Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Akuntansi keuangan pemerintah daerah merupakan bagian dari akuntansi sektor
publik, yang mencatat dan melaporkan semua transaksi yang berkaitan dengan
keuangan daerah. Yang disebut keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Ruang lingkup keuangan negara yang
dikelola langsung oleh Pemerintah Pusat adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), dan yang dikelola langsung oleh Pemerintah Daerah adalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik APBN maupun APBD
merupakan inti dari akuntansi keuangan pemerintahan. Oleh karena itu, kedudukan
APBN dan APBD dalam penatausahaan keuangan dan akuntansi pemerintahan
sangatlah penting. APBN dan APBD merupakan rencana kegiatan pemerintah yang
dinyatakan dalam satuan uang dan meliputi rencana pengeluaran dan pemenuhan
pengeluaran tersebut. Setelah dikeluarkannya paket Undang-Undang Keuangan
Negara yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, maka informasi keuangan
negara yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dilengkapi dengan
informasi Neraca, Laporan Arus Kas, Catatan atas Laporan Keuangan, selain
informasi mengenai Laporan Realisasi APBN/APBD. Pelaporan keuangan
pemerintah selanjutnya harus mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintah seperti
yang tertuang dalam PP 24 Tahun 2005. Selanjutnya dalam PP No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah diatur bahwa Pemerintah Daerah harus
membuat sistem akuntansi yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Sistem
akuntansi keuangan pemerintah daerah adalah sistem akuntansi untuk mencatat,
menggolongkan, menganalisis, mengikhtisarkan dan melaporkan transaksi-transaksi
keuangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan
APBD.
1.2. Rumusan masalah
Makalah ini akan membahas tentang masalah-masalah
1. Bagaimana Pengertian Apa Pengertian Akuntansi ?
2. Bagaimana Kedudukan Akuntansi Keuangan Daerah ?
3. Bagaimana Sistem Pencatatan ?
4. Bagaimana Siklus Akuntansi ?
5. Bagaimana Asumsi Dasar ?
6. Bagaimana Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan ?
7. Bagaimana Basis Akuntansi ?
8. Bagaimana Prinsip Akuntansi dan Pelaporan Keuangan?
9. Contoh kasus

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Akuntansi ?
2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan akuntansi keuangan daerah?
3. Untuk mengetahui sistem pencatatan?
4. Untuk mengetahui siklus akuntansi ?
5. Untuk mengetahui bagaimana Asumsi Dasar ?
6. Untuk mengetahui karakteristik kualitatif laporan keuangan ?
7. Untuk mengetahui basis akuntansi ?
8. Untuk mengetahui prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan ?
9. Untuk mengetahui contoh kasus pada gambaran umum akuntansi keuangan daerah?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.1 Pengertian Akuntansi


Ada beberapa definisi dan pengertian akuntansi yang berasal dari beberapa lembaga
yang dilihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Menurut American
AccountingAssociation (1966) seperti dikutip Abdul Halim dan Muhammad Syam Kusufi
(2014), akuntansi adalah suatu proses pengindetifikasi, pengukuran, pencatatan, dan
pelaporan transaksi ekonomi (keuangan) dari suatu organisasi/entitas yang dijadikan sebagai
informasi dalam rangka pengambilan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang
memerlukan. Pengertian ini juga dapat melingkupi penganalisisan atas laporan yang
dihasilkan oleh akuntansi tersebut.
Abdul Halim dan Muhammad Syam Kusufi (2014) juga mengutip pengertian
akuntansi menurut Accounting Principles Board (1970), yang mana akuntansi merupakan
suatu kegiatan jasa yang fungsinya menyediakan informasi kuantitatif, terutama yang bersifat
keuangan tentang entitas ekonomi yang dimaksudkan agar berguna dalam pengambilan
keputusan ekonomis-dalam membuat pilihan-pilihan yang nalar di antara berbagai alternatif
arah tindakan, sementara PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
mendefinisikan akuntansi sebagai proses identifikasi, pencatatan, pengukuran,
pengklasifikasian, pengikhtisaran, transaksi dan kejadian keuangan, serta penginterprestasian
atas hasilnya.
Dari ketiga definisi akuntansi tersebut, maka definisi akuntansi dapat dilihat dari 2
sudut pandang, yaitu :
1. Fungsi kegunaan
Akuntansi merupakan aktivitas jasa yang berfungsi memberikan informasi kuantitatif
mengenai kesatuan-kesatuan ekonomi terutama yang bersifat keuangan yang bermanfaat
dalam pengambilan keputusan.
2. Proses kegiatan
Akuntansi adalah seni mencatat mengklasifikasikan, dan mengikhtisarkan transaksi-
transaksi kejadian yang sekurang-kurangnya atau sebagian bersifat keuangan dengan cara
menginterprestasikan hasil-hasilnya.
2.1.2 Kedudukan Akuntansi Keuangan Daerah
Secara umum akuntansi dibedakan atas akuntansi sektor swasta dan akuntansi sektor publik.
Menurut sugijanto,dkk. (1995) seperti yang dikutip Abdul Halim dan Muhammad Syam
Kusufi dalam Akuntansi Sektor Publik, akuntansi terdiri atas 3 bidang utama, yaitu:
1. Akuntansi Komersial/Perusahaan (Commercial Accounting)
Dalam akuntansi komersial, data akuntansi digunakan untuk memberikan informasi
keuangan kepada manajeme, pemilik modal, penanam modal, kreditur, dan pihak-
pihak lain yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut, seperti pemerintah untuk
kepentingan penetapan pajak. Akuntansi komersial adalah akuntansi yang digunakan
untuk mencatat peristiwa ekonomi pada entitas bisnis (perusahaan) yang mencari
keuntungan atau laba. Dalam akuntansi komersial ini, dikenal adanya proses
pencatatan harian, penjurnalan, posting ke buku besar, pembuatan neraca saldo,
pembuatan neraca lajur, dan pembuatan laporan keuangan. Laporan keuangan yang
dimaksud adalah neraca (laporan posisi keuangan). Laporan laba rugi, laporan arus
kas, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan.
2. Akuntansi Sektor Publik
Akuntansi sektor publik adalah akuntansi yang digunakan untuk mencatat peristiwa
ekonomi pada organisasi nonprofit atau nirlaba. Secara sederhana, akuntansi sektor
publik ini banyak dipakai oleh organisasi sektor publik, seperti partai politik, masjid,
puskesmas, rumah sakit, sekolah atau universitas, lembaga swadaya masyarakat, dan
pemerintahan pusat. Dalam praktik keseharian, pengelola entitas ekonomi perlu
memiliki keahlian akuntansi sektor publik agar laporan yang disajikan sesuai dengan
standar akuntansi keuangan sektor publik atau yang lebih dikenal dengan standar
akuntansi pemerintahan. Akuntansi sektor publik dibedakan atas: (a) akuntansi
pemerintah dan (b) akuntansi sosial.
a. Akuntansi Pemerintahan (govermental accounting)
Dalam akuntansi pemerintahan, data akuntansi digunakan untuk memberikan
informasi mengenai transaksi ekonomi dan keuangan pemerintah kepada pihak
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan masyarakat. Akuntansi pemerintahan
dibedakan atas akuntansi pemerintahan pusat dan akuntansi pemerintahan daerah
yang sering disebut dengan akuntansi keuangan daerah. Akuntansi pemerintah
daerah terdiri dari akuntansi pemerintah provinsi dan akuntansi pemerintah
kabupaten/kota. Akuntansi keuangan daerah adalah akuntansi yang digunakan
untuk mencatat peristiwa ekonomoi pada entitas ekonomi di lingkungan
pemerintahan daerah. Akuntansi keuangan daerah ini diperlukan sejalan dengan
semangat otonomi daerah yang harus mengelola keuangan daerah secara terpisah
dari pemerintahan pusat dan sekaligus melaporkan hasilnya secara transparan
kepada publik. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah perlu mengatur
standar akuntansi pemerintahan daerah agar dapat digunakan secara seragam di
seluruh pemerintahan daerah.
b. Akuntansi Sosial (Sosial Accounting)
Akuntansi sosial merupakan bidang akuntansi khusus untuk diterapkan pada
lembaga dalam artia makro yang melayani perekonomi nasional. Akuntansi sosial
adalah akuntansi yang digunakan untuk mencatat peristiwa ekonomi pada
organisasi non profit atau nirlaba. Secara sederhana, akuntansi sosial ini banyak
dipakai oleh organisasi sektor publik, seperti partai politik, masjid, puskesmas,
rumah sakit, sekolah atau universitas, dan lembaga swadaya masyarakat.
Berdasarkan Klasfikasi tersebut, kedudukan akuntansi keuangan daerah
(akuntansi pemerintah daerah) dapat dilihat pada tampilan 1.1 berikut:
Tampilan 1.1 Kedudukan Akuntansi Keuangan Daerah

Akuntansi

Akuntansi Komersil Akuntansi Sektor Publik

Pemerintah Sosial

Pusat Daerah

Kota Kabupaten
2.1.3 Sistem Pencatatan
Menurut Abdul Halim dan Muhammad Syam Kusufi dalam Akuntansi Keuangan
Daerah (2014), akuntansi keuangan daerah merupakan salah satu jenis akuntansi,
maka didalam akuntansi keuangan daerah juga terdapat proses pengidentifikasian,
pengukuran, pencatatan, dan pelaporan transaksi-transaksi keuangan ekonomi yang
terjadi di pemerintah daerah. Ada beberapa sistem pencatatan yang dapat digunakan
yaitu sistem pencatatan single entry, double entry, triple entry, sedangkan akuntansi
dapat menggunakan double entry dan triple entry.
1. Single entry
Sistem pencatatan single entrysering disebut juga dengan sistem tata buku
tunggal. Dalam sistem , pencatatan transaksi ekonomi dilakukan dengan
mencatatnya satu kali. Transaksi yang berakibat bertambahnya kas akan dicatat di
sisi penerimaan, sedangkan transaksi yang berakibat berkurangnya kas akan
dicatat di sisi pengeluaran di dalam buku kas umum (BKU). Single entry ini
disebut dengan pembukuan. Sistem pencatatan single entry memiliki beberapa
kelebihan, yaitu sederhana dan mudah dipahami. Namun, sistem ini memiliki
kelemahan, antara lain kurang bagus untuk pelaporan (kurang memudahkan
penyusunan laporan), sulit menemukan kesalahan pembukuan yang terjadi.
Disamping itu, sistem ini memiliki kelemahan karena tidak dapat menggambarkan
posisi keuangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, dalam akuntansi ada sistem
pencatatan yang lebih baik yang dapat mengatasi kelemahan tersebut, yakni
sistem pencatatan double entry.
2. Double Entry
Sistem pencatatan double entry sering disebut juga sistem tata buku berpasangan.
Menurut sistem ini, pada dasarnya suatu transaksi ekonomi akan dicatat dua kali,
dalam artian, bahwa setiap transaksi minimal akan memengaruhi dua perkiraan,
satu di sisi debit dan satu di sisi kredit. Sisi debit ada di sebelah kiri, dan sisi
kredit ada disebelah kanan. Dalam melakukan pencatatan tersebut, setiap
pencatatan harus menjaga keseimbangan antara sisi debit dan sisi kredit dari
persamaan dasar akuntansi. Pencatatan dengan sistem double entry sering disebut
dengan istilah menjurnal.
3. Triple entry
Sistem pencatatan triple entry pada dasarnya adalah sistem pencatatan yang
menggunakan double entry ditambah dengan pencatatan pada buku anggaran.
Pencatatan pada buku anggaran ini merupakan pencatatan tentang anggaran yang
telah digunakan sesuai dengan pencatatan pada double entry. Dengan adanya
catatan triple entryini, maka dapat dilihat sisa anggaran untuk masing-masing
komponen yang ada di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pencatatan
dengan sistem triple entry ini dilaksanakan saat pencatatan double
entrydilaksanakan, maka sub bagianpembukuan ( Bagian Keuangan) pemerintah
daerah juga mencatat transaksi tersebut pada buku anggaran.

2.1.4 Siklus Akuntansi


Menurut Abdul Halim dan Muhammad Syam Kusufi dalam Akuntansi Keuangan
Daerah (2014), akuntansi adalah suatu sistem. Suatu sistem mengolah input
(masukan) dan menjadi output (keluaran). Input sistem akuntansi adalah bukti-bukti
transaksi dalam bentu dokumen atau formulir. Outputnya adalah laporan keuangan.
Lebih lanjut dikatakan, dalam konteks akuntansi keuangan daerah terdapat
sistem akuntansi keuangan daerah. Sistem akuntansi keuangan daerah menurut
peraturan yang lama (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002) adalah sistem akuntansi yang
meliputi proses pencatatan, penggolongan, penafsiran, peringkasan transaksi atau
kejadian keuangan serta pelaporan keuangan dalam rangka pelaksana APBD,
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum. Dalam
sistem akuntansi keuangan daerah, contoh input-nya adalah bukti memorial, Surat
Tanda Setoran, atau Surat Perintah pencairan Dana Langsung (SP2D-LC). Sementara
contoh output-nya adalah laporan realisasi anggaran, laporan perubahan SAL, neraca,
laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas
laporan keuangan (PP No.71 Tahun 2010 tentang Kerangka Konseptual Akuntansi
pemerintahan, paragraf 28). Ilustrasi sistem akuntansi keuangan daerah dapat dilihat
pada tampilan 1.2
Tampilan 1.2 Sistem Akuntansi Keuangan Daerah
SISTEM AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH
Dokumen Catatan Laporan

Pencatatan dan
penggolongan peringkasan pelaporan
SP2D-LS dan Buku Buku Laporan
SPJ+BKU Jurnal Besar keuangan

Buku Kertas
Pembantu kerja

 Bukti Penerimaan  Buku Jurna l


Kumpulan  Laporan realisasi
Kas penerimaan kas
rekening anggaran
 Bukti pengeluaran  Buku Jurnal
(ringkasan dan  laporan perubahan SAL
kas pengeluaran kas
rincian)  neraca
 Bukti Memorial  Buku Jurnal Umum
 Laporan Operasional
 Laporan arus kas
 Laporan perubahan
ekuitas
 Catatan atas laporan
keuangan

Kebijakan akuntansi

Sumber: permendagri No.13 Tahun 2006 tentang pendoman pengelolaan Keuangan Daerah

Sistem akuntansi keuangan daerah yang telah digambarkan sebelumnya dapat


dijelaskan secara rinci melalui siklus akuntansi, siklus akuntansi adalah tahapan-tahapan yang
ada dalam sistem akuntansi. Berikut tahapan-tahapan tersebut menurut sugiri (2001).
1. Mendokumentasikan transaksi keuangan dalam bukti dan melakukan analisis
transaksi keuangan tersebut.
2. Mencatat transaksi keuangan dalam buku jurnal. Tahapan ini disebut menjurnal.
3. Meringkas dalam buku besar, transaksi-transaksi keuangan yang sudah dijurnal.
Tahapan ini disebut memposting atau mengakunkan.
4. Menentukan saldo-saldo buku besar di akhir periode dan memindahkannya ke
dalam neraca saldo.
5. Melakukan penyesuaian buku besar berdasarkan informasi yang paling terbaru
(up to date).
6. Menentukan saldo-saldo buku besar setelah penyesuaian dan memindahkannya
ke dalam neraca saldo setelah disesuaikan.
7. Menyusun laporan keuangan berdasarkan neraca saldo setelah disesuaikan.
8. Menutup buku besar.
9. Menentukan saldo-saldo buku besar dan memindahkannya ke dalam neraca
saldo setelah tutup buku.
Tahap siklus akuntansi tersebut dapat digambarkan seperti tampilan 1.3 berikut.
Tampilan 1.3 Siklus Akuntansi

Buku jurnal Buku Besar Neraca Jurnal Neraca saldo


transaksi saldo penyesuaian penyesuaian

 Laporan Realisasi
Buku Data Pendukung Anggaran
Pembantu Laporan Keuangan  Laporan Perubahan SAL
 Neraca
 Laporan Operasional
 Laporan Arus kas
 Laporan Perubahan
Ekuitas
 Catatan atas Laporan
Keuangan

Jurnal penutup

Neraca saldo setelah penutup


2.1.5 Asumsi Dasar
Berdasarkan PP No.71 Tahun 2010 tentang Kerangka Konseptual Akuntansi
Pemerintahan, Paragraf 31-34, asumsi dasar dalam pelaporan keuangan di lingkungan
pemerintah adalah anggapan yang diterima sebagai suatu kebenaran tanpa perlu
dibuktikan agar standar akuntansi dapat diterapkan, yang terdiri dari:

1. Kemandirian Entitas
Asumsi kemandirian entitas, berarti bahwa setiap unit organisasi dianggap sebagai
unit yang mandiri dan mempunyai kewajiban untuk menyajikan laporan keuangan,
sehingga tidak terjadi kekacauan antara-unit instansi pemerintah dalam laporan
keuangan. Salah satu indikasi terpenuhinya asumsi ini adalah adanya kewenangan
entitas untuk menyusun anggaran dan melaksanakannya dengan penuh tanggung
jawab. Entitas bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan sumber daya di luar
neraca untuk kepentingan yurisdiksi tugas pokoknya, termasuk atas kehilangan atau
kerusakan aset dan sumber daya dimaksud, utang-piutang yang terjadi akibat
putusan entitas, serta terlaksana atau tidaknya program yang telah ditetapkan.
2. Kesinambungan Entitas
Laporan Keuangan disusun dengan asumsi bahwa entitas pelaporan akan berlanjut
keberadaannya. Dengan demikian, pemerintah diasumsikan tidak bermaksud melakukan
likuidasi atas entitas pelaporan jangka pendek.
3. Keterukuran dalam satuan Uang (Monetary Measurement)
Laporan keuangan entitas pelaporan harus menyajikan setiap kegiatan yang
diasumsikan dapat dinilai dengan satuan uang. Hal ini diperlukan agar memungkinkan
dilakukannya analisis dan pengukuran dalam akuntansi.
2.1.6 Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan
Pp No.71 Tahun 2010 tentang Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan,
paragraf 35-40 menyebutkan bahwa karakteristik kualitatif laporan keuangan adalah ukuran-
ukuran normatif yang perlu diwujudkan dalam informasi akuntansi, sehingga dapat
memenuhi tujuannya. Keempat karakteristik berikut merupakan prasyarat normatif yang
diperlukan agar laporan keuangan pemerintah dapat memenuhi kualitas yang dikehendaki.
a. Relevan
Laporan keuangan bisa dikatakan relevan apabila informasi yang termasuk
didalamnya dapat memengaruhi keputusan pengguna dengan membantu mereka
mengevaluasi peristiwa masa lalu atau masa kini, dan memprediksi masa depan, serta
menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu. Dengan demikian,
informasi laporan keuangan yang relevan dapat dihubungkan dengan maksud
penggunaanya.
Informasi yang relevan:
1. Memiliki manfaat Umpan Balik (Feedback Value)
Informasi memungkinkan pengguna untuk menegaskan atau mengoreksi
ekspektasi mereka di masa lalu.
2. Memiliki manfaat prediktif (predictive value)
Informasi dapat membantu pengguna untuk memprediksi masa yang akan datang
berdasarkan hasil masa lalu dan kejadian masa kini.
3. Tepat waktu
Informasi disajikan tepat waktu, sehingga dapat berpengaruh dan berguna dalam
pengambila keputusan.
4. Lengkap
Informasi akuntansi keuangan pemerintah disajikan selengkap mungkin,
mencakup semua informasi akuntansi yang dapat memengaruhi pengambilan
keputusan dengan memperhatikan kendala yang ada. Informasi yang
melatarbelakangi setiap butir informasi utama yang termuat dalam laporan
keuangan diungkapkan dengan jelas agar kekeliruan dalam penggunaan informasi
tersebut dapat dicegah.
b. Andal
Informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan
kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur, serta dapat diverifikasi.
Informasi mungkin relevan, tetapi jika hakikat atau penyajiannya tidak dapat
diandalkan maka penggunaan informasi tersebut secara potensial dan menyesatkan.
Informasi yang andal memenuhi karakteristik:
1. Penyajian Jujur
Informasi menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya yang
seharusnya disajikan atau secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan.
2. Dapat diverifikasi (verifiability)
Informasi disajikan dalam laporan keuangan dapat diuji, dan apabila pengujian
dilakukan lebih dari sekali oleh pihak yang berbeda, hasilnya tetap menunjukkan
simpulan yang tidak berbeda jauh.
3. Netralitas
Informasi diarahkan pada kebutuhan umum dan tidak berpihak pada kebutuhan
pihak tertentu.
Ditambahkan dalam PP No. 71 Tahun 2010 tentang kerangka Konseptual
Akuntansi Pemerintahan, Paragraf 56-59 bahwa kendala informasi akuntansi dan
laporan keuangan adalah setiap keadaan yang tidak memungkinkan terwujudnya
kondisi yang ideal dalam mewujudkan informasi akuntansi dan laporan keuangan
adalah setiap keadaan yang tidak memungkinkan terwujudnya kondisi yang ideal
dalam mewujudkan informasi akuntansi dan laporan keuangan yang relevan dan
andal akibat keterbatasan (limitation) atau karena alasan-alasan kepraktisan.
Tiga hal yang menimbulkan kendala dalam informasi akuntansi dan laporan
keuangan pemerintah, yaitu:
1. Materialitas
Walaupum idealnya memuat segala informasi, laporan keuangan pemerintah
hanya diharuskan memuat informasi yang memenuhi kriteria materialitas.
Informasi dipandang material apabila kelalaian untuk mencamtumkan atau
kesahalan dalam mencatat informasi tersebut dapat memengaruhi keputusan
ekonomi pengguna yang diambil atas dasar laporan keuangan.
2. Pertimbangan Biaya dan Manfaat
Manfaat yang dihasilkan informasi seharusnya melebihi biaya penyusunannya.
Oleh karena itu, laporan keuangan pemerintah tidak semestinya menyajikan
segala informasi yang manfaatnya lebih kecil dari biaya penyusunannya.
Namun demikian, evaluasi biaya dan manfaat merupakan proses pertimbangan
yang substansial. Biaya itu juga tidak harus dipikul oleh pengguna informasi
yang menikmati manfaat. Manfaat mungkin juga dinikmati oleh pengguna lain
di samping mereka yang menjadi tujuan informasi, misalnya penyediaan
informasi lanjutan kepada kreditur mungkin akan mengurangi biaya yang
dipikul oleh suatu entitas pelaporan.
3. Keseimbangan antarakarakteristik kualitatif
Keseimbangan antarakarakteristik kualitatif diperlukan untuk mencapai suatu
keseimbangan yang tepat di antara berbagai tujuan normatif yang diharapkan
dipenuhi oleh pelaporan keuangan pemerintah. Kepentingan relatif
antarakarakteristik dalam berbagai kasus berbeda, terutama antara relevansi
dan keandalan. Penentuan tingkat kepentingan antara dua karakteristik
kualitatif tersebut merupakan masalah pertimbangan profesional.
c. Dapat Dibandingkan
Informasi yang termuat dalam laporan keuangan akan lebih berguna jika dapat
dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau laporan entitas
pelaporan lain pada umumnya. Perbandingan dapat dilakukan secara internal dan
eksternal. Perbandingan secara internal dapat dilakukan bila suatu entitas menerapkan
kebijakan akuntansi yang sama dari tahun ke tahun. Perbandingan secara eksternal
dapat dilakukan apabila entitas yang diperbandingkan menerapkan kebijakan
akuntansi yang sama. Apabila entitas pemerintah akan menerapkan kebijakan
akuntansi yang lebih baik daripada kebijakan akuntansi yang saat ini diterapkan,
perubahan tersebut diungkapkan pada periode terjadinya perubahan.
d. Dapat Dipahami
Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat dipahami oleh pengguna dan
dinyatakan dalam bentuk serta istilah yang disesuaikan dengan batas pemahaman para
pengguna. Untuk itu, pengguna diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai
atas kegiatan dan lingkungan operasi entitas pelaporan, serta adanya kemauan
pengguna untuk mempelajari informasi yang dimaksud.

2.1.6 BASIS AKUNTANSI


Basis akuntansi dalam akuntansi pemerintahan di Indonesia dimulai dengan akuntansi
berbasis kas, dilanjutkan dengan akuntansi berbasis kas menuju akrual dan akuntansi
berbasis akrual.
1. Akuntansi Berbasi Kas (Cash Based Accounting)
Akuntansi berbasis kas adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi
dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayarkan
(PSAP No. 1 Paragraf 8). Fokus pengukurannya pada saldo kas dan perubahan
saldo kas, dengan cara membedakan antara kas yang diterima dan kas yang
dikeluarkan. Ruang lingkup akuntansi berbasis kas ini meliputi saldo kas,
penerimaan kas, dan pengeluaran kas, keterbatasan sistem akuntansi berbasis kas
adalah keterbatasan informasi yang dihasilkan karena terbatas pada pertanggung
jawaban manajemen atas aset dan kewajiban.
2. Akuntansi Berbasis Kas menuju Akrual (Cash Toward Accrual Based
Accounting)
Akuntansi berbasis kas menuju akrual merupakan proses transisi. Dengan basis
ini, pendapatan, belanja, dan pembiayaan dicatat berdasarkan basis kas,
sedangkan aset, utang, dan ekuitas dana dicatat berdasarkan basis akrual (PP No.
24 Tahun 2005).
3. Akuntansi Berbasis Akrual (Accrual Based Accounting)
Akuntansi berbasis akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh
transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi, tanpa
memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar (PSAP No.1
paragraf 8). Fokus sistem akuntansi ini ada pada pengukuran sumber daya
ekonomis dan perubahan daya pada suatu entitas. Menurut Erlina dan Rasdiato
(2013), sistem akuntansi ini merupakan sistem yang paling modest. Keberhasilan
selandia baru menerapkan akuntansi akrual telah menyebabkan berbagai
perubahan dalama manajemen sektor publik. Dalam akuntansi akrual, informasi
yang dihasilkan jauh lebih lengkap dan menyediakan informasi yang rinci
mengenai aset dan kewajiban . PP No.71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah, telah mewajibkan Laporan Keuangan Pemerintah menggunakan basis
akrual, sedangkan PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, masih menggunakan basis akuntansi kas menuju akrual.
Berikut ilustrasi untuk menjelaskan perbedaan di antara akuntansi berbasis kas
dengan akuntansi berbasis akrual yang dinyatakan Deddi Nordiawan dkk. (2007)
Sebuah pemerintahan memiliki saldo kas awal sebesar Rp 10.000 tanpa
memiliki kekayaan lainnya. Neraca awal, baik berbasis kas maupun berbasis
akrual, akan terlihat sama dalam contoh berikut.

Neraca
Kas Rp 10.000
Ekuitas Rp 10.000

Misalnya, terjadi transaksi pembelian kendaraan senilai Rp 3.000, neraca setelah


transaksi tersebut akan ditampilkan secara berbeda masing-masing basis.
Pada basis kas, pembelian kendaraan tersebut dianggap sebagai belanja (biaya). Jurnal
untuk mencatat transaksi tersebut adalah:
Dr. Belanja Kendaraan Rp 3.000
Cr. Kas Rp 3.000
Pada akhir periode, semua akun belanja (biaya) akan ditutup dan mengurangi nilai
ekuitas dana, sehingga yang akan muncul di neraca pada basis kas tetap akun KAS saja di sisi
aset, karena fokus pengukuran basis kas hanya pada KAS.

Neraca Berbasi Kas


Kas Rp 7.000
Ekuitas Dana Rp 7.000

Karena fokus pengukuran pada basis akrual adalah semua sumber daya yang dimiliki,
maka transaksi pembelian kendaraan tersebut akan dicatat dengan jurnal sebagai berikut.
Dr. Kendaraan Rp 3.000
Cr. Kas Rp 3.000
Dengan demikian, neraca pada basis akrual akan menampilkan akun kendaraan (aset
tetap) selain KAS di sisi aset, sedangkan ekuitas dana di sisi pasiva tetap RP 10.000. Hal
tersebut menunjukkan fokus pengukuran basis akrual yang melaporkan semua perubahan
kekayaan, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai penambahan aset tetap.

Neraca Berbasis Akrual


Kas Rp 7.000
Kendaraan RP 3.000
Ekuitas Dana Rp 10.000

Terlihat terjadi perbedaan dalam kedua neraca tersebut sebagai akibat dari satu
kejadian transaksi yang sama. Dalam neraca berbasis akrual terdapat akun mobil yang tidak
diakui pada neraca berbasis kas. Akan tetapi, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah
dari transaksi yang sama kedua neraca tersebut menghasilkan nilai ekuitas dana yang
berlainan (Rp 7.000 pada neraca berbasis kas dan RP 10.000 pada neraca berbasis akrual).
Ketika sebuah entitas pemerintah harus memilih salah satu dari kedua basis tersebut,
pertanyaanya adalah informasi ekuitas dana manakah yang lebih baik?
Informasi tentang ekuitas yang disampaikan oleh neraca berbasis akrual diyakini
memberikan informasi yang lebih komprehensif karena merepresentasikan seluruh sumber
daya yang dimiliki pemerintah. Akan tetapi, banyak pihak juga menghendaki pelaporan
ekuitas dana seperti yang tercantum dalam neraca berbasis kas karena benar-benar
menunjukkan jumlah ketersediaan kas yang dimiliki pemerintah, sebuah informasi yang
berguna dalam pengendalian anggaran sekaligus menunjukkan kemampuan keuangan
pemerintah dalam mengeksekusi program-program jangka pendeknya.
Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah berdasarkan PP
No. 71 Tahun 2010 tentang kerangka konseptual Akuntansi Pemerintahan, Paragraf 39 adalah
basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam laporan realisasi
anggaran, dan basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca.
Selanjutnya, dikatakan dalam paragraf 40-41, kalau basis kas untuk laporan realisasi
anggaran berarti bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima di rekening kas umum
negara/daerah atau oleh entitas pelaporan dan belanja diakui pada saat kas dikeluarkan dari
rekening kas umum negara/daerah atau entitas pelaporan. Entitas pelaporan tidak
menggunakan istilah laba. Penentuan sisa pembiayaan anggaran baik lebih ataupun kurang
untuk setiap periode tergantung pada selisih realisasi penerimaan dan pengeluaran.
Pendapatan dan belanja bukan tunai seperti bantuan pihak luar asing dalam bentuk barang
dan jasa disajikan pada laporan realisasi anggaran. Basis akrual untuk neraca berarti bahwa
aset, kewajiban, dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat terjadi transaksi, atau pada saat
kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintah, tanpa
memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar.

2.1.7 PRINSIP AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN


Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010 tentang Kerangka Konseptual Akuntansi pemerintahan,
paragraf 38 dan paragraf 43-52, prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan dimaksudkan
sebagai ketentuan yang dipahami dan ditaati oleh pembuat standar dalam penyusunan standar
akuntansi, oleh penyelenggara akuntansi dan pelaporan keuangan dalam melakukan
kegiatannya, serta oleh pengguna laporan keuangan dalam memahami laporan keuangan yang
disajikan. Berikut adalah tujuh prinsip yang digunakan dalam akuntansi dan pelaporan
keuangan pemerintah.
1. Prinsip Nilai Historis
Aset dicatat sebesar pengeluaran kas dan setara kas yang dibayar atau sebesar nilai
wajar dari imbalan (consideration) untuk memperoleh aset tersebut pada saat
perolehan. Kewajiban dicatat sebesar jumlah kas dan setara kas yang diharapkan akan
dibayar untuk memenuhi kewajiban di masa yang akan datang dalam pelaksanaan
kegiatan pemerintah. Nilai historis lebih dapat diandalkan dari pada penilaian yang
lain karena lebih objektif dan dapat diverifikasi. Dalam hal tidak terdapat nilai
historis, dapat digunakan nilai wajar aset atau kewajiban terkait.
2. Prinsip Realisasi
Bagi pemerintah, pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasikan melalui
anggaran pemerintah selama suatu tahun fisikal akan digunakan untuk membayar utan
dan belanja dalam periode tersebut. Prinsip layak temu biaya-pendapatan (matching-
cost againts revenue principle) dalam akuntansi pemerintah tidak mendapat
penekanan sebagaimana dipraktikkan dalam akuntansi komersial.
3. Prinsip Subtansi Mengungguli Bentuk Formal (Substance Over Form)
Informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan wajar transaksi serta peristiwa lain
yang seharusnya disajikan, makan transaksi atau peristiwa lain tersebut perlu dicatat
dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi dan bukan hanya aspek
formalitasnya. Apabila substansi transaksi atau peristiwa lain tidak konsisten/berbeda
dengan aspek formalitasnya, maka hal tersebut harus diungkapkan dengan jelas dalam
catatan atas laporan keuangan. Misalkan suatu transaksi yang seharusnya
dikelompokkan sebagai belanja modal, tetapi di dalam penyusunan anggaran
dikelompokkan sebagai belanja barang dan jasa, maka di dalam pelaporannya,
informasi tentang belanja tersebut harus diberi penjelasan di dalam atas catatan atas
laporan keuangan dan harus dilakukan jurnal koreksi dan hasil dari pengeluaran
tersebut akan memengaruhi neraca yaitu akan menambah nilai aset tetap.
4. Prinsip Periodisitas
Kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan entitas pelaporan perlu dibagi menjadi
periode-periode pelaporan, sehingga kinerja entitas dapat diukur dan posisi sumber
daya yang dimilikinya dapat ditentukan. Periode utama yang digunakan adalah
tahunan. Namun, periode bulanan, triwulanan, dan semesteran juga dianjurkan.
Permendagri No.13 Tahun 2006 menentukan Pemerintah Daerah dan/ atau SKPD
diharapkan membuat laporan semester pertama dan laporan prognosis untuk satu
semester ke depan.
5. Prinsip Konsistensi
Perlakuan akuntansi yang sama diterapkan pada kejadian yang serupa dari periode ke
periode oleh suatu entitas pelaporan (prinsip konsistensi internal). Hal ini tiidak
berartii bahwa tidak boleh terjadi perubahan dari satu metode akuntansi ke metode
akuntansi yang lain. Metode akuntansi yang dipakai dapat diubah dengan syarat
bahwa metode yang baru diterapkan mampu memberikan informasi yang lebih baik
dibanding metode lama. Pengaruh atas perubahan penerapan metode ini diungkapkan
dalam catatan atas laporan keuangan.
6. Prinsip Pengungkapan lengkap
Laporan keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh
pengguna. Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan dapat
ditempatkan pada lembar muka (on the face) laporan keuangan atau catatan atas
laporan keuangan.
7. Prinsip Penyajian Wajar
Laporan keuangan menyajikan dengan wajar laporan realisasi anggaran, neraca,
laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Dalam rangka penyajian secara
wajar, maka faktor pertimbangan sehat bagi penyusun laporan keuangan diperlukan
ketika menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu. Ketidakpastian
seperti itu diakui dengan mengungkapkan hakikat serta tingkatnya dengan
menggunakan pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan.
Pertimbangan sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan prakiraan
dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak dinyatakan terlalu
tinggi dan kewajiban tidak dinyatakan terlalu rendah. Namun demikian, pengguna
pertimbangan sehat tidak memperkenakan, misalnya pembentukan cadangan
tersembunyi, sengaja menetapkan aset atau pendapatan yang terlampau rendah, atau
sengaja mencatat kewajiban atau belanja yang terlampau tinggi, sehingga laporan
keuangan menjadi tidak netral dan tidak andal.
2.1.8 Contoh Kasus
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Erlina Rambe, Omar Sakti Rasdianto,

Anda mungkin juga menyukai