HAPPY SURYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Happy Suryati
NIM A261130011
iv
RINGKASAN
HAPPY SURYATI. Pola Pertumbuhan Tanaman dan Deteriorasi Benih serta Pola
Spasial Kesesuaian Lahan dalam Produksi Benih Kacang Bambara (Vigna
subterranea (L) Verdc). Dibimbing oleh SATRIYAS ILYAS, ABDUL QADIR,
dan BAMBANG BUDHIANTO.
Kata kunci: ArcMap 10.5, daya simpan, eksponensial, invigorasi, jarak tanam,
lanras, sigmoid
vi
SUMMARY
HAPPY SURYATI. Pattern of Plant Growth and Seed Deterioration and Spatial
Pattern of Land Suitability in the Production of Bambara Groundnut Seeds (Vigna
subterranea (L) Verdc). Supervised by SATRIYAS ILYAS, ABDUL QADIR, and
BAMBANG BUDHIANTO.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
HAPPY SURYATI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
x
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr r Bamban B
Anggota AnggotaI
.,
Diketahui oleh
~~
~'\ ~ R TA tv
~
Ketua Program Studi / :.:r~ lah Pascasarjana
Ilmu dan Teknologi Benih :! J...
l &Jli-
1-
(/)
-1,.
Sc4 SARJ
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Pola Pertumbuhan
Tanaman dan Deteriorasi Benih serta Pola Spasial Kesesuaian Lahan dalam
Produksi Benih Kacang Bambara (Vigna subterranea (L) Verdc)”, berhasil
diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS, Dr Ir Abdul Qadir, MSi dan Dr Ir Bambang
Budhianto selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
arahan, waktu, ilmu dan dukungan selama penulis menempuh studi S3.
2. Dr Ir Asep Setiawan, MS dan Dr Ir M Rahmat Suhartanto, MS selaku dosen
penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah memberikan saran yang
berharga untuk perbaikan disertasi.
3. Dr Ir Ali Jamil, MP dan Dr Ir Asep Setiawan, MS selaku penguji luar komisi
pada sidang promosi atas saran dan masukan yang berharga.
4. Direktur Jenderal Tanaman Pangan dan Direktur Perbenihan Tanaman Pangan
yang telah memberikan kesempatan dan izin kepada penulis untuk melanjutkan
Pendidikan S3 di IPB.
5. PT Mulia Kasih Sejati (Sugar Group Holding Company) dan Nexsteppe
Singapore yang telah memberikan dana pendidikan dan penelitian selama
penulis studi S3 di IPB.
6. Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih Dr Ir Endah Retno Palupi,
MSc, seluruh dosen pengajar di prodi Ilmu dan Teknologi Benih IPB, beserta
staf adminitrasi khususnya pak Udin.
7. Teman teman dari program studi Ilmu dan Teknologi Benih khususnya
angkatan 2013 (Mba Ani, Reni, Ika, Irma, Lilih, Indri, Pitri, Aulia, Keswari,
Dila, Mela, Fani, Saiful, Listya, Alfi), atas kebersamaan, pertemanan selama
ini terlebih Aci Astriyani Rosyad dan Gani atas bantuan yang luar biasa.
8. Teman-teman program S3 Bu Puji, Pak Danner, Pak Endang, Bu Sari, Pak Ijan,
Bu Neli, Pak Aldi, Pak Branco, Pak Arif, Bu Tika, Bu Melati, Bu Devi, adik
adik Kiran, Putri, Una, Vidya, Mba Mira,Rina, Riri, Fida atas dukungan dan
pertemanan selama ini. Mas Wahyu dan Mas Ucok atas diskusi petanya.
9. Mami, Papi (Alm) dan Mbah (Alm) atas doa, cinta dan kasih sayangnya dalam
membesarkan dan mendidik penulis. Kakak-kakakku Puan (Alm), Puan
Jungan, Atuni, Ginda, Atusi, Gusti, Jojo, Ajo, Atutin, Daing, Kakak, adikku
Soni dan Lia, semua keponakan dan cucu tersayang serta Biksu atas doa dan
kasih sayang yang tak pernah putus kepada penulis, bangga, bahagia dan
bersyukur mempunyai keluarga seperti kalian.
10. Emak (Alm) dan Bak serta seluruh keluarga Kak Amay, Ayuk Umi, Ayuk Eva,
Kak Alian dan Sapta atas doanya selama ini.
11. Desmarwansyah SP, MSc suami tercinta atas doa, pengorbanan, pengertian,
bantuan dan kasih sayang yang luar biasa, serta kedua putri tersayang Kensha
Firstyputri Fariko dan Rayya Bieputri Fariko atas segala kasih sayang,
pengertian, kesabaran dan doa kalian untuk bunda.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2019
Happy Suryati
xiii
DAFTAR ISI
5.5 Saran 65
6 PEMBAHASAN UMUM 66
7 KESIMPULAN UMUM 71
DAFTAR PUSTAKA 72
LAMPIRAN 79
RIWAYAT HIDUP 89
xv
DAFTAR TABEL
1 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Sumedang pada setiap perlakuan jarak tanam 10
2 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Gresik pada setiap perlakuan jarak tanam 13
3 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Sukabumi pada setiap perlakuan jarak tanam 15
4 Hasil analisis regresi non linier bobot kering akar, batang, daun, polong
lanras Tasikmalaya pada setiap perlakuan jarak tanam 18
5 Nilai indeks panen empat lanras kacang bambara 22
6 Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap daya tumbuh (%) kacang
bambara pada 10 hari setelah tanam (HST) 27
7 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap tinggi tanaman (cm)
kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya dan lanras
Gresik 29
8 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap diameter kanopi (cm)
kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Gresik
pada 8 MST dan 10 MST 30
9 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering (bk) polong
pertanaman lanras Sumedang 32
10 Interaksi invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
petak lanras Sumedang 32
11 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
petak lanras Sukabumi 33
12 Interaksi invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
tanaman lanras Sukabumi 33
13 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
tanaman dan per petak lanras Tasikmalaya 34
14 Interaksi perlakuan invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering
polong per tanaman dan per petak lanras Gresik 34
15 Daya berkecambah benih kacang bambara pada berbagai perlakuan
invigorasi dan jarak tanam 36
16 Nilai permeabilitas jenis kemasan menggunakan metode moyls 41
17 Data awal benih sebelum penyimpanan benih 42
18 Hasil persamaan eksponensial untuk peubah DB dan nilai DB bulan ke-6 42
19 Hasil persamaan eksponensial untuk peubah dhl dan nilai dhl bulan ke-6 45
20 Ketebalan kulit benih empat lanras kacang bambara 48
21 Pembagian saluran (band) pada citra landsat 8 ETM+ 55
xvi
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN UMUM
diperoleh 50 lanras kacang bambara yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Barat,
38 lanras telah berhasil dideskripsikan. Pada umumnya lanras yang diperoleh
menunjukkan keragaman yang tinggi antar dan didalam lanras (Sinefu et al. 2011).
Penggunaan pola pertumbuhan merupakan salah satu pendekatan yang baik untuk
mengamati respon kacang bambara melalui produksi biomasa. Pola pertumbuhan
tanaman kacang bambara, dapat disusun berdasarkan bobot kering (biomasa) yang
merupakan hasil fotosintesis. Akumulasi biomasa dipengaruhi oleh lingkungan,
genotipe dan teknik budidaya, salah satunya jarak tanam yang optimum (Sarawa et
al. 2014).
Tanaman kacang bambara memiliki tiga tipe kanopi yang berbeda yaitu
menyebar (spreading), semi kompak (semi bunch) dan kompak (bunch), sehingga
penting untuk mengetahui pola pertumbuhan yang terkait dengan tipe kanopi pada
jarak tanam yang optimum. Salah satu aspek agronomis yang dapat dilakukan
dalam memperbaiki teknik budidaya agar dapat meningkatkan produksi dan mutu
benih adalah jarak tanam dan populasi. Benih kacang bambara yang digunakan
diperoleh dari hasil pertanaman petani dengan jarak tanam yang biasa digunakan.
Pendekatan lain yang dapat dilakukan dalam produksi benih untuk
mendapatkan benih kacang bambara yang bermutu, adalah dengan meningkatkan
viabilitas dan vigor benih melalui perlakuan benih sebelum tanam seperti
hydropriming dan matriconditioning. Istilah seed enhancements merupakan
perlakuan pasca panen yang bertujuan untuk memperbaiki kecambah atau
pertumbuhan kecambah, atau cara untuk memfasilitasi benih dan bahan lain yang
diperlukan saat tanam (Taylor et al. 1998). Kacang bambara mempunyai kulit
benih keras yang dapat menyebabkan benih menjadi impermeable sehingga
menyulitkan air untuk masuk kedalam benih (Berchie et al. 2010). Seperti
dilaporkan oleh Sinefu et al.(2011), perkecambahan benih kacang bambara sering
tidak menentu, bervariasi dan lambat. Sesay dan Yarmah (1996) melaporkan,
perkecambahan benih kacang bambara lambat, tidak seragam, dan bila ditanam di
lapangan benih akan berkecambah 21 hari setelah tanam. Hal ini akan
mempengaruhi waktu berbunga, pembentukan polong dan saat masak. Khan
(1992) dan Trueman (2017) menyatakan terdapat beberapa metode dalam
invigorasi yaitu hydropriming (perlakuan perendaman benih dalam air), osmotic
priming/osmopriming (perendaman benih dalam larutan kimia seperti monitol,
KCl), solidmatrix priming/matriconditioning (menginkubasi benih dalam larutan
solid seperti vermikulit, arang sekam) dan drum priming yang merupakan
perlakuan dengan menggunakan uap air.
Kacang bambara mempunyai umur panjang berkisar 4-5 bulan sehingga
budidaya kacang bambara hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Benih hasil
pertanaman petani musim ini akan disimpan untuk digunakan pada musim tanam
berikutnya. Penyimpanan benih bertujuan untuk mempertahankan mutu fisiologis
benih sampai benih tersebut siap digunakan pada musim tanam berikutnya.
Penyimpanan juga diperlukan untuk mengatasi kemungkinan tidak tersedianya
benih bermutu pada saat diperlukan dan untuk memenuhi kebutuhan diluar musim
(Copeland dan Mc Donald 2001) dan pada masa penyimpanan benih akan
mengalami penurunan viabilitas. Selama penyimpanan benih kacang bambara akan
mengalami deteriorasi. Pola deteriorasi benih kacang bambara selama
penyimpanan sangat diperlukan untuk menjadi dasar penentuan daya simpan benih.
3
dengan ketersediaan benih yang bermutu. Hal ini antara lain disebabkan sistem
produksi benih kacang bambara belum berkembang dan tertata, petani biasanya
menggunakan benih yang disisihkan dari hasil pertanaman mereka sendiri. Benih
kacang bambara yang digunakan pertanaman berikutnya kemungkinan memiliki
mutu yang belum terjamin.
Kacang bambara yang dibudidayakan di Indonesia maupun di negara lain
masih berupa lanras, sehingga masih memiliki keragaman genetik yang tinggi, yang
seringkali memberikan respon yang berbeda terhadap suatu perlakuan yang
diberikan. Pendekatan dengan melihat kecenderungan pola pertumbuhan dilakukan
untuk lebih meningkatkan akurasi penelitian yang dilakukan. Fotosintesis
merupakan proses utama dalam pertumbuhan tanaman. Akumulasi bobot kering
biomasa digunakan untuk mengukur kemampuan tanaman dalam mengikat energi
matahari dalam proses fotosintesis, serta distribusi asimilat ke bagian tanaman
seperti akar, batang, daun dan polong.
Optimasi produksi benih untuk mendapatkan benih bermutu antara lain dapat
dilakukan dengan invigorasi atau perlakuan benih sebelum tanam dan penerapan
jarak tanam yang optimum. Benih kacang bambara sering mengalami
keterlambatan berkecambah apabila ditanam di lapangan, dengan invigorasi
diharapkan dapat membuat benih berkecambah lebih cepat dan serempak, sehingga
benih menjadi lebih vigor. Jarak tanam yang berbeda akan mempengaruhi besarnya
populasi, sehingga dapat mempengaruhi ukuran benih dan jumlah benih yang
dihasilkan. Jarak tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman, karena mempengaruhi penyerapan energi matahari oleh
permukaan daun. Jarak tanam yang terlalu rapat menghasilkan populasi yang terlalu
besar, hal tersebut mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan hasil panen karena
menurunnya luas permukaan daun, sehingga diperlukan jarak tanam yang optimum
untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Mayadewi 2007).
Benih yang dihasilkan petani akan digunakan pada musim tanam berikutnya,
sehingga harus dilakukan penyimpanan benih. Selama penyimpanan, benih akan
mengalami deteriorasi. Petani umumnya menyimpan benih dengan metode
penyimpanan terbuka, dengan suhu dan kelembaban yang tidak terkontrol,
sehingga benih akan menyerap air dari ruang simpan untuk mencapai kadar air
kesetimbangan. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mempertahankan mutu
benih kacang bambara dalam penyimpanan adalah dengan memperhatikan
permeabilitas kemasan yang digunakan. Penggunaan kemasan dengan
permeabilitas yang tepat diharapkan dapat mempertahankan mutu benih kacang
bambara, sehingga benih yang disimpan dalam penyimpanan terbuka mempunyai
daya simpan yang lebih lama. Hasbianto (2012) melakukan pengujian permeabilitas
kemasan terhadap daya simpan beberapa varietas kedelai. Pola deteriorasi benih
dapat digunakan untuk menduga daya simpan benih kacang bambara pada
penyimpanan terbuka.
Setiap tanaman memiliki persyaratan tumbuh yang berbeda untuk dapat
tumbuh dan berproduksi maksimal. Penggunaan lahan yang sesuai dengan syarat
tumbuh kacang bambara juga merupakan faktor keberhasilan dalam produksi benih.
Perlu dilakukan pemetaan untuk mengetahui daerah berpotensi dan mempunyai
kesesuaian dengan syarat tumbuh kacang bambara. Langkah awal untuk
pengembangan kacang bambara di Indonesia dimulai dengan memperoleh
informasi daerah yang telah membudidayakan kacang bambara dan menduga
5
daerah yang sesuai dengan syarat tumbuh sebagai daerah yang berpotensi untuk
produksi benih dan pengembangan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan rekomendasi bagi
produsen benih dalam memproduksi dan menyimpan benih kacang bambara,
sehingga produktivitas kacang bambara di Indonesia dapat ditingkatkan. Pola
pertumbuhan dan deteriorasi benih dapat digunakan untuk pendugaan mutu benih.
Peta kesesuaian lahan tanaman kacang bambara dapat dijadikan sebagai
rekomendasi awal untuk menentukan daerah yang berpotensi sebagai daerah yang
sesuai untuk produksi benih dan pengembangan tanaman kacang bambara.
Penelitian ini terdiri atas empat rangkaian penelitian seperti pada Gambar 1,
yaitu :
1. Optimasi produksi benih
a. penyusunan pola pertumbuhan tanaman kacang bambara.
b. peningkatan produksi benih empat lanras kacang bambara melalui
invigorasi dan jarak tanam yang optimum dalam produksi benih kacang
bambara
2. Pola deteriorasi benih kacang bambara.
3. Pendugaan wilayah potensial pengembangan kacang bambara
Abstract
The growth procrss decsribes a long cycle of stages of the process from the
beginning of the seed cell to grow until the plants are ready to be harvested. The
maximum growth of bambara groundnut can be achieved by improving cultivation
activities, one of them is by setting the spacing. This study aimed to obtain plant
growth patterns with three spacing (40 cm x 10 cm, 50 cm x 20 cm, 60 cm x 25 cm)
in four landraces of bambara groundnut based on dry weight and to determine the
optimal spacing for the plant growth. The experiment was conducted in October
2015 until May 2016 in Kampung Jawa Village, Situgede, Bogor. The experiment
included the compilation of bambara groundnut growth patterns and fitting the
similarity of growth patterns. The general pattern of plant growth for Sumedang,
Sukabumi, Gresik, and Tasikmalaya landraces was a sigmoid non-linear regression
with the equation model: y = a / (1 + exp (b * ln (x / c)) where a, b and c were different
constant for different landraces and spacing. The best spacing for all landraces
was 60 cm x 25 cm based on growth patterns with variable dry weight of roots,
stems, leaves and pods, except for dry weight of pods for Tasikmalaya landrace.
Key words: constant, non-linier, prediction, regression, sigmoid
Abstrak
Proses pertumbuhan menggambarkan suatu siklus panjang tentang tahapan
proses dari awal sel-sel benih tumbuh, hingga organ-organ panen terbentuk serta
siap untuk dipanen. Pertumbuhan tanaman kacang bambara yang maksimal dapat
dicapai dengan melakukan berbagai usaha perbaikan dalam kegiatan budidaya
salah satunya dengan cara pengaturan jarak tanam. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan pola pertumbuhan tanaman dengan tiga jarak tanam (40 cm x 10 cm,
50 cm x 20 cm, 60 cm x 25 cm) pada empat lanras kacang bambara berdasarkan
bobot kering serta menentukan jarak tanam yang optimal untuk pertumbuhan empat
lanras kacang bambara. Percobaan dilakukan sejak bulan Oktober 2015 sampai
dengan Mei 2016 di Desa Kampung Jawa, Situgede, Bogor. Tahapan penelitian
meliputi penyusunan pola pertumbuhan kacang bambara dan fitting persamaan pola
pertumbuhan. Pola umum pertumbuhan kacang bambara lanras Sumedang,
Sukabumi, Gresik, dan Tasikmalaya adalah regresi non linier berbentuk sigmoid
dengan model persamaan : y = a / (1 +exp (b*ln(x/c)) dengan a, b dan c merupakan
konstanta yang berbeda pada setiap lanras dan jarak tanam yang berbeda. Jarak
tanam 60 cm x 25 cm adalah jarak tanam terbaik untuk semua lanras berdasarkan
pola pertumbuhan dengan peubah bobot kering akar, batang, daun dan polong,
kecuali untuk bobot kering polong lanras Tasikmalaya.
Kata kunci: konstanta, non-linier, pendugaan, regresi, sigmoid
8
2.1 Pendahuluan
pencar digunakan untuk menentukan pola persamaan yang sesuai melalui analisis
regresi non linier.
2.2.4 Fitting Persamaan Pola Pertumbuhan
Fitting pola pertumbuhan bertujuan untuk menilai kesesuaian antara pola
persamaan dengan hasil aktual pengukuran bobot kering benih selama periode
pertumbuhan. Penilaian tingkat kesesuaian dilakukan dengan cara membandingkan
pola hasil persamaan terhadap titik titik nilai pengamatan dengan kriteria masuknya
pola dalam standar deviasi.
Pola persamaan bobot kering akar, batang, daun dan polong yang dihasilkan
selanjutnya dilakukan fitting/uji kesesuaian dengan bobot kering hasil pengamatan
secara deskriptif menggunakan grafik, seperti disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Fitting pola persamaan bobot kering dengan bobot kering aktual lanras
Sumedang pada (A) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (B) jarak tanam 50 cm
x 20 cm, (C) jarak tanam 60 cm x 25 cm
Kesesuaian model secara deskriptif (Gambar 2) menunjukkan bahwa pola
pertumbuhan yang didapat dari hasil persamaan secara dominan sesuai dengan hasil
pengamatan yang dilakukan, terlihat dari masuknya garis pada selang standar
deviasi di setiap titik pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa pola persamaan
yang diperoleh mampu menggambarkan pola perilaku pertumbuhan tanaman
kacang bambara secara aktual untuk seluruh bobot kering bagian tanaman yang
diamati.
Perilaku pola bobot kering akar, batang, daun dan polong pada setiap
perlakuan jarak tanam memiliki pola yang sama yaitu berbentuk sigmoid, namun
perbedaan terlihat dari slope/kemiringan garis yang dihasilkan. Pola bobot kering
hasil persamaan untuk setiap bagian tanaman disajikan pada Gambar 3.
12
Gambar 3 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong lanras
Sumedang pada tiga perlakuan jarak tanam
Pola pertambahan bobot kering pada setiap bagian tanaman terlihat cukup
beragam. Kacang bambara lanras Sumedang yang ditanam pada jarak tanam 60 cm
x 25 cm yang merupakan jarak tanam terlebar secara umum menghasilkan bobot
kering akar, batang, daun dan polong yang paling tinggi (Gambar 3). Pola bobot
kering akar (Gambar 3A) menunjukkan bahwa pertambahan bobot kering akar pada
ketiga jarak tanam hampir sama hingga umur tanaman 12 MST, namun pada
minggu selanjutnya pola pada jarak tanam 60 cm x 25 cm naik secara tajam. Pola
pertumbuhan berdasarkan bobot kering batang (Gambar 3B) menunjukkan ketiga
jarak tanam berhimpit hingga umur tanaman 8 MST. Garis yang berhimpit
menandakan tidak ada perbedaan bobot kering batang pada ketiga perlakuan jarak
tanam.
Pola pertambahan bobot kering batang pada jarak tanam 60 cm x 25 cm paling
tinggi, namun mulai 20 MST pada jarak tanam 50 cm x 20 cm menghasilkan BK
yang lebih tinggi. Perbedaan pola pertambahan bobot kering daun pada tiga jarak
tanam terlihat sejak awal (4 MST) hingga akhir pengukuran (20 MST), dengan pola
pertambahan tertinggi dihasilkan dari tanaman dengan jarak tanam 60 cm x 25 cm.
Pola pertambahan bobot kering daun tertinggi menunjukkan bahwa kacang
bambara lanras Sumedang yang ditanam pada jarak tanam 60 cm x 25 cm
menghasilkan jumlah daun yang paling banyak dibandingkan perlakuan lainnya.
13
Lanras Sumedang memiliki tipe kanopi menyebar sehingga dengan jarak tanam
yang lebar maka kanopi akan terbentuk maksimal di tandai dengan banyaknya daun
yang dihasilkan dari setiap cabang.
Pola pertambahan bobot kering polong menunjukkan hasil yang sama, jarak
tanam 60 cm x 25 cm memiliki garis pola yang tertinggi, sedangkan jarak tanam 40
cm x 10 cm dan 50 cm x 20 cm memiliki pola garis yang berhimpit sampai
mendekati 18 MST. Hal ini menunjukkan bahwa jarak tanam 60 cm x 25 cm
memberikan hasil polong yang paling banyak dibandingkan perlakuan lainnya,
sedangkan kedua jarak tanam lainnya mempunyai garis yang berhimpit
menunjukkan bahwa polong yang dihasilkan relatif sama.
Pola persamaan bobot kering akar, batang, daun dan polong yang dihasilkan
selanjutnya dilakukan fitting/uji kesesuaian dengan bobot kering hasil pengamatan
secara deskriptif menggunakan grafik. Pola pertambahan bobot kering lanras
Gresik pada tiga jarak tanam hasil persamaan secara dominan dinyatakan sesuai
dengan hasil bobot kering pada setiap pengamatan berdasarkan masuknya pola pada
standar deviasi, seperti disajikan pada Gambar 4.
14
Gambar 4 Fitting pola persamaan bobot kering dan bobot kering aktual lanras
Gresik pada (A) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (B) jarak tanam 50 cm x
20 cm, (C) jarak tanam 60 cm x 25 cm
Pola bobot kering hasil persamaan regresi non linier untuk akar, batang, daun
dan polong lanras Gresik disajikan pada Gambar 5. Hasil menunjukkan bahwa
perbedaan pola pertumbuhan tanaman berdasarkan bobot kering akar, batang, dan
daun lanras Gresik pada tiga perlakuan jarak tanam mulai terlihat diawal fase
pertumbuhan. Pola tertinggi didapatkan dari tanaman yang ditanam dengan jarak
tanam 60 cm x 25 cm sebagai perlakuan jarak tanam yang paling lebar, sedangkan
terendah pada jarak tanam 40 cm x 10 cm. Garis pola yang tertinggi menunjukkan
bahwa perlakuan jarak tanam 60 cm x 25 cm mampu menghasilkan pertumbuhan
akar, batang, dan daun yang maksimum. Pertumbuhan akar, batang dan daun
menunjukkan pertumbuhan yang cepat pada pada 12 MST, namun setelah itu
pertumbuhan relatif stabil ditunjukkan dari pola garis yang mulai landai.
Pola pertambahan bobot kering polong menunjukkan hal yang berbeda,
ketiga jarak tanam memiliki pola yang sama sampai dengan tanaman berumur 12
MST (Gambar 5). Hal ini menunjukkan sampai dengan tanaman berumur 12 MST,
polong yang dihasilkan relatif sama, jumlah polong yang terbentuk masih sedikit
meskipun pada 10 MST tanaman mulai memasuki fase generatif. Asimilat yang
dihasilkan masih didistribusikan untuk pembentukan akar, batang dan daun. Pada
minggu selanjutnya pola pertambahan bobot kering polong pada jarak tanam 60 cm
x 25 cm meningkat tajam, hal ini disebabkan polong yang terbentuk setelah 12
MST semakin banyak.
15
Gambar 5 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong lanras
Gresik pada tiga perlakuan jarak tanam
Pola persamaan bobot kering akar, batang, daun dan polong yang dihasilkan
selanjutnya dilakukan fitting/uji kesesuaian dengan bobot kering hasil pengamatan
secara deskriptif menggunakan grafik sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Fitting pola persamaan bobot kering dan bobot kering aktual lanras
Sukabumi pada (A) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (B) jarak tanam 50 cm
x 20 cm, (C) jarak tanam 60 cm x 25 cm
Secara dominan seluruh pola garis hasil persamaan masuk dalam selang
standar deviasi pada setiap titik pengamatan. Persamaan yang dipilih merupakan
persamaan yang menghasilkan garis yang paling dekat mendekati titik titik data
hasil pengamatan, sehingga garis sigmoid yang terbentuk mempunyai lekuk yang
berbeda beda.
Pola pertumbuhan berdasarkan bobot kering akar, batang, daun dan polong
yang merupakan hasil persamaan lanras Sukabumi pada tiga perlakuan jarak tanam
disajikan pada Gambar 7.
17
Gambar 7 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong lanras
Sukabumi pada tiga perlakuan jarak tanam
Grafik pada gambar 7 memperlihatkan lanras Sukabumi yang ditanam pada
jarak tanam 60 cm x 25 cm menunjukan pola pertambahan bobot kering akar,
batang, daun dan polong yang paling tinggi. Sama halnya dengan lanras Sumedang
dan Gresik, pertumbuhan tanaman lanras Sukabumi mengalami peningkatan pada
12 MST, kemudian pertumbuhan mulai melambat yang ditunjukkan dari pola garis
yang mulai landai. Variasi hanya terlihat pada bobot kering akar dan polong, kedua
pola tersebut memperlihatkan bobot kering tanaman pada jarak tanam 50 cm x 20
cm memiliki pola yang berhimpit dengan jarak tanam 60 cm x 25 cm. Garis yang
berhimpit menunjukan bahwa bobot kering akar dan polong pada kedua jarak tanam
tersebut tidak berbeda. Khusus pada bobot kering polong, menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan hasil produksi yang cukup besar antara jarak tanam yang lebar
dan yang sedang. Lanras Sukabumi memiliki tipe kanopi semi kompak, sehingga
diduga jarak tanam 50 cm x 20 cm memberikan ruang yang cukup bagi lanras
Sukabumi untuk membentuk kanopi dan polong, dan memberikan pola yang
hampir sama dengan jarak tanam 60 cm x 25 cm.
Gambar 8 Fitting pola persamaan bobot kering dan bobot kering aktual lanras
Tasikmalaya pada (A) jarak tanam 40 cm x 10 cm, (B) jarak tanam 50
cm x 20 cm, (C) jarak tanam 60 cm x 25 cm
19
Secara dominan seluruh pola garis hasil persamaan masuk dalam selang
standar deviasi pada setiap titik pengamatan. Persamaan yang dipilih merupakan
persamaan yang menghasilkan garis yang paling dekat mendekati titik titik data
hasil pengamatan, sehingga garis sigmoid yang terbentuk mempunyai bentuk garis
yang berbeda beda. Pola pertumbuhan kacang bambara berdasarkan bobot kering
akar, batang, daun dan polong hasil persamaan regresi non linier pada lanras
Tasikmalaya disajikan pada Gambar 9.
Grafik pada Gambar 9 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam 40 cm x
10 cm memiliki pola pertumbuhan yang terendah yang diamati berdasarkan bobot
kering akar, batang, daun dan polong pada setiap waktu pengamatan, dibandingkan
perlakuan jarak tanam lainnya. Jarak tanam 50 cm x 20 cm dan 60 cm x 25 cm
memiliki laju pertumbuhan yang hampir tidak berbeda pada bobot kering akar dan
batang. Hal ini ditunjukkan dengan letak pola garis yang berhimpit. Peubah
pertumbuhan dengan bobot kering daun menunjukkan bahwa jarak tanam 60 cm x
25 cm memiliki pola yang paling tinggi diikuti pola pertumbuhan pada jarak tanam
50 cm x 20 cm dan 40 cm x 10 cm. Pola tersebut menggambarkan bahwa pada
jarak tanam 60 cm x 25 cm lanras Tasikmalaya menghasilkan paling banyak daun
atau daun yang lebih besar sehingga menghasilkan bobot kering daun yang paling
berat jika dibandingkan dengan dua jarak tanam lainnya.
Gambar 9 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong lanras
Tasikmalaya pada tiga perlakuan jarak tanam
20
2.3.6 Pola pertumbuhan empat landras kacang bambara pada jarak tanam optimum
Hasil percobaan menunjukkan bahwa jarak tanam yang paling optimum pada
pola pertumbuhan kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras
Tasikmalaya adalah jarak tanam 60 cm x 25 cm (P3). Hal ini terlihat dari jarak
tanam 60 cm x 25 cm menghasilkan bobot kering akar, batang, daun dan polonh
yang paling besar yang ditunjukkan oleh pola garis yang tertinggi pada setiap
pertumbuhan keempat organ yang diamati.
Perbandingan pola pertumbuhan akar, batang, daun dan polong lanras
Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras Tasikmalaya pada jarak tanam 60 cm x
25 cm disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Pola bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, (D) polong pada
lanras Sumedang, Gresik, Sukabumi dan Tasikmalaya pada jarak
tanam 60 cm x 25 cm
21
2.4 Simpulan
2.5 Saran
Abstract
Abstrak
meningkatkan diameter kanopi semua lanras. Benih tanpa invigorasi pada jarak
tanam 50 cm x 20 cm menghasilkan berat kering polong per petak tertinggi pada
lanras Sumedang. Hydropriming pada 60 cm x 25 cm menghasilkan bobot kering
polong per tanaman tertinggi lanras Sukabumi dan Gresik. Benih tanpa invigorasi
pada 60 cm x 25 cm menghasilkan bobot kering polong per plot tertinggi pada
lanras Gresik.
3.1 Pendahuluan
bambara, yaitu tipe menyebar (spreading), semi kompak (semi bunch) dan kompak
(bunch). Jarak tanam kacang bambara di Afrika berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya, seperti dilaporkan oleh Mkandawire dan Sibuga (2002), jarak tanam
yang biasa digunakan di Tanzania adalah 30 cm x 30 cm, sedangkan di Afrika Barat
menggunakan jarak tanam 60 cm x 30 cm.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi pengaruh invigorasi dan
jarak tanam terhadap produksi benih empat lanras kacang bambara di Indonesia,
yaitu lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya, dan lanras Gresik.
Tabel 7 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap tinggi tanaman (cm) kacang
bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya dan lanras Gresik
Tinggi tanaman
Lanras Perlakuan
2 MST 8 MST 10 MST
Sumedang Invigorasi
I0 16.34b 50.31 45.19
I1 19.05a 51.33 45.56
I2 17.33b 51.46 45.44
Rata-rata - 51.03 45.39
Jarak tanam
P1 17.88a 53.08a 47.79a
P2 17.75a 51.13ab 44.74b
P3 17.11b 48.89b 43.66b
KK (%) 3.36 6.05 2.35
Sukabumi Invigorasi
I0 14.28b 42.66 38.27
I1 17.85a 44.11 39.51
I2 16.01ab 43.86 39.43
Rata rata - 43.54 39.07
Jarak tanam
P1 15.74 45.42a 39.69a
P2 16.95 42.13b 39.71a
P3 15.45 43.07b 37.81b
Rata-rata 16.05 - -
KK (%) 13.66 4.71 4.41
Tasikmalaya Invigorasi
I0 13.35b 44.49b 39.74
I1 16.39a 46.90a 39.00
I2 15.34ab 46.03ab 39.51
Rata-rata - - 39.42
Jarak tanam
P1 15.29 49.38a 40.14
P2 14.96 45.18b 39.03
P3 14.84 42.87b 39.08
Rata-rata 15.03 - 39.42
KK (%) 6.39 5.76 3.59
Gresik Invigorasi
I0 12.94b 41.07 36.33a
I1 14.33a 41.14 35.79ab
I2 13.98a 40.58 35.36b
Rata-rata - 40.93 -
Jarak tanam
P1 13.91 43.41a 36.57a
P2 13.82 40.42b 36.13ab
P3 13.51 38.96b 34.78b
Rata-rata 13.75 - -
KK (%) 5.97 4.38 3.74
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rhizobium sp); I2 (hydropriming); P1 ( 40 cm x 10 cm; P2 (50 cm x 20 cm); P3 ( 60
cm x 25 cm). MST: minggu setelah tanam
menghasilkan diameter kanopi yang paling besar (75.84 cm) namun tidak berbeda
dengan P2 (74.10 cm) pada 8 MST. Perlakuan P3 menghasilkan diameter kanopi
yang paling besar, yaitu 66.12 cm pada 10 MST. Pada lanras Tasikmalaya,
perlakuan P3 pada 8 dan 10 MST menghasilkan diameter kanopi yang paling besar
(65.67 cm dan 59.81 cm) jika dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P2 (Tabel 8).
Tabel 8 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap diameter kanopi (cm)
kacang bambara lanras Sumedang, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Gresik
pada 8 MST dan 10 MST
Lanras Perlakuan Umur tanaman
8 MST 10 MST
Sumedang Invigorasi
I0 69.92b 57.93b
I1 75.09a 60.01ab
I2 74.54a 62.56a
Jarak tanam
P1 69.61b 55.57c
P2 74.10ab 58.81b
P3 75.844a 66.12a
KK (%) 7.094 5.021
Sukabumi Invigorasi
I0 60.81 56.56
I1 63.66 56.12
I2 64.77 57.93
Rata rata 63.08 56.87
Jarak tanam
P1 58.06b 55.11b
P2 63.72a 56.12a
P3 67.46a 56.12a
KK (%) 6.15 5.22
Tasikmalaya Invigorasi
I0 56.93b 54.73b
I1 62.93a 59.04a
I2 61.73ab 59.50a
Jarak tanam
P1 56.01b 56.15b
P2 59.92b 57.31b
P3 65.67a 59.81a
KK (%) 6.47 3.59
Gresik Invigorasi
I0 48.06b 56.51
I1 54.04a 56.53
I2 57.11a 56.58
Rata-rata 56.54
Jarak tanam
P1 50.26b 55.84b
P2 53.72ab 56.18ab
P3 55.23a 57.60a
KK (%) 6.70 2.59
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+Rizobium sp.); I2
(hydropriming); P1 (40 cm x 10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3 (60 cm x 25 cm), MST: minggu
setelah tanam
31
Tabel 9 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering (BK) polong
pertanaman lanras Sumedang
Perlakuan BK polong/tanaman (g)
Invigorasi
I0 13.72
I1 7.18
I2 12.64
Rata rata 11.18
Jarak tanam
P1 7.21b
P2 13.95a
P3 12.39a
KK (%) 15.85
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1 (40 cm x10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3
(60 cm x 25 cm)
Tabel 11 Pengaruh invigorasi dan jarak tanam terhadap bobot kering polong per
petak lanras Sukabumi
Perlakuan BK polong/petak(g)
Invigorasi
I0 1623.62a
I1 1232.89b
I2 1282.81b
Rata rata -
Jarak tanam
P1 1045.34b
P2 1551.73a
P3 1542.21a
KK (%) 12.96
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1 (40 cm x 10 cm); P2 (50 cm x 20 cm); P3
(60 cm x 25 cm)
Tabel 12 Interaksi invigorasi dengan jarak tanam terhadap bobot kering polong
per tanaman lanras Sukabumi
BK polong per tanaman (g)
Perlakuan
P1 P2 P3
I0 14.62d 37.06bc 31.70c
I1 21.25d 44.22b 37.82bc
I2 21.27d 35.54c 53.28a
KK (%) 12.67
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. I0 (tanpa invigorasi); I1 (matriconditioning+
Rizobium sp.); I2 (hydropriming); P1 (40 cm x10 cm); P2 (50 cm x20 cm); P3
(60 cm x 25 cm)
34
3.4 Kesimpulan
3.5 Saran
Abstract
Abstrak
Kacang bambara adalah tanaman yang potensial dikembangkan di Indonesia,
meskipun hanya dibudidayakan satu kali setahun, sehingga diperlukan
penyimpanan benih yang tepat. Tujuan penelitian adalah mendapatkan pola
deteriorasi benih empat lanras kacang bambara yang disimpan dalam kemasan
dengan permebialitas berbeda pada sistem penyimpanan terbuka selama 6 bulan.
Penelitian dilaksanakan bulan bulan November 2015 sampai dengan Juli 2016 di
Laboratorium Teknologi Benih, Fakultas Agronomi dan Hortikultura, IPB.
Tahapan penelitian adalah, penghitungan permeabilitas kemasan, penyimpanan
benih, penyusunan dan fitting pola persamaan deteriorasi benih. Hasil menunjukkan
bahwa deteriorasi benih empat lanras kacang bambara pada tiga permeabilitas
kemasan berbeda mempunyai pola sigmoid dengan model persamaan: y = a / (1 +
exp ((x + b) / c)) dengan a, b dan c konstanta yang berbeda pada setiap lanras dan
permeabilitas kemasan. Pola deteriorasi benih berdasarkan daya berkecambah dan
daya hantar listrik dengan laju penurunan cepat terjadi pada lanras Sumedang yang
dikemas dalam karung plastik (permeabilitas = 1.4681 g.hari-1 m2 mmHg-1),
menujukkan waktu simpan yang pendek. Laju penurunan lambat pada landras
Gresik yang dikemas dalam alumunium foil (permeabilitas = 0.098 g.hari-1 m2
mmHg-1), menunjukkan waktu simpan panjang.
Kata kunci : lanras, permeabilitas, sigmoid, waktu simpan
38
4.1 Pendahuluan
dengan n/t (jumlah air terserap per hari, g.hari-1), A (luas permukaan kemasan, m2),
RHout (RH luar, %), RHin (RH dalam kemasan, %) dan Po (tekanan uap air jenuh,
mmHg).
sebanyak tiga kali, tiap satuan percobaan terdiri atas 250 butir benih, kemudian
disimpan pada penyimpanan terbuka (ruang simpan suhu kamar). Suhu dan RH
harian ruang simpan diukur setiap hari menggunakan thermohygrometer (Elitech
RC4HA/C (UK). Peubah yang diamati meliputi daya berkecambah (DB) dan daya
hantar listrik (DHL). Percobaan penyimpanan benih dilakukan pada empat lanras
kacang bambara, yaitu lanras Sumedang, Sukabumi, Gresik, dan lanras
Tasikmalaya.
4.2.4 Pengamatan
Gambar 11 Fitting pola persamaan deteriorasi dengan hasil pengujian pada peubah
DB pada lanras (A) Sumedang, (B) Sukabumi, (C) Gresik, dan (D)
Tasikmalaya
Gambar 12 Pola perilaku deteriorasi benih dengan peubah DB pada lanras (A)
Sumedang, (B) Sukabumi, (C) Gresik dan (D) lanras Tasikmalaya
Perilaku deteriorasi benih keempat lanras pada ketiga jenis kemasan memiliki
pola penurunan sigmoid dengan laju penurunan yang berbeda. Perbedaan ini
ditentukan oleh besaran nilai konstanta a, b, dan c sebagaimana disajikan pada
Tabel 18. Semakin besar nilai konstanta a maka semakin memperbesar laju
penurunan sebelum titik anomali. Semakin besar nilai b maka semakin menurunkan
laju deteriorasi setelah titik anomali dengan nilai vigor yang lebih tinggi pada akhir
periode simpan. Nilai konstanta c berkontribusi terutama dalam meningkatkan laju
deteriorasi setelah titik anomali.
Titik anomali pada pola perilaku DB lanras Sumedang dan Tasikmalaya
berada antara periode simpan 2 dan 3 bulan. Hal ini menunjukan pada periode
simpan tersebut benih akan mengalami penurunan yang cukup tajam yang
menunjukkan daya simpan benih semakin pendek. Lanras Gresik dan Sukabumi
menunjukkan hal yang berbeda, yaitu laju penurunan tidak begitu tajam, yang
menunjukkan periode simpan benih lebih panjang. Pola penurunan DB lanras
Sukabumi dan Tasikmalaya meskipun mempunyai pola yang hampir sama, namun
berbeda pada laju penurunannya. Laju penurunan pada lanras Tasikmalaya lebih
cepat yang dimulai pada bulan ke 3, hal ini menunjukkan lanras Tasikmalaya
mempunyai daya simpan yang lebih pendek.
Nilai DB lanras Gresik hingga akhir periode simpan masih diatas 75%.
Sesuai Kepmentan No 991 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Sertifikasi Benih
Bina Tanaman Pangan bahwa daya berkecambah benih minimal untuk tanaman
kacang-kacangan adalah sebesar 80% untuk kelas benih breeder seed. Namun
45
demikian, daya berkecambah untuk varietas lokal minimum 65%. Belum ada
varietas kacang bambara yang dilepas baik berupa varietas hasil pemuliaan maupun
varietas lokal, sehingga daya berkecambah sebesar 65% masih masuk standar mutu
benih. Lanras Gresik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan lanras hasil
pemurnian (F7), sedangkan ketiga lanras lainnya diperoleh dari hasil budidaya
petani setempat. Hal ini diduga yang menyebabkan lanras Gresik memiliki DB yang
lebih tinggi. Penelitian Pillay (2003) menunjukkan bahwa lanras kacang bambara
yang sudah mengalami pemurnian memiliki daya tumbuh yang lebih baik
dibandingkan dengan benih hasil budidaya petani. Lanras Gresik memiliki ukuran
benih yang lebih kecil dari ketiga lanras lainnya. Rasyid (2012) menyatakan ukuran
benih kedelai yang lebih kecil mempunyai laju penurunan mutu benih yang lebih
perlahan sehingga dapat disimpan lebih lama. Daya simpan benih dipengaruhi oleh
kadar air, suhu ruang simpan, dan karakteristik benih yang dipengaruhi oleh genetik
serta interaksi lingkungan selama pemasakan benih hingga panen (Walters et al.
2010).
Tabel 19 Hasil persamaan eksponensial untuk peubah DHL dan nilai DHL bulan
ke-6
Landras Jenis Kemasan Persamaan DHL (µS.cm-1 .g-1 )
Pengujian Persamaan
Sumedang Alfoil y =-56.5224 / (1 + exp((x + 14.3287) / 6.02724)) 7.0 6.5
PP y = 0.463066 / (1 + exp((x - 1.86725) /0.801414)) 6.6 6.4
Karung y = 1.37051 / (1 + exp((x - 2.79974) /0.802216)) 11.7 12.0
Sukabumi Alfoil y = 1.69665/ (1 + exp((x - 2.3811) / 0.331344)) 7.6 7.3
PP y = - 149.075 / (1 + exp((x + 14.5471) /6.00079)) 9.5 9.3
Karung y = - 4.84463 / (1 + exp((x- 0.460923) / 1.24385)) 9.3 9.0
Gresik Alfoil y = -250.307/ (1+exp((x++ 6.64073) / 1.69141)) 7.0 6.2
PP y = -410.23 / (1 + exp((x+ 10.2683) / 2.3853)) 7.8 6.7
Karung y = -513.619 / (1 + exp((x + 11.7295) / 2.76959) 9.6 8.2
Tasikmalaya Alfoil y = - 66.4152 / (1 + exp((x + 18.1409) /9.21187)) 6.9 6.4
PP y = - 100.285/ (1 + exp((x + 21.7885) /10.2971)) 7.3 6.9
Karung y = 0.622291 / (1 + exp((x - 4.09364) /1.80522)) 10.0 10.2
Fitting/uji kesesuaian dilakukan untuk melihat kesesuaian antara pola
persamaan yang dihasilkan dengan peubah DHL hasil pengamatan secara deskriptif
menggunakan grafik. Pola peningkatan DHL pada tiga permeabilitas kemasan
yang berbeda pada setiap lanras hasil persamaan secara dominan dinyatakan sesuai
dengan DHL hasil pengujian pada setiap pengamatan berdasarkan masuknya pola
pada standar deviasi,berdasarkan standar deviasi. Hasil fitting disajikan pada
Gambar 13.
Garis hasil persamaan hampir semua masuk dalam rentang standar deviasi
pada setiap titik pengamatan selama periode simpan. Hal ini menunjukan bahwa
46
pola perilaku DHL yang dihasilkan dari persamaan dapat menggambarkan pola
perilaku DHL selama pengujian.
Gambar 13 Fitting pola persamaan deteriorasi dengan hasil pengujian pada peubah
DHL pada lanras (A) Sumedang, (B) Sukabumi, (C) Gresik dan (D)
lanras Tasikmalaya
Pola deteriorasi benih lanras Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras
Tasimalaya yang disimpan pada permeabilitas kemasan yang berbeda selama enam
bulan penyimpanan dengan peubah DHL disajikan pada Gambar 14. Nilai DHL
menunjukkan bahwa semakin lama periode simpan maka nilai DHL semakin
meningkat. Pola peningkatan DHL berbeda pada keempat lanras. Peningkatan DHL
terbesar pada kemasan karung plastik yang memiliki nilai permeabilitas yang paling
tinggi untuk setiap lanras. Pengaruh permeabilitas plastik PP dan alumunium foil
tidak berbeda tehadap perubahan nilai DHL, kecuali pada lanras Sumedang
(Gambar 14).
Pola nilai DHL lanras Sumedang dengan kemasan karung plastik
menunjukkan peningkatkan yang paling cepat, kemudian diikuti kemasan plastik
PP dan alumunium foil. Pola nilai DHL berbanding terbalik dengan laju deteriorasi,
sehingga lanras Sumedang dengan kemasan karung plastik memiliki laju deteriorasi
yang paling cepat. Peningkatan nilai DHL mulai terlihat setelah bulan kedua,
sedangkan pada periode simpan sebelumnya mengalami peningkatan yang
cenderung landai. Perbedaan bentuk garis dari pola nilai DHL pada lanras
Sumedang, mulai terlihat pada periode simpan 2 bulan. Hal ini terjadi pula pada
pola peubah daya berkecambah pada periode simpan yang sama. DHL merupakan
indikasi awal deteriorasi benih secara fisiologis yang ditandai dengan adanya
47
Gambar 14 Pola deteriorasi benih dengan peubah DHL pada lanras (A) Sumedang,
(B) Sukabumi, (C) Gresik, dan (D) Tasikmalaya
Pola nilai DHL pada lanras Gresik dan Tasikmalaya memiliki pola yang
hampir sama. Benih yang disimpan pada kemasan plastik PP dan alumunium foil
memiliki peningkatan DHL yang hampir sama, digambarkan dengan pola garis
yang berhimpit. Pola nilai DHL lanras Gresik pada kemasan karung plastik berada
diatas pola nilai DHL kemasan lainnya. Pola nilai DHL lanras Tasikmalaya yang
disimpan pada kemasan karung memiliki pola yang sama dengan kemasan lainnya
hingga periode 2.5 bulan, selanjutnya mengalami peningkatan yang cukup curam.
Titik anomali pada pola perilaku lanras Sukabumi ada periode simpan 3 bulan. Hal
ini ditunjukkan dengan perbedaan garis yang cenderung landai setelah periode
tersebut. Benih yang disimpan pada kemasan karung plastik dan plastik PP
memiliki nilai DHL yang hampir sama pada pada awal dan akhir periode simpan,
ditunjukan dengan garis yang berhimpit di titik tersebut. Perbedaan lanras
memberikan respon yang berbeda-beda terhadap peningkatan DHL, hal ini diduga
berkaitan dengan komposisi kimia yang berbeda antar lanras (Wahyuni 2014).
Deteriorasi benih diamati berbasis peubah DB dan DHL, dimana benih yang
mengalami deteriorasi ditandai dengan DB yang menurun dan DHL yang
meningkat. Menurut Tatipata et al. (2004), daya berkecambah benih selama
penyimpanan menurun, hal ini berhubungan dengan kadar air yang masuk kedalam
48
epidermis epidermis
hipodermis
hipodermis
A B
epidermis
epidermis
hipodermis
hipodermis
C D
Gambar 15 Sayatan melintang kulit benih kacang bambara lanras (A) Sumedang,
(B) Sukabumi, (C) Gresik, (D) Tasikmalaya
permeabilitas kulit benih ditentukan oleh jaringan palisade. Ukuran benih, warna,
dan ketebalan kulit merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan
peningkatan daya hantar listrik. Hubungan antara kadar air, organisasi di tingkat
membran sel benih dan jumlah kebocoran dalam larutan rendaman benih
merupakan dasar teori dari pengujian daya hantar listrik (Wain-Tassi et al. 2012).
Jumlah kebocoran elektrolit yang rendah yang dilepaskan ke dalam larutan
rendaman benih, mengindikasikan bahwa benih memiliki vigor yang tinggi
(Carvalho et al. 2009).
4.4 Simpulan
4.5 Saran
Abstract
Bambara groundnut is not Indonesian’s native plant, but has long been
cultivated in Indonesia. Development of bambara groundnut in Indonesia requires
potential land information for bambara groundnut cultivation. The research was
carried out to obtain spatial information and pattern in the form of a map of the
area in accordance with the growing requirements for the development of bambara
groundnut in Java island. Identification of regional potential was carried out by
analyzing land suitability, based on data on temperature, altitude, soil type, pH and
rainfall. The geographical data information was combined with the growing
requirements of bambara groundnut with the concept of geographic information
system (GIS) using excell and ArcMap version 10.5, resulting in a land suitability
map classified into: very suitable (S2), appropriate (S1) and not suitable (N). The
result of the study was a map of bambara groundnut land suitability in the Java
island based on surface temperature, altitude, soil pH, soil type and rainfall in
accordance with the requirements for growing bambara groundnut. The actual
area of cultivation of bambara groundnut obtained based on the survey is valid
with a map of bambara groundnut land suitability on the Java island. Potential
land area for developing bambara groundnut in the the Java island: the province
of Banten is 324 636.68 ha, DKI Jakarta 4 322.01 ha, West Java 1 136 791.99 ha,
Central Java 1 019 082.57 ha, East Java 1 414 205.72 ha and DI Yogyakarta 157
132.22 ha.
Abstrak
valid dengan peta kesesuaian lahan kacang bambara di Pulau Jawa. Luas lahan
potensial untuk pengembangan kacang bambara di Pulau Jawa pada propinsi
Banten seluas 324 636.68 ha, DKI Jakarta seluas 4 322.01 ha, Jawa Barat seluas 1
136 791.99 ha, Jawa Tengah seluas 1 019 082.57 ha, DI Jawa Timur seluas 1 414
205.72 ha dan Yogyakarta seluas 157 132.22 ha.
Kata kunci: ArcMap, curah hujan, lahan potensial, SIG, tipe tanah
5.1 Pendahuluan
hujan. Data spasial berupa Citra Landsat 8 ETM+, peta jenis tanah, data curah
hujan tahunan rata-rata, peta rupa bumi (RBI skala 1 : 25 000) dan peta penutupan
lahan di Pulau Jawa. Data survey berupa daerah aktual budidaya kacang bambara,
yang digunakan sebagai data untuk memvalidasi. Software yang digunakan untuk
pengolahan data adalah excell dan ArcMap10.5.
Secara lebih jelas alur penelitian pembuatan peta kesesuaian lahan kacang bambara
dapat dilihat pada diagram alir pada Gambar 16.
54
Peta tutupan
Citra Satelit Peta Jenis Peta Jenis Peta RBI Skala
lahan di Pulau
Landsat 8 Tanah Tanah 1 : 25.000
Jawa
Peta Suhu Peta Struktur Peta Curah Hujan Peta Ketinggian Peta Batas
Peta pH Tanah
Permukaan (ºC) Tanah Tahunan (mm) (m) Administrasi
Skoring
Overlay
syarat tumbuh dan penutupan lahan adalah yang berupa lahan sawah, perkebunan,
semak belukar dan lahan kosong. Selanjutnya dihitung luas wilayah potensial
dikurangi dengan luas lahan sawah di Pulau Jawa, dengan tujuan agar tidak
mengganggu produksi padi. Setiap peubah yang digunakan akan memiliki kelas
nilai, semakin tinggi nilainya akan mempresentasikan semakin sesuai kelas untuk
peubah tersebut.
5.3.1 Analisis Suhu Rata-rata Tahunan
Suhu rata-rata tahunan untuk seluruh Pulau Jawa didapatkan dari data
penginderaan jauh citra lansat 8 ETM+ yang banyak digunakan terutama dalam
kajian sumberdaya alam dan pengamatan cuaca. Data penginderaan jauh yang
didapat kemudian diekstraksi informasi nilai suhu secara regional dengan
menggunakan hasil pengolahan saluran thermal (band 10) dari citra landsat 8
ETM+ seperti pada Tabel 21.
Saluran thermal dapat dianalisis untuk memperoleh informasi suhu suatu
wilayah permukaan bumi melalui pengolahan citra digital. Analisis berdasarkan
nilai digital number (DN) melalui proses koreksi radiometrik dengan mengubah
nilai DN ke cahaya, diubah ke suhu permukaan (Kelvin), dan kemudian diubah ke
Celcius sehingga dapat diperoleh peta pola suhu permukaan di Pulau Jawa dan
Madura. Suhu permukaan tersebut dinilai berdasarkan syarat tumbuh kacang
bambara, yang selanjutnya dari informasi ekstraksi data penginderaan jauh
(Thermal) disesuaikan dengan klasifikasi kelas nilai suhu seperti pada Tabel 21.
Tabel 21 Pembagian saluran (band) pada citra landsat 8 ETM+
Band Wavelength Useful for mapping
Band 1 - coastal aerosol 0.43 – 0.45 Coastal and aerosol studies
Bathymetric mapping,
distinguishing soil from vegetation
Band 2 – blue 0.45 – 0.51
and deciduous from coniferous
vegetation
Emphasizes peak vegetation, which
Band 3 – green 0.53 – 0.59
is useful for assessing plant vigor
Band 4 – red 0.64 – 0.67 Discriminates vegetatiton slopes
Emphasizes biomass content and
Band 5 – Near Infrared (NIR) 0.85 – 0.88
shorelines
Discriminates moisture content of
Band 6 – Short-wave Infrared
1.57 – 1.65 soil and vegetation, penetrates thin
(SWIR) 1
clouds
Improved moisture content of soil
Band 7 – Short-wave Infrared
2.11 – 2.29 and vegetation and thin cloud
(SWIR) 2
penetration
Band 8 – Panchromatic .50 – 68 15 m resolution, sharper image
Improved detection of cirrus cloud
Band 9 – Cirrus 1.36 – 1.38
contamination
100 m resolution thermal mapping
Band 10 – TIRS 1 10.60 -11.19
and estimated soil moisture
100 m resolution. Improved
Band 11 – TIRS 2 11.5-12.51 thermal mapping and estimates soil
moisture
Sumber : www.usgs.gov
56
Berdasarkan analisis dan peta kesesuaian suhu di Pulau Jawa (Gambar 17),
sebagian besar daerah di Pulau Jawa memiliki suhu optimum yang sesuai dengan
syarat tumbuh kacang bambara, yaitu antara 20-28 oC. Sebagian kecil wilayah di
Pulau Jawa memiliki suhu < 20 oC ditunjukkan dari bagian yang berwarna hijau
pada peta. Pertumbuhan kacang bambara terutama proses respirasi sangat di
pengaruhi oleh suhu, sedangkan fotosintesis dipengaruhi oleh lama penyinaran.
Hasil yang ditunjukkan dari peta Gambar 18 terlihat bahwa sebagian besar
wilayah di Pulau Jawa yang berada pada ketinggian di bawah 600 m dpl
ditunjukkan dari wilayah yang berwarna kuning. Hanya sebagian kecil wilayah di
Pulau Jawa yang memiliki ketinggian 600-1000 m dpl, namun kacang bambara
tetap bisa tumbuh dan berproduksi baik jika kombinasi faktor lingkungan dan
agroklimat lainnya mendukung.
5.3.3 Analisis Jenis Tanah
Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat.
Peta tekstur tanah diperoleh dari analisa pada peta jenis tanah karena setiap jenis
tanah mempunyai sifat-sifat fisik tanah yang berbeda. Tabel nilai kesesuaian jenis
tanah terhadap syarat tumbuh kacang bambara, tertera pada Tabel 24.
Tabel 24 Klasifikasi jenis tanah
Jenis Tanah (Ordo) Nilai
Entisol 1
Ultisol 2
Inseptisol 2
Alfisol 3
Sumber: Hasil analisis (2017)
Tekstur tanah sangat berhubungan dengan jenis tanah, dan tekstur tanah
yang paling sesuai untuk tanaman kacang bambara adalah liat berpasir (sandy
loam). Peta sebaran jenis tanah di Pulau Jawa menunjukkan bahwa sebagian
besar jenis tanahnya adalah ordo Inseptisol, dengan skor nilai kesesuaian 2 yang
berarti agak sesuai. Jenis tanah yang mempunyai skor 3 atau sangat sesuai adalah
tekstur tanah liat berpasir yang ada dalam ordo Alfisol, dan mempunyai sebaran
yang sedikit di Pulau Jawa, tersaji pada Gambar 19.
curah hujan di Pulau Jawa berdasarkan syarat tumbuh kacang bambara pada
Gambar 21.
Gambar 22 Peta kesesuaian lahan kacang bambara di Pulau Jawa beserta daerah
existing dan wilayah potensial
63
Luas lahan yang potensial adalah seluruh lahan perkebunan, pertanian lahan
kering, sawah, semak belukar dan tanah terbuka yang masuk dalam kriteria sangat
sesuai (S2) dan sesuai (S1). Tidak semua daerah dengan kategori sangat sesuai (S2)
dan sesuai (S1) berpotensi sebagai daerah pengembangan, karena mungkin daerah
64
tersebut berada dalam daerah pemukiman, hutan, rawa atau daerah lain yang tidak
dapat digunakan sebagai wilayah pengembangan. Atau sebaliknya daerah dengan
kategori tidak sesuai (N) berada pada wilayah yang potensial. Lahan yang belum
digunakan secara intensif sebagai areal pertanian, misalnya semak/belukar, hutan
yang dapat dikonversi, dan lahan pertanian terlantar diarahkan sebagai areal
ekstensifikasi tanaman yang sesuai (Ritung dan Hidayat 2003).
Tabel 30 menyajikan luas wilayah dengan klasifikasi sangat sesuai (S2) dan
sesuai (S1) dan merupakan wilayah yang potensial seperti pada Gambar 22.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan map calculator dalam ArcMap10.5.
Hasil perhitungan pendugaan yang diperoleh sangat tergantung kepada asumsi yang
dipakai, semakin dekat asumsi yang dipakai dengan kenyataan, semakin akurat
estimasi yang dihasilkan. Dari tabel terlihat propinsi DI Yogyakarta memiliki
persentase luas lahan untuk kategori S2 dan S1 pada wilayah yang potensial sebesar
66.83% dari total luas wilayah, namun sampai saat ini kacang bambara belum
dibudidayakan di DI Yogyakarta. Hal ini mungkin disebabkan karena belum
banyak yang mengenal dan mengetahui potensi kacang bambara sebagai komoditas
pertanian. Kacang bambara segar mempunyai harga yang cukup mahal yaitu
berkisar Rp 20.000/kg, sehingga layak diperhitungakan sebagai komoditas yang
ekonomis.
Tabel 30 Luas wilayah potensial dengan klasifikasi sangat sesuai dan sesuai untuk
produksi benih dan pengembangan kacang bambara di Pulau Jawa
Sangat sesuai (S2) Sesuai (S1) Total luas potensial Total luas wilayah
Propinsi
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha)
Banten 5 475.94 0.61 519 640.74 57.56 525 116.68 58.17 902 764.67
DKI Jakarta 0 0 5 100.01 7.99 5 100.01 7.99 63 801.67
Jawa Barat 214 265.79 5.62 1 846 833.20 48.45 2 061 098.99 54.07 3 812 181.72
Jawa Tengah 251 573.68 7.20 1 734 155.89 49.62 1 985 729.57 56.82 3 494 933.23
Jawa Timur 259 278.04 5.49 2 256 692.68 47.79 2 515 970.72 53.28 4 722 178.39
DI Yogyakarta 15 299.53 4.83 196 249.69 61.99 211 549.22 66.83 316 533.91
Total 745 892.98 5.60 6 558 672.21 49.27 7 304 565.19 54.87 13 312 393.59
Sumber: Hasil analisis (2017)
Asumsi dapat dilanjutkan bahwa wilayah produksi benih kacang bambara dan
pengembangan tidak mengganggu lahan sawah produksi padi di Pulau Jawa, maka
wilayah potensial dihitung kembali dengan mengeluarkan kriteria lahan sawah,
baik tadah hujan maupun irigasi. Perhitungan yang digunakan adalah luas wilayah
potensial dalam peta dikurangi dengan luas lahan sawah setiap propinsi di Pulau
Jawa. Data luas lahan sawah yang digunakan bersumber dari Kementan (2017),
sehingga didapatkan asumsi baru luas wilayah pengembangan dan produksi benih
kacang bambara seperti pada Tabel 31.
Tabel 31 memperlihatkan wilayah yang potensial tanpa mengganggu lahan
sawah untuk padi masih cukup luas untuk produksi benih dan pengembangan
kacang bambara. Potensi ini merupakan potensi teoritis, ditinjau dari kesesuaian
lahan dan beberapa faktor lain yang dipertimbangkan dalam percobaan ini.
65
5.4 Simpulan
5.5 Saran
6 PEMBAHASAN UMUM
benih. Lanras Sumedang mempunyai pola pertumbuhan akar, batang dan daun
yang paling tinggi dibandingkan ketiga lanras lainnya, tetapi mempunyai pola
pertumbuhan polong paling rendah. Hal ini menunjukkan lanras Sumedang
mempunyai pola pertumbuhan vegetatif yang tinggi, namun tidak efektif dalam
penggunaan hasil fotosintesis menjadi polong yang merupakan komponen hasil.
Hal ini diduga hasil fotosintesis lebih banyak digunakan pada fase vegetatif, dan
tidak maksimal digunakan dalam pembentukan polong. Partisi ke organ vegetatif
terus berlangsung meskipun seharusnya tanaman sudah memasuki fase pengisian
polong. Menurut Brink (1999), kacang bambara merupakan tanaman indeterminit,
pembentukan daun masih terjadi meskipun sudah memasuki fase pembentukan
bunga. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan intervensi manusia misalnya
dengan pemberian zat pengatur tumbuh ataupun perlakuan cekaman lingkungan,
apabila belum dilakukan perbaikan secara genetik melalui pemuliaan. Hal ini
bertujuan lanras Sumedang dapat mengalihkan fase vegetatif ke fase generatif
untuk menghasilkan biji polong. Penuaan atau senescence pada daun dapat
dipercepat atau diperlambat dengan memberikan ZPT, seperti sitokinin dan etilen
yang akan menyebabkan gugurnya daun (Schippers et al. 2007). Menurut Matos
et al. (2012), penuaan daun akan menyebabkan penurunan aktivitas fotosintesis,
kandungan klorofil, aktivitas nitrat reductase, pertumbuhan vegetatif dan
kandungan nitrogen.
Lanras Gresik mempunyai pola pertumbuhan akar, batang dan daun yang
lebih rendah, tetapi mempunyai pola pertumbuhan polong yang paling tinggi,
artinya lanras Gresik menghasilkan polong paling banyak. Selain kemampuan
produksi biologis yang ditunjukkan dengan bobot kering, produktivitas tanaman
juga ditentukan oleh kemampuan dalam menghasilkan produk utama, yaitu polong
atau benih pada kacang bambara. Kemampuan tersebut dinyatakan dalam indeks
panen (Mastur 2015). Menurut Bellaloui dan Gillen (2010), mekanisme
pengendalian partisi asimilat menjadi biji melalui batang utama belum diketahui
secara pasti, laju partisi protein, minyak dan asam lemak ke biji dipengaruhi oleh
posisi buku pada batang utama, kultivar atau varietas, serta status N dan S pada biji.
Upaya untuk meningkatkan produksi benih dapat dilakukan dengan invigorasi dan
pengaturan jarak tanam yang optimum. Invigorasi atau perlakuan benih sebelum
tanam diperlukan agar benih yang ditanam segera dapat segera berkecambah, untuk
menghindari benih dari stress lingkungan. Menurut Khan (1992) terdapat beberapa
metode invigorasi yaitu, priming/liquid priming/osmopriming/osmoconditioning
dan solidmatrix priming/matriconditioning.
Hasil percobaan 2 menunjukkan bahwa invigorasi meningkatkan persentase
daya tumbuh benih jika dibandingkan dengan benih yang tidak diberi perlakuan
invigorasi (I0) pada keempat lanras kacang bambara. Benih kacang bambara
mempunyai kulit yang keras dan impermeable yang menyebabkan air sulit masuk
ke dalam benih (Berchie et al. 2010), sehingga seringkali membuat benih kacang
bambara berkecambah lebih lama dan tidak seragam (Sesay dan Yarmah 1996,
Sinefu et al. 2011). Kedua perlakuan invigorasi matriconditioning + Rhizobium sp
(I1) maupun hydropriming (I2) memiliki efektivitas yang sama dalam
meningkatkan daya berkecambah benih kacang bambara. Invigorasi dapat
meningkatkan perkecambahan benih pada kacang bambara dengan pemanfaatan
cadangan makanan pada awal pembentukan tanaman (Modi 2013).
68
ruang simpan terhadap kadar air benih, sehingga tingkat permeabilitas kemasan
benih menjadi faktor penting dalam proses tersebut.
Hasil dari percobaan 3 menunjukkan bahwa pola deteriorasi benih yang
disimpan menggunakan kemasan dengan permeabilitas yang berbeda pada sistem
penyimpanan terbuka selama 6 bulan dapat didekati dengan pola persamaan
sigmoid. Berdasarkan pola deteriorasi yang dihasilkan, lanras Gresik yang
disimpan menggunakan kemasan dengan permeabilitas yang rendah mempunyai
pola deteriorasi yang lebih lambat, baik pada peubah daya berkecambah (DB)
maupun daya hantar listrik (DHL), sehingga lanras Gresik memiliki daya simpan
yang lebih lama dibandingkan dengan lanras lainnya. Sebaliknya lanras Sumedang
yang disimpan pada kemasan dengan permeabilitas yang tinggi mempunyai pola
deteriorasi yang cepat untuk peubah DB dan DHL, hal ini menunjukkan lanras
Sumedang mempunyai periode simpan yang lebih pendek. Menurut Matthews dan
Powell (2006) menurunnya kualitas membran benih ditunjukkan dengan nilai DHL
yang tinggi yang mengindikasikan bahwa benih mengalami kebocoran. Kemasan
yang tidak dapat melindungi benih dari penyerapan uap air selama penyimpanan
akan meningkatkan proses kemunduran benih (Destiana et al. 2016). Permeabilitas
kemasan akan mengontrol laju aliran air antara ruang simpan terhadap ruang dalam
kemasan diluar benih. Beberapa kemasan diantaranya alumunium foil dan PP yang
mempunyai permeabilitas yang rendah seperti menjadi penghambat yang baik
terhadap masuknya cahaya dan oksigen (Brown dan Williams 2003).
Setiap lanras kacang bambara mempunyai pola deteriorasi dan daya simpan
yag berbeda meskipun disimpan menggunakan kemasan yang permeabilitasnya
sama, hal ini diduga disebabkan adanya perbedaan ukuran, warna, ketebalan dan
permeabilitas kulit benih, selain dipengaruhi oleh vigor awal. Permeabilitas kulit
benih dipengaruhi oleh ketebalan dan struktur kulit benih, tetapi tidak selalu kulit
yang tebal akan memiliki permeabilitas yang rendah. Benih lanras Gresik memiliki
epidermis dan hipodermis kulit benih termasuk jaringan palisade yang paling tebal,
diikuti lanras Sukabumi, Tasikmalaya dan terakhir lanras Sumedang. Permeabilitas
kulit benih akan mengontrol laju aliran air antara ruang dalam kemasan terhadap
benih. Permeabilitas kulit benih dipengaruhi oleh ketebalan dan struktur kulit benih
serta komposisi kimia benih. Benih yang memiliki kulit yang lebih tebal lebih tahan
disimpan, karena kulit benih yang tebal dan impermeabel mampu menahan laju
imbibisi air ke dalam benih yang akan mengaktifkan metabolisme dalam benih.
Kulit benih kedelai yang berperan dalam imbibisi air kedalam benih hanya lapisan
epidermis dan hipodermis. Lapisan epidermis terluar benih yang menjadi penentu
masuknya air, mengandung lignin, dan tersusun atas lapisan palisade yang
berfungsi mengatur imbibisi air. Semakin tebal kulit benih semakin lama waktu
yang dibutuhkan air mengisi rongga dalam lapisan kulit (Krisnawati dan Adie
2008). Permeabilitas kemasan dipengaruhi oleh jenis kemasan. Masuknya air ke
dalam benih akan mengaktivasi enzim menyebabkan aktivitas respirasi meningkat,
pembongkaran cadangan meningkat yang akan menyebabkan benih mengalami
deteriorasi. Laju aliran air dipengaruhi oleh kondisi kelembaban udara dalam ruang
simpan, permeabilitas kemasan, permeabilitas kulit benih serta kondisi air dalam
benih.
Peta yang dihasilkan dari percobaan 4 adalah peta kesesuaian lahan dan
wilayah potensial di Pulau Jawa, karena berdasarkan survey yang dilakukan,
budidaya kacang bambara hanya dilakukan di daerah di Pulau Jawa. Lanras
70
7 KESIMPULAN UMUM
DAFTAR PUSTAKA
Ali A, Ayuba SA, Achor OI. 2014. Effect of bambara groundnut (Voandzecia
subterranea (L) Verde) biomass on the growth and yield of maize (Zea mays)
in the sub-humid southern guinea savanna of nigeria. International J of
Innovative Research & Development. 3(3).
Adzwala W, Donkah SA, Nyarko G, Re’illy OP, Olayide OE, Awai PE. 2015.
Technical efficiency of bambara groundnut production in Nothern Ghana.
UDS International J of Development. 2(2):37–39.
Adzwala W, Samuel D, George N, Patrick JOR, Olawale OT, Mayes S, Felman
A, Azman HR. 2016. Adoption of bambara groundnut production and it’s
effect on farmers welfare in Nothern Ghana. African Journal of Agricultural
Research. 101(7):583-594.
Afzal I, Shahzad MAB, Ahmad N, Cheema MA, Warraich EA, Khalid A. 2002.
Effect of priming and growth regulator treatments on emergence and seedling
growth of hybrid maize (Zea mays L). Internat J Agri and Biol 4(2):303-306.
Ahammad KU, Rahman MM, Ali MR. 2014. Effect of hydropriming method on
maize (Zea mays) seedling emergence. Bangladesh J. Agril. Res. 39(1):143-
150
Alhassan GA, Kalu BA, Egbe OM. 2012. Influence of planting densities on the
perfomance of intercropped bambara groundnut with cowpea in Makurdi,
Benue state, Nigeria. International J of Development and Sustainability. 1(3).
Anni AI, Saptaningsih E, Haryanti S. 2013. Pengaruh naungan terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman bawang daun (Allium fistulosum L) di
Bandungan Jawa Tengah. Jurnal Biologi. 2(3):31-40.
Akpalu MM. 2010. Growth, yield and nutritional quality of five bambara groundnut
(Vigna subterrenea (L). Verdc.) landraces to different plant population
densitas [tesis]. Kwame Nkrumah University of Science and Technology.
Kumasi.
Arief R, Koes F. 2010. Invigorasi benih. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai
Penelitian Tanaman Serealia.
Arpah M. 2007. Penetapan Kadaluwarsa Pangan. Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pangan Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Astawan M. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta:
Penebar Swadaya
Bamshaiye OM, Adegbola JA and Bamishaiye EI. 2011. Bambara groundnut: an
under-utilized nut in Africa. Advances in Agricultural Biotechnology 1:60-
72
Bellaloui N, Gillen AM. 2010. Soybean seed protein, oil, fatty acids, N, S,
partitioning as affected by node position and cultivar differences.
Agricultural Sciences. (1):110-118.
Berchie JN, Adu D, Sarkodie AH, Asare J, Agyemang E, Addy AS, Donkoh J.
2010. Effect of seed priming on seedling emergence and establishment of four
bambara groundnut (Vigna subterrenea (L). Verdc.) Landraces. J of
Agronomy. 9:180-183.
73
[BIG]. Badan Informasi Geospasial. 2017. Peta Rupa Bumi. [internet]. [diacu
2017 April]. Tersedia dari: http://www.tanahair.indonesia.go.id
Biodiversity International. 2015. Nutritious underutilized species.
http://biodiversityinternational.org/uploads/tx_news/Nutritious_underutilize
d_species_Bambara_groundnut_1683_01.pdf
Burkhart HE. 2003. Suggestion for choosing an appropriate level for modelling
forest stand. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest
System. CABI Publishing.
Brink M. 1999. Development, growth and dry matter partitioning in bambara
groundnut (Vigna subterranea) as influenced by photoperiod and shading. J
of Agricultural SciCambridge. 133:159-166
Brown H, William J. 2003. Packaged Product Quality and Shelflife. Food Packing
Technology. Coles R, Mc Doweel D, Kirwan MJ (editor). Blackwell
Publishing Ltd. USA. 77-81.
Carvalho LF, Sediyama CS, Reis MS, Dias DCFS, Moreira MA. 2009. Influence
of soaking temperature of soybean seeds in the electrical conductivity test to
evaluate physiological quality. Revista Brasileira de Sementes. 31: 9-17.
Copeland LO and McDonald. 2001. Principles of Seed Science and Technology.
Edisi ke 4. New York: Chapman & Hall.
[DAFF] Departement Agriculture, Foresting and Fisheries Republic of South
Africa. 2016. Production guidelines for bambara groundnuts. Directorate
Plant Production.
Destiana ID, Darmawati E, Nugroho LDE. 2016. Pengaruh beberapa kemasan
plastik terhadap kualitas benih kedelai selama penyimpanan. Jurnal
Keteknikan Pertanian. 4(1):45-52.
[DITJEN TP] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Bahan Sosialisasi
Pengembangan Budidaya Kacang Lain. Jakarta.
Eldandaly K, Eldin N, Sui D. 2003. A com-based spatial decision support system
for industrial site selection. Inter J Geographic Information Sci. 7(2):72-92.
El Naim AM, Eldouma MA, Abdalla AE. 2010. Effect of weeding frequencies
and plant population on vegetative growth characteristic in groundnut
(Arachis hypogea L.) in North Kordofan of Sudan. Int.J.Appl.Biol.
Pharmaceut.Technol. 1(3):1188-1193.
[FAO] Food Agricultural Organization. 2011. Data sheet Vigna subterranea.
Ecocrop.
Fitriesa S, Ilyas S, Qadir A. 2016. Invigorasi dan pengurangan pupuk N untuk
meningkatkan pertumbuhan, hasil dan mutu benih kacang bambara. J. Agron.
Ind. 44(2):190-196.
Fourcaud T, X Zhang, Stokes A, Lambers H, Komer C. 2008. Plant growth
modelling and application: The increasing importance of plant architecture in
growth models. Ann.Bot. 101:1053-1063.
Gozali AR. 2017. Pembuatan keju lunak berbahan dasar kacang bogor (Vigna
subterranea) dengan Lactobacillus acidophillus dan enzim Rennet [skripsi].
Surabaya (ID):Universitas Surabaya.
Hamakareem HK, Hamahasan BM, Salih Ali SH. 2016. Influence of plant spacing
on the growth and yield of groundnut (Arachis hypogea L).
Int.J.Curr.Res.Biosci.Plan.Biol. 3(10):7-12.
74
Mabhaudhi T, Modi AT, Beletse YG. 2013. Growth, phenological, and yield
responses of a bambara groundnut accession to imposed water stress: II. Rain
shelter conditions. Water SA. 39:191-198.
Makaborang M, Goenadi S, Hadi P. 2009. Optimasi penggunaan lahan berdasarkan
kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman perkebunan (studi
kasus : kabupaten Sumba Timur provinsi Nusa Tenggara Timur). Agritech.
29(4):188-197.
Marwoto dan Suhartina. 2002. Kacang Bogor: Budidaya, Potensi, dan
Pengembangan 83-92. Dalam: Pengembangan Kacang kacangan Potensial
Mendukung Ketahanan Pangan. Bogor (ID): Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Mastur. 2015. Sinkronisasi source dan sink untuk peningkatan produktivitas biji
pada tanaman jarak pagar. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak
Industri. 7 (1):52-68.
Mas’udah S. 2008. Pengaruh paclobutrazol terhadap kapasitas source-sink pada
delapan varietas kacang tanah (Arachis hypogea L.) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Massawe FJ, Mwale SS, Azam-Ali SN, Roberts JA. 2005. Breeding in bambara
groundnut (Vigna subterranea (L.) Verdc.): strategic considerations. African
J of Biotech. 4:463-471.
Mathieu A, Cournede PH, Letort V, Barthelemy D and de Reffye P. 2009. A
dynamic model of plant growth with interaction between development and
functional mechanism to study plant structural plasticity related to tropic
competition. Annals of Botany 103:1173-1186.
Matos FS, de Oliveria LD, de Freitas RG, Evaristo AB, Missio RF, Cano MAO,
Dias LAS. 2012. Physiological characterization of laef senescence of
Jatropha curcas L. Populations, Biomass and Bioenergi. 45:57-64.
Matthews S and Powell A. 2006. Electrical conductivity test: physiological basis
and use. ISTA News Buletin. (131):32-35. http://www.seedtest.org.
Mayadewi NNA. 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap
pertumbuhan gulma dan hasil jagung manis. Agritrop. 26(4):153-159.
Mazahib AM, Nuha MO, Salawa IS, Babiker EE. 2013. Some nutritional attributes
of bambara groundnut as influenced by domestic processing. Internat Food
Res J. (20):1165-1171.
Mkandawire FL, Sibuga KP. 2002. Yield response of bambara groundnut to plant
population and seedbed type. African Crop Sci J. 10:39-49.
Mkandawire CH. 2007. Review ofbambara groundnut (Vigna subterranea (L)
Verdcourt) production in sub-sahara africa. Agricultural J. 2(4):464-470.
Miao ZH, Fortune JA, Gallaghar J. 2001. Anatomical structure and nutritive value
of lupin seed coats. Aust J AgricRes. 52:985-993.
Modi AT. 2013. Pre-germination hydration affects seed performance in bambara
groundnut. Sci.Res.Essays 8(21):940-945.
Murungu FS, Chiduza C, Nyamugafata P, ClarkL J, Whalley WR, and Finch
Savage WE. 2004. Effects of ‘on-farm seed priming’ on consecutive daily
sowing occasions on the mergence and growth of maize in semi-arid
Zimbabwe. Field Crops Res. 89:49–57.
76
hal. 263-282. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat.
Rukmana O. 2000. Kacang Bogor: Budidaya dan Prospek Usaha Tani. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
Sadjad S. 1994. Kuantifikasi Metabolisma Benih. Jakarta (ID): Grasindo.
Safiatou S. 2012. Effect of different seed priming methods on germination, seedling
establishment and vigour in sorghum (Sorghum bicolor (L) Moench) and
bambara groundnut (Vigna subterranean (L) Verdc) [thesis]. School of
Graduate Studies. Kwame Nkrumah University of Science and Technology.
Kumasi.
Sarawa, Anas AA, Asrida. 2014. Pola distribusi fotosintat pada fase vegetatif
beberapa varietas kedelai pada tanah masam di Sulawesi Tenggara. J
Agroteknos.4(1):26-31.
Sari R, Prayudyaningsih R. 2015. Rhizobium: pemanfaatannya sebagai bakteri
penambat nitrogen. Info Teknis Eboni. 12(1):51-64.
Schippers JHM, Jing HC, Dijkwel PD. 2007. Developmental and hormonal
Control of Leaf Senescense, Senescences Process in Plants. Oxford (UK):
Gan S Blackwell Publishing. p145-170.
Sesay A, Yarmah A. 1996. Field studies on bambara groundnut in Sierra Leone.
Proceeding of the International Bambara Groundnut Symposium. July 23 -
25, University of Nottingham, UK. p 45-60.
Shirtliffel SJ, Johnston AM. 2002. Yield density relationships and optimum plant
population in two cultivars of solid seeded dry bean (Puaseolus vulgaris L.)
grown in Saskatchewan. Canadian J of Plant Sci. 83:521-529.
Sinefu F, Modi AT, Mabhaudhi T. 2011. Seed quality component of bambara
groundnut landrace from Kwazulu-Natal South Africa. African Crop Sci
Conference Proccedings. 10:149-156.
Sitompul SM. 2016. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. UB Press. 406 hal.
Sucahyo D, Sari M, Surahman M, Ilyas S. 2013. Pengaruh perlakuan invigorasi
pada benih kedelai hitam (Glysine soja) terhadap vigor benih, pertumbuhan
tanaman, dan hasil. J. Agron. Indonesia. 41(2):126-132.
Suwanpraset J, Toojinda T, Srivines P, Chanprame S. 2006. Hybridization
technique for bambara groundnut. Breeding Science. (56):125-129.
Tatipata A, Yudono P, Purwantoro A, Mangoendidjojo W. 2004. Kajian aspek
fisiologi dan biokimia deteriorasi benih kedelai dalam penyimpanan. Ilmu
Pertanian. 11(2):76 -87.
Taylor AG, Allen PS, Bennet MA, Bradford KJ, Burris JS, Misra MK. 1998. Seed
enhancements. Seed Sci. Res 8 (2) : 245-256 .
Toure Y, Kone M, Tanoh HK, Kone D. 2012. Agromorphological and phenological
variability of 10 bambara groundnut accessions cultivated in the Ivory Coast.
Tropicultura. 30(4): 216-221.
Trueman S. 2017. Seed priming : Speeding up the germination process.[Internet].
[diunduh 2017 Maret 10]. Tersedia pada: https: //www.thoughtco.com/
seed.priming.speeding-up-the-germination.process_41993.
[USGS]. United States Geological Survey. 2018. Landsat 8 band designation.
[internet]. [diacu 2018 November 20]. Tersedia dari: http://www.usgs.gov
78
Wahyuni A. 2014. Model dinamik daya simpan pada penyimpanan terbuka benih
kedelai [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wahyunto, Hikmatullah, Suryani E, Tafakresnanto C, Ritung S, Mulyani A,
Sukarman, Nugroho K, Sulaeman Y, Apriyana Y, Suciantini, Pramudia A,
Suparto, Subandiono RE, Sutriadi T, Nursyamsi D. 2016. Petunjuk Teknis
Pedoman Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Strategis
Tingkat Semi Detail Skala 1:50.000. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Wain-Tassi AL, Santos JF, Panizzi RJ, Vierira RD. 2012. Seed-borne pathogens
and electrical conductivity of soybean seeds. Sci.Agric. 69 (1): 19-25.
Walters C, Daniel B, Vertucci VA. 2010. Structural mechanics of seed
deterioration: standing the test of time. Plant science.179:565-573.
Wibowo W. 2008. Kajian tingkat populasi dan konsentrasi pupuk daun terhadap
pertumbuhan dan hasil beberapa varietas jagung hibrida Zea mays L[tesis].
Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.
Wicaksana N, Hindun, Waluyo B, Rachmadi M, Karuniawan A, Kurniawan H.
2013. Karakterisasi morfo-agronomis kacang bambara (Vigna subterranea
(L). Verdc.) asal Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional 3 in ONE
Hortikultura, Agronomi, dan Pemuliaan Tanaman; 2013 Agustus 21;
Malang, Indonesia, hlm 349-357. Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Widajati E, Murniati E, Palupi ER, Kartika T, Suhartanto MR, Qadir A. 2013.
Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Bogor (ID): IPB Press.
Wirosoedarmo R, Sutanhaji AT, Kurniati E, Wijayanti R. 2011. Evaluasi
kesesuaian lahan untuk tanaman jagung menggunakan metode analisis
spasial. Agritech. 31(1):71-78.
Wunk A, Andrzej GG, Jan B, Kozak M. 2013. Visualizing harvest index in corps.
Communications in Biometry and Corp Sci. 8(2):48-59.
Yanti D, Arlius F, Nurmansyah W. 2015. Analisis kesesuaian lahan untuk tanaman
perkebunan di kecamatan Bungus Teluk Kabung kota Padang. J Teknologi
Pertanian Andalas.
79
LAMPIRAN
Lampiran 2 Data curah hujan bulan November 2015 s/d bulan April 2016
Tanggal Curah hujan (mm)
Nov Des Jan Feb Mar Apr
1 11.8 67.8 0.4 30.7 29.1 3.2
2 24.6 4.5 33.4 2.9 7.9 20.3
3 24.2 - 103.8 33.5 1.6 62.4
4 5.5 14.5 6.5 14.6 TTU 15.8
5 16.8 22.6 0.9 3.6 4.1 8.3
6 1.3 20.3 0.2 14.7 1.3 3.4
7 - 81.5 40.1 1.9 24.4 64.2
8 40.0 9.5 - 1.1 - -
9 155.8 3.2 - 47.7 64.1 1.9
10 21.2 70.8 41.8 8.1 9.0 2.9
11 - 15.9 - 18.7 36.5 0.6
12 47.2 69.7 2.5 2.4 21.9 4.0
13 47.4 7.8 25.1 0.7 3.2 -
14 51.2 0.8 0.8 39.0 73.3 0.5
15 - 0.1 4.4 19.1 52.1 22.7
17 62.4 12.4 - 4.4 - -
18 TTU 4.9 TTU 71.8 1.0 41.5
19 3.9 5.7 34.2 - - 30.9
20 - 12.2 64.8 - TTU 21.2
21 3.4 28.1 6.9 - 6.0 108.9
22 37.6 6.1 TTU 0.2 0.8 31.9
23 36.7 - 2.6 6.1 15.6 -
24 - 6.3 2.4 12.2 4.5 11.9
25 72.6 - 16.1 15.7 12.7 1.0
26 89.4 - 2.8 14.0 43.2 73.7
27 9.6 7.0 - 105.7 - 3.8
28 - 48.0 TTU 102.6 0.3 5.9
29 26.4 21.6 48.0 26.4 8.9
30 15.4 33.0 18.0 0.7 9.6
31 0.7 2.6 TTU
Sumber: BMKG (2016), Keterangan : (-) = tidak ada hujan, TTU = curah hujan tidak terukur
80
Lampiran 3 Suhu harian bulan November 2015 s/d bulan April 2016
Lampiran 4 Foto dan keterangan lanras Sumedang, Sukabumi, Gresik dan lanras
Tasikmalaya
Lanras Sumedang
Lanras Sukabumi
Lanras Gresik
Lanras Tasikmalaya
Lampiran 5 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Sumedang pada
berbagai perlakuan jarak tanam
Lampiran 6 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Gresik pada berbagai
perlakuan jarak tanam
Lampiran 7 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Sukabumi pada
berbagai perlakuan jarak tanam
Lampiran 8 Data aktual dan persamaan bobot kering lanras Tasikmalaya pada
berbagai perlakuan jarak tanam
Lampiran 9 Data aktual dan persamaan peubah daya berkecambah (%) empat
lanras kacang bambara
Lanras Sumedang
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 89.33 89.83 89.33 88.32 89.33 86.97
1 89.33 88.18 84.00 85.73 82.00 84.43
2 85.33 85.35 81.33 81.76 77.33 79.30
3 80.67 80.77 78.67 75.89 73.33 70.29
4 73.33 74.01 65.33 67.70 57.33 57.83
5 66.00 65.31 58.00 57.13 44.00 45.23
6 56 55.87 45 44.79 37 35.96
Lanras Sukabumi
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 96.00 96.09 96.00 95.86 96.00 93.27
1 95.33 95.22 93.33 93.91 88.67 87.68
2 92.67 92.72 90.67 89.61 84.00 83.35
3 88.00 87.87 82.67 83.95 78.67 80.00
4 82.67 83.07 80.67 80.00 79.33 77.40
5 77.33 79.77 75.33 71.81 60.00 64.83
6 76.67 78.24 60.00 68.04 58.67 59.20
Lanras Gresik
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 96.00 94.04 96.00 93.64 96.00 93.05
1 90.00 90.00 90.67 88.86 84.00 87.39
2 85.33 86.65 85.33 84.29 86.00 81.74
3 85.33 83.90 79.33 79.93 77.33 76.10
4 82.67 81.63 77.33 75.77 76.67 70.46
5 81.33 80.61 79.33 78.30 74.67 75.39
6 79.33 79.76 76.67 77.72 74.67 73.84
Lanras Tasikmalaya
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 93.33 91.95 93.33 91.78 93.33 91.76
1 87.00 87.10 84.67 84.77 80.67 84.15
2 84.00 82.27 78.67 77.76 76.00 75.92
3 77.33 77.46 72.67 70.77 72.00 67.23
4 75.33 72.66 66.67 63.78 55.33 58.29
5 67.33 67.87 55.33 56.80 48.67 49.35
6 62 63.10 48 49.83 41.33 40.62
88
Lanras Sumedang
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 0.92 1.18 0.92 0.99 0.92 1.69
1 1.99 2.20 2.16 1.96 3.48 2.41
2 2.81 2.86 3.34 3.67 4.21 4.29
3 3.57 3.44 5.69 5.22 6.73 7.45
4 3.62 3.93 5.62 5.99 11.10 10.21
5 4.15 4.35 6.15 6.26 11.42 11.53
6 5.31 4.72 6.57 6.35 11.71 11.99
Lanras Gresik
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 0.94 1.70 0.94 1.12 0.94 0.85
1 2.66 1.78 3.19 3.01 3.31 3.62
2 2.88 3.03 3.96 4.66 6.38 5.97
3 6.68 6.51 6.77 6.08 7.61 7.51
4 6.69 7.21 7.01 7.30 7.80 8.34
5 7.31 7.25 8.21 8.36 8.67 8.76
6 7.59 7.25 9.45 9.26 9.30 8.95
Lanras Sukabumi
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 2.50 2.50 2.50 2.73 2.50 2.59
1 3.63 3.85 3.65 3.84 3.64 4.08
2 4.76 4.80 4.79 4.78 5.40 5.37
3 6.03 5.47 5.90 5.58 7.06 6.49
4 5.70 5.94 6.12 6.26 7.04 7.46
5 5.61 6.27 6.46 6.83 7.86 8.29
6 6.96 6.49 7.84 7.32 9.56 9.00
Lanras Tasikmalaya
Periode Simpan Alumunium Foil Plastik PP Karung plastik
(Bulan) Aktual Persamaan Aktual Persamaan Aktual Persamaan
0 1.38 2.15 1.38 1.82 1.38 1.84
1 3.02 3.03 3.04 2.85 3.37 2.60
2 3.04 3.83 3.15 3.79 3.73 3.71
3 4.68 4.57 4.86 4.67 4.62 5.19
4 5.24 5.24 5.17 5.48 6.97 6.92
5 5.36 5.86 6.49 6.23 9.08 8.68
6 6.94 6.42 7.30 6.91 10.02 10.22
89
RIWAYAT HIDUP