Disusun oleh:
RAYMOND MALVIN WINATA
406182007
Pembimbing
dr. Yohanes Arif Eko N, Sp. BA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Limfangioma adalah lesi jinak kongenital yang cukup langka yang umumnya terjadi
pada kepala, leher, dan kavitas oral. Mereka umumnya terlokalisir pada pusat-pusat
perkembangan abnormal pada sistem limfatik. (1) Limfangioma tergolong dalam tumor
mesenkimal.
Insidensi limfangioma didapatkan pada 1,2-2,8 per 1.000 kelahiran hidup. (2)
Dari semua kasus limfangioma, 65% nya timbul saat anak baru lahir, dan 80-90%nya
(3)
terdiagnosis sebelum usia dua tahun. Dari berbagai lokasinya, sekitar 75%
limfangioma terjadi pada leher, 20% di aksila, dan 5% pada berbagai lokasi tubuh
lainnya, meliputi mediastinum, retroperitoneum, pelvis, dan kelamin.
Limfangioma dengan ukuran yang besar akan mengompresi struktur yang
penting, yang menyebabkan berbagai gangguan seperti obstruksi saluran napas,
disfagia, dan gejala-gejala kompresi saraf. Pengobatan limfangioma
mempertimbangkan struktur penting di sekitar lesi, dan tidak semua lesi dapat dieksisi
secara operatif. Selama beberapa dekade terakhir, skleroterapi intralesi/perkutan telah
menjadi tatalaksana pilihan kasus-kasus limfangioma pada anak-anak. Tindakan ini
menggunakan agen sklerotik yang mengiritasi, salah satunya dengan menggunakan
(4)
bleomisin. Tindakan ini telah berhasil menggantikan fungsi operasi, dan telah
berkembang menjadi tatalaksana utama dalam beberapa tahun terakhir.
Referat ini bertujuan membahas mengenai penggunaan skleroterapi bleomisin
untuk kasus limfangioma. Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Limfangioma adalah malformasi kongenital sistem limfatik yang langka yang dapat
terjadi di seluruh tubuh, dengan predileksi pada daerah servikofasial. (1) Limfangioma
tergolong dalam tumor mesenkimal (dengan hemangioma, fibroma/fibrosarkoma,
lipoma/liposarkoma, dan rabdomiosarkoma pada golongan yang sama). (5) Biasanya,
limfangioma bersifat kongenital dan timbul sebelum usia dua tahun. Akhir-akhir ini,
limfangioma lebih dikenal dengan sebutan malformasi limfatik, karena melibatkan
elemen kapiler atau vena (malformasi venolimfatik). (5) Beberapa lokasi limfangioma
yang sering ditemukan adalah servikofasial, mediastinum, aksila, dan abdominal. (5,6)
3
menyebabkan pembentukan pembuluh limfatik yang bersatu ke vena akibat
pertumbuhan sentripetal. Oleh karena itu, menurut teori sentripetal, space limfatik
terbentuk secara independen dan terletas dari vena, menyebar ke perifer embrio
dengan beraneksa dengan spatium-spatium lain yang serupa, dan hanya memperoleh
hubungan ke sistem vena melalui hubungan sekunder. (7)
Satu teori lain menyatakan gabungan dari kedua teori sebelumnya, dan
mendukung origin veno-mesenkimal. Para ahli yang mendukungnya menyatakan
bahwa pembuluh limfatik sentral berkembang dengan cara membentuk kuncup dari
sakus limfatikus, sehingga memiliki origin dari vena dan pembuluh limfatik perifer
berkembang dengan diferensiasi in situ prekursor mesenkimal, sehingga memiliki
origin mesenkimal. Sebagai kesimpulan, model ini menyatakan bahwa kedua teori di
atasnya terjadi secara bersamaan. (7)
4
Beberapa ahli lainnya menganggap bahwa terjadinya limfangioma diakibatkan
oleh abnormal budding dari pembuluh limfatik dari anlage limfatik primitif. Struktur-
struktur tersebut kemungkinan memiliki potensi tumbuh yang lebih lanjut.
Bagaimanapun, koneksi mereka dengan bud limfatik primer bersifat longgar,
sehingga drainase sulit dilakukan, dan terbentuknya limfangioma. (7)
Pendapat lain menyatakan bahwa tidak bersatunya sakus limfatikus dengan
sistem vena menyebabkan terjadinya limfangioma. Weingast dkk juga menyatakan
bahwa hilangnya koneksi sakus limfatik primordial ke sistem vena menyebabkan
kanal limfatik yang terisolasi, yang kemudian mengalami dilatasi dan membentuk
limfangioma. Mekanisme ini menjelaskan terbentuknya higroma kistik pada dearah
leher. (7)
Teori lain menyatakan bahwa obstruksi pembuluh-pembuluh limfatik eferen
menyebabkan akumulasi limfe dan dilatasi kanal limfatik proksimal dari lokasi
obstruksi. Mekanisme ini diduga menyebabkan terbentuknya limfangioma. (7)
Beberapa faktor yang diduga berkaitan dengan patogenesis limfangioma
adalah sebagai berikut:
2.3 Klasifikasi
Limfangioma diklasifikasikan berdasarkan besarnya kavitas limfatik yang terlibat,
sebagai berikut:
Mikrokistik (limfangioma kapiler) atau limfangioma simpleks, biasanya
ukuran <1 cm.
Makrokistik (limfangioma kavernosa), biasanya ukuran >1 cm.
5
Higroma sistik atau limfangioma kistik, atau tipe campuran. (1,6)
Limfangioma yang muncul dan terbatas pada jaringan yang padat, seperti
lidah, biasanya muncul dalam bentuk limfangioma kavernosa. Tipe mikrokistik atau
(8)
kavernosa memiliki komponen pembesaran jaringan lunak. Jika limfangioma
terbentuk pada jaringan yang relatif longgar seperti fasia leher yang longgar, lesi yang
terbentuk biasanya bersifat kistik. Seringkali, ketiga bentuk ini ditemukan pada pasien
yang sama, tergantung pada keparahan penyakitnya. Higroma kistik mencakup 90%
dari semua limfangioma pada regio kepala dan leher. Lokasi-lokasi lain di luar kepala
dan leher yang sering antara lain aksila, bahu, dinding dada, mediastinum, dinding
abdomen, dan paha. (1)
Limfangioma pada daerah leher (limfangioma coli) dideskripsikan oleh
Schuster dkk, untuk membuat nilai prediktif hasil paska-pengobatan dan terjadinya
komplikasi. Pembagiannya didasarkan pada volume limfangioma itu sendiri, sebagai
berikut:
Tipe I: Tumor yang memiliki sedikit/tidak ada efek terhadap kontur leher.
Tipe II: Tumor yang tidak melebihi batas garis khayal yang digambar pada
batas lateral kepala.
Tipe III: Tumor yang melebihi batas garis khayal yang digambar pada batas
lateral kepala.
Tipe IV: Tumor yang melebihi batas garis tengah tubuh. (9)
6
menetap akibat edema mukosa, pembesaran limfangioma internal, dan hilangnya
inervasi alamiah pada faring atau lidah. (1)
Gambar 3. Ultrasonografi (USG) dada menunjukkan tiga tumor dengan pola hipoekoik
internal. (10)
7
Gambar 4. USG menunjukkan limfangioma makrokistik (10)
Gambar 5. Limfangioma tipe campuran, dengan kista (panah putih) dan area-area ekogenik
yang menunjukkan mikrokista (panah hitam) (10)
8
Gambar 7. (A) Limfangioma mikrositik pada lidah yang terdiri dari saluran-saluran limfatik
berdinding tipis yang berdilatasi, yang ditutupi oleh epitel skuamosa atrofi parsial (B)
Limfangioma makrokistik yang terletak dalam jaringan ikat normal. Lumennya mengandung
cairan dengan protein dan beberapa limfosit (7)
2.5 Tatalaksana
Hingga saat ini, reseksi operatif masih merupakan tatalaksana terbaik untuk
limfangioma. Bagaimanapun, tumor yang terletak pada daerah leher memerlukan
pendekatan yang lebih hati-hati, mengingat hubungannya yang sangat dekat dengan
berbagai struktur yang vital, untuk menghindari konsekuensi yang fatal. Seluruh
bagian massa harus diangkat untuk menghindari risiko rekurensi. (1) Bagaimanapun,
tindakan operatif memiliki risiko komplikasi sebesar 12-33% dan rekurensi sebesar
15-53%, sehingga pertimbangan pengobatan dialihkan ke alternatif lain yang bersifat
non-invasif. (11)
9
Gambar 9. Limfangioma makrokistik pada leher (7)
Gambar 10. Spesimen limfangioma kistik menunjukkan massa dengan septum yang jelas
(panah). Isi tumor adalah cairan limfatik (10)
10
Tetrasiklin.
Doksisiklin.
Bleomisin.
Ethibloc.
OK-432. (1)
Etanol adalah sklerosan yang populer yang memiliki efikasi yang tinggi (75-
95%), namun memiliki risiko tinggi nekrosis kulit, tromboflebitis, kerusakan saraf,
atau kolaps kardiovaskular mendadak jika memasuki sirkulasi sistemik. Oleh karena
itu, penggunaan etanol untuk skleroterapi mulai ditinggalkan. OK-432 adalah galur
Streptococcus pyogenes dengan virulensi yang rendah yang dikulturkan dengan
penisilin G, namun availabilitasnya terbatas pada negara-negara maju dan biayanya
masih mahal, sehingga penggunaannya masih belum dapat diterapkan pada semua
kasus. (11) Doksisiklin juga dapat digunakan untuk terapi limfangioma dengan angka
keberhasilan yang cukup tinggi, namun agen ini dapat mencapai 20x lipat kadar
normalnya dalam darah setelah satu jam aplikasi, dan dapat menyebabkan berbagai
efek samping sistemik seperti hipoglikemia, asidosis metabolik, dan anemia
hemolitik, terutama pada bayi dan neonatus. Doksisiklin juga lebih menyebabkan
edema dan inflamasi jaringan, yang merupakan pertimbangan yang penting saat akan
mengobati malformasi pada daerah kepala dan leher yang dekat dengan saluran napas
dan mata. (8)
11
Bleomisin adalah antibiotik glikoprotein sitotoksik yang memiliki sifat anti-
neoplastik, yang diproduksi oleh Streptomyces verticillus. (11) Bleomisin pertama kali
ditemukan pada tahun 1965, dan obat ini ditemukan menyebabkan pemecahan DNA
untai tunggal dan ganda, serta menghambat sintesis DNA dan RNA. Sejak itu,
bleomisin banyak digunakan untuk mengobati keganasan. Kegunaan bleomisin untuk
skleroterapi pertama kali dilakukan pada tahun 1977 oleh Yura dkk pada delapan
pasien yang mengalami reseksi operatif inkomplit, tumor rekuren atau tumor yang
tidak dapat direseksi. Semua pasien menunjukkan hasil yang baik. (6)
Tindakan injeksi skleroterapi bleomisin dapat dilakukan dengan anestesi lokal
atau umum. Anestesi umum dilakukan pada kasus-kasus dengan gangguan pernapasan
atau dengan stridor. (10) Pertama, dilakukan aspirasi limfangioma menggunakan jarum
gauge standar dan jarum hipodermis, dengan bantuan ultrasonografi. Setelah itu, vial
yang mengandung bubuk bleomisin sebanyak 15 IU dilarutkan ke dalam salin normal
10 mL hingga mencapai konsentrasi 1,5 mg/mL. Dosis yang akan diberikan
bergantung pada berat badan pasien, namun dosis yang disarankan adalah 0,5-1
mg/kg. (6,11) Ujung jarum harus tetap di dalam lumen, dan 1-5 mL larutan akueus 1,5
mg/mL bleomisin disuntukkan dengan bantuan ultrasonografi. Setelah prosedur,
pasien diobservasi selama kurang lebih 6 jam (pasien one-day care) atau hingga 24-48
jam (pasien rawat inap) untuk mengobservasi komplikasi awal dan lanjutan dari
prosedur ini. Follow-up dilakukan hingga empat minggu. (6)
Injeksi bleomisin tidak disarankan untuk dilakukan pada bagian mikrokistik
dari limfangioma, karena injeksi intraparenkim memiliki absorpsi sistemik yang
tinggi, sehingga membawa risiko toksisitas sistemik yang lebih besar. Pada kasus-
kasus dengan dominansi mikrokistik, injeksi yang digunakan adalah OK-432. (10)
Respons paska-terapi dinilai setiap minggu hingga minggu ke-empat, dengan
klasifikasi:
Resolusi komplit (hilang total).
Respons baik (ukuran mengecil >50%).
Respons kurang baik (ukuran mengecil <50%).
Gagal terapi (lesi muncul kembali atau ukurannya tidak berkurang
setelah empat minggu). (6)
12
Penurunan volume lesi dilakukan dengan mengurangi volume paska-
pengobatan dari pre-pengobatan. Rasio penurunan volume lesi ditentukan dengan
membagi jumlah penurunan volume lesi dari pre-pengobatan, dikali 100. Selain
dengan ukuran, keberhasilan terapi dinilai dengan perbaikan simtomatik oleh pasien
atau orang tua mereka. Biasanya, respons subjektif dilakukan dengan kuesioner
dengan skala semi-kuantitatif, seperti yang dilakukan oleh Yilmaz dkk. (8)
Kasus-kasus yang berespons kurang baik atau gagal terapi diusulkan untuk
dieksisi secara operatif. Berhubung limfangioma adalah tumor yang sering mengalami
rekurensi, pemantauan lanjutan dapat dilakukan hingga satu tahun paska-terapi. (6)
Penelitian oleh Porwal dkk yang melakukan injeksi bleomisin pada delapan
pasien dengan limfangioma dengan usia yang berbeda-beda (rentang usia 4-54 tahun)
menemukan bahwa terapi skleroterapi dengan bleomisin secara intralesi sangat efektif
untuk limfangioma berukuran besar (1,5 – 8 cm), dan baik untuk digunakan sebagai
terapi primer. (6) Beberapa penulis yang berbeda menemukan tingkat kesuksesan yang
beragam dari 36-63% untuk regresi tumor komplit, hingga 88% untuk regresi yang
signifikan, dan 12-23% memberikan respons yang kurang baik. (12)
Penelitian oleh Regmi dkk melakukan injeksi bleomisin pada 30 orang dengan
limfangioma atau hemangioma, dan menemukan bahwa respons pengobatan pada
kedua kelompok hampir sama baiknya, kelompok dengan hemangioma memerlukan
jumlah suntikan yang lebih banyak untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan efek
samping yang dialami para pasien adalah demam, peningkatan ukuran lesi secara
transien, dan hiperpigmentasi kulit di atasnya. Tidak ada pasien yang mengalami efek
samping yang serius seperti efek hematologi atau fibrosis pulmonal akibat
pengobatan, yang dapat terjadi jika total dosis yang digunakan melebihi 400 IU atau
dosis tunggal melebihi 30 mg/m2 total luas permukaan tubuh. (11)
13
Gambar 11. Penelitian oleh Yilmaz dkk. Pasien laki-laki dengan malformasi limfatik datang
dengan pembengkakan dan keluhan kosmetik selama periode neonatal. Dua sesi pengobatan
dilakukan saat ia berusia 2 hari dan 3 bulan, dengan total bleomisin 10 mg. (A) Sebelum
pengobatan dan (B) setelah pengobatan pada usia 6 bulan, serta (C) resolusi komplit. (8)
Gambar 12. Penelitian oleh Yokoigawa dkk. (A) Anak berusia 2 tahun dengan limfangioma
supraklavikula kiri (panah) yang telah ada selama satu tahun. (B) Regresi komplit setelah tiga
kali suntikan bleomisin (10)
Gambar 13. Penelitian oleh Yokoigawa dkk. (A) Limfangioma di atas sudut mandibula kiri
pada bayi berusia 3 bulan. (B) Satu tahun kemudian, tiga suntikan bleomisin mengecilkan
ukuran massa. Tampak pembengkakan kecil pada area pre- dan retroaurikular (panah) (10)
14
Gambar 14. Penelitian oleh Yokoigawa dkk. Kasus respons kurang baik. Pasien adaah bayi
dengan massa pada leher yang besar dan mengalami gangguan pernapasan sejak lahir. Pasien
diintubasi dan dipantau di ICU. Pemeriksaan pencitraan menunjukkan limfangioma tipe
mikrokistik. Lesi ini gagal mengalami involusi setelah enam bulan injeksi bleomisin. (10)
15
respons yang baik pada 35,8% subjek, dan hasil yang kurang baik pada 17,1% pasien
dengan higroma kistik yang diobati dengan skleroterapi bleomisin intralesi. (16)
Penelitian yang dilakukan Yilmaz dkk yang melibatkan 10 pasien dengan
limfangioma juga memperoleh hasil resolusi yang sangat baik pada 80% pasien, dan
perbaikan signifikan pada 20% pasien. Tidak ada efek samping yang didapatkan atau
komplikasi yang serius dalam penelitian ini. Efek samping minor yang terjadi
hanyalah demam pada satu pasien dan eritema lokasi injeksi transien pada satu pasien
lainnya. (8)
Bagaimanapun, terdapat kekurangan penggunaan skleroterapi bleomisin.
Semua agen skleroterapi (kecuali OK-432) menyebabkan fibrosis perilesi sehingga
(1)
perlu dieksisi secara operatif. Beberapa efek samping minor lain yang mungkin
dikeluhkan pasien adalah kemerahan pada kulit, bengkak, nyeri, dan demam. (6)
16
BAB 3
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18
14. Chaudry G, Guevara CJ, Rialon KL, Kerr C, Mulliken JB, Greene AK, et al.
Safety and efficacy of bleomycin sclerotherapy for microcystic lymphatic
malformation. Cardiovasc Interv Radiol. 2014; 37: 1476–81.
15. Sainsbury DC, Kessell G, Fall AJ, Hampton FJ, Guhan A, Muir T. Intralesional
bleomycin injection treatment for vascular birthmarks: a 5-year experience at a
single United Kingdom unit. Plast Reconstr Surg. 2011; 127: 2031–44.
16. Niramis R, Watanatittan S, Rattanasuwan T. Treatment of cystic hygroma by
intralesional bleomycin injection: experience in 70 patients. Eur J Pediatr Surg.
2010; 20: 178–82.
19