Anda di halaman 1dari 156

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gerakan massa tanah atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah

tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia terutama ketika

musim penghujan tiba. Gerakan massa tanah adalah gerakan menuruni atau keluar

lereng oleh massa tanah penyusun lereng, ataupun pencampuran antara tanah dan

batuan sebagai bahan rombakan, akibat dari terganggunya kestabilan tanah penyusun

lereng tersebut (Karnawati, 2005).

Gerakan massa tanah dapat terjadi akibat adanya pengaruh interaksi antara

beberapa kondisi morfologi, geologi, struktur geologi dan tata guna lahan. Gerakan

massa tanah dapat menimbulkan kerugian seperti korban jiwa, merusak fasilitas

umum, serta dapat juga melumpuhkan aktivitas ekonomi dan kegiatan pembangunan

di daerah tersebut dan sekitarnya, sehingga perlu dilakukan penyelidikan pada daerah

yang rawan akan gerakan massa tanah agar dapat mengurangi kerugian yang

ditimbulkan nantinya.

Dusun Donorati memiliki kemiringan lereng yang curam, lapisan tanah yang

tebal dan tanah yang mudah mengalami kembang kerut ini mengindikasikan bahwa

daerah penelitian rawan terjadi gerakan massa tanah. Selain itu, berdasarkan berita

media massa Kompas, pada hari Sabtu 18 Juni 2016 telah terjadi tanah longsor di

Desa Donorati, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

Tanah longsor di Desa Donorati ini menimbulkan 11 orang korban jiwa, kerugian

material, serta kerusakan fasilitas umum. Terjadinya tanah longsor ini semakin

menandakan bahwa Dusun Donorati telah mengalami gerakan massa tanah, sehingga
1
2

perlu dilakukan penelitian mengenai “Teknik Pengendalian Gerakan Massa

Tanah di Dusun Donorati, Desa Donorati, Kecamatan Purworejo, Kabupaten

Purworejo, Provinsi Jawa Tengah” yang diharapkan dapat meminimalisir

terjadinya gerakan massa tanah

1.1.1. Daerah Penelitian

Secara administrasi lokasi penelitian berada di dalam wilayah Dusun

Donorati, Desa Donorati, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi

Jawa Tengah. Luas Dusun Donorati sebesar 116 hektar. Lokasi penelitian berbatasan

dengan beberapa daerah diantaranya :

- Sebelah timur lokasi penelitian berbatasan dengan Desa Tlogorejo,

Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

- Sebelah barat berbatasan dengan Dusun Panggulan, Desa Donorati,

Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

- Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sudimoro, Kecamatan Purworejo,

Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

- Sebelah utara lokasi penelitian berbatasan dengan Desa Rimun, Kecamatan

Loano, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

Dusun Donorati ini berjarak ± 10 km dari ibukota kabupaten Purworejo,

sedangkan jika dari kampus 1 UPN “Veteran” Yogyakarta ke lokasi penelitian

berjarak ± 58 km dengan waktu tempuh ± 2 jam. Daerah penelitian dapat ditempuh

dengan kendaraan umum atau pribadi (mobil dan motor). Perjalanan menuju daerah

penelitian dilalui jalan beraspal dengan kondisi yang baik. Peta administrasi dapat

dillihat pada Peta 1.1


4

1.1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas daerah penelitian merupakan daerah yang

rawan akan terjadinya gerakan massa tanah. Penelitian ini perlu dilakukan untuk

mengetahui tingkat kerawanan gerakan massa tanah beserta faktor penyebab

gerakan, sehingga dapat diketahui rekayasa pengelolaan secara tepat. Secara garis

besar permasalahan yang ada di daerah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat kerawanan gerakan massa tanah di daerah penelitian?

2. Bagaimana nilai faktor keamanan (safety factor) pada lereng yang telah

mengalami gerakan massa tanah di daerah penelitian serta tipe longsorannya?

3. Bagaimana pengelolaan gerakan massa tanah yang tepat untuk daerah

penelitian khususnya pada lereng yang telah mengalami gerakan massa

tanah?

1.1.3. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai gerakan massa tanah sudah pernah diteliti oleh peneliti

lainnya tetapi ada perbedaan baik judul, lokasi, maupun metode yang digunakan.

Adapun tabel keaslian penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.1.


Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
Peneliti & Tahun
No Jenis Penelitian Lokasi Judul Tujuan Metode Hasil
Penelitian
1 Niken Ayu Pratiwi Skripsi Teknik Desa Bukuran dan Kendali Sifat Fisik- 1. Mengetahui tingkat Metode survei dan 1. Tingkat kerawanan
(2017) Lingkungan UPN sekitarnya, Mekanik Tanah kerawanan gerakan massa pemetaan, analisis gerakan massa tanah
“Veteran” Kecamatan terhadap Kerawanan tanah dan jenis gerakan laboratorium, berupa tinggi, sedang, dan
Yogyakarta Kalijambe, Gerakan Massa Tanah massa tanah stereonet, rendah dengan jenis
Kabupaten Sragen, dengan Metode Janbu 2. Mengetahui bagaimana pengharkatan, dan gerakan massa tanah
Provinsi Jawa kendali sifat fisik- metode janbu busur.
Tengah mekanik tanah yang 2. Kendali sifat fisik-
mempengaruhi terjadinya mekanik tanah memiliki
gerakan massa tanah pengaruh besar dengan
sehingga dapat diketahui nilai FK 0,688 yang
faktor keamanan lereng berarti lereng tidak stabil
tersebut 3. Pengelolaan yang
3. Menentukan rekayasa digunakan adalah dengan
teknik dalam pengelolaan merubah geometri lereng
gerakan massa tanah dengan pemotongan
lereng dibuat trap dan
drainase pada lereng.
Sedangkan rekayasa
vegetatif dengan
menggunakan tumbuhan
rumput akar wangi.
2 Ancy Novalia Skripsi Teknik Dusun Jati Rejo, Perencanaan Kajian 1. Mengetahui nilai faktor Metode survei dan 1. Nilai FK 0,414 yang
Sihombing (2016) Lingkungan UPN Desa Wukirsari, Teknis Kestabilan keamanan pada lereng pemetaan, berarti lereng tidak stabil
“Veteran” Kecamatan Imogiri, Lereng dengan berdasarkan sifat fisik dan wawancara, uji 2. Pengelolaan yang
Yogyakarta Kabupaten Bantul, Menggunakan Metode mekanik batuan laboratorium, digunakan adalah dengan
Daerah Istimewa Janbu dalam Penentuan 2. Mengetahui faktor-faktor stereonet, dan melakukan pemotongan
Yogyakarta Faktor Keamanan yang mempengaruhi metode janbu lereng yang dibuat trap
Lereng kestabilan lereng ditambahkan dengan
3. Bagaimana teknik bronjong dan menanam
pengelolaan lahan yang mahoni
dilakukan agar lereng
stabil

5
Lanjutan Tabel 1.1
Peneliti & Tahun
No Jenis Penelitian Lokasi Judul Tujuan Metode Hasil
Penelitian
3 Rizkia Zaenur Skripsi Jurusan Kecamatan Analisis Tingkat 1. Mengetahui zona tingkat Metode survei dan 1. Zona tingkat kerawanan
Rohma (2013) Pendidikan Karangsambung, Kerawanan Longsor kerawanan longsor lahan observasi lapangan, longsor di daerah
Geografi Kabupaten dan Mitigasi Bencana di daerah penelitian uji laboratorium, penelitian terdiri dari 2
Universitas Kebumen, Provinsi 2. Mengetahui tipe longsor stereonet, yaitu zona cukup tinggi
Sebelas Maret Jawa Tengah yang ada di daerah pengharkatan, dan dan tinggi.
Surakarta penelitian overlay 2. Tipe longsor yang ada di
3. Mengetahui mitigasi yang daerah penelitian yaitu
tepat untuk mengatasi jatuhan, robohan, aliran,
bencana longsor dan longsoran.
3. Mitigasi bencana yang
dilakukan dapat secara
teknik yaitu pemotongan
lereng dan pembuatan
terasering, untuk mitigasi
secara vegetatif dapat
dilakukan penanaman
tumbuhan yang memiliki
akar yang kuat.
4 Anggraini Elita Tesis Jurusan Dusun Nglingseng, Kajian dan Upaya 1. Mengetahui mekanisme, Metode survei, 1. Kenaikan muka air tanah
(2014) Teknik Sipil Desa Muntuk, Penanggulangan faktor pemicu dan observasi lapangan, dan proses pelapukan
Universitas Kecamatan Dlingo, Gerakan Massa Tanah pengontrol gerakan tanah dan programa mempengaruhi perubahan
Gadjah Mada Kabupaten Bantul, 2. Menganalisis kestabilan SLOPE/W faktor keamanan
Yogyakarta Daerah Istimewa lereng menggunakan 2. Nilai faktor keamanan
Yogyakarta program SLOPE/W untuk yang didapatkan 0,718
memperoleh nilai faktor yang berarti lereng tidak
keamanan stabil
3. Memberikan rekomendasi 3. Penanggulangannya yaitu
penanggulangan gerakan pembuatan trap yang
tanah dikombinasikan dengan
drainase horizontal
sehingga tinggi muka air
tanah tidak lebih 1,2 meter

6
Lanjutan Tabel 1.1

Peneliti & Tahun


No Jenis Penelitian Lokasi Judul Tujuan Metode Hasil
Penelitian
5 Raja C. Octavian, Jurnal Sipil Statik Kawasan Citraland Analisis Kestabilan 1. Mendapatkan faktor Observasi lapangan, Didapatkan nilai faktor
dkk (2014) Vol. 2 (3) : 136- sta. 1000m Lereng dengan Metode keamanan pada lereng di analisis laboratorium, keamanan dengan metode
147 Bishop (Studi Kasus: daerah Citraland metode Bishop, Bishop sebesar 0,654 yang
Kawasan Citraland sta. program Slide 6.0 menandakan lereng di daerah
1000m) Citraland tidak stabil.

6 Purba, Otniel Jurnal Geodesi Kota Semarang Pembuatan Peta Zona 1. Membuat peta zona rawan Overlay dan Scoring Peta Zona Kerawanan Tanah
Jerson, dkk (2014) Vol. 3 (2) Rawan Tanah Longsor tanah longsor Longsor di Kota Semarang
di Kota Semarang 2. Menghasilkan informasi
dengan Melakukan untuk mengetahui zona
Pembobotan Parameter rawan tanah longsor di
Kota Semarang

7 Delia Reski Skripsi Teknik Dusun Donorati, Teknik Pengendalian 1. Mengetahui tingkat Metode survei dan 1. Tingkat kerawanan
Syafira Yusuf Lingkungan UPN Desa Donorati, Gerakan Massa Tanah kerawanan gerakan massa pemetaan, analisis gerakan massa tanah di
(2017) “Veteran” Kecamatan tanah di daerah penelitian laboratorium, daerah penelitian terdiri
Yogyakarta Purworejo, 2. Mengetahui nilai faktor stereonet, dari 2 zona yaitu zona
Kabupaten keamanan pada lereng pengharkatan, dan tinggi dan menengah
Purworejo, Provinsi yang telah mengalami metode bishop 2. Nilai FK pada lereng 1
Jawa Tengah gerakan massa tanah serta adalah 1,143 dan lereng 2
tipe longsorannya sebesar 1,071. Kedua
3. Menentukan pengelolaan lereng termasuk kelas
gerakan massa tanah yang kritis dengan tipe
tepat untuk daerah longsoran yaitu longsoran
penelitian baji.
3. Pengelolaan yang
dilakukan berupa
pembuatan trap dan
drainase serta penanaman
tanaman cengkeh, durian,
mahoni dan sengon.

7
8

1.2. Maksud, Tujuan, dan Manfaat Yang Diharapkan

1.2.1. Maksud Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk:

1. Mengkaji mengenai gerakan massa tanah yang terjadi di daerah penelitian

2. Meminimalisir terjadinya gerakan massa tanah di Dusun Donorati, Desa

Donorati, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo

1.2.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui tingkat kerawanan gerakan massa tanah di daerah penelitian

2. Mengetahui nilai faktor keamanan pada lereng yang telah mengalami gerakan

massa tanah serta tipe longsorannya.

3. Menentukan pengelolaan gerakan massa tanah yang tepat untuk daerah

penelitian khususnya pada lereng yang telah mengalami gerakan massa tanah.

1.2.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Sebagai informasi dan masukan untuk masyarakat di Dusun Donorati,

pemerintah daerah serta instansi terkait mengenai tingkat kerawanan gerakan

massa tanah dan arahan pengelolaan gerakan massa tanah di Dusun Donorati.

2. Dapat dijadikan informasi studi gerakan massa tanah dan bahan referensi

untuk penelitian selanjutnya

3. Dapat dijadikan sebagai penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya dibidang geologi teknik.


9

1.3. Peraturan

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian dapat dilihat

pada Tabel 1.2 dibawah ini.

Tabel 1.2 Peraturan Perundang-Undangan


Uraian Singkat Makna atau Kaitan Pasal
No Peraturan
dengan Penelitian
a. Undang-undang ini menjelaskan bahwa
bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau
Undang-Undang Republik Indonesia serangkaian peristiwa yang disebabkan
1
a. UU RI Nomor 24 Tahun 2007 leh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
a. Peraturan ini menjelaskan mengenai
Peraturan Pemerintah
kegiatan di setiap tahapan penyelenggaraan
a. Peraturan Pemerintah Nomor
2 penanggulangan bencana dari tahap
21 Tahun 2008 tentang
prabencana, saat tanggap darurat, dan
Penyelenggaran Bencana
pascabencana
a. Pada peraturan ini dijelaskan bahwa zona
kerentanan gerakan tanah dibagi dalam 4
zona yaitu zona kerentanan gerakan tanah
Peraturan Menteri tinggi, menengah, rendah dan sangat rendah
a. Peraturan Menteri Energi dan b. Pada pasal 7 ayat (4) menjelaskan bahwa
Sumber Daya Mineral Nomor 15 penyelidikan zona kerentanan gerakan
Tahun 2011 tentang Pedoman tanah dilakukan melalui analisis terhadap
Mitigasi Bencana Gunungapi, peta geologi, tata guna lahan, kondisi
Gerakan Tanah, Gempabumi, dan morfologi, kondisi keairan, data geoteknik
Tsunami tanah dan/atau batuan, data kejadian
3 b. Peraturan Menteri Energi dan gerakan tanah, dan curah hujan. Hal ini
Sumber Daya Mineral Nomor 11 berkaitan dengan pemilihan parameter yang
Tahun 2016 tentang Penetapan digunakan dalam penelitian ini
Kawasan Rawan Bencana Geologi c. Pada peraturan ini dijelaskan mengenai hal-
c. Peraturan Menteri Pekerja Umum hal yang perlu dipertimbangkan dalam
Nomor 22/PRT/M/2007 tentang rekayasa teknik penanggulangan longsor,
Pedoman Penataan Ruang serta dijelaskan juga mengenai longsor dari
Kawasan Bencana Longsor proses terjadinya longsor, jenis tanah
longsor, penyebab terjadinya tanah longsor,
dan pencegahan terjadinya bencana tanah
longsor
Keputusan Menteri a. Pada peratuan ini dijelaskan bahwa peta
a. Keputusan Menteri Energi dan parameter adalah peta-peta tematik yang
Sumber Daya Mineral Nomor dipergunakan sebagai peta dasar dalam
1452K/10/MEM/2000 tentang analisis overlaying untuk penentuan kriteria
4 Pedoman Teknis Penyelenggaraan
zona kerentanan gerakan tanah. Peta
Tugas Pemerintah di Bidang
Inventaris SDM dan Energi, parameter yang digunakan adalah peta
Penyusunan Peta Geologi dan geologi, peta sudut lereng dan peta tata guna
Pemetaan Zona Gerakan Tanah lahan.
10

1.4. Tinjauan Pustaka

1.4.1. Gerakan Massa Tanah

Gerakan massa tanah atau batuan merupakan gerakan menuruni atau keluar

lereng oleh massa tanah atau batuan penyusun lereng, ataupun pencampuran

keduanya sebagai bahan rombakan, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau

batuan penyusun lereng tersebut, (Karnawati, 2005). Jika hasil massanya didominasi

oleh massa tanah dan melalui suatu bidang pada lereng baik berupa bidang miring

ataupun lengkung, maka proses pergerakan tersebut disebut sebagai longsoran.

Pergerakan massa tanah pada lereng dapat terjadi akibat pengaruh interaksi antara

beberapa kondisi yang meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi,

hidrogeologi dan tata guna lahan. Kondisi-kondisi tersebut saling berpengaruh

sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang mempunyai kecendrungan atau

berpotensi untuk bergerak.

Daerah yang pernah mengalami longsor tetap dapat berpotensi besar

mengalami gerakan massa tanah kembali, jika kondisi lereng belum stabil. Menurut

Darsoatmojo dan Soedrajat (2002), beberapa karakteristik daerah rawan tanah

longsor sebagai berikut :

1. Adanya Gunungapi menghasilkan endapan batu vulkanik yang umumnya

belum padu dan dengan proses fisik dan kimiawi batuan melapuk menjadi

lempung pasir atau pasir lempungan yang bersifat gembur dan mudah

meresapkan air.

2. Adanya bidang luncur atau gelicir (diskontinuitas) antara batuan dasar

dengan tanah pelapukan. Bidang luncur merupakan bidang lemah licin dapat

berupa batuan lempung kedap air atau batuan breksi yang kompak dan

bidang luncuran tersebut miring kearah lereng curam.


11

3. Daerah pegunungan dan perbukitan lereng yang curam, pada jalur patahan

atau sesar juga dapat membuat lereng menjadi curam dan dengan adanya

pengaruh struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan sehingga dapat

memperlemah kekuatan batuan.

4. Daerah aliran sungai tua bermeander dapat mengakibatkan lereng menjadi

curam akibat pengikisan air sungai kearah lateral, bila daerah tersebut

disusun oleh batuan yang kurang kuat dan tanah yang bersifat lembek dan

tebal maka mudah untuk longsor.

5. Lereng bagian atas terdapat saluran air tidak bertembok, persawahan,

kolam ikan (genangan air). Air permukaan pada saluran tersebut meresap ke

dalam tanah jika hujan dan saluran air mengalami jebol. Peresapan air

mengakibatkan kandungan air dalam massa tanah akan lewat jenuh, berat

massa tanah bertambah dan tahan geser tanah menurun serta daya ikat tanah

akan menurun. Keadaan tersebut menyebabkan gaya pendorong lereng

bertambah sehingga goyah dan bergerak menjadi longsor.

Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu

gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah

yang dapat merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai

bergerak. Pemicu ini umumnya berupa hujan, getaran-getaran atau aktivitas manusia

pada lereng, seperti penggalian dan pemotongan atau peledakan lereng, pembebanan

yang berlebihan, ataupun proses masuknya air ke dalam lereng melalui kebocoran

pada saluran/kolam dan sebagainya (Karnawati, 2005).

Penyebab gerakan tanah dapat juga dibedakan menjadi penyebab tidak

langsung (penyebab yang berupa faktor pengontrol) yaitu faktor-faktor yang

mengkondisikan suatu lereng menjadi rentan atau siap bergerak, dan penyebab
12

langsung (yang berupa pemicu) yaitu proses-proses yang merubah kondisi lereng

dari kondisi rentan (siap bergerak) menjadi kondisi benar-benar bergerak setelah

melampaui kondisi kritis. Proses dan tahapan gerakan tanah ini secara skematik

dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.1 Proses dan Tahapan Gerakan Tanah (Karnawati, 2005)

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa gerakan tanah dapat disebabkan

karena adanya faktor pengontrol dan faktor pemicu, dan proses terjadinya gerakan

tanah melalui beberapa tahap yaitu tahap stabil, tahap rawan (siap bergerak), tahap

kritis dan tahap benar-benar bergerak.

1.4.2. Faktor Pengontrol Gerakan Massa Tanah

Faktor pengontrol ini umumnya merupakan fenomena alam yang

menyebabkan suatu lereng menjadi tidak stabil sehingga rawan untuk bergerak.

Menurut Karnawati (2005), faktor-faktor pengontrol terjadinya gerakan massa tanah

di Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Faktor Geologi dan Geomorfologi

Kondisi geologi pada lereng meliputi litologi dan struktur geologi.

Pada litologi dapat merupakan hasil dari pelapukan batuan. Litologi dengan
13

tingkat ketahanan yang tinggi seperti pada batuan beku memiliki tingkat

kemungkinan yang lebih keci untuk terjadi gerakan massa tanah

dibandingkan litologi dengan resistensi rendah. Struktur geologi merupakan

zona lemah pada satuan batuan, karena struktur yang terjadi mengurangi daya

ikat batuan sehingga mengurangi kekuatan batuan tersebut.

Struktur yang terbentuk juga menjadi jalur masuknya air sehingga

proses pelapukan dan erosi lebih insentif. Selain itu bidang perlapisan

ataupun kekar yang miring searah dengan searah dengan kemiringan lereng

seringkali menjadi bidang lemah tempat meluncurnya massa tanah/batuan,

jadi kehadiran bidang-bidang tersebut sangat mengurangi gaya penahan

gerakan pada lereng khususnya mengurangi kuat geser tanah/batuan (kohesi

dan sudut gesekan dalam). Maka dari itu batuan yang terkena struktur geologi

cukup insentif mempunyai tingkat kerawanan yang lebih besar untuk

terjadinya gerakan massa tanah.

Geomorfologi menggambarkan kondisi kemiringan lereng, elevasi,

dan hubungannya dengan aspek geologi. Lereng pada lahan yang miring

berpotensi untuk mengalami gerakan tanah. Semakin curam kemiringan suatu

lereng akan semakin besar gaya penggerak massa tanah/batuan penyusun

lereng. Namun tidak semua lahan yang miring selalu rawan untuk bergerak.

Jenis tanah atau batuan, struktur dan komposisi tanah/batuan penyusun lereng

juga berperan penting dalam mengontrol terjadinya gerakan tanah.

b. Faktor Tanah

Tipe endapan tanah memiliki kondisi fisik yang berbeda-beda dengan

tingkat kekerasannya tergantung pada kondisi fragmen dan matriks suatu

lapukan batuan. Semakin tinggi kerapatan jenisnya, maka semakin tinggi


14

tingkat kekerasan batuan tersebut begitu pula sebaliknya semakin rendah

tingkat kerapatan jenisnya, maka semakin rendah pula tingkat kekerasan

batuan tersebut. Tanah residual dan kolovial umumnya merupakan tanah yang

bersifat lepas dan dapat menyimpan air, akibatnya kekuatan gesernya relatif

lemah apalagi jika kandungan air jenuh dan menekan. Kejenuhan air dapat

terjadi apabila tanah tersebut menumpang di atas lapisan tanah atau batuan

yang lebih kedap air sehingga air yang meresap ke dalam tanah sulit

menembus lapisan batuan di bawahnya dan hanya terakumulasi dalam tanah

yang relatif gembur.

c. Faktor Hidrologi

Kondisi hidrologi dalam lereng berperan dalam hal meningkatkan

tekanan hidrostatis air sehingga kuat geser tanah/batuan berkurang dan dapat

menyebabkan gerakan tanah terjadi. Lereng yang air tanahnya dangkal atau

lereng dengan akuifer menggantung sangat sensitif mengalami kenaikan

tekanan hidrostatis apabila air permukaan meresap ke dalam lereng. Selain

itu, retakan batuan atau kekar sering pula menjadi saluran air yang masuk

d. Faktor Tata Guna Lahan

Tata guna lahan seperti pemukiman, jembatan, jalan, sawah, kebun

dan lain-lain banyak berpengaruh kepada proses gerakan massa. Adanya

perubahan fungsi lahan dapat memberi beban lebih pada litologi setempat.

Vegetasi juga dapat berperan dalam stabilisasi suatu lereng. Beberapa

vegetasi dengan akar yang kuat dapat menambah kekuatan lereng karena

dapat membantu meningkatkan kekompakan batuan, sedangkan vegetasi

dengan akar yang lemah justru akan berdampak pada kestabilan lereng.
15

1.4.3. Faktor Pemicu Gerakan Massa Tanah

Faktor pemicu ini dapat berperan dalam mempercepat peningkatan gaya

penggerak/peluncur, mempercepat pengurangan gaya penahan gerakan ataupun

sekaligus mengakibatkan keduanya. Secara umum proses pemicu tersebut dapat

berupa:

a. Infiltrasi Air Hujan

Hujan yang dapat memicu terjadinya gerakan tanah adalah hujan yang

mempunyai curah tertentu dan berlangsung selama periode waktu tertentu.

Secara umum terdapat dua tipe hujan pemicu gerakan tanah di Indonesia yaitu

tipe hujan deras dan tipe hujan normal tapi berlangsung lama. Menurut

Premchit (1995) tipe hujan deras adalah hujan yang dapat mencapai 70

mm/jam atau lebih dari 100 mm/hari. Tipe hujan deras hanya akan efektif

memcu gerakan tanah pada lereng yang tanahnya mudah menyerap air.

Tipe hujan normal adalah hujan yang kurang dari 20 mm/hari, hujan

tipe ini apabila berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan

dapat efektif memicu longsoran pada lereng yang tersusun oleh tanah yang

lebih kedap air, misalnya lereng dengan tanah lempung. Debit air hujan yang

masuk kedalam tanah akan terinfiltrasi dan akan berasosiasi dengan

tanah/batuan, air yang terinfiltrasi ini akan meningkatkan kejenuhan air

sehingga dapat menyebabkan beberapa hal yaitu :

- Tekanan air pada pori tanah/batuan meningkat dan mengakibatkan

kuat geser menurun.

- Meningkatkan massa tanah yang akan mengurangi tegangan geser

- Lapisan tanah akan jenuh terhadap air.


16

- Kandungan air tanah meningkat dan menyebabkan pengembangan

lempung, dan pada akhirnya akan menurunkan kuat geser tanah

bahkan hilang.

b. Getaran

Getaran memicu longsoran dengan cara melemahkan atau

memutuskan hubungan antar butir partikel penyusun tanah/batuan pada

lereng, sehingga getaran berperan dalam menambah gaya penggerak dan

sekaligus mengurangi gaya penahan. Gelombang dari getaran dapat berasal

dari gempa seismik, gempa vulkanik, maupun dari aktifitas manusia seperti

aktifitas kendaraan berat, konstruksi dan lain-lain. Pada daerah yang memiliki

tingkat kejenuhan air yang tinggi dan hubungan antar butir tidak saling

mengunci, getaran ini dapat menyebabkan likuifaksi.

c. Aktifitas Manusia

Adanya perkembangan tata guna lahan yang dilakukan manusia

terkadang sering tidak memperhatikan faktor lingkungan dan faktor

keamanan sehingga dapat melemahkan kestabilan lingkungan. Perubahan

kondisi lereng seperti pemotongan tebing/lereng untuk jalan, pembukaan

hutan secara sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan

jarak tanam terlalu rapat, penambangan yang tidak berwawasan lingkungan,

dan lain sebagainya, dapat mempengaruhi terjadinya gerakan tanah.

1.4.4. Klasifikasi Gerakan Massa Tanah

Menurut Varnes (1978) gerakan tanah dibedakan menjadi beberapa jenis

berdasarkan mekanisme gerakan dan jenis massa yang bergerak. Apabila gerakan

terjadi secara jatuh bebas akibat pengaruh grafitasi bumi, maka gerakan tanah
17

melalui mekanisme ini disebut jatuhan. Apabila gerakan terjadi melalui bidang

luncur (bidang gelincir), yang biasanya merupakan bidang lemah pada lereng, baik

berupa bidang perlapisan batuan atau bidang kekar (rekatan pada batuan), maka

gerakan tersebut disebut luncuran.

Namun apabila gerakan terjadi secara mengalir akibat penjenuhan pada air,

maka gerakan tanah ini disebut aliran. Massa yang bergerak dapat berupa massa

batuan, tanah atau pencampuran antara keduanya (disebut bahan rombakan). Istilah

longsoran sebenarnya hanya dipakai untuk menyebut salah satu jenis gerakan tanah

berupa luncuran, apabila proses perpindahan massa tanah atau batuan terjadi melalui

suatu bidang luncur. Namun istilah longsoran lebih populer di kalangan masyarakat,

yang menganggap seluruh jenis gerakan tanah sebagai longsoran.

Menurut Hoek dan Bray (1981), tipe longsoran berdasarkan bidang

gelincirnya dapat dibedakan menjadi empat yaitu :

a. Longsoran bidang (plane failure) adalah suatu longsoran batuan atau tanah

yang terjadi disepanjang bidang luncur yag dianggap rata. Bidang luncur

tersebut dapat berupa rekahan, sesar maupun bidang perlapisan batuan.

Gambar 1.2 Longsoran Bidang (Romana, 2015)

b. Longsoran baji (wedge failure) terjadi bila terdapat dua bidang lemah atau

lebih eberpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap


18

lereng. Longsoran baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longsoran yaitu

longsoran tunggal (single sliding) dan longsoran ganda (double sliding).

Untuk longsoran tunggal, luncuran terjadi pada salah satu bidang sedangkan

bentuk longsoran ganda, luncuran terjadi pada perpotongan kedua bidang.

Gambar 1.3 Longsoran Baji (Romana, 2015)

c. Longsoran guling (toppling failure) umumnya terjadi pada lereng yang terjal

dan pada batuan yang keras dimana struktur bidang lemahnya berbentuk

kolom. Longsoran ini terjadi jika pergerakan massa tanpa melalui bidang

gelincir dan sebagian besar perjalanan materialnya berada di udara.

Longsoran jenis ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang ada berlawanan

dengan kemiringan lereng.

Gambar 1.4 Longsoran Guling (Romana, 2015)

d. Longsoran busur (circular failure) adalah longsoran yang paling sering

terjadi di alam. Terutama pada batuan yang lunak (tanah). Pada batuan yang
19

keras, longsoran busur hanya terjadi jika batuan tersebut sudah mengalami

pelapukan dan mempunyai bidang-bidang lemah (rekahan) yang sangat rapat

dan tidak dapat dikenali kedudukannya. Pada tanah pola strukturnya tidak

menentu dan bidang gelincir bebas mencari posisi yang paling kecil

hambatannya. Longsoran busur akan terjadi jika partikel individu pada suatu

tanah sangat kecil dan tidak saling mengikat, oleh sebab itu batuan yang telah

melapuk bersifat seperti tanah. Tanda pertama longsoran busur berupa

retakan tarik permukaan atas atau muka lereng, kadang-kadang disertai

dengan menurunnya sebagai permukaan atas lereng yang berada disamping

rekahan. Penurunan ini menandakan adanya gerakan lereng yang pada

akhirnya akan terjadi kelongsoran lereng.

Gambar 1.5 Longsoran Busur (Romana, 2015)

Berdasarkan bentuk longsoran, maka tata nama tubuh longsoran dapat

diberikan dengan melihatnya dari bagian atas lereng atau mahkotanya. Berdasarkan

Cruden dan Varnes (1992) bagian-bagian longsoran dibagi atas :

1. Mahkota (crown) adalah lokasi di bagian atas dari zona longsor yang

terletak di atas scarp utama (main scarp).

2. Scarp utama adalah permukaan miring tajam pada zona tanah yang tidak

terganggu oleh longsoran, yang terletak di ujung atas longsoran.


20

3. Puncak (top) adalah titik tertinggi pada bagian kontak antara material yang

tidak bergerak dengan scarp utama.

4. Kepala (head) adalah bagian atas longsoran di antara material yang bergerak

dengan scarp utama.

5. Scarp minor adalah permukaan miring tajam pada material yang bergerak

yang terbentuk oleh akibat perbedaan gerakan.

6. Tubuh utama merupakan bagian dari material yang bergerak yang menutupi

bagian permukaan bidang longsor.

7. Kaki (foot) adalah bagian longsoran yang bergerak melampaui kaki lereng.

8. Ujung bawah (tip) merupakan titik pada bagian kaki longsoran yang

letaknya paling jauh dari puncak longsoran.

9. Ujung kaki (toe) adalah margin bagian terbawah dari material yang

bergerak.

10. Bidang longsor atau bidang runtuh (surface of rupture) adalah perpotongan

antara bagian terbawah dari biang longsor dan permukaan tanah asli.

11. Ujung kaki bidang longsor (toe of surface rupture) adalah perpotongan

antara bagian terbawah dari bidang longsor dan permukaan tanah asli.

12. Permukaan pemisah (surface of separation) merupakan permukaan tanah

asli yang sekarang tertutup kaki longsoran.

13. Material pindahan (displaced material) adalah material yang berpindah dari

tempat asalnya oleh gerakan.

14. Zona ambles (depletion zona) adalah area yang turun oleh akibat material

yang berpindah, dimana kedudukannya menjadi di bawah permukaan tanah

asli.
21

15. Zona akumulasi (zona of accumulation) adalah area dimana material setelah

berpindah menumpuk diatas tanah asli.

16. Depletion adalah volume tanah dibatasi oleh scarp utama , zona ambles dan

permukaan tanah asli.

17. Massa ambles (depleted mass) merupakan volume dari massa yang

berpindah yang menutupi bidang longsor dan berada dibawah permukaan

tanah asli.

18. Akumulasi (accumulation) adalah volume massa yang berpindah yang

menumpuk diatas tanah asli.

19. Sisi luar (flank) adalah zona material yang berdekatan dengan sisi luar

bidang longsor.

20. Permukaan tanah asli (original ground surface) merupakan permukaan dari

lereng sebelum longsoran terjadi.

Gambar 1.6 Tubuh Longsoran Menurut Cruden dan Varnes (Hardiyatmo, 2006)

1.4.5. Analisis Stabilitas Lereng

Menurut Hardiyatmo (2006) analisis kestabilan lereng didasarkan pada

konsep keseimbangan plastis batas (limit plastic equilibrium). Tujuan dari analisis
22

kestabilan lereng adalah ntuk menentukan faktor aman dari bidang longsor yang

potensial. Dalam analisis kestabilan lereng beberapa anggapan yang telah dibuat

yaitu :

1. Kelongsoran lereng terjadi disepanjang permukiaman bidang longsor tertentu

dan dapat dianggap sebagai masalah bidang 2 dimensi.

2. Massa tanah yang longsor dianggap berupa benda yang massif.

3. Ketahanan geser dari massa tanah pada setiap titik sepanjang bidang lonsor

tidak tergantung pada orientasi permukaan longsoran, atau dengan kata lain

kuat geser tanah dianggap isotropis.

4. Faktor aman didefinisikan dengan memperhatikan tegangan geser rata-rata

sepanjang bidang longsor yang potensial dan kuat geser tanah rata-rata

sepanjang permukiman longsoran.

Dalam bidang teknik sipil ada tiga macam lereng yang perlu diperhatikan yaitu :

1. Lereng alam yaitu lereng yang terbentuk karena proses-proses alam, misalnya

lereng suatu bukit.

2. Lereng yang dibuat dalam tanah asli, misalnya jika tanah dipotong untuk

pembuatan jalan atau saluran air untuk keperluan irigasi.

3. Lereng yang dibuat dari tanah yang dipadatkan, misalnya tanggul untuk jalan

atau bendungan tanah.

1.4.5.1. Sifat Fisik dan Mekanik Tanah

Dalam analisis kestabilan lereng dibutuhkan data sifat fisik dan mekanik

tanah untuk menentukan nilai faktor keamanan lereng. Sifat fisik dan mekanik tanah

adalah karakteristik tanah yang diukur dan diteliti di laboratorium dengan mengambil
23

sampel tanah di lapangan. Sifat fisik dan mekanik tanah yang dibutuhkan diantaranya

yaitu :

a. Berat Volume Tanah

Nilai berat volume (Db) bervariasi antar satu titik dengan titik yang lain

disebabkan oleh variasi kandungan bahan organik, tekstur tanah, kedalaman

perakaran, struktur tanah, dan lain-lain. Pada tanah yang mudah mengembang

dan mengerut, nilai berat volume berubah-ubah seiring dengan berubahnya

kadar air tanah (Grossman dan Reinsch, 2002). Berbagai metode dapat

digunakan dalam penentuan berat volume (Db), salah satunya adalah metode

ring (core). Metode ring ini tidak cocok untuk tanah yang berbatu-batu,

karena sulit memasukkan ring ke dalam tanah.

Prinsip dari metode ring ini yaitu suatu ring yang berbentuk silinder

dimasukkan ke dalam tanah dengan cara ditekan sampai kedalaman tertentu,

kemudian dibongkar dengan hati-hati agar volume tanah tidak berubah.

Sampel tanah yang diambil dengan ring dikeringkan di dalam oven selama 24

jam pada suhu 105 ºC, kemudian ditimbang dan dihitung berat volume

tanahnya. Satuan untuk berat adalah gram (gr) dan satuan untuk volume

adalah cm3 maka satuan untuk berat volume tanah adalah gr/cm3.

b. Kuat Geser Tanah

Kuat geser tanah adalah kemampuan tanah melawan tegangan geser

yang terbebani (gaya perlawanan yang dilakukan oleh butir-butir tanah

terhadap desakan atau tarikan). Jika suatu tanah tidak memiliki kekuatan

geser yang cukup untuk menahan tegangan geser yang terjadi, maka akan

timbul pergeseran tanah (keruntuhan pada tanah).


24

Besarnya kuat geser tanah dikontrol oleh kohesi (c) dan sudut geser

dalam antara partike-partikel penyusun tanah (φ). Besarnya nilai kohesi

tergantung pada kekuatan ikatan antara atom-atom atau molekul-molekul

penyusun partikel tanah. Sudut geser dalam merupakan nilai yang

mengekspresikan kekuatan friksi antara partikel-partikel penyusun tanah.

Pengujian kuat geser tanah ini bertujuan untuk mendapatkan nilai kohesi (c)

dan sudut geser dalam (φ), nilai kohesi dan sudut geser dalam ini digunakan

untuk mencari faktor keamanan lereng.

Tabel 1.3 Kekuatan Geser Relatif dari Tanah


Kuat Geser
No Keterangan Uraian di Lapangan
(Kpa)
1 >288 Keras Getas atau sangat kokoh
2 144-288 Sangat kaku Tidak dapat diremas dengan jari-jari tangan
Peremasan hanya mungkin jika jari-jari
3 72-144 Kaku
tangan ditekan dengan kuat
4 36-72 Kokoh Memungkinkan peremasan secara normal
5 18-36 Lunak Dapat dengan mudah diremas
6 <18 Sangat lunak Akan keluar dari sela jari pada saat diremas
Sumber : Siregar, 2015

1.4.5.2. Faktor Keamanan Lereng

Kestabilan lereng adalah lereng yang memiliki kemampuan (stabil) dalam

berbagai sisi dan tidak mengalami gangguan. Berdasarkan kajian pada gaya-gaya

mekanik yang bekerja pada lereng, gerakan massa tanah terjadi apabila terjadi

gangguan kestabilan lereng. Kestabilan pada suatu lereng ditentukan oleh hubungan

antara momen gaya yang melongsorkan atau meluncurkan (driving forces) yang akan

membuat massa tanah yang bergerak ke bawah dan momen yang menahan (resisting

forces) yang menyebabkan massa tanah tetap berda di tempatnya (Karnawati, 2005).

Gaya yang menjadikan lereng longsor adalah berat massa material tanah,

beban pada lereng, tekanan air dalam pori-pori tanah dan adanya getaran. Gaya-gaya
25

yang menahan sehingga lereng tidak longsor adalah kuat geser (shear strength) yaitu

nilai kohesi (C) dan sudut geser dalam (φ). Lereng dapat dianalisis melalui

perhitungan faktor keamanan lereng dengan melibatkan bentuk geometri lereng, data

sifat fisik dan mekanika tanah (Hardiyatmo, 2006). Analisis dapat dipertajam dengan

melibatkan aspek fisik lain secara regional yaitu melibatkan kondisi lingkungan

fisiknya baik berupa iklim, vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi geologi

daerah tersebut.

Menurut Karnawati (2005), kestabilan suatu lereng dapat dihitung dengan

cara membandingkan antara gaya yang menahan dan gaya yang melongsorkan atau

meluncurkan. Perbandingan tersebut diformulasikan sebagai berikut :

∑ 𝑔𝑔𝑔𝑔 𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ𝑎𝑎
𝐹𝐹 =
∑𝑔𝑔𝑔𝑔 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝

Faktor keamanan (FK) dibagi kedalam tiga kelompok yang ditinjau dari intensitas

kelongsorannya, yaitu :

Tabel 1.4 Nilai Faktor Keamanan dan Intensitas Longsor

Nilai Faktor Keamanan (FK) Kejadian atau Intensitas Longsor

FK < 1,07 Longsoran biasa terjadi/sering (kelas stabil)

FK antara 1,07 – 1,25 Longsoran pernah terjadi (kelas kritis)

FK > 1,25 Longsoran jarang terjadi (kelas stabil)


Sumber : Bowles, 1989

Lereng yang stabil memiliki nilai FK yang lebih dari 1,25 dan lereng yang

tidak stabil memiliki nilai FK kurang dari 1,07. Nilai faktor keamanan lereng

tersebut tergantung pada besarnya ketanahan geser dan tegangan geser, dimana

keduanya bekerja saling berlawanan arah disepanjang bidang gelincir. Bidang

gelincir tersebut terletak pada zona terlemah didalam tubuh lereng.


26

1.4.6. Metode Analisis Kestabilan Lereng

Metode irisan merupakan metode yang sangat sering digunakan dalam analisa

kestabilan lereng. Metode ini sangat berguna dan dapat digunakan dalam praktek

rekayasa serta membuthkan data yang relatif sedikit dibandingkan metode lainnya

seperti metode elemen, metode beda hingga atau metode diskrit. Beberapa metode

irisan yang umum digunakan untuk menganalisis kestabilan lereng diantaranya yaitu

metode Fellenius, Janbu, Spencer, Morgenstern Price, Bishop, dan lain sebagainya.

Pada penelitian ini digunakan metode Bishop untuk menganalisis tingkat kestabilan

lereng.

Semua metode irisan menyatakan kondisi kestabilan suatu lereng dalam suatu

indeks yang disebut faktor keamanan (FK), faktor keamanan diasumsikan

mempunyai nilai yang sama untuk setiap irisan. Kekuatan geser material yang

tersedia untuk menahan material sehingga tidak bergerak dinyatakan dalam kriteria

keruntuhan Mohr-Coulomb. Karakteristik dari metode irisan ini adalah geometri dari

bidang gelinciran harus ditentukan atau diasumsikan terlebih dahulu.

Penentuan bidang gelincir ni bertujuan untuk menyederhanakan perhitungan

bidang runtuh biasanya dianggap berbentuk sebuh busur lingkaran, gabungan busur

lingkaran dengan garis lurus, atau gabungan dari beberapa segmen garis lurus.

Apabila geometri dari bidang runtuh sudah ditentukan maka selanjutnya massa di

atas bidang runtuh dibagi ke dalam sejumlah irisan tertentu. Tujuan dari pembagian

tersebut, untuk mempertimbangkan terdapatnya variasi kekuatan geser dan tekanan

pori sepangjang bidang runtuh.


27

Gambar 1.7 Model Lereng dengan Bidang Runtuh Berbentuk Busur Lingkaran
(Hardiyatmo 2006)

1.4.6.1. Metode Bishop

Metode Bishop pada dasarnya sama dengan metode swedia, tetapi metode

bishop memperhitungkan gaya-gaya antar irisan yang ada. Metode ini

mengasumsikan bidang longsor berbentuk busur lingkaran. Metode Bishop yang

disederhanakan merupakan metode sangat populer dalam analisis kestabilan lereng

dikarenakan hasil perhitungan faktor keamanannya yang cukup teliti. Kesalahan

metode ini apabila dibandingkan dengan metode lainnya yang memenuhi semua

kondisi kesetimbangan seperti Metode Spencer atau Metode Kesetimbangan Batas

Umum, jarang lebih besar dari 5%. Metode ini sangat cocok digunakan untuk

pencarian secara otomatis bidang runtuh kritis yang berbentuk busur lingkaran untuk

mencari faktor keamanan minimum (Hardiyatmo, 2006).

1.4.6.2. Analisis Kestabilan Lereng Menggunakan Software

Dalam melakukan perhitungan faktor keamanan ini dapat dibantu dengan

menggunakan software-software yang dirancang dan diperuntukkan untuk analisis

kestabilan lereng salah satunya adalah Slope/W. Slope/W digunakan untuk

mempermudah dan juga mempercepat perhitungan nilai faktor keamanan dari suatu
28

lereng, software ini dapat secara otomatis menghitung nilai faktor keamanan

minimum dari suatu lereng berdasarkan input parameter dari lereng yang diperlukan

serta metode yang ingin digunakan dalam menghitung nilai faktor keamanan.

1.4.7. Pengelolaan Gerakan Massa Tanah

Pengelolaan gerakan massa tanah yang akan dilakukan adalah kerekayasaan

teknik. Rekayasa teknik yang akan dilakukan berfungsi untuk meningkatkan faktor

keamanan (FK) pada suatu lereng. Menurut Highway Research Board (1958),

penanganan longsoran ada tiga tipe pendekatan yang bisa diterapkan untuk menaikan

faktor keamanan yaitu :

- Menaikan gaya-gaya penahan (resisting force)

- Mengurangi gaya-gaya pendorong (driving force)

- Menghindari atau menghilangkan longsoran

Rekayasa teknis yang dapat digunakan pada lokasi yang didominasi oleh

perkebunan/kebun, dan sawah antara lain yaitu :

1. Merubah geometri lereng yang meliputi pelandaian kemiringan lereng. Membuat

kemiringan lereng lebih landai merupakan perbaikan lereng yang relatif murah,

namun hal ini bergantung dengan ruang bebas yang tersedia.

2. Perlindungan permukaan lereng yang bertujuan untuk mencegah infiltrasi oleh

air hujan, sehingga lereng dapat dipelihara dengan kondisi kering atau sebagian

kering. Perlindungan permukaan lereng meliputi penanaman tanaman dan

pasangan batu atau riprap.


29

Gambar 1.8 Model Rekayasa Vegetatif


(Sutrisno, 2011)

3. Pembuatan bangunan untuk stabilisasi biasanya dilakukan dengan cara

meletakkan massa tanah/batuan atau dinding penahan di kaki lereng.

Gambar 1.9 Model Rekayasa Dinding Penahan


(Hardiyatmo, 2006)

4. Mengontrol drainase dan rembesan yang meliputi drainase permukaan dan

drainase bawah permukaan.


30

Gambar 1.10 Model Rekayasa Teknik untuk Meningkatkan Stabilitas Lereng


(Armansyah, 2013)
BAB II

LINGKUP KEGIATAN PENELITIAN

2.1. Lingkup Kegiatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Donorati, Desa Donorati, Kecamatan

Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Daerah penelitian

merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan lereng agak miring hingga sangat

curam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerawanan gerakan massa

tanah di daerah penelitian, pengaruh sifat fisik-mekanik tanah terhadap nilai faktor

keamanan lereng di daerah penelitian dan memberikan rekayasa pengelolaan gerakan

massa tanah di daerah penelitian.

Kegiatan yang akan dilakukan yaitu kegiatan survey, pengumpulan data

lapangan (data primer) dan pengolahan data. Survei lapangan dilakukan untuk

mendukung pemetaan satuan batuan, struktur geologi dan pengukuran geometri

lereng, pemetaan jenis tanah, penggunaan lahan, tata air lereng, kemiringan lereng

dan juga pengukuran laju infiltrasi, ketebalan solum tanah dan tekstur tanah. Serta

dilakukan juga survei rona lingkungan untuk mengetahui kondisi lingkungan

sebenarnya di daerah penelitian.

Pemetaan satuan batuan untuk mengetahui satuan batuan di daerah penelitian.

Selain itu pemetaan dilakukan untuk mengetahui batas kontak batuan dan kedudukan

batuan yang digunakan untuk membuat peta satuan batuan. Pengukuran struktur

geologi dan pengukuran geometri lereng dilakukan untuk mendapatkan data-data

yang dibutuhkan untuk analisis stereografis. Pemetaan kemiringan lereng. Pemetaan

jenis tanah untuk mengetahui jenis tanah di lapangan, selain itu juga dilakukan

pengukuran ketebalan solum tanah dan tekstur tanah. Pemetaan penggunaan lahan
31
32

untuk mengetahui penggunaan lahan khususnya perkembangan permukiman di

daerah penelitian.

Pengujian laboraturium bertujuan untuk mengetahui nilai komponen yang

menjadi parameter data mekanika tanah (kohesi, berat jenis, berat isi dan sudut geser

dalam) untuk digunakan dalam menganalisis nilai faktor keamanan lereng

menggunakan metode Bishop. Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data

dan menganalisis hasil pengambilan data di lapangan yang dilakukan di studio

berupa pembuatan peta, analisis pengharkatan tiap parameter, analisis stereografis,

analisis nilai faktor keamanan lereng dan memberikan konsep pengelolaan yang

sesuai untuk daerah penelitian.

2.2. Komponen Lingkungan

Penelitian ini melibatkan komponen lingkungan yang dapat mempengaruhi

kestabilan lereng sehingga dapat mengakibatkan terjadinya gerakan massa tanah.

Komponen lingkungan yang diteliti meliputi curah hujan, tanah, batuan, struktur

geologi, kemiringan lereng, tata air, dan penggunaan lahan. Kriteria, indikator dan

asumsi dalam penentuan parameter dalam kegiatan penelitian dapat dilihat dalam

Tabel 2.1
Tabel 2.1 Kriteria, Indikator dan Asumsi Gerakan Massa Tanah

Parameter
No Kriteria Indikator Asumsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Curah hujan yang tinggi atau menengah tetapi
berlangsung lama berperan dalam memicu
terjadinya gerakan tanah. Air hujan meresap
1 Iklim Curah hujan kedalam lereng, sehingga tekanan air untuk
merenggangkan ikatan tanah meningkat pula
menyebabkan massa tanah terangkut oleh aliran
air dalam lereng.

Kekar yang miring searah dengan kemiringan


lereng seringkali menjadi bidang lemah tempat
meluncurnya massa tanah karena dapat
mengurangi gaya penahan gerakan, khususnya
Struktur Geologi
mengurangi kuat geser tanah. Selain itu bagian
bawah lereng lembah di sepanjang jalur sesar
umumnya lereng jenuh air sehingga rentan
Kondisi
2 gerakan tanah.
Geologi
Sifat dan komposisi batuan mempengaruhi
kestabilan batuan. Misalnya batuan yang bersifat
Sifat dan Komposisi tidak kompak biasanya mudah mengalami
Batuan pelapukan, sehingga tidak stabil dan jika terkena
sedikit pengaruh gerakan akan menyebabkan
terjadinya pergeseran

33
Lanjutan Tabel 2.1

Parameter
No Kriteria Indikator Asumsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lereng yang curam sangat berpotesi gerak tanah.


Semakin curam suatu lereng, semakin besar pula
gaya penggerak massa tanah penyusun lereng.
3 Bentuklahan Kemiringan lereng Namun tidak semua lereng yang curam rentan
akan gerakan tanah, komposisi tanah, jenis
tanah, struktur tanah penyusun lereng juga
berperan dalam pengontrol terjadi gerakan tanah

Ketebalan solum tanah yang lebih dalam


dibandingkan kedalaman akar pohon yang
diharapkan dapat mengikat tanah dan lereng
Ketebalan solum tanah
tidak berfungsi lagi,sehingga menyebabkan
ketidakstabilan dan berpotensi terjadi gerakan
tanah.
4 Kondisi tanah
Tekstur tanah yang memiliki ukuran butir kasar
akan mudah dalam meloloskan air apabila tanah

Tekstur tanah tersebut terletak diatas lapisan batuan/tanah


kedap air, maka dapat menjadi bidang gelincir
gerakan tanah.

34
Lanjutan Tabel 2.1

Parameter
No Kriteria Indikator Asumsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Infiltrasi air yang tinggi ke dalam tanah yang


memiliki lapisan bawah kedap air dapat
menyebabkan kenaikan muka air tanah dalam
Laju infiltrasi
lereng dan otomatis akan meningkatkan tekanan
air pori dalam tanah, sehingga mengakibatkan
pengurangan kuat geser tanah.

Pola penggunaan lahan yang tidak sesuai dan


tepat berperan penting dalam terjadinya gerakan
massa tanah, misalnya pengalihan fungsi lahan
5 Sosial Penggunaan lahan
yang tidak tepat dan penanaman tanaman yang
berakar serabut dan berat dapat memicu
terjadinya gerakan massa tanah

Keterangan * : 1 = Iklim; 2 = Bentuk Lahan; 3 = Tanah; 4 = Batuan; 5 = Struktur Geologi; 6 = Tata Air; 7 = Biotis; 8 = Sosial; 9 = Rekayasa

Sumber :

Hardiyatmo, Hary Christady. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Karnawati, Dwikorita. 2005. Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universiatas

Gadjah Mada

35
36

2.3. Kerangka Alur Pikir

Kerangka alur pikir dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Rumusan Masalah Latar Belakang


1. Bagaimana tingkat kerawanan gerakan massa tanah Berdasarkan berita media massa pada hari Sabtu 18
di daerah penelitian? Juni 2016 telah terjadi longsor di Desa Donorati, Kecamatan
2. Bagaimana nilai faktor keamanan (safety factor)
pada lereng yang telah mengalami gerakan massa Purworejo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Terjadinya
tanah di daerah penelitian serta tipe gerakan massa tanah longsor ini mengindikasikan bahwa Desa Donorati
tanahnya?
3. Bagaimana pengelolaan gerakan massa tanah yang khususnya Dusun Donorati rawan terhadap gerakan massa
tepat untuk daerah penelitian khususnya pada lereng tanah. Kerugian yang ditimbulkan oleh gerakan massa tidak
yang telah mengalami gerakan massa tanah?
hanya bersifat langsung, seperti rusaknya fasilitas umum,
lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan
Tujuan Penelitian
tetapi juga kerugian yang bersifat tidak langsung yang
1. Mengetahui tingkat kerawanan gerakan massa tanah
melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas
di daerah penelitian.
2. Mengetahui nilai faktor keamanan pada lereng yang ekonomi di daerah tersebut dan sekitarnya. Gerakan massa
telah mengalami gerakan massa tanah di daerah tanah umumnya cenderung meningkat seiring dengan
penelitian serta tipe gerakan massa tanahnya
meningkatnya aktivitas manusia, sehingga perlu dilakukan
3. Menentukan pengelolaan gerakan massa tanah yang
tepat untuk daerah penelitian khususnya pada lereng metode/teknik pengendalian yang tepat untuk
yang telah mengalami gerakan massa tanah meminimalisir terjadinya gerakan massa tanah.

Manfaat Penelitian
Kajian Teori
1. Sebagai informasi dan masukan untuk masyarakat
Gerakan massa tanah, tingkat kerawanan gerakan massa
Dusun Donorati, pemerintah daerah serta instansi terkait
tanah, tipe gerakan massa tanah, faktor keamanan
mengenai gerakan massa tanah dan arahan pengelolaan
lereng dan rekayasa teknik dalam pengelolaan gerakan
2. Dapat dijadikan informasi studi gerakan massa tanah
massa tanah.
dan bahan referensi untuk penelitian selanjutnya
3. Dapat dijadikan sebagai penerapan dan pengembangan
Metodologi Penelitian ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang geologi
1. Teknik Pengumpulan Data: Survey dan Pemetaan teknik
2. Teknik Pengambilan Sampel: Purposive Sampling
3. Teknik Analisis Data: Overlay Peta, Uji Parameter
Laboratorium, Analisis Stereografis dan Analisis Curah hujan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, struktur
Metode Bishop
geologi, batuan, laju infiltrasi, tanah (jenis tanah, tekstur
4. Teknik Evaluasi Data: Pengharkatan
5. Metode Penyusunan Konsep Pengelolaan Gerakan tanah dan ketebalan solum tanah, mekanik tanah).
Massa Tanah: Deskriptif Kualitatif

Hasil yang Diharapkan


1. Peta tingkat kerawanan gerakan massa tanah
2. Mengetahui nilai faktor keamanan pada lereng di daerah
penelitian
3. Rekayasa teknik dalam pengelolaan gerakan massa tanah
di daerah penelitian

Gambar 2.1 Kerangka Alur Pikir Penelitian


37

2.4. Batas Daerah Penelitian

Batas daerah penelitian mengikuti batas wilayah Dusun Donorati, batas

penelitian ini terdiri dari ruang batas ekosistem, batas sosial dan ruang batas

permasalahan. Daerah penelitian memiliki bentuklahan berupa lereng perbukitan dan

lembah dengan sebagian besar kemiringan lereng di daerah penelitian termasuk

dalam kategori curam, hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

terjadinya gerakan massa tanah. Selain itu penggunaan lahan berupa permukiman

yang berada di lereng dapat mengganggu kestabilan lereng, menambah beban pada

lereng dan jika terjadi gerakan massa tanah akan menimbulkan kerugian yang lebih

besar. Peta batas penelitian dapat dilihat pada Peta 2.1

2.4.1. Batas Ekologi

Daerah penelitian terletak diantara bukit dan dilewati oleh Sungai Gintung.

Batas ekologi wilayah penelitian dibatasi berdasarkan sungai dikarenakan air sungai

yang mengalir dari arah tenggara ke barat laut ini dapat menggerus bagian kaki

lereng, sehingga lama-kelamaan dapat mengakibatkan lereng menjadi curam dan

tidak stabil sehingga rawan terjadinya gerakan massa tanah.

2.4.2. Batas Sosial

Batas sosial di daerah penelitian dibatasi berdasarkan permukiman warga. Hal

ini dikarenakan permukiman yang berada di lereng dapat mengganggu kestabilan

lereng tersebut, misalnya pemotongan lereng untuk pembangunan rumah yang dapat

mengubah kemiringan lereng yang awalnya tidak curam menjadi curam dan adanya

bangunan dapat menambah beban pada lereng sehingga menjadikan lereng rawan
38

terhadap gerakan massa tanah. Selain itu jika permukiman warga terkena gerakan

massa tanah dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.

2.4.3. Batas Permasalahan

Batas permasalahan merupakan batas yang didalamnya berisikan kondisi atau

indikasi permasalahan pada daerah penelitian. Batas permasalahan ini mencakup

seluruh wilayah Dusun Donorati. Daerah penelitian merupakan daerah dengan

karakteristik wilayah berupa lereng perbukitan dan lembah dengan sebagian besar

wilayah memiliki kemiringin lereng yang curam. Hal ini merupakan salah satu faktor

yang dapat menyebabkan terjadinya gerakan massa tanah dikarenakan lereng yang

curam memiliki gaya penggerak massa tanah yang besar. Selain itu daerah penelitian

juga tersusun atas batuan andesit dan breksi andesit yang bersifat kedap air sehingga

dapat menjadi bidang gelincir untuk terjadinya gerakan massa tanah.


39
BAB III

CARA PENELITIAN

3.1 Jenis Metode Penelitian dan Parameter Yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan

pemetaan lapangan, uji laboratorium, overlay peta tematik, pengharkatan setiap

parameter yang digunakan, analisis stereografis dan analisis metode Bishop. Metode

survei lapangan yaitu metode untuk memperoleh data lapangan dengan cara

pengamatan, pengukuran dan pencatatan secara sistematik terhadap fenomena yang

diselidiki.

Survei lapangan bertujuan untuk mendukung pemetaan dalam membuat peta

tematik yang dibutuhkan. Survei yang dilakukan adalah pengukuran posisi batuan,

pengukuran kemiringan lereng, pengukuran kekar dan geometri lereng pada lereng-

lereng yang telah megalami gerakan massa tanah, pengukuran ketebalan solum

tanah, penyelidikan tekstur tanah, dan pengukuran laju infiltrasi. Selain itu dilakukan

juga pengamatan penggunaan lahan, pengamatan tingkat pelapukan batuan serta

pengamatan kondisi lingkungan daerah penelitian.

Uji laboratorium yang dilakukan adalah uji sifat fisik dan mekanik tanah

berupa uji berat isi tanah dan uji kuat geser. Pengujian kuat geser dilakukan dengan

cara uji triaksial dan hasil dari uji kuat geser ini berupa data kohesi dan sudut geser

dalam. Pengujian ini dilakukan di laboratorium mekanika tanah. Hasil yang

didapatkan dari uji laboratorium ini digunakan untuk analisis faktor keamanan lereng

(safety factor) dan stereografis.

40
41

Analisis data dengan cara tumpang susun (overlay) peta-peta tematik dan

pengharkatan dilakukan berdasarkan beberapa parameter yaitu kemiringan lereng,

penggunaan lahan, tekstur tanah, kedalaman solum tanah, tingkat pelapukan batuan,

curah hujan dan laju infiltrasi. Overlay dan pengharkatan ini bertujuan untuk

membuat peta tingkat kerawanan gerakan massa tanah, tingkat kerawanan gerakan

massa tanah dibagi menjadi empat kelas yaitu sangat rendah, rendah, menengah dan

tinggi.

Metode bishop dilakukan untuk mengetahui nilai faktor keamanan pada lereng

yang telah mengalami gerakan massa tanah, dengan cara menganalisis hasil data

pengukuran geometri lereng, kemiringan lereng serta data hasil uji laboratorium

berupa berat isi tanah, kohesi dan sudut geser dalam. Sedangkan metode stereografis

digunakan untuk menganalisis data hasil pengukuran kekar, kemiringan lereng, dan

nilai sudut geser dalam yang didapatkan dari uji laboratorium, yang nantinya hasil

dari analisis stereografis ini dapat diketahui tipe longsoran dan arah longsorannya.

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengumpulan data primer

dan data sekunder. Data primer merupakan data pengamatan dan pengukuran secara

langsung dilapangan. Data primer yang dihasilkan meliputi hasil laboratorium, hasil

pengukuran dan observasi lapangan. Pengumpulan data sekunder meliputi peta-peta

dasar (peta geologi lembar Purworejo, peta jenis tanah Purworejo, peta citra dan peta

RBI lembar Purworejo), data curah hujan dari tahun 2007 sampai tahun 2016 dan

data demografi Desa Donorati tahun 2016. Data sekunder yang berupa peta geologi,

peta tanah, dan peta penggunaan lahan selanjutnya di cross check di lapangan untuk

disesuaikan dengan kondisi aslinya untuk dijadikan data primer. Parameter yang

digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1


42

Tabel 3.1 Parameter yang Digunakan dalam Penelitian

No Parameter Kriteria dalam Penelitian

1 Iklim - Curah Hujan


- Kemiringan lereng
2 Bentuklahan
- Geometri Lereng
- Jenis batuan
3 Batuan
- Sifat batuan
- Kekar
4 Struktur geologi
- Kedudukan batuan
5 Penggunaan lahan - Penggunaan lahan

- Jenis Tanah
- Tekstur tanah
- Ketebalan solum tanah
6 Tanah - Berat isi
- Sudut geser dalam
- Kohesi
- Laju Infiltrasi

3.2 Teknik Sampling dan Penentuan Lokasi Sampling

Penelitian ini menggunakan teknik Purpossive sampling. Purpossive sampling

adalah teknik pengambilan sampel secara sesuai dengan persyaratan sampel yang

diperlukan, sampel yang diambil tidak secara acak tapi ditentukan oleh peneliti.

Purpossive sampling digunakan dalam menentukan titik sampling yang dilakukan

dengan mengambil sampel sesuai dengan persyaratan baik berupa sifat, karakteristik

dan ciri sampel yang mencerminkan populasi sampel tersebut.

Pengambilan sampel tanah dilakukan pada lereng-lereng yang telah mengalami

gerakan massa tanah. Pengambilan sampel tanah ini berdasarkan perlapisan pada

lereng yaitu bagian atas lereng, bagian tengah dan bagian bawah atau kaki lereng, hal

ini diasumsikan telah mewakili kondisi lereng. Pengambilan sampel tanah dilakukan

secara undisturb agar kondisi tanah yang diujikan hampir menyamai kondisi aslinya

di lapangan. Pengambilan sampel tanah dilakukan menggunakan pipa paralon.


43

Sampel yang diambil di lapangan akan dilakukan uji laboratorium untuk mengetahui

sifat fisik-mekanik tanah. Penentuan lokasi pengukuran infiltrasi dilakukan

berdasaran jenis tanah, satuan batuan dan penggunaan lahan di daerah penelitian

sedangkan penentuan lokasi pengukuran kedalaman solum tanah dan tekstur tanah

dilakukan berdasarkan jenis tanah dan satuan batuan.

3.3 Perlengkapan Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan bantuan perlengkapan atau alat yang

digunakan untuk mempermudah kerja ataupun penyusunan penelitian. Perlengkapan

penelitian berupa bahan dan alat yang digunakan saat penelitian dapat dilihat pada

tabel dibawah ini.

Tabel 3.2 Perlengkapan Penelitian, Kegunaan dan Hasil yang didapat


No Perlengkapan Penelitian Kegunaan Hasil
Bahan
a. Peta RBI lembar Purworejo Tafsiran kemiringan lereng
Peta Topografi
skala 1: 25.000 dan geologi
b. Peta Geologi lembar Mengetahui keadaan dan
Peta Satuan Batuan
Yogyakarta skala 1: 100.000 informasi geologi suatu daerah
1
Untuk mengetahui
Peta Penggunaan
c. Citra Satelit (Google Earth) penggunaan lahan pada suatu
Lahan
wilayah
d. Peta Jenis Tanah lembar Jawa Mengetahui penyebaran jenis
Peta Jenis Tanah
Tengah skala 1: 250.000 tanah
2 Peralatan Lapangan
Data pembuatan peta
Mengukur strike/dip dan tematik (kemiringan
a. Kompas geologi
kemiringan lereng lereng, geologi dan
struktur geologi)
Untuk mengukur ketebalan Data ketebalan solum
b. Bor Tanah dan Meteran
solum tanah tanah
Data koordinat dan
Untuk menentukan lokasi atau
c. GPS elevasi lokasi
posisi geografis
pengamatan
Pengambilan sampel tanah Sampel untuk uji
d. 6 unit paralon
undisturb laboratorium
e. Ring Infiltrometer Mengukur laju infiltrasi Data laju infiltrasi
f. Alat tulis Pencatatan data lapangan Informasi data tertulis
Memvisualkan gambar
g. Kamera Foto keadaan lapangan
dilapangan
Pemerian batuan dan sebagai
h. Palu geologi Sampling batuan
pembanding ukuran foto
44

Berikut foto-foto peralatan lapangan yang digunakan dalam penelitian ini :

A B

C D

E F

Gambar 3.1 Perlengkapan Penelitian


A) Bor tanah, B) Double Ring Infiltrometer, C) GPS, D) Meteran, E) Kompas geologi, F) Palu
(Foto Penulis, 2017)

3.4. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian dilakukan berdasarkan tahapan kegiatan yang diatur dan

disusun dalam diagram alir yang tersaji pada Gambar 3.2 di bawah ini:
45

Studi Pustaka Data Sekunder

Peta Geologi Peta Jenis Peta RBI skala Data Kejadian Data Curah
Regional skala Tanah skala 1: 25.000 Bencana Gerakan Hujan
Tahap Persiapan

1: 100.000 1: 250.000 Massa Tanah


Peta Topografi
skala 1: 25.000

Peta Penggunaan Peta Kemiringan


Lahan skala Lereng skala
1: 25.000 1: 25.000
Tahap Lapangan

Survei dan Survei dan Pemetaan Survei dan Survei dan Survei dan pemetaan
Pemetaan Satuan Jenis Tanah, Pemetaan Pemetaan gerakan massa tanah dan
Batuan dan Pengukuran Ketebalan Penggunaan Kemiringan Lereng pengukuran kekar di lereng
Tingkat Pelapukan solum tanah dan Lahan yang telah mengalami
Batuan Tekstur Tanah gerakan massa tanah
Peta Kemiringan
Peta Penggunaan
Lereng skala
Peta Tingkat Peta Satuan Lahan skala Pengambilan sampel
1: 8.000
Pelapukan Batuan skala 1: 8.000 tanah pada lereng yang
Batuan skala 1: 8.000 telah mengalami
1: 8.000 gerakan massa tanah

Pengukuran Infiltrasi

Peta Laju Infiltrasi


skala 1: 8.000
Laboratorium

- Uji berat isi tanah


Tahap

- Uji kuat geser tanah (kohesi


dan sudut geser dalam)

Overlay dan Pengharkatan Analisis Curah Hujan


Tahap Analisis Data

Analisis Kestabilan Analisis


Peta Tingkat Kerawanan Gerakan Lereng (Metode Bishop) Stereografis

Keterangan: Massa Tanah skala 1: 8000


Jenis Gerakan Massa
: Input
Tanah :
: Proses Rekayasa Pengelolaan Faktor Keamanan Lereng
- Busur - Baji
Gerakan Massa Tanah (FK)
: Output - Bidang - Runtuhan

Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian


46

3.4.1. Tahap Persiapan

a. Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari literatur, jurnal ilmiah, buku

maupun pustaka lainnya yang berkaitan dengan judul dan daerah penelitian

seperti laporan penyelidikan dan catatan hasil penelitian yang terkait dengan

gerakan massa tanah, metode-metode tentang perhitungan kestabilan lereng

serta metode lainnya yang digunakan dalam penelitian. Studi pustaka ini

bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi daerah penelitian

dan metode yang akan digunakan dalam analisis dan evaluasi.

b. Pengumpulan data sekunder yang terkait dengan daerah penelitian yang

diperoleh dari Instansi Pemerintahan yaitu Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah Kabupaten Purworejo, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air dan Balai

Desa Donorati. Data sekunder yang dikumpulkan berupa data curah hujan,

peta geologi, peta tanah, peta rupa bumi, data demografi Desa Donorati dan

data kejadian tanah longsor yang pernah terjadi di Dusun Donorati.

c. Pembuatan peta tentatif merupakan peta semantara yang akan dicek kembali

di lapangan untuk menyempurnakan peta. Peta tentatif ini berasal dari data

sekunder yang telah dikumpulkan seperti peta rupa bumi, peta geologi dan

peta tanah.

d. Administrasi dilakukan untuk mendapatkan perizinan dalam melaksanakan

penelitian dan mendapatkan data-data sekunder yang dibutuhkan untuk

penelitian. Peneliti meminta perizinan dengan berbagai pihak yang terkait,

baik di lingkungan Jurusan Teknik Lingkungan UPN “Veteran” Yogyakarta,

pemerintah daerah, dan masyarakat sekitar daerah penelitian.


47

Tabel 3.3 Parameter, Jenis Data, dan Sumber Data


Jenis/Sifat Instansi
No Parameter Unsur Parameter Sumber Data
Data Terkait
Balai PSDA
Data curah hujan
1 Iklim Sekunder Curah hujan Bogowonto
Stasiun Kedungputri
Luk Ulo
BAPPEDA
Peta RBI skala
Sekunder - Topografi Kabupaten
1:25.000
2 Bentuklahan Purworejo
- Kemiringan lereng
Primer Pemetaan lapangan -
- Geometri lereng
Peta Geologi
BAPPEDA
Regional Lembar
- Jenis batuan Kabupaten
Yogyakarta skala
- Struktur geologi Purworejo
3 Batuan Primer 1:100.000
- Tingkat pelapukan Pemetaan lapanngan -
batuan
Pengukuran kekar dan
-
kedudukan batuan
BAPPEDA
Peta Tanah Regional
Kabupaten
- Jenis tanah skala 1:100.000
Purworejo
- Tekstur tanah
- Ketebalan tanah Pemetaan lapangan -
4 Tanah Primer
- Berat isi Hasil laboratorium -
- Kohesi
- Sudut geser dalam Pengukuran tekstur
dan ketebalan solum -
tanah
BAPPEDA
Peta RBI skala
Kabupaten
Penggunaan Jenis penggunaan 1:25.000
5 Primer Purworejo
lahan lahan
Pengamatan di
-
lapangan
6 Tata air Primer Laju Infiltrasi Pengukuran Infiltrasi -

Sumber: Penulis, 2017

3.4.2. Tahap Lapangan

Tahap lapangan berupa pengumpulan data primer yang dilakukan dengan cara

pengamatan, pengukuran, pencatatan dan ploting data lapangan pada peta topografi.

Tahap lapangan meliputi pemetaan satuan batuan, pemetaan jenis tanah, pemetaan

kemiringan lereng, pemetaan penggunaan lahan, pengukuran struktur geologi,

pengukuran tekstur dan ketebalan solum tanah, pengukuran infiltrasi serta

pengambilan sampel tanah. Lokasi kegiatan di lapangan dapat dilihat pada Peta 3.1
48
49

a. Pemetaan satuan batuan digunakan untuk mengetahui sebaran jenis batuan di

daerah penelitian. Pemetaan satuan batuan meliputi pengamatan terhadap

warna, struktur, tekstur, komposisi mineral, deskripsi nama batuan serta

pengamatan tingkat pelapukan batuan. Pengukuran struktur geologi digunakan

untuk mendapatkan data kekar dan kedudukan batuan yang dibutuhkan untuk

analisis stereografis. Lokasi pemetaan satuan batuan dilakukan menyebar di

daerah penelitian, sedangkan pengukuran kekar dilakukan pada lereng-lereng

yang telah mengalami gerakan massa tanah dan masih dianggap rawan akan

terjadinya gerakan massa tanah lanjutan.

b. Survei dan pemetaan kemiringan lereng mengacu pada peta topografi

Kabupaten Purworejo skala 1:25.000 dengan membuat klasifikasi kelas lereng

berdasarkan kerapatan kontur. Pengukuran kemiringan lereng di lapangan

dilakukan dengan menggunakan kompas geologi. Hasil pengukuran

kemiringan lereng tersebut selanjutnya diklasifikasikan dan disesuaikan dengan

hasil interpretasi peta mengacu pada klasifikasi Van Zuidam (1985)

c. Survei dan pemetaan jenis tanah dilakukan untuk mengetahui jenis tanah di

daerah penelitian. Survei dan pemetaan jenis tanah ini mengacu pada peta

tanah regional lembar Jawa Tengah skala 1:100.000 dimana hasil interpretasi

peta tanah ini selanjutnya dilakukan survei dan pemetaan langsung di lapangan

untuk mengamati jenis tanah, warna tanah, serta tekstur tanah.Jenis tanah ini

berkaitan dengan proses infiltrasi, karena masing-masing jenis tanah

mempunyai laju infiltrasi yang berbeda-beda.

d. Pengukuran ketebalan solum tanah diperlukan untuk membantu dalam

pengamatan jenis tanah dan untuk mengetahui usia tanah tersebut tergolong

muda atau tua. Pengukuran ketebalan solum tanah dilakukan menggunakan bor
50

tanah. Sedangkan pengujian tekstur tanah dilakukan dengan skala lapangan,

pengujian tekstur tanah ini bertujuan untuk membantu dalam pengamatan

kondisi tanah. Pengujian tekstur tanah di lapangan tersebut dilakukan

berdasarkan diagram alir analisis tekstur tanah menurut Notohadiprawiro

(1983) (Lihat Lampiran 1).

Gambar 3.3 Pengujian Tekstur Tanah pada LP 1


(Arah kamera menghadap arah timur laut, Foto Penulis 2017)

e. Survei dan pemetaan penggunaan lahan mengacu pada peta penggunaan lahan

skala 1:25.000 yang merupakan hasil interpretasi dari peta Rupa Bumi

Indonesia lembar Purworejo skala 1:25.000, yang selanjutnya dilakukan

pengecekan langsung di lapangan dan menandai daerah-daerah yang telah

mengalami perubahan pada peta dengan menggunakan GPS. Daerah yang telah

mengalami perubahan tersebut selanjutnya dibatasi dan dilakukan ploting pada

peta. Peta penggunaan lahan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi rona

lingkungan daerah penelitian yang akan dijadikan acuan sebagai evaluasi hasil

penelitian dan arahan pengelolaan.

f. Pengambilan sampel tanah ini dilakukan untuk pengujian sifat fisik dan

mekanik tanah dimana pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pada lereng


51

yang telah mengalami gerakan massa tanah dan dianggap masih rawan untuk

bergerak. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara undisturb (tidak

terganggu) dengan menggunakan pipa paralon yang berdiameter 8 cm dan

panjang 20 cm dan ditutup menggunakan doop. Pengambilan sampel secara

undisturb ini dilakukan agara menjaga sifat-sifat asli tanah seperti kadar air dan

komposisi dari tanah tersebut.

Gambar 3.4 Pengambilan Sampel Tanah


(Arah kamera menghadap barat, Foto Penulis 2017)

g. Pengukuran infiltrasi ini dilakukan dengan menggunakan alat double ring

infiltrometer yang terdiri dari dua ring dimana ring bagian dalam berdiameter

20 cm dan ring bagian luar berdiameter 50 cm. Double ring infiltrometer

dimasukkan ke dalam tanah, lalu diisikan air sampai ketinggian tertentu lalu

dibaca skala penurunan air setiap 2 menit sampai penurunan air dalam ring

bagian dalam konstan. Pengukuran infiltrasi ini dilakukan berdasarkan

penggunaan lahan dan jenis tanah di daerah penelitian. Pengukuran infiltrasi ini

bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan tanah untuk menyerap

air, dikarenakan jika suatu daerah memiliki kemampuan infiltrasi yang cukup

tinggi maka jumlah air yang masuk ke dalam tanahpun akan banyak dan dapat
52

menyebabkan tanah menjadi jenuh air sehingga beban tanah bertambah berat

dan mudah untuk mengalami gerakan massa tanah.

Gambar 3.5 Pengukuran Infiltrasi pada LP 2


(Arah kamera menghadap ke utara, Foto Penulis 2017)

3.4.3. Tahap Laboratorium

Tahap laboratorium dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data dari

parameter tanah (sifat fisik-mekanik) yaitu berat isi, kadar air, dan uji kuat geser

dalam. Pengujian kuat geser dalam dilakukan dengan cara uji triaksial. Pada

pengujian triaksial, sampel tanah dibebani pada ketiga sumbunya (sumbu Cartesius)

dengan beban tekanan σ1, σ2, dan σ3. Pengujian ini bertujuan untuk mensimulasikan

kondisi yang sebenarnya di lapangan yaitu suatu elemen tanah menerima beban tekan

dari atas yang terdiri dari beban tanah diatasnya atau overburden pressure dan beban

lainnya (σ1) serta tekanan tanah dari arah radial yang mengekang (atau meghimpit)

elemen tanah tersebut (σ2 dan σ3).

Uji triaksial tersebut dilaksanakan dengan cara unconsolidated undrained

(UU). Pengujian dengan cara unconsolidated undrained (UU) adalah uji cepat (quick

test) yang mula-mula sampel diberi tegangan kekang, kemudian diberi tegangan

normal melalui tegangan deviator sampai terjadi keruntuhan. Selama pengujian air
53

tidak diizinkan keluar dari benda uji, akibatnya beban normal tidak ditransfer

kebutiran tanah dan terjadi kelebihan tekanan air pori (Herman, 2011).

Pengujian unconsolidated undrained ini dilakukan untuk mensimulasikan

kondisi di lapangan apabila penambahan/pemberian beban relatif cepat sehingga

lapisan tanah belum sempat terkonsolidasi (air di dalam pori tanah belum mengalir

ke luar selama proses pemberian beban). Uji laboratorium ini dilakukan di

Laboratorium Mekanika Tanah Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas

Teknik Universitas Gadjah Mada.

3.4.4. Tahap Analisis Data

3.4.4.1. Kerja untuk Sajian Rona Lingkungan

Data rona lingkungan yang berupa data sekunder akan disempurnakan

dengan menggunakan data primer yang didapatkan dengan cara pengamatan dan

pengukuran di lapangan. Pada tahap ini dilakukan penyempurnaan pada peta-peta

yang dibuat pada tahap sebelum lapangan yaitu peta satuan batuan, peta kemiringan

lereng, peta penggunaan lahan, dan peta tanah. Peta-peta tersebut akan dianalisis

untuk menentukan tingkat kerawanan gerakan massa tanah di daerah penelitian.

3.4.4.2. Kerja untuk Sajian Evaluasi Hasil Penelitian

Data-data primer yang sudah didapatkan dari kegiatan pengamatan di

lapangan dan data sekunder kemudian dilakukan analisis untuk dievaluasi. Evaluasi

penelitian yang dilakukan sebagai berikut:

a. Analisis Curah Hujan

Data curah hujan dianalisis secara kuantitatif untuk menghitung data curah

hujan dalam kurun waktu 10 tahun agar mendapatkan rata-rata curah hujan

tahunan dan bulan basah serat bulan kering serta untuk mengetahui tipe iklim
54

daerah penelitian. Data curah hujan yang digunakan berasal dari Stasiun

Kedungputri yang merupakan stasiun terdekat dari daerah penelitian. Data curah

hujan yang digunakan dalam kurun waktu 10 tahun ini yaitu dari tahun 2007

sampai tahun 2016.

b. Analisis Tingkat Kerawanan Gerakan Massa Tanah

Analisis tingkat kerawanan gerakan massa tanah ditentukan berdasarkan

hasil pengharkatan parameter-parameter penentu tingkat kerawanan gerakan

massa tanah yang dianalisis berdasarkan karakteristik satuan medan. Berdasarkan

hasil pengharkatan tersebut, tingkat kerawanan gerakan massa tanah dibagi

menjadi empat kelas atau zona yaitu sangat rendah, rendah, menengah dan tinggi.

Evaluasi karakteristik satuan medan dilakukan dengan menggunakan

pengharkatan setiap parameter yang dijabarkan sebagai berikut:

- Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya gerakan

massa tanah, curah hujan yang besar akan mengakibatkan air yang

terinfiltrasi kedalam tanah akan meningkat sehingga tanah akan mudah

jenuh akan air. Tanah yang jenuh akan air dapat menambah beban lereng

dan menurunkan kuat geser tanah sehingga rawan terjadinya gerakan massa

tanah. Berikut klasifikasi curah hujan yang disajikan pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.4 Klasifikasi Curah Hujan Tahunan


No Curah Hujan (mm/tahun) Kelas Harkat
1 < 1000 Sangat rendah 1
2 1000 – 2000 Rendah 2
3 2000 – 2500 Sedang 3
4 2500 – 3000 Tinggi 4
5 > 3000 Sangat tinggi 5
Sumber: Hana Sugiatsu, 2013
55

- Penggunaan Lahan

Klasfikasi untuk parameter penggunaan lahan didasarkan atas tingkat

ancaman yang ditimbulkan dari gerakan massa tanah. Penggunaan lahan

berupa permukiman memiliki tingkat ancaman yang tinggi dikarenakan jika

terjadi gerakan massa tanah di sekitar wilayah permukiman maka akan lebih

beresiko adanya korban jiwa serta kerugian material yang lebih besar. Maka

dari itu, berdasarkan kondisi aktual penggunaan lahan di daerah penelitian,

dapat diberikan harkat sebagai berikut:

Tabel 3.5 Klasfikasi Penggunaan Lahan

No Kategori Harkat

1 Hutan 1

2 Perkebunan, kebun campuran 2

3 Tegalan dan semak/belukar 3

4 Sawah 4

5 Permukiman 5

Sumber: PSBA UGM, 2001

- Kemiringan Lereng

Semakin curam kemiringan suatu lereng maka akan semakin berpotensi

untuk mengalami gerakan massa tanah dikarenakan gaya penggerak massa

tanah atau batuan penyusun lereng juga akan semakin besar, sehingga dapat

mengakibatkan ketidakstabilan lereng. Pemberian harkat untuk kemiringan

lereng dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi berikut:

Tabel 3.6 Klasifikasi Kemiringan Lereng


Sudut Kemiringan Kategori Kemiringan
No Harkat
(derajat) Lereng

1 0–8 Datar – landai 1


2 8 – 15 Agak miring 2
56

Lanjutan Tabel 3.6


Sudut Kemiringan Kategori Kemiringan
No Harkat
(derajat) Lereng

3 15 – 25 Miring 3
4 25 – 45 Curam 4
5 > 45 Sangat curam 5

Sumber : Zuidam dan Cancelado (1985) dalam PSBA UGM (2004)

- Klasifikasi laju infiltrasi

Analisis hasil pengukuran untuk mendapatkan nilai laju infiltrasinya

dilakukan dengan menggunakan persamaan Horton (1939) dalam Renata,

Andi (2015) yaitu:

ft = fc + (f0 – f c) e -kt

Keterangan:

ft = laju infiltrasi pada saat ke t (cm/menit)

f0 = laju infiltrasi awal (cm/menit)

fc = laju infiltrasi konstan, yang tergantung pada tipe tanah (cm/menit)

k = konstanta yang menunjukkan laju pengurangan laju infiltrasi

t = waktu (menit)

e = bilangan natural = 2,78.

Laju infiltrasi ini berkaitan dengan kemampuan tanah dalam meresap

air sehingga semakin lambat laju infiltrasi menunjukkan bahwa tanah tidak

mudah meresap air, hal ini dapat disebabkan karena tanah memiliki pori-

pori yang kecil atau rapat sehingga air sulit untuk mengalir masuk ke dalam

tanah. Tanah yang bersifat seperti ini dapat menyebabkan air akan lama

tertampung didalam tanah, yang jika lama kelamaan dapat mengakibatkan

tanah menjadi jenuh air dan menambah beban pada lereng.


57

Tabel 3.7 Klasifikasi Laju Infiltrasi

No Laju Infiltrasi (cm/jam) Kriteria Harkat


1 > 25 Sangat cepat 1
2 6,26 – 25 Cepat 2
3 2,1 – 6,25 Sedang 3
4 0,126 – 2,0 Lambat 4
5 < 0,125 Sangat lambat 5

Sumber: PSBA UGM, 2004

- Klasifikasi tingkat pelapukan batuan

Batuan yang lapuk memiliki kondisi yang tidak stabil dikarenakan

batuan menjadi tidak kompak dan material batuan tidak saling mengikat

sehingga menyebabkan mudahnya terjadi pergerakan pada lereng.

Pemberian harkat tingkat pelapukan batuan dapat dilakukan berdasarkan

klasifikasi berikut:

Tabel 3.8 Klasifikasi Tingkat Pelapukan Batuan


No Deskripsi Kategori Harkat
Batuan belum berubah warna atau hanya
mengalami sedikit perubahan warna, dimana Pelapukan
1 1
perubahan warna baru terjadi dipermukaan ringan
batuan

Batuan mengalami perubahan warna dan


pelapukan, dimana perubahan warna lebih besar Pelapukan
2 2
dan telah menembus bagian dalam batuan serta sedang
sebagian massa batuan menjadi tanah

Batuan mengalami perubahan warna dan lebih


dari setengah batuan berubah menjadi tanah. Pelapukan
3 3
Perubahan warna telah menembus batuan cukup lanjut
dalam namun batuan asal masih ada

Seluruh massa batuan terdekomposisi dan


Pelapukan
4 luarnya berubah menjadi tanah, tetapi susunan 4
sangat lanjut
batuan asal masih bertahan.
Batuan berubah sempurna menjadi tanah dengan
Pelapukan
5 susunan jaringan asal telah rusak, tetapi tanah 5
Sempurna
yang dihasilkan tidak terangkat

Sumber: New Zealand Geomchanics Society (1988) dalam PSBA UGM, 2004
58

- Klasifikasi ketebalan solum tanah

Tanah yang bersolum tebal rawan akan terjadinya gerakan massa tanah

dikarenakan tanah ini dapat menampung jumlah air yang besar, sehingga

besarnya jumlah air yang tertampung dalam tanah dapat menyebabkan

penambahan beban massa tanah. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan,

maka ketebalan solum tanah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 3.9 Klasifikasi Ketebalan Solum Tanah


No Ketebalan Solum Tanah (cm) Kriteria Harkat

1 0 – < 30 Sangat tipis 1

2 30 – < 60 Tipis 2

3 60 – < 90 Sedang 3

4 90 – < 150 Tebal 4

5 > 150 Sangat tebal 5


-

- Sumber: FAO Guidelines For Soils Profils Description (1986) dalam PSBA UGM, 2004

- Klasifikasi tekstur tanah

Tanah yang memiliki tekstur lempung lebih rawan terjadi gerakan

massa tanah dikarenakan tanah tidak mudah meloloskan air, sehingga air

yang masuk ke dalam tanah dapat tertampung dan menambah beban pada

lereng. Berdasarkan hasil identifikasi tekstur tanah di lapangan, maka

tekstur tanah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 3.10 Klasifikasi Tekstur Tanah


No Tekstur Kriteria Harkat
Tanah bertekstur kasar, meliputi: tekstur
1 Sangat baik 1
pasiran dan pasir geluhan

Tanah bertekstur agak kasar, meliputi: tekstur


2 Baik 2
geluh pasiran dan geluh pasiran sangat halus

Tanah bertekstur sedang, meliputi: tekstur


3 geluh pasiran sangat halus, geluh, geluh Sedang 3
debuan, dan abu
59

Lanjutan Tabel 3.10


No Tekstur Kriteria Harkat
Tanah bertekstur agak halus, meliputi: tekstur
4 geluh lempungan, geluh lempung pasiran, dan Jelek 4
geluh lempung debuan

Tanah bertekstur halus, meliputi: tekstur


Sangat jelek
5 lempungan berpasir, lempung debu dan 5
lempung

Sumber: Darmawijaya (1990) dalam Widodo, 2009

Penilaian akhir dari pengharkatan ini dilakukan dengan mengurangi jumlah

nilai maksimal dengan jumlah nilai minimal pengharkatan dari setiap parameter.

Hasil pengurangan dibagi dengan jumlah kelas yang diinginkan, maka akan

dihasilkan interval kelas kerawanan. Berikut rumus perhitungan untuk interval

kelas kerawanan:

∑𝑎 −∑𝑏
𝑖=
𝑛

Keterangan:

𝑖 = Interval kelas kerawanan 𝑛 = Jumlah kelas

∑𝑎 = Jumlah nilai maksimal

∑𝑏 = Jumlah nilai minimal

Penilaian dari pengharkatan ini dapat dilihat dibawah ini.

Tabel 3.11 Pengharkatan Parameter Pengaruh Gerakan Massa Tanah


Harkat
No Parameter
Max Min
1 Curah hujan 5 1
2 Penggunaan lahan 5 1
3 Kemiringan lereng 5 1
4 Infiltrasi 5 1
5 Tingkat pelapukan batuan 5 1
6 Tekstur tanah 5 1
7 Ketebalan solum tanah 5 1
Jumlah 35 7
Sumber: Analisis studio, 2017
60

Sehingga nilai interval kelas kerawanan yaitu:

35 − 7
𝑖= = 7
4

Setelah didapatkan interval kelas kerawanan, maka ditentukan kelas kerawanan

gerakan massa tanah sebagaimana disajikan pada Tabel 3.13 dibawah ini.

Tabel 3.12 Kelas Kerawanan Gerakan Massa Tanah

No Interval Total Skor Kriteria Kerawanan Kelas

1 7 – 14 Sangat Rendah 1

2 15 – 21 Rendah 2

3 22 – 28 Menengah 3

4 29 – 35 Tinggi 4

c. Metode Bishop Disederhanakan (Simplified Bishop Method)

Diantara metode irisan lainnya, metode Bishop yang disederhanakan

(Bishop, 1955) merupakan metode yang paling populer dalam analisis kestabilan

lereng. Asumsi yang digunakan dalam metode ini yaitu besarnya gaya geser

antar irisan sama dengan nol (X=0) dan bidang runtuh berbentuk sebuah busur

lingkaran. Kondisi kesetimbangan yang dapat dipenuhi oleh metode ini adalah

kesetimbangan gaya dalam arah vertikal untuk setiap irisan dan kesetimbangan

momen pada pusat lingkaran runtuh untuk semua irisan, sedangkan

kesetimbangan gaya dalam arah horisontal tidak dapat dipenuhi. Berikut

persamaan faktor aman untuk analisis stabilitas lereng cara bishop:

𝑆𝑆𝑆 𝜃
∑𝑖=𝑛 𝑖
𝑖=1 [𝑐′𝑏𝑖 + (𝑊𝑖 −𝑢𝑏𝑖 ) 𝑡𝑡𝑡 𝜑′] � �1+ 𝑡𝑡𝑡 𝜃 𝑡𝑡𝑡 𝜑′/𝐹� �
𝑖
F=
∑𝑖=𝑛
𝑖=1 𝑊𝑖 sin 𝜃𝑖
61

Keterangan :

c’ = Kohesi tanah efektif (kN/m2)

bi = Lebar irisan ke-i (m)

Wi = Berat irisan tanah ke-i (kN)

φ' = Sudut gesek dalam tanah efektif (derajat)

θi = Sudut (derajat)

F = Faktor keamanan

u = tekanan air pori (kN/m2)

Persamaan faktor aman Bishop ini membutuhkan cara coba-coba (trial

and error), karena nilai faktor aman (F) terdapat di kedua sisi persamaan.

Akan tetapi, cara ini telah terbukti memberikan nilai faktor aman yang

mendekati nilai faktor aman dari hitungan yang dilakukan dengan cara lain

yang lebih teliti (Vidayanti,2014). Dalam analisis faktor keamanan lereng

dengan metode bishop ini dibantu dengan menggunakan software Slope/W.

• Penentuan Nilai Faktor Keamanan

Faktor keamanan merupakan indikator dari stabilitas suatu lereng.

Faktor keamanan dibagi kedalam tiga kelompok yang ditinjau dari intensitas

kelongsorannya, yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.13 Nilai Faktor Keamanan

Nilai Faktor Keamanan Kejadian atau Intensitas Longsor

< 1,07 Longsoran biasa terjadi/sering (kelas labil)

1,07 - 1,25 Longsoran pernah terjadi (kelas kritis)

> 1,25 Longsoran jarang terjadi (kelas stabil)

Sumber: Bowles, 1989


62

d. Analisis Stereografis

Data-data hasil pegukuran struktur geologi yang berupa data kekar,

perlapisan, slope dan sudut geser dalam tanah yang dapat menyebabkan

ketidakstabilan lereng dianalisis menggunakan metode stereografis. Analisis

stereografis dilakukan untuk mengetahui tipe dan arah longsoran. Analisis

stereografis pada penelitian ini menggunakan bantuan software dips dengan

tahapan sebagai berikut:

1. Buka program Dips, klik File, New

2. Secara default pada program dips akan muncul kolom Dip dan Dip

Direction.

3. Selanjutnya masukkan data yang diperlukan dalam Microsoft Excel. Pilih

data yang diperlukan, kemudian lakukan Copy, Paste pada program Dips

di kolom yang tersedia.

4. Pilih Contour Plot untuk menampilkan kontur plot dari data tersebut, akan

tampil grafik stereonet hasil ploting data (berwarna biru). Pengaturan

tampilan stereonet dapat diubah dengan dengan cara klik kanan mouse,

kemudian atur tampilan sesuai keinginan.

5. Penambahan dimensi lereng dapat dilakukan dengan cara klik menu Set,

Add Plane. Pada kolom Label beri nama misal Lereng 1 dan pada kolom

Dip/Dip Direction isikan data dengan Dip dan Dip Direction sesuai data

yang dimiliki, kemudian klik OK.

6. Penambahan data kekar dapat dilakukan dengan cara klik menu Sets, Add

Set Window, perhatikan warna kontur yang memiliki konsentrasi lebih dari

4% lalu lingkupi.
63

7. Penambahan sudut geser dalam dapat dilakukan dengan cara pilih menu

Cone pada Toolbar. Pada kolom Angle isi dengan nilai sudut geser dalam

dengan rumus (90o – Nilai Sudut Geser Dalam). Isi Trend dan Plunge

dengan nilai 90o, lalu klik OK.

8. Penentuan arah umum longsoran klik Draw Moving Line pada Toolbar

lalu klik kiri saat kursor berada pada posisi arah longsoran yang telah

dianalisis, selanjutnya akan muncul kotak dialog yang menunjukkan arah

umum, lalu klik OK.

9. Garis arah longsoran dapat diganti dengan panah pada menu Add Arrow

pada Toolbar , kemudian posisikan panah searah dengan posisi garis.

Untuk menghapus garis dapat dilakukan dengan cara klik Tools, Delete,

Delete Lines.

10. Analisis longoran yang mungkin terjadi berdasarkan tipe-tipe longsoran

(Rai, 1998).

11. Penyimpanan data selanjutnya dilakukan dengan cara klik File, Save.

Kotak dialog menanyakan Dips Files (*.dip) yang disimpan maka akan

muncul dan isikan judul lembar kerja yang diinginkan.

Gambar 3.6 Tampilan Kontur Plot dan Menu Bar Dips


64

12. Data hasil analisis stereografis selanjutnya disesuaikan dengan tipe-tipe

longsoran menurut Hoek dan Bray (1981) yang terbagi atas empat tipe

yaitu longsoran bidang, longsoran baji, longsoran guling, dan longsoran

busur.

3.4.4.3. Kerja untuk Konsep Pengelolaan

Arahan pengelolaan yang direncanakan berupa tindakan penunjang

kestabilan lereng. Perbaikan dapat dilakukan dengan mereduksi gaya-gaya penggerak

dan menambah atau memberikan gaya-gaya yang dapat menahan gerakan massa

tanah. Pengelolaan gerakan massa tanah di daerah penelitian diprioritaskan pada

lereng-lereng yang sebelumnya sudah pernah terjadi gerakan massa tanah namun

lereng tersebut masih belum stabil atau masih kritis, serta dilakukan juga pada

wilayah yang memiliki tingkat kerawanan gerakan massa tanah menengah hingga

tinggi.

Pengelolaan gerakan massa tanah yang disarankan untuk daerah penelitian

adalah pembuatan trap dan drainase pada lereng-lereng yang telah mengalami

gerakan massa tanah. Hal ini dikarenakan lereng-lereng tersebut masih memiliki

kemiringan lereng yang curam sehingga dengan pembuatan trap ini ditujukan agar

kemiringan lereng dapat lebih landai dibanding sebelumnya, serta struktur trap ini

dapat mengurangi erosi dan menahan gerakan turun debris (campuran material

granuler) pada longsoran kecil. Selain itu dengan adanya trap, laju aliran permukaan

yang sering diikuti dengan aliran debris menjadi terhambat. Pembuatan drainase

berupa parit pada lereng bertujuan untuk mereduksi genangan air dan untuk

mengontrol aliran air.


BAB IV

RONA LINGKUNGAN HIDUP

Rona lingkungan hidup merupakan kondisi lingkungan daerah penelitian yang

ada sekarang. Rona lingkungan meliputi komponen geofisik-kimia, komponen biotis,

serta komponen sosial. Rona lingkungan di daerah penelitian didapatkan dari data

primer dengan pengamatan serta pengukuran langsung di lapangan dan data sekunder

yang didapatkan dari instansi atau dinas terkait.

4.1. Komponen Geofisik-Kimia

Komponen geofisik-kimia meliputi iklim, bentuklahan, tanah, satuan batuan,

tata air, dan bencana alam. Data yang didapatkan dari hasil observasi langsung di

lapangan dan terdapat data penunjang penelitian lainnya dari instansi yang berkaitan.

4.1.1. Iklim dan Curah Hujan

Curah hujan merupakan faktor pemicu terjadinya gerakan massa tanah.

Semakin tinggi intensitas curah hujan maka semakin tinggi pula potensi terjadinya

gerakan massa tanah. Data curah hujan dalam penelitian ini didapatkan dari Stasiun

Kedungputri dari tahun 2007 sampai 2016 yang dikelola oleh Balai Pengelolaan

Sumber Daya Air Kabupaten Purworejo, yang dapat dilihat pada Tabel 4.1. Menurut

Schmidt dan Ferguson (1951) curah hujan diklasifikasikan kedalam tiga golongan

yaitu:

- Bulan basah (BB): curah hujan > 100 mm/bulan

- Bulan lembab (BL): curah hujan 60 mm/bulan – 100 mm/bulan

- Bulan kering (BK): curah hujan < 60 mm/bulan.

65
Tabel 4.1 Data Curah Hujan Bulanan Tahun 2007 – 2016 di Stasiun Kedungputri

Bulan Jumlah Rata-rata


Tahun
(mm/thn) tahuan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2007 111 503 352 563 104 59 29 0 2 91 186 701 2701 225,083
2008 411 238 491 186 22 9 0 0 0 176 828 281 2642 220,16
2009 494 420 181 347 242 81 13 0 3 43 304 237 2365 197,083
2010 464 329 308 207 472 164 276 109 350 564 240 412 3895 324,583
2011 512 444 475 192 304 4 2 0 0 87 539 666 3225 268,75
2012 475 302 281 166 260 7 0 0 0 83 494 541 2609 217,416
2013 532 229 227 483 310 152 269 0 3 115 264 565 3149 262,416
2014 486 425 293 315 151 225 126 0 0 5 408 736 3170 264,166
2015 489 246 499 340 83 39 0 0 0 0 267 431 2394 199,5
2016 314 543 554 397 275 612 113 93 342 486 587 502 4818 401,5
Rata-rata
428,8 367,9 366,1 319,6 222,3 135,2 82,8 20,2 70 165 411,7 507,2 3096,8 258,0657
bulanan
Sumber: Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten Purworejo

66
67

Berdasarkan data pada Tabel 4.1 hasil rata-rata curah hujan bulanan selama 10 tahun

disajikan dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

600
507,2
Curah Hujan Bulanan (mm/thn)

500
428,8
411,7
400 367,9 366,1
319,6
300
BB 222,3
BB
200 165
135,2
82,8 70
100
BL 20,2 BL
BK
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Keterangan:
BB: Bulan Basah BL: Bulan Lembab BK: Bulan Kering

Gambar 4.1 Grafik Rerata Curah Hujan Bulanan Tahun 2007-2016

Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa bulan kering terjadi pada bulan

Agustus, sementara bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai Juni. Sedangkan

untuk bulan lembab terjadi pada Juli dan September. Pada bulan Oktober sampai Juni

yang termasuk kedalam kategori bulan basah yang menandakan bahwa pada bulan-

bulan tersebut memiliki curah hujan yang tinggi sehingga rawan terjadi gerakan

massa tanah. Hal ini dikarenakan curah hujan yang tinggi akan mempengaruhi laju

infiltrasi di daerah penelitian. Semakin besar tingkat infiltrasi maka dapat

berpengaruh pula dengan tingkat kejenuhan tanah.

Tanah yang jenuh akan air dapat menyebabkan massa/bobot tanah bertambah

sehingga jika tanah tidak dapat lagi menahan maka terjadilah gerakan massa tanah.

Selain itu pada grafik dapat diketahui juga curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada

bulan Desember sebesar 507,2 mm/bulan, sedangkan curah hujan terendah terjadi

pada bulan Agustus sebesar 20,2 mm/bulan. Berikut jumlah bulan basah, bulan
68

lembab dan bulan kering dari tahun 2007 sampai 2016 yang dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 4.2 Jumlah Bulan Basah, Bulan Lembab dan Bulan Kering Tahun 2007 - 2016

Bulan Basah Bulan Lembab Bulan Kering


Tahun
(BB) (BL) (BK)
2007 7 1 4
2008 7 - 5
2009 7 1 4
2010 12 - -
2011 7 1 4
2012 7 1 4
2013 10 - 2
2014 9 - 3
2015 6 1 5
2016 11 1 -
Jumlah 83 7 30
Rata-rata 8,3 0,7 3

Dari data Tabel 4.2 penggolongan iklim dilakukan berdasarkan klasifikasi

Schmidt dan Ferguson dengan menggunakan rasio Q (Qoutinent) yaitu perbandingan

antara jumlah rata-rata bulan kering dengan jumlah rata-rata bulan basah, dari data

tabel diatas diketahui rasio Qoutinent sebesar 0,361 dan jika diklasifikasikan

termasuk dalam tipe iklim C dengan kelas iklim agak basah. Berikut klasifikasi tipe

iklim dan kelas iklim menurut Schmidt dan Ferguson (1951) yang dapat dilihat pada

tabel dibawah ini:

Tabel 4.3 Tipe dan Kelas Iklim Klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951)

Tipe Iklim Rasio Q Kelas Iklim

A 0 ≤ Q <0,143 Sangat basah

B 0,143 ≤ Q <0,333 Basah

C 0,333 ≤ Q <0,6 Agak basah

D 0,6 ≤ Q <1,0 Sedang


69

Lanjutan Tabel 4.3

Tipe Iklim Rasio Q Kelas Iklim

E 1,0 ≤ Q <1,67 Agak kering

F 1,67 ≤ Q <3,0 Kering

G 3,0 ≤ Q <7,0 Sangat kering

H Q ≥ 7,0 Luar biasa kering

Sumber: Kartasapoetra, 2004

4.1.2. Bentuklahan

Secara umum, daerah penelitian termasuk dalam bagian kelompok morfologi

perbukitan Kulonprogo. Daerah penelitian memiliki bentuklahan berupa lereng

perbukitan dan lembah. Bentuklahan dapat dilihat pada Peta 4.1

Lokasi Penelitian

Gambar 4.2 Kenampakan Bentuklahan Perbukitan di Daerah Penelitian


(Arah kamera menghadap timur laut, Foto Penulis 2017)

Pengklasifikasian kelas kemiringan lereng yang digunakan adalah

pengklasifikasian menurut Zuidam dan Cancelado (1985). Berdasarkan peta

kemiringan lereng yang merupakan hasil interpretasi peta topografi, survei dan

pemetaan yang dilakukan di lapangan, didapatkan nilai atau kelas kemiringan lereng

di daerah penelitian sebagai berikut:


70

Tabel 4.4 Kemiringan Lereng di Daerah Penelitian

Luas Wilayah Kemiringan Lereng


No Kategori Harkat
(%) (derajat)

1 5 8 – 15 Agak miring 2

2 9 15-25 Miring 3

3 67 25-45 Curam 4

4 19 >45 Sangat curam 5

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa 67% luas wilayah penelitian di

dominasi dengan kemiringan lereng curam, hal ini menjadi salah satu faktor penting

dalam terjadinya gerakan massa tanah, karena semakin curam suatu lereng maka

semakin besar pula gaya penggerak massa tanah/batuan penyusun lereng sehingga

menyebabkan lereng rawan terjadi gerakan massa tanah (Karnawati, 2005). Peta

kemiringan lereng dapat dilihat pada Peta 4.2


71
72
73

4.1.3. Tanah

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, jenis tanah yang terdapat di daerah

penelitian adalah tanah latosol yang dicirikan dengan warna coklat. Tanah latosol di

daerah penelitian terbentuk dari hasil pelapukan batuan andesit dan breksi yang

terdapat di daerah penelitian. Tanah ini memiliki tekstur tanah berupa geluh pasiran

dan lempung, pengujian tekstur tanah dilakukan berdasarkan pedoman klasfikasi

tekstur tanah menurut Notohadiprawiro (1983) dan dilakukan di enam lokasi

pengamatan.

Lokasi pengamatan pertama dan ketiga diketahui memiliki tekstur tanah

geluh pasiran, sedangkan untuk lokasi pengamatan lainnya memiliki tekstur tanah

berupa lempung. Berdasarkan pengamatan tekstur tanah geluh pasiran memiliki

struktur tanah yang remah dan terasa lebih kasar ketika dijadikan bubur dan

dirasakan di tangan. Sedangkan tekstur tanah lempung memiliki struktur tanah

menggumpal dan saat tanah dijadikan bubur terasa lebih halus dan licin, namun

ketika tanah dalam kondisi basah tanah menjadi lengket. Tekstur tanah yang

dominan pada daerah penelitian adalah lempung. Peta tekstur tanah dapat dilihat

pada Peta 4.3.

a b

Gambar 4.3 Tekstur Tanah di Daerah Penelitian


(a) Geluh Pasiran dan (b) Lempung
(Foto Penulis, 2017)
74

Berdasarkan pengharkatan ketebalan solum tanah menurut FAO Guidelines

For Soils Profils Description (1986), tanah di daerah penelitian memiliki nilai harkat

4 yang termasuk dalam kriteria tebal yaitu tebal solum antara 90 sampai 150 cm.

Pengukuran ketebalan solum tanah dilakukan dengan cara pengukuran langsung pada

tanah yang tersingkap menggunakan meteran dan pengeboran tanah menggunakan

bor tanah. Pengukuran ketebalan solum tanah dilakukan di enam lokasi pengamatan

yang sama dengan lokasi untuk pengujian tekstur tanah.

Gambar 4.4 Pengukuran Ketebalan Solum Tanah di LP 5


(Arah kamera menghadap barat, Foto Penulis 2017)

Berikut hasil pengukuran ketebalan solum di enam lokasi pengeboran tanah, yang

disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.5 Ketebalan Solum Tanah di Daerah Penelitian

Ketebalan Solum Tanah


Lokasi
(cm)

LP 1 95,7
LP 2 99,4
LP 3 96,3
LP 4 98,6
LP 5 100,8
LP 6 101
75

Tanah di daerah penelitian juga mempunyai sifat yang mudah mengembang

bila dalam kondisi basah, namun jika dalam kondisi kering tanah mengerut

mengakibatkan tanah menjadi retak atau pecah-pecah. Sifat ini berasal dari

kandungan lempung pada tanah. Sifat tanah yang mudah mengambang dan mengerut

ini menyebabkan mudahnya terjadi pergerakan tanah. Selain itu tanah yang

mempunyai solum yang tebal rawan akan terjadinya gerakan massa tanah disebabkan

tanah yang bersolum tebal dapat menampung jumlah air yang besar, hal ini akan

mengakibatkan penambahan beban massa tanah dan jika lereng tidak dapat menahan

beban tersebut maka terjadilah gerakan massa tanah.

Gambar 4.5 Kondisi Tanah Lempung Pada LP 13 Ketika Kering


(Foto Penulis, 2017)

4.1.3.1. Hasil Pengujian Laboratorium Tanah

Sampel tanah yang diuji berasal dari 2 lokasi berbeda. Setiap lokasi diambil

3 sampel tanah, sampel tanah yang diambil di atas lereng, tengah lereng dan bawah

lereng. Hasil dari uji sifat fisik dan mekanik tanah di laboratorium yang dibutuhkan

dalam mencari faktor keamanan dengan menggunakan metode bishop adalah bobot

isi, sudut geser dalam dan kohesi. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.6.
76

Tabel 4.6 Hasil Uji Laboratorium

Kohesi Sudut Geser Bobot Isi


Lokasi Sampel
(kN/m2) Dalam (º) (gr/cm3)

1 45,36 14,48 1,57

Lereng 1 2 24,84 14,41 1,50

3 44,07 22,49 1,68

Rata-rata 38,09 17,12 4,75

Kohesi Sudut Geser Bobot Isi


Lokasi Sampel
(kN/m2) Dalam (º) (gr/cm3)

1 52,54 12,99 1,40

Lereng 2 2 11,48 6,99 1,64

3 26,39 16,37 1,55

Rata-rata 30,14 12,11 1,53

Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Mekanika Tanah UGM (2017)

Bobot isi tanah bervariasi bergantung pada kerekatan partikel-partikel tanah.

Bobot isi tanah dapat menunjukkan kepadatan tanah. Semakin padat suatu tanah

maka semakin tinggi nilai bobot isi tanahnya, yang berarti tanah semakin sulit untuk

mengalirkan air atau ditembus akar tanaman. Begitupula dengan kohesi tanah dan

sudut geser dalam, semakin kecil nilai kohesi dan sudut geser dalam maka lereng

semakin rentan mengalami gerakan. Hasil uji laboratorium ini dapat dilihat pada

Lampiran 2.
77
78

4.1.4. Satuan Batuan

Berdasarkan hasil pemetaan batuan yang dilakukan (lihat Peta 4.4), terdapat

dua satuan batuan pada daerah penelitian yaitu satuan breksi dan satuan andesit.

Daerah penelitian termasuk dalam stratigrafi kulonprogo, dimana jika dilihat

berdasarkan stratigrafinya batuan breksi yang termasuk dalam formasi kebobutak ini

berumur lebih tua dibandingkan dengan batuan andesit yang merupakan batuan

terobosan. Deskripsi dari batuan breksi tersebut yaitu termasuk dalam jenis batuan

sedimen klastik, kenampakan batuan breksi di lapangan berwarna coklat karena

kondisi batuan yang lapuk, dan memiliki fragmen berupa andesit dengan matriks

pasir.

Tekstur batuan breksi memiliki ukuran butir sedang hingga kasar, derajat

kebundarannya angular sampai sub angular sedangkat derajat pemilahannya

termasuk dalam kategori terpilah buruk, serta memiliki kemas terbuka. Kenampakan

batuan breksi di daerah penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 4.6 Singkapan Batuan Breksi pada LP 14


(Arah kamera menghadap tenggara, Foto Penulis 2017)
79

Gambar 4.7 Kenampakan Batuan Breksi di LP 14


(Foto Penulis, 2017)

Batuan andesit termasuk dalam jenis batuan beku intermediet, untuk batuan

andesit yang masih segar memiliki warna abu-abu sedangkan untuk yang sudah

lapuk berwarna abu-abu kecoklatan. Batuan andesit memiliki struktur masif dengan

tekstur derajat kristalisasi berupa hipokristalin, serta granulitas berupa fanerik sedang

dan memiliki kemas subhedral. Berdasarkan deskripsi lapangan, batuan andesit

memiliki komposisi mineral berupa kuarsa, piroksen, hornblade dan plagioklas.

Sedangkan untuk genesanya, batuan andesit ini terbentuk dari hasil pembekuan

magma yang menerobos hingga mencapai permukaan. Kenampakan batuan andesit

pada daerah penelitisan dapat dilihat pada dibawah ini.

Gambar 4.8 Singkapan Batuan Andesit di LP 19


(Arah kamera menghadap timur laut, Foto Penulis 2017)
80

Gambar 4.9 Batuan Andesit


(Foto Penulis, 2017)

Breksi merupakan batuan sedimen yang tidak terlalu kompak dibandingkan

dengan batuan andesit yang merupakan batuan beku. Kondisi tersebut

mengakibatkan breksi di daerah penelitian mudah mengalami pelapukan, sehingga

gaya penahan pada batuan berkurang. Berkurangnya gaya penahan ini

mengakibatkan mudahnya untuk mengalami pergerakan jika terdapat faktor pemicu

misalnya hujan. Selain itu batuan andesit yang merupakan batuan beku bersifat tidak

mudah meloloskan air sehingga dapat menjadi bidang gelincir yang menyebabkan

gerakan massa tanah.

4.1.4.1. Tingkat Pelapukan Batuan

Tingkat pelapukan yang terjadi di daerah penelitian terdiri atas 3 tingkatan

diantaranya tingkat pelapukan pelapukan lanjut dan pelapukan sangat lanjut. Tingkat

pelapukan batuan yang mendominasi di daerah penelitian adalah tingkat pelapukan

lanjut, dimana batuan telah mengalami perubahan warna dan lebih dari setengah

batuan berubah menjadi tanah serta perubahan warna telah menembus ke bahan

batuan cukup dalam tetapi batuan asli masih ada.


81

Gambar 4.10 Pelapukan Batuan Pada Daerah Penelitian


(a) Tingkat Pelapukan Lanjut dan (b) Tingkat Pelapukan Sangat Lanjut
(Foto Penulis, 2017)

Pelapukan batuan dipengaruhi oleh curah hujan di daerah penelitian yang

cukup tinggi sehingga mengakibatkan resistensi batuannya menurun. Selain itu

pelapukan juga dipengaruhi oleh vegetasi yang tumbuh diatasnya dikarenakan akar

tanaman dapat menembus celah-celah batuan dan apabila akar tersebut terus

membesar, maka kekuatannya semakin besar pula dalam menerobos celah batuan.

Selain itu akar tanaman juga dapat mengakibatkan air masuk melalui celah-celah

akar tanaman.

Kondisi kemiringan lereng yang curam menyebabkan proses pelapukan lebih

cepat dikarenakan batuan langsung bersentuhan dengan cuaca sekitar, sedangkan

lereng yang landai proses pelapukan lebih lambat dikarenakan batuan akan
82

terselimuti oleh berbagai endapan-endapan. Pelapukan batuan mempengaruhi potensi

gerakan massa tanah, dikarenakan batuan yang lapuk memiliki kondisi yang tidak

stabil dikarenakan batuan sudah tidak kompak sehingga jika terkena sedikit

pengaruh gerakan akan menyebabkan terjadinya gerakan. Peta tingkat pelapukan

batuan dapat dilihat pada Peta 4.5


83
84
85

4.1.5. Tata Air

Sumber air di daerah penelitian berupa sungai dan mata air, namun untuk

keperluan sehari-hari masyarakat lebih menggunakan mata air sebagai sumber air

utama dikarenakan sungai di daerah penelitian merupakan sungai musiman yang

hanya dialiri air saat musim hujan tetapi saat musim kemarau pasokan air sungainya

berkurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Munculnya mata

air dapat menunjukkan adanya rekahan pada zona permabel atau adanya retakan pada

batuan yang memiliki permeabilitas rendah sehingga aliran airtanah dapat keluar

melalui rekahan batuan. Aliran airtanah yang mengalir melalui rekahan batuan ini

dapat mengisi pori-pori tanah sehingga meningkatkan kejenuhan air pada tanah, hal

ini membuat tanah menjadi labil dan mudah mengalami gerakan massa tanah.

a b

Gambar 4.11 Kondisi Tata Air di Daerah Penelitian


(a) Mata air dan (b) Sungai
(Foto Penulis, 2017)

4.1.5.1. Laju Infiltrasi

Pengukuran laju infiltrasi dilakukan berdasarkan parameter penggunaan

lahan, jenis tanah dan satuan batuan di daerah penelitian. Pengukuran dilakukan di

tiga lokasi. Lokasi pertama pada jenis tanah latosol dengan batuan breksi yang

berada di pemukiman, lokasi kedua pada jenis tanah latosol dengan batuan breksi
86

yang berada di kebun campuran, dan lokasi ketiga pada jenis tanah latosol dengan

batuan andesit yang berada di kebun campuran.

a b

Gambar 4.12 Laju Infiltrasi di Daerah Penelitian


(a) LP 1 pada Latosol, Breksi, Pemukiman (Arah kamera ke timur laut)
(b) LP 2 pada Latosol, Breksi, Kebun Campuran (Arah kamera ke utara)
(c) LP 3 pada Latosol, Andesit, Kebun Campuran (arah kamera ke barat daya)
(Foto Penulis, 2017)

Lokasi pertama memiliki laju infiltrasi 3 cm/jam yang termasuk dalam

kriteria sedang. Lokasi kedua memiliki laju infiltrasi sebesar 14,94 cm/jam dengan

kriteria cepat dan untuk lokasi ketiga memiliki laju infiltrasi sebesar 11,94 cm/jam

termasuk kriteria cepat. Perbedaan nilai laju infiltrasi di daerah penelitian

dipengaruhi oleh perbedaan penggunaan lahan. Hal ini dapat dilihat pada lokasi

pertama dan kedua yang memiliki jenis tanah dan batuan yanng sama namun berbeda

penggunaan lahan memiliki nilai laju infiltrasi yang berbeda dikarenakan kebun
87

campuran yang banyak ditumbuhi oleh vegetasi menyebabkan rongga atau pori-pori

tanah lebih banyak dibandingkan dengan pemukiman sehingga laju air mudah untuk

meresap ke dalam tanah. Perhitungan laju infiltrasi dapat dilihat pada Lampiran 3.

Laju infiltrasi memiliki pengaruh terhadap terjadinya gerakan massa tanah.

Laju infiltrasi yang tergolong sedang cenderung disebabkan penggunaan lahan

berupa pemukiman yang umumnya telah terjadi pemadatan tanah, sehingga tanah

tidak mudah meloloskan air. Air yang masuk ke dalam tanah akan tertampung

dikarenakan sifat tanah yang tidak mudah meloloskan air sehingga lama kelamaan

dapat menambah beban pada tanah. Penambahan beban pada tanah menyebabkan

kestabilan tanah akan terganggu, hingga dapat menyebabkan gerakan massa tanah.

Peta laju infiltrasi dapat dilihat pada Peta 4.6


88
89

4.1.6. Bencana Alam

Masalah kebencanaan yang menjadi ancaman terhadap masyarakat di daerah

penelitian adalah gerakan massa tanah. Pada tahun 2004, 2016 dan 2017 pernah

terjadi gerakan massa tanah di daerah penelitian. Kejadian gerakan massa tanah pada

tahun 2004 mengakibatkan kerusakan rumah warga namun tidak menimbulkan

korban jiwa, sedangkan gerakan massa tanah yang terjadi pada tahun 2016 tepatnya

tanggal 18 Juni menimbulkan korban jiwa serta kerugian material berupa kerusakan

rumah dan fasilitas desa sera kehilangan harta benda. Pada tanggal 17 Desember

2017 terjadi gerakan massa tanah yang mengakibatkan putusnya akses jalan

penghubung Desa Donorati dengan Kaligesing.

Gambar 4.13 Gerakan Massa Tanah Di Daerah Penelitian


(a) Gerakan massa tanah yang terjadi pada tahun 2016 (Arah kamera ke barat daya)
(b) Gerakan massa tanah yang terjadi pada tahun 2017 (Arah kamera ke selatan)
(Foto Penulis 2017)
90

4.2. Komponen Biotis

4.2.1. Flora

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, warga di daerah penelitian sangat

memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam. Vegetasi yang terdapat di daerah

penelitian cukup bervariatif karena daerah penelitian sebagian besar merupakan

kebun campuran. Adanya berbagai macam tanaman pada daerah penelitian

merupakan salah satu faktor pemicu gerakan massa tanah dikarenakan tanaman dapat

menjadi penghantar getaran yang mampu membuat ketidakstabilan pada lereng dan

dapat juga menambah beban tanah. Keterdapatan berbagai jenis tanaman pada daerah

penelitian juga dapat digunakan untuk memilih jenis tanaman yang cocok untuk

ditanami pada lereng sebagai upaya rekayasa vegetatif dalam pengelolaan gerakan

massa tanah. Jenis-jenis tanaman pada daerah penelitian disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4.7 Jenis Tanaman di Daerah Penelitian


No Nama Tanaman Nama Latin Lokasi
Pemukiman dan Kebun
1 Bambu Gigantochloa apus
campuran
2 Mahoni Swietenia mahagoni Kebun campuran
3 Sengon Albizia chinensis Kebun campuran
4 Akasia Acasia brasiliensi Kebun campuran
Pemukiman dan kebun
5 Jati Tectona grandis
campuran
6 Durian Durio Zibethinus Kebun campuran
7 Cengkeh Syzygium aromaticum Kebun campuran
8 Nanas Ananas comosus Kebun campuran
9 Salak Salacca zalacca Kebun campuran
10 Jahe Zingiber officinale Kebun campuran
11 Pisang Musa paradisiacal Kebun campuran
12 Aren Arenga pinnata Kebun campuran
13 Singkong Manihot utilissima Kebun campuran

Tanaman seperti bambu dan jati merupakan tanaman yang dapat memicu

untuk terjadinya gerakan massa tanah dikarenakan tanaman ini dapat menambah

beban tanah ketika hujan sehingga tanah akan mengalami gerakan. Selain itu akar

tanaman bambu tidak mampu menembus batuan dalam sehingga tidak dapat
91

mengikat tanah, hal ini menyebabkan gaya penahan pada tanah berkurang sehingga

rawan terjadi gerakan massa tanah.

a b

c d

Gambar 4.14 Tanaman Di Daerah Penelitian


(a) Bambu, (b) Nanas, (c) Salak, (d) Pohon aren
(Foto Penulis, 2017)

4.2.2. Fauna

Ancaman gerakan massa tanah dapat mempengaruhi fauna yang ada di daerah

penelitian karena dapat mengancam keselamatan hewan serta dapat menimbulkan

kerugian bagi pemilik hewan. Jenis fauna pada daerah penelitian disajikan pada tabel

berikut:
92

Tabel 4.8 Fauna di Daerah Penelitian


No Nama Fauna Nama Latin Lokasi
1 Tupai Scandentia Kebun campuran
2 Ular Serpentes Kebun campuran
3 Kelabang Scolopendra Kebun campuran
4 Burung Passeridae Pemukiman dan kebun
campuran
5 Tikus Muridae Pemukiman dan kebun
campuran
6 Capung Anisoptera Kebun campuran
7 Kupu-kupu Rhopalocera Kebun campuran
8 Laba-laba Araneae Pemukiman dan kebun
campuran
9 Katak Anura Kebun campuran
10 Tokek Gekko gecko Pemukiman dan kebun
campuran

a b

Gambar 4.15 Fauna di Daerah Penelitian


(a) Kelabang, (b) Laba-laba
(Foto Penulis, 2017)

4.3. Komponen Sosial

Komponen sosial menggambarkan kondisi masyarakat dalam kegiatan sehari-

harinya. Komponen sosial terdiri dari kondisi demografi kependudukan, ekonomi,

budaya, kesehatan masyarakat dan penggunaan lahan.

4.3.1. Kependudukan

Berdasarkan data monografi Desa Donorati tahun 2016, diketahui jumlah

penduduk di daerah penelitian sekitar 523 orang dengan jumlah laki-laki sebanyak
93

277 orang dan perempuan berjumlah 246 jiwa. Di daerah penelitian terdapat satu

rukun warga dan empat rukun tetangga. Desa Donorati yang memiliki riwayat

kejadian bencana gerakan massa tanah membuat penduduk harus menanamkan sikap

tanggap bencana mengingat daerah tersebut dapat terjadi kembali bencana gerakan

massa tanah, sehingga penduduk setempat harus mencegah faktor-faktor yang dapat

menyebabkan gerakan massa tanah seperti mengatur tata guna lahan khususnya

mengurangi kegiatan di atas lereng yang dapat menyebabkan ketidakstabilan lereng.

4.3.2. Ekonomi

Berdasarkan data monografi Desa Donorati, sebagian besar penduduk di

Dusun Donorati bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu penduduk di daerah

penelitian juga memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani, peternak, pengrajin,

pedagang, pegawai negeri, dan montir. Penduduk yang sebagian besar bermata

pencaharian sebagai petani sangat memanfaatkan lahan pertanian mereka dan

mengandalkan lahan pertanian untuk mata pencaharian. Aktifitas petani pada lereng

dapat memicu terjadinya gerakan massa tanah dan adanya perubahan fungsi lahan

dapat memberi beban lebih pada daerah setempat.

Tabel 4.9 Mata Pencaharian Penduduk

No Mata Pencaharian Jumlah (orang)

1 Petani 153

2 Buruh Tani 72

3 Peternak 65

4 Pengrajin Industri Rumah Tangga 24

5 Pedagang 6

6 Montir 6

7 Pegawai Negeri 3

Sumber: Data Monografi Desa Donorati


94

4.3.3. Sosial Budaya

Dari segi kepercayaan penduduk di daerah penelitian sebagian besar memeluk

agama islam, kemudian sebagian kecil lainnya beragama katolik dan kristen. Untuk

menunjang kebutuhan penduduk dalam beribadah maka dibangun tempat ibadah

diantaranya terdapat satu buah masjid, satu mushola dan satu gereja. Dalam

menunjang dan meningkatkan potensi kualitas sumber daya manusia, telah dibangun

berbagai fasilitas sarana prasaran pendidikan di daerah penelitian, diantaranya

terdapat satu taman kanak-kanak dan satu sekolah dasar. Fasilitas pendidikan dapat

digunakan sebagai prasarana dalam pemberian pendidikan kebencanaan terhadap

warga mulai dini lewat pendidikan yang ada di sekolah. Selain itu terdapat juga balai

desa sebagai tempat pertemuan warga desa. Bangunan sekolah, tempat ibadah dan

balai desa juga dapat digunakan sebagai tempat pengungsian sementara bagi warga

jika terjadi bencana.

Adat istiadat yang masih dilakukan warga antara lain acara selamatan,

hajatan, pengajian yang biasanya dilakukan bergeliran di rumah warga, serta gotong

royong yang biasanya dilakukan setiap hari minggu. Selain itu kesenian tradisional

yang masih terdapat di daerah penelitian berupa kuda lumping, campursari dan

hadroh yang biasanya dilakukan ketika ada acara tertentu saja seperti acara

pernikahan.

a b
95

c d

Gambar 4.16 Fasilitas Ibadah dan Pendidikan di Daerah Penelitian


(a) Geraja, (b) Mushola, (c) Taman Kanak-Kanak, (d) Sekolah Dasar
(Foto Penulis, 2017)

4.3.4. Kesehatan Masyarakat

Fasilitas kesehatan yang terdapat di daerah penelitian cukup minim karena

hanya terdapat satu puskesmas pembantu dan satu posyandu. Puskesmas pembantu

tersebut hanya melayani masyarakat satu minggu sekali sedangkan posyandu hanya

berlangsung satu bulan sekali. Akibat dari minimnya fasilitas kesehatan, warga harus

ke puskesmas ataupun rumah sakit yang letaknya agak jauh dari desa. Pada

umumnya tingkat kesehatan warganya sendiri cukup bagus, dilihat dari angka

harapan hidup warga yang melebihi 60 tahun keatas.

Gambar 4.17 Puskesmas Pembantu di Daerah Penelitian


(Foto Penulis, 2017)
96

4.3.5. Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil analisis Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Lembar

Purworejo skala 1: 25000, citra satelit dan survei lapangan, penggunaan lahan di

Dusun Donorati terdiri dari kebun campuran dan pemukiman. Sebagian besar

penggunaan lahan di daerah penelitian berupa kebun campuran yang menyebar di

seluruh daerah penelitian sedangkan untuk pemukiman memusat di wilayah yang

dekat dengan sungai dan berada pada kemiringan lereng agak miring (8-15º) dan

miring (15-25º) dan curam (25-45º). Terdapatnya beraneka macam jenis tanaman

pada kebun campuran seperti tanaman bambu yang dapat menyebabkan terjadinya

penurunan daya penahan tanah akibat akarnya yang serabut dan pendek.

Penggunaan lahan yang mengarah pada pemukiman juga cenderung

mempengaruhi kondisi fisik suatu lahan karena aktifnya aktivitas manusia yang

mengubah kondisi asli lahan. Selain itu aktivitas pemotongan lereng untuk perluasan

area pemukiman dan pembuatan atau pelebaran jalan menyebabkan kemiringan

lereng semakin besar dan curam sehingga lereng menjadi tidak stabil dan lebih rawan

akan terjadinya gerakan massa tanah. Hal ini ditunjukan dengan sebagian besar

lokasi gerakan massa tanah di daerah penelitian terjadi pada lahan yang lerengnya

telah di potong untuk jalan desa. Peta penggunaan lahan dapat dilihat pada Peta 4.7
97
BAB V

EVALUASI HASIL PENELITIAN

5.1. Tingkat Kerawanan Gerakan Massa Tanah

Tingkat gerakan massa tanah didapatkan dari analisis hasil overlay peta dan

perhitungan variabel lingkungan fisik yang mempengaruhi gerakan massa tanah. Peta

yang di overlay yaitu peta kemiringan lereng, peta tanah (tekstur tanah dan ketebalan

solum tanah), peta satuan batuan (pelapukan batuan), peta laju infiltrasi dan peta

penggunaan lahan. Berdasarkan hasil overlay peta tersebut didapatkan zona

kerawanan gerakan massa tanah yang dapat dilihat pada Peta 5.1. Terdapat dua zona

kerawanan gerakan massa tanah pada daerah penelitian yaitu zona kerawanan

gerakan massa tanah tinggi dan zona kerawanan gerakan massa tanah menengah.

5.1.1. Zona Kerawanan Gerakan Massa Tanah Tinggi

Zona kerawanan gerakan massa tanah kelas tinggi menempati luas sebesar

9% dari total luas wilayah penelitian. Zona ini dicirikan dengan curah hujan yang

sangat tinggi sebesar 3096,8 mm/tahun diimbangi dengan laju infiltrasi yang

walaupun sedang (2,1 sampai 6,25 cm/jam) dapat mengakibatkan daerah penelitian

termasuk dalam zona kerawanan tinggi. Selain itu kondisi tanah yang bertekstur

lempung memiliki sifat mudah mengembang dan mengerut, sifat ini membuat tanah

menjadi retak-retak ketika kekurangan kandungan air. Kondisi tanah yang retak

mempermudah air masuk ke dalam tanah sehingga tanah nantinya berpotensi jenuh

air dan menambah massa tanah. Massa tanah yang bertambah menyebabkan

penambahan beban pada lereng dan bila lereng sudah tidak dapat menahan beban

tanah, maka dapat terjadi keruntuhan atau longsor.


98
99

Tingkat pelapukan batuan sangat lanjut terjadi pada batuan breksi karena

batuan ini memiliki material penyusun yang tidak kompak. Tingkat pelapukan batuan

sangat lanjut menandakan bahwa batuan telah mengalami dekomposisi menjadi tanah

pada bagian luarnya, namun susunan batuan asal masih bertahan. Klasifikasi tingkat

pelapukan sangat lanjut memiliki harkat 4 dikarenakan semakin lapuk suatu batuan

dapat mengurangi kestabilan pada lereng.

Pelapukan batuan menyebabkan kekuatan atau kekompakan batuan akan

berkurang sehingga partikel-partikel batuan tidak saling mengikat, hal ini

menyebabkan batuan tidak stabil dan mudah terpisahkan ketika dalam keadaan

diguncang atau mudah terkikis oleh air. Kemiringan lereng menjadi salah satu faktor

terjadinya gerakan massa tanah, dikarenakan material longsoran akan bergerak

searah dengan kemiringan lereng dan semakin curam kemiringan lerengnya akan

mempercepat pergerakan tanah. Pada zona kerawanan tinggi ini memiliki kemiringan

lereng curam (25-45o) sehingga lebih rawan terjadinnya gerakan massa tanah.

Penggunaan lahan yang berupa pemukiman sangat mempengaruhi kestabilan

lereng karena kegiatan yang dilakukan seperti menimbun maupun memotong lereng

untuk menciptakan daerah yang datar dapat mengurangi gaya penahan lereng dan

memperbesar gaya penggerak pada lereng sehingga menjadi tidak stabil dan adanya

pemukiman diatas lereng juga mengakibatkan penambahan beban pada lereng, serta

jika terjadi gerakan massa tanah pada wilayah pemukiman selain dapat menyebabkan

kerugian material juga menimbulkan korban jiwa sehingga lebih beresiko dan rawan.

5.1.2. Zona Kerawanan Gerakan Massa Tanah Menengah

Zona kerawanan gerakan massa tanah kelas menengah memiliki luas sebesar

91% dari total luas wilayah penelitian. Zona kerawanan gerakan massa tanah ini
100

memiliki total skor hasil pengharkatan dari 22 sampai 28. Pada zona kerawanan

menengah menunjukan bahwa untuk parameter laju infiltrasi, tekstur tanah, tingkat

pelapukan batuan, kemiringan lereng dan penggunaan lahan memiliki kriteria yang

bermacam-macam sedangkan parameter curah hujan dan ketebalan solum tanah

hanya memiliki satu kriteria saja.

Laju infiltrasi yang cepat (6,26 sampai 25 cm/jam) memiliki nilai harkat 2

dikarenakan laju infiltrasi yang cepat menyebabkan air yang masuk ke dalam tanah

tidak terlalu lama terakumulasi sehingga tidak dapat megakibatkan tanah menjadi

jenuh air, namun lain halnya jika pada lereng terdapat batuan atau tanah yang bersifat

impermeabel seperti batuan andesit pada daerah penelitian karena air yang

terinfiltrasi ini akan tertahan dan terakumulasi yang nantinya dapat mendorong

massa tanah untuk longsor.

Penggunaan lahan berupa kebun campuran termasuk dalam harkat 2

dikarenakan akar-akar dari vegetasi yang tumbuh dapat menambah kekuatan lereng

dengan mengikat agregat tanah, namun jika vegetasi yang tumbuh tidak memiliki

akar yang kuat dan tidak dapat membantu dalam mengikat agregat tanah seperti

tumbuhan bambu dan penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam

yang terlalu rapat nantinya hanya dapat menambah beban pada tanah sehingga

mempengaruhi terjadinya gerakan massa tanah.


101
102

5.2. Faktor Keamanan Lereng dan Tipe Longsoran

Analisis faktor keamanan dan tipe longsoran dilakukan di dua lereng yang

sudah pernah terjadi longsoran dan masih dianggap rawan akan terjadinya gerakan

massa tanah. Faktor keamanan lereng pada daerah penelitian dapat diketahui dengan

menggunakan metode analisis irisan metode Bishop dengan bantuan software

Slope/W. Suatu bidang yang diperkirakan akan mengalami longsor dibagi kedalam

potongan-potongan kecil (slice). Setiap slice dianalisis gaya-gaya yang berpengaruh

baik gaya normal, gaya geser, berat slice dan lain sebagainya. Adapun contoh

perhitungan terhadap gaya-gaya tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4.

Berdasarkan analisis faktor keamanan menggunakan metode Bishop,

diketahui bahwa lereng 1 berada dalam kondisi stabil dengan nilai faktor keamanan

sebesar 1,590 sedangkan faktor keamanan untuk lereng 2 sebesar 1,071 termasuk

dalam kelas kritis. Kedua lereng yang dianalisis sudah pernah mengalami gerakan

massa tanah sebelumnya namun untuk lereng 2 masih perlu dilakukan upaya

perbaikan agar lereng menjadi stabil. Tabel data hasil perhitungan seluruh slice dan

nilai faktor keamanan lereng dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan hasil

analisis faktor keamanan dengan software Slope/W dapat dilihat pada Gambar 5.1

dan Gambar 5.2.

Kedua lereng ini termasuk dalam zona tingkat kerawanan gerakan massa

tanah menengah dan telah mengalami gerakan massa tanah sebelumnya namun dari

hasil analisis faktor keamanan, lereng 2 masih termasuk dalam kategori lereng kritis

atau belum stabil. Hal ini dikarenakan lereng 2 memiliki kemiringan lereng yang

curam sebesar 27º sehingga gaya penggerak massa tanah penyusun lereng masih

besar. Berdasarkan hasil laboratorium, lereng 2 juga memiliki nilai kohesi dan sudut
103

geser dalam yang kecil yaitu nilai kohesi lereng 2 sebesar 30,14 kN/m2 dan sudut

geser lereng sebesar 12,11º.

Nilai kohesi dan sudut geser dalam yang kecil pada lereng 2 ini menunjukkan

bahwa kecilnya kekuatan ikatan antara partikel atau butiran penyusun tanah sehingga

tanah tidak padat. Jika kondisi tanah menjadi jenuh air maka nilai kohesi dan sudut

geser dalam menjadi semakin mengecil atau berkurang karena kandungan air dalam

tanah membuat tanah menjadi mengembang dan mengurangi ikatan butiran. Nilai

kohesi dan sudut geser dalam yang kecil ini juga menandakan bahwa gaya penahan

yang bekerja pada lereng juga kecil, sehingga ketika gaya penggerak pada lereng

lebih besar maka dapat terjadi gerakan massa tanah.

Berdasarkan nilai faktor keamanan, lereng 1 termasuk dalam kategori stabil

dengan nilai faktor keamanan sebesar 1,590. Hal ini dikarenakan kondisi lereng 1

yang memiliki nilai kohesi dan sudut geser dalam yang lebih besar dibandingkan

lereng 2 yaitu nilai kohesi sebesar 38,09 kN/m2 dan sudut geser dalam 17,12º. Selain

itu lereng 1 juga terdiri dari material berupa tanah dan batuan (bedrock) sehingga

gaya penahan pada lereng 1 lebih besar dibandingkan pada lereng 2.


Gambar 5.1 Analisis Lereng Menggunakan Software Slope/W pada Lereng 1

104
Gambar 5.2 Analisis Lereng Menggunakan Software Slope/W pada Lereng 2

105
106

5.2.1. Analisis Tipe Longsoran

Analisis tipe longsoran pada daerah penelitian dilakukan dengan proyeksi

stereografis yang dibantu dengan software Dips. Data yang digunakan dalam

stereografis berupa data kekar berupa strike dan dip dari bidang kekar, arah dan

kemiringan lereng, serta sudut geser dalam tanah yang didapatkan dari uji

laboratorium. Proyeksi stereografis dilakukan pada dua lereng yang sudah pernah

mengalami gerakan massa tanah dan masih dianggap rawan terjadi gerakan massa

tanah lagi.

Lereng pertama memiliki arah dan kemiringan lereng sebesar N 45º E/31º,

lereng ini terletak di samping jalan raya. Adapun data hasil pengukuran kekar pada

lereng pertama dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Gambar 5.3 Lereng 1


(Arah kamera menghadap barat daya, Foto Penulis 2017)

Tabel 5.1 Hasil Pengukuran Kekar pada Lereng 1


Strike Dip Strike Dip
No No
(N.....ºE) (.....º) (N.....ºE) (.....º)
1 5 76 7 20 76
2 74 61 8 52 79
3 57 66 9 15 82
4 70 59 10 14 37
5 42 84 11 70 29
6 28 85 12 25 35
107

Lanjutan Tabel 5.1


Strike Dip Strike Dip
No No
(N.....ºE) (.....º) (N.....ºE) (.....º)
13 85 20 23 209 60
14 180 45 24 265 60
15 164 36 25 185 45
16 118 72 26 200 64
17 159 41 27 275 83
18 180 65 28 350 70
19 155 35 29 290 82
20 192 64 30 345 64
21 192 71 31 350 84
22 219 67 32 274 84

Diskontinuitas yang terdapat pada lereng 1 terdiri dari 32 kekar. Berdasarkan

hasil analisis stereografis yang telah dilakukan diketahui bahwa arah umum kekar

pada lereng 1 yaitu N 194º E/67º dan N 160ºE/36º. Adapun potensi longsoran yang

dapat terjadi yaitu 27º ; N 207º E atau relatif ke arah barat daya dengan tipe

longsoran baji (wedge failure). Longsoran baji pada daerah penelitian terjadi pada

lereng curam dengan batuan yang telah lapuk dan terdapat perpotongan 2 struktur

geologi yaitu kekar 1 dan kekar 2.

Berdasarkan peta topografi dapat dilihat bahwa lereng pada daerah penelitian

relatif ke arah timur laut sehingga arah longsoran seharusnya mengarah ke timur laut,

namun akibat generalisasi peta sehingga kontur tidak dapat menggambarkan setiap

arah bagian-bagian lereng secara detail sehingga salah satu bagian lereng yang

seharusnya mengarah ke barat daya menjadi mengarah ke timur laut secara

keseluruhan. Hal ini diakibatkan oleh luasan bagian lereng tersebut tidak dapat

ditampilkan dengan skala peta yang ada.


108

Keterangan :
Slope: N 45º E/31º

Kekar 1: N 194º E/67º

Kekar 2: N 160ºE/36º

Arah longsoran 27º ; N 207ºE

Gambar 5.4 Analisis Stereografis pada Lereng 1

Lereng kedua terdiri dari 14 kekar dengan arah dan kemiringan lereng sebesar

N 9ºE/27º, kondisi lereng kedua ini dapat dilihat pada Gambar 5.5 dan adapun data

hasil pengukuran kekar pada lereng 2 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.2 Hasil Pengukuran Kekar pada Lereng 2


Strike Dip
No
(N.....ºE) (.....º)
1 228 82
2 235 86
3 233 75
4 162 84
5 325 79
6 354 85
7 307 57
8 303 55
9 300 57
10 301 60
11 134 62
12 122 50
13 118 45
14 102 36
109

mahkota

Gambar 5.5 Lereng 2


(Arah kamera menghadap tenggara, Foto Penulis 2017)

Hasil analisis stereografis pada lereng 2 ini menunjukkan bahwa arah umum

kekar yaitu N 302º E/57º dan N 232º E/80º. Adapun potensi arah longsoran relatif ke

arah timur laut yaitu 57º ; N 36º E dengan tipe longsoran baji (wedge failure).

Longsoran baji pada daerah penelitian terjadi akibat adanya perpotongan 2 kekar

yaitu kekar 1 dan kekar 2, perpotongan kekar ini menimbulkan terjadinya runtuhan.

Arah longsoran sesuai dengan arah lereng yaitu relatif ke timur laut. Stereografis dari

lereng kedua ini dapat dilihat pada Gambar 5.6.

Keterangan:

Slope: N 9ºE/27º

Kekar 1: N 302º E/57º

Kekar 2: N 232º E/80º

Arah longsoran 57º ; N 36ºE

Gambar 5.6 Analisis Stereografis pada Lereng 2


110

BAB VI

ARAHAN PENGELOLAAN

Berdasarkan hasil evaluasi daerah penelitian diketahui bahwa pada daerah

penelitian terdapat dua zona kerawanan gerakan massa tanah yaitu zona kerawanan

gerakan massa tanah menengah dan zona kerawanan gerakan massa tanah tinggi.

Pengelolaan yang dilakukan berfokus untuk menjaga dan memperbaiki lereng agar

tetap stabil sehingga dapat mencegah atau mengurangi dampak terjadinya gerakan

massa tanah. Adapun arahan pengelolaan yang akan diterapkan pada daerah

penelitian terdiri dari pendekatan teknologi, pendekatan sosial dan pendekatan

institusi.

6.1. Pendekatan Teknologi

6.1.1. Perubahan Geometri Lereng

Pengelolaan dengan perubahan geometri lereng ini diterapkan pada lereng-

lereng yang dianggap rawan terjadi gerakan massa tanah. Berdasarkan hasil analisis

faktor keamanan diketahui bahwa lereng 2 termasuk dalam kelas kritis. Perubahan

geometri lereng meliputi pelandaian kemiringan lereng dan pembuatan trap

(benching). Upaya memperkecil kemiringan lereng ini bertujuan untuk

meminimalkan pengaruh gaya-gaya penggerak dan sekaligus meningkatkan

pengaruh gaya penahan gerakan pada lereng.

Penggalian berbentuk trap atau bangku cocok dilakukan pada lereng yang

curam. Struktur trap dapat mengurangi erosi dan menahan gerakan turun debris

(campuran material granuler) pada longsoran kecil, dengan adanya trap laju aliran

permukaan yang sering diikuti dengan aliran debris dapat terhambat. Secara teknis
110
111

lereng 2 memiliki sudut umum awal sebesar 27º yang dipotong menjadi 21º dengan

ukuran tinggi trap 5 meter dengan lebar trap 8,5 meter.

Perubahan geometri lereng ini dilakukan melalui pendekatan faktor keamanan

dengan berbagai percobaan. Analisis dilakukan melalui beberapa percobaan dengan

bantuan software Slope/W sampai didapatkan hasil nilai faktor keamanan yang

dianggap stabil. Berdasarkan perubahan geometri yang dilakukan pada lereng

tersebut, maka faktor keamanan pada lereng 2 yang sebelumnya memiliki faktor

keamanan sebesar 1,071 berubah menjadi 1,266 (lihat Gambar 6.1). Pembuatan trap

ini dapat diikuti dengan penanaman vegetasi agar dapat menambah perkuatan lereng.

Gambar 6.1 Perubahan Geometri Model Trap pada Lereng 2

6.1.2. Pembuatan Saluran Drainase

Pembuatan saluran drainase air permukaan berupa parit bertujuan untuk

mengontrol air limpasan agar mengalir pada tempat tertentu. Pembuatan saluran

drainase ini diterapkan pada lereng-lereng yang sebelumnya telah dilandaikan dan

dibuatkan trap (benching). Parit yang dibuat berbentuk trapesium yang pada dasar
112

parit dibuat relatif kedap air misalnya dengan melapisi dasarnya dengan batu. Hasil

perhitungan dimensi parit untuk kapasitas saluran tiap lereng berbeda.

Dimensi parit untuk lereng 2 akan dibuat parit dengan ukuran lebar saluran

dasar sebesar 0,265 meter, dan tinggi muka air 0,145 meter dengan tinggi jagaan

0,304 meter, parit selanjutnya diarahkan menuju sungai musiman yang berada dekat

dengan lokasi. Perhitungan debit air limpasan dan saluran drainase dapat dilihat pada

Lampiran 6 dan Lampiran 7.

Gambar 6.2 Desain Saluran Drainase pada Lereng 2

6.1.3. Penanaman Vegetasi

Penanaman vegetasi ini diharapkan dapat membantu dalam meningkatkan

kestabilan lereng. Akar tumbuhan dapat memperkuat lereng dan serasah dari vegetasi

dapat menjaga kelembaban tanah sehingga pembentukan retakan pada tanah dapat

terkendali. Berkurangnya retakan pada tanah akan mengurangi air masuk ke dalam

tanah. Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 Tahun 2006 dalam

pengendalian longsor dengan pendekatan vegetatif dianjurkan menanam jenis

tumbuhan berakar dalam, dapat menembus lapisan kedap air, mampu merembeskan
113

air ke lapisan yang lebih dalam dan mempunyai massa yang relatif ringan. Jenis

tanaman yang dapat dipilih di antaranya adalah sonokeling, akar wangi, flemingia,

kayu manis, kemiri, cengkeh, pala, petai, jengkol, melinjo, alpukat, kakao, kopi, teh

dan kelengkeng.

Tanaman lokal yang dapat digunakan untuk mencegah longsor adalah

cengkeh, durian, mahoni dan sengon dikarenakan memiliki akar tunggang yang

dalam sehingga tidak berpotensi mengikat air. Tumbuhan ini juga menghasilkan

serasah yang dapat menjaga kelembaban tanah selain itu dapat juga dimanfaatkan

oleh warga. Penanaman tumbuhan ini dapat diikuti juga dengan penanaman semak-

semak yang bertujuan untuk perlindungan permukaan tanah.

Penanaman vegetasi pada zona kerawanan gerakan massa tanah tinggi yang

penggunaan lahannya berupa pemukiman, disarankan untuk menanam tanaman

cengkeh ataupun tanaman lainnya yang dianjurkan pada Peraturan Menteri Pertanian

Nomor 47 Tahun 2006 di halaman rumah maupun di lahan kosong yang tersedia.

Sedangkan pada zona kerawanan gerakan massa tanah menengah yang penggunaan

lahannya sebagian besar berupa kebun campuran dapat menanam tanaman durian,

mahoni, sengon dan cengkeh. Rencana pengelolaan gerakan massa tanah secara

keseluruhan pada Gambar 6.3


Gambar 6.3 Desain Pengelolaan Gerakan Massa Tanah pada Lereng 2

114
115

6.1.4. Penutupan Retakan Tanah

Tanah yang telah mengalami retak dapat ditutup dengan lempung padat atau

aspal kedap air agar mencegah masuknya air hujan ke dalam retakan sehingga tidak

menyebabkan retakan baru dan mengurangi potensi longsor. Retakan harus diawasi

secara periodik dan bila perlu diperbaiki lagi. Dalam kondisi darurat, penutupan

retakan dapat menggunakan lembaran plastik atau terpal, sebelum dilakukan

perbaikan secara permanen. Jika setelah ditutup retakan kembali membuka, ini

menunjukkan bahwa lereng masih bergerak dan mungkin dapat terjadi kelongsoran

lereng sehingga warga harus waspada.

6.2. Pendekatan Sosial

Pendekatan sosial merupakan bagian dari konsep pengelolaan gerakan massa

tanah. Pendekatan sosial dapat diterapkan pada masyarakat atau komunitas yang ada

di Dusun Donorati. Pendekatan sosial yang dapat dilakukan diantaranya sebagai

berikut:

a. Memberikan sosialisasi dan pembelajaran kepada masyarakat/komunitas di

Dusun Donorati tentang bencana gerakan massa tanah yang dapat terjadi

sewaktu-waktu. Sosialisasi ini dapat berupa memberikan pemahaman dan

melatih masyarakat untuk mengenali gejala awal tanah longsor.

b. Memberikan sosialisasi kepada para petani di Dusun Donorati mengenai

pengelolaan tanaman yang sesuai dan tepat pada lereng, agar dapat

mengurangi pemicu terjadinya longsor.


116

6.3. Pendekatan Institusi

Perlu adanya tindakan antisipasi dan kontrol yang dilakukan bersama-sama

oleh pihak terkait yaitu antara pemerintah Kabupaten Purworejo maupun warga

Dusun Donorati, untuk pengelolaan terhadap bencana gerakan massa tanah yang

disebabkan oleh ketidakstabilan lereng. Pendekatan yang dapat dilakukan antara lain:

a. Pemerintah Kabupaten Purworejo perlu melakukan sosialisasi kepada

masyarakat Dusun Donorati untuk memberikan informasi tentang lahan yang

tidak layak untuk dijadikan kawasan pemukiman dengan menetapkan wajib

lapor seperti ke kantor Desa Donorati untuk setiap warga yang akan

membangun rumah sehingga dapat di data dan diarahkan.

b. Pemerintah Kabupaten Purworejo perlu berupaya dalam menegakan peraturan

berupa penetapan zona sempadan lereng pada lereng-lereng yang rawan

bergerak, serta pemberian izin mendirikan bangunan yang mengacu pada

hasil pemetaan zona kerawanan tanah longsor.

c. Pemerintah Kabupaten Purworejo perlu menyiapkan lahan dan bangunan

yang baru dan aman untuk merelokasi penduduk yang terkena dampak dari

tanah longsor sehingga dapat mencegah atau mengurangi dampak atas

ketidaknyamanan lahan untuk permukiman.


117
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian dan analisis yang telah dilakukan di daerah

penelitian maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan Peta Tingkat Kerawanan Gerakan Massa Tanah skala 1:8.000,

wilayah penelitian terdiri dari 2 zona yang terdiri dari zona kerawanan tinggi

seluas 9% dan zona kerawanan menengah seluas 91%.

2. Berdasarkan analisis faktor keamanan pada lereng-lereng yang sebelumnya

telah mengalami gerakan massa tanah diketahui bahwa pada lereng 1

memiliki nilai faktor keamanan sebesar 1,590 yang termasuk dalam kelas

stabil. Sedangkan lereng 2 memiliki nilai faktor keamanan sebesar 1,107 yang

termasuk dalam kelas kritis. Diketahui pula tipe longsoran pada lereng 1 dan

lereng 2 adalah tipe longsoran baji (wedge failure) dengan arah longsoran

pada lereng 1 yaiu 27º ; N 207º E dan pada lereng 2 arah longsoran yaitu 57º ;

N 36º E.

3. Pengelolaan gerakan massa tanah pada daerah penelitian berupa perubahan

geometri lereng dengan membuat trap dan drainase pada lereng 2. Pembuatan

trap dan drainase pada lereng 2 dapat membuat lereng menjadi stabil dengan

nilai faktor keamanan sebesar 1,266. Selain itu dilakukan juga penanaman

vegetasi dengan menggunakan tumbuhan lokal seperti cengkeh, mahoni,

durian dan sengon agar dapat menunjang kestabilan lereng. dan penutupan

retakan tanah menggunakan lempung padat atau aspal kedap air.

118
119

7.2. Saran

Saran yang dapat penulis berikan terhadap lokasi dan kegiatan yang ada pada

daerah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Warga Dusun Donorati serta Pemerintah Kabupaten Purworejo perlu

memberikan perhatian khusus dalam penanganan lereng pada daerah

penelitian misalnya dalam pemotongan lereng untuk pembuatan jalan dan

pembuatan rumah pada lereng yang memiliki kemiringan lereng curam

dikarenakan lereng pada daerah penelitian tersusun oleh batuan-batuan yang

sudah lapuk sehingga ketika adanya perubahan pada lereng dapat

menyebabkan ketidakstabilan dan lereng menjadi rawan terjadi gerakan

massa tanah.

2. Sebaiknya dilakukan pemasangan EWS (Early Warning System) pada lereng-

lereng yang dianggap rawan mengalami gerakan massa tanah. Serta dilakukan

penutupan retakan tanah pada lereng yang telah mengalami retakan tanah

sedalam > 1 meter untuk mencegah masuknya air kedalam retakan tanah.
PERISTILAHAN

1. Gerakan massa tanah adalah perpindahan material pembentuk lereng dapat

berupa batuan asli, tanah, bahan timbunan atau kombinasi dari material-

material tersebut yang bergerak kearah bawah atau keluar lereng (Vernes,1978

dalam Karnawati 2007)

2. Diskontinuitas adalah bidang yang memisahkan massa batuan menjadi bagian

yang terpisah, seperti kekar. (Rudi Siregar, 2015)

3. Kekar adalah suatu retakan pada batuan yang tidak/belum mengalami

pergerakan

4. Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu

dengan bidang horizontal (Irwandy Arif, 2016)

5. Faktor keamanan (safety factor) adalah perbandingan antara gaya penahan

yang membuat lereng tetap stabil, dengan gaya penggerak yang menyebabkan

terjadinya longsor (Hardiyatmo, 2006)

6. Kuat geser tanah adalah kemampuan tanah melawan tegangan geser yang

terbebani atau gaya perlawanan yang dilakukan oleh butir-butir tanah terhadap

desakan atau tarikan (Ilham Idrus, Jurnal ILTEK,Vol 6, 2011)

7. Sudut geser dalam adalah nilai yang mengekspresikan kekuatan friksi antara

partikel-partikel penyusun batuan atau tanah (Karnawati, 2005)

8. Kekuatan pendorong (driving forces) adalah keseimbangan atau kestabilan

pada lereng bergantung pada hubungan momen gaya yang menjadikan lereng

longsor (Karnawati, 2005)

9. Kekuatan penahan (resisting forces) adalah momen gaya yang akan

menjadikan tanah atau batuan tetap seimbang atau stabil (Karnawati, 2005)
10. Infiltrasi adalah air yang masuk ke dalam tanah (Karnawati, 2005)

11. Bukit adalah suatu wilayah bentang alam yang memiliki permukaan tanah yang

lebih tinggi dari permukaan tanah di sekelilingnya namun dengan ketinggian

relatif rendah dibandingkan dengan gunung.

12. Sifat fisik tanah adalah karakteristik tanah yang diukur dan diteliti di

laboratorium dengan mengambil sampel di lapangan.

13. Sifat mekanik tanah adalah sifat-sifat tanah dan prilaku tanah terhadap

pengaruh beban, pengaruh dari rembesan air dan sebagainya (Geologi Teknik,

2014)

14. Strike adalah arah dari garis potong yang dibentuk oleh suatu bidang lemah

dengan bidang khayal horizontal (Irwandy Arif, 2016)

15. Dip adalah sudut kemiringan yang dibentuk oleh bidang lemah dengan bidang

khayal horizontal (Irwandy Arif, 2016)

16. Longsoran baji (wedge failure) adalah longsoran yang akan terjadi bila ada dua

bidang lemah atau lebih yang saling berpotongan sedemikian rupa sehingga

membentuk baji (Irwandy Arif, 2016)


DAFTAR PUSTAKA

Arif, Irwandy. 2016. Geoteknik Tambang Mewujudkan Produksi Tambang yang


Berkelanjutan dengan Menjaga Kestabilan Lereng. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Azizi, Amris dan M. Agus Salim. 2015. Kajian Pengendalian Longsor Secara
Vegetatif di Desa Binangun, Kecamatan Banyumas. Purwokerto: Jurnal
Techno Vol. 16 No. 2, Oktober 2015: 63-69.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Purworejo. 2016. Kecamatan Purwoejo dalam
Angka. Pemerintah Kabupaten Purworejo
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Purworejo. 2016. Kabupaten Purworejo.
Pemerintah Purworejo.
Badan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2016. Tanggapan Bencana
Gerakan Tanah Kecamatan Loano, Kecamatan Kaligesing dan Kecamatan
Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tenngah. Diakses dari situs
http://www.vsi.esdm.go.id pada tanggal 21 Januari 2017.
Badley, P.C. 1959. Structural Methods for The Exploration Geologist. New York :
Harper & Brothers
Balai Desa Donorati. 2016. Demografi dan monografi Desa Donorati. Pemerintah
Kabupaten Purworejo
Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Purworejo. 2017. Curah Hujan Stasiun
Kedungputri. Pemerintah Purworejo.
Basuki, Iis Winarsih dan Noor Laily Adhyani. 2009. Analisis Periode Ulang Hujan
Maksimum dengan Berbagai Metode. Jurnal Agrometereologi Vol. 23 No. 2,
Juli 2009: 76-92.
Bowles J.E. 1991. Sifat – Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah). Jakarta
: Edisi Kedua. Erlangga
Bronto, Sutikno. 2007. Genesis Endapan Aluvium Dataran Purworejo Jawa Tengah:
Implikasinya terhadap Sumber Daya Geologi. Bandung: Jurnal Geologi
Indonesia Vol. 2 No.4, Desember 2007: 207-215
Cahyono, Bondan Eko. 1985. Sifat-sifat dan Klasifikasi Beberapa Jenis Tanah dari
Desa Sukajaya, Ciomas, dan sekitarnya Menurut Sistem Taksonomi Tanah.
Bogor : Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB
Das, Braja M. Endah Noor, Mochtar Indrasurya B. 1995. Mekanika Tanah (Prinsip-
Prinsip Geoteknik). Jakarta: Erlangga
Hansen, M.J. 1984. Strategies for Classification of Landslides, (ed. : Brunsden, D, &
Prior, D.B., 1984, Slope Instability, John Wiley & Sons, p. 1-25.
Hardiyatmo, Hary Christady. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Indriani, Yanuar Nursani, Sari Bahagiarti Kusumayudha dan Heru Sigit Purwanto.
2017. Analisis Gerakan Massa Berdasarkan Sifat Fisik Tanah Daerah Kali
Jambe dan sekitarnya, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa
Tengah. Yogyakarta: Jurnal Mineral, Energi dan Lingkungan Vol. 1 No. 2,
2017: 39-49.
Karnawati, Dwikorita. 2005. Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. Yogyakarta : Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada.
Kartasapoetra, Ance Gunarsih. 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim Terhadap Tanah
dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1452K.10.MEM.2000
tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintah di Bidang
Inventaris Energi dan Sumber Daya Mineral, Penyusunan Peta Geologi dan
Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah.
Pangular, D. 1985. Petunjuk Penyelidikan & Penanggulangan Gerakan Tanah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Balitbang Departemen Pekerjaan
Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Bencana
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Pedoman Mitigasi Bencana Gunungapi, Gerakan Tanah, Gempa Bumi dan
Tsunami
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Penetapan Kawasan Rawan Bencana Geologii
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Bencana Longsor
Priyono. 2015. Hubungan Klasifikasi Longsor, Klasifikasi Tanah Rawan Longsor
dan Klasifikasi Tanah Pertanian Rawan Longsor. GEMA, Th.
XXVII/49/Agustus 2014 – Januari 2015
Pusat Studi Bencana Alam. 2004. Laporan Akhir Penyusunan Strategi Penanganan
Daerah Rawan Bencana di Kabupaten Purworejo. Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada
Pusat Studi Bencana Alam. 2001. Laporan Akhir Penyusunan Sistem Informasi
Penanggulangan Bencana Alam Tanah Longsor di Kabupaten Kulon Progo.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Schmidt FH, Ferguson JHA. 1951. Rainfall type based on wet and dry period ratio
for Indonesia with Western New Gurinea.
Siregar, Rudi. 2015. Geologi dan Kendali Faktor Internal – Eksternal Pada Gerakan
Tanah Daerah Sidosari dan Sekitarnya, Kecamatan Salaman, Kabupaten
Magelang, Provinsi Jawa Tengah (Skripsi Program Studi Teknik Geologi
Fakultas Teknologi Mineral). Yogyakarta: Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran”
Sugiatsu, Hana. 2013. Pemetaan Daerah Rawan Longsor dengan Metode
Pengindraan Jauh dan Oprasi Berbasis Sosial Studi Kasus Kota Batu Jawa
Timur. Surabaya: Jurnal Geosaintek, Program Magister Geomatika, Institut
Teknologi Surabaya
Sungkowo, Andi. 2013. Bahan Ajar Geomorfologi. Program Studi Teknik
Lingkungan Fakultas Teknologi Mineral. Yogyakarta: Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran”.
Surono. 2008. Litostratigrafi dan Sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di
Pegunungan Baturagung Jawa Tengah Bagian Selatan. Bandung: Jurnal
Geologi Indonesia Vol. 3 No. 4 Desember 2008: 183-193
Sutanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah, Konsep dan Kenyataan. Yogyakarta:
Kanisus.
Sutarno, N.T. 1998. Klimatologi Dasar. Yogyakarta : UPN “Veteran” Press
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana
Van Zuidam, R.A. dan van Zuidam-Cancelado, F.I. 1979. Terrain Analysis and
Classification Using Aerial Photographs, Volume VII. AL Enschede: ITC.
Varnes .D.J. 1978. Slope Movement Types and Process Landslide Analyses and
Control. Washington DC: ed by R. Schuster , Acad Of Science.
Whitney. 1960. Penelitian Deskriptif Menurut Whitney. Diakses dari situs
http://www.academia.edu/ pada tanggal 1 Februari 2017
Widodo, 2009. Mitigasi Bencana Tanah Longsor dan Pemetaan Tingkat Resiko
Bencana di Kabupaten Karanganyar (Tesis Jurusan Teknik Sipil).
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Zakaria, Z. 2000. Peran Indentifikasi Longsoran Dalam Studi Pendahuluan Per
Modelan Sistem STARLET Untuk Mitigasi Bencana Longsor. Direktorat
Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan Bidang Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Alam.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1

DIAGRAM ALIR ANALISIS TEKSTUR TANAH

Sumber: Notohadiprawiro, 1983


LAMPIRAN 2

HASIL LABORATORIUM
LAMPIRAN 3

PERHITUNGAN LAJU INFILTRASI

• LP 1 (Latosol, Breksi dan Pemukiman)

Diketahui:

K =0

t = 2 menit

f0 = 0,05

fc = 0,1

Maka laju infiltrasi:

f = fc + (f0 - fc) × e-kt

= 0,1 + (0,05 – 0,1) × 2,78-0×2

= 0,05 cm/menit

= 3 cm/jam

• LP 2 (Latosol, Breksi dan Kebun Campuran)

Diketahui:

K = 0,346

t = 4 menit

f0 = 0,717

fc = 0,1

Maka laju infiltrasi:

f = fc + (f0 - fc) × e-kt

= 0,1 + (0,717 – 0,1) × 2,78-0,346×4

= 0,249 cm/menit

= 14,94 cm/jam
• LP 3 (Latosol, Andesit, dan Kebun Campuran)

Diketahui:

K = 0,274

t = 4 menit

f0 = 0,406

fc = 0,1

Maka laju infiltrasi:

f = fc + (f0 - fc) × e-kt

= 0,1 + (0,406 – 0,1) × 2,78-0,274×2

= 0,199 cm/menit

= 11,94 cm/jam
LAMPIRAN 4
ANALISIS GAYA YANG BEKERJA DI SETIAP SLICE

Berikut salah satu contoh perhitungan gaya-gaya yang bekerja di setiap slice dengan

menggunakan konsep kesetimbangan gaya, hasil dari perhitungan ini nantinya

digunakan untuk mencari faktor keamanan lereng dengan menggunakan metode

Bishop.

- Contoh perhitungan gaya yang bekerja pada Lereng 2 slice 1:

a. Gaya Berat (W)

W = bobot isi × tinggi slice × lebar slice

kN
= 15,0093 m2 × 2,6782 m × 3,375 m

= 135,67 kN

b. Gaya Normal

𝑐′ 𝛽 sin 𝜃−𝑢𝑢 sin 𝜃 tan 𝜑


𝑊− 𝐹
N = sin 𝜃 tan 𝜑
cos 𝜃+ 𝐹

30,14×6,331 ×0,8461 −0×6,331×0,8461×0,2147


135,67− 1,07141
= 0,8461×0,2147
0,5331 + 1,07141

= -21,374 kN

Keterangan:

c’ = kohesi = 30,14 kPa (hasil uji laboratorium)

β = panjang dasar slice = 6,331 m (pengukuran slice)

θ = sudut yang dibentuk dari alas slice dengan bidang horizontal = 57,786º

φ = sudut geser dalam = 12,12º (hasil uji laboratorium)

W = berat slice

F = asumsi faktor keamanan mula-mula.


c. Faktor Keamanan (FK)

Faktor keamanan diperoleh dari perbandingan antara jumlah gaya penahan

pada lereng (Resisting Force) dengan jumlah gaya pendorong pada lereng (Driving

Force).

𝑖=𝑛 𝑆𝑆𝑆 𝜃𝑖
∑𝑖=1 [𝑐′𝑏𝑖 + (𝑊𝑖 − 𝑢𝑏𝑖 ) 𝑡𝑡𝑡 𝜑′] � �
(1 + 𝑡𝑡𝑡 𝜃𝑖 𝑡𝑡𝑡 𝜑′/𝐹)
𝐹= 𝑖=𝑛
∑𝑖=1 𝑊𝑖 sin 𝜃𝑖

∑ 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 (𝑅𝑅)


𝐹=
∑ 𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 (𝐷𝐷)

5271,53
𝐹=
4923,58

𝐹 = 1,071
LAMPIRAN 5

PERHITUNGAN FAKTOR KEAMANAN

• Lereng 1
- Kohesi (c) = 38,09 kPa - Sudut geser dalam (φ) = 17,12º
- Bobot isi tanah (γ) = 15,369 kN/m3 - F asumsi = 1,591

Tabel Data Hasil Perhitungan Seluruh Slice dan Nilai Faktor Keamanan Lereng pada Lereng 1
Sudut Slice Gaya
Lebar Panjang Tinggi Berat Tekanan Resisting Driving
dengan Normal
Slice Irisan Dasar Irisan Total Air Pori Force Force
Bidang tan φ tan θ sin θ cos θ sec θ Irisan FK
No (m) Irisan (m) (m) Irisan (kPa) (kN) (kN)
Horizontal (Kn)
b' Β h W U θ N RF DF
1 2,9828 4,1607 1,4504 66,488 0 -44,201 0,3080 0,9724 0,6971 0,7168 1,3950 3,5355 157,39 99,008

2 2,9828 4,0087 4,2398 194,36 0 -41,92 0,3080 0,8978 0,6680 0,7440 1,3440 149,05 198,6 124,93

3 2,9828 3,8777 6,8179 312,54 0 -39,718 0,3080 0,8307 0,6390 0,7691 1,300 283,51 235,03 147,85

4 2,9828 3,7639 9,2047 421,96 0 -37,584 0,3080 0,7696 0,6099 0,7924 1,2619 402,97 267,49 168,27
1,590
5 3,0469 3,7421 10,525 492,85 0 -35,488 0,3080 0,7129 0,5805 0,8142 1,2281 475,66 289,05 181,83

6 3,0469 3,6507 10,788 505,19 0 -33,424 0,3080 0,6599 0,5508 0,8346 1,1981 485,49 288,59 181,54

7 3,0469 3,57 10,896 510,22 0 -31,408 0,3080 0,6105 0,5211 0,8534 1,1717 487,87 286,26 180,07
Lanjutan Tabel Data Hasil Perhitungan Seluruh Slice dan Nilai Faktor Keamanan Lereng pada Lereng 1
Sudut Slice Gaya FK
Lebar Panjang Tinggi Berat Tekanan Resisting Driving
dengan Normal
Slice Irisan Dasar Irisan Total Air Pori Force Force
Bidang tan φ tan θ sin θ cos θ sec θ Irisan
No (m) Irisan (m) (m) Irisan (kPa) (kN) (kN)
Horizontal (Kn)
b' Β h W U θ N RF DF
8 3,0469 3,4958 10,857 508,43 0 -29,434 0,3080 0,5642 0,4914 0,8709 1,1482 483,61 282,22 177,53 1,590

9 3,0469 3,435 10,682 500,21 0 -27,498 0,3080 0,5205 0,4617 0,8870 1,1273 473,34 276,64 174,02

10 3,0469 3,3785 10,376 485,91 0 -25,596 0,3080 0,4790 0,4320 0,9018 1,1088 457,54 269,62 169,61

11 3,0469 3,3281 9,9476 465,82 0 -23,723 0,3080 0,4394 0,4023 0,9155 1,0922 436,6 261,65 164,34

12 3,2343 3,2343 8,7327 434,09 0 0 0,3080 0 0 1 1 434,09 256,9 161,61

13 3,2343 3,2343 6,7921 337,62 0 0 0,3080 0 0 1 1 337,62 227,19 142,92

14 3,2343 3,2343 4,8515 241,16 0 0 0,3080 0 0 1 1 241,16 197,48 124,22

15 3,2343 3,2343 2,9109 144,7 0 0 0,3080 0 0 1 1 144,7 167,76 105,53

16 3,2343 3,2343 0,9703 48,232 0 0 0,3080 0 0 1 1 48,232 138,05 86,843

Jumlah 3799,92 2390,121


• Contoh Pembuktian Nilai F Pada Slice 1

Diketahui nilai F asumsi = 1,591

∑ 𝐺𝐺𝐺𝐺 𝑃𝑃𝑃𝑃ℎ𝑎𝑎 (𝑅𝑅)


𝐹𝐹 =
∑ 𝐺𝐺𝐺𝐺 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 (𝐷𝐷)

𝑆𝑆𝑆 𝜃𝑖
∑𝑖=𝑛
𝑖=1 [𝑐′𝑏𝑖 + (𝑊𝑖 − 𝑢𝑏𝑖 ) 𝑡𝑡𝑡 𝜑′] �1 + 𝑡𝑡𝑡 𝜃 𝑡𝑡𝑡 𝜑′/𝐹 �
𝑖
𝐹𝐹 =
∑𝑖=𝑛
𝑖=1 𝑊𝑖 sin 𝜃𝑖

1,3950
[38,09 × 2,9828 + (66,488 − 0 × 2,9828) × 0,3080] �
0,3080�
1 + 0,9724 ×
1,591
1,590 =
99,008

(134,093156)(1,1740)
1,590 =
99,008

157,425365144
1,590 =
99,008

𝟏, 𝟓𝟓𝟓 = 𝟏, 𝟓𝟓𝟓
• Lereng 2
- Kohesi (c) = 30,14 kPa - Sudut geser dalam (φ) = 12,12º
- Bobot isi tanah (γ) = 15,0093 kN/m3 - F asumsi = 1,07141

Tabel Data Hasil Perhitungan Seluruh Slice dan Nilai Faktor Keamanan Lereng pada Lereng 2
Panjang Sudut Slice Gaya
Lebar Tinggi Berat Tekanan Resisting Driving
Dasar dengan Normal
Slice Irisan Irisan Total Air Pori Force Force
Irisan Bidang tan φ tan θ sin θ cos θ sec θ Irisan FK
No (m) (m) Irisan (kPa) (kN) (kN)
(m) Horizontal (Kn)
b' β h W u θ N RF DF
1 3,375 6,331 2,6782 135,67 0 -57,786 0,2147 1,5871 0,8461 0,5331 1,8759 -21,374 186,23 173,94

2 3,375 5,6096 7,5968 384,83 0 -53,012 0,2147 1,3276 0,7988 0,6016 1,6621 339,71 242,02 226,05

3 3,8681 5,8306 11,03 640,4 0 -48,439 0,2147 1,1279 0,7482 0,6634 1,5073 636,42 312,4 291,78

4 3,8681 5,3737 13,1 760,58 0 -43,96 0,2147 0,9643 0,6942 0,7198 1,3892 763,29 325,88 304,37

5 3,8681 5,0347 14,6 847,66 0 -39,799 0,2147 0,8331 0,6401 0,7683 1,3016 844,31 333,06 311,08
1,071
6 3,8681 4,7739 15,634 907,68 0 -35,878 0,2147 0,7233 0,5861 0,8103 1,2342 893,55 335,77 313,61

7 3,8681 4,5684 16,272 944,71 0 -32,144 0,2147 0,6284 0,5320 0,8467 1,1810 919,21 335,09 312,97

8 3,8681 4,4039 16,563 961,64 0 -28,557 0,2147 0,5442 0,4780 0,8783 1,1385 926,35 331,66 309,77

9 3,8681 4,2711 16,545 960,58 0 -25,09 0,2147 0,4682 0,4240 0,9056 1,1042 918,22 325,92 304,41

10 3,8681 4,1637 16,245 943,13 0 -21,718 0,2147 0,3983 0,3700 0,9290 1,0764 896,93 318,11 297,11
Lanjutan Tabel Data Hasil Perhitungan Seluruh Slice dan Nilai Faktor Keamanan Lereng pada Lereng 2

Panjang Sudut Slice Gaya


Lebar Tinggi Berat Tekanan Resisting Driving
Dasar dengan Normal
Slice Irisan Irisan Total Air Pori Force Force FK
Irisan Bidang tan φ tan θ sin θ cos θ sec θ Irisan
No (m) (m) Irisan (kPa) (kN) (kN)
(m) Horizontal (Kn)

b' β h W u θ N RF DF
11 3,8681 4,0771 15,683 910,52 0 -18,424 0,2147 0,3331 0,3160 0,9487 1,0540 863,82 308,39 288,03

12 3,8681 4,0082 14,876 863,67 0 -15,192 0,2147 0,2715 0,2621 0,9651 1,0362 819,71 296,84 277,25

13 3,8681 3,9547 13,836 803,3 0 -12,01 0,2147 0,2127 0,2081 0,9781 1,0224 764,99 283,47 264,76

14 3,7072 3,7072 12,312 685,1 0 0 0,2147 0 0 1 1 685,1 258,86 241,77

15 3,7072 3,7072 10,418 579,7 0 0 0,2147 0 0 1 1 579,7 236,22 220,63

16 3,7072 3,7072 8,524 474,3 0 0 0,2147 0 0 1 1 474,3 213,59 199,49 1,071

17 3,7072 3,7072 6,6297 368,9 0 0 0,2147 0 0 1 1 368,9 190,96 178,35

18 3,7072 3,7072 4,7355 263,5 0 0 0,2147 0 0 1 1 263,5 168,32 157,21

19 3,7072 3,7072 2,8413 158,1 0 0 0,2147 0 0 1 1 158,1 145,69 136,07

20 3,7072 3,7072 0,94711 52,7 0 0 0,2147 0 0 1 1 52,7 123,05 114,93

Jumlah 5271,53 4923,58


• Contoh Pembuktian Nilai F Pada Slice 1

Diketahui nilai F asumsi = 1,07141

∑ 𝐺𝐺𝐺𝐺 𝑃𝑃𝑃𝑃ℎ𝑎𝑎 (𝑅𝑅)


𝐹𝐹 =
∑ 𝐺𝐺𝐺𝐺 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 (𝐷𝐷)

𝑖=𝑛 𝑆𝑆𝑆 𝜃𝑖
∑𝑖=1 [𝑐′𝑏𝑖 + (𝑊𝑖 − 𝑢𝑏𝑖 ) 𝑡𝑡𝑡 𝜑′] � �
1 + 𝑡𝑡𝑡 𝜃𝑖 𝑡𝑡𝑡 𝜑′/𝐹
𝐹𝐹 = 𝑖=𝑛
∑𝑖=1 𝑊𝑖 sin 𝜃𝑖

1,8759
[30,14 × 3,375 + (135,67 − 0 × 3,375) × 0,2147] �
0,2147 �
1 + 1,5871 × 1,07141
1,071 =
173,94

(130,850849)(1,423250)
1,071 =
173,94

186,23
1,071 =
173,94

𝟏, 𝟎𝟎𝟎 = 𝟏, 𝟎𝟎𝟎𝟎
LAMPIRAN 6
PERHITUNGAN PRAKIRAAN DEBIT AIR LIMPASAN

Tabel Data Curah Hujan Maksimum dari Tahun 2007-2016

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des CH Maks
Tahun
(mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari)

2007 23 71 63 107 30 16 29 0 2 46 65 173 173


2008 126 68 104 37 7 7 0 0 0 38 148 33 148
2009 87 57 57 71 52 33 9 0 1 20 89 71 89
2010 56 61 52 67 161 54 167 64 68 104 49 64 167
2011 62 64 90 57 110 4 2 0 0 60 118 110 118
2012 136 61 61 37 84 4 0 0 0 25 99 121 136
2013 98 32 49 92 89 42 101 0 3 51 76 141 141
2014 92 51 57 72 59 199 78 0 0 4 144 107 199
2015 82 92 52 61 29 16 0 0 0 0 69 95 95
2016 62 159 92 126 55 328 21 33 57 83 81 114 328
Jumlah CH Maks (Xi) 1594
�)
Rata-rata CH Maks (X 159,4
Tabel Pengelolahan Data Curah Hujan Maksimum dari tahun 2007-2016

CH Maks atau Xi �) � )𝟐
Tahun (𝑿𝒊 − 𝑿 (𝑿𝒊 − 𝑿
(mm/hari)
2007 173 13,6 184,96
2008 148 -11,4 129,96
2009 89 -70,4 4956,16
2010 167 7,6 57,76
2011 118 -41,4 1713,96
2012 136 -23,4 547,56
2013 141 -18,4 338,56
2014 199 39,6 1568,16
2015 95 -64,4 4147,36
2016 328 168,6 28425,96
Jumlah 42070,4

a. Penentuan harga rata-rata curah hujan maksimum


𝑋𝑖
𝑋� =
𝑛
Keterangan:
𝑋� = Rata-rata curah hujan maksimum (mm/hari)
𝑋𝑖 = Curah hujan maksimum n data (mm/hari)
𝑛 = Jumlah data
1594
Maka 𝑋� = = 159,4 mm/hari
10

b. Penentuan curah hujan rencana dengan menggunakan Distribusi Gumbell


𝛿𝛿
𝑋𝑋 = 𝑋� + (𝑌𝑌 − 𝑌𝑌)
𝛿𝛿
68,37
Xr = 159,4+ (2,2502 − 0,4952)
0,9497

= 285,74 mm/hari

Keterangan:

Xr = Prediksi curah hujan maksimum (mm/hari) dengan PUH 10 tahun

𝑋� = Rata-rata curah hujan maksimum (mm/hari)

𝛿𝛿 = Standar deviasi
1
(𝑋𝑖 − 𝑋�) 2
𝛿𝛿 = � �
𝑛−1

1
(42070,4) 2
=� �
10 − 1

= 68,37 mm/hari

𝛿𝛿 = Expected standar deviasi, tertera pada Tabel 3.

𝑌𝑌 = Variasi reduksi untuk PUH 10 tahun, tertera pada Tabel 2.

𝑌𝑌 = Expected mean, tertera pada Tabel 3.

c. Intensitas curah hujan (I)


2
Rn24 24 3
I= � �
24 t
2
285,74 mm/hari 24 3
= � �
24 1
= 99,06 mm/jam

Keterangan:

I = Intensitas curah hujan (mm/jam)

Rn24 = Prediksi curah hujan (mm/hari) atau Xr

t = Lamanya curah hujan (1 jam)

d. Debit air limpasan

Q = 0,278 C I A

Keterangan:

Q = Debit air limpasan hujan (m3/detik)

C = Harga koefisien limpasan, dapat ditentukan menggunakan Tabel 4

I = Intensitas curah hujan (m/jam)

A = Luas daerah pengaliran (m2)


Maka untuk Lereng 2:
Q = 0,278 × 0,7 × 0,09906 m/jam × 3076 m2
= 59,29 m3/jam
= 0,0164 m3/detik

Tabel 1 Periode Ulang Hujan Untuk Sarana Penyaliran

Keterangan Periode Ulang Hujan (Tahun)


Daerah terbuka 0–5
Sarana tambang 2–5
Lereng-lereng tambang dan penimbunan 5 – 10
Sumuran utama 10 – 25
Penyaliran keliling tambang 25
Pemindahan aliran sungai 100
Sumber: Siri, 2011

Tabel 2 Hubungan PUH dengan Reduksi Variat dari Variabel


PUH Yr
2 0,3665
5 1,4999
10 2,2502
25 3,1985
50 3,9019
100 4,6001
Sumber: Siri, 2011

Tabel 3 Hubungan antara Standar Deviasi (𝜹𝜹) dan Reduksi Variant (Yn) dengan Jumlah Data
N Yn 𝜹𝜹
8 0,4843 0,9043
9 0,4902 0,9288
10 0,4952 0,9497
11 0,4996 0,9697
12 0,5053 0,9833
13 0,5070 0,9971
14 0,5100 1,0095
15 0,5128 1,0206
16 0,5175 1,0316
Sumber: Siri, 2011

Tabel 4 Harga Koefisien Limpasan


Kemiringan Kegunaan Lahan Koefisien Limpasan
- Sawah, rawa 0,2
< 3% - Hutan, perkebunan 0,3
- Perumahan dengan perkebunan 0,4
- Hutan, perkebunan 0,4
- Perumahan 0,5
3% - 5%
- Tumbuhan yang jarang 0,6
- Tanpa tumbuhan, daerah penimbunan 0,7
- Hutan 0,6
- Perumahan, kebun 0,7
> 15%
- Tumbuhan yang jarang 0,8
- Tanpa tumbuhan, daerah tambang 0,9
Sumber: Siri, 2011
LAMPIRAN 7

PERHITUNGAN DIMENSI PARIT

a. Pembuatan Saluran

Debit air limpasan pada Lereng 2 (Q) = 0,0164 m3/detik

Model saluran = Trapesium

b. Perhitungan Dimensi Saluran

• Kemiringan Dinding Saluran (Z)

Z = Cotg α

= Cotg 45º

=1

• Lebar Saluran Dasar (b)

b = 2((1+Z2)0,5- Z)) h

= 2((1+12)0,5 – 1)) h

= 1,828h

• Luas Penampang (A)

A = (b+Zh) h

= (1,828h+1h) h

= 2,828h2

• Lebar Permukaan (B)

B = b+2Zh

= 1,828h + 2(1)h

= 3,828h

• Jari-Jari Hidrolis
R = 0,5 h
Untuk saluran yang dibuat, diketahui debit air limpasan (Q) pada lereng 2

sebesar 0,0164 m3/detik, kemudian nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam

rumus Manning dimana nilai n untuk tipe dinding saluran tanah = 0,030 (tertera

pada Tabel 1)

• Lereng 2

1 2 1
𝑄= 𝑅3𝑆 2𝐴
𝑛

1 2 1
0,0164 = 0,5h3 0,00222 2,828h2
0,030
8
4,92×10-4 = 0,0835h3

8
h3 = 5,892×10-3

h = 0,145 m

Disubtitusikan menjadi:

- b = 1,828h

= 1,828 × 0,145 m = 0,265 m

- A = 2,828h2

= 2,828 × 0,145 m = 0,41 m

- B = 3,828h

= 3,828 × 0,145 m = 0,555 m

- R = 0,5h

= 0,5 × 0,145 m = 0,0725 m

e
- Z =
h

e
1 =
0,145

e = 0,145 m
e
- a =
2√2

0,145
= = 0,051 m
2√2

- W = Tinggi jagaan.

W = �0,5 × h

= �0,5 × 0,145

= 0,269 m

Tabel 1 Harga Koefisien Kekasaran Manning


Tipe Dinding Saluran Harga n
Semen 0,010 – 0,014
Beton 0,011 – 0,016
Bata 0,012 – 0,020
Besi 0,013 – 0,017
Tanah 0,020 – 0,030
Gravel 0,022 – 0,025
Tanah yang ditanami 0,025 – 0,040
Sumber: Siri, 2011

h
h

e e
b

Gambar Perencenaan Desain Dimensi Saluran Air

Anda mungkin juga menyukai