Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya ragam persoalan internal maupun eksternal yang dihadapi

oleh masyarakat Indonesia pada era globalisasi ini, turut menimbulkan

berbagai macam perubahan, seperti perubahan teknologi, perubahan sosial,

dan perubahan budaya, di mana dengan adanya berbagai perubahan tersebut

turut mempengaruhi isu pendidikan di Indonesia (Munirah, 2015:233).

Lebih lanjut, Pandulidinillah (2012:1) mengatakan bahwa. “Arus globalisasi

yang dewasa ini cenderung membuat suatu Negara tidak bisa lepas dari

pengaruh Negara lain, sehingga hal itu turut mempengaruhi cara hidup

individu, masyarakat, dan Negara itu sendiri.” Perihal kemajuan dan

perkembangan pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari beberapa indikasi

yang terjadi pada dunia barat, contohnya seperti Amerika dan Eropa, yang

selalu dijadikan acuan ketika berbicara informasi pendidikan terbaru berupa

model atau metode pembelajaran, hasil-hasil penelitian, produk yang

dikeluarkan oleh lulusan suatu universitas, dan sebagainya (Munirah,

2015:233-234).

Salah satu tujuan didirikannya Negara Indonesia menurut

Pembukaan Undang-undang 1945 alinea ke empat adalah mencerdaskan

kehidupan bangsa. Misdalina dkk. (2018:19) berpendapat, “Pendidikan

merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh seseorang, di mana


semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin baiklah derajat

kehidupannya.” Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dipastikan akan menjadi lebih kompleks, di

mana manusia akan terus melakukan berbagai peningkatan wawasan dan

kemampuan di berbagai bidang sehingga dapat menjadi salah satu sarana

untuk memecahkan segala permasalahan yang dihadapi (Alifah, 2018:1).

Sejalan dengan hal tersebut, Vindarini (2014:1) berpendapat, “Adanya

perkembangan pengetahuan dan teknologi tersebut tak lepas dari peranan

Matematika sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang bersifat universal

yang sangat berperan dalam perkembangan bidang teknologi modern.”

Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang paling penting bagi

kemajuan peradaban Manusia, mulai dari zaman Mesir Kuno, Babylonia,

hingga Yunani Kuno, di mana pada zaman tersebut Matematika telah

memberikan kontribusi terhadap masalah perdagangan, pengukuran tanah,

pelukisan, konstruksi, dan astronomi (Maulana, 2013:1). Di Indonesia,

Matematika merupakan satu dari tiga kemampuan yang harus dikuasai oleh

siswa Indonesia yaitu kemampuan membaca, kemampuan menulis, dan

kemampuan berhitung (Abrianti & Setyaningrum, 2017:1-2). Suratno

(2016:1) juga menambahkan, “Matematika berperan penting dalam

pembentukan karakter seseorang secara individu, terutama dalam hal

pengembangan kemampuan intelektualnya, serta berperan sebagai wadah

komunikasi satu sama lain dan sarana bekerja sama di lingkungan

masyarakat.” Selain itu, Sudojo mendefinisikan matematika sebagai alat


untuk mengembangkan kemampuan berpikir manusia, bersifat abstrak,

menggunakan penalaran deduktif, serta memiliki gagasan-gagasan yang

terstruktur dan memiliki keterkaitan secara logis (Aminati & Ali, 2017:3).

Sementara itu, Phonapichat dkk. (2014:3169) berpendapat, “Matematika

merupakan sebuah alat untuk mengembangkan proses berpikir manusia

untuk menganalisis dan memecahkan masalah, baik itu masalah matematika

maupun masalah non matematika.” Oleh karena itu, matematika menjadi

salah satu mata pelajaran eksakta yang bersifat deduktif dan sangat penting

dipelajari oleh siswa mulai dari tahap perkembangan intuitif, operasional

konkret, dan operasional formal, di mana kemampuan bernalar tersebut

tidak dapat dipisahkan dari dalil kebenaran matematika pada saat siswa

membangun kemampuan matematikanya (Aminati & Ali, 2017:3).

Wittgeinsten (dalam Hasratuddin, 2013:132) menambahkan,

“ Matematika merupakan salah satu program pendidikan yang mampu

meningkatkan kemampuan untuk berpikir logis, kritis, sistematis, dan

kreatif.” Kegiatan pembelajaran matematika di Sekolah diharapkan dapat

merangsang siswa untuk tertarik dalam merancang sesuatu berdasarkan ide,

pemikiran, prinsip, dan konsep materi yang mereka dapatkan di kelas,

sehingga mereka akan menjadi manusia yang produktif di masa yang akan

datang (Mawaddah & Maryanti, 2016:76). Namun, faktanya sebagian besar

siswa di seluruh dunia tidak begitu menyukai matematika. Matematika

merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit diterima secara sukarela

atau senang hati di hati sebagian besar siswa, sehingga menjadi tugas
terberat bagi guru matematika untuk membuat pelajaran matematika

menjadi bermakna dan menyenangkan (Andriani, 2013:3). Yang (dalam

Amalia & Surya, 2017:218) berpendapat, “MATH merupakan sebuah kata

yang sangat menakutkan, sehingga siswa tidak menyukainya atau merasa

bahwa matematika bukanlah sesuatu passion mereka karena tidak merasa

mahir dalam bidang tersebut.” Zaslavsky (dalam Mutodi & Ngirande,

2014:283) berpendapat, “ Matematika dirasakan siswa sebagai bentuk

hukuman atau sesuatu hal yang menyebabkan stres.” Hal tersebut ditandai

dengan terjadinya penurunan nilai rerata ujian nasional (UN) Matematika

jenjang pendidikan SMP dibandingkan mata pelajaran yang lain pada tahun

akademik 2018/2019. Berdasarkan Hasil Capaian Nasional Rata-rata Ujian

Nasional (UN) Matematika SMP untuk Satuan Pendidikan Negeri dan

Swasta yang didapatkan dari website Pusat Penilaian Pendidikan yang

dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan didapatkan hasil

sebagai berikut (Kemendikbud, 2019) :

Gambar 1.
Hasil Capaian Nasional UN Matematika SMP
Menurut Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan

Kemendikbud, Suprayitno, “Salah satu faktor terjadinya penurunan nilai

rerata ujian nasional (UN) Matematika untuk tingkat pendidikan SMP

disebabkan oleh adanya soal yang memuat kemampuan berpikir tingkat

tinggi atau high thinking order skill (HOTS) (Awaliyah & Puspita, 2018).

Adanya pemuatan soal-soal berkategori kemampuan berpikir tingkat

tinggi atau high thinking order skill (HOTS) dalam Ujian Nasional (UN)

Matematika, bertujuan agar siswa mampu membedakan ide atau gagasan

matematika secara jelas, berargumen dengan baik, mampu memecahkan

masalah matematika, mampu mengkonstruksi penjelasan, mampu

menetapkan hipotesis yang tepat, serta memahami hal-hal kompleks dan

menerjemahkannya ke dalam bahasa sederhana dan jelas (Widodo &

Kadarwati, 2013:162).

Kemampuan pemahaman konsep matematika memegang peranan

penting dalam pembelajaran matematika, di mana jika kemampuan

pemahaman konsep matematika siswa sudah baik, maka akan sangat

mudah bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan matematika

lainnya (Hanifah & Wida, 2019:186). Kemampuan pemahaman konsep

matematika umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan siswa untuk

memahami dan menyatakan kembali konsep matematika ke dalam

bahasa mereka sendiri, serta mampu menghubungkan konsep matematika

yang satu dengan konsep matematika yang lain dalam kehidupan mereka

sehari-hari (Eriana, Kartono, & Sugianto, 2019:177).


Skemp (dalam Hikmah, 2017:274) mengklasifikasikan pemahaman

matematika menjadi Pemahaman Instrumental dan Pemahaman

Relasional. Pemahaman instrumental adalah kemampuan siswa dalam

menghafal suatu konsep secara terpisah atau mengerjakan suatu

perhitungan berdasarkan algoritma atau prosedur, sedangkan pemahaman

relasional adalah kemampuan siswa untuk mengaitkan suatu hal secara

benar dan tepat dan memahami langkah prosedur yang akan dilakukan.

Sementara itu, Reyes dkk. (2019:4) menggolongkan pemahaman

matematika menjadi tiga golongan antara lain sebagai berikut: (1)

Konteks Situasional : Pemahaman matematika yang mengacu pada

interaksi individu dengan bahan, lingkungan, atau tindakan yang sama;

(2) Konteks Budaya : Pemahaman matematika yang mengacu pada

perubahan tingkah laku; (3) Konteks Konseptual : Pemahaman

matematika yang mengacu pada pemahaman individu dalam situasi

tertentu.

Johnson (dalam Fatqurhohman, 2016:182) mengatakan bahwa,

“Berbagai macam konsep matematika hanya dapat dipahami setelah

siswa memperoleh keterampilan dalam menggunakan konsep prosedural

yang berujung pada hasil pemahaman materi yang lebih baik.” Balka

dkk. (dalam Mulyono, Kusumah, & Rozjanuardi, 2019:74) berpendapat,

“Pada umumnya, pembelajaran matematika di sekolah lebih menekankan

pada pengetahuan prosedural (procedural knowledge) dibandingkan

dengan pemahaman konseptual (conseptual understanding).” Sehingga,


Budi dkk (2019:74) menyimpulkan bahwa, “Jika siswa memiliki

keterampilan dalam menyelesaikan masalah matematika secara

prosedural, hal tersebut tidak menjamin siswa juga dapat memahami

konsep matematika dengan baik.” Sehingga, menurut Mousley dkk

(dalam Fatqurhohman, 2016:182), “Guru perlu mengajarkan

keterampilan menggunakan konsep prosedural agar siswa tidak menemui

hambatan dan tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan bisa

tercapai sesuai sasaran.”

Salah satu metode pembelajaran yang dianggap efektif untuk

melibatkan siswa secara aktif sehingga proses belajar dan mengajar dapat

berjalan dengan lancar adalah metode resitasi. Menurut Alipande (dalam

Nafis, Ardiyani, & Hidayat, 2011:2), “Metode resitasi atau penugasan

merupakan salah satu strategi mengajar yang digunakan oleh guru

dengan cara memberi tugas khusus atau proyek kepada siswa, melalui

tugas yang dapat dikerjakan di rumah, di perpustakaan, atau di

laboratorium, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.” Namun,

dalam menyelesaikan beberapa pekerjaan atau tugas, beberapa siswa

tidak melihat manfaat besar dari yang mereka lakukan, mereka

berkeliling dan bermain untuk menyelesaikan tugas secepat mungkin dan

hanya ada beberapa siswa yang menghabiskan banyak waktu pada tugas

kecil dan memberikan lebih banyak perhatian (Baher, 2017:7). Muhadjir,

selaku guru besar Universitas Negeri Malang (UNM) (medcom.id, 2018)

mengatakan bahwa, “Tugas yang diberikan oleh guru sebaiknya bersifat


spesifik dan sesuai dengan hasil diagnosis guru sehingga sesuai dengan

kebutuhan belajar tiap-tiap siswa dan bukan sebaliknya diambil secara

instan dari buku ajar atau lembar kerja siswa (LKS) siswa.”

Salah satu strategi pembelajaran yang dinilai mampu

meningkatkan kemampuan konseptual matematika siswa adalah Strategi

Pembelajaran Working Backward. Strategi Pembelajaran Working

Backward merupakan strategi pemecahan masalah yang memuat

sejumlah unsur terkait atau sejumlah peristiwa di mana beberapa

informasi awal dalam pemecahan masalah tidak disediakan (Shapiro,

2016:2). Menurut Devi (2017:6), “Strategi pembelajaran Working

Backward bekerja dari sebuah tujuan yang telah ditetapkan dan kemudian

bekerja mundur ke belakang (backward) terhadap hal-hal yang sudah

ada. Dan adanya penyelesaian masalah matematika secara bertahap atau

step by step akan membantu siswa memahami masalah matematika

secara sistematis.”

Hal ini sesuai dengan pendapat Nolismasari dkk. (2017:54),

“Selama ini siswa terbiasa mengerjakan soal-soal matematika yang

bersifat rutin yang bisa langsung dikerjakan tanpa memahami soal

terlebih dahulu, atau mengikuti langkah penyelesaian yang sudah

disediakan, dan merasa kesulitan jika dihadapkan pada soal-soal

matematika yang bersifat non rutin.” Hershkowitz (dalam Celebioglu

dkk., 2010:2968) mengungkapkan bahwa, “Jika siswa menyelesaikan

masalah rutin, mereka cenderung bergantian mengenali dan membangun


konsep dengan struktur yang telah diperoleh sebelumnya. Sebaliknya,

jika siswa menyelesaikan masalah non rutin, memungkinkan mereka

untuk membangun fenomena baru dan merefleksikan struktur internal

dan eksternal terhadap konsep yang telah diketahui sebelumnya.”

Alfredo dkk (2018) mengatakan bahwa, “Musik memainkan peran

kunci menuju arah kegiatan pembelajaran yang strategis yang berpusat

pada siswa.” Hallam dkk (2017:425) menambahkan, “Musik dapat

merangsang peningkatan kerja intelektual, penalaran spasial temporal,

dan berbagai keterampilan lainnya yang menguntungkan proses

pembelajaran.” Lebih lanjut, Gunawan (dalam Prakoso dkk., 2017:27)

berpendapat, “Musik memiliki hubungan yang erat dengan matematika,

di mana musik dapat melatih meningkatkan konsentrasi belajar

matematika, menciptakan berbagai ide atau gagasan dalam sebuah

permasalahan yang rumit, dan membantu menentukan solusi pemecahan

masalah.” Beer dkk (dalam Daniel dan Song, 2015:46) berpendapat,

“Elemen musik seperti melodi, ritme, interval, skala dan proses desain

musikal insrumen memiliki kaitan dengan dengan beberapa area konten

matematika seperti operasi angka, geometri, dan analisis data.”

Menurut Matlin (dalam Faradi, 2016:2), “Emosi positif yang

ditimbulkan setelah mendengarkan musik selama proses pembelajaran

memiliki pengaruh terhadap perkembangan kognitif anak, seperti

kemampuan mengingat, kemampuan memecahkan masalah, dan

kemampuan verbal.” Hal ini sejalan dengan pendapat Zamil (dalam


Prima, 2018:46), “Pemberian musik dalam proses pembelajaran

memberikan dampak positif terhadap tercapainya tujuan pembelajaran, di

mana proses kognitif mencakup semua proses dan produk pikiran yang

bertujuan untuk mencapai dan menghasilkan pengetahuan berupa

aktifitas intelektual dan mental, seperti mengingat, merepresentasikan

dalam bentuk simbol, mengklasifikasikan, memecahkan masalah, dan

berimajinasi.” Telah diuraikan sebelumnya bahwa, “Kemampuan

pemahaman konsep matematika memegang peranan penting dalam

pembelajaran matematika, di mana jika kemampuan pemahaman konsep

matematika siswa sudah baik, maka akan sangat mudah bagi siswa untuk

mengembangkan kemampuan matematika lainnya. Sehingga, diharapkan

penerapan strategi pembelajaran Working Backward disertai partisipasi

musik mampu meningkatkan kemampuan pemahaman konsep

matematika siswa secara optimal.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai permasalahan -

permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran matematika, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Pengaruh

Strategi Pembelajaran Working Backward yang disertai dengan

Partisipasi Musik terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep

Matematika Siswa.”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka

dapat diidentifikasi berbagai masalah penelitian, di antaranya sebagai

berikut:

1. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit diterima

secara sukarela atau senang hati di hati sebagian besar siswa.

2. Rendahnya kemampuan matematika siswa SMP Indonesia ditandai

dengan rendahnya rata-rata pencapaian hasil UNBK Matematika

Siswa SMP tahun ajaran 2018/2019 untuk tingkat pendidikan negeri

dan swasta sekitar 46,20 dibandingkan dengan mata pelajaran yang

lain.

3. Ketidakmampuan siswa dalam mengerjakan soal berkategori High

Order Thinking Skill (HOTS) pada UN Matematika SMA 2018/2019

mengindikasikan bahwa Kemampuan Pemahaman Konsep

Matematika siswa masih sangat rendah.

4. Pada umumnya, pembelajaran matematika di sekolah lebih

menekankan pada pengetahuan prosedural (procedural knowledge)

dibandingkan dengan pemahaman konseptual (conseptual

understanding).

5. Pada umumnya, guru yang mengajar pada tingkat sekolah menengah

lebih menggunakan pendekatan pembelajaran yang bersifat tradisional

berupa ceramah, konsep abstrak pelajaran, teori pelajaran, kapur tulis,

dan teknik bicara.


6. Proses pembelajaran yang diterapkan di kelas cenderung monoton dan

hanya terpaku pada buku saja, dikarenakan guru yang hanya berfokus

pada target kurikulum.

7. Model pembelajaran konvensional lebih menekankan pada

kemampuan mengingat (memorizing) atau menghafal (rote learning)

dan sangat kurang pada aspek pemahaman (understanding).

8. Selama ini siswa terbiasa mengerjakan soal-soal matematika yang

bersifat rutin yang bisa langsung dikerjakan tanpa memahami soal

terlebih dahulu, atau mengikuti langkah penyelesaian yang sudah

disediakan, dan merasa kesulitan jika dihadapkan pada soal-soal

matematika yang bersifat non rutin.

C. Batasan Masalah

Batasan masalah dilakukan penulis agar masalah yang diteliti terfokus

dan tidak meluas. Adapun, batasan masalah dalam penelitian ini, di

antaranya sebagai berikut:

1. Strategi pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Strategi Pembelajaran Working Backward disertai Partisipasi Musik.

2. Penelitian ini terbatas pada Kemampuan Pemahaman Konsep

Matematika Siswa.

3. Materi yang digunakan selama proses penelitian adalah materi Aljabar

khususnya Bilangan kelas VII SMP Kurikulum 2013.

4. Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII SMP, tepatnya di SMPN 229

Jakarta.
5. Proses pembelajaran yang menggunakan Strategi Pembelajaran

Working Backward disertai Partisipasi Musik untuk kelas eksperimen,

sedangkan proses pembelajaran yang menggunakan Model

Pembelajaran Resitasi disertai Partisipasi Musik untuk kelas kontrol.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah

yang telah diuraikan sebelumnya, maka dengan ini ditetapkan rumusan

masalah sebagai berikut:

Apakah terdapat pengaruh kemampuan pemahaman konsep

matematika siswa yang diajar dengan Strategi Pembelajaran Working

Backward disertai dengan Partisipasi Musik dibandingkan dengan

kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan

Model Pembelajaran Resitasi disertai Partisipasi Musik ?.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya,

maka penulis melakukan penelitian dengan tujuan sebagai berikut:

Untuk mengetahui pengaruh kemampuan pemahaman konsep

matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan Strategi

Pembelajaran Working Backward disertai Partisipasi Musik

dibandingkan dengan kemampuan pemahaman siswa yang diajarkan

dengan menggunakan Model Pembelajaran Resitasi disertai Partisipasi

Musik ?

F. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, di

antaranya sebagai berikut:

1. Bagi Sekolah

Penelitian ini dapat memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam

meningkatkan mutu sekolah.

2. Bagi Guru

Penelitian dapat menjadi solusi alternatif bagi guru untuk mengelola

kegiatan pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien, terutama yang

berkaitan dengan salah satu tujuan pembelajaran matematika, yakni

mengarahkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa secara

optimal.

3. Bagi Siswa

Melatih kemandirian dalam belajar dan berpartisipasi secara aktif dalam

proses pembelajaran, merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi

dengan adanya variasi soal yang diberikan oleh guru, membentuk

karakter siswa sebagai pembelajar yang disiplin, beradab, dan

bertanggung jawab.

4. Bagi Peneliti

a. Bagi peneliti secara pribadi, penelitian ini memberikan pengalaman

tersendiri untuk merasakan secara langsung proses pengajaran

dengan menggunakan Strategi Pembelajaran Working Backward

disertai Partisipasi Musik dan pengaruhnya terhadap Kemampuan

Pemahaman Konsep Matematika Siswa.


b. Bagi peneliti lain, sebagai bahan rujukan terkait untuk melakukan penelitian

lanjutan, terutama yang berkaitan dengan Strategi Pembelajaran Working

Backward disertai Partisipasi Musik, khususnya pada materi Bilangan, kelas

VII SMP, kurikulum 2013 edisi revisi.

G. Sistematika Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi

masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI KERANGKA BERPIKIR

PENELITIAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Landasan teori pada umumnya menggunakan dasar-dasar

pemikiran yang menjadi kerangka berpikir penelitian. Bab ini

meliputi landasan teori, penelitian yang relevan, kerangka

berpikir penelitian, dan hipotesis penelitian.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini membahas tempat dan waktu penelitian, metode

dan desain penelitian, populasi dan sampel, teknik

pengumpulan data, instrumen penelitian, dan teknik analisis

data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pada bab ini membahas karakteristik responden, deskripsi

data, pengujian persyaratan analisis, pengujian hipotesis, dan

pembahasan hasil penelitian.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini membahas simpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai