SAHURI
A24062950
RINGKASAN
SAHURI. Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) di Lahan
Pasang Surut. (Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI).
tumbuh lebih luas, sehingga cukup memadai untuk pertumbuhan akarnya secara
maksimal. Selain itu, diduga karena dengan lebar bedengan 2 m air meresap dari
parit ke tengah bedengan dapat merata di seluruh areal bedengan.
Pada percobaan ini, produksi biji kedelai pada perlakuan tinggi muka air
20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m mencapai 4.15 ton/ha, ini nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan tinggi muka air 20 cm dengan lebar
bedengan 4 m (2.59 ton/ha), lebar bedengan 6 m (1.84 ton/ha), dan lebar bedengan
8 m (1.74 ton/ha). Produksi biji kedelai pada tinggi muka air 10 cm DPT dengan
lebar bedengan 2 m mencapai 3.43 ton/ha, ini nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan tinggi muka air 10 cm dengan lebar bedengan 4 m (2.46 ton/ha),
lebar bedengan 6 m (1.75 ton/ha), dan lebar bedengan 8 m (1.68 ton/ha).
Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merr.) di
Lahan Pasang Surut
The Effect of Water Depth and Bed Width on The Production of Soybean
(Glycine max (L.) Merr.) under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps
ABSTRACT
SAHURI
A24062950
NIM : A24062950
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui.
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB
Tanggal Lulus:
i
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lebar bedengan dan
tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, serta menentukan
tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai di lahan rawa pasang surut.
Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai
Agustus 2010.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing, yaitu Dr. Ir. Munif
Ghulamahdi, M.S. yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada para
petani Desa Banyu Urip, secara khusus kepada Bapak Ngatimin, Bapak/Ibu
Suwaji, Bapak Muhtar, dan Bapak Sumarno, yang telah membantu pelaksanaan
penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
atas dukungan yang selalu diberikan oleh Ayah, Ibu, kakak dan saudaraku
khususnya angkatan 43 di asrama Sylvasari serta kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca. Kritik
dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Sahuri
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hipotesis
1. Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai
di lahan rawa pasang surut.
2. Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai
di lahan rawa pasang surut.
3. Ada tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu yang memberi pertumbuhan
dan produksi kedelai terbaik di lahan rawa pasang surut.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan bintil akar aktif pada budidaya jenuh air berlangsung lebih
lama daripada budidaya biasa. Pada budidaya biasa pertumbuhan bintil akar aktif
mencapai maksimum pada umur 6 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pada
budidaya jenuh air masih tetap meningkat sampai umur 9 MST (Ghulamahdi,
1990).
Pertumbuhan kedelai setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar
dan bintil akar yang muncul pada tanah yang jenuh air. selanjutnya daun menjadi
hijau dengan laju pertumbuhan lebih tinggi pada budidaya basah dibandingkan
pada budidaya biasa (Avivi, 1995).
Budidaya jenuh air meningkatkan komponen hasil dan hasil benih serta
memperbaiki keragaan variabel mutu fisik dan mutu fisiologis benih kedelai.
Budidaya basah walaupun tidak selalu meningkatkan viabilitas benih, tetapi tidak
berbahaya untuk produksi benih (Raka et al., 1995).
Budidaya jenuh air nyata meningkatkan ACC (1-aminocyclopropane-1-
carboxylic acid) akar, etilen akar, glukosa akar, lingkar leher akar, bobot kering
bintil, aktivitas nitrogenase, serapan hara daun, bobot kering tanaman, dan bobot
6
kering biji. Pada budidaya jenuh air kandungan ACC akar lebih tinggi pada umur
5, 7, dan 8 MST dan kandungan etilen lebih tinggi pada umur 6 MST
(Ghulamahdi, 1999).
Kondisi jenuh air dapat meningkatkan jumlah bintil akar tanaman. Jika
kondisi tanah jenuh air terjadi pada saat tanaman berumur 15-30 hari setelah
tanam (HST) maka pertumbuhan tertekan dan hasil menurun 15-25% dibanding
tanpa kondisi jenuh air (Adisarwanto, 2001).
Budidaya jenuh air dapat meningkatkan panjang akar, bobot kering bintil
akar, luas daun, laju transpirasi, lebar bukaan stomata daun, kandungan air nisbi
daun, laju asimilasi bersih, dan laju pertumbuhan nisbi tanaman. Pada budidaya
jenuh air bobot kering total tanaman, jumlah polong isi, hasil biji, indeks panen,
dan efisiensi penggunaan air lebih tinggi pada varietas berumur sedang dibanding
varietas berumur genjah. Peningkatan hasil biji kedelai dengan penerapan
teknologi budidaya jenuh air atau budidaya basah berkisar antara 85-229%
(Purwaningrahayu et al., 2004).
Pemberian jumlah air berpengaruh nyata pada pertumbuhan tanaman
kedelai. Secara umum pemberian jumlah air semakin sedikit menurunkan
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Batang tanaman memendek, daun
menyempit, dan semakin sedikit, bobot kering tajuk semakin rendah, dan jumlah
polong semakin sedikit pada pemberian air yang makin sedikit (Zen et al., 1993).
Bobot kering bintil akar pertanaman pada budidaya jenuh air di media
dengan tinggi muka air 15, 10, dan 5 cm lebih tinggi daripada di media kontrol.
Bobot kering bintil akar tertinggi diperoleh dari tanaman di media dengan tinggi
muka air 15 cm tanpa dipupuk nitrogen, sedangkan bobot biji per tanaman
tertinggi diperoleh dari tanaman yang ditumbuhkan di media dengan tinggi muka
air 15 cm dan dipupuk nitrogen (Suwarto et al., 1994).
Menurut Savitri et al. (2002) berdasarkan ukuran biji yang berhubungan
dengan daya toleransi varietas terhadap kondisi budidaya basah atau penjenuhan,
bahwa kedelai berukuran biji besar lebih toleran terhadap penjenuhan
dibandingkan dengan kedelai berukuran biji sedang dan berukuran biji kecil.
7
Lahan pasang surut adalah lahan yang terbentuk dari endapan marin dan
fluviomarin dan dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang mengandung pirit.
Lapisan tanah ini kemudian dijadikan dasar dalam pengelompokkan lahan. Lahan
sulfat masam bersulfida dangkal memiliki kedalaman lapisan pirit < 50 cm,
sehingga tidak sesuai untuk tanaman palawija, sedangkan lahan sulfat masam
bersulfida dalam memiliki kedalaman lapisan pirit > 50 cm, sehingga relatif aman
dan sesuai untuk budidaya kedelai (Rachman et al., 1985).
Menurut Humairil dan Khairullah (2000) luas lahan pasang surut di
Indonesia mencapai 20.15 juta hektar. Dari luas tersebut 9.45 juta hektar sesuai
untuk kegiatan pertanian dan baru sekitar 3.59 juta hektar yang dimanfaatkan,
sedangkan Sabran et al. (2000) menyatakan bahwa sekitar 5.6 juta hektar lahan
pasang surut sesuai untuk kegiatan pertanian dan dari luasan tersebut 2.6 juta
hektar berpotensi untuk pengembangan dalam skala besar.
Lahan pasang surut memiliki reaksi tanah yang masam sebagai hasil dari
proses oksidasi lapisan sulfida (pirit). Budidaya kedelai di lahan pasang surut
yang masam akan menghadapi kemungkinan keracunan Al, kahat hara N, P, dan
K serta drainase yang buruk. Alumunium berasal dari degradasi mineral liat yang
hancur akibat kemasaman tanah yang tinggi. Walaupun kadar bahan organik
cukup tinggi, N tersedia pada umumnya rendah karena proses mineralisasi bahan
organik terhambat akibat tanah masam dan lembab. Unsur hara P tidak tersedia
karena diikat oleh Al dan Fe membentuk senyawa komplek yang mengendap.
Sedangkan ketersediaan hara K rendah karena mengalami pencucian setelah
terdesak dari komplek jerapan. Drainase buruk diakibatkan oleh permukaan air
tanah yang dangkal, sehingga diperlukan saluran drainase yang lebih intensif
(Rachman et al., 1985).
Di lahan pasang surut pada kondisi kering biasanya akan terjadi proses
oksidasi lapisan pirit yang menyebabkan tanah menjadi masam, kelarutan unsur
beracun (Al, Fe, dan Mn) meningkat dan miskin hara. Kondisi tersebut dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, produksi menjadi rendah, dan tidak
menguntungkan bagi petani. Akibatnya petani tidak lagi mengusahakan lahan
8
tersebut dan dibiarkan menjadi lahan tidur. Jika air tersedia cukup, maka petak
sawah akan digenangi air dan dapat menghambat oksidasi lapisan pirit. Selain itu,
gerakan air pasang surut dan besarnya curah hujan akan mempercepat proses
pencucian unsur beracun sepperti Al, Fe, Zn, dan Mn dari petakan sawah. Oleh
karena itu, pengelolaan air menjadi faktor kunci keberhasilan pertumbuhan dan
produksi tanaman (Alwi dan Nazemi, 2003).
Menurut Sabran et al. (2000) kedelai pada umumnya diusahakan di lahan
pasang surut tipe C (tidak terluapi oleh pasang besar) dengan pola tanam padi-
kedelai atau kedelai palawija lain. Petani transmigrasi memperkenalkan sistem
surjan yang memungkinkan untuk mengusahakan kedelai pada lahan pasang surut
tipe B (terluapi oleh pasang besar).
Kendala usahatani kedelai di lahan pasang surut adalah genangan air.
Tanaman kedelai pada umumnya tidak toleran tanah tergenang. Genagan air yang
berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran.
Respirasi akar akan terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan
tanaman. Selain itu, genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi
oksigen sehingga respirasi biji terganggu. Karena itu, kedelai tidak bisa ditanam di
lahan pasang surut yang tegenang (Sabran et al., 2000).
Jangkauan air pasang masuk ke lahan pertanian di lahan pasang surut
berbeda-beda sesuai dengan tipe luapan air di lahan tersebut. Perbedaan tersebut
menyebabkan perlunya penyesuaian antara tipe luapan dengan pola tanam. Setiap
tipe luapan air membutuhkan sistem pengelolaan air yang spesifik. Sistem
pengelolaan air di setiap tipe luapan air tersebut dapat menyebabkan perubahan
sifat kimia tanah. Perubahan tersebut berbeda antara satu sistem pengelolaan air
dengan sistem yang lain. Oleh karena itu, perlu dipelajari dan didapatkan sistem
pengelolaan air spesifik yang mampu meningkatkan kualitas dan produktivitas
lahan berdasarkan dinamika sifat kimia tanah (Alwi dan Nazemi, 2003).
9
Metode Penelitian
VVVVVV VVVVVV
30 cm
25 20 cm
c
5 cm
m
Gambar 1. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 20 cm
VVVVVV VVVVVV
30 cm
10 cm
25
c 15 cm
m
Gambar 2. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 10 cm
11
Pelaksanaan Penelitian
Pemeliharaan
Panen
Kriteria tanaman yang telah siap dipanen adalah pada saat kira-kira 90%
dari populasi tanaman sudah luruh daunnya. warna polong sudah berubah dari
hijau berwarna kuning kecoklat-coklatan. Polong dan biji sudah berkembang
penuh. Kriteria penentuan saat panen seperti itu merupakan cara yang paling
mudah untuk menentukan saat masak fisiologis benih kedelai yang tepat.
Pengamatan
11. Analisis air meliputi pH, DHL, kation, anion, dan kadar lumpur
Keasaman tanah (pH) diukur dengan pH meter menggunakan elektrode gelas
kombinasi. Daya hantar listrik (DHL) diukur dengan menggunkan
konduktometer. Kation diukur dengan metode sesuai dengan masing-masing
kation. Ca, Mg, Fe, Al, Mn ditentukan dengan metode AAS. K dan Na
dengan fotometer nyala, NH4 dengan sfektrofotometri, SO4 dengan
turbidimetri, Cl dengan argentometri, PO4 dengan kolorimetripewarnaan biru
molibden pada panjang gelombang 693 nm, CO3 dan HCO3 dengan titrasi
menggunakan asam hingga pH tertentu.
16
Hasil
Keadaan Umum
30 cm
Sumber air untuk budidaya jenuh air (BJA) pada penelitian ini adalah
dengan memanfaatkan air yang berada di saluran drainase yang telah dipengaruhi
pasang surut air laut. Hal ini berpengaruh pada kandungan kation dan anion dalam
19
air yang didominasi oleh Na dan Cl, namun daya hantar listrik masih rendah
0.488 mmhos/cm sehingga dapat mengairi semua tanaman, tidak merusak tanah
dan tanaman. Air ini juga memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 5.4. Kadar
lumpur yang ada di air 0.20 mg/l (Tabel 2).
Air berasal dari pengaruh pasang surut air laut. Daerah lahan pasang surut
ini dibuka dengan cara membuat jaringan drainase, namun saluran-saluran belum
dilengkapi pintu-pintu air, sehingga sistem pengelolaan dan tata air hanya
tergantung dengan fluktuasi pasang surut air laut. Jaringan drainase terdiri dari
saluran primer, sekunder, tersier, dan kuarter (Gambar 7).
20
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tinggi muka air berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 8, 10, dan 12 MST, jumlah cabang pada
saat panen, bobot kering daun, batang, akar, bintil, produksi biji, buku produktif
dan tidak produktif dan jumlah polong isi. Tinggi muka air tidak berbeda nyata
terhadap jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST, jumlah polong hampa
dan bobot 100 biji. Lebar bedengan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman
pada umur 2 dan 4 MST, jumlah daun pada umur 6 MST, jumlah cabang saat
panen, bobot kering daun, batang, akar, bintil, produksi biji, buku produktif dan
tidak produktif, jumlah polong isi dan bobot 100 biji. Interaksi tinggi muka air
dan lebar bedengan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 4, 6,
8, 10, dan 12 MST, jumlah daun pada umur 2 dan 6 MST, jumlah cabang pada
21
saat panen, bobot kering daun, batang, akar, bintil, produksi biji, buku produktif
dan tidak produktif, jumlah polong isi, dan bobot 100 biji (Lampiran 1).
Pola pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 6 MST sama dengan pola
pertumbuhan pada umur 2 dan 4 MST. Puncak pertumbuhan tanaman adalah pada
umur 8 dan 10 MST. Jumlah daun pada umur 8 dan 10 MST relatif sama dan daun
sudah mulai gugur. Pertambahan tinggi tanaman dari umur 2-6 MST mencapai
100% dari tinggi 2 dan 4 MST, dari umur 6-8 MST mencapai 39% dari tinggi
6 MST, sedangkan dari umur 8-10 MST hanya bertambah 2%. Pertambahan
jumlah daun dari umur 2-4 MST rata-rata adalah 4 daun, dari umur 4-6 MST rata-
rata adalah 7 daun dan dari umur 6-8 MST rata-rata adalah 3 daun (Tabel 3, 7, dan
11).
Pertumbuhan tanaman tidak terlalu tertekan selama masa aklimatisasi di
awal pertumbuhan. Hal ini karena pertumbuhan tanaman stabil sejak awal
pertumbuhan hingga umur 10 MST yang ditunjukkan oleh peubah tinggi tanaman,
jumlah daun, dan cabang yang relatif baik (Tabel 3, 7, dan 11). Menurut
Ghulamahdi et al. (2006), pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal
pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuh di
atas muka air. Pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi.
Pertumbuhan tanaman mulai berhenti pada umur 10 MST. Pada saat umur
10 MST tanaman telah berada pada fase generatif. Hal ini sesuai dengan tipe
varietas tersebut yang tergolong dalam tipe determinit yaitu berbunga hanya sekali
dalam satu periode. Berdasarkan pertumbuhan tanaman yang stabil sejak awal
pertumbuhan, tanaman dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut
dengan teknologi BJA. Hal ini sesuai dengan deskripsi varietas tanggamus yang
dirakit untuk adaptasi lahan masam (Lampiran 3).
Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 8,
dan 10 MST, tetapi tidak terdapat pengaruh pada umur 4 dan 6 MST. Tinggi
tanaman pada umur 2 MST nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 10 cm DPT
dibandingkan pada tinggi muka air 20 cm DPT. Namun tinggi tanaman pada
umur 8 dan 10 MST nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT
dibandingkan pada tinggi muka air 10 cm DPT. Tidak terdapat pengaruh tinggi
muka air terhadap jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST (Tabel 3).
22
Tabel 4. Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Kandungan dan Serapan Hara
N, P, K, Fe dan Mn dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST
Peubah N P K Fe Mn
Tinggi Muka Air (cm)
Kandungan Hara (g/100g)
10 7.0600a 0.316667b 1.43750b 0.048542b 0.0241167a
20 7.3542a 0.332500a 1.54083a 0.052583a 0.0241667a
Serapan Hara (mg/tanaman)
10 246.52b 11.136b 50.200b 1.200b 0.83957b
20 325.78a 15.055a 68.999a 2.2440a 1.07021a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap kandungan hara P, K, dan Fe,
tetapi tidak terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap kandungan hara N dan
Mn. Kandungan hara P, K, dan Fe nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm
DPT. Kandungan N dan Mn lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT, tetapi
secara statistik tidak berbeda nyata. Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap
serapan hara N, P, K, Fe, dan Mn. Serapan hara N, P, K, Fe dan Mn nyata lebih
23
tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT dan berbeda nyata dengan tinggi muka air
10 cm (Tabel 4).
Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap bobot kering daun, batang,
akar, dan bintil pada umur 6 MST. Bobot kering daun, batang, akar, dan bintil
nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT dibandingkan pada tinggi
muka air 10 cm DPT (Tabel 5). Menurut Suwarto et al. (1994) tinggi muka air
berpengaruh nyata pada bobot kering daun, batang, akar, dan bintil.
Tabel 5. Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Bobot Kering Daun, Batang,
Akar, dan Bintil pada Umur 6 MST
Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang,
buku produktif, buku tidak produktif, polong isi, dan produksi kedelai. Namun
tidak terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap jumlah polong hampa dan bobot
100 biji kedelai. Tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, jumlah polong
24
isi, dan produksi kedelai nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT
dibandingkan pada tinggi muka air 10 cm DPT (Tabel 6).
Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap tinggi tanaman pada umur 2 dan
4 MST, tetapi tidak terdapat pengaruh pada umur 6, 8, dan 10 MST. Tinggi
tanaman nyata lebih tinggi pada lebar bedengan 2 m. Terdapat pengaruh lebar
bedengan terhadap jumlah daun pada umur 6 MST, tetapi tidak terdapat pengaruh
pada umur 2, 4, 8, dan 10 MST (Tabel 7).
Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap kandungan hara N, Fe, dan Mn,
tetapi tidak terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap kandungan hara P dan K.
Kandungan hara N, Fe, dan Mn nyata lebih tinggi pada lebar bedengan 8 m dan
berbeda nyata dengan lebar bedengan 2 m. Terdapat pengaruh lebar bedengan
terhadap serapan hara P, tetapi tidak terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap
serapan hara N, K, Fe dan Mn. Serapan hara P nyata lebih tinggi pada lebar
bedengan 2 m dan berbeda nyata dengan lebar bedengan 4, 6, dan 8 m (Tabel 8).
25
Peubah N P K Fe Mn
Lebar Bedengan (m)
Kandungan Hara (g/100g)
2 6.2217c 0.326667a 1.3833a 0.038500d 0.021817b
4 6.8317bc 0.320000a 1.3817a 0.045917c 0.022367b
6 7.3033b 0.325000a 1.5333a 0.055250b 0.024550b
8 8.4717a 0.326667a 1.6583a 0.062583a 0.027833a
Serapan Hara (mg/tanaman)
2 289.82a 15.184a 65.76a 1.8111a 0.9984a
4 291.57a 13.759ab 59.90a 1.9650a 0.9540a
6 295.61a 13.066ab 60.48a 2.1752a 0.9965a
8 267.61a 10.375b 52.26a 1.9766a 0.8707a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
Pada saat panen terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap jumlah cabang,
buku produktif, buku tidak produktif, polong isi, bobot 100 biji, dan produksi
kedelai, tetapi tidak terdapat pengaruh terhadap tinggi tanaman dan polong
26
hampa. Jumlah cabang, buku produktif, polong isi, bobot 100 biji, dan produksi
kedelai nyata lebih tinggi pada lebar bedengan 2 m (Tabel 10). Indradewa et al.
(2002) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh lebar bedengan
terhadap laju pertumbuhan kedelai.
Terdapat pengaruh interakasi antara tinggi muka air dan lebar bedengan
terhadap pertumbuhan kedelai pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST. Tinggi tanaman
nyata lebih tinggi pada interaksi tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar
bedengan 2 m. Terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan
terhadap jumlah daun pada umur 2 dan 6 MST. tetapi tidak terdapat pengaruh
pada umur 4, 8, dan 10 MST (Tabel 11).
Terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar bengan terhadap
serapan hara P. Serapan hara P nyata lebih tinggi pada perlakuan tinggi muka air
20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m dan berbeda nyata dengan perlakuan
tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 4, 6, dan 8 m. Serapan hara P
lebih kecil pada perlakuan tinggi muka air 10 cm DPT dengan lebar bedengan 8 m
meskipun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan tinggi muka air
10 cm DPT dengan lebar bedengan 4, 6, dan 8 m ( Tabel 12).
27
Tabel 11. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Umur 2, 4, 6, 8,
dan 10 MST
Tinggi Lebar
Muka Air Bedengan Pengamatan
(cm) (m)
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
Tinggi Tanaman (cm)
2 11.68a 21.76ab 47.97b 65.19b 72.60ab
4 11.11abc 20.26b 47.55ab 65.82b 71.91ab
10
6 11.61ab 21.55ab 51.28ab 65.15b 67.15b
8 10.98abc 20.79b 49.11ab 64.44b 66.99b
2 11.46abc 23.14a 53.88a 75.09a 76.77a
4 10.46c 21.82ab 53.81a 75.07a 76.25a
20
6 10.82abc 20.98ab 48.56ab 69.14b 70.44b
8 10.58bc 20.89ab 47.75b 67.04b 69.96b
Jumlah Daun
2 1.90ab 5.45a 12.72ab 16.80a 16.60a
4 1.86ab 5.21a 11.76b 15.28a 16.33a
10
6 1.68b 5.20a 12.02ab 16.40a 15.71a
8 1.88ab 5.30a 11.76b 14.73a 14.93a
2 1.98a 5.97a 13.42a 17.51a 16.71a
4 1.93a 5.53a 12.62ab 17.08a 16.62a
20
6 1.93a 5.35a 12.35ab 16.62a 16.00a
8 1.81ab 5.60a 12.03ab 15.81a 15.82a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
Tabel 12. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Serapan Hara P dalam Daun Kedelai pada Umur 6
MST
Serapan Hara P
Tinggi Muka Air (cm) Lebar Bedengan (m)
(mg/tanaman)
2 9.978c
4 11.306bc
10
6 13.479bc
8 9.781c
2 20.389a
4 16.212ab
20
6 12.652bc
8 10.968bc
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
28
Terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap
bobot kering daun, batang, akar, dan bintil. Bobot kering daun, batang, akar, dan
bintil nyata lebih tinggi pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar
bedengan 2 m (Tabel 13).
Tabel 13. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Bobot Kering Daun, Batang, Akar, dan Bintil Kedelai
pada Umur 6 MST
Tinggi Lebar
Muka Air Bedengan Bobot Kering (g)
(cm) (m)
Daun Batang Akar Bintil
2 3.22bc 3.58bc 0.69b 0.34bc
4 3.68bc 3.79bc 0.71b 0.44b
10
6 4.14bc 4.16bc 0.84b 0.30cd
8 3.90b 3.06c 0.65b 0.22d
2 5.92a 6.96a 1.50a 0.82a
4 4.91ab 5.17ab 0.94b 0.37bc
20
6 3.92bc 4.02bc 0.72b 0.37bc
8 3.29bc 3.19bc 0.82b 0.36bc
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
Tabel 14. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Saat
Panen
Tinggi Lebar
Muka Air Bedengan Pengamatan
(cm) (m)
Tinggi Tanaman Jumlah Buku Buku tidak
(cm) Cabang Produktif Produktif
2 73.55ab 4.30ab 23.25ab 4.04ab
4 72.83ab 4.31ab 22.21b 4.11ab
10
6 68.06b 4.25ab 21.00b 3.58b
8 67.65b 3.90b 20.05b 4.48a
2 77.70a 4.68a 25.93a 2.83c
4 77.23a 4.48ab 21.33b 3.83ab
20
6 71.14a 4.41ab 21.36b 3.85ab
8 70.23b 4.18ab 20.88b 4.02ab
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
29
Tabel 15. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Saat
Panen
Tinggi Lebar
Muka Air Bedengan Pengamatan
(cm) (m)
Poduksi
Polong Polong Biji Bobot 100
Isi Hampa (ton/ha) Biji
2 78.33b 0.95a 3.43b 11.45ab
4 72.33d 1.05a 2.46d 11.54ab
10
6 62.33f 0.98a 1.75f 10.62b
8 58.33g 1.06a 1.68g 11.17b
2 82.00a 0.90a 4.15a 12.32a
4 74.67c 1.13a 2.59c 11.06b
20
6 68.00e 1.15a 1.84e 11.23b
8 62.67f 1.18a 1.74f 10.85b
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
Pada saat panen terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar
bedengan terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, buku tidak
produktif, polong isi, dan bobot 100 biji kedelai. Tidak terdapat pengaruh
interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap jumlah polong hampa.
Tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, polong isi,
bobot 100 biji kedelai, dan produksi kedelai nyata lebih tinggi pada perlakuan
tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m (Tabel 14 dan 15).
30
Pembahasan
Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap Kandungan dan
Serapan Hara N, P, K, Fe, dan Mn dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tinggi muka air berpengaruh
nyata terhadap kandungan hara P dan Fe dan serapan hara N, P, K, Fe, dan Mn,
tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan N, K dan Mn. Lebar bedengan
berpengaruh nyata terhadap kandungan hara N, Fe, dan Mn, tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan P dan K dan serapan hara N, P, K, Fe, dan
Mn. Interaksi tinggi muka air hanya berpengaruh nyata pada serapan P (Lampiran
2).
Dari penelitian dapat diketahui bahwa Serapan hara N, P, K, Fe dan Mn
daun nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT dan berbeda nyata
dengan tinggi muka air 10 cm. Hal ini diduga karena pada tinggi muka air 20 cm
DPT, akar memiliki ruang tumbuh yang lebih luas sehingga volume akar tinggi
dan dapat menyerap unsur hara N, P, K, Fe dan Mn daun secara maksimal
dibandingkan tinggi muka air 10 cm DPT.
32
Kandungan hara N, Fe, dan Mn daun nyata lebih tinggi pada lebar bedengan
8 m dan berbeda nyata dengan lebar bedengan 2 m. Hal ini diduga karena pada
lebar bedengan 8 m, kondisi di tengah bedengan relatif kering sehingga terjadi
proses oksidasi senyawa pirit yang menyebabkan tanah menjadi masam dan
kelarutan unsur Fe dan Mn dalam tanah meningkat. Kondisi tersebut dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, produksi kedelai menjadi rendah dan
menyebabkan ketersediaan hara P dalam tanah menjadi rendah, sehingga serapan
unsur hara P oleh kedelai dan produksi kedelai pada lebar bedengan 8 m sangat
rendah.
Serapan hara P daun nyata lebih tinggi pada lebar bedengan 2 m dan
berbeda nyata dengan lebar bedengan 4, 6, dan 8 m. Hal ini diduga karena pada
lebar bedengan 2 m, kodisi bedengan relatif basah dan merata di seluruh areal
bedengan sehingga pirit menjadi reduktif. Kondisi tersebut pirit tidak menjadi
racun bagi tanaman dan kelarutan unsur beracun (Al, Fe, dan Mn) dalam tanah
menjadi rendah sehingga tidak menghambat pertumbuhan tanaman dan produksi
kedelai menjadi tinggi.
yang mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas
bervalensi 3 (Fe3+). Hasil akhirnya merupakan tanah dengan reaksi masam ekstrim
(pH < 3.5). dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4-), besi bervalensi 2
(Fe2+), dan alumunium (Al3+). Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar
logam-logam berat antara lain Al, Mn, Zn, dan Cu.
Penerapan teknologi BJA akan menghambat oksidasi lapisan pirit dan
terhindar dari penurunan pH yang semakin rendah. Selain itu gerakan air pasang
surut yang masuk ke petak-petak percobaan dan besarnya curah hujan pada saat
pelaksanaan penelitian yaitu 113.8 mm pada bulan Juli (Lampiran 5) akan
mempercepat proses pencucian unsur beracun seperti Al, Fe, Zn, dan Mn dari
petakan percobaan, karena itu pengelolaan air menjadi faktor kunci keberhasilan
pertumbuhan dan produksi kedelai, sedangkan pemberian kapur dan pupuk
kandang dapat mengatasi kekurangan unsur hara. Menurut Ghulamahdi (2009)
usaha penurunan kadar pirit di lahan pasang surut dapat dilakukan dengan cara
pengaturan tinggi muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Adanya teknologi
BJA memberikan peluang untuk menurunkan kadar pirit. Penurunan kadar pirit
juga dapat dilakukan melalui tanpa olah tanah (TOT) atau pengolahan tanah
ringan, sehingga pirit tidak terangkat ke permukaan serta pemberian kapur dan
pupuk kandang.
Pada penelitian ini, dengan adanya air yang dialirkan ke parit-parit di antara
petak-petak percobaan sejak awal tanam dan tingginya intensitas radiasi matahari
di daerah lahan pasang surut yaitu 100% pada bulan Juli (Lampiran 6).
menyebabkan fotosintesis di daun lebih efisien dan akan merangsang
pembentukan bunga lebih banyak. Penerapan teknologi BJA akan menyebabkan
air di bawah permukaan tanah stabil dari awal pertumbuhan hingga stadia
pemasakan biji dan tingginya suhu di lahan pasang surut (24.50-31.60 oC) akan
menginduksi tanaman untuk mengeluarkan bunga yang banyak (Lampiran 7).
Menurut Irwan (2006) menyatakan bahwa pada suhu yang tinggi dan kelembaban
udara yang rendah, radiasi matahari akan merangsang munculnya tunas bunga
menjadi bunga.
Teknologi BJA dengan tinggi muka air 20 cm DPT, memiliki ruang tumbuh
yang lebih luas untuk akar, sehingga cukup memadai untuk pertumbuhan akarnya
34
secara maksimal. Selain itu, pemberian air irigasi ke dalam saluran lebih efisien.
Oleh karena itu, tinggi muka air 20 cm DPT merupakan tinggi muka air yang
paling cocok untuk penanaman kedelai di lahan pasang surut dengan teknologi
BJA.
Tinggi muka air dipengaruhi juga oleh tekstur tanah lokasi penelitian. Tanah
di lahan pasang surut berstekstur liat. Tanah bertekstur liat akan memegang air
lebih kuat dibanding tanah yang bertekstur pasir. Oleh karena itu, tinggi muka air
di lahan pasang surut lebih dalam dibandingkan dengan tanah dengan kadar liat
lebih rendah atau tanah yang memiliki tekstur pasir. Menurut Ghulamahdi (1999)
di Bogor menunjukkan bahwa tinggi muka air 5 cm DPT cocok digunakan untuk
penerapan BJA. Tanah di Bogor memiliki tekstur pasir 3.85%. Jika tinggi muka
air 5 cm DPT diterapkan di lahan pasang surut lokasi penelitian maka tanah akan
mengandung terlalu banyak air di dekat perakaran sehingga tanaman tidak mampu
tumbuh dengan baik.
interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap bobot biji. Bobot biji nyata
lebih berat pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan
2 m.
Pada percobaan ini. produksi biji kedelai pada perlakuan tinggi muka air
20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m mencapai 4.15 ton/ha, ini nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan tinggi muka air 20 cm dengan lebar
bedengan 4 m (2.59 ton/ha), lebar bedengan 6 m (1.84 ton/ha), dan lebar bedengan
8 m (1.74 ton/ha). Produksi biji kedelai pada tinggi muka air 10 cm DPT dengan
lebar bedengan 2 m mencapai 3.43 ton/ha, ini nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan tinggi muka air 10 cm dengan lebar bedengan 4 m (2.46 ton/ha),
lebar bedengan 6 m (1.75 ton/ha), dan lebar bedengan 8 m (1.68 ton/ha).
Produksi kedelai yang tinggi dengan penerapan teknologi BJA sesuai
dengan hasil penelitian Indradewa et al. (2004) yang menunjukkan bahwa
budidaya jenuh air secara nyata meningkatkan produksi kedelai hingga 20-80%
dibandingkan dengan pengairan konvensional. Hal ini terjadi karena budidaya
jenuh air menyebabkan kondisi tanah pada kapasitas lapang. Sebaliknya teknik
pengairan konvensional yang biasa diterapkan petani menyebabkan kondisi tanah
tidak stabil.
Tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan teknologi BJA mempunyai
pertumbuhan yang lebih cepat dan produksi biji lebih tinggi. Hal ini karena
tanaman mendapatkan air dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya dari awal
tanam hingga panen. pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai pengisian polong
dan mengalami penundaan penuaan. Menurut Nathanson (1984) menyatakan
bahwa kondisi jenuh air yang dipertahankan sejak awal stadia vegetatif hingga
stadia kematangan menyebabkan tanaman tidak cepat mengalami senessen saat
masa pengisian polong. Kondisi ini menyebabkan suplai asimilat dari source ke
sink berlangsung lama dan akhirnya dapat meningkatkan indeks panen.
Produksi biji kedelai yang tinggi mencapai 4.15 ton/ha dengan teknologi
BJA pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m
didukung dengan pertumbuhan tanaman yang relatif baik yang tercermin pada
bobot kering daun, batang, akar, dan bintil lebih tinggi dibandingkan perlakuan
lain.
37
Gambar 10. Hubungan Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan Terhadap
Produktivitas Kedelai
Menurut Ghulamahdi (2009) adanya tata air makro dan mikro mendukung
penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Tata air ini dibentuk mulai dari
saluran primer hingga saluran kuarter sehingga penerapan BJA berada diantara
saluran kuarter, jarak antara saluran kuarter adalah 100 m (Gambar 12). Penelitian
ini memperlihatkan bahwa pengelolaan tata air yang tepat merupakan kunci
keberhasilan budidaya kedelai di lahan pasang surut.
40
Gambar 12. Tata Air Makro dan Mikro di Lahan Pasang Surut untuk
Penerapan BJA
Kesimpulan
1. Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap bobot kering akar, bintil,
batang, daun, tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, jumlah
polong isi, dan produksi biji.
2. Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap bobot kering akar, bintil,
batang, daun, jumlah cabang, buku produktif, jumlah polong isi, dan
produksi biji.
3. Perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m
merupakan perlakuan yang cocok untuk budidaya kedelai di lahan rawa
pasang surut dengan produksi biji mencapai 4.15 ton/ha.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2010. Luas Lahan, Produksi, dan Produktivitas Kedelai.
http://www.bps.go.id. [17 Maret 2009].
kedelai panen muda pada budidaya jenuh air. Bul. Agron. 34(1):32-
38.
Gomez, K.A and A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural
Research. Penerjemah: E. Sjamsudin dan Baharsjah. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal.
Humairil, R dan I. Khairullah. 2000. Potensi galur-galur padi rawa pasang surut
menunjang ketahanan pangan. Bul. Agron. 28(3):73-76.
Hunter, M.N., P.L.M. De Jabrun, and D.E. Byth. 1980. Response of nine soybean
lines to soil moisture conditions close to saturation. Austral J. Exp.
Agric. Anim. Husb. 20:339-345.
Irwan, A.W. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (I.) Merrill). Jurusan
Budidaya Pertanian Faperta. Unpad. Jatinangor. 40 hal.
Manwan, I., Sumarno, A.S. Karama, A.M. Fagi. 1990. Teknologi Peningkatan
Produksi Kedelai di Indonesia. Puslitbangtan. Bogor. 49 hal.
Mulatsih, S., W.Q. Mugnisjah, D. Sopandie, dan K. Idris. 2000. Pengaruh waktu
dan cara pemberian N sebagai pupuk tambahan terhadap
pertumbuhan dan hasil kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Bul.
Agron. 28(1):9-14.
Nathanson, K., R.L. Lawn, P.L.M. De Jabrun, and D.E. Byth. 1984. Growth
nodulation and nitrogen accumulation by soybean in saturated soil
culture. Field Crop Res. 8:73-92.
Raka, I.G.N., W.Q. Mugnisjah, J. Wiroatmodjo, dan K. Idris. 1995. Hasil dan
mutu benih kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dengan budidaya
basah. Bul. Agron. 28(1):9-14.
Sabran, M., E. William, dan M. Saleh. 2000. Pengujian galur kedelai di lahan
pasang surut. Bul. Agron. 28(2):41-48.
Subagyo, H. 1997. Potensi Pengembangan dan Tata Ruang Lahan Rawa untuk
Pertanian. Prossiding Simposium Nasional dan Kongres VI
PERAGI. Jakarta. h.17-55.
, N.P. Sri Ratmini, dan I.W. Swastika. 1997. Pengelolaan tanah dan
air di lahan pasang surut. hal. 1-22. Dalam Sunihardi dan D.
Suhendar (Ed.). Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu. Badan
Litbang Pertanian. Puslibangtan. Bogor.
Zen, L., M. Kamal, M.S. Hadi, dan E. Pramono. 1990. Tanggapan beberapa
varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Bul. Agron. (12):56-61.
46
LAMPIRAN
47
P Value
Peubah Tinggi Muka Lebar
Interaksi
Air Bedengan
Tinggi Tanaman:
2 MST 0.0408* 0.0294* 0.0020*
tn
4 MST 0.2131 0.0202* 0.0193*
tn
6 MST 0.0711 0.4412tn 0.0500*
8 MST 0.0049* 0.6960tn 0.0061*
10 MST 0.0080* 0.5176tn 0.0041*
12 MST 0.0081* 0.5187tn 0.0041*
Jumlah Daun:
2 MST 0.1009tn 0.2557tn 0.0474*
4 MST 0.0527tn 0.2451tn 0.0515tn
tn
6 MST 0.1172 0.0136* 0.0371*
tn
8 MST 0.2612 0.5315tn 0.6121tn
10 MST 0.3899tn 0.9411tn 0.9140tn
Jumlah Cabang saat panen 0.0268* 0.0377* 0.0398*
Bobot Kering Daun (g) 0.0199* 0.0030* 0.0227*
Bobot Kering Batang (g) 0.0202* 0.0332* 0.0090*
Bobot Kering Akar (g) 0.0205* 0.0093* 0.0131*
Bobot Kering Bintil (g) 0.0005* 0.0001* 0.0001*
Produksi Biji (t/ha) 0.0001* 0.0001* 0.0001*
Buku Produktif 0.0393* 0.0092* 0.0500*
Buku tidak Produktif 0.0363* 0.0398* 0.0127*
Jumlah Polong Isi 0.0001* 0.0001* 0.0001*
Jumlah Polong Hampa 0.8825tn 0.6220tn 0.4916tn
Bobot 100 Biji (g) 0.3329tn 0.0421* 0.0339*
Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5%
tn
berpengaruh tidak nyata pada taraf 5%
48
P Value
Peubah Tinggi Muka Air Lebar Bedengan Interaksi
Kandungan Hara (g/100g)
N 0.2277tn 0.0001* 0.6633tn
P 0.0411* 0.8891tn 0.1672tn
K 0.3164tn 0.1972tn 0.8220tn
Fe 0.0060* 0.0001* 0.1672tn
Mn 0.9603tn 0.0040* 0.9290tn
Serapan Hara (mg/tanaman)
N 0.0245* 0.9166tn 0.1713tn
P 0.0082* 0.0971tn 0.0357*
K 0.0462* 0.7338tn 0.1947tn
Fe 0.0191* 0.6306tn 0.1597tn
Mn 0.0397* 0.7847tn 0.1950tn
Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5%
tn
berpengaruh tidak nyata pada taraf 5%
49
Peubah TT JD JC BKD BKB BKA BKBI JBP JBTP JPI JPH Prod
JD 0.9070*
JC 0.7926* 0.6871*
BKD 0.7568* 0.8255* 0.7478*
tn
BKB 0.4241 0.6321* 0.3968tn 0.7196*
tn tn tn
BKA -0.2560 -0.3689 -0.3161 -0.6414* -0.5975*
BKBI 0.3135tn 0.4545tn 0.4734tn 0.6475* 0.4872tn -0.2610tn
tn tn tn tn tn
JBP -0.0211 0.2477 -0.0079 0.3173 -0.2201 0.2720tn -0.2368tn
JBTP 0.3781tn 0.5103tn 0.5522tn 0.7013* 0.5239tn 0.3694tn 0.9704* -0.3334tn
JPI 0.4366tn 0.4602tn 0.6674* 0.6946* 0.3324tn -0.4238tn 0.7961* -0.0417tn 0.7656*
tn tn tn
JPH 0.5584 0.6326* 0.5452 0.6814* 0.6624* -0.7961* 0.2375 -0.0202tn 0.3720tn 0.3422tn
Prod 0.1629tn 0.1855tn 0.0893tn 0.0462tn 0.0833tn -0.1442tn 0.0156tn 0.5119tn -0.0343tn 0.2039tn 0.2696tn
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
B100 0.1766 0.3318 -0.0645 0.2676 0.3777 -0.3448 0.4653 0.0737 0.4331 0.2868 0.2314tn 0.5862*
Keterangan: TT=Tinggi tanaman. JD=Jumlah daun. JC=Jumlah cabang. BKD=Bobot kering daun. BKB=Bobot kering batang. BKBI=Bobot kering bintil.
JBP=Jumlah buku produktif. JBTP=Jumlah buku tidak produktif. JPI=Jumlah polong isi. JPH=Jumlah polong hampa. Prod=Produksi biji.
B100=Bobot 100 biji. *=berbeda nyata pada taraf 5%. tn=tidak berbeda nyata pada taraf 5%
51