Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KIMIA FARMASI I

ANTIHISTAMIN

DISUSUN OLEH :

1. DINI DWI ANGGRAINI

2. INDAH PURNAMA

3. NURITA

4. SUMARJA

POLTEKKES KEMENKES RI BANGKABELITUNG TAHUN AJARAN


2013/2014
Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histaamin
dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada sisi reseptor H1, H2, dan H3. Efek
antihistamin bukan suatu reaksi antigen-antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah
efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi
histamine. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin
dengan reseptor khas. Berdasarkan hambatan pada reseptor khas, antihiistamin dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu antagonis H1 dan antagoonis H2. Antagonis H1 digunakan untuk
pengobatan gejala-gejala akibat reaksi energy. Antagonis H2 digunakan unuk mengurangi
sekresi asam lambung pada pengobatan penderita tukak lambung.

Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan
oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman.
Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
Terdapat beberapa jenis antihistamin, yang dikelompokkan berdasarkan sasaran kerjanya
terhadap reseptor histamin.
Bab II

Isi

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –histamin (penghambatan saingan). Pada
awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor
khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi reseptor histamin
dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini,
antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (singkatnya
disebut H1-blockers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat
penghambat-asam

1.H1-blockers (antihistaminika klasik)

Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding
pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan efek
histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis,
antihistmin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi Dahulu antihistamin dibagi secara
kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar
kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.

2.H2-blockers (Penghambat asma)

Obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat
histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya adalah
berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah
menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus guna mengurangi
sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida.
Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator motilitas lambung (cisaprida) pada penderita
reflux. Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin.

Hubungan struktur dan aktivitas

 Hubungan struktur dan aktivitas antagonnis-H1

Antihistamin yang memblok reseptor H1 secara umum mempuyai struktur sebagai berikut:

R’

Keterangan : Ar = gugus aril, termasuk fenil, fenil tersubstitusi dan heteroaril

Ar’ = gugus aril kedua

R dan R’ = gugus alkil

X = gugus isosterik, ssperti O, N dan CH

 O, adalah turunan aminoalkil eter, senyawa menimbulkan efek sedasi yang besar..

 N, adalah turunan etilendiamin, senyawa lebih aktif tetappi juga lebih toksik.

 CH, adalah turunan alkilamin, senyawa kurang aktif tetapi toksisitasnya lebih
rendah.

Histamin H1 ditemukan di jaringan otot, endotelium dan sistem saraf pusat. Bila histamin
berikatan dengan reseptor ini, maka akan mengakibatkan vasodilasi, bronkokun, striksi, nyeri
dan gatal pada kulit. Reseptor ini adalah reseptor yang paling bertanggung jawab terhadap gejala
alergi. Antagonis reseptor histamin-H1secara klinis digunakan untuk mengobat alergi, contoh
obatnya adalah difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizina, quetiapine ( khasiat
antihistamin merupakan efek samping dari obat antipsikotik ini) dan prometazina.
a. Turunan eter amino alkil
Rumus : Ar(Ar-CH2) CH-O-CH2-CH2-N(CH3)2

Hubungan struktur dan aktifitas


1. Pemasukan gugus Cl, Br dan OCH3 pada posisi pada cincin aromatic akan
meningkatkan aktivitas dan menurunkan efek samping.
2. Pemasukan gugus CH3 pada posisi p-cincin aromatic juga dapat meningkatkan aktivitas
tetapi pemasukan pada posisi o- akan menghilangkan efek antagonis H1 dan akan
meningkatkan aktifitas antikolinergik.
3. Senyawa turunan eter aminoalkil mempunyai aktivitas antikolinergik yang cukup
bermakna karena mempunyai struktur mirip dengan eter aminoalkohol, suatu senyawa
pemblok kolinergik.

Hubungan struktur antagonis H1 turunan ester aminoalkohol


1. Difenhidramin HCl, merupakan antihistamin kuat yang mempunyai efek sedative dan
antikolonergik.
2. Dimenhidrinat, adalah garam yang terbentuk dari difenhidramin dan 8-kloroteofilin.
3. Karbinoksamin maleat, mengandung satu atom C asimetrik yang mengikat 2 cincin
aromatik.
4. Klemasetin fumarat, merupakan antagonis H1 kuat dengan masa kerja panjang.
5. Pipirinhidrinat

b. Turunan etilendiamin
Rumus umum ; Ar(Ar’)N-CH2-CH2-N(CH3)2
Merupakan antagonis H1 dengan keefektifan yang cukup tinggi, meskipun penekan
system saraf dan iritasi lambung cukup besar.

Hubungan struktur antagonis H1 turunan etilen diamin


1. Tripelnamain HCl, mempunyaiefek antihistamin sebanding dengan dufenhidramin
dengan efek samping lebih rendah.
2. Antazolin HCl, mempunyai aktivitas antihistamin lebih rendah dibanding turuan
etilendiamin lain.
3. Mebhidrolin nafadisilat, strukturnya mengandung rantai samping amiopropil dalam
system heterosiklik karbolin dan bersifat kaku.

c. Turunan alkil amin


Rumus umum ; Ar (Ar’)CH-CH2-CH2-N(CH3)2
Merupakan antihistamin dengan indeks terapetik cukup baik dengan efek samping dan
toksisitasnya sangat rendah.

Hubungan struktur antagonis H1 dengan turunan alkil amin


1. Feniramin maleat, merupakan turunan alkil amin yang memunyai efek antihistamin H1
terendah.
2. CTM, merupakan antihistamin H1 yang popular dan banyak digunakan dalam sediaan
kombinasi.
3. Dimetinden maleat, aktif dalam bentuk isomer levo.

d. Turunan piperazin
Turunan ini memunyai efek antihistamin sedang dengan awal kerja lambat dan masa
kerjanya relativ panjang

Hubungan struktur antagonis H1 turunan piperazin


1. Homoklorsiklizin, mempunyai spectrum kerja luas, merupakan antagonis yang kuat
terhadap histamine serta dapat memblok kerja bradkinin dan SRS-a
2. Hidroksizin, dapat menekan aktivitas tertntu subkortikal system saraf pusat.
3. Oksatomid, merupakan antialergi baru yang efektif terhadap berbagai reaksi alerhi,
mekanismenya menekan pengeluaran mediator kimia dari sel mast, sehingga dapat
menghambat efeknya.

e. Turunan fenotiazin
Selain mempunyai efek antihistamin, golongan ini juga mempunyai aktivitas tranquilizer,
serta dapat mengadakan potensiasi dengan obat analgesic dan sedativ.

Hubugan struktur antagonis H1 turunan fenontiazin


1. Prometazin, merupakan antihistamin H1 dengan aktivitas cukupan dengan masa kerja
panjang.
2. Metdilazin
3. Mekuitazin. Antagonis H1 yang kuat dengan masa kerja panjang dan digunakan untuk
memperbaiki gejala alergi
4. Oksomemazin, mekanismenya sama seperti mekuitazin
5. Pizotifen hydrogen fumarat, sering digunakan sebagai perangsang nafsu makan.

 Hubungan struktur dan aktivitas antagonnis-H2

Antihistamin yang memblok reseptor H2 secara umum mempuyai struktur sebagai berikut:

Stuktur Kimia

a. Modifikasi pada cincin


Cincin imidazol dapat membentuk 2 tautomer yaitu ; ‘N-H dan “N-H. bentuk ‘N-H
lebih dominan dan diperlukan untuk aktivitas antagonis H2 dan mempunyai aktifitas 5
kali lebih kuat daripada “N-H
b. Modifikasi pada rntai samping
Untuk aktivitas optimal cincin harus terpisah dari gugus N oleh 4 atom C atau
ekivalennya. Pemendekan rantai dapat menurunkan aktivitas antagonis H2, sedangkan
penambahan panjang pada metilen dapt meningkatkan antagonis H2. Pengantian 1
gugus metilen pada rantai samping dengan isosteriktioeter maka dapat meningkatkan
aktivitas antagonis.

c. Modifikasi pada gugus N


Penggantian gugus amino rantai samping dengan gugus guanidine yang bersifat basa
kuat maka akan menghasilkan efek antagonis H2 lemah dan masih bersifat parsial
agonis. Penggantian gugus guanidine yang bermuatan positif dengan gugus tiorurea
yang tidak bermuatan atau tidak terionisasi pada pH tubuh dan bersifat polar serta maih
membentuk ikatan hydrogen maka akan menghilangkan efek agonis dan memberikan
efek antagonis h2 100 x lebih kuat dibanding “N-H.

Reseptor histamin-H2 ditemukan di sel-sel pariental. Kinerjanya adalah meningkatkan


sekresi asam lambung. Dengan demikian, antagonis reseptor H2( antihistamin H2) dapat
digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk
menangani pepticulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina,
famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina dan lafutidina.

Pengaruh Antihistamin terhadap Lingkungan

Antihistamin dapat digunakan pada sejumlah gangguan berikut:

1. Asma yang bersifat alergi, guna menanggulangi gejala bronchokonstriksi.


Walaupun kerjanya baik, namun efek keseluruhannya hanya rendah berhubung tidak
berdaya terhadap mediator lain (leukotrien) yang juga mengakibatkan penciutan bronchi.
Ada indikasi bahwa penggunaan dalam bentuk sediaan inhalasi menghasilkan efek yang
lebih baik. Obat-obat ketotifen dan oksatomida berkhasiat mencegah degranulasi dari
mastcells dan efektif untuk mencegah serangan.
2. Sengatan serangga khususnya tawon dan lebah, yang mengandung a.l. histamine dan
suatu enzim yang mengakibatkan pembebasannya dari mastcells. Untuk mendapatkan
hasil yang memuaskan, obat perlu diberikan segera dan sebaiknya melalui injeksi
adrenalin i.m. atau hidrokortison i.v.
3. Urticaria (kaligata, biduran). Pada umumnya bermanfaat terhadap meningkatnya
permeabilitas kapiler dan gatal-gatal, terutama zat-zat dengan kerja antiserotonin seperti
alimemazin (Nedeltran), azatadin dan oksatomida. Khasiat antigatal mungkin berkaitan
pula dengan efek sedative dan efek anestesi local.
4. Stimulasi nafsu makan. Untuk menstimulasi nafsu makan dan dengan demikian
menaikkan berat badan, yakni siproheptadin ( dan turunannya pizotifen) dan oksatomida.
Semua zat ini berdaya antiserotonin.
5. Sebagai sedativum berdasarkan dayanya menekan SSP, khususnya prometazin dan
difenhidramin serta turunannya. Obat-obat ini juga berkhasiat meredakan rangsangan
batuk, sehingga banyak digunakan dalam sediaan obat batuk popular.
6. Penyakit Parkinson berdasarkan daya antikolinergisnya, khususnya difenhidramin dan
turunan 4-metilnya (orfenadrin) yang juga berkhasiat spasmolitis.
7. Mabuk jalan dan Pusing (vertigo) berdasarkan efek antiemetisnya yang juga berkaitan
dengan khasiat antikolinergis, terutama siklizin,meklizin dan dimenhidrinat, sedangkan
sinarizin terutama digunakan pada vertigo.
8. Shock anafilaksis di samping pemberian adrenalin dan kortikosteroid. selain itu,
antihistaminika banyak digunakan dalam sediaan kombinasi untuk selesma dan flu.

Sifat Obat Antihistamin

1. Antihistamin H1

A. Obat Generasi Pertama


Obat generasi pertama merupakan obat yang dapat bekerja secara perifer maupun sentral.
Efek antikolinergiknya lebih besar dibandingkan dengan agen non sedative. Penghambat SSP
akibat AH1 dapat bermanifestasi sebagai gejala mengantuk, maupun kewaspadaan turun.
Contohnya adalah ;
Difenhidramin (Benadryl), Dimenhidrat (Vormex A), Doksilamin (Mereprine), Klemastin
(Tavegyl), Dimentiden (Fenistil), Kloramfeniksamin (Systral), Feniramin (Avil), Bamipin
(Soventol), Meklozin (Bonamine), (Peremesin), Chlorpheniramine Maleate (Orphen),
Ethylenediamines, Piperazin, Phenothiazine, Piperadines.

B. Obat Generasi Kedua


Obat generasi kedua merupakan antihistamin non sedative yang dikembangkan untuk
mengeliminasi efek samping sedasi dari obat generasi pertama. Obat ini berukuran besar dan
tidak bersifat lipofilik sehingga tidak menembus BBB. Dengan begitu, efek ke sistem saraf
pusatnya lebih kecil. Dibandingkan generasi 1, obat ini memiliki durasi kerja yang lebih lama
dan memiliki spesifisitas reseptor H1 dan atau H2 untuk menekan efek histamin.
Contohnya:
Fexofenadine (Telfast), Loratadine (Lisino), Setrizin (Zyrtec), Azelastin (Allergodi).

2. Antihistamin H2
Memunyai struktur serupa dengan histamine yaitu mengandung cincin imidazol, tetapi
yang membedakan adalah panjang gugus rantai sampingnya. Sekresi asam lambung dipengaruhi
oleh histamine, gastrin, dan asetilkolin, antagonis H2 menghambat secara langsung kerja hstamin
pada sekresi asam lambung dan menghambat kerja potensial histamine pada sekresi asam yang
dirangsang oleh gastrin atau asetilkolin, sehingga histamine mempunyai efikasi intrinsic dan
efikasi potensial, sedang gastrin dan aetilkolin hanya mempunyai efikasi potensial.

Hipotesis sederhana mekanisme kerja senyawa antagonis H2 dijelaskan sebagai berikut:

Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh histamin, gastrin dan asetilkolin. Antagonis H2
menghambat secara lansung kerja histamin pada sekresi asam (efikasi intrinsik) dan menghambat
kerja potensiasi histamin pada sekresi asam, yang dirangsang oleh gastri atau asetilkolin ( efikasi
potensiasi). Jadi, antihistamin mempunyai efikasi intrinsik dan efikasi potensiasi, sedang gastrin
dan asetilkolin hanya mempunyai efikasi potensial. Hal ini berarti bahwa hanya histamin yang
dapat meningkatkan sekresi asam, sedang gastrin atau asetilkolin hanya meningkatkan sekresi
asam karena efek potensiasinya dengan histamin.

Contohnya :

Simetidin, Ranitidin HCl, Famotidin, Roksatidin, dan Nizatidin.


EFEK SAMPING

Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering
ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu
banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau
penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin,
loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan efek
sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia,
euphoria, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan
ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare,
efek samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.

Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek
antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif. AH1 bisa
menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan lokal
berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi. Selain itu
pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang mendapat ketokonazol,
troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang interval QT dan
mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan
gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan
interval QT (seperti pasien hipokalemia). Kemungkinan adanya hubungan kausal antara
penggunaan antihistamin non sedative dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan
lebih lanjut.

Cara Pembuatan:

Misalnya cara pembuatan pada obat C.T.M

Chlorpheniramine, 3-(p-chlorophenyl)-3-(2-pyridyl)propyldimethylamine (16.1.12) disintesis


melalui 2 jalur.
Jalur pertama: dari 4- klorbenzilcyanid yang direaksikan dengan 2-klorpiridin dengan
kehadiran Natrium amida membentuk 4-klorofenil (2-piridil) asetonitril (16.1.10). Alkilasi
produk ini dengan 2-dimetilaminoetilklorida dalam Natrium amida menghasilkan γ-(4-
klorofenil)-γ-siano-N,N-dimetil-2-piridinpropanamin (16.1.11), hidrolisis dan dekarboksilasi
produk ini menghasilkan klorfeniramin (16.1.12)

Jalur kedua: dari piridin, melalui alkilasi oleh 4-klorobenzilklorida, menghasilkan 2-(4-
klorobenzil) piridin (16.1.13). Alkilasi produk ini dengan 2-dimetilaminoetilklorida dalam
natrium amida menghasilkan klorfeniramin (16.1.12)
Bab III

Penutup

Kesimpulan

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor-histamin (penghambatan saingan).
Antihistaminikum juga dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yakni Antagonis reseptor-H1
(singkatnya disebut H1-blockers atau antihistaminika) dan Antagonis reseptor-H2 (H2-
blockers atau zat penghambat asam).
Daftar Pustaka

 Rahardja dkk. 2007. Obat-Obat Penting. Gramedia. Jakarta

 Contoh Makalah:Obat Antihistamin


http://contohmakalah4.blogspot.com/2013/07/obat-antihistamin.html diakses tanggal
27 September 2014

 http://arimjie.blogspot.com/2012/05/sintesis-obat-chlorpheniramine.html diakses
tanggal 27 September 2014

 Siswandono dan Bambang Soukardjo.2000.Kimia Medisinal.Airlangga University


press. Surabaya

Anda mungkin juga menyukai