Diabetes Mellitus Pada Anak PDF
Diabetes Mellitus Pada Anak PDF
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga
penyusunan buku “Mengenal Kasus-kasus Endokrin Anak” dapat diselesaikan. Buku ini disusun
sebagai salah satu upaya memperkenalkan kasus-kasus di bidang endokrinologi anak. Upaya ini
dilakukan karena selama ini kasus-kasus endokrin anak relatif belum dikenal luas termasuk di
kalangan medis baik dokter spesialis, dokter umum, maupun tenaga medis lain. Di samping itu
pengenalan kasus-kasus endokrin anak ini juga untuk memberikan gambaran bahwa ilmu
endokrinologi itu tidak sulit dipahami. Bahwa ada aspek-aspek genetik maupun biologi
molekuler pada ilmu ini, juga tidak membuat ilmu ini otomatis sulit dimengerti karena memang
perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran sekarang sangat pesat.
Akhirnya, semoga penyusunan buku ini bermanfaat bagi yang membaca dan
mempergunakannya dalam praktek sehari-hari. Kekurangan dan ketidaksempurnaan buku ini
sangat mungkin ditemui. Untuk itu masukan, kritik dan saran akan kami terima untuk
perbaikan lebih lanjut.
Penyusun
BAB I
Pendahuluan
Penyakit diabetes pertama kali dideskripsikan pada masa Mesir kuno lebih dari
3500 tahun yang lalu. Saat itu penyakit ini digambarkan sebagai ‘sangat banyak buang
air kecil’. Sekitar 2000 tahun lalu, terdapat laporan dari Turki yang juga menyebutkan
penyakit ini sebagai kehausan yang sangat serta kencing yang banyak. Pada tahun
1900, Stobolev di Rusia dan Opie di USA, pada waktu yang hampir bersamaan,
menyebutkan bahwa diabetes mellitus terjadi akibat destruksi dari pulau-pulau
Langerhans kelenjar pancreas (Brink SJ, dkk. 2010).
Diabetes melitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, di antaranya adalah
gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon insulin atau
gangguan kedua-duanya (Weinzimer SA, Magge S. 2005).
Pada makalah ini akan dibahas gambaran umum tentang diabetes mellitus tipe 1,
karena insidennya lebih banyak pada anak. Sedangkan diabetes mellitus tipe yang
lainnya (tipe 2, gestasional ataupun tipe lain) tidak dibahas secara rinci.
Epidemiologi
Angka kejadian diabetes di USA adalah sekitar 1 dari setiap 1500 anak (pada
anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari setiap 350 anak (pada usia 18 tahun). Puncak
kejadian diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang
anak. Kejadian pada laki dan perempuan sama (Weinzimer SA, Magge S. 2005).
Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia, Denmark serta
Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap 100.000 penduduk. Insiden
di Amerika Serikat adalah 12-15/100 ribu penduduk/tahun, di Afrika 5/100.000
penduduk/tahun, di Asia Timur kurang dari 2/100 ribu penduduk/tahun (Weinzimer
SA, Magge S. 2005).
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data registri
nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi Anak PP IDAI, terjadi
peningkatan dari jumlah sekitar 200-an anak dengan DM pada tahun 2008 menjadi
sekitar 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat dimungkinkan angkanya lebih tinggi
apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa
terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1
yang dilaporkan. Data anak dengan DM di Subbagian endokrinologi anak IKA FK
UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2008-2010 adalah sebanyak 11 penderita
Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolescence Diabetes dan WHO
merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel 1). DM tipe 1 terjadi
disebabkan oleh karena kerusakan sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat
disebabkan oleh proses autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin
berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM
tipe 2 produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan meningkat. DM tipe 2
biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas,
hiperlipidemia, akantosis nigrikans, hipertensi ataupun hiperandrogenisme ovarium
(Rustama DS, dkk. 2010).
Kriteria Diagnosis
Diabetes melitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan gejala
(polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu kali sudah
Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical
Practice Consensus Guidelines tahun 2009, yaitu:
- Periode pra-diabetes
- Periode manifestasi klinis diabetes
- Periode honey-moon
- Periode ketergantungan insulin yang menetap
Periode pra-diabetes
Pada periode ini gejala-gejala klinis diabetes belum nampak karena baru ada
proses destruksi sel β-pankreas. Predisposisi genetik tertentu memungkinkan
terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan
mulai berkurangnya sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-peptide mulai menurun.
Pada periode ini autoantibodi mulai ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita
DM Tipe 1. Dalam pemberian insulin perlu diperhatikan jenis insulin, dosis
insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis yang
diperlukan.
a. Jenis insulin: kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat,
kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin campuran
(campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah). Penggunaan jenis
insulin ini tergantung regimen yang digunakan.
b. Dosis insulin: dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1 unit/kg berat
badan pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan diatur
disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada penyakitnya maupun
penderitanya.
c. Regimen: kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional
serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix-split regimen dapat
berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari. Sedangkan
regimen intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada regimen basal
bolus dibedakan antara insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal
maupun dosis bolus.
d. Cara menyuntik: terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam hal
absorpsinya yaitu di daerah abdomen (paling baik absorpsinya), lengan atas,
lateral paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling buruk
absorpsinya.
e. Penyesuaian dosis: Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari
beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia
pubertas (terkadang kebutuhan meningkat hingga 2 unit/kg berat
badan/hari), kondisi stress maupun saat sakit.
2. Diet
3. Aktivitas fisik/exercise
Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan berolahraga
akan membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan berat badan
apabila menjadi obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga akan membantu
menurunkan kadar gula darah serta meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap
insulin.
Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia maupun hiperglikemia (bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak
DM memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjalankan
olahraga, di antaranya adalah target gula darah yang diperbolehkan untuk
olahraga, penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman.
Apabila gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta didapatkan
adanya ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah di
bawah 90 mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambahkan diet
karbohidrat untuk mencegah hipoglikemia.
4. Edukasi
Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita
maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya,
patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin
(regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek samping
penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah ataupun HbA1c
yang diinginkan.
Penutup
Penderita terbanyak diabetes mellitus tipe 1 adalah usia anak dan remaja. Perlu
kewaspadaan pada tenaga medis mengenai penyakit ini maupun komplikasi yang
mungkin terjadi yang seringkali salah diagnosis. Keterlambatan dalam diagnosis akan
berakibat fatal bagi keselamatan jiwa penderita DM tipe 1.
Patogenesis
Kelenjar tiroid mulai berkembang pada umur 24 hari gestasi sebagai suatu divertikulum,
yaitu suatu pertumbuhan dari endoderm pada bucopharyngeal cavity. Kelenjar tiroid yang
berkembang turun pada leher anterior, pada branchial pouches ke-4 dan mencapai posisi orang
dewasa setinggi C5-7 pada minggu ke-7 gestasi. Proses migrasi dari faring posterior ke leher
anterior ini dapat terhenti yang mengakibatkan timbulnya kelenjar tiroid ektopik (Fadil R.
2005; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005).
Pada umur gestasi 10-11 minggu, kelenjar tiroid fetal sudah mampu menghasilkan
hormon tiroid, namun kadarnya masih sedikit. Saat gestasi 18-20 minggu, kadar T4 (tiroksin)
dalam sirkulasi fetus sudah mencapai kadar normal, pada masa ini aksis pituitari-tiroid fetal
secara fungsional sudah bebas dari pengaruh aksis pituitari-tiroid maternal. Produksi T3
(triiodotironin) tergantung dari maturasi enzim deiodinase hepar, yaitu sekitar umur 30 minggu
gestasi (Fort PF, Brown RS. 1996; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005).
Kelenjar tiroid memerlukan tirosin dan iodium untuk membuat T4 dan T3, iodium
masuk ke dalam sel folikel kelenjar tiroid dengan cara transport aktif. Di dalam sel, iodium akan
dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase menjadi iodida. Kemudian terjadi organifikasi, yaitu
iodida akan berikatan dengan molekul tirosin sehingga terbentuk Monoiodotirosin (MIT) dan
Diiodotirosin (DIT). Kemudian terjadi proses coupling. Dua molekul DIT akan membentuk
tetraiodotironin=tiroksin (T4) dan satu molekul MIT dengan satu molekul DIT akan
Etiologi
Etiologi dari hipotiroid kongenital tidak selalu mudah diketahui. Beberapa etiologi
adalah sebagai berikut:
- tiroid agenesis, tiroid disgenesis (aplasia, hipoplasia), tiroid ektopik sekitar 75-85%.
- dishormogenesis (TSH unresponsiveness, iodine trapping defect, defek organifikasi, defek
tiroglobulin, defisiensi atau insensitif terhadap TRH) sekitar 10-18%.
- disfungsi aksis hipotalamik-pituitari-tiroid sekitar 5%.
- transplasental obat antitiroid dari ibu ke bayi (iodium, obat-obatan atau antibodi ibu) sekitar
10%.
- resistensi jaringan perifer terhadap hormon tiroid.
- ibu yang mengkonsumsi makanan goitrogenik (Fadil R. 2005; Djemli A, dkk. 2004; Caron P,
dkk. 2003; Unachak K, Dejkhamron P. 2004).
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan darah rutin/darah perifer lengkap dan
fungsi tiroid (TSH, T4, T3, TBG). Pemeriksaan fungsi tiroid yang diperiksa untuk hipotiroid
adalah TSH, T4 total (TT4), atauT4 bebas (fT4).
Kadar TSH normal di bawah 20-25 uU/ml setelah 24 jam pertama kehidupan. Bila kadar
TSH antara 25-50 uU/ml maka perlu evaluasi lebih lanjut seperti kadar T4. Bila kadar
TSH>50 uU/ml kemungkinan hipotiroid kongenital sangat besar. Pada pasien ini kadar
TSH 494,46 uIU/ml, sehingga didiagnosis hipotiroid kongenital primer. Kadar TSH yang
sangat tinggi dan kadar fT4 yang sangat rendah kebanyakan karena atireosis/aplasia tiroid,19
dan hasil dari USG pasien menyokong diagnosis adanya disgenesis kelenjar tiroid
(hipoplasia). Hasil pemeriksaan kadar AMA dan ATA yang negatif, menyingkirkan adanya
hipotiroid yang didapat (Fadil R. 2005; Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS.
2001).
Anemia sering terjadi pada pasien hipotiroid. Biasanya anemia normositik normokrom,
terkadang mikrositik karena penurunan absorpsi besi, atau makrositik karena defisiensi
folat dan kobalamin. Gambaran sumsum tulang tampak lemak lebih banyak dan hiposeluler,
sedangkan eritropoesis biasanya normoblastik. Pada anemia makrositik dan sumsum tulang
megaloblastik perlu dipikirkan adanya penyakit autoimun sehingga antibodi melawan sel
parietal sebagaimana melawan kelenjar tiroid.Terapi hormon biasanya cukup efektif
memperbaiki anemia tsb (Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001; Kappy MS, Steelman JW,
Travers SH, Zeitler PS. 2001; Lanzkowsky P. 1995).
3. Sidik tiroid:
Sintigrafi atau sidik tiroid menggunakan Tc99 atau I123 yang dapat membantu
menentukan etiologi hipotiroid kongenital. Tidak adanya uptake radionuclide memberikan
kemungkinan sporadic athyroid hipotiroidism, tiroid ektopik di lingual atau sublingual
(Fadil R. 2005).
4. USG:
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pengganti sidik tiroid tapi pemeriksaan ini tidak
dapat menentukan adanya tiroid ektopik ((Fadil R. 2005).
Pengobatan
Tindakan utama pengobatan hipotiroid kongenital adalah diagnosis dini dan
replacement hormon tiroid. Waktu paling baik pemberian hormon tiroid bila diagnosis dapat
ditegakkan sebelum bayi berumur 13 hari dan kadar hormon tiroid dalam darah mencapai
normal dalam umur 3 minggu (Topliss DJ, Eastman CJ. 2004; Kappy MS, Steelman JW,
Travers SH, Zeitler PS. 2001).
Obat yang diberikan adalah Na-levotiroksin. Dosis obat berbeda-beda menurut umur
pasien dan juga berdasarkan respon klinis maupun laboratorium terhadap terapi yang
diberikan.
Prognosis
Diagnosis seawal mungkin dan terapi yang adekuat akan memberikan hasil yang lebih
baik (Caron P, dkk. 2003; Narendra MB. 2002).Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa
walaupun diterapi sedini mungkin dikatakan tetap ada kelainan intelektual meski sedikit
(Hanukoglu A, dkk. 2001).
LaFranchi S (2000). Disorders of the thyroid gland. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadephia:WB Saunders Co;1696-1705.
Fort PF, Brown RS (1996). Thyroid disorders in infancy. Dalam:Lifshitz F. Pediatric
Endocrinology. Edisi ke-3. New York: Marcel Dekker Inc:369-381.
Fadil R (2005). Hipotiroid kongenital. Dalam: Simposium peran endokrinologi anak dalam
proses tumbuh kembang anak. Padang: Bagian IKA FK Unand bekerjasama dengan UKK
Endokrinologi Anak IDAI. h. 8-17.
Djemli A, Fillion M, Belgoudi J, Lambert R, dkk (2004). Twenty years later: a reevaluation of
the contribution of plasma thyroglobulin to the diagnosis of thyroid dysgenesis in infants with
congenital hypothyroidism. Clinical Biochemistry.37:818– 822.
Rossi WC, Caplin N, Alter CA (2005). Thyroid disorders in children. Dalam:Moshang T, Jr.
Pediatric endocrinology: the requisites in pediatrics. Edisi 1. Missouri: Mosby Inc.h.171-190.
Caron P, Moya CM, Malet D, Gutnisky VJ, Chabardes B, Rivolta CM, Targovnic HM (2003).
Compound heterozygous mutations in the thyroglobulin gene (1143delC and 6725G3A
[R2223H]) resulting in fetal goitrous hypothyroidism. J Clin Endocrinol Metab.88:3546–3553.
Unachak K, Dejkhamron P (2004). Primary congenital hypothyroidism: clinical characteristics
and etiological study. J Med Assoc Thai.87(6):612-617.
Topliss DJ, Eastman CJ (2004). Diagnosis and management of hyperthyroidism and
hypothyroidism. MJA 2004;180:186–193.
Lane PA, Nuss R, Ambruso DR (2001). Hematologic disorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR,
Levin MJ, Sondheimer MJ, editor. A Lange medical book: Current pediatric diagnosis &
treatment.Edisi 15.New York:McGraw-Hill Inc. h.750-751.
Guyton AC (1995). Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.h.677-
686.
Dussault JH, Fisher DA (1999). Thyroid function in mothers of hypothyroid newborns. Obstet
Gynecol.93:15–20.
Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS (2001). Endocrine disorders. Dalam: Hay WW,
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer MJ, editor. A Lange medical book: Current pediatric
diagnosis & treatment. Edisi 15. New York: McGraw-Hill Inc.h.843-845.
Hanukoglu A, Perlman K, Shamis I, Brnjac L, Rovet J, Daneman D (2001). Relationship of
etiology to treatment in congenital hypothyroidism. J Clin Endocrinol Metab.86:186–191.
Lanzkowsky P (1995). Manual of pediatric haematology and oncology. Edisi ke-2. New York:
Churchill Livingstone Inc.h.66-67.