Anda di halaman 1dari 29

Pasien :

Arsy : Edema tungkai bawah ec susp. Inflamasi soft tissue dd/trombosis , susp defisiensi vit D, anemia
def besi

Farah : DHF dengan warning sign

Gratia : tonsilofaringitis

Hariz : GEA tanpa dehidrasi

Gatau siapa : Thalasemia

Aniq : synovial sarcoma

Saskia : SLE

Rayna : ALL

Rizky : Rhabdomyosarcoma
ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA (RAYNA)

Yang harus ditanyakan dalam anamnesis leukemia :

Apakah ada gejala lemas (anemia)? Tampak pucat? Tidak membaik saat istirahat? Kuku tampak sendok?
Intake nutrisi bagaimana saat itu? Saat itu ada riwayat trauma? BAB berdarah? Apakah mudah lelah?
Penurunan konsentrasi? Saat itu apakah ada keluhan kuning/BAK seperti teh? Tanda-tanda infeksi?

Memar, bintik kemerahan, gusi mudah berdarah, mimisan?

Demam >2 minggu? Mudah infeksi, batuk pilek, dll?

Ada keluhan perut membesar? Nyeri perut? Benjolan di leher/ketiak/selangkangan?

Nyeri tulang, sendi, sakit kepala?

Nafsu makan turun?

Penurunan BB?

Sudah pernah diobati keluhannya? Respon pengobatan? --> Misalnya anemia diobati dengan tablet besi
tapi tidak membaik, atau demam dikasih paracetamol ga membaik

Faktor resiko : paparan obat/radiasi saat hamil, anak-anak dengan Trisomi 21 (sindrom Down),
neurofibromatosis tipe 1, sindrom Bloom,

Keluhan tambahan Rayna : Saat ini pasien pilek, sekret kental warna hijau. Mual, muntah, batuk, sesak
disangkal. Intake makan dan minum baik.

a. Definisi
Leukemia dapat didefinisikan sebagai sekelompok penyakit keganasan, yaitu kelainan genetik
dalam sel hematopoietik dan menimbulkan proliferasi sel yang tidak dapat tenkontrol. Leukemia
Limfositik Akut (ALL) adalah keganasan sel limfoblas B atau T yang ditandai dengan proliferasi
limfosit imatur abnormal yang tidak terkendali
b. Epidemiologi
Sekitar 31% dari semua keganasan yang terjadi pada anak-anak yang lebih muda dari 15 tahun.
c. Etiologi
Idiopatik namun dapat terkait dengan paparan benzena, radiasi pengion, atau paparan
kemoterapi atau radioterapi sebelumnya.
d. Klasifikasi
Klasifikasi ALL menurut kriteria morfologi French American British (FAB) membagi ALL menjadi 3
subtipe (L1, L2 dan L3) berdasarkan ukuran sel, sitoplasma, nukleolus, vakuolasi dan basofilia.
Organisasi Kesehatan Dunia mengusulkan klasifikasi gabungan dalam upaya untuk menjelaskan
morfologi dan profil sitogenetik dari blast leukemia dan mengidentifikasi dua jenis ALL, yaitu
limfoblastik B dan limfoblastik T.
e. Diagnosis
Diagnosis didasarkan oleh anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan tanda dan
gejala. Anemia dan trombositopenia terlihat pada sebagian besar pasien. Pemeriksaan
penunjang dilakukan melalui pemeriksaan lab darah lengkap, apusan darah tepi, kimia serum
(misalnya, kalium, fosfor, kalsium), kadar asam urat, laktat dehidrogenase (LDH). Yang penting :
- Darah rutin (anemia, hiperleukositosis, trombositopenia)
- Apus darah tepi (ditemukan blas 1%)
- BMP (blas >20%)
- Imunofenotyping
- Foto thorax (massa mediastinum)
- Cairan serebrospinal (infiltrasi sel blas)

f. Diagnosis banding
Berikut ini kondisi lain yang perlu dipertimbangkan saat mengevaluasi pasien dengan dugaan
leukemia limfoblastik akut (ALL): Leukemia mieloid akut, anemia aplastic, anemia akut, dan
Idiopathic thrombocytopenic purpura
g. Tatalaksana --> adakah aturan cairan/nutrisi tertentu? Ada
 Nutrisi --> Dari jurnal CDK Tatalaksana Nutrisi pada Kanker Anak : Children oncology
group (COG) menyebutkan bahwa terapi kanker dapat meningkatkan kebutuhan energi
sampai 20% dan kebutuhan protein hingga 50%
 Hidrasi --> 1.5 kali cairan rumatan
 Pertahankan pH urin 7.5, jika <7.5 beri natrium karbonat 35-45 mEq/m2/24 jam atau 25-
50 mEq/500 mL infus
 Allopurinol 10 mg/kg/hari dibagi 3 dosis peroral
 Tranfusi trombosit bila <20.000/microliter
 PRC jika Hb<6 g/dL dengan target Hb 8
 Obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan ALL pediatrik meliputi antineoplastik
(misalnya, vincristine, asparaginase Escherichia coli, asparaginase Erwinia chrysanthemi,
calaspargase pegol, daunorubicin, doxorubicin, MTX, 6-MP, cytarabine,
cyclophosphamide, dasatinib, imatinib), Kortikosteroid (misalnya, prednison,
deksametason), Antimikroba (misalnya, TMX/SMP, pentamidin), Antijamur (misalnya,
flukonazol).
h. Stratifikasi risiko
Stratifikasi risiko pada LLA dikelompokkan menjadi 2 berdasarkan kriteria pada protokol
Indonesian Protocol Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) 2013, yaitu :
 Risiko tinggi dan risiko biasa. Risiko tinggi (High Risk) bila didapatkan salah satu kriteria
sebagai berikut umur < 1 tahun atau > 10 tahun, leukosit >50.000/mm3 , massa
mediastinum > 2/3 dari diameter rongga thorak, terdapat > 15/3 (5µm) sel leukemia di
cairan serebrospinal, T-cell leukemia, mixed leukemia (bi-lineage leukemia), dan bila
didapatkan lebih dari 1000 sel blas/mm3 pada pemeriksaan darah tepi setelah 1 minggu
mulai terapi pada LLA kelompok risiko biasa.
 Risiko biasa (Standard Risk) bila tidak didapatkan tanda-tanda risiko tinggi
i. Prognosis
THALASEMIA

a. Definisi
Thalassemia merupakan kelainan genetik yang dihasilkan dari penurunan sintesis rantai globin
(α dan β) yang membentuk molekul hemoglobin manusia dewasa normal (HbA, α2β2). Kelainan
ini diturunkan secara autosomal resesi dan mengakibatkan berkurangnya hemoglobin dalam
eritrosit dan anemia
Hemoglobin normal manusia dewasa terdiri dari 2 rantai beta dan 2 rantai alfa yang membentuk
tetramer α2β2(HbA). Komposisi HbA dalam sirkulasi darah mencapai >97%, sedangkan HbA2 2-
3% dan HbF <1%.Dengan komposisi seperti ini hemoglobin dapat mengangkut oksigen ke
jaringan dengan baik
b. Etiologi
Thalassemia diturunkan secara resesif autosom yang disebabkan oleh mutasi atau delesi gen Hb,
yang mengakibatkan produksi kurang atau tidak adanya rantai α dan β. Thalassemia α
disebabkan oleh delesi gen α-globin pada kromosom 16, dan thalassemia β disebabkan oleh
mutasi titik pada tempat sambungan dan daerah promotor gen β-globin pada kromosom 11
c. Klasifikasi
 Thalasemia mayor (sangat bergantung pada transfusi)
 Thalassemia minor (carrier/ tanpa gejala)
 Thalasemia intermediet
d. Patofisiologi

1. Thalassemia alfa → mutasi pada kromosom 16. 


2. Rantai globin alfa → terbentuk sedikit atau tidak terbentuk sama sekali sehingga rantai globin
yang ada membentuk Hb Bart (γ4) dan HbH (β4). 
3. Tetramer tersebut tidak stabil dan badan inklusi yang terbentuk mempercepat destruksi
eritrosit.

1. Thalassemia beta → mutasi gen globin beta →produksi rantai globin beta → berkurang atau
tidak terbentuk sama sekali.
2. Rantai globin alfa yang terbentuk tidak semua dapat berikatan dengan rantai globin beta →
peningkatan HbF dan HbA2. 
3. Selain itu terbentuk pula rantai tetramer alfa yang tidak stabil yang mudah terurai. 
4. Rantai globin alfa bebas → tidak larut → membentuk presipitat yang memicu lisis eritrosit di
mikrosirkulasi (limpa) dan destruksi di sumsum tulang.

5. Gangguan oksigenasi→ kelainan hemoglobin → hipoksia jaringan → tubuh mengkompensasi


dengan membentuk eritrosit baru (eritropoesis inefektif). 

e. Diagnosis
 Anamnesis
 Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan. Pada thalassemia
β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia yang lebih tua.
 Riwayat transfusi berulang; anemia pada thalassemia mayor
 memerlukan transfusi berkala.
 Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.
 Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya splenomegali.
 Etnis dan suku tertentu; angka kejadian thalassemia lebih tinggi pada ras
Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara.
 Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat
 Px Fisik :
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan keadaan umum lemah, pucat pada wajah dan
ekstremitas, sklera ikterik, facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua
mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi), splenomegali, gagal tumbuh, gizi
kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit
 Px Penunjang
 Darah lengkap : Anemia dengan Hb <7 g/dL, mean corpuscular volume (MCV)
<80 fL (mikrositik) dan mean corpuscular hemoglobin (MCH) < 27pg
(hipokromik), peningkatan red cell distribution width (RDW) tapi tidak di atas
14.5% (dd/ ADB → RDW >14,5%) dan retikulosit meningkat (ADB retikulosit
menurun).
 Apus darah tepi : Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk
fragmentosit dan teardrop), mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan
Pappenheimer, sel target, dan eritrosit berinti (menunjukan defek
hemoglobinisasi dan diseritropoiesis). Total hitung dan neutrofil meningkat
 Bila telah terjadi hipersplenisme→ leukopenia, neutropenia, dan
trombositopenia.
 Analisis Hb dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) :

 Alat ukur kuantitatif HbA2 dan HbF, dan dapat dipakai untuk
mengidentifikasi dan menghitung varian hemoglobin secara presumtif.
 HbF dominan (>90%) → thalassemia β berat, kecuali pasien telah
menerima transfusi darah dalam jumlah besar sesaat sebelum
pemeriksaan. 
 HbA tidak terdeteksi sama sekali pada thalassemia β0 homozigot, 
 HbA masih terdeteksi sedikit pada thalassemia β+. 
 Peningkatan HbA2 dapat memandu diagnosis thalassemia β trait. 
1) Kadar HbA2 mencerminkan derajat kelainan yang terjadi. 
2) HbA2 3,6-4,2% pada thalassemia β+ ringan.
 HbA2 normal tidak langsung menyingkirkan diagnosis thalassemia. 
1) HbA2 dapat menjadi lebih rendah dari kadar sebenarnya akibat kondisi
defisiensi besi, sehingga diperlukan terapi defisiensi besi sebelum
melakukan HPLC ulang untuk menilai kuantitas subtipe Hb. 
2) Feritin serum rendah → defisiensi besi, namun tidak menyingkirkan
kemungkinan thalassemia trait. 
 Analisis Hb elektroforesis Hb
 Hb varians kuantitatif (electrophoresis cellose acetat membrane),
 HbA2 kuantitatif (metode mikrokolom),
 HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit), atau pemeriksaan
elektroforesis menggunakan capillary hemoglobin electrophoresis.
 DNA
 Upaya diagnosis molekuler thalassemia, yang dilakukan pada kasus atau
kondisi tertentu: 
 Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan
pemeriksaan hematologi: 
o Diagnosis thalassemia β mayor → banyak menerima transfusi.
Diagnosis dapat diperkuat dengan temuan thalassemia β heterozigot
(pembawa sifat thalassemia beta) pada kedua orang tua 
o Identifikasi karier dari thalassemia β silent, thalassemia β dengan HbA2
normal, thalassemia α0, dan beberapa thalassemia α+. c. Identifikasi
varian hemoglobin yang jarang. 
 Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal. 

f. Tatalaksana
 Transfusi : Hb < 7 g/ dl  → periksa 2 kali berturut- turut dengan jarak 2 minggu di antara
sampel
 Hb >/= 7 g/dl disertai gejala klinis : facies cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur
  tulang, hematopoiesis ekstramedular

Evaluasi sebelum transfusi 


 Profil besi: feritin serum, serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC) 
 Kimia darah berupa uji fungsi hati; SGOT, SGPT, PT, APTT, albumin, bilirubin indirek, dan bilirubin
direk. 
 Fungsi ginjal : ureum, kreatinin d. Golongan darah: ABO, Rhesus e. Marker virus yang dapat
ditransmisikan melalui transfusi darah: antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibodi
Hepatitis C (anti-HCV), dan antibodi HIV (anti-HIV). f. Bone age
 Terapi kombinasi DFO (deferoksamin) dan DFP hanya di berikan pada pasien → Feritin >/=
3000, adanya gangguan fungsi jantung, pasien yang mengkonsumsi asam folat 2x1 mg/hari dan
Vit E 400 IU/ hari
 Pemantauan :
 Pertumbuhan
 Kadar feritin berkala, status besi
 Fungsi Jantung
 Fungsi endokrin
 Visual
 Pendengaran
 Serologi virus
DENGUE HEMORAGIC FEVER (FARAH)

a. Definisi
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus dengue yang memiliki 4 serotipe yakni DENV-1, DENV-2, DENV-3,
dan DENV-4 dan ditularkan melalui vektor berupa nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, DENV-3 merupakan serotipe dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe DENV-2
b. Etiologi

 Dengue ada 4 strain → DENV 1, 2, 3 dan 4. 


Mayoritas tipe 1 sejak tahun 2010an. 
 Sebarkan oleh vector nyamuk → aedes aegepty, aedes albopictus → awalnya di tropical
dan subtropical zones, tapi sekarang ditemukan di semua kontinen kecuali antartica →
juga spread Zika virus, JE, yellow virus. 
  Nyamuk aedes aegypti:
 The normal feeding period of dengue mosquito is during the day time.
 Dengue mosquito is attracted to carbon dioxide and heat. Thus, your sweat
producing body parts are potential detectors of a mosquito bite. That’s why
larger people are preferred by dengue mosquito as they sweat more.
 Dengue mosquitoes breed in clean water. 
 Adult Aedes mosquitoes can fly only up to 200 to 400 meters.
 Importantly, one mosquito bite is sufficient enough to transmit the dengue
virus and make you sick for days.
 Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup pada serotipe
tersebut, tapi tidak untuk serotipe lain

c. Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit dalam infeksi dengue dibagi kedalam 3 fase yakni fase demam, fase kritis, dan
fase pemulihan dengan masa inkubasi berkisar dari 4 hingga 10 hari 6. 
1. Fase Demam (0-3 hari) 
Manifestasi yang timbul pada fase ini berupa demam yang mendadak tinggi hingga
dapat mencapai 40°C, terus menerus, kadang bifasik, dengan durasi yang dapat berlangsung 2-7
hari. Keluhan yang menyertai demam dapat berupa adanya kemerahan pada wajah, nyeri retro-
orbital, nyeri kepala, myalgia, dan athralgia. Selain manifestasi tersebut dapat muncul gejala berupa
mual dan muntah, nyeri pada epigastrium, nyeri abdomen difus, nyeri pada subcostal kanan,
terkadang disertai nyeri tenggorokan. Terkadang dapat juga ditemukan adanya kemerahan pada
faring dan konjungtiva 6.  
2. Fase Kritis (3-7 hari) 
Gejala yang menandai masuknya pasien dalam fase kritis adalah penurunan suhu pada
demam hingga mencapai 37,5-38°C atau kurang dan menetap pada suhu tersebut. Kemungkinan
terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler dengan perembesan plasma memungkinkan
pasien untuk mengalami syok hipovolemik pada fase ini. Kemunculan warning sign biasanya
mendahului fase syok. Beberapa tanda warning sign yang harus diwaspadai pada pasien yang
sedang melalui fase kritis diantaranya muntah persisten sebanyak 3 kali atau lebih dalam 12 jam dan
tidak menoleransi intake cairan oral, nyeri atau nyeri tekan abdomen yang berlangsung terus
menerus dengan intensitas yang meningkat hingga mengganggu aktivitas, penurunan kesadaran
atau iritabel, adanya tanda perdarahan mukosa seperti terjadinya epistaksis, perdarahan gusi,
petekia, purpura, serta perdarahan di konjungtiva atau subkonjungtiva, teraba adanya pembesaran
hati lebih dari 2 cm pada pemeriksaan fisik, ditemui adanya akumulasi cairan dengan manifestasi
dapat berupa edema, asites, atau efusi pleura, dan peningkatan kadar hematokrit disertai
penurunan cepat jumlah trombosit. Adanya penurunan trombosit secara cepat kurang dari 100.000
sel/mm3 serta peningkatan hematokrit di atas nilai normal merupakan pertanda adanya
perembesan plasma.  
3. Fase Pemulihan 
Terjadinya reabsorbsi cairan ekstravaskular secara bertahap selama 48-72 jam pasca
melalui fase kritis menandai masuknya pasien dalam fase pemulihan. Manifestasi pada fase ini
umumnya sudah membaik, baik dari nafsu makan, gejala gastrointestinal, status hemodinamik,
bahkan perbaikan diuresis. Hasil laboratorium untuk hematokrit dapat menunjukkan hasil yang
stabil atau lebih rendah dari normal karena adanya dilusi dari penyerapan cairan sementara jumlah
leukosit akan meningkat segera pasca masa defervescence dan setelahnya jumlah trombosit akan
meningkat hingga kembali normal 6.

d. Klasifikasi

Klasifikasi infeksi dengue menurut WHO tahun 2009 yang merupakan perbaikan atau revisi dari
klasifikasi WHO tahun 1997 terbagi menjadi dua kelompok menurut derajat penyakit, yaitu dengue dan
severe dengue; dengue dibagi lebih lanjut menjadi dengue dengan atau tanpa warning signs (dengue ±
warning signs)
Dengue without warning signs disebut juga sebagai probable dengue. Diagnosis infeksi
dengue ditegakkan apabila terdapat demam ditambah minimal dua gejala berikut: mual disertai
muntah, ruam (skin rash), nyeri pada tulang, sendi, atau retro-orbital, serta uji torniket positif . 
6,7

Dengue with warning signs, secara klinis terdapat gejala nyeri perut, muntah terus-
menerus, perdarahan mukosa, letargi/gelisah, pembesaran hati ≥2cm, disertai kelainan parameter
laboratorium, yaitu peningkatan kadar hematokrit yang terjadi bersamaan dengan penurunan
jumlah trombosit, dan leukopenia.. Warning signs berarti perjalanan penyakit yang sedang
berlangsung mendukung ke arah terjadinya penurunan volume intravaskular . 6,7

Infeksi dengue diklasifikasikan sebagai severe dengue apabila terdapat severe plasma
leakage (perembesan plasma hebat), severe bleeding (perdarahan hebat), atau severe organ
impairment (keterlibatan organ yang berat) yang dijelaskan sebagai berikut :  6,7

 Severe plasma leakage akan menyebabkan syok hipovolemik dengan atau tanpa
perdarahan (pada klasifikasi WHO 1997 dimasukkan dalam sindrom syok dengue) dan
atau penimbunan cairan disertai distres respirasi.  
 Severe bleeding didefinisikan bila terjadi perdarahan disertai kondisi hemodinamik yang
tidak stabil sehingga memerlukan pemberian cairan pengganti dan atau transfusi darah.
Kondisi yang dimaksud dengan perdarahan adalah semua jenis perdarahan, seperti
hematemesis, melena, atau perdarahan lain yang dapat mengancam kehidupan. 
 Severe organ involvement, termasuk gagal hati, inflamasi otot jantung (miokarditis),
keterlibatan neurologi (ensefalitis), dan lain sebagainya.
Pengelompokan severe dengue sangat diperlukan untuk kepentingan praktis terutama
dalam menentukan pasien mana yang memerlukan pemantauan ketat dan mendapat pengobatan
segera . 
6,7
Gambar 3. Perbandingan Klasifikasi DHF Lama dan Baru

 Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia dan syok. Perembesan
plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal
selama 24-48 jam. Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat
ini suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan namun
pada DBD berat merupakan tanda awal syok

e. Patofisiologi

Immune system, liver, endothelial lining blood vessels 


1. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang mengandung virus dengue 
2. Setelah virus masuk ke dalam aliran darah akan terjadi infeksi pada sel langerhans imatur
(epidermal dendritic cells dan keratinocytes) yang berada di epidermis dan dermis 
3. Sel yang terinfeksi akan memasuki kelenjar limfe dan selanjutnya terjadi infeksi sel monosit dan
makrofag yang menjadi target infeksi dengue. 
4. Monosit dan makrofag tidak bisa hold viral replication → sehingga menjadi increase viral load →
dan ini menjadi VIREMIA 
5. Viremia primer → mengakibatkan infeksi pada monosit dan mielosit yang bersirkulasi sehingga
terjadi infeksi pada makrofag yang berada di hati dan limpa. → monosit dan makrofag terinfeksi
oleh virus → secrete sitokin → menyebabkan early non-specific symptoms. 
6. Virus ini akan ke sumsum tulang → sehingga terjadi trombositopenia dan leukopenia. 
7. Hepatosit damage → Increase SGOT dan SGPT. 
8. Endothelial cell damaged dan trombositopenia → hemorrhagic manifestations. 
9. PERAN SEL -T: dia bakal interact sama APC sehingga memicu proliferasi dan produksi sitokin
proinflamatory → TNFa, interferon gamma → sitokin ini akan berdampak pada endotel vaskular →
terjadi plasma leakage. 
10. Respons imun pada infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue yang berbeda → diawali dengan
IgG antidengue yang ada dengan kadar yang tinggi dan selanjutnya akan membentuk kompleks imun
dengan virus dengue yang baru masuk (kompleks antigen-antibodi). 
11. Kompleks imun yang terjadi tersebut mengakibatkan uptake virus oleh reseptor sel
monosit/makrofag meningkat → replikasi virus meningkat → viral load meningkat. 
12. Sel mononuklear yang terinfeksi akan mati (apoptosis), namun sel dendrit akan terangsang untuk
mengeluarkan mediator yang akan berperan dalam inflamasi dan hemostasis. 
13. Saat terjadi syok, virus sudah tidak dapat dideteksi lagi → respons pejamu akan memegang peran
penting pada patogenesis infeksi dengue. 
14. Hati merupakan organ penting → peningkatan enzyme transaminase berhubungan dengan
peningkatan tendensi terjadinya perdarahan. 
15. Virus juga mengakibatkan apoptosis hepatosit dan nekrosis, walaupun reaksi inflamasi dalam
jaringan hati sangat terbatas. 
16. Sel endotel pembuluh darah memegang peran dalam respons koagulasi akibat inflamasi 
KENAPA EDEMA CUMAN PARU DAN ABDOMEN → keterlibatan sel endotel terutama pada
pembuluh darah pulmonal dan abdominal. Karena apoptosisnya pada endothel pembuluh
darah pulmonal dan abdominal, sehingga ini plasma leakage hanya disini. 

Kenapa orang yang terkena dengue kalo kena dengue lagi akan lebih parah?  
Antibody dengue enhancement (ADE) → seorang mendapatkan infeksi untuk kedua kali dengan serotipe
yang berbeda akan menyebabkan dengue berat. 
Ada receptor Fcg pada permukaan sel makrofag mononuklear → antibody enhancing immunoglobulin G
(unneutralized antibody) akan mengikat virus untuk menempel pada permukaan sel makrofag dan
membawa infectious virion mendekati receptor → jadi virus specific antibody dan receptor Fcg bekerja
sama sebagai coreceptor sehingga ikatan menjadi kuat dan meningkatan jumlah sel yang terinfeksi. 
Terlaporkan juga karena ada IgM dan reseptor komplemen C3. 
Jadi pada pasien yang terinfeksi dengan dengue, pre-existing antibodi dapat mengakibatkan
peningkatan viral load, memperpendek masa inkubasi, dan peningkatan derajat keparahan penyakit. 
Di pihak lain, cell mediated immunity berperan pada keberadaan receptor Fcg pada permukaan sel maka
ADE dapat merusak sel tersebut. 
 Antibodies produced by B cells → they will bind  to toxin, virus, bacteria. 
 When an ab binds with something, stops it from entering cell → neutralization. 
 Antibody variable region → ini specific for one piece for one protein, binds to target antigen.
Constant region → ini binds to the IMMUNE CELL → macrophage (innate immune system). 

Pathogenesis: 
 Primary infection 
o Dengue virus enters the body → it induce immune system → B lymphocytes will then
differentiate into plasma cells → producing antibodies → ada neutralizing dan non-neutralizing
antibodies. 
o Neutralizing antibodies → will bind to serotype 1 dengue virus → after binding, it neutralizes →
degrades the virus. ANTIGEN IS KILLED. It is removed from the circulation. 
 Secondary infection
o Non-neutralizing antibody → instead of killing the virus → dia akan protect the virus. React with
serotype 2 during the second exposure. They will coat the virus. Instead of killing the virus, it will
protect from immune system → virus cannot be killed. Virus profilerates. Form antigen-antibody
complex → formation of complement pathway → recruit of inflammatory cells →  this will cause
cytokine release → ini cause highgrade fever (interleukins), thrombocytopenia (cytokine-
mediated platelet damage), increase packed cell volume, hepatomegaly, fluid loss → cytokines
cause vasodilation. 

f. Diagnosis
g. Pemeriksaan Penunjang
 Hematologi :
 Pada fase awal demam: DPL masih normal
 Fase akhir demam: leukopenia (leukosit <4K sel/mm3), limfositosis relatif → dengan
peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam memasuki fase kritis 
 Jumlah trombosit mulai turun saat demam mulai turun <100K/uL 
 Trombositopenia di hari ke 3-8 → mendahului peningkatan hematokrit 
 Peningkatan hematokrit lebih dari 20% pada fase kritis. 
 Fase penyembuhan: penurunan hematokrit dan peningkatan trombosit 
 Pada dengue shock (ABCS) 
o Periksa AGD → cari asidosis dan hipoksia.
o Bleeding → kalo hematokrit menurun dibandingkan pemeriksaan sebelumnya →
periksa goldar + siapkan transfusi  
o Calsium → hipokalsemia. Talaks pada kasus berat atau dengan komplikasi. 
o Sugar → cenderung hipoglikemi karena nafsu makan menghilang, kadang bis aa dam
untah, gangguan fungsi hati. 

 Antigen virus dengue

 Antigen NS-1 → ini glikoprotein yang diproduksi oleh virus dengue. 


 Ini terdeteksi saat terjadinya viremia → hari pertama demam, menghilang setelah 5 hari
tetapi sensitivitas dan spesifisitas TINGGI saat hari 1 dan 2 demam, kemudian menurun
 Serologis

 Serologi IgM dan IgG 


 IgM → di hari kelima, hilang setelah 90 hari 
 Kalo infeksi primer → IgM baru IgG 
 Kalo infeksi sekunder → IgG baru IgM. IgG bertahan lebih lama di serum. 
 Radiologi
 Right lateral decubitus → terlihat kesuraman di lapangan hemitoraks kanan → gambaran
hemitoraks kanan lebih opaque dibandingkan kiri)
 Gambaran lebih padat di daerah hilus kanan disertai dengan gambaran diafragma kanan
lebih tinggi daripada kiri.
 Efusi pleura pada hemithorax kanan merupakan temuan selalu ada jika hemokonsentrasi
lebih dari 20%.
 USG untuk asites
h. Tatalaksana --> adakah aturan cairan/nutrisi tertentu?

Tata laksana dengue bergantung pada klasifikasi dengue menurut manifestasi klinis baik dengue tanpa
warning sign, dengan warning sign, dan severe dengue. Prinsip penatalaksanaan pasien dengue dibagi
menjadi 3 kelompok yakni grup A,B, dan C, sebagai berikut 6:

1. Tata laksana Grup A

Penanganan pasien berdasarkan tata laksana grup A dipilih bila pasien mampu memenuhi kebutuhan
cairan oral dengan adekuat dan buang air sekurang-kurangnya tiap 6 jam sekali, tidak ditemukannya
tanda bahaya (warning sign), kondisi hemodinamik serta hematokrit yang stabil, dan tidak adanya
komorbid. Pasien akan diberikan perawatan rawat jalan, walau begitu tetap harus dilakukan observasi
tiap harinya yang mencakup volume asupan cairan oral dan keluarannya, output urin, warning sign,
tanda kebocoran plasma, hematokrit, leukosit, dan trombosit sehingga pasien harus kontrol ke poliklinik
tiap hari untuk dipantau progresi penyakitnya hingga melewati fase kritis. Perawatan yang dianjurkan
untuk diikuti oleh pasien rawat jalan sebagai berikut:

a. Mengedukasi pasien terkait tanda bahaya (warning sign) dan anjuran untuk segera ke rumah sakit bila
menjumpai tanda-tanda tersebut.

b. Mendorong pasien untuk meningkatkan asupan cairan melalui Oral Rehydration Solution (ORS), jus,
serta cairan lainnya yang mengandung elektrolit dan gula.

c. Berikan parasetamol oral pada pasien dengan demam bila pasien merasa tidak nyaman. Interval
pemberian adalah 4-6 jam dengan dosis maksimal 4g/ hari. Bila pasien masih demam tinggi, beri
kompres hangat.

d. Bila keadaan klinis pasien tidak membaik, terjadinya nyeri abdomen yang berat, muntah terus
menerus, akral dingin dan basah, letargi, perdarahan, dan tidak ada diuresis lebih dari 4-6 jam anjurkan
keluarga pasien untuk segera membawa pasien ke rumah sakit.

2. Tata laksana Grup B

Pasien yang ditangani dengan tata laksana grup B merupakan pasien dengan kondisi penyerta atau
pasien dengan tanda bahaya (warning sign), atau bila pasien memiliki kondisi sosial tertentu seperti
domisili dengan jarak yang jauh dari fasilitas kesehatan dan keterbatasan transportasi, atau pasien yang
hidup sendiri walaupun tak disertai dengan adanya warning sign. Pasien dengan kondisi ini umumnya
harus dibawa ke pelayanan kesehatan sekunder, terutama bila perjalanan penyakit pasien memasuki
fase kritis. Jika pasien tidak ditemui adanya warning signs, pertama dapat menganjurkan pasien untuk
meningkatkan intake cairan oral, bila tidak dapat terpenuhi maka mulai terapi cairan intravena dengan
NaCl 0,9% atau ringer laktat dengan atau tanpa dekstrose dengan tetesan rumatan.
Pasien dengan tanda bahaya dapat diberikan tata laksana sebagai berikut:

a. Periksakan hematokrit pasien sebelum terapi cairan. Pasien diberikan cairan isotonik seperti NaCl
0,9%, Ringer Lactate, atau cairan Hartmann’s. mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan turunkan lagi ke 2-3 ml/kg/jam atau kurang.

b. Nilai kondisi klinis pasien dan periksa kembali hematokrit pasien. Bila sama atau sedikit meningkat,
lanjutkan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam berikutnya.

c. Bila terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan hematokrit yang signifikan maka naikkan cairan
menjadi 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam berikutnya. Kemudian nilai kembali kondisi klinis dan periksa
hematokrit.

d. Pertahankan diuresis 1 ml/kgBB/jam dengan memberikan cairan intravena secukupnya untuk


menjaga perfusi, umumnya cairan diberikan dalam waktu 24-48 jam.

Pasien tanpa tanda bahaya dapat dilakukan tata laksana sebagai berikut:

a. Minta pasien untuk meningkatkan konsumsi cairan, bila belum bisa terpenuhi berikan cairan
intravena NaCl 0,9% atau ringer laktat dengan atau tanpa dextrose.

b. Berikan volume cairan minimum yang diperlukan untuk menjaga perfusi dan keluaran urin. Umumnya
terapi cairan intravena dilakukan selama 24-48 jam.

c. Pasien dilakukan observasi meliputi suhu, volume asupan dan keluaran cairan, volume dan frekuensi
diuresis, warning sign, hematokrit, dan leukosit serta trombosit.

3. Tata laksana Grup C

Pasien yang diberikan penatalaksanaan grup C merupakan pasien dengan keadaan perembesan plasma
yang masif sehingga mengakibatkan syok dan atau akumulasi cairan yang disertai tanda distress napas,
perdarahan hebat, dan kerusakan pada organ yang berat. Pasien yang termasuk kedalam kategori
tersebut memerlukan perawatan di rawat inap rumah sakit. Pasien syok harus diobservasi ketat hingga
masa kritis dapat terlewati. Observasi meliputi tanda vital dan perfusi perifer. Pasien dengan syok
hipotensif diberikan penanganan sebagai berikut:

a. Oksigenasi

b. Berikan resusitasi cairan intravena dengan koloid atau kristaloid tetesan awal 20ml/kg sebagai bolus
dalam 15 menit untuk mengatasi syok dengan cepat.

c. Bila keadaan pasien membaik lanjutkan cairan selama 1 jam dengan tetesan

10 ml/kg/jam, kemudian dilanjutkan dengan larutan kristaloid yang berangsur-angsur dikurangi menjadi
5-7 ml/kg/jam atau kurang, dapat dipertahankan hingga 24 jam berikutnya. Jumlah dan kecepatan
tetesan diatur sesuai kondisi klinis pasien.

d. Cek tanda vital pasien dan apabila belum stabil maka lakukan pemeriksaan kembali hematokrit pasien
sebelum pemberian bolus, bila hematokrit lebih rendah dari nilai dasar pikirkan kemungkinan
perdarahan.
e. Bila hematokrit lebih tinggi dibandingkan nilai awal ganti larutan dengan jenis koloid 10-20 ml/kg/jam
selama 30 menit hingga 1 jam sebagai bolus kedua. Kemudian nilai ulang kondisi klinis pasien.

f. Bila membaik kurangi tetesan menjadi 7-10 ml/kg/jam 1-2 jam, kemudian ganti menjadi kristaloid dan
kurangi tetesan infus bertahap.

Kriteria pemulangan

 Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 


 Nafsu makan membaik 
 Secara klinis tampak perbaikan 
 Hematokrit stabil 
 Tiga hari setelah syok teratasi 
 Jumlah trombosit > 50.000/ml 
 Tidak dijumpai distres pernapasan

Pertanyaan kloter sebelumnya :

1. Kenapa terjadi leukopenia pada pasien dengue?


Jawab: hipotesisnya dapat terjadi karena DENV dapat mengakibatkan supresi dari bone marrow.
2. Mengapa terjadi limfositosis relative dan apakah menjadi penanda berlangsungnya fase tertentu pada
dengue?
• Limfositosis relative terjadi karena terjadi leukopenia, disertai dengan peningkatan persentase limfosit
karena limfosit berkaitan dengan respons terhadap infeksi virusà infeksi virus umumnya menginduksi
aktivasi dari limfosit
• limfositosis relative sering ditemukan pada akhir fase demam atau saat akan masuk fase kritis.
3. Mengapa terjadi trombositopenia pada pasien dengue?
Jawab: trombositopenia dikaitkan dengan DENV yang dapat mempengaruhi sel progenitor bone marrow
dengan menghambat fungsinyaà menurunkan kapasitasi proliferative dari sel hematopoetik. Dan juga
karena ada peningkatan destruksi dari plateletà aktivasi komplemen akibat adanya ikatan antara
platelet dengan antigen virus dengue atau fragmennya.
4. Apa yang membedakan demam dengue dengan dd nya yakni infeksi chikungunya?
Jawab: sebenarnya DD dan chikungunya sangat mirip, bahkan vektornya juga sama sama nyamuk. Pada
chikungunya, durasi demam umumnya berlangsung lebih cepat (1-2 hari) sementara DD bisa mencapai
(2-7 hari rata2 5-7 hari). Pada chikungunya athralgia sangat prominen dan berlangsung bisa lebih dari
seminggu bahkan bisa menetap hingga beberapa bulan kemudian. Poliathralgia pada chikungunya
terasa paling nyeri pada pagi hari dan berkurang dengan latihan. Pada dengue pemeriksaan lab sering
ditemui trombositopenia sementara pada chikungunya jarang.
5. Apakah dengue tanpa warning sign menjadi penanda pasti bahwa nantinya dengue pasien tidak akan
mengarah menjadi severe dengue?
Jawab: Tidak, belom tentu pasien dengan klasifikasi dengue tanpa warning sign nantinya tetap tidak
menjadi severe dengue. maka dari itu, pasien tanpa warning sign pun harus tetap dipantau kondisi
klinisnya. Terutama bila pasien dengan komorbid, meningkatkan resiko berprogress ke dengan warning
sign/ severe dengue.
6. Manakah klasifikasi yang digunakan untuk mendiagnosis dengue? apakah ada kelebihan dan kekurangan
dari klasifikasi tersebut?
Jawab: Pada pnpk 2021 lebih dihighlight yang WHO tahun 2009 dan juga tatalaksananya   dikaitkan dengan
ada tidaknya warning sign atau justru ke arah severe dengue. kekurangannya dia cenderung sangat
sensitive, tapi bisa meningkatkan kewaspadaan kecenderungan kea rah syok.
7. Mengapa klasifikasi yang digunakan adalah yang WHO tahun 2009?
Jawab: karena kalo berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2011 dengan kategori demam yang tidak dapat
dikenali, demam dengue, dan DBD. Dimana DBDB dibagi lagi dalam 4 stadium yang memerlukan hasil
pemeriksaan trombosit dan hematokrit. Klasifikasi ini sulit dilakukan pada praktik klinis dengan fasilitas
dan sarana yang terbatas. Sehingga digunakan klasifikasi WHO tahun 2009
8. Mengapa pada seseorang yang terinfeksi dengue untuk yang kedua kalinya bisa mengalami klinis yang
lebih berat?
Jawab: ADE. Ketika antibody terhadap DENV dari infeksi sebelumnya, berikatan dengan DENV pada infeksi
yang baru namun memiliki serotipe berbeda. Antibodi dari infeksi yang pertama tidak mampu
menetralisasi virus, dan justru kompleks Ab-virus akan berikatan dengan reseptor monosità malah
ngebantu virus untuk menginfeksi monosità peningkatan replikasi virusà meningkatkan resiko severe
dengue.
9. Tadi pada tatalaksana grup A pasien dilakukan rawat jalan, edukasi apa yang perlu disampaikan ke orang
tua terkait tata laksana dilakukan rawat jalan di rumah?
Jawab:
• Ingatkan ortu pasien untuk segera membawa ke RS bila ditemukan adanya warning sign, kondisi klinis
tidak membaik, saat suhu turun, ekstremitas lembab dan dingin, tanda perdarahan seperti bab hitam
atau muntah coklat kehitaman, sulit bernapas
• Jangan memberikan anak ibuprofen, melainkan berikan paracetamol, serta tidak perlu memberikan
antibiotic.
• Tingkatkan asupan cairan oral ke anak pasienà jus, oralit, air kelapa, dan lainnya
10. Pada pasien dengue dapat mengalami trombositopenia, apakah bisa diberikan profilaksis transfusi
trombosit?
Jawab: sebenarnya ini cukup kontroversial, berdasarkan guideline tidak direkomendasikan untuk diberikan
pada penderita infeksi dengue. pada pasien anak, tidak ditemukan keuntungan dari transfuse platelet
profilaksis, justru malah meningkatkan resiko fluid overload dan tidak ada perbedaan tendency
hemorrhagik antara pasien yang diberikan profilaksis trombosit dan yang tidak.
11. Secara teori pada pasien dengue dapat ditemukan peningkatan hematokrit, namun apakah mungkin
bila pada kasus dengue hematokrit justru ditemukan menurun?
Jawab: bisa saja terjadi penurunan hematokrit dalam keadaan

IMUNISASI KEJAR 
Polio 1x, dpt 2, hep b 2, campak 1 , bcg, hpv 2 x
SLE

a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Diagnosis
e. Pemeriksaan Penunjang
f. Tatalaksana --> adakah aturan cairan/nutrisi tertentu?
SYNOVIAL SARCOMA

a. Definisi
a rare type of cancer that tends to occur near large joints, mainly the knees
b. Etiologi
The breakpoint of this translocation fuses the SS18 (previously calledSYT) gene from
chromosome 18 to one of three homologous genes, SSX1, SSX2, and SSX4 on the X chromosome.
c. Diagnosis

Tanda Keganasan → ini semua ditanyakan dari awal perjalanan penyakitnya, bukan yang sekarang
1. Penurunan berat badan > 3kg dalam 1 bulan yang tidak dapat dideskripsikan (tanpa diet, tanpa
ada penyakit spt diare, tanpa penyakit TB)
2. Demam sumeng - sumeng / subfebris atau febris prolonged
3. Organomegali -> bisa ditempat dia kankernya. Atau kalo kanker darah bisa di hepar dan spleen
nya
4. Trombositopenia
5. Leukopenia atau leukositosis
6. Hb menurun -> anemia keganasan
7. Gejala yang mengarah ke keganasannya : Tanya ke tempat sendi besar 
8. Demam lama

d. Pemeriksaan Penunjang
Xray : well-defined or lobulated soft tissue mass on plain radiographs.
MRI : edema soft tissue, gadolinum : ada perdarahan atau engga
Biopsi
e. Tatalaksana --> adakah aturan cairan/nutrisi tertentu?

Random notes :

Anda mungkin juga menyukai