Case Report
Case Report
Disusun Oleh:
Pembimbing :
dr. Cece Alfalah. Sp.A (K)
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan yang maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul ‘’Hipersplenisme+Hepatitis C+ Defisiensi
G6PD+Hemiparese sinistra ec infark cerebri ec status epileptikus+susp
Thalassemia alfa.”
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut
membantu hingga terselesaikannya laporan kasus ini. Ucapan terima kasih ini penulis
sampaikan kepada:
1. dr. H. Nuzelly Husnedi, MARS selaku Direktur RSUD Arifin Achmad yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan
kepaniteraan klinik di RSUD Arifin Achmad.
2. Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, Sp. A(K), IBCLC selaku KSM Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Arifin Achmad/KJF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Riau yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Kesehatan Anak.
3. dr. Cece Alfalah, Sp.A(K) selaku pembimbing yang telah memberikan waktu,
ilmu, pikiran, serta membimbing dengan penuh kesabaran dari awal hingga
selesainya penulisan laporan kasus ini.
4. Pasien, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan pemeriksaan
dan dijadikan bahan pembelajaran bagi penulis.
5. Teman-teman seperjuangan terima kasih atas motivasi dan perhatian kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan
masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan penulis dari pembaca demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.
Pekanbaru, 27 september 2018
penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR PUSTAKA 48
iii
iv
DAFTAR GAMBAR
LATAR BELAKANG
yang umum terjadi. Kelainan utama berupa kurang atau tidak adanya sintesis rantai α
yang disebabkan oleh mutasi gen globin α baik berupa delesi gen maupun non-delesi
sehingga rantai globin yang ada membentuk HbBart (γ4) dan HbH (β4).1 Thalassemia
alfa terjadi akibat mutasi pada kromosom 16. Tetramer tersebut tidak stabil dan
sekitar 20%-30%.3 Penelitian yang dilakukan oleh Husna N, dkk pada tahun 2015 di
Tatalaksana pada thalassemia α adalah transfusi darah merah, asam folat, dan
terapi kelasi besi.1 Transfusi sebaiknya diberikan bila kadar Hb sudah mencapai 9-10
g/dL dan mencapai Hb pasca transfusi tidak lebih dari 13-14 g/dL. Hal ini akan
bila kadar feritin telah melebihi 1000 ng/mL dengan dosis 40-50 mg/kg/hari.1
kasus hepatitis C pada pasien anak dibagian hematoonkologi yang rutin mendapatkan
1
2
transfusi darah sebesar 7.8%.5 Penyakit ini dilaporkan sebagai penyebab kematian
tertular infeksi hepatitis B, 15% pasien tertular infeksi hepatitis C, dan 5 orang pasien
tertular infeksi HIV dari 716 sampel yang dilakukan pemeriksaan uji serologis.6
Teknologi nucleic acid test (NAT) memiliki potensi untuk mendeteksi viremia lebih
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 di India didapatkan 6 sampel (2,11%)
positif VHC dengan pemeriksaan NAT dari 284 sampel antibodi VHC negatif.7
Pemeriksaan antibodi tidak dapat mengidentifikasi subjek saat fase awal terinfeksi, yang
komplikasi hematoonkologi.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Thalassemia alfa (α) adalah berkurang atau tidak adanya sintesis rantai α yang
disebabkan oleh mutasi gen globin α baik berupa delesi gen maupun non-delesi .1
Gangguan pada 1 rantai globin alfa, keadaan ini tidak timbul gejala sama
sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.2,6,8
c. Hemoglobin H disease
sedang sampai berat, splenomegali ikterus dan jumlah sel darah merah yang
abnormal.2,6,8
Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen
globin alfa, disertai dengan tidak ada sintesis rantai alfa sama sekali.
3
4
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis pada anak
dengan thalassemia adalah konjungtiva anemis, facies Cooley (dahi menonjol, mata
3. Laboratorium
a. Darah Rutin
2.1.3 Hipersplenisme
1. Pembesaran limpa.
Filtrasi dan eliminasi dari sel-sel yang tidak sempurna pada kelainan herediter
membran sel darah meah seperti sel-sel sferosit, eliptosit atau stomatosit atau dengan
sel-sel yang dibungkus oleh antibodi (antobody-coated cells), netrofil, atau trombosit
dengan adanya peningkatan akan kebutuhan darah yaitu lebih dari 200-
250cc/kgBB/tahun.
6
1.Transfusi darah
Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat individual pada setiap pasien.
waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan
2. Kelasi Besi
sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah komplikasi kelebihan besi
dan menurunkan angka kematian pada pasien thalassemia.6 Terapi kelasi besi
bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu mengikat besi yang tidak terikat
transferin di plasma dan mengeluarkan besi dari tubuh. Kelasi dimulai setelah
timbunan besi dalam tubuh pasien signifikan, yang dapat dinilai dari beberapa
parameter seperti jumlah darah yang telah ditransfusikan, kadar feritin serum, saturasi
transferin, dan kadar besi hati/ liver iron concentration -LIC (biopsi, MRI, atau
feritometer).6
Liver iron concentration (LIC) minimal 3000 ug/g berat kering hati
merupakan batasan untuk memulai kelasi besi namun biopsi adalah tindakan yang
invasif sehingga beberapa parameter lain menjadi pilihan. Pemberian kelasi besi
dimulai bila kadar feritin serum darah sudah mencapai 1000 ng/mL, atau saturasi
7
transferin >70%, atau apabila transfusi sudah diberikan sebanyak 10-20 kali atau
sekitar 3-5 liter.6 Kelasi besi kombinasi diberikan jika kadar feritin serum >2500
ng/mL yang menetap minimal 3 bulan, apabila sudah terjadi kardiomiopati, atau telah
b. Perlu dilakukan penilaian dan konsultasi gizi berkala sesuai dengan asuhan
nutrisi pediatrik.
c. Vitamin E2x200 IU/haridan Asam folat 2x1 mg/hari diberikan pada semua
pasien thalassemia.
d. Asam folat tidak diberikan pada pasien dengan kadar pretransfusi Hb≥9 g/dL.
desferoksamin.
4. Splenektomi
menjalani upaya transfusi yang adekuat, tetap memiliki gejala sebagai berikut :
c. Splenomegali masif.
limpa disebabkan oleh transfusi yang inadekuat, maka perlu dilakukan transfusi yang
8
dan disertai dengan kelasi besi yang adekuat selama 6-12 bulan, kemudian baru
5. Komplikasi
Komplikasi utama dari tranfusi adalah yang berkaitan dengan transmisi bahan
infeksius ataupun terjadinya iron overload. Tranfusi dapat menularkan infeksi (blood
borne infection) termasuk virus hepatitis, Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
2.2 Hepatitis C
Hepatitis virus adalah peradangan hati yang disebabkan oleh virus. Dikatakan
akut apabila inflamasi (radang) hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung
selama kurang dari 6 bulan, dan kronis apabila hepatitis yang tetap bertahan selama
lebih dari 6 bulan. Keadaan kronis pada anak-anak lebih sukar dirumuskan karena
World Health Organization (WHO) melaporkan lebih kurang 170 juta jiwa di
seluruh dunia terinfeksi secara kronik oleh hepatitis C (Virus Hepatitis C = VHC).11
Prevalensi global infeksi VHC adalah 2,9%.11 Menurut data WHO, angka prevalensi
ini amat bervariasi dalam distribusi secara geografi, dengan seroprevalensi terendah
sangat bervariasi, dikarenakan geografis negara Indonesia yang sangat luas.11 Hasil
dan juga bantuan unit PUTD Palang Merah Indonesia, data donor darah di kota-kota
besar menunjukkan prevalensi yang lebih kecil 0,5-3,37% dibandingkan data yang
sebelumnya. 11
Pada umumnya cara penularan VHC adalah parental. Semula penularan VHC
dihubungkan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi
setelah ditemukan bentuk virus dari hepatitis, makin banyak laporan mengenai cara
virus), yaitu:11,12
1. Penularan horizontal
Penularan VHC terjadi terutama melalui cara parental, yaitu tranfusi darah
atau komponen produk darah, hemodialisa, dan penyuntikan obat secara intravena.
2.Penularan vertikal
penderita Hepatitis C kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau
Jika masuk ke dalam darah maka VHC akan segera mencari hepatosit (sel
hati) dan kemungkinan sel limfosit B. Hanya dalam sel hati VHC bisa berkembang
biak. Sulitnya membiakkan VHC pada kultur, juga tidak adanya model binatang non-
primata telah memperlambat lajunya riset VHC. Namun daur hidup VHC telah dapat
reseptor permukaan sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas,
namun protein permukaan CD8 adalah suatu VHC binding protein yang memainkan
peranan dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus yang dikenal sebagai
2. Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses
kimiawi dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding
sel akan melingkupi dan menelan virus serta membawanya ke dalam hepatosit. Di
dalam hepatosit, selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah
RNA virus (virus uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari
3. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya
sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih
banyak lagi hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak mekanisme sintesis protein
berkembang biak.11
5. Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada
2 jenis yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai sintesis kopi
6. Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran
kali) untuk menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah
12
bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif lalu bertindak
sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak
mutasi genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus
hepatitis C. Setiap kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein struktural, yang
kemudian akan membentuk nukleokapsid dan kemudian inti virus baru. Amplop
Keluaran dan derajat keparahan dari infeksi virus hepatitis bergantung pada
Manifestasi klinis hepatitis virus C dikenal mulai dari hepatitis akut, fulminan,
Infeksi Akut
Umumnya infeksi akut VHC tidak memberi gejala atau hanya bergejala
Infeksi virus hepatitis terbagi 3 fase, yaitu fase prodormal, fase ikterik, dan
fase convalescent. 4 Pada fase prodormal, onset terjadi pada hari 1-14, namun rata-
rata timbul pada hari 5-7 setelah paparan.12 Keluhan yang sering yaitu malaise,
13
fatique, mual dan muntah, kehilangan selera makan, low grade fever, flu like
symptoms, dan kebanyakan pasien mengeluh adanya nyeri pada perut kanan atas.12
Pada fase ikterik, gejala yang sering ditimbulkan yaitu warna kuning pada
mukosa sklera pada awalnya dan berlanjut pada perubahan warna pada kulit.12 Durasi
ikterik bervariasi, biasanya antara 4 hari sampai beberapa bulan, namun rata-rata 2-3
minggu.12 Urin menjadi pekat seperti warna teh, feses berwarna seperti dempul
Ikterik tidak ditemukan, warna pada kulit, urin dan feses kembali ke warna yang
semula. Kembalinya nafsu makan dan adanya peningkatan berat badan menunjukkan
namun level dari viremia pada 6 bulan pertama dapat dorman dan tidak terdeksi
walaupun orang tersebut sedang dalam infeksi yang persisten. Gejala awal yang
ditunjukkan tergantung dari usia saat terjadinya paparan, sistem imun penderita,
Infeksi kronis
Infeksi akan menjadi kronik pada 70 – 90% kasus dan sering kali tidak
menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Adapun
kriteria dari hepatitis kronis adalah naiknya kadar transaminase serum lebih dari 2
kali nilai normal, yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hilangnya VHC setelah
terjadinya hepatitis kronis sangat jarang terjadi. 12 Jangka waktu dimana berbagai
untuk terjadinya sirosis hati yang sering tejadi pada 15 – 20% pasien hepatitis C
kronis.11 Progresivitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor
risiko yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B atau Human
Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki-laki, usia tua saat terjadinya
infeksi dan kadar CD4 yang sangat rendah.10 Bila telah terjadinya sirosis, maka risiko
hepatoseluler dapat terjadi tanpa diawali dengan sirosis, namun hal ini jarang
terjadi.10
Hepatitis C Fulminan
transferase) meninggi sampai beberapa kali diatas batas atas normal tetapi umumnya
1. Uji serologi
serokonversi, biasanya hasil pemeriksaan serologi akan tetap positif, namun kadar
antibodi anti-VHC akan menurun secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian
immunoassay yang sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi k-3
15
yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein struktural-
struktural yang dapat mendeteksi keberadaan antibodi dalam waktu 4-10 minggu
infeksi. Antibodi anti-VHC masih tetap dapat terdeteksi selama terapi maupun
setelahnya tanpa memandang respon terapi yang telah dialami, sehingga pemeriksaan
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang positif.1
setting populasi low-risk seperti pada bank darah.10 Namun dengan tersedianya
metode enzim immunoassai yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih
baik saat ini, maka konfirmasi denga RIBA telah menjadi kurang diperlukan. 10-13
VHC RNA dapat terdeteksi dan diukur dengan teknik amplifikasi termasuk
reverse transcription polymerase chain reation (RT-PCR). Genotip VHC dapat dinilai
dengan analisis phylogenetic dari rantai nukleotida atau deteksi mutasi point spesifik
subtipe pada RT-PCR amplifikasi RNA. VHC RNA dideteksi dalam waktu 2 minggu
infeksi dan juga digunakan untuk konfirmasi terjadinya infeksi akut. Bagaimanapun
uji VHC RNA yang rutin tidak dianjurkan secara langsung karena standarisasi uji
3.Biopsi Hati
pasien dengan infeksi VHC kronis.10 Biopsi berguna untuk menentukan derajat
16
beratnya penyakit (tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi.9
penyebab hati yang lain, seperti fitur alkoholik, non-alcoholic steatohepatits (NASH),
Pengobatan VHC akut adalah suportif dan simtomatik. Pengobatan VHC akut
bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan hati yang lebih parah. Pada
ribavirin.9-12 Umumnya disepakati bila genotipe VHC adalah genotipe 1 dan 4, maka
terapi perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi cukup
1. Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk
meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya.14
alfa ini lebih lama ada dalam tubuh, dan beberapa penelitian menunjukkan lebih
17
efektif dalam membuat respon bertahan terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis
3. Ribavirin.
Obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan
Hepatitis C kronis.11 Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus
Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon
alfa sendiri. Untuk Interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3
kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon
yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-
Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ag/kgBB/kali (untuk Peg-
diikuti dengan pemberian Ribavirin dengan dosis pada pasien berat badan < 50 kg
sebesar 800 mg setiap hari, 50 – 70 kg sebesar 1000 mg setiap hari, dan > 70 kg
· Transplantasi organ
· Penyakit autoimun
lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data
hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain
(contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi
Diskripsi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama, frekuensi, kesadaran saat
napas, diare, muntah, riwayat ada tidaknya kejang/epilepsi. Jika ada epilepsi,
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaanpenunjang
Darah perifer lengkap, cairan serebrospinal, gula darah, elektrolit darah, dan
Elektroensefalografi (EEG).
kepala.16-18
20
Tatalaksana
pemberian diazepam per rektal dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg atau secara
Bila belum terpasang cairan intravena, dapat diberikan diazepam per rektal
ulangan 1 kali sambil mencari akses vena. Sebelum dipasang cairan intravena,
fenitoin IV 10 mgkg.16-18
Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang intensif.
mg/kg/jam16
Terapi rumatan
Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan diazepam,
tergantung dari etiologi. Jika penyebab kejang suatu hal yang dapat dikoreksi
ada.16,18
dosis.16,18
Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan
Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan fenobarbital,
Cara pemberian obat antikonvulsan pada tata laksana kejang akut. 16, 18
Diazepam16,18
interval 5
Fenitoin16,18
menggumpal.
Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah pemberian.
Fenobarbital16,18
Efek samping: hipotensi dan depresi napas, terutama jika diberikan setelah
Rawat di ICU, intubasi, dan berikan ventilasi. Midazolam bolus 0,2 mg/kg
Rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan. Dosis midazolam
diturunkan secara bertahap jika dalam 12 jam tidak tedapat kejang. 15,17
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Suku : Minang
- Pasien mengalami kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit, kejang diawali
dengan kaku pada tangan kelonjotan seluruh tubuh, lalu mata berputar keatas,
kejang sebanyak 1 kali, lama kejang lebih dari 60 menit, setelah kejang pasien
tidak sadar. Keluhan tidak disertai dengan demam. Pasien dibawa berobat ke
RSUD Indah bagan batu, setelah pasien stabil pasien dirujuk ke RSUD Arifin
24
25
tipe yang sama, lama kejang 5 menit, Setelah kejang pasien tidak sadar.
masuk rumah sakit. Pucat semakin lama semakin bertambah, pucat muncul
Riwayat epilepsi dengan rutin makan obat dan dikatakan remisi pada tahun
Orang tua pasien tidak memiliki riwayat sakit yang berulang selama
kehamilan
Persalinan normal.
26
Riwayat imunisasi :
Hepatitis B : 4 kali
BCG : 1 kali
DPT : 3 kali
Polio : 3 kali
Hib : 3 kali
Campak : 1 kali
BB sekarang : 45 kg
TB sekarang : 137 cm
Riwayat Perkembangan :
Kesadaran : composmentis
Tanda-Tanda Vital
Suhu : 37,1 oC
Nadi : 94x/menit
Nafas : 20 x/menit
Gizi
TB : 137 cm
BB : 45 kg
LILA : 28 cm
Kepala : normocephal
Mata
Mulut
Palatum : utuh
Dada :
Abdomen :
Alat Kelamin
Ekstremitas
Motorik
555 333
555 333
Inspeksi
eutrofi eutrofi
eutrofi eutrofi
Palpasi
Normotonus Hipotonus
Normotonus Hipotonus
Status Neurologis :
Refleks Fisiologis
KANAN KIRI
BICEPS + ++
TRICEPS + ++
KPR + ++
APR + ++
Refleks Patologis
KANAN KIRI
BABINSKI - -
OPPENHEIM - -
GORDON - -
CHADDOCK - -
HOFFMAN - -
Sensorik
KANAN KIRI
EKSREMITAS ATAS
Raba + +
Nyeri + +
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
EKSREMITAS BAWAH
Raba + +
Nyeri + +
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
31
Otonom
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Fungsi Luhur
MMSE
Orientasi : 6
Registrasi : 3
Bahasa : 12
Recall : 2
Skor total : 23
N. VII : senyum asimetris, kerutkan dahi (+) menutup kedua mata (+)
nilai
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH
1. Laboratorium lengkap
Hb : 9,9 g/dl
K+ : 4,3 mmol/L
Cl : 110 mmol/L
33
RADIOLOGI
Kesan : Sugestif kortikal infark di lobus parietalis dextra curiga disertai dengan
hemitropy dextra.
Hepatosplenomegali
Hemiparese sinistra
Gangguan Kognitif
Pansitopenia
Susp Thalassemia α
Overweight
TERAPI
Medikamentosa :
Ivfd D5 ¼ NS 20 tpm
Asam Folat 2 x 1 mg
28 X 40
1520 KKal
PROGNOSIS:
Darah rutin :
28/8/2018
HB : 9,0 g/dl
Leu : 1,47 103/ul
Ht : 26,8%
Trom :80 103/ul
Ureum : 21 mg/dl
Kreatinin : 0,6
mg/dl
AST : 63 U/L
ALT : 36 U/L
Albumin : 3,6
g/dl
37
Darah rutin :
3/9/2018
HB : 12,0g/dl
Leu : 3.41 103/ul
Ht : 36,1 %
Trom : 116 103/ul
Eks: Akral
hangat, CRT <2”,
40
Darah rutin :
14/09/2018
Leu : 1,35 103/uL
Hb: 7.5 g/dl
Trombosit:
82x103/uL
HT: 23%
Mcv:86,5 fL
McH:28,2 PG
Mchc :32,6 g/dl
41
Darah rutin :
17/09/2018
Leu : 1,95 103/uL
Hb: 10,1 g/dl
Trombosit:
62x103/uL
HT: 31%
Mcv:88,6 fL
McH:28,8 PG
Mchc :32,5 g/dl
42
PEMBAHASAN
Pasien ini rutin mendapatkan transfusi sel darah merah rerata setiap ±20 hari
dan sebanyak ±13.500 cc/tahun sejak bulan Agustus 2015 di RSUD Arifin Achmad.
Tujuan terapi sel darah merah terutama untuk memperbaiki oksigenasi jaringan. Jenis
transfusi terapi sel darah merah adalah packed red cell (PRC), leucodepleted-packed
red cell (LD-PRC), irradiated-packed red cell (I-PRC) dan washed erythrosytes
(WE).19 Packed red cell memiliki indikasi untuk mengatasi keadaan anemia karena
dengan ancaman gagal jantung atau menderita infeksi berat dan perdarahan akut.19
Leucodepleted-packed red cell (LD-PRC) adalah sebagai komponen darah PRC yang
memiliki jumlah leukosit 106 per unit kantong darah.20 Indikasi penggunaan transfusi
LD-PRC pada pasien neonatus transfusi rutin, seperti pada thalassemia mayor dan
mengalami reaksi berupa demam setelah transfusi dua kali atau lebih sebelumnya.
Pemberian transfusi LD-PRC sama dengan dosis transfusi PRC secara umum.
graft-versus-host disease (TAGvHD), yaitu sel limfosit dari darah donor yang masuk
ke dalam sistem sirkulasi resipien menimbulkan tanda dan gejala berupa demam,
ruam kulit, diare, dan pansitopenia.20 Indikasi dan rekomendasi pemberian transfusi
43
44
WE serupa dengan PRC. Transfusi WE dapat diberikan pada pasien dengan riwayat
reaksi alergi atau demam pada episode transfusi sebelumnya, hiperkalemi, defisiensi
prevalensi kasus hepatitis C pada pasien anak dibagian hematoonkologi yang rutin
mengidentifikasi subjek saat fase awal terinfeksi, yang disebut dengan window
period, selama antibodi spesifik belum terbentuk, tetapi virus tersebut ada didalam
terjadinya serokonversi antibodi yang dapat berlangsung hingga 2 bulan dan subjek
C saat donor darah selama fase window period diperkirakan 1/28000.7 Pemeriksaan
uji saring terkini yang menggunakan metode molekuler memiliki tingkat sensitivitas
yang tinggi dan dapat mendeteksi VHC dalam window period adalah nucleic acid
(ELISA). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 di India didapatkan 6 sampel
(2,11%) positif VHC dengan pemeriksaan NAT dari 284 sampel antibodi VHC
pada pasien thalassemia major adalah PRC rendah leukosit (leukodepleted) yang telah
45
menjalani uji skrining NAT dan menggunakan produk darah yang telah dicocokkan
dengan darah pasien.6 Namun, Pasien selama ini rutin mendapatkan transufusi darah
Gangguan fungsi hati pada pasien VHC dan thalassemia bukan hanya
disebabkan oleh infeksi VHC saja tetapi juga akibat penumpukan besi di hati karena
berkurangnya jumlah hepcidin.22 Pasien dengan iron overload akan terjadi penurunan
fungsi serta populasi sel CD 8. Sel CD 8 berguna sebagai sel sitolitik untuk eradikasi
dua atau tiga dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis
bervarisi antara 20%-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis
Penelitian yang dilakukan oleh Tabatatei dkk tahun 2012, kelompok dengan
pemberian perinterferon α-2a dengan dosis 180 μg/minggu secara subcutan dan
ribavirin dosis rendah yang disesuaikan dengan kadar Hb yaitu 600 mg/hari untuk Hb
8-10 gr/dl dan 800 mg/hari untuk Hb >10 gr/dl pada pasien thalassemia yang
terinfeksi VHC kronik aman, efektif dan sustained virological response (SVR)
perinterferon α-2a.25 Pemberian terapi kalesi ketat untuk menurunkan kadar besi
diserum dan hati sebelum dan selama terapi ribavirin sangat dianjurkan.25
Pasien dengan G6PD mengalami anemia hemolitik akut apabila adanya faktor
46
pencetus seperti infeksi, obat-obatan tertentu dan kacang fava.26 Pada pasien ini
hemolitik akut pada G6PD. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan VHC hanya bisa
berkembang biak dalam hepatosit yang masuk melalui reseptor permukaan sel
spesifik.11 Namun, dalam terapi VHC menggunakan ribavirin memiliki efek samping
Balestrieri dkk pada pasien hepatitis C dengan dan tanpa G6PD yang diberikan
ribavirin didapatkan bahwa pasien dengan hepatitis C kronis dan defisiensi G6PD
risiko anemia.27
atau kombinasinya, terdapat pembesaran limpa dengan fungsi sumsum tulang yang
tahun setelah menjalani upaya transfusi yang adekuat, tetap memiliki gejala sebagai
13.500 cc. Namun, pada pasien ini tidak terdapatnya splenomegali yang masif
47
dikarenakan dari riwayat tahun 2015 limpa pasien berukuran schuffner V. Oleh
karena itu pada pasien ini belum ada indikasi untuk dilakukan splenektomi. Pasien
meningitides sebelum operasi.28 Splenektomi harus dihindari pada anak kurang dari
usia lima tahun karena risiko sepsis lebih besar paska-splenektomi.28 Paska
splenektomi, pasien harus menerima profilaksis penisilin oral 250 mg dua kali
sehari.28
IDAI tahun 2016 status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lebih 30 menit
dengan tanpa disertai pulihnya kesadaran.16 Setelah pasien sadar pasien mengeluhkan
tangan dan kaki kiri pasien tidak bisa digerakkan dan mulut mencong kekanan
dikarenakan adanya lesi cortival infark di lobus parietalis dextra curiga disertai
dengan hemiatropi dextra. Defisit neurologis terjadi 37% paska terjadi serangan status
epeleptikus.16
bulan hingga 1 tahun. Apabila dalam 2 tahun pasien bebas kejang maka dikatakan
remisi dan pengobatan tetap dilanjutkan dengan pengurangan dosis hingga bebas
obat.16-18
48
DAFTAR PUSTAKA
mayor dengan mutasi no-delesi heterozigot ganda. Sari pediatri. 2006; 8:244-
50.
Buku ajar Hematologi-onkologi Anak. Edisi ke-4 Jakarta: IDAI; 2012. h. 67-
75.
Khodchawan S, dkk. Clinical feature and molecular analysis in thai with HbH
.https://www.persi.or.id/images/regulasi/kepmenkes/kmk12018.pdf
49
Transfusuion. 2015;9:9-11.
9.
10. A Marurul, Tumbelaka RA. Pola Penyakit Infeksi Pada Thalassemia. Sari
13. Ghany MG, Liang TJ. Acute Viral Hepatitis. Dalam: Yamada T, Alpers DH,
14. Buggs AM. Viral Hepatitis. 2009 juli 07 [diakses tanggal 21 September
2018].Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/775507-overview.html
15. Thomas DL. Hepatitis C Virus. Dalam: Warrel DA, Cox TM, Firth JD, Benz
penyunting. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-15. Jakarta : EGC; 2000. h .2067-
68
18. Rillianto B. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. CDK; 2015.h. 1-5.
20. Wahidiyat RA, Adnani NB. Transfusi rasional pada anak. Sari pediatri. 2016;
18 : 325-26.
22. Zou DM, Sun WL. Relationship between hepatitis C virus infection and iron
24. Arief S. Hepatitis virus. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S,
25. Tabatabaei SV, Alavian SM, Keshvari M, Behnava B, Miri SM, Eliza PK,
dkk. Low dose ribavirin for treatment of hepatitis c virus infected thalassemia
major patians; new indications for combination therapy. Hepat Mon. 2012; 12
: 372-81.
26. Kurniawan LB. Skirining, diagnosis dan aspek klinis defisiensi glukosa-6-
28. Andriastuti M, Sari TT, Wahidiyat PA, Putriasih SA. Kebutuhan transfusi
9.