Anda di halaman 1dari 38

PANDUAN TATA LAKSANA

PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL

Editor:
Prof. Dr. med. Ali Baziad, SpOG(K)
dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K)
dr. Budi Wiweko, SpOG(K)

Hasil Lokakarya Himpunan Endokrinologi


- Reproduksi dan Fertilitas
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Aceh, 29 April – 1 Mei 2011

HIMPUNAN ENDOKRINOLOGI REPRODUKSI DAN FERTILITAS INDONESIA

PERKUMPULAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI INDONESIA


Kontributor:

Daftar Isi :

Kata Pengantar Ketua Pengurus Pusat HIFERI-POGI

Daftar Singkatan

1
Kata Pengantar

Masalah perdarahan uterus abnormal (PUA) merupakan kelainan yang paling sering
ditemukan dalam praktek sehari hari. Penanganan PUA juga belum seragam.
Penanganan PUA saat ini telah mengalami perubahan yang sangat pesat. Agar dapat
diperoleh kesamaan dalam penatalaksanaan PUA, maka Himpunan Fertilitas
Endokrinologi Reproduksi Indonesia–Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(HIFERI-POGI) mengambil kebijakan untuk mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil
HIFERI-POGI dari seluruh cabang di Indonesia untuk membahas masalah PUA secara
tuntas. Dari hasil pertemuan tersebut telah berhasil dibuat sebuah kesepakatan atau
konsensus bersama. Konsensus adalah kesepakatan para ahli dalam bidangnya yang
dibuat secara sistematis dan berdasarkan level of evidence tertinggi dan berdasarkan
pengalaman kilnis dari masing masing ahli tersebut.
Untuk mempermudah para pembaca, dalam buku ini juga ikut dilampiri algoritma
penanganan PUA. Kami menyadari bahwa di Indonesia telah banyak dibuat algoritma
maupun kesepakatan tentang PUA, namun apa yang telah dihasilkan oleh HIFERI-POGI
adalah kesepakatan para ahli dalam bidang PUA yang di wakili oleh anggota HIFERI-POGI
dari seluruh cabang HIFERI-POGI yang ada di Indonesia.
Harapan saya buku ini dapat berguna untuk di gunakan dalam penanganan pasien-pasen
dengan PUA. Mohon saran serta masukan sebagai bahan untuk perbaikan di masa yang
akan datang.
Last but not least, saya selaku Ketua Pengurus Pusat HIFERI-POGI ingin menyampaikan
terima kasih dan penghargaan yang setingi tingginya kepada semua pihak yang telah
ikut berperanserta dalam pembuatan konsensus ini.
Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua.

Jakarta, Agustus 2011

Prof.Dr.med. Ali Baziad, SpOG(K)


Ketua Pengurus Pusat HIFERI-POGI

2
1. Definisi dan Terminologi

Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah
maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus
haid yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti
dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan
perdarahan uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostasis
lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya
termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD).

1. Perdarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai perdarahan haid yang


banyak sehingga perlu dilakukan penanganan yang cepat untuk mencegah
kehilangan darah. Perdarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi
PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya.

2. Perdarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk perdarahan


uterus abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak
memerlukan penanganan yang cepat dibandingkan PUA akut.

3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan perdarahan haid yang


terjadi di antara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi kapan saja
atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan
untuk menggantikan terminologi metroragia.

PUA

PUA Akut PUA


Kronik

Bagan 1. Pembagian PUA

3
2. Sistem Klasifikasi

Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO),


terdapat sembilan kategori utama yang disusun sesuai dengan akronim “PALM-COEIN”
yakni; polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy and hyperplasia, coagulopathy,
ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik dan not yet classified.
Kelompok “PALM” merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai dengan
berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok COEIN
merupakan kelainan non struktur yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan
atau histopatologi.Sistem klasifikasi tersebut disusun berdasarkan pertimbangan bahwa
seorang pasien dapat memiliki satu atau lebih faktor penyebab PUA. Dengan
pendekatan ini, diharapkan tata laksana untuk pasien dengan PUA dapat menjadi lebih
komprehensif.

Klasifikasi PUA
(FIGO)

PALM COEIN

A. Polip E. Coagulopathy

B. Adenomiosis F. Ovulatory dysfunction

C. Leiomioma G. Endometrial

D. Malignancy and H. Iatrogenik


hyperplasia

I. Not yet classified

Bagan 2. Klasifikasi PUA

4
A. Polip (PUA-P)
 Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan PUA.
 Lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik atau ganas.
 Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau
histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi.

B. Adenomiosis (PUA-A)
 Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan
endometrium pada hasil histopatologi.
 Adenomiosis dimasukkan dalam sistem klasifikasi berdasarkan pemeriksaan
MRI dan USG.
 Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup untuk
mendiagnosis adenomiosis.
 Hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada
miometrium dan sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi
miometrium.

C. Leiomioma (PUA-L)
 Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan
penyebab tunggal PUA.
 Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni
hubungan mioma uteri dengan endometrium dan serosa lokasi, ukuran,
serta jumlah mioma uteri.
 Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :
 Primer : ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uteri;
 Sekunder : membedakan mioma uteri yang melibatkan endometrium
(mioma uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri
lainnya;
 Tersier : klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural dan
subserosum.

D. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)


 Meskipun jarang ditemukan, namun hiperplasia atipik dan keganasan
merupakan penyebab penting PUA.
 Klasifikasi keganasan dan hiperplasia menggunakan sistem klasifikasi FIGO
dan WHO.

E. Coagulopathy (PUA-C)
 Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang
terkait dengan PUA.
 Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki
kelainan hemostasis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah
penyakit von Willebrand.

5
F. Ovulatory dysfunction (PUA-O)
 Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
 Dahulu termasuk dalam kriteria perdarahan uterus disfungsional (PUD).
 Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga
perdarahan haid banyak.
 Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik (SOPK),
hiperprolaktinemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan, anoreksia
atau olahraga berat yang berlebihan.

G. Endometrial (PUA-E)
 Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus
haid teratur.
 Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostasis lokal
endometrium.
 Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti
endothelin-1 dan prostaglandin F2 serta peningkatan aktifitas fibrinolisis.
 Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan yang
berlanjut akibat gangguan hemostasis lokal endometrium.
 Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain pada
siklus haid yang berovulasi.

H. Iatrogenik (PUA-I)
 Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis
seperti penggunaan estrogen, progestin, atau AKDR.
 Perdarahan haid di luar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen
atau progestin dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough
bleeding (BTB).
 Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam
sirkulasi yang dapat disebabkan oleh sebagai berikut :
 Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi;
 Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin;
 Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti
koagulan (warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin)
dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA-C.

I. Not yet classified (PUA-N)


 Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit
dimasukkan dalam klasifikasi.
 Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis kronik atau
malformasi arteri-vena.
 Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian PUA.

6
Gambar 1. Klasifikasi PUA

3. Penulisan

Kemungkinan penyebab PUA pada individu bisa lebih dari satu karena itu dibuat
sistem penulisan.
 Angka 0 : tidak ada kelainan pada pasien;
 Angka 1 : terdapat kelainan pada pasien;
 Tanda tanya (?) : belum dilakukan penilaian.

Sistem penulisan pada pasien yang mengalami PUA karena gangguan ovulasi dan
mioma uteri submukosum adalah PUA P0 A0 L1(SM) M0 – C0 O1 E0 I0 N0. Pada praktek
sehari-hari gangguan di atas dapat ditulis PUA L(SM); O.

Tabel 1. Sistem Penulisan Klasifikasi Mioma Uteri


SM - Submukosum 0 Intrakavum yang bertangkai
1 < 50% intramural
2  50% intramural
O - Other 3 100% intramural; mencapai endometrium
4 Intramural
5 Subserosum  50%
6 Subserosum <50%
7 Subserosum yang bertangkai
8 Lain-lain

Gambar 2. Klasifikasi mioma uteri sebagai penyebab PUA

7
Gambar 3. Sistem penulisan PUA berdasarkan klasifikasi FIGO

4. Panduan Investigasi

A. Anamnesis
 Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya kelainan uterus,
faktor risiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan BB yang drastis, serta
riwayat kelainan hemostasis pada pasien dan keluarganya (Rekomendasi B).
Perlu ditanyakan siklus haid sebelumnya serta waktu mulai terjadinya
perdarahan uterus abnormal.
 Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan haid rata-rata
meningkat 10% dibandingkan populasi normal. Karena itu perlu dilakukan
pertanyaan untuk mengidentifikasi penyakit von Willebrand (Rekomendasi B).
 Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat
kepatuhannya dan obat-obat lain yang diperkirakan mengganggu koagulasi.
 Penilaian jumlah darah haid dapat dinilai menggunakan piktograf (PBAC) atau
skor “perdarahan”. Data ini juga dapat digunakan untuk diagnosis dan menilai
kemajuan pengobatan PUA (Rekomendasi C).
 Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis gangguan hemostasis
dengan sensitifitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada
perempuan dengan hasil penapisan positif.
 Perdarahan uterus abnormal yang terjadi karena pemakaian antikoagulan
dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA-C1.

8
Tabel 2. Penapisan klinis pasien dengan perdarahan haid banyak karena kelainan
hemostasis

Pertanyaan Untuk Menapis Kelainan Hemostasis Pada Pasien


Dengan Perdarahan Haid Banyak
1 Perdarahan haid banyak sejak menars
2 Terdapat minimal 1 (satu) keadaan dibawah ini :
 Perdarahan pasca persalinan;
 Perdarahan yang berhubungan dengan operasi;
 Perdarahan yang berhubungan dengan perawatan gigi.
3 Terdapat minimal 2 (dua) keadaan dibawah ini :
 Memar 1-2 x / bulan;
 Epistaksis 1-2 x / bulan;
 Perdarahan gusi yang sering;
 Riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan.

Tabel 3. Diagnosis banding PUA


Keluhan Dan Gejala Masalah
Nyeri pelvik Abortus, kehamilan ektopik
Mual, peningkatan frekuensi berkemih Hamil
Peningkatan berat badan, fatigue, gangguan
Hipotiroid
toleransi terhadap dingin
Penurunan berat badan, banyak keringat, palpitasi Hipertiroid
Riwayat konsumsi obat antikoagulan dan
Koagulopati
Gangguan pembekuan darah
Riwayat hepatitis, ikterik Penyakit hati
Hirsutisme, akne, akantosis nigricans, obesitas Sindrom ovarium polikistik (SOPK)
Perdarahan pasca koitus Displasia serviks, polip endoserviks
Galaktorea, sakit kepala, gangguan lapang
Tumor hipofisis
pandang

B. Pemeriksaan Umum
 Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan
hemodinamik.
 Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan.
 Pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda tanda hiperandrogen, pembesaran
kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea
(hiperprolaktinemia), gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis), purpura
dan ekimosis wajib diperiksa.

9
C. Pemeriksaan Ginekologi
 Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap
smear.
 Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia
endometrium atau keganasan.

D. Penilaian Ovulasi
 Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari.
 Jenis perdarahan PUA-O bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea.
 Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum
fase luteal madya atau USG transvaginal bila diperlukan.

E. Penilaian Endometrium
 Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien
PUA.
 Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada:
 Perempuan umur > 45 tahun
 Terdapat faktor risiko genetik
 USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang
merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium
 Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, nulipara
 Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer
memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat
diagnosis antara 48-50 tahun
 Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan uterus
abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan).
 Beberapa teknik pengambilan sampel endometrium seperti D & K dan biopsi
endometrium dapat dilakukan.

F. Penilaian Kavum Uteri


 Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma
uteri submukosum.
 USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus dilakukan pada
pemeriksaan awal PUA.
 Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri submukosum
disarankan untuk melakukan SIS atau histeroskopi. Keuntungan dalam
penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat dilakukan
bersamaan.

G. Penilaian Miometrium
 Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis.
 Miometrium dinilai menggunakan USG (transvaginal, transrektal dan
abdominal), SIS, histeroskopi atau MRI.

10
 Pemeriksaan adenomiosis menggunakan MRI lebih unggul dibandingkan USG
transvaginal.

Gambar 3. Pemeriksaan fisik untuk untuk menyingkirkan kelainan yang dapat


menyebabkan PUA

Gangguan lapang
pandang

Tanda-tanda
hiperandrogen Pembesaran
kel. tiroid

Adanya
galaktorea

Kelainan
darah

Indeks massa
tubuh

Singkirkan
kehamilan

Singkirkan
kelainan
organik

11
Tabel 4. Pemeriksaan penunjang

Primer Sekunder Tersier


 Prolaktin
 Darah lengkap
 Hb  Tiroid (TSH, FT4)
 Hemostasis (BT-CT,
Laboratorium  Tes kehamilan  DHEAS, Testosteron
lainnya sesuai
urin  Hemostasis (PT, aPTT,
fasilitas)
fibrinogen, D-dimer)
 USG transabdominal
 USG
 USG transvaginal
transabdominal
 USG transrektal
USG  USG transvaginal
Pemeriksaan  SIS
 USG transrektal
Penunjang  Doppler
 SIS
 MRI
 Mikrokuret / D&K
 Mikrokuret
Penilaian  Histeroskopi
 D&K
endometrium  Endometrial sampling
(hysteroscopy guided)
Penilaian
 Pap smear
serviks (bila  IVA  Pap smear
 Kolposkopi
ada patologi)

Tabel 5. Langkah diagnostik perdarahan uterus abnormal menurut strata kesehatan


Level 1 Level 2 Level 3
Anamnesis + + +
PF + + +
Pemeriksaan ginekologi + + +
Lab
Pregnancy test + + +
DPL,BT,CT + + +
PT, APTT, Fibrinogen, D-dimer + + +
vWF,agregasi trombosit + +
LFT (SGOT/SGPT) +
Hormonal
FT4, TSH + +
FSH, LH, E2, T, SHBG, DHEAS + +
RFT +
Metabolik (SOPK) GD, insulin +
USG
TA + + +
TVS/TRS + +
SIS +
Histeroskopi office/ diagnostik +
Dilatasi dan kuretase* + + +
MRI/CT Scan + +
Pap smear/IVA + + +
Kolposkopi +
* Jika tidak ada fasilitas USG/Histeroskopi

12
5. Manifestasi Klinis

5.1. Perdarahan uterus abnormal akut

A. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan hemodinamik


dan atau Hb < 10 g/dl perlu dilakukan rawat inap.
B. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan (kemudian ke langkah D).
C. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2 liter/menit dan
transfusi darah jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan hemodinamik.
D. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin konyugasi (EEK) 2.5 mg (rek B) per
oral setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg peroral atau injeksi IM
setiap 4-6 jam (untuk mengatasi mual). Asam traneksamat 3 x 1 gram (rek A)
atau anti inflamasi non-steroid 3 x 500 mg diberikan bersama EEK. Untuk
pasien dirawat, dapat dipasang balon kateter foley no. 10 ke dalam uterus
dan diisi cairan kurang lebih 15 ml, dipertahankan 12-24 jam.
E. Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam lakukan dilatasi dan kuretase
(D&K) (rek B).
F. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan kontrasepsi oral
kombinasi (KOK)(rek B) 4 kali 1 tablet perhari (4 hari), 3 kali 1 tablet perhari
(3 hari), 2 kali 1 tablet perhari (2 hari) dan 1 kali 1 tablet sehari (3 minggu),
kemudian stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3 minggu dengan jeda 1
minggu sebanyak 3 siklus atau LNG-IUS (rek A).
G. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron asetat (MPA)
10 mg perhari (7 hari) (rek A), siklik, selama 3 bulan.
H. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya, injeksi gonadotropin-
releasing hormone (GnRH) agonis (rek A) dapat diberikan bersamaan dengan
pemberian KOK untuk stop perdarahan (langkah D). GnRH diberikan 2-3
siklus dengan interval 4 minggu.
I. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk mencari
penyebab perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG transvaginal
(TV)/transrektal (TR) (rek B), periksa darah perifer lengkap (DPL) (rek C),
hitung trombosit (rek C), prothrombin time (PT)(rek C), activated partial
thromboplastin time (aPTT) (rek C) dan thyroid stimulating hormone (TSH).
Saline-infused sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan jika endometrium yang
terlihat tebal, untuk melihat adanya polip endometrium atau mioma
submukosum. Jika perlu dapat dilakukan pemeriksaan histeroskopi “office”
(rek A).
J. Jika terapi medikamentosa tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka
dapat dilakukan terapi pembedahan seperti ablasi endometrium (rek A),
miomektomi, polipektomi, histerektomi (rek A).

13
Hipotensi ortostatik atau hemoglobin < 10 g/dl atau perdarahan aktif & banyak

A. Rawat Inap B. Rawat Jalan

C. infus RL dan oksigen, transfusi jika D. EEK 2,5 mg oral setiap 6 jam,
Hb < 7 g/dl. ditambah promestatin 25 mg oral.
D. EEK 2,5 mg oral setiap 6 jam , Asam traneksamat 3x 1 gram
ditambah promestatin 25 mg oral atau diberikan bersamaan dengan EEK.
injeksi setiap 4-6 jam. Asam E. D&K jika perdarahan masih
traneksamat 3x1 gram diberikan berlangsung dalam 12 -24 jam.
bersamaan dengan EEK. F. Setelah perdarahan akut berhenti,
E. D&K jika perdarahan masih diberikan PKK 4x1 tab (4 hari), 3x1
berlangsung dalam 12-24 jam. tab (3 hari), 2x1 tab (2 hari) dan 1x1
F. Setelah perdarahan akut berhenti, tab , 3 minggu dan 1 minggu bebas
diberikan PKK 4x1 tab (4 hari), 3x1 PKK.
tab (3 hari), 2x1 tab (2 hari) dan 1x1 G. jika terdapat kontraindikasi PKK
tab, 3 minggu dan 1 minggu bebas dapat diberikan progestin selama 14
PKK. hari, kemudian stop 14 hari. Ulangi 3
G. jika terdapat kontraindikasi PKK bulan.
dapat diberikan progestin selama 14 H. USG transvaginal/transrektal, TSH,
hari, kemudian stop 14 hari. Ulangi 3 DPL,PT, aPTT.
bulan. I. Tablet hematinik 1x1 tab.
H. USG transvaginal/transrektal TSH,
DPL, PT, aPTT.
I. Tablet hematinik 1x1 tab.

Terapi berhasil Terapi tidak berhasil

Ingin hamil Tidak ingin hamil


Terapi pembedahan seperti
ablasi endometrium,
miomektomi dan polipektomi
atau histerektomi

Tata laksana Atur siklus


kehamilan selama 3 bulan
atau lebih

Bagan 3. Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Akut Dan Banyak

14
5.2. Perdarahan uterus abnormal kronik

 Jika dari anamnesis yang terstruktur ditemukan bahwa pasien mengalami satu
atau lebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak dapat diramalkan dalam 3
bulan terakhir.
 Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah perifer
lengkap wajib dilakukan.
 Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut.
 Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat memicu
PUA dan lakukan pula pemeriksaan penyakit koagulopati bawaan jika terdapat
indikasi.
 Pastikan apakah pasien masih menginginkan keturunan.
 Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan penggunaan
yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien untuk memiliki keturunan
dapat menentukan penanganan selanjutnya. Pemeriksaan tambahan meliputi
pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi
(fungsi tiroid, prolaktin, dan androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis.

PUA kronik
> 3 bulan, lama, jumlah, dan Tidak PUA akut
frekuensi perdarahan tidak
dapat diramalkan

Ya

Pemeriksaan awal

A. Anamnesis B. Pemeriksaan fisik C. Pemeriksaan tambahan


yang terstruktur

E. Evaluasi uterus G. Darah perifer lengkap


C. Fungsi ovulasi

D. Gangguan H. Pemeriksaan hormonal


F. Fertilitas medis terkait, (jika oligo-anovulasi)
penggunaan
obat
I. Pemeriksaan
koagulopati bawaan jika
(+) indikasi

Bagan 4. Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Kronik

15
E. Evaluasi Uterus

1. Risiko hiperplasia atau 2. Curiga kelainan


neoplasia struktur

Ya Tidak Ya

1. Biopsi endometrium 2. USG TV, TA, TR


berbasis office

Ya
2. Kavum uteri normal
1. Sampel cukup Tidak

kemungkinan Tidak
Ya PUA-E atau O

2. Histeroskopi + / - biopsi atau F. SIS


Tidak
1. Hiperplasia atipik/
Kanker?
2. Lesi target

Tidak
Ya
(-) akses
Ya

Tata laksana PUA-M F. Pertimbangkan


PUA-LSM, PUA-P, PUA-A MRI

Bagan 5. Panduan Investigasi Evaluasi Uterus

16
5.3. Penanganan perdarahan uterus abnormal berdasarkan penyebabnya

A. Polip (PUA-P)
Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan :
1. Reseksi secara histeroskopi (Rekomendasi C);
2. Dilatasi dan kuretase;
3. Kuret hisap;
4. Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.

B. Adenomiosis (PUA-A)
1. Diagnosis adenomiosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG atau
MRI;
2. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan;
3. Bila pasien menginginkan kehamilan dapat diberikan analog GnRH + add-
back therapy atau LNG IUS selama 6 bulan (Rekomendasi C);
4. Adenomiomektomi dengan teknik Osada merupakan alternatif pada pasien
yang ingin hamil (terutama pada adenomiosis > 6 cm);
5. Bila pasien tidak ingin hamil, reseksi atau ablasi endometrium dapat
dilakukan (Rekomendasi C). Histerektomi dilakukan pada kasus dengan
gagal pengobatan.

1. Adenomiosis

2. Ingin hamil ?

Ya Tidak

3. Analog GnRH + add-back th/ 4. Adenomiomektomi 5. Reseksi endometrium


atau dengan teknik Osada atau histerektomi
LNG-IUS (6 bulan)

Bagan 6. Penanganan Adenomiosis

C. Leiomioma uteri (PUA-L)


1. Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG;
2. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan;

17
3. Histeroskopi reseksi mioma uteri submukosum dilakukan terutama bila
pasien menginginkan kehamilan (Rekomendasi B).
a. Pilihan pertama untuk mioma uteri submukosum berukuran < 4 cm,
b. Pilihan kedua untuk mioma uteri submukosum derajat 0 atau 1
(Rekomendasi B),
c. Pilihan ketiga untuk mioma uteri submukosum derajat 2
(Rekomendasi C).
4. Bila terdapat mioma uteri intra mural atau subserosum dapat dilakukan
penanganan sesuai PUA-E / O) (Rekomendasi C). Pembedahan dilakukan
bila respon pengobatan tidak cocok;
5. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat dilakukan pengobatan
untuk mengurangi perdarahan dan memperbaiki anemia (Rekomendasi B).
6. Bila respon pengobatan tidak cocok dapat dilakukan pembedahan.
Embolisasi arteri uterina merupakan alternatif tindakan pembedahan
(Rekomendasi A).

1. Leiomioma

2. Ingin hamil ?

Ya Tidak

3. Submukosum
5. Penanganan medis (koreksi anemia)

3.a,b,c.
Miomektomi
Histeroskopi
Operasi
reseksi
Histerektomi

4. Intramural / Subserosum Tata laksana ekspektatif

Penanganan medis Konservatif : Embolisasi arteri


(lihat ke PUA-E / O)

Jika gagal Operasi

Bagan 7. Penanganan Leiomioma Uteri

18
D. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)
1. Diagnosis hiperplasia endometrium atipik ditegakkan berdasarkan penilaian
histopatologi;
2. Tanyakan apakah pasien menginginkan kehamilan;
3. Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D & K dilanjutkan
pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan
(Rekomendasi C);
4. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan tindakan histerektomi merupakan
pilihan (Rekomendasi C);
5. Biopsi endometrium diperlukan untuk pemeriksaan histologi pada akhir
bulan ke-6 pengobatan;
6. Jika keadaan hyperplasia atipik menetap, lakukan histerektomi.

Malignancy and hyperplasia

1. Hiperplasia endometrium
atipik

2. Ingin hamil ?

Ya Tidak

3. D & K dan Progestin (6 bulan) 4. Histerektomi


atau
LNG-IUS
atau
Analog GnRH

5. Biopsi (akhir bulan ke-6) 6. Hiperplasia atipik menetap

Bagan 8. Penanganan Malignancy and hyperplasia

E. Coagulopathy (PUA-C)
1. Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang
terkait dengan PUA;
2. Penanganan multidisiplin diperlukan pada kasus ini

19
3. Pengobatan dengan asam traneksamat, progestin, kombinasi pil estrogen-
progestin dan LNG-IUS pada kasus ini memberikan hasil yang sama bila
dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan koagulasi;
4. Jika terdapat kontraindikasi terhadap asam traneksamat atau PKK dapat
diberikan LNG-IUS atau dilakukan pembedahan bergantung pada umur
pasien (Rekomendasi B)
5. Terapi spesifik seperti desmopressin dapat digunakan pada penyakit von
Willebrand (Rekomendasi C).

1. Coagulopathy

2. Terapi multidisiplin

3. Asam traneksamat dan 5. Terapi spesifik :


PKK atau LNG-IUS desmopressin untuk penyakit
von Willebrand

4. Jika ada kontraindikasi

LNG-IUS atau Operasi

Bagan 9. Penanganan Coagulopathy

F. Ovulatory dysfunction (PUA-O)


1. Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
klinik perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
2. Pemeriksaan hormon tiroid dan prolaktin perlu dilakukan terutama pada
keadaan oligomenorea. Bila dijumpai hiperprolaktinemia yang disebabkan
oleh hipotiroid maka kondisi ini harus diterapi.
3. Pada perempuan umur > 45 tahun atau dengan risiko tinggi keganasan
endometrium perlu dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan
pengambilan sampel endometrium.
4. Bila tidak dijumpai faktor risiko untuk keganasan endometrium lakukan
penilaian apakah pasien menginginkan kehamilan atau tidak.
5. Bila menginginkan kehamilan dapat langsung mengikuti prosedur tata
laksana infertilitas.
6. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat diberikan terapi hormonal
dengan menilai ada atau tidaknya kontra indikasi terhadap PKK.

20
7. Bila tidak dijumpai kontra indikasi, dapat diberikan PKK selama 3 bulan
(rekomendasi A).
8. Bila dijumpai kontra indikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat
progestin selama 14 hari, kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3
bulan siklus (rekomendasi A).
9. Setelah 3 bulan dilakukan evaluasi untuk menilai hasil pengobatan.
10. Bila keluhan berkurang pengobatan hormonal dapat dilanjutkan atau
distop sesuai keinginan pasien.
11. Bila keluhan tidak berkurang, lakukan pemberian PKK atau progestin dosis
tinggi (naikkan dosis setiap 2 hari sampai perdarahan berhenti atau dosis
maksimal). Perhatian terhadap kemungkinan munculnya efek samping
seperti sindrom pra haid. Lakukan pemeriksaan ulang dengan USG TV atau
SIS untuk menyingkirkan kemungkinan adanya polip endometrium atau
mioma uteri (rekomendasi A). Pertimbangkan tindakan kuretase untuk
menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan medikamentosa
gagal, dapat dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan
histeroskopi atau histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada
perdarahan uterus yang banyak dapat ditawarkan setelah memberikan
informed consent yang jelas pada pasien. Pada uterus dengan ukuran < 10
minggu.

21
1. Ovulatory dysfunction

2. Periksa hormon tiroid. Bila terdapat amenore atau


oligomenore lakukan pemeriksaan prolaktin.
Lakukan pap smear terutama bila terdapat
perdarahan pasca koitus.

Ya Biopsi endometrium,
3. Umur > 35 tahun atau risiko
tinggi kanker endometrium USG TV

Tidak
4. Pertimbangkan kelainan
sistemik

Ya
5. Ingin hamil ? Tata laksana infertilitas

Tidak

6. Kontra indikasi PKK


Tidak Ya

7. PKK selama 3 bulan 8. Progestin selama 14 hari,


kemudian stop selama 14 hari.
Diulang selama 3 bulan

Ya 10. Teruskan atau stop terapi


9. Perdarahan berkurang hormonal sesuai keinginan
pasien
Tidak

11. Pertimbangkan pemberian PKK atau progestin dosis tinggi.


Pertimbangkan USG TV atau SIS untuk menyingkirkan polip
endometrium atau mioma uteri. Biopsi endometrium untuk
menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan
medikamentosa tidak berhasil pertimbangkan untuk melakukan ablasi
endometrium, reseksi dengan histeroskopi atau histerektomi.

Bagan 10. Penanganan ovulatory dysfunction

22
G. Endometrial (PUA-E)
1. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus
haid yang teratur .
2. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila didapatkan gejala dan tanda
hipotiroid atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
(rekomendasi C). Pemeriksaan USG transvaginal atau SIS terutama dapat
dilakukan untuk menilai kavum uteri (rekomendasi A).
3. Jika pasien memerlukan kontrasepsi lanjutkan ke G, jika tidak lanjutkan ke 4.
4. Asam traneksamat 3 x 1 g dan asam mefenamat 3 x 500 mg merupakan
pilihan lini pertama dalam tata laksana menoragia (rekomendasi A).
5. Lakukan observasi selama 3 siklus menstruasi.
6. Jika respons pengobatan tidak adekuat, lanjutkan ke 7.
7. Nilai apakah terdapat kontra indikasi pemberian PKK.
8. PKK mampu mengurangi jumlah perdarahan dengan menekan pertumbuhan
endometrium. Dapat dimulai pada hari apa saja, selanjutnya pada hari
pertama siklus menstruasi (rekomendasi A).
9. Jika pasien memiliki kontra indikasi terhadap PKK maka dapat diberikan
preparat progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat.
(rekomendasi A) Kemudian diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan
penggunaan LNG-IUS.
10. Jika setelah 3 bulan, respons pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan
penilaian USG transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri.
11. Jika dengan USG TV atau SIS didapatkan polip atau mioma submukosum
segera pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi
(rekomendasi B).
12. Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm,
lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan hiperplasia
(rekomendasi B).
13. Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan
progestin, LNG IUS, GnRHa atau histerektomi.
14. Jika hasil pemeriksaan USG TV dan SIS menunjukkan hasil normal atau
terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka
dilakukan evaluasi terhadap fungsi reproduksinya.
15. Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan
ablasi endometrium atau histerektomi. Jika pasien masih ingin
mempertahankan fungsi reproduksi anjurkan pasien untuk mencatat siklus
haidnya dengan baik dan memantau kadar Hb.

23
1. PUA-E

2. Periksa hormon tiroid,


USG TV atau SIS

3. Memerlukan kontrasepsi

Tidak Ya

4. Asam traneksamat 3 x1 g dan 7. Kontra indikasi PKK


asam mefenamat 3 x 500 mg

Tidak Ya

5. Observasi selama 3
8. PKK 3 9. Progestin selama 14 hari,
siklus kemudian stop selama 14
siklus
hari. Ulang selama 3 siklus.
Tawarkan LNG IUS

6. Respon tidak adekuat 10.Respon tidak


adekuat 11.Pertimbangkan
11. Polip atau mioma reseksi dengan
submukosum histeroskopi

11. USG transvaginal


atau SIS
12.Hiperplasia 12.Pengambilan
endometrium sampel
(tebal endometrium
14.Normal atau endometrium >
abnormal dan tidak 10) mm)
bisa dilakukan 13.Pertimbangkan
terapi konservatif
MRI, progestin,
13. Adenomiosis LNG IUS,
leuprolide atau
histerektomi
 Catat siklus Tidak 15.Fungsi reproduksi
menstruasi komplit
 Monitor Hb

Ya

15. Pertimbangkan ablasi


endometrium atau
histerektomi

Bagan 11. Penanganan Endometrial

24
H. Iatrogenik (PUA-I)
H.1. Perdarahan karena efek samping PKK
1. Penanganan efek samping PUA-E disesuaikan dengan algoritma PUA-E.
2. Perdarahan sela (breakthrough bleeding) dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama atau setelah 3 bulan penggunaan PKK.
3. Jika perdarahan sela terjadi dalam 3 bulan pertama maka penggunaan
PKK dilanjutkan dengan mencatat siklus haid.
4. Jika pasien tidak ingin melanjutkan PKK atau perdarahan menetap > 3
bulan lanjutkan ke 5.
5. Lakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila
positif berikan doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari. Yakinkan pasien
minum PKK secara teratur. Pertimbangkan untuk menaikkan dosis
estrogen. Jika usia pasien lebih dari 35 tahun dilakukan biopsi
endometrium
6. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan TVS, SIS atau histeroskopi
untuk menyingkirkan kelainan saluran reproduksi.
7. Jika perdarahan sela terjadi setelah 3 bulan pertama penggunaan PKK,
lanjutkan ke 5.
8. Jika efek samping berupa amenorea lanjutkan ke 9.
9. Singkirkan kehamilan.
10. Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan pil yang sama.
1. PUA-E 2. Perdarahan sela 8. Amenorea
(breakthrough bleeding)

Algoritma PUA-E
9. Singkirkan
kehamilan

3. 3 bulan pertama 7. Setelah 3 bulan pertama


penggunaan PKK penggunaan PKK

10. Naikkan dosis estrogen atau


lanjutkan pil yang sama
3. Penggunaan PKK
dilanjutkan, catat siklus 5. Cek klamidia dan gonorrhea
haid
(endometritis). Tanyakan
mengenai kepatuhan. Naikkan
dosis estrogen . Jika berusia lebih
4. Pasien tidak ingin dari 35 tahun, lakukan biopsi
melanjutkan PKK atau
perdarahan menetap > endometrium
3 bulan

6. Perdarahan menetap, lakukan TVS, SIS atau histeroskopi


untuk menyingkirkan kelainan saluran reproduksi.

Bagan 12. Penanganan Iatrogenik (Perdarahan karena efek samping PKK)

25
H.2. Perdarahan karena efek samping kontrasepsi progestin
1. Jika terdapat amenorea atau perdarahan bercak, lanjutkan ke 2.
2. Konseling bahwa kelainan ini merupakan hal biasa.
3. Jika efek samping berupa PUA-O, lanjutkan ke 4.
4. Jika usia pasien > 35 tahun dan memiliki risiko tinggi keganasan
endometrium, lanjutkan ke 5, jika tidak lanjutkan ke 6.
5. Biopsi endometrium.
6. Jika dalam 4-6 bulan pertama pemakaian kontrasepsi, lanjutkan ke 7. Jika
tidak lanjutkan ke 9.
7. Berikan 3 alternatif sebagai berikut :
a. Lanjutkan kontrasepsi progestin dengan dosis yang sama;
b. Ganti kontrasepsi dengan PKK (jika tidak ada kontra indikasi);
c. Suntik DMPA setiap 2 bulan (khusus akseptor DMPA).
8. Bila perdarahan tetap berlangsung setelah 6 bulan, lanjutkan ke 9
9. Berikan estrogen jangka pendek (EEK 4 x 1.25 mg / hari selama 7 hari)
yang dapat diulang jika perdarahan abnormal terjadi kembali.
Pertimbangkan pemilihan metoda kontrasepsi lain

3. PUA-O 1. Amenorea atau perdarahan bercak

2. Menasihati pasien bahwa hal


4. Usia diatas 35 tahun atau tersebut merupakan hal yang
risiko tinggi untuk
diharapkan
karsinoma endometrium
Ya

Tidak 5. Biopsi endometrium

6. 4-6 bulan pertama pemakaian Ya 7. - lanjutkan kontrasepsi


kontrasepsi
- ganti dengan PKK
- suntik DMPA setiap 2 bulan
(khusus akseptor DMPA)

Tidak 8. Perdarahan berlanjut


setelah 6 bulan

9. Berikan estrogen jangka pendek (EEK 1,25 mg 4 x sehari selama 7 hari). Dapat
diulang jika perdarahan abnormal terjadi kembali. Pertimbangkan pemilihan
metoda kontrasepsi lain

Bagan 13. Penanganan Iatrogenik


(Perdarahan karena efek samping kontrasepsi progestin)

26
8.3. Perdarahan karena efek samping penggunaan AKDR
1. Jika pada pemeriksaan pelvik dijumpai rasa nyeri, lanjutkan ke 2.
2. Berikan doksisiklin 2x100 mg sehari selama 10 hari karena perdarahan
pada pengguna AKDR dapat disebabkan oleh endometritis. Jika tidak ada
perbaikan, pertimbangkan untuk mengangkat AKDR.
3. Jika tidak dijumpai rasa nyeri dan AKDR digunakan dalam 4-6 bulan
pertama, lanjutkan ke 4. Jika tidak, lanjutkan ke 5.
4. Lanjutkan penggunaan AKDR, jika perlu dapat ditambahkan AINS. Jika
setelah 6 bulan perdarahan tetap terjadi dan pasien ingin diobati, lanjutkan
ke 5.
5. Berikan PKK untuk 1 siklus.
6. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan pengangkatan AKDR. Bila usia
pasien > 35 tahun lakukan biopsi endometrium.

1. Nyeri pada uterus 2. Doksisiklin 2x100 mg sehari 10


Ya hari, pertimbangkan
Tidak
pengangkatan AKDR

4. Lanjutkan penggunaan
3. Penggunaan 4-6 Ya
AKDR, jika perlu dapat
bulan pertama
ditambahkan AINS
Tidak

5. Berikan PKK untuk 1 siklus 4. Perdarahan abnormal


berlanjut setelah 6 bulan atau
pasien ingin diterapi

6. Jika perdarahan abnormal


menetap, angkat AKDR. Pada
pasien berusia > 35 tahun
lakukan biopsi endometrium

Bagan 14. Penanganan Iatrogenik


(Perdarahan karena efek samping penggunaan AKDR)

27
Tabel 6. Penanganan Perdarahan Uterus Abnormal Menurut Strata Pelayanan
Kesehatan

1 2 3
Stabilisasi hemodinamik + + +
Stop perdarahan + + +
Medikamentosa:
PKK 2-4x/hr ATAU + + +
EEK 2,5 mg tid + + +
Evaluasi 12-24 jam:
Berhasil
Tidak berhasil
Jika berhasil, Mencegah Kambuh

Apabila mulai dengan EEK + + +


PKK 4x1 – 4d
3x1 - 3d
2x1 – 2d
1x1 – 21d
Apabila mulai dengan PKK + + +
PKK 1x1 – 14d

Bila darah tidak berhenti  kuret

AINS (hanya diberikan jika ada nyeri) + + +


Asam Traneksamat  tidak dianjurkan

28
Primer Sekunder Tersier
Pasang iv line 
Emergensi (Hb <
resusitasi cairan Transfusi bila Hb < 7.5
10, hemodinamik
dengan RL 
tidak stabil)
rujuk
EEK 4x2.5 mg Medikamentosa
(bila tidak berhenti - Agonis GnRH
dalam waktu 24 jam, - LNG IUS
lakukan D&K, harus ada - Danazol
persetujuan pada nona)

Stop perdarahan PKK 4x1 4d Operatif


PKK 3x1 3d - D&K
PKK 2x1 2d - Ablasi
PKK 1x1 21d - Histerektomi

As. traneksamat 3x1 g


AINS 3x500mg
Manajemen Follow up PKK

regulasi haid Progestin siklik

tata laksana infertilitas tata laksana


ingin hamil infertilitas

risiko tinggi D&K (bila dijumpai ablasi


kanker hiperplasia atipik  endometrium
endometrium histerektomi)
hiperplasia non atipik
 progestin siklik

gagal histerektomi ablasi


medikamentosa endometrium

ingin stop haid LNG IUS ablasi


GnRH agonis endometrium
Danazol

Keterangan:
EEK = estrogen ekuin konyugasi, PKK = pil kontrasepsi kombinasi, D&K = dilatasi dan
kuretase, AINS = anti inflamasi non steroid, LNG-IUS = levonorgestrel intra uterine
system

29
5. Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal (NON-
HORMONAL)

(A) Asam Traneksamat


Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen
akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin menjadi fibrin
degradation products (FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi sebagai agen anti
fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktor-faktor yang memicu terjadinya
pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian trombosis. Perdarahan
menstruasi melibatkan pencairan darah beku dari arteriol spiral endometrium, maka
pengurangan dari proses ini dipercaya sebagai mekanisme penurunan jumlah darah
mens. Efek samping : gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala. Dosisnya untuk
perdarahan mens yang berat adalah 1g (2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari.

(A) Asam Traneksamat

Plasmin

Plasminogen
Fibrin FDPs

Gambar 4. Asam Traneksamat

(B) Obat anti inflamasi non steroid (AINS)


Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan
meningkat. AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan akan menurunkan
sintesa prostaglandin pada endometrium. Prostaglandin mempengaruhi reaktivitas
jaringan lokal dan terlibat dalam respon inflamasi, jalur nyeri, perdarahan uterus, dan
kram uterus. AINS dapat mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen. Pemberian
AINS dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama atau sebelumnya hingga hingga
perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping : gangguan pencernaan, diare,
perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan
terjadinya perdarahan dan peritonitis.

30
Diasil gliserol atau Fosfolipid

Fosfolipase A2 Fosfolipase C2

Asam arakidonat

Siklooksigenase OAINS (B)

Prostaglandin H2

PGD2 PGE2 PGF2 PGI2 TXA2

Gambar 5. Obat anti inflamasi non steroid (AINS)

Gambar 6. Endometrium

31
6. Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal
(HORMONAL)

(A) Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak. Sediaan yang
digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam waktu 48 jam.
Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan pemberian obat anti-emetik
seperti promethazine 25 mg per oral atau intra muskular setiap 4-6 jam sesuai dengan
kebutuhan. Mekanisme kerja obat ini belum jelas, kemungkinan aktivitasnya tidak
terkait langsung dengan endometrium. Obat ini bekerja untuk memicu vasospasme
pembuluh kapiler dengan cara mempengaruhi kadar fibrinogen, faktor IV, faktor X,
proses agregasi trombosit dan permeabilitas pembuluh kapiler. Pembentukan reseptor
progesteron akan meningkat sehingga diharapkan pengobatan selanjutnya dengan
menggunakan progestin akan lebih baik. Efek samping berupa gejala akibat efek
estrogen yang berlebihan seperti perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan.

(B) PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi akibat
endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut adalah 4 x 1
tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2
x 1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1 x 1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya
bebas pil selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi
kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila pengobatannya ditujukan untuk
menghentikan haid, maka obat tersebut dapat diberikan secara kontinyu, namun
dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa
perubahan mood, sakit kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein
thrombosis, stroke dan serangan jantung.

(C) Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta akan
mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada sel-sel endometrium,
sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek biologisnya lebih rendah
dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian penggunaan progestin yang lama dapat
memicu efek anti mitotik yang mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin
dapat diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14
hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang tanpa memperhatikan pola
perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi progestin, maka
dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari pertama perdarahan tadi
sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin diminum sampai hari ke 14. Pemberian
progestin secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi apabila
terdapat kontra-indikasi (misalkan : hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah,
riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner atau infark miokard, kecurigaan

32
keganasan payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning akibat kolestasis, kanker
hati). Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1 x 10 mg, noretisteron
asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogesteron 2 x 5 mg atau nomegestrol asetat 1 x 5
mg selama 10 hari per siklus.
Apabila pasien mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin
dapat dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk
14 hari dan kemudian berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti.
Pemberian progestin secara kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya untuk
membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan, yaitu :
 pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari
 Pemberian DMPA setiap 12 minggu
 Penggunaan LNG IUS
Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah, payudara
tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi

(D) Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan 17a-etinil
testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk menekan
produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap reseptor
estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau
lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati perdarahan menstrual hebat.
Danazol dapat menurunkan hilangnya darah menstruasi kurang lebih 50% bergantung
dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih efektif dibanding dengan AINS atau
progestogen oral. Dengan dosis lebih dari 400mg per hari dapat menyebabkan
amenorea. Efek sampingnya dialami oleh 75% pasien yakni: peningkatan berat badan,
kulit berminyak, jerawat, perubahan suara.

(E) Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)


Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada
hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca
reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada pelepasan hormon gonadotropin.
Pemberian obat ini biasanya ditujukan pada wanita dengan kontraindikasi untuk
operasi. Obat ini dapat membuat penderita menjadi amenorea. Dapat diberikan
leuprolide acetate 3.75 mg intra muskular setiap 4 minggu, namun pemberiannya
dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan karena terjadi percepatan demineralisasi tulang.
Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikan tambahan terapi
estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy). Efek samping biasanya muncul
pada penggunaan jangka panjang, yakni: keluhan-keluhan mirip wanita menopause
(misalkan hot flushes, keringat yang bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis
(terutama tulang-tulang trabekular apabila penggunaan GnRH agonist lebih dari 6
bulan).

33
(E) GnRHa

(D) Danazol

(C) Progestin (B) Kontrasepsi oral (A) Estrogen

Gambar 7. Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal (Hormonal)

34
Tabel 7. Daftar obat yang dapat digunakan untuk terapi PUD

Level 1 Level 2 Level 3


Stop bleeding + + +
Apabila menggunakan USG + + +
Endometrium tipis ( <6mm) – OCP + + +
Endometrium tebal (≥6mm) - P only (10-21 hari) + + +
MPA (10 mg/)
NOMA (5mg)*
NE (10mg)
LE(10mg)
Dinogest
Tidak USG- OCP 2x1 +

35
No Nama Generik Dosis Nama Dagang

Anti fibrinolitik

1 Asam traneksamat 500 mg / tab

Anti prostaglandin

2 Asam mefenamat 500 mg / tab

Estrogen alamiah

1. 17-β Estradiol 1 & 2 mg / tab


2. Estrogen ekuin konjugasi 0,625 mg / tab

Progestin sintetik

1. Nomegestrol asetat 5 mg / tab Lutenyl


2. Medroksiprogesteron asetat 10 mg / tab
3. Norethisteron 5 mg
4. Didrogesteron 10 mg
5 Depomedroksi progesteron asetat 150 mg / vial
Pil kontrasepsi kombinasi

Etinil estradiol 30 mcg


1.
Levonogestrel 150 mcg

Etinil estradiol 30 mcg


2.
Siproteron asetat 2 mg

Etinil estradiol 30 mcg


3.
Drospirenone 3 mg
Etinil estradiol 20 mcg
4.
Drospirenone 3 mg
“Progestin releasing IUS”

1 Levonorgestrel IUS 20 mcg / hari

36
Daftar Bacaan

Munro MG, Critchley HO, Broder MS, Fraser IS. FIGO classification system (PALM-COEIN)
for causes of abnormal uterine bleeding in nongravid women of reproductive age.
International journal of gynaecology and obstetrics: the official organ of the
International Federation of Gynaecology and Obstetrics. 2011 Apr; 113(1): 3-13.
The Royal College of Obstetricians and Gynecologist. The management of heavy
menstrual bleeding ; Nice Guideline, 2007.
Marret H, Fauconnier A, Chabbert-Buffet N, Cravello L, Golfier F, Gondry J, et al. Clinical
practice guidelines on menorrhagia: management of abnormal uterine bleeding
before menopause. European journal of obstetrics, gynecology, and reproductive
biology. 2008 Oct;152(2): 133-7.
Oehler MK, Rees MC. Menorrhagia: an update. Acta obstetricia et gynecologica
Scandinavica. 2003 May;82(5): 405-22.

37

Anda mungkin juga menyukai