Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pepaya

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan jenis buah tropis yang buahnya manis dan
dagingnya berwarna kuning kemerahan. Buah pepaya mengandung banyak
vitamin terutama vitamin A, vitamin B 9 , vitamin C, dan vitamin E. Selain
vitamin, pepaya juga mengandung mineral seperti fosfor, magnesium, zat besi,
dan kalsium.

Tanaman pepaya merupakan herba menahun dan tingginya mencapai 8


meter. Batang tak berkayu, bulat, berongga, bergetah dan terdapat bekas pangkal
daun. Dapat hidup pada ketinggian tempat 1-1.000 meter dari permukaan laut dan
pada suhu 220C-260C. Pada umumnya semua bagian dari tanaman baik akar,
batang, daun, biji dan buah dapat dimanfaatkan. Batang tanaman berbentuk bulat
lurus, di bagian tengahnya berongga, dan tidak berkayu. Daun pepaya bertulang
menjari dengan warna permukaan atas hijau-tua, sedangkan warna permukaan
bagian bawah hijau-muda.

Taksonomi tanaman pepaya adalah sebagai berikut:


Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Bangsa : Caricales
Suku : Caricaceae
Marga : Carica
Jenis : Carica papaya L.

Universitas Sumatera Utara


Dari segi daging buahnya pepaya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
pepaya semangka dan pepaya burung. Varietas yang termasuk ke dalam jenis
pepaya semangka antara lain pepaya jingo, semangka, Cibinong, Bangkok dan
hortus gold sedangkan yang termasuk ke dalam jenis pepaya burung ini
diantaranya pepaya ijo dan solo. Pepaya varietas Bangkok antara lain mempunyai
bentuk buah bulat agak panjang, daging buah berwarna orange kemerah-merahan,
dan citarasanya manis, buah matang panen pertama dapat dipetik pada umur 8-10
bulan, dan dapat berbuah selama 2-5 tahun secara rutin (Rukmana, 2008).

2.1.1. Kandungan Kimia Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)

Buah pepaya sangat populer karena banyak mengandung vitamin A dan vitamin C
serta rasanya manis. Bagian dari buah pepaya yang dapat dimakan adalah sebesar
75% dari seluruh buah pepaya. Tanaman pepaya mengandung bahan kimia yang
bermanfaat baik itu pada organ daun, buah, getah, maupun biji. Kandungan kimia
dari tanaman pepaya (Carica papaya L) dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kandungan Kimia Tanaman Papaya (Carica papaya L.)

No Organ Kandungan Kimia


1. Daun Enzim papain, alkaloid karpaina, pseudo-karpaina,
glikosid, karposid dan saponin, sakarosa, dekstrosa,
dan levulosa. Alkaloid karpaina mempunyai efek
seperti digitalis
2. Buah β-karotena, pektin, d-galaktosa, l-arabinosa, papain,
papayotimin papain, serta fitokinase
3. Biji Glukosida kakirin dan karpain. Glukosida kakirin
berkhasiat sebagai obat cacing, peluruh haid, serta
peluruh kentut (karminatif)
4. Getah Papain, kemokapain, lisosim, lipase, glutamin, dan
Siklotransferase

Universitas Sumatera Utara


Sumber : Boshra and Tajul, 2013.
2.1.2. Sifat Obat dan Farmakologi Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)

Berbagai tindakan farmakologis dan penggunaan obat berbagai bagian pepaya


telah dilaporkan dengan ekstrak kasar dan fraksi yang berbeda dari ekstrak kasar
berbagai bagian pepaya. Mereka telah digunakan sebagai obat tradisional untuk
pengobatan berbagai penyakit. Berbagai pemanfaatan di bidang medis terhadap
tanaman pepaya dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Fungsi Obat Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)

Bagian Kegunaan
Getah Menyembuhkan diare , nyeri luka bakar dan penggunaan
topikal , perdarahan wasir , obat perut , batuk rejan
Buah Masak Pencahar , diuretik , buah kering mengurangi pembesaran
limpa dan hati , menggunakan snakebit untuk membuang
racun , aktivitas anti implantasi dan aktivitas antibakteri
Biji Karminatif , pengobatan kurap dan pasoriasis , anti-
kesuburan
Jus Biji Perdarahan tumpukan dan pembesaran hati
Akar Aborsi , diuretik , memeriksa perdarahan yang tidak teratur
dari rahim , tumpukan , aktivitas antijamur
Daun Daun muda sebagai sayuran , keluhan kemih & Gonore
(infus), antibakteri
Bunga Obat penurun panas
Uap Kulit Penyakit kuning, aktivitas anti - hemolitik , aktivitas anti –
jamur
Sumber : Boshra and Tajul, 2013.

Universitas Sumatera Utara


2.1.3. Pemanfaatan Biji dan Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Biji hitam pepaya dapat dimakan dan memiliki rasa pedas yang tajam. Biji pepaya
tersebut dapat digiling dan dicampur dengan makanan khususnya makanan yang
kaya protein. Hal tersebut adalah cara termudah untuk menambahkan enzim ekstra
untuk diet serta kesehatan pencernaan. Biji pepaya memiliki nilai obat lebih kuat
daripada dagingnya. Biji pepaya dapat melindungi ginjal dari racun yang
disebabkan gagal ginjal. Obat untuk tifus dan anti – cacing serta anti – amuba
(Peter, et al, 2014). Secara tradisional, biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai obat
cacing gelang, gangguan pencernaan, diare dan penyakit kulit.

Kandungan biji dalam buah pepaya kira-kira 14, 3 % dari keseluruhan


buah pepaya. Kandungannya berupa asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu
asam oleat dan palmitat. Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya
diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid,
terpenoid, dan saponin.

Telah diteliti oleh Dian Rina Puspitaningtyas (2012) mengenai uji aktivitas
antibakteri ektrak etanol biji buah pepaya (Carica papaya L.) terhadap bakteri
pada plak gigi secara in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak biji
buah pepaya yang dihasilkan mempunyai daya hambat terhadap bakteri penyebab
plak gigi yaitu Staphylococcus sp., Streptococcus sp., dan Bacillus sp.
(Puspitaningtyas, 2012).

Daun pepaya efektif dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti.


Walaupun dalam dosis yang rendah, enzim papain dalam daun pepaya yang
masuk ke dalam tubuh larva nyamuk akan menimbulkan reaksi kimia dalam
proses metabolisme tubuh yang dapat menyebabkan terhambatnya hormon
pertumbuhan. Bahkan akibat dari ketidakmampuan larva untuk tumbuh akibatnya
dapat menyebabkan kematian pada larva.

Universitas Sumatera Utara


Daun pepaya dilaporkan memiliki aktivitas anti-tumor dengan
menginduksi apoptosis pada sel tumor, serta aktivitas anti bakteri dan antioksidan.
Daun pepaya juga dapat dipergunakan untuk mengobati penyakit malaria,
penambah nafsu makan, jerawat, menambah air susu, dan untuk mengobati sakit
gigi ( A’yun dan Laily, 2015).

2.2. Metabolit Sekunder

Tumbuhan secara alamiah menghasilkan baragam jenis senyawa.


Senyawa-senyawa tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu metabolit primer,
polimer dan matabolit sekunder. Metabolit primer adalah senyawa-senyawa yang
terdapat pada semua sel dan memegang peranan sentral dalam metabolisme dan
reproduksi sel-sel tersebut. Contoh metabolit primer antara lain karbohidrat, asam
nukleat, asam amino, dan gula. Metabolit sekunder adalah senyawa yang secara
khusus terdapat pada jenis atau spesies tertentu saja. Metabolit sekunder
merupakan hasil metabolisme yang dikeluarkan tanaman (Hanson, 2011).

Senyawa metabolit sekunder banyak sekali jumlahnya. Untuk


memudahkan, perlu dibuat klasifikasi. Berdasarkan sifat strukturnya, Hanson
(2011) membagi metabolit sekunder ke dalam 6 golongan, yaitu :

1) Poliketida dan asam lemak,


2) Terpenoid dan steroid,
3) Fenilpropanoid,
4) Alkaloid,
5) Asam amino khusus dan peptida, dan
6) Karbohidrat khusus.

Senyawa kimia sebagai hasil metabolit sekunder telah banyak digunakan


sebagai zat warna, racun, aroma makanan, obat-obatan dan sebagainya. Senyawa
metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai

Universitas Sumatera Utara


kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari
gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya (Lenny,
2006).

2.2.1. Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar ditemukan di


alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, dan
sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid
berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya.
Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon,
dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propan (C3) sehingga
membentuk suatu susunan C6-C3-C6 yang dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kerangka C6-C3-C6 Flavonoid

Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik. Flavonoid


merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak
tersubstitusi. Pelarut polar seperti etanol, metanol, etilasetat, atau campuran dari
pelarut tersebut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan
tumbuhan. Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan hijau, seperti pada:
akar, daun, kulit kayu, benang sari, bunga, buah dan biji buah (Nugrahaningtyas
dkk, 2005).

Universitas Sumatera Utara


2.2.2. Alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di


alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas
dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Senyawa ini terdiri atas karbon,
hidrogen, dan nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen. Sesuai
dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya
sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat mendonorkan
sepasang elektronnya.

Hampir semua alkaloida yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan


biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna
dalam pengobatan. Alkaloida dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan
seperti biji, daun, ranting dan kulit batang. Beberapa pendapat mengenai
kemungkinan perannya dalam tumbuhan sebagai berikut :

1. Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea.

2. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan


nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami
metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.

3. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari


serangan parasit atau pemangsa tumbuhan.

4. Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi


struktur, beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa
alkaloid merangsang perkecambahan yang lainnya menghambat (Widodo,
2007).

Universitas Sumatera Utara


2.2.3. Terpenoid

Terpenoid merupakan derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari senyawa terpen.


Terpen merupakan satu senyawa hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh
tumbuhan dan juga sebagian kelompok hewan. Semua senyawa terpenoid berasal
dari molekul isoprene CH2==C(CH3)-CH==CH2 dan kerangka karbonnya
dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini. Terpenoid merupakan
komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau dan dapat diisolasi dari
bahan nabati dengan penyulingan sebagai minyak atsiri (Lenny, 2006).

Secara umum, sifat fisika dari terpenoid yaitu dalam keadaan segar
merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika teroksidasi warna akan berubah
menjadi gelap, mempunyai bau yang khas, indeks bias tinggi, kebanyakan optik
aktif, kerapatan lebih kecil dari air, serta larut dalam pelarut organik yaitu eter dan
alcohol. Sedangkan sifat kimia terpenoid yaitu senyawa tidak jenuh (rantai
terbuka ataupun siklik) dan isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi
dalam dua bentuk enantiomer.

Berdasarkan mekanisme biosintesa senyawa terpenoid, maka senyawa


tersebut dapat dikelompokkan seperti table 2.3 berikut :

Tabel 2.3 Pengelompokan Senyawa Terpenoid

Jenis Senyawa Jumlah Atom Karbon Sumber

Monoterpenoid 10 Minyak Atsiri


Seskuiterpenoid 15 Minyak Atsiri
Diterpenoid 20 Resin Pinus
Triterpenoid 30 Damar
Tetraterpenoid 40 Zat Warna Karoten
Politerpenoid ≥40 Karet Alam
Sumber : Lenny, 2006

Universitas Sumatera Utara


2.3. Bakteri

Bakteri adalah mikroorganisme yang bersel satu, berkembang biak dengan cara
membelah diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop. Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,5-1,0
μm kali 2,0-5,0 μm, dan terdiri dari tiga bentuk dasar yaitu bentuk bulat atau
kokus, bentuk batang atau Bacillus, bentuk spiral. (Dwijoseputro, 1978).

Bakteri pada umumnya berkembang biak dengan membelah diri (binary


fission). Pada waktu akan membelah sel bakteri membesar 2 kali semula
kemudian membelah menjadi 2. Masing-masing sel bakteri yang baru menerima
sitoplasma dan bahan genetic dalam jumlah yang sama. Dalam lingkungan yang
ideal bakteri membelah dengan sangat cepat. Jika bakteri bereproduksi setiap 20
menit, maka akan terbentuk suatu koloni bakteri yang terdiri atas lebih dari 2 juta
bakteri selama 7 jam, jika makanannya masih cukup. Ada beberapa bakteri yang
berkembang biak secara konjugasi. Konjugasi terjadi antara bakteri yang sama
jenisnya, jika satu bakteri mempunyai plasmid yang lainnya tidak (Pratiwi, 2008).

Terdapat 4 fase pertumbuhan bakteri, yaitu:

1. Fase Lambat (lag phase), yaitu fase yang terjadi antara beberapa
jam tergantung pada umur dari sel inokulum, spesies, dan
lingkungannya. Waktu pada fase lag ini dibutuhkan untuk
penyesuaian diri terhadap kondisi pertumbuhan lingkungan yang
baru.

2. Fase Cepat (Log phase), yaitu setelah beradaptasi terhadap


kondisi baru, sel – sel ini akan tumbuh dan membelah diri secara
eksponensial sampai jumlah maksimum yang dapat dicapai sesuai
kondisi lingkungan.

Universitas Sumatera Utara


3. Fase Tetap (Stationary phase), populasi bakteri jarang dapat
tetap tumbuh secara eksponensial dengan kecepatan tinggi untuk
jangka waktu yang lama. Setelah 48 jam, pertumbuhan
eksponensial bakteri dengan waktu pembelahan 20 menit akan
menghasilkan sebesar 2,2 x 1031 bakteri. Pertumbuhan populasi
mikroorganisme biasanya dibatasi oleh habisnya nutrisi yang
tersedia, akibatnya kecepatan pertumbuhan menurun dan
pertumbuhan akhirnya terhenti, fase ini dikatakan sebagai fase
tetap (stationary phase).

4. Fase Kematian (death phase), yaitu sel-sel pada fase tetap,


akhirnya akan mati bila tidak di pindahkan ke media segar yang
lain. Sebagaimana pertumbuhan, kematian sel juga secara
eksponensial dan karenannya dalam bentuk logaritmis, fase
menurun atau kematian ini merupakan penurunan secara garis lurus
yang digambarkan oleh jumlah sel-sel yang hidup terhadap waktu.
Kecepatan kematian berbeda-beda tergantung dari lingkungan dan
spesies mikroorganisme.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri menurut


Gamar dan Sherrington (1994) ada dua. Faktor intrinsik yaitu sifat-sifat dari bahan
itu sendiri dan Faktor ekstrinsik yaitu kondisi lingkungan dari penanganan dan
penyimpanan bahan pangan. Faktor intrinsik yang mempengaruhi pertumbuhan
bakteri yaitu :

1. Waktu

Laju perbanyakan bakteri bervariasi menurut spesies dan kondisi


pertumbuhannya. Pada kondisi optimal hampir semua bakteri
memperbanyak diri dengan pembelahan biner sekali setiap 20
menit.

Universitas Sumatera Utara


2. Makanan

Semua mikroorganisme memerlukan nutrient yang akan


menyediakan energi yang biasanya diperoleh dari substansi
mengandung karbon, nitrogen untuk sintesa protein, dan vitamin
serta yang berkaitan denagn factor pertumbuhan.

3. Kelembaban

Mikroorganisme, seperti halnya semua organisme memerlukan air


untuk mempertahankan hidupnya. Banyaknya air dalam pangan
yang tersedia untuk digunakan dapat di diskripsikan dengan istilah
aktivitas air (Aw).

4. Suhu

Mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok


berdasarkan suhu pertumbuhan yang diperlukannya:
a) Psikrofil (organisme yang suka dingin) dapat tumbuh baik pada
suhu dibawah 20oC, kisaran suhu optimal adalah 10oC - 20oC.
b) Mesofil (organisme yang suka pada suhu sedang) memiliki suhu
pertumbuhan optimal antara 20oC sampai 45oC.
c) Termofil (organisme yang suka pada suhu tinggi) dapat tumbuh
baik pada suhu diatas 45oC, kisaran pertumbuhan optimalnya
adalah 50oC sampai 60oC.

Universitas Sumatera Utara


5. Oksigen

Tersedianya oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan


mikroorganisme, bakteri diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
menurut keperluan oksigennya :

a) Aerob Obligat (hanya dapat tumbuh jika terdapat oksigen yang


banyak).
b) Aerob Fakultatif (tumbuh dengan baik jika oksigen cukup, tetapi
juga dapat tumbuh sacara anaerob).
c) Anaerob Fakultatif (tumbuh dengan baik jika tidak ada oksigen,
tetapi juga dapat tumbuh secara aerob).

6. pH

Daging dan pangan hasil laut lebih mudah mengalami kerusakan


oleh bakteri, karena pH pangan tersebut mendekati 7,0. Bakteri
yang terdapat di permukaan ikan ( lapisan lender) adalah dari jenis
Pseudomonas, Acinobacter, Moraxella, Alcaligenes, Micrococcus,
Flavobacterium, Corynebacterium, Serratia, Vibrio, Bacillus,
Clostridium dan Eschericia. Bakteri Pseudomonas dan
Acromabacter merupakan bakteri Psikrofil yang paling
menyebabkan kebusukan ikan.

Adapun faktor Ekstrinsik yaitu kondisi lingkungan dari penanganan dan


penyimpanan bahan pangan. Kondisi pangan produk bahan pangan akan juga
mempengaruhi spesies mikroorganisme yang mungkin berkembang dan
menyebabkan kerusakan. Bahan pangan yang disimpan pada suhu lemari es akan
dirusak oleh spesies dari kelompok Psikrotofik (Gamar dan Sherrington, 1994).

Universitas Sumatera Utara


2.3.1. Propionibacterium acnes

Propionibacterium acnes termasuk dalam bakteri yang berhubungan dengan kulit


manusia bersama dengan Propionibacterium avidum, Propionibacterium
granulosum, Propionibacterium innocuum, dan Propionibacterium propionicum.

Propionibacterium acnes termasuk dalam kelompok bakteri


Corynebacteria. Propionibacterium acnes merupakan difteroid anaerob yang
biasanya menetap pada kulit normal. Bakteri ini ikut serta dalam patogenesis
akne dengan menghasilkan lipase, yang memecahkan asam lemak bebas dari lipid
kulit. Asam lemak ini dapat menimbulkan radang jaringan dan ikut menyebabkan
akne. Propionibacterium acne terkadang menyebabkan infeksi katub jantung
prostetik (Jawetz et al., 1996). Bentuk bakteri Propionibacterium acne dapat
dilihat pada gambar 2.2 di bawah ini.

Gambar 2.2. Propionibacterium acnes

Universitas Sumatera Utara


Klasifikasi dari Propionibacterium acnes adalah :
Kingdom : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Class : Actinobacteridae
Order : Actinomycetales
Family : Propionibacteriaceae
Genus : Propionibacterium
Spesies : Propionibacterium acnes (Damayanti, 2014).

Propionibacterium acnes termasuk bakteri yang tumbuh relatif lambat.


Propionibacterium acne merupakan tipikal bakteri anaerob gram positif yang
toleran terhadap udara. Bakteri ini terutama hidup pada asam lemak dalam
kelenjar sebasea atau sebum disekresikan oleh folikel. Bakteri ini dapat
menghasilkan asam propionat. Ketika pori tersumbat oleh sekresi , bakteri
anaerobik mulai lebih berkembang dan mengeluarkan bahan kimia yang memecah
dinding pori-pori dan menyebabkan jerawat lesi (Amrita, et al., 2012).

Kulit merupakan habitat utama dari Propionibacterium acnes, namun dapat


juga diisolasi dari rongga mulut, saluran pernafasan bagian atas, saluran telinga
aksternal, usus besar, uretra, dan vagina. Propionibacterium acnes memiliki lebar
0,5-0,8 μm dan panjang 3-4 μm, bakteri ini berbentuk batang dengan ujung
meruncing atau kokoid (bulat) (Cristina, 2006).

2.3.2. Jerawat (Acne vulgaris)

Acne vulgaris adalah peradangan kronis gangguan dari unit pilosebaceous yang
biasa terjadi di usia remaja. Acne vulgaris mempengaruhi lebih dari 80 % dari
remaja; berlangsung di luar usia 25 tahun pada 3 % pria dan 12 % wanita. Jerawat
adalah gangguan polimorfik yang terjadi pada wajah (99 %), punggung (60 %)
dan dada (15 %) (Amrita et al, 2012). Bakteri yang dapat memicu tumbuhnya
jerawat diantaranya adalah P. acnes dan S. epidermidis.

Universitas Sumatera Utara


Banyak antibiotik yang diresepkan untuk pengobatan jerawat yang
disebabkan infeksi Propionibacterium acnes, namun di tahun 1979 untuk pertama
kalinya ditemukan resistensi antibiotika topikal terhadap bakteri
Propionibacterium acnes yaitu eritromisin dan klindamisin (Humprey, 2012).
Pada tahun 2007 resistensi antibiotik terhadap Propionibacterium acnes semakin
meningkat, mulai dari eritromisin, klindamisin, ontrimoksazol, dan tetrasiklin.

Acne memiliki gambaran klinis beragam, mulai dari komedo, papul,


pustul, hingga nodus dan jaringan parut, sehingga disebut dermatosis polimorfik
dan memiliki peranan poligenetik. Pola penurunannya tidak mengikuti hukum
Mendel, tetapi bila kedua orangtua pernah menderita acne berat pada masa
remajanya, anak-anak akan memiliki kecenderungan serupa pada masa pubertas.
Meskipun tidak mengancam jiwa, acne memengaruhi kualitas hidup dan memberi
dampak sosioekonomi pada penderitanya (Cunliffe and Gollnick, 2001). Pola
pembentukan jerawat pada kulit terlihat pada gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3. Pembentukan Jerawat Pada Kulit

Universitas Sumatera Utara


Ada tiga penyebab terjadinya jerawat menurut Mitsui (1997), yaitu :

1. Sekresi kelenjar sebaseus yang hiperaktif.

Pada kulit bagian dermis terdapat kelenjar sebaseus yang


memproduksi lipid. Lipid yang dihasilkan disalurkan ke
permukaan kulit lewat pembuluh sebaseus dan bermuara pada pori
kulit. Kelenjar sebaseus yang hiperaktif dapat menyebabkan
produksi lipid berlebihan sehingga kadar lipid pada kulit tinggi,
pada akhirnya kulit akan berminyak. Jika produksi lipid tersebut
tidak diimbangi dengan pengeluaran yang setimpal maka akan
terjadi penimbunan dan menyebabkan pori tersumbat. Sebum yang
mempat akan memicu terjadinya inflamasi dan terbentuk jerawat.
Aktivitas kelenjar sebaseus tersebut dipengaruhi oleh hormon
testeron, sehingga pada usia pubertas yaitu 10-16 tahun akan
timbul jerawat pada wajah, punggung dan dada. Sedangkan pada
wanita maka aktivitas kelenjar sebaseus dipengaruhi oleh hormon
luiteinizing yang meningkat ketika mengalami menstruasi.

2. Hiperkeratosis pada infundibulum rambut.

Hiperkeratosis mudah terjadi pada infundibulum folikel rambut,


yang akan menyebabkan sel tanduk menebal dan menyumbat
folikel rambut, serta membentuk komedo. Jika folikel rambut pori
tersumbat, maka sebutm tidak dapat keluar secara normal,
akibatnya merangsang pertumbuhan bakteri jerawat yang
menyebabkan peradangan. Selain itu, adanya pengaruh dari sinar
UV dapat menyebabkan jerawat semakin parah, karena sinar
matahari merangsang keratinisasi. Jerawat dapat disebabkan pula
karena wajah yang kotor sehingga pori-pori tersumbat.

Universitas Sumatera Utara


3. Efek dari bakteri.

Kelebihan sekresi dan hiperkeratosis pada infundibulum rambut


menyebabkan terakumulasinya sebum. Sebum yang banyak
tersebut memicu timbulnya bakteri. Enzim lipase yang dihasilkan
oleh bakteri akan menguraikan trigliserida pada sebum menjadi
asam lemak bebas, yang akan menyebabkan peradangan pada
akhirnya terbentuk jerawat (Mitsui, 1997).

Akne paling banyak terjadi di wajah, tetapi dapat terjadi pada punggung,
dada, dan bahu. Di badan, akne cenderung terkonsentrasi dekat garis tengah
tubuh. Penyakit ini ditandai oleh lesi yang bervariasi, meskipun satu jenis lesi
biasanya lebih mendominasi. Lesi noninflamasi, yaitu komedo, dapat berupa
komedo terbuka (blackhead comedones) yang terjadi akibat oksidasi melanin, atau
komedo tertutup (whitehead comedones). Lesi inflamasi berupa papul, pustul,
hingga nodus dan kista. Scar atau jaringan parut dapat menjadi komplikasi akne
noninflamasi maupun akne inflamasi. Tipe lesi tersebut terlihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4. Berbagai Tipe Lesi Akne

Universitas Sumatera Utara


Derajat acne berdasarkan tipe dan jumlah lesi dapat digolongkan menjadi
ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4. Klasifikasi Derajat Akne Berdasarkan Jumlah dan Tipe Lesi

Derajat Komedo Papul/ Nodul, Inflamasi Jaringan


Pustul Kista, Parut
Sinus
Ringan < 10 < 10 - - -
Sedang < 20 > 10-50 - + ±
Berat > 20-50 > 50-100 ≤5 ++ ++
Sangat > 50 > 100 >5 +++ +++
Berat
(-) tidak ada, (+) bisa ditemukan, (+) ada, (++) cukup banyak, (+++) banyak sekali
Sumber : Cunliffe and Gollnick, 2001.

2.3.3. Aktivitas Antibakteri

Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan


bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme
bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi
mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta
perusakan bahan oleh mikroorganisme.

Inaktivasi bakteri merupakan hasil interaksi suatu senyawa antibakteri


dengan bagiann tertetntu dari sel bakteri, interaksi senyawa antibakteri tersebut
dapat menyebabkan sejumlah perubahan ataupun kerusakan sel bakteri yang akan
mempengaruhi metabolisme sel dan pada tingkat kerusakan yang parah dapat
menimbulkan kematian pada sel bakteri. Kerusakan ini dapat menyebabkan
rusaknya permeabilitas membrann dan menimbulkan kebocoran komponen

Universitas Sumatera Utara


intraseluler yaitu natrium glutamat, natrium hidrogen fosfat, nukleotida, kalium,
dan fosfat organik.

Kebocoran sel dapat diamati dengan mengukur derajat kerusakan dinding


dan membran sel. Derajat kerusakan sel diukur dari jumlah ion Ca2+ yang terdapat
pada dinding sel, sedangkan derajat kerusakan membran sel diukur dari jumlah
ion K+ yang terdapat pada plasma sel maupun dari bahan-bahan yang dilepaskan
oleh sel yang dapat diserap pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm.
Komponen isi sel yang bocor keluar sel yang dapat diukur pada panjang
gelombang 260 nm adalah DNA diantaranya purin, pirimidin, dan ribonukleotida.
Sedangkan pada panjang gelombang 280nm dapat mengukur tirosin dan triptofan.
Kerusakan dinding sel dengan interaksi senyawa antibakteri juga dapat diamati
dengan SEM (Burth and Reinders, 2003).

Di bidang farmasi, bahan antibakteri dikenal dengan nama antibiotik, yaitu


suatu substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat
pertumbuhan mikroba lain. Senyawa antibakteri dapat bekerja secara
bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik (Pelczar dan Chan, 1988).

Berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa antimikrobia mempunyai


3 macam efek terhadap pertumbuhan mikrobia yaitu:

1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat


pertumbuhan tetapi tidak membunuh. Senyawa bakterostatik
seringkali menghambat sintesis protein atau mengikat ribosom.

2. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi


tidak terjadi lisis sel atau pecah sel.

Universitas Sumatera Utara


3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel
sehingga jumlah sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah
penambahan antimikrobia.

2.3.4. Metode Uji Antibakteri

Tingkat aktifitas suatu senyawa antimikroba dapat dilakukan dengan beberapa


metoda yaitu :

1. Metode Difusi
1. Metode Disc Diffusion (tes Kirby & Bauer)

Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada


media Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan
berdifusi pada media Agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media
Agar. Hal ini dapat terlihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Metode Disc Diffusion (Uji Kirby & Bauer)

Efektivitas aktivitas antibakteri didasarkan pada


pembentukan zona hambat yang ditunjukkan pada tabel 2.5.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.5. Klasifikasi Hambatan Pertumbuhan Bakteri
Diameter Respon Hambatan Pertumbuhan
Zona Terang
≥ 20 mm Sangat Kuat
10-20 mm Kuat
5-10 mm Sedang
≤ 5 mm Lemah
Sumber : Audies, 2015.

2. E-test

Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC


(minimum inhibitor concentration) atau KHM (kadar
hambat minimum), yaitu konsentrasi minimal suatu agen
antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik
yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah
hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar
yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan yang
dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya
menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pada media Agar.

3. Ditch-plate Technique

Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang


diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong
media Agar dalam cawan Petri pada bagian tengah secara
membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam)
digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba.

Universitas Sumatera Utara


4. Cup-plate Technique

Metode ini serupa dengan disc diffusion, dimana dibuat


sumur pada media Agar yang telah ditanami dengan
mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen
antimikroba yang akan diuji.

5. Gradient-plate Technique
Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media
Agar secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal.
Media Agar dicairkan dan larutan uji ditambahkan.
Campuran kemudian dituang ke dalam cawan Petri dan
diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya
dituang dari atas. Plate diinkubasi selama 24 jam untuk
memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan
media mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam)
digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke
rendah.

2. Metode Dilusi

1. Metode Dilusi Cair (Broth Dilution Test)

Metode ini mengukur MIC (minimun inhibitory


concentration) atau kadar hambat minimum (KHM) dan
MBC (minimun bactericidal concentration) atau kadar
bunuh minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah
membuat seri pengenceran agen antimikroba pada
medium cair yang ditambahkan mikroba uji. Larutan uji
agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat

Universitas Sumatera Utara


jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji
ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan
sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada
media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen
antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media
cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi
ditetapkan sebagai KBM. Metode ini dapat terlihat pada
gambar 2.6.

Gambar 2.6. Metode Dilusi Cair

2. Metode Dilusi Padat (Solid Dilution Test)

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun


menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode
ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji
dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji
(Pratiwi, 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.4. Spektrofotometer UV-VIS

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari


spektrometer dan fotometer. Spektrometer ialah menghasilkan sinar dari spektrum
dan panjang gelombang tertentu, sedangkan fotometer adalah alat pengukur
intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer
adalah alat yang digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi
tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang
gelombang (Khopkar, 1990).

Spektrofotometer UV-Vis (Ultra Violet-Visible) adalah salah satu dari


sekian banyak instrumen yang biasa digunakan dalam menganalisa suatu senyawa
kimia. Spektrofotometer umum digunakan karena kemampuannya dalam
menganalisa begitu banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal
preparasi sampel apabila dibandingkan dengan beberapa metode analisa yang
lainnya.

Pengukuran menggunakan alat spektrofotometri UV-Vis ini didasarkan


pada hubungan antara berkas radiasi elektromagnetik yang ditransmisikan
(diteruskan) atau yang diabsorpsi dengan tebalnya cuplikan dan konsentrasi dari
komponen penyerap.

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer UV-Visible seperti yang


terlihat pada gambar 2.7 adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.7. Komponen Spektrofotometer UV-Visible

1. Sumber tenaga radiasi

Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi hingga ke


tingkat energi yang lebih tinggi oleh sumber listrik berenergi tinggi atau
oleh pemanasan listrik. Benda atau materi yang kembali ke tingkat
energi rendah atau ke tingkat dasarnya, melepaskan foton dengan energi-
energi yang karakteristik yang sesuai dengan delta E, yaitu perbedaan
energi antara tingkat tereksitasi dan dasar rendah.

2. Monokromator

Dalam spektrometer, radiasi yang polikromatik harus diubah menjadi


radiasi monokromatik. Ada dua jenis alat yang digunakan untuk
mengurai radiasi polikromatik menjadi monokromatik yaitu penyaring
dan monokromator. Monokromator merupakan serangkaian alat optik
menguraikan radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif atau
panjang gelombang-gelombang tunggalnya dan memisahkan
gelombang-gelombang tersebut menjadi jalur-jalur yang sempit.

Universitas Sumatera Utara


3. Tempat cuplikan

Cuplikan yang akan dipelajari di daerah ultraviolet atau terlihat yang


biasanya berupa gas atau larutan ditempatkan dalam sel atau kuvet.
Untuk daerah ultraviolet biasanya digunakan Quartz atau sel silica yang
dilebur, sedangkan untuk daerah terlihat digunakan gelas biasa.

4. Detektor

Setiap detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan


mengubah tenaga tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif seperti
sebagai arus listrik atau perubahan-perubahan panas. Kebanyakan
detektor menghasilkan sinyal listrik yang dapat menghasilkan sinyal
yang secara kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang
mengenainya (Sastrohamidjojo, 1985).

2.5. Spektrofotometer Serapan Atom

Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) adalah suatu metode analisis yang


didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada
pada tingkat energi dasar (ground state). Penyerapan tersebut menyebabkan
tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Keadaan ini bersifat labil, elektron akan kembali ke tingkat energi dasar sambil
mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi. Dalam AAS, atom bebas
berinteraksi dengan berbagai bentuk energi seperti energi panas, energi
elektromagnetik, energi kimia dan energi listrik. Interaksi ini menimbulkan
proses-proses dalam atom bebas yang menghasilkan absorpsi dan emisi
(pancaran) radiasi dan panas. Radiasi yang dipancarkan bersifat khas karena
mempunyai panjang gelombang yang karakteristik untuk setiap atom bebas
(Basset, 1994).

Universitas Sumatera Utara


Spektrrofotometer serapan atom (AAS) merupakan teknik analisis
kuantitatif dari unsur-unsur yang pemakaiannya sangat luas, diberbagai bidang
karena prosedurnya selektif, spesifik, biaya analisa relatif murah, sensitif tinggi
(ppm-ppb), dapat dengan mudah membuat matriks yang sesuai dengan standar,
waktu analisa sangat cepat dan mudah dilakukan. Analisis AAS pada umumnya
digunakan untuk analisa unsur. AAS dapat digunakan untuk mengukur logam
sebanyak 61 logam. Sember cahaya pada AAS adalah sumber cahaya dari lampu
katoda yang berasal dari elemen yang sedang diukur kemudian dilewatkan ke
dalam nyala api yang berisi sampel yang telah terakomisasi, kemudian radiasi
tersebut diteruskan ke detektor melalui monokromator. Chopper digunakan untuk
membedakan radiasi yang berasal dari nyala api. Detektor akan menolak arah
searah arus ( DC ) dari emisi nyala dan hanya mnegukur arus bolak-balik dari
sumber radiasi atau sampel. Atom dari suatu unsur pada keadaan dasar akan
dikenai radiasi maka atom tersebut akan menyerap energi dan mengakibatkan
elektron pada kulit terluar naik ke tingkat energi yang lebih tingi atau tereksitasi.
Atom-atom dari sampel akan menyerpa sebagian sinar yang dipancarkan oleh
sumber cahaya. Penyerapan energi cahaya terjadi pada panjang gelombang
tertentu sesuai dengan energi yang dibutuhkan oleh atom tersebut (Basset, 1994).

Komponen-komponen pokok dari alat spektroskopi serapan atom seperti


yang terlihat pada gambar 2.8 adalah :

1. Sumber cahaya

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga. Lampu
ini terdiri dari atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda
dan anoda.

Universitas Sumatera Utara


2. Recorder

Sistem pencatat yang digunakan pada instrument SSA berfungsi untuk


mengubah sinyal yang diterima melalui bentuk digital.

3. Monokromator

Monokromator terletak diantara nayala dan detektor. Monokromator


memisahkan, mengisolasi, dan mengontrol intensitas dari radiasi energi
yang mencapai detektor.

4. Tempat sampel

Dalam analisis, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi


atom-atom yang masih dalam keadaan atas. Ada beberapa macam alat
yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom-
atom yaitu:

a. Nyala (Flame)
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berubah padatan
atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk
atomisasi.
b. Tanpa Nyala (Flameless)
Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku dari garfit, kemudian
tabung tersebut dipanaskan dengan system elektris dengan cara
melewatkan arus listrik grafit.

5. Detektor

Detektor pada SSA berfungsi mengubah intensitas radiasi yang akan


datang menjadi arus listrik. pada SSA yang umum dipakai sebagai

Universitas Sumatera Utara


detektor adalah tabung penggandaan foton (PPMT=Photo Multiplier
Tube).

Gambar 2.8 Komponen Spektroskopi Serapan Atom (AAS)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai