Anda di halaman 1dari 15

BESAR INDEKS PONT DAN KORKHAUS SERTA HUBUNGAN

ANTARA LEBAR DAN PANJANG LENGKUNG GIGI


TERHADAP TINGGI PALATUM PADA SUKU JAWA

Oleh:
G.A.M. D. H. Paramesthi, C.A.Farmasyanti dan D. Karunia

INTISARI
Setiap ras memiliki ciri-ciri khusus untuk suatu ras tertentu sehingga tidak dapat
digunakan sebagai standar untuk ras yang lainnya. Pont dan Korkhaus menggunakan indeks yang
didapatkan dari ras Kaukasoid sehingga perlu dilakukan penelitian pada suku Jawa yang
tergolong dalam ras Mongoloid. Sering dijumpai pasien dengan palatum tinggi mempunyai
lengkung gigi yang panjang dan sempit. Hal itu menandakan adanya hubungan antara tulang
kepala, maksila, dan palatum Penelitian ini, selain bertujuan untuk mengetahui nilai indeks lebar
lengkung gigi, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum berdasarkan analisis Pont dan
Korkhaus, juga untuk mengetahui hubungan lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi
palatum pada suku Jawa.
Penelitian bersifat deskriptif dan analitik. Sebanyak 31 subjek (8 laki-laki dan 23
perempuan) diambil dari mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada
angkatan tahun 2006-2009 dengan metode selected sampling. Data diperoleh dari pengukuran
pada model studi rahang atas meliputi lebar mesiodistal keempat insisivus, lebar interpremolar,
lebar intermolar, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum sesuai dengan parameter yang
digunakan oleh Pont dan Korkhaus. Analisis statistik deskriptif, uji t tidak berpasangan, dan uji
regresi digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suku Jawa mempunyai indeks premolar Pont
82,62 ± 4,41; indeks molar Pont 65,96 ± 4,42; indeks panjang lengkung gigi Korkhaus 163,49
±8,02; dan indeks tinggi palatum Korkhaus 36,29 ± 4,42. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa tidak ada korelasi antara lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum
(p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan antara lebar dan panjang
lengkung gigi terhadap tinggi palatum berdasarkan metode Pont dan Korkhaus pada suku Jawa.

Kata kunci: indeks Pont dan Korkhaus, lebar lengkung gigi, panjang lengkung gigi, tinggi
palatum

ABSTRACT
Every race has specific characteristics therefore can not be used for any other racial
standard. Pont and Korkhaus used index from Kaukasoid and so that this study was done in
other race, Javanese ethnic, that is classified in Mongoloid. High palate often seen in patients
with long and narrow dental acrh. This explain that there is correlation between craniofasial,
maxilla, and palate. The aim of this study was to determine the index of interpremolar,
intermolar, arch length, and palatal height by Pont and Korkhaus and also to the correlation
between arch width, arch length with palatal height.
This is a descriptive and analytic research. Thirty one subjects (8 males and 23 females)
were selected from students of Dentistry Faculty of Gadjah Mada University grade 2006-2009
by selected sampling method. Measurement were obtained directly from study model and they
included mesiodistal crown diameters of the four maxillary incisors, as well as interpremolar

1
width, intermolar width, arch length, and palatal height as specified by Pont and Korkhaus.
Descriptive analysis, independent t test, and regression test were used as statistical analysis.
The result showed that in Javanese ethnic, Pont’s index were found 82,62 ±4,41 in the
premolar area and 65,96 ± 4,42 in the molar area; and Korkhaus’ index were found 163,49 ±
8,02 for anterior arch length and 36,29 ± 4,42 for palatal height. It was concluded that there
was no correlation between arch width, arch length with palatal height in Javanese ethnic by
Pont’s and Korhaus’ method.

Key words: Pont’s and Korkhaus’ index, arch width, arch length, palatal height.

PENDAHULUAN
Analisis lebar dan panjang lengkung gigi serta tinggi palatum dapat dilakukan pada model
studi. Analisis Pont dan Korkhaus adalah dua di antara beberapa analisis model studi yang telah
lama digunakan di bidang ortodonsia. Indeks Korkhaus adalah pengembangan index dari Pont
sehingga memiliki beberapa persamaan dalam pengukurannya. Indeks Korkhaus menggunakan
titik referensi interpremolar yang sama digunakan pada indeks Pont dalam penentuan indeks
panjang lengkung gigi dan titik referensi intermolar Pont dalam penentuan indeks tinggi palatum.
Penentuan indeks Pont maupun Korkhaus terdahulu dilakukan pada ras Kaukasoid. Setiap
ras memiliki ciri-ciri khusus untuk ras tersebut sehingga ciri-ciri tersebut tidak dapat digunakan
sebagai standar untuk ras yang lainnya. Ukuran normal yang ditentukan pada suatu kelompok
tertentu tidak dapat digunakan untuk kelompok lain. Suku Jawa yang termasuk ke dalam ras
Mongoloid, memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan ras Kaukasoid.
Perbedaan ras Mongoloid dan Kaukasoid tampak pada ukuran gigi dan morfologi palatum.
Ras Mongoloid memiliki ukuran gigi yang lebih besar daripada ras Kaukasoid. Indeks Pont
menggambarkan adanya hubungan antara lebar mesiodistal keempat gigi insisivus dengan lebar
lengkung gigi di regio premolar dan molar sehingga kemungkinan pada ras Mongoloid memiliki
lengkung gigi yang lebih lebar daripada ras Kaukasoid. Tinggi palatum pada ras Mongoloid,
yang cenderung memiliki kubah palatum datar, lebih rendah daripada ras Kaukasoid yang
cenderung memiliki kubah palatum tinggi.
Tulang maksila terhubung dengan tulang palatum melalui suatu sutura yang memberi
kesempatan pada tulang untuk berkembang dan berkontak dengan tulang di sekitarnya. Sistim
sutura membuat maksila dan palatum bergerak ke depan dan ke bawah terhadap basis kranium
anterior selama masa pertumbuhan. Lengkung maksila menjadi lebih tinggi dan lebih lebar
akibat pertumbuhan, sementara itu lengkungan palatum akan bertambah besar secara transversal
(tinggi) dan sagital (panjang) sepanjang masa kanak-kanak sampai dewasa. Korkhaus
menyatakan bahwa nilai indeks tinggi palatum diperoleh dari membagi tinggi palatum dengan
lebar intermolar (metode Pont) yang berarti bahwa tinggi palatum berbanding terbalik dengan
lebar intermolar. Lebar lengkung gigi berbanding terbalik dengan panjang lengkung gigi.
Panjang lengkung gigi maksila meningkat seiring dengan membesarnya lengkungan palatum
secara sagital.
Pasien ortodontik di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta
sebagian besar berasal dari suku Jawa akibat dari letak geografisnya. Penelitian mengenai besar
indeks Pont dan Korkhaus serta analisis hubungan antara lebar dan panjang lengkung gigi
terhadap tinggi palatum dengan menggunakan parameter metode Pont dan Korkhaus ini
dilakukan pada orang Jawa.

2
PERMASALAHAN
1. Berapakah besar indeks lebar lengkung gigi di regio premolar dan molar menurut Pont serta
indeks panjang lengkung gigi dan tinggi palatum menurut Korkhaus pada suku Jawa?
2. Bagaimana hubungan lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum berdasarkan
analisis Pont dan Korkhaus pada suku Jawa?

TINJAUAN PUSTAKA
Lengkung gigi adalah lengkung yang dibentuk oleh mahkota gigi-geligi. Lengkung gigi
merupakan refleksi gabungan dari ukuran mahkota gigi, posisi dan inklinasi gigi, bibir, pipi dan
lidah (Moyers, 1988). Bentuk lengkung gigi menurut Glinka (1990) adalah elips, huruf U, dan
parabola. Budiman dkk. (2009) menyatakan variasi bentuk lengkung gigi anterior secara
kualitatif ialah oval, tapered, atau square sedangkan secara kuantitatif bentuk lengkung gigi
dipengaruhi oleh interkaninus, tinggi kaninus, intermolar, dan tinggi molar.
Perkembangan lengkung gigi tergantung dari pertumbuhan rahang (Salzmann, 1966).
Bishara dkk. (1998) menyatakan bahwa lengkung maksila akan terus berkembang sampai dengan
umur 13 tahun dan pada lengkung mandibula sampai dengan umur 8 tahun. Penelitian Budiman
dkk. (2009) menyatakan lebar lengkung gigi berbanding terbalik dengan panjang lengkung gigi.
Basis apikal lengkung gigi maksila dan konfigurasi fosa kranial anterior berkaitan dengan
palatum. Bentuk palatum merupakan proyeksi dari keduanya (Enlow, 1990).
Tulang maksila terhubung dengan beberapa tulang, di antaranya tulang frontalis,
lakrimalis, nasalis, vomer, palatina, dan zigomatik melalui sutura yang berisi jaringan ikat
(Fehrenbach dan Herring, 2007). Letak maksila berada di bawah basis kranium anterior.
Pertumbuhan sutura-sutura di maksila menyebabkan maksila bergerak ke inferior dan anterior
dalam hubungannya terhadap basis kranium anterior (Koch dkk., 1990 sit. Hayati, 2003).
Pertumbuhan maksila berhenti pada usia sekitar 15 tahun untuk wanita sedangkan pada
pria sekitar usia 17 tahun (Rahardjo, 2009). Perluasan anterior dari lengkung maksila tidak
memerlukan waktu yang lama selama periode gigi desidui. Permukaan anterior kemudian
mengalami resorpsi yang merupakan bagian dari pertumbuhan dan proses remodeling terus
berlanjut menghasilkan pergerakan pertumbuhan ke bawah dari lengkung maksila dan palatum
(Enlow, 1990). Palatum dibentuk dengan kontribusi dari prosesus maksilaris dan prosesus
fronto-nasalis (Iyyer, 2003). Prosesus maksilaris membentuk palatum keras atau palatum durum
pada tiga perempat bagian anterior (Drake dkk., 2005) sedangkan bagian posterior palatum tidak
terjadi penulangan dan membentuk palatum lunak atau palatum molle (Iyyer, 2003). Sutura mid-
palatal menyatu pada umur 12-14 tahun (Iyyer, 2003).
Palatum memperlihatkan hubungan antara kranium dan fasial. Bentuk palatum akan
berpengaruh jika terjadi asimetri pada basis kranium. Basis apikal geligi atas ditentukan oleh
konfigurasi dan ukuran perimeter palatum sehingga terdapat hubungan antara otak, basis
kranium kemudian ke konfigurasi lengkung gigi (Enlow, 1990). Faktor-faktor yang mengontrol
pertumbuhan kraniofasial antara lain: genetik, pertumbuhan badan secara umum, tindakan bedah,
malnutrisi, malfungsi dan malformasi kraniofasial (Titien, 2003).
Palatum ikut turun sesuai pertumbuhan maksila ke bawah yang diikuti oleh aposisi pada
permukaan yang menghadap ke dasar rongga hidung. Lengkung palatal bertambah dalam dengan
adanya pertumbuhan prosesus alveolaris (Rahardjo, 2009). Ruang mulut dalam pertumbuhan
anak-anak letaknya makin menjauh dari dasar tengkorak karena adanya pertumbuhan dari sinus
maksilaris dan rongga hidung. Lengkungan transversal dan sagital dari palatum akan bertambah

3
besar sepanjang masa kanak-kanak sampai dewasa (Muhammad, 1975; Sperber, 1976). Ciusa
dkk. (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan palatum dapat dipengaruhi kebiasaan buruk dan
parafungsi oral. Pertumbuhan tinggi palatum telah lengkap pada usia 16 tahun dan jenis kelamin
mempengaruhi tinggi palatum (Zarringhalam, 2004). Bentuk palatum menurut Banabilh dkk.
(2010) dikelompokkan menjadi bentuk normal yaitu bentuk U dan bentuk V yang menandakan
bahwa maksila sempit. Eckert (1997) menyatakan adanya perbedaan bentuk palatum yang
berkaitan dengan ras. Ras Kaukasoid cenderung memiliki kubah palatum tinggi, ras Negroid
cenderung memiliki kubah palatum pendek, dan ras Mongoloid cenderung memiliki kubah
palatum datar.
Salah satu analisis model studi yang banyak digunakan ialah analisis Pont. Analisis Pont
membantu dalam menentukan lengkung gigi tergolong sempit, lebar, atau normal; menentukan
perlu tidaknya ekspansi lateral terhadap lengkung gigi; dan menentukan besarnya kemungkinan
ekspansi pada regio premolar dan molar (Iyyer, 2003). Semua pengukuran indeks Pont hanya
dilakukan pada lengkung gigi maksila (Gupta dkk, 1979). Alasan Pont memilih keempat gigi
insisivus maksila adalah untuk penyederhanaan metode predeterminasi lengkung (Stifter, 1958).
Indeks Pont sebesar 80 pada regio premolar dan 64 pada regio molar (Joondeph dkk., 1970).
Pont mengemukakan gigi yang lebar membutuhkan lengkung yang lebar untuk
membentuk susunan yang normal. Jika jumlah lebar mesiodistal insisivus maksila pada model
gigi dan pengukuran jarak interpremolar dan jarak intermolar diketahui, maka indeks Pont
diperoleh melalui cara:
a. indeks premolar = jumlah mesiodistal keempat insisivus maksila x 100
jarak interpremolar

jumlah mesiodistal keempat insisivus maksila


b. indeks molar = x 100
jarak intermolar (Salzmann, 1950).

Lebar mesiodistal gigi diperoleh dengan mengukur jarak dari titik kontak mesial ke titik
kontak distal gigi yang terbesar dengan menggunakan jangka sorong (Bishara dkk., 1989;
Glinka, 1990). Dimensi mesiodistal gigi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi profil
wajah (Susilowati, 2009). Titik pengukuran yang dipergunakan merupakan cekung distal pada
oklusal gigi premolar pertama untuk mengukur jarak interpremolar dan pada cekung mesial pada
permukaan oklusal pada gigi molar pertama maksila untuk mengukur jarak intermolar seperti
yang diperlihatkan pada gambar 3 (Iyyer, 2003).
Pengukuran panjang lengkung gigi menurut Korkhaus dapat dilakukan dengan mengukur
jarak dari titik paling anterior permukaan labial gigi insisivus pertama maksila tegak lurus
dengan garis yang menghubungkan titik referensi lebar interpremolar Pont (Rakosi dkk., 1993).
Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus diperoleh melalui:

indeks panjang lengkung gigi= jumlah mesiodistal keempat insisivus maksila x 100
panjang lengkung gigi
Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus adalah 160 (Korkhaus, 1938 sit. Rakosi dkk., 1993).
Korkhaus (1939 sit. Rakosi dkk., 1993) menilai bentuk palatum berdasarkan indeks tinggi
palatum. Palatum yang tinggi merupakan gambaran dari penyempitan bagian apikal prosesus
alveolaris maksila yang biasanya terjadi pada kasus dengan kebiasaan menghisap jari atau
bernafas melalui mulut. Tinggi palatum berdasarkan Korkhaus didefinisikan sebagai garis

4
vertikal yang tegak lurus terhadap raphe palatina yang berjalan dari permukaan palatum ke
permukaan oklusal pada garis intermolar menurut Pont.
Indeks tinggi palatum dapat diketahui melalui rumus sebagai berikut:
tinggi palatum
indeks tinggi palatum = x 100
jarak intermolar
Nilai rata-rata indeks tersebut ialah 42, yang merupakan indeks ras Kaukasoid, selanjutnya dalam
penelitian yang dilakukan Korkhaus (1939 sit Rakosi dkk., 1993) diketahui bahwa nilai indeks
ini meningkat apabila palatum tinggi dan nilainya menurun jika palatum dangkal.
Sukadana (1976) menyebutkan bahwa salah satu suku yang yang tergolong Deutero-
Melayu adalah suku Jawa. Suku Jawa paling banyak tinggal di tanah Jawa dan merupakan suku
terbesar di Indonesia (Supriatna, 2008). Haviland (1995) menyatakan setiap populasi mempunyai
ciri-ciri umum karena adaptasi dengan lingkungan, khususnya dengan iklim yang terus berubah.
Kebudayaan dalam suatu populasi merupakan sesuatu hubungan erat dan bersifat turun-temurun.
Hal ini juga akan menurunkan ciri-ciri fisiknya (Halim dan Sylvia, 2003). Ciri-ciri fisik pada
manusia pada dasarnya merupakan ciri-ciri bawaan atau ciri genetik yang dapat diamati sebagai
hasil ekspresi pembawa sifat-sifat keturunan dengan susunan tertentu yang dipenuhi oleh faktor
lingkungan (Sofro, 1998). Ciri-ciri menonjol dari suatu suku bangsa dapat diklasifikasikan
berdasarkan beberapa rumpun, subrumpun, keluarga, dan subkeluarga yang biasanya hal ini
terlihat pada kebudayaan yang dipergunakan sehari-hari masyarakat suku bangsa tersebut
(Sutardi, 2007). Ciri khas budaya suku Jawa di antaranya adalah kelambanannya dalam bertindak
dan suka mengelompok (Hardjowirogo, 1983). Ciri fisik suku Jawa di Yogyakarta menurut
penelitian Rahmawati dkk. (2003) adalah memiliki bentuk kepala antara lonjong dan bulat,
bermuka sempit, dan dahi yang lebar.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada model studi rahang atas mahasiswa suku Jawa di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan tahun 2006-2009. Subjek
penelitian berjumlah 31 yang terdiri dari 8 subjek laki-laki dan 23 subjek perempuan, dalam
persen 74,2% didominasi oleh subjek perempuan dan 25,8% subjek laki-laki. Pengukuran pada
model studi rahang atas meliputi lebar mesiodistal keempat insisivus, lebar interpremolar dan
lebar intermolar yang diukur dengan jangka sorong merek New Deland dengan ketelitian 0,02
mm, panjang lengkung gigi yang diukur jangka sorong merek New Deland dengan ketelitian
0,02 mm dan penggaris lurus serta pengukuran tinggi palatum dengan bantuan palatal height
guider (Gambar 1) dan jangka sorong (Gambar 2) sesuai dengan parameter yang digunakan oleh
Pont dan Korkhaus.

5
y
y

Gbr 1. Aplikasi palatal height guider pada model Gbr 2. Aplikasi jangka sorong pada palatal height
gigi rahang atas.y: tinggi palatum. guider untuk mengukur tinggi palatum.y: tinggi
palatum.

HASIL PENELITIAN
Indeks premolar dan molar Pont serta indeks panjang lengkung gigi dan tinggi palatum
Korkhaus
Hasil analisis statistik deskriptif dan uji t tidak berpasangan untuk menguji kemaknaan
perbedaan ukuran jumlah lebar mesiodistal insisivus, lebar interpremolar, lebar intermolar,
panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada
tabel 2.

Tabel 2. Rerata, simpangan baku, dan uji t tidak berpasangan lebar mesiodistal keempat insisivus, lebar
interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum pada model studi
rahang atas antara mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada angkatan tahun 2006-2009.
Rerata dan Nilai
Jenis Jumlah
Variabel simpangan baku t hitung kemaknaan (p)
Kelamin sampel uji t
(mm)
Lebar mesiodistal Laki-laki 8 32,57 ± 0,85
2,603 0,014*
keempat insisivus Perempuan 23 30,69 ± 1,96
Lebar Laki-laki 8 39,05 ± 1,37
2,194 0,036*
interpremolar Perempuan 23 37,33 ± 2,06
Laki-laki 8 48,99 ± 3,23
Lebar intermolar 2,154 0,040*
Perempuan 23 46,89 ± 2,02
Panjang lengkung Laki-laki 8 19,67 ± 1,49
1,524 0,138
gigi Perempuan 23 18,89 ± 1,15
Laki-laki 8 18,02 ± 1,38
Tinggi palatum 1,654 0,109
Perempuan 23 16,81 ± 1,89
*Nilai kemaknaan (p) < 0,05

Laki-laki diketahui mempunyai rerata lebih besar daripada perempuan pada semua
variabel pengukuran, namun dari uji t tidak berpasangan yang dilakukan, menunjukkan bahwa

6
tidak terdapat perbedaan bermakna pada panjang lengkung gigi dan tinggi palatum antara laki-
laki dan perempuan (p>0,05), meskipun jumlah lebar mesiodistal gigi insisivus, lebar
interpremolar, maupun lebar intermolar laki-laki lebih besar secara bermakna daripada
Simpangan
Variabel Rerata
baku
Indeks premolar Pont 82,62 4,41
Indeks molar Pont 65,96 4,42
Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus 163,49 8,02
Indeks tinggi palatum Korkhaus 36,29 4,42
perempuan (p<0,05).
Uji t tidak berpasangan yang dilakukan terhadap semua indeks Pont dan Korkhaus baik
pada indeks interpremolar Pont, indeks intermolar Pont, indeks panjang lengkung gigi Korkhaus,
dan indeks tinggi palatum Korkhaus, diketahui tidak ada perbedaan bermakna antara laki-laki
dan perempuan (p>0,05) yang diperlihatkan pada tabel 3 sehingga permasalahan penelitian untuk
mengetahui besar indeks Pont dan Korkhaus suku Jawa pada penelitian ini dapat diketahui tanpa
membedakan laki-laki dan perempuan sebagaimana tertulis dalam tabel 4.

Tabel 3. Uji t tidak berpasangan terhadap variabel indeks interpremolar Pont, indeks intermolar Pont,
indeks panjang lengkung gigi Korkhaus, dan indeks tinggi palatum Korkhaus antara laki-laki
dan perempuan pada mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah
Mada angkatan 2006-2009.
Variabel Jenis kelamin t hitung Nilai kemaknaan (p)
Laki-laki
Indeks premolar Pont 0,600 0,553
Perempuan
Laki-laki
Indeks molar Pont 0,517 0,609
Perempuan
Indeks panjang lengkung Laki-laki
1,155 0,257
gigi Korkhaus Perempuan
Indeks tinggi palatum Laki-laki
0,498 0,622
Korkhaus Perempuan
*Nilai kemaknaan (p) < 0,05
Tabel 4. Rerata dan simpangan baku indeks interpremolar Pont, indeks intermolar Pont, indeks panjang
lengkung gigi Korkhaus, dan indeks tinggi palatum Korkhaus pada mahasiswa suku Jawa di
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada angkatan tahun 2006-2009.

Tabel 4 menunjukkan bahwa mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Gadjah Mada mempunyai indeks premolar Pont 82,62 ± 4,41; indeks molar Pont
65,96 ± 4,42; indeks panjang lengkung gigi Korkhaus 163,49 ±8,02; dan indeks tinggi palatum
Korkhaus 36,29 ± 4,42.

Uji hubungan lebar intermolar, interpremolar, dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi
palatum
Metode analisis Shapiro-Wilk digunakan untuk uji normalitas data dengan sampel kecil
yaitu ≤50 (Dahlan, 2009). Data lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi, dan
tinggi palatum menunjukkan distribusi normal (p>0,05) sebagaimana terlihat pada tabel 5.

7
Tabel 5. Uji normalitas Shapiro-Wilk terhadap lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung
gigi, dan tinggi palatum pada model studi rahang atas mahasiswa suku Jawa di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada angkatan tahun 2006-2009.
Variabel Nilai kemaknaan (p)
Lebar interpremolar 0,603*
Lebar intermolar 0,121*
Panjang lengkung gigi 0,972*
Tinggi Palatum 0,170*
*Nilai kemaknaan (p) > 0,05

Uji regresi dan uji korelasi Pearson dilakukan untuk mengetahui variabel pengaruh lebar
interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum (tabel 6).

Tabel 6.Uji regresi variabel pengaruh (lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi)
terhadap variabel terpengaruh (tinggi palatum) pada mahasiswa suku Jawa di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada angkatan tahun 2006-2009.
Variabel pengaruh Koefisien Korelasi Nilai Koefisien
(terhadap tinggi palatum) Pearson (r) Kemaknaan (p) determinasi
Lebar interpremolar 0,095 0,305
Lebar intermolar 0,018 0,461 0,024
Panjang lengkung gigi 0,139 0,229
*Nilai kemaknaan (p) < 0,05
Tabel 6 menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan dengan komposisi 74,2%
perempuan dan 25,8% laki-laki pada mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada tidak ada korelasi dari variabel pengaruh yang meliputi lebar
interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum (p>0,05). Besar
koefisien determinasi variabel-variabel tersebut adalah 0,024. Hal ini menunjukkan pengaruh
variabel lebar interpremolar, lebar intermolar, dan panjang lengkung gigi terhadap perubahan
variabel tinggi palatum adalah 2,4% dan 97,6% dipengaruhi oleh variabel lainnya.

PEMBAHASAN
Hasil analisis penelitian pada suku Jawa menunjukkan bahwa jumlah mesiodisal insisivus
laki-laki lebih besar secara bermakna (p<0,05) daripada perempuan. Hal ini sesuai dengan
penelitian Ueta (1984) dan Elizabeth (2007) yang menjumpai adanya perbedaan lebar
mesiodistal insisivus antara laki-laki dengan perempuan. Penelitian-penelitian terdahulu yang
dilakukan Bishara dkk. (1994) di Iowa juga menjumpai rerata jumlah mesiodistal insisivus
rahang atas laki-laki yang lebih besar daripada perempuan, penelitian Gaidyte dkk. (2003) pada
37 laki-laki dan 71 perempuan (65,7% sampel didominasi oleh perempuan) di Universitas
Kedokteran Kaunas, menjumpai bahwa jumlah gigi anterior laki-laki yang lebih besar daripada
perempuan.
Lebar interpremolar dan intermolar pada laki-laki suku Jawa dalam penelitian ini
diketahui lebih besar secara bermakna (p<0,05) daripada perempuan suku Jawa. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Bishara dkk. (1996) yang menyatakan bahwa laki-laki
memiliki lengkung gigi yang lebih lebar daripada perempuan. Penelitian Burris dan Harris
(2000) yang dilakukan di Amerika, juga menjumpai bahwa rerata jarak interpremolar dan
intermolar rahang atas laki-laki lebih besar daripada perempuan. Hasil penelitian ini juga
didukung penelitian Huth dkk. (2007) dan Kunz dkk. (2008) yang menjumpai adanya perbedaan

8
lebar intermolar yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, demikian pula penelitian
Agnihotri dan Gulati (2008) pada populasi Indian Utara, Ling dan Wong (2009) pada populasi
Cina Selatan.
Lebar mesiodistal gigi dan lebar lengkung gigi pada berbagai ras seperti yang telah
diuraikan, seakan-akan menunjukkan bahwa secara umum ukuran pada laki-laki lebih besar
daripada perempuan, namun hal ini ternyata tidak berlaku untuk dimensi panjang lengkung gigi.
Panjang lengkung gigi laki-laki yang lebih besar daripada perempuan pada penelitian ini
dijumpai tidak signifikan (p>0,05).
Hasil penelitian pada suku Jawa ini sesuai dengan penelitian Bishara dkk. (1996) yang
juga menjumpai bahwa perbedaan panjang lengkung gigi antara laki-laki dan perempuan di Iowa
secara statistik tidak berbeda bermakna. Burris dan Harris (2000) menyatakan bahwa perbedaan
panjang lengkung gigi lebih cenderung disebabkan karena faktor ras daripada jenis kelamin. Hal
ini disimpulkan dari penelitian yang dilakukan dengan membedakan kelompok laki-laki dan
perempuan pada populasi Amerika berkulit hitam dan berkulit putih, dan menemukan bahwa
panjang lengkung gigi tidak berbeda bermakna antara laki-laki dengan perempuan namun
berbeda bermakna antara populasi Amerika berkulit hitam dengan berkulit putih. Perbedaan
panjang lengkung gigi yang terjadi dalam ras tersebut dikatakan karena bentuk lengkung gigi
pada populasi Amerika berkulit hitam cenderung lebih lebar (menyebar) dan kurang meruncing
dibandingkan populasi Amerika berkulit putih (Burris dan Harris, 2000).
Rerata tinggi palatum laki-laki suku Jawa dalam penelitian ini lebih besar daripada
perempuan suku Jawa, namun setelah dilakukan uji t tidak berpasangan ternyata tidak berbeda
bermakna (p>0,05). Hal itu sesuai dengan penemuan beberapa peneliti yang juga menjumpai
jenis kelamin tidak secara signifikan mempengaruhi perkembangan vertikal dari kubah palatum
(Vidic, 1971; Tsai dan Tan 2004).
Pembentukan kubah palatum setelah lahir lebih dipengaruhi oleh perkembangan lokal
pada rongga mulut dan kekuatan fungsional seperti otot lidah, maloklusi, menghisap jari (Vidic,
1971) dan kelainan pernafasan (Ciusa, 2007). Subjek yang digunakan pada penelitian ini tidak
memiliki kebiasaan buruk seperti menghisap ibu jari atau jari lainnya dan bernafas melalui mulut
yang dapat mempengaruhi morfologi kubah palatum setelah lahir sehingga dapat dianggap
bahwa morfologi kubah palatum baik pada subjek laki-laki maupun perempuan pada penelitian
ini adalah sama secara vertikal.
Hasil penelitian tinggi palatum ini bertentangan dengan penelitian Zarringhalam (2004)
yang menjumpai bahwa pada orang-orang beroklusi normal, tinggi palatum laki-laki lebih besar
daripada perempuan. Perbedaan ini dimungkinkan karena adanya perbedaan metode pengukuran
tinggi palatum, alat penelitian, dan jumlah sampel. Cara yang digunakan Zarringhalam tidak
dikemukakan secara jelas namun terlihat penggaris segitiga dan bantuan penggaris lain
digunakan Zarringhalam untuk mengukur tinggi palatum pada model studi. Jumlah sampel yang
digunakan pada penelitian Zarringhalam sebanyak 60 sampel dengan proporsi yang seimbang
antara laki-laki dan perempuan (masing-masing 30 sampel) yang berasal dari Iran (ras
Kaukasoid).
Penelitian Tsai dan Tan (2004) menggunakan sampel penelitian yang lebih besar dari
Zarringhalam (2004) dengan proporsi yang tidak seimbang yaitu 78 laki-laki dan 72 perempuan
dengan lengkung gigi normal yang berasal dari Taiwan (ras Mongoloid). Pengukuran tinggi
palatum pada penelitian Tsai dan Tan dilakukan pada fotografi digital dari model studi sampel.
Hasil penelitian Tsai dan Tan dengan demikian mungkin lebih dapat dipercaya daripada
penelitian Zarringhalam. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari suku Jawa

9
yang juga tergolong ke dalam ras Mongoloid. Hal inilah yang memungkinkan adanya persamaan
hasil antara penelitian ini dengan penelitian Tsai dan Tan.

Besar indeks interpremolar Pont, intermolar Pont, panjang lengkung gigi Korkhaus, dan
tinggi palatum Korkhaus
Hasil uji t tidak berpasangan untuk indeks Pont dan Korkhaus antara laki-laki dan
perempuan suku Jawa diketahui tidak berbeda bermakna sehingga penentuan besar indeks Pont
dan Korkhaus pada penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Indeks Pont pada
suku Jawa untuk regio premolar adalah 82,62 dan untuk regio molar adalah 65,96. Hasil
penelitian ini berbeda dengan indeks Pont terdahulu yang menyatakan besarnya indeks pada
regio premolar adalah 80 dan pada regio molar adalah 64 (Pont, 1909 sit. Joondeph dkk., 1970).
Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus pada suku Jawa adalah 163,49 sedangkan indeks
panjang lengkung gigi menurut Korkhaus (1938 sit. Rakosi dkk., 1993) adalah 160. Perbedaan
ini terjadi karena perbedaan ras. Pont dan Korkhaus mendapatkan nilai indeks dari subjek
penelitian ras Kaukasoid (Pont, 1909 sit. Gupta dkk., 1979) sedangkan pada penelitian ini semua
subjek berasal dari suku Jawa, yang tergolong ras Mongoloid (Jacob, 1978). Hasil yang sama
juga dijumpai pada orang Amerika (Stifter, 1958) dan orang Indian Utara yang tergolong ras
Mongoloid (Gupta dkk., 1979) dengan nilai indeks interpremolar dan indeks molar yang lebih
besar dengan indeks Pont terdahulu.
Ukuran gigi akan berbeda pada ras yang berbeda (Graber, 1972), sehingga bisa
dimengerti bahwa nilai indeks Pont dan Korkhaus yang lebih besar dalam penelitian ini
kemungkinan karena ukuran mesiodistal insisivus maksila suku Jawa (ras Mongoloid) lebih
besar daripada ras Kaukasoid. Lavelle (1972 sit. Gupta dkk., 1979) yang melakukan penelitian
pada ras Kaukasoid, Negroid, dan Mongoloid, menjumpai bahwa ukuran gigi ras Negroid
terbukti lebih besar dari pada ukuran gigi ras Mongoloid sementara ukuran gigi ras Mongoloid
lebih besar daripada ras Kaukasoid (Lavelle, 1972 sit. Othman dan Harradine, 2006).
Pont (1909 sit. Gupta dkk., 1979; Stifter, 1958) mengatakan adanya hubungan antara
keempat mesiodistal insisivus permanen dengan lengkung gigi maksila, hal ini dapat diartikan
bahwa semakin besar jumlah mesiodistal insisivus permanen akan menyebabkan lengkung gigi
maksila semakin besar pula. Suku Jawa yang termasuk ras Mongoloid kemungkinan memiliki
lengkung gigi maksila lebih besar daripada ras Kaukasoid, karena adanya perbedaan ukuran gigi
(Lavelle, 1972 sit. Othman dan Harradine, 2006). Eckert (1997), di lain pihak juga mengaitkan
perbedaan ras ini dengan adanya perbedaan bentuk lengkung gigi. Ras Kaukasoid cenderung
memiliki lengkung gigi yang sempit sedangkan pada ras Mongoloid, lengkung gigi maksila
berbentuk elips. Pernyataan Eckert tersebut secara tersirat dapat memperjelas lebih besarnya
lebar interpremolar, lebar intermolar, dan panjang lengkung gigi maksila pada suku Jawa (ras
Mongoloid), yang mempunyai lengkung gigi berbentuk elips.
Sama halnya dengan indeks lengkung gigi Pont dan Korkhaus, perbedaan ras ini juga
menjadikan indeks tinggi palatum Korkhaus pada suku Jawa sebesar 36,29 sedangkan indeks
Korkhaus sebesar 42 (Korkhaus, 1939 sit. Rakosi dkk., 1993) pada ras Kaukasoid. Hal ini dapat
dikarenakan adanya perbedaan morfologi palatum antar satu ras dengan yang lain. Ras
Kaukasoid memiliki kubah palatum yang tinggi (Eckert, 1997), sempit dan cenderung berbentuk
segitiga (Indriati, 2004) sedangkan pada suku Jawa yang mewakili ras Mongoloid cenderung
memiliki kubah palatum datar (Eckert, 1997) dengan lebar palatum berukuran sedang (Indriati,
2004). Hal tersebut menyebabkan nilai indeks tinggi palatum pada suku Jawa lebih kecil
daripada nilai indeks Korkhaus pada ras Kaukasoid.

10
Burris dan Harris (2000) lebih jauh menyatakan bahwa sekelompok orang yang berasal
dari budaya yang berbeda dapat mengakibatkan adanya perbedaan bentuk dan dimensi lengkung
akibat adanya perbedaan morfologi pada kelompok tersebut. Kebudayaan dalam suatu populasi
merupakan sesuatu hubungan erat dan bersifat turun-temurun. Hal ini juga akan menurunkan
ciri-ciri fisiknya (Halim dan Sylvia, 2003). Al-Khateeb dan Alhaija (2006 sit. Hussein, 2008)
menambahkan pengaruh lingkungan luar, keturunan, dan pertumbuhan tulang juga berpengaruh
pada ukuran dan bentuk lengkung gigi. Al-Omari dkk. (2007) menyatakan bahwa sebaiknya
indeks yang diperoleh dari populasi tertentu tidak digunakan untuk menganalisis suatu kasus
pada populasi yang berbeda. Jadi, indeks Pont dan Korkhaus yang diperoleh pada penelitian
terdahulu sebaiknya tidak diterapkan untuk suku Jawa.

Hubungan lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum


Uji normalitas menunjukkan bahwa lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang
lengkung gigi, dan tinggi palatum merupakan data yang memiliki distribusi normal sehingga uji
regresi linier dapat dilakukan untuk mengetahui variabel mana dari lebar interpremolar, lebar
intermolar, dan panjang lengkung gigi yang paling mempengaruhi tinggi palatum. Hasil analisis
regresi menunjukkan tidak adanya korelasi antara lebar interpremolar, lebar intermolar, dan
panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum (p>0,05) yang berarti hipotesis ditolak. Hal itu
berarti dimensi lengkung gigi yang meliputi panjang dan lebar lengkung gigi tidak
mempengaruhi tinggi palatum pada suku Jawa.
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berumur minimal 17 tahun yang berarti baik
pertumbuhan tinggi palatum maupun lengkung gigi telah berhenti. Pertumbuhan tinggi palatum
terus meningkat semasa anak-anak dari umur 3 – 6 tahun (Ciusa dkk., 2007) dan bertambah
besar secara transversal sampai dewasa (Sperber, 1976). Pertumbuhan palatum akan
menunjukkan keadaan konstan selama periode gigi bercampur dan setelah erupsi gigi molar
kedua (Lebret, 1962). Vidic (1971) menjumpai pada penelitiannya bahwa pertumbuhan tinggi
palatum tidak akan berubah secara signifikan setelah usia 12 tahun dan tidak berubah secara
signifikan seiring dengan bertambahnya umur. Tidak berbeda jauh dengan palatum, lengkung
gigi maksila, juga akan terus berkembang sampai dengan umur 13 tahun Bishara (1998) atau
lebih dari 14 tahun (Moorrees dan Chadha, 1965).
Subjek penelitian ini mempunyai susunan gigi rapi dan lengkap hingga molar kedua
dengan bentuk palatum yang dianggap normal karena tidak memiliki torus palatinus maupun
kebiasaan buruk yang dapat mempengaruhi tinggi palatum. Kelainan pertumbuhan kraniofasial
yang menurut Titien (2003) dapat diakibatkan karena malnutrisi, malfungsi, dan malformasi
kraniofasial, juga tidak ada dalam subjek penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
yang terjadi pada lebar dan panjang lengkung gigi pada subjek penelitian ini secara signifikan
tidak berpengaruh pada tinggi palatum.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hassanali dan Odhiambo (2000) di Kenya
dan Phan dkk. (2007) di Kanada, yang juga menjumpai bahwa secara signifikan panjang
lengkung gigi tidak ada hubungan terhadap tinggi palatum. Demikian pula pada penelitian lebar
lengkung gigi yang dilakukan oleh Ciusa dkk. (2007) pada 150 sampel dengan lengkung gigi
normal, tidak memiliki korelasi dengan tinggi palatum.
Tidak adanya pengaruh lengkung gigi terhadap tinggi palatum ini mungkin karena bentuk
palatum, setelah lahir, lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan rongga mulut sekitar dan kekuatan
fungsional seperti aktivitas otot lidah dan maloklusi (Vidic, 1971). Palatum yang dibentuk
dengan kontribusi dari prosesus maksilaris dan prosesus fronto-nasalis (Iyyer, 2003)

11
memperlihatkan hubungan antara kranium dan fasial. Bentuk palatum akan terpengaruh jika
terjadi kelainan skeletal pada basis kranium (Enlow, 1990).
Dalam landasan teori dikatakan bahwa lengkungan palatum akan bertambah besar secara
transversal dan sagital sepanjang masa kanak-kanak sampai dewasa (Sperber, 1976). Tulang
maksila terhubung dengan tulang palatum melalui suatu sutura yang memberi kesempatan pada
tulang untuk berkembang dan berkontak dengan tulang di sekitarnya. Sistim sutura membuat
maksila dan palatum bergerak ke depan dan ke bawah terhadap basis kranium anterior selama
masa pertumbuhan (Proffit dkk., 2007). Lengkung maksila menjadi lebih tinggi dan lebih lebar
akibat pertumbuhan skeletal, yang dalam penelitian ini, berbeda dengan hipotesis, diketahui tidak
ada korelasi dengan panjang dan lebar lengkung gigi, sesuatu hal yang akan dijelaskan dalam
paragraf berikutnya.
Berbeda dengan palatum, lengkung gigi lebih dipengaruhi oleh faktor lokal (Rahardjo,
2009) baik oleh gigi geligi yang menyusun lengkung gigi itu sendiri (Thurow, 1970), hubungan
antar gigi, maupun dengan gigi antagonisnya (Iyyer, 2003). Lengkung gigi merefleksikan
gabungan antara ukuran gigi, lidah, bibir, dan fungsi dinding otot pipi (Moyer, 1988).
Hal baru yang juga bisa disampaikan dalam penelitian ini, meskipun tetap dalam skala
keterwakilan subjek penelitian yang digunakan, adalah bahwa lengkung gigi maksila bisa
dikatakan mempunyai hubungan dengan palatum namun dengan ukuran perimeternya bukan
ketinggiannya. Hal ini disimpulkan bersama-sama dengan pernyataan Enlow (1990) bahwa basis
apikal gigi geligi maksila yang ditentukan oleh konfigurasi dan ukuran perimeter palatum
dijumpai mempunyai keterkaitan dengan lengkung gigi.
Prosesus alveolaris baru terbentuk bila ada gigi (Moss-Salentijn dan Klyvert, 1980).
Pernyataan ini dan pernyataan Korkhaus (1939 sit. Rakosi dkk., 1993) yang mengatakan bahwa
palatum yang tinggi merupakan gambaran dari penyempitan bagian apikal prosesus alveolaris
maksila akibat menghisap jari atau bernafas melalui mulut, memperkuat hasil penelitian yang
dilakukan pada orang beroklusi normal dan tanpa kelainan kraniofasial ini.
Secara menyeluruh, berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa perubahan
palatum lebih bergantung pada pertumbuhan skeletalnya bukan lengkung giginya. Bahwasannya
seakan ada pengaruh palatum terhadap dimensi lengkung gigi, hal tersebut karena lengkung gigi
sangat dipengaruhi oleh faktor lokal di dalam mulut, termasuk posisi basis apikal gigi geligi pada
perimeter palatum.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:
1. Besar indeks Pont pada suku Jawa adalah 82,62 untuk indeks premolar dan 65,96 untuk
indeks molar sedangkan besar indeks Korkhaus pada suku Jawa adalah 163,49 untuk indeks
panjang lengkung gigi dan 36,29 untuk indeks tinggi palatum.
2. Tidak terdapat hubungan antara lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum
berdasarkan analisis Pont dan Korkhaus pada suku Jawa (p>0,05).

Acknowledgment: Terimakasih tidak terhingga kami haturkan kepada yth drg. Christnawati,
M.Kes, Sp.Ort.(K), atas budi baik penyediaan studi model penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

12
Agnihotri, G. dan Gulati, M.S., 2008, Maxillary Molar and Premolar Indices in North Indians: A
Dimorphic Study, The Internet Journal of Biological Anthropology, 2(1): 1-10.
Al-Omari, I.K., Duaibis, R.B., Al-Bitar, Z.B., 2007, Application of Pont’s Index to a Jordanian
Population, European Journal of Orthodontics, 29: 627-631.
Banabilh, S.M., Samsudin, A.R., Suzina, A. H., Dinsuhaimi, S., 2010, Facial Profile Shape,
Malocclusion and Palatal Morphology in Malay Obstructive Sleep Apnea Patients, Angle
Orthodontist, 80:37-42.
Bishara, S.E., Jakobsen, J.R., Abdallah, E.M., Garcia A.F., 1989, Comparisons of Mesiodistal
and Buccolingual Crown Dimensions of The Permanent Teeth in Three Populations From
Egypt, Mexico, and The United Stated, Am J Orthod Dentofac Orthop, 96(5): 416-122.
Bishara, S.E., Treder, J.E., Jakobsen, J.R., 1994, Facial and Dental Changes in Adulthood, Am J
Orthod Dentofac Orthop, 106: 175-186.
Bishara, S.E., Treder, J.E., Damon, P., Olsen, M., 1996, Changes in The Dental Arches and
Dentition Between 25 and 45 Years of Age, The Angle Orthodontist, 66(6): 417-422.
Bishara, S.E., Treder, J., Nowak, A., 1998, Arch Length Changes From 6 Weeks to 45 Years,
Angle Orthodontist, 68 (1):69-74.
Budiman, J.A., Hayati, R., Sutrisna, B., Soemantri, E.S., 2009, Identifikasi Bentuk Lengkung
Gigi Secara Kuantitatif, dentika Dental Journal, 14(2): 120-124.
Burris, B.G dan Harris, F.E, 2000, Maxillary Arch Size and Shape in American Blacks and
Whites, Angle Orthodontist, 70(4): 297-302.
Ciusa, V., Dimaggio, F.R., Sforza, C., Ferrario, V.F., 2007, Three-Dimentional Palatal
Development Between 3 and 6 Years, Angle Orthodontist, 77(4): 602-606.
Dahlan, M.S., 2009, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan
Multivariat, Edisi 4, Salemba Medika, Jakarta, h.46.
Drake, R.L, Vogl, W., Mitchell, A.W.M., 2005, Gray’s Anatomy for Students, Elsevier Churchill
Livingstone, Philadelphia, h.999.
Eckert, W.G., 1997, Forensic Odontology in Introduction to Forensic Science, Bernstein, M.
(eds.), Edisi 2, CRC Press, Inc., Boca Raton, h.317-319.
Elizabeth, A., 2007, Rata-Rata Ukuran Lebar Mesiodistal Gigi Panjang dan Lebar Lengkung
Geligi pada Anak Usia 12 Tahun di Pamekasan – Madura,
http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2007 ansyeeliza-3820, diunduh
6 September 2010.
Enlow, D.H., 1990, Facial Growth, Edisi 3, W.B. Saunders Company, Philadelphia, h.105-106,
115, 243, 319.
Fehrenbach, M.J. dan Herring, S.W., 2007, Anatomy of the Head and Neck, Edisi 3, Saunders
Elsevier, St. Louis, h.63-64.
Gaidyte, A., Latkauskiene, D., Baubiniene, D., Leskauskas, V., 2003, Analysis of Tooth Size
Discrepancy (Bolton Index) Among Patients of Orthodontic Clinic at Kaunas Medical
University, Stomatologija, 5(1): 27-30.
Glinka, J., 1990, Antropometri dan Antroposkopi, Edisi 3, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga, Surabaya, h.5, 22, 41.
Graber, T.M., 1972. Orthodontics Principles and Practise, Edisi 3, W.B. Saunders Company,
Philadelphia, h.4.
Gupta, D.S., Sharma, V.P., Anggarwal, S.P., 1979, Pont’s Index As Applied On Indians, Angle
Orthodontist, 49(4): 269-271.

13
Halim, H. dan Sylvia M., 2003., Posisi Gigi Dipengaruhi Oleh Faktor Ras (Studi Pustaka),
JKGUI, 10(Edisi Khusus): 183-187.
Hardjowirogo, M., 1983, Manusia Jawa, Yayasan Idayu, h.3.
Hassanali, J. dan Odhiambo, J.W., 2000, Analysis of Dental Cast of 6-8 – and 12-Year-old
Kenyan Children, European Journal of Orthodontics, 22: 135-142.
Haviland, W.A., 1995, Antropologi, Edisi IV, Jilid 1, Erlangga, Jakarta, h.183.
Hayati, R., 2003, Kajian Tumbuh Kembang Dentokraniofasial Untuk Kedokteran Gigi, JKGUI,
10: 454-461.
Hussein, K.H., 2008, Variations in Tooth Size, Dental Arch Dimentions and Shape Among
Malay School Children, Thesis, School of Dental Sciences Health Campus, Universiti
Sains Malaysia, h.2.
Huth, J., Staley, R.N., Jacobs, R., Bigelow, H., Jakobsen, J., 2007, Arch Widhts in Class II-2
Adults Compared to Adults with Class II-1 and Normal Occlusion, Angle Orthodontist,
77(5): 837-844.
Indriati, E., 2004, Antropologi Forensik: Identifikasi Rangka Manusia Aplikasi Antropologi
Biologis Dalam Konteks Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h.59-60.
Iyyer, B.S., 2003, Orthodontics: The Art and Science, Edisi 3, Arya (Medi) Publishing House,
New Delhi, h.71, 74, 173-178.
Jacob, T., 1978, Beberapa Pokok Persoalan Tentang Hubungan Antara Ras dan Penyakit di
Indonesia, Berkala Ilmu Kedokteran Gadjah Mada, 10(2): 60-71.
Joondeph, D.R., Riedel, R.A., Moore, A.W., 1970, Pont’s Index: A Clinical Evaluation, Angle
Orthodontist, 40(2): 112-118.
Lebret, L., 1962, Growth Changes of the Palate, J Dent Res, 41: 1391-1404.
Ling, Y.K. dan Wong, R.W.K., 2009, Dental Arch Widhts of Southern Chinese, Angle
Orthodontist, 79: 54-63.
Moorrees, C.F.A. dan Chadha, J.M., 1965, Available Space For The Incisors During Dental
Development – A Growth Study Based on Physiologic Age, Angle Orthodontist, 35(1):
12-22.
Moss-Salentijn L. dan Klyvert, M., 1980, Dental and Oral Tissues: An Introduction for
Paraprofessional in Dentistry, Lea and Febiger, Philadelphia, h.257-271.
Moyers, R. E., 1988, Handbook of Orthodontics, Edisi 4., Year Book Medical Publisher,
Chicago, h.3, 233.
Muhammad, S.A., 1975, Perubahan Bentuk dan Struktur Alat-Alat pada Manusia Dengan
Bertambahnya Umur, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Anatomi pada
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, h.88-121.
Othman, S.A., dan Harradine, N.W.T., 2006, Tooth-size Discrepancy and Bolton’s Ratios: A
Literature Review, Journal of Orthodontics, 33: 45-51.
Phan, X., Antoniazzi, A., Short, L., 2007, Palatal Expansions in Mixed Dentition Versus Early
Permanent Dentition, Virtual Journal of Orthodontics (serial online), 7(3): 2-8,
http://www.vjo.it/read.php?file=pal.pdf, diunduh 12 September 2009.
Proffit, W.R., Fields, H.W., Sarver, D.M., 2007, Contemporary Orthodontics, Edisi 4, Mosby
Elsevier, St. Louis, h.35, 42-44, 170.
Rahardjo, P., 2009, Orthodonti Dasar, Airlangga University Press, Surabaya, h.7-19, 46-47.
Rahmawati, N. T., Hirai, M., Suryadi, E., Romi, M., Jacob, T., 2003, Kajian Kefalometrik (Studi
Perbandingan antara suku Jawa di Yogyakarta dan suku Naulu di pulau Seram, Maluku
Tengah), Berkala Ilmu Kedokteran, 35(4): 203-209.

14
Rakosi, T., Jonas, I., Graber, T.M., 1993, Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic –
Diagnosa, Thieme Medical Publishers Inc., New York, h.211-212, 207-212.
Salzmann, J.A., 1950, Principles of Orthodontics, Edisi 2, J.B. Lippincott Company,
Philadelphia, h.493.
______, 1966, Practise of Orthodontics, Volume One, J. B. Lippincott Company, Philadelphia,
h.1, 446-447.
Sofro, A.S.M., 1998, Fenomena Keanekaragaman Pada Manusia: Tinjauan Genetika Biokimia
dan Implikasinya dalam Kedokteran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, h.599-628.
Sperber, G.H., 1976,Craniofacial Embryology, Edisi 2, Bristol: John Wright & Sons LTP., Great
Britain, h.101-102.
Stifter, J., 1958, A study of Pont’s, Howes’, Rees’, Neff’s, and Bolton’s Analyses On Class I
Adult Dentitions, Angle Orthodontist, 28(4): 215-225.
Sukadana, A.A., 1976, Dasar-dasar Antropologi Fisik dan Phylogenesis, Khusus untuk Ilmu
Kedokteran Gigi di Indonesia, FKG Universitas Airlangga, Surabaya, h.8-9.
Supriatna J., 2008, Melestarikan Alam Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 37, 39.
Susilowati, 2009, Hubungan Antara Sudut Interinsisal Dengan Derajat Konveksitas Profil
Jaringan Lunak Wajah Pada Suku Bugis dan Makassar, dentika Dental Journal, 14(2):
125-128.
Sutardi, T., 2007, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, Cetakan Pertama, PT Setia
Purna Inves, Bandung, h.36.
Thurow, R.C., 1970, Atlas of Orthodontic Principles, The C.V. Mosby Company, Saint. Louis,
h.3.
Titien, I., 2003, Teori-Teori dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kraniofasial,
JKGUI, 10: 339-343.
Tsai, H. dan Tan, C., 2004, Morphology of the Palatal Vault of Primary Dentition in Transverse
View, Angle Orthodontist, 74(6): 774-779.
Ueta, H., 1984, Difference Sex in Human Tooth, Kyushu Dental Society, 38(4): 629-653.
Vidic, B., 1971, Variations in Height of the Palatum Osseum as a Function of Other Vertical
Dimensions and Angles of the Skull, J Dent Res, 50: 14-16.
Zarringhalam, M., 2004, Measuring Palatal Height in Normal Occlusion and Malocclusions, J
Dent TUMS, 1(4): 39-42.

15

Anda mungkin juga menyukai