RAMADANIAH
16.72.017141
RAMADANIAH
16.72.017141
i
i
3
PERSEMBAHAN
Persembahan ini untuk kedua orang tua ku Babah dan mamah, My Twins
Ramadanti,My Monyet, Badak, kakak ku Beni, kakak ku Lita & Nopri, irzati,
dan Tante ku Tercinta.
Terimakasih banyak untuk dosen pemimbingku Nurhalina SKM., Epid dan ibu
Fera Sartika, SKM.,M.si yang telah banyak membantu dan dengan sabar, iklas
memimbing ku.
iii
5
iv
6
v
7
KATA PENGANTAR
Dalam penulisan Proposal Karya Tulis Ilmiah Ilmiah ini tidak lepas dari
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik materi, moral maupun spititual.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
vi
8
Penulis
vii
9
DAFTAR ISI
viii
10
ix
11
ix
12
DAFTAR GAMBAR
x
13
DAFTAR TABEL
xi
14
RAMADANIAH
16.72.017141
ABSTRAK
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar
dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit–
penyakit cacing masih tetap merupakan suatu masalah karena kondisi sosial dan
ekonomi di beberapa bagian dunia. Untuk mengetahui Gambaran Infeksi
Kecacingan Soil Transmitted Helminths pada Anak Usia Sekolah di Rt 002
Kelurahan Kereng Bangkirai Kecamatan Sebangau Kota Palangka Raya. Dalam
penulisan karya tulis menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode yang
bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa atau kejadian yang
berlangsung saat penelitian tanpa menghiraukan sebelum dan
sesudahnHelmintsya.Pemeriksaan Infeksi Soil Transmitted Helminths dilakukan
dengan metode Sedimentasi. Hasil penelitian menujnjukan bahwa semua sampel
pada anak usia sekolah di Rt 002 Kelurahan Kereng Bangkirai Kecamatan
Sebangau Kota Palangka Raya hasilnya 100% negatif.
xii
15
RAMADANIAH
16.72.017141
ABSTRACT
Worm infection is one of the most common diseases spread and affects many
humans throughout the world. Until now worm diseases are still a problem
because of social and economic conditions in some parts of the world. To find
out the description of infection with helminths helminthiasis in school age
children in Rt 002, Kereng Bangkirai village, Sebangau sub-district, Palangka
Raya city. In writing papers using descriptive methods, namely a method that
aims to describe or explain events or events that take place during the study
regardless of before and after the Helmints. Examination of the Infection of Soil
Transmitted Helminths is carried out using the Sedimentation method. The
results of the study show that all samples in school-age children in Rt 002 Kereng
Bangkirai Village, Sebangau Subdistrict, Palangka Raya City, were 100%
negative.
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Batasan masalah pada penelitian ini adalah peneliti hanya meneliti sampel
feses anak – anak di Rt II Kelurahan Kereng Bangkirai Kecematan Sebangau
Kota Palangka Raya dan penelitian hanya menentukan persentase ditemukan telur
cacing STH (Ascaris lumbricoides,Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale,
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Telur cacing Ascaris lumbricoides yang dibuahi dengan 3 lapisan dan
berisi embrio (fertilized) (Perbesaran 10 x dan 40 x). (
Widoyo.,2011)
4. Siklus Hidup
Siklus hidupnya dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing betina di
usus halus dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Dalam lingkungan yang
sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu
kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas
di usus halus, maka didalam usus halus larva akan menetas, keluar menembus
dinding usus halus menuju pembuluh darah atau limfe, lalu dialirkan ke
jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus
8
5.Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak
frekuensinya 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di
tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Di Negara – negara
tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat,
kelembaban tinggi dan suhu 25°-30°C merupakan kondisi yang sangat baik
untuk berkembangnya telur A.lumbricoides menjadi bentuk infektif (Susanto,
Inge et.al., 2011).
6. Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan kosmopolit (di seluruh dunia), terutama di daerah
tropik dan erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi. Lebih sering
9
Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat
juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing
tersebar di seluruh kolon dan rectum. Kadang – kadang terlihat di mokusa rectum
yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya kedalam mukosa usus, hingga terjadi trauma
yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di tempat
perletakkannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini juga
menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia (Susanto, Inge
et.al., 2011).
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan
menahun, menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindromdisentri,
anemia, berat badan turun dna kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi
berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau
protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau
sama sekali tanpa gejala (Susanto, Inge et.al 2011).
8. Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja dengan mikroskop, akan
ditemukan telur parasit yang berbentuk tong (Zulkoni & Akhsin 2010).
9. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara efektif dengan Mebendazol 100 mg (dua
kali sehari selama tiga hari berturut – turut), Pyrantel dan Albendazol 400 mg
(dosis tunggal). Hati – hati dengan Mebendazol karena tidak boleh diberikan
kepada wanita hamilsebab bias membahayakan janin yang dikandungnya.infeksi
ringan tidak memerlukan pengobatan yang khusus (Zulkoni & Akhsin 2010).
2.1.3 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing Tambang)
1. Klasifikasi
a) Necator americanus
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Uncinariidae
14
Genus : Necator
Spesies :Necator americanus
b) Ancylostoma duodenale Kingdom
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma duodenale
2. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes penyakit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis
dan ankilostomiasis (Gandahusada, 1998).
3. Morfologi
Ancylostoma duodenale ukurannya lebih besar dari Necator americanus.
Yang betina ukurannya 10-13 mm x 0,6 mm, yang jantan 8-11 x 0,5 mm,
bentuknya menyerupai huruf C, Necator americanus berbentuk huruf S, ukuran
yang betina 9-11 x 0,4 mm dan yang jantan 7-9 x 0,3 mm. rongga mulut
Ancylostoma duodenale mempunyai dua pasang gigi, Necator americanus
mempunyai sepasang benda kitin. Alat kelamin pada yang jantan adalah tunggal
yang disebut bursa copalatrix. Ancylostoma duodenale betina dalam satu hari
bertelur 10.000 butir, sedangkan Necator americanus 9.000 butir. telur dari kedua
spesies ini tidak dapat dibedakan, ukurannya 40-60 mikron, bentuk lonjong
dengan dinding tipis dan jernih. Ovum dari telur yang baru dikeluarkan tidak
bersegmen. Di tanah dengan suhu optimal 23-33°C, ovum akan berkembang
menjadi 2, 4 dan 8 lobus. Telur ini di tanah suhu 0°C, dapat hidup dalam waktu 7
hari dan dapat hidup dalam beberapa hari pada suhu 45°C sedang pada suhu
optimal 23-33°C dalam waktu 24-48 jam telur akan menetas dan keluar larva
rhabditiform yang panjangnya ± 250 mikron.dalam waktu ± 3 hari larva
15
b) Stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, keadaan gizi
penderita (Fe dan protein) tiap cacing N. americanus menyebabkan
kehilangan darah 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A. duodenale 0,08-0,34 cc.
Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Disamping itu juga dapat eosinofialia. Cacing tambang biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja
menurun sehingga dapat berakibat Decompensatio Cordis (Susanto, Inge et.al
2011).
8. Diagnosis
Jika timbul gejala, maka pada pemeriksaan tinja penderita akan ditemukan
telur cacing tambang. Jika dalam beberapa jam tinja dibiarkan maka telur akan
mengeram dan menetaskan larva yang dapat diamati dibawah mikroskop. Telur
kedua spesies ini tidak bisa dibedakan, untuk membedakan spesies telur dibiakan
menjadi larva dengan salah satu cara, yaitu Harada Mori (Zulkoni & Akhsin
2010).
9. Pengobatan
Pengobatan diarahkan pada dua tujuan, yakni memperbaiki kondisi darah
(makanan yang bergizi dan senyawa besi) dan memberantas cacing. Mebendazol
dan Pyrantel merupakan obat cacing pilihan pertama yang sekaligus membasmi
cacing gelang jika terjadi infeksi campuran. Obat ini tidak boleh diberikan kepada
ibu hamil karena bias membahayakan janin yang dikandungnya. Untuk
memperbaiki anemia dapat dilakukan dengan cara memberikan tambahan zat besi
per-oral atau suntikan zat besi. Pada kasus yang berat mungkin perlu dilakukan
transfusi darah (Zulkoni & Akhsin 2010).
18
Kerajaan : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secementea
Ordo : Rhabditidia
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
: S.stercoralis (Irianto,
Spesies 2013)
b. Hospes dan nama penyakit
Telur berbentuk lonjong, dinding tipis dan berukuran 50-54 x 30-34 mikron
(Muslim, 2009).
d. Siklus hidup
Telur Strongyloides stercoralis disimpan di dalam mukosa usus, lalu
menetas menjadi larva rhabditiform,menembus sel epitel dan lewat ke lumen
usus, lalu keluar bersama tinja. Strongyloides stercoralis memiliki 3 macam
siklus hidup, diantaranya adalah :
1). Siklus Langsung
Larva rhabditiform bertukar kulit menjadi larva filariform yang panjang,
ramping, tidak makan dan infeksius dalam waktu 2-3 hari. Larva filariform ini
menembus kulit manusia, lalu masuk ke sirkulasi venamelewati jantung kanan
sampai ke paru-paru dan menembus ke alveoli. Dari paru-paru naik ke glottis,
tertelan, sampai ke usus halus dan menjadi dewasa. Selama migrasi dalam
tubuh inang, larva mengalami 2 kali pergantian kulit untuk menjadi dewasa
muda.
Cacing betina dewasa menghasilkan telur 28 hari setelah infeksi.
2). Siklus Tidak Langsung
Larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan betina
bentuk bebas. Setelah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang
menetas menjadi larva rabditiform. Larva ini dapat menjadi larva filariform
yang infeksius dalam beberapa hari dan masuk ke dalam hospes baru atau
larva rabditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung
ini terjadi apabila keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai
dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini.
3) Autoinfeksi
1. Kulit : saat masuk larva terjadi reaksi ringan, kasus lain : eritema dan
pruritis jika larva masuk banyak. Jika terjadi infeksi berulang-ulang dapat
menimbulkan reaksi alergi yang dapat mencegah cacing melengkapi
siklus hidupnya, sehingga larva hanya dapat bermigrasi pada kulit saja,
peristiwa ini disebut larva migran (ditandai dengan adanya satu atau lebih
alur utikaria proresif memanjang, umumnya dibagian dada)
2. Paru : akibat adanya migrasi larva ke paru tergantung pada jumlah larva
dan intensitas respon imun hospes dapat asimtomatik, atau timbul
22
3. Usus : kasus hiperinfeksi terjadi kerusakan hebat mukosa usus dan kadang
jaringan usus terkelupas, gejala yang timbul mirip ulkus peptik (Muslim,
2009).
3. Diagnosis
5. Pada kasus heperinfeksi telur, larva dan cacing dewasa dapat ditemukan
dalam bahan pemeriksaan tinja (Muslim, 2009).
4. Pengobatan
5. Pencegahan
4. Ekonomi
urobilin yang normal ada, warna tinja dipengaruhi oleh jenis makanan, oleh
kelainan dalam saluran pencernaan usus dan oleh obat – obatan (Gandasoebrata,
2007).
2. Baunya
Bau normal tinja disebabkan oleh indol, skatol dan asam butirat. Bau itu
menjadi bau busuk jika dalam usus terjadi pembusukan isinya, yaitu protein yang
dicernakan dan dirombak oleh kuman – kuman
(Gandasoebrata, 2007).
3. Konsistensi
Tinja normal agak lunak dan mempunyai bentuk. Pada diare konsistensi
menjadi sangat lunak atau cair. Peragian karbohidrat dalam usus
menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas (CO 2) (Gandasoebrata,
2007).
Apabila konsistensi tinja dapat ditemukan (padat, setengah padat, lunak,
atau cair), maka dapat diperkirakan jenis organisme yang ada. Trofozoit
(bentuk motil) dari protozoa usus biasanya ditemukan dalam spesimen
setengah padat atau padat (Gracia, dkk 1996).
4. Lendir
Adanya lendir berarti rangsangan atau radang dinding usus. Kalau lendir
itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin usus besar,
kalau bercampur – baur dengan tinja mungkin sekali usus kecil
(Gandasoebrata, 2007).
Pada infeksi parasit tertentu, dapat ditemukan darah dan lendir. Bila
tinjanya lunak atau encer, kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh infeksi
amebik, bagian darah yang berlendir harus diperiksa secara seksama untuk
mencari adanya amoeba bentuk trofozoit (Gracia, dkk 1996).
5. Darah
Perhatikan apa darah itu segar (merah muda), coklat atau hitam dan
apakah bercampur – baur atau hanya di bagian luar tinja (Gandasoebrata,
2007).
26
6. Parasit
Cacing Ascaris, Ancylostoma, dll. Mungkin terlihat (Gandasoebrata, 2007).
2.4 Pemeriksaan Miksroskopis Feses
Selain kotoran yang normal terdapat dalam tinja, pada pemeriksaan mikroskopis
dapat ditemukan :
1. Trofozoit dan kista protozoa usus.
2. Telur dan larva cacing.
3. Sel darah merah yang menunjukkan adanya ulserasi atau masalah perdarahan
lainnya.
4. Sel darah putih PMN (Polimorfonuklear Netrofil) yang menunjukkan adanya
peradangan.
5. Sel darah merah (eosinofil) yang biasanya menunjukkan adanya respons imun
(yang mungkin berhubungan dengan infeksi parasit).
6. Makrofag yang mungkin ada pada infeksi bakteri maupun parasit.
7. Kristal Charcot-Leyden yang dapat ditemukan bila terjadi disintegrasi
eosinofil (dapat/tidak berhubungan dengan infeksi parasit).
8. Jamur Candida sp. Dan jamur seperti ragi (Yeast like fungi) atau ragi.
9. Sel – sel tanaman, butiran tepung sari, atau spora jamur yang dapat
menyerupai beberapa telur cacing atau kista protozoa.
10. Serat – serat tanaman atau akar rambut atau rambut binatang yang dapat
menyerupai larva cacing (Gracia, et.al., 1996).
pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi
yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini
menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaan
eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing
dengan kotoran disekitarnya. Pemeriksaan secara langsung feses dimaksudkan
untuk menemukan telur cacing parasit pada feses yang diperiksa. Dalam
pemeriksaan feses langsung dapat ditemukan telur cacing, leukosit, eritrosit,
sel epitel, Kristal, makrofag dan sel ragi. Dari semua pemeriksaan ini yang
terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing. Adapun
Kekurangan dari metode Natif yaitu dilakukan hanya untuk infeksi berat
untuk infeksi ringan sulit dilakukan dan kelebihan dari metode ini yaitu
mudah dan cepat untuk pemeriksaan teulr cacing semua spesies, biaya yang
diperlukan sedikit dan peralatan yang digunakan sedikit(Budiman, 2012).
b. Metode Konsentrasi
Konsentrasi tinja merupakan bagian dari prosedur rutin pemeriksaan
parasit yang lengkap untuk mendeteksi sejumlah kecil parasit yang mungkin
tidak ditemukan pada pemeriksaan sediaan langsung. Terdapat dua jenis
prosedur konsentrasi yaitu flotasi dan sedimentasi. Metode ini dirancang
untuk memisahkan organisme protozoa dan telur cacing dari kotoran tinja
melalui perbedaan berat jenis.
Seseorang dengan umur yang lebih tua akan lebih rentan terkena infeksi
dibandingkan yang lebih muda. Hal ini disebabkan karena metabolisme dan
daya tahan tubuh orang yang sudah lanjut usia mengalami penurunan
sehingga derajat infeksi akan menjadi lebih berat.
2. Jenis Kelamin
BAB III
METODE DAN PENELITIAN
3.2.1 Tempat
Adapun Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Mikrobilogi
Universitas Muhammadiyah Palangka Raya.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah anak usia sekolah yang berusia 6-12
tahun berjumlah 60 orang di RT 002 RW I Kelurahan Kereng Bangkirai
Kecamatan Sebangau Kota Palangka Raya tahun 2019.
31
3.3.2 Sampel
Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang adalah purposive
sampling dimana teknik pengambilan sampelnya dilakukan berdasarkan kriteria
yang sudah ditentukan oleh peneliti yaitu: Anak sekolah, berusia 6-12 tahun,
bersedia dijadikan sebagai responden. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 35
sampel.
3.5.1 Observasi
Pengambilan data dengan melakukan pengamatan aktivitas tempat
responden, dan juga bertujuan untuk melihat secara yang tersedia.
3.5.2 Wawancara
Wawancara di lakukan terhadap responden sessuai dengan pertanyaan
mengenai tentang infeksi cacing Soil Transmitted Helminhts (STH)
3.5.3 Pemeriksaan laboratorium dengan metode konsentrasi Sedimentasi
1) Alat
a. Pot plastik yang bertutup ulir
b. Mikroskop
c. Tabung Reaksi
d. Kaca objek
32
e. Kain kasa
g. Sentrifuge
h. Gunting
i. Corong
j. Pipet volume
k. Bola pipet
l. Lidi aplikator
2) Bahan
a. Sampel feses
b. Formalin 10%
c. Etil Eter
d. Larutan Nacl 0,9%
Sampel sebaiknya tinja segar (pagi hari) sebelum sarapan pagi, defekasi
spontan, dan diperiksa dilaboratorium dalam waktu 2-3 jam setelah defekasi.
2. Pengumpulan sampel
a. Siapkan wadah : pot sampel yang bermulut lebar, tertutup rapat dan
bersih.
b. Sampel tinja dimasukkan kedalam pot sampel dan diberi label yang beisikan
nama responden, tanggal, nomor responden, jenis kelamin, umur
b. Setelah wawancara, responden dibagikan pot tinja yang telah diberi kode. Pot
tersebut diisi dengan tinja sendiri dan dikumpulkan pada keesokan harinya.
Tinja yang diambil berupa tinja pagi hari setelah bangun tidur
c. Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot sekitar 100 mg (sebesar Kelereng
atau ibu jari tangan)
d. Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak telur
cacing akan rusak pembagian pot sampel/tempat spesimen tinja yang
sebelumnya telah diberi kode pada Anak-anak dijalan Kereng Bangkirai
Kecamatan Sebangau Kota Palangka Raya.
3.7 Analitik
6. Jika ada supernatan keruh bagian atas, Buang. Dan lakukan ulang tahap 4 & 5.
Keterangan : Jika endapan sangat sedikit, tidak usah ke tahap etil eter tapi
langsung tambahkan formalin saja → aduk → tuang → periksa sedimen yg
tertinggal.
8. Tambahkan 3 ml etil eter, kocok 30 detik, lalu Centrifuge selama 2 menit
dengan kecepatan 500 X g .
10. Tambahkan formalin 10% sedikit ( Setetes ) untuk membuat sediaan pada
kaca objektif, amati di Mikroskop (Ritchie, 1948).
b) Hasil Negatif Jika tidak ditemukan telur cacing Soil Transmitted Helminths
(STH)
Keterangan :
P = Presentase angka kecacingan
F = Jumlah sampel positif kecacingan
N = Jumlah sampel yang diperiksa
100%=
PengaliTetap(Margono.2003).
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
≥7 tahun 21 60
Jenis Kelamin :
Laki-laki 21 60
Perempuan 14 40
Tingkat Pendidikan
Orang Tua :
SD 5 14
SMP 16 46
SMA 12 34
Sarjana 2 6
PHBS
Kebiasan Mencuci
Tangan Sebelum Makan
dalam 1 minggu terakhir
Selalu 4 11,4
Sering 5 14.2
Kadang-kadang 12 34,2
Tidak Pernah 14 40
Kebersihan Kuku
Tidak 11 31,4
Ya 24 68,5
Penggunaan Alas kaki dalam 1 minggu terakhir
Selalu 8 22,8
Kadang-kadang 13 37,1
Sering 9 25,7
37
Negatif 35 100.0
kurang dari 6 bulan sekali, sedangkan dalam ranah kuratif dilakukan sesuai
indikasi dan petunjuk medis. Pemahaman anak SD dalam mengkosumsi obat
cacing masih membutuhkan keterlibatan orang tua. Kepatuhan dalam
mengkosumsi obat cacing ini harus disesuaikan dengan petunjuk petugas
kesehatan, tindakan ini pada anak SD masih didominasi oleh orang tua.
Pemberian obat cacing adalah program dari Pemerintahan bagi siswa yaitu
program pemberian obat pencegah Secara Masal (POPM). Dalam
penyelenggaraan penanggulangan Cacingan telah diatur dalam Peraturan Mentri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2017. Melalui UKS (Usaha
Kesehatan Sekolah) dengan Tema “Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Melalui Promosi Budaya Hidup Sehat” pencegahan dan penggulangan infeksi
kecacingan juga dilakukan oleh pihak sekolah bekerja sama dengan puskesmas
setempat untuk mengadakan pelatihan dokter kecil dan pencegahan kecacingan.
Kegiatan lain dilakukan adalah penyuluhan kesehatan tentang pentingnya PHBS
seperti kebiasaan mencuci tangan, menggunakan alas kaki, menjaga kebersihan
kuku dan menjaga kebersihan makanan agar tidak terkontaminasi telur cacing.
Menurut Penelitian Mardiana (2007), bahwa kebersihan perorangan dan
sanitasi Lingkungan juga sangat berperan dalam kebersihan perorangan dan
sanitasi lingkungan juga sangat berperan dalam penularan kecacingan. Infeksi
cacing pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal, dan
manipulasi terhadap lingkungan, misalnya tidak terjadinya air bersih dan tempat
pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan. Demikian halnya dengan
Siregar Irham (2013) menujukkan bahwa ada hubungan kebiasaan mencuci
tangan dengan sabun antiseptik dengan kejadian cacingan. Hanidy dan Fitri
(2012) menunjukkan bahwa ada hubungan kebiasaan cuci tangan terhadap infeksi
kecacingan. Infeksi kecacingan dapat dipengaruhi oleh higiene perorangan seperti
kebersihan tangan dan kuku. Infeksi cacingan kebanyakan ditularkan melalui
tangan yang kotor, kuku jemari tangan yang kotor dan panjang sering tersimpan
telur cacing. Sejalan dengan teori yang dikemukakan Entjang (2003),
Kebanyakan penyakit cacing ditularkan melalui tangan dan kaki yang kotor serta
kuku yang panjang terselip oleh telur cacing (Jusuf,dkk. 2013).
40
Dalam penelitian ini mayoritas responden (14,2) jarang cuci tangan sebelum
makan, jarang menggunakan alas kaki dan kebersihan kuku yang kurang,
sehingga berisiko kecacingan. Namun dengan adanya POPM dari pemerintah
maka infeksi kecacingan dapat dicegah. Selain penyuluhan tentang PHBS
pemerintah juga giat memberikan edukasi tentang pentingnya jamban keluarga.
Perilaku BAB tidak di jamban dapat menyebabkan pencemaran tanah dan
lingkungan oleh feses yang mengandung telur cacing adalah kondisi yang
mendukung terjadinya penyakit cacingan (Astuty dkk, 2012). Penyebaran
STH dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja (manusia dan hewan)
yang mengandung telur cacing (Umar, 2008). Dalam penelitian ini 100%
responden memiliki jamban keluarga sehingga kemungkinan kontaminasi
makanan dengan tinja manusia sangat kecil.
41
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 35 sampel feses anak –
anak di RT 002 RW I Kelurahan Kereng Bangkirai Kecamatan Sebangau Kota
Palangka Raya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Persentase Soil Transmitted Helmints (STH) tidak ditemukannya pada anak –
anak di RT 002 RW I Kelurahan Kereng Bangkirai Kecematan Sebangau Kota
Palangka Raya Palangka Raya adalah sebanyak 100% Negatif.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka penyusun memberikan saran
sebagai berikut :
1. Kepada masyarakat khususnya orang tua agar dapat memperhatikan
kebersihan lingkungan disekitarnya, dan memperhatikan pola hidup anak –
anak baik saat bermain, membeli jajanan, serta selalu rutin memberikan obat
cacing setiap 6 bulan sekali.
2. Untuk Klinisi agar dapat melanjutkan penelitian kembali mengenai infeksi
cacing di Kecamatan Sebangau Kota Palangka Raya agar hasil penelitiannya
nanti dapat diinformasikan kepada dinas kesehatan bahwa masih ditemukan
prevalensi terjadinya infeksi kecacingan, agar dapat dilakukan penecegahan.
42
DAFTAR PUSTAKA
Pinardi Hadidjaja, dkk. 2011. Dasar Parasitologi Klinik, Edisi Pertama. Jakarta :
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
N Waktu Penelitian
Uraian Kegiatan
o Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
Penyusunan
1
Proposal
Pengambilan
2
Data
3 Pengolahan Data
Penulisan
4
Laporan
5 Konsultasi
6 Ujian KTI
45
Lampiran 2
Data Hasil Pemeriksaan Feses pada anak – anak dijalan Rt 002 Kelurahan
Kereng Bangkirai Kecamatan Sebangau Kota Palangka Raya yaitu sebagai
berikut :
Lembek dan
16 16 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
17 17 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
18 18 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
19 19 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
kekuningan
Padat dan
20 20 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
21 21 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
22 22 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
23 23 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
24 24 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
25 25 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
coelat
Lembek dan
26 26 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
27 27 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
28 28 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
29 29 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
30 30 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif kuning
kecokelatan
Padat dan
31 31 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
32 32 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
33 33 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
34 34 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif kuning
kecokelatan
Lembek dan
35 35 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
47
LAMPIRAN GAMBAR
Lemak
Leukosit
51