Anda di halaman 1dari 41

TUGAS

PEMODELAN MATEMATIS DAN KOMPUTASI

Oleh:

1. Rara Ayu Lestary (18/437587/PTK/12620)


2. Rizki Istinanda (18/437588/PTK/12621)

Program Studi Pascasarjana Teknik Kimia


Departemen Teknik Kimia
Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2019

1
Latihan 1 Pemodelan transfer panas dalam sirkular fin
Suatu sirkular fin berjari-jari Rout, tebal b, melekat pada pipa berjari-jari Rin. Suhu permukaan luar
pipa Ts, sedangkan suhu udara Tu. Konduktivitas panas bahan fin k, koefisien perpindahan panas
antara permukaan fin dan udara h. Karena fin cukup tipis, gradien suhu dalam fin ke arah aksial
diabaikan.

Tentukan distribusi suhu fin dalam keadaan steady (T=f(r)) !


Data-data yang diketahui (semua satuan sudah dianggap sesuai):
k1 = 5e-1 Rin= 3 B= 2e-1 Ts= 400
k2 = 5 Rout= 11 h = 7e-3 Tu=30
k3 = 10

Penyelesaian
Distribusi suhu fin dalam keadaan steady dapat ditentukan dengan menyusun neraca panas pada
elemen volume fin. Perpindahan panas pada fin terdiri dari perpindahan panas secara konduksi pada
permukaan pipa menuju fin, lalu perpindahan panas secara konveksi pada fin menuju lingkungan.

 Menyusun persamaan neraca panas di elemen volume fin


B

qout

qin 2πr
∆r
Rin
∆r
r

Gambar 1. Elemen volume pada fin

2
Persamaan Neraca Panas di Elemen Volume fin

Rate of Heat Input – Rate of Heat output = Rate of Heat Accumulation

T  T 
k (2 rB)   k (2 rB) r r   2h(2 r r )(T  TU )  0 …………………………......…(1)
r r
r

Rate of heat accumulation bernilai 0 karena dalam keadaan steady.


Luas perpindahan panas = 2πrB

T T
k.B.r r r  k.B.r  2h r (T  TU )  0
r r
r

T T
r r r r
r r 2hr
r
 (T  TU )  0 ………………………….....……………………………..(2)
r kB

Persamaan (1) dibagi dengan elemen volume 2πB.Δr sehingga menjadi persamaan (2), lalu
persamaan (2) dilimitkan dengan Δr mendekati 0 maka diperoleh persamaan (3).

T T
r r r r
lim r r
r 2hr
 (T  TU )  0
r 0 r kB

 T 2hr
( r. )  (T  TU )  0
r r kB

 T 2hr
( r. )  (T  TU )
r r kB

 2T T 2hr
r( )  (T  TU )  0
r 2
r kB

 2T 1 T 2hr
  (T  TU )  0 …………………………………......……………………………(3)
r 2 r r kB

Persamaan (3) merupakan persamaan differensial orde 2 terhadap r, sehingga untuk menyelesaikan
persamaan (3) dibutuhkan 2 kondisi batas terhadap r.

3
 Menentukan kondisi batas (BC)

Kondisi batas 1 : r=Rin T=Ts

Kondisi batas 2 : r=Rout qkonduksi=qkonveksi

dT
-k.A. dr │r=kat = h. A. (T-Tu)

 Mengubah persamaan differensial menjadi persamaan aljabar menggunakan Finite


Difference Approximation (FDA)

i=1 i-1 i+1


i Nr i = Nr +1
r = R0 r = R1

∆r

R1 -R0
∆r =
Nr

centered

∂T Ti+1 - Ti-1
=
∂r 2 ∆r

∂2 T Ti+1 -2Ti + Ti-1


2 =
∂r ∆r2

Menentukan persamaan untuk TNR+1.

TNR+1 ditentukan menggunakan backward second order, karena lebih akurat.

Persamaan umum backward second order :

4
df 3 f ( x)  4 f ( x  x)  f ( x  2x)

dx 2x

3 TNr+1 -4TNr +TNr-1 h h


= - TNr+1 + Tu
2 dr k k

h dr
3 TNr+1 -4TNr +TNr-1 +2 (TNr+1 -Tu )=0
k
h dr
2 k Tu
TNr+1 =4TNr +TNr-1 + =0…………………………………………………………………..…..(4)
h dr
3+ 2 k

Maka persamaan (3) dapat disusun menjadi persamaan (5)

Ti+1 -2Ti + Ti-1 1 Ti+1 - Ti-1 2h


+ - (T -T )=0………………………….……………………………...…(5)
∆r 2 ri 2 ∆r kB i u

 Menghitung Efisiensi Fin

Fin merupakan tambahan luasan pada benda padat yang mengalami perpindahan panas konduksi
pada benda itu sendiri dan konveksi dengan lingkungan. Efisiensi fin dapat dihitung menggunakan
persamaan 6.

Qf
nf= ……………………………………………………………………….……………………….(6)
hAf θb

(Incropera et al., 2007)

dengan,

θb =(Ts -Tu )

R1
Qf= h.2.2π ∫ r ( Tr -Tu ) dr
R0

Af=2π(R1 2 -R0 2 )

Sehingga persamaan (6) menjadi sebagai berikut

5
R1
4hπ ∫R0 r ( Tr -Tu ) dr
nf= ……………………………………………………….……….……………...(7)
2hπ(R1 2 -R0 2 )(Ts -Tu )

Keterangan :

nf = efiensi fin

Qf = laju perpindahan panas pada fin

h = koefisien perpindahan panas konveksi

k = koefisien perpindahan panas konduksi

Af = luas permukaan transfer panas

Persamaan (5) dan (7) diselesaikan menggunakan Matlab.

Hasil dan Pembahasan

Distribusi suhu fin dalam keadaan steady dengan variasi nilai koefisien perpindahan panas
(k) 0,5, 5, dan 10 pada Gambar 2 diperoleh melalui perhitungan dengan program matlab.
Fenomena perpindahan panas dapat diamati pada profil penurunan suhu dari radius 3 cm hingga
11 cm. Perpindahan panas pada fin terdiri dari perpindahan panas secara konduksi pada permukaan
pipa menuju fin, lalu perpindahan panas secara konveksi pada fin menuju lingkungan. Suhu fin
bernilai Ts (400 oC) pada ujung dalam (R0) mengalami penurunan terus menerus menuju ujung
luar fin (R1).

6
Gambar 2. Profil Distribusi Suhu Fin pada berbagai nilai k

Pada Gambar 2 penurunan suhu dengan nilai k 0,5 pada radius 3 hingga 7 cm sangat tajam
dibandingkan nilai k 5 dan 10, sedangkan penurunan suhu pada radius 7 hingga 11 cm pada
berbagai nilai k cenderung lebih landai hingga menuju konstan. Hubungan koefisien perpindahan
panas dan radius terhadap penurunan suhu dapat dinyatakan dalam hukum fourier, dengan Q
adalah panas yang ditransfer tiap satuan waktu, A luas permukaan transfer panas, dT/dx gradient
suhu ke arah perpindahan panas.

Q dT
 k . (Kern,1965)
A dx

Hukum fourier menyatakan hubungan nilai luas permukaan transfer panas (A) dengan suhu
(T) berbanding terbalik, sehingga semakin besar luas permukaan transfer yang dilalui panas maka
nilai suhu semakin menurun. Luas permukaan transfer panas pada fin yaitu 2πrB, luas permukaan
transfer panas sebanding dengan radius (r), sehingga semakin besar nilai radius maka semakin
besar luas permukaan transfer yang dilalui panas dan menyebabkan suhu semakin menurun. Selain
luas permukaan transfer panas, nilai koefisien perpindahan panas atau konduktivitas panas juga
berpengaruh terhadap laju perpindahan panas dan perubahan suhu. Konduktivitas panas pada
setiap bahan memiliki nilai yang berbeda-beda, semakin tinggi nilai konduktivitas panas yang
dimiliki pada suatu bahan maka semakin besar panas yang mengalir melalui benda tersebut.

7
Dalam penggunaan fin sebagai medium perpindahan panas salah satu faktor untuk
mengetahui fin itu layak digunakan atau tidak digunakan adalah efisiensi fin. Semakin tinggi nilai
efisiensi fin, maka semakin baik fin tersebut sebagai medium perpindahan panas. Berdasarkan
perhitungan, pada saat k = 0,5 diperoleh efisiensi fin sebesar 19,65%, sedangkan pada k=5
diperoleh efisiensi fin sebesar 64,32% dan k=10 efisiensi fin mencapai 77,87%. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai koefisien perpindahan panas (k) berpengaruh terhadap efisiensi fin,
semakin tinggi nilai k maka efisiensi fin akan semakin meningkat. Selain meningkatkan nilai
koefisien perpindahan panas, metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan laju perpindahan
panas pada fin seperti meningkatkan luas kontak atau biasa disebut luas permukaan fin.

8
Latihan 2 Pemodelan Transfer Panas Unsteady-State pada Batang Silinder di Udara
(Penerapan FDA dan ODE)

Suatu batang silinder memiliki panjang L dan diameter D salah satu ujungnya menempel pada
dinding panas bersuhu Ts. Suhu udara tetap Tu. Koefisien perpindahan panas antara permukaan
batang-udara h. Diameter batang cukup kecil sehingga gradien suhu arah radial dapat diabaikan.
Batang terbuat dari bahan yang memiliki kapasitas panas Cp, densitas  dan konduktivitas panas
k.
Diketahui
k=2e-1 cal/s/cm/C D=1 cm Ts=400C rho=2,7 g/cc Nz=50
h=7e-4 cal/s/cm2/C L=20 cm Tu=30C Cp=2e-1 cal/g/C tspan=[0:1:500]
Susunlah persamaan matematika yang dapat menggambarkan distribusi suhu dalam batang secara
aksial pada berbagai waktu (unsteady state)! Selesaikan persamaan tersebut dan gambarkan
distribusi suhu yang Saudara peroleh dengan imagesc.

Penyelesaian
Distribusi suhu dalam batang secara aksial pada berbagai waktu (keadaan unsteady) dapat
ditentukan dengan menyusun neraca panas pada elemen volume batang. Perpindahan panas pada
batang terdiri dari perpindahan panas secara konduksi pada permukaan dinding panas menuju
batang, lalu perpindahan panas secara konveksi pada batang menuju lingkungan.
 Menyusun persamaan neraca panas di elemen volume batang silinder

∆x

qin qout

x x+∆x

Gambar 3. Elemen Volume Pada Batang Silinder

9
Diameter batang silinder dianggap kecil, sehingga transfer panas ke arah radial dapat diabaikan.
Luas perpindahan panas (A) = πD2/4
Elemen volume (∆v)= (πD2/4)∆x
Asumsi
1. Massa jenis dan Kapasitas panas tetap
2. Nilai koefisien perpindahan panas konveksi (h) tetap
3. Arah perpindahan panas hanya satu arah, arah aksial (x)
4. Suhu awal dinding panas tetap (Ts)

Persamaan Neraca Panas di Elemen Volume Batang silinder

Rate of Heat Input – Rate of Heat output = Rate of Heat Accumulation

 D 2 T
  D 2 T  D2 T
k ( ) x   k ( ) x x   h D x (T  TU )  x  Cp ……..…......………(1)
4 x  4 x  4 t

Rate of Heat Accumulation yaitu akumulasi panas berupa kenaikan suhu dan hubungannya adalah
dQ=m.Cp. ∆T

T T
k x x k
x x
x
4h T
 (T  TU )   .Cp …………….....…………………………………...(2)
x D t

T T

x
x x
x
x
4h  Cp T
 (T  TU ) 
x kD k t

T T

x
x x
x
x
4h  .Cp T
lim  (T  TU ) 
x 0 x kD k t
Persamaan (1) dibagi dengan elemen volume sehingga menjadi persamaan (2), lalu persamaan (2)
dilimitkan dengan Δx mendekati 0.

 2T 4h  .Cp T
 (T  Tu ) 
x 2
kD k t

10
 .Cp
dengan divusifitas thermal, α = , maka
k

 2T 4h 1 T
 (T  Tu )  …………….....……………………………………………………..(3)
x 2
kD  t

Distribusi suhu pada batang silinder dalam keadaan unsteady state memenuhi persamaan (3).
Persamaan (3) merupakan persamaan differensial parsial orde 2 terhadap x dan orde 1 terhadap t,
sehingga untuk menyelesaikan persamaan (3) dibutuhkan 2 kondisi batas terhadap x dan 1 kondisi
awal terhadap t.

 Menentukan kondisi awal (IC) dan kondisi batas (BC)


Kondisi awal : t=0 T(x,t)=Tu
Kondisi batas 1 : x=0 T(x,t)=Tc
Kondisi batas 2 : x=L qkonduksi=qkonveksi
dT
-k.A. dx │x=L = h. A. (T-Tu)

 Mengubah persamaan differensial menjadi persamaan aljabar menggunakan Finite


Difference Approximation (FDA)
Model penyelesaian numeris untuk kasus distribusi suhu batang silinder dalam keadaan unsteady
state dapat dilakukan dengan mengubah persamaan diferensial orde dua kedalam bentuk diskrit.
Data suhu yang akan dihitung dibagi menjadi beberapa segmen, dari i sama dengan 1 hingga i
sama dengan Nx, dengan interval (∆x) yaitu panjang batang (L) dibagi dengan banyaknya jumlah
data suhu (Nx).

i=1 i-1 i i+1


Nx i = Nx +1

∆x

11
L
∆x =
Nx

a. Pendekatan untuk second order derivative


d2 f f ( x  x)  2 f ( x)  f ( x  x)
Persamaan umum centered : 
dx 2
x 2
 2T Ti 1  2Ti  Ti 1
 (4)
x 2 x 2

b. Menentukan persamaan untuk TNx+1


TNx+1 ditentukan menggunakan backward second order, karena lebih akurat.
df 3 f ( x)  4 f ( x  x)  f ( x  2x)
Persamaan umum backward second order : 
dx 2x
3 TNx+1 -4TNx +TNx-1 h h
= - TNx+1 + Tu
2 dx k k
h dr
3 TNx+1 -4TNx +TNx-1 +2 (TNx+1 -Tu )=0
k
h dx
2 k Tu
TNx+1 =4TNx +TNr-1 + =0…………………………………………………………………....(5)
h dx
3+ 2
k
c. Method of lines (MOL)

MOL merupakan teknik kombinasi FDA dengan ODE Solver. Persamaan diferensial parsial
diubah bentuk menjadi persamaan diferensial ordiner. Order tertinggi dalam persamaan diubah
menjadi persamaan aljabar menggunakan pendekatan FDA. Substitusi Persamaan (4) ke
persamaan (3) sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut :

T  T  2Ti  Ti 1 4h 
   i 1  (T  Tu )  (6)
t  x 2
kD 

Persamaan (6) diselesaikan menggunakan komputasi matlab dengan fungsi ode15s.

12
Hasil dan Pembahasan

Batang silinder memiliki panjang L dan diameter D salah satu ujungnya menempel pada
dinding panas bersuhu Ts dan suhu udara dijaga tetap Tu. Persamaan matematis yang dapat
digunakan untuk menggambarkan distribusi suhu pada batang silinder yaitu persamaan (3).
Persamaan (3) didekatkan menggunakan Method of lines (MOL) dan Finite Difference
Approximation (FDA) lalu diselesaikan dengan komputasi matlab.

 2T 4h 1 T
 (T  Tu ) 
x 2
kD  t

Gambar 4. Profil Distribusi Suhu Batang Pada Berbagai Waktu

Distribusi suhu pada batang logam silinder ditunjukkan pada Gambar 4, distribusi diawali
perpindahan panas dari ujung batang logam terdalam (x=0) dengan suhu (Ts) hingga ujung terluar
batang logam (x=L) secara konduksi dan perpindahan panas dari permukaan batang logam silinder
menuju lingkungan secara konveksi. Suhu mula-mula batang logam pada proses perpindahan
panas berada pada kondisi unsteady state hingga mencapai kondisi steady state. Kondisi steady
state merupakan keadaan saat tidak terjadi perubahan suhu pada panjang batang terdalam terhadap

13
perubahan waktu. Jika dianalisa distribusi pada Gambar 4 menunjukkan suhu batang pada t=500
masih belum mencapai kondisi steady state terhadap berubahan panjang batang. Pada panjang
batang x=5 cm masih terjadi distribusi suhu terhadap waktu, pada panjang batang x= 10 maupun
x=15 cm juga mengalami perubahan yang serupa. Pada Gambar 4, selain dapat dianalisa untuk
perubahan kondisi pada sistemnya, dapat juga dianalisa distribusi suhu terhadap perubahan
panjang batang pada waktu yang konstan. Suhu terluar batang akan lebih dingin dibandingkan
yang lebih dalam. Hal tersebut disebabkan oleh proses transfer panas konveksi yang terjadi
simultan terhadap panjang batang.

Gambar 5. Profil Distribusi Suhu Batang Ujung Terluar Pada Berbagai Waktu

Distribusi suhu batang terhadap waktu untuk ujung terluar batang ditampilkan pada
Gambar 5. Variasi nilai konduktivitas panas k1 (0.2 cal/s/cm/C) dan k2 (2 cal/s/cm/C) dilakukan
untuk mengetahui pengaruh konduktivitas panas bahan terhadap perpindahan panas batang. Suhu
mula-mula batang dengan k1 0.2 cal/s/cm/C saat waktu 0 hingga 50 detik sama dengan suhu
udara yaitu 30°C, setelah 50 detik suhu pada ujung terluar batang terus meningkat hingga pada
500 detik suhu ujung terluar batang mencapai sekitar 95°C. Suhu ujung terluar batang mencapai
konstan saat waktu 600 detik. Sedangkan batang dengan nilai k2 2 cal/s/cm/C saat waktu setelah

14
0 detik suhu pada ujung terluar batang terus meningkat secara signifikan, hingga pada 150 detik
suhu ujung terluar batang tidak banyak mengalami perubahan atau telah mencapai konstan pada
suhu 320 C. Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai konduktivitas panas yang berbeda akan
berpengaruh terhadap laju perpindahan panas.

Hubungan koefisien perpindahan panas dan radius terhadap penurunan suhu dapat
dinyatakan dalam hukum fourier, dengan Q adalah panas yang ditransfer tiap satuan waktu, A luas
permukaan transfer panas, dT/dx gradient suhu ke arah perpindahan panas.

Q dT
 k . (Kern,1965)
A dx

Hukum fourier menyatakan hubungan nilai luas permukaan transfer panas (A) dengan suhu
(T) berbanding terbalik, sehingga semakin besar luas permukaan transfer yang dilalui panas maka
nilai suhu semakin menurun. Luas permukaan transfer panas pada batang yaitu πD2/4 , luas
permukaan transfer panas sebanding dengan radius (r), sehingga semakin besar nilai radius maka
semakin besar luas permukaan transfer yang dilalui panas dan menyebabkan suhu semakin
menurun. Selain luas permukaan transfer panas, nilai koefisien perpindahan panas atau
konduktivitas panas juga berpengaruh terhadap laju perpindahan panas dan perubahan suhu.
Konduktivitas panas pada setiap bahan memiliki nilai yang berbeda-beda, semakin tinggi nilai
konduktivitas panas yang dimiliki pada suatu bahan maka semakin besar panas yang mengalir
melalui benda tersebut.

Faktor konveksi pada proses perpindahan panas pada batang berperan besar karena setiap
waktu juga terjadi perpindahan panas pada permukaan batang logam dengan udara. Adapun
persamaan hukum newton atau convective heat transfer law ditulis sebagai berikut:

𝑄 = ℎ𝐴(𝑇 − 𝑇𝑢 ) (Kern,1965)

Hukum Newton menyatakan bahwa laju kehilangan panas suatu benda sebanding dengan
perbedaan suhu antara batang logam dan sekitarnya saat berada dalam proses perpindahan panas.
Konstanta yang dapat mewakili proporsionalitas proses perpindahan panas ini biasa disebut
koefisien perpindahan panas konveksi. Hukum berlaku ketika koefisien independen, atau relatif
independen, dari perbedaan suhu antara objek dan lingkungan. Kasus ini nilai dari perpindahan
panas konveksi akan mencapai harga yang sebanding pada ujung logam yaitu posisi (L). Sehingga

15
nilai proporsi perpindahan panas akibat gradien suhu pada logam sebanding dengan perubahan
suhu permukaan akibat proses pendinginan oleh udara.

Latihan 3 Pemodelan Transfer Panas pada Slab Tipis dengan PD Parsial (penerapan FDA
dengan ODE)
Suatu padatan bentuk slab, tebal 2L dan permukaan cukup luas, mula-mula bersuhu T0. Mulai
suatu saat, padatan didinginkan dengan cara dicelupkan ke dalam cairan bersuhu tetap T f.
Koefisien perpindahan panas permukaan padatan-cairan h. Jika padatan memiliki kapasitas panas
Cp, densitas  dan konduktivitas panas k, susun dan selesaikanlah persamaan matematis yang dapat
digunakan untuk menentukan distribusi suhu di dalam padatan setiap saat.
Data :
T0=200+273 K L=2e-1 m h=250 W/(m2.K) Cp=450 J/(kg.K) tspan=linspace(0,400,401)
Tf=30 + 273 K k=40 W/(m.K) rho=1500 kg/m3 Nz=51 titik;

Penyelesaian
Distribusi suhu pada slab dalam keadaan unsteady dapat ditentukan dengan menyusun neraca
panas pada elemen volume slab. Perpindahan panas pada slab terjadi secara konduksi.

∆x
x x+∆x

qin qout

x = -L x =0 x=L
Gambar 6. Elemen Volume Pada Slab Tipis

Luas perpindahan panas = A


Elemen volume : A.∆x
Asumsi

16
1. Massa jenis dan Kapasitas panas tetap
2. Nilai koefisien perpindahan panas konveksi (h) tetap
3. Slab memiliki permukaan yang luas, maka perpindahan panas hanya berlangsung satu
arah x.
4. Suhu cairan tetap (Ts)

Persamaan Neraca Panas di Elemen Volume Slab

Rate of Heat Input – Rate of Heat output = Rate of Heat Accumulation

T  T  T
kA
x
x   kA
 x
x x    A xCp t ……..…......…………………………………………(1)

Rate of Heat Accumulation yaitu akumulasi panas berupa kenaikan suhu dan hubungannya
adalah dQ=m.Cp. ∆T
T T
k x x k
x x
x
T
  .Cp …………….....…………………………………………………...(2)
x t

T T

x
x x
x
x
 .Cp T
lim 
x 0 x k t
Persamaan (1) dibagi dengan elemen volume (A.∆x) sehingga menjadi persamaan (2), lalu
persamaan (2) dilimitkan dengan Δx mendekati 0 menghasilkan persamaan 3.

 2T .Cp T
 ………………………………………………………...………………………..(3)
x 2 k t

 .Cp
dengan difusivitas thermal, α = , maka
k

 2T 1 T
 ……………………………………………………………………………………..(4)
x 2  t

Persamaan (4) merupakan persamaan diferensial parsial orde 2 terhadap x dan orde 1 terhadap t,
persamaan ini diselesaikan dengan menentukan 2 kondisi batas terhadap x dan 1 kondisi awal
terhadap t.

17
 Menentukan kondisi awal (IC) dan kondisi batas (BC)

Kondisi awal : t=0 T=473 K


T
Kondisi batas 1 : x=0 =0
t
Kondisi batas 2 : x=L qkonduksi=qkonveksi
T h
 (T  T f )
x x L k

 Mengubah persamaan differensial menjadi persamaan aljabar menggunakan Finite


Difference Approximation (FDA)

Model penyelesaian numeris untuk kasus distribusi suhu slab dapat dilakukan dengan mengubah
persamaan diferensial orde dua kedalam bentuk diskrit. Data suhu yang akan dihitung dibagi
menjadi beberapa segmen, dari i sama dengan 1 hingga i sama dengan Nx, dengan interval (∆x)
yaitu panjang batang (L) dibagi dengan banyaknya jumlah data suhu (Nx).

i=1 i-1 i i+1


Nx i = Nx +1

∆x

L
∆x =
Nx

a. Pendekatan untuk second order derivative


d2 f f ( x  x)  2 f ( x)  f ( x  x)
Persamaan umum centered : 
dx 2
x 2

18
 2T Ti 1  2Ti  Ti 1
 (5)
x 2 x 2

b. Menentukan persamaan untuk TNx+1


TNx+1 ditentukan menggunakan backward second order, karena lebih akurat.
df 3 f ( x)  4 f ( x  x)  f ( x  2x)
Persamaan umum backward second order : 
dx 2x
3 TNx+1 -4TNx +TNx-1 h h
= - TNx+1 + Tu
2 dx k k
h dr
3 TNx+1 -4TNx +TNx-1 +2 (TNx+1 -Tu )=0
k
h dx
2 k Tu
TNx+1 =4TNx +TNr-1 + =0…………………………………………………………………....(6)
h dx
3+ 2 k

c. Menentukan persamaan untuk T1


T1 ditentukan menggunakan forward second order
df  f ( x  2x)  4 f ( x  x)  3 f ( x)
Persamaan umum forward second order : 
dx 2x
T3  4T2  T1
0
2x
T3  4T2
T1  (7)
3

d. Method of lines (MOL)


MOL merupakan teknik kombinasi FDA dengan ODE Solver. Persamaan diferensial parsial
diubah bentuk menjadi persamaan diferensial ordiner. Order tertinggi dalam persamaan diubah
menjadi persamaan aljabar menggunakan pendekatan FDA.

Substitusi Persamaan (5) ke persamaan (3) sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut :

T  T  2Ti  Ti 1 
   i 1  (8)
t  x 2 

Persamaan (8) diselesaikan menggunakan komputasi matlab dengan fungsi ode15s.

19
Hasil dan Pembahasan

Padatan berbentuk slab memiliki tebal 2L dan permukaan yang cukup luas, mula-mula
bersuhu T0. Padatan tersebut didinginkan dengan cara dicelupkan ke dalam cairan bersuhu tetap
Tf, mulai suatu saat. Persamaan matematis yang dapat digunakan untuk menentukan distribusi suhu
di dalam padatan setiap saat yaitu persamaan (4). Persamaan (4) didekatkan menggunakan metode
Method of lines (MOL) dan Finite Difference Approximation (FDA) lalu diselesaikan dengan
komputasi matlab.
 2T 1 T

x 2  t

Gambar 7. Profil Distribusi Suhu Slab Pada Berbagai Waktu

Gambar 7 menampilkan distribusi suhu slab terhadap tebal slab pada berbagai waktu.
Mula-mula saat waktu sama dengan nol hingga mencapai 50 detik, suhu di hampir seluruh posisi
tebal slab belum terdistribusi sempurna. Hal ini dapat ditandai dengan warna merah yang hampir
mendominasi, dengan suhu slab masih dikisaran 450 hingga 470 K. Saat waktu mencapai 200 detik
suhu pada pada seluruh posisi tebal slab telah terdistribusi dari suhu 380 K hingga 470 K, hal ini
terlihat pada bervariasinya warna pada waktu 200 detik. Proses perpindahan panas dari tebal slab
terdalam (x=0) dengan suhu 473 K hingga permukaan luar slab (x=L) secara konduksi.

20
Distribusi suhu bagian permukaan terluar slab yang kontak langsung dengan cairan
terhadap waktu ditampilkan pada Gambar 8. Variasi nilai konduktivitas panas k1 (40 W/m.K) dan
k2 (50 W/m.K) dilakukan untuk mengetahui pengaruh konduktivitas panas bahan terhadap
perpindahan panas slab. Slab dengan nilai konduktivitas panas 40 W/(m.K), mula-mula suhu slab
yaitu 473 K, seiring bertambahnya waktu suhu pada permukaan terluar slab terus menurun secara
signifikan, hingga pada 400 detik suhu permukaan terluar slab mencapai sekitar 378 K.

Gambar 8. Profil Distribusi Suhu Slab Terluar Pada Berbagai Waktu

Slab dengan nilai konduktivitas panas 50 W/(m.K), mula-mula suhu slab yaitu 473 K
seiring bertambahnya waktu suhu pada permukaan terluar slab terus menurun secara signifikan
hingga pada 400 detik suhu permukaan terluar slab mencapai sekitar 375 K. Berdasarkan gambar
8, nilai konduktivitas panas berpengaruh terhadap laju perpindahan panas dan perubahan suhu.
Peningkatan nilai konduktivitas panas akan mempercepat laju perpindahan panas. Konduktivitas
panas pada setiap bahan memiliki nilai yang berbeda-beda. Hubungan nilai konduktivitas panas
dengan laju perpindahan panas terdapat pada hukum fourier, dengan Q adalah panas yang
ditransfer tiap satuan waktu, A luas permukaan transfer panas, dT/dx gradient suhu ke arah
perpindahan panas, dan k konduktivitas panas.

21
Q dT
 k .
A dx

Semakin tinggi nilai konduktivitas panas yang dimiliki pada suatu bahan maka semakin
besar panas yang mengalir melalui benda tersebut. Pada kasus ini, pendinginan slab akan cepat
berlangsung jika nilai konduktivitas panas bahan slab dinaikkan.

22
Latihan 4 Pemodelan Transfer Panas pada Bola (penerapan FDA dengan ODE)
Sebuah bola berjari-jari R mula-mula bersuhu T0. Mulai suatu saat, bola tersebut didinginkan
dengan cara dicelupkan ke dalam cairan bersuhu tetap Tf. Koefisien perpindahan panas padatan
k
bola-cairan h dan material bola memiliki nilai difusivitas thermal α dimana   . Saudara
  Cp
diminta untuk menyelesaikan persaman matematis yang menggambarkan distribusi suhu di dalam
padatan tiap saat dan posisi. Jalankan simulasi Saudara untuk memperoleh distribusi suhu bola
pada berbagai posisi dan waktu! Gambarkan suhu di berbagai posisi dan waktu dengan imagesc!

Data
R=1; tspan=linspace(0,200,51)'; h=1; Tf=30;
Nr=40; T0=400; k=1; alfa=1e-3

Penyelesaian
Distribusi suhu fin dalam keadaan steady dapat ditentukan dengan menyusun neraca panas pada
elemen volume fin. Perpindahan panas pada fin terdiri dari perpindahan panas secara konduksi
pada permukaan pipa menuju fin, lalu perpindahan panas secara konveksi pada fin menuju
lingkungan.

qout

qin

∆r
r

Gambar 9. Elemen Volume Pada Bola

Luas perpindahan panas = 4πr2


Elemen volume = 4πr2∆r

23
Asumsi
1. Massa jenis dan Kapasitas panas tetap
2. Nilai koefisien perpindahan panas konveksi (h) tetap
3. Perpindahan panas hanya berlangsung ke arah radial (r)
4. Suhu cairan tetap (Tf)

Persamaan Neraca Panas Elemen Volume Pada Bola

Rate of Heat Input – Rate of Heat output = Rate of Heat Accumulation

T  T  T
k (4 r 2 )   k (4 r 2 ) r r    4 r rCp t
2
(1)
r r
r

Rate of Heat Accumulation yaitu akumulasi panas berupa kenaikan suhu dan hubungannya
adalah dQ=m.Cp. ∆T

T T Cpr 2 T
r2 r r 
2
r (2)
r r t
r
k

T T
r2  r2
r
r r
r
r  Cp T
 (3)
r r2
k t

T T
r2  r2
r
r r
r
r 1 T
 (4)
r r2
 t

T T
r2  r2
r
r r
r
r 1 T
lim 
r 0 r r
2
 t

1   2 T  1 T
r 
r 2 r  r   t

1  T 2  T 
2
1 T
2 
2 r  r 2 

r  r r   t

24
 2T 2 T 1 T
  (5)
r 2 r r  t

Persamaan (5) merupakan persamaan differensial parsial orde 2, sehingga untuk menyelesaikan
persamaan (5) dibutuhkan 2 kondisi batas terhadap r dan kondisi awal terhadap t.

 Menentukan kondisi awal (IC) dan kondisi batas (BC)


Kondisi awal : t=0 T=400 K
T
Kondisi batas 1 : r=0 =0
r
Kondisi batas 2 : r=R qkonduksi=qkonveksi
T h
 (T  T f )
r r R k

 Mengubah persamaan differensial menjadi persamaan aljabar menggunakan Finite


Difference Approximation (FDA)

Model penyelesaian numeris untuk kasus distribusi bola dalam keadaan unsteady state dapat
dilakukan dengan mengubah persamaan diferensial orde dua kedalam bentuk diskrit. Data suhu
yang akan dihitung dibagi menjadi beberapa segmen, dari i sama dengan 1 hingga i sama dengan
Nr, dengan interval (∆r) yaitu diameter(R1-R0) dibagi dengan banyaknya jumlah data suhu (Nr).

i=1 i-1 i i+1


Nr i = Nr +1
r = R0 r = R1

∆r

R1 -R0
∆r =
Nr
25
a. Pendekatan untuk first order derivative
df f ( x  x)  f ( x  x )
Persamaan umum centered : 
dx 2x
T Ti 1  Ti 1
 (6)
r 2 r
b. Pendekatan untuk second order derivative
d2 f f ( x  x)  2 f ( x)  f ( x  x)
Persamaan umum centered : 
dx 2
x 2

 2T Ti 1  2Ti  Ti 1
 (7)
r 2 r2
c. Menentukan persamaan untuk TNx+1
TNx+1 ditentukan menggunakan backward second order, karena lebih akurat.
df 3 f ( x)  4 f ( x  x)  f ( x  2x)
Persamaan umum backward second order : 
dx 2x

3 TNr+1 -4TNr +TNr-1 h h


= - TNr+1 + Tu
2 dr k k

h dr
3 TNr+1 -4TNr +TNr-1 +2 (TNr+1 -Tu )=0
k
h dr
2 k Tu
TNr+1 =4TNr +TNr-1 + =0………………………………………………………………….(8)
h dr
3+ 2 k

e. Method of lines (MOL)


MOL merupakan teknik kombinasi FDA dengan ODE Solver. Persamaan diferensial parsial
diubah bentuk menjadi persamaan diferensial ordiner. Order tertinggi dalam persamaan diubah
menjadi persamaan aljabar menggunakan pendekatan FDA.

Substitusi Persamaan (6) dan (7) ke persamaan (5) sehingga didapatkan persamaan sebagai
berikut :

T  T  2Ti  Ti 1 2  Ti 1  Ti 1  
   i 1  
r  2 r  
(9)
t  r2

Persamaan (9) diselesaikan menggunakan komputasi matlab dengan fungsi ode15s.

26
Hasil dan Pembahasan

Sebuah bola berjari-jari R mula-mula bersuhu T0, bola tersebut didinginkan dengan cara
dicelupkan ke dalam cairan bersuhu tetap Tf. Persamaan matematis yang menggambarkan
distribusi suhu di dalam bola tiap saat dan posisi yaitu persamaan (5). Persamaan (5) didekatkan
menggunakan metode Method of lines (MOL) dan Finite Difference Approximation (FDA) lalu
diselesaikan dengan komputasi matlab.
 2T 2 T 1 T
 
r 2 r r  t

Gambar 10. Profil Distribusi Suhu Bola Pada Berbagai Waktu

Gambar 10 menampilkan distribusi suhu bola di setiap radius pada berbagai waktu. Bola
panas yang direndam dalam cairan dingin akan mengalami penurunan suhu terus menerus hingga
sampai suatu saat suhu bola sama dengan suhu cairan. Hal ini disebabkan adanya perpindahan
panas dari bola yang bersuhu tinggi menuju cairan yang bersuhu lebih rendah secara konduksi.
Mula-mula saat waktu perendaman sama dengan nol hingga mencapai 50 detik, suhu di hampir
seluruh titik radius bola belum terdistribusi sempurna. Hal ini dapat ditandai dengan warna merah

27
yang hampir mendominasi dengan suhu bola masih dikisaran 380 hingga 400 K. Saat waktu
mencapai 100 detik suhu pada pada seluruh titik radius bola telah terdistribusi dari suhu 280 K
hingga 380 K, hal ini terlihat pada dengan bervariasinya warna pada gambar. Seiring
bertambahnya waktu suhu bola akan semakin menurun, hingga mencapai 200 detik distribusi suhu
pada berbagai titik radius bola yaitu berkisar 320 hingga 220 K. Titik radius bola yang berkontak
langsung dengan cairan akan mengalami penurunan suhu yang lebih cepat dibandingkan titik
radius bola yang lebih dalam.

Bi = 0.3
Bi = 0. 1
Bi = 0.04

Gambar 11. Profil Distribusi Suhu Tengah Bola Pada Berbagai Waktu

Distribusi suhu pada bagian tengah bola terhadap waktu ditampilkan pada Gambar 11.
Variasi nilai bilangan biot (Bi) 0.04, 0.1, dan 0.33 dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap perpindahan panas bola. Bola dengan bilangan biot 0.33 mengalami penurunan suhu yang
signifikan dibandingan bola dengan bilangan biot 0.04 dan 0.1. Bola yang memiliki bilangan biot
rendah mengalami penurunan suhu lebih lambat dibanding bola dengan bilangan biot yang tinggi.
Saat waktu mencapai 200 detik, bola dengan bilangan biot lebih tinggi telah mencapai suhu 45 oC,

28
sehingga pada kasus ini untuk mempercepat proses pendinginan dapat dilakukan dengan
memperhatikan variabel yang berpengaruh pada bilangan biot.

Apabila sebuah benda padat panas dicelupkan ke dalam air dingin maka akan terjadi proses
pendinginan atau perpindahan panas dari benda (konduksi) ke fluida (konveksi) disekitarnya.
Distribusi suhu yang cukup seragam di dalam benda tersebut bisa diperoleh jika tahanan terhadap
perpindahan kalor konduksi kecil bila dibandingkan dengan tahanan konveksi pada permukaan.
Apabila perbandingan volume benda dengan luas permukaan benda (V/A= Lc), dalam hal ini Lc
merupakan panjang karakteristik benda yang diamati, maka angka biot (Bi) dapat diartikan sebagai
rasio (perbandingan) antara besaran konveksi-permukaan dan tahanan konduksi-dalam
perpindahan panas. Maka bilangan biot dapat ditulis sebagai berikut :

𝑇𝑎ℎ𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑒𝑛𝑑𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡


𝐵𝑖 =
𝑇𝑎ℎ𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑣𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑛𝑑𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡

Lc / k hLc
Bi  
1/ h k

k merupakan koefisien perpindahan panas konduksi dan h merupakan koefisien perpindahan panas
konveksi. Untuk kasus bola padat, maka angka biotnya dapat dirumuskan sebagai berikut :

V 4 / 3 R3 1
Lc    R
A 4 R 2 3

hR
Bi 
3k

Pada Gambar 11 dapat dilihat pengaruh koefisien perpindahan panas konduksi (k), ukuran benda
(Lc), dan koefisien perpindahan panas konveksi (h) terhadap pola distribusi suhu. Untuk mendapat
distribusi suhu maka perlu diperhatikan variabel yang digunakan untuk menentukan nilai Bi.
Semakin kecil nilai Bi maka distribusi suhu ditiap titik akan mendekati seragam, penurunan suhu
tidak terlalu signifikan. Untuk mendapatkan nilai Bi yang rendah dengan koefisien perpindahan
panas konduksi dan ukuran benda tetap, maka nilai koefisien perpindahan panas konveksi dapat
diperkecil. Semakin besar koefisien perpindahan panas konveksi h, maka nilai Bi akan semakin
besar. Semakin besar nilai koefisien perpindahan panas konduksi maka diperoleh harga Bi yang
kecil. Untuk benda dengan nilai koefisien perpindahan panas konduksi yang kecil, maka untuk

29
mendapatkan distribusi suhu yang seragam perlu memperhatikan ukuran beda dan koefisien
perpindahan panas konveksinya (h). Apabila koefisien perpindahan panas konduksi dan koefisien
perpindahan panas konveksi tetap, untuk memperoleh distribusi suhu yang seragam ditiap titik,
maka ukuran benda harus diubah menjadi lebih kecil sehingga harga Bi yang diperoleh menjadi
lebih kecil.

30
31
LAMPIRAN

Latihan 1

Subroutine
function F=sofun1(T,k,h,Nr,B,Tu,dr,R0,R1,Ts,r)
F=zeros(Nr,1);
F(1)=T(1)-Ts;
T(Nr+1)=(4.*T(Nr)-T(Nr-1)+2.*h.*dr.*Tu./k)./(3+2.*h.*dr./k);

for i=2:Nr
d2Tdr2(i)=(1./dr.^2).*(T(i+1)-2*T(i)+T(i-1));
dTdr(i)=1/2/dr.*(T(i+1)-T(i-1));
F(i)=d2Tdr2(i)+1./r(i)*dTdr(i)-2*h/k/B*(T(i)-Tu);
end
end

Main program
clc
clear all
close all

%Data
h=7e-3;
Nr=80;
B=2e-1;
R1=11;
R0=3;
dr=(R1-R0)/Nr;
r=linspace(R0,R1,Nr+1);
Ts=400;

32
Tu=30; %Suhu udara
IG=Ts.*ones(1,Nr);
k1=0.5;
k2=5;
k3=10;

%Solver
[T]=fsolve(@sofun1,IG,[],k,h,Nr,B,Tu,dr,R0,R1,Ts,r);

%recalculation
T(Nr+1)=(4.*T(Nr)-T(Nr-1)+2.*h.*dr.*Tu./k)./(3+2.*h.*dr./k);

%plotting
plot(r,T,'-b');
hold on

%Efficiency Fin
Effin=2.*trapz(r,r.*(T-Tu))./((R1.^2-R0.^2).*(Ts-Tu))*100

%k=5
k=5
%Solver
[T]=fsolve(@sofun1,IG,[],k,h,Nr,B,Tu,dr,R0,R1,Ts,r);

%recalculation
T(Nr+1)=(4.*T(Nr)-T(Nr-1)+2.*h.*dr.*Tu./k)./(3+2.*h.*dr./k);

%plotting
plot(r,T,'-g');

hold on

%Efficiency Fin
Effin=2.*trapz(r,r.*(T-Tu))./((R1.^2-R0.^2).*(Ts-Tu))*100

%k=10
k=10
%Solver
[T]=fsolve(@sofun1,IG,[],k,h,Nr,B,Tu,dr,R0,R1,Ts,r);

33
%recalculation
T(Nr+1)=(4.*T(Nr)-T(Nr-1)+2.*h.*dr.*Tu./k)./(3+2.*h.*dr./k);

%plotting
plot(r,T,'-r');
xlabel('raidus,cm')
ylabel('suhu,C')
title('Profil suhu fin')
legend('k1','k2','k3')
grid on

%Efficiency Fin
Effin=2.*trapz(r,r.*(T-Tu))./((R1.^2-R0.^2).*(Ts-Tu))*100

Latihan 2

Subroutin

function dTdt=sofun2(t,T,k,h,D,L,Ts,Tu,rho,Cp,Nx,dx)
dTdt=zeros(Nx,1); %untuk memastikan bahwa data yg akan
diselesaikan ada sejumlah Nx atau membentuk vektor kolom
T(1)=Ts;
T(Nx+1)=(4.*T(Nx)-T(Nx-1)+2.*h.*dx.*Tu./k)./(3+2.*h.*dx./k);
for i=2:Nx
d2Tdx2(i)=(1./dx.^2).*(T(i+1)-2.*T(i)+T(i-1));
dTdt(i)=(k./rho./Cp).*(d2Tdx2(i)-4.*h./k./D.*(T(i)-Tu));
end
end

Main program

%Mainprogram
%close all
clear all
clc

%Data
k=2e-1; %ketika dinaikkan penetrasi panasnya lebih dalam
h=7e-4;
D=1;
L=20;
Ts=400;
Tu=30;
rho=2.7;

34
Cp=2e-1;
Nx=50;
dx=L/Nx;
IC=Tu*(ones(1,Nx));
tspan=linspace(0,500,501);

%Solver
[t,T]=ode15s(@sofun2,tspan,IC,[],k,h,D,L,Ts,Tu,rho,Cp,Nx,dx)

Tnow=T

%recalculation
T(:,1)=Ts;
T(:,Nx+1)=(4.*T(:,Nx)-T(:,Nx-
1)+2.*h.*dx.*Tu./k)./(3+2.*h.*dx./k);

%plotting
figure(1)
sumbux=linspace(0,L,Nx+1)
sumbuy=tspan;
imagesc(sumbux,sumbuy,T);
colorbar

figure(2)
sumbux=tspan;
sumbuy=T(:,Nx+1);
plot(sumbux,sumbuy)

hold on

%k2
k=2;

%Solver
[t,T]=ode15s(@sofun2,tspan,IC,[],k,h,D,L,Ts,Tu,rho,Cp,Nx,dx)

Tnow=T

%recalculation
T(:,1)=Ts;
T(:,Nx+1)=(4.*T(:,Nx)-T(:,Nx-
1)+2.*h.*dx.*Tu./k)./(3+2.*h.*dx./k);

%plotting
figure(2)
sumbux=tspan;
sumbuy=T(:,Nx+1);

35
plot(sumbux,sumbuy)

hold on

%k2
k=2;

%Solver
[t,T]=ode15s(@sofun2,tspan,IC,[],k,h,D,L,Ts,Tu,rho,Cp,Nx,dx)

Tnow=T

%recalculation
T(:,1)=Ts;
T(:,Nx+1)=(4.*T(:,Nx)-T(:,Nx-
1)+2.*h.*dx.*Tu./k)./(3+2.*h.*dx./k);

%plotting
figure(2)
sumbux=tspan;
sumbuy=T(:,Nx+1);
plot(sumbux,sumbuy)

Latihan 3

Subrouten

function dTdt=sofun3(t,T,k,h,L,T0,Tu,rho,Cp,Nx,dx)
T(1)=(-T(3)+4.*T(2))./3;
T(Nx+1)=(4.*T(Nx)-T(Nx-1)+2.*h.*dx.*Tu./k)./(3+2.*h.*dx./k);
dTdt=zeros(Nx,1)%untuk memastikan bahwa data yg akan
diselesaikan ada
for i=2:Nx
d2Tdx2(i)=(1./dx.^2).*(T(i+1)-2.*T(i)+T(i-1));
dTdt(i)=(k./rho./Cp).*d2Tdx2(i);
end
end

Main program

%Mainprogram
close all
clear all
clc

36
%Data
k=40;
h=250;
L=2e-1;
T0=473;
Tu=303;
rho=1500;
Cp=450;
Nx=51;
dx=L/Nx;
IC=T0*(ones(1,Nx))
tspan=linspace(0,5000,401)

%Solver
[t,T]=ode15s(@sofun3,tspan,IC,[],k,h,L,T0,Tu,rho,Cp,Nx,dx)

%recalculation
T(:,1)=(-T(:,3)+4.*T(:,2))./3;
T(:,Nx+1)=(4.*T(:,Nx)-T(:,Nx-
1)+2.*h.*dx.*Tu./k)./(3+2.*h.*dx./k);

%plotting
figure(1)
sumbux=linspace(0,L,Nx+1)
sumbuy=tspan;
imagesc(sumbux,sumbuy,T);
colorbar

figure(2)
sumbux=tspan;
sumbuy=T(:,Nx+1);
plot(sumbux,sumbuy,'-g')
title('T vs t')
xlabel('t,detik')
ylabel('T,K')

hold on

%k2
k=50

%Solver
[t,T]=ode15s(@sofun3,tspan,IC,[],k,h,L,T0,Tu,rho,Cp,Nx,dx)

%recalculation
T(:,1)=(-T(:,3)+4.*T(:,2))./3;

37
T(:,Nx+1)=(4.*T(:,Nx)-T(:,Nx-
1)+2.*h.*dx.*Tu./k)./(3+2.*h.*dx./k);

%plotting
figure(2)
sumbux=tspan;
sumbuy=T(:,Nx+1);
plot(sumbux,sumbuy,'-b')

Latihan 4

subrouten

function dTdt=sofun4(t,T,k,h,Nr,R,dr,r,T0,Tf,alfa)
T(1)=(-T(3)+4.*T(2))./3;
T(Nr+1)=(4.*T(Nr)-T(Nr-1)+2.*h.*dr.*Tf./k)./(3+2.*h.*dr./k);
dTdt=zeros(Nr,1)%untuk memastikan bahwa data yg akan
diselesaikan ada
for i=2:Nr
d2Tdr2(i)=(1./dr.^2).*(T(i+1)-2.*T(i)+T(i-1));
dTdr(i)=1/2/dr.*(T(i+1)-T(i-1));
dTdt(i)=alfa.*(d2Tdr2(i)+(2./r(i)).*dTdr(i));
end
end

Main program

%Main program
clc
clear all
close all

%Data
k=1;
h=1;
Nr=40;
R=1;
dr=R/Nr;
r=linspace(0,R,Nr+1);
T0=400;
Tf=30; %Suhu udara
IC=T0.*ones(1,Nr);
alfa=1e-3;
tspan=linspace(0,200,51)
Lc=R./3;
Bi=h.*Lc./k

38
%solver
[t,T]=ode15s(@sofun4,tspan,IC,[],k,h,Nr,R,dr,r,T0,Tf,alfa)

%recalculation
T(:,1)=(-T(:,3)+4.*T(:,2))./3;
T(:,Nr+1)=(4.*T(:,Nr)-T(:,Nr-
1)+2.*h.*dr.*Tf./k)./(3+2.*h.*dr./k);%plotting

%plotting
figure(1)
sumbux=linspace(0,R,Nr+1)
sumbuy=tspan;
imagesc(sumbux,sumbuy,T);
colorbar

figure(2)
sumbux=tspan;
sumbuy=T(:,1);
plot(sumbux,sumbuy,'-g')
title('T vs t')
xlabel('t,detik')
ylabel('T,K')

hold on

%k2
k=3;

%solver
[t,T]=ode15s(@sofun4,tspan,IC,[],k,h,Nr,R,dr,r,T0,Tf,alfa)

%recalculation
T(:,1)=(-T(:,3)+4.*T(:,2))./3;
T(:,Nr+1)=(4.*T(:,Nr)-T(:,Nr-
1)+2.*h.*dr.*Tf./k)./(3+2.*h.*dr./k);%plotting

figure(2)
sumbux=tspan;
sumbuy=T(:,1);
plot(sumbux,sumbuy,'-r')
title('T vs t')
xlabel('t,detik')
ylabel('T,K')

%k2

39
k=7;

%solver
[t,T]=ode15s(@sofun4,tspan,IC,[],k,h,Nr,R,dr,r,T0,Tf,alfa)

%recalculation
T(:,1)=(-T(:,3)+4.*T(:,2))./3;
T(:,Nr+1)=(4.*T(:,Nr)-T(:,Nr-
1)+2.*h.*dr.*Tf./k)./(3+2.*h.*dr./k);%plotting

figure(2)
sumbux=tspan;
sumbuy=T(:,1);
plot(sumbux,sumbuy,'-b')
title('T vs t')
xlabel('t,detik')
ylabel('T,K')

40
DAFTAR PUSTAKA

Bergman, T. I., Lavine A. S., Incropera, F. P., Dewit D. P., Fundamentals of Heat and Mass
Transfer, 2007, John Wiley & Sons, New Jersey.

Kern, Donald. Q.,1965, "Process Heat Transfer", New York : Mc Graw-Hi Book Company.

41

Anda mungkin juga menyukai