Editor:
Prof. Dr. med. Ali Baziad, SpOG(K)
dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K)
dr. Budi Wiweko, SpOG(K)
Daftar Isi :
Daftar Singkatan
1
Kata Pengantar
Masalah perdarahan uterus abnormal (PUA) merupakan kelainan yang paling sering
ditemukan dalam praktek sehari hari. Penanganan PUA juga belum seragam.
Penanganan PUA saat ini telah mengalami perubahan yang sangat pesat. Agar dapat
diperoleh kesamaan dalam penatalaksanaan PUA, maka Himpunan Fertilitas
Endokrinologi Reproduksi Indonesia–Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(HIFERI-POGI) mengambil kebijakan untuk mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil
HIFERI-POGI dari seluruh cabang di Indonesia untuk membahas masalah PUA secara
tuntas. Dari hasil pertemuan tersebut telah berhasil dibuat sebuah kesepakatan atau
konsensus bersama. Konsensus adalah kesepakatan para ahli dalam bidangnya yang
dibuat secara sistematis dan berdasarkan level of evidence tertinggi dan berdasarkan
pengalaman kilnis dari masing masing ahli tersebut.
Untuk mempermudah para pembaca, dalam buku ini juga ikut dilampiri algoritma
penanganan PUA. Kami menyadari bahwa di Indonesia telah banyak dibuat algoritma
maupun kesepakatan tentang PUA, namun apa yang telah dihasilkan oleh HIFERI-POGI
adalah kesepakatan para ahli dalam bidang PUA yang di wakili oleh anggota HIFERI-POGI
dari seluruh cabang HIFERI-POGI yang ada di Indonesia.
Harapan saya buku ini dapat berguna untuk di gunakan dalam penanganan pasien-pasen
dengan PUA. Mohon saran serta masukan sebagai bahan untuk perbaikan di masa yang
akan datang.
Last but not least, saya selaku Ketua Pengurus Pusat HIFERI-POGI ingin menyampaikan
terima kasih dan penghargaan yang setingi tingginya kepada semua pihak yang telah
ikut berperanserta dalam pembuatan konsensus ini.
Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua.
2
1. Definisi dan Terminologi
Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah
maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus
haid yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti
dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan
perdarahan uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostasis
lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya
termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD).
PUA
3
2. Sistem Klasifikasi
Klasifikasi PUA
(FIGO)
PALM COEIN
A. Polip E. Coagulopathy
C. Leiomioma G. Endometrial
4
A. Polip (PUA-P)
Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan PUA.
Lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik atau ganas.
Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau
histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi.
B. Adenomiosis (PUA-A)
Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan
endometrium pada hasil histopatologi.
Adenomiosis dimasukkan dalam sistem klasifikasi berdasarkan pemeriksaan
MRI dan USG.
Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup untuk
mendiagnosis adenomiosis.
Hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada
miometrium dan sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi
miometrium.
C. Leiomioma (PUA-L)
Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan
penyebab tunggal PUA.
Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni
hubungan mioma uteri dengan endometrium dan serosa lokasi, ukuran,
serta jumlah mioma uteri.
Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :
Primer : ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uteri;
Sekunder : membedakan mioma uteri yang melibatkan endometrium
(mioma uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri
lainnya;
Tersier : klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural dan
subserosum.
E. Coagulopathy (PUA-C)
Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang
terkait dengan PUA.
Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki
kelainan hemostasis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah
penyakit von Willebrand.
5
F. Ovulatory dysfunction (PUA-O)
Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
Dahulu termasuk dalam kriteria perdarahan uterus disfungsional (PUD).
Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga
perdarahan haid banyak.
Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik (SOPK),
hiperprolaktinemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan, anoreksia
atau olahraga berat yang berlebihan.
G. Endometrial (PUA-E)
Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus
haid teratur.
Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostasis lokal
endometrium.
Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti
endothelin-1 dan prostaglandin F2 serta peningkatan aktifitas fibrinolisis.
Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan yang
berlanjut akibat gangguan hemostasis lokal endometrium.
Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain pada
siklus haid yang berovulasi.
H. Iatrogenik (PUA-I)
Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis
seperti penggunaan estrogen, progestin, atau AKDR.
Perdarahan haid di luar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen
atau progestin dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough
bleeding (BTB).
Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam
sirkulasi yang dapat disebabkan oleh sebagai berikut :
Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi;
Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin;
Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti
koagulan (warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin)
dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA-C.
6
Gambar 1. Klasifikasi PUA
3. Penulisan
Kemungkinan penyebab PUA pada individu bisa lebih dari satu karena itu dibuat
sistem penulisan.
Angka 0 : tidak ada kelainan pada pasien;
Angka 1 : terdapat kelainan pada pasien;
Tanda tanya (?) : belum dilakukan penilaian.
Sistem penulisan pada pasien yang mengalami PUA karena gangguan ovulasi dan
mioma uteri submukosum adalah PUA P0 A0 L1(SM) M0 – C0 O1 E0 I0 N0. Pada praktek
sehari-hari gangguan di atas dapat ditulis PUA L(SM); O.
7
Gambar 3. Sistem penulisan PUA berdasarkan klasifikasi FIGO
4. Panduan Investigasi
A. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya kelainan uterus,
faktor risiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan BB yang drastis, serta
riwayat kelainan hemostasis pada pasien dan keluarganya (Rekomendasi B).
Perlu ditanyakan siklus haid sebelumnya serta waktu mulai terjadinya
perdarahan uterus abnormal.
Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan haid rata-rata
meningkat 10% dibandingkan populasi normal. Karena itu perlu dilakukan
pertanyaan untuk mengidentifikasi penyakit von Willebrand (Rekomendasi B).
Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat
kepatuhannya dan obat-obat lain yang diperkirakan mengganggu koagulasi.
Penilaian jumlah darah haid dapat dinilai menggunakan piktograf (PBAC) atau
skor “perdarahan”. Data ini juga dapat digunakan untuk diagnosis dan menilai
kemajuan pengobatan PUA (Rekomendasi C).
Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis gangguan hemostasis
dengan sensitifitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada
perempuan dengan hasil penapisan positif.
Perdarahan uterus abnormal yang terjadi karena pemakaian antikoagulan
dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA-C1.
8
Tabel 2. Penapisan klinis pasien dengan perdarahan haid banyak karena kelainan
hemostasis
B. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan
hemodinamik.
Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan.
Pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda tanda hiperandrogen, pembesaran
kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea
(hiperprolaktinemia), gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis), purpura
dan ekimosis wajib diperiksa.
9
C. Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap
smear.
Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia
endometrium atau keganasan.
D. Penilaian Ovulasi
Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari.
Jenis perdarahan PUA-O bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea.
Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum
fase luteal madya atau USG transvaginal bila diperlukan.
E. Penilaian Endometrium
Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien
PUA.
Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada:
Perempuan umur > 45 tahun
Terdapat faktor risiko genetik
USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang
merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium
Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, nulipara
Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer
memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat
diagnosis antara 48-50 tahun
Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan uterus
abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan).
Beberapa teknik pengambilan sampel endometrium seperti D & K dan biopsi
endometrium dapat dilakukan.
G. Penilaian Miometrium
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis.
Miometrium dinilai menggunakan USG (transvaginal, transrektal dan
abdominal), SIS, histeroskopi atau MRI.
10
Pemeriksaan adenomiosis menggunakan MRI lebih unggul dibandingkan USG
transvaginal.
Gangguan lapang
pandang
Tanda-tanda
hiperandrogen Pembesaran
kel. tiroid
Adanya
galaktorea
Kelainan
darah
Indeks massa
tubuh
Singkirkan
kehamilan
Singkirkan
kelainan
organik
11
Tabel 4. Pemeriksaan penunjang
12
5. Manifestasi Klinis
13
Hipotensi ortostatik atau hemoglobin < 10 g/dl atau perdarahan aktif & banyak
C. infus RL dan oksigen, transfusi jika D. EEK 2,5 mg oral setiap 6 jam,
Hb < 7 g/dl. ditambah promestatin 25 mg oral.
D. EEK 2,5 mg oral setiap 6 jam , Asam traneksamat 3x 1 gram
ditambah promestatin 25 mg oral atau diberikan bersamaan dengan EEK.
injeksi setiap 4-6 jam. Asam E. D&K jika perdarahan masih
traneksamat 3x1 gram diberikan berlangsung dalam 12 -24 jam.
bersamaan dengan EEK. F. Setelah perdarahan akut berhenti,
E. D&K jika perdarahan masih diberikan PKK 4x1 tab (4 hari), 3x1
berlangsung dalam 12-24 jam. tab (3 hari), 2x1 tab (2 hari) dan 1x1
F. Setelah perdarahan akut berhenti, tab , 3 minggu dan 1 minggu bebas
diberikan PKK 4x1 tab (4 hari), 3x1 PKK.
tab (3 hari), 2x1 tab (2 hari) dan 1x1 G. jika terdapat kontraindikasi PKK
tab, 3 minggu dan 1 minggu bebas dapat diberikan progestin selama 14
PKK. hari, kemudian stop 14 hari. Ulangi 3
G. jika terdapat kontraindikasi PKK bulan.
dapat diberikan progestin selama 14 H. USG transvaginal/transrektal, TSH,
hari, kemudian stop 14 hari. Ulangi 3 DPL,PT, aPTT.
bulan. I. Tablet hematinik 1x1 tab.
H. USG transvaginal/transrektal TSH,
DPL, PT, aPTT.
I. Tablet hematinik 1x1 tab.
14
5.2. Perdarahan uterus abnormal kronik
Jika dari anamnesis yang terstruktur ditemukan bahwa pasien mengalami satu
atau lebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak dapat diramalkan dalam 3
bulan terakhir.
Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah perifer
lengkap wajib dilakukan.
Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut.
Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat memicu
PUA dan lakukan pula pemeriksaan penyakit koagulopati bawaan jika terdapat
indikasi.
Pastikan apakah pasien masih menginginkan keturunan.
Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan penggunaan
yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien untuk memiliki keturunan
dapat menentukan penanganan selanjutnya. Pemeriksaan tambahan meliputi
pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi
(fungsi tiroid, prolaktin, dan androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis.
PUA kronik
> 3 bulan, lama, jumlah, dan Tidak PUA akut
frekuensi perdarahan tidak
dapat diramalkan
Ya
Pemeriksaan awal
15
E. Evaluasi Uterus
Ya Tidak Ya
Ya
2. Kavum uteri normal
1. Sampel cukup Tidak
kemungkinan Tidak
Ya PUA-E atau O
Tidak
Ya
(-) akses
Ya
16
5.3. Penanganan perdarahan uterus abnormal berdasarkan penyebabnya
A. Polip (PUA-P)
Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan :
1. Reseksi secara histeroskopi (Rekomendasi C);
2. Dilatasi dan kuretase;
3. Kuret hisap;
4. Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.
B. Adenomiosis (PUA-A)
1. Diagnosis adenomiosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG atau
MRI;
2. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan;
3. Bila pasien menginginkan kehamilan dapat diberikan analog GnRH + add-
back therapy atau LNG IUS selama 6 bulan (Rekomendasi C);
4. Adenomiomektomi dengan teknik Osada merupakan alternatif pada pasien
yang ingin hamil (terutama pada adenomiosis > 6 cm);
5. Bila pasien tidak ingin hamil, reseksi atau ablasi endometrium dapat
dilakukan (Rekomendasi C). Histerektomi dilakukan pada kasus dengan
gagal pengobatan.
1. Adenomiosis
2. Ingin hamil ?
Ya Tidak
17
3. Histeroskopi reseksi mioma uteri submukosum dilakukan terutama bila
pasien menginginkan kehamilan (Rekomendasi B).
a. Pilihan pertama untuk mioma uteri submukosum berukuran < 4 cm,
b. Pilihan kedua untuk mioma uteri submukosum derajat 0 atau 1
(Rekomendasi B),
c. Pilihan ketiga untuk mioma uteri submukosum derajat 2
(Rekomendasi C).
4. Bila terdapat mioma uteri intra mural atau subserosum dapat dilakukan
penanganan sesuai PUA-E / O) (Rekomendasi C). Pembedahan dilakukan
bila respon pengobatan tidak cocok;
5. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat dilakukan pengobatan
untuk mengurangi perdarahan dan memperbaiki anemia (Rekomendasi B).
6. Bila respon pengobatan tidak cocok dapat dilakukan pembedahan.
Embolisasi arteri uterina merupakan alternatif tindakan pembedahan
(Rekomendasi A).
1. Leiomioma
2. Ingin hamil ?
Ya Tidak
3. Submukosum
5. Penanganan medis (koreksi anemia)
3.a,b,c.
Miomektomi
Histeroskopi
Operasi
reseksi
Histerektomi
18
D. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)
1. Diagnosis hiperplasia endometrium atipik ditegakkan berdasarkan penilaian
histopatologi;
2. Tanyakan apakah pasien menginginkan kehamilan;
3. Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D & K dilanjutkan
pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan
(Rekomendasi C);
4. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan tindakan histerektomi merupakan
pilihan (Rekomendasi C);
5. Biopsi endometrium diperlukan untuk pemeriksaan histologi pada akhir
bulan ke-6 pengobatan;
6. Jika keadaan hyperplasia atipik menetap, lakukan histerektomi.
1. Hiperplasia endometrium
atipik
2. Ingin hamil ?
Ya Tidak
E. Coagulopathy (PUA-C)
1. Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang
terkait dengan PUA;
2. Penanganan multidisiplin diperlukan pada kasus ini
19
3. Pengobatan dengan asam traneksamat, progestin, kombinasi pil estrogen-
progestin dan LNG-IUS pada kasus ini memberikan hasil yang sama bila
dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan koagulasi;
4. Jika terdapat kontraindikasi terhadap asam traneksamat atau PKK dapat
diberikan LNG-IUS atau dilakukan pembedahan bergantung pada umur
pasien (Rekomendasi B)
5. Terapi spesifik seperti desmopressin dapat digunakan pada penyakit von
Willebrand (Rekomendasi C).
1. Coagulopathy
2. Terapi multidisiplin
20
7. Bila tidak dijumpai kontra indikasi, dapat diberikan PKK selama 3 bulan
(rekomendasi A).
8. Bila dijumpai kontra indikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat
progestin selama 14 hari, kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3
bulan siklus (rekomendasi A).
9. Setelah 3 bulan dilakukan evaluasi untuk menilai hasil pengobatan.
10. Bila keluhan berkurang pengobatan hormonal dapat dilanjutkan atau
distop sesuai keinginan pasien.
11. Bila keluhan tidak berkurang, lakukan pemberian PKK atau progestin dosis
tinggi (naikkan dosis setiap 2 hari sampai perdarahan berhenti atau dosis
maksimal). Perhatian terhadap kemungkinan munculnya efek samping
seperti sindrom pra haid. Lakukan pemeriksaan ulang dengan USG TV atau
SIS untuk menyingkirkan kemungkinan adanya polip endometrium atau
mioma uteri (rekomendasi A). Pertimbangkan tindakan kuretase untuk
menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan medikamentosa
gagal, dapat dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan
histeroskopi atau histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada
perdarahan uterus yang banyak dapat ditawarkan setelah memberikan
informed consent yang jelas pada pasien. Pada uterus dengan ukuran < 10
minggu.
21
1. Ovulatory dysfunction
Ya Biopsi endometrium,
3. Umur > 35 tahun atau risiko
tinggi kanker endometrium USG TV
Tidak
4. Pertimbangkan kelainan
sistemik
Ya
5. Ingin hamil ? Tata laksana infertilitas
Tidak
22
G. Endometrial (PUA-E)
1. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus
haid yang teratur .
2. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila didapatkan gejala dan tanda
hipotiroid atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
(rekomendasi C). Pemeriksaan USG transvaginal atau SIS terutama dapat
dilakukan untuk menilai kavum uteri (rekomendasi A).
3. Jika pasien memerlukan kontrasepsi lanjutkan ke G, jika tidak lanjutkan ke 4.
4. Asam traneksamat 3 x 1 g dan asam mefenamat 3 x 500 mg merupakan
pilihan lini pertama dalam tata laksana menoragia (rekomendasi A).
5. Lakukan observasi selama 3 siklus menstruasi.
6. Jika respons pengobatan tidak adekuat, lanjutkan ke 7.
7. Nilai apakah terdapat kontra indikasi pemberian PKK.
8. PKK mampu mengurangi jumlah perdarahan dengan menekan pertumbuhan
endometrium. Dapat dimulai pada hari apa saja, selanjutnya pada hari
pertama siklus menstruasi (rekomendasi A).
9. Jika pasien memiliki kontra indikasi terhadap PKK maka dapat diberikan
preparat progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat.
(rekomendasi A) Kemudian diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan
penggunaan LNG-IUS.
10. Jika setelah 3 bulan, respons pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan
penilaian USG transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri.
11. Jika dengan USG TV atau SIS didapatkan polip atau mioma submukosum
segera pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi
(rekomendasi B).
12. Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm,
lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan hiperplasia
(rekomendasi B).
13. Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan
progestin, LNG IUS, GnRHa atau histerektomi.
14. Jika hasil pemeriksaan USG TV dan SIS menunjukkan hasil normal atau
terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka
dilakukan evaluasi terhadap fungsi reproduksinya.
15. Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan
ablasi endometrium atau histerektomi. Jika pasien masih ingin
mempertahankan fungsi reproduksi anjurkan pasien untuk mencatat siklus
haidnya dengan baik dan memantau kadar Hb.
23
1. PUA-E
3. Memerlukan kontrasepsi
Tidak Ya
Tidak Ya
5. Observasi selama 3
8. PKK 3 9. Progestin selama 14 hari,
siklus kemudian stop selama 14
siklus
hari. Ulang selama 3 siklus.
Tawarkan LNG IUS
Ya
24
H. Iatrogenik (PUA-I)
H.1. Perdarahan karena efek samping PKK
1. Penanganan efek samping PUA-E disesuaikan dengan algoritma PUA-E.
2. Perdarahan sela (breakthrough bleeding) dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama atau setelah 3 bulan penggunaan PKK.
3. Jika perdarahan sela terjadi dalam 3 bulan pertama maka penggunaan
PKK dilanjutkan dengan mencatat siklus haid.
4. Jika pasien tidak ingin melanjutkan PKK atau perdarahan menetap > 3
bulan lanjutkan ke 5.
5. Lakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila
positif berikan doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari. Yakinkan pasien
minum PKK secara teratur. Pertimbangkan untuk menaikkan dosis
estrogen. Jika usia pasien lebih dari 35 tahun dilakukan biopsi
endometrium
6. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan TVS, SIS atau histeroskopi
untuk menyingkirkan kelainan saluran reproduksi.
7. Jika perdarahan sela terjadi setelah 3 bulan pertama penggunaan PKK,
lanjutkan ke 5.
8. Jika efek samping berupa amenorea lanjutkan ke 9.
9. Singkirkan kehamilan.
10. Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan pil yang sama.
1. PUA-E 2. Perdarahan sela 8. Amenorea
(breakthrough bleeding)
Algoritma PUA-E
9. Singkirkan
kehamilan
25
H.2. Perdarahan karena efek samping kontrasepsi progestin
1. Jika terdapat amenorea atau perdarahan bercak, lanjutkan ke 2.
2. Konseling bahwa kelainan ini merupakan hal biasa.
3. Jika efek samping berupa PUA-O, lanjutkan ke 4.
4. Jika usia pasien > 35 tahun dan memiliki risiko tinggi keganasan
endometrium, lanjutkan ke 5, jika tidak lanjutkan ke 6.
5. Biopsi endometrium.
6. Jika dalam 4-6 bulan pertama pemakaian kontrasepsi, lanjutkan ke 7. Jika
tidak lanjutkan ke 9.
7. Berikan 3 alternatif sebagai berikut :
a. Lanjutkan kontrasepsi progestin dengan dosis yang sama;
b. Ganti kontrasepsi dengan PKK (jika tidak ada kontra indikasi);
c. Suntik DMPA setiap 2 bulan (khusus akseptor DMPA).
8. Bila perdarahan tetap berlangsung setelah 6 bulan, lanjutkan ke 9
9. Berikan estrogen jangka pendek (EEK 4 x 1.25 mg / hari selama 7 hari)
yang dapat diulang jika perdarahan abnormal terjadi kembali.
Pertimbangkan pemilihan metoda kontrasepsi lain
9. Berikan estrogen jangka pendek (EEK 1,25 mg 4 x sehari selama 7 hari). Dapat
diulang jika perdarahan abnormal terjadi kembali. Pertimbangkan pemilihan
metoda kontrasepsi lain
26
8.3. Perdarahan karena efek samping penggunaan AKDR
1. Jika pada pemeriksaan pelvik dijumpai rasa nyeri, lanjutkan ke 2.
2. Berikan doksisiklin 2x100 mg sehari selama 10 hari karena perdarahan
pada pengguna AKDR dapat disebabkan oleh endometritis. Jika tidak ada
perbaikan, pertimbangkan untuk mengangkat AKDR.
3. Jika tidak dijumpai rasa nyeri dan AKDR digunakan dalam 4-6 bulan
pertama, lanjutkan ke 4. Jika tidak, lanjutkan ke 5.
4. Lanjutkan penggunaan AKDR, jika perlu dapat ditambahkan AINS. Jika
setelah 6 bulan perdarahan tetap terjadi dan pasien ingin diobati, lanjutkan
ke 5.
5. Berikan PKK untuk 1 siklus.
6. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan pengangkatan AKDR. Bila usia
pasien > 35 tahun lakukan biopsi endometrium.
4. Lanjutkan penggunaan
3. Penggunaan 4-6 Ya
AKDR, jika perlu dapat
bulan pertama
ditambahkan AINS
Tidak
27
Tabel 6. Penanganan Perdarahan Uterus Abnormal Menurut Strata Pelayanan
Kesehatan
1 2 3
Stabilisasi hemodinamik + + +
Stop perdarahan + + +
Medikamentosa:
PKK 2-4x/hr ATAU + + +
EEK 2,5 mg tid + + +
Evaluasi 12-24 jam:
Berhasil
Tidak berhasil
Jika berhasil, Mencegah Kambuh
28
Primer Sekunder Tersier
Pasang iv line
Emergensi (Hb <
resusitasi cairan Transfusi bila Hb < 7.5
10, hemodinamik
dengan RL
tidak stabil)
rujuk
EEK 4x2.5 mg Medikamentosa
(bila tidak berhenti - Agonis GnRH
dalam waktu 24 jam, - LNG IUS
lakukan D&K, harus ada - Danazol
persetujuan pada nona)
Keterangan:
EEK = estrogen ekuin konyugasi, PKK = pil kontrasepsi kombinasi, D&K = dilatasi dan
kuretase, AINS = anti inflamasi non steroid, LNG-IUS = levonorgestrel intra uterine
system
29
5. Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal (NON-
HORMONAL)
Plasmin
Plasminogen
Fibrin FDPs
30
Diasil gliserol atau Fosfolipid
Fosfolipase A2 Fosfolipase C2
Asam arakidonat
Prostaglandin H2
Gambar 6. Endometrium
31
6. Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal
(HORMONAL)
(A) Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak. Sediaan yang
digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam waktu 48 jam.
Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan pemberian obat anti-emetik
seperti promethazine 25 mg per oral atau intra muskular setiap 4-6 jam sesuai dengan
kebutuhan. Mekanisme kerja obat ini belum jelas, kemungkinan aktivitasnya tidak
terkait langsung dengan endometrium. Obat ini bekerja untuk memicu vasospasme
pembuluh kapiler dengan cara mempengaruhi kadar fibrinogen, faktor IV, faktor X,
proses agregasi trombosit dan permeabilitas pembuluh kapiler. Pembentukan reseptor
progesteron akan meningkat sehingga diharapkan pengobatan selanjutnya dengan
menggunakan progestin akan lebih baik. Efek samping berupa gejala akibat efek
estrogen yang berlebihan seperti perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan.
(B) PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi akibat
endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut adalah 4 x 1
tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2
x 1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1 x 1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya
bebas pil selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi
kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila pengobatannya ditujukan untuk
menghentikan haid, maka obat tersebut dapat diberikan secara kontinyu, namun
dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa
perubahan mood, sakit kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein
thrombosis, stroke dan serangan jantung.
(C) Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta akan
mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada sel-sel endometrium,
sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek biologisnya lebih rendah
dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian penggunaan progestin yang lama dapat
memicu efek anti mitotik yang mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin
dapat diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14
hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang tanpa memperhatikan pola
perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi progestin, maka
dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari pertama perdarahan tadi
sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin diminum sampai hari ke 14. Pemberian
progestin secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi apabila
terdapat kontra-indikasi (misalkan : hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah,
riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner atau infark miokard, kecurigaan
32
keganasan payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning akibat kolestasis, kanker
hati). Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1 x 10 mg, noretisteron
asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogesteron 2 x 5 mg atau nomegestrol asetat 1 x 5
mg selama 10 hari per siklus.
Apabila pasien mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin
dapat dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk
14 hari dan kemudian berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti.
Pemberian progestin secara kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya untuk
membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan, yaitu :
pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari
Pemberian DMPA setiap 12 minggu
Penggunaan LNG IUS
Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah, payudara
tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi
(D) Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan 17a-etinil
testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk menekan
produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap reseptor
estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau
lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati perdarahan menstrual hebat.
Danazol dapat menurunkan hilangnya darah menstruasi kurang lebih 50% bergantung
dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih efektif dibanding dengan AINS atau
progestogen oral. Dengan dosis lebih dari 400mg per hari dapat menyebabkan
amenorea. Efek sampingnya dialami oleh 75% pasien yakni: peningkatan berat badan,
kulit berminyak, jerawat, perubahan suara.
33
(E) GnRHa
(D) Danazol
34
Tabel 7. Daftar obat yang dapat digunakan untuk terapi PUD
35
No Nama Generik Dosis Nama Dagang
Anti fibrinolitik
Anti prostaglandin
Estrogen alamiah
Progestin sintetik
36
Daftar Bacaan
Munro MG, Critchley HO, Broder MS, Fraser IS. FIGO classification system (PALM-COEIN)
for causes of abnormal uterine bleeding in nongravid women of reproductive age.
International journal of gynaecology and obstetrics: the official organ of the
International Federation of Gynaecology and Obstetrics. 2011 Apr; 113(1): 3-13.
The Royal College of Obstetricians and Gynecologist. The management of heavy
menstrual bleeding ; Nice Guideline, 2007.
Marret H, Fauconnier A, Chabbert-Buffet N, Cravello L, Golfier F, Gondry J, et al. Clinical
practice guidelines on menorrhagia: management of abnormal uterine bleeding
before menopause. European journal of obstetrics, gynecology, and reproductive
biology. 2008 Oct;152(2): 133-7.
Oehler MK, Rees MC. Menorrhagia: an update. Acta obstetricia et gynecologica
Scandinavica. 2003 May;82(5): 405-22.
37