Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA RINGAN

OLEH:
GUSTI AYU PUTU PRAMITA
189012092

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA CEDERA KEPALA RINGAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi / Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada kepala yang
terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat
berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial,
bersifat temporer atau permanen (PERDOSI, 2007).
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Cedera Kepala ringan adalah suatu trauma yang menyebabkan
kehilangan kesadaran dan amnesia kurang dari 30 menit dengan GCS 13-15
dan tidak mengalami fraktur pada tengkorak.

2. Epidemiologi / Insiden Kasus


Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba
di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai
cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan
10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB) (American College of Surgeon
Comitte on Trauma, 2004).
Berdasarkan data di bagian IRD RSUP Sanglah, jumlah kunjungan
penderita dengan cedera kepala selama tahun 2007 adalah 1417 orang yang
terdiri dari 70% CKR, 18% CKS, dan 10% CKB serta 1066 orang
diantaranya menjalani rawat inap. Selama tahun 2008 jumlah kunjungan 1761
orang, yaitu 69% CKR, 21% CKS, dan 8,5% CKB, serta 1248 orang rawat
inap.

3. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma
kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak
20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan
kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan
penyebab utama trauma kepala (Langlois & Thomas, 2006). Sedangkan
menurut Coronado & Thomas (2007), kecelakaan lalu lintas dan terjatuh
merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan
29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap
pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika
Serikat. Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor
bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur
ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di
gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau
orang lain (secara paksaan).

4. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala,
jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi
cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan
kekuatan yang datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi
kepala ketika mendapat benturan. Tepat diatas tengkorak terletak galea
aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan dengan bebas
yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea
terdapat lapisan lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-
pembuluh darah. Bila robek pembuluh ini akan sukar vasokontriksi.
Tengkorak otak merupakan ruangan keras sebagai pelindung otak atau rangka
otak. Pelindung lain adalah meningen yang merupakan selaput menutupi otak
(Price dan Wilson, 2006).
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma
tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala
terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak.
Pada kedua jenis kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan
sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi
perdarahan dan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial (Corwin, 2001: 175).
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma
kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul,
atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti
badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan
bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan
trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasi-deselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme cedera kepala dapat
terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh
adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(contrecoup).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi cerebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak dan Galllo.
1996: 226).
Gambar 1. Coup dan Countrecoup pada cedera kepala

5. Klasifikasi
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan
praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme,
tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi (American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004, PERDOSSI, 2007).
a. Berdasarkan Mekanisme
1) Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat
bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
2) Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-
bendatajam/runcing.
b. Berdasarkan Beratnya Cedera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada
penilaianGlasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
1) Cedera kepala ringan
a) GCS 13 – 15
b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
c) Tidak ada fraktur tengkorak
2) Cedera kepala sedang
a) GCS 9 – 12
b) Saturasi oksigen > 90 %
c) Tekanan darah systole > 100 mmHg
d) Lama kejadian < 8 jam
e) Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30menit tetapi < 24
jam
f) Dapat mengalami fraktur tengkorak
3) Cedera kepala berat
a) GCS 3 - 8
b) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral.
c. Berdasarkan Morfologi
1) Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat
menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.
2) Fraktur Tengkorak
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4
jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture,
depressed fracture, compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur
adalah sebagai berikut:
a) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit.
b) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus
tanpa depresi, distorsi dan ‘splintering’.
c) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
d) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada
tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner,
2008).
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu
terjadinya retak atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis
kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya yang lebih
kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat
sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala
berat (Graham and Gennareli, 2000; Orlando Regional Healthcare,
2004). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii
yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan
gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang
pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan
saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa
anterior, media dan posterior (Garg, 2004).
3) Cedera Otak
a) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena
terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan <
10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan
cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu
sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat
(amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya
pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograddan antegrad).
b) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh
darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya
jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling
sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N.Hypoglossus,
gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera
kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai
dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang
mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu
badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk
yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
c) Perdarahan Intrakranial
(1) Epiduralis haematoma adalah terjadinya perdarahan antara
tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen
media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat
juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal,
occipital dan fossa posterior.
(2) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara
durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena
pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat,
karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggi sehingga darah
cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan
corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda
meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan
Intra Kranial).
(3) Subrachnoidalis Haematoma
Terjadi karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu
perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling
sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan
pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir
aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering
menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.
(4) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan
subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau
arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam
subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan
pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah
subduralis haematoma.

d. Berdasarkan Patofisiologi
1) Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi)
yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat
terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.
2) Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi
sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan,
dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
Gambar 2. Klasifikasi Lesi intra cranial

6. Manifestasi klinis/ Tanda dan Gejala


Gejala klinis yang muncul pada trauma kepala sedang adalah hilangnya
kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit dan kurang dari 24 jam, GCS 9 -
12, saturasi oksigen > 90 %, tekanan darah systole > 100 mmHg dan dapat
mengalami fraktur tengkorak. Bila fraktur, mungkin adanya cairan
serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila
fraktur tulang temporal. Secara umum gejala klinis trauma kepala adalah
sebagai berikut:
a. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia
disritmia).
b. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.
c. Mual, muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur,
disfagia)
d. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah
tidak bisa beristirahat, merintih.
e. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
f. Gangguan dalam regulasi tubuh.
g. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian
h. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori).
i. Kehilangan penginderaan seperti gangguan penglihatan, pengecapan,
penciuman dan pendengaran, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang,
sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian
tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
j. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Sesuai dengan lokasi perdarahannya, gejala dan tanda dari cedera kepala
adalah:
a. Epidural hematoma
Tanda dan gejalanya adalah penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala,
muntah, hemiparesa, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat
kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b. Subdural hematoma
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir
lambat, kejang dan edema pupil.
c. Perdarahan intraserebral
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda
vital.
d. Perdarahan subarachnoid
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi
pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
7. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan:
a. Inspeksi
1) Klien tampak meringis
2) Klien tampak gelisah
3) Klien berkeringat dingin
4) Klien tampak pucat
5) Klien kehilangan kesadaran
6) Pernafasan jadi dangkal dan cepat
7) Diaphoresis
8) Irama napas tidak teratur
b. Palpasi
1) Nyeri pada kepala
2) Denyut nadi meningkat
c. Auskultasi
1) Ada suara napas tambah
2) Bising usus menurun

Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale)


untuk menilai tingkat kegawatan cedera kepala, yaitu:
a. Respon membuka mata (E):
1) Buka mata spontan :4
2) Bila dipanggil/rangsangan suara :3
3) Bila dirangsang nyeri :2
4) Tidak bereaksi dengan rangsang apapun : 1
b. Respon verbal (V):
1) Komunikasi verbal baik : 5
2) Bingung, disorientasi tempat, waktu dan orang : 4
3) Kata-kata tidak teratur : 3
4) Suara tidak jelas : 2
5) Tidak ada reaksi : 1
c. Respon motorik (M):
1) Mengikuti perintah :6
2) Melokalisir nyeri :5
3) Fleksi normal :4
4) Fleksi abnormal :3
5) Ekstensi abnormal :2
Tidak ada reaksi :1

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan (tanpa atau dengan kontras): mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
d. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
f. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.

9. Penatalaksanaan dan Terapi


Penanganan sebelum sampai di rumah sakit atau fasilitas yang lebih
memadai :
a. Pada pertolongan pertama:
1) Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar,
sebab sering trauma kepala disertai trauma leher.
2) Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat saturasi O2
dan CO2
3) Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT
4) Pasang back board ( spinal board)
5) Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.
6) Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka
sebelum dilakukan penjahitan situsional.
7) Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syok.
Atasi syok dengan pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2
line), beri cairan yang memadai. (lihat penatalaksanaan hemoragik
syok)
8) Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan,
begitu pula obat penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi
dokter.
b. Penatalaksanaan di Rumah Sakit
Begitu diagnosa ditegakkan, penanganan harus segera dilakukan :
Cegah terjadinya cedera otak sekunder dengan cara :
1) Pertahankan metabolisme otak yang adekuat
a) Iskemia otak atau hypoxia terjadi akibat tidak cukupnya
penyampaian oksigen ke otak, metabolisme perlu oksigen dan
glukosa.
b) Usahakan PaO2 > 80 mmHg
c) Pertahankan PaCO2 26 – 28 mmHg
d) Transfusi darah mungkin diperlukan sebagai “oxygen carrying
capacity”
2) Mencegah dan mengatasi hypertensi
a) Lakukan hypokapnia
(1) Konsentrasi CO2 arteri mempengaruhi sirkulasi otak
(2) CO2 meningkat terjadi vasodilatasi sehingga menigkatkan
volume intrakranial
(3) CO2 menurun terjadi tekanan intra kranial menurun
b) Tindakan hyperventilasi :
(1) Menurunkan intra serebral asidosis
(2) Meningkatkan metabolisme otak
c. Terapi
Tujuan utama perawatan ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera.
1) Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar
tetap normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan
cairan berlebih. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang
cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl 0,9 %
atau RL. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal,
keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah
dan diobati.
2) Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi
dapat menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang lama dan cepat
menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun PCO2 < 25
mmHg , hiperventilasi harus dicegah. Pertahankan level PCO2 pada
25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
3) Manitol
Diberikan dengan dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita
koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi
dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh
diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat
hypovolemia
4) Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV.
5) Steroid
Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan.
6) Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan
bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat
menurunkan tekanan darah.
7) Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk
mencegah terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin
sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I. Obat lain yang bisa
digunakan adalah diazepam dan lorazepam.

10. Komplikasi
Komplikasi dari cedera kepala meliputi edema pulmonal, kejang, infeksi,
bocor cairan otak, hipertermia, masalah mobilisasi.
12. Prognosis
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan
dari cedera kepala. Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.
13. Pathway
(Terlampir)

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Analisa data :
Data Subjektif :
1) Klien mengatakan tidak bisa BAB
2) Klien mengatakan merasa asam di mulut
3) Klien mengeluh pusingklien mengeluh sesak
4) Klien mengeluh sulit mengeluarkan sputum
Data objektif :
1) Klien tampak gelisah
2) Klien tampak meringis
3) Pernafasan klien dangkal
4) RR klien : meningkat,
5) HR : meningkat, lemah, ireguler
6) TD : meningkat
7) Mulut klien kering
8) Turgor klien lambat
9) Klien tampak mengalami diaphoresis
10) Penurunan tonus otot pada ekstremitas
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan aliran arteri ke
cerebral terhambat
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
c. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan sirkulasi
pada area batang otak.
d. Hipovolemia berhubungan dengan perdarahan (kehilangan cairan tubuh
secara aktif) ditandai dengan penurunan tekanan darah, penurunan tekanan
nadi, penurunan turgor kulit dan peningkatan frekuensi nadi.
e. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
f. Nausea berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
g. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
h. Resiko infeksi ditandai dengan pertahanan tubuh primer yang tidak
adekuat (kerusakan integritas kulit)
i. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi.
DAFTAR PUSTAKA

Apley graham and Solomon Louis. 1995. Ortopedi Fraktur System Apley. Edisi
7. Widya medika: Jakarta.
Arif, Mansjoer, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, Jakarta
Baticaca, Franssisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta
Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification
(NIC). St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier
Doenges, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Lynda Juall Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis,
Missouri: Mosby Elsevier
Price, Silvia A. Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Penyakit. Edisi 4 : EGC
Rasjad Chaeruddin. 2003. Ilmu Bedah Ortopedi. bintang Lamumpatue : Makassar.
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai