Anda di halaman 1dari 32

Laporan Akhir

BAB

3.1. PENDEKATAN

3.1.1 PENGERTIAN TRANSPORTASI

Transportasi diartikan sebagai usaha memindahkan, menggerakkan,


mengangkut, atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat
lain, di mana di tempat lain ini objek tersebut lebih bermanfaat atau dapat
berguna untuk tujuan-tujuan tertentu (Miro, 2004). Transportasi juga
merupakan sebuah proses, yakni proses gerak, proses memindah, dan
proses mengangkut.

Proses transportasi merupakan gerakan dari tempat asal, dari mana


kegiatan pengangkutan dimulai ke tempat tujuan, ke mana kegiatan
pengangkutan diakhiri. Transportasi menyebabkan nilai barang lebih tinggi
di tempat tujuan daripada di tempat asal, dan nilai ini lebih besar daripada
biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutannya. Dilihat dari segi ekonomi,
keperluan akan jasa transportasi mengikuti perkembangan kegiatan
semua faktor ekonomi. Transportasi dikatakan sebagai derived demand
yaitu permintaan yang timbul akibat adanya permintaan akan komoditi
atau jasa lain (Morlok, 1988). Keperluan jasa transportasi akan bertambah
dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dan berkurang jika terjadi
kelesuan ekonomi.

3.1.2 ANALISA PERMINTAAN TRANSPORTASI

Sasaran utama dari analisa permintaan transportasi adalah terdapatnya


kebutuhan akan jasa transportasi dari penduduk atau masyarakat, yang
berawal dari interaksi di antara aktivitas sosial ekonomi masyarakat
tersebut, yang aktivitas sosial ekonominya itu memiliki kecenderungan

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-1


Laporan Akhir

untuk menyebar ke segala penjuru dalam suatu lingkup ruang wilayah


atau kota (Miro, 2004).

Analisa permintaan transportasi merupakan proses yang berusaha


menghubungkan antara kebutuhan akan jasa transportasi dengan
kebutuhan sosial ekonomi yang menimbulkan transportasi tersebut.
Menurut Marlok (2004) permintaan akan jasa transportasi dari
penumpang/orang timbul oleh akibat kebutuhan orang untuk melakukan
perjalanan dari suatu lokasi ke lokasi lainnya dalam rangka beraktivitas
separti bekerja, sekolah, belanja, dan lain sebagainya. Karakteristik dari
permintaan transportasi yaitu:

1. Tidak Spasial (Bukan Berdasarkan Ruang/Space)

Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri pergerakan yang


berkaitan dengan aspek tidak spasial, seperti sebab terjadinya
pergerakan, waktu terjadinya pergerakan, dan moda transportasi apa
yang akan digunakan.

a. Sebab terjadinya pergerakan

Sebab terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan


maksud perjalanan. Penyebab terjadinya pergerakan dapat
dilihat pada tabel 2.1 (Tamin, 2000). Biasanya maksud
perjalanan dikelompokkan sesuai ciri dasarnya, yaitu yang
berkaitan dengan ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan
agama. Jika ditinjau lebih jauh lagi akan dijumpai kenyataan
bahwa lebih dari 90% perjalanan berbasis tempat tinggal. Artinya
mereka memulai perjalanan tempat tinggal (rumah) dan
mengakhiri perjalanannya kembali ke rumah. Pada kenyataan ini
biasanya ditambahkan kategori keenam tujuan perjalanan, yaitu
maksud perjalanan pulang ke rumah.

Tabel 3.1 Klasifikasi pergerakan orang di perkotaan berdasarkan maksud pergerakan

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-2


Laporan Akhir

Aktivitas Klasifikasi perjalanan Keterangan

Ke dan dari tempat Jumlah orang yang


I. Ekonomi 1. kerja bekerja
2. Yang berkaitan dengan tidak tinggi, sekitar 40%-
bekerja 50% penduduk.
Perjalanan yang berkaitan
a. mencari nafkah dengan pekerja termasuk:
b. mendapatkan 3. Ke dari toko dan keluar a. pulang ke rumah
barang dan untuk keperluan b. mengangkut barang
pelayaan pribadi. c. c. ke dan dari rapat
Pelayanan hiburan
4 Yang berkaitan dengan dan rekreasi
belanja atau bisnis diklasifikasikan secara
pribadi terpisah tetapi
pelayanan medis,
hukum dan
kesejahteraan masuk
ke sini.
Ke dan dari rumah Kebanyakan fasilitas
II. Sosial 1. teman terdapat
Menciptakan, 2. Ke dan dari tempat dalam lingkungan
menjaga hubungan pertemuan bukan di keluarga dan tidak
pribadi rumah menghasilkan banyak
perjalanan. Butir 2 juga
terkombinasi dengan
maksUd hiburan.
III Pendidikan 1. Ke dan dari sekolah, Hal ini terjadi pada
kampus, dan lain – lain sebagian besar penduduk
yang berusia 5-22 tahun.
Di negara sedang
berkembang jumlahnya
sekitar 85% penduduk
IV. Rekreasi dan 1. Ke dan dari tempat Mengunjungi restoran,
hiburan rekreasi kunjungan sosial,
termasuk perjalanan pada
hari libur.
2. Yang berkaitan dengan
perjalanan dan
berkendaraan untuk
rekreasi
V. Kebudayaan 1. Ke dan dari tempat
ibadah

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-3


Laporan Akhir

2. Perjalanan bukan Perjalanan kebudayaan


hiburan ke dan dari dan hiburan sangat sulit
daerah budaya serta dibedakan
pertemuan politik
Sumber: LPM ITB, 1996

b. Waktu terjadinya pergerakan

Waktu terjadinya pergerakan sangat bergantung pada kapan


seseorang melakukan aktivitasnya sehari-hari. Dengan demikian
waktu pergerakan sangat tergantung pada maksud perjalanan.
Pergerakan ke tempat kerja atau pergerakan untuk maksud
bekerja biasanya merupakan perjalanan yang dominan (Tamin,
2000). Karena pola kerja biasanya dimulai jam 08.00 dan
berakhir jam 16.00, maka pola pergerakan akan mengikuti pola
jam kerja. Sehingga jam 06.00 sampai jam 08.00 akan banyak
pergerakan dari rumah ke tempat kerja. Pada sore hari sekitar
jam 16.00 sampai jam 18.00 akan banyak pergerakan dari
tempat kerja ke rumah.

Selanjutnya, perjalanan dengan maksud sekolah atau pun


pendidikan cukup banyak jumlahnya dibandingkan dengan tujuan
lainya. Biasanya sekolah dimulai jam 08.00 dan berakhir jam
16.00. Sehingga jam 06.00 sampai jam 07.00 akan banyak
pergerakan dari rumah ke sekolah. Pada sore hari sekitar jam
13.00 sampai jam 14.00 akan banyak pergerakan dari sekolah ke
rumah, sehingga pola perjalanan sekolah ini pun turut mewarnai
pola waktu puncak perjalanan.

Sedangkan perjalanan lain yang cukup berperan adalah


perjalanan untuk maksud berbelanja. Pola perjalanan yang
diperoleh dari penggabungan ketiga pola perjalanan tersebut
terkadang disebut juga pola variasi harian, yang menunjukkan
tiga waktu puncak, yaitu waktu puncak pagi, waktu puncak siang,
dan waktu puncak sore.

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-4


Laporan Akhir

c. Moda transportasi apa yang akan digunakan

Dalam melakukan perjalanan, orang biasanya dihadapkan pada


pilihan jenis angkutan seperti mobil, angkutan umum, pesawat
terbang, atau kereta api. Dalam menentukan pilihan jenis
angkutan, orang mempertimbangkan berbagai faktor, yaitu
maksud perjalanan, jarak tempuh, biaya dan tingkat
kenyamanan. Meskipun dapat diketahui faktor yang
menyebabkan seseorang memilih jenis moda yang digunakan,
pada kenyataannya sangatlah sulit untuk merumuskan
mekanisme pemilihan moda ini.

2. Karakteristik Spasial

Pergerakan terjadi karena manusia melakukan aktivitas di tempat


yang berbeda dengan daerah tempat mereka tinggal. Artinya
keterkaitan antarwilayah ruang sangatlah berperan dalam
menciptakan pergerakan. Jika suuatu daerah sepenuhnya terdiri
dari lahan tandus tanpa tumbuhan dan sumber daya alam, dapat
diduga bahwa pada daerah tersebut tidak akan timbul
Pergerakan mengingat di daerah tersebut tidak mungkin timbul
aktivitas. Juga, tidak akan pernah ada keterkaitan ruang antara
daerah tersebut dengan daerah lainnya.

Konsep yang paling mendasar yang menjelaskan terjadinya


pergerakan atau perjalanan selalu dikaitkan dengan pola
hubungan antara distribusi spasial Pergerakan dengan distribusi
spasial tata guna lahan yang terdapat di dalam suatu wilayah.
Dalam hal ini, konsep dasarnya adalah bahwa suatu perjalanan
dilakukan untuk melakukan kegiatan tertentu di lokasi yang dituju,
dan lokasi kegiatan tersebut ditentukan oleh pola tata guna lahan
kota tersebut. Jadi, faktor tata guna lahan sangat berperan.

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-5


Laporan Akhir

Berikut ini dijelaskan beberapa ciri perjalanan spasial, yaitu pola


perjalanan orang dan pola perjalanan barang (Tamin, 2000).

a. Pola Perjalanan orang

Perjalanan terbentuk karena adanya aktivitas yang dilakukan,


bukan di tempat tinggal sehingga pola sebaran tata guna
lahan suatu kota akan sangat mempengaruhi pola perjalanan
orang. Dalam hal ini pola penyebaran spasial yang sangat
berperan adalah sebaran spasial dari daerah industri,
perkantoran, dan pemukian. Pola sebaran spasial dari ketiga
jenis tata guna lahan ini sangat berperan dalam menentukan
pola perjalanan orang, terutama perjalanan dengan maksud
bekerja. Tentu saja sebaran spasial untuk pertokoan dan
areal pendidikan juga berperan.

b. Pola Perjalanan Barang

Berbeda dengan pola perjalanan orang, pola perjalanan


barang sangat dipengaruhi oleh aktivitas produksi dan
konsumsi yang sangat tergantung pada sebaran pola tata
guna lahan pemukiman (konsumsi), serta industri dan
pertanian (produksi). Selain itu, pola perjalanan barang
sangat dipengaruhi oleh pola rantai distribusi yang
menghubungkan pusat produksi ke daerah konsumsi.

3.1.3 BANGKITAN PERJALANAN/PERGERAKAN

Menurut Miro bangkitan perjalanan dapat diartikan sebagai banyaknya


jumlah perjalanan/pergerakan/lalulintas yang dibangkitkan pada sebuah
zona (kawasan) persatuan waktu (perdetik, menit, jam, hari, minggu, dan
seterusnya). Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan dan
jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona.
Pergerakan lalu lintas mencakup fungsi tata guna lahan yang

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-6


Laporan Akhir

menghasilkan pergerakan lalu intas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup


lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi dan lalu lintas yang menuju
atau tiba di suatu lokasi (Tamin, 2000).

Gambar 3.1

Diagram Bangkitan dan Tarikan Pergerakan

3.1.4 ANGKUTAN UMUM

Angkutan umum merupakan angkutan yang ditekankan pada jenis


angkutan untuk umum yang dilakukan dengan sistem sewa atau bayar,
dengan lintasan yang tetap dan dapat dipolakan secara tegas. Angkutan
umum diperuntukkan buat bersama (orang banyak) mempunyai arah dan
tujuan yag sama, serta terikat dengan peraturan trayek yang telah
ditetapkan dan jadwal yang telah ditentukan. Angkutan yang dimaksud
adalah angkutan kota yaitu bus, minibus, mikrolet, dan sebagainya

Keberadaan angkutan umum senantiasa membawa dampak yang sangat


luas bagi masyarakat, lingkungan maupun tatanan sosial lainnya. Secara
umum, ada dua tujuan utama dari keberadaan angkutan umum. Pertama
adalah supaya masyarakat walaupun tanpa menggunakan kendaraan
pribadi mampu menikmati kebutuhan ekonomi dan sosial dengan baik,
yang tidak dapat dipenuhi dengan berjalan kaki. Kedua adalah

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-7


Laporan Akhir

memberikan suatu alternatif bagi pengguna atau pemakai kendaraan


pribadi, baik karena fisik maupun ekonomi atau menjaga kemungkinan
yang tidak diinginkan dalam bidang sosial ekonomi (Morlok, 2004).

Pelayanan angkutan umum dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok


berdasarkan jenis rute dan perjalanan yang dilayani (Khisty, 2006),
yaitu:

1. Angkutan jarak pendek ialah pelayanan kecepatan rendah di


kawasan sempit,

2. Angkutan kota, yang merupakan jenis yang paling lazim, yang


melayani orang-orang yang membutuhkan transportasi di
dalam kota,

3. Angkutan regional yang melayani perjalanan jauh.

3.1.5 HALTE

Berikut ini adalah definisi halte:

1. Menurut Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) ITB


tahun 1997, halte adalah lokasi di mana penumpang dapat naik ke
dan turun dari angkutan umum dan lokasi di mana angkutan umum
dapat berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang,
sesuai dengan pengaturan operasional.

2. Menurut Dirjen Bina Marga 1990 tahun, halte adalah bagian dari
perkerasan jalan tertentu yang digunakan untuk pemberhentian
sementara bus, angkutan penumpang umum lainnya pada waktu
menaikan dan menurunkan penumpang.

3. Menurut Dirjen Perhubungan Darat tahun 1996, halte adalah tempat


adalah tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk
menurunkan dan/atau menaikan penumpang yang dilengkapi
dengan bangunan.

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-8


Laporan Akhir

Untuk itu, halte perlu dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai,
serta lokasi yang sesuai dengan tata ruang lingkungan. Pengaturan halte
Trans Padang perlu disesuaikan dengan kebutuhan, oleh karena itu perlu
diperhatikan ketentuan mengenai :

1. Kriteria Penempatan Halte

Dalam penentuan lokasi halte trans padang terdapat beberapa kriteria


yang digunakan diantaranya, sebagai berikut :

1) Rencana umum tata ruang

2) Kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan disekitar halte

3) Keterpaduan antar moda transportasi

4) Kondisi geografi lokasi halte

5) Kelestarian lingkungan

Selain itu sebaran lokasi halte harus memperhatikan berbagai aspek


yang berkaitan dengan tuntutan umum (Suwardjoko P. Warpani, 2002)
yaitu :

1) Pusat keramaian yang ada, misalnya pasar, pertokoan, obyek


wisata dan lain-lain

2) Pusat kegiatan, misalnya kantor, sekolahan dan lain-lain

3) Kemudahan perpindahan moda, misalnya persimpangan jalan

Persyaratan penentuan lokasi halte secara umum (Iskandar Abubakar


dan kawan-kawan , 1995) adalah sebagai berikut :

1) Terletak pada jalur pejalan kaki/ trotoar (footway)

2) Dekat dengan pusat kegiatan yang membangkitkan pemakai


angkutan umum

3) Tidak tersembunyi, aman terhadap gangguan kriminal

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-9


Laporan Akhir

4) Harus ada pengatur arus kendaraan, pemakai halte dan pejalan


kaki, sehingga aman terhadap kecelakaan lalu lintas

5) Tidak menggangu kelancaran lalu lintas

Melihat persyaratan umum dan pedoman praktis penentuan lokasi


halte angkutan umum, maka perlu diperhatikan kondisi lapangan :

1) Ada tidaknya trotoar.

2) Tersedianya lahan untuk membuat halte

3) Tingkat pelayanan jalan.

4) Kecukupan lebar jalan.

5) Tingkat permintaan penumpang yang menentukan perlu tidaknya


lindungan.

2. Penentuan lokasi didasarkan Pada Asal dan Tujuan Penumpang

Untuk memperoleh lokasi halte yang sesuai dengan asal dan tujuan
penumpang, perlu diketahui jumlah penumpang dari asal dan tujuannya
serta kebiasaan lokasi menunggu. Asal penumpang berikut jumlahnya
akan menuju kelokasi tunggu pada ruas jalan yang merupakan lintasan
rute kendaraan umum dan mudah dicapai untuk pergantian moda.
Tujuan penumpang berpergian sangat bergantung pada kepentingan
berpergian, sehingga ketepatan waktu keberangkatan mendorong calon
penumpang memilih lokasi yang mudah dicapai. Jumlah, asal, tujuan
penumpang dan lintasan rute kendaraan umum dapat menjadi landasan
untuk memperoleh alternatif lokasi halte yang mudah dicapai, aman dan
sesuai dengan kebutuhan penumpang maupun kendaraan umum
sendiri.

3. Pemilihan Lokasi Halte

Berdasarkan Vucich (1981), lokasi halte angkutan umum di jalan raya


diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu :

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-10


Laporan Akhir

1) Near Side (NS), pada persimpangan jalan sebelum memotong jalan


simpang (cross street)

2) Far Side (FS), pada persimpangan jalan setelah melewati jalan


simpang (cross street)

3) Midblock street (MB), pada tempat yang cukup jauh dari


persimpangan atau pada ruas jalan tertentu

Halte (bus stop) biasanya ditempatkan di lokasi yang tingkat permintaan


akan penggunaan angkutan umumnya tinggi serta dengan
pertimbangan kondisi lalu lintas kendaraan lainnya (Ogden dan Bennet,
1984). Untuk itu, pertimbangan khusus harus diberikan dalam
menentukan lokasi halte dekat dengan persimpangan. Faktor-faktor
yang menjadi pertimbangan dalam penentuan halte dekat persimpangan
tersebut adalah:

1. Apabila arus kendaraan yang belok ke kanan padat, maka


penempatan lokasi halte yang paling baik adalah sebelum
persimpangan.

2. Apabila arus kendaraan yang belok ke kiri padat, maka


penempatan lokasi halte adalah setelah persimpangan.

3. Di persimpangan dimana terdapat lintasan trayek angkutan


umum lainnya, penempatan halte harus mempertimbangkan
jarak berjalan kaki penumpang dan konflik kendaraan-
penumpang yang mungkin terjadi agar proses transfer (alih
moda) penumpang berjalan lancar.

Pemilihan lokasi halte berdasarkan Draft Pedoman Teknis Angkutan


Bus Kota dengan Sistem Jalur Khusus Bus(JKB/Busway) yang
dikeluarkan oleh Direktorat Bina Sistem Trasnportasi Perkotaan
DITJEN Perhubungan Darat tahun 2006

1. besar permintaan penumpang (density of demand),

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-11


Laporan Akhir

2. lokasi bangkitan perjalanan terbesar (kantor, sekolah, dsb),

3. geometrik jalan,

4. kinerja yang diinginkan.

Sedangkan menurut Vuchic (1981) aspek – aspek yang mempengaruhi


penentuan lokasi halte:

1. Lampu lalu lintas

Untuk daerah pusat kota faktor lampu lalu lintas merupakan faktor
utama yang dapat mempengaruhi kecepatan perjalanan bus.

2.Akses penumpang

Halte sebaiknya ditempatkan di lokasi tempat penumpang


menunggu yang dilindungi dari gangguan lalu linta, harus
mempunyai ruang yang cukup

untuk sirkulasi, dan tidak mengganggu kenyamanan pejalan kaku di


trotoar. Pada persimpangan sebaiknya ditempatkan halte untuk
mengurangi jalan berjalan kaki penumpang yang akan beralih
moda.

3.Kondisi lalu lintas

Pembahasan kondisi lalu lintas diperlukan dengan tujuan agar


penempatan lokasi halte tidak mengakibatkan atau memperburuk
gangguan lalu lintas

4.Geometri jalan

Geometri jalan mempengaruhi lokasi halte. Pembahasan Geometri


jalan diperlukan dengan tujuan agar penempatan lokasi halte tidak
mengakibatkan atau memperburuk gangguan lalu lintas.

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-12


Laporan Akhir

3.1.6 JARAK ANTAR HALTE/LOKASI HALTE

Jarak antar halte merupakan jarak antara satu halte dengan halte
berikutnya atau sebelumnya yang harus diperhitungkan, adapun
pertimbangan dalam menentukan jarak antar halte adalah :

1. Tidak terlalu jauh dan masih memungkinkan dijangkau seorang


pejalan kaki dengan membawa barang bawaan.

2. Tidak terlalu dekat, dalam artian tidak menyulitkan pengoperasian


kendaraan angkutan umum oleh pengemudi.

3. Kapasitas tempat henti dan adanya permintaan yang didasarkan


pada kebutuhan.

4. Tingkat ekonomis untuk pengoperasian kendaraan penumpang


umum.

Dengan memperhatikan aspek kondisi tata gunalahan, berikut ini


penentuan jarak antara halte, dapat dilihat pada Tabel.

Tabel 3.2 Penentuan Jarak Antar Halte

Jarak
Tata Guna
Zona Lokasi Tempat
Lahan
Henti
1 Pusat kegiatan CBD, Kota 200-300*

sangat padat :

Pasar, pertokoan
2 Padat : Kota 300-400

perkantoran,sekolah,
jasa
3 Permukiman Kota 300-400
4 Campuran padat : Pinggiran 300-500

sekolah, jasa

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-13


Laporan Akhir

5 Campuran jarang : Pinggiran 500-1000

perumahan,ladang,saw
ah,

tanah kosong
Ket : *) = jarak 200 m dipakai bila sangat diperlukan saja, sedangkan jarak
umumnya 300 m.

(Sumber : Departemen Perhubungan 1996)

Pengelompokan tempat perhentian kendaraan penumpang umum


berdasarkan tingkat pemakaian, ketersediaan lahan, dan kondisi
lingkungan adalah sebagai berikut :

1. Halte yang tidak terpadu dengan trotoar dan tidak dilengkapi


dengan teluk bus serta mempunyai tingkat pemakaian tinggi

Gambar 3.2 Standar Tempat Henti Tunggal

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-14


Laporan Akhir

Gambar 3.3 Standar Tempat Henti Berseberangan

Gambar 3.4 Standar Tempat Henti sesudah Jalan Akses

2. TPB yang tidak terpadu dengan trotoar, dan tidak dilengkapi


dengan teluk bus dan mempunyai tingkat pemakaian rendah

Gambar 3.5 Standar Tempat Henti Tunggal

Gambar 3.6 Standar Tempat Henti dekat Jalan Akses

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-15


Laporan Akhir

Gambar 3.7 Standar Tempat Henti Berseberangan

3. Halte pada lebar jalan yang terbatas (< 5,75 m), tetapi mempunyai
tingkat permintaan tinggi

Gambar 3.8 Standar Tempat Henti Tunggal

Gambar 3.9 Standar Tempat Henti Berseberangan

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-16


Laporan Akhir

Gambar 3.10 Standar Tempat Henti sesudah Jalan Akses

4. Pada lahan terbatas yang tidak memungkinkan membuat teluk bus,


hanya disediakan TPB dan rambu larangan menyalip.

Gambar 3.11 Standar Tempat Henti Tunggal

Gambar 3.12 Standar Tempat Henti Berseberangan

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-17


Laporan Akhir

Gambar 3.13 Standar Tempat Henti dekat Jalan Akses

3.1.7 JENIS DAN TYPE HALTE

Penentuan jenis dan type halte didasarkan pada demand masing-masing


halte dan kondisi geografis lokasi titik halte tersebut. Penentuan jenis dan
type halte juga didasarkan pada ukuran luas halte yang akan
direncanakan. Untuk Jenis dan Type Halte direncanakan dengan 3 Type,
yakni dengan tipe Besar, tipe Sedang, dan tipe Kecil. Namun untuk
mengantisipasi permasalahan yang timbul dilapangan juga direncanakan
halte sementara (portable) dengan ukuran kecil.

3.1.8 PERLENGKAPAN HALTE

Perlengkapan tempat perhentian bus tergantung kepada sistem yang


digunakan, terbuka atau tertutup seperti shuttle/shelter atau tempat
perhentian, seperti contoh bus Trans Jakarta, ataupun jumlah penumpang
yang menggunakan fasilitas tempat perhentian bus. Perlengkapan
meliputi:

1. Rambu lalu lintas Tempat perhentian bus.

2. Atap untuk melindungi penumpang dari hujan ataupun panas

3. Tempat duduk untuk calon penumpang

4. Informasi perjalanan

5. Penjualan tiket seperti yang diterapkan pada TransJakarta atau


Trans Jogja

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-18


Laporan Akhir

6. Tempat perhentian bus kadang-kadang dilewati oleh beberapa


trayek dengan jadwal yang berbeda-beda sehingga perlu
dilengkapi dengan sistem informasi yang memuat informasi
mengenai:

7. No. Trayek bus,

8. Rute yang dilewati,

9. Jadwal perjalanan

10. Besaran tarif

3.2. METODOLOGI

3.2.1. Tahapan Persiapan

Berdasarkan tinjauan pustaka, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi


dalam penentuan lokasi halte. Kriteria penentuan lokasi halte adalah
sebagai berikut:

1. Potensi membangkitkan jumlah penumpang yang cukup tinggi.

Kriteria ini merupakan salah satu dasar dalam menentukan lokasi halte.
Halte ditempatkan pada lokasi yang mempunyai potensi
membangkitkan penumpang yang cukup tinggi agar halte yang
dibangun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar secara optimal.

2. Jarak dari persimpangan jalan.

Lokasi kandidat halte harus memiliki jarak tertentu dari persimpangan


agar halte yang akan dibangun tidak memberikan beban tambahan
terhadap ruas jalan. Sesuai dengan peraturan tentang tata letak halte
terhadap ruang lalu lintas menurut Dirjen Perhubungan Darat tahun
1996, jarak halte dari persimpangan jalan minimal 50 meter. Sedangkan
jarak dengan pergantian moda adalah 100 meter. Hal ini dimaksudkan
agar penempatan halte tidak memperburuk kondisi lalu lintas. Faktor-

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-19


Laporan Akhir

faktor yang menjadi pertimbangan dalam penentuan halte dekat


persimpangan tersebut adalah:

a) Apabila arus kendaraan yang belok ke kanan padat, maka


penempatan lokasi halte yang paling baik adalah sebelum
persimpangan.

b) Apabila arus kendaraan yang belok ke kiri padat, maka penempatan


lokasi halte adalah setelah persimpangan.

Jarak minimal halte dari gedung yang membutuhkan ketenangan seperti


rumah sakit dan tempat ibadah adalah 100 meter. Kriteria ini peraturan
tentang tata letak halte terhadap ruang lalu lintas menurut Dirjen
Perhubungan Darat tahun 1996. Penetapan kriteria ini dimaksudkan agar
penempatan halte tidak mengganggu ketenangan pengguna rumah sakit
dan tempat ibadah.

3.2.2. Tahap Pengumpulan Data

Tahap ini akan dilakukan pengumpulan data, baik data sekunder (data
yang sudah tersedia) yang akan dikumpulkan dari beberapa instansi
terkait dan studi terdahulu yang pernah dilakukan maupun data primer
yang diperoleh secara langsung dari survei lapangan di sepanjang ruas
jalan diantaranya geometrik jalan dan arus lalu lintas sepanjang ruas
jalan.

1) Survei Volume Lalu Lintas

Untuk melihat pengaruh penematan titik halte terhaddap ganguan lalu


lintas perlu dilakukan survei Volume Lalu Lintas Terklasifikasi yakni
mencatat lalu lintas kendaraan pada masing-masing jenis kendaraan.
Formulir Terlampir.

Tabel 3.3 Tabel Formulir Volume Lalu Lintas Terklasifikasi

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-20


Laporan Akhir

Kemudian untuk menghitung kapasitas jalan, maka perlu


melakukan survey Inventarisasi Jalan, dengan Formulir berikut ini

Tabel 3.4 Tabel Inventarisasi Jalan

Nama Surveyor :
Hari :
Tanggal :
2) Potensi bangkitan Penumpang

Potensi bangkitan penumpang salah satu dasar dalam menentukan lokasi


halte. Untuk mendapatkan potensi bangkitan penumpang maka dilakukan
survey potensi bangkutan penumpang dengan mencatat calon
penumpang yang menggunakan angkutan umum. Formulir Terlampir

Tabel 3.5 Naik Turun Penumpang

Jumlah
Jam
Naik Turun
07.00 – 08.00
11.00 – 12.00
16.00 – 17.00

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-21


Laporan Akhir

3.2.3. Tahap Analisis

1) Perhitungan Kinerja Jaringan Jalan

Analisis data dilakukan secara matematis terhadap data primer


berdasarkan survey di lapangan. Didalam menganalisis kinerja ruas
jalan, jam perancangan yang digunakan adalah jam perancangan 1
(satu) jam tersibuk yang telah dikonversikan kedalam Satuan Mobil
Penumpang (SMP). Standar konversi dari kendaraan ke satuan
mobil penumpang dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.6 Faktor Satuan Mobil Penumpang

emp
Tipe
Arus total MC
Alinyeme
(kend/jam)
MHV LB LT Lebar Jalur Lalu Lintas
n
<6 m 6-8 m >8m
Datar 0 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4
800 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6
1350 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5
≥1900 1,3 1,5 2,5 0,6 0,5 0,4
Bukit 0 1,8 2,6 5,2 0,7 0,5 0,3
650 2,4 2,5 5,0 1,0 0,8 0,5
1100 2,0 2,0 4,0 0,8 0,6 0,4
≥1600 1,7 1,7 3,2 0,5 0,4 0,3
Gunung 0 3,5 2,5 6,0 0,6 0,4 0,2
450 3,0 3,2 5,5 0,9 0,7 0,4
900 2,5 2,5 5,0 0,7 0,5 0,3
≥1350 1,9 2,2 4,0 0,5 0,4 0,3
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997

Didalam menghitung kapasitas ruas jalan, referensi yang digunakan


adalah Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI). MKJI merupakan
standar yang digunakan untuk menentukan kinerja jaringan jalan
yang ada di Indonesia. Konsep perhitungan yang dilakukan adalah
mengkuantifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada suatu
ruas/persimpangan jalan untuk dilewati oleh kendaraan pada suatu
rentang waktu tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas
jalan antara lain :

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-22


Laporan Akhir

1. Lebar jalan/ persimpangan jalan

2. Pemisahan arah (median)

3. Hambatan samping

4. Tata guna lahan sisi jalan

5. Sisi jalan (bahu atau kerb)

6. Ukuran kota

Dalam analisis Lalu lintas ini akan ditinjau kinerja jalan di dalam
kawasan dari segi V/C, dimana V = volume kendaraan yang lewat
(smp/jam) dan C adalah kapasitas jalan yang ditinjau (smp/jam).
Sebagai perhitungan awal kapasitas, berikut ini adalah teori dasar
yang dipakai dalam perhitungan kapasitas jalan yang mengacu
pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI).

2) Perhitungan Kapasitas ]alan

Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di


jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi
tertentu. Untuk jalan dua-jalur dua arah, kapasitas ditentukan untuk
arus dua arah (kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan
banyak jalur, arus dipisahkan per-arah dan kapasitas ditentukan
per-jalur.

Nilai kapasitas ialah diamati melalui pengumpulan data lapangan


selama memungkinkan. Karena lokasi yang mempunyai arus
mendekati kapasitas segmen jalan sedikit, kapasitas juga telah
diperkirakan dari analisis kondisi iringan lalu lintas dan secara
teoritis dengan mengasumsikan hubungan matematik kerapatan,
kecepatan dan arus. Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil
penumpang (SMP).

Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah sebagai


berikut:

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-23


Laporan Akhir

C = Co. FCw.FCSP.FCSF.

Dimana :

C : Kapasitas (smp/jam)
Co : Kapasitas dasar (smp/jam)
FCw : Faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp : Faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya
untuk jalan tak terbagi)
FCsf : Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu
jalan/kereb
Jika kondisi sesungguhnya sama dengan kondisi dasar (ideal) yang
ditentukan sebelumnya maka semua faktor penyesuaian menjadi
1,0 dan kapasitas menjadi sama dengan kapasitas dasar.

Adapun kondisi ideal jalan untuk berbagai tipe jalan dengan jumlah
Jalur adalah sebagai berikut:

Faktor penyesuaian sebagai acuan perhitungan kapasitas disajikan


pada Tabel 3.5 hingga Tabel 3.11.

Tabel 3.5

Tabel 3.7 Kapasitas Dasar (Co)

Kapasitas dasar
Tipe Jalan Keterangan
(smp/jam)
Jalan 4 Jalur berpembatas median 1.650 Per Jalur
atau jalan satu arah
Jalan 4 Jalur tanpa pembatas 1.500 Per Jalur
median
Jalan 2 Jalur tanpa pembatas 2.900 Total dua arah
median
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997

Tabel 3.8

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-24


Laporan Akhir

Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Lebar Jalur Lalu lintas (FCw)

Tipe Jalan Lebar Jalan Efektif FCw


(m)
Per Jalur

3,00 0,92

4 Jalur berpembatas median atau 3,25 0,96


jalan satu arah 3,50 1,00

3,75 1,04

4,00 1,08
Per Jalur

3,00 0,91

3,25 0,95
4 Jalur tanpa pembatas median
3,50 1,00

3,75 1,05

4,00 1,09
Dua arah

5 0,56

6 0,87

7 1,00
2 Jalur tanpa pembatas median
8 1,14

9 1,25

10 1,29

11 1,34
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997

Tabel 3.9

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-25


Laporan Akhir

Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pemisahan Arah (FCsp)

Pembagian arah ( % - % ) 50 – 50 55 - 45 60 - 40 65 - 35 70 – 30
2 Jalur 2 arah tanpa
pembatas median (2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
FCw UD)
4-Jalur 2 arah tanpa
1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
pembatas median (4/2 D)
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997

Tabel 3.10

Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Hambatan Samping Jalan dengan


Bahu (FCsf)

Faktor koreksi akibat gangguan samping


Kelas
dan lebar bahu jalan
Tipe Jalan Ganggguan
Lebar bahu jalan efektif
Samping
< 0,5 1,0 1,5 > 2,0
4- Jalur 2 arah Sangat
berpembatas rendah 0,96 0,98 1,01 1,03
median (4/2 D) Rendah 0,94 0,97 1,00 1,02

Sedang 0,92 0,95 0,98 1,00

Tinggi 0,88 0,92 0,95 0,98

Sangat 0,84 0,88 0,92 0,96


Tinggi
4-Jalur 2-arah Sangat 0,96 0,99 1,01 1,03
tanpa pembatas rendah 0,94 0,97 1,00 1,02
median (4/2 UD) Rendah 0,92 0,95 0,98 1,00
Sedang 0,87 0,91 0,94 0,98
Tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-26


Laporan Akhir

Faktor koreksi akibat gangguan samping


dan lebar bahu jalan
Sangat
Tinggi
Kelas
2-Jalur
Tipe2-arah
Jalan Sangat
Ganggguan
tanpa pembatas rendah
Samping 0,94 0,96 0,99 1,01
median (2/2UD) Rendah 0,92 0,94 0,97 1,00
atau jalan satu
Sedang 0,89 0,92 0,95 0,98
arah
Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95

Sangat 0,73 0,79 0,85 0,91


Tinggi
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997

Tabel 3.11

Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Hambatan Samping Jalan dengan Kereb (FCsf)

Faktor koreksi akibat gangguan samping


Kelas
dan jarak gangguan pada kereb
Tipe Jalan Ganggguan
Jarak kereb – Gangguan samping
Samping
< 0,5 1,0 1,5 > 2,0
4- Jalur 2 arah Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,01
berpembatas Rendah 0,94 0,96 0,98 1,00
median (4/2 D)
Sedang 0,91 0,93 0,95 0,98

Tinggi 0,86 0,89 0,92 0,95

Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92


4-Jalur 2-arah Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,01
tanpa pembatas Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00
median (4/2
Sedang 0,90 0,92 0,95 0,97
UD)
Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,93

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-27


Laporan Akhir

Faktor koreksi akibat gangguan samping


dan jarak gangguan pada kereb
Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90
Kelas
Sangat rendah 0,93 0,95 0,97 0,99
Tipe 2-arah
2-Jalur Jalan Ganggguan
Rendah
Samping 0,90 0,92 0,95 0,97
tanpa pembatas
median (2/2UD) Sedang 0,86 0,88 0,91 0,94
atau jalan satu Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88
arah
Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997

Faktor koreksi kapasitas untuk jalan 6 Jalur dapat diperkirakan


dengan menggunakan faktor koreksi kapasitas untuk jalan 4 Jalur
dengan menggunakan persamaan:

FC6,SF = 1 – 0,8 x ( 1 – FC 4,SF) ...................................... ( 2 )

Dimana:

FC6,sF = Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan enam-


Jalur

FC4, sF = Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan empat-


Jalur

Tabel 3.12. Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping (FCsf)

Kelas Gangguan Jumlah gangguan per 200


Kondisi tipikal
Samping m per jam (dua arah)

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-28


Laporan Akhir

Sangat rendah < 100 Permukiman


Permukiman, beberapa
Rendah 100 – 299
transportasi umum
Daerah industri dengan
Sedang 300 – 499
beberapa toko di pinggir jalan
Daerah komersial, aktivitas
Tinggi 500 – 899
pinggir jalan tinggi
Daerah komersial dengan
Sangat Tinggi > 900 aktivitas perbelanjaan pinggir
jalan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997

Tabel 3.13. Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Ukuran Kota (FCcs)

Ukuran kota (Juta penduduk) Faktor koreksi untuk ukuran kota


< 1,0 0,86

0,1 – 0,5 0,90

0,5 – 1,0 0,94

1,0 – 1,3 1,00

> 1,3 1,03


Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997

3) Standar Kinerja Jaringan

Standar yang umum digunakan di Indonesia dalam menentukan


kinerja jaringan jalan yang terdiri dari ruas jalan dan persimpangan
digunakan parameter VCR (Volume Capacity Ratio) dan Level of
Service. VCR didapatkan dari volume kendaraan yang melewati ruas
jalan/persimpangan yang dibandingkan dengan kapasitas volume

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-29


Laporan Akhir

kendaraan yang dapat dilewatkan. Rentang nilai VCR minimum


sebesar 0 (nol) dan maksimum sebesar 1 (satu), namun pada
perhitungan di atas kertas, VCR dapat saja melebihi 1 (satu).
Dengan data-data volume kendaraan dan kapasitas jalan di atas
maka dapat dihitung kinerja jalan dilihat dari V/C kondisi sekarang
dan yang akan datang. Sebagai gambaran pada Tabel 3.14
ditunjukkan kondisi ruas jalan dengan nilai V/C tertentu.

Tabel 3.14 Kondisi-Kondisi Yang Terjadi Dalam Pengukuran VC Ratio

No Kondisi V/C ratio Keterangan


.
1. < 0,80 Ruas atau jaringan jalan yang diukur
masih dapat melayani kebutuhan volume
kendaraan yang melewati ruas jalan
tersebut
2. 0,80 – 1,00 Disebut sebagai unstabled condition,
karena kondisi jaringan jalan sudah mulai
tidak dapat menampung jumlah
kendaraan yang melewati ruas jalan
tersebut
3. > 1,00 Kondisi ini adalah kondisi dimana ruas
jalan sudah tidak dapat menampung
pergerakan volume kendaraan dimana
jumlah volume kendaraan sudah jauh
melewati kapasitas jalan yang dimiliki
oleh jalan tersebut
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997

Nilai VCR pada ruas jalan tersebut kemudian diklasifikasikan pada


suatu rentang tertentu untuk menunjukkan kinerja pelayanan
jaringan (Level of Service). Kinerja pelayanan diklasifikasikan dalam

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-30


Laporan Akhir

nilai abjad dimana A merupakan pelayanan yang terbaik dan F


menandakan pelayanan jaringan jalan yang buruk. Standar
penentuan kinerja jaringan (Level of Service) didasarkan pada Tabel
3.15.

Tabel 3.15

Standar Tingkat Pelayanan Jalan Dalam Pengukuran VC Ratio

Tingkat Karakteristik Batas


Pelayan Lingkup
an VCR
A Kondisi arus bebas dengan kecepatan tinggi 0,00 – 0,20
Pengemudi dapat memilih kecepatan yang
diinginkan tanpa hambatan
B a. Arus stabil tetapi kecepatan operasi 0,20 – 0,44
dibatasi oleh kondisi lalu lintas
b. Pengemudi memiliki kebebasan yang
cukup untuk memilih kecepatan
C a. Arus stabil tetapi kecepatan dan gerak 0,45 – 0,74
kendaraan dikendalikan
b. Pengemudi dibatasi dalam memilih
kecepatan
D a. Arus mendekati tidak stabil 0,75 – 0,84
b. Kecepatan masih dikendalikan
c. V/C masih dapat ditolerir
E a. Arus lalu lintas mendekati/berada pada 0,84 – 1,00
kapasitas
b. Arus yang tidak stabil
c. Kecepatan terkadang terhenti
F a. Arus lalu lintas dipaksakan atau macet > 1,00
b. Kecepatan rendah, volume dibawah
kapasitas
c. Antrian panjang dan terjadi hambatan-
hambatan yang besar
Sumber : Menuju Lalu lintas dan Angkutan Jalan yang Tertib dan
Teratur, Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1995

4) Analisis Potensi Penumpang

Analisis menggunakan formula matematis biaya yakni menghitung


jumlah potensi penumpang yang naik turun di lokasi yang

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-31


Laporan Akhir

ditentukan, selanjutnya potensi tersebut di sesuaikan dengan


standar pelayanan minimal (SPM)

Feasibiity Study Pembangunan Halte III-32

Anda mungkin juga menyukai