Anda di halaman 1dari 66

i

PENGARUH TINGGI MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN


TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI
(Glycine Max (L.) Merr.) DI LAHAN PASANG SURUT

SAHURI
A24062950

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
i

RINGKASAN
SAHURI. Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) di Lahan
Pasang Surut. (Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI).

Budidaya jenuh air (BJA) merupakan suatu teknologi yang


mempertahankan irigasi secara terus-menerus di dalam saluran sehingga tinggi
muka air dalam saluran selalu tetap dan menciptakan lapisan jenuh air pada tanah.
Teknologi ini dapat mengatasi untuk mencegah oksidasi pirit di lahan pasang
surut dan telah terbukti meningkatkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut
dan non pasang surut.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lebar bedengan dan
tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, serta menentukan
tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai di lahan rawa pasang surut. Percobaan menggunakan Rancangan Petak
Terpisah dengan 3 ulangan. Sebagai petak utama adalah tinggi muka air yang
terdiri atas 10 dan 20 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Sebagai anak petak
adalah lebar bedengan yang terdiri atas lebar bedengan 2, 4, 6, dan 8 m.
Teknologi BJA dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman (LPT) dan
produktivitas kedelai. Pada saat panen terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap
tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, polong isi,
dan produksi kedelai. Namun tidak terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap
jumlah polong hampa dan bobot 100 biji kedelai. Terdapat pengaruh lebar
bedengan terhadap jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, bobot
100 biji, polong isi, dan produksi kedelai. Namun tidak terdapat pengaruh lebar
bedengan terhadap tinggi tanaman dan jumlah polong hampa. Tinggi tanaman,
jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, polong isi, bobot 100 biji,
dan produksi kedelai nyata lebih tinggi pada perlakuan interaksi tinggi muka air
20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m.
Terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap
bobot kering daun, batang, akar, dan bintil. Bobot kering daun, batang, akar, dan
bintil nyata lebih tinggi pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar
bedengan 2 m. Hal ini diduga karena pada perlakuan tersebut akar memiliki ruang
ii

tumbuh lebih luas, sehingga cukup memadai untuk pertumbuhan akarnya secara
maksimal. Selain itu, diduga karena dengan lebar bedengan 2 m air meresap dari
parit ke tengah bedengan dapat merata di seluruh areal bedengan.
Pada percobaan ini, produksi biji kedelai pada perlakuan tinggi muka air
20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m mencapai 4.15 ton/ha, ini nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan tinggi muka air 20 cm dengan lebar
bedengan 4 m (2.59 ton/ha), lebar bedengan 6 m (1.84 ton/ha), dan lebar bedengan
8 m (1.74 ton/ha). Produksi biji kedelai pada tinggi muka air 10 cm DPT dengan
lebar bedengan 2 m mencapai 3.43 ton/ha, ini nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan tinggi muka air 10 cm dengan lebar bedengan 4 m (2.46 ton/ha),
lebar bedengan 6 m (1.75 ton/ha), dan lebar bedengan 8 m (1.68 ton/ha).
Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merr.) di
Lahan Pasang Surut
The Effect of Water Depth and Bed Width on The Production of Soybean
(Glycine max (L.) Merr.) under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps

Sahuri1, Munif Ghulamahdi2


1
Mahasiswa Departemen Agronomi dan hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
2
Staf Pengajar Departemen Agronomi dan hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

ABSTRACT

Saturated soil culture (SSC) is a cultivation technology that gives continuous


irrigation and maintains water depth constantly and makes soil layer in saturated
condition. By keeping the water-table constantly, soybean will be avoided from
negative effect of inundation on soybean growth because soybean will be
acclimatize and improve its growth This technology appropriate to prevent pyrit
oxidation on tidal swamp and has been proved to increase the productivity of
soybean on non tidal swamp. The experiment was done to study the effect of the
level of water depths and bed width to determine the optimal bed width on the
yield of soybean. The research was conducted at Banyu Urip, Tanjung Lago,
Banyuasin, South Sumatera, Indonesia from April to August 2010. The experiment
was arranged in a split plot design with three replications. The main plot of the
experiment was water depth in the furrow irrigation consisted of 10 and 20 cm
under soil surface (USS) watering. The sub plot of the experiment was bed widths
consisted of 2, 4, 6 and 8 m. The result of the experiment showed that the seed
production was obtained with the level of water depth 20 cm USS and bed width 2
m (4.15 ton/ha) and it was significantly different from those at bed width 4 m
(2.59 ton/ha), bed width 6 m (1.84 ton/ha) and bed width 8 m (1.74 ton/ha). The
seed production was obtained with the level water depth 10 cm USS and bed
width 2 m (3.43 ton/ha) and it was significantly different from those at bed width
4 m (2.46 ton/ha), bed width 6 m (1.75 ton/ha) and bed width 8 m (1.68
ton/ha).The highest seed production was obtained with level of water depth 20 cm
USS and bed width 2 m , so this treatment was the most appropriate
combination for soybean production on tidal swamps.

Key words : Saturated soil culture,Productivity, Soybean, Water depth, Bed’s


width and Tidal swamps
iii

PENGARUH TINGGI MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN


TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI
(Glycine Max (L.) Merr.) DI LAHAN PASANG SURUT

Skripsi sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

SAHURI
A24062950

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
iv

Judul : PENGARUH TINGGI MUKA AIR DAN LEBAR

BEDENGAN TERHADAP PERTUMBUHAN


DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine Max (L.)
Merr.) DI LAHAN PASANG SURUT
Nama : SAHURI

NIM : A24062950

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.


NIP. 19590505 198503 1 004

Mengetahui.
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr.


NIP. 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus:
i

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 21


September 1987. Penulis merupakan anak ke empat dari pasangan H. Sidik dan
Hj. Hindun.
Tahun 2000 penulis lulus dari SDN Sukaraja 2, kemudian pada tahun 2003
penulis menyelesaikan studi di SMPN 3 Bogor. Selanjutnya penulis lulus dari
SMAN 3 Bogor pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis diterima di IPB melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis mengikuti Tingkat Persiapan
Bersama di IPB selama satu tahun, kemudian masuk Jurusan Agronomi dan
Hortikultura Fakultas Pertanian IPB pada tahun 2007.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis mendapatkan beasiswa dari
Perhimpunan Orang tua Mahasiswa (POM IPB) periode 2006-2007 dan beasiswa
dari Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) periode 2007-2010, serta
mendapatkan beasiswa penelitian dari Bank Ekspor-Impor. Penulis aktif di Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB-43 IPB periode 2006-2007. Tahun 2009
penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ekologi Pertanian. Tahun 2010
penulis aktif di program pemberdayaan masyarakat bersama P2SDM dan LPPM
IPB di Jampang Kulon Sukabumi. Tahun 2007-lulus penulis menjadi pengurus
dan penghuni Asrama Mahasiswa IPB Sylvasari. Selain itu, penulis pernah
mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2009. Penulis
berkesempatan mendapatkan modal usaha dari Program Mahasiswa Wirausaha
yang diadakan oleh Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni IPB
(DPKHA IPB) untuk usaha budidaya pepaya tahun 2010.
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lebar bedengan dan
tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, serta menentukan
tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai di lahan rawa pasang surut.
Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai
Agustus 2010.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing, yaitu Dr. Ir. Munif
Ghulamahdi, M.S. yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada para
petani Desa Banyu Urip, secara khusus kepada Bapak Ngatimin, Bapak/Ibu
Suwaji, Bapak Muhtar, dan Bapak Sumarno, yang telah membantu pelaksanaan
penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
atas dukungan yang selalu diberikan oleh Ayah, Ibu, kakak dan saudaraku
khususnya angkatan 43 di asrama Sylvasari serta kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca. Kritik
dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Januari 2011

Sahuri
i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ........................................................................................ ix


DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xi
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
Latar Belakang ......................................................................................... 1
Tujuan...................................................................................................... 3
Hipotesis .................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4
Budidaya Jenuh Air.................................................................................. 4
Tanggap Varietas Terhadap Budidaya Jenuh Air ...................................... 5
Lahan Pasang Surut.................................................................................. 7
BAHAN DAN METODE ............................................................................. 9
Tempat dan Waktu Pelaksanaan ............................................................... 9
Bahan dan Alat......................................................................................... 9
Metode Penelitian..................................................................................... 9
Pelaksanaan Penelitian ............................................................................. 11
Panen ....................................................................................................... 13
Pengamatan.............................................................................................. 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 16
Hasil ........................................................................................................ 16
Pembahasan ............................................................................................. 31
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 41
Kesimpulan .............................................................................................. 41
Saran........................................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 42
LAMPIRAN ................................................................................................. 46
i

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Data Analisis Tanah Sebelum Tanam................................................... 18


2. Data Analisis Air ................................................................................. 19
3. Pengaruh Tinggi Muka Air pada Komponen Pertumbuhan Kedelai
pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST ....................................................... 22
4. Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Kandungan dan Serapan Hara
N, P, K, Fe dan Mn dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST ............... 22
5. Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Bobot Kering Daun, Batang,
Akar, dan Bintil pada Umur 6 MST ..................................................... 23
6. Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Komponen Pertumbuhan dan
Produksi Kedelai Saat Panen................................................................ 23
7. Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Komponen Pertumbuhan
Kedelai pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST ......................................... 24
8. Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Kandungan dan Serapan Hara
N, P, K, Fe dan Mn dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST............... 25
9. Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Bobot Kering Daun, Batang,
Akar, dan Bintil Kedelai pada Umur 6 MST ........................................ 25
10. Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Komponen Pertumbuhan dan
Produksi Kedelai Saat Panen................................................................ 26
11. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10
MST .................................................................................................... 27
12. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Serapan Hara P dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST...................... 27
13. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Bobot Kering Daun. Batang. Akar, dan Bintil Kedelai pada Umur 6
MST .................................................................................................... 28
14. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Saat Panen................. 28
15. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Saat Panen................. 29
1

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 20 cm ............. 10


2. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 10 cm ............. 10
3. Skema Pengaturan Air ......................................................................... 11
4. Petak Percobaan Sebelum Dibentuk..................................................... 12
5. Petak Percobaan yang Telah Dibentuk ................................................. 12
6. Kedalaman Pirit dari Permukaan Tanah ............................................... 17
7. Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip................................................. 20
8. Pertumbuhan Kedelai Varietas Tanggamus pada Umur 6
MST .................................................................................................... 30
9. Jumlah Polong Varietas Tanggamus pada Umur 8 MST...................... 31
10. Hubungan Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan Terhadap
Produktivitas Kedelai......................................................................... 37
11. Kalsifikasi Rawa Pasang Surut Menurut Luapan Pasang
Maksimum dan Minimum.................................................................... 39
12. Tata Air Makro dan Mikro di Lahan Pasang Surut untuk
Penerapan BJA .................................................................................... 40
1

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Data Sebelum dan Saat


Panen................................................................................................... 47
2. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Data Analisis Hara N, P,
K, Fe dan Mn Daun pada Umur 6 MST................................................ 48
3. Deskripsi Varietas Tanggamus............................................................. 49
4. Koefisien Korelasi Pearson antara Peubah Kedelai yang
Diamati................................................................................................ 50
5. Data Curah Hujan Daerah Penelitian (mm) .......................................... 51
6. Data Penyinaran Matahari Daerah Penelitian (%)................................. 52
7. Data Suhu Udara (oC) Daerah Penelitian.............................................. 53
8. Data Lembab Nisbi Daerah Penelitian (%)........................................... 54
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai mempunyai potensi yang amat besar sebagai sumber utama


protein bagi masyarakat Indonesia. Sebagai sumber protein kedelai digunakan
dalam beragam produk makanan, seperti tempe, tahu, tauco, dan kecap. Selain
dari itu, kedelai juga merupakan bahan pakan dan bahan baku industri yang
penting. Oleh karena itu, seiring dengan jumlah penduduk dan konsumsi perkapita
serta kebutuhan akan pakan dan industri yang meningkat menuntut perlunya
produksi kedelai dalam negeri ditingkatkan (Silitonga et al., 1996).
Produktivitas rata-rata kedelai nasional masih rendah pada tahun 2007
mencapai 1.3 ton/ha. Produktivitas kedelai nasional tahun 2008 dengan luas
panen 760 000 ha mencapai 1.4 ton/ha. Produksi kedelai nasional tahun 2009
sebesar 966 469 ton biji kering dengan luas panen 728 200 ha. Produksi kedelai
nasional tahun 2010 sebesar 963 000 ton biji kering dengan luas panen 709 000
ha dan produktivitas 1.357 ton/ha (BPS, 2010). Oleh karena itu, perlu upaya
khusus baik untuk peningkatan produktivitas maupun perluasan areal panen untuk
memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri.
Di Indonesia terdapat sekitar 20.1 juta hektar lahan pasang surut yang
tersebar di 4 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
sekitar 5.6 juta hektar lahan pasang surut sesuai untuk dikembangkan untuk lahan
pertanian. Pada lahan pasang surut kendala yang dihadapi adalah kemasaman
tanah. Pada tanah sulfat masam. drainase yang berlebihan menciptakan kondisi
aerob yang mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi dan melepaskan asam
alumunium yang merupakan racun bagi tanaman dan dapat memfiksasi P
membentuk senyawa yang mengendap. Akibatnya ketersediaan P dalam tanah
menjadi rendah. Selain itu, kemasaman tanah juga mengakibatkan terhambatnya
kegiatan bakteri pengikat N dan kekahatan Ca, Na, dan K (Saleh et al., 2000).
Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah
tanaman kedelai tidak tahan dengan air yang berlebihan, yakni sesuai dengan
karakteristik lahan rawa pasang surut. Namun apabila lahan dikeringkan pirit akan
2

teroksidasi yang menyebabkan pH tanah rendah. Kadar pirit yang tinggi


menyebabkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah, yaitu
800 kg/ha. Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan
oleh kemasaman tanah yang tinggi sehingga kelarutan Fe, Al, dan Mn menjadi
tinggi, serta rendahnya ketersediaan P dan K (Djayusman et al., 2001). Oleh sebab
itu kedelai dapat diusahakan di lahan rawa bila pengelolaan lahan dan tata air
sudah diperbaiki secara tepat.
Untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi, tanaman kedelai memerlukan
air yang cukup. Tanpa air, tanaman tidak dapat menyerap unsur hara dan
mendistribusikannya ke seluruh jaringan tanaman sebagai pemacu pertumbuhan.
Distribusi curah hujan yang memadai dan merata setiap bulan, sangat membantu
pertumbuhan tanaman (Adisarwanto, 2001).
Teknologi budidaya jenuh air telah terbukti memberikan hasil yang baik
bagi pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan non-pasang surut merupakan
peluang untuk menurunkan kadar pirit sehingga kedelai dapat dibudidayakan di
lahan rawa pasang surut. Usaha penurunan kadar pirit dapat dilakukan dengan
cara pengaturan kedalaman muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Kedalaman
muka air yang tetap di dalam saluran akan menghilangkan pengaruh dari
kelebihan air pada pertumbuhan tanaman (Ghulamahdi, 2009).
Menurut Ghulamahdi (2006) sistem budidaya jenuh air mampu
meningkatkan aktivitas nitrogenase, serapan N, P, K daun, bobot kering bintil,
akar, batang, daun, polong serta biji. Budidaya jenuh air pada kedelai
mempengaruhi bobot kering akar pada 8 minggu setelah tanam (MST), bobot
kering batang, dan daun pada umur 6 MST serta bobot segar biomass per petak.
Kondisi jenuh air pada tinggi muka air 5 sampai 10 cm selalu berada di
sekitar kapasitas lapang. Budidaya jenuh air pada tinggi muka air 5 cm dapat
meningkatkan kandungan nitrogen daun dan pada tinggi muka air 15 cm dapat
meningkatkan kadar protein biji dan bobot protein biji (Indradewa et al., 2004).
Adisarwanto (2001) menyarankan lebar bedengan untuk budidaya kedelai
kurang dari 2 m di lahan sawah non pasang surut. Belum pernah dilakukan
penelitian tentang lebar bedengan optimum, dengan variasi lebih dari 2 m di lahan
sawah pasang surut. Penambahan lebar bedengan diperlukan untuk mengurangi
3

penggunaan tenaga kerja dalam pembuatan parit, tetapi perlu dipertimbangkan


kemampuan air meresap dari parit ke tengah bedengan.
Menurut Idradewa et al. (2002) menyatakan bahwa genangan dalam parit
dengan lebar bedengan 3-4 m di lahan sawah non pasang surut merupakan petak
yang ideal, karena mempunyai kandungan lengas tanah sekitar kapasitas lapang
dibandingkan genangan dalam parit dengan lebar bedengan 1 dan 2 m,
mempunyai kandungan lengas tanah sedikit di atas kapasitas lapang. Tidak ada
perbedaan pengaruh lebar bedengan terhadap proses fisiologis. pertumbuhan dan
produksi kedelai, tetapi terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap bobot kering
tanaman. Bobot kering tanaman nyata lebih berat dengan lebar bedengan 3 m di
lahan sawah non pasang surut.
Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lebar bedengan dan


tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, serta menentukan
tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai di lahan rawa pasang surut.

Hipotesis

1. Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai
di lahan rawa pasang surut.
2. Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai
di lahan rawa pasang surut.
3. Ada tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu yang memberi pertumbuhan
dan produksi kedelai terbaik di lahan rawa pasang surut.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya Jenuh Air

Budidaya jenuh air merupakan sistem penanaman dengan membuat kondisi


tanah di bawah perakaran tanaman selalu jenuh air dan pengairan untuk membuat
kondisi tanah jenuh air dilakukan dengan cara sub surface irrigation
(Wiroatmodjo et al., 1990). Budidaya jenuh air adalah cara penanaman di atas
bedengan dengan memberikan pengairan terus menerus di dalam parit. sehingga
tanah di bawah perakaran menjadi jenuh air. namun tidak menggenang
(Purwaningrahayu et al., 2004).
Menurut Mulatsih et al. (2000) budidaya jenuh air diselenggarakan dengan
membuat kondisi bedengan jenuh air secara terus menerus sejak 2 MST sampai
masak fisiologis. Caranya adalah dengan mengalirkan air melalui saluran di
antara petak-petak percobaan dengan tinggi genangan dipertahankan maksimum
15 cm di bawah permukaan tanah.
Tinggi muka air dalam budidaya jenuh air dipertahankan terus menerus
dengan menberikan air pada ketinggian 5, 10, dan 15 cm di bawah permukaan
tanah yang dimulai pada saat tanaman kedelai berumur 14 hari sampai dengan
panen (Suwarto et al., 1994).
Budidaya jenuh air dilakukan dengan cara pengairan yang terus menerus
sejak tanaman berumur dua minggu sampai polong mencapai masak fisiologis.
Tinggi air disaluran dipertahankan ± 5 cm di bawah permukaan tanah untuk
membuat petak penanaman jenuh air (Ghulamahdi dan Aziz, 1992).
Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus
menerus dan membuat tinggi muka air tanah tetap (sekitar 5 cm dibawah
permukaan air tanah) sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Air
diberikan sejak tanaman kedelai berumur 14 hari sampai polong berwarna coklat
(Hunter et al., 1980). Tinggi muka air tetap akan menghilangkan pengaruh
negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan
beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya
(Natahnson et al., 1984).
5

Budidaya jenuh air tidak tergenang melainkan sudah melebihi kapasitas


lapang. Air diberikan secara terus-menerus sejak tanaman berumur dua minggu
hingga masak fisiologis. Air dialirkan melalui saluran-saluran diantara petakan-
petakan dan tingginya dijaga tetap berada beberapa sentimeter di bawah
permukaan tanah. Sistem ini dapat diterapkan pada lahan dengan irigasi cukup
baik maupun yang berdrainase kurang baik. Disamping itu, pada lahan sawah
yang dalam satu musim (tahun) selalu ditanami padi, sistem ini cukup baik untuk
memperbaiki pola tanam yang sudah ada (Soertojo, 1993).
Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman
dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik.
Penanaman palawija pada areal dengan drainase kurang baik menggunakan sistem
surjan. Sistem surjan memerlukan biaya yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan budidaya jenuh air, karena bedengannya cukup tinggi (Ghulamahdi,
1999).

Tanggap Varietas terhadap Budidaya Jenuh Air

Pertumbuhan bintil akar aktif pada budidaya jenuh air berlangsung lebih
lama daripada budidaya biasa. Pada budidaya biasa pertumbuhan bintil akar aktif
mencapai maksimum pada umur 6 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pada
budidaya jenuh air masih tetap meningkat sampai umur 9 MST (Ghulamahdi,
1990).
Pertumbuhan kedelai setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar
dan bintil akar yang muncul pada tanah yang jenuh air. selanjutnya daun menjadi
hijau dengan laju pertumbuhan lebih tinggi pada budidaya basah dibandingkan
pada budidaya biasa (Avivi, 1995).
Budidaya jenuh air meningkatkan komponen hasil dan hasil benih serta
memperbaiki keragaan variabel mutu fisik dan mutu fisiologis benih kedelai.
Budidaya basah walaupun tidak selalu meningkatkan viabilitas benih, tetapi tidak
berbahaya untuk produksi benih (Raka et al., 1995).
Budidaya jenuh air nyata meningkatkan ACC (1-aminocyclopropane-1-
carboxylic acid) akar, etilen akar, glukosa akar, lingkar leher akar, bobot kering
bintil, aktivitas nitrogenase, serapan hara daun, bobot kering tanaman, dan bobot
6

kering biji. Pada budidaya jenuh air kandungan ACC akar lebih tinggi pada umur
5, 7, dan 8 MST dan kandungan etilen lebih tinggi pada umur 6 MST
(Ghulamahdi, 1999).
Kondisi jenuh air dapat meningkatkan jumlah bintil akar tanaman. Jika
kondisi tanah jenuh air terjadi pada saat tanaman berumur 15-30 hari setelah
tanam (HST) maka pertumbuhan tertekan dan hasil menurun 15-25% dibanding
tanpa kondisi jenuh air (Adisarwanto, 2001).
Budidaya jenuh air dapat meningkatkan panjang akar, bobot kering bintil
akar, luas daun, laju transpirasi, lebar bukaan stomata daun, kandungan air nisbi
daun, laju asimilasi bersih, dan laju pertumbuhan nisbi tanaman. Pada budidaya
jenuh air bobot kering total tanaman, jumlah polong isi, hasil biji, indeks panen,
dan efisiensi penggunaan air lebih tinggi pada varietas berumur sedang dibanding
varietas berumur genjah. Peningkatan hasil biji kedelai dengan penerapan
teknologi budidaya jenuh air atau budidaya basah berkisar antara 85-229%
(Purwaningrahayu et al., 2004).
Pemberian jumlah air berpengaruh nyata pada pertumbuhan tanaman
kedelai. Secara umum pemberian jumlah air semakin sedikit menurunkan
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Batang tanaman memendek, daun
menyempit, dan semakin sedikit, bobot kering tajuk semakin rendah, dan jumlah
polong semakin sedikit pada pemberian air yang makin sedikit (Zen et al., 1993).
Bobot kering bintil akar pertanaman pada budidaya jenuh air di media
dengan tinggi muka air 15, 10, dan 5 cm lebih tinggi daripada di media kontrol.
Bobot kering bintil akar tertinggi diperoleh dari tanaman di media dengan tinggi
muka air 15 cm tanpa dipupuk nitrogen, sedangkan bobot biji per tanaman
tertinggi diperoleh dari tanaman yang ditumbuhkan di media dengan tinggi muka
air 15 cm dan dipupuk nitrogen (Suwarto et al., 1994).
Menurut Savitri et al. (2002) berdasarkan ukuran biji yang berhubungan
dengan daya toleransi varietas terhadap kondisi budidaya basah atau penjenuhan,
bahwa kedelai berukuran biji besar lebih toleran terhadap penjenuhan
dibandingkan dengan kedelai berukuran biji sedang dan berukuran biji kecil.
7

Lahan Pasang Surut

Lahan pasang surut adalah lahan yang terbentuk dari endapan marin dan
fluviomarin dan dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang mengandung pirit.
Lapisan tanah ini kemudian dijadikan dasar dalam pengelompokkan lahan. Lahan
sulfat masam bersulfida dangkal memiliki kedalaman lapisan pirit < 50 cm,
sehingga tidak sesuai untuk tanaman palawija, sedangkan lahan sulfat masam
bersulfida dalam memiliki kedalaman lapisan pirit > 50 cm, sehingga relatif aman
dan sesuai untuk budidaya kedelai (Rachman et al., 1985).
Menurut Humairil dan Khairullah (2000) luas lahan pasang surut di
Indonesia mencapai 20.15 juta hektar. Dari luas tersebut 9.45 juta hektar sesuai
untuk kegiatan pertanian dan baru sekitar 3.59 juta hektar yang dimanfaatkan,
sedangkan Sabran et al. (2000) menyatakan bahwa sekitar 5.6 juta hektar lahan
pasang surut sesuai untuk kegiatan pertanian dan dari luasan tersebut 2.6 juta
hektar berpotensi untuk pengembangan dalam skala besar.
Lahan pasang surut memiliki reaksi tanah yang masam sebagai hasil dari
proses oksidasi lapisan sulfida (pirit). Budidaya kedelai di lahan pasang surut
yang masam akan menghadapi kemungkinan keracunan Al, kahat hara N, P, dan
K serta drainase yang buruk. Alumunium berasal dari degradasi mineral liat yang
hancur akibat kemasaman tanah yang tinggi. Walaupun kadar bahan organik
cukup tinggi, N tersedia pada umumnya rendah karena proses mineralisasi bahan
organik terhambat akibat tanah masam dan lembab. Unsur hara P tidak tersedia
karena diikat oleh Al dan Fe membentuk senyawa komplek yang mengendap.
Sedangkan ketersediaan hara K rendah karena mengalami pencucian setelah
terdesak dari komplek jerapan. Drainase buruk diakibatkan oleh permukaan air
tanah yang dangkal, sehingga diperlukan saluran drainase yang lebih intensif
(Rachman et al., 1985).
Di lahan pasang surut pada kondisi kering biasanya akan terjadi proses
oksidasi lapisan pirit yang menyebabkan tanah menjadi masam, kelarutan unsur
beracun (Al, Fe, dan Mn) meningkat dan miskin hara. Kondisi tersebut dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, produksi menjadi rendah, dan tidak
menguntungkan bagi petani. Akibatnya petani tidak lagi mengusahakan lahan
8

tersebut dan dibiarkan menjadi lahan tidur. Jika air tersedia cukup, maka petak
sawah akan digenangi air dan dapat menghambat oksidasi lapisan pirit. Selain itu,
gerakan air pasang surut dan besarnya curah hujan akan mempercepat proses
pencucian unsur beracun sepperti Al, Fe, Zn, dan Mn dari petakan sawah. Oleh
karena itu, pengelolaan air menjadi faktor kunci keberhasilan pertumbuhan dan
produksi tanaman (Alwi dan Nazemi, 2003).
Menurut Sabran et al. (2000) kedelai pada umumnya diusahakan di lahan
pasang surut tipe C (tidak terluapi oleh pasang besar) dengan pola tanam padi-
kedelai atau kedelai palawija lain. Petani transmigrasi memperkenalkan sistem
surjan yang memungkinkan untuk mengusahakan kedelai pada lahan pasang surut
tipe B (terluapi oleh pasang besar).
Kendala usahatani kedelai di lahan pasang surut adalah genangan air.
Tanaman kedelai pada umumnya tidak toleran tanah tergenang. Genagan air yang
berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran.
Respirasi akar akan terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan
tanaman. Selain itu, genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi
oksigen sehingga respirasi biji terganggu. Karena itu, kedelai tidak bisa ditanam di
lahan pasang surut yang tegenang (Sabran et al., 2000).
Jangkauan air pasang masuk ke lahan pertanian di lahan pasang surut
berbeda-beda sesuai dengan tipe luapan air di lahan tersebut. Perbedaan tersebut
menyebabkan perlunya penyesuaian antara tipe luapan dengan pola tanam. Setiap
tipe luapan air membutuhkan sistem pengelolaan air yang spesifik. Sistem
pengelolaan air di setiap tipe luapan air tersebut dapat menyebabkan perubahan
sifat kimia tanah. Perubahan tersebut berbeda antara satu sistem pengelolaan air
dengan sistem yang lain. Oleh karena itu, perlu dipelajari dan didapatkan sistem
pengelolaan air spesifik yang mampu meningkatkan kualitas dan produktivitas
lahan berdasarkan dinamika sifat kimia tanah (Alwi dan Nazemi, 2003).
9

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Percobaan dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,


Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai
Agustus 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah benih kedelai varietas Tanggamus, Dolomit.


inokulan Rhizobium sp, dan insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%.
Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang, pupuk daun N, SP36, dan KCl.
Peralatan yang dibutuhkan adalah peralatan tanam, ajir, alat ukur, gelas ukur,
pengaduk, dan timbangan.

Metode Penelitian

Menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Sebagai petak


utama adalah tinggi muka air yang terdiri atas 10 dan 20 cm di bawah permukaan
tanah (DPT). Sebagai anak petak adalah lebar bedengan yang terdiri atas lebar
bedengan 2, 4, 6, dan 8 m. Tiap anak petak diulang 3 kali dalam setiap petak
utama, sehingga terdapat 24 unit satuan percobaan. Tiap petak diambil
10 tanaman contoh, sehingga terdapat 240 tanaman contoh yang diamati pada
seluruh petak.
Model linier untuk mengujinya adalah :
Yijk = µ + δi + αj + εij + βk + (αβ)jk + Єijk
Dimana:
i : Ulangan/kelompok (1, 2, 3)
j : Tinggi muka air (1, 2)
k : Lebar bedengan (1, 2, 3, 4)
Yijk : Nilai hasil pengamatan pengaruh tinggi muka air ke-j. lebar bedengan
ke-k dan ulangan ke-i.
µ : Rataan umum/nilai tengah
10

δi : Pengaruh ulangan/kelompok ke- i


αj : Pengaruh tinggi muka air ke-j
εij : Pengaruh galat yang muncul pada tinggi muka air ke-j dan ulangan ke-i
βk : Pengaruh lebar bedengan ke-k
(αβ)jk : Nilai interaksi antara faktor tinggi muka air taraf ke-j dan lebar
bedengan taraf ke-k.
Єijk : Pengaruh galat tinggi muka air ke-j dan lebar bedengan ke-k pada
ulangan ke-i
Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam, bila beda nyata dilanjutkan dengan uji
Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 % (Gomez dan Gomez, 1995).

VVVVVV VVVVVV
30 cm

25 20 cm
c
5 cm
m
Gambar 1. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 20 cm

VVVVVV VVVVVV
30 cm
10 cm
25
c 15 cm
m
Gambar 2. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 10 cm
11

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan lahan dilakukan dengan cara membuat bedengan anak petak


berukuran 2 m x 5 m, 4 m x 5 m, 6 m x 5 m, dan 8 m x 5 m sehingga petak utama
akan berukuran 5 m x 20 m. Setiap petak utama dikelilingi saluran air yang
berukuran lebar 30 cm dengan dalam 25 cm. Dengan demikan kondisi petakan
selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Air irigasi diberikan sejak tanam
dengan ketinggian muka air sesuai perlakuan.

Keterangan: Saluran air (lebar 30 cm dengan dalam 25 cm)


: Aliran air
: Anak petak (Lebar bedengan 2 , 4, 6 dan 8 m)
: Pematang / Jalan
: Pintu air
Gambar 3. Skema Pengaturan Air

Kedelai dipupuk sebanyak 2 ton kapur/ha, 2 ton pupuk kandang/ha, 200 kg


SP36/ha, dan 100 kg KCl/ha serta diberi inokulan Rhizobium sp 5 g/kg benih,
Kapur Dolomit, pupuk kandang, SP36, dan KCl akan dicampur dan diinkubasikan
selama 1 minggu. Pada saat tanam benih diberi insektisida berbahan aktif
Karbosulfan 25.53% sebanyak 15 g/kg benih untuk mengatasi lalat bibit.
12

Benih varietas Tanggamus ditanam dangkal, 1-2 cm menggunakan jarak


tanam 20 cm x 25 cm, 3 biji per lubang. Penyulaman dilakukan pada umur 5 hari
setelah tanam (HST). Pada umur 2 minggu setelah tanam (MST) dilakukan
penjarangan menjadi 2 tanaman/lubang (populasi tanaman 400 000 tanaman/ha).
Penjarangan dilakukan bertujuan untuk menghindari kompetisi antar tanaman
dalam mendapatkan unsur hara dan radiasi matahari. Kedelai pada saat umur 3, 4,
5, dan 6 minggu diberi pupuk daun N dengan konsentrasi 7.5 g Urea/l air
menggunakan volume semprot 400 l air/ha.

Gambar 4. Petak Percobaan Sebelum Dibentuk

Gambar 5. Petak Percobaan yang Telah Dibentuk


13

Pemeliharaan

Pengendalian gulma dilakukan secara manual pada saat 4 MST karena


pertumbuhan gulma telah mengganggu pertanaman. Pengendalian hama dilakukan
dengan menggunakan pestisida berbahan aktif Cypermethrin 113 g/l pada saat
4 MST karena serangannya dianggap telah mengganggu pertumbuhan tanaman
atau telah mencapai ambang ekonomi yang dapat menurunkan produksi.
Pengendalian hama dilakukan pada malam hari, karena hama terutama ulat
Grayak (Spodoptera litura Fabricus) aktif pada malam hari. Dengan pengendalian
pada malam hari ulat Grayak dapat dikendalikan. Pengairan dalam parit dilakukan
sejak awal tanam sampai panen dengan tinggi muka yang stabil sesuai perlakuan.

Panen

Kriteria tanaman yang telah siap dipanen adalah pada saat kira-kira 90%
dari populasi tanaman sudah luruh daunnya. warna polong sudah berubah dari
hijau berwarna kuning kecoklat-coklatan. Polong dan biji sudah berkembang
penuh. Kriteria penentuan saat panen seperti itu merupakan cara yang paling
mudah untuk menentukan saat masak fisiologis benih kedelai yang tepat.

Pengamatan

Karakter agronomi yang diamati adalah:


1. Tinggi tanaman
Pengukuran tinggi 10 tanaman contoh dilakukan setiap 2 minggu. Caranya
diukur dari pangkal sampai titik tumbuh yang terletak diujung bunga utama.
2. Jumlah daun trifoliate
Dihitung setiap 2 minggu dengan menghitung semua daun mulai dari daun
unifoliet yang sudah terbuka penuh dari 10 tanaman contoh.
3. Bobot bintil, akar, batang, dan daun (g), dilakukan pada umur 6 minggu
setelah tanam
Tanaman sampel berumur 6 MST sebanyak 12 tanaman (diperkirakan bobot
kering daun cukup untuk analisis hara daun) diambil mulai dari akar. Sampel
dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan suhu 60oC. Setelah
14

dikeringkan. bagian-bagian tanaman dipisahkan yaitu akar, batang, daun, dan


bintil, lalu ditimbang.
4. Tinggi tanaman dan jumlah cabang saat panen
Penghitungan dilakukan saat panen pada 10 tanaman contoh tiap petak.
5. Jumlah buku produktif dan tidak produktif saat panen
6. Jumlah polong isi dan hampa per tanaman (buah)
Penghitungan dilakukan sebanyak satu kali saat panen dengan menghitung
semua polong yang berisi dan yang hampa dari 10 tanaman contoh.
7. Bobot 100 biji (g)
Dilakukan dengan cara menimbang biji yang dipanen dari petak panen.
8. Bobot biji per petak (ton/ha)
Dilakukan dengan cara menimbang biji perpetak yang dipanen dari petak
panen.
9. Analisis hara N, P, K, Fe, dan Mn daun
Contoh daun umur 6 MST diambil dari lapangan, dikeringkan dalam oven
dengan suhu 60oC selama 72 jam kemudian daun kering dihaluskan.
Kandungan N daun ditentukan dengan metode Kjeldahl dengan alat titrasi. P
daun ditentukan dengan metode pengabuan kering dan ditetapkan dengan
sfektrofotometer. K, Fe, dan Mn ditentukan dengan metode HCLO4+HNO3
menggunakan alat Atomic Absorption Spectrometer (AAS).
10. Analisis fisik dan kimia tanah sebelum dan sesudah panen
Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu, dan liat).
pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K, Na, dan KTK,
kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, dan Mn serta pirit. Tekstur
tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah (pH) ditentukan
dengan ekstrak 1:5 menggunakan H2O dan KCl, C organik ditentukan dengan
metode kurmis, N ditentukan dengan metode Kjeldahl, P2O5 ditentukan
dengan metode Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan, Kation dan
unsur hara mikro dengan metode AAS, dan KTK dengan metode titrasi.
15

11. Analisis air meliputi pH, DHL, kation, anion, dan kadar lumpur
Keasaman tanah (pH) diukur dengan pH meter menggunakan elektrode gelas
kombinasi. Daya hantar listrik (DHL) diukur dengan menggunkan
konduktometer. Kation diukur dengan metode sesuai dengan masing-masing
kation. Ca, Mg, Fe, Al, Mn ditentukan dengan metode AAS. K dan Na
dengan fotometer nyala, NH4 dengan sfektrofotometri, SO4 dengan
turbidimetri, Cl dengan argentometri, PO4 dengan kolorimetripewarnaan biru
molibden pada panjang gelombang 693 nm, CO3 dan HCO3 dengan titrasi
menggunakan asam hingga pH tertentu.
16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Keadaan Umum

Penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus 2010. Penanaman kedelai


dilakukan pada bulan Mei 2010. Pada bulan tersebut salinitas belum
mempengaruhi pertumbuhan kedelai. Hal ini karena pada bulan tersebut air yang
berada dalam saluran masih merupakan sisa air hujan, namun kadar kation dan
anion sudah dipengaruhi air laut, sehingga kation dan anion didominasi oleh Na
dan Cl.
Pada percobaan ini air mulai di alirkan ke parit-parit di antara petak-petak
percobaan sejak awal tanam. Kecambah kedelai mulai muncul di permukaan pada
umur 5 hari setelah tanam (HST), tetapi kurang merata. Hal ini karena benih
ditanam terlalu dalam dengan kondisi tanah lahan pasang surut mempunyai kadar
liat tinggi 57% (Tabel 1) sehingga pertumbuhan kecambah kedelai ke permukaan
tanah terhambat, kemudian dilakukan penyulaman dengan cara benih kedelai
ditanam dangkal 1-2 cm sehingga menjadi merata pemunculannya di seluruh
petakan percobaan pada umur 10 HST. Daun trifoliat pertama terbentuk sempurna
pada umur 14 HST.
Pada 21 HST mulai terlihat gejala daun menguning, terutama daun yang
muda dan daun tua tetap berwarna hijau. Menurut Ghulamahdi (1999) hal ini
karena kedelai beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki
pertumbuhannya. Pada awal aklimatisasi, kandungan N dalam daun menurun dan
tanaman menjadi khlorotis. Hal ini disebabkan berkurangnya penyerapan nitrogen
dan terjadinya alokasi hasil fotosintesis ke bagian bawah tanaman (ke perakaran
baru dan bintil akar). Gejala daun menguning tersebut berangsur-angsur
berkurang setelah pemberian N 100% melalui daun pada umur 30 HST. Daun
berangsur-angsur membaik dengan munculnya pucuk baru. Tanaman mulai
muncul bunga pada umur 40 HST. Umur panen tanaman menjadi lebih lama
untuk semua perlakuan.
17

Tinggi tanaman merata pada lebar bedengan 2 dan 4 m, sedangkan tinggi


tanaman pada lebar bedengan 6 dan 8 m, tanaman pinggir relatif lebih tinggi
dibandingkan tanaman tengah (Gambar 8). Ini terjadi diduga karena laju gerakan
air dari parit ke tengah bedengan kurang mampu mengimbangi kehilangan air
karena evapotranspirasi dan perkolasi. Kondisi kurangnya air di tengah bedengan
menyebabkan pirit teroksidasi sehingga tanah menjadi masam, menghambat
pertumbuhan tanaman dan produksi rendah.
Hasil analisis tanah sebelum tanam memperlihatkan tingkat kesuburan yang
relatif baik dengan kandungan bahan organik, P2O5, dan K2O yang cukup tinggi.
Akan tetapi tanah memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 4.90 dan Al3+
3.56 cmol(+)/kg. Nilai tukar kation K dan Na rendah, namun nilai tukar kation Ca
dan Mg tergolong tinggi. Kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa sedang.
Tekstur tanah adalah liat berdebu dengan komposisi pasir 1%, debu 42%, dan liat
57%. Kelarutan alumunium dan besi yang cukup tinggi, kondisi ini menyebabkan
tanah memerlukan tambahan input dalam bentuk kapur dan pupuk agar tanaman
kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik (Tabel 1). Tanah juga
mengandung pirit dan Fe yang cukup tinggi. Kedalaman pirit di lahan penelitian
adalah kurang lebih 30 cm (Gambar 6).

30 cm

Gambar 6. Kedalaman Pirit dari Permukaan Tanah


18

Tabel 1. Data Analisis Tanah Sebelum Tanam

No Peubah Analisis Hasil Analisis Kriteria


1 Tekstur (pipet)
a. Pasir a. 1% Liat berdebu
b. Debu b. 42%
c. Liat c. 57%
2 Eksrak 1:5
a. pH H2O a. 4.90 Sangat masam
b. pH KCl b. 4.00
3 Bahan Organik
a. C a. 5.24% a. Tinggi
b. N b. 0.24% b. Sedang
c. C/N c. 22% c. Tinggi
4 P2O5
Bray 1 a. 5.2 mg/100g a. Tinggi
5 K2O
Morgan a. 0.5 mg/100g a. Rendah
Nilai Tukar Kation (NH4-
6 Acetat 1 M. pH 7)
a. K a. 0.15 cmol(+)/kg a. Rendah
b. Ca b. 4.72 cmol(+)/kg b. Tinggi
c. Mg c. 4.67 cmol(+)/kg c. Tinggi
d. Na d. 0.64 cmol(+)/kg d. Rendah
e. KTK e. 20.24 cmol(+)/kg e. Sedang
f. KB f. 50% f. Sedang
7 Ekstrak KCl 1M
a. AL3+ a. 3.56 cmol(+)/kg a. Tinggi
b. H+ b. 0.27 cmol(+)/kg b. Rendah
a. 0.16% (1600
8 a. Pirit ppm) a. Tinggi
b. Ca a. 110 mg/100g b. Tinggi
c. Mg b. 270 mg/100g c. Tinggi
d. Fe c. 154.2 mg/100g d. Tinggi
e. Mn d. 32.4 mg/100g e. Sedang
f. S e. 90 mg/100g f. Tinggi
*Balai Penelitian Tanah (2010)

Sumber air untuk budidaya jenuh air (BJA) pada penelitian ini adalah
dengan memanfaatkan air yang berada di saluran drainase yang telah dipengaruhi
pasang surut air laut. Hal ini berpengaruh pada kandungan kation dan anion dalam
19

air yang didominasi oleh Na dan Cl, namun daya hantar listrik masih rendah
0.488 mmhos/cm sehingga dapat mengairi semua tanaman, tidak merusak tanah
dan tanaman. Air ini juga memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 5.4. Kadar
lumpur yang ada di air 0.20 mg/l (Tabel 2).

Tabel 2. Data Analisis Air

No. Peubah Analisi Hasil Analisis Kriteria


1 DHL 0.488 mmhos/cm Rendah
Sangat
2 pH 5.4 masam
3 Kation
a. NH4 a. 0.81 mg/l air bebas lumpur Rendah
b. Ca b. 11.65 mg/l air bebas lumpur Tinggi
c. Mg c. 4.87 mg/l air bebas lumpur Sedang
d. Na d. 19.63 mg/l air bebas lumpur Tinggi
e. Fe e. 0.19 mg/l air bebas lumpur Rendah
f. Mn f. 0.00 mg/l air bebas lumpur Rendah
g. Cu g. 0.03 mg/l air bebas limpur Rendah
h. Zn h. 0.00 mg/l air bebas lumpur Rendah
i. Jumlah kation i. 37.18 mg/l air bebas lumpur Sedang
4 Anion
a. PO43- a. 0. 56 mg/l air bebas lumpur Rendah
2-
b. SO4 b. 111 mg/l air bebas lumpur Tinggi
-
c. Cl c. 2.69 mg/l air bebas lumpur Sedang
-
d. HCO3 d. 0.32 mg/l air bebas lumpur Rendah
-
e. CO3 e. 0.00 mg/l air bebas lumpur Rendah
f. Jumlah anion f. 112.57 mg/l air bebas lumpur Sedang
5 Kadar lumpur 0.20 mg/l air bebas lumpur Rendah
*Balai penelitian tanah (2010)

Air berasal dari pengaruh pasang surut air laut. Daerah lahan pasang surut
ini dibuka dengan cara membuat jaringan drainase, namun saluran-saluran belum
dilengkapi pintu-pintu air, sehingga sistem pengelolaan dan tata air hanya
tergantung dengan fluktuasi pasang surut air laut. Jaringan drainase terdiri dari
saluran primer, sekunder, tersier, dan kuarter (Gambar 7).
20

a. Saluran Primer b. Saluran Sekunder

c. Saluran Tersier d. Saluran Kuarter


Gambar 7. Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip

Pertumbuhan dan Produksi

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tinggi muka air berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 8, 10, dan 12 MST, jumlah cabang pada
saat panen, bobot kering daun, batang, akar, bintil, produksi biji, buku produktif
dan tidak produktif dan jumlah polong isi. Tinggi muka air tidak berbeda nyata
terhadap jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST, jumlah polong hampa
dan bobot 100 biji. Lebar bedengan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman
pada umur 2 dan 4 MST, jumlah daun pada umur 6 MST, jumlah cabang saat
panen, bobot kering daun, batang, akar, bintil, produksi biji, buku produktif dan
tidak produktif, jumlah polong isi dan bobot 100 biji. Interaksi tinggi muka air
dan lebar bedengan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 4, 6,
8, 10, dan 12 MST, jumlah daun pada umur 2 dan 6 MST, jumlah cabang pada
21

saat panen, bobot kering daun, batang, akar, bintil, produksi biji, buku produktif
dan tidak produktif, jumlah polong isi, dan bobot 100 biji (Lampiran 1).
Pola pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 6 MST sama dengan pola
pertumbuhan pada umur 2 dan 4 MST. Puncak pertumbuhan tanaman adalah pada
umur 8 dan 10 MST. Jumlah daun pada umur 8 dan 10 MST relatif sama dan daun
sudah mulai gugur. Pertambahan tinggi tanaman dari umur 2-6 MST mencapai
100% dari tinggi 2 dan 4 MST, dari umur 6-8 MST mencapai 39% dari tinggi
6 MST, sedangkan dari umur 8-10 MST hanya bertambah 2%. Pertambahan
jumlah daun dari umur 2-4 MST rata-rata adalah 4 daun, dari umur 4-6 MST rata-
rata adalah 7 daun dan dari umur 6-8 MST rata-rata adalah 3 daun (Tabel 3, 7, dan
11).
Pertumbuhan tanaman tidak terlalu tertekan selama masa aklimatisasi di
awal pertumbuhan. Hal ini karena pertumbuhan tanaman stabil sejak awal
pertumbuhan hingga umur 10 MST yang ditunjukkan oleh peubah tinggi tanaman,
jumlah daun, dan cabang yang relatif baik (Tabel 3, 7, dan 11). Menurut
Ghulamahdi et al. (2006), pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal
pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuh di
atas muka air. Pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi.
Pertumbuhan tanaman mulai berhenti pada umur 10 MST. Pada saat umur
10 MST tanaman telah berada pada fase generatif. Hal ini sesuai dengan tipe
varietas tersebut yang tergolong dalam tipe determinit yaitu berbunga hanya sekali
dalam satu periode. Berdasarkan pertumbuhan tanaman yang stabil sejak awal
pertumbuhan, tanaman dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut
dengan teknologi BJA. Hal ini sesuai dengan deskripsi varietas tanggamus yang
dirakit untuk adaptasi lahan masam (Lampiran 3).
Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 8,
dan 10 MST, tetapi tidak terdapat pengaruh pada umur 4 dan 6 MST. Tinggi
tanaman pada umur 2 MST nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 10 cm DPT
dibandingkan pada tinggi muka air 20 cm DPT. Namun tinggi tanaman pada
umur 8 dan 10 MST nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT
dibandingkan pada tinggi muka air 10 cm DPT. Tidak terdapat pengaruh tinggi
muka air terhadap jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST (Tabel 3).
22

Tabel 3. Pengaruh Tinggi Muka Air pada Komponen Pertumbuhan Kedelai


pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST

Peubah Tinggi Muka Air (cm)


10 20
Tinggi Tanaman:
2 MST 11.35a 10.83b
4 MST 21.09a 21.71a
6 MST 48.84a 51.00a
8 MST 67.93b 71.58a
10 MST 69.66b 72.85a
Jumlah Daun:
2 MST 1.83a 1.92a
4 MST 5.29a 5.61a
6 MST 12.05a 12.60a
8 MST 15.80a 16.75a
10 MST 15.45a 16.39a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berbeda nyata dengan uju jarak berganda Duncan 5%

Tabel 4. Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Kandungan dan Serapan Hara
N, P, K, Fe dan Mn dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST

Peubah N P K Fe Mn
Tinggi Muka Air (cm)
Kandungan Hara (g/100g)
10 7.0600a 0.316667b 1.43750b 0.048542b 0.0241167a
20 7.3542a 0.332500a 1.54083a 0.052583a 0.0241667a
Serapan Hara (mg/tanaman)
10 246.52b 11.136b 50.200b 1.200b 0.83957b
20 325.78a 15.055a 68.999a 2.2440a 1.07021a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap kandungan hara P, K, dan Fe,
tetapi tidak terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap kandungan hara N dan
Mn. Kandungan hara P, K, dan Fe nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm
DPT. Kandungan N dan Mn lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT, tetapi
secara statistik tidak berbeda nyata. Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap
serapan hara N, P, K, Fe, dan Mn. Serapan hara N, P, K, Fe dan Mn nyata lebih
23

tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT dan berbeda nyata dengan tinggi muka air
10 cm (Tabel 4).
Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap bobot kering daun, batang,
akar, dan bintil pada umur 6 MST. Bobot kering daun, batang, akar, dan bintil
nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT dibandingkan pada tinggi
muka air 10 cm DPT (Tabel 5). Menurut Suwarto et al. (1994) tinggi muka air
berpengaruh nyata pada bobot kering daun, batang, akar, dan bintil.

Tabel 5. Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Bobot Kering Daun, Batang,
Akar, dan Bintil pada Umur 6 MST

Peubah Tinggi Muka Air (cm)


10 20
Bobot Kering Daun (g) 3.52b 4.51a
Bobot Kering Batang (g) 3.64b 4.84a
Bobot Kering Akar (g) 0.73b 0.99a
Bobot Kering Bintil (g) 0.33b 0.48a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

Tabel 6. Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Komponen Pertumbuhan dan


Produksi Kedelai Saat Panen

Peubah Tinggi Muka Air (cm)


10 20
Tinggi Tanaman 70.66b 73.86a
Jumlah Cabang 4.22b 4.55a
Buku Produktif 20.09b 22.86a
Buku tidak Produktif 4.05a 3.63b
Polong Isi 67.83b 71.83a
Polong Hampa 1.11a 1.09a
Produksi Biji (ton/ha) 2.33b 2.58a
Bobot 100 Biji (g) 11.17a 11.39a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang,
buku produktif, buku tidak produktif, polong isi, dan produksi kedelai. Namun
tidak terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap jumlah polong hampa dan bobot
100 biji kedelai. Tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, jumlah polong
24

isi, dan produksi kedelai nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT
dibandingkan pada tinggi muka air 10 cm DPT (Tabel 6).
Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap tinggi tanaman pada umur 2 dan
4 MST, tetapi tidak terdapat pengaruh pada umur 6, 8, dan 10 MST. Tinggi
tanaman nyata lebih tinggi pada lebar bedengan 2 m. Terdapat pengaruh lebar
bedengan terhadap jumlah daun pada umur 6 MST, tetapi tidak terdapat pengaruh
pada umur 2, 4, 8, dan 10 MST (Tabel 7).

Tabel 7. Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Komponen Pertumbuhan


Kedelai pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST

Peubah Lebar Bedengan (m)


2 4 6 8
Tinggi Tanaman:
2 MST 11.57a 10.78b 11.22ab 10.78b
4 MST 22.45a 21.04ab 21.26ab 20.84b
6 MST 50.89a 50.44a 49.92a 48.43a
8 MST 70.14a 70.44a 69.70a 68.74a
10 MST 71.96a 71.62a 71.52a 69.44a
Jumlah Daun:
2 MST 1.94a 1.90a 1.81a 1.85a
4 MST 5.71a 5.37a 5.27a 5.45a
6 MST 13.06a 12.19ab 12.17ab 11.87b
8 MST 16.94a 16.40a 16.50a 15.27a
10 MST 16.35a 16.22a 16.02a 15.80a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap kandungan hara N, Fe, dan Mn,
tetapi tidak terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap kandungan hara P dan K.
Kandungan hara N, Fe, dan Mn nyata lebih tinggi pada lebar bedengan 8 m dan
berbeda nyata dengan lebar bedengan 2 m. Terdapat pengaruh lebar bedengan
terhadap serapan hara P, tetapi tidak terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap
serapan hara N, K, Fe dan Mn. Serapan hara P nyata lebih tinggi pada lebar
bedengan 2 m dan berbeda nyata dengan lebar bedengan 4, 6, dan 8 m (Tabel 8).
25

Tabel 8. Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Kandungan dan Serapan Hara


N, P, K, Fe dan Mn dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST

Peubah N P K Fe Mn
Lebar Bedengan (m)
Kandungan Hara (g/100g)
2 6.2217c 0.326667a 1.3833a 0.038500d 0.021817b
4 6.8317bc 0.320000a 1.3817a 0.045917c 0.022367b
6 7.3033b 0.325000a 1.5333a 0.055250b 0.024550b
8 8.4717a 0.326667a 1.6583a 0.062583a 0.027833a
Serapan Hara (mg/tanaman)
2 289.82a 15.184a 65.76a 1.8111a 0.9984a
4 291.57a 13.759ab 59.90a 1.9650a 0.9540a
6 295.61a 13.066ab 60.48a 2.1752a 0.9965a
8 267.61a 10.375b 52.26a 1.9766a 0.8707a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

Menurut Indradewa et al. (2002) menyatakan bahwa dengan LPT lebih


tinggi. tanaman yang mendapat genangan dalam parit mempunyai bobot kering
tanaman (BKT) saat panen nyata lebih berat. karena terdapat korelasi antara LPT
dengan BKT. Pada Tabel 9 terlihat bahwa terdapat pengaruh lebar bedengan
terhadap bobot kering daun, batang, akar, dan bintil. Bobot kering daun, batang,
akar, dan bintil nyata lebih berat pada lebar bedengan 2 m.

Tabel 9. Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Bobot Kering Daun, Batang,


Akar, dan Bintil Kedelai pada Umur 6 MST

Lebar Bedengan (m)


Peubah
2 4 6 8
Bobot Kering Daun (g) 4.57a 4.29ab 4.03ab 3.17b
Bobot Kering Batang (g) 5.27a 4.48ab 4.09ab 3.11b
Bobot Kering Akar (g) 1.09a 0.83ab 0.78ab 0.72b
Bobot Kering Bintil (g) 0.58a 0.40b 0.34cb 0.29c
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda 5%

Pada saat panen terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap jumlah cabang,
buku produktif, buku tidak produktif, polong isi, bobot 100 biji, dan produksi
kedelai, tetapi tidak terdapat pengaruh terhadap tinggi tanaman dan polong
26

hampa. Jumlah cabang, buku produktif, polong isi, bobot 100 biji, dan produksi
kedelai nyata lebih tinggi pada lebar bedengan 2 m (Tabel 10). Indradewa et al.
(2002) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh lebar bedengan
terhadap laju pertumbuhan kedelai.

Tabel 10. Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Komponen Pertumbuhan dan


Produksi Kedelai Saat Panen

Lebar Bedengan (m)


Peubah
2 4 6 8
Tinggi Tanaman 72.96a 72.62a 72.52a 70.94a
Jumlah Cabang 4.71a 4.41ab 4.33ab 4.05b
Buku Produktif 3.63a 22.73ab 21.18ab 20.47b
Buku tidak Produktif 3.44b 3.98ab 3.72ab 4.25a
Polong Isi 80.17a 73.50b 65.17c 60.17d
Polong Hampa 0.92a 1.09a 1.06a 1.32a
Produksi Biji (ton/ha) 3.79a 2.52b 1.79c 1.71d
Bobot 100 Biji (g) 11.89a 11.30ab 10.98b 10.96b
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

Terdapat pengaruh interakasi antara tinggi muka air dan lebar bedengan
terhadap pertumbuhan kedelai pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST. Tinggi tanaman
nyata lebih tinggi pada interaksi tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar
bedengan 2 m. Terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan
terhadap jumlah daun pada umur 2 dan 6 MST. tetapi tidak terdapat pengaruh
pada umur 4, 8, dan 10 MST (Tabel 11).
Terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar bengan terhadap
serapan hara P. Serapan hara P nyata lebih tinggi pada perlakuan tinggi muka air
20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m dan berbeda nyata dengan perlakuan
tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 4, 6, dan 8 m. Serapan hara P
lebih kecil pada perlakuan tinggi muka air 10 cm DPT dengan lebar bedengan 8 m
meskipun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan tinggi muka air
10 cm DPT dengan lebar bedengan 4, 6, dan 8 m ( Tabel 12).
27

Tabel 11. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Umur 2, 4, 6, 8,
dan 10 MST

Tinggi Lebar
Muka Air Bedengan Pengamatan
(cm) (m)
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
Tinggi Tanaman (cm)
2 11.68a 21.76ab 47.97b 65.19b 72.60ab
4 11.11abc 20.26b 47.55ab 65.82b 71.91ab
10
6 11.61ab 21.55ab 51.28ab 65.15b 67.15b
8 10.98abc 20.79b 49.11ab 64.44b 66.99b
2 11.46abc 23.14a 53.88a 75.09a 76.77a
4 10.46c 21.82ab 53.81a 75.07a 76.25a
20
6 10.82abc 20.98ab 48.56ab 69.14b 70.44b
8 10.58bc 20.89ab 47.75b 67.04b 69.96b
Jumlah Daun
2 1.90ab 5.45a 12.72ab 16.80a 16.60a
4 1.86ab 5.21a 11.76b 15.28a 16.33a
10
6 1.68b 5.20a 12.02ab 16.40a 15.71a
8 1.88ab 5.30a 11.76b 14.73a 14.93a
2 1.98a 5.97a 13.42a 17.51a 16.71a
4 1.93a 5.53a 12.62ab 17.08a 16.62a
20
6 1.93a 5.35a 12.35ab 16.62a 16.00a
8 1.81ab 5.60a 12.03ab 15.81a 15.82a
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

Tabel 12. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Serapan Hara P dalam Daun Kedelai pada Umur 6
MST

Serapan Hara P
Tinggi Muka Air (cm) Lebar Bedengan (m)
(mg/tanaman)
2 9.978c
4 11.306bc
10
6 13.479bc
8 9.781c
2 20.389a
4 16.212ab
20
6 12.652bc
8 10.968bc
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
28

Terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap
bobot kering daun, batang, akar, dan bintil. Bobot kering daun, batang, akar, dan
bintil nyata lebih tinggi pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar
bedengan 2 m (Tabel 13).

Tabel 13. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Bobot Kering Daun, Batang, Akar, dan Bintil Kedelai
pada Umur 6 MST

Tinggi Lebar
Muka Air Bedengan Bobot Kering (g)
(cm) (m)
Daun Batang Akar Bintil
2 3.22bc 3.58bc 0.69b 0.34bc
4 3.68bc 3.79bc 0.71b 0.44b
10
6 4.14bc 4.16bc 0.84b 0.30cd
8 3.90b 3.06c 0.65b 0.22d
2 5.92a 6.96a 1.50a 0.82a
4 4.91ab 5.17ab 0.94b 0.37bc
20
6 3.92bc 4.02bc 0.72b 0.37bc
8 3.29bc 3.19bc 0.82b 0.36bc
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

Tabel 14. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Saat
Panen

Tinggi Lebar
Muka Air Bedengan Pengamatan
(cm) (m)
Tinggi Tanaman Jumlah Buku Buku tidak
(cm) Cabang Produktif Produktif
2 73.55ab 4.30ab 23.25ab 4.04ab
4 72.83ab 4.31ab 22.21b 4.11ab
10
6 68.06b 4.25ab 21.00b 3.58b
8 67.65b 3.90b 20.05b 4.48a
2 77.70a 4.68a 25.93a 2.83c
4 77.23a 4.48ab 21.33b 3.83ab
20
6 71.14a 4.41ab 21.36b 3.85ab
8 70.23b 4.18ab 20.88b 4.02ab
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%
29

Tinggi tanaman. jumlah cabang. buku produktif. buku tidak produktif.


jumlah polong isi. produksi biji dan bobot 100 biji kedelai lebih rendah pada
interaksi tinggi muka air 10 cm DPT dengan lebar bedengan 8 m (Tabel 14 dan
15). Hal ini diduga karena dengan lebar bedengan 8 m kemampuan air meresap
dari parit ke tengah bedengan kurang merata di seluruh areal bedengan.

Tabel 15. Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan
terhadap Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Saat
Panen

Tinggi Lebar
Muka Air Bedengan Pengamatan
(cm) (m)
Poduksi
Polong Polong Biji Bobot 100
Isi Hampa (ton/ha) Biji
2 78.33b 0.95a 3.43b 11.45ab
4 72.33d 1.05a 2.46d 11.54ab
10
6 62.33f 0.98a 1.75f 10.62b
8 58.33g 1.06a 1.68g 11.17b
2 82.00a 0.90a 4.15a 12.32a
4 74.67c 1.13a 2.59c 11.06b
20
6 68.00e 1.15a 1.84e 11.23b
8 62.67f 1.18a 1.74f 10.85b
Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

Pada saat panen terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar
bedengan terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, buku tidak
produktif, polong isi, dan bobot 100 biji kedelai. Tidak terdapat pengaruh
interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap jumlah polong hampa.
Tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, polong isi,
bobot 100 biji kedelai, dan produksi kedelai nyata lebih tinggi pada perlakuan
tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m (Tabel 14 dan 15).
30

a. Lebar Bedengan 2 m, b. Lebar Bedengan 4 m,


Tinggi Muka Air 20 cm DPT Tinggi Muka Air 20 cm DPT

c. Lebar Bedengan 6 m, d. Lebar Bedengan 8 m,


Tinggi Muka Air 20 cm DPT Tinggi Muka Air 20 cm DPT

Gambar 8. Pertumbuhan Kedelai Varietas Tanggamus pada Umur 6 MST


31

a. Lebar Bedengan 2 m, b. Lebar Bedengan 4 m,


Tinggi Muka Air 20 cm DPT Tinggi Muka Air 20 cm DPT
Gambar 9. Jumlah Polong Varietas Tanggamus pada Umur 8 MST

Pembahasan

Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap Kandungan dan
Serapan Hara N, P, K, Fe, dan Mn dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tinggi muka air berpengaruh
nyata terhadap kandungan hara P dan Fe dan serapan hara N, P, K, Fe, dan Mn,
tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan N, K dan Mn. Lebar bedengan
berpengaruh nyata terhadap kandungan hara N, Fe, dan Mn, tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan P dan K dan serapan hara N, P, K, Fe, dan
Mn. Interaksi tinggi muka air hanya berpengaruh nyata pada serapan P (Lampiran
2).
Dari penelitian dapat diketahui bahwa Serapan hara N, P, K, Fe dan Mn
daun nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT dan berbeda nyata
dengan tinggi muka air 10 cm. Hal ini diduga karena pada tinggi muka air 20 cm
DPT, akar memiliki ruang tumbuh yang lebih luas sehingga volume akar tinggi
dan dapat menyerap unsur hara N, P, K, Fe dan Mn daun secara maksimal
dibandingkan tinggi muka air 10 cm DPT.
32

Kandungan hara N, Fe, dan Mn daun nyata lebih tinggi pada lebar bedengan
8 m dan berbeda nyata dengan lebar bedengan 2 m. Hal ini diduga karena pada
lebar bedengan 8 m, kondisi di tengah bedengan relatif kering sehingga terjadi
proses oksidasi senyawa pirit yang menyebabkan tanah menjadi masam dan
kelarutan unsur Fe dan Mn dalam tanah meningkat. Kondisi tersebut dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, produksi kedelai menjadi rendah dan
menyebabkan ketersediaan hara P dalam tanah menjadi rendah, sehingga serapan
unsur hara P oleh kedelai dan produksi kedelai pada lebar bedengan 8 m sangat
rendah.
Serapan hara P daun nyata lebih tinggi pada lebar bedengan 2 m dan
berbeda nyata dengan lebar bedengan 4, 6, dan 8 m. Hal ini diduga karena pada
lebar bedengan 2 m, kodisi bedengan relatif basah dan merata di seluruh areal
bedengan sehingga pirit menjadi reduktif. Kondisi tersebut pirit tidak menjadi
racun bagi tanaman dan kelarutan unsur beracun (Al, Fe, dan Mn) dalam tanah
menjadi rendah sehingga tidak menghambat pertumbuhan tanaman dan produksi
kedelai menjadi tinggi.

Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Pertumbuhan dan Produksi kedelai

Teknologi budidaya jenuh air (BJA) dapat meningkatkan laju pertumbuhan


tanaman (LPT). Pertumbuhan dan hasil kedelai di lahan pasang surut dengan
teknologi BJA lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya kering. Hal ini diduga
karena adanya air yang stabil di bawah permukaan tanah sehingga lengas tanah
dalam keadaan kapasitas lapang. Menurut Ghulamahdi (2009) Tinggi muka air
tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan
tanaman kedelai. karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman
memperbaiki pertumbuhannya.
Pada lahan pasang surut adanya lapisan pirit menjadi penghambat
prtumbuhan kedelai jika ditanam pada saat musim kering tanpa BJA. Hal ini
karena pada kondisi kering akan terjadi proses oksidasi lapisan pirit yang
menyebabkan tanah menjadi masam. kelarutan unsur beracun (Al, Fe, dan Mn)
meningkat. Kondisi tersebut dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan
produksi menjadi rendah. Menurut Suriadikarta (2005) menyatakan bahwa pirit
33

yang mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas
bervalensi 3 (Fe3+). Hasil akhirnya merupakan tanah dengan reaksi masam ekstrim
(pH < 3.5). dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4-), besi bervalensi 2
(Fe2+), dan alumunium (Al3+). Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar
logam-logam berat antara lain Al, Mn, Zn, dan Cu.
Penerapan teknologi BJA akan menghambat oksidasi lapisan pirit dan
terhindar dari penurunan pH yang semakin rendah. Selain itu gerakan air pasang
surut yang masuk ke petak-petak percobaan dan besarnya curah hujan pada saat
pelaksanaan penelitian yaitu 113.8 mm pada bulan Juli (Lampiran 5) akan
mempercepat proses pencucian unsur beracun seperti Al, Fe, Zn, dan Mn dari
petakan percobaan, karena itu pengelolaan air menjadi faktor kunci keberhasilan
pertumbuhan dan produksi kedelai, sedangkan pemberian kapur dan pupuk
kandang dapat mengatasi kekurangan unsur hara. Menurut Ghulamahdi (2009)
usaha penurunan kadar pirit di lahan pasang surut dapat dilakukan dengan cara
pengaturan tinggi muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Adanya teknologi
BJA memberikan peluang untuk menurunkan kadar pirit. Penurunan kadar pirit
juga dapat dilakukan melalui tanpa olah tanah (TOT) atau pengolahan tanah
ringan, sehingga pirit tidak terangkat ke permukaan serta pemberian kapur dan
pupuk kandang.
Pada penelitian ini, dengan adanya air yang dialirkan ke parit-parit di antara
petak-petak percobaan sejak awal tanam dan tingginya intensitas radiasi matahari
di daerah lahan pasang surut yaitu 100% pada bulan Juli (Lampiran 6).
menyebabkan fotosintesis di daun lebih efisien dan akan merangsang
pembentukan bunga lebih banyak. Penerapan teknologi BJA akan menyebabkan
air di bawah permukaan tanah stabil dari awal pertumbuhan hingga stadia
pemasakan biji dan tingginya suhu di lahan pasang surut (24.50-31.60 oC) akan
menginduksi tanaman untuk mengeluarkan bunga yang banyak (Lampiran 7).
Menurut Irwan (2006) menyatakan bahwa pada suhu yang tinggi dan kelembaban
udara yang rendah, radiasi matahari akan merangsang munculnya tunas bunga
menjadi bunga.
Teknologi BJA dengan tinggi muka air 20 cm DPT, memiliki ruang tumbuh
yang lebih luas untuk akar, sehingga cukup memadai untuk pertumbuhan akarnya
34

secara maksimal. Selain itu, pemberian air irigasi ke dalam saluran lebih efisien.
Oleh karena itu, tinggi muka air 20 cm DPT merupakan tinggi muka air yang
paling cocok untuk penanaman kedelai di lahan pasang surut dengan teknologi
BJA.
Tinggi muka air dipengaruhi juga oleh tekstur tanah lokasi penelitian. Tanah
di lahan pasang surut berstekstur liat. Tanah bertekstur liat akan memegang air
lebih kuat dibanding tanah yang bertekstur pasir. Oleh karena itu, tinggi muka air
di lahan pasang surut lebih dalam dibandingkan dengan tanah dengan kadar liat
lebih rendah atau tanah yang memiliki tekstur pasir. Menurut Ghulamahdi (1999)
di Bogor menunjukkan bahwa tinggi muka air 5 cm DPT cocok digunakan untuk
penerapan BJA. Tanah di Bogor memiliki tekstur pasir 3.85%. Jika tinggi muka
air 5 cm DPT diterapkan di lahan pasang surut lokasi penelitian maka tanah akan
mengandung terlalu banyak air di dekat perakaran sehingga tanaman tidak mampu
tumbuh dengan baik.

Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Pertumbuhan dan Produksi kedelai

Pertumbuhan dan produksi kedelai semakin menurun dengan bedengan


yang semakin lebar. Hal ini di duga karena semakin lebar bedengan menyebabkan
kemampuan air meresap dari parit ke tengah bedengan tidak merata di seluruh
areal bedengan. sehingga menurunkan rata-rata produktivitas kedelai. Dari
penelitian ini dapat diketahui lebar bedengan 2-4 m merupakan petak yang ideal
karena diduga kemampuan air meresap dari parit ke tengah bedengan dapat
merata di seluruh areal bedengan dan produksi biji lebih tinggi dibandingkan lebar
bedengan 6 dan 8 m. Indradewa et al. (2002) menyatakan bahwa dengan lebar
bedengan 3-4 m, menyebabkan lengas tanah berada sedikit di atas kapasitas
lapang dan penyebaran lengas dapat merata di seluruh areal bedengan.
Teknologi BJA dapat meningkatkan produksi biji kedelai, karena secara
fisiologis kedelai mampu menghasilkan asimilat lebih banyak dan mampu
menyalurkan asimilat lebih banyak ke hasil ekonomis. Selain itu tanaman kedelai
lebih efisien dalam mengalokasikan asimilat untuk pertumbuhan biji. Menurut
Indradewa et al. (2002) menyatakan bahwa genangan dalam parit dapat
meningkatkan hasil kedelai 81% dari 1.17 ton/ha menjadi 2.12 ton/ha.
35

Menurut Soemarno (1986) dan Adisarwanto et al. (2001) genangan dalam


parit dapat dilakukan dengan lebar bedengan lebih lebar dari 2 m yang telah biasa
digunakan. Manwan et al. (1990) menyatakan bahwa dalam budidaya kedelai
disarankan dan kemudian banyak diterapkan oleh petani. pembuatan parit drainasi
berjarak 4 m. Parit tersebut dapat berfungsi ganda. yaitu sebagai parit irigasi dan
juga drainasi bila diperlukan.
Dilihat dari komponen hasilnya, teknologi BJA dengan perlakuan tinggi
muka air dapat menambah tinggi tanaman, jumlah buku produktif, jumlah polong
isi, dan produksi kedelai secara nyata. Sementara itu, genangan dalam parit
dengan perlakuan lebar bedengan tidak menambah tinggi tanaman secara nyata,
tetapi menambah jumlah cabang, buku produktif, polong isi, bobot 100 biji, dan
produksi kedelai secara nyata.
Dengan demikian teknologi BJA dapat meningkatkan jumlah polong per
tanaman dan jumlah biji per polong yang dihasilkan, sehingga dapat menambah
jumlah biji per tanaman. Produksi yang meningkat lebih disebabkan oleh
peningkatan jumlah buku produktif, jumlah cabang, jumlah polong isi per
tanaman, dan jumlah produksi biji per tanaman yang dihasilkan serta peningkatan
bobot 100 biji yang berbeda nyata terhadap perlakuan lebar bedengan, tetapi
tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tinggi muka air. Jumlah cabang
berkorelasi positif dengan jumlah polong isi (r = 0.67).

Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap


Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

Dari penelitian dapat diketahui bahwa perlakuan interaksi antara tinggi


muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m merupakan perlakuan yang
ideal. karena diduga perlakuan dengan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar
bedengan 2 m penggunaan air lebih efisien dan kemampuan air meresap dari parit
ketengah bedengan lebih merata.
Tanaman kedelai dengan teknologi BJA mempunyai bobot biji saat panen
nyata lebih berat. Hal ini diduga karena teknologi BJA dapat meningkatkan
kemampuan tanaman menyalurkan asimilat ke hasil ekonomis, sehingga bobot biji
meningkat, tetapi tidak terdapat pengaruh tinggi muka air. Terdapat pengaruh
36

interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap bobot biji. Bobot biji nyata
lebih berat pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan
2 m.
Pada percobaan ini. produksi biji kedelai pada perlakuan tinggi muka air
20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m mencapai 4.15 ton/ha, ini nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan tinggi muka air 20 cm dengan lebar
bedengan 4 m (2.59 ton/ha), lebar bedengan 6 m (1.84 ton/ha), dan lebar bedengan
8 m (1.74 ton/ha). Produksi biji kedelai pada tinggi muka air 10 cm DPT dengan
lebar bedengan 2 m mencapai 3.43 ton/ha, ini nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan tinggi muka air 10 cm dengan lebar bedengan 4 m (2.46 ton/ha),
lebar bedengan 6 m (1.75 ton/ha), dan lebar bedengan 8 m (1.68 ton/ha).
Produksi kedelai yang tinggi dengan penerapan teknologi BJA sesuai
dengan hasil penelitian Indradewa et al. (2004) yang menunjukkan bahwa
budidaya jenuh air secara nyata meningkatkan produksi kedelai hingga 20-80%
dibandingkan dengan pengairan konvensional. Hal ini terjadi karena budidaya
jenuh air menyebabkan kondisi tanah pada kapasitas lapang. Sebaliknya teknik
pengairan konvensional yang biasa diterapkan petani menyebabkan kondisi tanah
tidak stabil.
Tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan teknologi BJA mempunyai
pertumbuhan yang lebih cepat dan produksi biji lebih tinggi. Hal ini karena
tanaman mendapatkan air dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya dari awal
tanam hingga panen. pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai pengisian polong
dan mengalami penundaan penuaan. Menurut Nathanson (1984) menyatakan
bahwa kondisi jenuh air yang dipertahankan sejak awal stadia vegetatif hingga
stadia kematangan menyebabkan tanaman tidak cepat mengalami senessen saat
masa pengisian polong. Kondisi ini menyebabkan suplai asimilat dari source ke
sink berlangsung lama dan akhirnya dapat meningkatkan indeks panen.
Produksi biji kedelai yang tinggi mencapai 4.15 ton/ha dengan teknologi
BJA pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m
didukung dengan pertumbuhan tanaman yang relatif baik yang tercermin pada
bobot kering daun, batang, akar, dan bintil lebih tinggi dibandingkan perlakuan
lain.
37

Gambar 10. Hubungan Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan Terhadap
Produktivitas Kedelai

Hasil analisis regresi pada tinggi muka air 20 cm DPT menunjukkan


persamaan sebagai berikut: Y = 0.091x2 - 1.311x + 6.4 dengan R² = 0.999. Dari
persamaan ini diperoleh produksi kedelai maksimum (4.15 ton/ha) pada lebar
bedengan 2 m. Hasil analisis regresi pada tinggi muka air 10 cm DPT
menunjukkan persamaan sebagai berikut: Y = 0.056x2 - 0.860x + 4.945 dengan R²
= 0.996. Dari persamaan ini diperoleh produksi kedelai maksimum (3.43 ton/ha)
pada lebar bedengan 2 m. Dengan demikian pertumbuhan dan produksi kedelai di
lahan rawa pasang surut diperlukan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar
bedengan 2 m.

Korelasi antar Karakter Tanaman

Hubungan antara karakter tanaman perlu diketahui untuk mengetahui


seberapa besar pengaruh karakter tanaman dengan karakter lainnya. Menurut
Soemartono et al. (1992) korelasi antar karakter tanaman yang biasanya diukur
dengan koefisien korelasi penting dalam perencanaan dan evaluasi program
pemuliaan tanaman, karena koefisien ini mengukur derajat hubungan antara dua
karakter atau lebih, baik dari segi genetik maupun non-genetik.
38

Berdasarkan uji korelasi fenotipik pada Lampiran 4 karakter tinggi


tanaman berkorelasi positif terhadap jumlah daun, cabang dan bobot kering daun.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tanaman, maka jumlah daun, jumlah
cabang semakin banyak, dan bobot kering daun semakin tinggi. Jumlah polong isi
berkorelasi positif dengan jumlah cabang, bobot kering daun, dan bobot kering
bintil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah cabang serta bobot
kering daun dan bintil akar semakin tinggi maka jumlah polong isi semakin
banyak. Bobot 100 biji benih berkorelasi positif terhadap produksi biji. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi bobot 100 biji, maka produksi biji semakin
tinggi.
Budidaya jenuh air memberikan kondisi yang lebih baik bagi lingkungan
pertumbuhan perakaran karena ketersediaan air yang cukup sehingga membentuk
akar dan bintil akar lebih banyak. Pertumbuhan akar dan bintil akar meningkat
setelah fase aklimatisasi karena tanaman memperbaiki pertumbuhannya sebagai
suatu mekanisme adaptasi morfologi terhadap kondisi lahan basah untuk
pembentukan akar-akar baru guna menggantikan fungsi akar-akar yang mati
akibat terjenuhi air. Terdapat korelasi yang erat (r = 0.79) antara bobot kering
bintil akar dan jumlah polong isi. Oleh karena itu, peningkatan jumlah polong isi
pada penelitian ini diduga disebabkan oleh banyaknya asimilat yang dialihkan dari
bintil ke tajuk untuk pembentukan bunga dan biji sehingga produksi biji
meningkat.
Menurut Suwarto et al. (1994) pembentukan akar-akar baru dapat
meningkatkan jumlah bintil akar yang berkorelasi positif dengan bobot kering
bintil. Menurut Purwaningrahayu et al. (2004) menyatakan bahwa dengan bobot
kering bintil akar yang lebih banyak memungkinnkan bagi tanaman untuk
mendapatkan N yang lebih banyak.
Menurut Gasperz (1992) dua variabel yang berkorelasi positif cenderung
berubah secara bersama dalam arah yang sama atau cenderung menurun atau
meningkat secara bersama. Karakter yang memiliki korelasi dengan karakter lain
baik korelasinya positif maupun negatif akan mempermudah pemulia dalam
melakukan seleksi.
39

Penerapan Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut

Penerapan budidaya jenuh air (BJA) dapat dilakukan pada areal


penanaman dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang
baik seperti lahan pasang surut. Di beberapa tempat. BJA dapat memperbaiki
pertumbuhan dan meningkatkan produksi kedelai dibandingkan dengan budidaya
kering.
Lahan pasang surut memiliki potensi yang besar untuk pengembangan
kedelai di Indonesia jika dikelola dengan tepat. Lahan pasang surut pada lokasi
penelitian adalah tipe luapan C (Gambar 11). Menurut Widjaja-Adhi et al. (1997)
tipe luapan C tidak mengalami luapan air pasang besar maupun pasang kecil.
namun permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm.

Gambar 11. Kalsifikasi Rawa Pasang Surut Menurut Luapan Pasang


Maksimum dan Minimum (Widjaja-Adi et al., 1992)

Menurut Ghulamahdi (2009) adanya tata air makro dan mikro mendukung
penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Tata air ini dibentuk mulai dari
saluran primer hingga saluran kuarter sehingga penerapan BJA berada diantara
saluran kuarter, jarak antara saluran kuarter adalah 100 m (Gambar 12). Penelitian
ini memperlihatkan bahwa pengelolaan tata air yang tepat merupakan kunci
keberhasilan budidaya kedelai di lahan pasang surut.
40

Gambar 12. Tata Air Makro dan Mikro di Lahan Pasang Surut untuk
Penerapan BJA

Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992) dan Subagyo (1997) menyatakan bahwa


lahan pasang surut lokasi penelitian termasuk dalam zona II, yaitu saat volume air
sungai relatif tetap atau berkurang di musim kemarau, pengaruh air asin/salin
dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pengaruh air
asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai pada
bulan-bulan terkering yaitu bulan Agustus-Oktober. Oleh karena itu, pada
penelitian ini salinitas belum mempengaruhi pertumbuhan kedelai karena
dilakukan pada musim kemarau I, yaitu bulan April-Agustus 2010. Pada bulan
tersebut air yang berada dalam saluran masih merupakan sisa air hujan. namun
kadar kation dan anion air telah dipengaruhi air laut. Kation dan anion yang
dominan pada air di lahan pasang surut adalah Na dan Cl. Salinitas air sangat
rendah yaitu daya hantar listrik 0. 488 mmhos/cm (Tabel 2).
Kesesuaian antara varietas, teknologi budidaya dan agroklimat lokasi
budidaya serta ketepatan waktu dari berbagai tindakan agronomis sangat
menentukan produktivitas kedelai di lahan pasang surut. Lahan pasang surut
memiliki keterbatasan karena adanya lapisan pirit. Namun lahan pasang surut
dapat menjadi lahan yang berpotensi tinggi untuk budidaya kedelai jika dilakukan
dengan BJA di lahan yang memiliki kesuburan relatif baik dengan kandungan
bahan organik, P2O5, dan K2O5 yang relatif tinggi.
41

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap bobot kering akar, bintil,
batang, daun, tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, jumlah
polong isi, dan produksi biji.
2. Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap bobot kering akar, bintil,
batang, daun, jumlah cabang, buku produktif, jumlah polong isi, dan
produksi biji.
3. Perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m
merupakan perlakuan yang cocok untuk budidaya kedelai di lahan rawa
pasang surut dengan produksi biji mencapai 4.15 ton/ha.

Saran

Dalam budidaya kedelai di lahan pasang surut dengan tipe luapan C


disarankan tinggi muka air 20 cm DPT dan pembuatan lebar bedengan 2 m.
42

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2001. Bertanam kedelai di tanah jenuh air. Buletin Palawija.


1:24-32.

, dan Suhartina. 2001. Tanggap beberapa varietas kedelai terhadap


kondisi tanah jenuh air. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
20(1):88-94.

Alwi, M. dan D. Nazemi. 2003. Pengaruh dimensi saluran kemalir terhadap


perubahab sifat kimia tanah dan pertumbuhan kedelai di tanah
sulfat masam. Bul. Agron. 31(3):107-111.

Avivi, S. 1995. Efisiensi Serapan N-Urea dan Proporsi Fiksasi N Setelah


Perlakuan Pemetikan Kotiledon Pada Budidaya Basah Kedelai
(Glycine max (L.) Merr.). Tesis Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 83 hal.

Biro Pusat Statistik. 2010. Luas Lahan, Produksi, dan Produktivitas Kedelai.
http://www.bps.go.id. [17 Maret 2009].

Djayusman, M., Suastika. I.W., dan Soelaeman, Y. 2001. Refleksi pengalaman


dalam pengembangan sistem usaha pertanian di lahan pasang surut.
Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Sistem Usaha Pertanian
Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan
Penembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah Agroklimat. Bogor, Juni 2001.

Gasperz, V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Vol 2. Tarsito.


Bandung.
Ghulamahdi, M. 1990. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Varietas Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada
Budidaya Jenuh Air. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 97 hal.

, dan S.A. Aziz. 1992. Pengaruh pupuk N dan Zn terhadap


pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai pada budidaya jenuh
air. Bul. Agron. 21(1):37-45.

. 1999. Perubahan Fisiologi Tanaman Kedelai (Glycine max (L.)


Merr.) pada Budidaya Tadah Hujan dan Jenuh Air. Disertasi.
Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 124 hal.

, S.A. Aziz., M. Melati., N. Dewi dan S.A. Rais. 2006. Pengaruh


genotipe dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi
43

kedelai panen muda pada budidaya jenuh air. Bul. Agron. 34(1):32-
38.

. 2009. Lahan pasang surut untuk budidaya kedelai.


http://www.bangkittani.com. [15 November 2009].

Gomez, K.A and A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural
Research. Penerjemah: E. Sjamsudin dan Baharsjah. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal.

Humairil, R dan I. Khairullah. 2000. Potensi galur-galur padi rawa pasang surut
menunjang ketahanan pangan. Bul. Agron. 28(3):73-76.

Hunter, M.N., P.L.M. De Jabrun, and D.E. Byth. 1980. Response of nine soybean
lines to soil moisture conditions close to saturation. Austral J. Exp.
Agric. Anim. Husb. 20:339-345.

Indradewa, D., S. Sastrowinoto., dan S. Notohadisuwarno. 2002. Lebar bedengan


untuk genangan dalam parit pada tanaman kedelai. Bul. Agron.
30(3):82-86.

, S. Sastrowinoto, S. Notohadisuwarno dan H. Prabowo. 2004.


Metabolisme nitrogen pada tanaman kedelai yang mendapat
genangan dalam parit. Ilmu Pertanian. 11(2):68-75.

Irwan, A.W. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (I.) Merrill). Jurusan
Budidaya Pertanian Faperta. Unpad. Jatinangor. 40 hal.

Manwan, I., Sumarno, A.S. Karama, A.M. Fagi. 1990. Teknologi Peningkatan
Produksi Kedelai di Indonesia. Puslitbangtan. Bogor. 49 hal.

Mulatsih, S., W.Q. Mugnisjah, D. Sopandie, dan K. Idris. 2000. Pengaruh waktu
dan cara pemberian N sebagai pupuk tambahan terhadap
pertumbuhan dan hasil kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Bul.
Agron. 28(1):9-14.

Nathanson, K., R.L. Lawn, P.L.M. De Jabrun, and D.E. Byth. 1984. Growth
nodulation and nitrogen accumulation by soybean in saturated soil
culture. Field Crop Res. 8:73-92.

Purwaningrahayu, R.D., D. Indradewa, dan B.H. Sunarminto. 2004. Peningkatan


hasil beberapa varietas kedelai dengan penerapan teknologi basah.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 23(1):49-58.
Rachman. A., I.G.M. Subiksa, dan Wahyunto. 1985. Perluasan areal tanaman
kedelai ke lahan suboptimal. hal. 185-204. Dalam Sumarno.
44

Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds). Teknik


Produksi dan Pengembangan Kedelai. Balittan. Bogor.

Raka, I.G.N., W.Q. Mugnisjah, J. Wiroatmodjo, dan K. Idris. 1995. Hasil dan
mutu benih kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dengan budidaya
basah. Bul. Agron. 28(1):9-14.

Sabran, M., E. William, dan M. Saleh. 2000. Pengujian galur kedelai di lahan
pasang surut. Bul. Agron. 28(2):41-48.

Savitri, E.S., T. Adisarwanto, Syekhfani dan Syamsulbahri. 2002. Respon


Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Pada Perbedaan Kondisi
Lengas Tanah. http://www.balitkabi.litbang.deptan.go.id. [17 Maret
2009].

Silitonga, C., B. Santoso, dan N. Indiarto. 1996. Peranan kedelai dalam


perekonomian nasional. hal. 33-34. Dalam B. Amang, M.H. Sawit,
dan A. Rachman (Eds). Ekonomi Kedelai. IPB Press. Bogor.

Soemartono, Nasrullah, dan H. Hartiko. 1992. Genetika Kuantitatif dan


Bioteknologi Tanaman. PAU-Bioteknologi Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta

Soertojo, I. 1993. Tanggap Kedelai Budidaya Basah Terhadap Herbisida dan


Pemupukan Lewat Daun. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 174 hal.

Subagyo, H. 1997. Potensi Pengembangan dan Tata Ruang Lahan Rawa untuk
Pertanian. Prossiding Simposium Nasional dan Kongres VI
PERAGI. Jakarta. h.17-55.

Sumarno. 1986. Response of soybean (Glycine max Merr.) genotype to continous


saturated culture. Indon. J. Crop Sci. 2(2):71-78.

Suriadikarta, D.A. 2005. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam untuk Usaha


Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian. 2(4):36-45.

Suwarto, W.Q. Mugnisjah, D. Sopandie, dan A.K. Makarim. 1994. Pengaruh


pupuk nitrogen dan tinggi muka air tanah terhadap pertumbuhan
bintil akar. pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.)
Merr.). Bul. Agron. 22(2):1-15.

Widjaja-Adhi, I.P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992.


Sumberdaya Lahan Rawa: Potensi. Keterbatasan dan Pemanfaatan.
Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Ed.). Risalah Pertemuan
Nasional Pengembangan Pertanian di Lahan Pasang Surut dan
Lebak. Cisarua. 3-4 Maret 1992. Balittan. Bogor.
45

, N.P. Sri Ratmini, dan I.W. Swastika. 1997. Pengelolaan tanah dan
air di lahan pasang surut. hal. 1-22. Dalam Sunihardi dan D.
Suhendar (Ed.). Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu. Badan
Litbang Pertanian. Puslibangtan. Bogor.

Wiroatmodjo, J. dan E. Sulistyono. 1990. Perbaikan budidaya basah kedelai. Bul.


Agron. 21(1):27-34.

Zen, L., M. Kamal, M.S. Hadi, dan E. Pramono. 1990. Tanggapan beberapa
varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Bul. Agron. (12):56-61.
46

LAMPIRAN
47

Lampiran 1. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Data Sebelum dan Saat


Panen

P Value
Peubah Tinggi Muka Lebar
Interaksi
Air Bedengan
Tinggi Tanaman:
2 MST 0.0408* 0.0294* 0.0020*
tn
4 MST 0.2131 0.0202* 0.0193*
tn
6 MST 0.0711 0.4412tn 0.0500*
8 MST 0.0049* 0.6960tn 0.0061*
10 MST 0.0080* 0.5176tn 0.0041*
12 MST 0.0081* 0.5187tn 0.0041*
Jumlah Daun:
2 MST 0.1009tn 0.2557tn 0.0474*
4 MST 0.0527tn 0.2451tn 0.0515tn
tn
6 MST 0.1172 0.0136* 0.0371*
tn
8 MST 0.2612 0.5315tn 0.6121tn
10 MST 0.3899tn 0.9411tn 0.9140tn
Jumlah Cabang saat panen 0.0268* 0.0377* 0.0398*
Bobot Kering Daun (g) 0.0199* 0.0030* 0.0227*
Bobot Kering Batang (g) 0.0202* 0.0332* 0.0090*
Bobot Kering Akar (g) 0.0205* 0.0093* 0.0131*
Bobot Kering Bintil (g) 0.0005* 0.0001* 0.0001*
Produksi Biji (t/ha) 0.0001* 0.0001* 0.0001*
Buku Produktif 0.0393* 0.0092* 0.0500*
Buku tidak Produktif 0.0363* 0.0398* 0.0127*
Jumlah Polong Isi 0.0001* 0.0001* 0.0001*
Jumlah Polong Hampa 0.8825tn 0.6220tn 0.4916tn
Bobot 100 Biji (g) 0.3329tn 0.0421* 0.0339*
Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5%
tn
berpengaruh tidak nyata pada taraf 5%
48

Lampiran 2. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Data Analisis Hara N, P, K,


Fe dan Mn Daun pada Umur 6 MST

P Value
Peubah Tinggi Muka Air Lebar Bedengan Interaksi
Kandungan Hara (g/100g)
N 0.2277tn 0.0001* 0.6633tn
P 0.0411* 0.8891tn 0.1672tn
K 0.3164tn 0.1972tn 0.8220tn
Fe 0.0060* 0.0001* 0.1672tn
Mn 0.9603tn 0.0040* 0.9290tn
Serapan Hara (mg/tanaman)
N 0.0245* 0.9166tn 0.1713tn
P 0.0082* 0.0971tn 0.0357*
K 0.0462* 0.7338tn 0.1947tn
Fe 0.0191* 0.6306tn 0.1597tn
Mn 0.0397* 0.7847tn 0.1950tn
Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5%
tn
berpengaruh tidak nyata pada taraf 5%
49

Lampiran 3. Deskripsi Varietas Tanggamus

Nomor asal : K3911-66


: Persilangan tunggal (singlecross) kerinci x
Asal No. 3911
Warna hipokotil : Ungu
Warna epikotil : Hijau
Warna daun Warna biji : Kuning
Warna kulit polong masak : Coklat
Warna bulu : Coklat
Tipe pertumbuhan : Determinate
Tinggi tanaman : 67 cm
Umur mulai berbunga : 35 hari
Umur polong masak : 88 hari
Kerebahan : Tahan
Bobot 100 biji : 11 g
Kandungan protein : 44%
Kandungan lemak : 12.90%
Rata-rata hasil : 1.7 ton/ha
Ketahanan penyakit : Toleran penyakit karat
Keterangan : Wilayah adftasi lahan masam
: Darman M. Arsyad, M. Muchlish Adie,
Pemulia Heru. Kuswantoro dan Purwantoro
Tahun dilepas : 2001
Sumber : Balitbang Deptan (2009)
50

Lampiran 4. Koefisien Korelasi Pearson antara Peubah Kedelai yang Diamati

Peubah TT JD JC BKD BKB BKA BKBI JBP JBTP JPI JPH Prod
JD 0.9070*
JC 0.7926* 0.6871*
BKD 0.7568* 0.8255* 0.7478*
tn
BKB 0.4241 0.6321* 0.3968tn 0.7196*
tn tn tn
BKA -0.2560 -0.3689 -0.3161 -0.6414* -0.5975*
BKBI 0.3135tn 0.4545tn 0.4734tn 0.6475* 0.4872tn -0.2610tn
tn tn tn tn tn
JBP -0.0211 0.2477 -0.0079 0.3173 -0.2201 0.2720tn -0.2368tn
JBTP 0.3781tn 0.5103tn 0.5522tn 0.7013* 0.5239tn 0.3694tn 0.9704* -0.3334tn
JPI 0.4366tn 0.4602tn 0.6674* 0.6946* 0.3324tn -0.4238tn 0.7961* -0.0417tn 0.7656*
tn tn tn
JPH 0.5584 0.6326* 0.5452 0.6814* 0.6624* -0.7961* 0.2375 -0.0202tn 0.3720tn 0.3422tn
Prod 0.1629tn 0.1855tn 0.0893tn 0.0462tn 0.0833tn -0.1442tn 0.0156tn 0.5119tn -0.0343tn 0.2039tn 0.2696tn
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
B100 0.1766 0.3318 -0.0645 0.2676 0.3777 -0.3448 0.4653 0.0737 0.4331 0.2868 0.2314tn 0.5862*
Keterangan: TT=Tinggi tanaman. JD=Jumlah daun. JC=Jumlah cabang. BKD=Bobot kering daun. BKB=Bobot kering batang. BKBI=Bobot kering bintil.
JBP=Jumlah buku produktif. JBTP=Jumlah buku tidak produktif. JPI=Jumlah polong isi. JPH=Jumlah polong hampa. Prod=Produksi biji.
B100=Bobot 100 biji. *=berbeda nyata pada taraf 5%. tn=tidak berbeda nyata pada taraf 5%
51

Lampiran 5. Data Curah Hujan Daerah Penelitian (mm)

Curah Hujan (mm)


Tgl
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep
1 - 17.2 - 0.7 26.5 3 0 0.8
2 15.1 30 48.1 2.3 0 0 7.5 0 37.7
3 - 18.8 4.8 37.2 0 57.6 2.2 15.5
4 3 10.6 30.8 17.8 73.7 3 0 0.7 27.2
5 14.6 6.9 0.5 33.1 61 0 0 0 54.1
6 10.2 - TTU 14 0.5 0 10 TTU
7 27.5 7.5 22.7 42.8 0 63.9 16.7 0 41.2
8 4 28.1 19.4 0 0 4.6 0 0.2
9 3.5 0.8 - 65.7 13.3 5.5 0 0 TTU
10 - 13.5 34.1 0 0 0 0
11 3 16.8 - 26.8 2.3 0 0 0.5 3.2
12 10.4 11.2 - 9.3 0 0 9
13 - 22 0.5 11.1 0 18.6 2.2 TTU
14 29.1 1.7 - 38.2 0 0 0 13.9
15 - 0.5 68.4 5.8 15 18.1 0 7.8 82.8
16 0.8 1.3 2.6 TTU 0.3 1.2 0.9 2.8
17 2.2 17.5 - 26.6 0 0 0 7.3 4.1
18 14.9 1 - TTU 0 0 0 34
19 0.3 1.5 TTU 12.6 58.9 0 0 0 10.3
20 - 7.9 10.7 TTU 0 0 0 0.2 10.6
21 TTU TTU 1.1 16.4 0 0 5.7 0 61.1
22 1.5 - 3.7 6 0.2 0 0 2.2
23 10.7 26 TTU 8.3 6 16.4 0 0 18.3
24 -S 14.3 90 0 10.5 0 0 5.6
25 TTU - TTU 0 3 0.1 0 61.8
26 1 1 6.4 0 0 113.8 19.5
27 3.3 13.5 1.6 TTU 2.5 0 0.1 0.3 6.4
28 44 13.9 0.8 12.2 0 0 0 2
29 0.2 133 TTU 16.6 0 0 0
30 6.1 - 0 7 11.8 0 2.5
31 19.5 21.5 29.2 0.1 0
Rerata 9.78 11.81 26.62 25.66 10.71 7.11 5.97 3.99 22.74
Max 44 30 133 65.7 73.7 63.9 113.8 34 82.8
Min 0.2 0.5 0.5 2.3 0 0 0 0 0.2
52

Lampiran 6. Data Penyinaran Matahari Daerah Penelitian (%)

Penyinaran Matahari (%)


Tagl
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep
1 73 38 73 69 89 49 25 10 64
2 19 50 54 78 81 58 6 14 25
3 8 11 40 35 91 50 38 54 80
4 89 58 71 61 65 45 20 70 84
5 0 6 40 0 68 89 6 60 0
6 81 78 59 13 76 61 71 39 75
7 50 38 89 36 84 53 76 68 31
8 4 19 70 56 84 12 20 21 56
9 34 89 60 75 56 26 80 63 0
10 75 44 6 20 35 60 71 63 41
11 75 100 59 70 74 95 58 54 45
12 44 75 100 45 80 56 53 49 93
13 6 29 50 54 8 76 75 66 93
14 76 74 43 98 69 69 71 58 88
15 65 55 60 96 36 45 55 63 18
16 82 11 94 10 88 0 36 55 38
17 72 85 56 75 7 65 19 44 69
18 51 11 69 30 73 59 23 45 95
19 6 65 74 90 41 38 40 50 73
20 26 19 78 73 1 80 89 14 35
21 40 85 3 94 76 90 44 15 38
22 74 51 100 54 75 58 71 94 88
23 0 60 63 78 80 16 100 88 71
24 53 0 59 13 59 6 78 84 28
25 5 36 8 43 56 15 18 83 15
26 56 74 78 88 0 89 33 38 63
27 36 46 100 65 0 33 9 85 34
28 31 95 0 63 0 94 53 78 0
29 88 89 86 0 54 71 56 64
30 6 9 88 0 68 38 76 54
31 10 66 0 81 76
Rerata 44.16 51.51 58.46 58.53 50.06 53.63 49.29 55.90 51.93
Max 89 100 100 98 91 95 100 94 95
Min 0 0 0 0 0 6 10 0
53

Lampiran 7. Data Suhu Udara (oC) Daerah Penelitian

Suhu Rata- Rata (oC)


Tgl
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep
1 26.6 25.8 26.7 26.5 28.5 25.8 25.5 26 27.1
2 27.8 26.6 27.5 27.9 29.1 27.6 26.4 26.3 26.8
3 26.6 25.7 28.3 27.7 28.5 27.3 26.4 25.5 27.4
4 28.4 26.9 26.9 26.9 27.2 26.4 26.2 26.1 26.7
5 26.8 25.1 26.9 27 27.9 27 27.3 27.2 24.8
6 27.4 27.3 27.5 26.7 28.2 27 28.6 27.5 25.8
7 26.6 27.8 27.3 27 28.5 26.6 27.6 26.5 27
8 24.5 25.9 27 27 28.9 25.8 24.8 26.8 26.4
9 25.6 27.8 28 28 28.7 28.4 27.5 27.1 25.8
10 31.6 26.2 26.1 27.6 27.7 26.7 28 27.6 26.4
11 27.2 26.9 26.6 28.3 28.8 28.8 26.6 28.1 26.9
12 25.8 27.9 28.6 27.5 28.1 28 26.6 27.5 27.4
13 25.8 25.4 27.3 27.9 27.1 27.9 27.3 28 27.6
14 25.3 27.4 26.8 28 28 28.5 26.2 26.6 27.6
15 26.1 27.5 25.6 28.1 28.2 26.8 27.3 25.3 24.5
16 26.5 27.3 27 26.3 28.8 25.4 26.2 27 26.7
17 27.1 27.1 26.6 29.1 27.7 26.7 26.5 26 27
18 26.9 25.8 28 26.7 29.6 27.1 26.6 25.7 27.7
19 26.1 27.3 27.3 28.2 27.8 26.3 26.6 26.6 26.9
20 27.1 26.5 27.1 28.1 27.5 27.9 27.4 27.1 26.8
21 26.5 27.1 26.1 29.3 28.5 28.1 27.4 26.1 25.5
22 27 26.8 28.7 27.9 28.5 28.2 27.3 28.2 25.7
23 25.8 27.3 27.2 29.4 28.1 26.5 27.5 28.1 26
24 26.3 26 28.5 27.5 28.6 25.2 28 28.8 26.1
25 26.8 27 26.5 28.5 27.7 25.7 26 28.7 25.5
26 26.9 28 28.5 29.2 27.6 27.3 25.2 26.1 26.5
27 26.3 27.4 27.9 28 26.6 26.4 26.4 27 25.9
28 25.8 28.3 26.9 28.7 27.7 27 28.1 27.2 26.1
29 27 27.2 28.8 27.1 28 26.9 26.8 28.1
30 26.5 26.6 28.8 27.3 27.3 25.7 27.2 27.1
31 25.4 27.3 28.4 27.2 27.1
Rerata 26.69 26.86 27.24 27.88 28.08 27.05 26.80 26.95 26.52
Max 31.6 28.3 28.7 29.4 29.6 28.8 28.6 28.8 28.1
Min 24.5 25.1 25.6 26.3 26.6 25.2 24.8 25.3 24.5
54

Lampiran 8. Data Lembab Nisbi Daerah Penelitian (%)

Lembab Nisbi Rata- Rata (%)


Tgl
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep
1 83 87 86 84 84 89 94 86 82
2 86 86 88 81 81 83 88 85 89
3 87 90 84 85 83 87 83 89 81
4 78 88 87 85 87 91 86 87 83
5 94 91 86 88 86 87 85 84 94
6 84 82 88 84 86 89 78 85 87
7 88 84 85 92 83 86 85 80 85
8 92 91 92 86 78 88 91 86 86
9 91 83 84 82 85 83 80 81 88
10 82 88 89 86 81 81 83 79 84
11 83 87 79 84 82 76 86 83 84
12 88 82 75 84 86 84 85 82 74
13 84 94 86 83 90 82 87 84 79
14 86 85 87 82 85 82 85 87 81
15 84 87 94 81 84 89 84 91 94
16 84 87 85 89 83 92 89 82 83
17 81 86 85 77 88 84 87 91 81
18 86 92 81 88 81 81 86 91 80
19 88 82 85 81 88 85 85 83 87
20 88 90 86 83 91 81 78 88 89
21 88 86 89 80 78 81 86 85 92
22 80 88 77 85 77 80 84 77 84
23 91 88 82 81 82 89 78 77 87
24 89 96 81 83 81 89 77 77 86
25 89 86 90 84 85 89 87 78 92
26 85 83 80 78 83 84 90 84 86
27 88 88 82 80 87 88 82 84 92
28 92 80 87 80 84 84 77 78 87
29 85 87 81 89 81 83 83 80
30 89 85 81 87 86 92 82 85
31 96 86 85 81 81
Rerata 86.43 87.03 85.06 83.26 84.19 85.03 84.58 83.55 85.4
Max 96 96 94 92 91 92 94 91 94
Min 78 80 75 77 77 76 77 77 74

Anda mungkin juga menyukai