Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

PENGARUH SKLEROTERAPI BLEOMISIN TERHADAP


LIMFANGIOMA

Disusun oleh:
RAYMOND MALVIN WINATA
406182007

Pembimbing
dr. Yohanes Arif Eko N, Sp. BA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT SUMBER WARAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 20 MEI 2019 – 4 AGUSTUS 2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Limfangioma adalah lesi jinak kongenital yang cukup langka yang umumnya terjadi
pada kepala, leher, dan kavitas oral. Mereka umumnya terlokalisir pada pusat-pusat
perkembangan abnormal pada sistem limfatik. (1) Limfangioma tergolong dalam tumor
mesenkimal.
Insidensi limfangioma didapatkan pada 1,2-2,8 per 1.000 kelahiran hidup. (2)
Dari semua kasus limfangioma, 65% nya timbul saat anak baru lahir, dan 80-90%nya
(3)
terdiagnosis sebelum usia dua tahun. Dari berbagai lokasinya, sekitar 75%
limfangioma terjadi pada leher, 20% di aksila, dan 5% pada berbagai lokasi tubuh
lainnya, meliputi mediastinum, retroperitoneum, pelvis, dan kelamin.
Limfangioma dengan ukuran yang besar akan mengompresi struktur yang
penting, yang menyebabkan berbagai gangguan seperti obstruksi saluran napas,
disfagia, dan gejala-gejala kompresi saraf. Pengobatan limfangioma
mempertimbangkan struktur penting di sekitar lesi, dan tidak semua lesi dapat dieksisi
secara operatif. Selama beberapa dekade terakhir, skleroterapi intralesi/perkutan telah
menjadi tatalaksana pilihan kasus-kasus limfangioma pada anak-anak. Tindakan ini
menggunakan agen sklerotik yang mengiritasi, salah satunya dengan menggunakan
(4)
bleomisin. Tindakan ini telah berhasil menggantikan fungsi operasi, dan telah
berkembang menjadi tatalaksana utama dalam beberapa tahun terakhir.
Referat ini bertujuan membahas mengenai penggunaan skleroterapi bleomisin
untuk kasus limfangioma. Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Limfangioma adalah malformasi kongenital sistem limfatik yang langka yang dapat
terjadi di seluruh tubuh, dengan predileksi pada daerah servikofasial. (1) Limfangioma
tergolong dalam tumor mesenkimal (dengan hemangioma, fibroma/fibrosarkoma,
lipoma/liposarkoma, dan rabdomiosarkoma pada golongan yang sama). (5) Biasanya,
limfangioma bersifat kongenital dan timbul sebelum usia dua tahun. Akhir-akhir ini,
limfangioma lebih dikenal dengan sebutan malformasi limfatik, karena melibatkan
elemen kapiler atau vena (malformasi venolimfatik). (5) Beberapa lokasi limfangioma
yang sering ditemukan adalah servikofasial, mediastinum, aksila, dan abdominal. (5,6)

2.2 Etiologi dan Patofisiologi


Limfangioma terdistribusi secara merata pada kedua jenis kelamin dan ras. Tiga teori
yang menduga terjadinya abnormalitas yang mendasari timbulnya limfangioma adalah
sebagai berikut:
 Adanya blokade atau hambatan pertumbuhan saluran limfatik primitif sebelum
embriogenesis.
 Sakus limfatik primitif tidak mencapai sistem vena.
 Selama embriogenesis, jaringan limfatik terletak pada area yang salah. (1)

Teori perkembangan limfangioma tidak dapat dilepaskan dari teori


perkembangan secara sentrifugal dan sentripetal. Sabin dkk meyakini bahwa
embriologi sistem limfatik berkembang secara sentrifugal, yaitu sistem limfatik
muncul melalui budding dari vena embrionik dari sistem vena yang sudah ada.
Menurut teori ini, sel-sel endotel vena menjadi kuncup dan menyebar ke jaringan di
sekitarnya, dan melapisi gap interselular perivaskular dengan jaringan endotel
sehingga terbentuk seluruh sistem limfatik. Oleh karena itu, sel-sel endotel limfatik
secara eksklusif berasal dari endotel sistem vena. (7)
Teori lain meyakini perkembangan secara sentripetal, yaitu pembuluh limfatik
perifer berasal dari limfangioblas mesenkimal putatif. Konfluensi cleft mesenkimal

3
menyebabkan pembentukan pembuluh limfatik yang bersatu ke vena akibat
pertumbuhan sentripetal. Oleh karena itu, menurut teori sentripetal, space limfatik
terbentuk secara independen dan terletas dari vena, menyebar ke perifer embrio
dengan beraneksa dengan spatium-spatium lain yang serupa, dan hanya memperoleh
hubungan ke sistem vena melalui hubungan sekunder. (7)
Satu teori lain menyatakan gabungan dari kedua teori sebelumnya, dan
mendukung origin veno-mesenkimal. Para ahli yang mendukungnya menyatakan
bahwa pembuluh limfatik sentral berkembang dengan cara membentuk kuncup dari
sakus limfatikus, sehingga memiliki origin dari vena dan pembuluh limfatik perifer
berkembang dengan diferensiasi in situ prekursor mesenkimal, sehingga memiliki
origin mesenkimal. Sebagai kesimpulan, model ini menyatakan bahwa kedua teori di
atasnya terjadi secara bersamaan. (7)

Gambar … Teori perkembangan sentrifugal (7)

Gambar 1. Teori perkembangan sentripetal, yang menyatakan bahwa pembuluh darah


limfatik perifer timbul dari limfangioblas mesenkimal putatif (7)

Penyebab apapun seperti trauma, infeksi, inflamasi kronik, dan obstruksi


selama perkembangan embrionik diduga menyebabkan perkembangan limfangioma.
Beberapa peneliti menganggap bahwa limfangioma terjadi akibat sekuestrasi bagian
anlage limfatik primitif. Sebagai konsekuensi tidak terhubungnya ke sistem limfatik
yang normal, bagian tersebut dapat menghindari drainase cairan limfatik dari jaringan
yang mengalami sekuestrasi. Oleh karena itu, terjadi blokade limfatik pada area
tersebut, yang kemungkinan bertambah besar akibat infeksi atau trauma. Hal ini
menjelaskan terbentuknya limfangioma kecil yang terletak pada perifer. (7)

4
Beberapa ahli lainnya menganggap bahwa terjadinya limfangioma diakibatkan
oleh abnormal budding dari pembuluh limfatik dari anlage limfatik primitif. Struktur-
struktur tersebut kemungkinan memiliki potensi tumbuh yang lebih lanjut.
Bagaimanapun, koneksi mereka dengan bud limfatik primer bersifat longgar,
sehingga drainase sulit dilakukan, dan terbentuknya limfangioma. (7)
Pendapat lain menyatakan bahwa tidak bersatunya sakus limfatikus dengan
sistem vena menyebabkan terjadinya limfangioma. Weingast dkk juga menyatakan
bahwa hilangnya koneksi sakus limfatik primordial ke sistem vena menyebabkan
kanal limfatik yang terisolasi, yang kemudian mengalami dilatasi dan membentuk
limfangioma. Mekanisme ini menjelaskan terbentuknya higroma kistik pada dearah
leher. (7)
Teori lain menyatakan bahwa obstruksi pembuluh-pembuluh limfatik eferen
menyebabkan akumulasi limfe dan dilatasi kanal limfatik proksimal dari lokasi
obstruksi. Mekanisme ini diduga menyebabkan terbentuknya limfangioma. (7)
Beberapa faktor yang diduga berkaitan dengan patogenesis limfangioma
adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan patogenesis limfangioma (7)


Antigen Fungsi
VEGF-C Tirosinkinase
VEGFR-3 Reseptor tirosinkinase
Prox-1 Faktor transkripsi
bFGF Faktor pertumbuhan
PEDF Inhibitor angiogenesis
Trombospondin Inhibitor angiogenesis
Reelin Glikoprotein
cMAF Faktor transkripsi
Integrin-alfa 1, alfa 9 Protein transmembran

2.3 Klasifikasi
Limfangioma diklasifikasikan berdasarkan besarnya kavitas limfatik yang terlibat,
sebagai berikut:
 Mikrokistik (limfangioma kapiler) atau limfangioma simpleks, biasanya
ukuran <1 cm.
 Makrokistik (limfangioma kavernosa), biasanya ukuran >1 cm.

5
 Higroma sistik atau limfangioma kistik, atau tipe campuran. (1,6)

Limfangioma yang muncul dan terbatas pada jaringan yang padat, seperti
lidah, biasanya muncul dalam bentuk limfangioma kavernosa. Tipe mikrokistik atau
(8)
kavernosa memiliki komponen pembesaran jaringan lunak. Jika limfangioma
terbentuk pada jaringan yang relatif longgar seperti fasia leher yang longgar, lesi yang
terbentuk biasanya bersifat kistik. Seringkali, ketiga bentuk ini ditemukan pada pasien
yang sama, tergantung pada keparahan penyakitnya. Higroma kistik mencakup 90%
dari semua limfangioma pada regio kepala dan leher. Lokasi-lokasi lain di luar kepala
dan leher yang sering antara lain aksila, bahu, dinding dada, mediastinum, dinding
abdomen, dan paha. (1)
Limfangioma pada daerah leher (limfangioma coli) dideskripsikan oleh
Schuster dkk, untuk membuat nilai prediktif hasil paska-pengobatan dan terjadinya
komplikasi. Pembagiannya didasarkan pada volume limfangioma itu sendiri, sebagai
berikut:
 Tipe I: Tumor yang memiliki sedikit/tidak ada efek terhadap kontur leher.
 Tipe II: Tumor yang tidak melebihi batas garis khayal yang digambar pada
batas lateral kepala.
 Tipe III: Tumor yang melebihi batas garis khayal yang digambar pada batas
lateral kepala.
 Tipe IV: Tumor yang melebihi batas garis tengah tubuh. (9)

2.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Tanda yang paling jelas pada semua kasus limfangioma adalah keberadaan massa,
yang mungkin kecil dan belum nampak saat lahir. Massa yang kecil ini dapat
menyebabkan kelainan saluran napas atas atau trauma insidentil pada lokasi tersebut.
Bagaimanapun, kebanyakan lesi limfangioma biasanya cepat terdeteksi karena ukuran
yang cukup besar dan seringkali menyebabkan kelainan seperti obstruksi saluran
napas dan kesulitan makan. Kesulitan makan/menelan diakibatkan oleh penyebaran
limfangioma ke kavitas oral, orofaring, dan/atau hipofaring. Keterlibatan lidah secara
terisolasi dapat menyebabkan makroglosia dengan disfagia dan obstruksi jalan napas.
Meskipun pasien telah menjalankan operasi, gangguan jalan napas dan menelan dapat

6
menetap akibat edema mukosa, pembesaran limfangioma internal, dan hilangnya
inervasi alamiah pada faring atau lidah. (1)

Gambar 2. Limfangioma mikrokistik pada mata (7)

Pemeriksaan fisik akan menunjukkan massa lunak, loculated dan berbatas


tidak tegas, yang biasanya terletak pada segitiga servikal posterior. Lesi tersebut tidak
menempel pada kulit, tidak dapat digerakkan melewati jaringan yang lebih dalam, dan
uji transiluminasi menunjukkan hasil yang positif (untuk membedakan dari tumor lain
yang padat). (10) Lokasi tersering adalah pada segitiga anterior leher. Higroma kistik
dapat terletak pada area parotis, yang merupakan massa kongenital paling umum pada
area parotis. (1)
Perhitungan volume limfangioma dilakukan dengan rumus, yang
mengasumsikan bahwa bentuknya adalah elipsoid. Rumus volumenya adalah lebar x
dalam x tinggi x 0,52, dan hasil diperoleh dalam satuan milimeter. (8)
Pemeriksaan pencitraan dengan ultrasonografi (USG), CT-scan, dan MRI
dapat menunjukkan hubungan lesi dengan struktur di sekelilingnya, dan untuk
merencanakan tindakan operatif. USG dapat menentukan ukuran dan ekstensi lesi,
sehingga harus dilakukan secara rutin. (1) Pemeriksaan USG akan menunjukkan massa
kistik multilobular yang mengandung septum dengan ketebalan berbeda-beda.
Komponen vaskular dalam limfangioma dapat dideteksi dengan USG Doppler. (10)

Gambar 3. Ultrasonografi (USG) dada menunjukkan tiga tumor dengan pola hipoekoik
internal. (10)

7
Gambar 4. USG menunjukkan limfangioma makrokistik (10)

Gambar 5. Limfangioma tipe campuran, dengan kista (panah putih) dan area-area ekogenik
yang menunjukkan mikrokista (panah hitam) (10)

Gambar 6. Limfangioma mikrokistik yang bersifat ekogenik (panah). Penampakan ekogenik


diakibatkan oleh interface yang beragam dari dinding ke kista-kista kecil (10)

Pemeriksaan histopatologi akan menunjukkan dilatasi saluran-saluran limfatik


dengan satu atau dua lapis endotel, dengan atau tanpa lapisan adventisia. Ukuran
limfatik yang berdilatasi dapat bervariasi, bergantung pada lokasi, jaringan yang
mengelilinginya dan dasar klasifikasinya. (1)

8
Gambar 7. (A) Limfangioma mikrositik pada lidah yang terdiri dari saluran-saluran limfatik
berdinding tipis yang berdilatasi, yang ditutupi oleh epitel skuamosa atrofi parsial (B)
Limfangioma makrokistik yang terletak dalam jaringan ikat normal. Lumennya mengandung
cairan dengan protein dan beberapa limfosit (7)

Gambar 8. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan bahwa tumor dikelilingi epitel lapis


tunggal dengan serat elastik iregular pada dindingnya (pewarnaan HE, pembesaran x50) (10)

2.5 Tatalaksana
Hingga saat ini, reseksi operatif masih merupakan tatalaksana terbaik untuk
limfangioma. Bagaimanapun, tumor yang terletak pada daerah leher memerlukan
pendekatan yang lebih hati-hati, mengingat hubungannya yang sangat dekat dengan
berbagai struktur yang vital, untuk menghindari konsekuensi yang fatal. Seluruh
bagian massa harus diangkat untuk menghindari risiko rekurensi. (1) Bagaimanapun,
tindakan operatif memiliki risiko komplikasi sebesar 12-33% dan rekurensi sebesar
15-53%, sehingga pertimbangan pengobatan dialihkan ke alternatif lain yang bersifat
non-invasif. (11)

9
Gambar 9. Limfangioma makrokistik pada leher (7)

Gambar 10. Spesimen limfangioma kistik menunjukkan massa dengan septum yang jelas
(panah). Isi tumor adalah cairan limfatik (10)

Berbagai tindakan non-operatif dapat dicoba pada kasus-kasus yang tidak


memungkinkan reseksi, atau adanya tumor yang rekuren. Pilihan terapi lain seperti
skleroterapi telah terbukti sebagai alternatif yang baik untuk mengurangi dampak dan
(1)
komplikasi tindakan operatif. Skleroterapi perkutan adalah tindakan injeksi agen
(11)
sklerotik secara langsung melalui kulit menuju lesi. Tatalaksana limfangioma
dengan skleroterapi pertama kali dilakukan pada tahun 1933, dengan menggunakan
agen sodium moruat. Tumor tersebut mengalami regresi setelah enam minggu paska-
terapi. Ide awal penggunaan skleroterapi timbul saat para peneliti mengobservasi
bahwa limfangioma mengalami involusi secara spontan saat terinfeksi, dan infeksi
mengakibatkan fibrosis. (6)
Beberapa agen skleroterapi yang digunakan untuk limfangioma adalah:
 Sodium morhuat.
 Etanol.
 Dekstrosa.

10
 Tetrasiklin.
 Doksisiklin.
 Bleomisin.
 Ethibloc.
 OK-432. (1)

Etanol adalah sklerosan yang populer yang memiliki efikasi yang tinggi (75-
95%), namun memiliki risiko tinggi nekrosis kulit, tromboflebitis, kerusakan saraf,
atau kolaps kardiovaskular mendadak jika memasuki sirkulasi sistemik. Oleh karena
itu, penggunaan etanol untuk skleroterapi mulai ditinggalkan. OK-432 adalah galur
Streptococcus pyogenes dengan virulensi yang rendah yang dikulturkan dengan
penisilin G, namun availabilitasnya terbatas pada negara-negara maju dan biayanya
masih mahal, sehingga penggunaannya masih belum dapat diterapkan pada semua
kasus. (11) Doksisiklin juga dapat digunakan untuk terapi limfangioma dengan angka
keberhasilan yang cukup tinggi, namun agen ini dapat mencapai 20x lipat kadar
normalnya dalam darah setelah satu jam aplikasi, dan dapat menyebabkan berbagai
efek samping sistemik seperti hipoglikemia, asidosis metabolik, dan anemia
hemolitik, terutama pada bayi dan neonatus. Doksisiklin juga lebih menyebabkan
edema dan inflamasi jaringan, yang merupakan pertimbangan yang penting saat akan
mengobati malformasi pada daerah kepala dan leher yang dekat dengan saluran napas
dan mata. (8)

2.5.1 Skleroterapi Bleomisin Untuk Limfangioma


Pada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan eksisi operasif karena keterlibatan
limfangioma dengan jaringan dan struktur neurovaskular sekitar, dapat dilakukan
skleroterapi intralesi. Awalnya, hal ini merupakan satu-satunya indikasi skleroterapi,
namun akhir-akhir ini skleroterapi telah berkembang menjadi tatalaksana primer.
Skleroterapi menyebabkan iritasi pada lapisan endotel pembuluh darah limfangioma,
(6)
yang menyebabkan inflamasi yang parah dan menimbulkan fibrosis. Inti dari
mekanisme aksi bleomisin dan berbagai skleroterapi lainnya adalah hilangnya
pembuluh darah secara permanen akibat obliterasi lumen dan digantikannya
pembuluh darah dengan fibrosis. (8) Salah satu agen skleroterapi limfangioma yang
banyak digunakan adalah bleomisin.

11
Bleomisin adalah antibiotik glikoprotein sitotoksik yang memiliki sifat anti-
neoplastik, yang diproduksi oleh Streptomyces verticillus. (11) Bleomisin pertama kali
ditemukan pada tahun 1965, dan obat ini ditemukan menyebabkan pemecahan DNA
untai tunggal dan ganda, serta menghambat sintesis DNA dan RNA. Sejak itu,
bleomisin banyak digunakan untuk mengobati keganasan. Kegunaan bleomisin untuk
skleroterapi pertama kali dilakukan pada tahun 1977 oleh Yura dkk pada delapan
pasien yang mengalami reseksi operatif inkomplit, tumor rekuren atau tumor yang
tidak dapat direseksi. Semua pasien menunjukkan hasil yang baik. (6)
Tindakan injeksi skleroterapi bleomisin dapat dilakukan dengan anestesi lokal
atau umum. Anestesi umum dilakukan pada kasus-kasus dengan gangguan pernapasan
atau dengan stridor. (10) Pertama, dilakukan aspirasi limfangioma menggunakan jarum
gauge standar dan jarum hipodermis, dengan bantuan ultrasonografi. Setelah itu, vial
yang mengandung bubuk bleomisin sebanyak 15 IU dilarutkan ke dalam salin normal
10 mL hingga mencapai konsentrasi 1,5 mg/mL. Dosis yang akan diberikan
bergantung pada berat badan pasien, namun dosis yang disarankan adalah 0,5-1
mg/kg. (6,11) Ujung jarum harus tetap di dalam lumen, dan 1-5 mL larutan akueus 1,5
mg/mL bleomisin disuntukkan dengan bantuan ultrasonografi. Setelah prosedur,
pasien diobservasi selama kurang lebih 6 jam (pasien one-day care) atau hingga 24-48
jam (pasien rawat inap) untuk mengobservasi komplikasi awal dan lanjutan dari
prosedur ini. Follow-up dilakukan hingga empat minggu. (6)
Injeksi bleomisin tidak disarankan untuk dilakukan pada bagian mikrokistik
dari limfangioma, karena injeksi intraparenkim memiliki absorpsi sistemik yang
tinggi, sehingga membawa risiko toksisitas sistemik yang lebih besar. Pada kasus-
kasus dengan dominansi mikrokistik, injeksi yang digunakan adalah OK-432. (10)
Respons paska-terapi dinilai setiap minggu hingga minggu ke-empat, dengan
klasifikasi:
 Resolusi komplit (hilang total).
 Respons baik (ukuran mengecil >50%).
 Respons kurang baik (ukuran mengecil <50%).
 Gagal terapi (lesi muncul kembali atau ukurannya tidak berkurang
setelah empat minggu). (6)

12
Penurunan volume lesi dilakukan dengan mengurangi volume paska-
pengobatan dari pre-pengobatan. Rasio penurunan volume lesi ditentukan dengan
membagi jumlah penurunan volume lesi dari pre-pengobatan, dikali 100. Selain
dengan ukuran, keberhasilan terapi dinilai dengan perbaikan simtomatik oleh pasien
atau orang tua mereka. Biasanya, respons subjektif dilakukan dengan kuesioner
dengan skala semi-kuantitatif, seperti yang dilakukan oleh Yilmaz dkk. (8)
Kasus-kasus yang berespons kurang baik atau gagal terapi diusulkan untuk
dieksisi secara operatif. Berhubung limfangioma adalah tumor yang sering mengalami
rekurensi, pemantauan lanjutan dapat dilakukan hingga satu tahun paska-terapi. (6)
Penelitian oleh Porwal dkk yang melakukan injeksi bleomisin pada delapan
pasien dengan limfangioma dengan usia yang berbeda-beda (rentang usia 4-54 tahun)
menemukan bahwa terapi skleroterapi dengan bleomisin secara intralesi sangat efektif
untuk limfangioma berukuran besar (1,5 – 8 cm), dan baik untuk digunakan sebagai
terapi primer. (6) Beberapa penulis yang berbeda menemukan tingkat kesuksesan yang
beragam dari 36-63% untuk regresi tumor komplit, hingga 88% untuk regresi yang
signifikan, dan 12-23% memberikan respons yang kurang baik. (12)
Penelitian oleh Regmi dkk melakukan injeksi bleomisin pada 30 orang dengan
limfangioma atau hemangioma, dan menemukan bahwa respons pengobatan pada
kedua kelompok hampir sama baiknya, kelompok dengan hemangioma memerlukan
jumlah suntikan yang lebih banyak untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan efek
samping yang dialami para pasien adalah demam, peningkatan ukuran lesi secara
transien, dan hiperpigmentasi kulit di atasnya. Tidak ada pasien yang mengalami efek
samping yang serius seperti efek hematologi atau fibrosis pulmonal akibat
pengobatan, yang dapat terjadi jika total dosis yang digunakan melebihi 400 IU atau
dosis tunggal melebihi 30 mg/m2 total luas permukaan tubuh. (11)

13
Gambar 11. Penelitian oleh Yilmaz dkk. Pasien laki-laki dengan malformasi limfatik datang
dengan pembengkakan dan keluhan kosmetik selama periode neonatal. Dua sesi pengobatan
dilakukan saat ia berusia 2 hari dan 3 bulan, dengan total bleomisin 10 mg. (A) Sebelum
pengobatan dan (B) setelah pengobatan pada usia 6 bulan, serta (C) resolusi komplit. (8)

Gambar 12. Penelitian oleh Yokoigawa dkk. (A) Anak berusia 2 tahun dengan limfangioma
supraklavikula kiri (panah) yang telah ada selama satu tahun. (B) Regresi komplit setelah tiga
kali suntikan bleomisin (10)

Gambar 13. Penelitian oleh Yokoigawa dkk. (A) Limfangioma di atas sudut mandibula kiri
pada bayi berusia 3 bulan. (B) Satu tahun kemudian, tiga suntikan bleomisin mengecilkan
ukuran massa. Tampak pembengkakan kecil pada area pre- dan retroaurikular (panah) (10)

14
Gambar 14. Penelitian oleh Yokoigawa dkk. Kasus respons kurang baik. Pasien adaah bayi
dengan massa pada leher yang besar dan mengalami gangguan pernapasan sejak lahir. Pasien
diintubasi dan dipantau di ICU. Pemeriksaan pencitraan menunjukkan limfangioma tipe
mikrokistik. Lesi ini gagal mengalami involusi setelah enam bulan injeksi bleomisin. (10)

Penelitian oleh Yokoigawa dkk melakukan penyuntikan skleroterapi bleomisin


pada 24 pasien anak mereka, dan menemukan bahwa terapi ini sangat efektif dan
hasilnya sebanding dengan penelitan-penelitian pendahulunya. Tipe limfangioma
yang berespons baik pada pengobatan pada penelitian ini adalah tipe makrokistik dan
campuran. Pada lesi tipe mikrokistik, lesi hanya mengecil menjadi ukuran yang dapat
ditoleransi, dan masih dapat disarankan untuk dilakukan tindakan eksisi operatif.
Tidak ada komplikasi yang serius pada penelitian ini, dan hasil estetiknya juga cukup
baik karena tidak ada skar yang terlalu berlebih atau pigmentasi yang mengganggu.
(10)

Penelitian tinjauan pustaka yang dilakukan mengenai efikasi terapi non-


operatif untuk mengobati limfangioma kepala dan leher anak-anak melaporkan bahwa
35,2% pasien yang menjalani skleroterapi bleomisin mencapai respons komplit/baik,
37,1% mencapai respons yang baik, 18,4% mencapai respons yang kurang baik, dan
11,6% tidak berespons apa-apa. (13)
Chaudry dkk juga meneliti keamanan dan efikasi skleroterapi bleomisin pada
pasien-pasien dengan limfangioma mikrokistin, dan mereka mengalami respons
komplit pada 38% subjek, respons parsial pada 58% subjek, dan tidak berespons pada
3% subjek. (14)
Sainsbury dkk, dalam penelitian ini, menemukan respons sebesar 100% dan
komplit respons sebesar 40% pada 26 kasus limfangioma selama periode lima tahun.
(15)
Niramis dkk mengobservasi respons yang sangat baik pada 47,1% subjek mereka,

15
respons yang baik pada 35,8% subjek, dan hasil yang kurang baik pada 17,1% pasien
dengan higroma kistik yang diobati dengan skleroterapi bleomisin intralesi. (16)
Penelitian yang dilakukan Yilmaz dkk yang melibatkan 10 pasien dengan
limfangioma juga memperoleh hasil resolusi yang sangat baik pada 80% pasien, dan
perbaikan signifikan pada 20% pasien. Tidak ada efek samping yang didapatkan atau
komplikasi yang serius dalam penelitian ini. Efek samping minor yang terjadi
hanyalah demam pada satu pasien dan eritema lokasi injeksi transien pada satu pasien
lainnya. (8)
Bagaimanapun, terdapat kekurangan penggunaan skleroterapi bleomisin.
Semua agen skleroterapi (kecuali OK-432) menyebabkan fibrosis perilesi sehingga
(1)
perlu dieksisi secara operatif. Beberapa efek samping minor lain yang mungkin
dikeluhkan pasien adalah kemerahan pada kulit, bengkak, nyeri, dan demam. (6)

2.6 Diagnosis Banding


Limfangioma harus dibedakan dari tumor-tumor limfatik lainnya seperti limfangioma
progresif akuisita, limfangiosarkoma, dan limfangiomatosis. (7)

2.7 Prognosis dan Komplikasi


Perjalanan klinis penyakit ini dapat bervariasi, dari kista yang mengalami regresi
spontan hingga lesi yang invasif dan agresif. Limfangioma tidak mengalami involusi
secara spontan, dan ikut bertumbuh seiring dengan pertumbuhan anak. Limfangioma
rentan mengalami infeksi, dan dapat berkembang menjadi selulitis, perdarahan
intralesi, pembentukan abses, atau ekstensi ke dasar mulut atau trakea dengan
(5)
gangguan jalan napas. Pada usia dewasa, neoplasma dapat berganti menjadi
karsinoma sel skuamosa. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perdarahan
spontan atau traumatik, dan komplikasi yang paling ditakutkan adalah fibrosis
pulmonal. (1)

16
BAB 3
KESIMPULAN

Limfangioma adalah kelainan pada jaringan limfatik yang menyebabkan terbentuknya


massa. Embriologi jaringan limfatik terbentuk melalui proses yang menurut para ahli
dibagi menjadi proses sentrifugal, sentripetal, dan campuran dari keduanya.
Limfangioma paling sering terjadi pada masa anak-anak, dan dapat berkembang
menjadi jenis makrokistik, mikrokistik, atau campuran. Gejala yang paling sering
dialami adalah adanya massa atau benjolan, yang seringkali dapat mengalami
peradangan. Pembengkakan yang parah pada daerah servikofasial dapat menyebabkan
gangguan menelan dan kesulitan bernapas. Oleh karena itu, limfangioma harus
ditatalaksana dengan baik.
Penggunaan skleroterapi bleomisin merupakan alternatif yang cukup baik dari
tindakan operatif, dan sekarang skleroterapi telah menjadi tatalaksana utama
limfangioma. Berbagai penelitian telah menunjukkan hasil yang baik, dan praktik
skleroterapi bleomisin layak dicoba untuk dilaksanakan di Indonesia, agar tatalaksana
limfangioma pada anak-anak di Indonesia dapat terlaksana dengan baik dan adekuat.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Grasso DL, Pelizzo G, Zocconi E, Schleef J. Lymphangiomas of the head and


neck in children. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2008 Feb; 28(1): 17-20.
2. Filston HC. Hemangiomas, cystic hygromas and teratomas of the head and neck.
Semin Pediatr Surg. 1994; 3: 147-59.
3. Okada A, Kubota A, Fukuzawa M, Imura K, Kamata S. Injection of bleomycin as
a primary therapy of cystic lymphangioma. J Pediatr Surg. 1992; 27(4): 440–3. 

4. Rozman Z, Thambidorai RR, Zaleha AM, Zakaria Z, Zulfiqar MA.
Lymphangioma: is intralesional bleomycin sclerotherapy effective? Biomed
Imaging Interv J. 2011; 7(3): e18.
5. Coran AG, Adzick NS, Krummel TM, Laberge JM, Caldamone A, Shamberger R.
Pediatric Surgery. Vol 1. Ed 7. Philadelphia: Elsevier, 2012.
6. Porwal PK, Dubey KP, Morey A, Singh H, Pooja S, Bose A. Bleomycin
sclerotherapy in lymphangiomas of head and neck: prospective study of 8 cases.
Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2018 Mar; 70(1): 145-8.
7. Wiegang S, Elvazi B, Barth PJ, von Rautenfeld DB, Folz BJ, Mandic R, et al.
Pathogenesis of lymphangiomas. Virchows Arch. 2008 KJul; 453(1): 1-8.
8. Yilmaz H, Yilmaz O, Camlidag I, Belet U, Akan H. Single center experience with
intralesional bleomycin sclerotherapy for lymphatic malformations. Jpn J Radiol.
2017; 35: 590-6.
9. Schuster T, Grantzow R, Nicolai T. Lymphangioma colli--a new classification
contributing to prognosis. Eur J Pediatr Surg. 2003 Apr; 13(2): 97-102.
10. Yokoigawa N, Okuno M, Kwon AH. Cystic lymphangioma of the chest wall: a
case report. Case Rep Gastroenterol. 2014 Sep-Dec; 8(3): 393-7.
11. Regmi D, Bista M, Shrestha S, Shrestha D, Mahato NB. Comparative study on
efficacy of intralesional bleomycin injection in head and neck lymphangioma and
vascular malformation. J Clin Diagn Res. 2017 Des; 11(12): MC04-6.
12. Erikci V, Hosgor M, Yildiz M, Ornek Y, Aksoy N, Okur O, et al. Intralesional
bleomycin sclerotherapy in childhood lymphangioma. Turk J Pediatr. 2013; 55(4):
396-400.
13. Acevedo JL, Shah RK, Brietzke SE. Nonsurgical therapies for lymphangiomas: a
systematic review. Otolaryngol Head Neck Surg. 2008; 138: 418–24.

18
14. Chaudry G, Guevara CJ, Rialon KL, Kerr C, Mulliken JB, Greene AK, et al.
Safety and efficacy of bleomycin sclerotherapy for microcystic lymphatic
malformation. Cardiovasc Interv Radiol. 2014; 37: 1476–81.
15. Sainsbury DC, Kessell G, Fall AJ, Hampton FJ, Guhan A, Muir T. Intralesional
bleomycin injection treatment for vascular birthmarks: a 5-year experience at a
single United Kingdom unit. Plast Reconstr Surg. 2011; 127: 2031–44.
16. Niramis R, Watanatittan S, Rattanasuwan T. Treatment of cystic hygroma by
intralesional bleomycin injection: experience in 70 patients. Eur J Pediatr Surg.
2010; 20: 178–82.

19

Anda mungkin juga menyukai