hiperglikemia: poliuria, polidipsia,
diabetes selama ………x 24 jam: polifagia
Asupan diet Penerimaan kondisi kesehatan Pantau tekanan darah dan denyut
Kurang kepatuhan pada rencana Kepatuhan perilaku: diet sehat nadi
manajemen diabetic Dapat mengontrol kadar glukosa darah Kelola insulin sesuai dengan yang
Kurang penerimaan terhadap diagnosis Dapat mengontrol stress ditentukan
Stress Dapat memanajemen dan mencegah Mendorong asupan cairan oral
Pemantauan glukosa darah yang tidak penyakit semakin parah Konsultasi dengan dokter jika tanda
tepat Tingkat pemahaman untuk dan dan gejala hiperglikemia menetap
Penambahan berat badan pencegahan komplikasi dan memburuk
Penurunan berat badan Pemahanan manajemen diabetes Identifikasi kemungkinan penyebab
……………….. Status nutrisi adekuat hiperglikemia
Olahraga teratur Antisipasi situasi dimana kebutuhan
………………………… insulin akan meningkat
…………………………
4 Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari Fungsi menelan adekuat Pencegahan aspirasi
kebutuhan tubuh berhubungan dengan : Proses menelan dari mulut – lambung Kaji tingkat kesadaran reflek batuk,
aman reflek muntah dan kemampuan
Tidak mampu dalam menelan
Memasukkan makanan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pantau adanya tanda dan gejala
Mencerna makanan selama ….x24 jam : aspirasi
Mengabsorbsi makanan karena faktor Atur posisi ½ duduk selama makan
biologi, psikologi Tidak terjadi aspirasi Bebaskan jalan napas/ lakukan
Hilangnya nafsu makan Makan tidak tersedak suction bila perlu
Mual, muntah Klien dapat menelan tanpa gangguan Berikan makanan secara bertahap
Tidak muntah Hidari penggunaan sedotan minuman
Data Subyektif …………………… Kontrol posisi NGT sebelum
Klien mengatakan : memberikan makanan melalui sonde
Mudah merasa kenyang sesaat setelah Kolaborasi dengan tim kesehatan :
menguyah makanan tim medis untuk pemasangan NGT/
Intake makan kurang dari kebutuhan yang pemberian terapi
dianjurkan
Perubahan sensasi rasa Terapi menelan
Tidak mampu menguyah makanan Lakukan oral hygine minimal 2x/hari
Kram perut Ajarkan pada keluarga pengaturan
Nyeri abdomen patologi posisi tidur dan cara pemberian
Tidak ada nafsu makan makanan
Ajarkan klien/keluarga untuk
Data Obyektif melepaskan sisa makan dari mulut
Konjungtiva dan membran mukosa pucat Kontrol apakah ada sisa makanan di
Luka, inflamasi pada rongga mulut dalam mulut sesudah makan
(sariawan) Hindari penggunaan sedotan
Tonus otot buruk minuman
Diare ………………………
Suara usus hiperaktif … x/m
Penurunan BB …………….
Data lab : …………………
………………………….
DAFTAR PUSTAKA