Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus

Hipersplenisme+Hepatitis C+ Defisiensi G6PD+Hemiparese sinistra


ec infark cerebri ec status epileptikus+susp Thalassemia alfa.

Disusun Oleh:

Dewi Laila Azhar


M. Kasyfi Ramdhan
M.Radhiatul Hakiki

Pembimbing :
dr. Cece Alfalah. Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan yang maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul ‘’Hipersplenisme+Hepatitis C+ Defisiensi
G6PD+Hemiparese sinistra ec infark cerebri ec status epileptikus+susp
Thalassemia alfa.”

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut
membantu hingga terselesaikannya laporan kasus ini. Ucapan terima kasih ini penulis
sampaikan kepada:

1. dr. H. Nuzelly Husnedi, MARS selaku Direktur RSUD Arifin Achmad yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan
kepaniteraan klinik di RSUD Arifin Achmad.
2. Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, Sp. A(K), IBCLC selaku KSM Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Arifin Achmad/KJF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Riau yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Kesehatan Anak.
3. dr. Cece Alfalah, Sp.A(K) selaku pembimbing yang telah memberikan waktu,
ilmu, pikiran, serta membimbing dengan penuh kesabaran dari awal hingga
selesainya penulisan laporan kasus ini.
4. Pasien, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan pemeriksaan
dan dijadikan bahan pembelajaran bagi penulis.
5. Teman-teman seperjuangan terima kasih atas motivasi dan perhatian kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan
masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan penulis dari pembaca demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.
Pekanbaru, 27 september 2018

penulis
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI iii

DAFTAR GAMBAR iv

BAB I. LATAR BELAKANG 1


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Thalassemia 3
2.1.1Klasifikasi 3
2.1.2Diagnosa 4
2.1.3 Hipersplenisme 5
2.1.4 Tatalaksana 5
2.2 Hepatitis C 8
2.2.1 Definisi 8
2.2.2 Epidemiologi 8
2.2.3 Etiologi 9
2.2.4 Patofisiologi 9
2.2.5 Manifestasi klinis 12
2.2.6 Tatalaksana 16
2.3 Status Epileptikus 18
2.3.1 Definisi 18
2.3.2 Epidemiologi 18
2.3.3 Etiologi dan patofisiologi 18
2.3.4 Manifestasi Klinik 19
2.3.5 Tatalaksana 20
BAB III. LAPORAN KASUS 24
BAB IV. PEMBAHASAN 43

DAFTAR PUSTAKA 48

iii
iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Siklus hidup virus hepatitis C 10

Gambar 3.1CT-Scan kepala tanpa kontras 31


BAB I

LATAR BELAKANG

Thalassemia alfa (α) merupakan salah satu kelaianan genetik hemoglobin

yang umum terjadi. Kelainan utama berupa kurang atau tidak adanya sintesis rantai α

yang disebabkan oleh mutasi gen globin α baik berupa delesi gen maupun non-delesi

sehingga rantai globin yang ada membentuk HbBart (γ4) dan HbH (β4).1 Thalassemia

alfa terjadi akibat mutasi pada kromosom 16. Tetramer tersebut tidak stabil dan

mempercepat destruksi eritrosit.2

Angka kejadian thalassemia α pada tahun 2006 cukup tinggi di Thailand

sekitar 20%-30%.3 Penelitian yang dilakukan oleh Husna N, dkk pada tahun 2015 di

Yogyakarta dari 241 subjek penelitian didapatkan 44 subjek (18%) didiagnosis

sebagai pembawa thalassemia α .4

Tatalaksana pada thalassemia α adalah transfusi darah merah, asam folat, dan

terapi kelasi besi.1 Transfusi sebaiknya diberikan bila kadar Hb sudah mencapai 9-10

g/dL dan mencapai Hb pasca transfusi tidak lebih dari 13-14 g/dL. Hal ini akan

menjamin pertumbuhan yang normal, menekan eritropoesis di tempat lain, dan

meminimalisasi akumulasi besi.1 Terapi kelasi besi dengan deferioksamin dilakukan

bila kadar feritin telah melebihi 1000 ng/mL dengan dosis 40-50 mg/kg/hari.1

Transfusi darah merupakan faktor risiko terjadinya penularan VHC.5

Penelitian yang dilakukan di RS Dr Soetomo Surabaya pada tahun 2009, prevalensi

kasus hepatitis C pada pasien anak dibagian hematoonkologi yang rutin mendapatkan

1
2

transfusi darah sebesar 7.8%.5 Penyakit ini dilaporkan sebagai penyebab kematian

tersering penyebab kematian pada pasien talasemia diatas 15 tahun.2

Berdasarkan data pusat thalassemia Jakarta tahun 2009 didapatkan 2% pasien

tertular infeksi hepatitis B, 15% pasien tertular infeksi hepatitis C, dan 5 orang pasien

tertular infeksi HIV dari 716 sampel yang dilakukan pemeriksaan uji serologis.6

Teknologi nucleic acid test (NAT) memiliki potensi untuk mendeteksi viremia lebih

cepat daripada metode skirining enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 di India didapatkan 6 sampel (2,11%)

positif VHC dengan pemeriksaan NAT dari 284 sampel antibodi VHC negatif.7

Pemeriksaan antibodi tidak dapat mengidentifikasi subjek saat fase awal terinfeksi, yang

disebut dengan window period.7

Berdasarkan pemaparan diatas maka penulisan ini bertujuan untuk memahami

komplikasi hematoonkologi.
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Thalassemia alfa

Thalassemia alfa (α) adalah berkurang atau tidak adanya sintesis rantai α yang

disebabkan oleh mutasi gen globin α baik berupa delesi gen maupun non-delesi .1

2.1.1 Klasifikasi thalassemia alfa

Klasifikasi thalassemia alfa terbagi empat:

a. Silent carrier state

Gangguan pada 1 rantai globin alfa, keadaan ini tidak timbul gejala sama

sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.2,6,8

b. Thalassemia alfa trait

Gangguan pada 2 rantai globin alfa, penderita mengalami anemia ringan

dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer.2,6,8

c. Hemoglobin H disease

Gangguan pada 3 rantai globin alfa, penderita mengalami anemia ringan,

sedang sampai berat, splenomegali ikterus dan jumlah sel darah merah yang

abnormal.2,6,8

d. Thalassemia alfa mayor

Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen

globin alfa, disertai dengan tidak ada sintesis rantai alfa sama sekali.

3
4

2.1.2 Diagnosis thalassemia alfa

Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria

anamnesis,pemeriksaan fisis, dan laboratorium.

1. Anamnesis

a. Pucat kronik ,letih lesu, kesulitan makan,gagal tumbuh

b. Perut tampak membesar

c. Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.6

2. Pemeriksaan Fisik

Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis pada anak

dengan thalassemia adalah konjungtiva anemis, facies Cooley (dahi menonjol, mata

menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi),

hepatosplenomegali, gagal tumbuh, 6,8

3. Laboratorium

a. Darah Rutin

1. Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan

kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL.6

2. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk

skrining pembawa sifat thalassemia (trait), thalassemia δβ, dan high

Persisten fetal hemoglobine (HPFH)13.6

3. Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean

corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia

mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.6


5

b. Gambaran darah tepi

1. Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan

tear drop), mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan

Pappenheimer, sel target, dan eritrosit berinti (menunjukan defek

hemoglobinisasi dan diseritropoiesis)

2. Total hitung dan neutrofil meningkat

3. Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia,

neutropenia, dan trombositopenia.

2.1.3 Hipersplenisme

Hipersplenisme adalah sindrom klinis yang terlihat akibat berbegai penyebab

splenomegali. Hipersplenisme ditandai adanya9:

1. Pembesaran limpa.

2. Pansitopenia (Anemia, trombositopenia, leukopenia).

3. Fungsi sumsum tulang normal.

Filtrasi dan eliminasi dari sel-sel yang tidak sempurna pada kelainan herediter

membran sel darah meah seperti sel-sel sferosit, eliptosit atau stomatosit atau dengan

sel-sel yang dibungkus oleh antibodi (antobody-coated cells), netrofil, atau trombosit

terjadi di limpa sehingga dapat menyebabkan sitopenia.9 Hipersplenisme ditandai

dengan adanya peningkatan akan kebutuhan darah yaitu lebih dari 200-

250cc/kgBB/tahun.
6

2.1.4 Tatalaksana thalassemia alfa

1.Transfusi darah

Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan

hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak.6

Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat individual pada setiap pasien.

Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium terbukti pasien menderita

thalassemia mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x pemeriksaan dengan selang

waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan

dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau deformitas tulang akibat thalassemia.6

2. Kelasi Besi

Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang di berbagai

sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah komplikasi kelebihan besi

dan menurunkan angka kematian pada pasien thalassemia.6 Terapi kelasi besi

bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu mengikat besi yang tidak terikat

transferin di plasma dan mengeluarkan besi dari tubuh. Kelasi dimulai setelah

timbunan besi dalam tubuh pasien signifikan, yang dapat dinilai dari beberapa

parameter seperti jumlah darah yang telah ditransfusikan, kadar feritin serum, saturasi

transferin, dan kadar besi hati/ liver iron concentration -LIC (biopsi, MRI, atau

feritometer).6

Liver iron concentration (LIC) minimal 3000 ug/g berat kering hati

merupakan batasan untuk memulai kelasi besi namun biopsi adalah tindakan yang

invasif sehingga beberapa parameter lain menjadi pilihan. Pemberian kelasi besi

dimulai bila kadar feritin serum darah sudah mencapai 1000 ng/mL, atau saturasi
7

transferin >70%, atau apabila transfusi sudah diberikan sebanyak 10-20 kali atau

sekitar 3-5 liter.6 Kelasi besi kombinasi diberikan jika kadar feritin serum >2500

ng/mL yang menetap minimal 3 bulan, apabila sudah terjadi kardiomiopati, atau telah

terjadi hemosiderosis jantung pada pemeriksaan MRI T2 (<20 ms).6

3. Nutrisi dan suplementasi

a. Semua pasien thalassemia harus mendapatkan nutrisi adekuat

b. Perlu dilakukan penilaian dan konsultasi gizi berkala sesuai dengan asuhan

nutrisi pediatrik.

c. Vitamin E2x200 IU/haridan Asam folat 2x1 mg/hari diberikan pada semua

pasien thalassemia.

d. Asam folat tidak diberikan pada pasien dengan kadar pretransfusi Hb≥9 g/dL.

e. Vitamin C 2-3 mg/kg/hari diberikan secara bersamaan pada saat pemberian

desferoksamin.

4. Splenektomi

Splenektomi dipertimbangkan pada pasien usia >5 tahun yang setelah

menjalani upaya transfusi yang adekuat, tetap memiliki gejala sebagai berikut :

a. Terjadi peningkatan kebutuhan transfusi PRC: 200-250 mL/kg/tahun.

b. Terdapat tanda hipersplenisme

c. Splenomegali masif.

Imunoprofilaksis dan kemoprofilaksis diberikan untuk mencegah infeksi berat

pasca-splenektomi.Pasienjuga diedukasi mengenai risiko infeksi agar dapat

mengenali gejala danmencari pertolongan medis secara dini. Apabila pembesaran

limpa disebabkan oleh transfusi yang inadekuat, maka perlu dilakukan transfusi yang
8

adekuat terlebih dahulu (Hb pretransfusi 10 g/dL dengan Hb pascatransfusi 13 g/dL)

dan disertai dengan kelasi besi yang adekuat selama 6-12 bulan, kemudian baru

diputuskan apakah akan tetap menjalani splenektomi atau tidak.6

5. Komplikasi

Komplikasi utama dari tranfusi adalah yang berkaitan dengan transmisi bahan

infeksius ataupun terjadinya iron overload. Tranfusi dapat menularkan infeksi (blood

borne infection) termasuk virus hepatitis, Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan

human t-cell leukaemia virus (HTLV). Transmisi virus hepatitis C dilaporkan

meningkat pada anak yang mendapat multitranfusi seperti pada thalassemia.8

2.2 Hepatitis C

2.2.1 Definisi hepatitis C

Hepatitis virus adalah peradangan hati yang disebabkan oleh virus. Dikatakan

akut apabila inflamasi (radang) hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung

selama kurang dari 6 bulan, dan kronis apabila hepatitis yang tetap bertahan selama

lebih dari 6 bulan. Keadaan kronis pada anak-anak lebih sukar dirumuskan karena

perjalanan penyakitnya lebih ringan daripada orang dewasa.11

2.2.2 Epidemiologi hepatitis C

World Health Organization (WHO) melaporkan lebih kurang 170 juta jiwa di

seluruh dunia terinfeksi secara kronik oleh hepatitis C (Virus Hepatitis C = VHC).11

Prevalensi global infeksi VHC adalah 2,9%.11 Menurut data WHO, angka prevalensi

ini amat bervariasi dalam distribusi secara geografi, dengan seroprevalensi terendah

di Eropa sekitar 1% hingga tertinggi 5,3% di Afrika.10 Prevalensi VHC di Indonesia


9

sangat bervariasi, dikarenakan geografis negara Indonesia yang sangat luas.11 Hasil

pemeriksaan pendahulu anti-VHC pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia

menunjukkan bahwa prevalensinya adalah antara 3,1%-4%.11 Dengan bantuan

Namru-2 dimana dimungkinkan untuk pengguna reagen anti-VHC generasi kedua

dan juga bantuan unit PUTD Palang Merah Indonesia, data donor darah di kota-kota

besar menunjukkan prevalensi yang lebih kecil 0,5-3,37% dibandingkan data yang

sebelumnya. 11

2.2.3 Etiologi hepatitis C

Pada umumnya cara penularan VHC adalah parental. Semula penularan VHC

dihubungkan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi

setelah ditemukan bentuk virus dari hepatitis, makin banyak laporan mengenai cara

penularan lainnya, yang umumnya mirip dengan cara penularan HBV(Hepatitis B

virus), yaitu:11,12

1. Penularan horizontal

Penularan VHC terjadi terutama melalui cara parental, yaitu tranfusi darah

atau komponen produk darah, hemodialisa, dan penyuntikan obat secara intravena.

2.Penularan vertikal

Penularan vertikal adalah penularan dari seseorang ibu pengidap atau

penderita Hepatitis C kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau

beberapa saat persalinan.


10

2.2.4 Patofisiologi hepatitis C

Jika masuk ke dalam darah maka VHC akan segera mencari hepatosit (sel

hati) dan kemungkinan sel limfosit B. Hanya dalam sel hati VHC bisa berkembang

biak. Sulitnya membiakkan VHC pada kultur, juga tidak adanya model binatang non-

primata telah memperlambat lajunya riset VHC. Namun daur hidup VHC telah dapat

dikemukakan seperti penjelasan dibawah ini:11

Gambar 2.1 Siklus hidup virus hepatitis C 11

Melalui gambar skematis di atas, proses siklus kehidupan VHC digambarkan

secara alur skematis.


11

1. Hepatitis C virus masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu

reseptor permukaan sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas,

namun protein permukaan CD8 adalah suatu VHC binding protein yang memainkan

peranan dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus yang dikenal sebagai

protein E2 menempel pada reseptor site di bagian luar hepatosit.11

2. Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses

kimiawi dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding

sel akan melingkupi dan menelan virus serta membawanya ke dalam hepatosit. Di

dalam hepatosit, selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah

RNA virus (virus uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari

ribosom hepatosit dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi.11

3. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya

sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih

banyak lagi hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak mekanisme sintesis protein

hepatosit dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan

berkembang biak.11

4. Ribonucleid acid virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk

memproduksi masal poliprotein (proses translasi).11

5. Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada

2 jenis yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai sintesis kopi

virus RNA asli.11

6. Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran

kali) untuk menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah
12

bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif lalu bertindak

sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak

yang merupakan kopi identik materi genetik virus.11

7. Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya

mutasi genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus

hepatitis C. Setiap kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein struktural, yang

kemudian akan membentuk nukleokapsid dan kemudian inti virus baru. Amplop

protein kemudian akan melapisi inti virus baru.11

8. Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke

pembuluh darah menembus membran sel.11

Keluaran dan derajat keparahan dari infeksi virus hepatitis bergantung pada

jenis virus, jumlah virus dan faktor dari host. 12

2.2.5 Manifestasi klinis dan diagnosis hepatitis c

Manifestasi klinis hepatitis virus C dikenal mulai dari hepatitis akut, fulminan,

kronis, yang dapat berkembang menjadi sirosis atau kanker hati.11,12,13,14

Infeksi Akut

Umumnya infeksi akut VHC tidak memberi gejala atau hanya bergejala

minimal. Hanya 20-30% kasus yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7 – 8

minggu (berkisar 2 – 26 minggu) setelah terjadinya paparan.10,12

Infeksi virus hepatitis terbagi 3 fase, yaitu fase prodormal, fase ikterik, dan

fase convalescent. 4 Pada fase prodormal, onset terjadi pada hari 1-14, namun rata-

rata timbul pada hari 5-7 setelah paparan.12 Keluhan yang sering yaitu malaise,
13

fatique, mual dan muntah, kehilangan selera makan, low grade fever, flu like

symptoms, dan kebanyakan pasien mengeluh adanya nyeri pada perut kanan atas.12

Pada fase ikterik, gejala yang sering ditimbulkan yaitu warna kuning pada

mukosa sklera pada awalnya dan berlanjut pada perubahan warna pada kulit.12 Durasi

ikterik bervariasi, biasanya antara 4 hari sampai beberapa bulan, namun rata-rata 2-3

minggu.12 Urin menjadi pekat seperti warna teh, feses berwarna seperti dempul

(pucat). Selama fase ini, setengah penderita menunjukkan gejala gatal-gatal.12

Pada fase convalescent, kebanyakan gejala di atas menghilang (resolve).

Ikterik tidak ditemukan, warna pada kulit, urin dan feses kembali ke warna yang

semula. Kembalinya nafsu makan dan adanya peningkatan berat badan menunjukkan

sudah adanya tahap penyembuhan. 12

Ribonucleocid acid virus hepatitis C dapat terdeteksi sebelum gejala muncul,

namun level dari viremia pada 6 bulan pertama dapat dorman dan tidak terdeksi

walaupun orang tersebut sedang dalam infeksi yang persisten. Gejala awal yang

ditunjukkan tergantung dari usia saat terjadinya paparan, sistem imun penderita,

adanya penyakit hati sebelumnya dan tingkat inokulasi virus.12

Infeksi kronis

Infeksi akan menjadi kronik pada 70 – 90% kasus dan sering kali tidak

menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Adapun

kriteria dari hepatitis kronis adalah naiknya kadar transaminase serum lebih dari 2

kali nilai normal, yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hilangnya VHC setelah

terjadinya hepatitis kronis sangat jarang terjadi. 12 Jangka waktu dimana berbagai

tahap penyakit hati berkembang sangat bervariasi. Diperlukan waktu 20 – 30 tahun


14

untuk terjadinya sirosis hati yang sering tejadi pada 15 – 20% pasien hepatitis C

kronis.11 Progresivitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor

risiko yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B atau Human

Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki-laki, usia tua saat terjadinya

infeksi dan kadar CD4 yang sangat rendah.10 Bila telah terjadinya sirosis, maka risiko

terjadinya karsinoma hepatoselular adalah sekitar 1-4% pertahun.10 Karsinoma

hepatoseluler dapat terjadi tanpa diawali dengan sirosis, namun hal ini jarang

terjadi.10

Hepatitis C Fulminan

Hepatitis fulminan jarang terjadi pada hepatitis C. ALT (alanine amino-

transferase) meninggi sampai beberapa kali diatas batas atas normal tetapi umumnya

tidak sampai lebih dari 1000 U/L.12

Penegakan diagnosis pada hepatitis virus C berdasarkan uji serologi untuk

memeriksa antibodi dan Uji VHC RNA.10-13

1. Uji serologi

Uji serologi yang berdasarkan pada deteksi antibodi telah membantu

mengurangi risiko infeksi terkait transfusi. Sekali pasien pernah mengalami

serokonversi, biasanya hasil pemeriksaan serologi akan tetap positif, namun kadar

antibodi anti-VHC akan menurun secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian

pasien yang infeksinya mengalami reaksi spontan.10-13

Antibodi terhadap VHC biasanya dideteksi dengan metode enzyme

immunoassay yang sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi k-3
15

yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein struktural-

struktural yang dapat mendeteksi keberadaan antibodi dalam waktu 4-10 minggu

infeksi. Antibodi anti-VHC masih tetap dapat terdeteksi selama terapi maupun

setelahnya tanpa memandang respon terapi yang telah dialami, sehingga pemeriksaan

anti-VHC tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah pernah dilakukan

sebelumnya.10 Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblot assay, RIBA)

dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang positif.1

Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk

setting populasi low-risk seperti pada bank darah.10 Namun dengan tersedianya

metode enzim immunoassai yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih

baik saat ini, maka konfirmasi denga RIBA telah menjadi kurang diperlukan. 10-13

2. Uji VHC RNA

VHC RNA dapat terdeteksi dan diukur dengan teknik amplifikasi termasuk

reverse transcription polymerase chain reation (RT-PCR). Genotip VHC dapat dinilai

dengan analisis phylogenetic dari rantai nukleotida atau deteksi mutasi point spesifik

subtipe pada RT-PCR amplifikasi RNA. VHC RNA dideteksi dalam waktu 2 minggu

infeksi dan juga digunakan untuk konfirmasi terjadinya infeksi akut. Bagaimanapun

uji VHC RNA yang rutin tidak dianjurkan secara langsung karena standarisasi uji

tersebut yang masih rendah. 10-13

3.Biopsi Hati

Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal seorang

pasien dengan infeksi VHC kronis.10 Biopsi berguna untuk menentukan derajat
16

beratnya penyakit (tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi.9

Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan adanya

penyebab hati yang lain, seperti fitur alkoholik, non-alcoholic steatohepatits (NASH),

hepatitis autoimun, penyakit hati drug-induced atau overload besi. 10-13

2.2.6 Tatalaksana hepatitis C

Pengobatan VHC akut adalah suportif dan simtomatik. Pengobatan VHC akut

bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan hati yang lebih parah. Pada

manifestasi kolestasis yang lebih parah, tambahan pemberian hepatoprotektor seperti

ursodeoxycholid acid dapat mencegah terjadinya akumulasi chenodeoxyholic acid

dan deoxycholid acid yang menyebabkan kerusakan sel hati.

Pengobatan VHC kronik adalah dengan menggunakan infterferon alfa dan

ribavirin.9-12 Umumnya disepakati bila genotipe VHC adalah genotipe 1 dan 4, maka

terapi perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi cukup

diberikan selama 24 minggu.10,13

1. Interferon alfa

Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk

meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya.14

2. Pegylated interferon alfa

Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut

"polyethylene glycol (PEG)" dengan molekul interferon alfa.2 Modifikasi interferon

alfa ini lebih lama ada dalam tubuh, dan beberapa penelitian menunjukkan lebih
17

efektif dalam membuat respon bertahan terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis

dibandingkan interferon alfa biasa.14

3. Ribavirin.

Obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan

Hepatitis C kronis.11 Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus

Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon

alfa sendiri. Untuk Interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3

kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon

yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-

Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ag/kgBB/kali (untuk Peg-

Interferon 12 KD) atau 180 ug (untuk PegInterveron 40 KD). Pemberian Interferon

diikuti dengan pemberian Ribavirin dengan dosis pada pasien berat badan < 50 kg

sebesar 800 mg setiap hari, 50 – 70 kg sebesar 1000 mg setiap hari, dan > 70 kg

sebesar 1200 setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.14,15

Hati-hati pemberian IFN pada hal-hal di bawah ini: 10

· Neutropenia (jumlah netrofil < 1500 sel/uL)

· Trombositopenia (jumlah trobosit < 85.000 sel/uL)

· Transplantasi organ

· Penyakit autoimun

· Ditemukannya autoantibodi tyroid


18

2.3 Status Epileptikus

2.3.1 Definisi status epileptikus

Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau

lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau

aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. 16,17

2.3.2 Epidemiologi status epileptikus

Prevalensi epilepsi dari berbagai penelitian berkisar 1,5–31/1000 penduduk.

Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data

hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain

dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar

0,7-1,0%, yang berarti berjumlah 1,5-2 juta orang.17

2.3.3 Etiologi dan patofisiologi status epileptikus

Etiologi Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi: 16,18

1. Simtomatis: penyebab diketahui

a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma

kepala, perdarahan, atau stroke.

b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik

, trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital

C. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun

(contohnya vaskulitis)

d. Epilepsi

2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui), trauma kepala, infeksi, atau

kelainan otak kongenital.16,17,18


19

2.3.4 Manifestasi Klinis

 Diskripsi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama, frekuensi, kesadaran saat

kejang, dengan/tanpa demam, interval, kesadaran pasca kejang, dan

kelumpuhan pasca kejang)

 Anamnesis untuk mencari etiologi kejang: demam, trauma kepala, sesak

napas, diare, muntah, riwayat ada tidaknya kejang/epilepsi. Jika ada epilepsi,

apakah minum obat secara teratur.

 Riwayat kejang/epilepsi dalam keluarga.16,18

Pemeriksaan fisis

 Penilaian kesadaran, pemeriksaan fisik umum yang menunjang ke arah

etiologi kejang seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-tanda

dehidrasi maupun tanda-tanda hipoksia.

 Pemeriksaan neurologi meliputi ada tidaknya kelainan bentuk kepala, ubun-

ubun besar, tanda rangsang meningeal, nervus kranial, motorik, refleks

fisiologis dan patologis.16,17

Pemeriksaanpenunjang

Sesuai indikasi untuk mencari etiologi dan komplikasi status epileptikus:

 Darah perifer lengkap, cairan serebrospinal, gula darah, elektrolit darah, dan

analisis gas darah.

 Elektroensefalografi (EEG).

 Computed tomography (CT-Scan)/ magnetic resonance imaging (MRI)

kepala.16-18
20

Tatalaksana

Tujuan utama pengobatan status epileptikus:

 Mempertahankan fungsi vital (A,B,C)

 Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor presipitasi

 Menghentikan aktivitas kejang.16-18

Penanganan penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai berikut:

Penanganan Kejang Di rumah

 Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan

pemberian diazepam per rektal dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg atau secara

sederhana bila berat badan 10 kg: 10 mg.

 Pemberian di rumah maksimum 2 kali dengan interval 5 menit. Bila kejang

masih berlangsung bawalah pasien ke klinik/rumah sakit terdekat.

Di rumah sakit Saat tiba di klinik/rumah sakit

 Bila belum terpasang cairan intravena, dapat diberikan diazepam per rektal

ulangan 1 kali sambil mencari akses vena. Sebelum dipasang cairan intravena,

sebaiknya dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi,

elektrolit, dan gula darah sesuai indikasi.16-18

 Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin IV dengan dosis 20 mg/kg

dilarutkan dalam NaCl 0,9% diberikan perlahan lahan dengan kecepatan

pemberian 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat diberikan tambahan

fenitoin IV 10 mgkg.16-18

 Bila kejang teratasi, lanjutkan pemberian fenitoin IV setelah 12 jam kemudian

dengan rumatan 5–7 mg/kg.16-18


21

 Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital IV dengan dosis maksimum

15 – 20 mg/kg dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit. Awasi dan atasi

kelainan metabolik yang ada. 16-18

Bila kejang berhenti lanjutkan dengan pemberian fenobarbital IV rumatan 4–5

mg/kg setelah 12 jam kemudian.

 Perawatan Intensif – rumah sakit

Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang intensif.

Akut dan Status Epileptikus

 Midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti infus

midazolam 0,01 – 0,02 mg/kg/menit selama 12–24 jam.

 Propofol 1 mg/kg selama 5 menit, dilanjutkan dengan 1–5 mg/kg/jam dan

diturunkan setelah 12–24 jam

 Pentobarbital 5–15 mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan 0,5–5

mg/kg/jam16

Terapi rumatan

 Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan diazepam,

tergantung dari etiologi. Jika penyebab kejang suatu hal yang dapat dikoreksi

secara cepat (hipoglikemia, kelainan elektrolit, hipoksia) mungkin tidak

diperlukan terapi rumatan selama pasien dirawat.16,18

 Jika penyebab infeksi SSP (ensefalitis, meningitis), perdarahan intrakranial,

mungkin diperlukan terapi rumat selama perawatan. Dapat diberikan

fenobarbital dengan dosis awal 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis

selama 2 hari, dilanjutkan dengan


22

dosis 4-5 mg/kgBB/hari sampai risiko untuk berulangnya kejang tidak

ada.16,18

 Jika etiologi adalah epilepsi, lanjutkan obat antiepilepsi dengan menaikkan

dosis.16,18

 Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan

rumatan dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.16,18

 Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan fenobarbital,

lanjutkan rumatan dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.

Cara pemberian obat antikonvulsan pada tata laksana kejang akut. 16, 18

Diazepam16,18

 Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10 mg, dapat diberikan 2 kali

dengan interval 5-10 menit.

 Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali pemberian 10 mg

dengan kecepatan maksimum 2 mg/menit, dapat diberikan 2-3 kali dengan

interval 5

Fenitoin16,18

 Dosis inisial maksimum adalah 1000 mg (30 mg/kgBB).

 Sediaan IV diencerkan dengan NaCl 0,9%, 10 mg/1 cc NaCL 0,9%.

 Kecepatan pemberian IV: 1mg/kg/menit, maksimum 50 mg/menit.

 Jangan diencerkan dengan cairan yang mengandung dextrose, karena akan

menggumpal.

 Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah pemberian.

 Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.


23

 Efek samping: aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada pemberian IV

yang terlalu cepat.

Fenobarbital16,18

 Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan IV.

 Dosis inisial maksimum 600 mg (20 mg/kgBB).

 Kecepatan pemberian 1 mg/kg/menit, maksimum 100 mg/menit.

 Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.

 Efek samping: hipotensi dan depresi napas, terutama jika diberikan setelah

obat golongan benzodiazepin.

Protokol penggunaan midazolam pada kejang refrakter16,18

 Rawat di ICU, intubasi, dan berikan ventilasi. Midazolam bolus 0,2 mg/kg

(perlahan), kemudian drip 0,02-0,4 mg/kg/jam.


Rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan. Dosis midazolam

diturunkan jika terdapat gangguan kardiovaskuler. Infus midazolam

diturunkan secara bertahap jika dalam 12 jam tidak tedapat kejang. 15,17
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama / No. MR : An. N / 899028

Umur : 17 tahun 8bulan

Ayah / Ibu : Tn. Sutrisno / Ny. Marsiyah

Suku : Minang

Alamat : Dusun IV Karyatani Desa Pondok Kresek

Tanggal masuk : 24 Agustus 2018

Tanggal periksa : 28 Agustus 2018

Tanggal Pulang : 21 September 2018

ANAMNESIS (Auto dan Alloanamnesis)

Diberikan oleh : Ibu pasien

Keluhan utama : Kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit sekarang :

- Pasien mengalami kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit, kejang diawali

dengan kaku pada tangan kelonjotan seluruh tubuh, lalu mata berputar keatas,

kejang sebanyak 1 kali, lama kejang lebih dari 60 menit, setelah kejang pasien

tidak sadar. Keluhan tidak disertai dengan demam. Pasien dibawa berobat ke

RSUD Indah bagan batu, setelah pasien stabil pasien dirujuk ke RSUD Arifin

Achmad. Di RSUD Arifin Achmad pasien kembali mengalami kejang dengan

24
25

tipe yang sama, lama kejang 5 menit, Setelah kejang pasien tidak sadar.

Pasien di rawat di ruang HCU.

- Pasien juga mengeluhkan pucat, pucat dirasakan sejak 2 minggu sebelum

masuk rumah sakit. Pucat semakin lama semakin bertambah, pucat muncul

perlahan. Nafsu makan pasien berkurang,

Riwayat penyakit dahulu :

 Riwayat kejang saat bayi (-)

 Riwayat Hepatitis A, Hepatitis B, Hepatitis C (-)

 Pasien memiliki riwayat thalasemia tahun 2015 dan rutin mendapatkan

tranfusi darah rerata setiap ±20 hari.

 Pasien memiliki riwayat defisiensi G6PD sejak tahun 2014

 Riwayat epilepsi dengan rutin makan obat dan dikatakan remisi pada tahun

2016, namun tidak pernah kontrol setelah remisi.

Riwayat penyakit keluarga :

 Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama

Riwayat orang tua:

 Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama

Riwayat kehamilan dan persalinan :

 Orang tua pasien rutin kontrol kehamilan ke bidan

 Orang tua pasien tidak memiliki riwayat sakit yang berulang selama

kehamilan

 Persalinan normal.
26

Riwayat makan dan minum:

0-6 bulan : ASI

7-12 bulan : ASI+MPASI

12 bulan - sekarang : Makan Biasa (Nasi)

Riwayat imunisasi :

 Hepatitis B : 4 kali

 BCG : 1 kali

 DPT : 3 kali

 Polio : 3 kali

 Hib : 3 kali

 Campak : 1 kali

Riwayat Pertumbuhan Fisik:

 BBL : 3500 gram

 BB sekarang : 45 kg

 TB sekarang : 137 cm

Riwayat Perkembangan :

 Pasien bisa merangkak usia 9 bulan

 Pasien sudah bisa berdiri tanpa dibantu usia 12 bulan

 Pasien bisa berbicara usia 3 tahun.

Riwayat perumahan dan tempat tinggal :

Pasien tinggal di rumah permanen. Pencahayaan cukup. Sumber air minum

dari air galon dan MCK beli dari sumur bor.


27

PEMERIKSAAN FISIK (28/8/2018)

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis

Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah : 100/85 mmHg

Suhu : 37,1 oC

Nadi : 94x/menit

Nafas : 20 x/menit

Gizi

TB : 137 cm

BB : 45 kg

LILA : 28 cm

Kepala : normocephal

Rambut : hitam, tidak mudah rontok/dicabut

Mata

Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-)

Sklera : Ikterik (-/-)

Pupil : isokor ( 2 mm/ 2 mm)

Reflek cahaya : direk (+/+), indirek (+/+)

Telinga : Dalam batas normal

Hidung : Dalam batas normal


28

Mulut

Bibir : mencong kekanan, bibir asianosis, tidak kering

Selaput lendir : ikterik (-)

Palatum : utuh

Lidah : tidak kotor, tepi hiperemis (-), tremor,

Gigi : Karies (-), gigi berlubang (-)

KGB : tidak ada pembesaran

Kaku kuduk : tidak ada kaku kuduk

Dada :

- Inspeksi : Pergerakkan dinding dada simetris kiri dan kanan,

retraksi tidak ada,iktus kordis tidak terlihat.

- Palpasi : vocal fremitus Ictus cordis teraba di Spatium Inter

Kosta (SIK) V linea midclavicularis.

- Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru. Batas kanan

jantung di linea parasternalis dextra, batas jantung

kiri di linea midclavicularis sinistra.

- Auskultasi : Suara nafas vesikuler kiri kanan normal, suara

tambahan: Ronkhi (-/-) Wheezing (-/-), Bunyi

jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen :

- Inspeksi : Tampak datar, scar (-).


29

- Palpasi : Teraba supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba

limpa SVI-VII, Murphy sign (-).

- Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen.

- Auskultasi : BU (+) 8 kali/menit.

Alat Kelamin

Dalam batas normal

Ekstremitas

Motorik

555 333

555 333

Inspeksi

eutrofi eutrofi

eutrofi eutrofi

Palpasi

Normotonus Hipotonus

Normotonus Hipotonus

Akral hangat, crt < 2 detik.


30

Status Neurologis :

Refleks Fisiologis

KANAN KIRI
BICEPS + ++
TRICEPS + ++
KPR + ++
APR + ++

Refleks Patologis

KANAN KIRI
BABINSKI - -
OPPENHEIM - -
GORDON - -
CHADDOCK - -
HOFFMAN - -
Sensorik

KANAN KIRI
EKSREMITAS ATAS
Raba + +
Nyeri + +
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
EKSREMITAS BAWAH
Raba + +
Nyeri + +
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
31

Otonom

 Miksi : Normal

 Defekasi : Normal

 Sekresi Keringat : Normal

Fungsi Luhur

MMSE

Orientasi : 6

Registrasi : 3

Atensi dan kalkulasi : 0

Bahasa : 12

Recall : 2

Skor total : 23

Interpretasi : Gangguan Kognitif

Pemeriksaan Saraf Kranial

N. I : Pasien masih bisa membedakan aroma

N. II : Visus sulit dinilai, Funduskopi sulit dinilai

N. III, IV, IV : Pergerakkan bola mata normal

N. VII : senyum asimetris, kerutkan dahi (+) menutup kedua mata (+)

N. VIII : Pasien masih bisa mendengar dengan baik. Keseimbangan : sulit di

nilai

N. IX : Tidak adanya deviasi uvula.

N.X : Afonia (-), Disfonia (-)


32

N XI : Pasien bisa mengangkat kedua bahu

N. XII : Kekuatan lidah kiri dan kanan kuat.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

DARAH

1. Laboratorium lengkap

Pemeriksaan tanggal (24/08/2018)

Hb : 9,9 g/dl

Hematokrit : 30,5 % MCV : 83,6 fL

Leukosit : 3500 /ul MCH : 27,1 pg

Trombosit : 106.000 /ul MCHC : 32,5 g/dL

Na+ : 141 mmol/L

K+ : 4,3 mmol/L

Cl : 110 mmol/L
33

RADIOLOGI

CT-Scan kepala tanpa kontras (24-08-2018) :

Gambar 3.1 CT-Scan kepala tanpa kontras

Tampak lesi hipodens batas tak tegas di lobus parietalis dextra

Sulci dan gyrl di hemisfere cerebri dextra relatif prominent

Batas white matter dan grey matter tegas

Sisterna ventrikel dan cysterna tak tampak menyempit maupun melebar

Tidak tampak deviasi struktur garis tengah

Cerebellum dan batang otak normal


34

Tidak tampak gambaran SOL

Sinus paranasal dan air cellulea mastaoidea yang tervisualisasi normodens

Kesan : Sugestif kortikal infark di lobus parietalis dextra curiga disertai dengan

hemitropy dextra.

HAL HAL PENTING DARI ANAMNESIS

 Kejang lebih dari 60 menit

 Kejang umum tonik-klonik

 Tidak sadar setelah kejang

 Pasien memiliki riwayat epilepsi sejak tahun 2015

 Pasien telah di diagnosis thalasemia pada tahun 2013

HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN FISIK

 Hepatosplenomegali

 Hemiparese sinistra

 Gangguan Kognitif

HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

Pansitopenia

HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN PENUNJANG

Infark cerebri lobus parietal dextra


35

DIAGNOSA KERJA :Hipersplenisme + Defisiensi G6PD + Hemipharesis

sinistra ec Infark cerebri ec Status Epileptikus +

Susp Thalassemia α

DIAGNOSA GIZI : LILAs/LILA X 100 = 280/264 X100 =106 % =

Overweight

TERAPI

Medikamentosa :

 Ivfd D5 ¼ NS 20 tpm

 Inj Fenobarbital 50 mg/ 12 jam

 Inj Piracetam 500 mg/ 12 jam

 Topiramate tab 3x 12,5 mg

 Deferiprone tab 3 x 500 mg

 Asam Folat 2 x 1 mg

 Paracetamol tab 3x 500 mg (kp)

Gizi : BBI X RDA

28 X 40

1520 KKal

PROGNOSIS:

Quo ad vitam : Dubia

Quo ad fungsionam : Dubia


36

Hari/Tanggal Subjektif Objektif Assesment Terapi


Selasa Pasien baru T:36,5ºC Hipersplenisme+ Ivfd D5 ¼ NS 20
28 -8-2018 keluar dari HCU RR: 21x/i + Defisiensi tpm
Kejang (-) HR:106x/I G6PD+ Inj Fenobarbital
Mual dan muntah Hemiparese 50 mg/ 12 jam
(+) Mata : KA -/-, sinistra ec infark Inj Piracetam 500
Lemah anggota sklera ikterik cerebri ec status mg/ 12 jam
gerak kiri :+/+ epileptikus + Topiramate tab
Demam (-) susp. 3x 12,5 mg
Kejang (-) leher : Thalassemia alfa Deferiprone tab 3
pembesaran KGB x 500 mg
(-) Asam Folat 2 x 1
Abdomen: mg
bising usus (+) Paracetamol tab
7x /menit. bising 3x 500 mg (kp)
usus (+) Hepar
tidak teraba ,
Spleen SVI-VII
Eks: Akral
hangat, CRT <2”,

Darah rutin :
28/8/2018

HB : 9,0 g/dl
Leu : 1,47 103/ul
Ht : 26,8%
Trom :80 103/ul

Mcv: 85,9 [fl]


Mch : 28,8[pg]
MCHC : 33,6
[g/dl]

Ureum : 21 mg/dl
Kreatinin : 0,6
mg/dl
AST : 63 U/L
ALT : 36 U/L
Albumin : 3,6
g/dl
37

Hari/Tanggal Subjektif Objektif Assesment Terapi


senin Keluhan badan T:36,3ºC Hipersplenisme+ Ivfd D5 ¼ NS 20
3-9-2018 kuning dirasakan RR: 24x/i Defisiensi tpm
Kejang (-) HR:104x/I G6PD+ Inj Piracetam 500
Lemah anggota Hemiparese mg/ 12 jam
Mata : KA -/-,
gerak kiri sklera ikterik :+/+
sinistra ec infark Topiramate tab
Mual dan muntah Kulit: Jaundice cerebri ec status 3x 12,5 mg
(+) leher : pembesaran epileptikus + Deferiprone tab 3
Demam (-) KGB (-) susp. x 500 mg
BAB Pucat Abdomen: bising Thalassemia alfa Asam Folat tab 2
BAK pekat usus (+) Hepar 5 x 1 mg
Gatal-Gatal cm BAX, 4 cm Paracetamol tab
Seluruh tubuh BAC, Spleen SVI-VII 3x 500 mg (kp)
Eks: Akral hangat,
CRT <2”,

Darah rutin :
3/9/2018
HB : 12,0g/dl
Leu : 3.41 103/ul
Ht : 36,1 %
Trom : 116 103/ul

Mcv: 83,7 [fl]


Mch : 27,9[pg]
MCHC : 33,3 [g/dl]

selasa Kejang (-) T:37,0ºC Hipersplenisme+ Ivfd D5 ¼ NS 20


4-9-2018 Lemah anggota RR: 24x/i Hepatitis C + tpm
gerak kiri HR:88x/I Defisiensi Inj Piracetam 500
Mual dan muntah G6PD+ mg/ 12 jam
Mata : KA -/-,
(+) sklera ikterik :+/+
Hemiparese Topiramate tab
Demam (-) Kulit: Jaundice sinistra ec infark 3x 12,5 mg
BAB Pucat leher : pembesaran cerebri ec status Deferiprone tab 3
BAK pekat KGB (-) epileptikus + x 500 mg
Gatal-Gatal Abdomen: bising susp. Asam Folat tab 2
Seluruh tubuh usus (+) bising Thalassemia alfa x 1 mg
usus (+) Hepar 5 Paracetamol tab
cm BAX, 4 cm 3x 500 mg (kp)
BAC, Spleen SVI-VII Asam
Eks: Akral hangat,
CRT <2”,
ursodeoksikolat
tab 3 x 250 mg
Imunoserologi : Hepa Balance 3 x
4/9/2018 1 tab
Anti VHC : reaktif Asam Valproat 1
x 2 cth
Bil D : 17, 47
mg/dl
Ind-Bil : 5,08
mg/dl
Bil total ; 22,55
mg/dl
38

Hari/Tanggal Subjektif Objektif Assesment Terapi


Rabu Kejang (-) T:36,6ºC Hipersplenisme+ Ivfd D5 ¼ NS 20
5-9-2018 Lemah anggota RR: 21x/i Hepatitis C + tpm
gerak kiri HR:106x/I Inj Piracetam 500
Defisiensi
Mual dan muntah mg/ 12 jam
(+) Mata : KA -/-, G6PD+ Topiramate tab
Demam (-) sklera ikterik 3x 12,5 mg
Hemiparese
BAB Pucat :+/+ Deferiprone tab 3
BAK pekat sinistra ec infark x 500 mg
Gatal-Gatal leher : Asam Folat tab 2
cerebri ec status
pembesaran KGB x 1 mg
Seluruh tubuh
(-) epileptikus + Paracetamol tab
Abdomen: 3x 500 mg (kp)
susp.
bising usus Asam
(+)bising usus (+) Thalassemia alfa ursodeoksikolat
Hepar 5 cm BAX, tab 3 x 250 mg
4 cm BAC, Spleen Hepa Balance 3 x
SVI-VII 1 tab
Eks: Akral Asam Valproat 1
hangat, CRT <2”, x 2 cth
Darah rutin :
5/9/2018
HB : 12,5 g/dl
Leu : 2.18 103/ul
Ht : 37,5 %
Trom : 123
103/ul

Mcv: 83,7 [fl]


Mch : 27,9[pg]
MCHC : 33,3
[g/dl]
39

Subjektif Objektif Assesment Terapi


jumat Keluhan badan T:36,4ºC Hipersplenisme+ Ivfd D5 ¼ NS 20
7-9-2018 kuning sudah RR: 20x/i Hepatitis C + tpm
berkurang HR:106x/I Defisiensi Topiramate tab
Kejang (-) G6PD+ 3x 12,5 mg
Lemah anggota Mata : KA -/-, Hemiparese Deferiprone tab 3
gerak kiri sklera ikterik sinistra ec infark x 500 mg
Mual dan muntah :+/+ cerebri ec status Asam Folat tab 2
(-) epileptikus + x 1 mg
Demam (-) leher : susp. Paracetamol tab
BAB Pucat (-) pembesaran KGB Thalassemia alfa 3x 500 mg (kp)
BAK pekat (-) (-) Asam
Gatal-Gatal(-) Abdomen: ursodeoksikolat
bising usus tab 3 x 250 mg
(+)bising usus (+) Hepa Balance 3 x
Hepar 5 cm BAX, 1 tab
4 cm BAC, Spleen Asam Valproat 1
SVI-VII x 2 cth
Eks: Akral
hangat, CRT <2”,
sabtu Kejang (-) T:36,6ºC Hipersplenisme+ Topiramate tab
8-09-2018 Lemah anggota RR: 21x/i Hepatitis C + 3x 12,5 mg
gerak kiri HR:92x/I Defisiensi Deferiprone tab 3
Mual dan muntah G6PD+ x 500 mg
(-) Mata : KA -/-, Hemiparese Asam Folat tab 2
Demam (-) sklera ikterik : sinistra ec infark x 1 mg
BAB Pucat (-) / cerebri ec status Paracetamol tab
BAK pekat (-) epileptikus + 3x 500 mg (kp)
Gatal-Gatal(-) leher : susp. Asam
pembesaran KGB Thalassemia alfa ursodeoksikolat
(-) tab 3 x 250 mg
Abdomen: Hepa Balance 3 x
bising usus 1 tab
(+)bising usus (+) Asam Valproat 1
Hepar 5 cm BAX, x 2 cth
4 cm BAC, Spleen
SVI-VII

Eks: Akral
hangat, CRT <2”,
40

Hari/Tanggal Subjektif Objektif Assesment Terapi


selasa Keluhan badan T:36,8ºC Hipersplenisme+ Topiramate tab
11-09-2018 kuning sudah RR: 22x/i Hepatitis C + 3x 12,5 mg
hilang HR:102x/I Defisiensi Deferiprone tab 3
Mual dan muntah G6PD+ x 500 mg
Mata : KA -/-,
(-) sklera ikterik : /
Hemiparese Asam Folat tab 2
Demam (-) sinistra ec infark x 1 mg
Kejang (-) leher : pembesaran cerebri ec status Paracetamol tab
KGB (-) epileptikus + 3x 500 mg (kp)
Abdomen: bising susp. Asam
usus (+) , bising Thalassemia alfa ursodeoksikolat
usus (+) Hepar 5 tab 3 x 250 mg
cm BAX, 4 cm Hepa Balance 3 x
BAC, Spleen SVI-VII 1 tab
Eks: Akral hangat,
Asam Valproat 1
CRT <2”, x 2 cth

jumat Pasien merasa T:36,7ºC Hipersplenisme+ Transfusi PRC


14-09-2018 pucat RR: 20x/i Hepatitis C + 250 cc
Mual dan HR:90x/I Topiramate tab 3x
Defisiensi
muntah (-) 12,5 mg
Kejang (-) Mata : KA +/+, G6PD+ Deferiprone tab 3
sklera ikterik : / x 500 mg
Hemiparese
Asam Folat tab 2
leher : pembesaran sinistra ec infark x 1 mg
KGB (-) Paracetamol tab
cerebri ec status
Abdomen: bising 3x 500 mg (kp)
usus (+) 8x /menit, epileptikus + Asam
bising usus (+) ursodeoksikolat
Hepar 5 cm BAX, 4 susp.
tab 3 x 250 mg
cm BAC, Spleen Thalassemia alfa Hepa Balance 3 x
SVI-VII 1 tab
Asam Valproat 1
Eks: Akral hangat, x 2 cth
CRT <2”,

Darah rutin :
14/09/2018
Leu : 1,35 103/uL
Hb: 7.5 g/dl
Trombosit:
82x103/uL
HT: 23%
Mcv:86,5 fL
McH:28,2 PG
Mchc :32,6 g/dl
41

Hari/Tanggal Subjektif Objektif Assesment Terapi


Senin Mual dan T:36,6ºC Hipersplenisme+ Topiramate tab
17-09-2018 muntah (-) RR: 20x/i Hepatitis C + 3x 12,5 mg
Demam (-) HR:78x/I Defisiensi Deferiprone tab 3
Kejang (-) G6PD+ x 500 mg
Mata : KA -/-, Hemiparese Asam Folat tab 2
sklera ikterik : -/- sinistra ec infark x 1 mg
cerebri ec status Paracetamol tab
leher : pembesaran epileptikus + 3x 500 mg (kp)
KGB (-) susp. Asam
Abdomen: bising Thalassemia alfa ursodeoksikolat
usus (+)bising usus tab 3 x 250 mg
(+) Hepar 5 cm Hepa Balance 3 x
BAX, 4 cm BAC, 1 tab
Spleen SVI-VII Asam Valproat 1
x 2 cth
Eks: Akral hangat,
CRT <2”,

Darah rutin :
17/09/2018
Leu : 1,95 103/uL
Hb: 10,1 g/dl
Trombosit:
62x103/uL
HT: 31%
Mcv:88,6 fL
McH:28,8 PG
Mchc :32,5 g/dl
42

Hari/Tanggal Subjektif Objektif Assesment Terapi


Sabtu Mual dan muntah T:36,6ºC Hipersplenisme+ Topiramate tab
21-09-2018 (-) RR: 20x/i Hepatitis C + 3x 12,5 mg
Demam (-) HR:98x/I Defisiensi Deferiprone tab 3
Kejang (-) G6PD+ x 500 mg
Mata : KA -/-, Hemiparese Asam Folat tab 2
sklera ikterik : - sinistra ec infark x 1 mg
/- cerebri ec status Paracetamol tab
epileptikus + 3x 500 mg (kp)
leher : susp. Asam
pembesaran KGB Thalassemia alfa ursodeoksikolat
(-) tab 3 x 250 mg
Abdomen: Hepa Balance 3 x
bising usus (+) 1 tab
bising usus (+) Asam Valproat 1
Hepar 5 cm BAX, x 2 cth
4 cm BAC, Spleen Pasien Boleh
SVI-VII
Eks: Akral pulang
hangat, CRT <2”,
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien ini rutin mendapatkan transfusi sel darah merah rerata setiap ±20 hari

dan sebanyak ±13.500 cc/tahun sejak bulan Agustus 2015 di RSUD Arifin Achmad.

Tujuan terapi sel darah merah terutama untuk memperbaiki oksigenasi jaringan. Jenis

transfusi terapi sel darah merah adalah packed red cell (PRC), leucodepleted-packed

red cell (LD-PRC), irradiated-packed red cell (I-PRC) dan washed erythrosytes

(WE).19 Packed red cell memiliki indikasi untuk mengatasi keadaan anemia karena

keganasan, anemia aplastik, thalassemia, anemia hemolitik, anemia defisiensi berat

dengan ancaman gagal jantung atau menderita infeksi berat dan perdarahan akut.19

Leucodepleted-packed red cell (LD-PRC) adalah sebagai komponen darah PRC yang

memiliki jumlah leukosit 106 per unit kantong darah.20 Indikasi penggunaan transfusi

LD-PRC pada pasien neonatus transfusi rutin, seperti pada thalassemia mayor dan

anemia aplastik, dan pre-/ pasca-transplantasi organ.20 Transfusi LD-PRC dapat

menurunkan risiko penularan infeksi cytomegalovirus (CMV) dan mencegah febrile

non-hemolytic transfusion reactions (FNHTR) pada pasien yang sebelumnya pernah

mengalami reaksi berupa demam setelah transfusi dua kali atau lebih sebelumnya.

Pemberian transfusi LD-PRC sama dengan dosis transfusi PRC secara umum.

Penggunaan I-PRC secara umum ditujukan untuk mencegah transfusion-associated

graft-versus-host disease (TAGvHD), yaitu sel limfosit dari darah donor yang masuk

ke dalam sistem sirkulasi resipien menimbulkan tanda dan gejala berupa demam,

ruam kulit, diare, dan pansitopenia.20 Indikasi dan rekomendasi pemberian transfusi

43
44

WE serupa dengan PRC. Transfusi WE dapat diberikan pada pasien dengan riwayat

reaksi alergi atau demam pada episode transfusi sebelumnya, hiperkalemi, defisiensi

IgA, atau memiliki alergi terhadap protein plasma.20

Penelitian yang dilakukan di RS Dr Soetomo Surabaya pada tahun 2009,

prevalensi kasus hepatitis C pada pasien anak dibagian hematoonkologi yang rutin

mendapatkan transfusi darah sebesar 7.8%.6 Pemeriksaan antibodi tidak dapat

mengidentifikasi subjek saat fase awal terinfeksi, yang disebut dengan window

period, selama antibodi spesifik belum terbentuk, tetapi virus tersebut ada didalam

plasma terkadang terdapat dalam jumlah yang besar. Subjek immunokompoten

terjadinya serokonversi antibodi yang dapat berlangsung hingga 2 bulan dan subjek

immunokompromise dapat berlangsung 6-12 bulan. Risiko transmisi virus Hepatitis

C saat donor darah selama fase window period diperkirakan 1/28000.7 Pemeriksaan

uji saring terkini yang menggunakan metode molekuler memiliki tingkat sensitivitas

yang tinggi dan dapat mendeteksi VHC dalam window period adalah nucleic acid

amplification testing (NAT).20 Teknologi NAT memiliki potensi untuk mendeteksi

viremia lebih cepat daripada metode skirining enzyme-linked immunosorbent assay

(ELISA). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 di India didapatkan 6 sampel

(2,11%) positif VHC dengan pemeriksaan NAT dari 284 sampel antibodi VHC

negatif.7 Pasien dihari ke 12 perawatan di RSUD Arifin Achmad mengeluhkan badan

kuning, kemudian dilakukakan pemeriksaan imunoserologi Anti HCV didapatkan

hasil reaktif dan pasien didiagnosis dengan hepatitis C. Berdasarkan keputusan

menteri kesehatan tentang pedoman tatalaksana thalassemia, darah yang diberikan

pada pasien thalassemia major adalah PRC rendah leukosit (leukodepleted) yang telah
45

menjalani uji skrining NAT dan menggunakan produk darah yang telah dicocokkan

dengan darah pasien.6 Namun, Pasien selama ini rutin mendapatkan transufusi darah

tipe PRC dengan tidak melalui uji skrining NAT.

Gangguan fungsi hati pada pasien VHC dan thalassemia bukan hanya

disebabkan oleh infeksi VHC saja tetapi juga akibat penumpukan besi di hati karena

berkurangnya jumlah hepcidin.22 Pasien dengan iron overload akan terjadi penurunan

fungsi serta populasi sel CD 8. Sel CD 8 berguna sebagai sel sitolitik untuk eradikasi

infeksi VHC pada awal infeksi dengan menghasilkan interferon-γ. Menurunnya

jumlah dan fungsi sel CD 8 akan mengakibatkan perjalanan penyakit menjadi

kronik.23 Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam

dua atau tiga dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis

bervarisi antara 20%-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis

sangat minimal sampai timbulnya komplikasi akibat sirosis.24

Penelitian yang dilakukan oleh Tabatatei dkk tahun 2012, kelompok dengan

pemberian perinterferon α-2a dengan dosis 180 μg/minggu secara subcutan dan

ribavirin dosis rendah yang disesuaikan dengan kadar Hb yaitu 600 mg/hari untuk Hb

8-10 gr/dl dan 800 mg/hari untuk Hb >10 gr/dl pada pasien thalassemia yang

terinfeksi VHC kronik aman, efektif dan sustained virological response (SVR)

meningkat secara signifikan dibandingkan dengan kelompok pemberian monoterapi

perinterferon α-2a.25 Pemberian terapi kalesi ketat untuk menurunkan kadar besi

diserum dan hati sebelum dan selama terapi ribavirin sangat dianjurkan.25

Pasien memiliki riwayat defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD).

Pasien dengan G6PD mengalami anemia hemolitik akut apabila adanya faktor
46

pencetus seperti infeksi, obat-obatan tertentu dan kacang fava.26 Pada pasien ini

mengalami hepatitis C. Virus hepatitis C belum diketahui dapat mencetuskan anemia

hemolitik akut pada G6PD. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan VHC hanya bisa

berkembang biak dalam hepatosit yang masuk melalui reseptor permukaan sel

spesifik.11 Namun, dalam terapi VHC menggunakan ribavirin memiliki efek samping

yang penting yaitu anemia hemolitik.25,27 Hal tersebut mungkin memerlukan

pengurangan dosis dari ribavirin.25 Keamanan pengobatan ribavirin pada pasien

dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), yang secara inheren rentan

terhadap hemolisis belum banyak diketahui.27 Penelitian yang dilakukan oleh

Balestrieri dkk pada pasien hepatitis C dengan dan tanpa G6PD yang diberikan

ribavirin didapatkan bahwa pasien dengan hepatitis C kronis dan defisiensi G6PD

dapat berhasil diobati dengan peginterferon-alfa dan ribavirin tanpa peningkatan

risiko anemia.27

Hipersplenisme adalah suatu keadaan; anemia, leukopenia, trombistopenia

atau kombinasinya, terdapat pembesaran limpa dengan fungsi sumsum tulang yang

normal.9 Pada pasien juga didapatkan adanya anemia, leukopenia dan

trombositopenia dengan ukuran limpa schuffner VI-VII. Pasien tersebut mengalami

hiperplasia splenomegali dikarenakan proses anemia hemolitik yang lama.9

Splenektomi pada pasin thalassemia dipertimbangkan pada pasien usia >5

tahun setelah menjalani upaya transfusi yang adekuat, tetap memiliki gejala sebagai

berikut; terjadi peningkatan kebutuhan transfusi PRC: 200-250 mL/kg/tahun; terdapat

tanda hipersplenisme; Splenomegali masif.9 Pasien ini kebutuhan transfusi pertahun ±

13.500 cc. Namun, pada pasien ini tidak terdapatnya splenomegali yang masif
47

dikarenakan dari riwayat tahun 2015 limpa pasien berukuran schuffner V. Oleh

karena itu pada pasien ini belum ada indikasi untuk dilakukan splenektomi. Pasien

yang dilakukan splenektomi harus menerima imunisasi yang memadai terhadap

Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B, dan Neisseria

meningitides sebelum operasi.28 Splenektomi harus dihindari pada anak kurang dari

usia lima tahun karena risiko sepsis lebih besar paska-splenektomi.28 Paska

splenektomi, pasien harus menerima profilaksis penisilin oral 250 mg dua kali

sehari.28

Pasien didiagnosis dengan status epileptikus. Berdasarkan UKK neurologi

IDAI tahun 2016 status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lebih 30 menit

dengan tanpa disertai pulihnya kesadaran.16 Setelah pasien sadar pasien mengeluhkan

tangan dan kaki kiri pasien tidak bisa digerakkan dan mulut mencong kekanan

dikarenakan adanya lesi cortival infark di lobus parietalis dextra curiga disertai

dengan hemiatropi dextra. Defisit neurologis terjadi 37% paska terjadi serangan status

epeleptikus.16

Epilepsi dikatakan terkontrol apabila pasien dikatakan bebas kejang selama 6

bulan hingga 1 tahun. Apabila dalam 2 tahun pasien bebas kejang maka dikatakan

remisi dan pengobatan tetap dilanjutkan dengan pengurangan dosis hingga bebas

obat.16-18
48

DAFTAR PUSTAKA

1. Muktiarti D, Wahidiyat PA, Nainggolan IM, Setiangsih I. Thalassemia alfa

mayor dengan mutasi no-delesi heterozigot ganda. Sari pediatri. 2006; 8:244-

50.

2. Purnomo B. Hemoglobin abnormal Talasemia. Dalam : H Bambang Permono,

Sutaryo, Ugrasena, Endang Windiastuti, Maria Abdulsalam, penyunting.

Buku ajar Hematologi-onkologi Anak. Edisi ke-4 Jakarta: IDAI; 2012. h. 67-

75.

3. Laosambat V. Vipraksit V. Chotsampancharoen T. Wongchanchailert M.

Khodchawan S, dkk. Clinical feature and molecular analysis in thai with HbH

disease. Ann Hematol. 2009; 88:1185-92.

4. Husna N,Sanka I, Putri C,Leonard E, Satuti N dkk. Prevalence and

distribution of Thalassemia trait screening. 2017;49:106-13.

5. Andarsini MR, Ari S, Putri D, Ugrasena IDG, Arief S. Prevalence of hepatitis

b, hepatitis c and human immunodeficiency virus infection among pediatric

hematology oncology patients with repeated transfusion. Folia Medcica

Indonesiana. 2011; 47:171-3.

6. Kementerian kesehatan republic Indonesia. Pedoman nasional kedokteran

tatalaksana thallasemia. 2018 januari 2 [diakses tanggal 26 September 2018]

.https://www.persi.or.id/images/regulasi/kepmenkes/kmk12018.pdf
49

7. Chigurupati P, Murthy S. Automated nucleic acid amplification testing in

blood banks: An additional layer of blood safety. Asian Journal of

Transfusuion. 2015;9:9-11.

8. Glanello R, cao A. Alfa thallasemi.Genetics IN Medicine. 2011;2:83-88.

9. Cairo J, Outschoorn MU. Hypersplenism and hyposplenism.dalam

Kaushansky K,Lichtman AM,Beutler E, Kipps JT, Seligsohn U, Josef

TP,penyunting.Hematology.Edisi ke-8.New York:Mc Graw Hill;2010. h. 815-

9.

10. A Marurul, Tumbelaka RA. Pola Penyakit Infeksi Pada Thalassemia. Sari

Pediatri. 2003; 5:27-33.

11. El-Shabrawi MH, Kamal NM, Burden of pediatric hepatitis C. World J

Gastroenterol. 2013; 19: 7880.

12. Jhaveri R. Diagnosis and management of hepatitis C virus-infected children.

Pediatr infect Dis J. 2011; 30;983.

13. Ghany MG, Liang TJ. Acute Viral Hepatitis. Dalam: Yamada T, Alpers DH,

Laine L, Kaplowitz N, Owyang C, Powell DW, penyunting. Yamada’s

Textbook of Gastroenterology. Edisi ke-4 . United State; 2003.

14. Buggs AM. Viral Hepatitis. 2009 juli 07 [diakses tanggal 21 September

2018].Tersedia di:

http://emedicine.medscape.com/article/775507-overview.html

15. Thomas DL. Hepatitis C Virus. Dalam: Warrel DA, Cox TM, Firth JD, Benz

AJ, penyunting.Oxford Textbook of Medicine. Edisi ke-4. United State; 2003.


50

16. Handryastuti S. Penatalaksanaan Status Epileptikus. Dalam: Ismael S,

Pusponegoro DH,Widodo PD,Irawan M, Handryastuti S, penyunting.Unit

kerja Koordinasi Neurologi IDAI; 2016. h. 10-17

17. Haslam HA. Status Epileptikus. Dalam: Behrman, Kliegman, Arvin N,

penyunting. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-15. Jakarta : EGC; 2000. h .2067-

68

18. Rillianto B. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. CDK; 2015.h. 1-5.

19. Sudarmanto B. Transfusi darah dan transplantasi. Dalam : Permono HB,

Sutaryo, Ugrasena, Endang W, Maria A, penyunting. Buku ajar Hematologi-

onkologi Anak. Jakarta: Ikatan dokter anak indonesia, 2006. H . 217-26.

20. Wahidiyat RA, Adnani NB. Transfusi rasional pada anak. Sari pediatri. 2016;

18 : 325-26.

21. Shrivastava M, Mishra S. Nucleic acid amplification testing (NAT): An

innovative diagnostic approach for enhancing blood safety. National Journal

of Laboratory Medicine. 2017; 6: 01-06.

22. Zou DM, Sun WL. Relationship between hepatitis C virus infection and iron

overload. Chinese Medical Journal. 2017; 130: 866-71.

23. Darmadjati F, Oswari H. Hepatitis C pada Thalassemia mayor: Pengaruh Iron

Overload pada perjalanan penyakit. Sari Pediatri.2003;5:16 – 20.

24. Arief S. Hepatitis virus. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S,

Rosalina I, Mulyani NS, penyunting Buku ajar gastroenterologi hepatologi.

Edisi ke-1. Jakarta: IDAI; 2010. h. 306-17.


51

25. Tabatabaei SV, Alavian SM, Keshvari M, Behnava B, Miri SM, Eliza PK,

dkk. Low dose ribavirin for treatment of hepatitis c virus infected thalassemia

major patians; new indications for combination therapy. Hepat Mon. 2012; 12

: 372-81.

26. Kurniawan LB. Skirining, diagnosis dan aspek klinis defisiensi glukosa-6-

fosfat dehidrogenase (G6PD). CDK. 2014:41;807-11.

27. Balestrieri C, Serra G, Cauli C, Chessa L, Balestrieri A, Farci P. Treatment of

chronic hepatitis C in patients with glucose-6-phosphate dehydrogenase

deficiency: is ribavirin harmful?. Bloodjournal. 2016:107; 3409-10.

28. Andriastuti M, Sari TT, Wahidiyat PA, Putriasih SA. Kebutuhan transfusi

darah pasca-splenektomi pada thalassemia mayor. Sari pediatri.2011:13;244-

9.

Anda mungkin juga menyukai