Anda di halaman 1dari 107

i

POLA PERTUMBUHAN TANAMAN DAN DETERIORASI


BENIH SERTA POLA SPASIAL KESESUAIAN LAHAN
DALAM PRODUKSI BENIH KACANG BAMBARA
(Vigna subterranea (L) Verdc)

HAPPY SURYATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pola Pertumbuhan


Tanaman dan Deteriorasi Benih serta Pola Spasial Kesesuaian Lahan dalam
Produksi Benih Kacang Bambara (Vigna subterranea (L) Verdc) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2019

Happy Suryati
NIM A261130011
iv

RINGKASAN

HAPPY SURYATI. Pola Pertumbuhan Tanaman dan Deteriorasi Benih serta Pola
Spasial Kesesuaian Lahan dalam Produksi Benih Kacang Bambara (Vigna
subterranea (L) Verdc). Dibimbing oleh SATRIYAS ILYAS, ABDUL QADIR,
dan BAMBANG BUDHIANTO.

Kacang bambara merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan di


Indonesia, karena merupakan tanaman yang toleran pada daerah marjinal, tidak
memerlukan input budidaya yang banyak, serta mempunyai kandungan gizi yang
lengkap sebagai pangan alternatif. Produktivitas kacang bambara yang masih
rendah antara lain disebabkan belum digunakan benih yang bermutu, dan sampai
saat ini belum ada varietas hasil pemuliaan yang dilepas. Belum ada pemisahan
budidaya kacang bambara untuk konsumsi dengan budidaya produksi benih,
sehingga mutu benih yang digunakan tidak terjamin.
Upaya yang dilakukan untuk mendapatkan benih kacang bambara yang
bermutu, dapat dimulai dengan mempelajari masing masing lanras kacang bambara
melalui pola pertumbuhan, menerapkan perlakuan invigorasi dan jarak tanam
optimum, pola deteriorasi benih, dan pola spasial kesesuaian lahan. Lanras yang
digunakan merupakan lanras yang sudah berkembang di daerah asalnya yaitu lanras
Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras Tasikmalaya.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menyusun pola pertumbuhan empat lanras
kacang bambara pada tiga jarak tanam yang berbeda, (2) mendapatkan informasi
pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap produksi benih empat lanras kacang
bambara di Indonesia, (3) menyusun pola deteriorasi benih empat lanras kacang
bambara pada tiga jenis permeabilitas kemasan yang berbeda selama enam bulan
penyimpanan terbuka dan (4) membuat model spasial berupa peta dan informasi
tentang wilayah yang potensial sesuai dengan syarat tumbuh untuk pengembangan
tanaman kacang bambara di Pulau Jawa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tanaman kacang
bambara mempunyai pola umum eksponensial berbentuk sigmoid dengan
persamaan umum, y = a / (1 +exp (b*ln(x/c)) dengan a, b dan c merupakan konstanta
yang berbeda pada masing masing lanras. Pola pertumbuhan tanaman berbasis
bobot kering yang dilakukan menunjukkan jarak tanam 60 cm x 25 cm
menghasilkan bobot kering akar, batang, daun dan polong yang paling tinggi.
Lanras Sumedang memiliki pola pertumbuhan akar, batang dan daun yang paling
tinggi dibandingkan ketiga lanras lainnya, namun menunjukkan pola pertumbuhan
polong yang paling rendah. Hal ini menunjukkan lanras Sumedang mentranslokasi
sebagian besar hasil fotosintesisnya ke pertumbuhan vegetatif dibandingkan
pertumbuhan generatif, sehingga menghasilkan polong yang rendah. Lanras Gresik
memanfaatkan asimilat untuk pembentukan akar, batang, dan daun (bagian
vegetatif tanaman) pada stadia vegetatif yang seimbang dengan pertumbuhan
generatif terbukti lanras Gresik menghasilkan bobot kering polong tertinggi
dibandingkan ketiga lanras lainnya. Lanras Gresik mempunyai indeks panen
tertinggi. Indeks panen yang tinggi menunjukkan tanaman efektif membagi asimilat
menjadi hasil panen ekonomis berupa polong dibandingkan panen biologis berupa
hasil seluruh bagian tanaman.
v

Perlakuan invigorasi (matriconditioning + Rhizobium sp dan hydropriming)


mampu meningkatkan daya tumbuh benih kacang bambara dibandingkan benih
yang tidak diinvigorasi. Jarak tanam 40 cm x 10 cm meningkatkan tinggi tanaman
lanras Sumedang, Sukabumi dan Tasikmalaya, sebaliknya jarak tanam 60 cm x 25
cm yang merupakan jarak tanam yang lebar meningkatkan diameter kanopi empat
lanras yang digunakan. Invigorasi meningkatkan daya tumbuh empat lanras kacang
bambara, namun tidak meningkatkan tinggi tanaman pada semua lanras. Benih
tanpa invigorasi pada jarak tanam 50 cm x 20 cm menghasilkan bobot kering per
petak tertinggi pada lanras Sumedang. Hydropriming pada jarak tanam 60 cm x 25
cm menghasilkan bobot kering polong per tanaman tertinggi pada lanras Sukabumi
dan Gresik. Benih tanpa invigorasi pada jarak tanam 60 cm x 25 cm menghasil
bobot kering polong per petak tertinggi pada lanras Gresik.
Pola deteriorasi benih kacang bambara yang didapat dari penelitian ini
berbentuk sigmoid dengan persamaan umum y = a / (1 +exp ((x + b)/c)) dengan a, b
dan c merupakan konstanta yang berbeda pada masing-masing lanras. Lanras
Sumedang yang disimpan dalam kemasan dengan permeabilitas tinggi (karung
plastik) menunjukkan pola deteriorasi dengan laju penurunan yang cepat pada
peubah daya berkecambah (DB) dan laju peningkatan yang cepat untuk peubah
daya hantar listrik (DHL), hal ini menunjukkan lanras Sumedang memiliki daya
simpan yang pendek. Lanras Gresik yang disimpan dalam kemasan dengan
permeabilitas yang rendah menunjukkan pola deteriorasi dengan laju penurunan
DB dan laju kenaikan DHL yang lambat, yang menunjukkan lanras Gresik
mempunyai daya simpan yang lebih lama. Lanras Sukabumi dan Tasikmalaya yang
disimpan dalam kemasan dengan permeabilitas yang rendah mempunyai daya
simpan yang cukup panjang. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk
menetapkan daya simpan benih kacang bambara dan membangun model pendugaan
daya simpan benih.
Peta kesesuaian lahan produksi benih disusun berdasarkan syarat tumbuh
kacang bambara, dengan input berasal dari data citra lansat 8 ETM+, peta jenis
tanah, data curah hujan tahunan rata rata, peta rupa bumi dan peta penutupan lahan
di Pulau Jawa, yang dianalisis dan di tumpangsusun menggunakan software
ArcMap 10.5. Hasil survei menunjukkan bahwa budidaya kacang bambara hanya
dilakukan di Pulau Jawa, sehingga peta kesesuaian lahan dan daerah potensial untuk
produksi benih dan pengembangan kacang bambara yang dihasilkan adalah peta
Pulau Jawa. Peta kesesuaian lahan menunjukkan sebagian besar daerah di Pulau
Jawa mempunyai kategori sesuai untuk produksi benih kacang bambara. Daerah
potensial produksi benih dan pengembangan kacang bambara di Pulau Jawa adalah
propinsi Banten seluas 324 636.68 ha, DKI Jakarta seluas 4 322.01 ha, Jawa Barat
seluas 1 136 791.99 ha, Jawa Tengah seluas 1 019 082.57 ha, Jawa Timur seluas
1 414 205.72 ha dan DI Yogyakarta seluas 157 132.22 ha.

Kata kunci: ArcMap 10.5, daya simpan, eksponensial, invigorasi, jarak tanam,
lanras, sigmoid
vi

SUMMARY

HAPPY SURYATI. Pattern of Plant Growth and Seed Deterioration and Spatial
Pattern of Land Suitability in the Production of Bambara Groundnut Seeds (Vigna
subterranea (L) Verdc). Supervised by SATRIYAS ILYAS, ABDUL QADIR, and
BAMBANG BUDHIANTO.

Bambara groundnut is potential plant to be developed in Indonesia, because


it is tolerant to marginal areas, does not require too many cultivation inputs and has
a balanced nutritional content as an alternative food. The productivity of bambara
groundnut is still low due to use of low quality seed and no variety of breeding has
been released up to now, and there is no distinction in bambara groundnut
cultivation for consumption and seed production, make no seed quality guaranted.
To improve bambara groundnut seed quality can be started by recognizing
bambara groundnut landraces to learn their growth pattern, appliying seed
invigoration treatment and optimum spacing, studying seed deterioration pattern,
and spasial pattern on land suitability. Bambara groundnut landraces used have
been developed in their areas, namely Sumedang, Gresik, Sukabumi and
Tasikmalaya landraces.
This study aimed to: (1) compile the plant growth patterns of four bambara
groundnut at three different spacing, (2) obtain information on the effect of
invigoration and spacing on the production of four landraces of bambara groundnut
in Indonesia, (3) compile deterioration pattern of bambara groundnut seed in three
different of packaging permeability for six months in open storage and (4) develop
spatial models in the form of maps and information about potential areas according
to the growing requirements for the development of bambara groundnut plants on
Java.
The results showed that plant growth pattern of the bambara groundnut had
an exponential sigmoid general pattern with a general equation, y = a/(1 + exp
(b * ln (x/ c)
) where a, b and c were different constant for each landraces and spacing.
The dry weight based plant growth pattern showed a spacing of 60 cm x 25 cm
produced the highest dry weight of roots, stems, leaves and pods. Sumedang
landrace had the highest growth pattern of roots, stems and leaves compared to the
other three landraces, but showed the lowest pattern of pod growth. This showed
that Sumedang landrace translocated most of its photosynthesis results into
vegetative growth compared to generative growth, resulting in low pods. Gresik
landrace utilized assimilates for the formation of roots, stems, and leaves
(vegetative parts of plants) in vegetative stages that were balanced with the
generative growth, this is proven by the highest pod dry weight compared to the
other three landraces. Gresik showed the highest harvest index meaning that the
crop effectively divided its dry weight for economical yield in the form of pods
rather than biological yields (the results of all plant parts).
Invigoration treatments (matriconditioning+Rhizobium sp and hydropriming)
were able to increase field emergence of bambara groundnut compared to seeds that
were not invigorated. The spacing of 40 cm x 10 cm increased the plant height of
Sumedang, Sukabumi and Tasikmalaya landraces, whereas the spacing of 60 cm x
25 cm which was a wide spacing increased the canopy diameter of the four
vii

landraces. The untreated seed planted on spacing 50 cm x 20 cm resulted the


highest pod dry weight per plot on Sumedang landrace. Hydroprimed seed planted
on spacing of 60 cm x 25 cm resulted the highest pod dry weight per plant on
Sukabumi and Gresik landraces. The untreated seed planted on spacing of 60 cm
x 25 cm resulted the highest pod dry weight per plot on Gresik landrace.
The deterioration pattern of bambara groundnut seeds obtained from this
study was in the form of sigmoid with the general pattern y = a / (1 + exp ((x + b) / c))
where a, b and c different for each landraces. Sumedang landrace which was stored
in high permeability package (plastic sack) showed a deterioration pattern with a
rapid rate of decline in seed germination (SG) and a rapid rate of increase for the
electrical conductivity (EC), which indicated that Sumedang landrace had a short
storability. The deterioration pattern of Gresik landrace stored in package with low
permeability showed a deterioration pattern with a slowing rate of SG and a slow
rate of increase in EC, which indicated that Gresik landrace had a longer storability.
The results of this study could be used to determine the storability of bambara
groundnut seeds and build a model for seed storability estimation.
The land suitability map for seed production was arranged based on the
conditions for growing bambara groundnut, with inputs derived from lansat 8
ETM + image data, soil type maps, average annual rainfall data, Earth map and land
cover maps in Java island, which were analyzed and overlayed using ArcMap 10.5
software. Based on the survey results, it was shown that the cultivation of bambara
groundnut was only carried out on the Java island, so the land suitability map and
potential areas for seed production and the development of the produced bambara
groundnut were maps of the Java island. The map showed that most areas in the
Java island had a suitable category for the production of bambara groundnut seeds.
The potential areas for seed production and development of bambara groundnut on
the Java island was Banten province covering an area of 324 636.68 ha, DKI Jakarta
4 322.01 ha, West Java 1 136 791.99 ha, Central Java 1 019 082.57 ha, East Java
1 414 205.72 ha and DI Yogyakarta 157 132.22 ha.

Key words: ArcMap10.5, exponential, invigoration, landrace, sigmoid, seed


longevity, spacing
viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix

POLA PERTUMBUHAN TANAMAN DAN DETERIORASI


BENIH SERTA POLA SPASIAL KESESUAIAN LAHAN
DALAM PRODUKSI BENIH KACANG BAMBARA
(Vigna subterranea (L) Verdc)

HAPPY SURYATI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
x

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Asep Setiawan, MS


2. Dr Ir M R Suhartanto, MS

Penguji pada Sidang Promosi : 1. Dr Ir Ali Jamil, MP


2. Dr Ir Asep Setiawan, MS
Judul Disertasi Pola Pertumbuhan Tanaman dan Deteriorasi Benih serta
Pola Spasial Kesesuaian Lahan dalam Produksi Benih
Kacang Bambara (Vigna subterranea (L) Verde)
Nama Happy Suryati
NIM A261130011

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS


Ketua

Dr r Bamban B
Anggota AnggotaI

.,

Diketahui oleh
~~
~'\ ~ R TA tv
~
Ketua Program Studi / :.:r~ lah Pascasarjana
Ilmu dan Teknologi Benih :! J...
l &Jli-
1-
(/)
-1,.

Sc4 SARJ

Dr r Endah Retno Palupi, MSc Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng

Tanggal Uj ian Tertutup: Tanggal Lulus: 0 7 JAN 2019


4 Desember 2018
Tanggal Sidang Promosi:
7 Januari 2019
xii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Pola Pertumbuhan
Tanaman dan Deteriorasi Benih serta Pola Spasial Kesesuaian Lahan dalam
Produksi Benih Kacang Bambara (Vigna subterranea (L) Verdc)”, berhasil
diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS, Dr Ir Abdul Qadir, MSi dan Dr Ir Bambang
Budhianto selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
arahan, waktu, ilmu dan dukungan selama penulis menempuh studi S3.
2. Dr Ir Asep Setiawan, MS dan Dr Ir M Rahmat Suhartanto, MS selaku dosen
penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah memberikan saran yang
berharga untuk perbaikan disertasi.
3. Dr Ir Ali Jamil, MP dan Dr Ir Asep Setiawan, MS selaku penguji luar komisi
pada sidang promosi atas saran dan masukan yang berharga.
4. Direktur Jenderal Tanaman Pangan dan Direktur Perbenihan Tanaman Pangan
yang telah memberikan kesempatan dan izin kepada penulis untuk melanjutkan
Pendidikan S3 di IPB.
5. PT Mulia Kasih Sejati (Sugar Group Holding Company) dan Nexsteppe
Singapore yang telah memberikan dana pendidikan dan penelitian selama
penulis studi S3 di IPB.
6. Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih Dr Ir Endah Retno Palupi,
MSc, seluruh dosen pengajar di prodi Ilmu dan Teknologi Benih IPB, beserta
staf adminitrasi khususnya pak Udin.
7. Teman teman dari program studi Ilmu dan Teknologi Benih khususnya
angkatan 2013 (Mba Ani, Reni, Ika, Irma, Lilih, Indri, Pitri, Aulia, Keswari,
Dila, Mela, Fani, Saiful, Listya, Alfi), atas kebersamaan, pertemanan selama
ini terlebih Aci Astriyani Rosyad dan Gani atas bantuan yang luar biasa.
8. Teman-teman program S3 Bu Puji, Pak Danner, Pak Endang, Bu Sari, Pak Ijan,
Bu Neli, Pak Aldi, Pak Branco, Pak Arif, Bu Tika, Bu Melati, Bu Devi, adik
adik Kiran, Putri, Una, Vidya, Mba Mira,Rina, Riri, Fida atas dukungan dan
pertemanan selama ini. Mas Wahyu dan Mas Ucok atas diskusi petanya.
9. Mami, Papi (Alm) dan Mbah (Alm) atas doa, cinta dan kasih sayangnya dalam
membesarkan dan mendidik penulis. Kakak-kakakku Puan (Alm), Puan
Jungan, Atuni, Ginda, Atusi, Gusti, Jojo, Ajo, Atutin, Daing, Kakak, adikku
Soni dan Lia, semua keponakan dan cucu tersayang serta Biksu atas doa dan
kasih sayang yang tak pernah putus kepada penulis, bangga, bahagia dan
bersyukur mempunyai keluarga seperti kalian.
10. Emak (Alm) dan Bak serta seluruh keluarga Kak Amay, Ayuk Umi, Ayuk Eva,
Kak Alian dan Sapta atas doanya selama ini.
11. Desmarwansyah SP, MSc suami tercinta atas doa, pengorbanan, pengertian,
bantuan dan kasih sayang yang luar biasa, serta kedua putri tersayang Kensha
Firstyputri Fariko dan Rayya Bieputri Fariko atas segala kasih sayang,
pengertian, kesabaran dan doa kalian untuk bunda.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2019
Happy Suryati
xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL XIII


DAFTAR GAMBAR XV
DAFTAR LAMPIRAN XVI
1 PENDAHULUAN UMUM 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Manfaat Penelitian 5
1.5 Kebaruan Penelitian 5
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 6
2 POLA PERTUMBUHAN EMPAT LANRAS KACANG BAMBARA
(Vigna subterranea (L) Verdc) BERBASIS BOBOT KERING
TANAMAN PADA JARAK TANAM BERBEDA 7
2.1 Pendahuluan 78
2.2 Bahan dan Metode 9
2.3 Hasil dan Pembahasan 10
2.4 Simpulan 22
2.5 Saran 23
3 PENGARUH INVIGORASI DAN JARAK TANAM TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BENIH EMPAT LANRAS
KACANG BAMBARA (Vigna subterranea (L)Verdc) 24
3.1 Pendahuluan 25
3.2 Bahan dan Metode 26
3.3 Hasil dan Pembahasan 27
3.4 Simpulan 36
3.5 Saran 36
4 POLA DETERIORASI BENIH EMPAT LANRAS KACANG BAMBARA
(Vigna subterranea (L) Verdc) PADA SISTEM PENYIMPANAN
TERBUKA 37
4.1 Pendahuluan 38
4.2 Bahan dan Metode 39
4.3 Hasil dan Pembahasan 41
4.4 Simpulan 49
4. 5 Saran 49
5 PETA KESESUAIAN LAHAN PRODUKSI BENIH DAN
PENGEMBANGAN KACANG BAMBARA (Vigna subterannea (L)
Verdc) DI PULAU JAWA 50
5.1 Pendahuluan 51
5.2 Bahan dan Metode 52
5.3 Hasil dan Pembahasan 54
5.4 Simpulan 65
xiv

5.5 Saran 65
6 PEMBAHASAN UMUM 66
7 KESIMPULAN UMUM 71
DAFTAR PUSTAKA 72
LAMPIRAN 79
RIWAYAT HIDUP 89
xv

DAFTAR TABEL

1 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Sumedang pada setiap perlakuan jarak tanam 10
2 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Gresik pada setiap perlakuan jarak tanam 13
3 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Sukabumi pada setiap perlakuan jarak tanam 15
4 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Tasikmalaya pada setiap perlakuan jarak tanam 18
5 Nilai indeks panen empat lanras kacang bambara 22
6 Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap daya tumbuh (%) kacang
bambara pada 10 hari setelah tanam (HST) 27
7 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap tinggi tanaman (cm)
kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya dan lanras
Gresik 29
8 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap diameter kanopi (cm)
kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Gresik
pada 8 MST dan 10 MST 30
9 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering (bk) polong
pertanaman lanras Sumedang 32
10 Interaksi invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
petak lanras Sumedang 32
11 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
petak lanras Sukabumi 33
12 Interaksi invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
tanaman lanras Sukabumi 33
13 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
tanaman dan per petak lanras Tasikmalaya 34
14 Interaksi perlakuan invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering
polong per tanaman dan per petak lanras Gresik 34
15 Daya berkecambah benih kacang bambara pada berbagai perlakuan
invigorasi dan jarak tanam 36
16 Nilai permeabilitas jenis kemasan menggunakan metode moyls 41
17 Data awal benih sebelum penyimpanan benih 42
18 Hasil persamaan eksponensial untuk peubah DB dan nilai DB bulan ke-6 42
19 Hasil persamaan eksponensial untuk peubah dhl dan nilai dhl bulan ke-6 45
20 Ketebalan kulit benih empat lanras kacang bambara 48
21 Pembagian saluran (band) pada citra landsat 8 ETM+ 55
xvi

DAFTAR GAMBAR

1 Skema ruang lingkup penelitian 6


2 Fitting pola persamaan bobot kering dengan bobot kering aktual lanras
Sumedang pada (a) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (b) jarak tanam 50 cm
x 20 cm, (c) jarak tanam 60 cm x 25 cm 11
3 Pola bobot kering (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) polong lanras
Sumedang pada tiga perlakuan jarak tanam 12
4 Fitting pola persamaan bobot kering dan bobot kering aktual lanras
Gresik pada (a) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (b) jarak tanam 50 cm x
20 cm, (c) jarak tanam 60 cm x 25 cm 14
5 Pola bobot kering (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) polong lanras Gresik
pada tiga perlakuan jarak tanam 15
6 Fitting pola persamaan bobot kering dan bobot kering aktual lanras
Sukabumi pada (a) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (b) jarak tanam 50 cm
x 20 cm, (c) jarak tanam 60 cm x 25 cm 16
7 Pola bobot kering (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) polong lanras
Sukabumi pada tiga perlakuan jarak tanam 17
8 Fitting pola persamaan bobot kering dan bobot kering aktual lanras
Tasikmalaya pada (a) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (b) jarak tanam
50 cm x 20 cm, (c) jarak tanam 60 cm x 25 cm 18
9 Pola bobot kering (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) polong lanras
Tasikmalaya pada tiga perlakuan jarak tanam 19
10 Pola bobot kering (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) polong pada lanras
Sumedang, Gresik, Sukabumi dan Tasikmalaya pada jarak tanam
60 cm x 25 cm 20
11 Fitting pola persamaan deteriorasi dengan hasil pengujian pada peubah
DB pada lanras (a) Sumedang, (b) Sukabumi, (c) Gresik, dan
(d) Tasikmalaya 43
12 Pola perilaku deteriorasi benih dengan peubah DB pada lanras
(a) Sumedang, (b) Sukabumi, (c) Gresik dan (d) lanras Tasikmalaya 44
13 Fitting pola persamaan deteriorasi dengan hasil pengujian pada peubah
DHL pada lanras (a) Sumedang, (b) Sukabumi, (c) Gresik dan (d) lanras
Tasikmalaya 46
14 Pola deteriorasi benih dengan peubah DHL pada lanras (a) Sumedang,
(b) Sukabumi, (c) Gresik, dan (d) Tasikmalaya 47
15 Sayatan melintang kulit benih kacang bambara lanras (a) Sumedang,
(b) Sukabumi, (c) Gresik, (d) Tasikmalaya 48
16 Diagram alur penelitian pembuatan peta kesesuaian lahan kacang
bambara 54
17 Peta sebaran kondisi suhu permukaan di Pulau Jawa 56
18 Peta sebaran ketinggian tempat di Pulau Jawa 57
19 Peta sebaran jenis tanah di Pulau Jawa 58
20 Peta sebaran tingkat keasaman tanah di Pulau Jawa 60
21 Peta sebaran curah hujan tahunan di Pulau Jawa 61
22 Peta kesesuaian lahan kacang bambara di Pulau Jawa beserta daerah
existing dan wilayah potensial 62
xvii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis tanah lokasi percobaan desa Kampung Jawa Kecamatan


Dramaga, Kabupaten Bogor 79
2 Data curah hujan bulan November 2015 s/d bulan April 2016 79
3 Suhu harian bulan November 2015 s/d bulan April 2016 80
4 Foto dan keterangan lanras Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras
Tasikmalaya 81
5 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Sumedang pada berbagai
perlakuan jarak tanam 83
6 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Gresik pada berbagai
perlakuan jarak tanam 84
7 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Sukabumi pada berbagai
perlakuan jarak tanam 85
8 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Tasikmalaya pada
berbagai perlakuan jarak tanam 86
9 Data aktual dan persamaan peubah daya berkecambah (%) empat lanras
kacang bambara 87
10 Data aktual dan persamaan peubah daya hantar listrik (µs/cm/g) empat
lanras kacang bambara 88
1

1. PENDAHULUAN UMUM

1.1 Latar Belakang

Kacang bambara (Vigna subterranea (L) Verdc) merupakan salah satu


tanaman kacang-kacangan yang cukup penting di Afrika dan berkembang di sub
sahara Afrika terutama daerah semi kering. Di Indonesia tanaman ini telah lama
dibudidayakan terutama di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur, dan menyebar
antara lain ke Sukabumi, Majalengka, Tasikmalaya, Bandung, Pati, Kudus, Gresik,
Lampung, NTB, dan NTT (Kuswanto et al. 2012). Kacang bambara mempunyai
nama kacang kapri di Gresik, kacang gondolo di Sumedang, dan kacang bandung
di Bandung (Rukmana 2000).
Menurut Mkandawire (2007) kacang bambara memiliki beberapa kelebihan
yaitu dapat tumbuh dan berproduksi pada lahan yang kurang subur, mengalami
keterbatasan air dan mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga sering
disebut future crop. Kacang bambara memiliki kandungan gizi antara lain,
karbohidrat 65%, protein 18%, lemak 6.5% (Mazahib et al. 2013), air 10.43% dan
abu 3.03% (Hidayah 2005) serta mengandung kalsium, fosfor, zat besi dan vitamin
B1 (Suwanpraset et al. 2006). Kandungan kalori yang dimiliki oleh kacang
bambara rata-rata adalah 367-461 kalori per 100 gram. Kandungan lemak yang
rendah dan protein yang tinggi membuat kacang bambara dapat digunakan sebagai
makanan alternatif untuk diet lemak. Kacang bambara berpotensi untuk
dikembangkan di Indonesia, sebagai pemanfaatan lahan marginal dan diversifikasi
pangan. Tanaman kacang bambara dapat digunakan sebagai biomassa untuk
menyuburkan tanah, seperti hasil penelitian Ali et al. (2014) yang menyimpulkan
bahwa pupuk hijau dari biomassa kacang bambara dapat meningkatkan hasil panen
jagung.
Produktivitas kacang bambara masih rendah meskipun tanaman ini sudah
cukup lama dibudidayakan di Indonesia, sehingga belum dianggap sebagai
komoditas yang menguntungkan dan masih tergolong underutilized crop (Massawe
et al. 2005). Salah satu penyebab masih rendahnya produktivitas tanaman kacang
bambara adalah belum terjaminnya mutu benih yang digunakan. Produksi benih
kacang bambara belum dilakukan secara khusus, benih yang digunakan berasal dari
hasil panen konsumsi yang disisihkan dan dipanen dengan umur tanaman lebih
lama. Penggunaan benih kacang bambara yang tidak seragam seperti perbedaan
warna dan ukuran benih yang bervariasi diduga menjadi salah satu penyebab masih
rendahnya hasil produksi benih kacang bambara (Redjeki 2007).
Peningkatan produksi benih kacang bambara dapat dilakukan dengan
berbagai perlakuan teknologi produksi. Perlakuan benih sebelum tanam, penetapan
jarak tanam, pemupukan, pengendalian hama penyakit, dan umur panen kacang
bambara merupakan beberapa perlakuan yang dapat meningkatkan produksi benih.
Respon kacang bambara terhadap perlakuan yang diberikan diamati berdasarkan
peubah-peubah pertumbuhan dan produksi pada umur tanaman tertentu.
Keragaman yang tinggi dalam lanras yang diteliti, seringkali menyebabkan tidak
konsistennya respon peubah terhadap perlakuan yang diberikan dan sulit untuk
diamati dengan baik. Hasil penelitian yang dilakukan Kuswanto et al. (2012)
2

diperoleh 50 lanras kacang bambara yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Barat,
38 lanras telah berhasil dideskripsikan. Pada umumnya lanras yang diperoleh
menunjukkan keragaman yang tinggi antar dan didalam lanras (Sinefu et al. 2011).
Penggunaan pola pertumbuhan merupakan salah satu pendekatan yang baik untuk
mengamati respon kacang bambara melalui produksi biomasa. Pola pertumbuhan
tanaman kacang bambara, dapat disusun berdasarkan bobot kering (biomasa) yang
merupakan hasil fotosintesis. Akumulasi biomasa dipengaruhi oleh lingkungan,
genotipe dan teknik budidaya, salah satunya jarak tanam yang optimum (Sarawa et
al. 2014).
Tanaman kacang bambara memiliki tiga tipe kanopi yang berbeda yaitu
menyebar (spreading), semi kompak (semi bunch) dan kompak (bunch), sehingga
penting untuk mengetahui pola pertumbuhan yang terkait dengan tipe kanopi pada
jarak tanam yang optimum. Salah satu aspek agronomis yang dapat dilakukan
dalam memperbaiki teknik budidaya agar dapat meningkatkan produksi dan mutu
benih adalah jarak tanam dan populasi. Benih kacang bambara yang digunakan
diperoleh dari hasil pertanaman petani dengan jarak tanam yang biasa digunakan.
Pendekatan lain yang dapat dilakukan dalam produksi benih untuk
mendapatkan benih kacang bambara yang bermutu, adalah dengan meningkatkan
viabilitas dan vigor benih melalui perlakuan benih sebelum tanam seperti
hydropriming dan matriconditioning. Istilah seed enhancements merupakan
perlakuan pasca panen yang bertujuan untuk memperbaiki kecambah atau
pertumbuhan kecambah, atau cara untuk memfasilitasi benih dan bahan lain yang
diperlukan saat tanam (Taylor et al. 1998). Kacang bambara mempunyai kulit
benih keras yang dapat menyebabkan benih menjadi impermeable sehingga
menyulitkan air untuk masuk kedalam benih (Berchie et al. 2010). Seperti
dilaporkan oleh Sinefu et al.(2011), perkecambahan benih kacang bambara sering
tidak menentu, bervariasi dan lambat. Sesay dan Yarmah (1996) melaporkan,
perkecambahan benih kacang bambara lambat, tidak seragam, dan bila ditanam di
lapangan benih akan berkecambah 21 hari setelah tanam. Hal ini akan
mempengaruhi waktu berbunga, pembentukan polong dan saat masak. Khan
(1992) dan Trueman (2017) menyatakan terdapat beberapa metode dalam
invigorasi yaitu hydropriming (perlakuan perendaman benih dalam air), osmotic
priming/osmopriming (perendaman benih dalam larutan kimia seperti monitol,
KCl), solidmatrix priming/matriconditioning (menginkubasi benih dalam larutan
solid seperti vermikulit, arang sekam) dan drum priming yang merupakan
perlakuan dengan menggunakan uap air.
Kacang bambara mempunyai umur panjang berkisar 4-5 bulan sehingga
budidaya kacang bambara hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Benih hasil
pertanaman petani musim ini akan disimpan untuk digunakan pada musim tanam
berikutnya. Penyimpanan benih bertujuan untuk mempertahankan mutu fisiologis
benih sampai benih tersebut siap digunakan pada musim tanam berikutnya.
Penyimpanan juga diperlukan untuk mengatasi kemungkinan tidak tersedianya
benih bermutu pada saat diperlukan dan untuk memenuhi kebutuhan diluar musim
(Copeland dan Mc Donald 2001) dan pada masa penyimpanan benih akan
mengalami penurunan viabilitas. Selama penyimpanan benih kacang bambara akan
mengalami deteriorasi. Pola deteriorasi benih kacang bambara selama
penyimpanan sangat diperlukan untuk menjadi dasar penentuan daya simpan benih.
3

Benih kacang bambara umumnya disimpan dalam bentuk polong. Hal


tersebut menyulitkan pemilahan benih berdasarkan ukuran dan warna testa saat
akan dikemas, disimpan, dan didistribusikan. Penelitian mengenai penyimpanan
benih kacang bambara tanpa polong pada suhu ruang serta menggunakan kemasan
dengan permeabilitas yang berbeda belum banyak dilakukan. Informasi mengenai
lamanya benih kacang bambara yang disimpan tanpa polong dan kemasan yang
efektif untuk mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang panjang
masih terbatas.
Pengembangan produksi benih kacang bambara selain memperhatikan aspek
budidaya, pengolahan dan penyimpanan benih juga memerlukan informasi lahan
yang sesuai dengan syarat tumbuh kacang bambara. Setiap jenis tanaman
mempunyai persyaratan agroklimat dan tanah untuk dapat tumbuh dan
menghasilkan produksi yang maksimal. Penggunaan dan pemanfaatan lahan yang
optimal sesuai dengan daya dukungnya akan dapat dilakukan apabila tersedia
informasi mengenai kesesuaian lahan pada wilayah yang bersangkutan.
Kustamar (2009) menyatakan pembuatan peta kesesuaian lahan untuk
tanaman kedelai memerlukan data curah hujan, suhu permukaan, RH, tekstur tanah
dan ketinggian yang sesuai persyaratan tumbuh tanaman, hal ini juga dapat
diterapkan dalam pembuatan peta kesesuaian lahan untuk produksi benih dan
pengembangan kacang bambara. Informasi lokasi, pemetaan terhadap penyebaran
lanras serta daerah yang berpotensi untuk pengembangan kacang bambara di
Indonesia penting dilakukan, terutama di Pulau Jawa. Peta kesesuaian lahan untuk
pengembangan kacang bambara disusun berdasarkan syarat tumbuh kacang
bambara diperlukan agar pengembangannya terarah sesuai dengan potensi lahan
yang tersedia.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah produksi benih kacang
bambara yang optimum melalui pengenalan pola pertumbuhan tanaman, invigorasi
dan jarak tanam dalam produksi benih di lapangan, penyimpanan benih untuk
mendapatkan pola deteriorasi benih serta peta kesesuaian lahan untuk kacang
bambara yang dapat digunakan untuk menduga daerah yang potensial untuk
produksi benih dan pengembangan tanaman kacang bambara khususnya di Pulau
Jawa.

1.2 Perumusan Masalah

Kacang bambara merupakan tanaman yang masih tergolong neglected crop


(tanaman yang belum banyak diperhatikan), sehingga kurang dikenal dan
dimanfaatkan oleh masyarakat (Wicaksana et al. 2013). Perhatian dan minat
peneliti maupun pemerintah terhadap kacang bambara di Indonesia masih kurang,
untuk itu perlu dilakukan kegiatan untuk menunjukkan keunggulan dan potensi
kacang bambara yang dapat dimulai dari mengekplorasi lanras atau aksesi yag
berkembang dan menyebar di Indonesia
Kendala utama dalam pengembangan produksi kacang bambara di Indonesia
adalah ketersediaan benih kacang bambara dengan jumlah dan mutu yang memadai.
Penggunaan benih yang bermutu tinggi merupakan faktor utama suksesnya
produksi tanaman (Ilyas 2012), namun untuk produksi kacang bambara terkendala
4

dengan ketersediaan benih yang bermutu. Hal ini antara lain disebabkan sistem
produksi benih kacang bambara belum berkembang dan tertata, petani biasanya
menggunakan benih yang disisihkan dari hasil pertanaman mereka sendiri. Benih
kacang bambara yang digunakan pertanaman berikutnya kemungkinan memiliki
mutu yang belum terjamin.
Kacang bambara yang dibudidayakan di Indonesia maupun di negara lain
masih berupa lanras, sehingga masih memiliki keragaman genetik yang tinggi, yang
seringkali memberikan respon yang berbeda terhadap suatu perlakuan yang
diberikan. Pendekatan dengan melihat kecenderungan pola pertumbuhan dilakukan
untuk lebih meningkatkan akurasi penelitian yang dilakukan. Fotosintesis
merupakan proses utama dalam pertumbuhan tanaman. Akumulasi bobot kering
biomasa digunakan untuk mengukur kemampuan tanaman dalam mengikat energi
matahari dalam proses fotosintesis, serta distribusi asimilat ke bagian tanaman
seperti akar, batang, daun dan polong.
Optimasi produksi benih untuk mendapatkan benih bermutu antara lain dapat
dilakukan dengan invigorasi atau perlakuan benih sebelum tanam dan penerapan
jarak tanam yang optimum. Benih kacang bambara sering mengalami
keterlambatan berkecambah apabila ditanam di lapangan, dengan invigorasi
diharapkan dapat membuat benih berkecambah lebih cepat dan serempak, sehingga
benih menjadi lebih vigor. Jarak tanam yang berbeda akan mempengaruhi besarnya
populasi, sehingga dapat mempengaruhi ukuran benih dan jumlah benih yang
dihasilkan. Jarak tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman, karena mempengaruhi penyerapan energi matahari oleh
permukaan daun. Jarak tanam yang terlalu rapat menghasilkan populasi yang terlalu
besar, hal tersebut mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan hasil panen karena
menurunnya luas permukaan daun, sehingga diperlukan jarak tanam yang optimum
untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Mayadewi 2007).
Benih yang dihasilkan petani akan digunakan pada musim tanam berikutnya,
sehingga harus dilakukan penyimpanan benih. Selama penyimpanan, benih akan
mengalami deteriorasi. Petani umumnya menyimpan benih dengan metode
penyimpanan terbuka, dengan suhu dan kelembaban yang tidak terkontrol,
sehingga benih akan menyerap air dari ruang simpan untuk mencapai kadar air
kesetimbangan. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mempertahankan mutu
benih kacang bambara dalam penyimpanan adalah dengan memperhatikan
permeabilitas kemasan yang digunakan. Penggunaan kemasan dengan
permeabilitas yang tepat diharapkan dapat mempertahankan mutu benih kacang
bambara, sehingga benih yang disimpan dalam penyimpanan terbuka mempunyai
daya simpan yang lebih lama. Hasbianto (2012) melakukan pengujian permeabilitas
kemasan terhadap daya simpan beberapa varietas kedelai. Pola deteriorasi benih
dapat digunakan untuk menduga daya simpan benih kacang bambara pada
penyimpanan terbuka.
Setiap tanaman memiliki persyaratan tumbuh yang berbeda untuk dapat
tumbuh dan berproduksi maksimal. Penggunaan lahan yang sesuai dengan syarat
tumbuh kacang bambara juga merupakan faktor keberhasilan dalam produksi benih.
Perlu dilakukan pemetaan untuk mengetahui daerah berpotensi dan mempunyai
kesesuaian dengan syarat tumbuh kacang bambara. Langkah awal untuk
pengembangan kacang bambara di Indonesia dimulai dengan memperoleh
informasi daerah yang telah membudidayakan kacang bambara dan menduga
5

daerah yang sesuai dengan syarat tumbuh sebagai daerah yang berpotensi untuk
produksi benih dan pengembangan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Menyusun pola pertumbuhan empat lanras kacang bambara pada tiga jarak
tanam yang berbeda.
2. Mendapatkan informasi pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap
produksi benih empat lanras kacang bambara di Indonesia
3. Menyusun pola deteriorasi benih empat lanras kacang bambara pada tiga jenis
permeabilitas kemasan yang berbeda selama enam bulan penyimpanan
terbuka.
4. Membuat model spasial berupa peta dan informasi tentang wilayah yang
potensial sesuai dengan syarat tumbuh untuk pengembangan tanaman kacang
bambara di Pulau Jawa.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan rekomendasi bagi
produsen benih dalam memproduksi dan menyimpan benih kacang bambara,
sehingga produktivitas kacang bambara di Indonesia dapat ditingkatkan. Pola
pertumbuhan dan deteriorasi benih dapat digunakan untuk pendugaan mutu benih.
Peta kesesuaian lahan tanaman kacang bambara dapat dijadikan sebagai
rekomendasi awal untuk menentukan daerah yang berpotensi sebagai daerah yang
sesuai untuk produksi benih dan pengembangan tanaman kacang bambara.

1.5 Kebaruan Penelitian

Penelitian peningkatan produksi benih kacang bambara melalui pendekatan


pola pertumbuhan sampai saat ini belum pernah diteliti. Pola pertumbuhan kacang
bambara dengan menggunakan persamaan eksponensial sigmoid merupakan
pendekatan baru dalam meneliti respon pertumbuhan kacang bambara terhadap
perlakuan-perlakuan yang diteliti. Respon lanras yang beragam terhadap suatu
perlakuan, lebih dapat diamati dengan menggunakan pola pertumbuhan. Pola
pertumbuhan menjadi dasar pengembangan ilmu pemodelan dalam produksi benih
kacang bambara. Proses fisiologis yang mempengaruhi pertumbuhan kacang
bambara akan dapat dipelajari lebih baik dengan menggunakan pola pertumbuhan.
Penelitian daya simpan benih kacang bambara menggunakan pola deteriorasi
sampai saat ini belum pernah diteliti. Pola deteriorasi benih kacang bambara dengan
menggunakan persamaan eksponensial sigmoid merupakan pendekatan baru dalam
meneliti respon daya simpan benih terhadap perlakuan penyimpanan. Pola
deteriorasi benih menjadi dasar pengembangan ilmu pemodelan dalam pendugaan
daya simpan. Berdasarkan pola deteriorasi benih, maka berbagai proses dasar yang
mempengaruhi daya simpan benih lebih dapat dipelajari dan dikembangkan dengan
baik.
6

Penelitian mengenai pengaruh kondisi lingkungan yang optimum terhadap


produksi benih kacang bambara, yang diformulasikan ke dalam bentuk model
spasial belum pernah dilakukan. Model spasial dengan input kesesuaian agroklimat
dan tanah dalam produksi benih kacang bambara, akan menghasilkan peta
kesesuaian lahan yang sangat penting untuk produksi benih dan pengembangan
kacang bambara.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri atas empat rangkaian penelitian seperti pada Gambar 1,
yaitu :
1. Optimasi produksi benih
a. penyusunan pola pertumbuhan tanaman kacang bambara.
b. peningkatan produksi benih empat lanras kacang bambara melalui
invigorasi dan jarak tanam yang optimum dalam produksi benih kacang
bambara
2. Pola deteriorasi benih kacang bambara.
3. Pendugaan wilayah potensial pengembangan kacang bambara

Gambar 1 Skema ruang lingkup penelitian


7

2. POLA PERTUMBUHAN EMPAT LANRAS KACANG


BAMBARA (Vigna subterranea (L) Verdc) BERBASIS BOBOT
KERING TANAMAN PADA JARAK TANAM BERBEDA

Abstract
The growth procrss decsribes a long cycle of stages of the process from the
beginning of the seed cell to grow until the plants are ready to be harvested. The
maximum growth of bambara groundnut can be achieved by improving cultivation
activities, one of them is by setting the spacing. This study aimed to obtain plant
growth patterns with three spacing (40 cm x 10 cm, 50 cm x 20 cm, 60 cm x 25 cm)
in four landraces of bambara groundnut based on dry weight and to determine the
optimal spacing for the plant growth. The experiment was conducted in October
2015 until May 2016 in Kampung Jawa Village, Situgede, Bogor. The experiment
included the compilation of bambara groundnut growth patterns and fitting the
similarity of growth patterns. The general pattern of plant growth for Sumedang,
Sukabumi, Gresik, and Tasikmalaya landraces was a sigmoid non-linear regression
with the equation model: y = a / (1 + exp (b * ln (x / c)) where a, b and c were different
constant for different landraces and spacing. The best spacing for all landraces
was 60 cm x 25 cm based on growth patterns with variable dry weight of roots,
stems, leaves and pods, except for dry weight of pods for Tasikmalaya landrace.
Key words: constant, non-linier, prediction, regression, sigmoid

Abstrak
Proses pertumbuhan menggambarkan suatu siklus panjang tentang tahapan
proses dari awal sel-sel benih tumbuh, hingga organ-organ panen terbentuk serta
siap untuk dipanen. Pertumbuhan tanaman kacang bambara yang maksimal dapat
dicapai dengan melakukan berbagai usaha perbaikan dalam kegiatan budidaya
salah satunya dengan cara pengaturan jarak tanam. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan pola pertumbuhan tanaman dengan tiga jarak tanam (40 cm x 10 cm,
50 cm x 20 cm, 60 cm x 25 cm) pada empat lanras kacang bambara berdasarkan
bobot kering serta menentukan jarak tanam yang optimal untuk pertumbuhan empat
lanras kacang bambara. Percobaan dilakukan sejak bulan Oktober 2015 sampai
dengan Mei 2016 di Desa Kampung Jawa, Situgede, Bogor. Tahapan penelitian
meliputi penyusunan pola pertumbuhan kacang bambara dan fitting persamaan pola
pertumbuhan. Pola umum pertumbuhan kacang bambara lanras Sumedang,
Sukabumi, Gresik, dan Tasikmalaya adalah regresi non linier berbentuk sigmoid
dengan model persamaan : y = a / (1 +exp (b*ln(x/c)) dengan a, b dan c merupakan
konstanta yang berbeda pada setiap lanras dan jarak tanam yang berbeda. Jarak
tanam 60 cm x 25 cm adalah jarak tanam terbaik untuk semua lanras berdasarkan
pola pertumbuhan dengan peubah bobot kering akar, batang, daun dan polong,
kecuali untuk bobot kering polong lanras Tasikmalaya.
Kata kunci: konstanta, non-linier, pendugaan, regresi, sigmoid
8

2.1 Pendahuluan

Kacang bambara termasuk dalam famili Fabaceae/Leguminosa yang dapat


tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan marjinal, tahan hama dan
penyakit (Biodiversity International 2015). Kacang bambara mempunyai daerah
adaptasi yang luas, tumbuh baik pada daerah yang panas, kering dengan curah hujan
yang rendah maupun wilayah yang lebih basah seperti Indonesia. Namun demikian,
produktivitas tanaman kacang bambara masih rendah, hanya berkisar 300-800
kg.ha-1, jauh dari potensi hasil yang bisa mencapai 4 ton.ha-1 (Redjeki 2007).
Rendahnya produktivitas kacang bambara antara lain disebabkan penggunaan benih
yang tidak seragam serta budidaya yang dilakukan petani masih seadanya (Redjeki
2003). Menurut Massawe et al. (2005), kacang bambara merupakan underutilized
crop, sampai saat ini kacang bambara yang dibudidayakan masih berupa lanras.
Lanras yang dibudidayakan mempunyai keragaman genetik yang cukup tinggi
dengan karakteristik dan mutu yang belum jelas. Salah satu upaya untuk
meningkatkan produktivitas adalah dengan penggunaan benih bermutu dan
pengetahuan mengenai manajemen budidaya tanaman yang efektif (Adzwala et al.
2015).
Pertumbuhan tanaman merupakan sistem kehidupan tanaman yang sangat
menentukan terhadap hasil panen tanaman. Proses pertumbuhan menggambarkan
suatu siklus panjang tentang tahapan proses dari awal sel-sel benih tumbuh, hingga
organ-organ panen terbentuk serta siap untuk dipanen. Pertumbuhan tanaman
ditentukan oleh dua prinsip pokok yaitu partisi produk fotosintesis ke organ
tanaman dan laju respirasi dari masing-masing organ tersebut (Fourcaud et al.
2008). Pola pertumbuhan merupakan pertumbuhan tanaman dalam biomasa
mauapun parameter yang lain seperti luas daun yang secara umum ditunjukkan
dengan pola yang berbentuk sigmoid (Sitompul 2016). Pola pertumbuhan tanaman
penting untuk dipelajari sehingga bisa didapatkan perlakuan yang tepat dan efektif
dalam budidaya baik pada fase vegetatif maupun generatif.
Produktivitas tanaman kacang bambara yang maksimal dapat dicapai dengan
melakukan berbagai usaha perbaikan dalam kegiatan budidaya. Usaha-usaha
tersebut pada dasarnya merupakan kegiatan untuk meningkatkan berbagai faktor
yang dapat mendukung kehidupan tanaman dan mengurangi faktor-faktor pembatas
pertumbuhan tanaman. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan cara
pengaturan jarak tanam. Pengaturan jarak tanam diperlukan agar tanaman dapat
memanfaatkan cahaya, nutrisi, air dan mengurangi evaporasi permukaan tanah
dengan baik sehingga memberikan hasil panen yang diharapkan. Informasi
mengenai jarak tanam optimum dalam produksi benih sangat diperlukan, terlebih
jika dikaitkan dengan tipe kanopi tanaman kacang bambara, yaitu tipe menyebar
(spreading), semi kompak (semi bunch), dan kompak (bunch) untuk mendapatkan
pertumbuhan yang optimum.
Hasil fotosintesis dan komponen yang tersimpan dalam tanaman didapat dari
nilai bobot kering tanaman yang merupakan bobot tanaman setelah dikeringkan
sampai air yang ada didalamnya hilang (Anni et al. 2013), sehingga pertumbuhan
tanaman dapat diidentifikasi berdasarkan perubahan bobot kering. Kemampuan
tanaman mengikat energi matahari dalam proses fotosintesis dan interaksinya
dengan faktor lingkungan dapat tercermin dari akumulasi bobot kering tanaman,
yang didistribusikan ke akar, batang, daun, dan polong.
9

Pola pertumbuhan yang berupa garis regresi eksponensial adalah


kecenderungan pertumbuhan kacang bambara sepanjang umur pertanaman
berdasarkan informasi pertumbuhan di setiap titik pengamatan. Pendugaan jarak
tanam terbaik akan lebih akurat dengan menggunakan pola pertumbuhan dengan
peubah bobot kering. Penelitian untuk mendapatkan jarak tanam yang optimum
yang dilakukan selama ini berdasarkan berbagai peubah yang diukur waktu
pengamatan. Jarak tanam terbaik akan diperoleh pada setiap waktu pengamatan
yang seringkali berbeda pada waktu pengamatan berikutnya untuk peubah yang
sama. Hal tersebut menimbulkan kesulitan untuk mengambil kesimpulan jarak
tanam terbaik untuk teknologi budidaya kacang bambara lanras tertentu.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola pertumbuhan tanaman
dengan tiga jarak tanam berbeda pada empat lanras kacang bambara berdasarkan
bobot kering serta menentukan jarak tanam yang optimal untuk pertumbuhan empat
lanras kacang bambara.

2.2 Bahan dan Metode

2.2.1 Waktu dan Tempat


Percobaan dilakukan pada bulan Oktober 2015 sampai dengan Mei 2016 di
Desa Kampung Jawa, Situgede, Bogor.

2.2.2 Sumber Benih


Benih kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya dan
Gresik, yang merupakan hasil panen antara bulan April-Juni 2015. Benih
dikeringanginkan selama + 2 minggu sampai benih berbunyi jika polong
digoyangkan, yang menandakan benih telah kering. Kadar air ditetapkan berkisar
10 + 0.5%. Benih disimpan dalam ruang penyimpanan yang berpendingin dengan
suhu + 20 oC selama tiga bulan sebelum digunakan.

2.2.3 Penyusunan Pola Pertumbuhan Kacang bambara


Pelaksanaan penelitian di lapangan pada pola pertumbuhan kacang bambara
dibuat pada setiap lanras yang digunakan. Pengolahan tanah dilakukan 14 hari
sebelum tanam, plot dibuat sesuai ukuran, contoh tanah diambil untuk dianalisis.
Benih ditanam 1 butir per lubang pada tiga perlakuan jarak tanam yaitu jarak tanam
40 cm x 10 cm (P1), 50 cm x 20 cm (P2) dan 60 cm x 25 cm (P3). Pemupukan
diberikan pada saat tanam dengan dosis 61.39 kg N ha-1, 45.5 kg SP-36 ha-1 dan
61.63 kg KCl ha-1 (Fitriesa et al. 2016). Pemeliharaan tanam dilakukan dengan
pengendalian hama, penyakit, gulma, dan pengaturan air dari tanam sampai pada
saat panen.
Peubah pola pertumbuhan yang diamati bobot kering akar, batang, daun dan
polong pada 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18 dan 20 MST. Lima tanaman diambil untuk
dilakukan pengamatan destruktif. Setiap bagian dipisahkan menjadi akar, batang,
daun dan polong, kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60 oC selama
tiga hari. Setelah dikeluarkan dari oven ditimbang dan dicatat bobotnya.
Data setiap titik pengamatan disusun menjadi pola pertumbuhan dimulai
dengan pembuatan diagram pencar (scatter plot) dengan sumbu x adalah umur
tanaman dalam satuan minggu (MST) dan y adalah bobot kering (g). Diagram
10

pencar digunakan untuk menentukan pola persamaan yang sesuai melalui analisis
regresi non linier.
2.2.4 Fitting Persamaan Pola Pertumbuhan
Fitting pola pertumbuhan bertujuan untuk menilai kesesuaian antara pola
persamaan dengan hasil aktual pengukuran bobot kering benih selama periode
pertumbuhan. Penilaian tingkat kesesuaian dilakukan dengan cara membandingkan
pola hasil persamaan terhadap titik titik nilai pengamatan dengan kriteria masuknya
pola dalam standar deviasi.

2.3 Hasil dan Pembahasan

2.3.1 Pola Pertumbuhan Kacang Bambara


Pola pertumbuhan kacang bambara diamati berdasarkan peubah bobot kering
tanaman yang meliputi : (1) bobot kering akar, (2) bobot kering batang, (3) bobot
kering daun, dan (4) bobot kering polong. Pola pertumbuhan berdasarkan bobot
kering menggunakan empat lanras dan tiga perlakuan jarak tanam. Berdasarkan
nilai bobot kering akar, batang, daun dan polong dibuat diagram pencar, untuk
mendapatkan gambaran penyebaran titik titik data yang diperoleh. Diagram pencar
yang dihasilkan digunakan untuk menentukan persamaan yang paling sesuai
dengan titik titik data. Persamaan yang dipilih dari banyak persamaan yang
ditampilkan adalah persamaan yang menghasilkan garis yang paling mendekati titik
data dengan menggunakan software Minitab release 16. Persamaan yang diperoleh
dan paling sesuai dengan sebaran titik data adalah sebagai berikut :
y = a / (1 +exp (b*ln(x/c))
untuk a, b dan c adalah konstanta, x adalah umur tanaman (minggu) dan y adalah
bobot kering akar, batang, daun dan polong per tanaman.

2.3.2 Lanras Sumedang


Pola perilaku pertumbuhan didapatkan dari persamaan hasil analisis regresi
non linier adalah berbentuk pola sigmoid. Persamaan yang dihasilkan digunakan
sebagai pola pendugaan untuk menduga pertumbuhan kacang bambara yang
didapatkan dari pengamatan yang dilakukan dari 4 MST sampai dengan 20 MST.
Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun dan polong lanras
Sumedang pada jarak tanam 40 cm x 10 cm (P1), 50 cm x 20 cm (P2) da 60 cm x
25 cm (P3) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Sumedang pada setiap perlakuan jarak tanam
Jarak tanam
Bobot kering
40 cm x 10 cm 50 cm x 20 cm 60 cm x 25 cm
Akar Y =0.48/ (1+exp Y=0.65/1+exp Y=0.75/1+exp
(4.60*ln(X/ 11.69) (6.29*ln(X/12.41) (9.64*ln(X/13.06)

Batang Y=0.44/(1+exp Y=1.74/1+exp Y=1.67/1+exp


(4.57*ln(X/ 9.80) (3.99*ln(X/12.82 (5.85*ln(X/10.19)
)
Daun Y = 0.74/(1+exp Y=-1.54/1+exp Y=2.77/1+exp
(3.02*ln(X/12.77) (2.51*ln(X/13.52) (4.6*ln(X/11.36)

Polong Y=0.01/(1+exp Y=-0.004/1+exp Y=0.24/1+exp


(24.98*ln(X/25.42) (24.98*ln(X/25.46) (3.97*ln(X/79.02)

Keterangan : Y = bobot kering (g), X = waktu (MST).


11

Pola persamaan bobot kering akar, batang, daun dan polong yang dihasilkan
selanjutnya dilakukan fitting/uji kesesuaian dengan bobot kering hasil pengamatan
secara deskriptif menggunakan grafik, seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Fitting pola persamaan bobot kering dengan bobot kering aktual lanras
Sumedang pada (A) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (B) jarak tanam 50 cm
x 20 cm, (C) jarak tanam 60 cm x 25 cm
Kesesuaian model secara deskriptif (Gambar 2) menunjukkan bahwa pola
pertumbuhan yang didapat dari hasil persamaan secara dominan sesuai dengan hasil
pengamatan yang dilakukan, terlihat dari masuknya garis pada selang standar
deviasi di setiap titik pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa pola persamaan
yang diperoleh mampu menggambarkan pola perilaku pertumbuhan tanaman
kacang bambara secara aktual untuk seluruh bobot kering bagian tanaman yang
diamati.
Perilaku pola bobot kering akar, batang, daun dan polong pada setiap
perlakuan jarak tanam memiliki pola yang sama yaitu berbentuk sigmoid, namun
perbedaan terlihat dari slope/kemiringan garis yang dihasilkan. Pola bobot kering
hasil persamaan untuk setiap bagian tanaman disajikan pada Gambar 3.
12

Gambar 3 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong lanras
Sumedang pada tiga perlakuan jarak tanam

Pola pertambahan bobot kering pada setiap bagian tanaman terlihat cukup
beragam. Kacang bambara lanras Sumedang yang ditanam pada jarak tanam 60 cm
x 25 cm yang merupakan jarak tanam terlebar secara umum menghasilkan bobot
kering akar, batang, daun dan polong yang paling tinggi (Gambar 3). Pola bobot
kering akar (Gambar 3A) menunjukkan bahwa pertambahan bobot kering akar pada
ketiga jarak tanam hampir sama hingga umur tanaman 12 MST, namun pada
minggu selanjutnya pola pada jarak tanam 60 cm x 25 cm naik secara tajam. Pola
pertumbuhan berdasarkan bobot kering batang (Gambar 3B) menunjukkan ketiga
jarak tanam berhimpit hingga umur tanaman 8 MST. Garis yang berhimpit
menandakan tidak ada perbedaan bobot kering batang pada ketiga perlakuan jarak
tanam.
Pola pertambahan bobot kering batang pada jarak tanam 60 cm x 25 cm paling
tinggi, namun mulai 20 MST pada jarak tanam 50 cm x 20 cm menghasilkan BK
yang lebih tinggi. Perbedaan pola pertambahan bobot kering daun pada tiga jarak
tanam terlihat sejak awal (4 MST) hingga akhir pengukuran (20 MST), dengan pola
pertambahan tertinggi dihasilkan dari tanaman dengan jarak tanam 60 cm x 25 cm.
Pola pertambahan bobot kering daun tertinggi menunjukkan bahwa kacang
bambara lanras Sumedang yang ditanam pada jarak tanam 60 cm x 25 cm
menghasilkan jumlah daun yang paling banyak dibandingkan perlakuan lainnya.
13

Lanras Sumedang memiliki tipe kanopi menyebar sehingga dengan jarak tanam
yang lebar maka kanopi akan terbentuk maksimal di tandai dengan banyaknya daun
yang dihasilkan dari setiap cabang.
Pola pertambahan bobot kering polong menunjukkan hasil yang sama, jarak
tanam 60 cm x 25 cm memiliki garis pola yang tertinggi, sedangkan jarak tanam 40
cm x 10 cm dan 50 cm x 20 cm memiliki pola garis yang berhimpit sampai
mendekati 18 MST. Hal ini menunjukkan bahwa jarak tanam 60 cm x 25 cm
memberikan hasil polong yang paling banyak dibandingkan perlakuan lainnya,
sedangkan kedua jarak tanam lainnya mempunyai garis yang berhimpit
menunjukkan bahwa polong yang dihasilkan relatif sama.

2.3.3 Lanras Gresik


Pola perilaku pertumbuhan didapatkan dari persamaan hasil analisis regresi
non linier adalah berbentuk pola sigmoid. Persamaan yang dihasilkan digunakan
sebagai pola pendugaan untuk menduga pertumbuhan kacang bambara yang
didapatkan dari pengamatan yang dilakukan dari 4 MST sampai dengan 20 MST.
Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun dan polong lanras
Gresik pada jarak tanam 40 cm x 10 cm (P1), 50 cm x 20 cm (P2) da 60 cm x 25
cm (P3) disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Gresik pada setiap perlakuan jarak tanam
Jarak tanam
Bobot kering
40 cm x 10 cm 50 cm x 20 cm 60 cm x 25 cm
Akar Y = 0.34/1+ Y = 0.54/1+ Y = 0.61/1+
exp(9.59*ln(X/12.57) exp(19.36*ln(X/12.82) exp(12.614*ln(X/13.12)
Batang Y= 0.58/1+ Y =-91.50/1+ Y =1.04/1+
(5.21*ln(X/10.50) (3.83*ln(X/ 10.31
exp exp ) exp(4.99*ln(X/10.33)
Daun Y =1.00/1+ Y =-0.48/1+ Y =1.20/1+
(4.10* ln(X/10.70) (3.05*ln(X/ 11.15)
exp exp exp(6.08* ln(X/9.12)
Polong Y = -0.11/1+ Y =-0.66/1+ Y =-1.17 /1+
(22.37*ln(X/14.10) (6.29*ln(X/18.38)
exp exp exp(14.31*ln(X/14.10)
Keterangan : Y = bobot kering (g), X = waktu (MST)

Pola persamaan bobot kering akar, batang, daun dan polong yang dihasilkan
selanjutnya dilakukan fitting/uji kesesuaian dengan bobot kering hasil pengamatan
secara deskriptif menggunakan grafik. Pola pertambahan bobot kering lanras
Gresik pada tiga jarak tanam hasil persamaan secara dominan dinyatakan sesuai
dengan hasil bobot kering pada setiap pengamatan berdasarkan masuknya pola pada
standar deviasi, seperti disajikan pada Gambar 4.
14

Gambar 4 Fitting pola persamaan bobot kering dan bobot kering aktual lanras
Gresik pada (A) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (B) jarak tanam 50 cm x
20 cm, (C) jarak tanam 60 cm x 25 cm
Pola bobot kering hasil persamaan regresi non linier untuk akar, batang, daun
dan polong lanras Gresik disajikan pada Gambar 5. Hasil menunjukkan bahwa
perbedaan pola pertumbuhan tanaman berdasarkan bobot kering akar, batang, dan
daun lanras Gresik pada tiga perlakuan jarak tanam mulai terlihat diawal fase
pertumbuhan. Pola tertinggi didapatkan dari tanaman yang ditanam dengan jarak
tanam 60 cm x 25 cm sebagai perlakuan jarak tanam yang paling lebar, sedangkan
terendah pada jarak tanam 40 cm x 10 cm. Garis pola yang tertinggi menunjukkan
bahwa perlakuan jarak tanam 60 cm x 25 cm mampu menghasilkan pertumbuhan
akar, batang, dan daun yang maksimum. Pertumbuhan akar, batang dan daun
menunjukkan pertumbuhan yang cepat pada pada 12 MST, namun setelah itu
pertumbuhan relatif stabil ditunjukkan dari pola garis yang mulai landai.
Pola pertambahan bobot kering polong menunjukkan hal yang berbeda,
ketiga jarak tanam memiliki pola yang sama sampai dengan tanaman berumur 12
MST (Gambar 5). Hal ini menunjukkan sampai dengan tanaman berumur 12 MST,
polong yang dihasilkan relatif sama, jumlah polong yang terbentuk masih sedikit
meskipun pada 10 MST tanaman mulai memasuki fase generatif. Asimilat yang
dihasilkan masih didistribusikan untuk pembentukan akar, batang dan daun. Pada
minggu selanjutnya pola pertambahan bobot kering polong pada jarak tanam 60 cm
x 25 cm meningkat tajam, hal ini disebabkan polong yang terbentuk setelah 12
MST semakin banyak.
15

Gambar 5 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong lanras
Gresik pada tiga perlakuan jarak tanam

2.3.4 Lanras Sukabumi


Pola perilaku pertumbuhan lanras Sukabumi yang didapatkan dari persamaan
hasil analisis regresi non linier adalah berbentuk pola sigmoid. Hasil analisis regresi
non linier bobot kering akar, batang, daun dan polong lanras Sukabumi pada jarak
tanam 40 cm x 10 cm (P1), 50 cm x 20 cm (P2) dan 60 cm x 25 cm (P3) disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Sukabumi pada setiap perlakuan jarak tanam
Jarak tanam
Bobot kering
40 cm x 10 cm 50 cm x 20 cm 60 cm x 25 cm
Akar Y=0.52/1+exp Y=0.49/1+exp Y=0.37 /1+exp
(11.41*ln(X/11.91) (5.96*ln(X/11.63) (3.48*ln(X /11.75)

Batang Y=0.44/1+exp Y=-0.33/1+exp Y =1.17/1 + exp


(4.51*ln(X/ 9.75)
(3.82*ln(X/ 9.61) (7.02* ln(X/9.16)

Daun Y=1.74/1+exp Y=0.95/1+exp Y = 1.38/1+exp


(4.52*ln(X/10.56) (4.25*ln(X/9.21) (4.86* ln(X /9.69)

Polong Y=-0.24/1+exp Y=-1.10/1+exp Y =-0.71/ 1+exp


(7.93* ln(X/16.66) (7.59*ln(X/ 15.25) (6.86* ln(X /7.16)

Keterangan : Y = bobot kering (g), X = waktu (MST)


16

Pola persamaan bobot kering akar, batang, daun dan polong yang dihasilkan
selanjutnya dilakukan fitting/uji kesesuaian dengan bobot kering hasil pengamatan
secara deskriptif menggunakan grafik sebagaimana terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Fitting pola persamaan bobot kering dan bobot kering aktual lanras
Sukabumi pada (A) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (B) jarak tanam 50 cm
x 20 cm, (C) jarak tanam 60 cm x 25 cm
Secara dominan seluruh pola garis hasil persamaan masuk dalam selang
standar deviasi pada setiap titik pengamatan. Persamaan yang dipilih merupakan
persamaan yang menghasilkan garis yang paling dekat mendekati titik titik data
hasil pengamatan, sehingga garis sigmoid yang terbentuk mempunyai lekuk yang
berbeda beda.
Pola pertumbuhan berdasarkan bobot kering akar, batang, daun dan polong
yang merupakan hasil persamaan lanras Sukabumi pada tiga perlakuan jarak tanam
disajikan pada Gambar 7.
17

Gambar 7 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong lanras
Sukabumi pada tiga perlakuan jarak tanam
Grafik pada gambar 7 memperlihatkan lanras Sukabumi yang ditanam pada
jarak tanam 60 cm x 25 cm menunjukan pola pertambahan bobot kering akar,
batang, daun dan polong yang paling tinggi. Sama halnya dengan lanras Sumedang
dan Gresik, pertumbuhan tanaman lanras Sukabumi mengalami peningkatan pada
12 MST, kemudian pertumbuhan mulai melambat yang ditunjukkan dari pola garis
yang mulai landai. Variasi hanya terlihat pada bobot kering akar dan polong, kedua
pola tersebut memperlihatkan bobot kering tanaman pada jarak tanam 50 cm x 20
cm memiliki pola yang berhimpit dengan jarak tanam 60 cm x 25 cm. Garis yang
berhimpit menunjukan bahwa bobot kering akar dan polong pada kedua jarak tanam
tersebut tidak berbeda. Khusus pada bobot kering polong, menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan hasil produksi yang cukup besar antara jarak tanam yang lebar
dan yang sedang. Lanras Sukabumi memiliki tipe kanopi semi kompak, sehingga
diduga jarak tanam 50 cm x 20 cm memberikan ruang yang cukup bagi lanras
Sukabumi untuk membentuk kanopi dan polong, dan memberikan pola yang
hampir sama dengan jarak tanam 60 cm x 25 cm.

2.3.5 Lanras Tasikmalaya


Pola perilaku pertumbuhan lanras Tasikmalaya didapatkan dari persamaan
hasil analisis regresi non linier adalah berbentuk pola sigmoid. Hasil analisis
regresi non linier bobot kering akar, batang, daun dan polong lanras Tasikmalaya
18

pada jarak tanam 40 cm x 10 cm (P1), 50 cm x 20 cm (P2), 60 cm x 25 cm (P3)


seperti pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Tasikmalaya pada setiap perlakuan jarak tanam
Jarak tanam
Bobot kering
40 cm x 10 cm 50 cm x 20 cm 60 cm x 25 cm
Akar Y=0.50/1+exp Y=0.54/1+exp Y=0.64/1+exp
(15.45* ln(X/12.19) (15.49*ln(X/ 12.85) (9.52* ln(X/13.45)

Batang Y=5.23/1+exp Y=0.81/1+exp Y=-0.13/1+exp


(9.87* ln(X/13.20) (4.90* ln(X/ 11.59) (3.85* ln(X/ 11.53)

Daun Y=6.52/1+exp Y=6.30/1+exp Y=1.54/1+exp


(13.12* ln(X/13.24) (9.20* ln(X/ 13.16) (4.47* ln(X/11.37)

Polong Y=-0.16/1+exp Y=-1.13/1+exp Y =-1.23/1+exp


(8.74* ln(X/16.89) (7.00* ln(X/ 17.15) (11.10* ln(X/14.20)

Keterangan : Y = bobot kering (g), X = waktu (MST)


Pola persamaan bobot kering akar, batang, daun dan polong yang dihasilkan
selanjutnya dilakukan fitting/uji kesesuaian dengan bobot kering hasil pengamatan
secara deskriptif menggunakan grafik sebagaimana terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Fitting pola persamaan bobot kering dan bobot kering aktual lanras
Tasikmalaya pada (A) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (B) jarak tanam 50
cm x 20 cm, (C) jarak tanam 60 cm x 25 cm
19

Secara dominan seluruh pola garis hasil persamaan masuk dalam selang
standar deviasi pada setiap titik pengamatan. Persamaan yang dipilih merupakan
persamaan yang menghasilkan garis yang paling dekat mendekati titik titik data
hasil pengamatan, sehingga garis sigmoid yang terbentuk mempunyai bentuk garis
yang berbeda beda. Pola pertumbuhan kacang bambara berdasarkan bobot kering
akar, batang, daun dan polong hasil persamaan regresi non linier pada lanras
Tasikmalaya disajikan pada Gambar 9.
Grafik pada Gambar 9 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam 40 cm x
10 cm memiliki pola pertumbuhan yang terendah yang diamati berdasarkan bobot
kering akar, batang, daun dan polong pada setiap waktu pengamatan, dibandingkan
perlakuan jarak tanam lainnya. Jarak tanam 50 cm x 20 cm dan 60 cm x 25 cm
memiliki laju pertumbuhan yang hampir tidak berbeda pada bobot kering akar dan
batang. Hal ini ditunjukkan dengan letak pola garis yang berhimpit. Peubah
pertumbuhan dengan bobot kering daun menunjukkan bahwa jarak tanam 60 cm x
25 cm memiliki pola yang paling tinggi diikuti pola pertumbuhan pada jarak tanam
50 cm x 20 cm dan 40 cm x 10 cm. Pola tersebut menggambarkan bahwa pada
jarak tanam 60 cm x 25 cm lanras Tasikmalaya menghasilkan paling banyak daun
atau daun yang lebih besar sehingga menghasilkan bobot kering daun yang paling
berat jika dibandingkan dengan dua jarak tanam lainnya.

Gambar 9 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong lanras
Tasikmalaya pada tiga perlakuan jarak tanam
20

Pola bobot kering polong pada jarak tanam 50 cm x 20 cm menghasilkan pola


pertumbuhan polong yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua pola perlakuan
jarak tanam lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa jarak tanam 50 cm x 20 cm
mampu menghasilkan polong dengan jumlah terbanyak dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Walaupun diawal pertumbuhan hingga 8 MST pola bobot
kering polong ketiga perlakuan jarak tanam menunjukkan hasil yang sama.

2.3.6 Pola pertumbuhan empat landras kacang bambara pada jarak tanam optimum
Hasil percobaan menunjukkan bahwa jarak tanam yang paling optimum pada
pola pertumbuhan kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras
Tasikmalaya adalah jarak tanam 60 cm x 25 cm (P3). Hal ini terlihat dari jarak
tanam 60 cm x 25 cm menghasilkan bobot kering akar, batang, daun dan polonh
yang paling besar yang ditunjukkan oleh pola garis yang tertinggi pada setiap
pertumbuhan keempat organ yang diamati.
Perbandingan pola pertumbuhan akar, batang, daun dan polong lanras
Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras Tasikmalaya pada jarak tanam 60 cm x
25 cm disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong pada
lanras Sumedang, Gresik, Sukabumi dan Tasikmalaya pada jarak
tanam 60 cm x 25 cm
21

Fotosintesis merupakan proses utama yang terjadi dalam pertumbuhan


tanaman, termasuk kacang bambara. Produk fotosintesis yang ditranslokasikan ke
seluruh organ tanaman untuk pertumbuhan dan pemeliharan adalah berupa bahan
kering tanaman (biomasa). Menurut Mathieu et al. (2009), pembagian biomasa ke
organ tanaman dapat menunjukkan pentingnya rasio biomasa organ seperti akar,
batang, daun, polong/biji terhadap biomasa total tanaman dalam siklus
pertumbuhannya. Model pertumbuhan tanaman berbasis pola sigmoid telah banyak
dikembangkan diantaranya hasil penelitian Bukhart (2003) dan Radonsa et al.
(2003). Muslikhah (2014) melakukan penelitian mengenai pola pertumbuhan pada
tanaman kacang hijau menggunakan model pertumbuhan Bridges dan Richards
yang berbentuk sigmoid.
Bobot kering akar menunjukkan bahwa keempat lanras hingga umur 6 MST
memiliki pola yang sama, namun pada minggu selanjutnya menghasilkan pola yang
bervariasi. Lanras Gresik memiliki pola bobot kering akar yang paling rendah
sedangkan lanras Sumedang memiliki pola yang paling tinggi. Lanras Sumedang,
Tasikmalaya, dan Gresik memiliki bentuk pola yang hampir serupa dibandingkan
dengan lanras Sukabumi. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga lanras memiliki fase
pertumbuhan yang sama, namun dengan nilai yang berbeda. Pola yang tertinggi
menunjukkan nilai bobot kering yang paling besar, begitu pula sebaliknya (Gambar
10 A).
Bobot kering batang keempat lanras memiliki pola yang hampir sama. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai bobot kering batang pada keempat lanras relatif sama.
Pola pertumbuhan batang pada keempat lanras sampai umur tanaman 8 MST
mempunyai pola yang hampir sama, yang ditunjukkan dengan garis yang berhimpit.
Bobot kering batang menunjukkan lanras Sumedang memiliki pola pertumbuhan
batang tertinggi sedangkan lanras Sukabumi terendah hingga akhir pengamatan
(Gambar 10 B).
Pola bobot kering daun keempat lanras membentuk pola garis yang berhimpit
hingga umur tanaman mencapai 12 MST (Gambar 10 C). Terlihat ada perbedaan
pola pertumbuhan pada umur selanjutnya. Pertumbuhan lanras Sukabumi dan
Gresik dari 12 MST hingga 20 MST terlihat stabil dan hampir membentuk garis
lurus secara vertikal, sehingga menempatkan keduanya pada pola pertumbuhan
yang rendah. Berbeda dengan lanras Sumedang dan Tasikmalaya setelah 12 MST
masih memiliki pertumbuhan daun yang cukup tinggi. Pola bobot kering daun
lanras Sumedang terlihat paling tinggi dibandingkan ketiga lanras lainnya pada
akhir periode pengamatan.
Hal berbeda terlihat pada pertumbuhan polong (Gambar 10 D), sampai
dengan umur tanaman 10 MST keempat lanras membentuk pola garis lurus dan
berhimpit, artinya tidak ada perbedaan bobot polong yang dihasilkan pada keempat
lanras. Pada umur selanjutnya terjadi kenaikan pertumbuhan polong yang
dihasilkan, khususnya pada lanras Gresik yang menghasilkan bobot kering polong
yang paling besar sehingga memiliki pola pertumbuhan tertinggi. Pola
pertumbuhan polong tertinggi sampai terendah adalah secara berurutan terlihat
pada lanras Gresik, Tasikmalaya, Sukabumi, dan lanras Sumedang.
Perbandingan bobot kering tanaman pada keempat lanras secara dominan
terlihat bahwa lanras Sumedang memiliki pola yang tertinggi pada saat
pertumbuhan fase vegetatif meliputi pertumbuhan akar, batang, serta daun, namun
pada hasil produksi benih (polong), memiliki pola yang berkebalikan menjadi
22

terendah. Kondisi pertumbuhan pada lanras Sumedang berbanding terbalik dengan


pertumbuhan lanras Gresik. Lanras Gresik memiliki pola pertumbuhan akar,
batang dan daun yang lebih rendah daripada lanras Sumedang, namun memiliki
pola pertumbuhan polong tertinggi, yang menunjukkan lanras Gresik mampu
menghasilkan polong yang paling banyak. Lanras Gresik memiliki fase vegetatif
yang lebih pendek dan beralih ke fase generatif untuk menghasilkan polong. Lanras
Sumedang mempunyai masa vegetatif yang lebih lama, namun tidak efektif dalam
penggunaan hasil fotosintesis menjadi polong yang merupakan komponen hasil
pertumbuhan. Pola pertumbuhan yang seharusnya terjadi adalah fotosintat akan
dominan ke organ vegetatif pada saat tanaman masuk fase vegetatif, dan sebaliknya
akan dominan ke organ reproduktif pada saat tanaman masuk di fase reproduktif.
Diduga lanras Sumedang lebih banyak menggunakan hasil fotosintesis pada
fase vegetatif sehingga asimilat yang seharusnya digunakan untuk pembentukan
polong hanya sedikit, pembagian asimilat ke organ vegetatif terus berlangsung
meskipun tanaman sudah memasuki fase pengisian polong. Menurut Brink (1999),
tanaman kacang bambara merupakan tanaman indeterminit, pembentukan daun
terus aktif berlangsung meskipun tanaman sudah memasuki fase pembentukan
bunga, bahkan terus sampai tanaman dipanen.
Adanya perbedaan distribusi bahan kering dalam tanaman ditunjukan oleh
indeks panen. Nilai indeks panen pada keempat lanras kacang bambara disajikan
pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai indeks panen empat lanras kacang bambara


Lanras Indeks panen
Sumedang 0.08c
Gresik 0.47a
Sukabumi 0.44ab
Tasikmalaya 0.37b
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5%

Indeks panen menunjukkan perbandingan bobot bahan kering yang bernilai


ekonomis dengan total bobot kering tanaman pada saat panen (Wunk et al. 2013).
Nilai indeks panen terbesar dihasilkan dari lanras Gresik (0.47) dan terendah
dihasilkan dari lanras Sumedang (0.08). Nilai indeks panen yang tinggi
menunjukkan bahwa lanras Gresik mampu mendistribusikan asimilat lebih banyak
kedalam pembentukan polong yang menghasilkan biji. Indeks panen yang rendah
menunjukkan asimilat lebih banyak terakumulasi dalam tajuk dibandingkan
polong. Kemampuan tanaman menghasilkan fotosintat (source), mendistribusikan
fotosintat bersih ke organ penyimpanan (sink), serta mengubah fotosintat menjadi
hasil ekonomi merupakan unsur penting bagi peningkatan hasil tanaman (Mastur
2015).

2.4 Simpulan

Berdasarkan hasil percobaan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:


1. Pola umum pertumbuhan kacang bambara lanras Sukabumi, Sumedang, Gresik,
dan Tasikmalaya adalah regresi non linier berbentuk sigmoid dengan model
23

persamaan : y = a / (1 +exp (b*ln(x/c)) dengan a, b dan c merupakan konstanta yang


berbeda pada setiap lanras dan jarak tanam yang berbeda.
2. Jarak tanam 60 cm x 25 cm adalah jarak tanam terbaik untuk semua lanras
berdasarkan pola pertumbuhan dengan peubah bobot kering akar, batang, daun
dan polong, kecuali untuk bobot kering polong lanras Tasikmalaya.
3. Pertumbuhan dan produksi benih kacang bambara dapat diduga dengan pola
berbasis jarak tanam dan lanras.

2.5 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap lanras Sumedang untuk


menentukan faktor yang mempengaruhi distribusi asimilat lanras Sumedang pada
fase vegetatif dan fase generatif sehingga dapat menghasilkan polong yang
maksimal.
24

3. PENGARUH INVIGORASI DAN JARAK TANAM


TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BENIH
EMPAT LANRAS KACANG BAMBARA
(Vigna subterranea (L)Verdc)

Abstract

Low production of bambara groundnut in Indonesia is due to low quality


seeds and the use of less optimal cultivation technology. The objective of the
experiment was to obtain information on the effects of invigoration and spacing on
the growth and seed production of four of bambara groundnut landraces, namely
Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya, and Gresik. Field experiment was conducted
from November 2015 to June 2016 at Dramaga, Bogor and seed processing
laboratory. The experiment was arranged in a split plot design with three
replicates. The main plot was invigoration consisted of three levels, i.e untreated,
matriconditioning + Rhizobium sp., and hydropriming. The sub plot was plant
spacing consisted of three levels, i.e 40 cm x 10 cm, 50 cm x 20 cm, and 60 cm x
25 cm. Result showed that invigoration increased the field emergence, but did not
increase plant height in all landraces. The spacing of 40 cm x 10 cm increased
plant height for Sumedang, Sukabumi and Tasikmalaya landraces. Hydropriming
increased the canopy diameter on the Sumedang and Tasikmalaya and the spacing
of 60 cm x 25 cm increased the canopy diameter for all landraces. Untreated seed
planted at the spacing of 50 cm x 20 cm produced the highest pod dry weight per
plot on Sumedang lanrace. Hydroprimed seed planted at the spacing of 60 cm x 25
cm resulted the highest pod dry weight per plant on Sukabumi and Gresik
landraces. Untreated seed planted at the spacing of 60 cm x 25 cm produced the
highest pod dry weight per plot on Gresik landrace.
Key words: canopy, hydropriming, landrace, matriconditioning, Rhizobium sp.

Abstrak

Rendahnya produksi kacang tanah bambara di Indonesia disebabkan oleh


kualitas benih yang masih rendah dan teknologi budidaya yang kurang optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pengaruh invigorasi dan
jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi benih empat lanras kacang
bambara yaitu Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Gresik. Percobaan
lapangan dilakukan sejak bulan November 2015 hingga Juni 2016 di Dramaga,
Bogor dan pengolahan benih di laboratorium Teknoligi benih IPB. Rancangan
percobaan adalah split plot dengan tiga ulangan. Petak utama adalah invigorasi
yang terdiri atas tiga taraf yaitu tanpa perlakuan, matriconditioning + Rhizobium
sp., dan hydropriming. Anak petak adalah jarak tanam yang terdiri atas tiga taraf
yaitu 40 cm x 10 cm, 50 cm x 20 cm, dan 60 cm x 25 cm. Hasil menunjukkan
bahwa invigorasi meningkatkan daya tumbuh, tetapi tidak meningkatkan tinggi
tanaman di semua lanras. Jarak tanam 40 cm x 10 cm meningkatkan tinggi tanaman
untuk lanras Sumedang, Sukabumi dan Tasikmalaya. Hydropriming meningkatkan
diameter kanopi lanras Sumedang dan Tasikmalaya dan jarak 60 cm x 25 cm
25

meningkatkan diameter kanopi semua lanras. Benih tanpa invigorasi pada jarak
tanam 50 cm x 20 cm menghasilkan berat kering polong per petak tertinggi pada
lanras Sumedang. Hydropriming pada 60 cm x 25 cm menghasilkan bobot kering
polong per tanaman tertinggi lanras Sukabumi dan Gresik. Benih tanpa invigorasi
pada 60 cm x 25 cm menghasilkan bobot kering polong per plot tertinggi pada
lanras Gresik.

Kata kunci: hydropriming, kanopi, lanras, matriconditioning, Rhizobium sp.

3.1 Pendahuluan

Periode antara benih ditanam sampai dengan munculnya kecambah


merupakan salah satu periode kritis dalam siklus kehidupan tanaman. Benih
dihadapkan pada berbagai kondisi lingkungan tumbuh yang sangat berpengaruh
terhadap munculnya kecambah serta vigor kecambah. Benih yang ditanam pada
lingkungan marjinal berpotensi menghadapi cekaman lingkungan yang lebih besar
dan dapat mengakibatkan benih sulit berkecambah (Arief dan Koes 2010). Kacang
bambara mempunyai kulit benih yang keras, menyebabkan benih menjadi
impermeable sehingga menyulitkan air untuk masuk kedalam benih (Berchie et al.
2010). Sinefu et al.(2011) menyatakan, perkecambahan benih kacang bambara
sering tidak menentu, bervariasi, dan lambat. Hal yang sama dilaporkan oleh Sesay
dan Yarmah (1996) bahwa perkecambahan benih kacang bambara sering lambat
dan tidak seragam, benih baru berkecambah 21 hari setelah tanam di lapangan. Hal
ini akan berpengaruh terhadap waktu pembungaan, pengisian polong, serta
pemasakan benih.
Invigorasi merupakan upaya memperlakukan benih sebelum tanam dengan
menyeimbangkan potensial air benih untuk merangsang kegiatan metabolisme
dalam benih, sehingga benih siap berkecambah tetapi struktur penting embrio
seperti radikula belum muncul (Khan 1992, Ilyas 2012). Beberapa perlakuan
hidrasi benih banyak digunakan sebagai perlakuan benih sebelum tanam yaitu
prehydration, osmoconditioning, dan matriconditioning. Matriconditioning
memiliki kelebihan dapat diintegrasikan dengan zat pengatur tumbuh, pestisida,
maupun mikroba yang dapat berfungsi menjadi agen hayati (Ilyas 2006).
Nurmauli dan Nurmiaty (2010) menyatakan perlakuan merendam benih
kedelai (hydropriming) menghasilkan persentase muncul bibit, kecepatan tumbuh
benih, tinggi tanaman, panjang hipokotil, panjang akar, bobot kering akar, dan
bobot kering kecambah normal yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Menurut
Ilyas dan Sopian (2013) perlakuan matriconditioning dan matriconditioning plus
Rhizobium sp. pada benih kacang bambara terbukti efektif meningkatkan viabilitas
(daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal) serta vigor (kecepatan
tumbuh dan indeks vigor) dibandingkan tanpa invigorasi. Perlakuan
matriconditioning plus Rhizobium sp. juga meningkatkan tinggi tanaman dan hasil
kacang bambara (jumlah polong per tanaman dan bobot basah polong per petak)
dibandingkan tanpa invigorasi.
Kacang bambara bukan merupakan tanaman budidaya utama di Indonesia,
sehingga sampai saat ini belum ada standar jarak tanam yang optimum dalam
produksi benih. Informasi mengenai jarak tanam optimum dalam produksi benih
sangat diperlukan, terlebih jika dikaitkan dengan tipe kanopi tanaman kacang
26

bambara, yaitu tipe menyebar (spreading), semi kompak (semi bunch) dan kompak
(bunch). Jarak tanam kacang bambara di Afrika berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya, seperti dilaporkan oleh Mkandawire dan Sibuga (2002), jarak tanam
yang biasa digunakan di Tanzania adalah 30 cm x 30 cm, sedangkan di Afrika Barat
menggunakan jarak tanam 60 cm x 30 cm.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi pengaruh invigorasi dan
jarak tanam terhadap produksi benih empat lanras kacang bambara di Indonesia,
yaitu lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya, dan lanras Gresik.

3.2 Bahan dan Metode

3.2.1 Waktu dan Tempat


Percobaan produksi benih di lapangan dilakukan sejak bulan November 2015
sampai dengan bulan April 2016 di desa Kampung Jawa, Dramaga, Kabupaten
Bogor. Di laboratorium pengolahan benih IPB Leuwikopo pada bulan April sampai
dengan Juni 2016. Lahan percobaan berada pada ketinggian 207 mdpl, dengan
curah hujan rata rata perbulan berkisar 415 mm sampai dengan 673.2 mm,
rata-rata kelembaban bulanan berkisar antara 83% sampai dengan 89% dan rata-
rata suhu bulanan berkisar 25.7 oC hingga 26.7 oC (BMKG 2016).

3.2.2 Bahan Tanaman


Sumber benih berasal dari petani kacang bambara di desa Situraja Sumedang,
desa Jampang Kulon Sukabumi, Tasikmalaya, dan Gresik yang dipanen antara
bulan April sampai dengan bulan Juni 2015. Sebelum digunakan benih disimpan
dalam ruang penyimpanan benih dengan suhu + 20 oC dan RH+ 60% selama tiga
bulan.

3.2.3 Metode Penelitian


Rancangan percobaan adalah split plot dengan ulangan sebagai kelompok.
Perlakuan invigorasi merupakan petak utama yang terdiri atas tiga taraf, yaitu tanpa
perlakuan (I0), matriconditioning + Rhizobium sp. (I1) dan hydropriming (I2).
Anak petak adalah jarak tanam yang terdiri atas tiga taraf, yaitu 40 cm x 10 cm
(P1), 50 cm x 20 cm (P2), dan 60 cm x 25 cm (P3). Setiap kombinasi perlakuan
diulang tiga kali sehingga terdapat 108 satuan percobaan, dengan ukuran petak
sebesar 3 m x 3 m.

3.2.4 Pelaksanaan Penelitian


Perlakuan matriconditioning + Rhizobium sp. diberikan sebelum benih
ditanam, dengan perbandingan 5:3:3:0.03 (benih: arang sekam: air: Rhizobium sp.).
Benih diaduk dalam campuran tersebut dan disimpan selama 3 hari pada ruangan
suhu 25 oC, dan dilakukan pengadukan setiap hari (Ilyas dan Sopian 2013).
Perlakuan hydropriming dengan merendam benih selama 24 jam pada suhu 28 oC,
kemudian benih dikeringanginkan selama 3 jam sebelum ditanam (Safiatou 2012).
Pengolahan tanah dilakukan 14 hari sebelum tanam, petak dibuat sesuai
ukuran, contoh tanah diambil untuk dianalisis. Analisis tanah dilakukan di
Laboratorium Satuan Usaha Akademik Analisis Tanah, Departemen Ilmu Tanah
IPB. Benih ditanam 1 butir per lubang sesuai dengan jarak tanamnya, bersamaan
27

dengan pemberian Furadan 3G sebesar 20 kg.ha-1. Pemupukan diberikan pada saat


tanam dengan dosis 61.39 kg N ha-1, 45.5 kg SP-36 ha-1 dan 61.63 kg KCl ha-1
(Fitriesa et al. 2016). Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pengendalian hama,
penyakit, gulma, dan pengaturan air dari tanam sampai pada saat panen. Panen
dilakukan saat tanaman fase masak panen yang ditandai dengan polong mengeras
dan berwarna cokelat, selanjutnya dilakukan pembersihan, pengeringan,
pemilahan, dan pengupasan polong.
Peubah pertumbuhan yang diamati meliputi daya tumbuh, dihitung pada 10
hari setelah tanam; tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun
tertinggi sejak tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST) hingga 10 MST;
lebar kanopi diukur dari bagian terluar kanopi menggunakan meteran saat tanaman
berumur 8 MST dan 10 MST.
Peubah komponen hasil diamati meliputi bobot kering polong per tanaman,
yang diambil dari lima tanaman contoh setiap petak percobaan dan bobot kering
polong per petak (dikeringkan selama ± 2 minggu di bawah sinar matahari).
Seluruh data hasil percobaan dianalisis dengan uji F, apabila perlakuan yang
diberikan memberikan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α = 0.05.

3.3 Hasil dan Pembahasan

3.3.1 Peubah Pertumbuhan


Benih kacang bambara yang diberi perlakuan invigorasi matriconditioning
+ Rhizobium sp. atau hydropriming sebelum tanam berpengaruh nyata
meningkatkan daya tumbuh benih kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi,
Tasikmalaya, dan lanras Gresik (Tabel 6). Benih yang tidak diinvigorasi (kontrol)
banyak yang belum tumbuh sampai pada hari ke-10, meskipun benih masih
berpotensi untuk tumbuh pada hari berikutnya.
Tabel 6 Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap daya tumbuh (%) kacang bambara
pada 10 hari setelah tanam (HST)
Lanras
Perlakuan
Sumedang Sukabumi Tasikmalaya Gresik
Benih tidak diinvigorasi 64.08c 53.83b 43.81b 71.79b
Matriconditioning+Rhizobium sp 88.68a 89.91a 88.73a 89.14a
Hydropriming 83.07b 87.04a 85.83a 87.06a
KK (%) 1.79 6.41 6.87 0.51
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT taraf 5%

Matriconditioning + Rhizobium sp atau hydropriming pada lanras Sukabumi,


Tasikmalaya, dan lanras Gresik menghasilkan persentase daya tumbuh yang tidak
berbeda pada 10 hari setelah tanam (Tabel 6). Matriconditioning + Rhizobium sp.
atau hydropriming memiliki efektivitas yang sama untuk meningkatkan daya
tumbuh benih. Kacang bambara memiliki kulit benih yang keras sehingga
menyulitkan air untuk masuk ke dalam benih, dengan matriconditioning +
Rhizobium sp. atau hydropriming, kulit benih menjadi menjadi lunak dan siap
mengimbibisi air sehingga benih siap berkecambah setelah ditanam di lapangan.
28

Hasil penelitian Sucahyo et al. (2013), perlakuan mariconditioning mampu


meningkatkan daya berkecambah benih kedelai hitam sebesar 10%. Benih yang
lebih cepat berkecambah akan mengalami cekaman lingkungan yang lebih sedikit
sehingga diharapkan tanaman akan lebih baik dalam pertumbuhannya. Invigorasi
lebih efektif pada benih yang ditanam pada lahan kering atau mengalami cekaman
air, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Modi (2013) prehydration sebelum tanam
mempercepat pemunculan kecambah, pertumbuhan dan respon terhadap
kekurangan air pada benih kacang bambara yang ditanam di Afrika Selatan. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Ahammad et al. (2014) yang melakukan
perendaman benih jagung untuk meningkatkan perkecambahan dan penampilan
bibit yang ditanam di Bangladesh. Invigorasi dapat diartikan sebagai proses
peningkatan kecepatan pertumbuhan benih kacang bambara, sehingga invigorasi
benih dapat menekan pengaruh stress lingkungan.
Widajati et al. (2013) menyatakan bahwa invigorasi benih dapat
meningkatkan viabilitas benih. Proses imbibisi merupakan tahap awal dari
perkecambahan, yang merupakan proses masuknya air kedalam benih untuk
mengaktivasi enzim-enzim yang ada di dalam benih. Enzim berfungsi
meningkatkan proses repirasi yang diperlukan dalam inisiasi embrio dari retaknya
kulit benih hingga munculnya radikula yang menembus kulit benih.
Invigorasi mempengaruhi tinggi tanaman di awal pertumbuhan (2 MST)
pada semua lanras (Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya, Gresik) (Tabel 7). Hal ini
disebabkan invigorasi meningkatkan daya tumbuh pada awal pertanaman (Tabel 6),
sehingga benih berkecambah lebih awal dan seragam jika dibandingkan dengan
benih tanpa invigorasi. Pada 8 MST, invigorasi tidak mempengaruhi tinggi tanaman
kecuali pada lanras Tasikmalaya, sedangkan pada 10 MST hanya pada lanras
Gresik (Tabel 7).
Pada lanras Sumedang, perlakuan I1 menghasilkan tinggi tanaman paling
besar (19.05 cm) jika dibandingkan dengan perlakuan I0 (16.34 cm) dan I2 (17.33
cm) pada 2 MST. Perlakuan I1 pada lanras Sukabumi menghasilkan tinggi tanaman
yang paling besar (17.85 cm) pada 2 MST, meskipun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan I2 (16.01 cm). Pada 8 dan 10 MST, invigorasi menghasilkan tinggi
tanaman yang tidak berbeda. Pada 2 dan 8 MST, perlakuan I1 menghasilkan tinggi
tanaman yang paling besar pada lanras Tasikmalaya, secara berturut-turut, yaitu
16.39 cm dan 46.90 cm, namun tidak berbeda dengan perlakuan I2. Perlakuan I1
pada lanras Gresik menghasilkan tinggi tanaman terbesar pada 2 MST sebesar
14.33 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan I2 (13.98 cm). Sebaliknya
pada 10 MST, perlakuan I0 menghasilkan tinggi tanaman yang paling besar
dibandingkan perlakuan lainnya (36.33 cm) (Tabel 7).
Perlakuan I1 (matriconditioning + Rhizobium sp.) menghasilkan tinggi
tanaman yang paling besar pada semua lanras (Tabel 7). Menurut Ilyas dan Sopian
(2013), matriconditioning + Rhizobium sp. meningkatkan tinggi tanaman kacang
bambara dibandingkan dengan perlakuan invigorasi lain dan kontrol. Sari dan
Prayudyaningsih (2015) melaporkan Rhizobium sp. membantu tanaman untuk
mengikat N bebas di udara (N2) menjadi ammonia (NH3) untuk diubah menjadi
senyawa nitrogen yang digunakan untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman.
Perbedaan jarak tanam tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada tinggi
tanaman diawal pertumbuhan (2 MST), karena belum terbentuk kanopi yang saling
menutupi, sehingga masih mendapatkan cahaya matahari yang optimum.
29

Tabel 7 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap tinggi tanaman (cm) kacang
bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya dan lanras Gresik
Tinggi tanaman
Lanras Perlakuan
2 MST 8 MST 10 MST
Sumedang Invigorasi
I0 16.34b 50.31 45.19
I1 19.05a 51.33 45.56
I2 17.33b 51.46 45.44
Rata-rata - 51.03 45.39
Jarak tanam
P1 17.88a 53.08a 47.79a
P2 17.75a 51.13ab 44.74b
P3 17.11b 48.89b 43.66b
KK (%) 3.36 6.05 2.35
Sukabumi Invigorasi
I0 14.28b 42.66 38.27
I1 17.85a 44.11 39.51
I2 16.01ab 43.86 39.43
Rata rata - 43.54 39.07
Jarak tanam
P1 15.74 45.42a 39.69a
P2 16.95 42.13b 39.71a
P3 15.45 43.07b 37.81b
Rata-rata 16.05 - -
KK (%) 13.66 4.71 4.41
Tasikmalaya Invigorasi
I0 13.35b 44.49b 39.74
I1 16.39a 46.90a 39.00
I2 15.34ab 46.03ab 39.51
Rata-rata - - 39.42
Jarak tanam
P1 15.29 49.38a 40.14
P2 14.96 45.18b 39.03
P3 14.84 42.87b 39.08
Rata-rata 15.03 - 39.42
KK (%) 6.39 5.76 3.59
Gresik Invigorasi
I0 12.94b 41.07 36.33a
I1 14.33a 41.14 35.79ab
I2 13.98a 40.58 35.36b
Rata-rata - 40.93 -
Jarak tanam
P1 13.91 43.41a 36.57a
P2 13.82 40.42b 36.13ab
P3 13.51 38.96b 34.78b
Rata-rata 13.75 - -
KK (%) 5.97 4.38 3.74
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rhizobium sp); I2 (hydropriming); P1 ( 40 cm x 10 cm; P2 (50 cm x 20 cm); P3 ( 60
cm x 25 cm). MST: minggu setelah tanam

Jarak tanam mempengaruhi diameter kanopi pada lanras Sumedang,


Sukabumi, Tasikmalaya, dan lanras Gresik. Perlakuan P3 pada lanras Sumedang
30

menghasilkan diameter kanopi yang paling besar (75.84 cm) namun tidak berbeda
dengan P2 (74.10 cm) pada 8 MST. Perlakuan P3 menghasilkan diameter kanopi
yang paling besar, yaitu 66.12 cm pada 10 MST. Pada lanras Tasikmalaya,
perlakuan P3 pada 8 dan 10 MST menghasilkan diameter kanopi yang paling besar
(65.67 cm dan 59.81 cm) jika dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P2 (Tabel 8).

Tabel 8 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap diameter kanopi (cm)
kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Gresik
pada 8 MST dan 10 MST
Lanras Perlakuan Umur tanaman
8 MST 10 MST
Sumedang Invigorasi
I0 69.92b 57.93b
I1 75.09a 60.01ab
I2 74.54a 62.56a
Jarak tanam
P1 69.61b 55.57c
P2 74.10ab 58.81b
P3 75.844a 66.12a
KK (%) 7.094 5.021
Sukabumi Invigorasi
I0 60.81 56.56
I1 63.66 56.12
I2 64.77 57.93
Rata rata 63.08 56.87
Jarak tanam
P1 58.06b 55.11b
P2 63.72a 56.12a
P3 67.46a 56.12a
KK (%) 6.15 5.22
Tasikmalaya Invigorasi
I0 56.93b 54.73b
I1 62.93a 59.04a
I2 61.73ab 59.50a
Jarak tanam
P1 56.01b 56.15b
P2 59.92b 57.31b
P3 65.67a 59.81a
KK (%) 6.47 3.59
Gresik Invigorasi
I0 48.06b 56.51
I1 54.04a 56.53
I2 57.11a 56.58
Rata-rata 56.54
Jarak tanam
P1 50.26b 55.84b
P2 53.72ab 56.18ab
P3 55.23a 57.60a
KK (%) 6.70 2.59
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+Rizobium sp.); I2
(hydropriming); P1 (40 cm x 10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3 (60 cm x 25 cm), MST: minggu
setelah tanam
31

Perlakuan P3 menghasilkan diameter kanopi paling besar terutama untuk


lanras Sumedang dan Tasikmalaya yang mempunyai tipe kanopi menyebar
(spreading), hal ini disebabkan tanaman mempunyai ruang yang cukup besar untuk
pertumbuhan kanopi. Perlakuan P1 merupakan jarak tanam yang paling sempit
menghasilkan diameter kanopi yang lebih kecil dengan tanaman yang lebih tinggi
(Tabel 8). Menurut Safiatou (2012), kacang bambara adalah tanaman herba yang
tumbuh merambat dan apabila mempunyai ruang tumbuh yang lebar, maka
pertumbuhan tanaman cenderung melebar sehingga tanaman menjadi lebih pendek
sedangkan diameter kanopi semakin besar.
Diameter kanopi lanras Sukabumi pada perlakuan P1 paling kecil jika
dibandingkan dengan perlakuan P2 dan P3. Perlakuan P3 mampu meningkatkan
diameter kanopi untuk lanras Gresik pada 8 MST (55.23 cm) dan 10 MST (57.60
cm) (Tabel 8). Lanras Sukabumi mempunyai tipe kanopi semi, sedangkan lanras
Gresik mempunyai tipe pertumbuhan kanopi kompak (bunch). Perlakuan P3
menghasilkan diameter kanopi yang tidak berbeda dengan perlakuan P2, hal ini
diduga P2 sudah memberikan ruang yang cukup untuk membentuk kanopi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Alhassan et al. (2012), bahwa kacang bambara dengan tipe
kanopi kompak (bunch) menunjukkan diameter kanopi yang tidak berbeda nyata
pada populasi 100 000 ton.ha-1 dan populasi 50 000 ton.ha-1. Jarak tanam yang
sesuai dengan tipe kanopi akan menghasilkan pertumbuhan kanopi yang maksimal.
Menurut Juwita (2012), diameter kanopi kacang bambara mempunyai
korelasi positif dengan hasil sehingga peubah diameter kanopi dapat dijadikan
sebagai faktor penentu dari produksi. Pada 8 MST perkembangan kanopi kacang
bambara dapat dianggap mencapai puncaknya, karena tanaman telah memasuki
fase generatif pada 40-50 HST.

2.3.2 Peubah Hasil


Tabel 9 menunjukkan hasil pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap
bobot kering polong per tanaman pada lanras Sumedang. Invigorasi tidak
mempengaruhi bobot kering (BK) polong pertanaman pada lanras Sumedang.
Perlakuan jarak tanam mempengaruhi BK polong pertanaman. Bobot kering
polong per tanaman dengan perlakuan P2 lebih besar (13.95 g) dibandingkan jarak
tanam yang lain, namun tidak berbeda dengan perlakuan P3 (12.39 g) (Tabel 9).
Jarak tanam 50 cm x 20 cm (P2) dan 60 cm x 25 cm (P3) menghasilkan BK polong
per tanaman yang tidak berbeda nyata, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan
jarak tanam 40 cm x10 cm (P1).
32

Tabel 9 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering (BK) polong
pertanaman lanras Sumedang
Perlakuan BK polong/tanaman (g)
Invigorasi
I0 13.72
I1 7.18
I2 12.64
Rata rata 11.18
Jarak tanam
P1 7.21b
P2 13.95a
P3 12.39a
KK (%) 15.85
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1 (40 cm x10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3
(60 cm x 25 cm)

Interaksi antara invigorasi dengan jarak tanam pada lanras Sumedang


menunjukkan hasil nyata pada BK polong per petak. Lanras Sumedang
menunjukkan ketidakkonsistenan respon terhadap perlakuan (Tabel 10), hal ini
diduga lanras Sumedang belum stabil secara genetik dan memiliki keragaman yang
tinggi. Data menunjukkan bahwa BK polong terbaik tanpa invigorasi (I0)
didapatkan dari kombinasi perlakuan I0P2 (26.83 g) dan I0P3 (22.50 g). Hasil
berbeda ditunjukkan oleh perlakuan benih dengan hydropriming (I2) menunjukkan
hasil yang terbaik pada kombinasi I2P2 (21.69 g) dan I2P3 (23.59 g). Berdasarkan
hasil ini dapat diketahui bahwa invigorasi memberikan pengaruh hanya pada jarak
tanam yang lebih lebar, yaitu 60 cm x 25 cm. Lanras Sumedang mempunyai tipe
pertumbuhan kanopi menyebar, diperlukan jarak tanam yang lebar untuk
mendukung pertumbuhannya.
Tabel 10 Interaksi invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering polong
per petak lanras Sumedang

Perlakuan BK polong per petak (g)


P1 P2 P3
I0 11.58f 26.83a 22.50ac
I1 18.04cd 16.54de 20.19bd
I2 13.32ef 21.69bc 23.59ab
KK (%) 14.52
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1 (40 cm x10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3
(60 cm x 25 cm)

Berdasarkan BK polong baik per tanaman maupun per petak, lanras


Sumedang menunjukkan produksi polong yang paling rendah dibandingkan lanras
lainnya. Hal ini berbeda dengan hasil petani kacang bambara di Sumedang yang
rata rata mampu menghasilkan 18.77 ku.ha-1 polong kering. Lanras Sumedang
33

diduga merupakan lanras dengan karakteristik spesifik lokasi, yaitu hanya


berproduksi maksimal pada daerah asalnya.
Invigorasi tidak memberikan peningkatan terhadap BK polong per petak
lanras Sukabumi, sedangkan jarak tanam mempengaruhi BK polong per petak.
Perlakuan I0 memberikan hasil BK polong per petak pada lanras Sukabumi yang
paling tinggi (1623.62 g) jika dibandingkan dengan perlakuan I1 (1232.89 g) dan
I2 (1282.81 g). Hal ini diduga pengaruh invigorasi tidak mampu bertahan sampai
produksi hasil kacang bambara. Jarak tanam yang lebih lebar P2 dan P3 pada lanras
Sukabumi memberikan hasil BK yang lebih tinggi (1551.73 g dan 1542.21 g)
dibandingkan dengan jarak tanam yang lebih sempit (Tabel 11).

Tabel 11 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
petak lanras Sukabumi
Perlakuan BK polong/petak(g)
Invigorasi
I0 1623.62a
I1 1232.89b
I2 1282.81b
Rata rata -
Jarak tanam
P1 1045.34b
P2 1551.73a
P3 1542.21a
KK (%) 12.96
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1 (40 cm x 10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3
(60 cm x 25 cm)

Interaksi antara invigorasi dengan jarak tanam pada lanras Sukabumi


menunjukkan hasil nyata terhadap BK polong per tanaman (Tabel 12), tetapi
terlihat bahwa adanya ketidaksesuaian respon lanras terhadap perlakuan. Data
menunjukkan bahwa bobot kering polong terbaik didapatkan pada hydropriming
(I2) dengan jarak tanam 60 cm x 25 cm pada kombinasi I2P3 (53.28 g).

Tabel 12 Interaksi invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering polong
per tanaman lanras Sukabumi
BK polong per tanaman (g)
Perlakuan
P1 P2 P3
I0 14.62d 37.06bc 31.70c
I1 21.25d 44.22b 37.82bc
I2 21.27d 35.54c 53.28a
KK (%) 12.67
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1 (40 cm x10 cm); P2 (50 cm x20 cm); P3
(60 cm x 25 cm)
34

Invigorasi tidak berpengaruh terhadap BK polong per tanaman maupun


polong per petak pada lanras Tasikmalaya. Jarak tanam mempengaruhi BK polong
per tanaman, namun tidak pada BK polong per petak (Tabel 13). Perlakuan P3 pada
lanras Tasikmalaya nyata meningkatkan BK polong per tanaman yaitu sebesar
36.05 g, hal ini diduga karena lanras Tasikmalaya memiliki tipe kanopi menyebar
(spreading) yang membutuhkan jarak tanam lebar, sehingga pengisian polong bisa
maksimal.
Tabel 13 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
tanaman dan per petak lanras Tasikmalaya
Perlakuan BK polong/tanaman BK polong/petak
Invigorasi
I0 24.69 953.43
I1 26.27 1309.69
I2 21.58 1174.54
Rata rata 24.18 1145.87
Jarak tanam
P1 14.62b 898.90
P2 21.87b 1107.61
P3 36.05a 1431.10
Rata-rata - 1145.87
KK (%) 17.60 18.21
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1 (40 cm x10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3
(60 cm x2 5 cm)

Interaksi antara invigorasi dengan jarak tanam pada lanras Gresik


menunjukkan hasil nyata terhadap BK polong per tanaman dan BK polong per
petak (Tabel 14). BK polong pertanaman dengan perlakuan I0 memberikan hasil
yang terbaik didapatkan dari kombinasi I0P3 (39.21 g). Lanras Gresik dengan
perlakuan I2 menghasilkan BK terbaik pada kombinasi perlakuan I2P2 (34.15 g)
dan I2P3 (41.32 g).
Tabel 14 Interaksi perlakuan invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering
polong per tanaman dan per petak lanras Gresik
BK polong per tanaman (g) BK polong per petak (g)
Perlakuan
P1 P2 P3 P1 P2 P3
I0 12.32d 25.29c 39.21ab 399.53e 1151.52c 2157.81a
I1 12.42d 8.94d 32.83b 454.51e 755.19d 982.70cd
I2 10.89d 34.15b 41.32a 454.49e 2174.12a 1598.48b
KK (%) 17.57 10.72
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1 (40 cm x10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3
(60 cm x 25 cm)

Hasil pengamatan pada peubah BK polong per petak menunjukkan bahwa


dengan perlakuan I0 hasil terbaik didapatkan dari kombinasi I0P3 (2157.8 g).
35

Sedangkan dengan perlakuan invigorasi BK polong per petak terbaik didapatkan


dari kombinasi perlakuan I2P2 (2174 g). Lanras Gresik dengan tipe pertumbuhan
kanopi kompak (bunch), menghasilkan BK polong per tanaman terbesar pada jarak
tanam terlebar yaitu 60 cm x 25 cm (P3), sedangkan hasil BK polong per petak
lebih besar pada jarak tanam 50 cm x 20 cm (P2). Hal ini karena jumlah tanaman
yang dipanen pada petak P2 lebih banyak daripada jumlah tanaman pada P3.
Invigorasi memberikan pengaruh pada fase vegetatif, namun tidak
memberikan pengaruh pada jarak tanam yang sempit pada peubah hasil empat
lanras kacang bambara. Pertumbuhan kacang bambara pada fase vegetatif sangat
baik, mempunyai diameter kanopi yang besar dan rimbun, sehingga menyebabkan
terjadinya persaingan dalam individu tanaman dalam membagi hasil asimilat ke
bagian fase vegetatif dan generatif. Jumlah polong kacang tanah yang dihasilkan
menjadi lebih sedikit disebabkan adanya persaingan dalam tanaman dalam
mengalokasikan asimilat saat fase vegetatif dan generatif (Mas’udah 2008).
Jarak tanam P2 (50 cm x 20 cm) dan P3 (60 cm x 25 cm) memberikan hasil
yang lebih besar dibandingkan P1 (40 cm x 10 cm) terhadap semua lanras yang
digunakan, meskipun mempunyai tipe pertumbuhan kanopi berbeda yaitu
menyebar (lanras Sumedang dan Tasikmalaya), semi kompak (Sukabumi) dan
kompak (Gresik). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hamakareem et al. (2016)
jarak tanam 60 cm x 30 cm memberikan hasil yang lebih baik daripada jarak tanam
50 cm x 30 cm pada kacang tanah. Jarak tanam yang lebih lebar menghasilkan
cabang yang lebih banyak daripada jarak tanam yang lebih sempit, hal ini
menunjukkan tanaman lebih vigor jika lebih sedikit persaingan untuk mendapatkan
cahaya dan nutrisi (El Naim et al. 2010). Hidayat (2008) menyatakan bahwa,
semakin rapat jarak tanam dapat menurunkan hasil pada tanaman kacang tanah,
yang disebabkan penurunan cahaya yang diterima tanaman akibat daun saling
menutupi yang dapat menyebabkan hasil fotosintesis untuk pembentukan polong
menjadi rendah.
Lanras Sumedang yang memiliki pertumbuhan vegetatif yang sangat baik,
daun yang rimbun namun memiliki hasil polong yang sedikit, terutama pada jarak
tanam yang sempit, hal ini mungkin ini disebabkan daun tumbuh tumpang tindih
sehingga mempunyai indeks luas daun yang kecil, sehingga meskipun mempunyai
daun yang banyak tetapi tidak efektif dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan
asimilat yang akan digunakan dalam pengisian polong. Lanras Sumedang memiliki
kanopi dengan tipe menyebar sehingga memerlukan jarak tanam yang lebih lebar.
Daun merupakan organ pokok penghasil biomassa melalui fotosintesis. Agar
produktivitas biomassa maksimal, jumlah daun dan susunannya dalam arsitektur
kanopi harus optimal. Kanopi tanaman sangat penting perannya dalam proses
fotosintesis melebihi daun individual. Hal ini terkait dengan posisi daun dalam
kanopi tanaman, bagian atas umumnya mendapatkan cahaya lebih banyak,
sedangkan bagian bawah lebih sedikit atau bahkan tidak memperoleh penyinaran
(Oosterhuis et al. 1990).

2.3.3 Peubah Mutu Benih


Mutu fisiologis benih kacang bambara yang ditunjukkan dengan pengujian
daya berkecambah benih. Pengujian daya berkecambah dilakukan empat minggu
setelah panen. Hasil daya berkecambah lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya
dan lanras Gresik disajikan pada Tabel 15.
36

Hasil menunjukkan bahwa perlakuan invigorasi dan jarak tanam tidak


memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase daya berkecambah dari
benih hasil panen empat lanras kacang bambara. Menurut Murungu et al. (2004),
invigorasi (priming) pada benih jagung meningkatkan pertumbuhan awal tanaman
dan percepatan tumbuhnya kecambah, namun tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman. Pengaruh invigorasi kemungkinan besar tidak
bertahan sampai ke peubah mutu hasil, karena mutu benih yang dihasilkan dari
produksi benih di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Tabel 15 Daya berkecambah benih kacang bambara pada berbagai perlakuan
invigorasi dan jarak tanam
Perlakuan Sumedang Gresik Sukabumi Tasikmalaya
Invigorasi
I0 63.78 83.78 85.56 73.78
I0 61.11 84.67 83.56 72.56
I2 67.67 84.44 86.44 70.22
Rata-rata 64.19 84.30 85.19 72.19
Jarak Tanam
P1 67.00 84.67 86.22 68.67
P2 66.67 82.22 86.44 73.22
P3 58.89 86.00 82.89 74.67
Rata-rata 64.19 84.30 85.18 72.19
Keterangan: I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1
(40 cm x 10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3 (60 cm x 25 cm)

3.4 Kesimpulan

1. Invigorasi meningkatkan daya tumbuh empat lanras kacang bambara, namun


tidak meningkatkan tinggi tanaman pada semua lanras. Jarak tanam 40 cm x
10 cm meningkatkan tinggi tanaman untuk lanras Sumedang, Sukabumi dan
Tasikmalaya. Hydropriming meningkatkan diameter kanopi pada lanras
Sumedang dan Tasikmalaya, dan jarak tanam 60 cm x 25 cm meningkatkan
diameter kanopi untuk semua lanras.
2. Benih tanpa invigorasi pada jarak tanam 50 cm x 20 cm menghasilkan bobot
kering per petak tertinggi pada lanras Sumedang. Hydropriming pada jarak
tanam 60 cm x 25 cm menghasilkan bobot kering polong per tanaman tertinggi
pada lanras Sukabumi dan Gresik. Benih tanpa invigorasi pada jarak tanam
60 cm x 25 cm menghasil bobot kering polong per petak tertinggi pada lanras
Gresik.

3.5 Saran

Penelitian pengaruh invigorasi pada kacang bambara dilakukan pada musim


kemarau atau pada lahan yang cenderung kering agar efektivitas invigorasi terhadap
benih kacang bambara lebih terlihat. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
keberhasilan pembungaan dan pembentukan polong pada kacang bambara,
sehingga produktivitas kacang bambara dapat ditingkatkan.
37

4 POLA DETERIORASI BENIH EMPAT LANRAS KACANG


BAMBARA (Vigna subterranea (L) Verdc) PADA SISTEM
PENYIMPANAN TERBUKA

Abstract

Bambara groundnut is a potential commodity to be developed in Indonesia,


however, it is cultivated once a year, therefore, it needs proper seed storage. The
aim of this experiment was to developed seed deterioration patterns of four
bambara groundnut landraces stored in packages with different permeabilities in
an open storage system for up to 6 months. This experiment was conducted from
November 2015 to July 2016 at Seed Technology Laboratory, Department of
Agronomy and Horticulture, IPB. The stages of experiment as follow: calculation
of packaging permeability, seed storage, preparation and fitting equations of
regression patterns. The seed deterioration of four bambara groundnut landraces
stored in three different permeability packages showed a general sigmoid pattern
with equation model: y = a / (1 + exp ((x + b) / c)). The seed deterioration pattern
based on seed germination and electrical conductivity with the faster rate of decline
occurred in Sumedang landrace packed in plastic sack (permeability = 1.4681
g.day-1 m2 mmHg-1), thus having a shorter storability. The slower rate of decline
occurred in Gresik landrace packed in aluminum foil (permeability = 0.098 g.day-
1 2
m mmHg-1), this means that it has a longer storability.
Key words: landraces, permeability, sigmoid, storability

Abstrak
Kacang bambara adalah tanaman yang potensial dikembangkan di Indonesia,
meskipun hanya dibudidayakan satu kali setahun, sehingga diperlukan
penyimpanan benih yang tepat. Tujuan penelitian adalah mendapatkan pola
deteriorasi benih empat lanras kacang bambara yang disimpan dalam kemasan
dengan permebialitas berbeda pada sistem penyimpanan terbuka selama 6 bulan.
Penelitian dilaksanakan bulan bulan November 2015 sampai dengan Juli 2016 di
Laboratorium Teknologi Benih, Fakultas Agronomi dan Hortikultura, IPB.
Tahapan penelitian adalah, penghitungan permeabilitas kemasan, penyimpanan
benih, penyusunan dan fitting pola persamaan deteriorasi benih. Hasil menunjukkan
bahwa deteriorasi benih empat lanras kacang bambara pada tiga permeabilitas
kemasan berbeda mempunyai pola sigmoid dengan model persamaan: y = a / (1 +
exp ((x + b) / c)) dengan a, b dan c konstanta yang berbeda pada setiap lanras dan
permeabilitas kemasan. Pola deteriorasi benih berdasarkan daya berkecambah dan
daya hantar listrik dengan laju penurunan cepat terjadi pada lanras Sumedang yang
dikemas dalam karung plastik (permeabilitas = 1.4681 g.hari-1 m2 mmHg-1),
menujukkan waktu simpan yang pendek. Laju penurunan lambat pada landras
Gresik yang dikemas dalam alumunium foil (permeabilitas = 0.098 g.hari-1 m2
mmHg-1), menunjukkan waktu simpan panjang.
Kata kunci : lanras, permeabilitas, sigmoid, waktu simpan
38

4.1 Pendahuluan

Budidaya kacang bambara di Indonesia sejak awal abad 18 (Redjeki et al.


2013), namun sampai saat ini belum ada varietas unggul kacang bambara yang
dilepas oleh pemerintah. Kacang bambara memiliki kandungan gizi tinggi yaitu,
protein 17-25%, karbohidrat 46-65% (Mabhaudhi et al. 2013), lemak 5.88%, air
10.43%, dan abu 3.03% (Redjeki 2007) serta mengandung kalsium, fosfor, zat besi,
dan vitamin B1 (Suwanpraset et al. 2006).
Benih yang digunakan petani untuk budidaya masih berasal dari pertanaman
sendiri. Ketersediaan benih kacang bambara secara umum di Indonesia berkisar
antara bulan Maret sampai dengan Juni, diluar bulan tersebut sulit untuk didapat.
Hal ini disebabkan umur kacang bambara yang panjang berkisar 17 MST sampai
dengan18 MST tergantung dari kondisi cuaca (Ilyas dan Sopian 2013), bahkan ada
lanras yang berumur 6 bulan (Toure et al. 2012), sehingga budidaya kacang
bambara tidak dilakukan sepanjang tahun. Benih hasil panen disimpan untuk
ditanam sampai musim tanam berikutnya. Adanya jeda waktu antar musim tanam
memerlukan upaya penyimpanan untuk mempertahankan viabilitas benih agar tetap
tinggi saat akan ditanam.
Penyimpanan kacang bambara yang biasa dilakukan oleh petani adalah
dengan menyimpan benih menggunakan kaleng dan ditambahkan abu gosok, yang
bertujuan menjaga kadar air tetap rendah, menghindarkan dari serangan jamur dan
serangga. Menurut Justice dan Bass (2002), kadar air dan suhu penyimpanan
merupakan faktor penting yang mempengaruhi masa hidup benih, disamping itu
juga kandungan bahan kimia dalam benih, viabilitas awal, KA benih, suhu ruang
simpan dan jenis kemasan yang digunakan (Hasbianto 2012). Komposisi kimia
benih kacang bambara yang dominan karbohidrat memungkinkan benih disimpan
dalam periode yang lebih panjang dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan
lainnya.
Pendugaan vigor daya simpan benih kacang bambara sangat berperan dalam
menduga berapa lama benih kacang bambara dapat disimpan, karena vigor daya
simpan berhubungan erat dengan proses deteriorasi benih yang bersifat kompleks
(Copeland dan McDonald 2001). Deteriorasi benih terjadi selama periode simpan,
baik dalam penyimpanan terbuka (open storage) maupun kondisi terkontrol
(controled storage). Deteriorasi benih dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal
maupun eksternal (Copeland dan McDonald 2001). Berbagai faktor yang
mempengaruhi deteriorasi benih selama penyimpanan benih, dapat diamati dengan
baik menggunakan pola deteriorasi yang terbentuk.
Menurut Justice dan Bass (2002), faktor internal yang berpengaruh pada
deteriorasi benih adalah viabilitas awal benih, kadar air benih dan faktor genetik
(seperti varietas, ukuran benih, permeabilitas testa, komposisi kimia benih),
sedangkan factor eksternal meliputi lingkungan fisik (suhu, kelembaban nisbi
udara, atmosfer) maupun biotik (virus, cendawan, bakteri dan hama). Informasi
mengenai lama benih kacang bambara dapat disimpan dan kemampuan kemasan
mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang panjang masih
terbatas, dengan mengetahui pola deteriorasi benih dapat diduga daya simpan benih
kacang bambara dalam penyimpanan terbuka.
39

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan pola deteriorasi benih empat


lanras kacang bambara pada tiga jenis permeabilitas kemasan yang berbeda selama
enam bulan penyimpanan terbuka (open storage).

4.2 Bahan dan Metode

4.2.1 Waktu dan Tempat Percobaan


Percobaan penyimpanan benih dilakukan sejak bulan November 2015 sampai
dengan bulan Juli 2016 di Laboratorium Teknologi Benih Departemen AGH,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

4.2.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah benih kacang bambara lanras Sumedang
(panen April 2015), Sukabumi (panen Mei 2015), Gresik (panen April 2015), dan
lanras Tasikmalaya (panen Juni 2015) dengan kadar air benih ditetapkan berkisar
10+0.5%, yang disimpan dalam ruang penyimpanan benih dengan suhu + 20 oC
sebelum digunakan selama 5 bulan. Bahan kemasan yang digunakan adalah
alumunium foil, plastik polypropilene, dan karung plastik.

4.2.3 Pelaksanaan Percobaan


Tahapan penelitian yang dilakukan adalah: 1) penghitungan permeabilitas
kemasan, 2) penyimpanan benih, 3) penyusunan persamaan pola kemunduran, dan
4) fitting model persamaan pola kemunduran.

4.2.3.1 Penghitungan permeabilitas kemasan


Permeabilitas kemasan diukur menggunakan metode ASTM D895 (whole
bag desication method). Desikan (silica gel) dikeringkan dalam oven 105 oC selama
3 jam, diinkubasi dalam desikator selama 30 menit, kemudian sebanyak + 20 g
desikan dimasukkan dalam kemasan yang telah diukur luas permukaannya.
Kemasan berisi desikan disimpan dalam inkubator pada suhu +44 oC dan RH +99%
selama 14 hari. Penimbangan bobot desikan dilakukan setiap hari, dan dibuat kurva
hubungan antara bobot desikan terhadap waktu (hari), sehingga diperoleh nilai air
yang terserap perhari. Nilai permeabilitas dihitung menggunakan persamaan Moyls
dalam Arpah (2007):

Permeabilitas kemasan = n/t


A (RHout- RHin)Po

dengan n/t (jumlah air terserap per hari, g.hari-1), A (luas permukaan kemasan, m2),
RHout (RH luar, %), RHin (RH dalam kemasan, %) dan Po (tekanan uap air jenuh,
mmHg).

4.2.3.2 Penyimpanan benih


Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor
permeabilitas kemasan tersarang pada periode simpan. Nilai permeabilitas kemasan
terdiri atas tiga taraf, yaitu kemasan alumunium foil (alfoil), plastik polyprophilane
(PP) dengan ketebalan 0.8 mm dan karung plastik (karplas). Periode simpan terdiri
atas tujuh taraf, yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 bulan. Kombinasi perlakuan diulang
40

sebanyak tiga kali, tiap satuan percobaan terdiri atas 250 butir benih, kemudian
disimpan pada penyimpanan terbuka (ruang simpan suhu kamar). Suhu dan RH
harian ruang simpan diukur setiap hari menggunakan thermohygrometer (Elitech
RC4HA/C (UK). Peubah yang diamati meliputi daya berkecambah (DB) dan daya
hantar listrik (DHL). Percobaan penyimpanan benih dilakukan pada empat lanras
kacang bambara, yaitu lanras Sumedang, Sukabumi, Gresik, dan lanras
Tasikmalaya.

4.2.3.3 Pembuatan diagram pencar


Pembuatan diagram pencar menggunakan software minitab release 16 untuk
mendeskripsikan nilai-nilai pengujian peubah kemunduran benih selama
penyimpanan dengan sumbu x waktu penyimpanan (bulan) dan sumbu y peubah
kemunduran benih (daya berkecambah, daya hantar listrik).

4.2.3.4 Penyusunan pola persamaan kemunduran benih


Penyusunan pola persamaan kemuduran benih diawali dengan pembuatan
diagram pencar. Diagram pencar mendeskripsikan nilai-nilai pengujian peubah
kemunduran benih selama penyimpanan dengan sumbu x waktu penyimpanan
(bulan) dan sumbu y peubah kemunduran benih (daya berkecambah, daya hantar
listrik). Diagram pencar ini selanjutnya digunakan untuk menentukan pola
persamaan yang sesuai melalui analisis regresi non linier dengan fungsi sigmoid.
Pola deteriorasi berbeda untuk setiap lanras dan permeabilitas kemasan.
.
4.2.3.5 Fitting persamaan pola kemunduran benih
Fitting bertujuan untuk menilai kesesuaian antara pola persamaan deteriorasi
dengan hasil pengujian benih selama penyimpanan. Fitting dilakukan dengan
membandingkan pola hasil persamaan terhadap titik titik pada data percobaan
dengan kriteria masuknya pola dalam standar deviasi masing-masing nilai
pengujian selama penyimpanan benih.

4.2.4 Pengamatan

4.2.4.1 Daya berkecambah (DB) setelah benih disimpan


Daya berkecambah diukur berdasarkan persentase kecambah normal pada
perhitungan pertama dan kedua. Pengujian DB dilakukan dengan mengecambahkan
50 butir benih setiap lanras pada bak perkecambahan yang berisi media pasir dan
diulang sebanyak tiga kali, diletakkan pada ruangan dengan suhu 25 oC.
Perhitungan DB menggunakan persamaan berikut (ISTA 2014):
∑ )* +,)*++
DB (%) = ∑ -./01 23/4 5063/37 x 100%
dengan KN I = pengamatan kecambah hari ke-5, KNII = pengamatan kecambah
hari ke-10.

4.2.4.2 Daya hantar listrik (DHL) setelah benih disimpan


Pengujian daya hantar listrik, yaitu setiap lanras dibuat 3 ulangan, masing-
masing 25 butir dan ditimbang. Kemudian dimasukkan ke dalam gelas jar yang
berisi akuades dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 20 oC. Perhitungan DHL
menggunakan persamaan berikut (ISTA 2014):
41

*+,-.*/010/23 3256789:82,*+ (<=.>59?)


DHL (!". $% − 1. ( − 1)=
@7A2/ :7,0B 67A .82,C2, (C)

4.2.4.2 Ketebalan kulit benih kacang bambara


Pengamatan dilakukan pada sayatan melintang kulit benih lanras Sumedang,
Sukabumi, Gresik dan lanras Tasikmalaya. Sayatan dibuat dengan mengiris kulit
benih menggunakan silet yang tajam dan diamati dengan menggunakan mikroskop
BX 51 Trinokuler, dan diukur ketebalannya menggunakan software DP 25 BSW
dengan pembesaran 10x. Setiap pengamatan diulang sebanyak tiga kali.

4.3 Hasil dan Pembahasan

4.3.1 Permeabilitas Kemasan


Permeabilitas kemasan merupakan kemampuan kemasan meloloskan uap air
yang mampu menembus kemasan (PB Depdiknas 2008). Nilai permeabilitas yang
rendah menunjukkan semakin sedikit uap air yang dapat menembus kemasan
menuju permukaan benih yang ada di dalam kemasan. Hasil perhitungan nilai
permeabilitas kemasan yang digunakan dalam percobaan berdasarkan persamaan
Moyls disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Nilai permeabilitas jenis kemasan menggunakan metode Moyls


Peubah Jenis kemasan
Al foil Plastik PP Karung plastik
-1
n/t (g.hari ) 0.0217 0.0364 0.3021
A (m2) 0.0043 0.0045 0.0040
Permeabilitas 0.0981 0.1572 1.4681
(g hari-1 m2mmHg-1)
Keterangan : RH indikator: 100%, Suhu: 44 °C, Po: 72.18 mmHg (tekanan uap air jenuh saat suhu
44 °C berdasarkan Bennefield et al. 1982)

Hasil menunjukkan bahwa permeabilitas kemasan alumunium foil (0.0981),


Plastik PP (0.1572), dan karung plastik (1.4681). Kemasan alumunium foil
memiliki nilai permeabilitas terendah diikuti plastik PP, dan karung plastik.
Hasbianto (2012) menyatakan bahwa nilai permeabilitas kemasan akan
mempengaruhi kadar air benih yang disimpan. Semakin rendah nilai permeabilitas
maka peningkatan KA benih semakin melambat sehingga dapat memperpanjang
periode simpan.

4.3.2 Penyimpanan Benih


Benih diuji sebelum disimpan dalam ruang penyimpanan dengan suhu 20 oC
dan RH 60% (Tabel 17). Benih yang digunakan dalam penelitian sudah mengalami
penyimpanan open storage selama 5 bulan (April s.d Agustus) di petani, sebelum
digunakan bulan November 2015. Selama penyimpanan benih dilakukan pengujian
daya berkecambah, daya hantar listrik serta kadar air, kemudian dibuat pola
deteriorasi benih pada setiap lanras dan permeabilitas kemasan.
42

Tabel 17 Data awal benih sebelum penyimpanan benih


Lanras
Peubah
Sumedang Sukabumi Gresik Tasikmalaya
DB (%) 89 96 96 93
DHL (μS.cm-1.g-1) 0.9 0.9 0.9 1.4
KA (%) 9.6 10.1 10.1 10.2

4.3.3 Peubah DB Setelah Benih Disimpan


Pola nilai daya berkecambah selama penyimpanan pada semua lanras dan
permeabilitas kemasan berdasarkan analisis regresi non linier memiliki fungsi
persamaan sigmoid. Hal ini sesuai dengan penelitian Walter et al. (2010),
deteriorasi benih digambarkan dengan hubungan sigmoid antara viabilitas dan
waktu, meskipun tidak terlihat perubahan yang nyata pada vigor benih, namun akan
terjadi fase laju kematian yang cepat. Persamaan yang sesuai untuk membentuk
pola adalah sebagai berikut:
y = a / (1 +exp ((x + b)/c))
dengan a, b, dan c adalah konstanta, x adalah periode simpan (bulan), dan y adalah
peubah deteriorasi benih (DB,DHL). Hasil analisis regresi disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Hasil persamaan eksponensial untuk peubah DB dan nilai DB bulan


ke-6
Lanras Jenis Kemasan Persamaan DB (%) bulan ke-6
Pengujian Persamaan
((x-5.43623)/1.61247)
Sumedang Alfoil y = 91.8664 / (1+exp ) 56 55.9
((x - 6.32146) / 2.01133)
PP y = 92.6205 / (1 + exp ) 45 44.8
((x - 4.0322) / 1.19404)
Karung y = 89.0609 / (1 + exp ) 37 36.0
Sukabumi Alfoil y = 749.343/ (1 + exp((x + 16.5948) / 4.93457)) 77 78.3
((x + 30.0652) / 16.219)
PP y = 679.448/ (1 + exp ) 60 68.0
((x + 88.689) / 193.493)
Karung y = 2921.14/ (1 + exp ) 59 59.2
((x - 2.99022) /0.778764)
Gresik Alfoil y = 96.4466/ (1 + exp ) 79 79.8
((x - 2.43074) /0.829985)
PP y = 96.8416 / (1 + exp ) 77 77.7
Karung y = 1597.45 / (1 + exp((x + 15.7881) / 3.84057)) 75 73.9
((x + 48.0952) / 88.662)
Tasikmalaya Alfoil y = 1262.28/ (1 + exp ) 62 63.1
((x + 78.3115) /189.719)
PP y = 3433.46 / (1 + exp ) 48 49.8
Karung y = 135.281 / (1 + exp((x - 4.04914) / 4.31028)) 41 40.6

Persamaan nilai DB selanjutnya dilakukan fitting secara deskriptif
menggunakan standar deviasi. Fitting secara deskriptif dilihat dari masuknya garis
pada selang standar deviasi pada titik pengamatan. Hasil fitting disajikan pada
Gambar 11.
Hasil fitting menunjukan bahwa secara dominan garis yang dihasilkan dari
pola persamaan masuk ke dalam rentang standar deviasi pada setiap titik
pengamatan. Hal ini berlaku pada semua lanras dan semua kemasan yang
digunakan, yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara pola yang
dihasilkan dari persamaan dan pengujian.
43

Gambar 11 Fitting pola persamaan deteriorasi dengan hasil pengujian pada peubah
DB pada lanras (A) Sumedang, (B) Sukabumi, (C) Gresik, dan (D)
Tasikmalaya

Pola deteriorasi benih dengan peubah DB selanjutnya disajikan pada Gambar


12. Secara umum terlihat bahwa perilaku deteriorasi benih yang disimpan dalam
karung plastik memilik DB yang lebih rendah dibandingkan kemasan lain selama
periode simpan. Kemasan dengan nilai permeabilitas rendah (alumunium foil)
menunjukkan hasil yang paling tinggi. Menurut Putro (2012), penyimpanan dengan
menggunakan kemasan alumunium foil memberikan umur simpan yang lebih lama
dibandingkan dengan kemasan polipropilen. Hal ini disebabkan karena kemasan
alumunium foil memiliki sifat water vapour transmission rate dan oxygen
transmission rate yang lebih rendah dibandingkan kemasan polypropilen dan
karung plastik. Penelitian Rachmat dan Lubis (2008) menunjukkan bahwa
penggunaan bahan pengemas yang kedap udara akan mempertahankan kualitas
gabah selama proses penyimpanan.
Gambar 12 menunjukkan deteriorasi dengan peubah DB paling cepat terjadi
pada lanras Sumedang, terlihat dari bentuk kurva dengan penurunan yang lebih
tajam dibanding lanras lainnya. Perilaku deteriorasi benih dengan pola garis
sigmoid tersusun atas dua laju penurunan, yaitu tajam dan landai. Kedua pola laju
penurunan dibatasi oleh titik anomali sebagai titik kritis periode viabilitas benih.
Perbedaan bentuk pola garis yang dihasilkan ditentukan oleh besaran konstanta
penyusun persamaan.
44

Gambar 12 Pola perilaku deteriorasi benih dengan peubah DB pada lanras (A)
Sumedang, (B) Sukabumi, (C) Gresik dan (D) lanras Tasikmalaya

Perilaku deteriorasi benih keempat lanras pada ketiga jenis kemasan memiliki
pola penurunan sigmoid dengan laju penurunan yang berbeda. Perbedaan ini
ditentukan oleh besaran nilai konstanta a, b, dan c sebagaimana disajikan pada
Tabel 18. Semakin besar nilai konstanta a maka semakin memperbesar laju
penurunan sebelum titik anomali. Semakin besar nilai b maka semakin menurunkan
laju deteriorasi setelah titik anomali dengan nilai vigor yang lebih tinggi pada akhir
periode simpan. Nilai konstanta c berkontribusi terutama dalam meningkatkan laju
deteriorasi setelah titik anomali.
Titik anomali pada pola perilaku DB lanras Sumedang dan Tasikmalaya
berada antara periode simpan 2 dan 3 bulan. Hal ini menunjukan pada periode
simpan tersebut benih akan mengalami penurunan yang cukup tajam yang
menunjukkan daya simpan benih semakin pendek. Lanras Gresik dan Sukabumi
menunjukkan hal yang berbeda, yaitu laju penurunan tidak begitu tajam, yang
menunjukkan periode simpan benih lebih panjang. Pola penurunan DB lanras
Sukabumi dan Tasikmalaya meskipun mempunyai pola yang hampir sama, namun
berbeda pada laju penurunannya. Laju penurunan pada lanras Tasikmalaya lebih
cepat yang dimulai pada bulan ke 3, hal ini menunjukkan lanras Tasikmalaya
mempunyai daya simpan yang lebih pendek.
Nilai DB lanras Gresik hingga akhir periode simpan masih diatas 75%.
Sesuai Kepmentan No 991 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Sertifikasi Benih
Bina Tanaman Pangan bahwa daya berkecambah benih minimal untuk tanaman
kacang-kacangan adalah sebesar 80% untuk kelas benih breeder seed. Namun
45

demikian, daya berkecambah untuk varietas lokal minimum 65%. Belum ada
varietas kacang bambara yang dilepas baik berupa varietas hasil pemuliaan maupun
varietas lokal, sehingga daya berkecambah sebesar 65% masih masuk standar mutu
benih. Lanras Gresik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan lanras hasil
pemurnian (F7), sedangkan ketiga lanras lainnya diperoleh dari hasil budidaya
petani setempat. Hal ini diduga yang menyebabkan lanras Gresik memiliki DB yang
lebih tinggi. Penelitian Pillay (2003) menunjukkan bahwa lanras kacang bambara
yang sudah mengalami pemurnian memiliki daya tumbuh yang lebih baik
dibandingkan dengan benih hasil budidaya petani. Lanras Gresik memiliki ukuran
benih yang lebih kecil dari ketiga lanras lainnya. Rasyid (2012) menyatakan ukuran
benih kedelai yang lebih kecil mempunyai laju penurunan mutu benih yang lebih
perlahan sehingga dapat disimpan lebih lama. Daya simpan benih dipengaruhi oleh
kadar air, suhu ruang simpan, dan karakteristik benih yang dipengaruhi oleh genetik
serta interaksi lingkungan selama pemasakan benih hingga panen (Walters et al.
2010).

4.3.4 Peubah DHL Setelah Benih Disimpan


Pola nilai DHL pada semua lanras dan jenis kemasan disajikan pada Tabel
19. Pola perilaku membentuk fungsi sigmoid dengan nilai konstanta yang berbeda
untuk setiap persamaan. Perbedaan konstanta memberikan pengaruh terhadap
bentuk pola garis persamaan yang dihasilkan.

Tabel 19 Hasil persamaan eksponensial untuk peubah DHL dan nilai DHL bulan
ke-6
Landras Jenis Kemasan Persamaan DHL (µS.cm-1 .g-1 )
Pengujian Persamaan
Sumedang Alfoil y =-56.5224 / (1 + exp((x + 14.3287) / 6.02724)) 7.0 6.5
PP y = 0.463066 / (1 + exp((x - 1.86725) /0.801414)) 6.6 6.4
Karung y = 1.37051 / (1 + exp((x - 2.79974) /0.802216)) 11.7 12.0
Sukabumi Alfoil y = 1.69665/ (1 + exp((x - 2.3811) / 0.331344)) 7.6 7.3
PP y = - 149.075 / (1 + exp((x + 14.5471) /6.00079)) 9.5 9.3
Karung y = - 4.84463 / (1 + exp((x- 0.460923) / 1.24385)) 9.3 9.0
Gresik Alfoil y = -250.307/ (1+exp((x++ 6.64073) / 1.69141)) 7.0 6.2
PP y = -410.23 / (1 + exp((x+ 10.2683) / 2.3853)) 7.8 6.7
Karung y = -513.619 / (1 + exp((x + 11.7295) / 2.76959) 9.6 8.2
Tasikmalaya Alfoil y = - 66.4152 / (1 + exp((x + 18.1409) /9.21187)) 6.9 6.4
PP y = - 100.285/ (1 + exp((x + 21.7885) /10.2971)) 7.3 6.9
Karung y = 0.622291 / (1 + exp((x - 4.09364) /1.80522)) 10.0 10.2
Fitting/uji kesesuaian dilakukan untuk melihat kesesuaian antara pola
persamaan yang dihasilkan dengan peubah DHL hasil pengamatan secara deskriptif
menggunakan grafik. Pola peningkatan DHL pada tiga permeabilitas kemasan
yang berbeda pada setiap lanras hasil persamaan secara dominan dinyatakan sesuai
dengan DHL hasil pengujian pada setiap pengamatan berdasarkan masuknya pola
pada standar deviasi,berdasarkan standar deviasi. Hasil fitting disajikan pada
Gambar 13.
Garis hasil persamaan hampir semua masuk dalam rentang standar deviasi
pada setiap titik pengamatan selama periode simpan. Hal ini menunjukan bahwa
46

pola perilaku DHL yang dihasilkan dari persamaan dapat menggambarkan pola
perilaku DHL selama pengujian.

Gambar 13 Fitting pola persamaan deteriorasi dengan hasil pengujian pada peubah
DHL pada lanras (A) Sumedang, (B) Sukabumi, (C) Gresik dan (D)
lanras Tasikmalaya
Pola deteriorasi benih lanras Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras
Tasimalaya yang disimpan pada permeabilitas kemasan yang berbeda selama enam
bulan penyimpanan dengan peubah DHL disajikan pada Gambar 14. Nilai DHL
menunjukkan bahwa semakin lama periode simpan maka nilai DHL semakin
meningkat. Pola peningkatan DHL berbeda pada keempat lanras. Peningkatan DHL
terbesar pada kemasan karung plastik yang memiliki nilai permeabilitas yang paling
tinggi untuk setiap lanras. Pengaruh permeabilitas plastik PP dan alumunium foil
tidak berbeda tehadap perubahan nilai DHL, kecuali pada lanras Sumedang
(Gambar 14).
Pola nilai DHL lanras Sumedang dengan kemasan karung plastik
menunjukkan peningkatkan yang paling cepat, kemudian diikuti kemasan plastik
PP dan alumunium foil. Pola nilai DHL berbanding terbalik dengan laju deteriorasi,
sehingga lanras Sumedang dengan kemasan karung plastik memiliki laju deteriorasi
yang paling cepat. Peningkatan nilai DHL mulai terlihat setelah bulan kedua,
sedangkan pada periode simpan sebelumnya mengalami peningkatan yang
cenderung landai. Perbedaan bentuk garis dari pola nilai DHL pada lanras
Sumedang, mulai terlihat pada periode simpan 2 bulan. Hal ini terjadi pula pada
pola peubah daya berkecambah pada periode simpan yang sama. DHL merupakan
indikasi awal deteriorasi benih secara fisiologis yang ditandai dengan adanya
47

kerusakan pada membran sel dan pada akhirnya mempengaruhi performa


pertumbuhan kecambah normal.

Gambar 14 Pola deteriorasi benih dengan peubah DHL pada lanras (A) Sumedang,
(B) Sukabumi, (C) Gresik, dan (D) Tasikmalaya

Pola nilai DHL pada lanras Gresik dan Tasikmalaya memiliki pola yang
hampir sama. Benih yang disimpan pada kemasan plastik PP dan alumunium foil
memiliki peningkatan DHL yang hampir sama, digambarkan dengan pola garis
yang berhimpit. Pola nilai DHL lanras Gresik pada kemasan karung plastik berada
diatas pola nilai DHL kemasan lainnya. Pola nilai DHL lanras Tasikmalaya yang
disimpan pada kemasan karung memiliki pola yang sama dengan kemasan lainnya
hingga periode 2.5 bulan, selanjutnya mengalami peningkatan yang cukup curam.
Titik anomali pada pola perilaku lanras Sukabumi ada periode simpan 3 bulan. Hal
ini ditunjukkan dengan perbedaan garis yang cenderung landai setelah periode
tersebut. Benih yang disimpan pada kemasan karung plastik dan plastik PP
memiliki nilai DHL yang hampir sama pada pada awal dan akhir periode simpan,
ditunjukan dengan garis yang berhimpit di titik tersebut. Perbedaan lanras
memberikan respon yang berbeda-beda terhadap peningkatan DHL, hal ini diduga
berkaitan dengan komposisi kimia yang berbeda antar lanras (Wahyuni 2014).
Deteriorasi benih diamati berbasis peubah DB dan DHL, dimana benih yang
mengalami deteriorasi ditandai dengan DB yang menurun dan DHL yang
meningkat. Menurut Tatipata et al. (2004), daya berkecambah benih selama
penyimpanan menurun, hal ini berhubungan dengan kadar air yang masuk kedalam
48

benih dan menyebabkan struktur membran mitokondria tidak teratur sehingga


membran menjadi lebih permeabel. Peningkatan permeabilitas akan menyebabkan
bocornya metabolit seperti gula, asam amino dan lemak. Hal tersebut menyebabkan
substrat yang digunakan untuk respirasi berkurang, sehingga energi yang dihasilkan
untuk berkecambah berkurang. Ketebalan kulit benih kacang bambara lanras
Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras Tasikmalaya disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 Ketebalan kulit benih empat lanras kacang bambara


Ketebalan epidermis Ketebalan hipodermis
Lanras
(mm) (mm)
Sumedang 0.27c 0.18b
Sukabumi 0.35b 0.18b
Gresik 0.45a 0.29a
Tasikmalaya 0.33b 0.22b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji DMRT taraf 5%

Hasil sayatan melintang kulit benih kacang bambara yang diamati


menggunakan mikroskop BX 51 Trinokuler dengan pembesaran 10x disajikan pada
Gambar 15.

epidermis epidermis

hipodermis
hipodermis

A B

epidermis
epidermis

hipodermis
hipodermis

C D

Gambar 15 Sayatan melintang kulit benih kacang bambara lanras (A) Sumedang,
(B) Sukabumi, (C) Gresik, (D) Tasikmalaya

Kulit benih merupakan struktur yang melindungi embrio dari lingkungan


diluar dan berpengaruh dalam penyerapan air (Miao et al. 2001). Lanras Gresik
memiliki ketebalan kulit benih total yang paling tebal (0.415 mm) dibandingkan
dengan lanras lainnya, demikian juga untuk ketebalan jaringan palisade (0.287
mm). Semakin tebal jaringan palisade dapat meningkatkan impermeabiltas kulit
benih, hal ini sejalan dengan pernyataan Ma et al. (2004) yang menyatakan bahwa
49

permeabilitas kulit benih ditentukan oleh jaringan palisade. Ukuran benih, warna,
dan ketebalan kulit merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan
peningkatan daya hantar listrik. Hubungan antara kadar air, organisasi di tingkat
membran sel benih dan jumlah kebocoran dalam larutan rendaman benih
merupakan dasar teori dari pengujian daya hantar listrik (Wain-Tassi et al. 2012).
Jumlah kebocoran elektrolit yang rendah yang dilepaskan ke dalam larutan
rendaman benih, mengindikasikan bahwa benih memiliki vigor yang tinggi
(Carvalho et al. 2009).

4.4 Simpulan

1. Pola umum deteriorasi benih kacang bambara lanras Sukabumi, Sumedang,


Gresik, dan Tasikmalaya adalah sigmoid dengan model persamaan:
y = a / (1 +exp ((x + b)/c)) dengan a, b dan c merupakan konstanta yang berbeda
pada setiap lanras dan permeabilitas kemasan.
2. Pola deteriorasi benih berdasarkan peubah DB dan DHL lanras Sumedang yang
disimpan dalam karung plastik, memiliki pola laju deteriorasi yang cepat yang
menunjukkan lanras Sumedang memiliki daya simpan yang lebih pendek.
Penyimpanan sampai bulan ke-4 daya berkecambah sudah berkisar 57%.
Penyimpanan menggunakan alumunium foil pada bulan ke-5 daya berkecambah
berkisar 66%.
3. Pola deteriorasi benih berdasarkan peubah DB dan DHL lanras Sukabumi yang
disimpan dalam alumunium foil, memiliki pola laju deteriorasi yang lambat
yang menunjukkan lanras Sukabumi memiliki daya simpan yang panjang. Bulan
ke-6 daya berkecambah berkisar 77%.
4. Pola deteriorasi benih berdasarkan peubah DB dan DHL lanras Tasikmalaya
yang disimpan dalam alumunium foil, memiliki pola laju deteriorasi yang lambat
yang menunjukkan lanras Tasikmalaya memiliki daya simpan yang cukup
panjang. Penyimpanan sampai bulan ke-6 daya berkecambah berkisar 62%.
5. Pola deteriorasi benih berdasarkan peubah DB dan DHL lanras Gresik yang
disimpan dalam alumunium foil, memiliki pola laju deteriorasi yang paling
lambat yang menunjukkan lanras Gresik memiliki daya simpan yang lebih lama,
sampai bulan ke-6 daya berkecambah berkisar 79%.

4.5 Saran

Penelitian pola deteriorasi perlu dilanjutkan dengan menambahkan satu set


penelitian untuk memverifikasi data sehingga dapat digunakan untuk menyusun
model pendugaan vigor daya simpan benih empat lanras kacang bambara.
50

5 PETA KESESUAIAN LAHAN PRODUKSI BENIH


DAN PENGEMBANGAN KACANG BAMBARA
(Vigna subterannea (L) Verdc) di PULAU JAWA

Abstract

Bambara groundnut is not Indonesian’s native plant, but has long been
cultivated in Indonesia. Development of bambara groundnut in Indonesia requires
potential land information for bambara groundnut cultivation. The research was
carried out to obtain spatial information and pattern in the form of a map of the
area in accordance with the growing requirements for the development of bambara
groundnut in Java island. Identification of regional potential was carried out by
analyzing land suitability, based on data on temperature, altitude, soil type, pH and
rainfall. The geographical data information was combined with the growing
requirements of bambara groundnut with the concept of geographic information
system (GIS) using excell and ArcMap version 10.5, resulting in a land suitability
map classified into: very suitable (S2), appropriate (S1) and not suitable (N). The
result of the study was a map of bambara groundnut land suitability in the Java
island based on surface temperature, altitude, soil pH, soil type and rainfall in
accordance with the requirements for growing bambara groundnut. The actual
area of cultivation of bambara groundnut obtained based on the survey is valid
with a map of bambara groundnut land suitability on the Java island. Potential
land area for developing bambara groundnut in the the Java island: the province
of Banten is 324 636.68 ha, DKI Jakarta 4 322.01 ha, West Java 1 136 791.99 ha,
Central Java 1 019 082.57 ha, East Java 1 414 205.72 ha and DI Yogyakarta 157
132.22 ha.

Key words: ArcMap, GIS, potential land, rainfall, soil type

Abstrak

Kacang bambara bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun sudah


lama dibudidayakan di Indonesia. Pengembangan kacang bambara di Indonesia
memerlukan informasi daerah yang potensial untuk budidaya kacang bambara.
Penelitian dilakukan untuk mendapatkan informasi dan pola spasial berupa peta
wilayah yang sesuai dengan syarat tumbuh untuk pengembangan tanaman kacang
bambara di Pulau Jawa. Identifikasi potensi daerah dilakukan dengan menganalisis
kesesuaian lahan, berdasarkan data suhu, ketinggian tempat, jenis tanah, pH dan
curah hujan. Informasi data geografis tersebut dipadukan dengan syarat tumbuh
tanaman kacang bambara dengan konsep sistem informasi geografis (SIG)
menggunakan software excell dan ArcMap versi 10.5, menghasilkan peta
kesesuaian lahan yang diklasifikasi menjadi: sangat sesuai (S2), sesuai (S1) dan
tidak sesuai (N). Hasil penelitian berupa peta kesesuaian lahan kacang bambara di
Pulau Jawa berdasarkan suhu permukaan, ketinggian tempat, pH tanah, jenis tanah
dan curah hujan yang sesuai dengan syarat tumbuh kacang bambara. Daerah aktual
budidaya tanaman kacang bambara yang didapatkan berdasarkan survey adalah
51

valid dengan peta kesesuaian lahan kacang bambara di Pulau Jawa. Luas lahan
potensial untuk pengembangan kacang bambara di Pulau Jawa pada propinsi
Banten seluas 324 636.68 ha, DKI Jakarta seluas 4 322.01 ha, Jawa Barat seluas 1
136 791.99 ha, Jawa Tengah seluas 1 019 082.57 ha, DI Jawa Timur seluas 1 414
205.72 ha dan Yogyakarta seluas 157 132.22 ha.

Kata kunci: ArcMap, curah hujan, lahan potensial, SIG, tipe tanah

5.1 Pendahuluan

Kacang bambara (Vigna subterranea (L) Verdc) bukan merupakan tanaman


asli Indonesia. Mabhaudi et al. (2013) menyatakan bahwa kacang bambara berasal
dari Afrika Selatan dan Afrika Barat yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara
seperti Thailand, Indonesia, dan sebagian Malaysia. Kacang bambara masuk dan
mulai dibudidayakan di Indonesia pada awal abad ke 18 melalui misi dagang
(Redjeki et al. 2013). Menyebar ke beberapa daerah seperti Sukabumi, Sumedang,
Majalengka, Tasikmalaya, Bandung, Pati, Kudus, Gresik, Lampung, NTB, dan
NTT (Kuswanto et al. 2012).
Kacang bambara sesuai dikembangkan di daerah yang memiliki curah hujan
rendah, karena toleran terhadap kekeringan (Berchie et al. 2010). DAFF (2016)
menyatakan bahwa kacang bambara tahan terhadap kekeringan dan dapat
menghasilkan pada tanah yang kurang subur. Kacang bambara juga banyak
dikembangkan di daerah hutan tropis dan dataran tinggi yang lembab. Kacang
bambara (Vigna subterranea (L) Verdc) dapat tumbuh di daerah tropis dengan
ketinggian sampai 1600 m dpl (Marwoto dan Suhartina 2002).
Hidayah (2005) merekomendasikan kacang bambara sebagai makanan sehat
karena kandungan lemaknya sebagian besar terdiri atas asam lemak tak jenuh
(palmitat, oleat, linoleat, dan kaprilat) yang sangat penting untuk kesehatan tubuh.
Kacang bambara berpotensi sebagai bahan pangan alternatif seperti susu dan yogurt
(Pahane et al. 2017), keju lunak (Gozali 2017), roti gulung, kukis, keik, muffin,
donat, pie pastri, roti, dan masakan tradisional lainnya (Nti 2004).
Kendala pengembangan kacang bambara antara lain masih berupa lanras
(varietas lokal yang sudah dibudidayakan), rendahnya produktivitas, rendahnya
mutu benih disebabkan belum adanya standar produksi dan penyimpanan benih.
Disamping itu, belum tersedia informasi lahan yang sesuai dengan syarat tumbuh
dan berpotensi sebagai wilayah pengembangan kacang bambara. Salah satu faktor
yang menentukan keberhasilan pengembangan komoditas tanaman adalah faktor
kesesuaian lahan dengan persyaratan tumbuhnya (Makaborang et al. 2009),
termasuk tanaman kacang bambara.
Pertumbuhan tanaman kacang bambara sangat dipengaruhi oleh jenis lanras
dan lingkungan tumbuhnya yang meliputi kesesuaian lahan dan agroklimat yang
mendukungnya. Kesesuaian lahan yang berpengaruh diantaranya adalah jenis
tanah, keasaman tanah, ketinggian tempat, sedangkan agroklimat yang berpengaruh
adalah curah hujan dan suhu (Linneman dan Azam Ali 1993; Bamshaiye et al.
2011). Peta kesesuaian lahan berdasarkan agroklimat budidaya kacang bambara
belum tersedia, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian membuat peta kesesuaian
lahan tersebut.
52

Proses menduga tingkat kesesuaian lahan untuk berbagai alternatif


penggunaan lahan, misalnya penggunaan lahan pertanian disebut dengan penilaian
atau evaluasi kesesuaian lahan. Penilaian kesesuaian lahan dapat dilakukan secara
manual ataupun secara komputerisasi. Penilaian dan pengolahan data dalam jumlah
besar dapat dilaksanakan dengan cepat jika dilakukan secara komputerisasi,
ketepatan penilaiannya sangat ditentukan oleh kualitas data yang tersedia serta
ketepatan asumsi yang digunakan. Berbagai pendekatan digunakan dalam sistem
penilaian kesesuaian lahan yang berkembang selama ini, antara lain sistem
perkalian parameter, penjumlahan, dan sistem matching. Sistem matching atau
mencocokan antara persyaratan penggunaan lahan termasuk persyaratan tumbuh
tanaman, lingkungan dan manajemen (landuse requirement) dengan kualitas
/karakteristik lahan (land qualities/land characteristics), sistem ini digunakan dan
terus dikembangkan antara lain oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian (BBSDLP) (Wahyunto et al. 2016).
Analisis kesesuaian lahan dan penentuan wilayah yang produktif untuk
tanaman kacang bambara dapat dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis (Yanti et al. 2015). Penggunaan teknologi berbasis komputer untuk
mendukung perencanaan tersebut semakin diperlukan untuk menganalisis,
memanipulasi dan menyajikan informasi dalam bentuk tabel dan spasial. Seperti
yang dikemukakan oleh Eldandaly et al. (2003), bahwa sistem informasi geografis
(SIG) merupakan teknologi yang berbasis komputer dan metodologi yang bertujuan
untuk pengumpulan, manajemen, analisis, modeling dan tampilan data geografi
yang dapat digunakan dalam berbagai penerapan. Prinsip SIG adalah pemasukan
data, penyimpanan, pemanggilan, manipulasi, analisis, dan keluaran.
Sistem Informasi Geografis (SIG) yang memiliki kemampuan membuat
model yang memberikan gambaran, penjelasan dan perkiraan dari suatu kondisi
faktual. Peta kesesuaian lahan diperlukan untuk perencanaan penggunaan lahan
yang produktif. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dan
gambaran spasial berupa peta tentang wilayah yang sesuai dengan syarat tumbuh
serta luas lahan yang potensial untuk pengembangan tanaman kacang bambara
khususnya di Pulau Jawa menggunakan Sistem Informasi Geografis.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan pola spasial berupa peta dan
informasi tentang wilayah yang potensial sesuai dengan syarat tumbuh untuk
produksi benih dan pengembangan kacang bambara di Pulau Jawa.

5.2 Bahan dan Metode

5.2.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari sampai dengan bulan
September 2017 terdiri atas kegiatan studi pustaka, pengolahan data, dan kegiatan
survei. Kegiatan survei dilaksanakan di Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih di
Pulau Jawa. Kegiatan pengolahan data dilaksanakan di laboratorium Benih
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor dan
Laboratorium Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

5.2.2 Bahan Penelitian


Penelitian ini menggunakan data hasil studi pustaka mengenai syarat
tumbuh kacang bambara, yaitu suhu, ketinggian tempat, jenis tanah, pH dan curah
53

hujan. Data spasial berupa Citra Landsat 8 ETM+, peta jenis tanah, data curah
hujan tahunan rata-rata, peta rupa bumi (RBI skala 1 : 25 000) dan peta penutupan
lahan di Pulau Jawa. Data survey berupa daerah aktual budidaya kacang bambara,
yang digunakan sebagai data untuk memvalidasi. Software yang digunakan untuk
pengolahan data adalah excell dan ArcMap10.5.

5.2.3 Pengolahan dan Analisis Data


Tahapan kerja dalam penelitian ini adalah:
1. Mengumpulkan data dari berbagai sumber, termasuk studi pustaka untuk
mendapatkan referensi syarat tumbuh tanaman kacang bambara. Sumber data
geografis yang diperlukan antara lain: data citra satelit landsat 8 ETM+ untuk
memperoleh suhu permukaan, peta jenis tanah untuk memperoleh peta struktur
tanah dan peta keasaman tanah, peta rupa bumi (RBI skala 1:25 000) untuk
memperoleh ketinggian tempat dan batas administasi kabupaten di Pulau Jawa
serta data curah hujan tahunan rata-rata.
2. Membuat skoring masing-masing peubah sesuai dengan data studi pustaka untuk
setiap syarat tumbuh.
3. Menghitung total skor dari semua peubah untuk menentukan tingkat kesesuaian
lahan sesuai dengan syarat tumbuh kacang bambara.
4. Menentukan 3 kelas kesesuaian lahan yaitu S2 (sangat sesuai), S1 (sesuai) dan
N (tidak sesuai) berdasarkan nilai total.
5. Melakukan analisis spasial menggunakan software ArcMap 10.5 untuk
melakukan tumpang susun (overlay) terhadap input sehingga diperoleh nilai
total pada masing masing satuan lahan.
6. Membuat peta kesesuaian lahan untuk tanaman kacang bambara di Pulau Jawa
serta tabel luasan dan persentase kesesuaian lahan untuk kacang bambara per
kabupaten di Pulau Jawa.
7. Menghitung luas lahan potensial untuk pengembangan kacang bambara, dengan
menumpang susunkan peta kesesuaian dengan peta penutupan lahan di Pulau
Jawa, kemudian dikurangi dengan data luas lahan sawah di Pulau Jawa.

Secara lebih jelas alur penelitian pembuatan peta kesesuaian lahan kacang bambara
dapat dilihat pada diagram alir pada Gambar 16.
54

Peta tutupan
Citra Satelit Peta Jenis Peta Jenis Peta RBI Skala
lahan di Pulau
Landsat 8 Tanah Tanah 1 : 25.000
Jawa

Pengolahan Citra Interpolasi Data Curah


Ekstraksi Garis Kontur
Digital (PCD) Hujan

Peta Suhu Peta Struktur Peta Curah Hujan Peta Ketinggian Peta Batas
Peta pH Tanah
Permukaan (ºC) Tanah Tahunan (mm) (m) Administrasi

Skoring

Overlay

Peta Klasifikasi Lahan Kacang


Bambara (S1, S2, N)

Peta Daerah Potensial Berdasarkan


Tutupan Lahan

Gambar 16 Diagram alur penelitian pembuatan peta kesesuaian lahan kacang


bambara

5.3 Hasil dan Pembahasan

Setiap jenis tanaman pertanian memerlukan persyaratan tertentu yang


berbeda antar tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi. Kacang bambara
dapat tumbuh dengan subur pada daerah dengan suhu rata-rata tahunan 19-28 °C
(FAO 2011) dan curah hujan optimum yang dikehendaki berkisar antara 900-1000
mm pertahun (DAFF 2016). Tanaman ini dapat tumbuh baik pada ketinggian
berkisar 1.520 m dpl (Mkandawire 2007), 1600 m dpl (Marwoto dan Suhartina
2002). Keasaman (pH) tanah yang dikehendaki berkisar antara 5.0-6.5, tetapi
toleran hingga pH 4.3. Tanaman kacang bambara memerlukan drainase yang baik
dan struktur tanah yang ringan, agar ginofor mudah menembus dan berkembang
dalam tanah. Kacang bambara sulit untuk hidup dan tumbuh pada wilayah yang
memiliki curah hujan tinggi (> 3000 mm/tahun) dengan karakteristik tekstur tanah
yang liat (Linneman dan Azam Ali 1993; Mkandawire 2007; FAO 2011; Ditjen TP
2013, Adzwala et al. 2016; DAFF 2016).
Berdasarkan parameter syarat tumbuh tanaman kacang bambara, maka akan
digunakan 5 peta, yaitu suhu rata rata tahunan, ketinggian tempat, jenis tanah, pH
tanah, dan curah hujan yang kemudian akan ditumpang susun (overlay) sehingga
didapatkan peta kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman kacang bambara
di Pulau Jawa. Peta pula Jawa yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari
Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk mendapatkan peta administrasi propinsi
dan kabupaten di Pulau Jawa. Peta kesesuaian lahan yang didapat kemudian
ditumpang susunkan kembali dengan peta penutupan lahan di Pulau Jawa yang
bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Daerah yang
potensial untuk dijadikan daerah pengembangan kacang bambara sesuai dengan
55

syarat tumbuh dan penutupan lahan adalah yang berupa lahan sawah, perkebunan,
semak belukar dan lahan kosong. Selanjutnya dihitung luas wilayah potensial
dikurangi dengan luas lahan sawah di Pulau Jawa, dengan tujuan agar tidak
mengganggu produksi padi. Setiap peubah yang digunakan akan memiliki kelas
nilai, semakin tinggi nilainya akan mempresentasikan semakin sesuai kelas untuk
peubah tersebut.
5.3.1 Analisis Suhu Rata-rata Tahunan
Suhu rata-rata tahunan untuk seluruh Pulau Jawa didapatkan dari data
penginderaan jauh citra lansat 8 ETM+ yang banyak digunakan terutama dalam
kajian sumberdaya alam dan pengamatan cuaca. Data penginderaan jauh yang
didapat kemudian diekstraksi informasi nilai suhu secara regional dengan
menggunakan hasil pengolahan saluran thermal (band 10) dari citra landsat 8
ETM+ seperti pada Tabel 21.
Saluran thermal dapat dianalisis untuk memperoleh informasi suhu suatu
wilayah permukaan bumi melalui pengolahan citra digital. Analisis berdasarkan
nilai digital number (DN) melalui proses koreksi radiometrik dengan mengubah
nilai DN ke cahaya, diubah ke suhu permukaan (Kelvin), dan kemudian diubah ke
Celcius sehingga dapat diperoleh peta pola suhu permukaan di Pulau Jawa dan
Madura. Suhu permukaan tersebut dinilai berdasarkan syarat tumbuh kacang
bambara, yang selanjutnya dari informasi ekstraksi data penginderaan jauh
(Thermal) disesuaikan dengan klasifikasi kelas nilai suhu seperti pada Tabel 21.
Tabel 21 Pembagian saluran (band) pada citra landsat 8 ETM+
Band Wavelength Useful for mapping
Band 1 - coastal aerosol 0.43 – 0.45 Coastal and aerosol studies
Bathymetric mapping,
distinguishing soil from vegetation
Band 2 – blue 0.45 – 0.51
and deciduous from coniferous
vegetation
Emphasizes peak vegetation, which
Band 3 – green 0.53 – 0.59
is useful for assessing plant vigor
Band 4 – red 0.64 – 0.67 Discriminates vegetatiton slopes
Emphasizes biomass content and
Band 5 – Near Infrared (NIR) 0.85 – 0.88
shorelines
Discriminates moisture content of
Band 6 – Short-wave Infrared
1.57 – 1.65 soil and vegetation, penetrates thin
(SWIR) 1
clouds
Improved moisture content of soil
Band 7 – Short-wave Infrared
2.11 – 2.29 and vegetation and thin cloud
(SWIR) 2
penetration
Band 8 – Panchromatic .50 – 68 15 m resolution, sharper image
Improved detection of cirrus cloud
Band 9 – Cirrus 1.36 – 1.38
contamination
100 m resolution thermal mapping
Band 10 – TIRS 1 10.60 -11.19
and estimated soil moisture
100 m resolution. Improved
Band 11 – TIRS 2 11.5-12.51 thermal mapping and estimates soil
moisture
Sumber : www.usgs.gov
56

Tabel 22 menunjukkan kisaran suhu 20-28 oC memiliki skor tertinggi yaitu 3,


sebagai suhu optimum. Rentang suhu optimum yang dibutuhkan oleh kacang
bambara untuk tumbuh dan berproduksi maksimal adalah 20–28 oC (Adzwala et al.
2016; DAFF 2016; Mkandawire 2007). Rentang suhu 29-37 oC mendapat skor 2
artinya kacang bambara masih dapat tumbuh baik jika faktor-faktor lain masih
mendukung, namum tidak dapat menghasilkan produksi yang maksimal. Pada suhu
> 38 oC kacang bambara tidak dapat hidup karena suhu yang terlalu tinggi.

Tabel 22. Klasifikasi nilai suhu kebutuhan tanaman kacang bambara


< 20 1
20 – 28 3
29 – 37 2
> 38 0
Sumber: Hasil analisis (2017)

Berdasarkan analisis dan peta kesesuaian suhu di Pulau Jawa (Gambar 17),
sebagian besar daerah di Pulau Jawa memiliki suhu optimum yang sesuai dengan
syarat tumbuh kacang bambara, yaitu antara 20-28 oC. Sebagian kecil wilayah di
Pulau Jawa memiliki suhu < 20 oC ditunjukkan dari bagian yang berwarna hijau
pada peta. Pertumbuhan kacang bambara terutama proses respirasi sangat di
pengaruhi oleh suhu, sedangkan fotosintesis dipengaruhi oleh lama penyinaran.

Gambar 17 Peta sebaran kondisi suhu permukaan di Pulau Jawa


57

Menurut Wirosoedarmo et al. (2011), suhu permukaan sangat mempengaruhi


perkembangan profil tanah dan sangat menentukan sifat fisika dan kimia tanah,
dengan suhu yang tinggi akan mempercepat terjadinya pelapukan serta
pembentukan liat. Kacang bambara dapat tumbuh baik pada tanah yang berpasir,
dan kurang baik tumbuh di tanah dengan tekstur liat.

5.3.2 Analisis Ketinggian Tempat


Data ketinggian diperoleh peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan skala
1: 25 000 dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Pada peta tersebut telah ada
garis kontur yang menghubungkan wilayah dengan ketinggian yang sama. Garis
kontur pada peta skala 1: 25 000 mempunyai interval kontur 12.5 meter. Dari peta
ketinggian tersebut diberikan nilai sesuai dengan syarat tumbuh kacang bambara
(Tabel 23).
Tabel 23 Klasifikasi nilai ketinggian tempat tanaman kacang bambara
Ketinggian (meter) Nilai
< 600 1
600 - 1000 3
> 1000 2
Sumber: Hasil analisis (2017)
Kacang bambara dapat tumbuh pada ketinggian tempat sampai dengan
1 600 m dpl, namun ketinggian optimum berkisar 600-1000 m dpl, sehingga rentang
tersebut mendapat skor 3. Ketinggian tempat merupakan faktor fisiografis
berpengaruh terhadap unsur iklim terutama curah hujan dan suhu udara yang sangat
mempengaruhi fisiologi pertumbuhan tanaman. Peta sebaran ketinggian tempat di
Pulau Jawa tertera pada Gambar 18.

Gambar 18 Peta sebaran ketinggian tempat di Pulau Jawa


58

Hasil yang ditunjukkan dari peta Gambar 18 terlihat bahwa sebagian besar
wilayah di Pulau Jawa yang berada pada ketinggian di bawah 600 m dpl
ditunjukkan dari wilayah yang berwarna kuning. Hanya sebagian kecil wilayah di
Pulau Jawa yang memiliki ketinggian 600-1000 m dpl, namun kacang bambara
tetap bisa tumbuh dan berproduksi baik jika kombinasi faktor lingkungan dan
agroklimat lainnya mendukung.
5.3.3 Analisis Jenis Tanah
Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat.
Peta tekstur tanah diperoleh dari analisa pada peta jenis tanah karena setiap jenis
tanah mempunyai sifat-sifat fisik tanah yang berbeda. Tabel nilai kesesuaian jenis
tanah terhadap syarat tumbuh kacang bambara, tertera pada Tabel 24.
Tabel 24 Klasifikasi jenis tanah
Jenis Tanah (Ordo) Nilai
Entisol 1
Ultisol 2
Inseptisol 2
Alfisol 3
Sumber: Hasil analisis (2017)
Tekstur tanah sangat berhubungan dengan jenis tanah, dan tekstur tanah
yang paling sesuai untuk tanaman kacang bambara adalah liat berpasir (sandy
loam). Peta sebaran jenis tanah di Pulau Jawa menunjukkan bahwa sebagian
besar jenis tanahnya adalah ordo Inseptisol, dengan skor nilai kesesuaian 2 yang
berarti agak sesuai. Jenis tanah yang mempunyai skor 3 atau sangat sesuai adalah
tekstur tanah liat berpasir yang ada dalam ordo Alfisol, dan mempunyai sebaran
yang sedikit di Pulau Jawa, tersaji pada Gambar 19.

Gambar 19 Peta sebaran jenis tanah di Pulau Jawa


59

Menurut Mkandawire (2007), tekstur tanah yang baik untuk pertumbuhan


kacang bogor adalah liat berpasir yang biasanya terkandung dalam jenis tanah
Alfisol. Dari analisis data jenis tanah yang sesuai untuk pertumbuhan kacang
bambara, tanah dengan ordo Alfisol mendapat skor tertinggi, yaitu 3. Menurut
Hardjowigeno (1993), tanah Alfisol terutama banyak di temukan di daerah dengan
tingkat pelapukan sedang di daerah beriklim sedang, namun seringkali juga
ditemukan di daerah tropika dan subtropika. Tanah ini berkembang dari batu liat
berkapur, batu pasir berkapur, dan batu gamping pada landform karst dan tektonik.
Alfisol juga merupakan tanah yang relatif subur, banyak dimanfaatkan untuk
pertanian, dengan kejenuhan basa, dan cadangan unsur hara yang cukup tinggi.

5.3.4 Analisis pH Tanah


Derajat keasaman (pH) tanah mencerminkan konsentrasi H+ yang terkandung
dalam tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah adalah bahan induk,
iklim, bahan organik, dan perlakuan manusia. Bahan induk yang bersifat masam
seperti Al, Fe, Mg dan Ca mengakibatkan terbentuknya tanah yang masam.
Sebaliknya, bahan induk yang bersifat basa, membentuk tanah yang basa.
Berdasarkan peta jenis tanah dapat dianalisa kandungan pH tanah dan jika dinilai
berdasarkan syarat tumbuh kacang bogor, seperti pada Tabel 25.

Tabel 25 Klasifikasi pH tanah


pH Tanah Nilai
1–4 1
5–7 3
8 – 10 2
11 – 14 1
Sumber: Hasil analisis (2017)
Derajat keasaman (pH) tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan optimal
tanaman kacang bambara adalah berkisar 5.0-6.5 (Mkandawire 2007; FAO 2011;
DAFF 2016), pH tanah dengan skor 3 menunjukkan kisaran pH yang paling sesuai
untuk pertumbuhan tanaman kacang bambara. Iklim dapat mempengaruhi pH
tanah karena tanah yang berkembang di daerah iklim lembab/basah akan bersifat
masam, apabila curah hujan dan suhu sangat berpengaruh aktif terhadap masam –
basanya tanah. Data skoring pH tanah di analisis menggunakan software ArcMap
10.5 agar data dapat disajikan dalam bentuk peta seperti Gambar 20.
60

Gambar 20 Peta sebaran tingkat keasaman tanah di Pulau Jawa


Peta sebaran tingkat keasaman tanah di Pulau Jawa menunjukan bahwa pH
yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman kacang bambara sebesar 5.0-6.5 hanya
terdapat pada sebagian kecil daerah di Pulau Jawa. Hampir sebagian besar lahan di
Pulau Jawa memiliki pH tanah yang tinggi atau tanah yang bersifat basa.
Pemberian sulfur atau belerang seperti ZA, maupun bahan/pupuk organik dapat
untuk mengatasi pH yang asam. pH yang optimum membuat unsur hara mudah
diserap oleh tanaman, pH yang berkisar 5.5-7.0 membuat mikroorganisme yang
menguntungkan bagi akar berkembang dengan baik.

5.3.5 Analisis Curah Hujan


Peta curah hujan tahunan diperoleh melalui interpolasi data curah hujan pada
masing-masing stasiun hujan menggunakan aplikasi GIS dengan metode Poligon
Thiessen. Interval dari peta hujan dibuat berdasarkan syarat tumbuh kacang
bambara sebagaimana pada Tabel 26.

Tabel 26 Klasifikasi curah hujan


Curah Hujan (mm/tahun) Nilai
500 – 1000 3
1001 – 3000 2
> 3000 1
Sumber: Hasil analisis (2017).
Tanaman kacang bambara dapat tumbuh pada kisaran curah hujan antara
500-3000 mm/tahun (Astawan 2009). Curah hujan optimum yang dibutuhkan
tanaman kacang bambara adalah berkisar 650-1000 mm/tahun (Bamshaiye et al.
2011), sehingga skor 3 berada pada rentang 500-1000 mm/tahun. Peta sebaran
61

curah hujan di Pulau Jawa berdasarkan syarat tumbuh kacang bambara pada
Gambar 21.

Gambar 21 Peta sebaran curah hujan tahunan di Pulau Jawa


Sebagian besar curah hujan di Pulau Jawa berada pada kisaran 1001-3000
mm pertahun, sedangkan curah hujan optimum yang sesuai dengan syarat tumbuh
kacang bambara hanya berada disebagian kecil daerah di Pulau Jawa, khususnya
daerah pantai utara. Tanaman kacang bambara tidak dapat tumbuh dan berproduksi
pada daerah yang mempunyai curah hujan lebih dari 3000 mm per tahun. Curah
hujan sangat mempengaruhi perkembangan profil tanah melalui sifat kimia dan
sifat fisik tanah. Kecepatan pelapukan dan pembentukan liat yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi reaksi tanah disebabkan oleh curah hujan yang
tinggi, serta mengakibatkan pencucian kation basa yang dapat menyebabkan pH
tanah akan menjadi masam (4.5). Curah hujan bertindak sebagai penyedia air
tanaman sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Kelima peta yang telah dibuat yaitu peta suhu, ketinggian tempat, jenis tanah,
keasaman tanah dan peta curah hujan di tumpeng-susunkan setelah dilakukan
skoring untuk menentukan atribut kesesuaian lahan. Skoring nilai atribut
kesesuaian lahan sebagaimana tertera pada Tabel 27.

Tabel 27 Nilai atribut kesesuaian lahan tanaman kacang bambara


Peubah Nilai Min Nilai Max
Suhu 1 3
Ketinggian tempat 1 3
Jenis tanah 1 3
pH tanah 1 3
Curah hujan 1 3
Total 5 15
Sumber: Hasil analisis (2017)
62

Berdasarkan skoring nilai minimal dan maksimal masing masing peubah


yang dijumlahkan, selanjutnya ditentukan klasifikasi kesesuaian lahan menjadi 3
kelas yaitu tidak sesuai (N), sangat sesuai (S2) dan sesuai (S1) seperti pada Tabel
28. Batasan peruntukan khusus ditambahkan untuk menentukan kelas tidak sesuai
(N) adalah jika wilayah tersebut memiliki curah hujan > 3000 mm pertahun dan
tekstur tanah liat, karena tanaman kacang bambara tidak mampu tumbuh dan
berproduksi pada lingkungan yang mempunyai kombinasi tersebut.

Tabel 28 Klasifikasi kelas kesesuaian lahan


Kesesuaian Lahan Keterangan Nilai Kelas
N Tidak sesuai 5–7
S1 Sesuai 8 – 11
S2 Sangat sesuai 12 - 15
Sumber: Hasil analisis (2017)
Kelima peta kesesuaian lahan masing masing peubah ditumpang susunkan
(overlay) untuk mendapatkan peta kesesuaian lahan berdasarkan syarat tumbuh,
seperti pada Gambar 22. Dari peta pada Gambar 22 dapat dilihat sebagian besar
daerah di Pulau Jawa mempunyai klasifikasi sesuai (S1), ditandai dengan daerah
yang berwarna hijau muda. Klasifikasi sangat sesuai (S2) hanya ada sedikit di
Pulau Jawa ditandai dengan warna hijau tua yang sebagian besar ada di propinsi
Jawa Tengah dan hanya sebagian kecil daerah di Pulau Jawa yang tidak sesuai (N)
dengan syarat tumbuh tanaman kacang bambara, ditandai dengan daerah warna
merah.

Gambar 22 Peta kesesuaian lahan kacang bambara di Pulau Jawa beserta daerah
existing dan wilayah potensial
63

Peta kesesuaian lahan ditumpang susunkan kembali dengan peta penutupan


lahan di Pulau Jawa untuk mendapat luas lahan pengembangan yang lebih akurat,
sehingga didapatkan luas lahan yang potensial dan tidak potensial untuk
pengembangan kacang bambara, dengan asumsi lahan yang tidak potensial adalah
lahan pemukiman, gedung, hutan, tambak dan rawa (Gambar 22). Peta pada
Gambar 22 menunjukkan wilayah yang yang mempunyai kesesuaian lahan, daerah
budidaya yang existing dan wilayah potensial. Daerah yang tidak potensial
digunakan untuk budidaya kacang bambara ditunjukkan dengan wilayah berwarna
putih.
Daerah yang secara aktual dan dikenal sebagai penghasil kacang bambara
yang didapat dari hasil survey adalah Bogor, Sukabumi, Bandung Barat, Garut,
Sumedang, Tasikmalaya, Majalengka, Cirebon, Kuningan, dan Ciamis untuk
Propinsi Jawa Barat, sedangkan Gresik, Lamongan, Bojonegoro, Banyuwangi,
Bangkalan, dan Sumenep untuk Propinsi Jawa Timur. Peta kesesuaian lahan yang
diperoleh divalidasi dengan informasi survey daerah budidaya lanras kacang
bambara. Hasil validasi menunjukkan bahwa semua daerah yang secara aktual
merupakan daerah yang sudah ada budidaya lanras kacang bambara masuk dalam
klasifikasi kelas sangat sesuai (S2) dan sesuai (S1) dalam peta kesesuaian lahan
yang diperoleh berdasarkan syarat tumbuh tanaman kacang bambara. Kesesuaian
antara peta yang dihasilkan dengan daerah aktual menunjukkan bahwa peta yang
diperoleh dapat diterima sebagai peta kesesuaian lahan tanaman kacang bambara di
Pulau Jawa.
Luas lahan yang sesuai dengan klasifikasi kelas sangat sesuai (S2), sesuai
(S1) untuk pengembangan tanaman kacang bambara di Pulau Jawa dihitung dengan
menggunakan map calculator dalam ArcMap10.5 seperti pada Tabel 29. Luas
lahan pada Tabel 29 dihitung sesuai klasifikasi berdasarkan persyaratan tumbuh
yang dibutuhkan kacang bambara, dengan asumsi seluruh lahan yang ada di Pulau
Jawa tersedia bagi pengembangan kacang bambara.
Tabel 29 Luas dan persentase kesesuaian lahan kacang bambara di Pulau Jawa
Sangat sesuai (S2) Sesuai (S1) Tidak sesuai (N) Total
Propinsi
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
Banten 9 111.29 1.01 663 797.8 73.53 229 855.57 25.46 902 764.67 100
DKI Jakarta 0 0 46 354.14 72.65 17 447.52 27.35 63 801.67 100
Jawa Barat 274 601.94 7.20 2 477 478.10 64.99 1 060 101.69 27.81 3 812 181.73 100
Jawa Tengah 375 406.13 10.74 2 513 505.02 71.92 606 022.08 17.34 3 494 933.23 100
Jawa Timur 468 227.42 9.92 3 781 085.34 80.07 472 865.63 10.01 4 722 178.39 100
DI Yogyakarta 16 837.82 5.32 278 621.24 88.02 21 074.85 6.66 316 533.91 100
Total 1 144 184.60 8.59 9 760 841.64 73.32 2 407 367.35 18.08 13 312 393.59 100
Sumber: Hasil analisis (2017)

Luas lahan yang potensial adalah seluruh lahan perkebunan, pertanian lahan
kering, sawah, semak belukar dan tanah terbuka yang masuk dalam kriteria sangat
sesuai (S2) dan sesuai (S1). Tidak semua daerah dengan kategori sangat sesuai (S2)
dan sesuai (S1) berpotensi sebagai daerah pengembangan, karena mungkin daerah
64

tersebut berada dalam daerah pemukiman, hutan, rawa atau daerah lain yang tidak
dapat digunakan sebagai wilayah pengembangan. Atau sebaliknya daerah dengan
kategori tidak sesuai (N) berada pada wilayah yang potensial. Lahan yang belum
digunakan secara intensif sebagai areal pertanian, misalnya semak/belukar, hutan
yang dapat dikonversi, dan lahan pertanian terlantar diarahkan sebagai areal
ekstensifikasi tanaman yang sesuai (Ritung dan Hidayat 2003).
Tabel 30 menyajikan luas wilayah dengan klasifikasi sangat sesuai (S2) dan
sesuai (S1) dan merupakan wilayah yang potensial seperti pada Gambar 22.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan map calculator dalam ArcMap10.5.
Hasil perhitungan pendugaan yang diperoleh sangat tergantung kepada asumsi yang
dipakai, semakin dekat asumsi yang dipakai dengan kenyataan, semakin akurat
estimasi yang dihasilkan. Dari tabel terlihat propinsi DI Yogyakarta memiliki
persentase luas lahan untuk kategori S2 dan S1 pada wilayah yang potensial sebesar
66.83% dari total luas wilayah, namun sampai saat ini kacang bambara belum
dibudidayakan di DI Yogyakarta. Hal ini mungkin disebabkan karena belum
banyak yang mengenal dan mengetahui potensi kacang bambara sebagai komoditas
pertanian. Kacang bambara segar mempunyai harga yang cukup mahal yaitu
berkisar Rp 20.000/kg, sehingga layak diperhitungakan sebagai komoditas yang
ekonomis.

Tabel 30 Luas wilayah potensial dengan klasifikasi sangat sesuai dan sesuai untuk
produksi benih dan pengembangan kacang bambara di Pulau Jawa
Sangat sesuai (S2) Sesuai (S1) Total luas potensial Total luas wilayah
Propinsi
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha)
Banten 5 475.94 0.61 519 640.74 57.56 525 116.68 58.17 902 764.67
DKI Jakarta 0 0 5 100.01 7.99 5 100.01 7.99 63 801.67
Jawa Barat 214 265.79 5.62 1 846 833.20 48.45 2 061 098.99 54.07 3 812 181.72
Jawa Tengah 251 573.68 7.20 1 734 155.89 49.62 1 985 729.57 56.82 3 494 933.23
Jawa Timur 259 278.04 5.49 2 256 692.68 47.79 2 515 970.72 53.28 4 722 178.39
DI Yogyakarta 15 299.53 4.83 196 249.69 61.99 211 549.22 66.83 316 533.91
Total 745 892.98 5.60 6 558 672.21 49.27 7 304 565.19 54.87 13 312 393.59
Sumber: Hasil analisis (2017)
Asumsi dapat dilanjutkan bahwa wilayah produksi benih kacang bambara dan
pengembangan tidak mengganggu lahan sawah produksi padi di Pulau Jawa, maka
wilayah potensial dihitung kembali dengan mengeluarkan kriteria lahan sawah,
baik tadah hujan maupun irigasi. Perhitungan yang digunakan adalah luas wilayah
potensial dalam peta dikurangi dengan luas lahan sawah setiap propinsi di Pulau
Jawa. Data luas lahan sawah yang digunakan bersumber dari Kementan (2017),
sehingga didapatkan asumsi baru luas wilayah pengembangan dan produksi benih
kacang bambara seperti pada Tabel 31.
Tabel 31 memperlihatkan wilayah yang potensial tanpa mengganggu lahan
sawah untuk padi masih cukup luas untuk produksi benih dan pengembangan
kacang bambara. Potensi ini merupakan potensi teoritis, ditinjau dari kesesuaian
lahan dan beberapa faktor lain yang dipertimbangkan dalam percobaan ini.
65

Implementasi yang lebih rinci memerlukan pertimbangan-pertimbangan lain,


termasuk kebutuhan untuk penggunaan lahan selain pertanian, serta faktor teknis
lainnya. Namun demikian, setidaknya peta kesesuaian lahan yang dihasilkan dapat
mengindikasikan potensi lahan yang dapat digunakan. Selain itu, implementasi
tentu juga memerlukan perencanaan secara lebih rinci pada skala yang lebih rinci
pula.
Tabel 31 Luas wilayah potensial produksi benih dan pengembangan kacang
bambara dikurangi lahan sawah di Pulau Jawa
Wilayah potensial Lahan sawah Total wilyah
Propinsi
(ha) (ha) (ha)
Banten 525 116.67 200 480 324 636.67
DKI Jakarta 5 100.01 778 4 322.01
Jawa Barat 2 061 098.99 924 307 113 6791.99
Jawa Tengah 1 985 729.57 966 647 1 019 082.57
Jawa Timur 2 515 970.72 1 101 765 1 414 205.72
DI Yogyakarta 211 549.22 54 417 157 132.22
Total 7 304 565.19 3 248 394 4056171.19
Sumber: Hasil analisis (2017)

5.4 Simpulan

1. Daerah aktual budidaya kacang bambara yang didapatkan berdasarkan survei


yaitu Bogor, Sukabumi, Bandung Barat, Garut, Sumedang, Tasikmalaya,
Majalengka, Cirebon, Kuningan, Ciamis Gresik, Lamongan, Bojonegoro,
Banyuwangi, Bangkalan, dan Sumenep valid dengan hasil peta kesesuaian
lahan kacang bambara di Pulau Jawa yang dibuat berdasarkan syarat tumbuh.
Daerah-daerah tersebut mempunyai kategori sangat sesuai (S2) dan sesuai
(S1), terutama Bojonegoro, Lamongan, Gresik dan Bangkalan seluruh wilayah
merupakan daerah yang sesuai dengan syarat tumbuh optimum kacang
bambara.
2. Luas wilayah potensial untuk pengembangan kacang bambara di Pulau Jawa
adalah di propinsi Banten seluas 324 636.68 ha, DKI Jakarta seluas 4 322.01
ha, Jawa Barat seluas 1 136 791.99 ha, Jawa Tengah seluas 1 019 082.57 ha,
DI Jawa Timur seluas 1 414 205.72 ha dan Yogyakarta seluas 157 132.22 ha.

5.5 Saran

Pembuatan peta kesesuaian lahan untuk produksi benih dan pengembangan


kacang bambara perlu dilengkapi dengan memasukkan data produktivitas agar bisa
diketahui daerah yang merupakan daerah yang sangat potensial sebagai daerah
produksi benih. Pembuatan peta juga perlu dilengkapi dengan data menggunakan
drone untuk memvalidasi data hasil software ArcMap 10.5, dan memvalidasi
kebenaran lahan yang masuk kategori potensial.
66

6 PEMBAHASAN UMUM

Kacang bambara merupakan tanaman yang berpotensi dikembangkan


karena merupakan sumber pangan yang mempunyai kandungan gizi lengkap,
mampu tumbuh dan berproduksi di lahan marjinal, namun produktivitasnya masih
rendah. Produktivitas yang rendah antara lain disebabkan ketersediaan dan mutu
benih yang digunakan masih rendah. Benih kacang bambara yang bervigor akan
dapat dihasilkan melalui produksi benih dengan teknik produksi yang tepat. Benih
kacang bambara yang digunakan dalam budidaya kacang bambara adalah benih
hasil pertanaman petani untuk konsumsi, bukan khusus ditujukan untuk
menghasilkan benih. Benih yang digunakan masih berasal dari lanras karena belum
ada varietas hasil pemuliaan yang dilepas sebagai benih unggul. Pengembangan
tanaman kacang bambara di Indonesia dapat dimulai dengan optimasi produksi
benih termasuk penyimpanan serta menentukan lahan yang sesuai untuk produksi
benih kacang bambara. Percobaan untuk meningkatkan produksi benih kacang
bambara telah dilakukan dengan tahapan percobaan meliputi (1) pola pertumbuhan
berbasis bobot kering, (2) peningkatan produksi benih melalui invigorasi dan jarak
tanam, (3) pola deteriorasi benih pada penyimpanan terbuka dan (4) pemetaan
kesesuaian lahan untuk produksi benih kacang bambara.
Produksi benih kacang bambara sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor genetik dan faktor lingkungan, sampai saat ini kacang bambara yang
digunakan masih berupa lanras yang secara genetik belum stabil dan memiliki
keragaman yang tinggi. Tanaman kacang bambara memiliki tiga bentuk kanopi
yaitu tipe menyebar (spreading), semi kompak (semi bunch) dan kompak (bunch).
Empat lanras kacang bambara yang digunakan dalam percobaan ini mempunyai
tipe kanopi yang berbeda yaitu lanras Sumedang dan Tasikmalaya mempunyai tipe
kanopi menyebar, lanras Sukabumi mempunyai tipe kanopi semi dan lanras Gresik
tipe kanopi kompak. Pengaturan jarak tanam yang optimum sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman, hal ini terkait dengan banyaknya sinar
matahari yang diterima, sistem perakaran, jumlah unsur hara dan air yang diserap
dari dalam tanah, sehingga akan berpengaruh terhadap luas daun dan bobot kering
tanaman. Hasil percobaan 1 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan berbasis bobot
kering akar, batang, daun dan polong pada tiga jarak tanam yang berbeda terhadap
empat lanras yang digunakan mempunyai pola yang sama yaitu menggunakan pola
persamaan sigmoid. Pola yang dihasilkan pada percobaan 1 memperlihatkan bahwa
jarak tanam yang paling lebar (60 cm x 25 cm) adalah jarak tanam yang optimum
untuk empat lanras kacang bambara dengan tipe kanopi yang berbeda. Tidak ada
perbedaan pola pertumbuhan pada fase vegetatif pada lanras Sumedang dan
Tasikmalaya yang mempunyai tipe kanopi yang sama, meskipun berbeda pada fase
generatif. Pada fase generatif lanras Sumedang mempunyai garis pola
pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan lanras Tasikmalaya terlihat dari garis
pola bobot kering polong yang rendah.
Akumulasi bobot kering tanaman merupakan indikator ukuran pertumbuhan,
yang menunjukkan kemampuan tanaman mengikat energi matahari melalui proses
fotosintesis yang dipengaruhi faktor lingkungan. Pola pertumbuhan pada beberapa
jarak tanam dapat digunakan untuk menduga jarak tanam mana yang menghasilkan
pola pertumbuhan akar, batang, daun dan polong yang paling tinggi dalam produksi
67

benih. Lanras Sumedang mempunyai pola pertumbuhan akar, batang dan daun
yang paling tinggi dibandingkan ketiga lanras lainnya, tetapi mempunyai pola
pertumbuhan polong paling rendah. Hal ini menunjukkan lanras Sumedang
mempunyai pola pertumbuhan vegetatif yang tinggi, namun tidak efektif dalam
penggunaan hasil fotosintesis menjadi polong yang merupakan komponen hasil.
Hal ini diduga hasil fotosintesis lebih banyak digunakan pada fase vegetatif, dan
tidak maksimal digunakan dalam pembentukan polong. Partisi ke organ vegetatif
terus berlangsung meskipun seharusnya tanaman sudah memasuki fase pengisian
polong. Menurut Brink (1999), kacang bambara merupakan tanaman indeterminit,
pembentukan daun masih terjadi meskipun sudah memasuki fase pembentukan
bunga. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan intervensi manusia misalnya
dengan pemberian zat pengatur tumbuh ataupun perlakuan cekaman lingkungan,
apabila belum dilakukan perbaikan secara genetik melalui pemuliaan. Hal ini
bertujuan lanras Sumedang dapat mengalihkan fase vegetatif ke fase generatif
untuk menghasilkan biji polong. Penuaan atau senescence pada daun dapat
dipercepat atau diperlambat dengan memberikan ZPT, seperti sitokinin dan etilen
yang akan menyebabkan gugurnya daun (Schippers et al. 2007). Menurut Matos
et al. (2012), penuaan daun akan menyebabkan penurunan aktivitas fotosintesis,
kandungan klorofil, aktivitas nitrat reductase, pertumbuhan vegetatif dan
kandungan nitrogen.
Lanras Gresik mempunyai pola pertumbuhan akar, batang dan daun yang
lebih rendah, tetapi mempunyai pola pertumbuhan polong yang paling tinggi,
artinya lanras Gresik menghasilkan polong paling banyak. Selain kemampuan
produksi biologis yang ditunjukkan dengan bobot kering, produktivitas tanaman
juga ditentukan oleh kemampuan dalam menghasilkan produk utama, yaitu polong
atau benih pada kacang bambara. Kemampuan tersebut dinyatakan dalam indeks
panen (Mastur 2015). Menurut Bellaloui dan Gillen (2010), mekanisme
pengendalian partisi asimilat menjadi biji melalui batang utama belum diketahui
secara pasti, laju partisi protein, minyak dan asam lemak ke biji dipengaruhi oleh
posisi buku pada batang utama, kultivar atau varietas, serta status N dan S pada biji.
Upaya untuk meningkatkan produksi benih dapat dilakukan dengan invigorasi dan
pengaturan jarak tanam yang optimum. Invigorasi atau perlakuan benih sebelum
tanam diperlukan agar benih yang ditanam segera dapat segera berkecambah, untuk
menghindari benih dari stress lingkungan. Menurut Khan (1992) terdapat beberapa
metode invigorasi yaitu, priming/liquid priming/osmopriming/osmoconditioning
dan solidmatrix priming/matriconditioning.
Hasil percobaan 2 menunjukkan bahwa invigorasi meningkatkan persentase
daya tumbuh benih jika dibandingkan dengan benih yang tidak diberi perlakuan
invigorasi (I0) pada keempat lanras kacang bambara. Benih kacang bambara
mempunyai kulit yang keras dan impermeable yang menyebabkan air sulit masuk
ke dalam benih (Berchie et al. 2010), sehingga seringkali membuat benih kacang
bambara berkecambah lebih lama dan tidak seragam (Sesay dan Yarmah 1996,
Sinefu et al. 2011). Kedua perlakuan invigorasi matriconditioning + Rhizobium sp
(I1) maupun hydropriming (I2) memiliki efektivitas yang sama dalam
meningkatkan daya berkecambah benih kacang bambara. Invigorasi dapat
meningkatkan perkecambahan benih pada kacang bambara dengan pemanfaatan
cadangan makanan pada awal pembentukan tanaman (Modi 2013).
68

Hasil percobaan 2 menunjukkan invigorasi (I1 dan I2) memberikan pengaruh


pada pertumbuhan vegetatif kacang bambara, hal ini disebabkan benih yang
diinvigorasi akan berkecambah lebih cepat dan seragam sehingga menunjukkan
pertumbuhan vegetatif yang lebih baik. Menurut Berchie et al. (2010), invigorasi
bukan hanya mempercepat benih untuk berkecambah, tetapi juga meningkatkan
pertumbuhan vegetatif yang mempunyai implikasi positif bagi tanaman dalam
pemanfaatan cahaya, nutrisi, air, pengendalian gulma dan meningkatkan hasil pada
tanaman kacang bambara.
Jarak tanam yang lebar 50 cm x 10 cm (P2) dan 60 cm x 25 cm (P3)
berpengaruh dalam pertumbuhan vegetatif terutama pada lanras Sumedang dan
Tasikmalaya yang memiliki tipe kanopi menyebar. Jarak tanam yang cukup lebar
(P2 dan P3) menghasilkan bobot kering polong yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm (P1) untuk empat lanras yang digunakan,
meskipun memiliki tipe kanopi yang berbeda. Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian Rahmawati et al. (2016) yang menyatakan jarak tanam 60 cm x 25 cm
pada kacang bambara menghasilkan bobot kering polong yang lebih besar
dibandingkan dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm dan 60 cm x 60 cm. Jarak tanam
yang sesuai akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil,
karena tanaman mendapatkan unsur hara, cahaya matahari dan air yang juga
mendukung proses fotosintesis berupa polong. Menurut Wibowo (2008),
pengelolaan, genotipe, dan lingkungan mempengaruhi hasil panen. Kemampuan
tanaman untuk mengekspresikan potensi genetik sangat dipengaruhi lingkungan
tempat tumbuh. Pengaturan jarak tanam dan kemampuan mengelola tanaman
dalam menyediakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan agar tercapai hasil
panen yang maksimal merupakan salah satu faktor yang penting untuk dilakukan.
Peningkatan produksi benih melalui invigorasi dan pengaturan jarak tanam
bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tetapi juga untuk menghasilkan
benih yang bermutu. Pertumbuhan tanaman yang optimum pada produksi benih
diharapkan dapat menghasilkan benih dengan vigor maksimum. Vigor maksimum
dapat diidentifikasi melalui vigor awal benih maksimum, yang berkorelasi positif
dengan daya simpan benih serta berkorelasi negatif terhadap laju deteriorasi benih.
Menurut Justice dan Bass (2002), faktor internal yang berpengaruh pada deteriorasi
benih adalah viabilitas awal benih, kadar air benih dan faktor genetik (seperti
varietas, ukuran benih, permeabilitas testa, komposisi kimia benih), sedangkan
faktor eksternal meliputi lingkungan fisik (suhu, kelembaban nisbi udara, atmosfer)
maupun biotik (virus, cendawan, bakteri dan hama). Daya simpan adalah parameter
viabilitas benih dalam satuan waktu untuk satu periode simpan, sehingga daya
simpan benih berperan penting dalam penyimpanan benih (Sadjad 1994).
Daya simpan benih sangat erat hubungannya dengan kemampuan benih
mempertahankan viabilitasnya selama penyimpanan. Viabilitas benih yang rendah
selama penyimpanan menunjukkan bahwa benih telah mengalami kemunduran atau
deteriorasi. Deteriorasi benih selama penyimpanan akan dipengaruhi oleh vigor
awal benih sebelum simpan dan lingkungan simpan terutama lingkungan abiotik
berupa suhu dan RH ruang simpan. Metode penyimpanan sistem terbuka
menyebabkan suhu dan RH kamar yang mempengaruhi deteriorasi benih dalam
penyimpanan. Pengaruh suhu dan RH kamar terutama terhadap perubahan kadar
air benih, karena akan selalu berusaha untuk mencapai kadar air kesetimbangan.
Suhu dan RH mempengaruhi kadar air melalui proses kesetimbangan kadar air
69

ruang simpan terhadap kadar air benih, sehingga tingkat permeabilitas kemasan
benih menjadi faktor penting dalam proses tersebut.
Hasil dari percobaan 3 menunjukkan bahwa pola deteriorasi benih yang
disimpan menggunakan kemasan dengan permeabilitas yang berbeda pada sistem
penyimpanan terbuka selama 6 bulan dapat didekati dengan pola persamaan
sigmoid. Berdasarkan pola deteriorasi yang dihasilkan, lanras Gresik yang
disimpan menggunakan kemasan dengan permeabilitas yang rendah mempunyai
pola deteriorasi yang lebih lambat, baik pada peubah daya berkecambah (DB)
maupun daya hantar listrik (DHL), sehingga lanras Gresik memiliki daya simpan
yang lebih lama dibandingkan dengan lanras lainnya. Sebaliknya lanras Sumedang
yang disimpan pada kemasan dengan permeabilitas yang tinggi mempunyai pola
deteriorasi yang cepat untuk peubah DB dan DHL, hal ini menunjukkan lanras
Sumedang mempunyai periode simpan yang lebih pendek. Menurut Matthews dan
Powell (2006) menurunnya kualitas membran benih ditunjukkan dengan nilai DHL
yang tinggi yang mengindikasikan bahwa benih mengalami kebocoran. Kemasan
yang tidak dapat melindungi benih dari penyerapan uap air selama penyimpanan
akan meningkatkan proses kemunduran benih (Destiana et al. 2016). Permeabilitas
kemasan akan mengontrol laju aliran air antara ruang simpan terhadap ruang dalam
kemasan diluar benih. Beberapa kemasan diantaranya alumunium foil dan PP yang
mempunyai permeabilitas yang rendah seperti menjadi penghambat yang baik
terhadap masuknya cahaya dan oksigen (Brown dan Williams 2003).
Setiap lanras kacang bambara mempunyai pola deteriorasi dan daya simpan
yag berbeda meskipun disimpan menggunakan kemasan yang permeabilitasnya
sama, hal ini diduga disebabkan adanya perbedaan ukuran, warna, ketebalan dan
permeabilitas kulit benih, selain dipengaruhi oleh vigor awal. Permeabilitas kulit
benih dipengaruhi oleh ketebalan dan struktur kulit benih, tetapi tidak selalu kulit
yang tebal akan memiliki permeabilitas yang rendah. Benih lanras Gresik memiliki
epidermis dan hipodermis kulit benih termasuk jaringan palisade yang paling tebal,
diikuti lanras Sukabumi, Tasikmalaya dan terakhir lanras Sumedang. Permeabilitas
kulit benih akan mengontrol laju aliran air antara ruang dalam kemasan terhadap
benih. Permeabilitas kulit benih dipengaruhi oleh ketebalan dan struktur kulit benih
serta komposisi kimia benih. Benih yang memiliki kulit yang lebih tebal lebih tahan
disimpan, karena kulit benih yang tebal dan impermeabel mampu menahan laju
imbibisi air ke dalam benih yang akan mengaktifkan metabolisme dalam benih.
Kulit benih kedelai yang berperan dalam imbibisi air kedalam benih hanya lapisan
epidermis dan hipodermis. Lapisan epidermis terluar benih yang menjadi penentu
masuknya air, mengandung lignin, dan tersusun atas lapisan palisade yang
berfungsi mengatur imbibisi air. Semakin tebal kulit benih semakin lama waktu
yang dibutuhkan air mengisi rongga dalam lapisan kulit (Krisnawati dan Adie
2008). Permeabilitas kemasan dipengaruhi oleh jenis kemasan. Masuknya air ke
dalam benih akan mengaktivasi enzim menyebabkan aktivitas respirasi meningkat,
pembongkaran cadangan meningkat yang akan menyebabkan benih mengalami
deteriorasi. Laju aliran air dipengaruhi oleh kondisi kelembaban udara dalam ruang
simpan, permeabilitas kemasan, permeabilitas kulit benih serta kondisi air dalam
benih.
Peta yang dihasilkan dari percobaan 4 adalah peta kesesuaian lahan dan
wilayah potensial di Pulau Jawa, karena berdasarkan survey yang dilakukan,
budidaya kacang bambara hanya dilakukan di daerah di Pulau Jawa. Lanras
70

merupakan tanaman yang secara tradisi dibudidayakan petani di daerah tertentu


(Jusuf 2008), sehingga lanras yang dibudidayakan dan berkembang disuatu daerah
memang sudah memiliki kesesuaian syarat tumbuh untuk berproduksi di daerah
tersebut. Pengembangan produksi benih kacang bambara, selain diperlukan teknik
budidaya dan pengelolaan yang optimum juga diperlukan wilayah pengembangan
yang sesuai. Kesesuaian mencakup kesesuaian agroklimat maupun tanah yang
mendukung pertumbuhan maksimum untuk menghasilkan produksi khususnya
produksi benih kacang bambara. Produksi benih kacang bambara memerlukan
lingkungan optimum antara lain suhu berkisar 19 oC-28 oC, curah hujan 900-1000
mm per tahun, pH 5.0-6.5, ketinggian tempat hingga 1 520 mdpl dan tekstur tanah
ringan/sandy loam (Linneman and Azam Ali 1993, Mkandawire 2007, FAO 2011,
Ditjen TP 2013, Adzwala et al. 2016, DAFF 2016). Peta kesesuaian dibangun
dengan input data dari Citra Landsat 8 ETM+, peta jenis tanah, data curah hujan
tahunan rata-rata, peta rupa bumi (RBI skala 1: 25 000) dan peta penutupan lahan
di Pulau Jawa.
Sebagian besar daerah di Pulau Jawa memiliki kesesuaian lahan untuk
pengembangan kacang bambara, namun untuk mendapatkan produksi benih kacang
bambara yang optimum, dapat dilakukan dengan menggunakan lanras yang telah
dibudidayakan dan berkembang di daerah budidaya seperti hasil survei. Produksi
benih yang dilakukan di daerah yang merupakan asal dari masing masing lanras
seperti, lanras Sukabumi di daerah Sukabumi, lanras Tasikmalaya yang
berkembang di daerah Tasikmalaya, lanras Gresik di daerah Gresik, diharapkan
produksi benih dapat optimal. Pengembangan produksi konsumsi kacang bambara
dapat dilakukan didaerah asal lanras maupun di daerah lain yang mempunyai
kriteria agroklimat dan tanah yang mirip dengan daerah tempat asal lanras, karena
dari hasil beberapa percobaan yang dilakukan, lanras Sumedang yang ditanam di
Bogor tidak memberikan hasil sebaik jika ditanam di daerah Sumedang, hal ini
mungkin disebabkan beberapa perbedaan agroklimat dan tanah antara daerah
Sumedang dan Bogor.
Hasil percobaan 1, 2 dan 3 menunjukkan lanras Gresik sebagai lanras yang
cukup konsisten dalam merespon perlakuan baik dalam percobaan pola
pertumbuhan, produksi benih di lapangan maupun pola deteriorasi, sehingga lanras
Gresik merupakan lanras yang sudah cukup stabil dan sangat berpotensi untuk
dikembangkan dalam produksi benih. Benih yang diproduksi di Gresik dapat
didistribusikan ke daerah lain untuk dibudidayakan dengan menerapkan
penyimpanan dan pengemasan sesuai hasil dalam percobaan ini untuk menjamin
mutu benih kacang bambara.
71

7 KESIMPULAN UMUM

1. Pola umum pertumbuhan kacang bambara lanras Sumedang, Gresik,


Sukabumi, dan Tasikmalaya adalah regresi non linier berbentuk sigmoid
dengan model persamaan : y = a / (1 +exp (b*ln(x/c)) dengan a, b, dan c merupakan
konstanta yang berbeda pada setiap lanras dan jarak tanam.
2. Jarak tanam optimum yaitu 60 cm x 25 cm didapatkan dari pola pertumbuhan
berdasarkan bobot kering akar, batang, daun dan polong. Lanras Gresik
merupakan lanras yang paling efektif dalam pertumbuhan untuk menghasilkan
polong yang paling banyak.
3. Invigorasi dalam produksi benih mampu meningkatkan daya tumbuh empat
lanras kacang bambara, namun tidak meningkatkan tinggi tanaman pada semua
lanras, sedangkan jarak tanam 40 cm x 10 cm dapat meningkatkan tinggi
tanaman untuk lanras Sumedang, Sukabumi dan Tasikmalaya. Perlakuan
hydropriming mampu meningkatkan diameter kanopi lanras Sumedang dan
Tasikmalaya dan jarak tanam 60 cm x 25 cm meningkatkan diameter kanopi
pada semua lanras.
4. Benih tanpa invigorasi pada jarak tanam 50 cm x 20 cm menghasilkan bobot
kering per petak tertinggi pada lanras Sumedang. Hydropriming pada jarak
tanam 60 cm x 25 cm menghasilkan bobot kering polong per tanaman tertinggi
pada lanras Sukabumi dan Gresik. Benih tanpa invigorasi pada jarak tanam
60 cm x 25 cm menghasil bobot kering polong per petak tertinggi pada lanras
Gresik.
5. Pola umum deteriorasi benih kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi,
Gresik, dan Tasikmalaya adalah regresi non linier berbentuk sigmoid dengan
model persamaan: y = a / (1 +exp ((x + b)/c)) dengan a, b, dan c merupakan
konstanta yang berbeda pada setiap lanras dan permebilitas kemasan.
6. Lanras Sumedang yang disimpan dalam kemasan dengan nilai permeabilitas
yang tinggi memiliki daya simpan yang pendek berdasarkan peubah daya
berkecambah dan daya hantar listrik. Lanras Gresik yang disimpan dalam
kemasan dengan permeabilitas yang rendah memiliki daya simpan yang
panjang berdasarkan peubah daya berkecambah dan daya hantar listrik.
Lanras Sukabumi dan Tasikmalaya yang disimpan dalam kemasan dengan
permeabilitas yang rendah mempunyai daya simpan yang cukup panjang
berdasarkan peubah daya berkecambah.
7. Sebagian besar daerah di Pulau Jawa mempunyai lahan dengan kategori yang
sesuai dengan syarat tumbuh kacang bambara serta potensial untuk produksi
benih dan pengembangan tanaman kacang bambara sesuai dengan peta
penutupan lahan serta luas lahan sawah di Pulau Jawa.
8. Peta kesesuaian lahan tanaman kacang bambara dapat digunakan sebagai
rekomendasi awal bagi pemangku kebijakan untuk produksi benih dan
pengembangan kacang bambara di Indonesia khususnya di Pulau Jawa.
72

DAFTAR PUSTAKA

Ali A, Ayuba SA, Achor OI. 2014. Effect of bambara groundnut (Voandzecia
subterranea (L) Verde) biomass on the growth and yield of maize (Zea mays)
in the sub-humid southern guinea savanna of nigeria. International J of
Innovative Research & Development. 3(3).
Adzwala W, Donkah SA, Nyarko G, Re’illy OP, Olayide OE, Awai PE. 2015.
Technical efficiency of bambara groundnut production in Nothern Ghana.
UDS International J of Development. 2(2):37–39.
Adzwala W, Samuel D, George N, Patrick JOR, Olawale OT, Mayes S, Felman
A, Azman HR. 2016. Adoption of bambara groundnut production and it’s
effect on farmers welfare in Nothern Ghana. African Journal of Agricultural
Research. 101(7):583-594.
Afzal I, Shahzad MAB, Ahmad N, Cheema MA, Warraich EA, Khalid A. 2002.
Effect of priming and growth regulator treatments on emergence and seedling
growth of hybrid maize (Zea mays L). Internat J Agri and Biol 4(2):303-306.
Ahammad KU, Rahman MM, Ali MR. 2014. Effect of hydropriming method on
maize (Zea mays) seedling emergence. Bangladesh J. Agril. Res. 39(1):143-
150
Alhassan GA, Kalu BA, Egbe OM. 2012. Influence of planting densities on the
perfomance of intercropped bambara groundnut with cowpea in Makurdi,
Benue state, Nigeria. International J of Development and Sustainability. 1(3).
Anni AI, Saptaningsih E, Haryanti S. 2013. Pengaruh naungan terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman bawang daun (Allium fistulosum L) di
Bandungan Jawa Tengah. Jurnal Biologi. 2(3):31-40.
Akpalu MM. 2010. Growth, yield and nutritional quality of five bambara groundnut
(Vigna subterrenea (L). Verdc.) landraces to different plant population
densitas [tesis]. Kwame Nkrumah University of Science and Technology.
Kumasi.
Arief R, Koes F. 2010. Invigorasi benih. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai
Penelitian Tanaman Serealia.
Arpah M. 2007. Penetapan Kadaluwarsa Pangan. Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pangan Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Astawan M. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta:
Penebar Swadaya
Bamshaiye OM, Adegbola JA and Bamishaiye EI. 2011. Bambara groundnut: an
under-utilized nut in Africa. Advances in Agricultural Biotechnology 1:60-
72
Bellaloui N, Gillen AM. 2010. Soybean seed protein, oil, fatty acids, N, S,
partitioning as affected by node position and cultivar differences.
Agricultural Sciences. (1):110-118.
Berchie JN, Adu D, Sarkodie AH, Asare J, Agyemang E, Addy AS, Donkoh J.
2010. Effect of seed priming on seedling emergence and establishment of four
bambara groundnut (Vigna subterrenea (L). Verdc.) Landraces. J of
Agronomy. 9:180-183.
73

[BIG]. Badan Informasi Geospasial. 2017. Peta Rupa Bumi. [internet]. [diacu
2017 April]. Tersedia dari: http://www.tanahair.indonesia.go.id
Biodiversity International. 2015. Nutritious underutilized species.
http://biodiversityinternational.org/uploads/tx_news/Nutritious_underutilize
d_species_Bambara_groundnut_1683_01.pdf
Burkhart HE. 2003. Suggestion for choosing an appropriate level for modelling
forest stand. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest
System. CABI Publishing.
Brink M. 1999. Development, growth and dry matter partitioning in bambara
groundnut (Vigna subterranea) as influenced by photoperiod and shading. J
of Agricultural SciCambridge. 133:159-166
Brown H, William J. 2003. Packaged Product Quality and Shelflife. Food Packing
Technology. Coles R, Mc Doweel D, Kirwan MJ (editor). Blackwell
Publishing Ltd. USA. 77-81.
Carvalho LF, Sediyama CS, Reis MS, Dias DCFS, Moreira MA. 2009. Influence
of soaking temperature of soybean seeds in the electrical conductivity test to
evaluate physiological quality. Revista Brasileira de Sementes. 31: 9-17.
Copeland LO and McDonald. 2001. Principles of Seed Science and Technology.
Edisi ke 4. New York: Chapman & Hall.
[DAFF] Departement Agriculture, Foresting and Fisheries Republic of South
Africa. 2016. Production guidelines for bambara groundnuts. Directorate
Plant Production.
Destiana ID, Darmawati E, Nugroho LDE. 2016. Pengaruh beberapa kemasan
plastik terhadap kualitas benih kedelai selama penyimpanan. Jurnal
Keteknikan Pertanian. 4(1):45-52.
[DITJEN TP] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Bahan Sosialisasi
Pengembangan Budidaya Kacang Lain. Jakarta.
Eldandaly K, Eldin N, Sui D. 2003. A com-based spatial decision support system
for industrial site selection. Inter J Geographic Information Sci. 7(2):72-92.
El Naim AM, Eldouma MA, Abdalla AE. 2010. Effect of weeding frequencies
and plant population on vegetative growth characteristic in groundnut
(Arachis hypogea L.) in North Kordofan of Sudan. Int.J.Appl.Biol.
Pharmaceut.Technol. 1(3):1188-1193.
[FAO] Food Agricultural Organization. 2011. Data sheet Vigna subterranea.
Ecocrop.
Fitriesa S, Ilyas S, Qadir A. 2016. Invigorasi dan pengurangan pupuk N untuk
meningkatkan pertumbuhan, hasil dan mutu benih kacang bambara. J. Agron.
Ind. 44(2):190-196.
Fourcaud T, X Zhang, Stokes A, Lambers H, Komer C. 2008. Plant growth
modelling and application: The increasing importance of plant architecture in
growth models. Ann.Bot. 101:1053-1063.
Gozali AR. 2017. Pembuatan keju lunak berbahan dasar kacang bogor (Vigna
subterranea) dengan Lactobacillus acidophillus dan enzim Rennet [skripsi].
Surabaya (ID):Universitas Surabaya.
Hamakareem HK, Hamahasan BM, Salih Ali SH. 2016. Influence of plant spacing
on the growth and yield of groundnut (Arachis hypogea L).
Int.J.Curr.Res.Biosci.Plan.Biol. 3(10):7-12.
74

Hardjowigeno S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo.


Jakarta
Harnowo D. 2008. Effect of time of harvest and seed size on seed quality of
soybean. Seed Sci. and Technol. 5:334–350
Hasbianto A. 2012. Pemodelan penyimpanan benih kedelai pada sistem
penyimpanan terbuka [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hidayah T. 2005. Pengaruh suhu proses ekstrusi dan campuran ubi jalar merah
dengan kacang bogor terhadap beberapa karakteristik fisik ekstrudat. Jurnal
Teknologi Pertanian. 6(2):121–130.
Hidayat N. 2008. Pertumbuhan dan produksi kacang tanah (Arachis hypogae L.)
varietas lokal madura pada berbagai jarak tanam dan pupuk fosfor. Agrovivor.
1(1) : 55-63.
Ilyas S. 2006. Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed
quality. Bul.Agron. 34(2):124-132.
Ilyas S. 2012. Ilmu dan Teknologi Benih: Teori dan hasil-hasil penelitian. Bogor
(ID): IPB Press.
Ilyas S dan Sopian O. 2013. Effect of seed maturity and invigoration on seed
viability and vigor, plant growth, and yield of bambara groundnut (Vigna
subterranean (L) Verdc). J Acta Hort. 979:695-701.
[ISTA] International Seed Testing Association. 2014. International Rules for Seed
Testing. Zurich (CH):International Seed Testing Association.
Justice O, Bass LN. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Roesli R,
penerjemah. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Terjemahan dari:
Principles and Practices of Seed Storage.
Jusuf M. 2008. Metode ekplorasi, inventarisasi, evaluasi dan konservasi plasma
nutfah. http://anekaplanta.wordpress.com [Diakses 21 Oktober 2018].
Juwita L. 2012. Pembentukan populasi dasar untuk perbaikan produksi kacang
Bogor (Vigna subterranea L. Verdcourt) asal Darmaga, Sukabumi dan
Parung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2017. Statistik Lahan Pertanian Tahun 2012-
2016. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian.
Khan AA. 1992. Preplant physiological seed conditioning. Hort. Reviews. 13:131-
181.
Krisnawati A, Adie MM. 2008. Ragam karakter morfologi kulit biji beberapa
genotipe plasma nutfah kedelai. Buletin Plasma Nutfah. 14(1):14-18.
Kustamar. 2009. Analisa potensi lahan untuk komoditas tanaman kedelai di
kabupaten Situbondo. Journal Spectra. 14(VII):61-71.
Kuswanto, Waluyo B, Pramantasari RA, Canda S. 2012. Collection and evaluation
on local lines of kacang bogor (Vigna subterranean) (Koleksi dan evaluasi
galur-galur lokal kacang bogor (Vigna subterranea)). Malang (ID): Faculty
of Agriculture, University of Brawijaya.
Linnemann AR dan Azam Ali SN. 1993. Bambara Groundnut (Vigna
subterranea). In Pulses and Vegetables (Ed J.T Williams). London.
Chapman and Hall. Pp 13-58.
Ma F, Cholewa E, Mohamed T, Peterson CA, Gijzen M. 2004. Cracks in the
palisade cuticle of soybean seed with their permeability to water. Annals of
Botany. http://aob.oxfordjournals.org/cgi/content/full/94/2/213.
75

Mabhaudhi T, Modi AT, Beletse YG. 2013. Growth, phenological, and yield
responses of a bambara groundnut accession to imposed water stress: II. Rain
shelter conditions. Water SA. 39:191-198.
Makaborang M, Goenadi S, Hadi P. 2009. Optimasi penggunaan lahan berdasarkan
kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman perkebunan (studi
kasus : kabupaten Sumba Timur provinsi Nusa Tenggara Timur). Agritech.
29(4):188-197.
Marwoto dan Suhartina. 2002. Kacang Bogor: Budidaya, Potensi, dan
Pengembangan 83-92. Dalam: Pengembangan Kacang kacangan Potensial
Mendukung Ketahanan Pangan. Bogor (ID): Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Mastur. 2015. Sinkronisasi source dan sink untuk peningkatan produktivitas biji
pada tanaman jarak pagar. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak
Industri. 7 (1):52-68.
Mas’udah S. 2008. Pengaruh paclobutrazol terhadap kapasitas source-sink pada
delapan varietas kacang tanah (Arachis hypogea L.) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Massawe FJ, Mwale SS, Azam-Ali SN, Roberts JA. 2005. Breeding in bambara
groundnut (Vigna subterranea (L.) Verdc.): strategic considerations. African
J of Biotech. 4:463-471.
Mathieu A, Cournede PH, Letort V, Barthelemy D and de Reffye P. 2009. A
dynamic model of plant growth with interaction between development and
functional mechanism to study plant structural plasticity related to tropic
competition. Annals of Botany 103:1173-1186.
Matos FS, de Oliveria LD, de Freitas RG, Evaristo AB, Missio RF, Cano MAO,
Dias LAS. 2012. Physiological characterization of laef senescence of
Jatropha curcas L. Populations, Biomass and Bioenergi. 45:57-64.
Matthews S and Powell A. 2006. Electrical conductivity test: physiological basis
and use. ISTA News Buletin. (131):32-35. http://www.seedtest.org.
Mayadewi NNA. 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap
pertumbuhan gulma dan hasil jagung manis. Agritrop. 26(4):153-159.
Mazahib AM, Nuha MO, Salawa IS, Babiker EE. 2013. Some nutritional attributes
of bambara groundnut as influenced by domestic processing. Internat Food
Res J. (20):1165-1171.
Mkandawire FL, Sibuga KP. 2002. Yield response of bambara groundnut to plant
population and seedbed type. African Crop Sci J. 10:39-49.
Mkandawire CH. 2007. Review ofbambara groundnut (Vigna subterranea (L)
Verdcourt) production in sub-sahara africa. Agricultural J. 2(4):464-470.
Miao ZH, Fortune JA, Gallaghar J. 2001. Anatomical structure and nutritive value
of lupin seed coats. Aust J AgricRes. 52:985-993.
Modi AT. 2013. Pre-germination hydration affects seed performance in bambara
groundnut. Sci.Res.Essays 8(21):940-945.
Murungu FS, Chiduza C, Nyamugafata P, ClarkL J, Whalley WR, and Finch
Savage WE. 2004. Effects of ‘on-farm seed priming’ on consecutive daily
sowing occasions on the mergence and growth of maize in semi-arid
Zimbabwe. Field Crops Res. 89:49–57.
76

Muslikhah. 2014. Perbandingan model pertumbuhan Bridges dan Richards untuk


menjelaskan pola pertumbuhan tanaman kacang hijau (Vigna radiata L).
Jurnal mahasiswa statistic 2(4) : 301-304.
Nti CA. 2004. New Recipes for Enhanced Bambara Utilization in Ghana.
Department of Home Science, University of Ghana, Legon.
Nurmauli N, Nurmiaty Y. 2010. Pengaruh hidrasi dehidrasi dan dosis NPK pada
viabilitas benih kedelai. J. Agritropika.15(1):1-8.
Oosterhuis D, Kerby T, Hake K. 1990. Leaf physiology and management.
Physiology Today. Newsletter of Cotton Physiology Education Program,
National Cotton Council Technical Service. 6 p.
Pillay D. 2003. Physiological and biochemical characterisation of four African
varieties of bambara groundnut (Vigna subterranea (L.) Verdc.). Swedia:
Uppsala Universitet.
[PB Depdiknas] Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Ed ke-4. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Pahane MM, Tatsadjieu LN, Bernard C, Njintang YN. 2017. Production, nutritional
and biological value of bambara groundnut (Vigna subterranea) milk and
yoghurt. Journal of Food Measurement and Characterization. 11(4): 1613–
1622.
Putro JS. 2012. Optimasi proses penggorengan hampa dan penyimpanan keripik
ikan pepetek (Leiognathus sp.). J. Keteknikan Pertanian. 26(1):25-32.
Rachmat R, Lubis S. 2008. Pengaruh kemasan terhadap kualitas gabah selama
penyimpanan sistem hermetik. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian hlm:
498-507. Bogor (ID): BB Pascapanen.
Radonsa PJ, Koprivica MJ, Lavadinovic VS. 2003. Modelling current annual
height increment of young Douglas-fir stands at different site. In Amaro A,
Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing.
Rahmawati A, Purnawati H dan Kusumo YWE. 2016. Pertumbuhan dan produksi
kacang bogor (Vigna subterranea (L) Verdcourt) pada beberapa jarak tanam
dan frekuensi pembumbunan. Bul. Agrohorti 4 (3): 302-311.
Rasyid H. 2012. Model pendugaan daya simpan benih kedelai (Glycine max (L)
Merril) biji besar dengan pengusangan cepat sebagai teknologi penentu mutu
benih. Jurnal Gamma. 7(2):34-52.
Redjeki ES. 2003. Pengaruh populasi dan pemupukan NPK terhadap pertumbuhan
dan hasil kacang bogor (Vigna subterranea L). Agrofish. 2(1):72-76.
Redjeki ES. 2007. Pertumbuhan dan hasil tanaman kacang bogor galur Gresik dan
Bogor pada berbagai warna biji. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Penelitian yang dibiayai oleh Hibah Kompetitif; 2007 Agustus 1-2;, Bogor,
Indonesia, hlm 114- 118. Bogor (ID): Departemen Agronomi dan
Hortikultura.
Redjeki ES, Mayes S, Azam-Ali S. 2013. Evaluating the stability and adaptability
of bambara groundnut (Vigna subterranea (L.) Verd.) landraces in different
agro-ecologies. Acta Hort. 979: 389-400.
Ritung S, Hidayat A. 2003. Potensi dan ketersediaan lahan untuk pengembangan
pertanian di propinsi Sumatera Barat. Prosiding Simposium Nasional
Pendayagunaan Tanah Masam, Bandar Lampung 29-30 September 2003,
77

hal. 263-282. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat.
Rukmana O. 2000. Kacang Bogor: Budidaya dan Prospek Usaha Tani. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
Sadjad S. 1994. Kuantifikasi Metabolisma Benih. Jakarta (ID): Grasindo.
Safiatou S. 2012. Effect of different seed priming methods on germination, seedling
establishment and vigour in sorghum (Sorghum bicolor (L) Moench) and
bambara groundnut (Vigna subterranean (L) Verdc) [thesis]. School of
Graduate Studies. Kwame Nkrumah University of Science and Technology.
Kumasi.
Sarawa, Anas AA, Asrida. 2014. Pola distribusi fotosintat pada fase vegetatif
beberapa varietas kedelai pada tanah masam di Sulawesi Tenggara. J
Agroteknos.4(1):26-31.
Sari R, Prayudyaningsih R. 2015. Rhizobium: pemanfaatannya sebagai bakteri
penambat nitrogen. Info Teknis Eboni. 12(1):51-64.
Schippers JHM, Jing HC, Dijkwel PD. 2007. Developmental and hormonal
Control of Leaf Senescense, Senescences Process in Plants. Oxford (UK):
Gan S Blackwell Publishing. p145-170.
Sesay A, Yarmah A. 1996. Field studies on bambara groundnut in Sierra Leone.
Proceeding of the International Bambara Groundnut Symposium. July 23 -
25, University of Nottingham, UK. p 45-60.
Shirtliffel SJ, Johnston AM. 2002. Yield density relationships and optimum plant
population in two cultivars of solid seeded dry bean (Puaseolus vulgaris L.)
grown in Saskatchewan. Canadian J of Plant Sci. 83:521-529.
Sinefu F, Modi AT, Mabhaudhi T. 2011. Seed quality component of bambara
groundnut landrace from Kwazulu-Natal South Africa. African Crop Sci
Conference Proccedings. 10:149-156.
Sitompul SM. 2016. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. UB Press. 406 hal.
Sucahyo D, Sari M, Surahman M, Ilyas S. 2013. Pengaruh perlakuan invigorasi
pada benih kedelai hitam (Glysine soja) terhadap vigor benih, pertumbuhan
tanaman, dan hasil. J. Agron. Indonesia. 41(2):126-132.
Suwanpraset J, Toojinda T, Srivines P, Chanprame S. 2006. Hybridization
technique for bambara groundnut. Breeding Science. (56):125-129.
Tatipata A, Yudono P, Purwantoro A, Mangoendidjojo W. 2004. Kajian aspek
fisiologi dan biokimia deteriorasi benih kedelai dalam penyimpanan. Ilmu
Pertanian. 11(2):76 -87.
Taylor AG, Allen PS, Bennet MA, Bradford KJ, Burris JS, Misra MK. 1998. Seed
enhancements. Seed Sci. Res 8 (2) : 245-256 .
Toure Y, Kone M, Tanoh HK, Kone D. 2012. Agromorphological and phenological
variability of 10 bambara groundnut accessions cultivated in the Ivory Coast.
Tropicultura. 30(4): 216-221.
Trueman S. 2017. Seed priming : Speeding up the germination process.[Internet].
[diunduh 2017 Maret 10]. Tersedia pada: https: //www.thoughtco.com/
seed.priming.speeding-up-the-germination.process_41993.
[USGS]. United States Geological Survey. 2018. Landsat 8 band designation.
[internet]. [diacu 2018 November 20]. Tersedia dari: http://www.usgs.gov
78

Wahyuni A. 2014. Model dinamik daya simpan pada penyimpanan terbuka benih
kedelai [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wahyunto, Hikmatullah, Suryani E, Tafakresnanto C, Ritung S, Mulyani A,
Sukarman, Nugroho K, Sulaeman Y, Apriyana Y, Suciantini, Pramudia A,
Suparto, Subandiono RE, Sutriadi T, Nursyamsi D. 2016. Petunjuk Teknis
Pedoman Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Strategis
Tingkat Semi Detail Skala 1:50.000. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Wain-Tassi AL, Santos JF, Panizzi RJ, Vierira RD. 2012. Seed-borne pathogens
and electrical conductivity of soybean seeds. Sci.Agric. 69 (1): 19-25.
Walters C, Daniel B, Vertucci VA. 2010. Structural mechanics of seed
deterioration: standing the test of time. Plant science.179:565-573.
Wibowo W. 2008. Kajian tingkat populasi dan konsentrasi pupuk daun terhadap
pertumbuhan dan hasil beberapa varietas jagung hibrida Zea mays L[tesis].
Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.
Wicaksana N, Hindun, Waluyo B, Rachmadi M, Karuniawan A, Kurniawan H.
2013. Karakterisasi morfo-agronomis kacang bambara (Vigna subterranea
(L). Verdc.) asal Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional 3 in ONE
Hortikultura, Agronomi, dan Pemuliaan Tanaman; 2013 Agustus 21;
Malang, Indonesia, hlm 349-357. Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Widajati E, Murniati E, Palupi ER, Kartika T, Suhartanto MR, Qadir A. 2013.
Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Bogor (ID): IPB Press.
Wirosoedarmo R, Sutanhaji AT, Kurniati E, Wijayanti R. 2011. Evaluasi
kesesuaian lahan untuk tanaman jagung menggunakan metode analisis
spasial. Agritech. 31(1):71-78.
Wunk A, Andrzej GG, Jan B, Kozak M. 2013. Visualizing harvest index in corps.
Communications in Biometry and Corp Sci. 8(2):48-59.
Yanti D, Arlius F, Nurmansyah W. 2015. Analisis kesesuaian lahan untuk tanaman
perkebunan di kecamatan Bungus Teluk Kabung kota Padang. J Teknologi
Pertanian Andalas.
79

LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis tanah lokasi percobaan desa Kampung Jawa Kecamatan


Dramaga, Kabupaten Bogor
Parameter Metode Satuan Kandungan
Pengujian
pH H2O - 6.42
KCl - 5.51
N total Kjeldahl % 0.15
C organic Walkey and Black % 1.11
P 2 O 5 total Ekstrak HCl 25% mgP 2 O 5 .100g1 28.59
K 2 O total Ekstrak HCl 25% mgK 2 O.100g1 42.33
P 2 O 5 tersedia Olsen ppm 71.20
K2O Olsen ppm 210.96
Keterangan : Hasil Analisis Lab (2015)

Lampiran 2 Data curah hujan bulan November 2015 s/d bulan April 2016
Tanggal Curah hujan (mm)
Nov Des Jan Feb Mar Apr
1 11.8 67.8 0.4 30.7 29.1 3.2
2 24.6 4.5 33.4 2.9 7.9 20.3
3 24.2 - 103.8 33.5 1.6 62.4
4 5.5 14.5 6.5 14.6 TTU 15.8
5 16.8 22.6 0.9 3.6 4.1 8.3
6 1.3 20.3 0.2 14.7 1.3 3.4
7 - 81.5 40.1 1.9 24.4 64.2
8 40.0 9.5 - 1.1 - -
9 155.8 3.2 - 47.7 64.1 1.9
10 21.2 70.8 41.8 8.1 9.0 2.9
11 - 15.9 - 18.7 36.5 0.6
12 47.2 69.7 2.5 2.4 21.9 4.0
13 47.4 7.8 25.1 0.7 3.2 -
14 51.2 0.8 0.8 39.0 73.3 0.5
15 - 0.1 4.4 19.1 52.1 22.7
17 62.4 12.4 - 4.4 - -
18 TTU 4.9 TTU 71.8 1.0 41.5
19 3.9 5.7 34.2 - - 30.9
20 - 12.2 64.8 - TTU 21.2
21 3.4 28.1 6.9 - 6.0 108.9
22 37.6 6.1 TTU 0.2 0.8 31.9
23 36.7 - 2.6 6.1 15.6 -
24 - 6.3 2.4 12.2 4.5 11.9
25 72.6 - 16.1 15.7 12.7 1.0
26 89.4 - 2.8 14.0 43.2 73.7
27 9.6 7.0 - 105.7 - 3.8
28 - 48.0 TTU 102.6 0.3 5.9
29 26.4 21.6 48.0 26.4 8.9
30 15.4 33.0 18.0 0.7 9.6
31 0.7 2.6 TTU
Sumber: BMKG (2016), Keterangan : (-) = tidak ada hujan, TTU = curah hujan tidak terukur
80

Lampiran 3 Suhu harian bulan November 2015 s/d bulan April 2016

Tanggal Suhu harian ( o C)


Nov Des Jan Feb Mar Apr
1 26.3 26.8 25.7 25.8 25.8 26.2
2 26.7 27.5 27.8 25.4 25.4 25.8
3 26.2 26.6 28.1 25.3 27.0 26.0
4 26.0 26.1 26.7 25.9 26.2 27.0
5 27.4 26.2 26.7 27.1 26.2 27.2
6 27.0 26.1 27.3 26.9 25.9 26.4
7 25.2 26.5 25.6 26.6 27.1 26.8
8 25.8 26.1 25.9 24.3 26.4 26.6
9 26.3 26.0 26.9 25.9 26.1 26.9
10 26.5 26.0 27.4 24.9 27.0 27.3
11 26.3 26.5 27.8 25.8 25.9 26.9
12 26.4 26.1 26.9 25.2 25.9 27.3
13 26.1 25.3 26.0 26.5 25.9 27.3
14 27.9 26.4 26.1 24.3 26.4 27.0
15 26.7 25.9 25.6 25.8 26.2 26.6
16 26.5 25.3 26.0 25.5 26.5 28.0
17 26.9 24.8 26.9 25.7 26.6 26.8
18 27.6 23.9 25.6 25.7 27.1 26.0
19 26.8 25.7 26.1 26.0 26.8 27.3
20 26.9 25.4 25.3 26.4 27.5 26.6
21 26.2 25.4 27.1 26.0 26.6 25.8
22 26.8 24.9 27.0 25.9 26.0 25.8
23 26.9 26.4 26.3 26.4 26.4 27.9
24 26.2 25.8 27.1 25.4 26.7 27.4
25 26.6 25.9 26.6 25.6 26.6 26.6
26 26.5 26.5 23.9 25.7 27.0 25.1
27 27.0 27.9 25.7 25.9 26.9 26.2
28 26.1 27.6 27.8 25.2 27.3 27.2
29 25.9 26.1 28.1 25.2 26.7 26.3
30 26.1 27.2 26.7 26.0 25.5
31 26.1 26.7 26.5
Sumber: BMKG (2016)
Keterangan : (-) = tidak ada hujan, TTU = curah hujan tidak terukur
81

Lampiran 4 Foto dan keterangan lanras Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras
Tasikmalaya
Lanras Sumedang

Asal lanras : Sumedang, Jawa Barat


Nama lokal : Kacang gondolo
Tipe kanopi : Menyebar (spreading)
Bentuk daun : Elip
Warna testa : Coklat muda, coklat bercorak, coklat berbintik
Warna biji segar : Coklat muda, coklat berbintik
Warna hilum : Putih
Panjang biji : + 21 mm
Lebar biji : + 15 mm
Berat 100 butir : + 107 gram
Warna bunga : Kuning

Lanras Sukabumi

Asal lanras : Sukabumi, Jawa Barat


Nama lokal : Kacang tanah
Tipe kanopi : Semi kompak (semi bunch)
Bentuk daun : Elips
Warna testa kering : Hitam muda
Warna testa segar : Coklat tua, coklat tua bintik bintik
Warna hilum : Putih
Panjang biji : + 19 mm
Lebar biji : + 13 mm
Berat 100 butir : + 75 gram
Warna bunga : Kuning
82

Lanras Gresik

Asal lanras : Gresik, Jawa Timur


Nama lokal : Kacang kapri
Tipe kanopi : Kompak (bunch)
Bentuk daun : Lanceolate
Warna testa kering : Hitam pekat
Warna testa segar : Ungu tua, ungu tua kombinasi, ungu muda
Warna hilum : Putih
Panjang biji : + 14 mm
Lebar biji : + 10 mm
Berat 100 butir : + 60 gram
Warna bunga : Kuning

Lanras Tasikmalaya

Asal lanras : Tasikmalaya, Jawa Barat


Nama lokal : Kacang banten
Tipe kanopi : Menyebar (spreading)
Bentuk daun : Lanceolate
Warna testa kering : Hitam
Warna testa segar : Coklat tua, coklat tua kombinasi, coklat muda
Warna hilum : Putih
Panjang biji : + 15 mm
Lebar biji : + 12mm
Berat 100 butir : + 90 gram
Warna bunga : Kuning
83

Lampiran 5 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Sumedang pada
berbagai perlakuan jarak tanam

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 40 cm x 10 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al an al an al an al an
4 0.47 0.51 1.08 1.15 1.72 2.19 4 0.00 0.01
8 0.99 0.93 13.05 12.85 11.85 10.48 8 0.00 0.01
12 2.02 2.07 31.34 31.77 21.96 23.29 12 0.00 0.01
14 2.45 2.57 36.53 37.02 26.16 29.06 14 0.09 0.01
16 3.15 2.91 41.67 39.98 38.72 33.79 16 0.29 0.05
20 3.15 3.25 41.67 42.57 38.72 40.32 18 0.42 0.71
20 9.68 9.66

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 50 cm x 20 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al an al an al an al an
4 0.58 0.66 1.25 2.48 2.01 2.80 4 0.00 0.00
8 0.92 0.83 14.74 12.09 21.65 18.86 8 0.00 0.00
12 2.02 1.97 32.83 35.86 36.14 39.54 12 0.00 0.00
14 2.49 2.66 46.85 47.86 43.96 48.81 14 0.12 0.00
16 3.54 3.10 61.87 57.37 61.87 56.74 16 0.21 0.03
20 3.30 3.46 67.06 68.95 67.06 68.66 18 0.31 0.65
20 9.10 9.07

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 60 cm x 25 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al an al an al an al an
4 0.55 0.75 1.41 1.92 2.16 3.35 4 0.00 0.00
8 0.98 0.79 14.51 13.50 17.37 14.73 8 0.00 0.01
12 1.93 1.87 42.88 45.44 38.13 43.47 12 0.00 0.97
14 2.97 3.16 55.85 54.08 59.14 55.13 14 2.73 2.00
16 4.20 3.94 61.51 58.22 64.88 62.76 16 4.51 3.55
20 4.20 4.33 58.11 61.11 67.93 70.17 18 5.93 5.81
20 11.38 8.93
84

Lampiran 6 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Gresik pada berbagai
perlakuan jarak tanam

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 40 cm x 10 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al An al an al an al an
4 0.32 0.34 0.69 0.84 1.17 1.69 4 0.00 0.11
8 0.38 0.36 8.78 8.45 11.62 10.19 8 0.00 0.11
12 0.90 0.89 26.80 27.53 22.04 25.28 12 0.00 0.25
14 1.33 1.37 34.38 33.61 31.47 30.62 14 6.29 6.22
16 1.69 1.62 37.76 36.95 37.92 34.10 16 12.64 12.88
20 1.69 1.73 38.99 39.65 35.30 37.64 18 14.26 13.58
20 13.16 13.64

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 50 cm x 20 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al An al an al an al an
4 0.34 0.54 0.83 1.15 1.39 1.83 4 0.00 0.65
8 0.73 0.54 13.58 12.54 15.73 14.17 8 0.00 0.35
12 1.00 0.99 26.60 29.33 27.05 30.07 12 0.00 2.97
14 2.26 2.29 35.68 34.92 34.96 36.18 14 10.62 7.99
16 2.76 2.58 41.77 38.57 46.16 40.77 16 15.77 16.01
20 2.46 2.61 37.89 42.38 47.53 46.56 18 24.94 25.76
20 35.32 34.95

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 60 cm x 25 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al An al an al an al an
4 0.39 0.61 0.89 1.53 1.48 1.55 4 0.00 1.16
8 0.82 0.61 14.90 13.34 17.89 17.69 8 0.00 1.15
12 1.20 1.16 34.33 39.35 44.56 45.88 12 0.00 3.67
14 2.08 2.17 53.72 47.35 52.99 50.65 14 27.05 24.15
16 2.87 2.70 51.34 51.80 52.35 52.62 16 40.40 44.60
20 2.67 2.86 53.72 55.51 52.99 53.86 18 53.62 50.51
20 51.27 51.72
85

Lampiran 7 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Sukabumi pada
berbagai perlakuan jarak tanam

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 40 cm x 10 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al an al an al an al an
4 0.99 1.11 0.99 1.11 1.57 2.25 4 0.00 0.00
8 11.92 11.52 11.92 11.52 12.65 10.93 8 0.00 0.10
12 25.70 27.83 25.70 27.83 23.98 28.37 12 0.00 1.16
14 36.15 32.33 36.15 32.33 37.16 34.23 14 5.11 3.83
16 32.91 34.88 32.91 34.88 40.89 37.79 16 7.46 8.26
20 37.12 37.13 37.12 37.13 38.396 41.09 18 13.17 12.86
20 16.05 16.10

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 50 cm x 20 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al an al an al an al an
4 0.42 0.49 1.30 1.39 2.25 2.33 4 0.00 0.00
8 0.85 0.74 16.80 16.44 18.65 18.39 8 0.00 0.75
12 1.76 1.89 33.74 35.06 37.12 38.10 12 0.00 5.44
14 2.47 2.41 41.52 40.52 43.37 43.07 14 21.29 14.98
16 2.85 2.72 44.70 43.92 47.41 45.89 16 23.70 26.53
20 2.85 2.96 46.61 47.33 47.39 48.43 18 33.95 35.36
20 41.94 40.42

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 60 cm x 25 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al an al an al an al an
4 0.42 0.44 1.16 1.33 1.89 2.13 4 0.00 0.00
8 1.10 1.02 15.96 15.57 17.91 17.22 8 0.00 0.38
12 1.81 1.99 43.12 46.00 40.03 42.74 12 0.00 4.12
14 2.51 2.40 56.39 50.23 52.18 49.34 14 17.22 11.39
16 2.77 2.70 50.31 51.71 54.03 52.87 16 18.20 22.60
20 3.02 3.07 50.40 52.50 54.03 55.76 18 36.79 34.74
20 44.03 44.49
86

Lampiran 8 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Tasikmalaya pada
berbagai perlakuan jarak tanam

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 40 cm x 10 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al An al an al an al an
4 0.84 5.22 1.61 6.52 0.00 0.00 4 0.00 0.10
8 9.81 5.55 11.28 6.58 0.00 0.00 8 0.00 0.13
12 19.10 18.26 16.86 16.33 0.00 0.00 12 0.00 0.86
14 32.51 34.99 36.12 37.19 0.00 0.00 14 4.32 3.31
16 49.10 45.58 50.46 48.43 5.39 5.39 16 7.30 8.05
20 49.10 50.86 50.46 51.73 7.30 7.30 18 13.88 13.45
20 17.15 17.28

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 50 cm x 20 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al An al an al an al an
4 0.40 0.54 0.73 1.13 1.51 6.30 4 0.00 0.00
8 0.68 0.54 9.72 9.05 11.61 6.89 8 0.00 0.65
12 1.31 1.30 32.89 32.76 24.90 23.82 12 0.00 6.36
14 2.86 2.87 39.80 42.99 40.10 43.63 14 26.69 18.03
16 3.45 3.40 54.19 49.66 61.26 56.45 16 30.00 36.31
20 3.45 3.49 54.19 55.93 61.26 63.54 18 59.05 56.22
20 71.48 72.10

Bobot kering tiap organ per tanaman pada jarak tanam 60 cm x 25 cm


Waktu Akar (g) Batang (g) Daun (g) Waktu Polong (g)
(MST) Aktu Persama Aktu Persama Aktu Persama (MST) Aktu Persama
al An al an al an al an
4 0.52 0.64 0.98 0.96 1.87 2.18 4 0.00 1.15
8 0.74 0.66 12.46 12.72 13.96 13.37 8 0.00 1.13
12 1.54 1.41 37.93 35.03 40.37 40.03 12 0.00 4.87
14 2.19 2.45 36.98 44.18 46.85 50.82 14 24.79 19.78
16 3.49 3.19 56.73 50.75 63.23 57.98 16 30.73 34.81
20 3.49 3.61 56.73 58.17 63.23 65.13 18 40.41 41.33
20 45.87 43.40
87

Lampiran 9 Data aktual dan persamaan peubah daya berkecambah (%) empat
lanras kacang bambara

Lanras Sumedang
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 89.33 89.83 89.33 88.32 89.33 86.97
1 89.33 88.18 84.00 85.73 82.00 84.43
2 85.33 85.35 81.33 81.76 77.33 79.30
3 80.67 80.77 78.67 75.89 73.33 70.29
4 73.33 74.01 65.33 67.70 57.33 57.83
5 66.00 65.31 58.00 57.13 44.00 45.23
6 56 55.87 45 44.79 37 35.96

Lanras Sukabumi
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 96.00 96.09 96.00 95.86 96.00 93.27
1 95.33 95.22 93.33 93.91 88.67 87.68
2 92.67 92.72 90.67 89.61 84.00 83.35
3 88.00 87.87 82.67 83.95 78.67 80.00
4 82.67 83.07 80.67 80.00 79.33 77.40
5 77.33 79.77 75.33 71.81 60.00 64.83
6 76.67 78.24 60.00 68.04 58.67 59.20

Lanras Gresik
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 96.00 94.04 96.00 93.64 96.00 93.05
1 90.00 90.00 90.67 88.86 84.00 87.39
2 85.33 86.65 85.33 84.29 86.00 81.74
3 85.33 83.90 79.33 79.93 77.33 76.10
4 82.67 81.63 77.33 75.77 76.67 70.46
5 81.33 80.61 79.33 78.30 74.67 75.39
6 79.33 79.76 76.67 77.72 74.67 73.84

Lanras Tasikmalaya
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 93.33 91.95 93.33 91.78 93.33 91.76
1 87.00 87.10 84.67 84.77 80.67 84.15
2 84.00 82.27 78.67 77.76 76.00 75.92
3 77.33 77.46 72.67 70.77 72.00 67.23
4 75.33 72.66 66.67 63.78 55.33 58.29
5 67.33 67.87 55.33 56.80 48.67 49.35
6 62 63.10 48 49.83 41.33 40.62
88

Lampiran 10 Data aktual dan persamaan peubah daya hantar listrik


(µs/cm/g) empat lanras kacang bambara

Lanras Sumedang
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 0.92 1.18 0.92 0.99 0.92 1.69
1 1.99 2.20 2.16 1.96 3.48 2.41
2 2.81 2.86 3.34 3.67 4.21 4.29
3 3.57 3.44 5.69 5.22 6.73 7.45
4 3.62 3.93 5.62 5.99 11.10 10.21
5 4.15 4.35 6.15 6.26 11.42 11.53
6 5.31 4.72 6.57 6.35 11.71 11.99

Lanras Gresik
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 0.94 1.70 0.94 1.12 0.94 0.85
1 2.66 1.78 3.19 3.01 3.31 3.62
2 2.88 3.03 3.96 4.66 6.38 5.97
3 6.68 6.51 6.77 6.08 7.61 7.51
4 6.69 7.21 7.01 7.30 7.80 8.34
5 7.31 7.25 8.21 8.36 8.67 8.76
6 7.59 7.25 9.45 9.26 9.30 8.95

Lanras Sukabumi
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 2.50 2.50 2.50 2.73 2.50 2.59
1 3.63 3.85 3.65 3.84 3.64 4.08
2 4.76 4.80 4.79 4.78 5.40 5.37
3 6.03 5.47 5.90 5.58 7.06 6.49
4 5.70 5.94 6.12 6.26 7.04 7.46
5 5.61 6.27 6.46 6.83 7.86 8.29
6 6.96 6.49 7.84 7.32 9.56 9.00

Lanras Tasikmalaya
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 1.38 2.15 1.38 1.82 1.38 1.84
1 3.02 3.03 3.04 2.85 3.37 2.60
2 3.04 3.83 3.15 3.79 3.73 3.71
3 4.68 4.57 4.86 4.67 4.62 5.19
4 5.24 5.24 5.17 5.48 6.97 6.92
5 5.36 5.86 6.49 6.23 9.08 8.68
6 6.94 6.42 7.30 6.91 10.02 10.22
89

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara di Kotabumi,


Lampung Utara tanggal 25 Mei 1975 dari ayah H. Hamami Farial Mega (alm) dan
ibu Hj. Husna Tohid. Pendidikan Sarjana Pertanian diperoleh dari Fakultas
Pertanian jurusan Agronomi Universitas Lampung, lulus tahun 1998. Pada tahun
2001 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Universitas Sumatera Utara melalui program beasiswa Pemerintah
Kota Bandar Lampung, dan lulus tahun 2003. Penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan program doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
pada tahun 2013 melalui tugas belajar dari Kementerian Pertanian atas biaya
sponsor pihak ketiga.
Penulis bekerja sebagai aparatur sipil negara di Direktorat Perbenihan
Tanaman Pangan Kementerian Pertanian sejak tahun 2007 sampai dengan
sekarang, sebelumnya penulis mengabdi pada Pemerintah Kota Bandar Lampung
sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2007.
Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi ini dengan judul “Effects
of Invigoration and Spacing on Growth and Seed Production of Four Bambara
Groundnut (Vigna subterranea (L) Verdc) Landraces” akan diterbitkan pada
International Journal of Agronomy and Agricultural Research. Demikian pula
karya ilmiah dengan judul” Seed Deterioration Pattern of Four Bambara
Groundnut Landraces (Vigna subterranea (L) Verdc) in Open Storage System”
akan diterbitkan pada Jurnal Informatika Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa program doktor di Pascasarjana IPB penulis
mengikuti beberapa shortcourse antara lain : Integrated Seed System Development
di Wageningen University Research, Netherland (2016), Biotechnology on
Agriculture di Nebraska University, Lincoln USA (2016) dan Biotechnology
Regulation Immersion Course di Missouri University, Columbia USA (2018).

Anda mungkin juga menyukai