Anda di halaman 1dari 346

1.

SNI 03/1745/2000 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN


DAN PEMASANGAN SISTEM PIPA TEGAK DAN SLANG
UNTUK PENCEGAHAN BAHAYA KEBAKARAN PADA
BANGUNAN RUMAH DAN GEDUNG

1.1. RUANG LINGKUP


Pada SNI 03-1745-2000 ini mencakup persyaratan minimal untuk instalasi pipa
tegak dan sistem hidran /slang pada bangunan gedung, namun tidak mencakup
persyaratan untuk pemeriksaaan berkala, pengujian dan pemeliharaan system pipa
tegak.

1.2. ACUAN
a. NFPA 14, Standard for the Installation of Standpipe and Hose Systems,
1996 Edition.
b. Fire Safety Bureau, Singapore Civil Defence Force, “Fire Precautions in
Buildings 1997”.

1.3. ISTILAH DAN DEFINISI


Adapun istilah yang sering di pakai dalam pekerjaan ini adalah sebagai berikut:

1. Alat Pengatur Tekanan adalah suatu alat yang direncanakan untuk tujuan
mengurangi, mengatur, mengendalikan, atau membatasi tekanan air. Contoh;
katup penurun tekanan, katup kontrol tekanan, dan alat pembatas tekanan.
2. Alat Pembatas Tekanan adalah suatu katup atau alat yang direncanakan untuk
tujuan mengurangi tekanan aliran air pada kondisi aliran akhir (residual).
3. Bangunan Gedung Bertingkat Tinggi adalah Suatu bangunan gedung yang
mempunyai ketinggian lebih dari 24 m (80 feet). Ketinggian bangunan harus
diukur dari permukaan terendah jalan masuk mobil pemadam kebakaran ke
lantai dari lantai tertinggi yang dihuni.

1
4. Disetujui. BSN bukan instansi yang menyetujui, memeriksa, atau memberikan
sertifikat pada setiap instalasi, prosedur, peralatan atau bahan. Dalam
menentukan persetujuan instalasi, prosedur, peralatan atau bahan, instansi yang
berwenang menggunakan dasar standar ini atau standar lain yang setara bila
dalam standar ini tidak tersebut.
5. Instansi Yang Berwenang adalah Suatu instansi yang berwenang dan
bertanggung jawab untuk menyetujui; peralatan, instalasi atau prosedur.
6. Katup Control Adalah suatu katup yang dipakai untuk mengontrol sistem
pasokan air dari sistem pipa tegak.
7. Katup Kontrol Tekanan adalah suatu katup penurun tekanan yang
beroperasinya terkendali direncanakan untuk tujuan membatasi tekanan air hilir
ke nilai spesifik dibawah kondisi mengalir (akhir/residual) dan tidak mengalir
(statik).
8. Katup Penurun Tekanan adalah suatu katup yang direncanakan untuk tujuan
mengurangi arus tekanan air pada kondisi mengalir (sisa/residual) dan tidak
mengalir (statik).
9. Katup Slang adalah katup pada sambungan slang tunggal.
10. Kebutuhan System adalah laju aliran dan tekanan sisa yang disyaratkan dari
suatu pasokan air, diukur pada titik sambungan dari pasokan air ke sistem pipa
tegak, untuk menyalurkan sebagai berikut :
A. Laju aliran adalah air total yang dipersyaratkan untuk sistem pipa tegak
seperti yang dispesifikasikan pada butir 7-9.
B. Tekanan akhir (residual) adalah minimum pada sambungan slang terjauh
secara hidraulis seperti dispesifikasikan pada butir 7-7; dan laju aliran air
minimum untuk sambungan springkler pada sistem kombinasi.
11. Kotak Hidran adalah suatu kotak yang di dalamnya terdiri dari rak slang, slang
nozel, dan katup slang.
12. Pipa Cabang adalah suatu sistem pemipaan, umumnya dalam bidang
horisontal, menghubungkan satu atau lebih sambungan slang dengan pipa tegak.

2
13. Pipa Tegak adalah bagian pipa yang naik keatas dari sistem pemipaan yang
menyalurkan pasokan air untuk sambungan slang, dan springkler pada sistem
kombinasi, tegak lurus dari lantai ke lantai.
14. Pipa Tegak Basah adalah suatu sistem pipa tegak dimana pipa berisi air setiap
saat.
15. Pipa Tegak Kering suatu sistem pipa tegak yang direncanakan berisi air hanya
bila sistem digunakan.
16. Pipa Utama. Bagian dari sistem pipa tegak yang memasok air ke satu atau lebih
pipa tegak.
17. Sambungan Pemadam Kebakaran. Suatu sambungan dimana petugas
pemadam kebakaran dapat memompakan air ke dalam sistem pipa tegak.
18. Sambungan Slang. Suatu kombinasi peralatan yang disediakan untuk
penyambungan slang ke sistem pipa tegak, termasuk katup slang yang berulir.
19. Sistem Kombinasi. Sistem pipa tegak yang mempunyai pemipaan untuk
memasok sambungan slang dan sistem springkler.
20. Sistem Pipa Tegak. Suatu susunan dari pemipaan, katup, sambungan slang,
dan kesatuan peralatan dalam bangunan, dengan sambungan slang yang
dipasangkan sedemikian rupa sehingga air dapat dipancarkan atau
disemprotkan melalui slang dan nozel, untuk keperluan memadamkan api,
untuk mengamankan bangunan dan isinya, serta sebagai tambahan pengamanan
penghuni. Ini dapat dicapai dengan menghubungkannya ke sistem pasokan air
atau dengan menggunakan pompa, tangki, dan peralatan seperlunya untuk
menyediakan pasokan air yang cukup ke sambungan slang.
21. Sistem Pipa Tegak Manual. Suatu sistem pipa tegak yang hanya dihubungkan
dengan sambungan pemadam kebakaran untuk memasok kebutuhan sistem.
22. Sistem Pipa Tegak Otomatik. Suatu sistem pipa tegak yang dihubungkan ke
suatu pasokan air yang mampu memasok kebutuhan sistem pada setiap saat, dan
tidak memerlukan kegiatan selain membuka katup slang untuk menyalurkan air
pada sambungan slang.
23. Sistem Pipa Tegak Semi Otomatik. Suatu sistem pipa tegak yang
dihubungkan ke suatu pasokan air yang mampu memasok kebutuhan sistem

3
pada setiap saat dan memerlukan gerakan alat kontrol untuk menyalurkan air
pada sambungan slang.
24. Tekanan Akhir (Residual). Tekanan yang bekerja pada suatu titik dalam
sistem dengan suatu aliran yang disalurkan oleh sistem.
25. Tekanan Nozel. Tekanan yang dipersyaratkan pada sisi masuk nozel untuk
menghasilkan pancaran air yang dibutuhkan oleh sistem.
26. Tekanan Statik. Tekanan yang bekerja pada suatu titik dalam sistem dengan
tanpa aliran dari sistem.
27. Terdaftar. Sarana untuk mengidentifikasi peralatan terdaftar yang dilakukan
oleh instansi yang berwenang berdasarkan pengkajian kualitas produk.
Peralatan yang belum terdaftar atau belum diberi label harus tidak digunakan.
28. Zona Sistem Pipa Tegak. Suatu sub bagian vertikal berdasarkan ketinggian
dari sistem pipa tegak.

1.4. KOMPONEN - KOMPONEN SISTEM


Komponen sistem pipa tegak harus mengikuti ketentuan yang ada. Semua
perlengkapan dan bahan yang dipakai dalam sistem pipa tegak harus dari tipe yang
disetujui. Komponen sistem harus mampu menerima tekanan kerja tidak kurang
dari pada tekanan maksimum yang ditimbulkan pada lokasi yang terkait di dalam
setiap kondisi sistem, termasuk tekanan yang terjadi bila pompa kebakaran
dipasang permanen yang bekerja dengan katup tertutup.
Adapun komponen tersebut sebagai berikut:

1. Pipa Dan Tabung


Pipa atau tabung yang dipakai dalam sistem pipa tegak harus mengikut i
ketentuan yang berlaku. Bilamana pipa baja yang dipakai dan penyambungan
dengan las sesuai ketentuan yang berlaku, tebal dinding nominal minimum
untuk tekanan sampai dengan 20,7 bars (300 psi) harus sesuai skedule 10 untuk
ukuran pipa sampai dengan 125 mm (5 inci); 3,40 mm (0,134 inci) untuk pipa
150 mm ( 6 inci ); dan 4,78 mm (0,188 inci) untuk pipa 200 mm (8 inci) dan
250 mm (10 inci). Bilamana pipa baja disambung dengan fitting ulir, tebal

4
dinding minimum harus sesuai dengan pipa skedul 30 [untuk ukuran 200 mm
(8 inci) dan lebih besar] atau pipa skedul 40 [untuk ukuran pipa kurang dari
200 mm (8 inci)] dengan tekanan sampai dengan 20,7 bar (300 psi). 4.2.4.
Tabung tembaga sesuai ketentuan yang berlaku, harus mempunyai tebal jenis
K, L atau M bila digunakan dalam sistem pipa tegak. Pipa atau tabung jenis lain
diteliti kesesuaiannya untuk digunakan pada instalasi pipa tegak yang telah
disetujui penggunaannya, boleh dipasang sesuai ketentuan yang berlaku.
Belokan pipa. Belokan dari pipa baja skedul 40 dan jenis K dan L untuk tabung
tembaga dibolehkan bila dibuat dengan tanpa menekuk, merusak, mengurangi
diameter, atau penyimpangan lain dari bentuk bulat. Jari-jari belokan minimum
harus 6 x diameter pipa untuk ukuran 50 mm ( 2 inci ) dan yang lebih kecil, dan
5 x diameter pipa untuk ukuran 65 mm ( 2½ inci ) dan yang lebih besar.

2. Alat Penyambung
Alat penyambung yang dipakai dalam sistem pipa tegak harus memenuhi
ketentuan yang berlaku. Alat penyambung jenis lain diteliti kesesuaiannya
untuk digunakan pada instalasi pipa tegak yang telah terdaftar, boleh dipasang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Alat penyambung harus lebih kuat bila
tekanan melampaui 12,1 bar (175 psi).
Adapun metode penyambungan pipa tegak:

A. Pengelasan (untuk pipa besi, baja), klasifikasi untuk hunian bahaya


kebakaran tinggi.
B. Solder (pipa tembaga) untuk pipa tegak basah dengan klasifikasi hunian
bahaya kebakaran rendah.
3. Gantungan
Gantungan-gantungan harus memenuhi persyaratan yang berlaku. Adapun
gantungan-gantungan bahan materialnya besi dan direncanakan untuk dapat
menahan lima kali berat pipa berisi air, ditambah 114 kg (250 lb) pada masing-
masing titik penahan pemipaan. Perhitungan detail yang menggambarkan
tegangan yang terjadi pada penggantung dan pemipaan, termasuk faktor
keamanan, harus diserahkan, apabila disyaratkan oleh instansi yang berwenang.

5
Tabel Momen inersia yang disaratkan untuk bagian dari trapis ( inc )

4. Katup
Semua katup yang mengontrol sambungan ke pasokan air dan pipa tegak
harus dari jenis katup penunjuk yang terdaftar. Katup tersebut tidak boleh
tertutup dalam waktu kurang dari 5 detik apabila ditutup dengan cepat mulai
dari keadaan terbuka penuh.
5. kotak Slang/Hidran
Kotak slang adalah suatu kotak yang di dalamnya terdiri dari rak slang,
slang nozel, dan katup slang.

6
6. Lemari Tertutup
Lemari tertutup yang berisi slang kebakaran, harus berukuran cukup untuk
pemasangan peralatan penting dan dirancang tidak saling mengganggu pada
waktu sambungan slang, slang dan peralatan lain digunakan dengan cepat pada
saat terjadi kebakaran. Sambungan slang harus ditempatkan sehingga tidak
kurang 25 mm (1 inci) jaraknya antara setiap bagian dari lemari dan tangkai
katup ketika katup dalam setiap kedudukan dari terbuka penuh sampai tertutup
penuh. Lemari hanya digunakan untuk menempatkan peralatan kebakaran, dan
setiap lemari di cat dengan warna yang menyolok mata.
7. Sambungan Slang
Sambungan slang harus mempunyai ulir sesuai ketentuan yang berlaku.
Sambungan slang harus dipasang dengan tutup (cap) untuk melindungi ulir
slang.
8. Sambungan Pemadam Kebakaran
Sambungan pemadam kebakaran harus terdaftar untuk tekanan kerjasama
atau lebih besar dari tekanan yang dipersyaratkan oleh kebutuhan sistem. Setiap
sambungan pemadam kebakaran harus mempunyai minimal dua buah inlet 65
mm (2½ inci) dengan ulir sesuai ketentuan yang berlaku. Sambungan pemadam
kebakaran harus dipasang dengan penutup untuk melindungi sistem dari
kotoran-kotoran yang masuk.
9. Tanda-Arah
Tanda arah harus ditandai secara permanen dan harus dibuat dengan bahan
tahan cuaca atau bahan plastik kaku.

1.5. PERSYARATAN SISTEM


Jumlah dan susunan peralatan pipa tegak untuk proteksi yang benar diatur oleh
kondisi lokal, seperti; hunian, karakter, konstruksi bangunan gedung dan jalan
masuknya demi mendapatkan tipe sistem yang dipersyaratkan.
1. Tipe-tipe sistem pipa tegak sebagai berikut :
A. Kering – otomatik adalah sistem pipa tegak kering otomatik harus sistem
pipa tegak kering yang dalam keadaan normal diisi dengan udara

7
bertekanan, diatur melalui penggunaan peralatan, seperti katup pipa kering,
untuk membolehkan air masuk ke dalam sistem pemipaan secara otomatik
pada pembukaan katup slang. Pasokan air untuk sistem pipa tegak kering
otomatik harus mampu memasok kebutuhan sistem.
B. Basah - otomatik. Sistem pipa tegak basah otomatik harus sistem pipa
tegak basah yang mnempunyai pasokan air mampu memasok kebutuhan
sistem secara otomatik.
C. Kering - semi otomatik. Sistem pipa tegak kering semi otomatik harus
sistem pipa tegak kering yang diatur melalui penggunaan alat, seperti katup
banjir (deluge), untuk membolehkan air masuk ke dalam sistem pipa pada
saat aktivasi peralatan kontrol jarak jauh yang ditempatkan pada sambungan
slang. Alat aktivasi kontrol jarak jauh harus dilengkapi pada setiap
sambungan slang. Pasokan air untuk sistem pipa tegak kering harus mampu
memasok kebutuhan sistem.
D. Kering - manual. Sistem pipa tegak kering manual haruslah sistem pipa
tegak kering yang tidak mempunyai pasokan air permanen yang menyatu
dengan sistem. Sistem pipa tegak kering manual membutuhkan air dari
pompa pemadam kebakaran (atau sejenisnya) untuk dipompakan ke dalam
sistem melalui sambungan pemadam kebakaran untuk memasok kebutuhan
sistem.
E. Basah - manual. Sistem pipa tegak basah manual haruslah sistem pipa
tegak basah yang dihubungkan ke pasokan air yang kecil untuk tujuan
memelihara air di dalam sistem tetapi tidak mempunyai kemampuan
memasok air untuk kebutuhan sistem.

2. Kelas sistem pipa tegak :


A. Sistem kelas I, Sistem harus menyediakan sambungan slang ukuran 63,5
mm (2½ inci) untuk pasokan air yang digunakan oleh petugas pemadam
kebakaran dan mereka yang terlatih.

8
B. Sistem kelas II, Sistem harus menyediakan kotak slang ukuran 38,1 mm
(1½ inci) untuk memasok air yang digunakan terutama oleh penghuni
bangunan atau oleh petugas pemadam kebakaran selama tindakan awal.
C. Sistem kelas III, Sistem harus menyediakan kotak slang ukuran 38,1 mm
(1½ inci) untuk memasok air yang digunakan oleh penghuni bangunan dan
sambungan slang ukuran 63,5 mm (2½ inci) untuk memasok air dengan
volume lebih besar untuk digunakan oleh petugas pemadam kebakaran atau
mereka yang terlatih.

3. Persyaratan untuk sistem pipa tegak manual sebagai berikut :


A. Sistem pipa tegak manual harus digunakan pada bangunan tinggi
B. Setiap sambungan slang untuk pipa tegak manual harus disediakan dengan
tanda yang menyolok mata dengan bacaan: “ PIPA TEGAK MANUAL
HANYA DIGUNAKAN UNTUK PEMADAM KEBAKARAN”
C. Pipa tegak manual harus tidak digunakan untuk sistem kelas II atau kelas
III.

4. Persyaratan untuk sistem pipa tegak kering sebagai berikut :


A. Pipa tegak kering harus digunakan hanya apabila pemipaan terutama bila
air dapat membeku.
B. Pipa tegak kering harus tidak digunakan untuk sistem kelas II atau kelas III.

5. Meteran
Meteran tekanan jenis pegas dengan diameter 89 mm (3½ inci) harus
disambungkan ke pipa pancaran dari pompa kebakaran dan saluran air umum yang
menuju tangki tekan, pada pompa udara yang memasok tangki tekan, dan pada
puncak setiap pipa tegak. Meteran harus diletakkan pada tempat yang sesuai
sehingga air tidak dapat membeku. Setiap meteran harus dikontrol dengan katup
yang mempunyai susunan untuk pembuangan. Katup outlet untuk meteran tekanan
harus dipasang pada sisi bagian atas dari setiap alat pengatur tekanan.

9
6. Alarm aliran air
Apabila dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang untuk sistem otomatis dan
semi otomatis, alarm aliran air yang terdaftar harus disediakan. Alarm aliran air
harus memakai sensor mekanis yang cocok dengan jenis pipa tegaknya. Alarm
aliran air jenis tongkat harus digunakan hanya pada sistem pipa tegak basah.

1.6. PERSYARATAN INSTALASI


Adapun beberapa persyaratan instalasi sebagai berikut:
1. Lokasi dan perlindungan pipa, Pipa tegak kering harus tidak dihubungkan
pada dinding bangunan atau dipasang pada kolom penguat dinding. Pemipaan
sistem pipa tegak harus tidak tembus melalui daerah berbahaya dan harus
ditempatkan sehingga terlindung dari kerusakan mekanis dan api. Pipa tegak
dan pemipaan lateral yang dipasok oleh pipa tegak harus ditempatkan dalam
tangga eksit yang diselubungi atau harus dilindungi dengan tingkat ketahanan
api sama dengan yang dipersyaratkan untuk tangga eksit yang diselubungi
dalam bangunan dimana pemipaan ini ditempatkan.
A. Katup sorong dan katup penahan balik
Penyambungan untuk setiap pasokan air harus disediakan dengan katup
jenis penunjuk yang disetujui dan katup penahan balik yang ditempatkan
dekat dengan pasokannya, seperti tangki-tangki, pompa-pompa dan
sambungan-sambungan dari sistem air.
2. Sambungan pemadam kebakaran harus dipasang sebagai berikut :
A. Sistem pipa tegak basah otomatik dan basah manual. Pada sisi sistem dari
sistem katup kontrol, katup penahan balik, atau setiap pompa.
B. Sistem pipa tegak kering otomatik. Pada sisi sistem dari katup kontrol dan
katup penahan balik dan sisi pasokan dari katup pipa kering.
C. Sistem pipa tegak kering semi otomatik. Pada sisi sistem dari katup banjir.
D. Sistem pipa tegak kering manual dihubungkan langsung ke pemipaan
sistem.

10
3. Penahan pipa
A. Penahan pipa tegak, Pipa tegak harus ditahan oleh alat pelengkap yang
dihubungkan langsung ke pipa tegak.
B. Pemipaan horisontal dari pipa tegak ke sambungan slang yang panjangnya
lebih dari 450 mm ( 18 inci ) harus disediakan gantungan.
4. Pemasangan tanda-tanda, Tanda-tanda harus diamankan terhadap alat atau
dinding bangunan dengan kuat dan rantai tahan korosi atau alat pengunci.
5. Tanda-tanda untuk pompa pemasok air. Apabila pompa kebakaran
disediakan, suatu penandaan harus diletakkan di daerah sekitar pompa yang
menunjukkan tekanan minimum dan aliran yang dibutuhkan pada flens
pancaran pompa untuk memenuhi kebutuhan sistem.
6. Tanda informasi perancangan hidraulik Kontraktor yang memasang harus
menyediakan tanda identifikasi sebagai dasar perancangan sistem seperti salah
satunya perhitungan hidraulik atau skedul pipa. Tanda harus diletakkan pada
katup kontrol pasokan otomatik untuk sistem pipa tegak otomatik atau semi
otomatik dan disetujui penempatannya untuk sistem manual.

1.7. PERANCANGAN
Perancangan sistem pipa tegak ditentukan oleh tingginya bangunan gedung,
luas per lantai kelas hunian, perancangan sistem jalan keluar, persyaratan laju aliran
dan tekanan sisa, dan jarak sambungan slang dari sumber pasokan air. Tekanan
maksimum pada titik dimanapun pada sistem, setiap saat tidak boleh melebihi 24,1
bar (350 psi).

1.8. PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN


Gambar rencana yang secara akurat menunjukkan detail dan pengaturan dari
sistem pipa tegak harus disiapkan untuk instansi yang berwenang sebelum sistem
instalasi dilaksanakan. Gambar rencana tersebut harus jelas, mudah dimengerti dan
digambar dengan menggunakan skala. Gambar-gambar harus menunjukkan lokasi,

11
pengaturan, sumber air, peralatan, dan semua detail yang diperlukan untuk
menunjukkan bahwa ketentuan ini dipenuhi.
Rencana harus mencakup spesifikasi teknis, sifat dari bahan-bahan yang digunakan
dan harus menguraikan semua komponen sistem. Rencana tersebut harus
dilengkapi juga dengan diagram yang menunjukkan ketinggian. Bilamana sistem
pemipaan pipa tegak dihitung secara hidraulik, maka bersamaan dengan
penyerahan gambar rencana disertakan juga perhitungan secara lengkap.

1.9. PASOKAN AIR


Sistem pipa tegak otomatis harus dihubungkan dengan pasokan air yang telah
disetujui dan mampu memenuhi kebutuhan sistem. Sistem pipa tegak manual harus
mempunyai pasokan air yang telah disetujui dan dapat dihubungkan dengan mobil
pompa pemadam kebakaran. Pasokan air otomatis tinggal dapat diizinkan untuk
digunakan bilamana dapat memasok kebutuhan sistem dalam waktu yang
dipersyaratkan.

1.10. PERSETUJUAN SISTEM


Semua sistem yang baru harus diuji terlebih dahulu sesuai tingkat hunian dari
bangunan gedung. Sistem pipa tegak yang sudah ada yang akan digunakan sebagai
pipa tegak untuk sistem kombinasi dalam rangka perbaikan sistem springkler harus
diuji.
1. Pengglontoran pipa
A. Pemipaan di bawah tanah yang memasuk sistem harus diglontor sesuai
ketentuan yang berlaku.
B. Pemipaan antara sambungan pemadam kebakaran dan katup satu arah
pada pipa inlet harus diglontor dengan sejumlah air yang cukup untuk
menghilangkan setiap puing-puing konstruksi dan sampah-sampah yang
dikumpulkan dalam pipa sebelumnya untuk melengkapi sistem dan
sebelum pemasangan sambungan pemadam kebakaran.

12
2. Ulir slang
Semua ulir sambungan slang dan sambungan pemadam kebakaran harus
diuji untuk keseragaman dengan ulir yang dipakai instansi pemadam kebakaran
lokal. Pengujian harus terdiri dari contoh ulir kopling, tutup atau sumbat ke
dalam alat yang dipasang.

3. Pengujian hidrostatik.
Semua sistem baru, termasuk pemipaan halaman dan sambungan pemadam
kebakaran, harus di uji secara hidrostatik pada tekanan tidak kurang dari 13,8
bar ( 200 psi) selama 2 jam, atau dengan tambahan 3,5 bar (50 psi) dari tekanan
maksimum apabila tekanan maksimum melebihi 10,3 bar (150 psi). Tekanan uji
hidrostatik harus diukur pada titik ketinggian terendah dari sistim individu atau
zona yang akan diuji. Pemipaan sistem pipa tegak di dalam harus menunjukkan
tidak adanya kebocoran. Pipa di dalam tanah harus diuji sesuai ketentuan yang
berlaku.

4. Pengujian aliran
Pasokan air harus diuji apakah memenuhi rancangan. Uji ini harus
dilakukan dengan pengaliran air secara hidraulik dari sambungan slang terjauh.
Untuk pipa tegak manual, pompa pemadam kebakaran atau pompa jinjing
dengan kapasitas yang cukup (yaitu aliran dan tekanan yang dipersyaratkan)
harus digunakan untuk menguji rancangan sistem dengan pemompaan ke dalam
sambungan pemadam kebakaran. Suatu uji aliran harus dilakukan pada setiap
outlet atap untuk menguji bahwa tekanan yang dipersyaratkan terpenuhi pada
aliran yang dipersyaratkan

5. Pengujian katup manual


Setiap katup dimaksud harus dibuka dan ditutup dalam pengoperasiannya
dengan memutar roda putar atau kunci putar untuk membuka penuh dan
kembali ke posisi normal. Tutup katup slang harus cukup rapat untuk mencegah

13
kebocoran selama pengujian dan dibuka setelah pengujian air buangan dan
pelepas tekanan.

6. Pengujian Alarm dan supervise


Setiap alarm dan alat supervisi yang disediakan harus diuji sesuai ketentuan
yang berlaku. 10.8. Instruksi-instruksi. Kontraktor yang memasang harus
menyampaikan kepada pemebri tugas, hal-hal sebagi berikut: a). Semua
literatur dan instruksi yang diberikan oleh pabrik yang terdiri dari cara operasi
yang benar dan pemeliharaan peralatan dan alat-alat yang dipasang; b). Sebuah
kopi dari standar ini. 10.9. Tanda arah. Pemasangan tanda-tanda arah yang
dipersyaratkan oleh standar ini harus dibuktikan

1.11. GEDUNG DALAM TAHAP PEMBANGUNAN

1. Umum
Apabila dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang, sistem pipa
tegak, apakah sementara atau tetap, harus disediakan dalam bangunan pada
saat masih dalam tahap konstruksi sesuai ketentuan bagian ini.
2. Sambungan Pemadam Kebakaran
Pipa tegak harus disediakan dengan tanda yang menyolok mata dan
mudah dibaca sambungan pemadam kebakaran yang mudah dijangkau pada
bagian luar bangunan pada permukaan jalan.
3. Manfaat Lain Dari Sistem
Ukuran pipa, sambungan slang, slang, pasokan air, dan detail lain untuk
konstruksi baru harus sesuai dengan standar ini.
4. Penahan Pipa
Pipa tegak harus disangga dan ditahan dengan aman pada setiap lantai yang
dipilih.

14
5. Sambungan Slang
Tidak kurang satu sambungan slang harus disediakan pada setiap
permukaan lantai. Katup slang harus selalu ditutup setiap waktu dan dijaga
terhadap kerusakan mekanis.
6. Pengembangan Sistem Pemipaan
Pipa tegak harus diperpanjang ke atas untuk setiap lantai dan ditutup
aman pada puncaknya.
7. Instalasi Sementara
Pipa tegak sementara harus tetap melayani sampai pipa tegak permanen
lengkap. Apabila pipa tegak sementara dalam kondisi normal berisi air, pipa
harus diproteksi terhadap pembekuan.
8. Saat Pemasangan Pasokan Air
Apabila konstruksi mencapai suatu ketinggian dimana tekanansaluran
umum tidak mencukupi, pompa kebakaran sementara atau permanen harus
dipasang untuk menyediakan proteksi terhadap lantai yang tertinggi atau untuk
tinggi yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang. Pengecualian:
Apabila peralatan pompa dari instansi pemadam kebakaran dianggap cukup
oleh instansi yang berwenang untuk memberi tekanan pada pipa tegak yang
dipersyaratkan.
9. Proteksi Sambungan Slang Dan Sambungan Mobil Pemadam Kebakaran
Tutup (cap) dan sumbat (plug) harus dipasang pada sambungan
pemadam kebakaran dan sambungan slang. Sambungan instansi pemadam
kebakaran dan sambungan slang harus dilindungi terhadap kerusakan fisik.

15
2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1
TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN
KAWASAN PERMUKIMAN

2.1 KETENTUAN UMUM


Bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan
kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam
pembentkan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun
manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif bahwa negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal
serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat,
aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia bahwa pemerintah
perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan
perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan
masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang
fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian
lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan
keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
bahwa pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang kurang memperhatikan
keseimbangan bagi kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan
kesulitan masyarakat untuk memperoleh rumah yang layak dan terjangkau.

2.2 UNDANG-UNDANG TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN


PERMUKIMAN KETENTUAN UMUM
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Perumahan dan kawasan
permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan,
penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,

16
pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap
perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan
sistem pembiayaan, serta peran masyarakat Perumahan adalah kumpulan rumah
sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang
dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya
pemenuhan rumah yang layak huni Kawasan permukiman adalah bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan
tempat hunian

2.3 ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP


Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan dengan berasaskan: a.
kesejahteraan; b. keadilan dan pemerataan; c. kenasionalan; d. keefisienan dan
kemanfaatan; e. keterjangkauan dan kemudahan; f. kemandirian dan kebersamaan;
g. kemitraan; h. keserasian dan keseimbangan; i. keterpaduan; j. kesehatan; k.
kelestarian dan keberlanjutan; dan l. keselamatan, keamanan, ketertiban, dan
keteraturan. Pasal 3 Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk:
a. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman; b. mendukung b. mendukung penataan dan pengembangan wilayah
serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan
hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan
keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR; c. meningkatkan daya guna dan
hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap
memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun
kawasan perdesaan; d. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; e. menunjang pembangunan
di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan f. menjamin terwujudnya rumah yang
layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur,
terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Pasal 4 Ruang lingkup penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman meliputi: a. pembinaan; b. tugas dan

17
wewenang; c. penyelenggaraan perumahan; d. penyelenggaraan kawasan
permukiman; e. pemeliharaan dan perbaikan; f. pencegahan dan peningkatan
kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh; g. penyediaan tanah;
h. pendanaan dan pembiayaan; i. hak dan kewajiban; dan j. peran masyarakat

2.4 TUGAS DAN WEWENANG


Bagian Kesatu Umum Pasal 12 (1) Pemerintah dalam melaksanakan
pembinaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman mempunyai
tugas dan wewenang. (2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing. kebijakan penyediaan
Kasiba dan Lisiba lintas kabupaten/kota; d. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan
strategi nasional pada tingkat provinsi di bidang perumahan dan kawasan
permukiman; e. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi
pelaksanaan kebijakan provinsi penyediaan rumah, perumahan, permukiman,
lingkungan hunian, dan kawasan permukiman; f. menyusun rencana pembangunan
dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman lintas
kabupaten/kotamemfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi; h. mengalokasikan
dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi
MBR teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta pemanfaatan
industri bahan bangunan yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan
kearifan lokal yang aman bagi kesehatan

2.5 PENYELENGGARAAN KAWASAN PERMUKIMAN


Bagian Kesatu Umum Pasal 56 Penyelenggaraan kawasan permukiman
dilakukan untuk mewujudkan wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian
dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang
terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata
ruang Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak dalam

18
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian
bermukim. Pasal 57 Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan
pendukung perikehidupan dan penghidupan di perkotaan dan di perdesaan. Pasal
58 (1) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57 wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan permukiman
yang terpadu dan berkelanjutan

2.6 PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS TERHADAP


PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH
Bagian Kesatu Umum Pasal 94 (1) Pencegahan dan peningkatan kualitas
terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh guna meningkatkan mutu
kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni dilakukan untuk mencegah
tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru serta
untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan fungsi perumahan dan permukiman.
(2) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan pada prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga
negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki tempat tinggal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.7 PENYEDIAAN TANAH


Pasal 105 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya bertanggung jawab atas ketersediaan tanah untuk pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman. (2) Ketersediaan tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk penetapannya di dalam rencana tata ruang wilayah
merupakan tanggung jawab pemerintahan daerah. Pasal 106 Penyediaan tanah
untuk pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman dapat dilakukan
melalui: a. pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai negara;
b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah65 - c. peralihan atau pelepasan hak atas
tanah oleh pemilik tanah; d. pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang

19
milik negara atau milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; e. pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar; dan/atau f.
pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 107 (1) Tanah yang langsung
dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang
digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan, dan/atau kawasan permukiman
diserahkan melalui pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang melakukan
pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman. (2) Pemberian hak
atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada keputusan
gubernur atau bupati/walikota tentang penetapan lokasi atau izin lokasi.

2.8 PERAN MASYARAKAT


Pasal 131 (1) Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran
masyarakat. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memberikan masukan dalam: a. penyusunan rencana pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman; b. pelaksanaan pembangunan perumahan
dan kawasan permukiman; c. pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman;
d. pemeliharaan dan perbaikan perumahan dan kawasan permukiman; dan/atau e.
pengendalian penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; (3) Peran
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan membentuk
forum pengembangan perumahan dan kawasan permukiman. Pasal 132 (1) Forum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (3) mempunyai fungsi dan tugas: a.
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; b. membahas dan merumuskan
pemikiran arah pengembangan penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman

2.9 PENYELESAIAN SENGKETA


Pasal 147 Penyelesaian sengketa di bidang perumahan terlebih dahulu
diupayakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Pasal 148 (1) Dalam hal
penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pihak

20
yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang berada di lingkungan
pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa. (2) Penyelesaian82 - (2)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi, dan/atau
penilaian ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghilangkan tanggung jawab pidana. Pasal 149 Gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) atas pelanggaran dapat dilakukan oleh: a. orang
perseorangan; b. badan hukum; c. masyarakat; dan/atau d. pemerintah dan/atau
instansi terkait

2.10 KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 164 Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469), dan peraturan
perundang-undangan lainnya mengenai perumahan dan permukiman, dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan
pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

2.11 KETENTUAN PENUTUP


Pasal 165 (1) Semua peraturan pelaksanaan yang ditentukan dalam Undang-
Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan. (2) Semua kelembagaan yang perlu dibentuk atau yang perlu
ditingkatkan statusnya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini sudah
terbentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Pasal
166 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3469) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 167 Undang-Undang ini mulai

21
berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari
2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2011 MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2011 NOMOR 7 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT
NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri, Setio Sapto Nugroho PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011
TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H
ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat
tinggal mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta
kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia
seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif sehingga terpenuhinya kebutuhan
tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, yang akan terus
ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia. Negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal
serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan yang sehat,
aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai salah satu
kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga,
terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang
tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung jawab
dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi
masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta
keswadayaan masyarakat.

22
3. KEPUTUSAN MENTRI KESEHATAN NO.829 TAHUN
1999 TENTANG:PERSYARATAN KESEHATAN
PERUMAHAN

3.1 PENGERTIAN RUMAH BAGI KESEHATAN

Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi
kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat untuk melepas lelah
setelah bekerja seharian, namun didalamnya terkandung arti yang penting sebagai
tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah yang
sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah
yang sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni Rumah sehat
adalah kondisi fisik, kimia, biologi didalam rumah dan perumahan sehingga
memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang
optimal.
Setiap manusia, di manapun berada, membutuhkan tempat untuk tinggal yang
disebut rumah. Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepas lelah, tempat
bergaul dan membina rasa kekeluargaan di antara anggota keluarga, serta sebagai
tempat berlindung dan menyimpan barang berharga. Selain itu, rumah juga
merupakan status lambang sosial. (Azwar, 1996; Mukono, 2000).
Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga merupakan determinan
kesehatan masyarakat. Karena itu, pengadaan perumahan merupakan tujuan
fundamental yang kompleks dan tersedianya standar perumahan adalah isu penting
dari kesehatan masyarakat. Perumahan yang layak untuk tempat tinggal harus
memenuhi syarat kesehatan, sehingga penghuninya tetap sehat. Perumahan yang
sehat tidak lepas dari ketersediaan prasarana dan sarana terkait, seperti penyediaan
air bersih, sanitasi pembuangan sampah, transportasi, dan tersedianya pelayanan
sosial. (Krieger and Higgins, 2002).
Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya
yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No.
4 Tahun 1992). Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk

23
tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani
serta keadaan sosialnya baik demi kesehatan keluarga dan individu. (Komisi WHO
Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001).
Syarat rumah sehat harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis. Antara lain, pencahayaan, penghawaan
dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis. Antara lain, privacy yang cukup,
komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antarpenghuni
rumah, yaitu dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah
rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang
berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan
minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang
cukup.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang
timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan
garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah
terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.

3.2 BEBERAPA ASPEK DALAM MEMBUAT RUMAH


Untuk menciptakan rumah sehat maka diperlukan perhatian terhadap beberapa
aspek yang berpengaruh antara lain sebagai berikut:
1. Sirkulasi udara yang baik.
2. Penerangan yang cukup.
3. Air bersih terpenuhi.
4. Pembuangan air limbah diatur dengan baik agar tidak menimbulkan
pencemaran.
5. Bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab serta
tidakterpengaruh pencemaran seperti bau, rembesan air kotor maupun udara
kotor.

24
3.3 SYARAT-SYARAT RUMAH SEHAT

Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal menurut Keputusan Menteri Kesehatan


RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut:

1. Bahan Bangunan
A. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut:
 Debu Total tidak lebih dari 150 µg m3
 Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam
 Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg
B. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme patogen.
2. Komponen Dan Penataan Ruang Rumah
Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai berikut:
A. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan
B. Dinding
 Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk

pengaturan sirkulasi udara


 Di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah dibersihkan

C. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan


D. Bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi
dengan penangkal petir
E. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang
keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi dan ruang
bermain anak.
F. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam atau buatan langsung atau tidak langsung dapat menerangi
seluruh bagian ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.
4. Kualitas Udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut:

25
A. Suhu udara nyaman berkisar antara l8°C sampai 30°C
B. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%
C. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam
D. Pertukaran udara
E.Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8jam
F.Konsentrasi gas formaldehide tidak melebihi 120 mg/m3
5. Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi a1amiah yang permanen minimal 10% dari
luas lantai.
6. Binatang Penular Penyakit
Tidak ada tikus bersarang di rumah.
7. Air
A. Tersedia air bersih dengan kapasitas minmal 60 lt/hari/orang
B. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan air minum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Tersediannya sarana penyimpanan makanan yang aman dan hygiene.
9. Limbah
A. Limbah cair berasal dari rumah, tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah.

B. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, tidak menyebabkan
pencemaran terhadap permukaan tanah dan air tanah.

10. Kepadatan Hunian Ruang Tidur

Luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua
orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
Masalah perumahan telah diatur dalam Undang-Undang pemerintahan
tentang perumahan dan pemukiman No.4/l992 BAB III pasal 5 ayat l yang berbunyi
“Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan atau menikmati dan
atau memiliki rumah yang layak dan lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan
teratur”.

26
Bila dikaji lebih lanjut maka sudah sewajarnya seluruh lapisan masyarakat
menempati rumah yang sehat dan layak huni. Rumah tidak cukup hanya sebagai
tempat tinggal dan berlindung dari panas cuaca dan hujan, Rumah harus
mempunyai fungsi sebagai:
A. Mencegah terjadinya penyakit
B. Mencegah terjadinya kecelakaan
C. Aman dan nyaman bagi penghuninya
D. Penurunan ketegangan jiwa dan social

Sumber:

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 Menkes SK/VII/1999 Tentang


Persyaratan Kesehatan Perumahan

Menurut Ditjen Cipta Karya, 1997


Komponen yang harus dimiliki rumah sehat adalah:
 Pondasi yang kuat guna meneruskan beban bangunan ke tanah dasar,
memberi kestabilan bangunan, dan merupakan konstruksi penghubung
antara bagunan dengan tanah;
 Lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari
pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air, untuk rumah
panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu;
 Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan
masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai;
 Dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau
menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan
debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya;
 Langit-langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahari,
minimum 2,4 m dari lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu, tripleks
atau gipsum;

27
 Atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta
melindungi masuknya debu, angin dan air hujan.

3.4 PERLUNYA PENCAHAYAAN DAN PERTUKARAN UDARA DALAM


RUMAH
Pencahayaan di bagi menjadi dua yaitu pencahayaan alami maupun penchayaan
buatan.
1. PENCAHAYAAN
A. Pencahayaan Alami
Pencahayaan alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam
ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka.
Cahaya matahari berguna untuk penerangan dan juga dapat mengurangi
kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti
TBC, influenza, penyakit mata dan lain-lain.
Kebutuhan standar minimum cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan untuk
berbagai keperluan menurut WHO dimana salah satunya adalah untuk kamar
keluarga dan tidur dalam rumah adalah 60 – 120 Lux.
Guna memperoleh jumlah cahaya matahari pada pagi hari secara optimal sebaiknya
jendela kamar tidur menghadap ke timur dan luas jendela yang baik minimal
mempunyai luas 10-20% dari luas lantai.

B. Pencahayaan Buatan
Pencahayaan buatan yang baik dan memenuhi standar dapat dipengaruhi oleh:
 Cara pemasangan sumber cahaya pada dinding atau langit- langit

28
 Konstruksi sumber cahaya dalam ornamen yang dipergunakan
 Luas dan bentuk ruangan
 Penyebaran sinar dari sumber cahaya

2. Ventilasi (Pertukaran Udara)


Ventilasi digunakan untuk pergantian udara. Udara perlu diganti agar mendapat
kesegaran badan. Selain itu agar kuman-kuman penyakit dalam udara, seperti
bakteri dan virus, dapat keluar dari ruangan, sehingga tidak menjadi penyakit.
Orang-orang yang batuk dan bersin-bersin mengeluarkan udara yang penuh dengan
kuman-kuman penyakit, yang dapat menginfeksi udara di sekelilingnya. Penyakit-
penyakit menular yang penularannya dengan perantara udara, antara lain TBC,
bronchitis, pneumonia, dan lain-lain.
Hawa segar diperlukan dalam rumah guna mengganti udara ruangan yang sudah
terpakai. Udara segar diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara
dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 220C – 300C sudah cukup segar.
Guna memperoleh kenyamanan udara seperti dimaksud di atas diperlukan adanya
ventilasi yang baik.
Membuat sistem ventilasi harus dipikirkan masak-masak, jangan sampai orang-
orang yang ada di dalam rumah menjadi kedinginan dan sakit. Pembuatan lubang-
lubang ventilasi dan jendela harus serasi dengan luas kamar dan sesuai dengan iklim
di tempat itu. Di daerah yang berhawa dingin dan banyak angin. Jangan membuat
lubang-lubang ventilasi yang lebar. Cukup yang kecil-kecil saja.
Tetapi di daerah yang berhawa panas dan tidak banyak angin, lubang ventilasi dapat
dibuat agak lebih besar.
Ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai syarat lainnya, di antaranya:
A. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan.
Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
minimum 5%. Jumlah keduanya menjadi 10% dikali luas lantai ruangan.
Ukuran luas ini diatur sedemikian rupa sehingga udara yang masuk tidak
terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.

29
B. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap dari sampah
atau dari pabrik, dari knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
C. Aliran udara diusahakan ventilasi silang dengan menempatkan lubang
hawa berhadapan antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini jangan sampai
terhalang oleh barang-barang besar misalnya almari, dinding sekat dan lain-
lain.

Bagaimana Tingkat Kelembaban Dapat Mempengaruhi Kesehatan


Kita?
1. Pengertian Kelembaban
Kelembaban mengacu pada jumlah partikel air (dengan kata lain, uap air) yang
ada di udara. Udara memiliki kapasitas tertentu untuk menahan partikel-partikel
air yang sering bervariasi dengan suhu sekitarnya. Saat cuaca berawan, musim
panas atau hujan, akan ada kelembaban yang tinggi di udara. Anda juga mungkin
merasa berkeringat dan lebih panas daripada biasanya, sebagai uap air di udara telah
mencapai tingkat kejenuhan. Demikian pula, ketika suhu turun selama musim
dingin, udara menjadi kering. Tingkat kelembaban rendah juga dapat terjadi di
tempat-tempat yang sangat panas dimana tidak ada hujan selama berbulan-bulan.

30
2. Pengaruh Tingkat Kelembaban Tinggi
A. Jika tingkat kelembaban relatif yang tinggi baik karena kondisi eksternal,
seperti suhu udara terbuka atau faktor manusia, udara akan membawa lebih
banyak uap air yang dapat mengakibatkan kondisi seperti embun pada
permukaan yang dingin, menyebabkan kelembaban di sekitar kita.
B. Sebagai kumpulan air yang terbentuk pada dinding, jendela dan pintu,
permukaan ini mengundang berkembang-biaknya jamur dan lumut yang
menjadi sumber berbagai masalah kesehatan kita.
C. Jamur, bersama dengan tungau dan debu sering menyebabkan masalah
pernapasan seperti asma, alergi dan batuk. Mikroorganisme tersebut juga
dapat tumbuh di pakaian dalam kondisi basah.
D. Seperti udara sekitarnya yang kaya dengan uap air, tubuh anda mungkin
keringat mengucur deras dan anda mungkin mengalami kegerahan bahkan
selama cuaca berawan.
E. Kelembaban juga dapat menyebabkan dinding kertas atau lukisan menjadi
lepek, atau bahkan menyebabkan dinding plester yang baru dikerjakan
mengalami retak.
F. Tingkat kelembaban tinggi di rumah kita dapat menyebabkan pintu kayu
atau jendela memuai atau melebar sehingga tidak sesuai dengan ukuran
kusen.

3. Pengaruh Tingkat Kelembaban Rendah


Ketika kelembaban turun di bawah tingkat kenyamanan, anda mungkin akan
mengalami udara kering dan juga mungkin merasakan dingin yang tidak
menyenangkan selama musim dingin. Seperti udara lembab yang sangat tinggi,
udara kering juga dapat menyebabkan masalah kesehatan yang terkait seperti kulit
kering, bibir pecah-pecah, dan lain-lain. Ketika Anda bernafas dalam udara dingin
dan sangat kering, anda juga mungkin mengalami kesulitan bernafas atau
mendapatkan sakit tenggorokan selama pagi dan malam hari di saat musim
angin.

31
Tidak seperti tingkat kelembaban tinggi,
udara kering tidak berpengaruh begitu
banyak pada alat-alat rumah tangga.
Akan tetapi furnitur seperti pintu,
jendela biasanya menciut akibat
kekeringan ekstrim udara di sekitarnya.
Singkatnya, faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi kelembaban di
rumah Anda adalah sebagai berikut:
A. Kondisi cuaca dan tingkat suhu di luar rumah Anda.
B. Bagaimana bangunan tersebut dilindungi dari kelembaban, dan lain-lain,
serta kebocoran.
C. Anda sehari-hari aktivitas seperti mandi, pengukusan, pengeringan pakaian
basah dan lain-lain

32
4. KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN
PRASARANA WILAYAH NOMOR: 403/KPTS/M/2002
TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH
SEDERHANA SEHAT (RS SEHAT)

4.1 PENDAHULUAN
Dalam rangka peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia melalui penyediaan
perumahan secara merata, khususnya bagi kelompok masyarakat yang
berpenghasilan rendah, sangat rendah dan kelompok berpenghasilan informal,
maka diperlukan upaya penyediaan perumahan murah yang layak dan terjangkau
akan tetapi tetap memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan, dan. Kenyamanan.
Dalam upaya memenuhi ketiga persyaratan dasar tersebut diatas serta
memenuhi tujuan dari penyediaan perumahan bagi kelompok masyarakat tersebut
maka perlu disediakan suatu rancangan yang memenuhi standar
minimal.Pendekatan penyediaan rumah selama ini lebih diseragamkan, sehingga
terdapat beberapa kendala di lapangan diantaranya kesenjangan harga yang sangat
menyolok diantara beberapa daerah. Selain itu terlalu dipaksakan satu standar
nasional untuk seluruh daerah.
Bentuk rancangan tidak mengakomodasi potensi setempat sehingga menjadi
mahal. Pada kenyataannya Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana setelah 2 –
3 tahun pasca huni, mengalami perubahan yang dilakukan oleh pemiliknya,
sebagian besar perubahan tersebut hanya menyisakan satu ruangan. Perubahan ini
didorong oleh adanya sifat manusia, yang pada kodratnya selalu ingin dan berupaya
mengungkap jati dirinya.
Prototype standar tersebut seringkali tidak dapat diterapkan di daerah, misalnya
atap genteng yang tidak tersedia di lokasi karena tidak biasa digunakan. Biaya
tinggi pada saat perbaikan atau renovasi inilah yang menjadikan konsumen
berspekulasi membeli karena nilai tanahnya, sehingga kelompok sasarannya sudah
bergeser ke segmen yang lebih mampu. Harga rumah sederhana di beberapa daerah
meningkat sangat tinggi, disebabkan beberapa material dasar yang harus

33
didatangkan dari daerah lain, karena di daerah tersebut ketersediaannya sangat
terbatas. Akibatnya harga material bangunan sampai di tempat menjadi sangat
tinggi, bahkan menjadi dua kali lipat harga dasarnya.
Akhirnya kelompok sasaran yang direncanakan justru tidak dapat menjangkau
fasilitas ini. Sehingga dengan kelemahan-kelemahan tersebut, fasilitas ini
dimanfaatkan oleh masyarakat yang memiliki prospek ekonomi atau yang memiliki
kemampuan lebih pada saat itu dan menjadikannya sebagai komoditi yang
spekulatif. Nilai masa depan rumah dan tanah inilah yang menjadi lebih menarik
bagi mereka yang mempunyai kemampuan lebih.

4.2 PEMILIHAN PROTOTIP


Dasar pemilihan salah satu prototip Rumah Sederhana Sehat tersebut didasarkan
pada kajian Mikrozonasi dari bahan bangunan, geologis serta arsitektur, pada
tingkat propinsi dan atau kabupaten/kota, dengan merujuk pada zonasi Rumah
Sederhana Sehat Nasional, pada tabel 1 berikut:

34
4.3 KETENTUAN RUMAH SEDERHANA SEHAT (RS SEHAT)
4.3.1 Kebutuhan Minimal Masa (penampilan) dan Ruang (luar-dalam)
Kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di
dalam rumah. Aktivitas seseorang tersebut meliputi aktivitas tidur, makan, kerja,
duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari hasil kajian,
kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2 dengan perhitungan ketinggian rata-rata
langit-langit adalah 2.80 m.
Rumah sederhana sehat memungkinkan penghuni untuk dapat hidup sehat,
dan menjalankan kegiatan hidup sehari-hari secara layak. Kebutuhan minimum
ruangan pada rumah sederhana sehat perlu memperhatikan beberapa ketentuan
sebagai berikut:
a. Kebutuhan luas per jiwa.
b. Kebutuhan luas per kepala keluarga (kk).
c. Kebutuhan luas bangunan per kepala keluarga (kk).
d. Kebutuhan luas lahan per unit bangunan.

Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2

35
4.3.2 Kebutuhan Kesehatan dan Kenyamanan
Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan dan
kenyamanan dipengaruhi oleh 3 (tiga) aspek, yaitu pencahayaan, penghawaan, serta
suhu udara dan kelembaban dalam ruangan. Aspek-aspek tersebut merupakan dasar
atau kaidah perencanaan rumah sehat dan nyaman.
A. Pencahayaan
Matahari sebagai potensi terbesar yang dapat digunakan sebagai
pencahayaan alami pada siang hari. Pencahayaan yang dimaksud adalah
penggunaan terang langit, dengan ketentuan sebagai berikut:
 cuaca dalam keadaan cerah dan tidak berawan,
 ruangan kegiatan mendapatkan cukup banyak cahaya,
 ruang kegiatan mendapatkan distribusi cahaya secara merata

Kualitas pencahayaan alami siang hari yang masuk ke dalam ruangan


ditentukan oleh:
 kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata),
 lamanya waktu kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata),

36
 tingkat atau gradasi kekasaran dan kehalusan jenis pekerjaan,
 lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai ruangan,
 sinar matahari langsung dapat masuk ke ruangan minimum 1 (satu)
jam setiap hari,
 cahaya efektif dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00

Nilai faktor langit tersebut akan sangat ditentukan oleh kedudukan lubang
cahaya dan luas lubang cahaya pada bidang atau dinding ruangan. Semakin
lebar bidang cahaya (L), maka akan semakin besar nilai faktor langitnya.

Tinggi ambang bawah bidang bukaan (jendela) efektif antara 70 – 80 cm dari


permukaan lantai ruangan. Nilai faktor langit minimum dalam ruangan pada
siang hari tanpa bantuan penerangan buatan, akan sangat dipengaruhi oleh:
 tata letak perabotan rumah tangga, seperti lemari, meja tulis atau meja
makan,
 bidang pembatas ruangan, seperti partisi, tirai masif.

B. Penghawaan
Udara merupakan kebutuhan pokok manusia untuk bernafas sepanjang
hidupnya. Udara akan sangat berpengaruh dalam menentukan kenyamanan
pada bangunan rumah. Kenyamanan akan memberikan kesegaran terhadap
penghuni dan terciptanya rumah yang sehat, apabila terjadi pengaliran atau
pergantian udara secara kontinyu melalui ruanganruangan, serta lubang-
lubang pada bidang pembatas dinding atau partisi sebagai ventilasi.

37
Agar diperoleh kesegaran udara dalam ruangan dengan cara penghawaan
alami, maka dapat dilakukan dengan memberikan atau mengadakan
peranginan silang (ventilasi silang) dengan ketentuan sebagai berikut:
 Lubang penghawaan minimal 5% (lima persen) dari luas lantai
ruangan.
 Udara yang mengalir masuk sama dengan volume udara yang mengalir
keluar ruangan.
 Udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar
mandi/WC.

Khususnya untuk penghawaan ruangan dapur dan kamar mandi/WC, yang


memerlukan peralatan bantu elektrikal-mekanikal seperti blower atau exhaust
fan, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
 Lubang penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan bangunan
disekitarnya.
 Lubang penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan ruangan
kegiatan dalam bangunan seperti: ruangan keluarga, tidur, tamu dan
kerja.

C. Suhu Udara Dan Kelembaban


Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban
udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan
kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan.
Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan
terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam
ruangan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban normal untuk ruangan
dan penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan:
 keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan
keluar.
 pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak
bergerak.

38
 menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai
ruangan.

4.4 KEBUTUHAN MINIMAL KEAMANAN DAN KESELAMATAN


Pada dasarnya bagian-bagian struktur pokok untuk bangunan rumah tinggal
sederhana adalah: pondasi, dinding (dan kerangka bangunan), atap serta lantai.
Sedangkan bagian-bagian lain seperti langit-langit, talang dan sebagainya
merupakan estetika struktur bangunan saja.

a) Pondasi
Secara umum sistem pondasi yang memikul beban kurang dari dua ton (beban
kecil), yang biasa digunakan untuk rumah sederhana dapat dikelompokan kedalam
tiga sistem pondasi, yaitu: pondasi langsung; pondasi setempat; dan pondasi tidak
langsung. Sistem pondasi yang digunakan pada Rumah Inti Tumbuh (RIT) dan
pengembangannya dalam hal ini Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) ini adalah
sistem pondasi setempat dari bahan pasangan batu kali atau pasangan beton tanpa
tulangan dan sistem pondasi tidak langsung dari bahan kayu ulin atau galam.

b) Dinding
Bahan dinding yang digunakan untuk RIT dan pertumbuhannya adalah
conblock, papan, setengah conblock dan setengah papan atau bahan lain seperti
bambu tergantung pada potensi bahan yang dominan pada daerah dimana rumah ini
akan dibangun.
Ukuran conblock yang digunakan harus memenuhi SNI PKKI NI-05 Untuk
dinding papan harus dipasang pada kerangka yang kokoh, untuk kerangka dinding
digunakan kayu berukuran 5/7 dengan jarak maksimum 100 cm. Kayu yang
digunakan baik untuk papan dan balok adalah kayu kelas kuat dan awet II. Apabila
untuk kerangka digunakan kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar
dipasaran dengan ukuran sepadan. Jarak tiang rangka kurang lebih 150 cm.
Papan yang digunakan dengan ketebalan minimal 2 cm setelah diserut dan
sambungan dibuat alur lidah atau sambungan lainnya yang menjamin kerapatan.

39
Ring-balok dan kolom dari kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar
dipasaran dengan ukuran sepadan. Hubungan antara kolom dengan ringbalok
dilengkapi dengan sekur-sekur dari kayu 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran
dengan ukuran sepadan. Panjang sekur maksimum 50 cm.

c) Kerangka Bangunan
Rangka dinding untuk rumah tembok dibuat dari struktur beton bertulang. Untuk
rumah setengah tembok menggunakan setengah rangka dari beton bertulang dan
setengah dari rangka kayu. Untuk rumah kayu tidak panggung rangka dinding
menggunakan kayu. Untuk sloof disarankan menggunakan beton bertulang.
Sedangkan rumah kayu panggung seluruhnya menggunakan kayu, baik untuk
rangka bangunan maupun untuk dinding dan pondasinya.

d) Kuda-Kuda
Rumah sederhana sehat ini menggunakan atap pelana dengan kudakuda
kerangka kayu dengan kelas kuat dan awet II berukuran 5/10 atau yang banyak
beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Disamping sistem sambungan kuda-
kuda tradisional yang selama ini sudah digunakan dan dikembangkan oleh
masyarakat setempat.
Dalam rangka mempercepat pelaksanaan pemasangan kerangka kuda-kuda
disarankan menggunakan sistem kuda-kuda papan paku, yaitu pada setiap titik
simpul menggunakan klam dari papan 2/10 dari kayu dengan kelas yang sama
dengan rangka kuda-kudanya.
Khusus untuk rumah tembok dengan konstruksi pasangan, dapat menggunakan
kuda-kuda dengan memanfaatkan ampig tembok yang disekelilingnya dilengkapi
dengan ring-balok konstruksi beton bertulang. Kemiringan sudut atap harus
mengikuti ketentuan sudut berdasarkan jenis penutup atap yang digunakan, sesuai
dengan spesifikasi yang dikeluarkan oleh pabrik atau minimal 200 untuk
pertimbangan kenyamanan ruang didalamnya.

40
4.5 KONSEPSI RUMAH SEDERHANA SEHAT (RS SEHAT)
Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) yaitu rumah yang dibangun dengan
menggunakan bahan bangunan dan konstruksi sederhana akan tetapi masih
memenuhi standar kebutuhan minimal dari aspek kesehatan, keamanan, dan
kenyamanan, dengan mempertimbangkan dan memanfaatkan potensi lokal meliputi
potensi fisik seperti bahan bangunan, geologis, dan iklim setempat serta potensi
sosial budaya seperti arsitektur lokal, dan cara hidup.
Sasaran penyediaan Rumah Sederhana Sehat yaitu bagi kelompok masyarakat
yang berpenghasilan rendah. Dalam pelaksanaannya pemenuhan penyediaan
Rumah Sederhana Sehat masih menghadapi kendala, berupa rendahnya tingkat
kemampuan masyarakat, mengingat harga Rumah Sederhana Sehat masih belum
memenuhi keterjangkauan secara menyeluruh.
Untuk itu perlu disediakan disain rumah antara yang pertumbuhannya diarahkan
menjadi Rs Sehat. Rumah antara yang dimaksud adalah Rumah Inti Tumbuh (RIT),
yaitu rumah yang hanya memenuhi standar kebutuhan minimal rumah, dengan
kriteria sebagi berikut:
• RIT memiliki ruang paling sederhana yaitu sebuah ruang tertutup dan
sebuah ruang terbuka beratap dan fasilitas MCK.
• RIT memiliki bentuk atap dengan mengantisipasi adanya perubahan yang
bakal dilakukan yaitu dengan memberi atap pada ruang terbuka yang
berfungsi sebagai ruang serba guna.
• Bentuk generik atap pada RIT selain pelana, dapat berbentuk lain (limasan,
kerucut, dll) sesuai dengan tuntutan daerah bila itu ada.
• Penghawaan dan pencahayaan alami pada RIT menggunakan bukaan yang
memungkinkan sirkulasi silang udara dan masuknya sinar matahari.

Dalam proses pengembangan RIT menjadi Rs Sehat memberi peluang peran


calon penghuni/penghuni dalam mengekspresikan kebutuhan pengungkapan jati
diri. Sehingga akan mengurangi peluang terhadap pembongkaran bagian-bagian
bangunan secara besar-besaran.

41
4.5.1 Tipologi Rumah Sederhana Sehat
Rumah Sederhana adalah tempat kediaman yang layak dihuni dan harganya
terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang. Luas kapling ideal,
dalam arti memenuhi kebutuhan luas lahan untuk bangunan sederhana sehat baik
sebelum maupun setelah dikembangkan. Secara garis besar perhitungan luas
bangunan tempat tinggal dan luas kapling ideal yang memenuhi persyaratan
kesehatan, keamanan dan kenyamanan bangunan seperti berikut;
Kebutuhan ruang minimal menurut perhitungan dengan ukuran Standar
Minimal adalah 9 m2, atau standar ambang dengan angka 7,2 m2 per orang. Sebagai
konsepsi dasar kedua perhitungan tersebut masih digunakan dengan tetap
mempertimbangkan bentuk akhir rumah pasca pengembangan. Sehingga dari hasil
perhitungan diatas didapat luas bangunan awal (RIT) adalah 21 m2 dengan
pertimbangan dapat dikembangkan menjadi 36 m2 bahkan pada kondisi tertentu
dimungkinkan memenuhi standar ruang Internasional.

42
4.5.2 Konsepsi Rumah Inti Tumbuh
Kendala keterjangkauan masyarakat terhadap Rumah Sederhana Sehat (Rs
Sehat), telah diupayakan menyiasati kondisi tersebut melalui satu rancangan rumah
antara yaitu RIT sebagai rumah cikal bakal Rumah Sederhana Sehat. Rancangan
RIT memenuhi tuntutan kebutuhan paling mendasar dari penghuni untuk
mengembangkan rumahnya, dalam upaya peningkatan kualitas kenyamanan, dan
kesehatan penghuni dalam melakukan kegiatan hidup sehari-hari, dengan ruang-
ruang yang perlu disediakan sekurang-kurangnya terdiri dari:
• 1 ruang tidur yang memeuhi persyaratan keamanan dengan
bagianbagiannya tertutup oleh dinding dan atap serta memiliki
pencahayaan yang cukup berdasarkan perhitungan serta ventilasi cukup
dan terlindung dari cuaca. Bagian ini merupakan ruang yang utuh sesuai
dengan fungsi utamannya.
• 1 ruang serbaguna merupakan ruang kelengkapan rumah dimana
didalamnya dilakukan interaksi antara keluarga dan dapat melakukan
aktivitas-aktivitas lainnya. Ruang ini terbentuk dari kolom, lantai dan atap,
tanpa dinding sehingga merupakan ruang terbuka namun masih memenuhi
persyaratan minimal untuk menjalankan fungsi awal dalam sebuah rumah
sebelum dikembangkan.
• 1 kamar mandi/kakus/cuci merupakan bagian dari ruang servis yang sangat
menentukan apakah rumah tersebut dapat berfungsi atau tidak, khususnya
untuk kegiatan mandi cuci dan kakus.
Ketiga ruang tersebut diatas merupakan ruang-ruang minimal yang harus
dipenuhi sebagai standar minimal dalam pemenuhan kebutuhan dasar, selain itu
sebagai cikal bakal rumah sederhana sehat. Konsepsi cikal bakal dalam hal ini
diwujudkan sebagai suatu Rumah Inti yang dapat tumbuh menjadi rumah sempurna
yang memenuhi standar kenyamanan, kemanan, serta kesehatan penghuni,
sehingga menjadi rumah sederhana sehat.

43
4.6 POLA PERTUMBUHAN RUMAH INTI TUMBUH (RIT) MENJADI
RUMAH SEDERHANA SEHAT (RS SEHAT)
Konsep rancangan Rumah Inti Tumbuh (RIT) adalah sebagai berikut:
• RIT adalah embrio dari rumah jadi yang diharapkan pertumbuhannya
menjadi rumah sehat. Diasumsikan sebagai cikal bakal rumah sehat yang
memiliki wujud belum sempurna akan tetapi memiliki komponen sistem
yang utuh, namun belum berfungsi 100% serta pada pertumbuhannya akan
menjadi suatu rumah yang sempurna dengan fungsi penuh.
• RIT merupakan suatu rancang yang hanya menyediakan wadah untuk
kebutuhan ruang-ruang kegiatan paling mendasar. Rumah ini nantinya
akan dikembangkan oleh pemiliknya secara bertahap mulai dari RIT-1
menjadi RIT-2, dari RIT-2 menjadi Rs Sehat-1, selanjutnya dari Rs Sehat-
1 menjadi Rs Sehat-2. Pengembangan tipe-tipe rumah ini tergantung
tuntutan, kebutuhan dan kemampuan pemiliknya.
• Ukuran pembagian ruang dalam rumah tersebut berdasarkan pada satuan
ukuran modular dan standar internasional untuk ruang gerak/kegiatan
manusia. Sehingga diperoleh ukuran ruang-ruang dalam RIT-1 adalah
sebagai berikut:
 Ruang Tidur : 3,00 m x 3,00 m
 Serbaguna : 3,00 m x 3,00 m
 Kamar mandi/kakus/cuci : 1,20 m x 1,50 m
• Dalam proses pengembangan rumahnya dari RIT-1 menjadi RIT-2,
RsSehat-1 maupun Rs-Sehat-2, tetap mengikuti ketentuan-ketentuan atau
kaidah-kaidah perencanaan rumah sehat dan ukuran modul yang sudah
ditetapkan. Dibawah ini dijelaskan studi modul untuk RIT serta
pertumbuhannya menjadi Rs Sehat-2, yang didasarkan modul-modul 3 M
dengan kombinasi luasan lahan dan bangunan, secara skematis dapat
dilihat pada gambaran dibawah ini:

44
45
Transformasi perubahan RIT-1 menjadi RIT-2, Rs Sehat-1, Rs Sehat-2 dan
analisisnya dapat dilihat pada gambar-2 Transformasi perubahan RIT.
Perubahan/transformasi bentuk atap terlihat keberlanjutan bentuk, bukan hanya
menguntungkan dari segi pelaksanaan tetapi juga penghematan dari segi bahan
bangunan. Pada penambahan ruang juga terlihat sederhana dan mengikuti kaidah
perencanaan rumah sehat yaitu adanya penghawaan dan pencahayaan alami serta
adanya sirkulasi silang udara.

46
• Bentuk atap pada RIT sudah mengantisipasi adanya perubahan yang bakal
dilakukan yaitu dengan memberi atap pada ruang terbuka yang berfungsi
sebagai ruang pelayanan.
• Penghawaan dan pencahayaan alami pada RIT dapat terpenuhi dengan
adanya bukaan yang memungkinkan sirkulasi silang udara dan masuknya
sinar matahari.
• Penambahan ruang pada RIT-1 menjadi RIT-2 tidak mengakibatkan
perubahan pada bentuk atap karena bentuk atap pada RIT sudah
mengantisipasi perubahan ke tipe ini.
Pertumbuhan denah menjadi Rs Sehat – 2 dengan luas bangunan 36 dan luas lahan
efektif antara 72 – 200 m 2 , tetap menjaga kaidah-kaidah rumah sehat, yaitu dengan
tetap mempertimbangkan adanya pencahayaan dan penghawaan alami sermaksimal
mungkin.

4.7 LINGKUNGAN PERUMAHAN SEDERHANA SEHAT


Ketentuan tentang persyaratan lingkungan perumahan sederhana sehat
sepanjang tidak bertentangan dengan pedoman teknis ini, tetap menggunakan
ketentuan yang diatur di dalam Keputusan Menteri PU No.20/KPTS/86 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun dan
Peraturan Menteri PU No.54/PRT/1991 tentang Pedoman Teknis Pembangunan
Perumahan Sangat Sederhana.

4.8 PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH SEDERHANA SEHAT


(RUMAH TEMBOK)

4.8.1 Ruang Lingkup


1. Pedoman teknis ini meliputi ketentuan-ketentuan umum,
ketentuanketentuan teknis dan teknis pengerjaan untuk pembangunan
rumah tinggal sederhana dari bahan baku lokal,
2. Pedoman teknis ini merupakan bagian dari paket pengembangan rumah
sederhana sehat:

47
Tabel 1. Paket pengembangan rumah sederhana sehat

3. Pedoman Teknis ini memberikan arahan pengembangan dari Rumah Inti


Tumbuh (RIT) menjadi Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) secara bertahap.
4. Pelaksanaan pembangunan rumah tipe ini dapat dilakukan untuk lokasi
dengan potensi bahan baku lokal yang didominasi oleh pasir dan untuk
daerah dengan lapisan tanah kering, serta memiliki tegangan tanah σ tn ≥
0,5 kg/cm2,
5. Pemilihan tipe rumah ini dilakukan atas dasar potensi bahan bangunan
terbanyak dengan harga paling rendah disuatu daerah dimana rumah
tersebut akan didirikan,
6. Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis rumah yang dapat
diterapkan di satu propinsi, dibuat Zonasi Rumah Sederhana Sehat yang
merupakan penggambungan dari berbagai potensi, diantaranya potensi
bahan bangunan lokal, potensi budaya serta kondisi geologis di setiap
propinsi, seperti terlihat pada Tabel 2.
7. Untuk propinsi yang memiliki lebih dari satu pilihan jenis rumah, urutan
pertama merupakan pilihan yang utama, pilihan jenis rumah lainnya
ditentukan berdasarkan Mikro Zonasi yang dibuat untuk tingkat daerah.

48
49
4.9 ACUAN NORMATIF
Undang-undang No. 4 Tahun 1992, Perumahan
SNI 03-1733-1989, Tata cara perencanaan kawasan perumahan kota
SNI 03-3434-1994, Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan kayu untuk
bangunan dan gedung
SNI 03-2837-1992, Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan tembok dan
plesteran untuk bangunan sederhana
SNI 03-2435-1994, Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan penutup langit-
langit untuk bangunan dan gedung
SNI 03-2836-1992, Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan pondasi batu
belah untuk bangunan sederhana
SNI 03-2835-1992, Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan persiapan dan
pekerjaan tanah untuk bangunan sederhana
SNI 03-3436-1994, Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan atap untuk
bangunan dan gedung
SNI 03-2840-1992, Tata cara pengerjaan lembaran asbes semen untuk penutup
atap pada bangunan rumah dan gedung
SNI 03-3436-1992, Tata cara perhitungan satuan pekerjaan atap untuk bangunan
dan gedung
SNI 05-1994-F, Tata cara perancangan penerangan alami siang hari untuk rumah
dan gedung
PUBI-1982, Peraturan Umum Bahan Bangunan di Indonesia
Keputusan Menteri PU No. 20/KPTS/1986, Peraturan tekneek pembangunan
perumahan sederhana tidak bersusun
Keputusan Menkes No. 829/MENKES/SK/VII/1999, Persyaratan kesehatan
perumahan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 54/PRT/1991 tentang Pedoman Tekneek
Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana

50
4.10 ISTILAH DAN DEFINISI
 Rumah
Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga.

 Kesehatan
Keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial ekonomi.

 Rumah sehat
Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan
teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni
rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga memungkinkan
penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

 Rumah Sederhana
Tempat kediaman yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh
masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang.

 Rumah Sederhana Sehat


Tempat kediaman yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh
masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang, berupa bangunan yang luas
lantai dan luas kavelingnya memadai dengan jumlah penghuni serta
memenuhi persyaratan kesehatan rumah tinggal.

 Inti
Isi yang paling pokok atau penting, bagian yang penting perananya di dalam
suatu proses.

51
 Rumah Inti
Rumah yang terdiri atas ruangan inti rumah seperti ruang yang terpenting atau
hanya atap dan lantai, sedangkan pengembangan selanjutnya diserahkan
kepada penghuni.

 Rumah Inti Tumbuh


Tempat kediaman awal untuk memulai bertempat tinggal dengan standar
minimal yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat
berpenghasilan rendah berupa bangunan dengan luas lantai 21 m 2 dan luas
lahan efektif antara 72-90 m2 yang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga
serta mendorong penghuni untuk tumbuh, baik aspek fisik bangunan rumah
sederhana sehat maupun aspek sosial budaya.

 Utilitas Bangunan
Sarana penunjang untuk pelayanan bangunan, berupa jaringan air bersih,
pembuangan sampah, jaringan listrik, jaringan telepon dan jaringan gas.

 Perumahan
Kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan
diperuntukkan bagi masyarakat penghuninya.

 Aspek Geologi
Aspek yang berkaitan dengan struktur tanah, yang diperlukan antara lain
untuk menentukan jenis pondasi, sistem pembuangan air limbah dan semua
pekerjaan yang berhubungan dengan kondisi fisik tanah.

 Aspek Geografi
Aspek yang berkaitan dengan letak atau posisi lingkungan perumahan
terhadap Iingkungan di sekitarnya.

52
 Aspek Topografi
Aspek yang berkaitan dengan phisik permukaan tanah seperti bentuk,
karakter, tumbuhan, aliran sungai dan kontur tanah.

 Persyaratan Teknis
Ketentuan-ketentuan teknis yang harus dipenuhi menyangkut pengaturan
keamanan, kenyamanan, serta kesehatan.

 Persyaratan Ekologis
Persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara
lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan
sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.

 Bahan Pasangan
Bahan bangunan berupa bahan baku anorganik yang diperoleh dari alam,
untuk memasang atau menggunakannya sebagai bahan bangunan diperlukan
perekat berupa semen hidrolis.

 Bahan Tegakan
Bahan bangunan berupa kayu bangunan hasil olahan kayu yang diperoleh
dengan cara mngkonversikan kayu bulat menjadi kayu berbentuk balok,
papan ataupun bentuk-bentuk lain yang sesuai dengan tujuan penggunaannya.

 Persyaratan Administratif
Persyaratan yang berkaitan dengan pemberian ijin usaha, ijin lokasi dan ijin
mendirikan bangunan serta pemberian hak atas tanah.

53
4.11 DASAR PERANCANGAN
4.11.1 Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal
Kondisi fisik, kimia dan biologik di dalam rumah yang memenuhi Kepmen
Kesehatan No.829/MENKES/SK/VII/1999, menyangkut persyaratan bahan
bangunan, komponen dan penataan ruang rumah, pencahayaan, kualitas udara,
ventilasi, binatang penular penyakit, air, sarana penyimpan makanan yang aman,
limbah dan kepadatan hunian ruang tidur.

4.11.2 Pemilihan Lokasi


Tersedianya tanah yang cukup bagi pembangunan rumah, pada satu
lingkungan yang memiliki kelengkapan prasarana lingkungan, utilitas umum dan
fasilitas sosial. Apabila pembangunan perumahan dilakukan melalui industri
perumahan di Lisiba atau Kasiba maka minimal 1000 unit untuk Lisiba dan 3000
unit untuk Kasiba.

4.11.3 Peraturan Daerah


Beberapa peraturan daerah yang perlu dipenuhi menyangkut:
1) luas kaveling,
2) lebar muka kaveling,
3) panjang deret kaveling,
4) KDB
5) KLB
atau mengikuti ketentuan sebagai berikut :
1) Luas lahan efektif minimal antara 72 m2 sampai dengan 90 m2 khususnya
dipersyaratkan dikawasan perkotaan bukan pusat kota
2) Lebar muka kaveling minimal 6 m atau 7.5 m,
3) Untuk mengantisipasi kebakaran panjang deretan kaveling maksimum 75 m,
kurang lebih 10 kapling dengan ukuran lebar kapling 7,5 meter dan atau 12
kapling untuk lebar muka kapling dengan ukuran 6 meter
4) Bagian kaveling yang tertutup bangunan rumah maksimum 60% dan luas
kaveling atau sesuai peraturan daerah setempat,

54
5) Koefisien lantai bangunan 1,2.

4.11.4 Kebutuhan Dasar Minimal Suatu Rumah


1) Atap yang rapat dan tidak bocor
2) Lantai yang kering dan mudah dibersihkan
3) Penyediaan air bersih yang cukup
4) Pembuangan air kotor yang baik dan memenuhi persyaratan kesehatan
5) Pencahayaan alami yang cukup
6) Udara bersih yang cukup melalui pengaturan sirkulasi udara sesuai
dengan kebutuhan

4.11 Susunan Keluarga Calon Penghuni Dianggap Terdiri Dari 3 Atau 4


Orang

4.12 DASAR PENETAPAN PROTOTYPE RUMAH INTI TUMBUH


Dalam menyusun program rencana pembangunan perumahan secara besar-
besaran, pendekatannya dilakukan dari segi:
1) Kebutuhan rumah yang sangat mendesak
2) Aktivitas penghuni yang relatif rendah
3) Keamanan
4) Kesehatan

Dari segi aktivitas penghuni dan kesehatan, dipergunakan norma:


1) Kebutuhan udara bersih didalam rumah + 9 m3/orang
2) Kebutuhan pergantian udara + 0,80 m3/menit/orang
3) Kebutuhan penerangan alam didalam kamar minimum 50 lux.

55
4) Kebutuhan penerangan buatan untuk seluruh rumah minimum 100 VA
5) Kebutuhan air bersih + 100 liter/hari/orang

Untuk pembuangan air kotor dipergunakan cara-cara yang memenuhi


syaratsyarat kesehatan, antara lain tangki septik, sumuran (beerput), saluran
pembuangan air kotor (riool). Yang disediakan melalui program perbaikan sarana
dan prasarana lingkungan dari Pemerintah Daerah.

4.13 RANCANGAN PROSES PENGEMBANGAN RS SEHAT


Bangunan dan bagian-bagiannya

56
4.14 PROSES PENGERJAAN RS SEHAT

4.14.1 Proses Pelaksanaan Pengerjaan Pondasi, Sloof Dan Lantai


• Lantai dicor campuran 1 PC : 3 pasir ditumbuk padat dengan permukaan
dihaluskan.
• Tebal lantai minimum 5 cm, dengan didahului oleh lapisan urugan tanah tebal
padat 10 cm dan urugan pasir tebal padat 5 cm.
• Podasi yang digunakan pondasi setempat dari pasangan batu kali dengan
campuran adukan 1 Pc : 5 pasir. Ukuran dimensi penampang bawah pondasi
70 x 70 cm dan ukuran dimensi penampang atas 20 x 20 cm serta tinggi pondasi
60 cm.
• Pada dasar pondasi harus diberi lapisan pasir urug tebal padat 10 cm.
• Permukaan lantai dan bagian-bagian luar pondasi yang tampak diratakan
dengan adukan 1 PC : 3 pasir setebal minimum 5 mm dan diatasnya diberi saus
semen sebagai penghalus.
• Untuk dinding kamar mandi harus diplester dengan adukan campuran 1 Pc : 2
pasir, setinggi 1,5 m dari muka lantai.
• Mutu beton yang disyaratkan dalam pekerjaan ini adalah mutu beton K-125
atau dengan campuran nominal 1 Pc : 2 Pasir : 3 Kerikil (dalam perbandingan
isi). Slump pada saat pengerjaan masimum 7,5 cm dan minimum 2,5 cm.
• untuk beton yang digunakan dalam pekerjaan ini adalah
• Pada arah pertumbuhan, besi beton sloof disediakan panjang penyaluran
sepanjang 60 cm dan dibungkus dengan adukan dari campuran 1 Pc : 10 Psr
dengan dimensi yang sama dengan dimensi sloof.
• Persyaratan bahan beton seperti air, pasir dan kerikil harus mengikuti PUBI-
1982, Peraturan Umum Bahan Bangunan di Indonesia

57
4.14.2 Pekerjaan Badan Bangunan

• Kerangka bangunan dibuat dari beton bertulang berukuran 15 x 15 cm untuk


kolom dan 15 x 20 cm untuk baloknya.
• Pembuatan kerangka ini dilakukan bersamaan dengan pemasangan dinding
dari pasangan conblock.
• Conblock yang dimaksud dalam pekerjaan ini adalah batu cetak beton
berlubang yang dibuat dari campuran semen Portland dan agregat halus.
• Mutu conblock yang disyaratkan untuk bangunan ini adalah conblock yang
memiliki kuat tekan rata-rata 70 kg/cm2 dengan kadar air ≤ 40 % pada saat
pemasangan.
• Dinding bangunan dibuat dari tembok sesuai dengan gambar.
• Permukaan luar/dalam dinding harus dihaluskan
• Antara pasangan conblock dengan kolom beton bertulang harus dipasang
angker dari besi beton ∅ 8 mm dan dipasang pada setiap 60 cm atau setiap 3
lapis pasangan conblock.
• Dinding kamar mandi menggunakan dinding pasangan yang di haluskan pada
bagian natnya.
• Semua bagian kayu yang menempel pada pasangan tembok harus diperkuat
dengán anker ukuran ∅ 3/8”.
• Semua pekerjaan kayu harus rata dan siku, bahannya dan kayu klas II yang tua
dan kering.
• Semua pekerjaan kayu bila memungkinkan diawetkan terlebih dahulu dengan
bahan pengawet secara pelaburan.
• Mutu beton yang disyaratkan dalam pekerjaan ini adalah mutu beton K-125
atau dengan campuran nominal 1 Pc: 2 Pasir : 3 Kerikil (dalam perbandingan
isi). Slump pada saat pengerjaan masimum 7,5 cm dan minimum 2,5 cm.
• Pada arah pertumbuhan, besi beton ring balok disediakan panjang penyaluran
sepanjang 60 cm dan diamankan sedemikian rupa dengan cara ditekuk
sehingga rapat dan sejajar dengan ring balok.

58
• Persyaratan bahan beton seperti air, pasir dan kerikil harus mengikuti PUBI-
1982, Peraturan Umum Bahan Bangunan di Indonesia

4.14.3 Pekerjaan Kusen Pintu Dan Jendela


• Kayu untuk kusen pakai kelas II, untuk bingkai dan panil pintu/ jendela dari
kayu kelas II. Kayu yang dipergunakan harus tua dan kering.
• Antara kusen dan dinding pasangan dipasang angker dari besi beton
berdiameter 8 mm, angker ini dipasang pada setiap jarak 60 cm dengan
kedalaman 20 cm.
• Semua kusen pintu danjendela hatur dilabur dengan cat meni, cacat kayu
ditutup dengan dempul dan dihaluskan.
• Antara lantai dengan kusen diberi sepatu dari pasangan beton tanpa tulangan
setinggi kurang lebih 10 cm.

4.14.4 Pekerjaan Daun Pintu Dan Jendela


• Daun-daun pintu panil dibuat dengan.bingkai 3 x 7.5 cm – 3 x 10 cm,
sedangkan panilnya dibuat tripleks 3 mm luar dalam.
• Daun-daun jendela kaca dibuat dengan bingkai 3 x 7.5 cm, pengisinya dengan
kaca bening tebal 2 mm.
• Tiap daun pintu dilengkapi dengan 2 buah engsel dan 1 kunci tanam.
• Tiap daun jendela yang dibuka dilengkapi dengan 2 buah engsel, 1 gerendel.

4.14.5 Pekerjaan Atap


• Kuda-kuda menggunakan konstruksi balok kayu dari kayu yang tua dan kering
dengan ukuran 5 x 10 cm dan dipasang dengan jarak 3.00 m
• Semua kayu kuda-kuda di labur dengan bahan pengawet
• Panjang paku sedikitnya 2 ½ x tebal kayu pada sambungan rangkap 2 dan 3 1/3
x tebal kayu pada sambungan rangkap 3
• Sambungan pada balok tarik dari kuda-kuda dibuat ditengah-tengah bentang
dengan menggunakan tipe sambungan gigi dan diikat denga plat eser, panjang
overlap dari sambungan tersebut kurang lebih 60 cm.

59
• Klam yang digunakan untuk sambungan batang rangka kuda-kuda adalah
papan dari kayu klas II berukuran 10 x 25 cm dan tebal 2 cm, dengan jumlah
paku pada masing-masing sisi sambungan berjumlah 20 buah paku yang
panjangnya 7 cm, sehingga jumlah paku 7 cm yang digunakan pada setiap satu
unit kuda-kuda adalah 220 buah.
• Untuk pertemuan permukaan ujung setiap batang dari rangka kudakuda
dipasang 2 buah paku yang berukuran 10 cm, sehingga untuk satu unit kuda-
kuda diperlukan 22 buah paku 10 cm.

4.14.6 Pekerjaan Rangka Atap Dan Penutup Atap


• Kuda-kuda harus diletakkan tepat diatas kolom kerangka bangunan.
• Pentup atap digunakan asbes gelombang berukuran 80 x 2.40 cm.
• Tipe lembaran asbes semen bergelombang adalah Tipe-B (gelombang sedang)
dengan tinggi gelombang 30 – 45 mm.
• Kerangka pentup atap hanya berupa gording dari kayu
• Kayu yang dipakai ialah kayu kelas II berbentuk balok berukuran 5 x 10 cm,
dan dipasang dengan jarak ± 1.00 cm. Sisi yang berukuran 5 cm menempel
pada kuda-kuda, agar gording dapat berdiri saling tegak lurus dengan kaki
kuda-kuda maka dipasang klos yang ukuranya disesuaikan dengan ukuran
gording.
• Sambungan pada gording diatur sedemikian rupa, sehingga sambungan
tersebut berada tepat diatas kaki kuda-kuda.
• Penempatan sambungan pada kuda-kuda harus dibuat bersilangan seperti
diperlihatkan pada gambar.
• Tipe sambungan yang digunakan adalah tipe sambungan gigi dengan panjang
sambungan total 60 cm (lihat gambar detil)
• Jarak antara gording 1.0 m, sehingga panjang overlap atap asbes maksimum 40
cm

60
4.14.7 Pekerjaan Rangka Plafon Dan Langit-Langit
• Kayu penggantung langit-langit dipergunakan kayu kelas II dengan ukuran 5 x
10 cm dan 5 x 7 cm, dan permukaan bawahnya harus diratakan.
• Kayu 5/10 digunakan untuk balok utama dan kayu 5/7 digunakan untuk balok
antara.
• Jarak antara balok utama dan balok antara harus dibuat sedemikian rupa
sehingga membentuk kotak berukuran 50 x 100 cm atau setidaktidaknya harus
seminimal mungkin menimbulkan limbah dari bahan penutup langit-langit.
• Bahan langit-langit digunakan asbes plat berukuran 100 x 100 cm.
• Celah antara langit-langit satu dengan lainnya ditutup dengan dempul

4.14.8 Pekerjaan Sanitasi


• Bak air mandi dibuat dari beton yang dilapisi terazo
• Pelat jongkok juga dibuat dari beton dilapisi terazo

4.14.9 Instalasi Air Bersih


• Kedalaman bor untuk sumur pompa tangan minimal 12 meter atau sampai
dengan keluar air bersih yang layak untuk diminum.
• Pipa untuk sumur pompa tangan ini digunakan pipa galvanis berukuran 1” dan
ditonjolkan setinggi kurang lebih satu meter dari permukaan tanah dan diberi
dudukan dari pasangan conblock dengan adukan 1Pc : 5 pasir.
• Jumlah titik kran disesuaikan dengan gambar.
• Pipa air untuk distribusi digunakan ukuran ∅ ½ “, terbuat dari PVC kualitas
baik.
• Pada setiap sambungan harus menggunakan lem dan solatip

4.14.10 Saluran Pembuangan


• Air kotor asal dari cucian dan kamar mandi disalurkan melalui saluran tertutup
dari pvc ∅ 3” untuk selanjutnya dialirkan ke saluran umum
• Air kotor dari kakus disalurkan melalui pipa PVC ∅ 4” yang selanjutnya
dimasukkan ke tangki septik.

61
• Bahan tangki septic digunakan buis beton diamter 1.0 m dengan ketinggian 1,5
m. Disarankan menggunakan 2 buah buis beton, satu buah panjang 1 m dan
lainnya 0,5 m.
• Penutup tangki septik dibuat dari pelat beton bertulang tebal
sekurangkurangnya 8 cm dengan kualitas beton K -125. Untuk tulangan
digunakan besi beton ∅ 8 mm jarak 15 cm.
• Pipa pembuangan gas digunakan pipa galvanis ∅ 1,5 ”.
• Semua pipa dari pvc yang tertanam didalam tanah harus menggunakan pipa
yang tebal sehingga tidak mudah pecah

4.14.11 Pekerjaan Instalasi Listrik


• Instalasi listrik harus memenuhi syarat yang ditetapkan dalam peraturan PLN
setempat
• Jumlah gantungan, stopkontak, sakelar sesuai dengan gambar

4.15 METODA PELAKSANAAN PEMBANGUNAN


Untuk mempermudah dalam pembangunannya, struktur bangunan rumah ini
dibagi kedalam 12 kelompok pekerjaan, yaitu:
a. Pengukuran dan pembuatan bowplank;
b. Penggalian pondasi;
c. Pembuatan sloof dan lantai beton tumbuk;
d. Pembuatan kusen pintu dan jendela;
e. Pembuatan kuda-kuda.
f. Pengerjaan pembesian untuk kerangka bangunan dari beton beretulang g.
Pemasangan kusen pintu rangka besi beton;
g. Pengerjaan dinding dari pasangan conblock dan pengecoran kolom serta
ring balok;
h. Pemasangan kuda-kuda serta gording dari kayu 5/10;
i. Pemasangan atap dari asebes gelombang beserta bubungan dan lisplang;
j. Pemasangan daun pin dan daun jendela serta kunci-kunci;
k. Pembersihan lapangan.

62
Dengan memperhatikan kelompok pekerjaan diatas, maka urutan pekerjaan
pendirian bangunan dapat dilakukan sebagai berikut:

1) Pekerjaan Persiapan
Pekerjaan persiapan dalam hal ini adalah pembersihan lokasi dimana
bangunan akan didirikan yang meliputi pembersihan alang-alang dan tanah
humus serta perataan lahan.

2) Pekerjaan Pengukuran Dan Pembuatan Bowplank


Pondasi yang digunakan pada struktur rumah tinggal ini adalah pondasi
setemnpat dari pasangan batu kali, untuk itu harus diperhatikan dengan
seksama dalam pemasangan bow plank dan dapat dilakukan seperti pada
gambar dan langkah berikut ini:
 Ambil as jalan sebagai referensi tampak bangunan.
 Tancapkan dua tiang kaso 5/7 sejajar dengan as jalan
 Hubungkan dua tiangkaso ini dengan papan 2/20 cm.
 Pasang paku 7 cm pada bagian atas papan, kemudian tarik benag yang
saling membentuk sudut 90o dengan papan yang sejajar dengan as jalan.
Gunakan segi tiga siku sama kaki dengan panjang kaki 100 cm (dari
kayu 2/10 cm) untuk mendapat kan sudut yang tepat. Lalu tancapkan
beberapa tiang kaso 5/7 berhimpitan dengan benang tersebut dan
pasang papan bowplank.
 Lakukan cara yang sama untuk sisi – sisi yang lainnya, sehingga
diperoleh pola bentuk bangunan sisi -sisi yang saling membentuk sudut
tepat 90o.
 Buatlah pola untuk menentukan titik galian pondasi melaluji papan
bowplank seperti diperlihatkan pada gambar.

63
3) Pembuatan Pondasi, Sloof Dan Lantai
Secara berturut turut dapat dikerjakan setelah pekerjaan butir 1) dan 2)
diatas selesai dikerjakan. Untuk menghubungkan kolom dengan sloof,
maka perlu diberikan stek besi beton berdiameter 12 mm setinggi 60 cm

4) Bersamaan Dengan Pekerjaan Pondasi Dan Lantai Dapat Dilakukan


Pekerjaan Pembuatan Kuda-Kuda
Konstruksi kuda-kuda ini sangat sederhana, yaitu menggunakan sistem
kosntruksi kuda-kuda papan paku, dimana sistem ini hanya menggunakan
sambungan klam, langhkah pekerjaan pembuatan kuda – kuda ini adalah
sebagai berikut:
 Cari tempat yang rata
 Buat pola sesuai dengan ukuran dan bentuk kuda-kuda yang akan dibuat
dengan menggunakan benang dan paku 10 cm.

64
 Sejajar dengan benang dipancangkan kayu reng ¾ cm setinggi 15 cm
dari bidang rata.
 Tempatkan balok – balok kayu 5/10 dan rapatkan pada kayu reng yang
dipancangkan tadi sehingga tampak membentuk kuda-kuda.
 Potonglah bagian yang perlu dipotong sesuai dengan prinsip
sambungan gedug dan klam.
 Maka akan didapat sebuah kuda – kuda yang cukup kokoh

5) Pasang Rangka Tulangan Bangunan Tepat Pada Pondasi Yang Telah


Disediakan besi beton penyambungnya, lakukan pengukuran agar rangka
beton ini berdiri dengan tegak lurus dan ditahan sementara dengan
menggunakan kaso 5/7, bersamaan dengan ini lakukan pekerjaan pasangan
conblock.

65
6) Pasang Kuda-Kuda yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan cara
sebagai berikut;
 Angkat kuda-kuda keatas rangka yang telah berdiri, tempelkan terlebih
dulu balopk tarik dari kuda-kuda tersebut pada bagian atas gawang dari
rangka pokok (agar kuda-kuda tidak patah pada saat pengangkatan
maka sebaiknya dilakukan oleh tiga prang).
 Dorong batang kaki kuda-kuda kearah atas sampai kuda-kuda tersebut
dapat berdiri tegak lurus dan dalam posisi yang tepat.

66
 Tahan sementara menggunakan kaso.

7) Pasang Balok-Balok Pengaku antar satu kuda-kuda dengan kuda-kuda


lainya dengan menggunakan kaso 5/7. Lalu pasang gording dari balok kayu
5/10.

8) Pasang Penutup Atap Asbes Gelombang Beserta Wuwungnya, dengan


demikian telah mendapat tempat yang teduh dengan lantai yang telah
diperkeras denga beton tumbuk dan dapat melakukan pekerjaan lainnya.

67
9) Pekerjaan Finishing, pemasangan daun pintu dan jendela lengkap dengan
penguncinya, dan pembersihan lapangan kerja

10) Untuk Pembangunan Ruang-Ruang Pertumbuhan Dari RIT ini dapat


dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
 Gali tanah hingga over-stek yang disediakan pada sloof nampak
terlihat.
 Bongkar adukan pelindungnya hingga stek tulangang dari sloof terlihat
dan bersih dari adukan.
 Lakukan pengukuran dan pemasangan bowplank yang berpedoman
pada sloof yang telah terpasang.

68
 Sambungkan tulangan sloof yang baru dengan besi stek yang dari sloof
tadi, dimana posisi stek ini harus berada didalam susunan tulangan yang
baru.
 Untuk pengembangan pada ring balok; luruskan stek yang telah
disediakan pada ring balok kemudian lakukan penyambungan tulangan
lama dan baru seperti yang dilakukan pada balok sloof.

Dengan mengacu kepada urutan pelaksanaan pekerjaan yang diuraikan diatas, maka
dapat dilakukan perhitungan waktu yang diperlukan untuk membangun satu unit

69
rumah inti dengan spesifikasi yang tercantum dalam buku ini.Perhitungan waktu
pelaksanaan ini hanya untuk RIT –1.

70
5. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 03/PRT/M/2013
TENTANG PENYELENGGARAAN PRASARANA DAN SARANA
PERSAMPAHAN DALAM PENANGANAN SAMPAH RUMAH TANGGA
DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA

5.1. DEFINISI DAN ISTILAH


1. Sampah Rumah Tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-
hari dalam rumah tangga, yang tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
2. Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga adalah sampah rumah tangga
yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas
sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.
3. Residu adalah sampah yang tidak dapat diolah dengan pemadatan,
pengomposan, daur ulang materi dan/atau daur ulang energi.
4. Prasarana Persampahan yang selanjutnya disebut prasarana adalah
fasilitas dasar yang dapat menunjang terlaksananya kegiatan penanganan sampah.
5. Sarana Persampahan yang selanjutnya disebut sarana adalah peralatan
yang dapat dipergunakan dalam kegiatan penanganan sampah. Penyelenggaraan
Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah, yang selanjutnya
disebut penyelenggaraan PSP, adalah kegiatan merencanakan, membangun,
mengoperasikan dan memelihara, serta memantau dan mengevaluasi penanganan
sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.
6. Sumber Sampah adalah asal timbulan sampah.
7. Pemilahan adalah kegiatan mengelompokkan dan memisahkan sampah
sesuai dengan jenis.
8. Pewadahan adalah kegiatan menampung sampah sementara dalam suatu
wadah individual atau komunal di tempat sumber sampah dengan
mempertimbangkan jenis-jenis sampah.
9. Pengumpulan adalah kegiatan mengambil dan memindahkan sampah dari
sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah
dengan prinsip 3R.

71
10. Pengangkutan adalah kegiatan membawa sampah dari sumber atau tempat
penampungan sementara menuju tempat pengolahan sampah terpadu atau tempat
pemrosesan akhir dengan menggunakan kendaraan bermotor yang didesain untuk
mengangkut sampah.
11. Tempat Penampungan Sementara, yang selanjutnya disingkat TPS,
adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan,
dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu.
12. Pengolahan adalah kegiatan mengubah karakteristik, komposisi, dan/atau
jumlah sampah.
13. Tempat Pengolahan Sampah Dengan Prinsip 3R (reduce, reuse dan
recycle), yang selanjutnya disingkat TPS 3R, adalah tempat dilaksanakannya
kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, dan pendauran ulang skala
kawasan.
14. Stasiun Peralihan Antara yang selanjutnya disingkat SPA, adalah sarana
pemindahan dari alat angkut kecil ke alat angkut lebih besar dan diperlukan untuk
kabupaten/kota yang memiliki lokasi TPA jaraknya lebih dari 25 km yang dapat
dilengkapi dengan fasilitas pengolahan sampah.
15. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu, yang selanjutnya disingkat TPST,
adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan
ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
16. Pemrosesan Akhir Sampah adalah proses pengembalian sampah dan/atau
residu hasil pengolahan sampah sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
17. Tempat Pemrosesan Akhir yang selanjutnya disingkat TPA adalah tempat
untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan.
18. Lindi adalah cairan yang timbul sebagai limbah akibat masuknya air
eksternal ke dalam urugan atau timbunan sampah, melarutkan dan membilas materi
terlarut, termasuk juga materi organik hasil proses dekomposisi biologis.
19. Penimbunan Terbuka adalah proses penimbunan sampah di TPA tanpa
melalui proses pemadatan dan penutupan secara berkala.
20. Metode Lahan Urug Terkendali adalah metode pengurugan di areal
pengurugan sampah, dengan cara dipadatkan dan ditutup dengan tanah penutup

72
sekurang-kurangnya setiap tujuh hari. Metode ini merupakan metode yang bersifat
antara, sebelum mampu menerapkan metode lahan urug saniter.
21. Metode Lahan Urug Saniter adalah metode pengurugan di areal
pengurugan sampah yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis, dengan
penyebaran dan pemadatan sampah pada area pengurugan serta penutupan sampah
setiap hari.

5.2. PENANGANAN SAMPAH


Penanganan sampah meliputi kegiatan:
A. PEMILAHAN
Pemilahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan melalui
kegiatan pengelompokan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima) jenis sampah yang
terdiri atas:
a. Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah
bahan berbahaya dan beracun;
b. Sampah yang mudah terurai;
c. Sampah yang dapat digunakan kembali;
d. Sampah yang dapat didaur ulang; dan
e. Sampah lainnya.

B. PENGUMPULAN
Pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b tidak
boleh dicampur kembali setelah dilakukan pemilahan dan pewadahan.
Pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pola:
a. Individual langsung.
b. Individual tidak langsung.
c. Komunal langsung.
d. Komunal tidak langsung.
e. Penyapuan jalan.

73
Jenis sarana pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b
dapat berupa:
a. Motor sampah.
b. Gerobak sampah.
c. Sepeda sampah.

Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan


khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya dalam melakukan
pengumpulan sampah wajib menyediakan:
a. TPS.
b. TPS 3R.
c. Alat pengumpul untuk sampah terpilah.

TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi kriteria teknis:
a. Luas TPS sampai dengan 200 m2.
b. Tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling sedikit 5
(lima) jenis sampah.
c. Jenis pembangunan penampung sampah sementara bukan merupakan
wadah permanen.
d. Luas lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan.
e. Lokasinya mudah diakses.
f. Tidak mencemari lingkungan.
g. Penempatan tidak mengganggu estetika dan lalu lintas.
h. Memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.

C. PENGANGKUTAN
Pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3R ke TPA atau TPST
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c tidak boleh dicampur kembali
setelah dilakukan pemilahan dan pewadahan.
Pola pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a
terdiri atas:

74
a. Pengangkutan sampah dengan sistem pengumpulan langsung dari sumber
menuju TPA dengan syarat sumber sampah lebih besar dari 300 liter/unit serta
topografi daerah pelayanan yang tidak memungkinkan penggunaan gerobak; dan
b. Pengumpulan sampah melalui sistem pemindahan di TPS dan/atau TPS 3R.
Sarana pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf b dapat berupa:
a. Dump truck/tipper truck;
b. Armroll truck;
c. Compactor truck;
d. Street sweeper vehicle; dan
e. Trailer

D. PENGOLAHAN SAMPAH
Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d meliputi
kegiatan:
1. Pemadatan.
2. Pengomposan.
3. Daur ulang materi.
4. Mengubah sampah menjadi sumber energy.
Teknologi pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. Teknologi pengolahan secara fisik berupa pengurangan ukuran sampah,
pemadatan, pemisahan secara magnetis, masa-jenis, dan optic.
b. Teknologi pengolahan secara kimia berupa pembubuhan bahan kimia atau
bahan lain agar memudahkan proses pengolahan selanjutnya.
c. Teknologi pengolahan secara biologi berupa pengolahan secara aerobic
dan/atau secara anaerobik seperti proses pengomposan dan/atau
biogasifikasi.
d. Teknologi pengolahan secara termal berupa insinerasi, pirolisis dan/atau
gasifikasi.
e. Pengolahan sampah dapat pula dilakukan dengan menggunakan teknologi
lain sehingga dihasilkan bahan bakar yaitu Refused Derifed Fuel (RDF).

75
Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan
khusus, fasilitas umum, dan fasilitas lainnya, wajib menyediakan fasilitas
pengolahan skala kawasan yang berupa TPS 3R.

Pemerintah kabupaten/kota menyediakan fasilitas pengolahan sampah di lokasi:


a. TPS 3R.
b. SPA.
c. TPA.
d. TPST.

Syarat ketentuan TPS 3R


Persyaratan TPS 3R sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3)
huruf a harus memenuhi persyaratan teknis seperti:
a. Luas TPS 3R, lebih besar dari 200 m2.
b. Tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling sedikit 5
(lima) jenis sampah.
c. TPS 3R dilengkapi dengan ruang pemilahan, pengomposan sampah
organik, dan/atau unit penghasil gas bio, gudang, zona penyangga, dan tidak
mengganggu estetika serta lalu lintas.
d. Jenis pembangunan penampung sisa pengolahan sampah di TPS 3R bukan
merupakan wadah permanen.
e. Penempatan lokasi TPS 3R sedekat mungkin dengan daerah pelayanan
dalam radius tidak lebih dari 1 km.
f. Luas lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan.
g. Lokasinya mudah diakses.
h. Tidak mencemari lingkungan.
i. Memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.
Keberadaan TPS 3R sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diintegrasikan
dengan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat seperti bank sampah.

76
Syarat ketentuan SPA
SPA skala kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
teknis seperti:
a. Luas SPA lebih besar dari 20.000 m2.
b. Produksi timbulan sampah lebih besar dari 500 ton/hari.
c. Penempatan lokasi SPA dapat di dalam kota.
d. Fasilitas SPA skala kota dilengkapi dengan ramp, sarana pemadatan, sarana
alat angkut khusus, dan penampungan lindi.
e. Pengolahan lindi dapat dilakukan di SPA atau TPA.
f. Lokasi penempatan SPA ke permukiman terdekat paling sedikit 1 km.

SPA skala lingkungan hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan teknis seperti:
a. Luas SPA paling sedikit 600 m2.
b. Produksi timbulan sampah 20 – 30 ton/hari.
c. Lokasi penempatan di titik pusat area lingkungan hunian.
d. Fasilitas SPA skala kota dilengkapi dengan ramp dan sarana pemadatan dan
penampungan lindi.
e. Pengolahan lindi dapat dilakukan di SPA atau TPA.

Syarat ketentuan TPST


Persyaratan TPST sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf d harus
memenuhi persyaratan teknis seperti:
a. Luas TPST, lebih besar dari 20.000 m2.
b. Penempatan lokasi TPST dapat di dalam kota dan atau di TPA.
c. Jarak TPST ke permukiman terdekat paling sedikit 500 m.
d. Pengolahan sampah di TPST dapat menggunakan teknologi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 31 ayat (3).
e. Fasilitas TPST dilengkapi dengan ruang pemilah, instalasi pengolahan
sampah, pengendalian pencemaran lingkungan, penanganan residu, dan

77
fasilitas penunjang serta zona penyangga.

E. PEMROSESAN AKHIR SAMPAH


Pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e dilakukan
dengan menggunakan:
a. Metode lahan urug terkendali.
b. Metode lahan urug saniter.
c. Teknologi ramah lingkungan.
Pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di TPA,
meliputi kegiatan:
a. Penimbunan/pemadatan.
b. Penutupan tanah.
c. Pengolahan lindi.
d. Penanganan gas.

5.3. PERSYARATAN TEKNIS PENGUMPULAN SAMPAH,


PENYEDIAAN TPS/TPS 3R DAN TPA

A. PERSYARATAN TEKNIS PEMILAHAN SAMPAH


Pemilahan sampah dilakukan berdasarkan paling sedikit 5 jenis sampah, yaitu:
a. Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah
bahan berbahaya dan beracun, seperti kemasan obat serangga, kemasan oli,
kemasan obat-obatan, obat-obatan kadaluarsa, peralatan listrik dan
peralatan elektronik rumah tangga.
b. Sampah yang mudah terurai, antara lain sampah yang berasal dari
tumbuhan, hewan, dan/atau bagiannya yang dapat terurai oleh makhluk
hidup lainnya dan/atau mikroorganisme, seperti sampah makanan dan
serasah.
c. Sampah yang dapat digunakan kembali, adalah sampah yang dapat
dimanfaatkan kembali tanpa melalui proses pengolahan, seperti kertas
kardus, botol minuman, kaleng.

78
d. Sampah yang dapat didaur ulang, adalah sampah yang dapat dimanfaatkan
kembali setelah melalui proses pengolahan, seperti sisa kain, plastik, kertas,
kaca.
e. Sampah lainnya, yaitu residu.
Sampah yang telah terpilah harus ditampung dalam sarana pewadahan berdasarkan
jenis sampah.

B. PERSYARATAN TEKNIS PEWADAHAN SAMPAH


Wadah sampah adalah tempat untuk menyimpan sampah sementara di sumber
sampah. Sedangkan pewadahan sampah adalah kegiatan menampung sampah
sementara sebelum sampah dikumpulkan, dipindahkan, diangkut, diolah, dan
dilakukan pemrosesan akhir sampah di TPA.
Kriteria Sarana Pewadahan
Pemilihan sarana pewadahan sampah mempertimbangkan:
a. Volume sampah.
b. Jenis sampah.
c. Penempatan.
d. Jadwal pengumpulan.
e. Jenis sarana pengumpulan dan pengangkutan.

Kriteria sarana pewadahan sampah dengan pola pewadahan individual


adalah:
a. Kedap air dan udara.
b. Mudah dibersihkan.
c. Harga terjangkau.
d. Ringan dan mudah diangkat.
e. Bentuk dan warna estetis.
f. Memiliki tutup supaya higienis.
g. Mudah diperoleh.

79
h. Volume pewadahan untuk sampah yang dapat digunakan ulang, untuk
sampah yang dapat didaur ulang, dan untuk sampah lainnya minimal 3 hari
serta 1 hari untuk sampah yang mudah terurai.

Persyaratan Sarana Pewadahan


Persyaratan sarana pewadahan sebagai berikut:
a. Jumlah sarana harus sesuai dengan jenis pengelompokan sampah.
b. Diberi label atau tanda.
c. Dibedakan berdasarkan warna, bahan, dan bentuk.
Label dan Warna Wadah
Label atau tanda dan warna wadah sampah dapat digunakan seperti pada tabel
berikut ini:

80
Karakteristik wadah sampah yaitu bentuk, sifat, bahan, volume, dan pengadaan
wadah sampah untuk masing-masing pola pewadahan sampah dapat dilihat pada
tabel berikut ini:

Kriteria jenis wadah, kapasitas, kemampuan pelayanan, dan umur wadah menurut
SNI 19-2454-2002 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Gambar contoh bahan dan bentuk wadah sampah dapat dilihat pada gambar berikut
ini:

81
Persyaratan Wadah Sampah Terpilah
Pemilahan sampah di sumbernya merupakan cara yang paling efektif guna
mereduksi volume dan memanfaatkan kembali sampah. Dalam hal ini sampah yang
masih memiliki nilai ekonomis dipilah berdasarkan jenisnya dari sampah organik
yang mudah membusuk. Sampah yang telah dipilah selanjutnya dapat digunakan
kembali secara langsung (reuse), diolah lebih lanjut, atau dijual kepada pihak
pemanfaat. Dalam hal pemilahan sampah telah dilakukan oleh masyarakat, maka
wadah komunal sebaiknya dibedakan berdasarkan jenis sampah yang dipilah.
Cara pengangkutan/pengambilan wadah dapat dilakukan secara manual dan
mekanis. Ukuran dan bentuk wadah harus disesuaikan dengan kondisi alat
pengangkutan/ pengambilnya. Jika pengangkutan secara manual maka ukuran dan
bentuk wadah harus disesuaikan dengan kemampuan orang yang akan
mengangkatnya. Sedangkan jika pengangkutan dilakukan secara mekanis maka
ukuran dan bentuk wadah harus disesuaikan dengan spesifikasi teknis kendaraan
pengangkutnya.
Ukuran volume pewadahan ditentukan berdasarkan:
a. Jumlah penghuni tiap rumah.
b. Tingkat kehidupan masyarakat.
c. Frekuensi pengambilan/pengumpulan sampah.
d. Cara pengambilan sampah (manual atau mekanik).
e. Sistem pelayanan (individual atau komunal).
f. Sumber sampah besar (hotel, restoran) boleh di belakang dengan alasan
estetika dan kesehatan, dengan syarat menjamin kemudahan diambil.
Perencanaan Pewadahan Pola Individual
Perencanaan wadah individual sangat tergantung pada:
a. Jumlah penghuni tiap rumah.
b. Jumlah sampah yang dihasilkan L/orang/hari.
c. Frekuensi pengumpulan sampah.
Perencanaan Pewadahan Pola Komunal
Sedangkan penentuan jumlah wadah sampah yang diperlukan terutama untuk
wadah sampah komunal adalah sebagi berikut:

82
Perencanaan Penempatan Pewadahan Sampah
Lokasi wadah harus diusahakan di tempat yang mudah dijangkau oleh kendaraan
pengangkutnya seperti di depan dan belakang pekarangan rumah, tepi trotoar jalan,
dan sebagainya.
SNI No 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah
Perkotaan menyebutkan bahwa penempatan wadah kontainer sampah sebaiknya:
a. Kontainer individual:
a. Di halaman muka (tidak di luar pagar).
b. Di halaman belakang (untuk sumber sampah dari hotel dan restoran).
b. Kontainer komunal:
a. Tidak mengambil lahan trotoar (kecuali kontainer pejalan kaki).
b. Tidak di pinggir jalan protocol.
c. Sedekat mungkin dengan sumber sampah.
d. Tidak mengganggu pemakai jalan atau sarana umum lainnya.
e. Di tepi jalan besar, pada lokasi yang mudah untuk pengoperasiannya.

83
C. PERSYARATAN TEKNIS PENGUMPULAN
Metoda Pengumpulan
Kegiatan Pengumpulan sampah dilakukan oleh pengelola kawasan permukiman,
kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas
sosial dan fasilitas lainnya serta pemerintah kabupaten/kota. Pada saat
pengumpulan, sampah yang sudah terpilah tidak diperkenankan dicampur kembali.

Pola Pengumpulan
Terdapat 5 pola pengumpulan sampah, yaitu:
a. Pola invidual tidak langsung dari rumah ke rumah.
b. Pola individual langsung dengan truk untuk jalan dan fasilitas umum.
c. Pola komunal langsung untuk pasar dan daerah komersial.
d. Pola komunal tidak langsung untuk permukiman padat.
e. Pola penyapuan Jalan.

84
1. Pola individual langsung dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Kondisi topografi bergelombang, yaitu kemiringan lebih dari 15% sampai
dengan 40%, hanya alat pengumpul mesin yang dapat beroperasi.
b. Kondisi jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu pemakai jalan
lainnya.
c. Kondisi dan jumlah alat memadai.
d. Jumlah timbunan sampah > 0,3 m3/hari.
e. Bagi penghuni yang berlokasi di jalan protokol.

2. Pola individual tidak langsung dengan persyaratan sebagai berikut:


a. Bagi daerah yang partisipasi masyarakatnya pasif.
b. Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia.
c. Bagi kondisi topografi relatif datar, yaitu kemiringan rata-rata kurang dari
5%, dapat menggunakan alat pengumpul non mesin, contoh gerobak atau
becak.
d. Alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung.
e. Kondisi lebar gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu
pemakai jalan lainnya.
f. Harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah.

3. Pola komunal langsung dengan persyaratan sebagai berikut:


a. Bila alat angkut terbatas.
b. Bila kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif rendah.
c. Alat pengumpul sulit menjangkau sumber sampah individual (kondisi
daerah berbukit, gang jalan sempit).
d. Peran serta masyarakat tinggi.
e. Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi yang
mudah dijangkau oleh alat pengangkut (truk).
f. Untuk permukiman tidak teratur.

85
4. Pola komunal tidak langsung dengan persyaratan berikut:
a. Peran serta masyarakat tinggi.
b. Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi yang
mudah dijangkau alat pengumpul.
c. Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia.
d. Bagi kondisi topografi relatif datar, kemiringan rata-rata kurang dari 5%,
dapat mengunakan alat pengumpul non mesin, contoh gerobak atau becak.
Sedangkan bagi kondisi topografi dengan kemiringan lebih besar dari 5%
dapat menggunakan cara lain seperti pikulan, kontainer kecil beroda dan
karung.
e. Leher jalan/gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai
jalan lainnya.
f. Harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah.

5. Pola penyapuan jalan dengan persyaratan sebagai berikut:


a. Juru sapu harus rnengetahui cara penyapuan untuk setiap daerah pelayanan
(diperkeras, tanah, lapangan rumput, dan lain-lain).
b. Penanganan penyapuan jalan untuk setiap daerah berbeda tergantung pada
fungsi dan nilai daerah yang dilayani.
c. Pengumpulan sampah hasil penyapuan jalan diangkut ke lokasi pemindahan
untuk kemudian diangkut ke TPA.
d. Pengendalian personel dan peralatan harus baik.

Prasarana dan Sarana Pengumpulan


Jenis dan volume sarana pengumpulan sampah harus:
a. Disesuaikan dengan kondisi setempat.
b. Dilakukan sesuai dengan jadwal pengumpulan yang ditetapkan.
c. Memenuhi ketentuan dan pedoman yang berlaku dengan memperhatikan
sistem pelayanan persampahan yang telah tersedia.
Menghitung Jumlah Alat Pengumpul (gerobak/becak sampah/motor sampah/mobil
bak) kapasitas 1 m3 di perumahan:

86
Perencanaan Operasional Pengumpulan
Perencanaan operasional pengumpulan sebagai berikut:
1. Ritasi antara 1 sampai dengan 4 kali per hari.
2. Periodisasi 1 hari, 2 hari atau maksimal 3 hari sekali, tergantung dan kondisi
komposisi sampah,yaitu:
a. Semakin besar persentasi sampah yang mudah terurai, periodisasi
pengumpulan sampah menjadi setiap hari.
b. Untuk sampah guna ulang dan sampah daur ulang, periode
pengumpulannya disesuaikan dengan jadwal yang telah ditentukan,
dapat dilakukan 3 hari sekali atau lebih.

87
c. Untuk sampah yang mengandung bahan B3 dan limbah B3 serta
sampah lainnya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
3. Mempunyai daerah pelayanan tertentu dan tetap.
4. Mempunyai petugas pelaksanaan yang tetap dan dipindahkan secara
periodik.
5. Pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah sampah
terangkut, jarak tempuh, dan kondisi daerah.

D. PERSYARATAN TEKNIS PEMINDAHAN DAN PENGANGKUTAN


Pemindahan dan pengangkutan sampah dimaksudkan sebagai kegiatan operasi
yang dimulai dari titik pengumpulan terakhir dari suatu siklus pengumpulan sampai
ke TPA atau TPST pada pengumpulan dengan pola individual langsung atau dari
tempat pemindahan/penampungan sementara (TPS, TPS 3R, SPA) atau tempat
penampungan komunal sampai ke tempat pengolahan/pembuangan akhir
(TPA/TPST).

Metoda Pemindahan dan Pengangkutan


Pada saat pemindahan dan pengangkutan sampah yang sudah terpilah tidak
diperkenankan dicampur kembali.
Kegiatan pengangkutan sampah harus mempertimbangkan:
a. Pola pengangkutan.
b. Jenis peralatan atau sarana pengangkutan.
c. Rute pengangkutan.
d. Operasional pengangkutan.
e. Aspek pembiayaan.

Pola Pengangkutan
Pola pengangkutan sampah dapat dilakukan berdasarkan system pengumpulan
sampah. Jika pengumpulan dan pengangkutan sampah menggunakan sistem
pemindahan (TPS/TPS 3R) atau sistem tidak langsung, proses pengangkutannya
dapat menggunakan sistem container angkat (Hauled Container System = HCS)

88
ataupun sistem kontainer tetap (Stationary Container System = SCS). Sistem
kontainer tetap dapat dilakukan secara mekanis maupun manual. Sistem mekanis
menggunakan compactor truck dan kontainer yang kompetibel dengan jenis
truknya. Sedangkan sistem manual menggunakan tenaga kerja dan kontainer dapat
berupa bak sampah atau jenis penampungan lainnya.

1. Sistem Kontainer Angkat (Hauled Container System = HCS)


Untuk pengumpulan sampah dengan sistem kontainer angkat, pola
pengangkutan yang digunakan dengan sistem pengosongan container dapat dilihat
pada gambar berikut ini:

89
2. Sistem Pengakutan dengan Kontainer Tetap (Stationary Container
System=SCS)Sistem ini biasanya digunakan untuk kontainer kecil serta alat
angkut berupa truk kompaktor secara mekanis atau manual seperti pada gambar
berikut ini:

E. PERSYARATAN TEKNIS PENYEDIAAN TPS 3R


TPS 3R adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan,
penggunaan ulang, pendauran ulang, dan pengolahan skala kawasan.
Persyaratan TPS 3R:
a. Luas TPS 3R, lebih besar dari 200 m2.
b. Jenis pembangunan penampung residu/sisa pengolahan sampah di TPS 3R
bukan merupakan wadah permanen.
c. Penempatan lokasi TPS 3R sedekat mungkin dengan daerah pelayanan
dalam radius tidak lebih dari 1 km.
d. TPS 3R dilengkapi dengan ruang pemilah, pengomposan sampah organik,
gudang, zona penyangga (buffer zone) dan tidak mengganggu estetika serta
lalu lintas.
e. Keterlibatan aktif masyarakat dalam mengurangi dan memilah sampah.

Lokasi
a. Luas TPS 3R bervariasi. Untuk kawasan perumahan baru (cakupan
pelayanan 2000 rumah) diperlukan TPS 3R dengan luas 1000 m2.

90
Sedangkan untuk cakupan pelayanan skala RW (200 rumah), diperlukan
TPS 3R dengan luas 200-500 m2.
b. TPS 3R dengan luas 1000 m2 dapat menampung sampah dengan atau tanpa
proses pemilahan sampah di sumber.
c. TPS 3R dengan luas <500 m2 hanya dapat menampung sampah dalam
keadaan terpilah (50%) dan sampah campur 50%.
d. TPS 3R dengan luas <200 m2 sebaiknya hanya menampung sampah
tercampur 20%, sedangkan sampah yang sudah terpilah 80%.

Fasilitas TPS 3R
Fasilitas TPS 3R meliputi wadah komunal, areal pemilahan, areal composting
(kompos dan kompos cair), dan dilengkapi dengan fasilitas penunjang lain seperti
saluran drainase, air bersih, listrik, barier (pagar tanaman hidup) dan gudang
penyimpan bahan daur ulang maupun produk kompos serta biodigester (opsional).
Ketentuan Perletakan TPS 3R
a. Bangunan TPS 3R seluas 500m2 terdiri dari:
b. Areal Pengomposan/unit penghasil gas bio: 50%
c. Areal Pemilahan: 10%
d. Areal Penyaringan/Pengemasan: 15%
e. Gudang: 10%
f. Tempat barang lapak: 5%
g. Areal Penumpukan Residu: 5%
h. Kantor: 5%

F. PERSYARATAN TEKNIS PENYEDIAAN TPA


Penyediaan TPA
Di lokasi pemrosesan akhir tidak hanya ada proses penimbunan sampah tetapi juga
wajib terdapat 4 (empat) aktivitas utama penanganan sampah yaitu (Litbang PU,
2009):
a. Pemilahan sampah
b. Daur ulang sampah non hayati (non organik)

91
c. Pengomposan sampah hayati (organik)
d. Pengurugan/penimbunan sampah residu dari proses di atas di lokasi
pengurugan atau penimbunan (lahan urug).
TPA wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metode pemrosesan akhirnya
dilakukan secara lahan urug saniter (kota besar/metropolitan) dan lahan urug
terkendali (kota sedang/kecil).

Pemilihan Lokasi TPA


a. Tata Ruang Kota atau wilayah
b. Kondisi geologi: kondisi geologi formasi batu pasir, batu gamping atau
dolomite berongga tidak sesuai untuk lahan urug. Juga daerah potensi
gempa, zona vulkanik. Kondisi yang layak: sedimen berbutir sangat halus,
misal: batu liat, batuan beku, batuan malihan yang kedap (k<10-6 cm/det).
c. Kondisi geohidrologi: sistem aliran air tanah dischare lebih baik dari
recharge. Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup yang
berlaku, jarak landfill dengan lapisan akuifer paling dekat 4 m dan dengan
badan air paling dekat 100 m. apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut,
diperlukan masukan teknologi.
d. Jarak dari lapangan terbang 1.500 m (pesawat baling-baling) – 3.000 meter
(pesawat jet).
e. Kondisi curah hujan kecil, terutama daerah kering dengan kecepatan angin
rendah dan berarah dominan tidak menuju permukiman.
f. Topografi: Tidak boleh pada bukit dengan lereng tidak stabil, daerah berair,
lembah yang rendah dan dekat dengan air permukaan dan lahan dengan
kemiringan alami > 20%.
g. Tidak berada pada daerah banjir 25 tahunan.
h. Tidak merupakan daerah produktif.
i. Tidak berada pada kawasan lindung/cagar alam.
j. Kemudahan operasi.
k. Aspek lingkungan lainnya.
l. Penerimaan masyarakat.

92
Rencana Tapak
Untuk lahan urug saniter dan lahan urug terkendali, harus diperhatikan beberapa
hal:
a. Pemanfaatan lahan dibuat seoptimal mungkin sehingga tidak ada sisa lahan
yang tidak dimanfaatkan.
b. Lokasi TPA harus terlindung dari jalan umum yang melintas TPA.
c. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan pagar hidup disekeliling
TPA, sekaligus dapat berfungsi sebagai zona penyangga.
d. Penempatan kolam pengolahan lindi dibuat sedemikian rupa sehingga lindi
sedapat mungkin mengalir secara gravitasi.
e. Penempatan jalan operasi harus disesuaikan dengan sel/blok penimbunan,
sehingga semua tumpukan sampah dapat dijangkau dengan mudah oleh truk
dan alat besar.

Sarana dan Prasarana TPA


Sarana dan prasarana TPA yang dapat mendukung prinsip tersebut diatas adalah
sebagai berikut:
a. Fasilitas umum (jalan masuk, kantor/pos jaga, saluran drainase dan pagar).
b. Fasilitas perlindungan lingkungan (lapisan kedap air, pengumpul lindi,
pengolahan lindi, ventilasi gas, daerah penyangga, tanah penutup).
c. Fasilitas penunjang (jembatan timbang, fasilitas air bersih, listrik, bengkel
dan hanggar).
d. Fasilitas operasional (alat besar dan truk pengangkut tanah).

Prasarana dan Sarana TPA


a. Jalan masuk
 Dapat dilalui kendaraan truk sampah dari 2 arah.
 Lebar jalan 8 m, kemiringan permukaan jalan 2 – 3% kearah saluran
drainase, tipe jalan kelas 3 dan mampu menahan beban perlintasan
dengan tekanan gandar 10 ton dan kecepatan kendaraan 30 km/jam
(sesuai dengan ketentuan Ditjen Bina Marga).

93
b. Jalan operasi
 Jalan operasi penimbunan sampah, jenis jalan bersifat temporer, setiap
saat dapat ditimbun dengan sampah.
 Jalan operasi yang mengelilingi TPA, jenis jalan bersifat permanen
dapat berupa jalan beton, aspal atau perkerasan jalan sesuai beban dan
kondisi jalan.

94
 Jalan penghubung antar fasilitas, yaitu kantor/pos jaga bengkel, tempat
parkir, tempat cuci kendaraan. Jenis jalan bersifat permanen.

95
c. Drainase
Drainase TPA berfungsi untuk mengurangi volume air hujan yang jatuh
pada area timbunan sampah.
Ketentuan teknis drainase TPA ini adalah sebagai berikut:
 Jenis drainase dapat berupa drainase permanen (jalan utama,
disekeliling timbunan terakhir, daerah kantor, gudang, bengkel, tempat
cuci) dan drainase sementara (dibuat secara lokal pada zone yang akan
dioperasikan).
 Kapasitas saluran dihitung dengan persamaan manning.

 Pengukuran besarnya debit dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

96
d. Pagar
 Untuk menjaga keamanan TPA dapat berupa pagar tanaman sehingga
sekaligus dapat juga berfungsi sebagai daerah penyangga minimal
setebal 5 m.
 TPA diberi pagar keliling dengan tanaman dan kawat berduri (untuk
factor keamanan) dan tiang betori sebagai pengikat. Pagar dibuat
setinggi minimal 1,5 m (Lihat Gambar 23).

97
e. Pemeliharaan Vegetasi
 Penyiraman terutama saat musim kemarau: untuk pohon 10 L/pohon,
semak 5 L/pohon, rumput / tanaman perdu 5 L/m2.
 Pemangkasan setiap 3 bulan sekali untuk dahan yang kering/mati,
murni dipangkas dengan ketinggian / tebal rumput + 5cm dari
permukaan tanah.
 Pemupukan 3 bulan sekali dengan pupuk non organik kemudian
disiramkan di sekeliling perakaran tanamal sedangkan untuk pupuk
daun disemprotkan pada daun.

f. Papan Nama
 Papan nama berisi nama TPA, pengelola, jenis sampah dan waktu kerja
yang dipasang di depan pintu masuk TPA.

g. Fasilitas Perlindungan Lingkungan TPA


 Pengumpulan dan Pengolahan Lindi
1. Penyaluran Lindi
Saluran pengumpul lindi terdiri dari saluran pengumpul sekunder dan
primer.
Kriteria saluran pengumpul sekunder adalah sebagai berikut:

98
1) Dipasang memanjang ditengah blok/zona penimbun.
2) Saluran pengumpul tersebut menerima aliran dari dasar lahan
dengan kemiringan minimal 2%.
3) Saluran pengumpul terdiri dari rangkaian pipa PVC.
4) Dasar saluran dapat dilapisi dengan liner (lapisan kedap air).

Kriteria saluran pengumpul primer:


Menggunakan pipa PVC/HDPE dengan diameter minimal 3`00 mm,
berlubang (untuk pipa ke bak pengumpul lindi tidak berlubang saluran
primer dapat dihubungkan dengan hilir saluran sekunder oleh bak kontrol,
yang berfungsi pula sebagai ventilasi yang dikombinasikan dengan
pengumpul gas vertikal).

Syarat pengaliran lindi adalah:


Pengaliran lindi dilakukan seoptimal mungkin dengan metode gravitasi,
dengan kecepatan pengaliran 0,6 – 3 m/det. Kedalaman air dalam saluran /
pipa (d/D) maksimal 80 %, dimana d = tinggi air dan D= diameter pipa.
Perhitungan disain debit lindi adalah menggunakan model atau dengan
perhitungan yang didasarkan atas asumsi. Hujan terpusat pada 4 jam
sebanyak 90% (Van Breen), sehingga faktor puncak = 5,4. Maksimum hujan
yang jatuh 20 – 30% diantaranya menjadi lindi. Dalam 1 bulan, maksimum
terjadi 20 hari hujan. Data presipitasi diambil berdasarkan data harian atau
tahunan maksimum dalam 5 tahun terakhir.

99
2. Pengolahan Lindi

100
101
Pengolahan lindi yang paling sesuai dengan kondisi di Indonesia adalah
menggunakan sistem kolam stabilisasi (kombinasi proses anaerobik -
aerobik), namun hal ini hanya mampu mengolah beban organik lindi <
40%.

 Penutupan Tanah
Tanah penutup dibutuhkan untuk mencegah sampah berserakan, bahaya
kebakaran, timbulnya bau, berkembang biaknya lalat atau binatang
pengerat dan mengurangi timbulan lindi.
a. Jenis tanah penutup adalah tanah yang tidak kedap.
b. Periode penutupan tanah harus disesuaikan dengan metode
pembuangannya, untuk lahan urug saniter penutupan tanah
dilakukan setiap hari, sedangkan untuk lahan urug terkendali
penutupan tanah dilakukan secara berkala.
c. Tahapan penutupan tanah untuk lahan urug saniter terdiri dari
penutupan tanah harian (setebal 10 – 15 cm), penutupan antara
(setebal 30 – 40 cm) dan penutupan tanah akhir (setebal 50 – 100
cm, tergantung rencana peruntukan bekas TPA nantinya).

102
d. Kemiringan tanah penutup harian harus cukup untuk dapat
mengalirkan air hujan keluar dari atas lapisan penutup tersebut.
e. Kemiringan tanah penutup akhir hendaknya mempunyai grading
dengan kemiringan tidak lebih dari 30 derajat (perbandingan 1 : 3)
untuk menghidari terjadinya erosi:

103
Desain Perencanaan TPA

Dalam hal penempatan TPA pada lahan gambut tidak dapat dihindari maka TPA
direkayasa secara teknologi sehingga berada di atas lapisan kedap air dengan
menggunakan lapisan kedap alamiah dan/atau lapisan kedap artifisial seperti

104
geosintetis dan/atau bahan lain yang memenuhi persyaratan hidrogeologi serta
pondasi dan lantai kerja TPA harus diperkuat dengan konstruksi perbaikan tanah
bawah. Contoh desain konstruksi yang dimaksud dapat dilihat pada gambar diatas

105
106
107
6. PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN
RAKYAT NOMOR: 34 /PERMEN/M/2006
TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN
KETERPADUAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU)
KAWASAN PERUMAHAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN
RAKYAT

6.1.ISTILAH DAN DEFINISI


Pada peraturan menteri ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan:
1. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan.
2. Kawasan, adalah kawasan budidaya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang
dengan fungsi utama untuk permukima.
3. Kawasan Perumahan adalah wilayah dengan fungsi utama sebagai
permukiman yang meliputi bangunan, halaman, dan jalan ke luar masuk yang
diperlukan untuk tempat tinggal.
4. Prasarana kawasan adalah kelengkapan dasar fisik kawasan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
5. Sarana kawasan adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya.
6. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan kawasan, yang
membutuhkan pengelolaan berkelanjutan dan professional agar dapat
memberikan pelayanan memadai kepada masyarakat.
7. Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam propinsi dan/ atau
Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan kegiatan dengan fungsi khusus
seperti industri, perbatasan, nelayan, pertambangan, pertanian, pariwisata,
pelabuhan, cagar budaya, dan rawan bencana.

108
8. Kawasan Siap Bangun (KASIBA) adalah sebidang tanah yang fisiknya telah
dipersiapkan untuk pembangunan perumahan skala besar, yang terbagi dalam
satu lingkungan siap bangun atau lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara
bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan utama (lokal
sekunder) dan jalan lingkungan prasarana dalam lingkungan sesuai dengan
rencana tata ruang.
9. Lingkungan Siap Bangun (LISIBA) adalah sebidang tanah yang merupakan
bagian dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah
dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana kawasan.
10. Keterpaduan adalah menyatupadukan dan mensinerjikan fungsi fungsi dan
sumber daya yang ada dalam sistem sehingga dapat dicapai hasil yang optimal
dalam upaya pencapaian sasaran dan tujuan yang lebih efisien.
11. Keterpaduan prasarana sarana dan utilitas adalah upaya untuk
menyatupadukan dan mensinerjikan perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan,
dan pengendalian prasarana, sarana dan utilitas pada kawasan perumahan dan
antar kawasan agar dapat berfungsi optimal dan efisien.
12. Penyelenggaraan keterpaduan PSU adalah tata cara untuk melakukan
koordinasi dan keterpaduan dalam rangka pengembangan kawasan perumahan.
Penyelenggaraan ini dimulai dari keterpaduan PSU dalam pra perencanaan,
keterpaduan PSU dalam perencanaan, keterpaduan PSU dalam pelaksanaan,
keterpaduan PSU dalam pengelolaan, dan keterpaduan PSU dalam
pengendalian.
13. Ruang Terbuka Hijau adalah sebidang tanah yang hanya diperuntukan
sebagai ruang terbatas untuk fisik bangunan, menunjang bangunan lainnya, juga
dapat berfungsi sebagai penyeimbang sirkulasi udara, penetrasi udara, dan
pembatas antar kawasan fungsional atau wilayah administrasi tertentu.
14. Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk menekan timbulnya dampak
bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan
fisik, maupun non fisik-struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan.

109
15. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang
akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai tujuan
penyelenggaraan keterpaduan PSU.
16. Studi Kelayakan adalah studi yang melakukan penilaian atau evaluasi dari
aspek teknis, keuangan dan ekonomi, serta sosial dan budaya.
17. Pelaksanaan adalah kegiatan pelaksanaan pembangunan PSU yang
dilaksanakan dalam bentuk pengadaan dan kegiatan konstruksi dalam rangka
pengadaan keterpaduan PSU kawasan.
18. Operasi adalah pemanfaatan atau mendayagunakan prasarana, dan sarana yang
dibangun untuk menghasilkan pelayanan yang berupa jasa atau barang.
19. Pemeliharaan adalah usaha mempertahankan prasarana, dan sarana yang
dibangun agar dapat tetap berfungsi pada tingkatan pelayanan sesuai tujuan
rencana pembangunan prasarana dan sarana tersebut.
20. Pengendalian adalah pengawasan dan tindak turun tangan yang dilakukan
untuk seluruh tahapan pelaksanaan pembangunan PSU.

6.2. POLA PENANGANAN KETERPADUAN PRASARANA, SARANA,


DAN UTILITAS KAWASAN
Pola penanganan Keterpaduan PSU merupakan acuan didalam penyelenggaraan
Keterpaduan PSU yang termuat dalam Pasal 2 (1), Pasal 18 (1), Pasal 30 (1) dari
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.

1. Umum
Penanganan keterpaduan PSU kawasan melalui:
A. Pembangunan kawasan perumahan dan permukiman skala besar yang
terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang
dapat dilaksanakan secara bertahap.
B. Pembangunan kawasan khusus, yaitu pada bagian wilayah dalam
propinsi dan/ atau Kabupaten/ Kota untuk menyelenggarakan kegiatan
dengan fungsi khusus seperti industri, perbatasan, nelayan,

110
pertambangan, pertanian, pariwisata, pelabuhan, cagar budaya, dan
rawan bencana.
C. Peningkatan kualitas permukiman berupa kegiatan pemugaran,
perbaikan dan peremajaan dan mitigasi bencana.

2. Penanganan Keterpaduan PSU Kawasan Secara Preventif


Penanganan Keterpaduan PSU kawasan secara preventif diselenggarakan,
dengan ketentuan sebagai berikut:
A. Penanganan PSU di kawasan perumahan yang baru.
B. Upaya keterpaduan preventif dilaksanakan seluruh pemangku
kepentingan yang akan membuka kawasan perumahan baru, baik
berskala besar (Kasiba, Lisiba dan Lisiba BS) maupun kawasan khusus,
dengan fasilitasi pemerintah kabupaten/kota untuk menghindari
permasalahan ketidakterpaduan PSU pada saat penghunian dan
perkembangannya di masa yang akan datang.
C. Keterpaduan secara preventif ini dilakukan secara berkelanjutan mulai
sejak saat penentuan lokasi, perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan,
pengelolaan, dan pengendalian.
D. Penanganan keterpaduan PSU kawasan ini juga dilaksanakan dengan
memperhatikan kawasan disekitarnya.
E. Penanganan keterpaduan PSU kawasan mengacu pada RTRWK, RP4D,
Rencana Rinci Tata Ruang, Rencana Induk Sistem (masterplan)
Keterpaduan kawasan dan kebijakan strategi pemerintah, serta
koordinasi antar instansi terkait.

3. Penanganan Keterpaduan PSU Kawasan Secara Kuratif


Penanganan Keterpaduan PSU kawasan secara kuratif pada kawasan yang
telah terbangun, dengan ketentuan antara lain:
A. Keterpaduan PSU secara kuratif ini adalah upaya peningkatan kawasan
perumahan dan permukiman yang meliputi pemugaran, perbaikan dan
peremajaan serta mitigasi bencana.

111
B. Kriteria penanganan kuratif adalah penanganan permasalahan di
kawasan perumahan yang sudah terbangun.
C. Keterpaduan PSU secara kuratif dilaksanakan oleh:
1) Pemerintah Kabupaten/Kota, yang mengkoordinasikan keterpaduan
pembangunan PSU.
2) Pihak lain yang terlibat dalam keterpaduan PSU untuk bersama
memecahkan permasalahan adalah instansi Pemerintah Kabupaten/
Kota, pihak swasta (pengembang), pihak masyarakat, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Pusat.
3) Jika permasalahan ketidakterpaduan PSU, tidak mampu diselesaikan
ditingkat pemerintah kabupaten/ kota, maka dapat diselesaikan
ditingkat propinsi atau tingkat pusat.
4) Bantuan pemecahan permasalahan PSU yang terjadi di kawasan
perumahan, oleh pemerintah propinsi maupun pemerintah pusat
dapat berupa fasilitasi ataupun pemberian bantuan stimulan PSU.
Pada penanganan keterpaduan PSU secara kuratif, dengan langkah-
langkah kegiatan sebagai berikut:
1) Dalam rangka penanganan kuratif, yang paling penting adalah
identifikasi permasalahan.
2) Identifikasi permasalahan atau peta masalah, dilakukan melalui
diskusi keterpaduan PSU dengan pemangku kepentingan di
pemerintah kabupaten/ kota. Diskusi bisa difasilitasi oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi.
3) Dari peta masalah, selanjutnya disusun rencana tindak (action plan),
berisi: permasalahan, peta pelaku dan pembagian tanggung jawab,
skenario penataan kawasan dan jadwal kegiatan, skema pembiayaan,
perencanaan teknis, penganggaran, dan peningkatan kapasitas
kelembagaan, rencana pelaksanaan dan pengelolaan yang diproses
dan disepakati oleh pelaku.

112
4) Dari identifikasi permasalahan, dapat dikeluarkan konsep
penyelesaiannya, konsep ini dilaksanakan mengikuti seperti pada
penanganan secara preventif, tergantung dari kondisi permasalahan.

6.3. TAHAPAN PENYELENGGARAAN KETERPADUAN PRASARANA,


SARANA, DAN UTILITAS KAWASAN
Penyelenggaraan ini dimulai dari keterpaduan PSU dalam pra perencanaan,
perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, dan pengendalian.
1. Tahapan Pra Perencanaan
Tahapan pra perencanaan adalah kegiatan yang harus dilaksanakan guna
mengantisipasi kondisi di lapangan saat ini dan yang akan datang dengan
memperhatikan tahapan sebagai berikut:
A. Pembangunan perumahan dan permukiman mengacu pada ketentuan
rencana tata ruang wilayah yang ada.
B. Lokasi kawasan perumahan harus mengacu pada Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota yaitu berada pada kawasan permukiman dan termasuk dalam
Rencana Pengembangan dan Pembangunan Perumahan Permukiman
Daerah (RP4D). Paling tidak kawasan ini dicadangkan untuk areal
pengembangan kabupaten/ kota (untuk kawasan baru).
C. Dibuatkan Rencana Tata Ruang Rinci kawasan, yang mengatur dan
penataan blok pemanfaatan ruang dengan skala 1:1.000 sampai dengan
skala 1: 5.000.
D. Penyiapan lahan, untuk perencanaan PSU dan keperluan lainnya termasuk
dalam tahapan ini adalah mengupayakan penataan ulang lahan terbangun,
sehingga cukup dikembangkannya sistem PSU yang diperlukan.
E. Menyusun rencana induk sistem keterpaduan PSU, berdasarkan rencana
induk sektoral yang ada.
F. Apabila diperlukan, menyusun studi kelayakan untuk mendukung rencana
induk sistem yang ada.
G. Pada tahapan pra perencanaan ini harus dilakukan koordinasi antar
pemangku kepentingan terkait untuk mengintegrasikan/keterpaduan

113
penyelenggaraan keterpaduan PSU kawasan perumahan. Hasil dari
koordinasi ini adalah rencana tindak (action plan), pembagian tanggung
jawab, pendanaan (pembiayaan), rencana kerja dan peningkatan
kelembagaan.
H. Pada tahapan ini produk pengaturan yang dipakai sebagai referensi adalah
undang-undang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang Rinci,
Permen/Kepmen, dan standar teknis yang berlaku.

2. Tahapan Perencanaan
Tahapan perencanaan adalah kegiatan yang harus dilaksanakan sebelum
pelaksanaan pekerjaan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
A. Berdasarkan rencana induk yang ada, segera disusun perencanaan teknis
Detail Engineering Design (DED) pembangunan kawasan, terdiri dari DED
pembangunan rumah (site plan), pembangunan PSU.
B. Penyusunan paket-paket pekerjaan, berdasarkan kriteria pendanaan, atau
berdasarkan kriteria prioritas pembangunan.
C. Dalam penyusunan Perencanaan Teknis atau Detail Engineering Design
(DED) perlu dilengkapi dokumen tender, yang terdiri dari syarat
administrasi, syarat teknis, spesifikasi teknis, spesifikasi khusus,
perhitungan volume masing-masing paket, perkiraan biaya (engineering
estimate), dan gambar detail teknis bangunan, dan lain-lain.
D. Pada tahap perencanaan ini diperlukan juga koordinasi keterpaduan PSU
antar pemangku kepentingan dan kesepakatan yang diketahui bersama.
Disamping itu diperlukan keterpaduan perencanaan di lapangan, artinya
pembangunan PSU di dalam kawasan harus terintegrasi/ terpadu dengan
PSU di luar kawasan.
E. Tahapan perencanaan ini dapat diikuti oleh mobilisasi investasi termasuk
memasarkan bagian pembangunan kawasan, sesuai dengan karakteristik
paket pembangunan perumahan dan komponen PSU yang diperlukan.
Pengembangan skema investasi, kompensasi pembiayaan kepada pemilik
lahan.

114
F. Pembangunan layanan publik diarahkan pada pembiayaan pemerintah
sesuai penetapan status komponen PSU, sedangkan investasi swasta
diarahkan sesuai dengan permintaan pasar, dengan memperhatikan keadilan
dan keberlanjutan.
G. Rujukan yang dipakai dalam tahapan ini mencakup kebijakan umum
pembangunan daerah, kebijakan pembangunan kawasan sebagai bagian dari
pembangunan Kabupaten/Kota, rencana induk sistem, dan standar teknis
yang berlaku.

3. Tahapan Pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan adalah tahapan yang menyangkut pelaksanaan fisik, dan
proses pengaturan serta pelibatan seluruh pemangku kepentingan yang terkait
dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
A. Koordinasi keterpaduan PSU sebelum pelaksanaan fisik dilapangan.
B. Pelaksanaan pekerjaan PSU, mengacu pada rencana induk sistem sektoral
serta agar berfungsi PSU kawasan secara terpadu sesuai dengan
karakteristik kawasan. Pembangunan PSU terpadu memperhatikan tata air,
termasuk ketersediaan air baku, pengendalian banjir, managemen
transportasi dalam skala kabupaten/ kota.
C. Koordinasi dengan pemangku kepentingan seawal mungkin jika ada
permasalahan dan dilakukan tindak turun tangan.
D. Menyusun jadwal yang mengakomodasikan kebutuhan pembangunan PSU
terpadu dilapangan, permintaan pembangunan perumahan, ketersediaan
dana investasi dari seluruh pemangku kepentingan.
E. Membuat laporan rencana dan kinerja pembangunan yang transparan untuk
seluruh pemangku kepentingan, untuk menunjang upaya pengembangan
pasar permintaan supply perumahan.
F. Setelah pelaksanaan fisik PSU selesai dibangun dan dimanfaatkan, harus
diserahterimakan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan
peraturan pemerintah yang berlaku.

115
4. Tahapan Pengelolaan
Tahapan Pengelolaan adalah tahapan pekerjaan yang dilakukan untuk
mengoperasikan prasarana dan sarana yang telah berfungsi agar berkelanjutan
dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
A. Hasil pembangunan PSU perlu dilakukan pemeliharaan rutin dan
pemeliharaan besar, agar didapatkan manfaat yang optimal.
B. Untuk melakukan pemeliharaan ini diperlukan koordinasi keterpaduan
pemeliharaan PSU, antar instansi terkait.
C. Perlu dibentuk badan atau lembaga pengelola PSU.
D. Lembaga pengelola, mengkoordinasikan/ mempadukan kegiatan
pengelolaan PSU kawasan, agar berfungsi sebagai mana yang diharapkan
dalam perencanaan.

5. Tahapan Pengendalian
Tahapan Pengendalian adalah kegiatan pengawasan dan tindak turun tangan
yang dilakukan sejak dari perencanaan sampai dengan pengelolaan dengan
ketentuan sebagai berikut:
A. Pengendalian pelaksanaan keterpaduan PSU kawasan perumahan dan
permukiman harus didasarkan kepada tertib administrasi dan tertib
pembangunan yang ditetapkan oleh instansi yang berwewenang.
B. Pengendalian pelaksanaan keterpaduan PSU kawasan perumahan dan
permukiman dilakukan oleh instansi yang berwewenang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
C. Pengendalian dimaksudkan untuk memperoleh hasil tepat biaya, mutu, dan
waktu.

6. Peran Pemangku Kepentingan


Peluang investasi penyelenggaraan PSU secara terpadu dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada swasta, untuk berinvestasi dalam pembangunan
keterpaduan PSU dengan ketentuan sebagai berikut:

116
A. Fasilitator penyelenggara kawasan perumahan skala besar maupun kawasan
khusus, adalah Pemerintah Kabupaten/ kota.
B. Peran aktif seluruh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan
pembangunan keterpaduan PSU diberikan seluas-luasnya sejak dari tahap
perencanaan sampai dengan tahap pengelolaan.
C. Peran pemangku kepentingan dapat dilaksanakan baik melalui
perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga koperasi ataupun usaha
swasta sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

7. Produk Pengaturan
Bagi penyelenggara keterpaduan PSU dan pemangku kepentingan, perlu
mengacu pada produk-produk pengaturan sebagai berikut:
A. Rencana Induk Kawasan
1) Rencana induk sistem terpadu atau Master plan PSU kawasan, adalah
rencana menyeluruh penanganan sistem prasarana sarana dan utilitas pada
suatu kawasan, dalam jangka waktu tertentu.
2) Rencana induk sistem kawasan biasanya disusun untuk kawasan yang
pertumbuhannya sangat cepat dan dalam satuan luas daerah yang cukup
besar. Sedangkan outline plan kawasan untuk kawasan yang
pertumbuhannya normal dan satuan luas daerah tidak terlampau luas (<200
ha).
3) Kegiatan rencana induk ini, mengawali penyusunan studi kelayakan dan
perencanaan teknis, untuk mendapatkan data dan informasi mengenai
sistem ke-PSU-an di seluruh kawasan perumahan. Manfaat rencana induk
antara lain:
a) Untuk menentukan pendekatan dan prioritas penanganan pembangunan.
b) Untuk pedoman penyelenggaraan keterpaduan PSU kawasan
c) Untuk menentukan arah dan prioritas pengembangan.
d) Untuk menentukan perkiraan dimensi saluran, sehingga dapat dilakukan
estimasi, jika memotong jalan yang dibangun.

117
e) Untuk memperkirakan volume pekerjaan dalam pengembangan suatu areal
kawasan.
f) Untuk acuan teknis dalam rangka pembangunan sistem PSU kawasan.
g) Dalam rencana induk ditentukan daerah mana yang perlu direklamasi atau
tidak perlu dilakukan pengurugan, misalnya lokasi kolam retensi, tinggi
muka air banjir (peil banjir)
4) Pemerintah kabupaten kota, adalah merupakan instansi yang paling
bertanggung jawab dalam penyusunan rencana induk PSU ini.
5) Untuk menyusun rencana induk ini diperlukan data hujan, data hidrologi,
data land use, data hidraulika, data geologi, data topografi, data demografi,
jumlah dan karakteristik penduduk, data sosial ekonomi kawasan terhadap
kota – wilayahnya.
6) Standar teknis bidang ini antara lain : sesuai SNI 02-2406-1991 dan Pt T-
15-2002-C

B. Studi Kelayakan
1) Studi kelayakan ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menghitung dan
menganalisis serta menentukan kelayakan dari perencanaan investasi
pembangunan kawasan. Studi kelayakan investasi kawasan minimal perlu
berisi analisis dari 4 (empat) aspek antara lain aspek pasar, aspek teknis,
aspek finansial dan aspek ekonomis.
a) Kelayakan aspek pasar bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, pada
permintaan dan kapasaitas penduduk di rencana pembangunan kawasan
pada kepemilikan unit rumah, serta melakukan analisis perbandingan
dengan kemampuan penyediaan kawasan.
b) Kelayakan aspek teknis bertujuan untuk mendeskripsikan, menghitung dan
menentukan keseluruhan kebutuhan teknis dari tahap perencanaan,
pembangunan, dan pengelolaan investasi kawasan.
c) Kelayakan aspek finansial bertujuan untuk menilai kelayakan finansial
perencanaan investasi kawasan menggunakan instrumen-instrumen
kelayakan investasi, dengan menggunakan penetapan-penetapan harga jual

118
pasar. Instrumen-instrumen kelayakan finansial yang digunakan setidaknya
harus mencakup : Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR),
Pay Back Period (PP).
d) Kelayakan aspek ekonomi bertujuan untuk menilai kelayakan ekonomi
perencanaan investasi kawasan menggunakan instrumen-instrumen
kelayakan investasi, dengan menggunakan penetapan-penetapan harga nilai
ekonomis. Kajian ini setidaknya mampu menjelaskan dan menghitung
faktor-faktor berikut:
 Kontribusi dari dampak pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas
terhadap pemasukan daerah.
 Menganalisa manfaat pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas yang
akan diterima oleh masyarakat sekitar.
 Menganalisa daya serap pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas
terhadap pemanfaatan bahan baku lokal.
 Kontribusi dampak pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas terhadap
perluasan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi lokal.
e) Baik kelayakan aspek ekonomi dan kelayakan aspek finansial keduanya
diikuti dengan analisa sensitifitas sehingga dapat diprediksi kemungkinan
perubahan iklim dan kondisi serta dapat meminimalisasi resiko dalam
pembangunan kawasan.
2. Studi kelayakan lingkungan, sudah tertuang dalam aturan untuk melakukan
studi amdal oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Apakah kawasan
itu perlu di lakukan analisa lingkungan, atau cukup dilakukan upaya
perbaikan lingkungan untuk menghadapi dampak yang terjadi, berdasarkan
laporan monitoring kajian lingkungan. Dengan pembangunan kawasan ini,
lingkungan yang baru harus lebih baik lingkungannya dari sebelumnya,
tanpa merusak rona lingkungan awal.
3. Studi kelayakan sosial, dinilai berdasarkan potensi penerimaan masyarakat
terhadap pembangunan kawasan, apakah bermanfaat untuk lingkungan
disekitar kawasan atau tidak, apabila tidak, maka diperlukan upaya agar
masyarakat dapat dengan senang hati menerimanya. Pada saat ini, sebagian

119
besar lingkungan atau kawasan perumahan, dibangun terisolir dengan
kawasan lain, sehingga menyebabkan kecemburuan sosial yang kurang
baik.
4. Standar teknis bidang ini antara lain : sesuai AB-K/RE-SK/TC/001/98

C. Standar Teknis
Dalam penyelenggaraan keterpaduan PSU kawasan perumahan standar
teknis yang digunakan yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI) dan pedoman
teknis meliputi:
1) Prasarana Jalan
2) Prasarana Drainase
3) Prasarana Air Minum
Perhitungan volume air minum minimal untuk kebutuhan rumah tangga
adalah 60 liter/orang/hari.
4) Prasarana Pengelolaan Air Limbah
5) Prasarana Pengelolaan Persampahan
6) Prasarana Jaringan Listrik
7) Ruang Terbuka Hijau (RTH)
 Untuk persyaratan luas wilayah, ditentukan bahwa ruang terbuka hijau
public (milik pemerintah dan terbuka untuk umum) dan privat (perorangan)
paling sedikit 10 (sepuluh) persen dari seluruh luas wilayah kawasan
perumahan, atau mengacu pada peraturan perundang-undandangan yang
berlaku.
 Untuk persyaratan jumlah penduduk, ditentukan luas per kapita dalam m2.
Misalnya jumlah penduduk 250 jiwa sampai dengan 480.000 jiwa,
diperlukan RTH sebesar 1 m2 sampai dengan 0,3 m2 per kapita.

8. Pembiayaan dan Peluang Investasi


Pihak-pihak yang dapat ikut berpartisipasi dalam investasi adalah: PLN/Swasta,
PDAM/Swasta, PT Telkom/Swasta, Pengembang, Badan Pengelola sampah/air,
Bank, dan Masyarakat.

120
9. Pembinaan Penyelenggaraan
Pemerintah memfasilitasi penyelenggarakan pembinaan dalam bidang
keterpaduan PSU kawasan perumahan dan permukiman yang dilaksanakan oleh
pemangku kepentingan sesuai dengan kepentingan dan kompetensinya. Dalam
fungsinya sebagai fasilitator, pemerintah dapat melakukan
A. Fasilitasi penyelesaian masalah yang timbul baik dalam kawasan maupun
antar kawasan perumahan dan permukiman..
B. Memberikan bantuan teknis, pembinaan teknis dan pendampingan teknis.
C. Sosialisasi produk pengaturan bidang keterpaduan PSU kawasan.
D. Memberikan bantuan stimulan PSU dalam mendorong percepatan
pembangunan kawasan perumahan dan permukiman.

121
7. PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN
RAKYAT NOMOR: 11/PERMEN/M/2008 TENTANG
PEDOMAN KESERASIAN KAWASAN PERUMAHAN DAN
PERMUKIMAN

7.1. ISTILAH DAN DEFINISI


Dalam Peraturan Menteri ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan:
1. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
2. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan serta tempat kerja yang memberikan
pelayanan dan kesempatan kerja terbatas.
3. Kawasan Perumahan dan Permukiman adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal.
4. Lingkungan Perumahan dan Permukiman adalah kawasan perumahan
dan permukiman yang mempunyai batas-batas dan ukuran yang jelas
dengan penataan tanah dan ruang, prasarana serta sarana lingkungan yang
terstruktur.
5. Keserasian Kawasan Perumahan dan Permukiman adalah penataan
kawasan perumahan dan permukiman yang harmonis dengan tujuan
peningkatan kualitas ekologis, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
social budaya untuk pencapaian pembangunan yang manusiawi dan
berkelanjutan.
6. Prasarana Lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.

122
7. Sarana Lingkungan adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya.
8. Utilitas Umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan.

Tujuan pedoman keserasian kawasan perumahan dan permukiman:


A. Terwujudnya kawasan perumahan dan permukiman yang tertata dengan
baik yang dapat menunjang peningkatan ekologis, pertumbuhan ekonomi,
dan pembangunan sosial budaya, serta menjamin tatanan kehidupan yang
berkelanjutan.
B. Tersedianya acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan,
badan usaha dan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan kawasan
perumahan dan permukiman melalui penyelenggaraan keserasian
kawasan.
C. Terdorongnya pemerintah daerah, badan usaha, badan sosial dan
keagamaan serta masyarakat untuk mewujudkan keserasian kawasan
perumahan dan permukiman.

7.2. KETENTUAN DAN KESERASIAN KAWASAN


Ketentuan keserasian kawasan perumahan dan permukiman, meliputi:
1. Klasifikasi kawasan
A. Lokasi geografis daerah perdesaan – perkotaan
Klasifikasi kawasan berdasarkan lokasi geografis daerah perdesaan –
perkotaan merupakan perbedaan karakteristik fisik kawasan yang
diakibatkan oleh perbedaan intensitas dan kepadatan wilayah, dari
mulai lokasi geografisnya di area lindung, di daerah perdesaan hingga
pusat kota metropolitan, serta di area preservasi.
Klasifikasi kawasan berdasarkan lokasi geografis daerah perdesaan –
perkotaan dikategorikan ke dalam 7 zona, yaitu:
1) Zona lindung, merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup.

123
2) Zona perdesaan, merupakan wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam.
3) Zona pinggiran kota, merupakan wilayah perbatasan kota dengan desa.
4) Zona perkotaan, merupakan tempat permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
pelayanan ekonomi.
5) Zona pusat kota, merupakan wilayah perkotaan inti dengan kepadatan
penduduk tinggi.
6) Zona pusat kota metropolitan, merupakan wilayah perkotaan inti
dengan kepadatan penduduk sangat tinggi.
7) Zona preservasi, merupakan wilayah yang memiliki makna historis
maupun kultural sehingga memerlukan upaya proteksi yang ketat
terhadap lingkungan yang ada.

B. Satuan unit lingkungan


Klasifikasi kawasan berdasarkan satuan unit lingkungan meliputi:
1) Unit wilayah kota : 500.000 – 600.000 jiwa
2) Bagian wilayah kota : 100.000 – 150.000 jiwa
3) Sub bagian wilayah kota : 30.000 – 40.000 jiwa
4) Blok lingkungan : 5.000 – 6.000 jiwa
5) Sub blok lingkungan : 200 – 500 jiwa

C. Tingkat kepadatan hunian


Klasifikasi tingkat kepadatan hunian meliputi:
1) Zona lindung dengan kepadatan 0 jiwa/ha dan jumlah rumah 0 unit/ha.
2) Zona perdesaan dengan kepadatan lebih kecil dari 50 jiwa/ha dan
jumlah rumah paling banyak 15 unit/ha.
3) Zona pinggiran kota dengan kepadatan antara 51 sampai dengan 100
jiwa/ha dan jumlah rumah paling banyak 25 unit/ha.
4) Zona perkotaan dengan kepadatan antara 101 sampai dengan 300
jiwa/ha dan jumlah rumah paling banyak 75 unit/ha.

124
5) Zona pusat kota dengan kepadatan antara 301 sampai dengan 500
jiwa/ha dan jumlah rumah paling banyak 125 unit/ha.
6) Zona pusat metro dengan kepadatan lebih besar dari 501 jiwa/ha dan
jumlah rumah paling banyak 300 unit/ha.
7) Zona preservasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku daerah masing-
masing.
D. Klasifikasi kawasan pada kawasan khusus.

2. Klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman


Klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman didasarkan pada:
A. Intensitas/kepadatan hunian.
Klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman berdasarkan
intensitas/kepadatan hunian dibedakan atas rumah susun dan rumah
tidak bersusun.

B. Intensitas lahan tutupan.


Klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman berdasarkan
intensitas lahan tutupan dibedakan atas:
a) Rumah taman, dengan KDB lebih kecil dari 30%.
b) Rumah renggang, dengan KDB 30% sampai dengan 50%.
c) Rumah deret, dengan KDB 50% sampai dengan 70%.
d) Rumah susun, dengan KDB 50% sampai dengan 70%.
e) Rumah susun taman, dengan KDB lebih kecil dari 50%.

C. Lingkungan hunian berimbang.


Klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman berdasarkan
ketentuan lingkungan hunian berimbang dibedakan atas rumah mewah,
rumah menengah, dan rumah sederhana.

125
D. Fungsi usaha pengguna bangunan.
E. Klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman berdasarkan
fungsi usaha pengguna bangunan dibedakan atas rumah tinggal, rumah
toko/kantor, rumah produktif dan bangunan campuran.
F. Kawasan khusus.
Klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman pada kawasan
khusus dibedakan atas keterkaitannya dengan perumahan.

3. Persyaratan keserasian kawasan


Persyaratan keserasian kawasan meliputi:
A. Lokasi kawasan perumahan dan permukiman.
Pembangunan kawasan perumahan dan permukiman hanya boleh
dilakukan pada lokasi yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah setempat atau dokumen rencana lainnya yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah.
B. Ruang terbuka hijau.
Persyaratan ruang terbuka hijau ditentukan dalam rangka mewujudkan
keserasian kawasan perumahan dan permukiman yang bertujuan untuk
menjaga keseimbangan ekosistem dengan menentukan area di dalam
kawasan perumahan dan permukiman yang harus dilindungi, mencakup
perlindungan daerah konservasi, perlindungan sempadan-sempadan
sungai, pantai, danau, wilayah tangkapan air dan badan air lainnya,
C. Intensitas pemanfaatan lahan.
Persyaratan intensitas pemanfaatan lahan dilaksanakan dengan
menentukan besaran intensitas pemanfaatan lahan kawasan perumahan
dan permukiman yang mencakup pengaturan kepadatan paling padat
unit rumah per hektar dikaitkan dengan distribusi luas lantai paling luas
bangunan terhadap persil maupun wilayah perencanaannya.
Persyaratan intensitas pemanfaatan lahan diberlakukan pada kawasan
dengan klasifikasi:
1) KLB lebih besar dari 1.0 untuk rumah susun.

126
Diberlakukan persyaratan dengan kategori penggunaan sebagai berikut:
 Zona lindung, tidak diizinkan
 Zona perdesaan, diizinkan dengan persyaratan khusus
 Zona pinggiran kota, diizinkan dengan persyaratan khusus
 Zona perkotaan, diizinkan
 Zzona pusat kota, diizinkan
 Zona pusat metro, diizinkan.
 Zona preservasi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku daerah masing-
masing
2) KLB lebih kecil dari 1.0 untuk rumah tidak susun.
Diberlakukan persyaratan dengan kategori penggunaan sebagai berikut:
 Zona lindung, tidak diizinkan
 Zona perdesaan, diizinkan
 Zona pinggiran kota, diizinkan
 Zona perkotaan, diizinkan dengan persyaratan khusus
 Zona pusat kota, diizinkan dengan persyaratan khusus
 Zona pusat metro, diizinkan dengan persyaratan khusus
 Zona preservasi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku daerah masing-
masing.
3) KDB per persil lebih kecil dari 30% untuk rumah taman.
Diberlakukan persyaratan dengan kategori penggunaan sebagai berikut:
 Zona lindung, tidak diizinkan
 Zona perdesaan, diizinkan
 Zona pinggiran kota, diizinkan
 Zona perkotaan, diizinkan dengan persyaratan khusus
 Zona pusat kota, diizinkan dengan persyaratan khusus
 Zona pusat metro, tidak diizinkan
 Zona preservasi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku daerah masing-
masing.
4) KDB per persil 30% sampai dengan 50% untuk rumah renggang.

127
Diberlakukan persyaratan dengan kategori penggunaan sebagai berikut:
 Zona lindung, tidak diizinkan
 Zona perdesaan, diizinkan
 Zona pinggiran kota, diizinkan
 Zona perkotaan, diizinkan
 Zona pusat kota, diizinkan dengan persyaratan khusus
 Zona pusat metro, tidak diizinkan
 Zona preservasi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku daerah masing-
masing
5) KDB per persil 50% sampai dengan 70% untuk rumah deret.
Diberlakukan persyaratan dengan kategori penggunaan sebagai berikut:
 Zona lindung, tidak diizinkan
 Zona perdesaan, tidak diizinkan
 Zona pinggiran kota, diizinkan dengan persyaratan khusus
 Zona perkotaan, diizinkan
 Zona pusat kota, diizinkan
 Zona pusat metro, diizinkan
 Zona preservasi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku daerah masing-
masing.
a. KDB per persil lebih kecil dari 50% untuk rumah susun taman.
b. KDB per persil 50% sampai dengan 70% untuk rumah susun.
6) Komposisi lahan efektif dan non efektif.
7) Subsidi silang.
8) Keserasian sosial.
9) Keserasian budaya.
10) Penyesuaian lingkungan rumah dengan koridor jalan.
11) Keserasian prasarana, sarana dan utilitas kawasan.

128
7.3. PENYELENGGARAAN KESERASIAN KAWASAN
Penyelenggaraan keserasian kawasan perumahan dan permukiman
dilaksanakan melalui tahapan-tahapan: perencanaan, pembangunan, dan
pemeliharaan keserasian kawasan dan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah,
badan usaha dan masyarakat. Tahap perencanaan keserasian kawasan meliputi:
1. Penentuan Klasifikasi Kawasan.
Penentuan klasifikasi kawasan dilaksanakan melalui langkah-langkah:
A. Pembuatan peta usulan lokasi beserta batas-batasnya.
B. Menentukan klasifikasi kawasan perumahan dan permukiman berdasarkan
lokasi geografis daerah perdesaan–perkotaan (zona perdesaan hingga zona
pusat kota metropolitan).
C. Menentukan klasifikasi kawasan permukiman dengan mempertahankan
kepadatan penduduk yang ada.
D. Menentukan klasifikasi kawasan permukiman dengan mempertahankan
kepadatan penduduk yang ada.
E. Menentukan zona-zona kepadatan kawasan perumahan dan permukiman
sebagai dasar usulan KDB dan KDH kawasan, intensitas pemanfaatan
lahan, tipe-tipe unit perumahan, dan jumlah unit yang diizinkan.

2. Penentuan Ruang Terbuka Hijau yang Harus Dilindungi.


Penentuan ruang terbuka hijau yang harus dilindungi dilaksanakan melalui
langkah-langkah:
A. Badan usaha/perorangan pembangunan perumahan dan permukiman
melengkapi data topografi dan/atau foto udara.
B. Pemerintah Daerah menentukan batas-batas ruang terbuka hijau yang
harus dilindungi, meliputi kawasan lindung (daerah konservasi, dan
sumber air), sempadan (sungai, pantai, danau, badan air lainnya, jalan,
jalur rel kereta api, dan jalur di bawah tegangan tinggi), kelerengan curam,
dan mitigasi bencana. Ruang terbuka hijau yang harus dilindungi:
1) Ruang terbuka hijau kawasan lindung.
2) Ruang terbuka hijau taman.

129
3) Ruang terbuka hijau jalur hijau.
4) Ruang terbuka hijau sumber air.

3. Penentuan Prasarana, Sarana dan Utilitas Kawasan.


Penentuan prasarana, sarana dan utilitas kawasan perumahan dan
permukiman dilaksanakan melalui langkah-langkah:
A. Pemerintah Daerah menetapkan persyaratan komposisi lahan efektif
dan lahan non efektif pada saat badan usaha pembangunan perumahan
mempersiapkan rencana tapak kawasan perumahan dan permukiman.
B. Luasan ruang terbuka hijau yang harus dilindungi termasuk dalam
perhitungan luas lahan non efektif.
C. Pemerintah Daerah selanjutnya menentukan klasifikasi kawasan.
D. Menentukan besaran prasarana lingkungan, sarana lingkungan dan
utilitas, yang dibangun oleh badan usaha pembangunan perumahan.
E. Besaran prasarana, sarana dan utilitas yang telah ditentukan disusun
kedalam rencana tapak untuk disahkan secara bertahap sesuai dengan
luas kawasan perumahan dan permukiman yang dibangun.
F. Hasil pengesahan rencana tapak (site plan) merupakan dasar penetapan
izin mendirikan bangunan induk dan izin mendirikan bangunan persil.

7.4. PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN


A. Pengawasan dan pengendalian merupakan tahap yang harus dilakukan
terhadap setiap tahapan penyelenggaraan keserasian kawasan perumahan
dan permukiman dalam rangka perwujudan keserasian kawasan sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan ini dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
B. Pengawasan dan pengendalian secara nasional terhadap penyelenggaraan
keserasian kawasan perumahan dan permukiman dilakukan oleh Menteri.
C. Pengawasan dan pengendalian di daerah terhadap penyelenggaraan
keserasian kawasan perumahan dan permukiman lintas kabupaten/kota
dilakukan oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota.

130
D. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan keserasian kawasan
perumahan dan permukiman di kabupaten/kota dilakukan oleh
Bupati/Walikota

131
8. SE MENTERI PUPR NOMOR: 02/SE/M/2018
TENTANG PERENCANAAN TEKNIS FASILITAS
PEJALAN KAKI

8.1. ISTILAH DAN DEFINISI


Dalam peraturan ini, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan:
1. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (Apill) perangkat elektronik yang
menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi
untuk mengatur lalu lintas orang dan/atau kendaraan di persimpangan atau
pada ruas jalan.
2. Bolar adalah tonggak yang menghalangi kendaraan masuk ke area trotoar
3. Fasilitas Pejalan Kaki, fasilitas pada ruang milik jalan yang disediakan
untuk pejalan kaki, antara lain dapat berupa trotoar, penyeberangan jalan di
atas jalan (jembatan), pada permukaan jalan, dan di bawah jalan
(terowongan).
4. Fasilitas Pendukung Pejalan Kaki, seluruh bangunan pelengkap pada
ruang milik jalan yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan
pelayanan demi kelancaran, keamanan dan kenyamanan, serta keselamatan
bagi pejalan kaki, yang dapat berupa bangunan pelengkap petunjuk
informasi maupun alat penunjang lainnya.
5. Halte, tempat pemberhentian kendaraan bermotor umum untuk menaikkan
dan menurunkan penumpang.
6. Jalur Fasilitas, jalur khusus yang dapat dimanfaatkan untuk penempatan
fasilitas pendukung pejalan kaki.
7. Jalur Pemandu, jalur yang memandu penyandang tuna netra dengan
memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan ubin peringatan.
8. Median, bagian bangunan jalan yang secara fisik membagi dua jalur
lalulintas yang berlawanan arah.
9. Pelandaian, perubahan kelandaian trotoar pada perpotongan dengan jalur
penyeberang pejalan kaki (zebra cross), baik di persimpangan maupun di

132
ruas jalan, dan jalan masuk ke persil. Pelandaian berupa muka perkerasan
yang menghubungkan dua muka perkerasan yang berbeda.
10. Penyeberangan, fasilitas yang menghubungkan antar fasilitas pejalan kaki
yang berseberangan.
11. Penyeberangan Sebidang, fasilitas penyeberangan sebidang dengan jalan
bagi pejalan kaki, agar jalur pejalan kaki yang ada tidak terputus dan untuk
memudahkan pada pergantian jalur yang berbeda.
12. Penyeberangan Tidak Sebidang, fasilitas penyeberangan bagi pejalan
kaki yang terletak di atas jalan (jembatan) atau di bawah jalan (terowongan),
agar jalur pejalan kaki yang ada tidak terputus dan untuk memudahkan pada
pergantian jalur yang berbeda
13. Pejalan Kaki, setiap orang yang berjalan di ruang lalu lintas jalan, baik
dengan maupun tanpa alat bantu.
14. Pejalan Kaki Berkebutuhan Khusus, orang dengan keterbatasan
kemampuan, yang dapat berarti para penyandang cacat (disabilitas), lanjut
usia, ibu hamil, ataupun anak-anak.
15. Rambu, bagian perlengkapan jalan yang berupa lambang, huruf, angka,
kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan,
perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan.
16. Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA), suatu ruang yang dimanfaatkan untuk
konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang
pengamannya.
17. Ruang Milik Jalan (RUMIJA), ruang yang terdiri dari ruang manfaat jalan
dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan.
18. Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA), ruang tertentu yang terletak di
luar ruang milik jalan yang penggunaannya ada di bawah pengawasan
penyelenggara jalan.
19. Trotoar, jalur pejalan kaki yang sejajar dan bersebelahan dengan jalur lalu
lintas yang diperkeras dengan konstruksi perkerasan.

133
8.2.KETENTUAN
1. Ketentuan Umum
A. Prinsip Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki
Prinsip umum perencanaan fasilitas pejalan kaki sekurang-kurangnya
memenuhi kaidah sebagai berikut:
1) Memenuhi aspek keterpaduan sistem, dari penataan lingkungan, sistem
transportasi, dan aksesilibitas antar kawasan.
2) Memenuhi aspek kontinuitas, yaitu menghubungkan antara tempat asal
ke tempat tujuan, dan sebaliknya.
3) Memenuhi aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan.
4) Memenuhi aspek aksesibilitas, dimana fasilitas yang direncanakan harus
dapat diakses oleh seluruh pengguna, termasuk oleh pengguna dengan
berbagai keterbatasan fisik.
B. Prinsip Perencanaan Teknis
Prinsip perencanaan teknis fasilitas pejalan kaki harus:
1) Memenuhi kriteria pemenuhan kebutuhan kapasitas (demand).
2) Memenuhi ketentuan kontinuitas dan memenuhi persyaratan teknis
aksesibilitas bagi semua pengguna termasuk pejalan kaki berkebutuhan
khusus.
3) Memilih konstruksi atau bahan yang memenuhi syarat keamanan dan
relatif mudah dalam pemeliharan (pedoman pemeliharaan diatur di
pedoman lain).
C. Kelengkapan Fasilitas Pejalan Kaki
Kelengkapan fasilitas pejalan kaki di bagi menjadi beberapa, diantaranya
yaitu:
1) Fasilitas Utama
Fasilitas utama terdiri atas komponen:
a) Jalur pejalan kaki (trotoar).
b) Penyeberangan, yang terdiri dari.
c) Penyeberangan sebidang.

134
d) Penyeberangan tidak sebidang berupa overpass (jembatan) dan
underpass (terowongan).
2) Fasilitas Pejalan Kaki Untuk Pengguna Berkebutuhan Khusus
Kebutuhan dari pejalan kaki dengan kebutuhan khusus sangatlah
tergantung dari lebar alat bantu yang digunakan oleh pejalan kaki
berkebutuhan khusus tersebut.
3) Fasilitas Pejalan Kaki Sementara Pada Areal Konstruksi
Perencanaan fasilitas pejalan kaki yang melalui suatu areal pekerjaan
konstruksi sangat penting, khususnya di daerah perkotaan dan pinggiran
kota. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan masalah
keselamatan pejalan kaki, antara lain:
1) Perlunya pemisahan pejalan kaki dari konflik dengan kendaraan di
lokasi pekerjaan, peralatan, serta pelaksanaan pekerjaan.
2) Pemisahan pejalan kaki dari konflik dengan arus kendaraan di sekitar
lokasi pekerjaan.
3) Menyediakan fasilitas bagi pejalan kaki yang aman, selamat, mudah
diakses, serta lajur berjalan yang senyaman dan sedekat mungkin.
4) Jenis fasilitas yang disediakan adalah trotoar ataupun jalan setapak.

8.3. KETENTUAN TEKNIS


1. Jalur Pejalan Kaki (trotoar)
A. Lebar efektif lajur pejalan kaki berdasarkan kebutuhan satu orang adalah
60 cm dengan lebar ruang gerak tambahan 15 cm untuk bergerak tanpa
membawa barang, sehingga kebutuhan total lajur untuk dua orang pejalan
kaki bergandengan atau dua orang pejalan kaki berpapasan tanpa terjadi
persinggungan sekurang-kurangnya 150 cm.
B. Penghitungan lebar trotoar minimal menggunakan Persamaan (1)

Keterangan:

135
W= adalah lebar efektif minimum trotoar (m)
V= adalah volume pejalan kaki rencana/dua arah (orang/meter/menit)
N= adalah lebar tambahan sesuai dengan keadaan setempat (meter),
ditentukan dalam Tabel 1
Prosedur pengumpulan data volume pejalan kaki diatur pada pedoman
terpisah.

Tabel 1 - Nilai N

Keterangan:
* arus pejalan kaki > 33 orang/menit/meter, atau dapat berupa daerah
pasar atau terminal
**arus pejalan kaki 16-33 orang/menit/meter, atau dapat berupa daerah
perbelanjaan bukan pasar
***arus pejalan kaki < 16 orang/menit/meter, atau dapat berupa daerah
lainnya.

C. Bila pada trotoar akan dipasang fasilitas tambahan, maka dimensi


trotoar yang seyogianya disediakan dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2 - Contoh penentuan dimensi trotoar berdasarkan lokasi


dan arus pejalan kaki maksimum

136
Keterangan:
Bila kondisi lahan eksisting memiliki keterbatasan ruang dengan arus
pejalan kaki maksimum pada jam puncak <50 pejalan kaki/menit, lebar
dapat disesuaikan dengan justifikasi yang memadai dengan
memperhatikan kebutuhan lebar lajur minimum pejalan kaki.

Contoh Sketsa Pembagian Zona Pada Trotoar Dapat Dilihat Pada


Gambar 1

Gambar 1 - Contoh Pembagian Zona Pada Trotoar

137
Kebutuhan minimum jalur pejalan kaki di kawasan perkotaan
berdasarkan tata guna lahan, fungsi dan tipe jalan dapat dilihat pada
Tabel 3:

Tabel 3 - Kebutuhan minimum jalur pejalan kaki di kawasan perkotaan

138
Keterangan: Jalan merupakan jalan dengan sistem sekunder atau primer
yang melintasi kawasan perkotaan.

1) Kemiringan memanjang dan melintang


a) Kemiringan memanjang trotoar
Kemiringan memanjang trotoar idealnya 8 % dan disediakan
landasan datar setiap jarak 9,00m dengan panjang minimal 1,20m.
b) Kemiringan melintang
Kemiringan melintang trotoar harus memiliki kemiringan
permukaan 2 % sampai dengan 4 % untuk kepentingan penyaluran
air permukaan. Arah kemiringan permukaan disesuaikan dengan
perencanaan drainase.

2) Pelandaian
Pelandaian diletakkan pada jalan jalan masuk, persimpangan, dan
tempat penyeberangan pejalan kaki. Fungsi pelandaian adalah:
a) Untuk memfasilitasi perubahan tinggi secara baik.
b) Untuk memfasilitasi pejalan kaki yang menggunakan kursi roda.

Persyaratan khusus untuk pelandaian adalah sebagai berikut:


a) Tingkat kelandaian maksimum 12 % (1:8) dan disarankan 8 %
(1:12). Untuk mencapai nilai tersebut, pelandaian sedapat mungkin
berada dalam zona jalur fasilitas. Bila perlu, ketinggian trotoar bisa
diturunkan.
b) Area landai harus memiliki penerangan yang cukup.
Contoh pelandaian pada tempat penyeberangan pejalan kaki dapat
dilihat pada Gambar 2.

139
Gambar 2 - Contoh pelandaian pada tempat penyeberangan pejalan kaki

3) Pengaturan Jalan Masuk


Tujuan dilakukannya pengaturan jalan masuk:
a) Mengurangi konflik antara pejalan kaki dan kendaraan.
b) Menyediakan akses bagi pejalan kaki.
c) Meningkatkan visibilitas antara mobil dan pejalan kaki di jalan
masuk.
Cara pengaturan jalan masuk dapat dilakukan dengan menggunakan
a) Pelandaian kerb tegak lurus (sebagaimana pada Gambar 3)
b) Pelandaian kerb kombinasi (sebagaimana pada Gambar 4), dan

140
c) Pelandaian kerb paralel (sebagaimana Gambar 5)

Gambar 3 - Jalan Masuk Dan Pelandaian Kerb Yang Tegak Lurus

Gambar 4 - Jalan Masuk Dan Pelandaian Kerb Kombinasi

Gambar 5 - Jalan masuk dan pelandaian kerb parallel

141
Dalam Tabel 4 berikut diberikan penjelasan mengenai persyaratan
teknis elemen desain jalan masuk:
Tabel 4 - Elemen desain jalan masuk

4) Trotoar Pada Jembatan Dan Terowongan


Lebar minimum trotoar pada jembatan di kawasan perkotaan:
mengikuti standar di jalan. Detil penempatan trotoar pada jembatan dan
terowongan mengacu pada SNI 03-2443-1991 tentang Spesifikasi
Trotoar.

5) Jalur Yang Digunakan Bersama


Jalur ini berupa trotoar yang digunakan bersama-sama oleh pejalan kaki
dan pengguna sepeda. Jalur sepeda yang berada di trotoar dapat terletak
disebelah kanan ataupun kiri dari jalur pejalan kaki. Penempatan jalur
sepeda di trotoar harus tetap menyediakan lebar minimal trotoar bagi
pejalan kaki sebesar 1,5m. Persepektif dan Dimensi jalur sepeda di
trotoar ditunjukkan pada Gambar 6.

142
Gambar 6 - Perspektif dan dimensi jalur yang digunakan bersama

6) Koneksi Dengan Halte/ Tempat Pemberhentian Sementara


Keberadaan pemberhentian sementara atau halte tidak boleh
mengurangi lebar efektif trotoar. Halte dapat ditempatkan di depan
ataupun belakang lajur pejalan kaki. Contoh halte yang terletak di
beakang jalur pejalan kaki dapat dilihat pada Gambar 7. Halte juga
harus dilengkapi dengan akses pejalan kaki berkebutuhan khusus
(sebagaimana dicontohkan pada Gambar 8), dan fasilitas pendukung
seperti tempat duduk, atap peneduh, dan kelengkapan lainnya.

Gambar 7 - Contoh Halte Yang Terletak Di Belakang Jalur Pejalan Kaki

143
Jarak yang umumnya digunakan penentuan jarak antara halte dan/atau
tempat pemberhentian bis adalah 300 m. Untuk detil jarak antar halte
dan/atau tempat pemberhentian bis mengacu pada Keputusan Direktur
Jenderal Perhubungan Darat No. 271/HK.105/DRJD/96 tentang
Pedoman Teknis Perekayasaan Tempat Perhentian Kendaraan
Penumpang Umum.

Gambar 8 - Contoh akses pejalan kaki berkebutuhan khusus di halte

2. Penyeberangan Pejalan Kaki


A. Penyeberangan Sebidang
Kriteria pemilihan penyeberangan sebidang adalah Didasarkan pada rumus
empiris (PV2), dimana P adalah arus pejalan kaki yang menyeberang ruas
jalan sepanjang 100 meter tiap jam-nya (pejalan kaki/jam) dan V adalah arus
kendaraan tiap jam dalam dua arah (kend/jam); P dan V merupakan arus
rata-rata pejalan kaki dan kendaraan pada jam sibuk, dengan rekomendasi
awal seperti Tabel 5 di bawah ini:

144
Tabel 5 - Kriteria penentuan fasilitas penyeberangan sebidang

Dimana :
P = Arus lalu lintas penyeberangan pejalan kaki sepanjang 100 meter,
dinyatakan dengan orang/jam;
V = Arus lalu lintas kendaraan dua arah per jam, dinyatakan kendaraan/jam
Catatan:
Jenis penyeberangan Lapak Penyeberangan dapat dipilih apabila
kriteria geometrik jalan dan kondisi arus lalu lintas memenuhi persyaratan
teknis seperti yang diuraikan di bawah Prosedur pengumpulan data P dan V
diatur dalam pedoman terpisah.
Penyeberangan sebidang dapat diaplikasikan pada persimpangan
maupun ruas jalan. Penyeberangan sebidang dapat berupa:

1) Penyeberangan zebra
a) Dipasang di kaki persimpangan tanpa atau dengan alat pemberi
isyarat lalu lintas atau di ruas jalan.
b) Apabila persimpangan diatur dengan lampu pengatur lalu lintas,
pemberian waktu penyeberangan bagi pejalan kaki menjadi satu
kesatuan dengan lampu pengatur lalu lintas persimpangan.
c) Apabila persimpangan tidak diatur dengan lampu pengatur lalu
lintas, maka kriteria batas kecepatan kendaraan bermotor adalah
<40 km/jam.

145
d) Pelaksanaan penyeberangan zebra mengacu pada Petunjuk
Pelaksanaan Marka Jalan

2) Penyebrangan Pelican
a) Dipasang pada ruas jalan, minimal 300 meter dari persimpangan,
b) Pada jalan dengan kecepatan operasional rata-rata lalu lintas
kendaraan >40 km/jam.

3) Pedestrian platform
Pedestrian platform merupakan jalur pejalan kaki berupa fasilitas
penyeberangan sebidang yang permukaannya lebih tinggi dari
permukaan jalan. Pedestrian platform dapat ditempatkan di ruas jalan
(seperti Gambar 9) pada jalan lokal, jalan kolektor, serta lokasi lainnya
seperti tempat menurunkan penumpang (drop-off zone) serta
penjemputan (pick-up zones) di bandara, pusat perbelanjaan, serta
kampus. Pedestrian platform juga dapat ditempatkan pada
persimpangan (sebagaimana ditunjukkan Gambar 10) yang berbahaya
bagi penyeberang jalan. Biasanya menggunakan permukaan yang
kontras agar terlihat jelas oleh pengendara.
Desain pedestrian platform ditentukan oleh volume penyeberang
jalan, volume kendaraan, fungsi jalan, lebar jalan, faktor lansekap jalan,
tipe kendaraan, kecepatan kendaraan, dankemiringan jalan dan
drainase. Marka juga dibutuhkan dekat dengan ramps sehingga
pengemudi dapat melihat batas ujung atas dari pedestrian platform,
sebuah tanda/garis “zigzag” dari cat berwarna putih yang dapat
berkilau/merefleksikan cahaya dan harus dipasang melintang dengan
lebar penuh pada ramp pendekat.

146
Gambar 9 - Contoh pedestrian platform di ruas jalan

Gambar 10 - Contoh pedestrian platform di persimpangan

Syarat permukaan material yang dapat digunakan:


a) Mempunyai kualitas yang tahan lama (awet),
b) Dapat menahan imbas dari pergerakan lalulintas,
c) Warna dan tekstur harus kontras dengan jalan,
d) Permukaan tidak licin, sehingga tidak tergelincir dengan kekuatan
koefisien lebih tinggi dari 0,55,
e) Mempunyai ikatan kuat dengan material jalan,

147
f) Meminimalisir efek silau, refleksi dari langit yang cerah dan jalan
basah pada saat malam hari.
Secara umum, kriteria desain pedestrian platform seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 - Kriteria desain pedestrian platform

Dimensi tipikal Pedestrian platform dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 - Dimensi tipikal pedestrian platform

148
B. Penyebrangan tidak sebidang
Penyeberangan tidak sebidang digunakan bila:
1) Fasilitas penyeberangan sebidang sudah mengganggu arus lalu lintas
yang ada
2) Frekuensi kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki sudah cukup tinggi
3) Pada ruas jalan dengan kecepatan rencana 70 km/jam
4) Pada kawasan strategis, tetapi tidak memungkinkan para penyeberang
jalan untuk menyeberang jalan selain pada penyeberangan tidak
sebidang.
Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam perencanaan fasilitas
penyeberangan tidak sebidang:
1) Penyeberangan tidak sebidang harus dapat diakses dengan mudah oleh
penyandang cacat, misal dengan penambahan ram (pelandaian) atau
dengan elevator
2) Fasilitas penyeberangan tersebut harus dilengkapi dengan pencahayaan
yang baik yang dapat meningkatkan keamanan bagi para pejalan kaki
3) Lokasi dan bangunan harus memperhatikan nilai estetika serta
kebutuhan pejalan kaki.

Kriteria pemilihan penyeberangan tidak sebidang ditunjukkan dalam Tabel


7

Tabel 7 - Kriteria penentuan fasilitas penyeberangan tidak sebidang

149
Penyeberangan tidak sebidang dibedakan menjadi:
1) Jembatan Penyeberangan Orang
a) Ketentuan teknis konstruksi jembatan penyeberangan
mengikuti No. 027/T/Bt/1995 tentang Tata cara
perencanaan jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki di
kawasan perkotaan
b) Jembatan penyeberangan pejalan kaki merupakan
bangunan jembatan yang diperuntukkan untuk
menyeberang pejalan kaki dari satu sisi jalan ke sisi jalan
yang lainnya. Jembatan penyeberang pejalan kaki harus
dibangun dengan konstruksi yang kuat dan mudah
dipelihara. Perspektif jembatan penyeberangan orang dapat
dilihat pada Gambar 12.
c) Jembatan penyeberangan pejalan kaki memiliki lebar
minimum 2 (dua) meter dan kelandaian tangga maksimum
20º.
d) Bila jembatan penyeberangan juga diperuntukkan bagi
sepeda, maka lebar minimal adalah 2,75 m.
e) Jembatan penyeberangan pejalan kaki harus dilengkapi
dengan pagar yang memadai.
f) Pada bagian tengah tangga jembatan penyeberangan
pejalan kaki harus dilengkapi pelandaian yang dapat
digunakan sebagai fasilitas untuk kursi roda bagi
penyandang cacat.
g) Lokasi dan bangunan jembatan penyeberang pejalan kaki
harus sesuai dengan kebutuhan pejalan kaki dan estetika.
h) Penempatan jembatan tidak boleh mengurangi lebar efektif
trotoar.

150
Gambar 12 - Perspektif jembatan penyeberangan orang

Beberapa tipikal jembatan penyeberangan diperlihatkan pada Gambar 13:

Gambar 13 - Tipikal jembatan penyeberangan

2) Terowongan
a) Terowongan penyeberang pejalan kaki harus dibangun
dengan konstruksi yang kuat dan mudah dipelihara.

151
b) Terowongan penyeberang pejalan kaki harus
mempertimbangkan fasilitas sistem aliran udara sesuai
dengan kebutuhan
c) Terowongan harus dilengkapi dengan penerangan yang
memadai. Spesifikasi dan pedoman penempatan
penerangan akan diatur dalam dokumen tersendiri.
d) Lebar minimal terowongan pejalan kaki adalah 2,5 meter.
Bila jembatan penyeberangan juga diperuntukkan bagi
sepeda, maka lebar minimal adalah 2,75 m.
e) Bila menggunakan tangga, kelandaian tangga paling besar
20o (dua puluh derajat).
f) Tinggi terendah terowongan minimal 3 (tiga) meter.
g) Beberapa tipikal terowongan pejalan kaki dapat dilihat
pada Gambar 14

152
Kebutuhan fasilitas penyeberangan di kawasan perkotaan berdasarkan
fungsi dan tipe jalan dirumuskan pada Tabel 8.

Tabel 8 - Kebutuhan fasilitas penyeberangan di kawasan perkotaan

153
3. Fasilitas Pejalan Kaki Berkebutuhan Khusus
A. Persyaratan Rancangan Untuk Pejalan Kaki Penyandang Disabilitas
Kebutuhan lebar ruang bagi pejalan kaki dengan kebutuhan khusus dapat
dilihat dari Gambar

Gambar 15 - Kebutuhan ruang untuk pejalan kaki berkebutuhan khusus

154
B. Persyaratan Lajur Yang Landau
Persyaratan khusus untuk rancangan jalan yang landai bagi penyandang
disabilitas adalah sebagai berikut:
1) tingkat kelandaian tidak melebihi 8%;
2) jalur yang landai harus memiliki pegangan tangan setidaknya untuk
satu sisi (disarankan untuk kedua sisi);
3) pegangan tangan harus dibuat dengan ketinggian 0.8 meter diukur dari
permukaan tanah dan panjangnya harus melebihi anak tangga terakhir;
4) area landai harus memiliki penerangan yang cukup.

C. Passing Place (Tempat Untuk Saling Mendahului/ Berpapasan


Bila lebar trotor kurang dari 1,5 meter, maka harus disediakan passing place
pada lokasi dimana trotoar dapat diuat lebih lebar sebagaimana ditunjukkan
Gambar 16. Manfaat passing place:
1) sebagai tempat untuk saling berpapasan ataupun mendahului dua buah
kursi roda;
2) dapat digunakan oleh pejalan kaki untuk mendahului pejalan kaki lain
yang sedang berhenti baik yang menunggu kesempatan menyeberang
maupun yang sedang menunggu angkuta umum;
3) sedapat mungkin disediakan minimal setiap jarak 50 meter.

155
D. Penyediaan Informasi Bagi Pejalan Kaki Yang Memiliki Keterbatasan
1) Pejalan kaki dengan keterbatasan pandangan akan mengandalkan
kemampuannya untuk mendengar dan merasakan ketika berjalan.
Isyarat-isyarat dalam lingkungan termasuk suara lalu lintas, penyangga
jalan yang landai, pesan-pesan dan suara-suara merupakan tanda-tanda
bagi pejalan kaki, dan menjadi sumber peringatan yang dapat dideteksi.
2) Untuk mengakomodir kebutuhan tersebut, maka perlu disediakan
informasi bagi pejalan kaki yang memiliki keterbatasan, meliputi:
tanda-tanda bagi pejalan kaki, tanda-tanda pejalan kaki yang dapat
diakses, signal suara yang dapat didengar, pesan-pesan verbal, informasi
lewat getaran, dan peringatan-peringatan yang dapat dideteksi.
3) Persyaratan untuk rambu dan marka bagi pejalan kaki berkebutuhan
khusus agar memperhatikan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas
Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

E. Lajur Pemandu
Bagi pejalan kaki yang berkebutuhan khusus (tuna netra dan yang terganggu
penglihatan), membutuhkan informasi khusus pada permukaan lajur pejalan
kaki. Informasi tersebut disebut lajur pemandu. Lajur pemandu terdiri dari:

1. Ubin/blok kubah sebagai peringatan, dengan tipe seperti Gambar 17

156
2. Ubin/blok garis sebagai pengarah, dengan tipe seperti Gambat 18.

Penempatan Ubin/Blok Pengarah


a. Ubin pengarah ditempatkan pada sepanjang jalur pejalan kaki (trotoar).
b. Pada ubin pengarah harus memiliki ruang kosong 600 mm pada kiri-kanan
ubin.
c. Pada ubin pengarah yang berada di daerah pertokoan/wisata yang jumlah
pejalan kaki cukup banyak, ruang kosong harus lebih besar.
d. Penyusunan ubin garis sedapat mungkin berupa garis lurus agar mudah
diikuti oleh pejalan kaki.

Penempatan Ubin/Blok Peringatan


a. ubin peringatan ditempatkan pada pelandaian naik atau turun dari trotoar
atau pulau jalan (sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 19 dan Gambar
20) ke tempat penyeberangan jalan dengan lebar minimal “strip” ubin
peringatan adalah 600 mm;

157
Gambar 19 - Penempatan ubin peringatan pada pelandaian trotoar

Gambar 20 - Penempatan ubin peringatan pada pelandaian pulau jalan

b. ditempatkan pada ujung Pedestrian platform dengan lebar minimal “strip”


ubin peringatan adalah 600 mm, untuk memperjelas perpindahan antara
Pedestrian platform dan trotoar seperti ditumjukkan Gambar 21;

158
Gambar 21 - Penempatan ubin peringatan pada ujung lapang penyeberangan

c. ditempatkan pada jalur pejalan kaki yang menghubungkan antara jalan dan
bangunan.
Spesifikasi ubin/blok pengarah dan peringatan akan diatur dalam Spesifikasi
tersendiri

4. Fasilitas Pejalan Kaki Pada Areal Pekerjaan Konstruksi


Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam penyediaan fasilitas pejalan
kaki pada areal konstruksi:
a) lebar minimal jalur yang disedakan mengikuti lebar minimal trotoar 1,50
meter. Namun bila kondisi areal konstruksi tidak memungkinkan, maka
lebar minimal adalah 0,75 meter,
b) pemisahan fasilitas pejalan kaki menggunakan pagar dengan ketinggian 1 –
1,2 meter pada sepanjang jalur sementara pejalan kaki;
c) bila pekerjaaan konstruksi bersifat durasi singkat dan berada pada lokasi
atau areal dengan kecepatan lalu lintas rendah, maka pemisahan fasilitas
pejalan kaki cukup menggunakan kerucut lalu lintas atau barikade. Contoh
fasilitas pejalan kaki pada areal pekerjaan konstruksi dapat dilihat pada
Gambar 22

159
Gambar 22 - Contoh fasilitas pejalan kaki pada areal pekerjaan konstruksi

5. Fasilitas Pendukung
A. Rambu dan marka
1) Rambu Yang Berhubungan Dengan Pejalan Kaki
Detail rambu mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan
No13/2014 Tentang Rambu Lalu Lintas. Rambu yang berkaitan dengan
pejalan kaki adalah:
a) Rambu Larangan, yaitu rambu yang digunakan untuk menyatakan
perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pengguna jalan dalam hal
ini pejalan kaki, seperti Gambar 22:

b) Rambu Peringatan, yaitu rambu yang digunakan untuk memberi


peringatan kemungkinan ada bahaya atau tempat berbahaya di
bagian jalan di depannya, seperti :

160
c) Rambu Perintah, yaitu rambu yang digunakan untuk menyatakan
perintah yang wajib dilakukan oleh pengguna jalan dalam hal ini
pejalan kaki, seperti :

161
d) Rambu Petunjuk, yaitu rambu yang digunakan untuk meyatakan
petunjuk mengenai jurusan, jalan, situasi, kota, tempat, pengaturan,
fasilitas dan lain-lain bagi pengguna jalan daam hal ini pejalan kaki,
seperti

2) Marka Yang Berhubungan Dengan Pejalan Kaki


Detail marka mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan No. 34
Tahun 2014 Tentang Marka jalan. Marka yang sering digunakan untuk
fasilitas pejalan kaki adalah marka melintang, sebagai marka
penyeberangan pejalan kaki, yang berupa zebra cross dan marka dua
garis utuh melintang.
a) Marka zebra cross, marka ini berupa garis utuh yang membujur
tersusun melintang jalur lalu lintas (zebra cross) tanpa alat pemberi
isyarat lalu lintas untuk menyeberang (pelican crossing),
sebagaimana ditunjukkan Gambar 23;
b) Garis utuh yang membujur harus memiliki panjang paling sedikit 2,5
(dua koma lima) meter dan lebar 30 (tiga puluh) sentimeter
c) Jarak di antara garis utuh yang membujur paling sedikit memiliki
lebar sama atau tidak lebih dari 2 (dua) kali lebar garis membujur
tersebut (jarak celah diantara garis-garis membujur minimal 30
sentimeter maksimal dan 60 sentimeter).

162
Gambar 23 - Marka Zebra Cross pada ruas jalan, dilengkapi dengan rambu
penyeberang jalan

Marka 2 (dua) garis utuh melintang


- marka ini berupa dua garis utuh yang melintang jalur lalu lintas dengan
alat pemberi isyarat lalu lintas untuk menyeberang (pelican crossing),
sebagaimana ditunjukkan Gambar 24;
- ukuran: jarak antar garis melintang paling sedikit 2,50 meter; lebar garis
melintang 0,30 meter;

Gambar 24 - Marka penyeberangan dua garis melintang sejajar

163
B. Pengendali Kecepatan
Salah satu alat pengendali kecepatan yang dapat dipasang sebelum fasilitas
penyeberangan sebidang adalah jendulan. Jendulan adalah fasilitas yang
dirancang dalam bentuk gangguan geometrik vertikal. Fasilitas ini
dimaksudkan untuk memberikaan efek paksaan bagi pengemudi untuk
menurunkan kecepatan. Jendulan bukan berfungsi sebagai fasilitas
penyeberangan. Kriteria pemasangan jendulan adalah sebagai berikut:
1) jendulan ditempatkan pada jalan lokal atau kolektor dengan volume
kendaraan yang lebih dari 300 kendaraan/hari tapi kurang dari 3.000
kendaraan per hari;
2) pemasangan jendulan memungkinkan untuk ruas jalan dengan
kecepatan kendaraan sekitar 30 km/jam. Jendulan dapat
diimplementasikan untuk jalan searah maupun dua arah baik terpisah
maupun tidak terpisah;
3) material yang digunakan dapat berupa aspal, karet (contoh dapat dilihat
pada Gambar 26), paving, beton, ataupun kombinasi;
4) jendulan dapat ditempatkan tegak lurus ataupun diagonal bidang jalan;
5) dimensi jendulan sebagaimana ditunjukkan
Gambar 25: Panjang: 370 – 400 cm
Tinggi: maksimal 10 cm

164
Gambar 26 - Contoh jendulan dengan material karet

C. Lapak Tunggu
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemangan lapak tunggu:
1) lapak tunggu dipasang pada jalur dengan volume lalu lintas yang cukup
besar. Contoh lapak tunggu dapat dilihat pada Gambar 27;
2) lapak tunggu harus dipasang pada jalur lalu lintas yang lebar, dimana
penyeberang jalan sulit untuk menyeberang dengan aman;
3) lebar lapak tunggu minimum adalah 1,20 meter.

D. Lampu Penerangan Fasilitas Pejalan Kaki


Terletak setiap 10 meter dengan tinggi maksimal 4 meter, dan bahan yang
digunakan adalah bahan dengan daya tahan yang tinggi seperti metal &
beton cetak.

165
E. Pagar Pengaman
Pagar pengaman diletakan di jalur fasilitas dengan tinggi 90 cm, dan bahan
yang digunakan adalah metal/beton yang tahan terhadap cuaca, kerusakan,
dan murah pemeliharaannya. Pagar pengaman dipasang apabila:
1) apabila volume pejalan kaki di satu sisi jalan sudah > 450
orang/jam/lebar efektif (dalam meter);
2) apabila volume kendaraan sudah > 500 kendaraan/jam;
3) kecepatan kendaraan > 40 km/jam;
4) kecenderungan pejalan kaki tidak meggunakan fasilitas penyeberangan;
5) bahan pagar bisa terbuat dari konstruksi bangunan atau tanaman.
F. Pelindung/Peneduh
Pelaksanaan teknis pemasangan pelindung/peneduh mengikuti Pedoman
Teknik Lansekap Jalan.
G. Jalur Hijau
H. Lebar jalur hijau 150 centimeter dan bahan yang digunakan adalah tanaman
peneduh.
I. Tempat Duduk
Tempat duduk diletakkan pada setiap jarak 10 meter dengan lebar 40-50
centimeter, panjang 150 centimeter dan bahan yang digunakan adalah bahan
dengan daya tahan yang tinggi seperti metal dan beton cetak.
J. Tempat Sampah
K. Terletak setiap 20 meter serta pada titik-titik pertemuan (misalnya
persimpangan), dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang
digunakan adalah bahan dengan daya tahan yang tinggi seperti metal dan
beton cetak.
L. Halte/Tempat Pemberhentian Bis
Halte diletakkan pada setiap radius 300 meter atau pada titik potensial
kawasan, dengan besaran sesuai kebutuhan. Bahan yang digunakan adalah
bahan yang memiliki daya tahan yang tinggi
M. Drainase
Dimensi minimal drainase adalah lebar 50 cm dan tinggi 50 cm.

166
N. Bolar
Bolar ditempatkan sekitar 30 cm dari kerb. Dimensi bolar adalah diameter
30 cm dengan ketinggian 0,6 – 1,2 meter. Jarak penempatan disesuaikan
dengan kebutuhan, namun tidak lebih dari 1,4 meter.

167
9. SNI 03-1733 TAHUN 2004 TENTANG
TATA CARA PERENCANAAN LINGKUNGAN
PERUMAHAN DI PERKOTAAN

9.1. PERSYARATAN DASAR PERENCANAAN


1. Ketentuan Umum
Beberapa ketentuan umum yang harus dipenuhi dalam merencanakan lingkungan
perumahan di perkotaan adalah:
A. Lingkungan perumahan merupakan bagian dari kawasan perkotaan sehingga
dalam perencanaannya harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) setempat atau dokumen rencana lainnya yang ditetapkan oleh
Pemerintah Kota/Kabupaten.
B. Untuk mengarahkan pengaturan pembangunan lingkungan perumahan yang
sehat, aman, serasi secara teratur, terarah serta berkelanjutan /
berkesinambungan, harus memenuhi persyaratan administrasi, teknis dan
ekologis, setiap rencana pembangunan rumah atau perumahan, baik yang
dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha perumahan.
C. Perencanaan lingkungan perumahan kota meliputi perencanaan sarana hunian,
prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas umum yang diperlukan untuk
menciptakan lingkungan perumahan perkotaan yang serasi, sehat, harmonis
dan aman. Pengaturan ini dimaksudkan untuk membentuk lingkungan
perumahan sebagai satu kesatuan fungsional dalam tata ruang fisik, kehidupan
ekonomi, dan sosial budaya.
D. Perencanaan pembangunan lingkungan perumahan harus dilaksanakan oleh
kelompok tenaga ahlinya yang dapat menjamin kelayakan teknis, yang
keberadaannya diakui oleh peraturan yang berlaku.
E. Penyediaan prasarana dan sarana lingkungan perumahan merupakan bagian
dari sistem pelayanan umum perkotaan sehingga dalam perencanaannya harus
dipadukan dengan perencanaan lingkungan perumahan dan kawasan-kawasan
fungsional lainnya.

168
F. Perencanaan pembangunan lingkungan perumahan harus menyediakan pusat-
pusat lingkungan yang menampung berbagai sektor kegiatan (ekonomi, sosial,
budaya), dari skala lingkungan terkecil (250 penduduk) hingga skala terbesar
(120.000 penduduk), yang ditempatkan dan ditata terintegrasi dengan
pengembangan desain dan perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana
lingkungan.
G. Pembangunan perumahan harus memenuhi persyaratan administrasi yang
berkaitan dengan perizinan pembangunan, perizinan layak huni dan sertifikasi
tanah, yang diatur oleh Pemerintah Kota/Kabupaten setempat dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
H. Rancangan bangunan hunian, prasarana dan sarana lingkungan harus
memenuhi persyaratan teknis kesehatan dan keselamatan sesuai Standar
Nasional Indonesia atau ketentuan-ketentuan lain yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah serta Pedoman Teknis yang disusun oleh
instansi terkait.
I. Perencanaan lingkungan perumahan juga harus memberikan kemudahan bagi
semua orang, termasuk yang memiliki ketidakmampuan fisik atau mental
seperti para penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil, penderita penyakit
tertentu atas dasar pemenuhan azas aksesibilitas (sesuai dengan Kepmen No.
468/ Thn. 1998).
J. Dalam menentukan besaran standar untuk perencanaan lingkungan perumahan
kota yang meliputi perencanaan sarana hunian, prasarana dan sarana
lingkungan, menggunakan pendekatan besaran kepadatan penduduk.
K. Dalam merencanakan kebutuhan lahan untuk sarana lingkungan, didasarkan
pada beberapa ketentuan khusus, yaitu:
1) besaran standar ini direncanakan untuk kawasan dengan kepadatan
penduduk <200 jiwa/ha;
2) untuk mengatasi kesulitan mendapatkan lahan, beberapa sarana dapat
dibangun secara bergabung dalam satu lokasi atau bangunan dengan tidak
mengurangi kualitas lingkungan secara menyeluruh;

169
3) untuk kawasan yang berkepadatan >200 jiwa/ha diberikan reduksi 15-30%
terhadap persyaratan kebutuhan lahan; dan
4) perencanaan prasarana lingkungan, utilitas umum dan sarana lingkungan
harus direncanakan secara terpadu dengan mempertimbangkan
keberadaan prasarana dan sarana yang telah ada dengan tidak mengurangi
kualitas dan kuantitas secara menyeluruh.
L. Dalam menentukan besaran standar untuk perencanaan kawasan perumahan
baru di kota/new development area yang meliputi perencanaan sarana hunian,
prasarana dan sarana lingkungan, pengembangan desain dapat
mempertimbangkan sistem blok / grup bangunan/ cluster untuk memudahkan
dalam distribusi sarana lingkungan dan manajemen sistem pengelolaan
administratifnya. Apabila dengan sistem blok / grup bangunan/ cluster ternyata
pemenuhan sarana hunian, prasarana dan sarana lingkungan belum dapat
terpenuhi sesuai besaran standar yang ditentukan, maka pengembangan desain
dapat mempertimbangkan sistem radius pelayanan bagi penempatan sarana dan
prasaran lingkungan, yaitu dengan kriteria pemenuhan distribusi sarana dan
prasarana lingkungan dengan memperhatikan kebutuhan lingkungan sekitar
terdekat.
M. Perencanaan lingkungan permukiman untuk hunian bertingkat (≈ rumah susun)
harus mempertimbangkan sasaran pemakai yang dilihat dari tingkat
pendapatan KK penghuni.

2. Persyaratan Lokasi
Lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
A. Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen
perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat,
dengan kriteria sebagai berikut:
4) Kriteria keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut
bukan merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan pertanian, hutan

170
produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas bangunan pada area
Bandara, daerah dibawah jaringan listrik tegangan tinggi;
5) Kriteria kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut
bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di atas ambang batas,
pencemaran air permukaan dan air tanah dalam;
6) Kriteria kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian (aksesibilitas),
kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, langsung atau tidak langsung),
kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana lingkungan tersedia)
7) Kriteria keindahan/keserasian/keteraturan (kompatibilitas), dicapai dengan
penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan lingkungan yang
ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh rawa atau
danau/setu/sungai/kali dan sebagainya;
8) Kriteria fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan
pertumbuhan fisik/pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan
kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana;
9) Kriteria keterjangkauan jarak, dicapai dengan mempertimbangkan jarak
pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna
lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana-utilitas lingkungan; dan
10) Kriteria lingkungan berjati diri, dicapai dengan mempertimbangkan
keterkaitan dengankarakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama aspek
kontekstual terhadap lingkungan tradisional/lokal setempat.
B. Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status
kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan ekologis.
C. Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan
mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta
pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin
tumbuh di kawasan yang dimaksud.

3. Persyaratan Fisik
Ketentuan dasar fisik lingkungan perumahan harus memenuhi faktor-faktor berikut
ini:

171
A. Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali denga
rekayasa/ penyelesaian teknis.
B. Kemiringan lahan tidak melebihi 15% (lihat Tabel 2) dengan ketentuan:
4) Tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi
datarlandai dengan kemiringan 0-8%; dan
5) Diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%.

9.2. ASUMSI DAN KEBUTUHAN INFORMASI


1. Data Dasar Lingkungan Perumahan
1 RT : terdiri dari 150 – 250 jiwa penduduk
1 RW : (2.500 jiwa penduduk) terdiri dari 8 – 10 RT
1 kelurahan (≈ lingkungan) : (30.000 jiwa penduduk) terdiri dari 10 – 12 RW
1 kecamatan : (120.000 jiwa penduduk) terdiri dari 4 – 6 kelurahan / lingkungan
kota : terdiri dari sekurang-kurangnya 1 kecamatan
Penentuan asumsi dasar satuan unit lingkungan dapat dipertimbangkan dan
disesuaikandengan kondisi konteks lokal yang telah dimiliki. Contoh kasus di
daerah Bali, satuan unit lingkungan RW ≈ banjar dinas, satuan unit lingkungan
kelurahan ≈ lingkungan ≈ desa dinas. Sedangkan kasus di daerah Padang,
satuan unit lingkungan kelurahan ≈ nagariyang terdiri dari > 10 RW.

2. Asumsi Dasar Lingkungan Perumahan


Jumlah penghuni rumah rata-rata : 5 jiwa
Kecepatan rata-rata pejalan kaki : 4.000 m / jam
Jarak ideal jangkauan pejalan kaki : 400 m

3. Lembar Kontrol Kebutuhan Data Dan Informasi Untuk Analisis


Berbagai kebutuhan data dan informasi akan diperlukan pada saat memulai suatu
perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan. Data dan informasi ini tidak
saja dalam rangka memenuhi persyaratan kelengkapan administratif bagi
lingkungan tersebut, melainkan juga memenuhi kebutuhan sumber data pada
saat analisis perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan. Data dan

172
informasi tersebut dirangkum dalam tabel di bawah ini dan berlaku sebagai
suatu lembar kontrol (check list).

9.3. PERENCANAAN KEBUTUHAN SARANA HUNIAN


1. Ketentuan Dasaar Perencanaan
Untuk merencanakan bangunan rumah yang memenuhi persyaratan teknis
kesehatan, keamanan dan kenyamanan, data dan informasi yang perlu dipersiapkan:
1) jumlah dan komposisi anggota keluarga;
2) penghasilan keluarga;
3) karakteristik nilai sosial budaya yang membentuk kegiatan berkeluarga dan
kemasyarakatan;
4) kondisi topografi dan geografi area rencana sarana hunian;
5) kondisi iklim; suhu, angin, kelembaban kawasan yang direncanakan;
6) pertimbangan gangguan bencana alam;
7) kondisi vegetasi eksisting dan sekitar; dan
8) peraturan setempat, seperti rencana tata ruang yang meliputi GSB, KDB, KLB,
dan sejenisnya, atau peraturan bangunan secara spesifik, seperti aturan khusus
arsitektur, keselamatan dan bahan bangunan.
9) Kebutuhan data dan informasi pada perencanaan bangunan sarana hunian ini
dapat mengacu secara terinci pada peraturan lain mengenai hal tersebut.

2. Penggolongan
Acuan penggolongan sarana hunian ini berdasarkan beberapa ketentuan / peraturan
yang telah berlaku, berdasarkan tipe wujud fisik arsitektural dibedakan atas hunian
tidak bertingkat dan hunian bertingkat
A. Persyaratan dan Kriteria
1) Hunian tidak bertingkat
Dalam merencanakan bangunan rumah harus memperhatikan keselamatan dan
kenyamanan rumah dengan mengacu pada standar-standar sebagaimana
diuraikan pada berbagai SNI dan peraturan lainnya yang telah diberlakukan.

173
2) Hunian Bertingkat
Hunian bertingkat dapat dikembangkan pada kawasan-lingkungan perumahan
yang direncanakan untuk kepadatan penduduk >200 Jiwa/ha, berdasarkan
Rencana Tata Ruang Wilayah atau dokumen rencana lainnya, yaitu kawasan-
kawasan:
a) pusat kegiatan kota;
b) kawasan-kawasan dengan kondisi kepadatan penduduk sudah
mendekati atau melebihi 200 jiwa/ha; dan
c) kawasan-kawasan khusus yang karena kondisinya memerlukan rumah
susun, seperti kawasan-kawasan industri, pendidikan dan campuran.

Pembangunan hunian bertingkat mempertimbangkan hal-hal berikut;


a) Rumah susun terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut: bagian pribadi,
yaitu satuan hunian rumah susun (sarusun) bagian bersama, yaitu bagian
rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama
dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun dan dapat
berupa ruang untuk umum, struktur dan komponen kelengkapan rumah
susun, prasarana lingkungan dan sarana lingkungan yang menyatu dengan
bagunan rumah susun.
b) Rumah susun harus dilengkapi sarana lingkungan yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya, termasuk sarana perniagaan, sarana ibadah, sarana kesehatan,
sarana peribadatan, sarana pemerintahan dan pelayanan umum serta
pertamanan.
c) Bangunan rumah susun harus dilengkapi dengan alat transportasi
bangunan, pintu dan tangga darurat kebakaran, alat dan sistem alarm
kebakaran, alat pemadam kebakaran, penangkal petir, dan jaringan-
jaringan air bersih, saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air
limbah, tempat pewadahan sampah, tempat jemuran, kelengkapan
pemeliharaan bangunan, jaringan listrik, generator listrik, gas, tempat
untuk kemungkinan pemasangan jaringan telepon dan alat komunikasi

174
lainnya, yang memenuhi persyaratan teknis, mengacu kepada Standar
Nasional atau peraturan bangunan gedung yang sudah ada.

B. Besaran Dan Luas


1) Hunian tidak bertingkat
Untuk menentukan luas minimum rata-rata perpetakan tanah didasarkan pada
faktor-faktor kehidupan manusia (kegiatan), faktor alam dan peraturan
bangunan. Luas lantai minimum per orang dapat diperhitungkan dengan
rumusan:

Rumus 1 Kebutuhan luas lantai minimum hunian per orang


L per Orang =
U/Tp
Keterangan:
L per orang : Luas lantai hunian per orang
U : Kebutuhan udara segar/orang/jam dalam satuan m3
Tp : Tinggi plafon minimal dalam satuan m

Berdasarkan kegiatan yang terjadi didalam rumah hunian, yaitu; tidur (ruang
tidur), masak, makan (dapur), mandi (kamar mandi), duduk (ruang
duduk/ruang tamu), kebutuhan udara segar per orang dewasa per jam 16 - 24
m3 dan per anak-anak per jam 8 - 12 m3 , dengan pergantian udara dalam ruang
sebanyak-banyaknya 2 kali per jam dan tinggi plafon rata-rata 2,5 m, maka luas
lantai perorang (Acuan dari Data Arsitek, Neufert, Ernst, Jilid I-II) :

Rumus 2 Kebutuhan luas lantai minimum hunian per orang bagi dewasa
dan anak
L per Orang Dewasa = U dws/Tp = 24 m3/2,5 m = 9,6 m2
L per Orang Anak = U anak/Tp = 12 m3 = 2,5 m = 4,8 m2

175
Keterangan:
Udws : Kebutuhan udara segar/orang dewasa/jam dalam satuan m3
Uank : Kebutuhan udara segar/orang anak-anak/jam dalam satuan m3
Tp : Tinggi plafon minimal dalam satuan m

Jadi bila 1 kk terkecil rata-rata terdiri dari 5 orang (ayah + ibu + 3 anak) maka
kebutuhan luas lantai minimum dihitung sebagai berikut :
- Luas lantai utama = (2x9,6) + (3x4,8) m2 = 33,6 m2
- Luas lantai pelayanan = 50% x 33,6 m2 = 16,8 m2
- Total Luas Lantai = 51 m2
Jika koefisien dasar bangunan 50%, maka luas kaveling minimum untuk
keluarga dengan anggota 5 orang :

Rumus 3 Kebutuhan kavling minimum


L kav minimum = 100/50 x 51 m2 = 100 m2 (1 kel = 5 orang) 50

Keterangan:
K kav minimum : Luas kavling minimum
CATATAN Acuan dari Data Arsitek, Neufert, Ernst, Jilid I-II

2) Hunian Bertingkat
a) Rancangan bangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan
keamanan, keselamatan, kesehatan dan kenyamanan bagi penghuni
dan/atau pemakainya, sebagaimana ketentuan untuk bangunan hunian
tidak bertingkat.
b) Selain harus memenuhi persyaratan keselamatan dan kenyamanan teknis
sebagaimana diuraikan pada Ketentuan umum tentang rancangan
bangunan (4.5), rancangan bangunan hunian bertingkat juga harus
mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar sebagai
berikut:
 SNI 03-2845-1992 tentang Tata cara perencanaan rumah susun modular;

176
 SNI 03-2846-1992 tentang Tata cara perencanaan kepadatan bangunan
lingkungan, bangunan rumah susun hunian;
 SNI 03-6573-2001 tentang Transportasi vertikal

9.4. PERENCANAAN KEBUTUHAN SARANA DAN PRASARANA


LINGKUNGAN

1. Sarana Pemerintahan dan Pelayanan Umum


A. Jenis sarana
Yang termasuk dalam sarana pemerintahan dan pelayanan umum adalah:
1) kantor-kantor pelayanan / administrasi pemerintahan dan administrasi
kependudukan;
2) kantor pelayanan utilitas umum dan jasa; seperti layanan air bersih
(PAM), listrik (PLN), telepon, dan pos; serta
3) pos-pos pelayanan keamanan dan keselamatan; seperti pos keamanan dan
pos pemadam kebakaran.
B. Kebutuhan ruang dan lahan
C. Kebutuhan lahan bagi sarana pada unit RW (2.500 jiwa penduduk) balai
pertemuan warga luas lahan min. 300 m2 pos hansip luas lahan min. 12
m2 gardu listrik luas lahan min. 30 m2 telepon umum, bis surat, bak
sampah kecil luas lahan min. 30 m2 parkir umum luas lahan min. 100 m2
(standar satuan parkir = 25 m2) Pada kasus lingkungan perumahan dengan
kondisi tertentu, dimana masyarakat belum mampu menyiapkan sarana
mandi, cuci, buang air, dalam rumah tinggalnya masing-masing, dapat
dilengkapi dengan sarana pelayanan umum MCK bersama. Ketentuan
pembangunan MCK bersama adalah : satu jamban / unit dan satu kamar
mandi/unit melayani 12 KK ≈ 60 orang sarana dan prasarana air bersih,
saluran pembuangan, peresapan, septitanc luas minimal bangunan 3.0 x
7.0 m2 ≈ 21.0 m2 luas minimal lahan 6.0 x 7.0 m2 ≈ 42.0 m2 lokasi terletak
di pusat lingkungan tingkat 250 penduduk (RT).

177
D. Kebutuhan lahan bagi sarana pada unit Kelurahan (30.000 jiwa penduduk)
kantor kelurahan luas lahan min. 1.000 m2 pos kamtib luas lahan min. 200
m2 pos pemadam kebakaran luas lahan min. 200 m2 agen pelayanan pos
luas lahan min. 72 m2 loket pembayaran air bersih luas lahan min. 60 m2
loket pembayaran listrik luas lahan min. 60 m2 telepon umum, bis surat,
bak sampah besar luas lahan min. 60 m2 parkir umum luas lahan min. 500
m2 (standar satuan parkir = 25 m2) Gedung serba guna yang akan
disediakan sebagai sarana kebudayaan dan rekreasi ini dapat sekaligus
melayani kebutuhan kegiatan administrasi/kepemerintahan setempat,
kegiatan warga seperti; karang taruna, PKK, dan sebagainya.
Kebutuhannya: balai serba guna / balai karang taruna luas lahan min. 1.000
m2 luas lantai min. 500 m2 Parkir umum yang disediakan akan
diintegrasikan antara kebutuhan kantor kelurahan dengan kebutuhan
gedung serba guna / balai karang taruna ini. Tempat sampah pada lingkup
Kelurahan berupa bak sampah besar, merupakan tempat pembuangan
sementara sampah-sampah dari lingkungan RW yang diangkut gerobak
sampah.
E. Kebutuhan lahan bagi sarana pada unit Kecamatan (120.000 jiwa
penduduk) kantor kecamatan luas lahan min. 2.500 m2 kantor polisi luas
lahan min. 1.000 m2 pos pemadam kebakaran luas lahan min. 1.000 m2
kantor pos pembantu luas lahan min. 500 m2 stasiun telepon otomat dan
agen pelayanan gangguan telepon luas lahan min. 1.000 m2 balai nikah /
KUA / BP4 luas lahan min. 750 m2 telepon umum, bis surat luas lahan
min. 80 m2 parkir umum luas lahan min. 2.000 m2 (standar satuan parkir
= 25 m2) Gedung pertemuan / serba guna yang akan disediakan sebagai
sarana kebudayaan dan rekreasi ini dapat sekaligus melayani kebutuhan
aktifitas administrasi

178
2. Sarana Pendidikan dan Pembelajaran
a) Jenis sarana
Adapun penggolongan jenis sarana pendidikan dan pembelajaran ini meliputi:
1) taman kanak-kanak (TK), yang merupakan penyelenggaraan kegiatan
belajar dan mengajar pada tingkatan pra belajar dengan lebih menekankan
pada kegiatan bermain, yaitu 75%, selebihnya bersifat pengenalan;
2) sekolah dasar (SD), yang merupakan bentuk satuan pendidikan dasar yang
menyelenggarakan program enam tahun;
3) sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), yang merupakan bentuk satuan
pendidikan dasar yang menyelenggarakan proram tiga tahun sesudah
sekolah dasar (SD);
4) sekolah menengah umum (SMU), yang merupakan satuan pendidikan
yang menyelenggarakan program pendidikan menengah mengutamakan
perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan siswa untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi;
5) sarana pembelajaran lain yang dapat berupa taman bacaan ataupun
perpustakaan umum lingkungan, yang dibutuhkan di suatu lingkungan
perumahan sebagai sarana untuk meningkatkan minat membaca,
menambah ilmu pengetahuan, rekreasi serta sarana penunjang pendidikan.
b) Kebutuhan ruang dan lahan
Berbagai pertimbangan yang harus diperhatikan pada penentuan kebutuhan
ruang dan lahan adalah:
1) Penyediaan jumlah sarana pendidikan dan pembelajaran yang harus.
2) Kebutuhan sarana pendidikan prabelajar serta pendidikan tingkat dasar
danmenengah, harus direncanakan berdasarkan perhitungan proyeksi
jumlah siswa.
3) Perencanaan kebutuhan ruang dan lahan untuk sarana pendidikan
didasarkan tipe masing-masing sekolah yang dibedakan menurut:
 jumlah rombongan belajar;
 jumlah peserta didik;

179
 jumlah tenaga kependidikan; kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru,
dan tenaga tata usaha;
 kebutuhan ruang belajar, ruang kantor, dan ruang penunjang;
 luas tanah, dan lingkungan/lokasi sekolah.
 Kebutuhan luas lantai dan lahan untuk masing-masing sarana pendidikan
tergantung pada tipe sekolah untuk masing-masing tingkatan pendidikan.

3. Sarana Kesehatan
a) Jenis sarana
Beberapa jenis sarana yang dibutuhkan adalah:
1) Posyandu
2) Balai pengobatan
3) Balai kesejahteraan ibu dan anak (BKIA) / Klinik Bersalin
4) Puskesmas dan balai pengobatan
5) Tempat praktek dokter
6) Apotik
4. Sarana Peribadatan
a) Jenis sarana
Adapun jenis sarana ibadah untuk agama Islam, direncanakan sebagai berikut:
1) kelompok penduduk 250 jiwa, diperlukan musholla/langgar;
2) kelompok penduduk 2.500 jiwa, disediakan masjid;
3) kelompok penduduk 30.000 jiwa, disediakan masjid kelurahan; dan
4) kelompok penduduk 120.000 jiwa, disediakan masjid kecamatan.

Untuk sarana ibadah agama lain, direncanakan sebagai berikut:


1) katolik mengikuti paroki;
2) hindu mengikuti adat; dan
3) budha dan kristen protestan mengikuti sistem kekerabatan atau hirarki
lembaga.

180
b) Kebutuhan ruang dan lahan

Untuk sarana ibadah agama Islam dan Kristen Protestan dan Katolik,
kebutuhan ruang dihitung dengan dasar perencanaan 1,2 m2/jemaah, termasuk
ruang ibadah, ruang pelayanan dan sirkulasi pergerakan. Untuk sarana ibadah
agama Islam, luas lahan minimal direncanakan sebagai berikut:
1) musholla/langgar dengan luas lahan minimal 45 m2;
2) mesjid dengan luas lahan minimal 300 m2;
3) mesjid kelurahan dengan luas lahan minimal 1.800 m2 ;
4) mesjid kecamatan dengan luas lahan minimal 3.600 m2 ;

Untuk agama lain, kebutuhan ruang dan lahan disesuaikan dengan kebiasaan
penganut agama setempat dalam melakukan ibadah agamanya.

5. Sarana Perdagangan dan Niaga


a) Jenis sarana
Menurut skala pelayanan, penggolongan jenis sarana perdagangan dan niaga
adalah:
1) toko/warung (skala pelayanan unit RT ≈ 250 penduduk), yang menjual
barang-barang kebutuhan sehari-hari;
2) pertokoan (skala pelayanan 6.000 penduduk), yang menjual barang-barang
kebutuhan sehari-hari yang lebih lengkap dan pelayanan jasa seperti
wartel, fotocopy, dan sebagainya;
3) pusat pertokoan dan atau pasar lingkungan (skala pelayanan unit kelurahan
≈ 30.000 penduduk), yang menjual keperluan sehari-hari termasuk sayur,
daging, ikan, buah-buahan, beras, tepung, bahan-bahan pakaian, pakaian,
barang-barang kelontong, alat-alat pendidikan, alat-alat rumah tangga,
serta pelayanan jasa seperti warnet, wartel dan sebagainya;
4) pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit kecamatan ≈ 120.000
penduduk), yang selain menjual kebutuhan sehari-hari, pakaian, barang
kelontong, elektronik, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan, reparasi,
unit-unit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat hiburan serta

181
kegiatan niaga lainnya seperti kantor-kantor, bank, industri kecil dan lain-
lain.
b) Kebutuhan ruang dan lahan
Besaran kebutuhan ruang dan lahan menurut penggolongan jenis sarana
perdagangan dan niaga adalah:
1) warung / toko
Luas lantai yang dibutuhkan ± 50 m2 termasuk gudang kecil. Apabila
merupakan bangunan tersendiri (tidak bersatu dengan rumah tinggal), luas
tanah yang dibutuhkan adalah 100 m2.
2) Pertokoan (skala pelayanan untuk 6.000 penduduk) Luas lantai yang
dibutuhkan 1.200 m2. Sedangkan luas tanah yang dibutuhkan 3.000 m2 .
Bangunan pertokoan ini harus dilengkapi dengan:
 tempat parkir kendaraan umum yang dapat dipakai bersama kegiatan lain
pada pusat lingkungan
 sarana-sarana lain yang erat kaitannya dengan kegiatan warga;
 pos keamanan.
 pusat pertokoan dan atau pasar lingkungan (skala pelayanan unit kelurahan
≈ 30.000 penduduk) Luas tanah yang dibutuhkan: 10.000 m2. Bangunan
pusat pertokoan / pasar lingkungan ini harus dilengkapi dengan:(1)tempat
parkir umum, sudah termasuk kebutuhan luas tanah;(2) terminal kecil atau
pangkalan untuk pemberhentian kendaraan;(3) pos keamanan;(4) sistem
pemadam kebakaran;(5) musholla/tempat ibadah.
3) pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit kelurahan ≈ 120.000
penduduk) Luas tanah yang dibutuhkan adalah 36.000 m2. Bangunan
pusat perbelanjaan harus dilengkapi:
 tempat parkir umum, sudah termasuk kebutuhan luas tanah;
 terminal atau pangkalan untuk pemberhentian kendaraan;
 pos keamanan;
 sistem pemadam kebakaran;
 musholla/tempat ibadah.

182
6. Sarana Kebudayaan dan Rekreasi
a) Jenis sarana
Penetapan jenis/macam sarana kebudayaan dan rekreasi pada suatu daerah
sangat tergantung pada kondisi setempat area tersebut, yaitu menyangkut
faktor-faktor tata kehidupan penduduknya dan struktur sosial penduduknya.
Menurut lingkup pelayanannya, jenis sarana kebudayaan dan rekreasi meliputi:
1) balai warga/balai pertemuan (skala pelayanan unit RW ≈ 2.500 penduduk);
2) balai serbaguna (skala pelayanan unit Kelurahan ≈ 30.000 penduduk);
3) gedung pertemuan/gedung serbaguna (skala pelayanan unit kecamatan ≈
120.000 penduduk);
4) bioskop (skala pelayanan unit kecamatan ≈ 120.000 penduduk).
b) Kebutuhan ruang dan lahan
1) balai warga/balai pertemuan, luas lantai yang dibutuhkan 150 m2 dan luas
lahan yang dibutuhkan 300 m2
2) balai serbaguna, luas lantai yang dibutuhkan 500 m2 dan luas lahan yang
dibutuhkan 1.000 m2
3) gedung pertemuan / gedung serbaguna, luas lantai yang dibutuhkan 1.500
m2 dan luas lahan yang dibutuhkan 2.500 m2
4) bioskop, luas lantai yang dibutuhkan 1.000 m2 dan luas lahan yang
dibutuhkan 2.000 m2 (dapat menjadi bagian dari pusat perbelanjaan dan
niaga).

7. Sarana Ruang Terbuka, Taman Dan Lapangan Olah Raga


a) Jenis sarana
Penggolongan sarana ruang terbuka hijau di lingkungan perumahan
berdasarkan kapasitas pelayanannya terhadap sejumlah penduduk.
Keseluruhan jenis ruang terbuka hijau tersebut adalah:
1) setiap unit RT ≈ kawasan berpenduduk 250 jiwa dibutuhkan minimal 1
untuk taman yang dapat memberikan kesegaran pada kota, baik udara
segar maupun cahaya matahari, sekaligus tempat bermain anak-anak;

183
2) setiap unit RW ≈ kawasan berpenduduk 2.500 jiwa diperlukan sekurang-
kurangnya satu daerah terbuka berupa taman, di samping daerah-daerah
terbuka yang telah ada pada tiap kelompok 250 penduduk sebaiknya, yang
berfungsi sebagai taman tempat main anak-anak dan lapangan olah raga
kegiatan olah raga
3) setiap unit Kelurahan ≈ kawasan berpenduduk 30.000 jiwa diperlukan
taman dan lapangan olahraga untuk melayani kebutuhan kegiatan
penduduk di area terbuka, seperti pertandingan olah raga, upacara serta
kegiatan lainnya
4) setiap unit Kecamatan ≈ kawasan berpenduduk 120.000 jiwa, harus
memiliki sekurangkurangnya 1 (satu) lapangan hijau terbuka yang
berfungsi sebagai tempat pertandingan olah raga (tenis lapangan, bola
basket dan lain-lain), upacara serta kegiatan lainnya yang membutuhkan
tempat yang luas dan terbuka;
5) setiap unit Kecamatan ≈ kawasan berpenduduk 120.000 jiwa, harus
memiliki sekurangkurangnya 1 (satu) ruang terbuka yang berfungsi
sebagai kuburan/pemakaman umum;dan
6) selain taman dan lapangan olah raga terbuka, harus disediakan jalur-jalur
hijau sebagai cadangan/sumber-sumber alam, sekaligus berfungsi sebagai
filter dari polusi yang dihasilkan oleh industri, dengan lokasi menyebar.
7) diperlukan penyediaan jalur hijau sebagai jalur pengaman lintasan kereta
api, dan jalur pengaman bagi penempatan utilitas kota, dengan lokasi
menyebar;
8) pada kasus tertentu, mengembangkan pemanfaatan bantaran sungai
sebagai ruang terbuka hijau atau ruang interaksi sosial (river walk) dan
olahraga
b) Kebutuhan luas lahan ruang terbuka hijau berdasarkan kapasitas
pelayanan sesuai jumlah penduduk, dengan standar 1 m2 /penduduk.
Kebutuhan lahan tersebut adalah:
1) taman untuk unit RT ≈ 250 penduduk, sekurang-kurangnya diperlukan 250
m2 atau dengan standar 1 m2/penduduk.

184
2) taman untuk unit RW ≈ 2.500 penduduk, dibutuhkan minimal 1.250 m2
atau dengan standar 0,5 m2/penduduk yang lokasinya dapat disatukan
dengan pusat kegiatan RW lainnya, seperti balai pertemuan, pos hansip
dan sebagainya.
3) taman dan lapangan olah raga untuk unit Kelurahan ≈ 30.000 penduduk,
diperlukan lahan seluas 9.000 m2 atau dengan standar 0,3 m2/penduduk.
4) taman dan lapangan olah raga untuk unit Kecamatan ≈ 120.000 penduduk,
diperlukan lahan seluas 24.000 m2 (2,4 hektar) atau dengan standar 0,2
m2/penduduk.
5) dibutuhkan jalur hijau seluas 15m2 / penduduk yang lokasinya menyebar;
dan
6) besarnya lahan kuburan/pemakaman umum tergantung dari sistem
penyempurnaan yang dianut sesuai agama dan kepercayaan masing-
masing. Acuan perhitungan luasan berdasarkan angka kematian setempat
dan/atau sistem penyempurnaan.

8. Prasarana/Utilitas – Jaringan jalan


a) Jenis prasarana dan utilitas
Jenis prasarana dan utilitas pada jaringan jalan yang harus disediakan
ditetapkan menurut klasifikasi jalan perumahan yang disusun berdasarkan
hirarki jalan, fungsi jalan dan kelas kawasan/lingkungan perumahan.
b) Persyaratan, kriteria, kebutuhan ruang dan lahan
Jalan perumahan yang baik harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman
bagi pergerakan pejalan kaki, pengendara sepeda dan pengendara
kendaraan bermotor. Selain itu harus didukung pula oleh ketersediaan
prasarana pendukung jalan, seperti perkerasan jalan, trotoar, drainase,
lansekap, rambu lalu lintas, parkir dan lain-lain.

185
9. Prasarana/ Utilitas – Jaringan drainase
Jaringan drainase adalah prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke
badan penerima air dan atau ke bangunan resapan buatan, yang harus disediakan
pada lingkungan perumahan di perkotaan.

10. Prasarana/ Utilitas – Jaringan air bersih


Beberapa ketentuan yang terkait adalah SNI 03-2399-1991 tentang Tata Cara
Perencanaan Bangunan MCK Umum dan SNI 03-1745-1989 tentang Tata Cara
Pemasangan Sistem Hidran Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan
Rumah dan Gedung.
a) Jenis elemen perencanaan
Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan air bersih yang harus disediakan pada
lingkungan perumahan di perkotaan adalah kebutuhan air bersih, jaringan air
bersih, kran umum, dan hidran kebakaran.
b) Persyaratan, kriteria dan kebutuhan
Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan yang harus dipenuhi adalah:
1) Penyediaan kebutuhan air bersih
2) lingkungan perumahan harus mendapat air bersih yang cukup dari perusahaan
air minum atau sumber lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
3) apabila telah tersedia sistem penyediaan air bersih kota atau sistem penyediaan
air bersih lingkungan, maka tiap rumah berhak mendapat sambungan rumah
atau sambungan halaman.
4) Penyediaan jaringan air bersih
5) Penyediaan kran umum
a) satu kran umum disediakan untuk jumlah pemakai 250 jiwa;
b) radius pelayanan maksimum 100 meter;
c) kapasitas minimum untuk kran umum adalah 30 liter/orang/hari; dan
d) ukuran dan konstruksi kran umum sesuai dengan SNI 03-2399-1991 tentang
Tata Cara Perencanaan Bangunan MCK Umum.

Penyediaan hidran kebakaran


a) untuk daerah komersial jarak antara kran kebakaran 100 meter;

186
b) untuk daerah perumahan jarak antara kran maksimum 200 meter;
c) jarak dengan tepi jalan minimum 3.00 meter;
d) apabila tidak dimungkinkan membuat kran diharuskan membuat sumur-sumur
kebakaran; dan
e) perencanaan hidran kebakaran mengacu pada SNI 03-1745-1989 tentang Tata
Cara Pemasangan Sistem Hidran Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Rumah dan Gedung.

11. Prasarana/ Utilitas – Jaringan air limbah


a) Jenis elemen perencanaan
Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan air limbah yang harus disediakan
pada lingkungan perumahan di perkotaan adalah septik tank, bidang resapan
dan jaringan pemipaan air limbah.
b) Persyaratan, kriteria dan kebutuhan
Lingkungan perumahan harus dilengkapi dengan sistem pembuangan air
limbah yang memenuhi ketentuan perencanaan plambing yang berlaku.
Apabila kemungkinan membuat tangki septik tidak ada, maka lingkungan
perumahan harus dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah lingkungan
atau harus dapat disambung pada sistem pembuangan air limbah kota atau
dengan cara pengolahan lain. Apabila tidak memungkinkan untuk membuat
bidang resapan pada setiap rumah, maka harus dibuat bidang resapan bersama
yang dapat melayani beberapa rumah.

12. Prasarana/ Utilitas – Jaringan persampahan


a) Jenis elemen perencanaan
Jenis-jenis elemen perencanaan yang harus disediakan adalah gerobak sampah;
bak sampah; tempat pembuangan sementara (TPS); dan tempat pembuangan
akhir (TPA).
b) Persyaratan, kriteria dan kebutuhan
Distribusi dimulai pada lingkup terkecil RW, Kelurahan, Kecamatan hingga
lingkup Kota.

187
13. Prasarana/ Utilitas – Jaringan listrik
Pemasangan seluruh instalasi di dalam lingkungan perumahan ataupun dalam
bangunan hunian juga harus direncanakan secara terintegrasi dengan berdasarkan
peraturanperaturan dan persyaratan tambahan yang berlaku, seperti:
a) Peraturan Umum Instalasi Listrik (PUIL);
b) peraturan yang berlaku di PLN wilayah setempat; dan
c) peraturan-peraturan lain yang masih juga dipakai seperti antara lain AVE.

Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan listrik yang harus disediakan pada
lingkungan perumahan di perkotaan adalah kebutuhan daya listrik dan jaringan
listrik.
Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan yang harus dipenuhi adalah:
a) Penyediaan kebutuhan daya listrik
1) setiap lingkungan perumahan harus mendapatkan daya listrik dari PLN
atau dari sumber lain; dan
2) setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450
VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari total
kebutuhan rumah tangga.
b) Penyediaan jaringan listrik
1) disediakan jaringan listrik lingkungan dengan mengikuti hirarki
pelayanan, dimana besar pasokannya telah diprediksikan berdasarkan
jumlah unit hunian yang mengisi blok siap bangun;
2) disediakan tiang listrik sebagai penerangan jalan yang ditempatkan
pada area damija (daerah milik jalan) pada sisi jalur hijau yang tidak
menghalangi sirkulasi pejalan kaki di trotoar
3) disediakan gardu listrik untuk setiap 200 KVA daya listrik yang
ditempatkan pada lahan yang bebas dari kegiatan umum;
4) adapun penerangan jalan dengan memiliki kuat penerangan 500 lux
dengan tinggi > 5 meter dari muka tanah;
5) sedangkan untuk daerah di bawah tegangan tinggi sebaiknya tidak
dimanfaatkan untuk tempat tinggal atau kegiatan lain yang bersifat
permanen karena akan membahayakan keselamatan

188
14. Prasarana/ Utilitas – Jaringan Telepon
a) Jenis elemen perencanaan
Jenis prasarana dan utilitas jaringan telepon yang harus disediakan pada
lingkungan perumahan di perkotaan adalah kebutuhan sambungan
telepon dan jaringan telepon.
b) Persyaratan, kriteria, dan kebutuhan
Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan yang harus dipenuhi
adalah:
1) Penyediaan kebutuhan sambungan telepon
 tiap lingkungan rumah perlu dilayani sambungan telepon rumah
dan telepon umum sejumlah 0,13 sambungan telepon rumah per
jiwa atau dengan menggunakan asumsi berdasarkan tipe rumah
sebagai berikut: - R-1, rumah tangga berpenghasilan tinggi :
2-3 sambungan/rumah - R-2, rumah tangga berpenghasilan
menengah : 1-2 sambungan/rumah - R-3, rumah tangga
berpenghasilan rendah : 0-1 sambungan/rumah
 dibutuhkan sekurang-kurangnya 1 sambungan telepon umum
untuk setiap 250 jiwa penduduk (unit RT) yang ditempatkan
pada pusat-pusat kegiatan lingkungan RT tersebut;
 ketersediaan antar sambungan telepon umum ini harus memiliki
jarak radius bagi pejalan kaki yaitu 200 - 400 m;
 penempatan pesawat telepon umum diutamakan di area-area
publik seperti ruang terbuka umum, pusat lingkungan, ataupun
berdekatan dengan bangunan sarana lingkungan; dan
 penempatan pesawat telepon harus terlindungi terhadap cuaca
(hujan dan panas matahari) yang dapat diintegrasikan dengan
kebutuhan kenyamanan pemakai telepon umum tersebut.
2) Penyediaan jaringan telepon
 tiap lingkungan rumah perlu dilayani jaringan telepon
lingkungan dan jaringan telepon ke hunian;

189
 jaringan telepon ini dapat diintegrasikan dengan jaringan
pergerakan (jaringan jalan) dan jaringan prasarana / utilitas lain;
 tiang listrik yang ditempatkan pada area pada sisi jalur hijau yang
tidak menghalangi sirkulasi pejalan kaki di trotoar; dan
 stasiun telepon otomat (STO) untuk setiap 3.000 – 10.000
sambungan dengan radius pelayanan 3 – 5 km dihitung dari
copper center, yang berfungsi sebagai pusat pengendali jaringan
dan tempat pengaduan pelanggan.

15. Prasarana/ Utilitas – Jaringan transportasi lokal


a) Pendekatan konsep perencanaan/desain
Pendekatan perencanaan desain jaringan transportasi lokal pada suatu
lingkungan perumahan harus mempertimbangkan konsep perencanaan
pengembangan lingkungan yang berorientasi transit (Transit-Oriented
Development – TOD). Secara umum konsep ini menetapkan adanya
desain suatu pusat lingkungan yang memiliki beragam kegiatan sebagai
sarana lingkungan yang sekaligus juga merupakan pusat kegiatan
pergerakan transit lokal baik antar moda transit yang sama maupun
dengan berbagai moda transit yang berbeda, dengan
mempertimbangkan aspek jangkauan kenyamanan berjalan kaki sebagai
orientasi utamanya.
Pendekatan desain pada konsep ini tidak hanya menyangkut desain
sistem transportasi – dalam hal ini sistem transit– saja, melainkan juga
akan terkait dengan bagaimana alokasi dan penataan berbagai elemen
rancangan ruang kota yang lain, seperti peruntukan lahan, intensitas
pemanfaatan lahan, tata bangunan, ruang terbuka dan tata hijau, sistem
sirkulasi dan penghubung, dan lain sebagainya. Beberapa prinsip umum
pada konsep perencanaan lingkungan yang berorientasi transit (TOD)
ini adalah:
1) pendekatan perencanaan berskala regional yang mengutamakan
kekompakan dengan penataan kegiatan transit;

190
2) perencanaan yang menempatkan sarana lingkungan dengan
peruntukan beragam dan campuran pada area pusat lingkungan dan
pusat transit ini;
3) pembentukan lingkungan yang sangat mendukung / ‘ramah’ bagi
pejalan kaki;
4) perencanaan desain yang mempertahankan area cadangan terutama
area hijau;
5) pendekatan desain dengan mengutamakan kenyamanan kehidupan
pada ruang publik dan pusat lingkungan bersama selain pada ruang
privat; dan
6) pengembangan yang mampu memicu / mendorong pembangunan
area sekitar pusat transit baik berupa pembangunan penyisipan,
revitalisasi maupun bentuk penataan / perencanaan lain.
b) Jenis elemen perencanaan
Perencanaan lingkungan permukiman dalam skala besar berpengaruh
terhadap peningkatan pergerakan penduduk/warga, sehingga harus
diimbangi dengan ketersediaan prasarana dan sarana jaringan
transportasi umum lokal, jaringan sirkulasi pedestrian yang mendukung
pergerakan dari menuju pusat kegiatan dan lingkungan hunian, serta
jaringan parkir yang terintegrasi dalam daya dukung lingkungan yang
disesuaikan dengan pusat kegiatan yang ada. Harus direncanakan dan
disediakan pada jaringan transportasi lokal adalah:
1) sistem jaringan sirkulasi kendaraan pribadi dan kendaraan umum
berikut terminal / perhentiannya;
2) sistem jaringan sirkulasi pedestrian; dan
3) sistem jaringan parkir
c) Persyaratan, kriteria dan kebutuhan
Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan yang harus dipenuhi
adalah:

191
1) Penyediaan jaringan sirkulasi kendaraan pribadi dan kendaraan
umum berikut terminal / tempat pemberhentian lainnya. Persyaratan
yang harus dipenuhi:
 penyediaan kebutuhan terminal wilayah adalah sekurang-
kurangnya memiliki luas layanan 2.000 m2,
 di area pusat kegiatan pada unit kelurahan (30.000 penduduk)
sekurang-kurangnya harus ada tempat pemberhentian
kendaraan umum antar lingkungan dan juga pangkalan-
pangkalan kendaraan yang dapat langsung membawa
penumpang ke daerah perumahan, misalnya pangkalan becak,
bajaj, ojek, dan sejenisnya; dan
 di area pusat kegiatan pada unit kecamatan (120.000 penduduk)
sekurang-kurangnya harus ada pangkalan kendaraan umum
jenis angkutan kecil yang dapat meneruskan penumpang ke
pusat-pusat kegiatan atau ke pusat-pusat lingkungan hunian
dengan catatan tidak menerobos daerah perumahan dan tidak
mangkal di pusat lingkungan. Luas pangkalan oplet / angkot ini
sekurang-kurangnya 500 m2.
2) Penyediaan jaringan sirkulasi pedestrian
Beberapa prinsip dan kriteria yang harus dipenuhi pada perencanaan
jalur pedestrian adalah:
 asas keterkaitan/ keterhubungan (connections), yaitu bagaimana
membuat jalinan jejaring sirkulasi pedestrian yang saling
menghubungkan berbagai area yang dapat dijangkau pejalan
kaki;
 azas kemudahan pencapaian (convenience), yaitu bagaimana
membuat kemudahan sirkulasi yang dapat secara langsung
dicapai dan dipergunakan oleh publik secara umum dengan
mudah;
 azas keselamatan/keamanan dan atraktif (convivial), yaitu
bagaimana membentuk lingkungan yang menjamin pejalan kaki

192
bergerak dengan terlindungi dan aman terutama terhadap
sirkulasi kendaraan bermotor di sekitarnya sekaligus aman
terhadap kemungkinan gangguan kriminalitas, serta
bagaimanamembentuk lingkungan yang kondusif bagi pejalan
kaki untuk lebih memilih berjalan kaki dengan menggunakan
jaringan sirkulasi pedestrian yang disediakan akibat
penyelesaian lingkungan sekitar jaringan sirkulasi ini yang
menarik bagi pejalan kaki;
 azas kenyamanan (comfortable), yaitu bagaimana membentuk
lingkungan yang nyaman bagi pejalan kaki dikaitkan dengan
penciptaan dimensi besaran ruang gerak yang memenuhi
standar kenyamanan pejalan kaki ketika melewatinya; dan
 azas kejelasan / kemudahan pengenalan (conspicuousness),
yaitu bagaimana menyelesaikan lingkungan pedestrian dengan
sistem pergerakan yang mudah diamati dan diikuti, baik rute dan
arahnya, serta mudah dikenali keberadaannya di antara jejaring
sirkulasi lain.
3) Penyediaan jaringan parkir
Persyaratan dan kriteria ini disusun sebagai acuan bagi pengembang
lingkungan perumahan dalam skala besar untuk memenuhi
kebutuhan aksesibilitas transportasi umum lokal.
 Lahan parkir untuk area hunian
Baik pada tiap unit RT (250 penduduk), unit RW (2500
penduduk), unit kelurahan (30.000 penduduk) maupun unit
kecamatan (120.000 penduduk) disediakan lahan parkir umum
yang sekaligus dapat digunakan untuk tempat mangkal
sementara bagi kendaraan umum. Pada malam hari, lahan parkir
ini dapat dipergunakan sebagai tempat pool kendaraan
penghuni. Lokasi dan besaran luas yang disyaratkan untuk lahan
parkir ini sebagai berikut - pada penyediaan lahan parkir umum
untuk area hunian pada skala RT (250 penduduk) lokasinya

193
tersebar di setiap pusat lingkungan hunian pada skala RT, dan
memiliki standar penyediaan 100 m2, dengan penyebaran lokasi
pada area pusat lingkungan RT, dan penggunaannya yang juga
sekaligus berfungsi sebagai pangkalan sementara kendaraan
angkutan publik;- pada penyediaan lahan parkir umum untuk
area hunian pada skala RW (2500 penduduk) lokasinya tersebar
di setiap pusat lingkungan hunian pada skala RW, dan memiliki
standar penyediaan 400 m2, dengan penyebaran lokasi pada area
pusat lingkungan RW, dan penggunaannya yang juga sekaligus
berfungsi sebagai pangkalan sementara kendaraan angkutan
publik;- pada penyediaan lahan parkir umum untuk area hunian
pada skala kelurahan (30.000 penduduk) lokasinya tersebar di
setiap pusat lingkungan hunian pada skala kelurahan, dan
memiliki standar penyediaan 2000 m2, dengan penyebaran
lokasi pada area pusat lingkungan kelurahan, dan dipisahkan
dengan terminal wilayah kelurahan (seluas 1.000 m2) dan
pangkalan oplet/angkot (seluas 200 m2);- pada penyediaan lahan
parkir umum untuk area hunian pada skala kecamatan (120.000
penduduk) lokasinya tersebar di setiap pusat lingkungan hunian
pada skala kecamatan, dan memiliki standar penyediaan 4.000
m2, dengan penyebaran lokasi pada area pusat lingkungan
kecamatan, dan dipisahkan dengan terminal wilayah kecamatan
(seluas 2.000 m2) dan pangkalan oplet/angkot (seluas 500 m2);-
besaran yang terdapat pada area RT, RW, kelurahan dan
kecamatan ini belum termasuk penyediaan lahan parkir yang
diperuntukkan bagi bangunan sarana lingkungan pada tiap unit
baik RW, kelurahan, maupun kecamatan;- lokasi lahan parkir
untuk hunian ini ditempatkan di area strategis sehingga
membatasi aksesibilitasnya hanya khusus bagi penghuni,
misalnya di area pintu masuk kompleks hunian tersebut; dan-
luas lahan parkir ini sangat tergantung tidak hanya pada jumlah

194
pemilikan kendaraan, melainkan juga pada perencanaan
karakter dari kompleks itu sendiri. Sebagai pegangan umum
luas parkir untuk area hunian:

Rumus 4 Luas parkir untuk area hunian


Luas lahan parkir (bruto) = 3% x luas daerah yang dilayani

 Lahan parkir untuk pusat-pusat kegiatan


Lokasi lahan parkir untuk pusat-pusat kegiatan dapat
didesain baik dengan dikelompokkan ataupun menyebar di
setiap pusat kegiatan tergantung pada perencanaan.
Beberapa persyaratan khusus yang harus dipenuhi: (1) lahan
parkir merupakan fasilitas pelengkap dari pusat kegiatan,
sehingga sedapatnya sedekat mungkin dengan pusat kegiatan
yang dilayani (2) lokasi parkir harus mudah diakses/dicapai
dari/ke pusat-pusat kegiatan tanpa gangguan ataupun
memotong arus lalu lintas jalan utama (3) lahan parkir harus
memiliki hubungan dengan jaringan sirkulasi pedestrian
secara langsung (4) lokasi parkir harus mudah terlihat dan
dicapai dari jalan terdekat. Luas lahan parkir pada area pusat
kegiatan. Adapun luas dari lahan parkir tergantung pada
beberapa faktor (5) jumlah pemilikan kendaraan (6) jenis
kegiatan dari pusat kegiatan yang dilayani (7) sistem
pengelolaan parkir, misalnya parkir bersama, parkir berbagi
antar beberapa kapling (shared parking area), ataupun parkir
lahan pribadi (private parking area).
Dengan demikian besaran parkir akan berbeda-beda
tergantung pusat kegiatan yang dilayaninya. Standar besaran
yang umumnya dipakai adalah setiap luas 60 m2 luas area
perbelanjaan 1 lot parkir mobil, setiap luas 100 m2 luas area
perkantoran 1 lot parkir mobil

195
10. SNI 32-43 TAHUN 2008 TENTANG
PENGOLAHAN SAMPAH PEMUKIMAN

10.1. ISTILAH DAN DEFINISI


Pada peraturan ini dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan:
A. daerah komersialdaerah perniagaan seperti pertokoan, pasar dan pusat- pusat
kegiatan ekonomi lainnya
B. pewadahan individual aktivitas penanganan penampungan sampah sementara
dalam suatu wadah khusus untuk dan dari sampah individu
C. pewadahan komunalaktivitas penanganan sampah sementara dalam suatu
wadah bersama baik dari berbagai sumber maupun sumber umum
D. permukimanbagian dari kawasan budidaya dalam lingkungan hidup, baik yang
bersifat perkotaan maupun perdesaan, terdiri dari beberapa jenis kawasan
dengan prasarana dan sarana lingkungan yang lengkap dengan fungsi utama
sebagai pusat pelayanan bagi kebutuhan penghuninya
E. subsidi silangbantuan pembiayaan yang diberikan dari golongan daerah
mampu ke golongan kurang mampu melalui pembayaran retribusi
F. TPS tempat pemindahan sampah dari alat pengumpul ke alat angkut sampah
yang dapat dipindahkan secara langsung atau melalui tempat penampungan
sampah sementara (TPS)
G. sampah organik sampah organik yang mudah membusuk terdiri dari bekas
makanan, bekas sayuran, kulit buah lunak, daun-daunan dan rumput
H. sampah anorganik sampah seperti kertas, kardus, kaca/gelas, plastik, besi dan
logam lainnya sampah organik halaman sampah yang berasal dari penyapuan
halaman seperti daun dan rumput
I. sampah taman sampah yang berasal dari taman berupa daun, rumput,
pangkasan tanaman, dan sampah yang berasal dari pengunjung taman seperti
bekas bungkus makanan dan sisa makanan
J. sampah jalan sampah yang berasal dari penyapuan jalan dan pejalan kaki
K. alat Pengomposan rumah tangga alat yang digunakan untuk mengolah sampah
organik dapur menjadi kompos

196
L. 3 R menerapkan reuse, reduce, dan recycling artinya menggunakan kembali,
mengurangi dan mendaur ulang sampah
M. sampah domestik B3 sampah yang berasal dari aktivitas rumah tangga,
mengandung bahan dan atau bekas kemasan suatu jenis bahan berbahaya dan
atau beracun, karena sifat atau konsentarsinya dan atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan atau mencemarkan
lingkungan hidup dan atau membahayakan kesehatan manusia

10.2. KETENTUAN DAN PERSYARATAN


A. Persyaratan Umum
1. Persyaratan hukum ketentuan perundang-undangan mengenai
pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan,
ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, pembentukan
institusi/organisasi/retribusi dan perencanaan tata ruang kota serta
peraturan-peraturan pelaksanaannya;
2. Persyaratan kelembagaan pengelola di permukiman harus berfokus
pada peningkatan kinerja institusi pengelola sampah, dan perkuatan
fungsi regulator dan operator. Sasaran yang harus dicapai adalah
sistem dan institusi yang mampu sepenuhnya mengelola dan melayani
persampahan di lingkungan dengan mengikutsertakan masyarakat
dalam pengelolaan dan retribusi atau iuran serta semaksimal mungkin
melaksanakan konsep 3 R di sumber.
3. Teknis operasional Menerapkan sistem penanganan sampah setempat
dengan
4. Pembiayaan Memperhatikan peningkatan kapasitas pembiayaan untuk
menjamin pelayanan dengan pemulihan biaya secara bertahap supaya
sistem dan institusi, serta masyarakat dan dunia usaha punya kapasitas
cukup untuk memastikan keberlanjutan dan kualitas lingkungan untuk
warga
5. Bagi lingkungan permukiman, developer bertanggung jawab dalam:

197
 penyediaan lahan untuk pembangunan pengolah sampah organik
berupa pengomposan rumah tangga dan daur ulang sampah skala
lingkungan serta TPS;
 penyediaan peralatan pengumpulan sampah;
 pengelolaan sampah selama masa konstruksi sampai dengan
diserahkan ke pihak yang berwenang;
 Bagi developer yang membangun minimum 80 rumah harus
menyediakan wadah komunal dan alat pengumpul.

B. Persyaratan Teknis
Data yang diperlukan dalam perencanaan adalah sebagai berikut:
1. peta penyebaran rumah;
2. luas daerah yang dikelola;
3. jumlah penduduk berdasarkan klasifikasi pendapatan tinggi, menengah,
dan rendah;
4. jumlah rumah berdasarkan tipe;
5. besaran timbulan sampah per hari;
6. jumlah bangunan fasilitas umum;
7. kondisi jalan (panjang, lebar dan kondisi fisik);
8. kondisi topografi dan lingkungan;
9. ketersediaan lahan untuk lokasi TPS dan daur ulang sampah skala
lingkungan;

C. Karakteristik Sampah
Jumlah sampah yang akan dikelolaJumlah sampah dihitung berdasarkan :
1. jumlah penduduk
2. sumber sampah yang ada di lingkungan permukiman, seperti
toko/pasar kecil, sekolah, rumah sakit kecil /klinik kesehatan,
jalan/saluran, taman, tempat ibadah, dan lain-lain.
3. Besaran timbulan sampah untuk masing-masing sumber sampah
Klasifikasi pengelolaan, tipe bangunan dan TPS

198
1. Klasifikasi pengelolaan Klasifikasi pengelolaan berdasarkan
lingkungan permukiman yang ada yaitu :
a) 1 Rukun Tetangga dengan jumlah penduduk 150 – 250 jiwa ( 30
– 50 rumah)
b) 1 Rukun Warga : 2.500 jiwa (± 500 rumah)
c) 1 kelurahan : 30.000 jiwa penduduk (± 6.000 rumah)
d) 1 kecamatan : 120.000 jiwa (± 24.000 rumah)
2. Klasifikasi tipe bangunan sebagai berikut :
a) Tipe rumah mewah yang setara dengan Tipe > 70
b) Sedang yang setara dengan Tipe 45 - 54
c) Sederhana yang setara dengan Tipe 21
3. sarana umum/sosial
4. bangunan komersial
5. Klasifikasi TPS Klasifikasi TPS sebagai berikut:
a) TPS tipe I Tempat pemindahan sampah dari alat pengumpul ke
alat angkut sampah yang dilengkapi dengan ruang pemilahan,
gudang, tempat pemindahan sampah yang dilengkapi dengan
landasan container, luas lahan ± 10 - 50 m2).
b) TPS tipe II Tempat pemindahan sampah dari alat pengumpul ke
alat angkut sampah yang dilengkapi dengan ruang pemilahan ( 10
m2), pengomposan sampah organik ( 200 m2), udang ( 50 m2),
tempat pemindah sampah yang dilengkapi dengan landasan
container (60 m2) luas lahan ± 60 – 200 m2)
c) TPS tipe III Tempat pemindahan sampah dari alat pengumpul ke
alat angkut sampah yang dilengkapi dengan ruang pemilahan ( 30
m2), pengomposan sampah organik ( 800 m2), gudang ( 100 m2),
tempat pemindah sampah yang dilengkapi dengan landasan
container (60 m2), luas lahan > 200 m2

199
D. Spesifikasi Peralatan dan Bangunan
Spesifikasi peralatan dan bangunan minimal yang dapat digunakan dapat
dilihat pada tabel dibawah ini

Kebutuhan minimal peralatan, bangunan dan personil pengelola


berdasarkan klasifikasi rumah dapat dihitung sebagai berikut:

200
- Menghitung Jumlah Alat Pengumpul (gerobak/becak sampah/motor
sampah/mobil bak) kapasitas 1 m 3 di perumahan.

dengan:
A = Jumlah Rumah Mewah
B = Jumlah Rumah Sedang
C = Jumlah Rumah Sederhana
D = Jumlah Jiwa di Rumah susun
Jj = jumlah jiwa per rumah
Ts = Timbulan sampah (L/orang atau unit/hari) =
(Kota Besar = 3 L/org/hari ; Kota Kecil = 2,5 L/org/hari)
Pa = Persentase sampah anorganik
Kk = Kapasitas Alat Pengumpul
Fp = Faktor pemadatan alat = 1,2
Rk = Ritasi alat pengumpul
JP = Jumlah Penduduk
Kp = Kapasitas pelayanan

- Menghitung jumlah alat pengumpulan secara langsung (Truk)

- Menghitung Jumlah Container untuk kebutuhan Perumahan

201
- Menghitung Jumlah Container untuk kebutuhan Komersial dan Fasilitas
Umum

- Menghitung Jumlah Armroll Truk

- Menghitung Bangunan pendaur ulang skala lingkungan luas 150 M2

Keterangan :
jumlah sampah organik halaman sekitar 10 % jumlah sampah
Vbk = Volume 1 cetakan tumpukan bahan kompos =5000 L=5 M3 = ±
600 kg
Fpk = pemadatan tumpukan bahan kompos = 3x

Menghitung Kebutuhan
o Personil Pengumpul = JAP+(2×JT langsung pengumpulan)
o Personil Pendaur ulang sampah skala lingkungan = 4 orang/Bangunan
Pengomposan 150 M2 dengan :
JAP = Jumlah Angkutan Pengumpul Perumahan
JT= Jumlah Truk

10.3. PERENCANAAN
1. Lakukan analisis data untuk menentukan alternatif sistem yang
terpilih, termasuk jenis dan jumlah peralatannya
2. Rumuskan rencana secara detail dari sistem yang terpilih dalam
bentuk:

202
a) Teknik operasional berupa diagram pengelolaan, peta pola pelayanan,
gambar-gambar konstruksi bangunan; kebutuhan peralatan dan
bangunan;
b) Pembiayaan dan retribusi mencakup perhitungan biaya investasi dan
depresiasi, perhitungan biaya O & P per tahun, perhitungan retribusi,
perhitungan tarif/m3;
c) Rencana pembentukan atau penunjukan unit pengelola.
d) Sistem pengelolaan

10.4. KELEMBAGAAN DAN ORGANISASI


1. Penanggung jawab pengelolaan persampahan dilaksanakan oleh:
a) Swasta/developer dan atau
b) Organisasi kemasyarakatan.
c) Sampah B3-rumah tangga ditangani khusus oleh lembaga tertentu
2. Tanggung jawab lembaga pengelola sampah permukiman adalah :
a) Pengelolaan sampah di lingkungan permukiman dari mulai sumber sampah
sampai dengan TPS dilaksanakan oleh lembaga yang dibentuk/ditunjuk oleh
organisasi masyarakat permukiman setempat.
b) pengelolaan sampah dari TPS sampai dengan TPA dikelola oleh lembaga
pengelola sampah kota yang dibentuk atau dibentuk oleh Pemerintah Kota
c) Mengevaluasi kinerja pengelolaan sampah atau mencari bantuan teknis
evaluasi kinerja pengelolaan sampah
d) Mencari bantuan teknik perkuatan struktur organisasi
e) Menyusun mekanisme kerjasama pengelolaan sampah dengan pemerintah
daerah atau dengan swasta
f) Menggiatkan forum koordinasi asosiasi pengelola persampahan
g) Meningkatkan kualitas SDM berupa mencari bantuan pelatihan teknis dan
manajemen persampahan ke tingkat daerah

203
Teknis Operasional Secara garis besar teknis operasional pengelolaan sampah dapat
digambarkan sebagai berikut:

3. Pola Operasional
Faktor penentu dalam memilih teknik operasional yang akan diterapkan adalah
kondisi topografi dan lingkungan daerah pelayanan, kondisi sosial, ekonomi,
partisipasi masyarakat, jumlah dan jenis timbulan sampah. Pola operasional
dilaksanakan sebagai berikut:
a) pewadahan terdiri dari pewadahan individual dan atau pewadahan komunal
b) jumlah wadah sampah minimal 2 buah per rumah untuk memilah jenis
sampah mulai di sumber yaitu wadah sampah organik untuk mewadahi
sampah sisa sayuran, sisa makanan, kulit buah-buahan, dan daun-daunan
menggunakan wadah dengan warna gelap dan wadah sampah anorganik
untuk mewadahi sampah jenis kertas, kardus, botol, kaca, plastik, dan lain-
lain menggunakan wadah warna terang pengumpulan terdiri dari pola

204
invidual tidak langsung dari rumah ke rumah, pola individual langsung
dengan truk untuk jalan dan fasilitas umum, pola komunal langsung untuk
pasar dan daerah komersia dan pola komunal tidak langsung untuk
permukiman padat.

4. Pengolahan dan Daur Ulang Sampah di Sumber dan di TPS, berupa:


a) pengomposan skala rumah tangga dan daur ulang sampah anorganik , sesuai
dengan tipe rumah atau luas halaman yang ada
b) pengomposan skala lingkungan di TPS
c) daur ulang sampah anorganik di TPS
d) pemindahan sampah dilakukan di TPS atau TPS Terpadu dan di lokasi wadah
sampah komunal
e) pengangkutan dari TPS atau TPS Terpadu atau wadah komunal ke TPA
frekwensinya dilakukan sesuai dengan jumlah sampah yang ada.

5. Pengelolaan di sumber sampah permukiman


Pengelolaan sampah di sumber seperti rumah, restoran, toko, sekolah, perkantoran
dan lainnya dilakukan sebagai berikut:
a) sediakan wadah sampah minimal 2 buah per rumah untuk wadah sampah
organik dan anorganik
b) Tempatkan wadah sampah anorganik di halaman bangunan
c) Pilah sampah sesuai jenis sampah . Sampah organik dan anorganik masukan
langsung ke masing masing wadahnya;
d) Pasang minimal 2 buah alat pengomposan rumah tangga pada setiap
bangunan yang lahannya mencukupi;
e) masukan sampah organik dapur ke dalam alat pengomposan rumah tangga
individual atau komunal
f) Tempatkan wadah sampah organik dan anorganik di halaman bangunan bagi
sistem pengomposan skala lingkungan.
g) Pengelolaan di sumber sampah non perumahan

205
1) sediakan wadah sampah di masing-masing sumber sampah
2) masukan sampah dari wadah ke kontainer terdekat.
h) Pengumpulan dan penyapuan sampah
Pengumpulan dan penyapuan sampah dari sumber sampah dilakukan sebagai
berikut:
1) Pengumpulan sampah dengan menggunakan gerobak atau motor dengan bak
terbuka atau mobil bak terbuka bersekat dikerjakan dengan kumpulkan
sampah dari sumbernya minimal 2(dua) hari sekali, masukan sampah organik
dan anorganik ke masing-masing bak di dalam alat pengumpulan, pindahkan
sampah sesuai dengan jenisnya ke TPS atau TPS Terpadu
2) Pengumpulan sampah dengan gerobak atau motor dengan bak terbuka atau
mobil bak terbuka tanpa sekat dikerjakan dengan kumpulkan sampah organik
dari sumbernya minimal 2(dua) hari sekali dan angkut ke TPS atau TPS
Terpadu, kumpulkan sampah anorganik sesuai jadwal yang telah ditetapkan
dapat dilakukan lebih dari 3 hari sekali oleh petugas RT atau RW atau oleh
pihak swasta.
3) Penyapuan Penyapuan sampah jalan dan taman di lingkungan permukiman
dilakukan oleh pengelola sampah lingkungan sesuai jadwal yang telah
ditetapkan

206
i) TPS/ TPS Terpadu
Pengelolaan sampah di TPS/TPS Terpadu dilakukan sebagai berikut:
1) pilah sampah organik dan an organik
2) lakukan pengomposan sampah organik skala lingkungan
3) pilah sampah anorganik sesuai jenisnya yaitu sampah, sampah lapak yang
dapat dijual seperti kertas, kardus, plastik, gelas/kaca, logam dan lainnya
dikemas sesuai jenisnya, sampah B3 rumah tangga dan residu sampah
4) jual sampah bernilai ekonomis ke bandar yang telah disepakati
5) kelola sampah B3 sesuai dengan ketentuan yang berlaku

207
6) kumpulkan residu sampah ke dalam container untuk diangkut ke TPA
sampah.
j) Pengangkutan sampah dari TPS/TPS Terpadu
Pengangkutan sampah residu dari TPS/TPS Terpadu ke TPA dilakukan bila
container telah penuh dan sesuai dengan jadwal pengangkutan yang telah
dikonfirmasikan dengan pengelola sampah kota.

10.5. PEMBIAYAAN DAN IURAN ATAU RETRIBUSI


1. Program dan pengembangan pembiayaan
a) peningkatan kapasitas pembiayaan
b) pengelolaan keuangan
c) tarif iuran sampah
d) melaksanakan kesepakatan masyarakat dan pengelola serta konsultasi
masalah prioritas pendanaan persampahan untuk mendapatkan dukungan
komitmen Bupati/Walikota
2. Sumber Biaya
a) Pembiayaan pengelolaan sampah dari sumber sampah di permukiman
sampai dengan TPS bersumber dari iuran warga
b) Pembiayaan pengelolaan dari TPS ke TPA bersumber dari retribusi/jasa
pelayanan berdasarkan Peraturan daerah/Keputusan Kepala daerah.
c) Jenis pembiayaan Jenis pembiayaan meliputi:
1) Biaya investasi dan depresiasi
2) Total biaya operasional dan pemeliharaan sampah berasal dari
depresiasi + biaya operasional dan pemeliharaan
d) Biaya investasi
1) biaya investasi terdiri dari alat pengomposan rumah tangga komunal,
wadah sampah komunal dan alat Pengumpulan
(gerobak/beca/motor/mobil bak terbuka bersekat), serta Instalasi
pengolahan (bangunan, peralatan daur ulang, dan lainnya);
e) sumber biaya sumber biaya tergantung dari jenis peralatan yaitu:

208
1) Untuk wadah sampah, alat pengomposan, gerobak/beca/motor/ mobil
bak terbuka alat angkut tidak langsung lainnya, dari masyarakat atau
swasta
2) Untuk pengadaan kendaraan pengumpul secara langsung, TPS, alat
pengangkut sampah berasal dari pemerintah dan atau developer
f) Iuran
Iuran dihitung dengan prinsip subsidi silang dari daerah komersil ke
daerah non komersil dan dari pemukiman golongan berpendapatan tinggi
ke pemukiman golongan berpendapatan rendah;
g) Retribusi Retribusi diatur berdasarkan peraturan daerah yang berlaku.
h) Biaya satuan pengelolaan sampah Biaya satuan pengelolaan sampah
sebagai biaya perpenduduk /tahun, biaya per m3 atau per ton sampah dan
biaya rata-rata per rumah tangga/bulan

10.6. PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


1. Program untuk peran serta masyarakat dan peningkatan kemitraan:
a) Melaksanakan kampanye gerakan reduksi dan daur ulang sampah
b) Memfasilitasi forum lingkungan dan organisasi wanita sebagai mitra
c) Penerapan pola tarif iuran sampah
d) Menelusuri pedoman investasi dan kemitraan untuk meningkatkan minat
swasta.
2. Pemberdayaan masyarakat: Proses pemberdayaan masyarakat dilakukan pada
saat:
a) Perencanaan, mulai dari survei kampung sendiri sampai dengan
merencanakan sistem pengelolaan, kebutuhan peralatan, dan kebutuhan
dana.
b) Pembangunan, bagaimana masyarakat melakukan pembangunan atau
pengawasan pembangunan.
c) Pengelolaan, untuk menentukan pembentukan kelembagaan pengelola
dan personil.

209
10.7. PANTAUAN DAN EVALUASI
1. Pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pengelolaaan sampah di
permukiman dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah dan swasta.
2. Penyelenggaraan pengelolaan sampah di permukiman wajib menyampaikan
laporan kegiatan pada pengelola sampah kota guna kepentingan
pengangkutan sampah ke TPA, pemantauan dan evaluasi

Contoh perhitungan biaya pengelolaan (investasi & E/P) sampah di kawasan


permukiman
Data umum
- Luas areal : 40 Ha
- Jumlah penduduk : ± 12.000 jiwa
- Jumlah rumah : ± 2.000 buah meliputi :
Tipe > 54 : 400 buah
Tipe 36; 45 : 1.000 buah
Tipe < 36 : 300 buah

Rumah susun : 300 KK


- Kondisi jalan : teratur dengan lebar ≈ 1 m, relatif datar
- Pendapatan penduduk :
Tinggi > Rp. 3.000.000,- (20%)
Menengah Rp. 1.000.000 – 3.000.000 (50%)
Rendah < Rp. 1.000.000 (30%)

Fasilitas umum :
Pertokoan : ± 40 buah (2 toko besar, 25 toko sedang, 13 toko kecil)
Perkantoran : ± 20 buah ( 4 kantor besar, 16 kantor sedang)
Sekolah : ± 2 buah
Mesjid : ± 2 buah
Fasilitas kesehatan : ± 2 buah (1 rumah sakit)
Tempat usaha khusus : ± 3 buah (salon, bengkel)

210
Besaran Timbulan Sampah
Rumah permanen (per orang/hari ) 2,5 L
Rumah semi permanen (per orang/hari ) 2,25 L
Rumah non permanen (per orang/hari ) 2,0 L
Kantor (per pegawai/hari ) 0,5 - 0,75 L
Toko (per petugas/hari ) 2,5 – 3,0 L
Sekolah (per murid/hari ) 0,15 L

Produksi Sampah
- rumah tangga ± 30 m3 /hari
- non rumah tangga 5 m3 Kebutuhan peralatan :
1) Komposter individual : 400 buah (disediakan oleh penghuni)
2) Komposter komunal 1 m3 : (1000/20 ) = 50 buah
3) Gerobak 1 m3 = (35 m3 /1,2 fc x 2 kali/hari x 0,6 ) = 9 buah 4) Transfer depo
200 m2 = 1 buah

Pembiayaan Dan Retribusi


- Biaya operasional dan pemeliharaan
BIAYA BIAYA
SATUA OM BIAYA
JUMLA SATUA
URAIAN N PER OM/TAHU
H N
(Rp)/bula BULA N
n N
ADMINITRASI
Kantor Unit
Gaji Staf 2 orang 800.000 1.600.000 19.200.000
PENGUMPULAN (GEROBAK)
Gaji 9 orang 600.000 5.400.000 64.800.000
Pemeliharaa
n 9 unit 200.000 1.800.000 21.600.000

211
PENGOLAHAN & DAUR ULANG
Gaji 2 orang 600.000 1.200.000 14.400.000
Operasional 1 ls 1.500.000 1.500.000 18.000.000
Pemeliharaa
n 1 ls 500.000 500.000 6.000.000
PEMINDAHAN (TD)
Gaji 2 orang 600.000 1.200.000 14.400.000
Pemeliharaa
n 1 ls 600.000 500.000 6.000.000
13.700.00
Jumlah 0 164.400.000

Total Biaya Operasi & Pemeliharaan


- Depresiasi (penyusutan) = 76.537.500
-O&P = 164.400.000
= 240.937.500

212
11. SNI 03-1726-1989 TENTANG TATA CARA
PERENCANAAN KETAHANAN GEMPA RUMAH & GEDUNG

Peraturan Muatan Indonesia 1970, NI-18


Kebutuhan pengetahuan perencanaan bangunan terhadap gempa sangat
dirasakan pada waktu Indonesia akan membangun gedung tinggi pertama, yaitu
Gedung Wisma Nusantara (30 lantai) di Jakarta. Sebagai hasil studi Teddy Boen
dan Wiratman terbitlah Peraturan Muatan Indonesia, PMI 1970, peraturan pertama
yang mengatur tentang beban yang harus diperhitungkan akibat gempa. Peraturan
mengenai beban gempa terdapat dalam bab V.
Peta gempa yang terdapat dalam PMI 1970 hanya membagi wilayah
Indonesia menjadi tiga daerah gempa (Gambar 3).
Percepatan gempa pada lantai gedung, ai, diatur dengan Rumus 1.
ai = kih kd kt (1)
dimana, kih adalah koefisien gempa pada ketinggian i, kd adalah koefisien daerah
yang tergantung di daerah mana struktur dibangun, dan k t adalah koefisien tanah
yang tergantung kepada jenis tanah (keras, sedang, lunak, amat lunak) dan jenis
konstruksi (baja, beton bertulang, kayu, pasangan)

Gambar 3: Peta Gempa menurut PMI 1970

213
Untuk bangunan dengan tinggi 10 m, koefisien gempa kih ditentukan sebesar
0.1x percepatan grafitasi, sedangkan untuk bangunan lebih tinggi dari 10 m diatur
seperti terlihat dalam Gambar 4.

knh
0.4 H
koh = 1/ (10+0.1H) (2)
10m<H<40

0.6 H
knh = (1+ 0.05H) koh (3)

koh
Gambar 4: Koefisien gempa PMI 1970
Perencanaan dilakukan dengan cara elastik. Karena kombinasi beban gempa
dengan beban mati dan beban hidup yang direduksi dianggap sebagai beban
sementara, maka tegangan yang diijinkan dapat dinaikkan.

Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung, 1981


Peraturan ini merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Selandia Baru dan dengan sendirinya berkiblat kepada peraturan
Selandia Baru. Peraturan ini sudah mengikuti pola peraturan gempa moderen yang
menggunakan respons spektra percepatan untuk menentukan percepatan gempa
yang harus diperhitungkan dalam perencanaan bangunan tahan gempa. Dalam
peraturan ini untuk pertama kali dikenalkan konsep perencanaan yang
mengandalkan pemencaran energi melalui terjadinya sendi plastis. Banyak hal baru
yang diperkenalkan dalam peraturan ini, seperti: (1) konsep daktilitas struktur; (2)
konsep keruntuhan yang aman, yaitu mekanisme goyang dengan pembentukan
sendi plastis dalam balok (beam side sway mechanism), yang mensyaratkan kolom
yang lebih kuat dari balok (strong column weak beam); dan (3) konsep perencanaan
kapasitas (Capacity design). Diperkenalkan pula tiga cara analisa yaitu; (1) Analisa
beban statik ekivalen; (2) Analisa ragam spektrum respons; dan (3) Analisa respons
riwayat waktu.

214
Peta gempa diubah menjadi enam daerah gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar
5, sedangkan respons spektra percepatan yang digunakan ditiap daerah ditunjukkan
dalam Gambar 6.

Gambar 5: Peta Gempa menurut PPTGIUG


Gaya geser dasar horizontal total, V, yang harus digunakan dalam
perencanaan terhadap gempa, ditentukan dengan menggunakan Rumus 4

V = C I K Wt (4)

dimana C adalah koefisien gempa dasar yang didapat dari respons spektra (Gambar
6) untuk waktu getar alami fundamental T, sesuai dengan daerah gempa tempat
bangunan itu didirikan. I adalah faktor keutamaan (Importance factor, I=1-2),
tergantung dari penggunaan gedung, gedung yang merupakan fasilitas penting dan
diharapkan untuk tetap berfungsi setelah terjadinya gempa diberikan faktor
keutamaan yang lebih besar. K adalah faktor jenis struktur yang tergantung dari
daktilitas jenis struktur yang digunakan (K=1-4), untuk struktur yang kurang daktil
diberikan faktor jenis struktur yang lebih besar, sedangkan W t adalah berat total
bangunan.
Peraturan ini mendasarkan respons spektra yang digunakan kepada gempa dengan
periode ulang 200 tahun (kemungkinan terjadi 10 % dalam jangka waktu kira-kira
20 tahun), setelah dibagi dengan daktilitas struktur sebesar 4. Penjelasan ini hanya

215
dapat dibaca dalam seri laporan yang disampaikan oleh Beca Carter Hollings and
Farner [9] yang tidak tersedia untuk umum.

Gambar 6: Koefisien Gempa Dasar C menurut PPTGIUG

Peraturan ini kemudian berubah nama menjadi Pedoman Perencanaan Ketahanan


Gempa untuk Rumah dan Gedung, SKBI-1.3.53.1987, UDC: 699.841, lalu menjadi
Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Gedung, SNI 03-1726-1989 tanpa
ada perubahan isi.

Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Gedung, SNI 03- 1726-2002
Peraturan ini memperbaruhi peta gempa menjadi seperti terlihat di Gambar
7, tetapi tetap menggunakan enam daerah gempa. Respons spektra yang digunakan
(Gambar 8) adalah respons spektra gempa yang kemungkinan terjadinya 10%
dalam kurun waktu 50 tahun, yaitu gempa dengan periode ulang 500 tahun (disebut

216
gempa rencana), bukan respons spektra yang telah direduksi seperti digunakan
dalam PPTGIUG dan peraturan sebelumnya.
Sebagai konsekuensi Rumus gaya geser dasar (nominal) juga berubah menjadi
Rumus 5
V = (C1I/R) Wt (5)
dimana C1adalah koefisien respons percepatan pada waktu getar alami fundamental
T1 yang didapatkan dari respons spektra gempa rencana (Gambar 8) sesuai dengan
daerah gempa tempat bangunan didirikan. I adalah faktor keutamaan yang besarnya
antara 1 dan 1.6, sedangkan Wt adalah berat total bangunan. R adalah koefisien
reduksi yang merupakan perkalian antara faktor kuat lebih beban f1 dengan
daktilitas struktur μ seperti ditunjukan dalam Rumus 6
R = f1 μ (6)
Faktor kuat lebih beban f1 diambil sebesar 1.6, sedangkan daktilitas struktur μ
bervariasi dari 1 untuk struktur yang elastik penuh sampai 5.3 untuk struktur yang
daktil penuh.

Gambar 7: Peta Gempa Indonesia SNI 03- 1726-2002 [12]

217
Gambar 8: Respons Spektrum Gempa Rencana SNI 03-1726-2002 [12]

218
11.1 IMPLIKASI PERUBAHAN PERATURAN
Perubahan peraturan gempa menyebabkan perubahan besar beban yang harus
digunakan untuk perhitungan suatu bangunan terhadap gempa. Gambar 9
menunjukkan perbandingan beban gempa pada bangunan enam lantai dengan
struktur daktil, dengan tinggi lantai ke lantai 3.5m (total tinggi 21 m) dan waktu
getar alami fundamental 1 detik yang dibangun diatas tanah lunak di Surabaya.
Terlihat bahwa dari waktu ke waktu besar gaya lateral yang harus diperhitungkan
berubah. Struktur yang telah direncanakan dengan “aman” sesuai dengan peraturan
yang satu bisa menjadi “tidak aman” dalam waktu yang lain karena adanya
perubahan peraturan.
SNI 03-
Perbandingan Gaya Lateral F1 PPTGI
PMI 70 1726-
UG
7 2002
6 Wilayah 2 Wilayah Wilayah
5 4 2
Tingkat

4 ki Varie C 0.05 C 0.5


3 s
2 kd 0.5 I 1 I 1
1 kt 1 K 1 R 8.5
0
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

Gaya Lateral F1

PMI 70 PPTGIUG SNI 03-1726-2002 Gambar 9. Perbandingan Besar


Gaya Lateral
Mengingat telah disepakati secara umum bahwa secara ekonomis tidak layak
untuk merencanakan bangunan agar dapat menahan gempa besar secara elastis,
maka konsep perencanaan bangunan tahan gempa selayaknya adalah:
1. Pada pembebanan gempa kecil yang sering terjadi, tidak boleh terjadi
kerusakan struktur dan non struktur (dapat segera dipakai, dalam keadaan
serviceability limit state, immediate occupancy)

219
2. Pada pembebanan gempa sedang yang kadang-kadang terjadi, struktur masih
dapat diperbaiki (damage control limit state, limited damage)
3. Pada pembebanan gempa besar yang jarang terjadi, struktur tidak boleh
runtuh (life safety)
Perbedaan gaya lateral ini akan mengakibatkan perubahan kinerja struktur dalam
taraf serviceability limit state, dalam hal struktur telah direncanakan memiliki
daktilitas yang cukup (dengan capacity design). Energi gaya lateral akibat gempa
selanjutnya akan dipencarkan melalui terjadinya sendi plastis.

11.2 ARAH PERKEMBANGAN PERENCANAAN STRUKTUR,


PERFORMANCE BASED DESIGN
Dalam perencanaan kapasitas (capacity design) yang merupakan
perencanaan berbasis kekuatan (Strength Based Design) seperti diatur dalam SNI
03-1726-2002 kinerja (performance) struktur tidak menjadi sasaran perencanaan,
maka kinerja struktur terhadap beban gempa besar sangat bervariasi. Pengamatan
terhadap gempa besar yang terjadi menunjukkan perencanaan berdasarkan
kekuatan telah berhasil mengurangi korban manusia menjadi sangat kecil, karena
struktur tidak runtuh. Tetapi keadaan kerusakan struktur dapat sedemikian rupa
sehingga gedung tersebut tidak dapat diperbaiki, dengan demikian bisnis juga
berhenti, paling tidak sampai didapatkan bangunan pengganti sementara dan
pulihnya infrastruktur. Hal ini memakan biaya langsung mupun tak langsung yang
sangat besar.
Perencanaan berbasis kinerja (Performance Based Design) dilain pihak,
menggunakan kinerja struktur sebagai sasaran perencanaan. Perencanaan berbasis
kinerja mensyaratkan taraf kinerja (level of performance) yang diinginkan untuk
suatu taraf beban gempa dengan periode ulang tertentu. Salah satu contoh matriks
kinerja (performance matrix) yang paling sederhana dapat dilihat dalam Gambar
10. Dalam matriks kinerja ini hanya ditetapkan tiga tingkatan kinerja, yaitu kinerja
batas layan (serviceablity limit state), kinerja kontrol kerusakan struktur (damage
control limit state) dan kinerja keselamatan (safety limit state)

220
Gambar 10. Tingkatan dan Sasaran Kinerja Berdasarkan ACMC

11.3 PERENCANAAN BERBASIS KINERJA DAN ANALISA BEBAN


DORONG STATIK (STATIC PUSHOVER ANALYSIS)
Dalam Gambar 10 ditunjukkan bahwa kinerja yang dikehendaki untuk
bangunan dengan tujuan penggunaan biasa, adalah dalam keadaan langsung dapat
digunakan (serviceability limit state) terhadap gempa kecil, dapat diperbaiki
(damage control limit state) terhadap gempa sedang, dan tidak roboh (safety limit
state) terhadap gempa besar. Kinerja yang berbeda dapat diterapkan atas bangunan
dengan tujuan penggunaan khusus (misalnya harus segera dapat digunakan dalam
keadaan bencana) atau bangunan yang sangat berbahaya bila sampai gagal
(misalnya stasiun tenaga nuklir). Dalam perencanaan berbasis kinerja pemilik
bersama perencana dapat menentukan kinerja yang diinginkan. Kesulitan yang
dihadapi adalah menentukan kriteria kinerja tersebut, misalnya kapan suatu
bangunan dikatakan masih dapat diperbaiki, apakah bila kemiringannya (drift)
masih kurang dari 1 % atau kerusakannya dibawah suatu ukuran kriteria tertentu
(damage index).
Analisa Linier (riwayat waktu) tidak dapat digunakan untuk meramalkan
kinerja bangunan terhadap gempa besar, karena pada dasarnya pada saat terjadi

221
gempa besar pada struktur terjadi plastifikasi di beberapa tempat. Karena deformasi
plastis tergantung kepada sejarah pembebanan, maka analisa yang seharusnya
digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja bangunan adalah Analisa Nonlinier
Riwayat Waktu (dynamic nonlinear time history analysis). Analisa nonlinier
riwayat waktu tidak mudah digunakan dan membutuhkan waktu analisa yang cukup
banyak. Beberapa peneliti mengusulkan penggunaan Analisa Beban Dorong Statik
(static pushover analysis) untuk menggantikan analisa nonlinear riwayat waktu.
Analisa static pushover adalah analisa statik nonlinier yang relatif mudah dan
diharapkan dapat digunakan untuk meramalkan performa struktur terhadap beban
lateral. Beberapa program komputer seperti Ruaumoko dan ETABS-Nonlinear
telah memasukkan kemampuan untuk melakukan analisa static pushover.
Beberapa cara analisa pendekatan untuk meramalkan kinerja bangunan
telah diusulkan. Prosedur analisa kinerja di tunjukkan dalam Gambar 11. Pada
dasarnya dalam analisa kinerja ini dilakukan perbandingan antara kapasitas
(Capacity) dengan kebutuhan (Demand). Bila kapasitas struktur lebih besar dari
kebutuhan, maka kinerja yang disyaratkan dapat dicapai. Kapasitas struktur
didapatkan dengan menggunakan analisa beban dorong statik (static pushover).
Prosedur analisa static pushover pada dasarnya adalah pemberian beban lateral
dengan pola beban tertentu secara bertahap sampai dicapai kehancuran struktur
(Gambar 11). Grafik yang menyatakan hubungan antara beban total (gaya geser
dasar, base shear) dengan displacement pada puncak bangunan dinamakan kurva
kapasitas (capacity curve).

Capacity Spectrum Method (CSM)


Dalam cara CSM capacity curve dengan modifikasi tertentu diubah menjadi
spektrum kapasitas (capacity spectrum) (Gambar 12.a).

222
Gambar 11: Prosedur Analisa Kinerja
Capacity spectrum kemudian dibandingkan dengan response spectrum yang telah
diubah dalam format acceleration-displacement response spectrum, ADRS (SaSd)
(Gambar 12.b). Format ADRS ini adalah gabungan antara acceleration dan

223
displacement response spectra dimana absis merupakan acceleration (Sa) dan
ordinat merupakan displacement (Sd) sedangkan Periode T adalah garis miring dari
pusat sumbu (Gambar 12.b).

(a) Kurva kapasitas menjadi spectrum kapasitas (b) Format standar menjadi
format ADRS
Gambar 12: Pembuatan Spektrum Kapasitas dan Respons Spektrum dengan
Format ADRS
Response spectrum dalam bentuk ADRS ini kemudian dimodifikasi dengan
memasukkan pengaruh effective damping yang terjadi akibat terbentuknya sendi
plastis. Spectrum ini dinamakan demand spectrum. Perpotongan antara capacity
spectrum dengan demand spectrum dinamakan performance point (Gambar 13).

224
Dari performance point ini dapat diketahui pada langkah Pushover keberapa
Performance Point dicapai (Gambar 14), kemudian dapat diperoleh deformasi dan
letak sendi plastis (Gambar 15) dan Drift Ratio (Gambar 16).

Performance

Gambar 13: Performance Point Untuk Bangunan 10 Lantai, Gempa 850


tahun

225
Gambar 14: Langkah Pushover pada saat Performance Point dicapai,
Gempa 850 tahun

Gambar 15: Deformasi dan Letak Sendi Plastis, Gempa 850 tahun

226
Gambar 16: Drift Ratio, Gempa 850 tahun
Lumantarna et.al. membandingkan kurva kapasitas (capacity curve) yang
didapatkan dari analisa static pushover dengan capacity curve yang didapatkan dari
analisa nonlinear riwayat waktu dengan gempa dalam satu arah serta dua arah.
Dalam penelitian ini rekaman gempa yang digunakan untuk analisa nonlinear
riwayat waktu adalah gempa El Centro 1940 yang telah dimodifikasi sehingga
menghasilkan respons spektrum yang sesuai dengan SNI 03-1726. Modifikasi
percepatan gempa ini dilakukan dengan menggunakan program Resmat.
Lumantarna et.al. menyimpulkan bahwa analisa static pushover masih dapat
meramalkan prilaku nonlinear struktur sepanjang dilakukan pada bangunan yang
mempunyai ragam pertama yang dominan.
Beberapa perbandingan capacity curve hasil analisa static pushover dengan
analisa nonlinier riwayat waktu ditunjukkan dalam Gambar 17 dan 18. Gambar 17
menunjukkan perbandingan antara kurva kapasitas (capicity curve) bangunan 10
lantai dengan coakan (rentrant corner) sebesar 50%, sedangkan Gambar 18
menunjukkan perbandingan kurva kapasitas bangunan simetris 10 lantai dimana
untuk analisa nonlinier riwayat waktu digunakan gempa dua arah.

227
KURVA KAPASITAS

35000

30000 R
2000 5000
Base Shear (kN)

25000
200 1000
500
20000

15000

10000

5000

0
0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50

Displacement (m)
PUSHOVER TH MAX R ~ RUNTUH

Gambar 17: Perbandingan Kurva Kapasitas Bangunan 10 Lantai dengan


Coakan

228
Gambar 18: Perbandingan Kurva Kapasitas Bangunan 10 lantai, Gempa
Dua Arah

229
Dipihak lain, Lumantarna et.al. menunjukkan kesulitan yang didapat dalam
memilih kriteria kinerja. Gambar 19 menunjukkan perbandingan kinerja
menggunakan kriteria drift ratio hasil analisa pushover (P), dibandingkan dengan
hasil analisa nonlinier riwayat waktu (TH) terhadap bangunan Struktur Rangka
Pemikul Momen Khusus 10 lantai.

Periode Serviceability limit Damage control


Safety limit state
ulang state limit state
gempa
Drift < 0.5 % Drift < 1.0 % Drift <2.0 %
20 P/TH
50 P/TH
100 P/TH
200 TH P
400 TH P
500 TH P

Gambar 19: Matriks Performance berdasarkan drift ratio lantai hasil analisa
Pushover (P) vs Time Histoty (TH)
Gambar 20 menunjukkan kinerja menggunakan kriteria damage index yang
terjadi. Dalam hal ini karena program ETABS [20] tidak menghasilkan damage
index, maka hanya digunakan damage index yang didapat dari analisa nonlinier
riwayat waktu menggunakan program Ruaomoko. Ada dua damage index yang
dapat digunakan, yaitu damage index maksimum dan damage index rata-rata.
Gambar 20 menunjukkan perbandingan kinerja berdasarkan damage index
maksimum (M) dan damage index rata-rata (R). Terlihat kriteria kinerja dengan
menggunakan damage index dapat memberikan hasil yang sangat berbeda dengan
kriteria kinerja menggunakan drift ratio. Lumantarna et.al. mengusulkan agar
digunakan kriteria drift ratio

230
Periode Serviceability Damage control
Safety limit state
ulang limit state limit state
gempa
DI: 0.1 -0.25 DI: 0.25 - 0.4 DI: 0.4 – 1.0
20
50 R/M
100 R M
200 R M
400 R M
500 R M

Gambar 20: Matriks Performance hasil analisa Time History berdasarkan


Damage index rata-rata (R) dan maksimum (M)
PENUTUP
Perencanaan struktur terhadap beban gempa merupakan perencanaan yang penuh
dengan ketidak pastian, bahkan penentuan daerah gempa dapat berbeda-beda, baik
karena bertambahnya data yang dipakai (Gambar 3,5,7), maupun karena
penggunaan anggapan-anggapan dan teori yang berbeda (Gambar 21,22,23).

231
Gambar 21: Peta Peraturan Jembatan Jalan Raya

Gambar 22: Peta Puslitbang Sumber Daya Air Konsep Fukushima dan
Tanaka

232
Gambar 23: Peta Puslitbang Sumber Daya Air Konsep Yoyner dan Bore
Gaya gempa yang terjadi sangat sulit untuk diramalkan, selain dari pada itu
agar secara ekonomis suatu bangunan layak untuk dibangun, pada umumnya
perencanaan terhadap gempa (dinegara manapun) selalu menggunakan gaya gempa
yang jauh lebih kecil dari gaya gempa yang mungkin terjadi selama masa layan
bangunan, maka dapat dikatakan tidak ada bangunan yang dapat dikatakan tahan
gempa. Yang dapat dilakukan dan harus ditekankan adalah mengusahakan agar
bila suatu bangunan runtuh akibat gempa, tidak terjadi keruntuhan total (collapse,
Gambar 23).

233
Gambar 23: Beam Side Sway Mechanism

Untuk menghindari terjadinya keruntuhan total beberapa hal yang sebetulnya sudah
diusahakan untuk disosialisasikan, terutama lewat perguruan tinggi-perguruan
tinggi harus selalu ditekankan:

Gambar 24: Pendetilan yang tidak baik

234
Gambar 25: Tidak Roboh Gambar 26: Sengkang Terlepas

1. Merencanakan mekanisme keruntuhan yang aman, yaitu beam side sway


mechanism (Gambar 23)
2. Beam Side Sway Mechanism hanya dapat dicapai bila kekuatan kolom lebih
besar dari kekuatan balok, sehingga sendi plastis terjadi di balok (capacity
design, strong column weak beam). Gambar 24 menunjukkan kerusakan
yang terjadi pada hubungan balok kolom, tidak terlihat sengkang
3. Sendi plastis hanya dapat tebentuk bila penampang dimana diharapkan
terjadi sndi plastis dapat berprilaku secara daktil tanpa terjadi kehilangan
kekakuan (pinching), dengan demikian kapasitas geser balok harus lebih
besar dari kapasitas lentur aktualnya.
4. Semua perencanaan tidak ada artinya bila pendetilan tidak digambar dan
dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan yang baik jauh lebih penting dari
perhitungan yang baik. Gambar 25 menunjukkan sengkang sprral yang
meskipun berjarak sangat jauh, karena dipasang dengan baik masih dapat
mengekang tulangan longitudinal dan tidak runtuh. Bandingkan dengan
Gambar 26, sengkang lepas, karena tidak terdapat pengangkeran yang baik.

235
12. SNI 03-2406-1991 TENTANG TATA CARA
PERENCANAAN UMUM DRAINASE PERKOTAAN

12.1 RUANG LINGKUP


Tata cara ini digunakan untuk memperoleh hasil perencanaan drainase
perkotaan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan - ketentuan teknik
perencanaan.

12.2 RINGKASAN
Lingkungan topografi eksisting jaringan drainase Jalan, sawah. Perkampungan,
laut, pantai, tata guna tanah, pencemaran lingkungan, estetika yang mempengaruhi
system drainase kota, kondisi lereng dan kemungkinan longsor untuk daerah datar
diperhitungkan pengelontoran, pengendapan dan pencemaran untuk daerah yang
terkena pengempangangan dari laut, danau atau sungai diperhitungkan masalah
pembendungan dan pengempangan.

12.3 PERENCANAAN
- Landasan: didasarkan pada konsep kelestarian lingkungan dan konservasi
sumberdaya air yaitu pengendalian air hujan agar lebih banyak meresap ke dalam
tanah dan mengurangi aliran permukaan.
- Tahapan: pembuatan rencana induk, studi ke-layakan, perencanaan detail
didasarkan pada pertimbangan teknik, sosial ekonomi. Finansial dan lingkungan
dilakukan dengan survai lokasi topografi, hidrologi, geoteknik, tataguna tanah,
sosial ekonomi, institusi, peran serta masyarakat, kependudukan, lingkungan dan
pembiayaan.

Data primer mencakup data banjir meliput luas, lama, kedalaman rata - rata,
frekuensi genangan, keadaan fungsi, sistem, geometri dan dimensi saluran, daerah
pengaliran sungai prasarana dan fasilitas kota yang ada dan yang direncanakan; data
sekunder meliputi:

236
1. Rencana pembangunan kota
2. Geoteknik
3. Foto udara
4. Pembiayaan
5. Kependudukan
6. Institusi
7. Sosial ekonomi
8. Peran serta masyarakat
9. Kesehatan lingkungan
10. Persyaratan kualitas dan kualitas data
11. Peralatan
12. Metode perhitungan dan asumsi yang digunakan.

Sistem Drainase Perkotaan: sistem drainase terpisah


Ganungan: sistem saluran terbuka dan tertutup.

Kriteria, pertimbangan teknik meliput aspek hidrologi, hidraulik dan struktur


pertimbangan lain meliputi biaya dan pemeliharaan. Koordinasi dan tanggung
jawab, seluruh penyelenggara teknis pekerjaan dilaksanakan dibawah seorang ahli
yang berkompeten dalam tim terpadu; masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh
instansi yang berwenang harus diajukan kepada pihak yang berwenang di atasnya.

237
13. SNI 03-2846-1992 TENTANG TATA CARA
PERENCANAAN KEPADATAN BANGUNAN RUMAH SUSUN
LIGKUNGAN HUNIAN

13.1 RUANG LINGKUP


Tata cara ini mencakup tentang persaratan dan ketentuan teknis untuk
perencanan kepadatan bangunan lingkungan rumah susun hunian, agar diperboleh
lingkungan rumah susun yang memenuhi syarat bagi kelayanan suatu hunian.

13.2 RINGKASAN
Tata cara ini digunakan untuk merencanakan perbandingan keseruruhan luas
lahan yang tertutup bangunan dan bangunan pada setiap peruntukan bangunan
gedung bertingkat yang berfungsi sebagai tempat tinggal/hunian. Persaratan,
kepadatan bangunan, dapat menciptakan kondisi yang aman, nyaman, layak dan
memadai dalam menunjang kualitas hidup masyarakat penghini. KDB dan KLB, di
tentukan oleh otoritas daerah dengan peraturan yang mengacu pada standar
ketentuan umum; perancanan kepadatan bangunan ditentukan dari koefisien luas
dasar lantai bangunan koefisien luas seruruh lantai bangunan terhadap lahan.
Perbandingan penggunaan lahan adalah pengunaan lahan 60% dari luas total lantai
bangunan untuk ruang tebuka.

238
Contoh Perhitungannya:
1) Kepadatan Bangunan
Diketahui : lias lahan = AL = 1Ha = 10.000 m2

KDB = 25%

𝐴𝐹
KDB = 𝐴𝐿

AF = K D B x AL
= 0,25 x 10.000 m2
𝑑𝑦
= 2500 m2 𝑑𝑥

KLB = 1,67 (1-KDB)


= 1,67 (1-0,25)
= 1,25

𝐴𝐿
n = (𝐴𝐹 − 1) 1,67
10.000
= ( 2.500 − 1)1,67

=5

Jumlah tinpadatagkat = 5 lantai

2) Kepadatan Penghuni, apabila koefisien lantai bangunan 1,25

𝜀𝐴𝐹
KLB = 𝐴𝐿

∈AF
1,25 = 10.000 m2

239
∈ 𝐴𝐹 =12.500 m2

12.500
Kepadatan penghuni maksimum = = 1736 jiwa/Ha
7,2

3) Luas Satu Unit Rumah = 36 m2


Satu unit rumah di huni 5 jiwa

1736 𝑗𝑖𝑤𝑎/𝐻𝑎
Jumlah unit per hektar = = 347 𝑢𝑛𝑖𝑡/𝐻𝑎
5 𝑗𝑖𝑤𝑎

Tabel koefisien dasar bangunan dan kofisien lantai bangunan.


JUMLAH
KDB JUMLAH
KLB PENDUDUK
(%) TINGKAT
JIWA
34 1,105 3-4 1528
28 1,20 4-5 1667
25 125 5 1736
20,2 1,3 67 1847
17,5 1,375 7-8 1909
16 1,4 8-9 1944
15 1,42 9-10 1972
14 1,236 10-11 1995
13 1,45 11-12 2014

A. SNI 03-1733 2004 dari 52.3.3.14 Satuan Rumah Susun (SARUSUN)


Rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secaraterpisah
sebagai hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.

1. Rumah susun sederhana rumah susun yang dibangun untuk masyarakat


berpenghasilan menengah ke bawah.
2. Satuan rumah susun sederhana satuan rumah susun dengan luas lantai
bangunan dengan unit rumah tidak lebih 45 m2 dah biaya pembangunan

240
per m2 tidak melebihi dari harga satuan per m2 tertinggi untuk
pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas C yang berlaku.
3. Rumah susun sederhana sewa rumah susun sederhana yang dikelola
oleh unit pemgelola yang ditunjukan oleh pemilik rusunawa dengan
setatus penghunian sistem sewa .
4. Satuan rumah susun menengah satuan rumah susun dengan luas lantai
setiap unit rumah 18 m2 – 100 m2 dan biaya pembangunan gedung
bertingkat kelas C sampai dangan harga-harga satuan per m2 tertinggi
untuk pembangunan bertingkat permerintah kelas A yang berlaku.
5. Satuan rumah susun mewah (apartemen) satuan rumah susun dangan
biaya pembangunan per m2 diatas satuan harga satuan m2 tertinggi
untuk pembangunan gedung beringkat permerintah kelas A yang
berlaku dangan luas lantai bangunan setiap unit rumah lebih dari 100
m2.
6. Blok sebidang tanah yang merupakan bagian dari lisiba, terdiri dari
sekelompok rumah tinggal atau persil.
7. Kapling tanah matang sebidang tanah yang telah dipersilahkan sesui
dengan persyaratan pembakuan dalam bangunan, penguasan, pemilkan
tahan dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian untuk membangun bangunan.
8. Sarana dan prasarana lingkungan urutan penyusuana istilah dan definisi
berikut ini berdasarkan lingkup bahasan umum hingga lingkup bahasan
spesifik mengenai topik dan klasifikasi sarana dan prasarana
lingkungan.
9. Prasarana lingkungan kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.

241
14. PEDOMAN PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN
PRASARANA DAN SARANA RUANG PEJALAN KAKI DI
PERKOTAAN

14.1 RUANG LINGKUP PEDOMAN


Pedoman penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana ruang pejalan
kaki di kawasan perkotaan ini berisi ketentuan yang mengatur tentang jenis, fungsi
dan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam proses penyediaan dan
pemanfaatan prasarana dan sarana ruang untuk pejalan kaki di kawasan perkotaan.
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana ruang pejalan kaki di
perkotaan disusun untuk dijadikan acuan bagi semua pemangku kepentingan yang
terkait dalam penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana ruang pejalan kaki
di perkotaan. Para pemangku kepentingan yang dimaksud adalah pemerintah pusat,
pemerintah daerah, LSM, perguruan tinggi, swasta maupun masyarakat perkotaan
itu sendiri.

14.2 ISTILAH DAN DEFINISI


Untuk tujuan penggunaan pedoman ini, maka digunakan istilah dan definisi
sebagai berikut:
1. Amenitas adalah jalur pendukung ruang pejalan kaki yang dapat
dimanfaatkan untuk perletakan fasilitas ruang pejalan kaki.
2. Arcade/jalur pedestrian tepi bangunan merupakan ruang pejalan kaki
yang berdampingan dengan bangunan pada salah satu atau kedua sisinya.
Arcade umumnya disediakan di kawasan perdagangan.
3. At-grade/penyeberangan sebidang adalah fasilitas penyeberangan bagi
pejalan kaki sebidang. Fasilitas ini disediakan bertujuan agar jalur
pedestrian yang ada tidak terputus dan untuk memudahkan dalam
pergantian jalur yang berbeda.

242
4. Bandara/bandar udara adalah tempat berlabuh pesawat udara. Akses
utama ke bandar udara ini melalui jalan arteri, akses masuk ke bandar udara
melalui jalan kolektor dan jalan lokal.
5. Difable (different ability) diartikan sebagai orang dengan keterbatasan
kemampuan, yang dapat berarti para penyandang cacat, lanjut usia, ibu
hamil, ataupun anak-anak.
6. Elevated/pedestrian overhead bridge adalah fasilitas penyeberangan bagi
pejalan kaki tidak sebidang agar jalur pedestrian yang ada tidak terputus dan
untuk memudahkan dalam pergantian jalur yang berbeda.
7. Green pathway/jalur pedestrian taman merupakan ruang pejalan kaki
yang terletak diantara ruang terbuka hijau agar pejalan kaki tidak berjalan
di rumput atau merusak tanaman lain yang ada di taman.
8. Halte adalah tempat pemberhentian kereta api, trem, atau bus yang
umumnya mempunyai ruang tunggu yang beratap, tetapi lebih kecil
daripada stasiun/ terminal
9. Jalur hijau adalah ruang terbuka hijau dengan pola linier yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam dengan pola memanjang
menerus
10.Kapasitas ruang pejalan kaki adalah daya tampung jalur pejalan kaki
terhadap pengguna jalur pejalan kaki, jumlah pejalan kaki maksimum yang
diperkirakan dapat ditampung oleh suatu jalur pejalan kaki dengan satuan
orang per meter per menit.
11.Kawasan campuran adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa
fungsi kegiatan yang berbeda, misalnya perumahan, perkantoran, dan
pendidikan. Letak kawasan campuran ini biasanya di tengah-tengah pusat
kota. Pada kawasan campuran akses utama masuk ke kawasan ini adalah
melalui jaringan penghubung jalan arteri. Jalan kolektor yang
menghubungkan jalan arteri dengan kawasan campuran, jalan kolektor
melintasi kawasan dengan fungsi campuran ini, di dalam kawasan campuran

243
ini jaringan penghubung antar ruang adalah dengan menggunakan jalan
lokal.
12.Kawasan industri adalah kawasan dengan fungsi utama industri
pengolahan atau manufaktur, kawasan ini dilengkapi dengan prasarana,
sarana/fasilitas penunjang yang disediakan oleh pengelola kawasan industri.
13.Kawasan khusus ibadah adalah kawasan dengan fungsi khusus sebagai
tempat kegiatan peribadatan yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan.
14.Kawasan khusus kesehatan adalah kawasan dengan fungsi khusus sebagai
tempat kegiatan pelayanan kesehatan dan yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan.
15.Kawasan khusus olah raga adalah kawasan dengan fungsi khusus sebagai
tempat kegiatan berolahraga yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan.
16.Kawasan khusus pariwisata adalah kawasan dengan fungsi utama sebagai
tempat tujuan rekreasi baik untuk rekreasi aktif maupun pasif.
17.Kawasan khusus pendidikan adalah kawasan dengan fungsi khusus
sebagai tempat kegiatan belajar-mengajar yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan.
18.Kawasan khusus transportasi adalah kawasan dengan fungsi khusus
sebagai tempat kegiatan pemindahan orang atau barang dari satu tempat
ketempat lain yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
19.Kawasan perdagangan dan jasa adalah kawasan dengan fungsi utama
perdagangan, jasa dan perkantoran yang umumnya terletak di tengah kota
dan mempunyai pengaruh besar terhadap kegiatan ekonomi kota.
20.Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, perumusan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

244
21.Kawasan perumahan, adalah kawasan dengan fungsi utama sebagai
tempat tinggal/ hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan.
22.Marka adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas
permukaan jalan yang meliputi peralatan yang membentuk garis membujur,
garis melintang, garis serong, serta lambang lainnya.
23.Pedestrian/pejalan kaki adalah pengguna jalur pejalan kaki, baik dengan
maupun tanpa alat bantu.
24.Pemanfaatan prasarana dan sarana adalah aktivitas penggunaan fasilitas
jalur pejalan kaki baik oleh pejalan kaki maupun pengguna lain yang
diperbolehkan
25.Penyeberangan adalah fasilitas yang menghubungkan antara ruang pejalan
kaki yang berseberangan.
26.Penyediaan prasarana dan sarana adalah proses penyediaan fasilitas
utama dan pendukung jalur pejalan kaki yang berguna untuk menyediakan
aksesibilitas dan mobilitas pejalan kaki
27.Prasarana pejalan kaki adalah fasilitas utama berupa jalur khusus yang
diperkeras yang disediakan untuk pejalan kaki termasuk para difable.
28.Promenade/jalur pedestrian tepi air merupakan ruang pejalan kaki yang
pada salah satu sisinya berbatasan dengan badan air (danau, laut, sungai,
kolam) dan sisi yang lainnya berupa jalan, tanaman atau bangunan.
Promenade disediakan bertujuan agar pengguna jalur pejalan kaki dapat
tetap berjalan pada lokasi yang berbatasan dengan badan air, baik untuk
melintas maupun untuk keperluan lain
29.Ram (ramp) adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang kemiringan
tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan
tangga.
30.Ruang pejalan kaki adalah ruang yang disediakan untuk jalur pejalan kaki
yang membentuk suatu jaringan.
31.Sarana pejalan kaki adalah fasilitas pendukung jalur pejalan kaki yang
dapat berupa bangunan pelengkap petunjuk informasi maupun alat

245
penunjang lainnya yang disediakan untuk meningkatkan kenyamanan dan
keamanan pejalan kaki.
32.Signage/rambu-rambu adalah papan informasi yang biasanya diletakkan
diantara jalur pedestrian dan badan jalan.
33.Street furniture/perabot jalan adalah fasilitas yang ditempatkan di
sepanjang jalan yang merupakan pelengkap atau pendukung bagi jalur
pejalan kaki. Penyediaannya disesuaikan dengan jenis kawasan yang
mengunakan jalur pejalan kaki.
34.Jalur pemandu (tactile) adalah jalur yang memandu penyandang tuna netra
dengan memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan ubin peringatan.
35.Trotoar/sidewalk merupakan ruang pejalan kaki yang berdampingan
dengan jalan pada salah satu sisinya dengan elevasi yang ditinggikan
maupun tidak yang tidak langsung berbatasan dengan bangunan.
36.Underground/jalur pedestrian dibawah tanah merupakan ruang pejalan
kaki yang terletak diantara ruang bawah tanah. Underground biasanya
disediakan sebagai penghubung antar bangunan. Sirkulasi pergerakan atau
perpindahan pengguna jalur pedestrian diwadahi di tempat yang tidak perlu
keluar dari bangunan.
37.Universal design adalah desain produk dan lingkungan yang dapat
digunakan untuk semua orang, yang memberikan kemudahan, tanpa harus
melakukan adaptasi berlebihan atau memberikan desain secara khusus.
38.Volume pejalan kaki adalah besaran jumlah pejalan kaki yang berada di
ruang pejalan kaki, orang/meter/menit.
39.Zona pejalan kaki adalah area yang diperuntukkan untuk jalur pejalan
kaki. Zona pejalan kaki terdiri dari beberapa bagian yaitu zona bagian depan
gedung, zona penggunaan bagi pejalan kaki, zona tanaman/perabot, dan
zona pinggir jalan.

14.3 PRINSIP PERENCANAAN


Prinsip umum perencanaan penyediaan prasarana dan sarana ruang pejalan
kaki harus memenuhi kaidah sebagai berikut:

246
1. Prinsip teknis penataan sistem sirkulasi dan jalur penghubung mengacu pada
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
2. Ruang yang direncanakan harus dapat diakses oleh seluruh pengguna,
termasuk oleh pengguna dengan berbagai keterbatasan fisik.
3. Lebar jalur pejalan kaki harus sesuai dengan standar prasarana
4. Harus memberikan kondisi aman, nyaman, ramah lingkungan dan mudah
untuk digunakan, sehingga pejalan kaki tidak harus merasa terancam dengan
lalu lintas atau ganggungan dari lingkungan sekitarnya
5. Jalur yang direncanakan mempunyai daya tarik atau nilai tambah lain diluar
fungsi utama.
6. Terciptanya ruang sosial sehingga pejalan kaki dapat beraktivitas secara aman
di ruang publik.
7. Terwujudnya keterpaduan sistem, baik dari aspek penataan lingkungan atau
dengan sistem transportasi atau aksesilibitas antar kawasan.
8. Terwujud perencanaan yang efektif dan efisien sesuai dengan tingkat
kebutuhan dan perkembangan kawasan.

14.4 PENGEMBANGAN ZONA PEJALAN KAKI DI PUSAT KOTA


Kawasan pusat kota adalah kawasan yang mengakomodir volume pejalan
kaki yang lebih besar dibanding kawasan pemukiman. Ruang pejalan kaki di area
ini dapat berfungsi untuk berbagai tujuan yang beragam dan terdiri dari berbagai
zona yang dapat dimanfaatkan antara lain: zona bagian depan gedung, zona bagi
pejalan kaki, zona bagi tanaman/perabotan jalan, dan zona untuk pinggiran jalan.

14.4.1 Zona Bagian Depan Gedung


1. Zona bagian depan gedung adalah area antara dinding gedung dan
pejalan kaki. Pejalan kaki biasanya akan tidak merasa nyaman bila
berjalan kaki secara langsung berdekatan dengan dinding gedung atau
pagar. Untuk itu jarak minimum setidaknya berjarak 0,6 meter dari jarak
sisi gedung atau tergantung pada penggunaan area ini. Ruang bagian

247
depan dapat ditingkatkan untuk memberikan kesempatan untuk ruang
tambahan bagi pembukaan pintu atau kedai kopi disisi jalan,serta
kegiatan lainnya.
2. Bagi orang yang memiliki keterbatasan indera penglihatan dan sering
berjalan di zona ini, dapat menggunakan suara dari gedung yang
berdekatan sebagai orientasi atau bagi tuna netra pengguna tongkat dapat
berjalan dengan jarak antara 0,3 meter hingga 1,2 meter dari bangunan.
3. Bagian depan harus bebas dari halangan atau berbagai objek yang
menonjol. Zona bagian depan juga harus dapat dideteksi oleh tuna netra
yang menggunakan tongkat yang panjang.

14.4.2 Zona Penggunaan Bagi Pejalan Kaki


1. Zona ini adalah area dari koridor sisi jalan yang secara khusus
digunakan untuk area pejalan kaki. Area ini harus dibebaskan dari
seluruh rintangan, berbagai objek yang menonjol dan penghalang
vertikal yang berbahaya bagi pejalan kaki dan bagi yang memiliki
keterbatasan indera penglihatan.
2. Zona pejalan kaki ini setidaknya berukuran 1,8 hingga 3,0 meter atau
lebih luas untuk memenuhi tingkat pelayanan yang diinginkan dalam
kawasan yang memiliki intensitas pejalan kaki yang tinggi. Kondisi ini
dibuat untuk memberikan kesempatan bagi para pejalan kaki yang
berjalan berdampingan atau bagi pejalan kaki yang berjalan berlawanan
arah satu sama lain.
3. Zona yang digunakan untuk pejalan kaki di jalan lokal dan jalan
kolektor adalah 1,2 meter dan jalan arteri dan jalan utama 1,8 meter.
Ruang tambahan diperlukan untuk tempat pemberhentian dan halte bus
dengan luas 1,5 meter X 2,4 meter.
4. Zona pejalan kaki tidak boleh kurang dari 1,2 meter yang merupakan
lebar minimum yang dibutuhkan untuk orang yang membawa seekor
anjing, pengguna alat bantu jalan dan para pejalan kaki.

248
14.4.3 Zona Tanaman/Perabot Jalan
1. Zona tanaman/perabot jalan dapat berfungsi sebagai zona penahan antara
zona lalu-lintas (kendaraan cepat) dengan zona pejalan kaki.
2. Area ini berfungsi sebagai penyangga dan menjadi tempat untuk
meletakkan berbagai elemen perabot jalan (hidran air, kios, telepon
umum, bangku-bangku, tanda-tanda dan lain-lain).

14.4.4 Zona Pinggir Jalan


Zona ini merupakan bagian integral dari jalan dan sistim saluran air, dan
juga berfungsi sebagai pembatas antara zona lalu-lintas (jalan raya)
dengan zona tanaman/perabot jalan atau zona pejalan kaki.

14.5 STANDAR PENYEDIAAN PELAYANAN RUANG PEJALAN KAKI


Tingkat pelayanan jaringan pejalan kaki pada pedoman ini bersifat teknis dan
umum, dan dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada. Standar
penyediaan ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sesuai dengan tipologi ruang
pejalan kaki dengan memperhatikan aktifitas dan kultur lingkungan sekitar.

Tingkat pelayanan (level of service/LOS) pejalan kaki:


1. LOS A
Jalur pejalan kaki seluas >5,6 m2/pedestrian,besar arus pejalan kaki <16
pedestrian/menit/meter. Pada ruang pejalan kaki dengan LOS A orang
dapat berjalan dengan bebas, para pejalan kaki dapat menentukan arah
berjalan dengan bebas, dengan kecepatan yang relatif cepat tanpa
menimbulkan gangguan antar sesama pejalan kaki.

2. LOS B
Jalur pejalan kaki seluas 5,6 m2/pedestrian, besar arus pejalan kaki >16-
23 pedestrian/menit/meter. Pada LOS B, ruang pejalan kaki masih nyaman
untuk dilewati dengan kecepatan yang cepat. Keberadaan pejalan kaki
yang lainnya sudah mulai berpengaruh pada arus pedestrian, tetapi para

249
pejalan kaki masih dapat berjalan dengan nyaman tanpa mengganggu
pejalan kaki lainnya.

3. LOS C
Jalur pejalan kaki seluas >2,2–3,7 m2/pedestrian, besar arus pejalan kaki
>23-33 pedestrian/menit/meter. Pada LOS C, ruang pejalan kaki masih
memiliki kapasitas normal, para pejalan kaki dapat bergerak dengan arus
yang searah secara normal walaupun pada arah yang berlawanan akan
terjadi persinggungan kecil. Arus pejalan kaki berjalan dengan normal
tetapi relatif lambat karena keterbatasan ruang antar pejalan kaki.

4. LOS D
Jalur pejalan kaki seluas >1,1–2,2 m2/pedestrian, besar arus pejalan kaki
>33-49 pedestrian/menit/meter. Pada LOS D, ruang pejalan kaki mulai
terbatas, untuk berjalan dengan arus normal harus sering berganti posisi
dan merubah kecepatan. Arus berlawanan pejalan kaki memiliki potensi
untuk dapat menimbulkan konflik. LOS D masih menghasilkan arus
ambang nyaman untuk pejalan kaki tetapi berpotensi timbulnya
persinggungan dan interaksi antar pejalan kaki.

5. LOS E
Jalur pejalan kaki seluas >0,75–1,4 m2/pedestrian, besar arus pejalan kaki
>49-75 pedestrian/menit/meter. Pada LOS E, setiap pejalan kaki akan
memiliki kecepatan yang sama, karena banyaknya pejalan kaki yang ada.
Berbalik arah, atau berhenti akan memberikan dampak pada arus secara
langsung. Pergerakan akan relatif lambat dan tidak teratur. Keadaan ini
mulai tidak nyaman untuk dilalui tetapi masih merupakan ambang bawah
dari kapasitas rencana ruang pejalan kaki.

250
6. LOS F
Jalur pejalan kaki seluas <0,75 m2/pedestrian, besar arus pejalan kaki
beragam pedestrian/menit/meter. Pada LOS F, kecepatan arus pejalan kaki
sangat lambat dan terbatas. Akan sering terjadi konflik dengan para pejalan
kaki yang searah ataupun berlawanan. Untuk berbali arah atau berhenti
tudak mungkin dilakukan. Karakter ruang pejalan kaki ini lebih kearah
berjalan sangat pelan dan mengantri. LOS F ini merupakan tingkat
pelayanan yang sudah tidak nyaman dan sudah tidak sesuai dengan
kapasias ruang pejalan kaki.

14.6 FASILITAS PRASARANA DAN SARANA RUANG PEJALAN KAKI


14.6.1 Fasilitas Prasarana Ruang Pejalan Kaki
Fasilitas prasarana ruang pejalan kaki yang diatur dalam pedoman ini adalah
tempat penyeberangan bagi pejalan kaki. Penyeberangan bagi pejalan kaki yang
efektif dilakukan melalui penataan berbagai elemen pejalan kaki antara lain,
informasi yang dibutuhkan (rambu-rambu/petunjuk bagi pejalan kaki) yang dapat
dilihat dan diakses seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda tempat penyeberangan
(termasuk tempat penyeberangan bagi pejalan kaki yang mempunyai keterbatasan
fisik).
Penyeberangan yang benar harus dibuat dengan memperhatikan jarak
pandang/aksesibilitas yang tepat, pola-pola lalu lintas, tahapan lalu lintas, larangan
untuk belok ke kanan, durasi/waktu yang dapat dipergunakan oleh pejalan kaki, dan
ukuran aman lalu lintas yang akan memperbolehkan pejalan kaki untuk melintasi.
Lebih lengkap pengaturan fasilitas penyeberangan mengacu pada Pedoman
Teknis Perekayasaan Fasilitas Pejalan Kaki di Wilayah Kota SK.43/AJ
007/DRJD/97, dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat.

14.6.1.1 Penyeberangan Sebidang (At-Grade)


1. Penyeberangan Zebra

251
Dipasang di kaki persimpangan tanpa alat pemberi isyarat lalu lintas atau
di ruas jalan.
Apabila persimpangan diatur dengan lampu pengatur lalu lintas,
pemberian waktu penyeberangan bagi pejalan kaki menjadi satu kesatuan
dengan lampu pengatur lalu lintas persimpangan.
Apabila persimpangan tidak diatur dengan lampu pengatur lalu- lintas,
maka kriteria batas kecepatan kendaraan bermotor adalah <40 km/jam.
2. Penyeberangan Pelikan
Dipasang pada ruas jalan, minimal 300 meter dari persimpangan, atau
Pada jalan dengan kecepatan operasional rata-rata lalu lintas kendaraan
>40 km/jam.

14.6.1.2 Penyeberangan Tidak Sebidang (Elevated/Underground)


1. Elevated/Jembatan
Elevated/jembatan digunakan apabila:
 Jenis jalur penyeberangan tidak dapat menggunakan penyeberangan zebra.
 Pelikan sudah menganggu lalu lintas kendaraan yang ada.
 Pada ruas jalan dengan frekuensi terjadinya kecelakaan pejalan kaki yang
cukup tinggi.
 Pada ruas jalan yang mempunyai arus lalu lintas dengan kecepatan tinggi
dan arus pejalan kaki yang cukup ramai.
 Jalur yang melandai harus disediakan untuk seluruh tempat penyeberangan
bagi pejalan kaki baik di atas jalan maupun di bawah jalan. Jika diperlukan,
maka dapat disediakan tangga untuk mencapai tempat penyeberangan
2. Underground/terowongan
Underground/terowongan digunakan apabila:
 Jenis jalur penyeberangan dengan menggunakan elevated/jembatan tidak
dimungkinkan untuk diadakan.
 Lokasi lahan atau medan memungkinkan untuk dibangun
underground/terowongan.

252
14.6.1.3 Marka Untuk Penyeberangan
Marka jalan untuk penyeberangan pejalan kaki dinyatakan dalam bentuk:
1. Zebra cross, yaitu marka berupa garis-garis utuh yang membujur tersusun
melintang jalur lintas.
2. Marka, berupa 2 (dua) garis utuh melintang jalur lalu lintas.
Ketentuan teknis yang mengatur tentang marka penyeberangan pejalan
kaki adalah sebagai berikut:
1. Garis membujur tempat penyeberangan orang harus memiliki lebar 0,30
meter dan panjang sekurang-kurangnya 2,50 meter.
2. Celah di antara garis-garis membujur mempunyai lebar sama atau
maksimal 2 (dua) kali lebar garis membujur tersebut.
3. Dua garis utuh melintang tempat penyeberangan pejalan kaki memiliki
jarak antar garis melintang sekurang-kurangnya 2,5 meter dengan lebar
garis melintang 0,30 meter.
4. Tempat penyeberangan orang ditandai dengan Zebra Cross.
5. Apabila arus lalu lintas kendaraan dan arus pejalan kaki cukup tinggi,
tempat penyeberangan orang dilengkapi dengan alat pemberi isyarat lalu
lintas.

14.6.1.4 Penyeberangan Di Tengah Ruas


Untuk kawasan perkotaan, yang terdapat jarak antar persimpangan cukup
panjang, maka dibutuhkan penyeberangan di tengah ruas agar pejalan kaki
dapat menyeberang dengan aman. Lokasi yang dipertimbangkan untuk
penyeberangan ditengah ruas harus dikaji terlebih dahulu.
Pertimbangan dalam penentuan lokasi penyeberangan di tengah ruas,
antara lain:
1. Lokasi penyeberangan memungkinkan untuk mengumpulkan atau
mengarahkan pejalan kaki menyeberang pada satu lokasi.
2. Merupakan lokasi untuk rute yang aman untuk berjalan kaki bagi anak
sekolah.

253
3. Kawasan dengan konsentrasi pejalan kaki yang menyeberang cukup tinggi
(seperti permukiman yang memotong kawasan pertokoan atau rekreasi
atau halte yang berseberangan dengan permukiman atau perkantoran).
4. Rambu-rambu peringatan harus dipasang sebelum lokasi untuk
memperingatkan pada pengendara bermotor akan adanya aktifitas
penyeberangan.
5. Penyeberangan dan rambu-rambu harus memiliki penerangan jalan yang
cukup.
6. Penyeberangan harus memiliki jarak pandang yang cukup baik bagi
pengendara bermotor maupun pejalan kaki.
7. Pada lokasi dengan arus lalu lintas 2 (dua) jalur, perlu disediakan median
pada lokasi penyeberangan, sehingga penyeberang jalan cukup
berkonsentrasi pada satu arah saja.

Hal-hal yang harus dihindari pada jalur penyeberangan di tengah ruas


jalan, khususnya yang tidak bersinyal adalah:
1. Harus terletak <90 meter dari sinyal lalu lintas, dimana pengendara
bermotor tidak mengharapkan adanya penyeberang.
2. Berada pada jarak 180 meter dari titik penyeberangan yang lain, kecuali
pada pusat kota/Central Bussiness District (CBD) atau lokasi yang sangat
memerlukan penyeberangan.
3. Pada jalan dengan batasan kecepatan di atas 72 km/jam.

14.6.1.5 Penyeberangan Di Persimpangan


Hal-hal yang harus diperhatikan untuk penyeberangan di persimpangan
adalah sebagai berikut:
1. Terdapat alat pemberi isyarat lalu lintas yang berfungsi menghentikan arus
lalu lintas sebelum pejalan kaki menyeberangi jalan atau alat yang
memberi isyarat kepada pejalan kaki kapan saat yang tepat untuk
menyeberang jalan.

254
2. Jika penyeberangan di persimpangan memiliki permasalahan yang cukup
kompleks antara lain dengan interaksi dari sistem prioritas, volume yang
membelok, kecepatan, jarak penglihatan, dan tingkah laku pengemudi,
maka pada suatu phase yang terpisah bagi pejalan kaki dapat diterapkan
alat pemberi isyarat lalu lintas, dengan memperhatikan hal–hal sebagai
berikut:
a) Arus pejalan kaki yang menyeberangi setiap kaki persimpangan lebih
besar dari 500 orang/jam.

b) Lalu lintas yang membelok kesetiap kaki persimpangan mempunyai


jarak waktu (headway) rata-rata kurang dari 5 detik, tepat pada saat lalu
lintas tersebut bergerak dan terjadi konflik dengan arus pejalan kaki.
Untuk pemilihan tipe yang tepat dari penyeberangan bagi pejalan kaki
yang sesuai dengan klasifikasi jalan yang dirancang dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Tipe yang Tepat dari Penyeberangan Bagi Pejalan Kaki
Operasional Pedestrian Pedestrian
Penyeberanga
Klasifikasi Rambu pada pada Pulau
n di Bawah
Pedestrian Penyeberanga Jalan
Arteri
n Sebidang
Bebas Hambatan A C C C
Dua Jalur B A C C
Satu Jalur B A C C

Sub Arteri
Dua Jalur B A B B
Satu Jalur B A B B

Kolektor
Satu Jalur C B B A

Lingkungan
Satu Jalur C C C C

255
Tabel 2.1 Pemilihan Tipe Penyeberangan Bagi Pejalan Kaki Sesuai dengan
Klasifikasi Jalan
Sumber: Diadaptasi dari Road Traffic Authority (RTA)1981, halaman 2.2.IB
A = Layak
B = Semi Layak
C = Tidak Layak

Beberapa kriteria rancangan untuk tempat penyeberangan dengan batasan


dipertengahan dapat dilihat pada gambar berikut:

Area Pemberhentian Sementara

Gambar 2.14 Ruang Pemberhentian Pedestrian yang Diturunkan

Area Pemberhentian Sementara

Gambar 2.15 Median Pemberhentian Pedestrian Sementara

256
Area Pemberhentian Sementara

Pembatas

Gambar 2.16 Median Jalan untuk Penyeberangan Pejalan Kaki

14.6.2 Fasilitas Sarana Ruang Pejalan kaki


Yang termasuk dalam sarana ruang pejalan kaki adalah drainase, jalur hijau,
lampu penerangan, tempat duduk, pagar pengaman, tempat sampah, marka
dan perambuan, papan informasi (signage), halte/shelter bus dan lapak
tunggu, serta telepon umum.
Persyaratan teknis penyediaan sarana ruang pejalan kaki diatur dalam
Keputusan Menteri Perhubungan tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: KM 65 Tahun 1993.

14.6.2.1 Drainase
Drainase terletak berdampingan atau dibawah dari ruang pejalan kaki.
Drainase berfungsi sebagai penampung dan jalur aliran air pada ruang
pejalan kaki. Keberadaan drainase akan dapat mencegah terjadinya banjir
dan genangan-genangan air pada saat hujan. Dimensi minimal adalah lebar
50 centimeter dan tinggi 50 centimeter.

14.6.2.2 Jalur hijau


Jalur hijau diletakan pada jalur amenitas dengan lebar 150 centimeter dan
bahan yang digunakan adalah tanaman peneduh.

257
14.6.2.3 Lampu Penerangan
Lampu penerangan diletakkan pada jalur amenitas. Terletak setiap 10
meter dengan tinggi maksimal 4 meter, dan bahan yang digunakan adalah
bahan dengan durabilitas tinggi seperti metal & beton cetak.

14.6.2.4 Tempat Duduk


Tempat duduk diletakan pada jalur amenitas. Terletak setiap 10 meter
dengan lebar 40-50 centimeter, panjang 150 centimeter dan bahan yang
digunakan adalah bahan dengan durabilitas tinggi seperti metal dan beton
cetak.

14.6.2.5 Pagar Pengaman


Pagar pengaman diletakan pada jalur amenitas. Pada titik tertentu yang
berbahaya dan memerlukan perlindungan dengan tinggi 90 centimeter, dan
bahan yang digunakan adalah metal/beton yang tahan terhadap cuaca,
kerusakan, dan murah pemeliharaannya.

14.6.2.6 Tempat Sampah


Tempat sampah diletakan pada jalur amenitas. Terletak setiap 20 meter
dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang digunakan adalah bahan
dengan durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak

14.6.2.7 Marka, Perambuan, Papan Informasi (Signage)


Marka dan perambuan, papan informasi (signage) diletakan pada jalur
amenitas, pada titik interaksi sosial, pada jalur dengan arus pedestrian
padat, dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang digunakan
terbuat dari bahan yang memiliki durabilitas tinggi, dan tidak
menimbulkan efek silau.

258
14.6.2.8 Halte/Shelter Bus dan Lapak Tunggu
Halte/shelter bus dan lapak tunggu diletakan pada jalur amenitas. Shelter
harus diletakan pada setiap radius 300 meter atau pada titik potensial
kawasan, dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang digunakan
adalah bahan yang memiliki durabilitas tinggi seperti metal.

14.6.2.9 Telepon Umum


Telepon umum diletakan pada jalur amenitas. Terletak pada setiap radius
300 meter atau pada titik potensial kawasan, dengan besaran sesuai
kebutuhan dan bahan yang digunakan adalah bahan yang memiliki
durabilitas tinggi seperti metal.

14.7 PRASYARAT DAN PENYEDIAAN PRASARANA DAN SARANA


RUANG PEJALAN KAKI

1. Ada beberapa fasilitas dasar yang harus terpenuhi dalam penyediaan prasarana
ruang pejalan kaki yaitu: jalur pejalan kaki, ram (ramp), dan marka penyandang
cacat (difable), jalur hijau, street furniture, dan signage.
2. Dari kebutuhan tersebut dalam pedoman ini diatur bagaimana cara agar dapat
terciptanya keamanan, kenyamanan, keindahan, kemudahan dan interaksi
sosial sesuai dengan kebutuhan ruang pejalan kaki yang diinginkan. Untuk
menyediakan ruang pejalan kaki dibutuhkan persyaratan sebagai berikut:

259
260
14.8 STANDAR TEKNIS PRASARANA RUANG PEJALAN KAKI
Ukuran dan Dimensi
Lebar efektif minimum jaringan pejalan kaki berdasarkan kebutuhan orang adalah
60 centimeter ditambah 15 centimeter untuk bergoyang tanpa membawa barang,
sehingga kebutuhan total minimal untuk 2 (dua) orang pejalan kaki berpapasan
menjadi 150 centimeter. Untuk arcade dan promenade yang berada di daerah
pariwisata dan komersial harus tersedia area untuk window shopping atau fungsi
sekunder minimal 2 meter.

Lebar fisik orang Lebar Ruang orang berjalan


Secara Keseluruhan Secara Keseluruhan
(Sumber: ASCE, American Society of Civil Engineers, 1981, hal. 109)
Gambar 3.1 Ukuran Desain Ruang Pejalan Kaki

Lebar jaringan pejalan kaki berdasarkan lokasi menurut Keputusan Menteri


Perhubungan No. KM 65 Tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Lebar Jaringan Pejalan Kaki Berdasarkan Lokasi
No. Lokasi Ruang Pejalan Kaki Lebar Minimal
1. Jalan di daerah perkotaan atau kaki lima 4 meter
2. Di wilayah perkantoran utama 3 meter
3. Di wilayah industri
a. pada jalan primer 3 meter
b. pada jalan akses 2 meter
4. Di wilayah pemukiman
a. pada jalan primer 2,75 meter
b. pada jalan akses 2 meter

261
Ruang pejalan kaki memiliki perbedaan ketinggian baik dengan jalur kendaraan
bermotor ataupun dengan jalur hijau. Perbedaan tinggi maksimal antara ruang
pejalan kaki dan jalur kendaraan bermotor adalah 20 centimeter. Sementara
perbedaan ketinggian dengan jalur hijau 15 centimeter.
Untuk ketetapan-ketetapan lainnya disesuaikan dengan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan

14.9 JENIS MATERIAL


Jenis material yang digunakan untuk prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki
adalah:
1. Bahan yang dapat menyerap air (tidak licin);
2. Tidak menyilaukan;
3. Perawatan dan pemeliharaan yang relatif murah;
4. Cepat kering (air tidak menggenang jika hujan turun).

14.9.1 Jenis Material Permukaan


Ketentuan penggunaan jenis material permukaan adalah sebagai berikut:
1. Secara umum terdiri dari material yang padat, akan tetapi dapat juga
digunakan jenis ubin, batu dan batu bata. Bahan dapat terbuat dari material
yang padat dan aspal yang kokoh, stabil dan tidak licin.
2. Sebaiknya menghindari permukaan yang licin, karena akan mempersulit
bagi pengguna kursi roda atau pengguna alat bantu berjalan.
3. Permukaan yang tidak konsisten secara visual (keseluruhan warna dan
tektur) dapat membuat sulit bagi pejalan kaki dengan keterbatasan
kemampuan untuk membedakan perbedaan perubahan warna dan pola
yang ada di trotoar dan penurunan atau perubahan tingkatan yang ada.

14.9.2 Jenis Material untuk Permukaan Dekoratif


Ketentuan penggunaan jenis material untuk permukaan dekoratif adalah sebagai
berikut:

262
1. Material permukaan dengan batu yang diperindah atau kumpulan batu yang
menonjol. Cat dan material termoplastik lainnya biasanya digunakan untuk
menandai jalan penyeberangan, dan pada umumnya licin bila basah.
2. Batu kerikil dan batu bata dapat meningkatkan kualitas estetika dari trotoar
tetapi dapat menambah energi bagi pejalan kaki yang mempunyai
kelemahan mobilitas. Untuk alasan ini, batu bata dan batu kerikil tidak
direkomendasikan.
3. Material permukaan yang bertekstur dekoratif dapat membuat lebih sulit
bagi pejalan kaki dengan keterbatasan penglihatan, untuk mendeteksi
peringatan tersebut perlu menyediakan informasi (tanda) kritis tentang
transisi dari trotoar ke jalan.

14.10 FASILITAS DIFABEL


14.10.1 Persyaratan Rancangan untuk Penyandang Cacat
Persyaratan khusus untuk rancangan bagi pejalan kaki yang mempunyai cacat fisik
adalah sebagai berikut:
1. Jalan tersebut setidaknya memiliki lebar 1.5 meter, dengan tingkat
maksimal 5%.
2. Pejalan kaki harus mudah mengenal permukaan jalan yang lurus atau jika
ada berbagai perubahan jalan yang curam pada tingkat tertentu.
3. Menghindari berbagai bahaya yang berpotensi mengancam keselamatan
penyandang cacat seperti jeruji, lubang, dan lain-lain yang tidak harus
ditempatkan di jalan yang mereka lalui.
4. Ketika penyandang cacat menyeberang jalan, tingkat trotoarnya harus
disesuaikan sehingga mereka mudah melaluinya.
5. Jika jalan tersebut digunakan oleh orang tuna netra, berbagai perubahan
dalam tekstur trotoar dapat digunakan sebagai tanda-tanda praktis.
6. Jalan tersebut tidak boleh memiliki permukaan yang licin.
7. Persyaratan lainnya disesuaikan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

263
14.10.2 Tipe Fasilitas Difabel
Tipe fasilitas difabel adalah:
1. Ram (ramp), diletakan di setiap persimpangan, prasarana ruang pejalan
kaki yang memasuki enterance bangunan, dan pada titik-titik
penyeberangan.
2. Jalur difabel, diletakan di sepanjang prasarana jaringan pejalan kaki
Standar yang dapat dipergunakan untuk penyediaan fasilitas jalur pejalan
kaki bagi penyandang cacat dapat ditetapkan sesuai tipikal berbagai
dimensi dari kursi roda yang diperuntukan untuk penyandang cacat
sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini:

(Sumber: ASCE, 1981, Hal. 129)


Gambar 3.2 Tipikal Ukuran Kursi Roda

14.10.3 Persyaratan Jalur yang Landai Bagi Penyandang Cacat Fisik


Persyaratan khusus untuk rancangan jalan yang landai bagi penyandang cacat fisik
adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kelandaian tidak melebihi dari 8.33% (1 banding 12).
2. Jalur yang landai harus memiliki pegangan tangan setidaknya untuk satu
sisi (disarankan untuk kedua sisi). Pada akhir landai setidaknya panjang
pegangan tangan mempunyai kelebihan sekitar 300 milimeter.
3. Pegangan tangan harus dibuat dengan ketinggian 0.8 meter diukur dari
permukaan tanah dan panjangnya harus melebihi anak tangga terakhir.

264
4. Seluruh pegangan tangan tidak harus memiliki permukaan yang licin.
5. Area landai harus memiliki penerangan yang cukup.

14.10.4 Informasi Bagi Pejalan Kaki Yang Penyediaan Memiliki Keterbatasan


Pejalan kaki dengan keterbatasan pandangan akan mengandalkan
kemampuannya untuk mendengar dan merasakan ketika berjalan. Isyarat- isyarat
dalam lingkungan termasuk suara lalu lintas, penyangga jalan yang landai, pesan-
pesan dan suara-suara merupakan tanda-tanda bagi pejalan kaki, dan menjadi
sumber peringatan-peringatan yang dapat dideteksi.
Untuk mengakomodir kebutuhan tersebut, maka perlu disediakan informasi
bagi pejalan kaki yang memiliki keterbatasan, meliputi: tanda-tanda bagi pejalan
kaki, tanda-tanda pejalan kaki yang dapat diakses, signal suara yang dapat didengar,
pesan-pesan verbal, informasi lewat getaran, dan peringatan-peringatan yang dapat
dideteksi.
Persyaratan untuk rambu dan marka agar memperhatikan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

14.11 TINGKAT KAPASITAS PELAYANAN RUANG UNTUK JALAN


SETAPAK
Untuk penyediaan pelayanan bagi pejalan kaki dalam bentuk jalan setapak dapat
dilihat pada tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2 Tingkat-Tingkat dari Jasa Pelayanan Pejalan Kaki
untuk Jalan Setapak
Tingkat Ruang Kecepatan Besaran Arah Volume/
2
Pelayanan Pedestrian m Rata-rata Pedestrian/Min/Lebar/ Kapasitas
meter/min Meter (Ped/Min) Rasio
A ≥ 12 ≥ 78 ≤ 6.7 ≤ 0.08
B ≥ 3.6 ≥ 75 ≤ 23 ≤ 0.28
C ≥ 2.2 ≥ 72 ≤ 33 ≤ 0.40
D ≥ 1.4 ≥ 68 ≤ 50 ≤ 0.60
E ≥ 0.5 ≥ 45 ≤ 83 ≤ 1.00
F < 0.5 < 45 variable 1.00
Sumber: Diadaptasi dari TRB (Transportation Research Board) 1985

265
14.12 LEBAR MINIMUM
1. Lebar minimum dari masing-masing pejalan kaki adalah 1,5 meter.
Seandainya berdekatan dengan tempat atau sarana lainnya, maka lebar
minimum yang diperkenankan adalah 0.9 meter.
2. Pada kondisi volume pejalan kaki semakin tinggi, lebar jalur pejalan kaki
harus ditingkatkan.

(Sumber: diadaptasi dari halaman 435, A Policy on Geometric Design of


Highways and street. Copyright 1984. The American Association of state
Highways and Transportation officials Washington DC Used by permission)
Gambar 3.3 Syarat-Syarat Bentuk Jalur Pejalan Kaki

14.13 PEMANFAATAN PRASARANA DAN SARANA RUANG PEJALAN


KAKI DI KAWASAN PERKOTAAN
Pola pemanfaatan ruang pejalan kaki mengacu pada kebijakan formal yang
telah dikeluarkan, sehingga legalitas pemanfaatannya tidak menyimpang dari
ketentuan yang berlaku. Setiap pemanfaatan ruang pejalan kaki diatur berdasarkan
jenis kegiatan, waktu pemanfaatan, jumlah pengguna, dan ketentuan teknis yang
harus dipenuhi.

266
Ruang pejalan kaki memiliki fungsi utama sebagai sirkulasi bagi pejalan
kaki, selain itu dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan dan fungsi ruang luar
bagi masyarakat sekitar.

14.13.1 Aktivitas Pemanfaatan Ruang Yang Diperbolehkan


Aktivitas pemanfaaatan ruang yang diperbolehkan adalah:
a) Interaksi Sosial
Aktivitas sosial antar pengguna kawasan, seperti: berbincang-bincang,
mendengarkan, memperhatikan, duduk, makan, minum.
b) Sirkulasi Bagi Difabel
Aktivitas sirkulasi para penyandang cacat dari satu tempat ke tempat
lainnya.
c) Zona Bagian Depan Gedung (Building frontage zone)
Zona ini dapat dimanfaatkan sebagai area masuk (entrance) bangunan, area
perluasan aktivitas dari dalam bangunan ke ruang luar bangunan, dan area
transisi aktivitas dari dalam bangunan ke bagian luar bangunan.

14.13.2 Aktivitas Pemanfaatan Ruang Yang Dilarang


Aktivitas kendaraan bermotor tidak diperbolehkan memanfaatkan fasilitas di ruang
pejalan kaki.

14.13.3 Aktivitas Pemanfaatan Ruang Yang Diperbolehkan Dengan Syarat


a) Kegiatan Usaha Kecil Formal (KUKF)
Aktifitas jual beli yang dilakukan di dalam ruang pejalan kaki dapat menjadi
daya tarik tersendiri bagi kawasan jika tertata dengan baik, tetapi dapat
menimbulkan permasalahan jika ruang pejalan kaki tersebut tidak tertata
dengan baik.

Persyaratan pemanfaatan KUKF:


- Jarak bangunan ke area berdagang adalah 1,5 – 2,5 meter, agar tidak
menganggu sirkulasi pejalan kaki.

267
- Lebar pedestrian sekurang-kurangnya 5 meter dan lebar area berjualan
maksimal 3 meter, atau 1:1,5 antara lebar jalur pejalan kaki dengan lebar
area berdagang.
- Ada organisasi tertentu yang mengelola keberadaan KUKF.
- Untuk jenis KUKF tertentu, waktu berdagang diluar waktu kegiatan aktif
gedung/bangunan di depannya.

b) Aktivitas Pameran Sementara di Ruang Terbuka


Aktivitas pameran sementara di ruang terbuka atau outdoor display dapat
dilakukan jika lebar ruang pejalan kaki minimal 5 meter dan lebar area
berjualan maksimal 3 meter atau 1:2 antara lebar jalur pejalan kaki dengan
lebar area pameran. Dengan asumsi pengunjung pameran memanfaatkan
separuh lebar jalur pejalan kaki yang ada.

14.13.4 Fasilitas Bersepeda


Fasilitas bersepeda mencakup:
a) Aktivitas olahraga bersepeda diperbolehkan, jika kondisi luasan jaringan
pejalan kaki memungkinkan, yaitu dengan lebar pedestrian minimal 5
meter.
b) Pada kondisi volume pejalan kaki tinggi, harus disediakan satu jalur khusus
untuk bersepeda, dengan cara memperlebar trotoar sampai dengan 2 meter,
untuk memisahkan jalur bersepeda dengan jalur lalu lintas yang berdekatan.

Pada umumnya kecepatan bersepeda adalah 10–20 kilometer/jam. Bila


memungkinkan kecepatan minimal 20 kilometer/jam, jika:
a) Ruang dapat dirancang untuk bersepeda dengan kecepatan 30 kilometer/jam
sehingga dapat secara mudah diakomodir tanpa peningkatan yang
signifikan.
b) Kecepatan minimum yang diinginkan melebihi 20 kilometer/jam, maka
lebar jalur bersepeda dapat diperlebar 0.6 meter hingga 1.0 meter.

268
14.13 TATA CARA PENYEDIAAN RUANG PEJALAN KAKI
14.13.1 Kedudukan Rencana Ruang Pejalan Kaki
Ruang pejalan kaki harus menjadi bagian yang terintegrasi dalam rencana
tata ruang wilayah kabupaten/kota. Untuk menyediakan ruang pejalan kaki tersebut,
perlu disusun:
a. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan peraturan zonasi untuk mengatur
ketentuan teknis yang terkait dengan penyediaan infrastruktur kota atau
kawasan yang akan dikembangkan.

b. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang merupakan panduan


rancang bangun suatu lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk
mengendalikan pemanfaatan ruang dan memuat materi pokok ketentuan
program bangunan dan lingkungan, rencana umum, dan panduan rancangan,
rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman
pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan/kawasan.

c. Untuk perencanaan yang bersifat privat atau semi privat; misalnya dalam
lingkungan kawasan permukiman baru, maka pengembang harus sudah
mempersiapkan ruang pejalan kaki dalam rancangan siteplan, sebelum
mendapatkan izin lokasi.

d. Untuk perencanaan yang bersifat revitalisasi kawasan atau rehabilitasi


lingkungan, maka rancangan penyediaan ruang pejalan kaki sudah harus
dicantumkan dalam siteplan kawasan revitalisasi.

14.13.2 Kriteria Kawasan yang Diprioritaskan


Penyediaan ruang pejalan kaki diprioritaskan untuk dikembangkan pada:
a. Kawasan perkotaan dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi;
b. Jalan-jalan yang memiliki rute angkutan umum yang tetap;
c. Kawasan yang memiliki aktivitas yang tinggi, seperti pasar dan kawasan
bisnis/komersial, dan jasa;

269
d. Lokasi-lokasi dengan tingkat mobilitas tinggi dan periode yang pendek,
seperti stasiun, terminal, sekolah, rumah sakit, dan lapangan olah raga;
e. Lokasi yang mempunyai mobilitas yang tinggi pada hari-hari tertentu,
misalnya lapangan/gelanggang olah raga dan tempat ibadah.

14.14.3 Prinsip Penyediaan


Ruang pejalan kaki dapat ditempatkan di sepanjang jalan atau pada suatu
kawasan yang akibat pertumbuhannya memerlukan ruang pejalan kaki, perlu
memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Agar dapat berfungsi dengan baik dan optimal, penyediaan prasarana dan
sarana ruang pejalan kaki harus memenuhi persyaratan yaitu keamanan,
kenyamanan, keindahan, kemudahan interaksi sosial, bagi semua pengguna
pejalan kaki termasuk yang memiliki keterbatasan fisik (penyandang cacat).
b. Ruang pejalan kaki sebaiknya diterapkan pada ¼ bahu jalan, dengan
pertimbangan ruang tersebut dapat diakses langsung oleh pejalan kaki.
Dasar pertimbangannya adalah lahan tersebut merupakan ruang publik,
sementara untuk penerapan di area non publik, sangat tergantung pada
kesepakatan dengan pemilik lahan.
c. Penyediaan ruang pejalan kaki dapat dikembangkan pada kawasan:
a) perdagangan dan jasa
b) ruang terbuka
c) ckhusus
d) perumahan
e) industri
f) peruntukan campuran
d. Penyediaan ruang pejalan kaki harus bersifat interzona dan intermoda, serta
menjadi salah satu syarat untuk memudahkan akses ke pusat-pusat kegiatan.
Syarat penyediaan minimal adalah 300 – 400 meter dari halte transit atau
sekitar 5-10 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.

270
Pola Sirkulasi Pejalan Kaki

e. Ruang pejalan kaki harus memiliki hirarki penggunaan. Pada umumnya


berawal dari satu titik ke titik lainnya seperti dari rumah ke kantor atau
lokasi tujuan akhir dan sebaliknya.
f. Ruang pejalan kaki sebagai jalur utama harus memiliki sarana dan prasarana
untuk membantu mobilitas, seperti ram pejalan kaki untuk memberikan
kenyamanan dalam berjalan dan memandu para difable untuk dapat dengan
mudah melintas.
g. Untuk menghubungkan ruang pejalan kaki yang berseberangan dibangun
jembatan penyeberangan dan penyeberangan sebidang.
h. Perlu tersedia titik–titik yang menghubungkan ruang pejalan kaki dengan
moda transportasi seperti halte atau shelter kendaraan umum.
i. Penyediaan fasilitas sarana dan prasarana ruang pejalan kaki, harus
disesuaikan dengan kebutuhan.

271
Contoh Sistem Hirarki Prasarana dan Sarana pada Ruang Pejalan Kaki

j. Standar penyediaan pelayanan ruang pejalan kaki sangat bervariasi, ukuran


dan dimensinya tergantung dari tingkat pelayanan (level of service) dan
tingkat volume pergerakan di ruang pejalan kaki sesuai dengan yang tertera
pada butir 2.4.
k. Penyediaan sarana dan prasarana ruang pejalan kaki tergantung pada
tipologi ruang pejalan kaki. Tipologi ini disesuaikan dengan peruntukan
ruang di kawasan terkait.

14.14.4 Mekanisme Pelaksanaan Penyediaan Ruang Pejalan Kaki


Untuk penyediaan ruang pejalan kaki beserta sarana dan prasarananya,
maka pada kawasan sekitar jalur pejalan kaki pemerintah daerah perlu melakukan
hal-hal sebagai berikut:
a) Mengkaji rencana pengembangan wilayah perkotaan (antara lain
jaringan transportasi, sarana dan prasarana publik).

272
b) Identifikasi kawasan–kawasan yang membutuhkan ruang untuk pejalan
kaki sesuai volume pergerakan orang.
c) Menetapkan kawasan yang menjadi prioritas untuk disediakan
prasarana dan sarana ruang pejalan kaki.

14.14.5 Penyusunan Rencana Teknis


Setelah mendapatkan hasil identifikasi kawasan dan penetapan skala
prioritasnya, maka langkah selanjutnya pemerintah daerah menyusun rencana
teknis penyediaan ruang pejalan kaki.

Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:


a) Merancang kebutuhan ruang pejalan kaki yang akan dikembangkan
di dalam kawasan
1) Penyesuaian terhadap tipologi ruang pejalan kaki:
 Trotoar (Sidewalk)
 Jalur pejalan kaki tepi air (Promenade)
 Jalur pejalan kaki tepi bangunan (Arcade)
 Jalur pejalan kaki taman (Green pathway)
 Jalur pejalan kaki di bawah tanah (Underground)
 Jalur pejalan kaki di atas jembatan (Elevated)

2) Merencanakan zona pejalan kaki di pusat perkotaan:


 Zona bagian depan gedung
 Zona penggunaan bagi pejalan kaki
 Zona tanaman/ perabot
 Zona pinggir jalan

3) Mengidentifikasi jarak tempuh pedestrian yang ideal:


 Stasiun ke halte
 Stasiun ke gedung tujuan (perkantoran/retail/apartmen)

273
 Halte ke gedung tujuan

b) Merencanakan jenis kebutuhan street furniture untuk pejalan kaki di


setiap kawasan.
Untuk merencanakan jenis kebutuhan fasilitas pejalan kaki (street furniture)
pada masing-masing ruas ruang pejalan kaki seperti:
 Bangku taman
 Lampu taman
 Pagar/pembatas
 Tempat sampah
 Rak sepeda
 Kios
 Ram aksesibilitas
 Telepon umum
 Rambu-rambu/signage

Perlu dilakukan langlah-langkah sebagai berikut:


1) Merumuskan hasil pengamatan perilaku pejalan kaki;
2) Menyusun kebutuhan fasilitas pejalan kaki;
3) Menentukan dimensi street furniture yang akan dikembangkan;
4) Menentukan jarak antar setiap street furniture;

c) Merencanakan kebutuhan terhadap aktivitas dan perilaku pejalan


kaki dalam memanfaatkan ruang pejalan kaki di setiap kawasan,
seperti: makan dan minum, berbicara/berbincang-bincang, berjalan cepat
atau santai, bermain-main, dan olahraga.

274
275
15. SNI 03-1735-1993 TENTANG TATA CARA
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN
UNTUK PENCEGAHAN BAHAYA KEBAKARAN PADA
BANGUNAN RUMAH DAN GEDUNG

15.1. KETENTUAN
Banyak istilah istilah yang digunakan dalam SNI 03-1735 Tahun 1993, dan
dalam peraturan menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan
adalah sistem yang terdiri atas peralatan, kelengkapan dan sarana, baik yang
terpasang maupun terbangun pada bangunan yang digunakan baik untuk tujuan
sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif maupun cara-cara pengelolaan dalam
rangka melindungi bangunan dan lingkungannya terhadap bahaya kebakaran.
2. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
3. Perencanaan Tapak adalah perencanaan yang mengatur tapak (site) bangunan,
meliputi tata letak dan orientasi bangunan, jarak antar bangunan, penempatan
hidran halaman, penyediaan ruang-ruang terbuka dan sebagainya dalam rangka
mencegah dan meminimasi bahaya kebakaran.
4. Sarana Penyelamatan adalah sarana yang dipersiapkan untuk dipergunakan
oleh penghuni maupun petugas pemadam kebakaran dalam upaya penyelamatan
jiwa manusia maupun harta benda bila terjadi kebakaran pada suatu bangunan
gedung dan lingkungan.
5. Sistem Proteksi Kebakaran Pasif adalah sistem proteksi kebakaran yang
terbentuk atau terbangun melalui pengaturan penggunaan bahan dan komponen
struktur bangunan, kompartemenisasi atau pemisahan bangunan berdasarkan
tingkat ketahanan terhadap api, serta perlindungan terhadap bukaan.

276
6. Sistem Proteksi Kebakaran Aktif adalah sistem proteksi kebakaran yang
secara lengkap terdiri atas sistem pendeteksian kebakaran baik manual ataupun
otomatis, sistem pemadam kebakaran berbasis air seperti springkler, pipa tegak
dan slang kebakaran, serta sistem pemadam kebakaran berbasis bahan kimia,
seperti APAR dan pemadam khusus.
7. Pencegahan Kebakaran Pada Bangunan Gedung adalah mencegah
terjadinya kebakaran pada bangunan gedung atau ruang kerja. Bila kondisi-
kondisi yang berpotensi terjadinya kebakaran dapat dikenali dan dieliminasi akan
dapat mengurangi secara substansial terjadinya kebakaran.
8. Pengelolaan Proteksi Kebakaran adalah upaya mencegah terjadinya
kebakaran atau meluasnya kebakaran ke ruangan-ruangan ataupun lantai-lantai
bangunan, termasuk ke bangunan lainnya melalui eliminasi ataupun minimalisasi
risiko bahaya kebakaran, pengaturan zona-zona yang berpotensi menimbulkan
kebakaran, serta kesiapan dan kesiagaan sistem proteksi aktif maupun pasif.
9. Pengawasan dan Pengendalian adalah upaya yang perlu dilakukan oleh pihak
terkait dalam melaksanakan pengawasan maupun pengendalian dari tahap
perencanaan pembangunan bangunan gedung sampai dengan setelah terjadi
kebakaran pada suatu bangunan gedung dan lingkungannya.
10. Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung
Dan Lingkungan adalah setiap ketentuan atau syarat-syarat teknis yang harus
dipenuhi dalam rangka mewujudkan kondisi aman kebakaran pada bangunan
gedung dan lingkungannya, baik yang dilakukan pada tahap perencanaan,
perancangan, pelaksanaan konstruksi dan pemanfaatan bangunan.
11. Penyelenggara Bangunan Gedung adalah pemilik bangunan gedung,
penyedia jasa konstruksi bangunan gedung, dan pengguna bangunan gedung.
12. Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang,
atau perkumpulan yang menurut hukum sah sebagai pemilik gedung.
13. Pengguna Bangunan Gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau
bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik
bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau
bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

277
15.2 KETENTUAN UMUM
1. Atrium, adalah ruang di dalam bangunan gedung yang menghubungkan dua
tingkat atau lebih dan:
A.1keseluruhan atau sebagian ruangannya tertutup pada bagian atasnya
oleh lantai.
B. Termasuk setiap bagian bangunan gedung yang berdekatan tetapi tidak
terpisahkan oleh penghalang yang sesuai untuk kebakaran,
C. Tidak termasuk lorong tangga, lorong ram atau ruangan dalam saf.
2. Bangunan Gedung, adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada diatas dan/atau di
dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan
usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun
kegiatan khusus.
3. Bangunan Gedung Umum, adalah bangunan gedung yang digunakan untuk
segala macam kegiatan kerja antara lain untuk:
A. Pertemuan umum.
B. Perkantoran.
C. Hotel.
D. Pusat Perbelanjaan/Mal.
E. Tempat rekreasi/hiburan.
F. Rumah sakit/perawatan.
G. Museum.
4. Bagian-bagian bangunan gedung, adalah bagian dari elemen bangunan gedung
yang mempunyai fungsi tertentu, misalnya memikul beban, pengisi, dan lain-lain.
5. Bahaya kebakaran, adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman
potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga
penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan.
6. Bahan lapis penutup, adalah bahan yang digunakan sebagai lapisan bagian
dalam bangunan gedung seperti plesteran, pelapis dinding, panel kayu dan lain-lain.

278
7. Yang diperkirakan terbakar dalam kompartemen kebakaran, termasuk
bahan lapis penutup, bahan yang dapat dipindahkan maupun yang terpasang serta
elemen bangunan gedung.
8. Besmen, adalah ruangan di dalam bangunan gedung yang letak laintainya secara
horizontal berada di bawah permukaan tanah yang berada di sekitar lingkup
bangunan gedung tersebut.
9. Blok, adalah suatu luasan lahan tertentu yang dibatasi oleh batas fisik yang tegas,
seperti laut, sungai, jalan, dan terdiri dari satu atau lebih persil bangunan gedung.
10. Bukaan penyelamatan, adalah bukaan/lubang yang dapat dibuka yang terdapat
pada dinding bangunan gedung terluar, bertanda khusus, menghadap ke arah luar
dan diperuntukkan bagi unit pemadam kebakaran dalam pelaksanaan pemadaman
kebakaran dan penyelamatan penghuni.
11. Dinding api, adalah dinding yang mempunyai ketahanan terhadap penyebaran
api yang membagi suatu tingkat atau bangunan gedung dalam kompartemen-
kompartemen kebakaran.
12. Dinding dalam, adalah dinding di luar dinding biasa atau bagian dinding.
13. Dinding luar, adalah dinding luar bangunan gedung yang tidak merupakan
dinding biasa.
14. Dinding panel, adalah dinding luar yang bukan dinding pemikul di dalam
rangka atau konstruksi sejenis, sepenuhnya didukung pada tiap tingkat.
15. Eksit, adalah bagian dari sebuah sarana jaln ke luar yang dipisahkan dari tempat
lainnya dalam bangunan gedung oleh konstruksi atau peralatan untuk menyediakan
lintasan jalan yang diproteksi menuju eksit pelepasan.
16. Eksit horizontal, adalah suatu jalan terusan dari satu bangunan gedung ke satu
daerah tempat berlindung di dalam bangunan gedung lain pada ketinggian yang
hampir sama, atau suatu jalan terusan yang melalui atau mengelilingi suatu
penghalang api ke daerah tempat berlindung pada ketinggian yang hampir sama
dalam bangunan gedung yang sama, yang mampu menjamin keselamatan dari
kebakaran dan asap yang berasal dari daerah kejadian dan daerah yang
berhubungan.

279
17. Elemen bangunan gedung, adalah bagian bangunan gedung yang diantaranya
berupa lantai, kolom, balok, dinding, atap dan lain-lain.
18. Eskalator, adalah tangga berjalan dalam bangunan gedung.
19. Hidran halaman, adalah alat yang dilengkapi dengan slang dan mulut pancar
(nozzle) untuk mengalirkan air bertekanan, yang digunakan bagi keperluan
pemadaman kebakaran dan diletakkan di halaman bangunan gedung.
20. Slang kebakaran, adalah slang gulung yang dilengkapi dengan mulut pancar
(nozzle) untuk mengalirkan air bertekanan.

15.3 LINGKUNGAN BANGUNAN GEDUNG


1. Lingkungan Perumahan, Perdagangan, Industri dan/atau Campuran.
2. Jalan Lingkungan.
Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan
operasi pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan gedung harus tersedia
jalan lingkungan dengan perkerasan agar dapat dilalui oleh kendaraan pemadam
kebakaran.
3. Jarak Antar Bangunan Gedung.
Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran, harus disediakan
jalur akses mobil pemadam kebakaran dan ditentukan jarak minimum antar
bangunan gedung dengan memperhatikan Tabel.
Tabel: Jarak Antar Bangunan Gedung

Jarak minimum antar bangunan gedung tersebut tidak dimaksudkan untuk


menentukan garis sempadan bangunan gedung. Garis sempadan bangunan gedung
tetap mengikuti ketentuan rencana tata ruang wilayah yang berlaku di
kabupaten/kota atau Provinsi DKI Jakarta.

280
15.4 AKSES PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN KE LINGKUNGAN.
1. Akses Kendaraan Pemadam Kebakaran.
A. Akses kendaraan pemadam kebakaran harus disediakan dan dipelihara sesuai
persyaratan teknis ini.
B. Cetak biru akses jalan untuk kendaraan pemadam kebakaran sebaiknya
disampaikan kepada Instansi pemadam kebakaran untuk dikaji dan diberi
persetujuan sebelum dilakukan konstruksinya.
2. Akses ke Bangunan Gedung atau Lingkungan Bangunan Gedung.
A. Sambungan Siamese
B. Akses ke Bagian Pintu Masuk atau Pintu Lokasi Pembangunan Gedung.
C. Pemeliharaan Akses.
3. Jalan Akses Pemadam Kebakaran.
A. Akses yang dipersyaratkan.
B. Jalur Akses Lebih dari Satu.
C. Penutupan Jalur Akses.
4. Lapis Perkerasan (hard standing) dan Jalur Akses masuk (access way).
A. Lapis Perkerasan (hard standing) dan Jalur Akses masuk (access way). Di
setiap bagian dari bangunan gedung hunian di mana ketinggian lantai hunian
tertinggi diukur dari rata-rata tanah tidak melebihi 10 meter, maka tidak
dipersyaratkan adanya lapis perkerasan, kecuali diperlukan area operasional
dengan lebar 4 meter sepanjang sisi bangunan gedung tempat bukaan akses
diletakkan, asalkan ruangan operasional tersebut dapat dicapai pada jarak 45
meter dari jalur masuk mobil pemadam kebakaran.ess way).
B. Dalam tiap bagian dari bangunan gedung (selain bangunan gedung rumah
tinggal satu atau dua keluarga), perkerasan harus ditempatkan sedemikian
rupa agar dapat langsung mencapai bukaan akses pemadam kebakaran pada
bangunan gedung.
Perkerasan tersebut harus dapat mengakomodasi jalan masuk dan manuver mobil
pemadam, snorkel, mobil pompa dan mobil tangga dan platform hidrolik serta
mempunyai spesifikasi sebagai berikut:

281
- Lebar minimum lapis perkerasan 6 meter dan panjang minimum 15 meter. Bagian-
bagian lain dari jalur masuk yang digunakan untuk lewat mobil pemadam
kebakaran lebarnya tidak boleh kurang dari 4 meter.
- Lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat tidak boleh
kurang dari 2 meter atau lebih dari 10 meter dari pusat posisi akses pemadam
kebakaran diukur secara horizontal.
- Lapis perkerasan harus dibuat dari metal, paving blok, atau lapisan yang diperkuat
agar dapat menyangga beban peralatan pemadam kebakaran. Persyaratan
perkerasan untuk melayani bangunan gedung yang ketinggian lantai huniannya
melebihi 24 meter harus dikonstruksi untuk menahan beban statis mobil pemadam
kebakaran seberat 44 ton dengan beban plat kaki (jack) seperti terlihat pada contoh
gambar 2.3.4.2.(3)
- Lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan tidak boleh
lebih dari 1:8,3.
- Lapis perkerasan dan jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila melebihi 46
harus diberi fasilitas belokan.

Contoh Gambar : Posisi perkerasan pada rumah hunian.

282
Contoh Gambar : Perkerasan untuk ke luar masuknya mobil pemadam kebakaran

Contoh Gambar : Posisi Jack Mobil Pemadam Kebakaran.

283
Contoh Gambar: Fasilitas belokan untuk mobil pemadam kebakaran.

15.5 AKSES PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN KE BANGUNAN


GEDUNG.
1. Akses Petugas Pemadam Kebakaran ke Bangunan Gedung.
A. Akses petugas pemadam kebakaran dibuat melalui dinding luar untuk operasi
pemadaman dan penyelamatan. Bukaan tersebut harus siap dibuka dari dalam
dan luar atau terbuat dari bahan yang mudah dipecahkan, dan senantiasa
bebas hambatan selama bangunan gedung dihuni atau dioperasikan.
B. Akses Petugas Pemadam Kebakaran harus diberi tanda segitiga warna merah
atau kuning dengan ukuran tiap sisi minimum 150 mm dan diletakkan pada
sisi luar dinding dan diberi tulisan
"AKSES PEMADAM KEBAKARAN – JANGAN DIHALANGI”
dengan ukuran tinggi minimal 50 mm. Ketentuan ini tidak dipersyaratkan
untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal satu atau dua keluarga.

2. Akses petugas pemadam kebakaran di dalam bangunan gedung.


A. Pada bangunan gedung rendah yang tidak memiliki besmen, yang dalam
persyaratan akses masuk bagi petugas instansi kebakaran akan dipenuhi oleh
kombinasi dari sarana menuju jalan ke luar dengan akses masuk kendaraan.

284
B.Pada bangunan gedung lainnya, masalah-masalah yang dihadapi saat
mendekati lokasi kebakaran dan berada dekat lokasi kebakaran dalam upaya
menanggulangi kebakaran, diperlukan persyaratan mengenai sarana atau
fasilitas tambahan untuk menghindari penundaan dan untuk memperlancar
operasi pemadaman.
C. Fasilitas-fasilitas tambahan ini meliputi lif untuk pemadam kebakaran, tangga
untuk keperluan pemadaman kebakaran, dan lobi untuk operasi pemadaman
kebakaran yang dikombinasi di dalam suatu saf yang dilindungi terhadap
kebakaran atau disebut sebagai saf untuk pemadaman kebakaran.

15.6 AKSES EKSIT KORIDOR


Koridor yang digunakan sebagai akses eksit dan melayani suatu daerah yang
memiliki suatu beban hunian lebih dari 30 harus dipisahkan dari bagian lain
bangunan gedung dengan dinding yang mempunyai tingkat ketahanan api 1 jam
dan sesuai ketentuan tentang “penghalang kebakaran”, 1) kecuali cara lain yang
diizinkan sebagai berikut:
1. Persyaratan ini tidak diterapkan untuk bangunan gedung yang sudah ada,
asalkan klasifikasi huniannya tidak berubah.
2. Persyaratan ini tidak diterapkan pada seluruh klasifikasi hunian bangunan
gedung bila bangunan gedung tersebut sudah mempunyai persyaratan sendiri.

285
Contoh gambar Akses koridor

15.7 JUMLAH SARANA JALAN KE LUAR


1. Jumlah minimum sarana jalan ke luar dari setiap balkon, mezanin, lantai atau
bagian dari padanya harus dua, kecuali salah satu di bawah kondisi berikut:
A. Apabila sarana jalan ke luar tunggal diizinkan untuk bangunan gedung.
B. Apabila sarana jalan ke luar tunggal diizinkan untuk suatu mezanin atau
balkon dan dilengkapi jalur lintasan bersama terbatas dari seluruh
klasifikasi hunian bangunan gedung.
2. Jumlah minimum sarana jalan ke luar dari setiap lantai atau bagian dari
padanya selain untuk bangunan gedung yang sudah ada seperti diizinkan
untuk seluruh klasifikasi bangunan gedung, harus sebagai berikut:
A. Beban hunian lebih dari 500 tetapi tidak lebih dari 1000, sekurang-
kurangnya
B. Beban hunian lebih dari 1000, sekurang-kurangnya 4.
3. Sarana jalan ke luar yang mudah dicapai. Tanpa menggunakan lif harus
diizinkan untuk melayani semua sarana jalan ke luar minimum yang
disyaratkan.

286
4. Hanya beban hunian dari setiap lantai dihitung tersendiri harus disyaratkan
untuk digunakan menghitung jumlah sarana jalan ke luar pada setiap lantai,
asalkan jumlah sarana jalan ke luar yang disyaratkan tidak dikurangi ke arah
lintasan jalan ke luar.
5. Pintu lain dari pintu saf lif, pintu kereta lif dan pintu yang mudah dibuka dari
sisi kereta tanpa kunci, perkakas, pengetahuan khusus, atau usaha khusus
harus dilarang pada titik akses ke kereta lif.
6. Lobi lif harus mempunyai akses ke sedikitnya satu eksit, akses eksit seperti
itu tidak disyaratkan menggunakan sebuah kunci, perkakas pengetahuan
khusus, atau upaya khusus.

Contoh Gambar: Jumlah sarana jalan ke luar dari mezanine

287
Contoh gambar: Jumlah minimum sarana jalan ke luar yang disyaratkan

15.8 PASANGAN KONSTRUKSI TAHAN API


1. Rancangan dan konstruksi dinding api dan dinding penghalang api yang
disyaratkan untuk pemisahan bangunan gedung atau membagi bangunan
gedung untuk mencegah penyebaran api harus memenuhi ketentuan baku atau
standar yang berlaku tentang, “Standar Dinding Api dan Dinding Penghalang
Api”.
2. Pemeliharaan konstruksi tahan api
A. Konstruksi tahan api yang disyaratkan termasuk disini adalah penghalang
api, dinding api, dinding luar dikaitkan dengan lokasi bangunan gedung
yang dilindungi, persyaratan ketahanan api yang didasarkan pada tipe
konstruksi, partisi penahan penjalaran api, dan penutup atap, harus
dipelihara dan harus diperbaiki, diperbaharui atau diganti dengan tepat
apabila terjadi kerusakan, perubahan, keretakan, penembusan,
pemindahan atau akibat pemasangan yang salah.

288
B. Apabila dinding atau langit-langit tahan api yang terbuat dari bahan
gipsum rusak hingga timbul lubang, maka bagian dinding atau langit-
langit gipsum tersebut harus diganti atau dipulihkan kembali ketahanan
apinya dengan memakai sistem perbaikan yang disetujui atau
menggunakan bahan dan metoda yang setara dengan konstruksi awalnya.

15.9 PENYEDIAAN AIR


1. Jaringan pipa utama layanan kebakaran private harus dipasang sesuai
ketentuan standar SNI 03-3989-2000, atau edisi terbaru, dan Standard for the
Installation of Private Fire Mains and Their Appurtenances.
2. Bila tidak ada penyediaan air yang mencukupi dan dapat diandalkan untuk
keperluan pemadaman kebakaran, maka harus memenuhi ketentuan dalam
Standard on Water Supplies for Suburban and Rural Fire Fighting.
3. Pemasangan peralatan untuk melindungi penyediaan air umum (PDAM) dari
pencemaran harus mematuhi persyaratan dalam SNI 03-3989-2000, atau edisi
terbaru, Standard for the Installation of Private Fire Mains and Their
Appurtenances, dan Persyaratan Teknis Plambing (plumbing code).
Peralatan pencegah aliran balik (backflow prevention devices) harus diperiksa,
diuji, dan dipelihara sesuai dengan ketentuan dalam Standar untuk
Pemeriksaan, Pengujian dan Pemeliharaan Sistem Proteksi Kebakaran
Berbasis Air.
4. Pemeriksaan, Pengujian, dan Pemeliharaan.
A. Jaringan pipa layanan untuk pemadaman kebakaran private dipasang
sesuai persyaratan teknis ini harus dipelihara dengan benar sehingga
sekurang- kurangnya dapat menghasilkan tingkat unjuk kerja dan proteksi
sebagaimana di desain. Pemilik/pengelola harus bertanggung jawab atas
pemeliharaan sistem dan menjamin sistem dalam kondisi kerja yang baik.
B. Jaringan pipa layanan untuk pemadam kebakaran private dipasang sesuai
dengan persyaratan teknis ini dan harus diperiksa, diuji, dan dipelihara,
sesuai Standar untuk Pemeriksaan, Pengujian dan Pemeliharaan Sistem
Proteksi Kebakaran Berbasis Air.

289
15.10 ALAT PEMADAM API RINGAN (APAR)
1. Instalasi, pemeliharaan, pemilihan, dan distribusi APAR harus sesuai dengan
SNI 03-3987-1995, atau edisi terbaru, Tata cara perencanaan, pemasangan
pemadam api ringan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan
gedung rumah dan gedung.
2. Alat pemadam api harus disediakan di mana disyaratkan oleh Persyaratan
Teknis ini sebagaimana ditentukan dan kode dan standar yang diacu.
3. APAR digunakan untuk memenuhi persyaratan klasifikasi, daya padam
(rating) dan kinerja alat pemadam api ringan harus terdaftar dan diberi label
dan harus memenuhi atau melebihi semua persyaratan yang berlaku.

Tabel: Alat Pemadam Api Ringan Disyaratkan

A. APAR diizinkan untuk diletakkan pada lokasi bagian luar atau lokasi
bagian dalam sehingga semua bagian dalam bangunan gedung pada
jarak lintasan 23 m ke unit pemadam api.
B. Apabila pertemuan di luar gedung APAR tidak disyaratkan.

290
C. Akses ke APAR harus diizinkan untuk dikunci.
D. APAR hanya diizinkan diletakkan dilokasi staf.
E. Di daerah gudang apabila isi utamanya forklift, truk industri bertenaga,
atau operator kereta, maka APAR yang dipasang tetap, seperti
ditentukan dalam ketentuan yang berlaku, tidak dibutuhkan apabila :
- Menggunakan kendaraan yang dilengkapi APAR yang disetujui OBS.
- Setiap kendaraan dilengkapi dengan alat pemadam api 5 kg,
40A;80B;C, terpasang tetap di kendaraan dengan pengikat yang
disetujui oleh manufaktur alat pemadam api atau OBS untuk
kendaraan yang digunakan.
-Tidak kurang dari dua buah APAR cadangan yang berdaya padam
sama atau lebih besar kapasitasnya tersedia di lapangan untuk
penggantian APAR yang sudah terdisemprotkan.
- Operator kendaraan terlatih dalam penggunaan APAR.
- Pemeriksaan APAR yang terpasang pada kendaraan dilakukan setiap
hari.

15.11 SISTEM DETEKSI DAN ALARM KEBAKARAN, DAN SISTEM


KOMUNIKASI
1. Apabila sistem alarm kebakaran atau detektor kebakaran otomatik disyaratkan
oleh bagian lain dari persyaratan teknis ini, maka harus disediakan dan
dipasang sesuai SNI 04-0225-2000 atau edisi terbaru tentang “Persyaratan
Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000)”, dan SNI 03-3985-2000 atau edisi
terbaru “Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Deteksi dan Alarm
Kebakaran Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan gedung
Rumah dan Gedung”.
2. Aplikasi Sistem alarm kebakaran untuk bangunan gedung yang diproteksi
harus meliputi satu atau lebih dari berikut:
A. Inisiasi sinyal alarm manual.
B. Inisiasi sinyal alarm otomatik.
C. Pemantauan kondisi abnormal dalam sistem pemadaman kebakaran.

291
D. Aktivasi sistem pemadaman kebakaran.
E. Aktivasi fungsi keselamatan kebakaran.
F. Aktivasi peralatan notifkasi alarm.
G. Komunikasi suara/alarm darurat.
H. Layanan supervisi patroli petugas. (guard’s tour supervisory service).
I. Sistem supervisi pemantauan untuk proses.
J. Aktivasi sinyal di luar bangunan gedung (activation of off-premises
signals).
K. Sistem kombinasi.
L. Sistem yang terintegrasi.

15.12 TATAGRHA KESELAMATAN KEBAKARAN (FIRE SAFETY


HOUSEKEEPING)
1. Pemeliharaan dan Perawatan Lantai Bangunan
A. Perawatan umum lantai seperti pembersihan, penanganan dan
sebagainya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Menggunakan material yang aman.
- Menggunakan pelarut pembersih (cleaning solvent) yang mempunyai
titik nyala (flash point) di atas temperatur ruangan, dan tidak mempunyai
sifat racun terhadap penghuni dan terhadap lingkungan bila dibuang
melalui pipa pembuangan bangunan.
B. Bahan penyapuan (sweeping compound) Harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
- Harus menggunakan bahan yang tidak mudah terbakar.
- Bila menggunakan serbuk kayu hasil penggergajian (sawdust) dan
material mirip lainnya yang mudah terbakar, maka harus dibuang di
dalam kotak metal bertutup (metal container).
C. Minyak lantai (floor oil) Harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Harus menggunakan bahan yang mempunyai titik nyala (flash point) di
atas temperatur ruangan.

292
- Untuk mengurangi bahaya kebakaran, kain lap dan spon berminyak harus
diletakkan di dalam kotak bertutup terbuat dari metal atau bahan tidak
mudah terbakar lainnya.
D. Lilin lantai (floor wax) Harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- harus menggunakan bahan pengencer yang mempunyai titik nyala (flash
point) di atas temperatur ruangan, apalagi bila digunakan dengan
penyemir listrik (electric polisher), atau
- menggunakan lilin emulsi air (water emulsion wax).
E. Bahan pemoles furnitur (furniture polish).
Bahan pemoles furnitur yang mengandung minyak dapat panas secara
spontan (spontaneous heating), dan menjadi berbahaya bila kain lap yang
jenuh dengan bahan pemoles ini tidak dibuang secara benar. Kain lap
semacam itu harus diletakkan di dalam kotak bertutup terbuat dari metal
atau bahan tidak mudah terbakar lainnya.
F. Bahan pembersih tidak berbahaya (nonhazardous cleaning agent).
Harus menggunakan bahan pembersih yang bersifat tidak mudah terbakar,
mempunyai titik nyala tinggi (high flash point) 60 s/d 88°C dan tingkat
racun yang rendah.
G. Sistem cerobong udara yang lain.
Semua sistem cerobong dapat mengakumulasi kotoran dan bahan apa saja
yang beredar di bangunan. Outlet yang kotor di langit-langit dan dinding
adalah bukti akibat tidak dipelihara. Pembersihan harus dilakukan sebagai
berikut:
- Pembersihan berkala sistem adalah perlu untuk kesehatan dan tatagrha
yang baik.
- Semua filter harus secara berkala dibersihkan.

2. Bahaya Tatagrha (Housekeeping) Pada Industri


Beberapa hunian industri mempunyai masalah tatagrha khusus yang
melekat kepada sifat operasionalnya. Untuk masalah khusus ini, diperlukan
perencanaan dan pengaturan spesifik sebagai berikut:

293
A. Kain Lap Dan Spon Pembersih
Kain lap yang masih bersih pada umumnya digolongkan sebagai bahaya
kebakaran ringan, karena mudah menyala bila terpisah tidak berupa satu
bal / bungkus lagi, dan selalu ada kemungkinan bahwa kain lap bersih
tercampur dengan kain lap kotor yang sudah mengandung minyak.
Terdapatnya limbah kotor atau sejumlah kecil minyak tertentu dapat
menghasilkan pemanasan spontan (spontaneous heating). Kain lap dan
spon pembersih harus diatur sebagai berikut:
- Baik kain lap yang masih bersih dan yang sudah dipakai harus secara
terpisah disimpan dalam kotak metal, atau kayu yang bagian dalamnya
berlapis metal, mempunyai tutup yang dibuat sedemikian rupa sehingga
selalu menutup (tutup memakai per atau imbangan berat).
- Selain kain lap, persyaratan juga berlaku untuk sarung tangan katun dan
seragam katun yang dapat digunakan kembali.
B. Pelapis dan pelumas (coatings & lubricants)
Cat, minyak gemuk, pelumas dan serupa yang mudah terbakar banyak
digunakan di hunian industri, dan harus diatur sebagai berikut:
- Harus ada sebuah sebuah program tatagrha yang akan menjamin bahwa
residunya yang mudah terbakar dikumpulkan dan dibuang dengan aman.
- Uap dari kamar pengecatan (spray booth) harus dibuang langsung ke luar
bangunan dan residunya terakumulasi dengan aman.
C. Baki penadah (drip pans)
Baki penadah penting pada beberapa lokasi, terutama di bawah motor,
permesinan yang menggunakan minyak pendingin, dan bantalan (bearing),
dan harus diatur sebagai berikut:
- Baki penadah harus digunakan di mana material yang mudah menyala dan
terbakar dikeluarkan.
- Baki penadah harus terbuat dari bahan tidak mudah terbakar dan berisi
kompon yang menyerap minyak (pasir atau tanah). Pembuangan berkala
kompon yang sudah menyerap minyak harus dilakukan.

294
D. Pembuangan limbah cair mudah terbakar dan korosif
pembuangan limbah cair yang mudah terbakar sering menjadi masalah yang
dapat menimbulkan bahaya kebakaran, oleh karena itu harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
- Setiap bahan limbah cair dan korosif (pH < 2 atau > 12), atau cairan yang
mempunyai titik nyala pada temperatur 60°C atau kurang, termasuk
golongan Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
- Tong yang berisi bahan ini harus diberi tanda / label, dan dibuang di
fasilitas yang mempunyai lisensi untuk menangani limbah ini sesuai
perundangan dan ketentuan yang berlaku.
E. Tumpahan cairan mudah terbakar. Penanganannya harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
- Tumpahan cairan mudah terbakar dapat diantisipasi di daerah di mana
cairan semacam itu ditangani dan digunakan, dan cara mengatasinya
harus tersedia, meliputi tersedianya material penyerap dan peralatan
khusus untuk membatasi penumpahan.
- Karyawan harus dilatih untuk mengerti bahayanya dan untuk segera
mengambil langkah untuk mematikan sumber penyalaan, menukar udara
/ ventilasi ruangan dan secara aman menghilangkan uap mudah terbakar.
F. Penyimpanan cairan mudah terbakar, penyimpanannya harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
- Cairan mudah terbakar harus disimpan di ruang terpisah.
- Praktek tatagrha yang baik menjamin bahwa hanya jumlah terbatas cairan
mudah menyala dan terbakar yang boleh disimpan di daerah kerja atau
produksi, di dalam tempat yang terproteksi dan aman.
- Penyimpanan cairan mudah terbakar harus mengikuti ketentuan yang
berlaku.
G. Genangan minyak
Terakumulasinya minyak memberikan masalah tatagrha pada hunian
industri di mana banyak digunakan minyak, seperti misalnya pemeliharaan
yang buruk dari instalasi lif hidrolik industri dapat menyebabkan kebocoran

295
minyak yang akhirnya menimbulkan genangan di lantai kamar mesin lif
hidrolik atau di dasar sumur lif. Meskipun telah digunakan minyak dengan
titik nyala yang tinggi, setiap genangan minyak yang dapat terbakar dapat
menjadi sumber kebakaran, terutama di genangan yang tercampur dengan
sampah. Penanganannya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Genangan minyak yang terjadi harus segera dibersihkan.
- Genangan minyak dan bahan penyerap yang digunakan harus dibuang
dalam tempat yang terbuat dari metal.
H. Limbah berminyak (oily waste). Penanganannya harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
- Kain lap kotor, serbuk gergaji, kain tiras, pakaian dan lainnya yang
mengandung minyak dapat sangat berbahaya, terutama bila mengandung
minyak yang spontan panas (spontaneous heating).
- Barang-barang semacam itu harus disimpan di dalam tempat terbuat dari
metal dan bertutup, dan dibuang setiap hari.
I. Bahan pembungkus (packing material). Hampir semua bahan
pembungkus yang sekarang digunakan adalah mudah terbakar, dan karena
itu berbahaya. Penanganannya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Plastik dalam bentuk kaku dan butiran, sobekan kertas, serbuk gergaji,
kain goni dan semacamnya harus ditangani sebagai limbah kering.
- Bila ada dalam jumlah yang besar, maka harus disimpan dalam ruangan
/ gudang yang diproteksi. Sistem springkler otomatik adalah proteksi
terbaik untuk ruangan di mana disimpan bahan pembungkus dalam
jumlah besar.
- Bahan pembungkus yang sudah terpakai atau limbahnya dan bekas
pengepakan kayu dari ruangan penerima dan pengapalan harus
dipindahkan dan dibuang secepat mungkin untuk meminimalkan bahaya
kebakaran.
- Proses pengepakan dan pembongkaran harus dilaksanakan dengan cara
yang teratur sehingga bahan pembungkus tidak berceceran di bangunan.

296
- Sebuah daerah harus ditandai atau diidentifikasikan untuk disediakan
sebagai tempat penumpukan bahan pembungkus. Daerah ini harus secara
berkala dibersihkan dan sampahnya dibuang ke luar bangunan.
J. Pekerjaan pengelasan dan pemotongan (welding & cutting / hotworks).
Pekerjaan pengelasan dan pemotongan dan pekerjaan yang menggunakan
panas lainnya terbukti telah menjadi penyebab kebakaran yang signifikan.
Oleh karena itu harus memenuhi persyaratan sebagai berkut:
- Tindakan pengamanan harus dilakukan sebelum dan setelah pekerjaan
pengelasan, meliputi: pemeriksaan daerah lokasi pekerjaan, menutupi/
melindungi atau memindahkan material yang mudah terbakar,
menyediakan alat pemadam api.
- Setelah tindakan keamanan dilakukan, baru ijin pekerjaan diterbitkan.
- Dan setelah pekerjaan selesai harus ditunggui selama lebih kurang ½ jam
sebelum meninggalkan lokasi, baru pernyataan selesai pekerjaan
diterbitkan.
K. Penyimpanan palet
- Penyimpanan palet kayu kosong harus sesuai ketentuan yang berlaku, dan
jumlahnya dibatasi secara tegas.
- Penyimpanan yang melebihi batas memberikan kebakaran tumbuh
melampaui kemampuan proteksi kebakaran yang ada.

297
16. SNI 03-3985-2000 TENTANG TATA CARA
PERENCANAAN, PEMASANGAN DAN PENGUJIAN SISTEM
DETEKSI DAN ALARM KEBAKARAN UNTUK
PENCEGAHAN BAHAYA KEBAKARAN PADA BANGUNAN
GEDUNG

16.1. DEFINISI DAN ISTILAH


Pada peraturan ini dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan:
1. Kebakaran adalah suatu fenomena yang terjadi ketika suatu bahan mencapai
temperatur kritis dan bereaksi secara kimia dengan oksigen (sebagai contoh)
yang menghasilkan panas, nyala api, cahaya, asap, uap air, karbon monoksida,
karbon dioksida, atau produk dan efek lainnya.
2. Detektor Kebakaran adalah alat yang dirancang untuk mendeteksi adanya
kebakaran dan mengawali suatu tindakan.
3. Alaram Kebakaran adalah komponen dari sistem yang memberikan
isyarat/tanda setelah kebakaran terdeteksi.
4. Catu Daya sumber energi listrik yang memberi daya listrik cukup untuk
menjalankan sistem.
5. Detektor Kombinasi alat yang bereaksi terhadap lebih dari satu fenomena atau
menggunaka lebih dari satu prinsip operasi untuk mengindera salah satu dari
gejala-gejala tersebut. Contoh tipikal adalah suatu kombinasi dari detektor
panas jenis laju kenaikan temperatur dan jenis temperatur tetap
6. Instansi yang berwenang instansi yang berwenang dan bertanggung jawab
untuk memberi persetujuan terhadap; peralatan, instalasi, metoda atau
prosedur, sesuai dengan ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku.
7. Kabel. hantaran berisolasi dan/atau berselubung yang digunakan dalam sistem
deteksi dan alarm kebakaran yang memenuhi persyaratan
8. Ketinggian langit-langit. ketinggian dari lantai yang menerus dari suatu
ruangan ke langit langit yang menerus dari ruang tersebut

298
9. Label (“labeled”) peralatan atau bahan yang terhadapnya sudah
dilengkapi dengan label simbol atau tanda identifikasi lainnya dari suatu
organisasi/institusi yang diakui oleh instansi yang berwenang dan
berurusan dengan evaluasi produk, yang tetap melakukan pemeriksaan
periodik terhadap produk dari peralatan atau bahan yang dilabel, dan
dengan pelabelan ini manufaktur menunjukkan kesesuaian terhadap
standar atau kinerja yang berlaku sesuai dengan cara yang dipersyaratkan.
10. Langit - langit permukaan atas dari suatu ruangan, tanpa
mempermasalahkan ketinggian. Daerah dengan suatu langit-langit yang
digantung (“suspended ceiling”) akan mempunyai dua langit-langit, satu
terlihat dari lantai dan satu lagi berada di atas langit-langit yang digantung.
11. Panel kontrol deteksi dan alarm kebakaran komponen dari sistem
deteksi dan alarm kebakaran yang berfungsi untuk mengontrol bekerjanya
sistem, menerima dan menunjukkan adanya isyarat kebakaran,
mengaktifkan alarm kebakaran, melanjutkan ke fasilitas lain terkait, dan
lain-lain. Panel kontrol dapat terdiri dari satu panel saja, dapat pula terdiri
dari beberapa panel kontrol.
12. Peralatan bantu instalasi komponen dan peralatan bantu dalam instalasi
seperti; pipa konduit, kotak hubung/terminal box, klem penyanggah, dan
lain-lain.
13. Persetujuan tanda persetujuan atau keterangan yang dapat diterima, yang
diberikan oleh instansi yang berwenang.
14. Terdaftar (“listed”) peralatan atau bahan yang tercantum di dalam suatu
daftar yang diterbitkan oleh suatu organisasi/institusi yang diakui oleh
instansi yang berwenang. Organisasi/institusi ini berurusan dengan
evaluasi produk dan yang tetap melakukan pemeriksaan secara periodik
terhadap produk peralatan dan bahan. Peralatan atau bahan yang terdaftar
dinyatakan telah memenuhi standar yang layak, atau sudah diuji dan
memenuhi untuk penggunaan yang disyaratkan. Apabila organisasi atau
institusi yang dimaksud belum ada di Indonesia, maka untuk itu dapat

299
mengacu atau menggunakan institusi terkait di luar negeri yang diakui oleh
instansi yang berwenang.

16.2. GAMBARAN UMUM


Gambaran umum secara sederhana terhadap lingkup menyeluruh dari suatu sistem
deteksi dan alarm kebakaran sehingga dapat terlihat komponen/bagian-bagian dari
system.

300
1. Jenis – jenis / Model Detektor
A. Detektor panas adalah alat yang mendeteksi temperatur tinggi atau
laju kenaikan temperatur yang tidak normal.
B. Detektor asap adalah alat yang mendeteksi partikel yang terlihat atau
yang tidak terlihat dari suatu pembakaran.
C. Detektor nyala api adalah alat yang mendeteksi sinar infra merah,
ultra violet, atau radiasi yang terlihat yang ditimbulkan oleh suatu
kebakaran.
D. Detektor gas kebakaran adalah alat untuk mendeteksi gas-gas yang
terbentuk oleh suatu kebakaran.
E. Detektor kebakaran lainnya adalah alat yang mendeteksi suatu gejala
selain panas, asap, nyala api, atau gas yang ditimbulkan oleh
kebakaran.

2. Tipe Detektor
A. Detektor tipe garis (“line type detector”).
Alat dimana pendeteksiannya secara menerus sepanjang suatu jalur. Contoh
tipikal adalah detektor laju kenaikan temperatur jenis pnumatik, detektor asap
jenis sinar terproyeksi dan kabel peka panas.
B. Detektor tipe titik (“spot type detector”).
alat dimana elemen pendetek siannya terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu.
Contoh tipikal adalah detektor bimetal, detektor campuran logam meleleh,
detektor laju kenaikan temperatur jenis pnumatik tertentu, detektor asap
tertentu, dan detektor termo-elektrik.
C. Detektor tipe sampel udara (“air sampling type detector”).
Pemipaan distribusi dari unit detektor ke daerah yang diproteksi. Sebuah
pompa udara menarik udara dari daerah yang diproteksi kembali ke
detektor melalui lubang sampel udara dan pemipaan pada detektor,
udara dianalisa dalam hal produk kebakarannya.

3. Cara operasi
A. Detektor tidak dapat diperbaiki (“non restorable detector”).

301
Alat dimana elemen penginderaannya dirancang untuk rusak oleh proses
pendeteksian kebakaran.
B. Detektor dapat diperbaiki ( “restorable detector” ).
alat dimana elemen penginderaannya tidak rusak oleh proses
pendeteksian kebakaran. Pengembalian ke kondisi semula dapat secara
manual atau otomatik.

4. Bagian/Komponen Lain dari Sistem Deteksi dan Alarm Kebakaran


Bagian ini menurut ketentuan-ketentuan minimum yang harus dievaluasi
dalam melaksanakan pekerjaan perencanaan, pemasangan dan pengujian
terhadap sistem deteksi dan kebakaran ( tidak termasuk deteksi kebakaran
otomatis ) untuk bangunan gedung yang meliputi antara lain; titik panggil
manual, panel kontrol deteksi dan alarm kebakaran, alarm kebakaran, panel
bantu, catu daya listrik, sambungan ke pelayanan umum dan lain-lain
A. Persyaratan pemasangan
1) Persyaratan mutu
a) Komponen untuk sistem deteksi dan alarm kebakaran yang
boleh digunakan dan dipasang harus dari jenis yang telah
terdaftar
b) Apabila jenis yang terdaftar sebagaimana dilaksudkan di atas
belum ada, maka omponen yang boleh digunakan dan dipasang
pada sistem harus dilengkapi dengan sertifikasi pengujian atau
label dari laboratorium penguji negara asal tempat komponen
tersebut diproduksi.
2) Pemilihan system
Pemilihan sistem harus dilaksanakan menurut fungsi, luas lantai dan
jumlah lantai bangunan sesuai tabel dibawah ini:

302
Tabel Penyediaan sistem deteksi dan alarm menurut fungsi, jumlah dan
luas lantai bangunan

Penjelasan :

T.A.B = Tanpa Ada Batas.

M = Manual.
O = Otomatis.
a) Titik Panggil Manual (TPM)
 Bagian depan dari kotak tempat menyimpan TPM jenis tombol tekan
harus dilengkapi dengan kaca yang bila dipecahkan tidak

303
membahayakan dan harus disediakan alat pemukul kaca khusus, atau
dengan cara lain yang disetujui instansi yang berwenang.
 TPM harus berwarna merah
 Dekat panel kontrol harus selalu dipasang bel dan TPM yang mudah
dicapai serta terlihat jelas
 Semua TPM sebagaimana dimaksudkan dalam butir 12.2.3. harus
dihubungkan dengan kelompok detektor ( zona detektor ) yang meliputi
daerah di mana TPM tersebut dipasang.
 Semua TPM harus dipasang pada lintasan menuju ke luar dan dipasang
pada ketinggian 1,4 meter dari lantai.
 Lokasi penempatan TPM harus tidak mudah terkena gangguan, tidak
tersembunyi, mudah kelihatan, mudah dicapai serta ada pada jalur arah
ke luar bangunan
 Bagi bangunan vertingkat, TPM harus terpasang pada setiap lantai, di
2
mana untuk setiap TPM harus dapat melayani luas maksimum 900 m .
 Jarak dari suatu titik sembarang ke posisi TPM maksimum 30 m.
b) Alarm kebakaran
Alarm suara harus memenuhi syarat sebagai berikut:
 Mempunyai bunyi serta irama yang khas hingga mudah dikenal sebagai
alarm kebakaran.
 Bunyi alarm tersebut mempunyai frekuensi kerja antara 500 ~ 1000 Hz
dengan tingkat kekerasan suara minimal 65 dB (A).
 Untuk ruang dengan tingkat kebisingan normal yang tinggi, tingkat
kekerasan suara minimal 5 dB (A) lebih tinggi dari kebisingan normal.
 Untuk ruang dengan kemungkinan dipergunakan untuk ruang tidur,
tingkat kekerasan suara minimal 75 dB (A). Irama alarm suara
mempunyai sofat yang tidak menimbulkan kepanikan
 Alarm visual harus dipasang pada ruang khusus, seperti tempat
perawatan orang tuli dan sejenisnya.

304
 Pada semua lokasi panel kontrol dan panel bantu harus terpasang alarm
kebakaran.
 Semua bagian ruangan dalam bangunan harus dapat dijangkau oleh
sistem alarm kebakaran dengan tingkat kekerasan bunyi alarm yang
khusus untuk ruangan tersebut
 Alarm kebakaran harus dipasang untuk ruang khusus di mana suara –
suara dari luar tidak dapat terdengar.
 Sarana alarm luar harus dipasang sedemikian rupa sehingga dapat
digunakan pula sebagai penuntun cara masuk bagi anggota pemadam
kebakaran dari luar.

c) Panel Kontrol Deteksi alaram


Panel kontrol deteksi dan alarm kebakaran dapat terdiri dari suatu panel
kontrol atau suatu panel kontrol dengan satu atau beberapa panel bantu
 Panel kontrol harus bisa menunjukkan asal lokasi kebakaran]
 Panel kontrol harus mampu membantu kerja detektor dan alarm
kebakaran serta komponennya secara keseluruhan
 Panel kontrol harus dilengkapi dengan peralatan-peralatan, sehingga
operator dapat mengetahui kondisi instalasi baik pada saat normal
maupun pada saat terdapat gangguancatu daya.
 Panel kontrol/bantu harus ditempatkan dalam bangunan di tempat yang
aman, mudah terlihat dan mudah dicapai dari ruang utama dan harus
mempunyai minimum ruang bebas 1 meter di depannya\
 Apabila panel kontrol direncanakan untuk dapat dilakukan
pemeliharaannya dari belakang, maka harus diadakan ruang bebas yang
cukup dibelakang panel
 Ruang tempat panel kontrol harus diproteksi dengan detektor kebakaran

305
d) Panel Bantu
 Panel bantu harus dilengkapi dengan terminal sirkit dengan cadangan
terminal yang cukup dan pintu yang terkunci.
 Panel bantu harus dilengkapi dengan lampu indikator yang
menunjukkan adanya tegangan kerja yang normal serta diagram sirkit
bagian sistem yang bersangkutan
 Ruang dalam panel harus cukup memberikan keleluasaan pekerjaan
pemasangan dan pemeliharaan instalasi dengan konstruksi panel yang
kuat serta tahan terhadap gangguan mekanis, termis dan elektris
 Panel bantu harus ditempatkan dalam bangunan di tempat yang aman,
mudah terlihat, dan mudah dicapai dari ruangan utama dan harus
mempunyai minimum ruang bebas 1 meter di depannya.

e) Kabel
 Untuk sistem deteksi harus digunakan kabel dari ukuran penampang
2
tidak boleh lebih kecil dari 0,6 mm
 Untuk sistem alarm dan catu harus digunakan kabel dengan ukuran
2
penampang tidak boleh lebih kecil dari 1,5 mm .
 Kabel NYA dapat digunakan, namun pemasangannya harus di dalam
pipa konduit.
 Kabel berinti banyak NYM dan NYY, dapat pula dipergunakan pada
sirkit-sirkit detektor pada suatu arah tarikan kabel jarak jauh.
 Untuk lokasi yang mempunyai kondisi kerja yang keras ( panas,
lembab, dan banyak gangguan mekanis ringan ), harus dipilih jenis
kabel NYY atau minimal NYM
 Untuk pengawasan langsung ke detektor, dapat pula dipergunakan
kabel fleksibel dengan ketentuan tidak boleh lebih panjang dari 1,5 m.
 Pemasangan kabel sistem deteksi dan alarm kebakaran harus
dilaksanakan sesuai dengan instalasi tegangan rendah sesuai SNI 04-
0225-2000, tentang : “Persyaratan umum instalasi listrik 2000”.

306
 Semua pemasangan kabel pada dinding harus dilaksanakan dengan
menggunakan pipa konduit sesuai dengan SNI 04-0225-2000, tentang
“ “Persyaratan umum instalasi listrik 2000”.
 Penampang kabel dipilih sedemikian rupa sehingga pada beban kerja
maksimum, penurunan tegangan di titik terjauh dari panel kontrol tidak
boleh lebih dari 5%.
 Hantaran antara gedung harus dari jenis kabel yang dapat ditanam dan
harus diberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanik.
 Sepanjang hantaran tidak boleh ada sambungan

f) Catu Daya
 Catu harus mempunyai 2 buah sumber energi listrik, yaitu listrik PLN
atau pembangkit tenaga listrik darurat dan baterrei
 Tegangan batere yang diijinkan 12 volt dan maksimum 48 volt
 Tegangan batere yang diijinkan minimum selama 4 jam mencatu energi
listrik dalam kondisi alarm

3. Peralatan Bantu Instalasi.


Bahan-bahan peralatan bantu instalasi yang dipakai harus memenuhi SNI
04-0225-2000, tentang “Persyaratan umum instalasi lsitrik 2000”.
A. Beberapa instalasi menggunakan detektor dari suatu manufaktur dengan
unit kontrol dari manufaktur yang lain.
1) Detektor dapat diwajibkan dibawah bangku yang besar, rak atau
meja dan di dalam lemari atau barang tertutup lainnya.
2) Mengacu kepada gambar A-4.7.7.(a) dan (c) untuk hubungan yang
benar dari detektor api otomatis ke sistem alarm kebakaran
mengaktifkan sirkit peralatan dan sirkit pasokan daya.

307
308
309
17. SNI 03-6572 TAHUN 2001 TENTANG
TATA CARA PERENCANAAN SISTEM VENTILASI DAN
PENGKONDISIAN UDARA PADA BANGUNAN GEDUNG

17.1. VENTILASI
1. Tujuan
Tujuan ventilasi dan pengkondisian udara pada bangunan gedung
A. menghilangkan gas-gas yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh
keringat dan sebagainya dan gas-gas pembakaran (CO2) yang ditimbulkan oleh
pernafasan dan proses-proses pembakaran.
B. menghilangkan uap air yang timbul sewaktu memasak, mandi dan sebagainya.
C. menghilangkan kalor yang berlebihan.
D. membantu mendapatkan kenyamanan termal.

2. Ventilasi Ruangan
Suatu ruangan yang layak ditempati, misalkan kantor, pertokoan, pabrik, ruang
kerja, kamar mandi, binatu dan ruangan lainnya untuk tujuan tertentu, harus
dilengkapi dengan:
A. Ventilasi Alami
1) Ventilasi alami terjadi karena adanya perbedaan tekanan di luar suatu
bangunan gedung yang disebabkan oleh angin dan karena adanya
perbedaan temperatur, sehingga terdapat gas-gas panas yang naik di dalam
saluran ventilasi.
2) Ventilasi alami yang disediakan harus terdiri dari bukaan permanen,
jendela, pintu atau sarana lain yang dapat dibuka, dengan:
a) jumlah bukaan ventilasi tidak kurang dari 5% terhadap luas lantai
ruangan yang membutuhkan ventilasi.
b) arah ventilasi menghadap ke berbagai arah:
1. halaman berdinding dengan ukuran yang sesuai, atau daerah yang
terbuka keatas.

310
2. teras terbuka, pelataran parkir, atau sejenis; atau
3. ruang yang bersebelahan
3) Ventilasi yang Diambil dari Ruang yang Bersebelahan
Ventilasi alami pada suatu ruangan dapat berasal dari jendela, bukaan,
ventilasi di pintu atau sarana lain dari ruangan yang bersebelahan
(termasuk teras tertutup), jika kedua ruangan tersebut berada dalam satuan
hunian yang sama atau teras tertutup milik umum.
a) Dalam bangunan klas 2, dan hunian tunggal pada bangunan klas 3 atau
sebagian bangunan klas 4, pada:
1. Ruang yang diventilasi bukan kompartemen sanitasi.
2. Jendela, bukaan, pintu dan sarana lainnya dengan luas ventilasi
tidak kurang dari 5% terhadap luas lantai dari ruangan yang
diventilasi.
3. Ruangan yang bersebelahan memiliki jendela, bukaan, pintu atau
sarana lainnya dengan luas ventilasi tidak kurang dari 5% terhadap
kombinasi luas lantai dari kedua ruangan.
b) dalam bangunan klas 5, 6, 7, 8 dan 9:
1. jendela, bukaan, pintu atau sarana lainnya dengan luas ventilasi
tidak kurang dari 10% terhadap luas lantai dari ruang yang akan
diventilasi, diukur tidak lebih dari 3,6 meter diatas lantai; dan
2. ruang yang bersebelahan mempunyai jendela, bukaan, pintu atau
sarana lainnya dengan luas ventilasi tidak kurang dari 10%
terhadap kombinasi luas lantai kedua ruangan, dan
3. luas ventilasi yang dipersyaratkan dalam butir a) dan b) boleh
dikurangi apabila tersedia ventilasi alami dari sumber lainnya.
4) Gedung Parkir
Setiap lantai gedung parkir, kecuali pelataran parkir terbuka, harus
mempunyai sistem ventilasi.
a) mengikuti ketentuan yang berlaku.
b) alami permanen yang memadai.

311
B. Ventilasi Mekanik
1. Persyaratan Teknis
a) Sistem ventilasi mekanis harus diberikan jika ventilasi alami yang
memenuhi syarat tidak memadai.
b) Penempatan Fan harus memungkinkan pelepasan udara secara
maksimal dan juga memungkinkan masuknya udara segar atau
sebaliknya.
c) Sistem ventilasi mekanis bekerja terus menerus selama ruang tersebut
dihuni.
d) Bangunan atau ruang parkir tertutup harus dilengkapi sistem ventilasi
mekanis untuk membuang udara kotor dari dalam dan minimal 2/3
volume udara ruang harus terdapat pada ketinggian maksimal 0,6
meter dari lantai.
e) Ruang parkir pada ruang bawah tanah (besmen) yang terdiri dari lebih
satu lantai, gas buang mobil pada setiap lantai tidak boleh mengganggu
udara bersih pada lantai lainnya.Besarnya pertukaran udara yang
disarankan untuk berbagai fungsi ruangan harus sesuai ketentuan yang
berlaku.

Kebutuhan ventilasi mekanis.

Catu udara segar minimum


Tipe Pertukaran m3/jam per
udara/jam orang
Kantor 6 18
Restoran/kantin 6 18
Toko, Pasar Swalayan. 6 18
Pabrik, bengkel. 6 18
Kelas, bioskop 8
Lobi, koridor, tangga 4
Kamar mandi, peturasan. 10

312
Dapur 20
Tempat parkir 6

2. Perancangan Sistem Ventilasi Mekanis


a) Perancangan sistem ventilasi mekanis dilakukan sebagai berikut:
1) Tentukan kebutuhan udara ventilasi yang diperlukan sesuai fungsi
ruangan.
2) Tentukan kapasitas fan.
3) Rancang sistem distribusi udara, baik menggunakan cerobong
udara (ducting) atau fan yang dipasang pada dinding/atap.
b) Jumlah laju aliran udara yang perlu disediakan oleh sistem ventilasi
mengikuti persyaratan pada tabel.
Kebutuhan Udara
Fungsi gedung Satuan
luar
Merokok Tidak
merokok
1. Laundri. (m3/min)/orang 1,05 0,46
2. Restoran :
 Ruang makan (m3/min)/orang 1,05 0,21
3
 Dapur (m /min)/orang - 0,30
3
 Fast food (m /min)/orang 1,05 0,21

3. Service mobil
a. Garasi (tertutup) (m3/min)/orang 0,21 0,21
3
b. Bengkel. (m /min)/orang 0,21 0,21
4. Hotel, Motel, dsb :
a. Kamar tidur (m3/min)/orang 0,42 0,21
3
b. Ruang tamu/ruang (m /min)/orang - 0,75
3
duduk. (m /min)/orang
c. Kamar mandi/Toilet (m3/min)/orang - -
3
d. Lobi (m /min)/orang 0,45 0,15
3
e. Ruang pertemuan (m /min)/orang 1,05 0,21

313
(kecil).
f. Ruang rapat 1,05 0,21
5. Kantor.
a. Ruang kerja (m3/min)/orang 0,60 0,15
3
b. Ruang pertemuan (m /min)/orang 1,05 0,21
6. Ruang umum
a. Koridor (m3/min)/orang - -
3
b. WC umum (m /min)/kloset 2,25 2,2
c. Ruang locker/Ruang (m3/min)/orang 1,05 5
ganti baju 0,45
7. Pertokoan.
a. Besemen & Lantai (m3/min)/orang 0,75 0,15
dasar (m3/min)/orang 0,75 0,15
3
b. Lantai atasKamar tidur (m /min)/orang 0,30 0,15
3
c. Mal & Arkade. (m /min)/orang - 0,45
3
d. Lif (m /min)/orang 1,50 -
e. Ruang merokok
8. Ruang kecantikan.
a. Panti cukur & salon. (m3/min)/orang 0,87 0,60
b. Ruang olahraga. (m3/min)/orang - 0,42
c. Toko kembang. (m3/min)/m2 - 0,15
3
d. Salon binatang (m /min)/orang - 0,30
peliharaan.

c) Untuk mengambil perolehan kalor yang terjadi dalam ruangan,


diperlukan laju aliran udara dengan jumlah tertentu untuk menjaga
supaya temperatur udara di dalam ruangan tidak bertambah melewati
harga yang diinginkan.

314
17.2. KRITERIA KENYAMANAN
1. Zona Kenyamanan Ruangan
A. Temperatur efektif didefinisikan sebagai indeks lingkungan yang menggabung
kan temperatur dan kelembaban udara menjadi satu indeks yang mempunyai
arti bahwa pada temperatur tersebut respon termal dari orang pada kondisi
tersebut adalah sama, meskipun mempunyai temperatur dan kelembaban yang
berbeda, tetapi keduanya harus mempunyai kecepatan udara yang sama.
B. Standar ASHRAE untuk temperatur efektif ini didefinisikan sebagai
temperatur udara ekuivalen pada lingkungan isotermal dengan kelembaban
udara relatif 50%, dimana orang memakai pakaian standar dan melakukan
aktifitas tertentu serta menghasilkan temperatur kulit dan kebasahan kulit yang
sama.
C. Untuk memperoleh daerah zona yang dapat diterima sebagai daerah temperatur
operatif dan kelembaban udara relatif yang memenuhi kenyamanan untuk
orang melakukan aktifitas ringan dengan met kurang dari 1,2 , serta memakai
pakaian dengan clo = 0,5 untuk musim panas dan clo = 0,9 untuk musim dingin,
ASHRAE mengeluarkan standar untuk zona kenyamanan (comfort zone)
seperti ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

315
D. Gambar ini mempunyai batasan ketidak puasan sebesar 10%, dengan batasan
koordinat sebagai berikut:
1) Musim dingin
Temperatur operatif tOP berkisar antara 200 C ~ 23,50 C pada kelembaban
udara relatif 60% dan berkisar antara 20,50 C ~ 24,50 C pada 200 C dew
point dan dibatasi oleh temperatur efektif 200 C dan 23,50 C.
2) Musim panas
Temperatur operatif tOP berkisar antara 22,50 C ~ 260 C pada kelembaban
udara relatif 60% dan berkisar antara 23,50 C ~ 270 C pada 200 C dew
point dan dibatasi oleh temperatur efektif 230 C dan 260 C.

316
17.3. PENGKONDISIAN UDARA
1. Fungsi Ruang Dalam Gedung
Terdiri dari:
A. kegiatan utama yang berlangsung dalam ruang (aktifitas).
B. waktu kegiatan puncak.
C. pola pakaian penghuni.
2. Kondisi Termal Dalam Gedung
Terdiri dari:
A. temperatur udara.
B. kelembaban udara relatif.
C. kuantitas udara yang diperlukan.
D. tuntutan ketelitian untuk pengendalian besaran termal dalam ruangan.
3. Data Gedung
Terdiri dari:
A. data fisik bangunan gedung.
B. karakteristik termal selubung bangunan
C. data pemakaian gedung, seperti misalnya profil beban pendinginan.
4. Data Cuaca Dan Iklim
Terdiri dari:
A. data cuaca tahunan.
B. data temperatur udara luar di lokasi.
C. data kelembaban udara relatif di lokasi
5. Beban Pendinginan
A. 5 Jenis Kalor
1) Kalor Sensibe
Adalah suatu kalor yang berhubungan dengan perubahan temperatur dari
udara. Penambahan kalor sensibel (sensible heat gain) adalah kalor sensibel
yang secara langsung masuk dan ditambahkan ke dalam ruangan yang
dikondisikan melalui konduksi, konveksi atau radiasi.
2) Kalor Laten

317
Adalah suatu kalor yang berhubungan dengan perubahan fasa dari air.
Penambahan kalor laten (latent heat gain) terjadi apabila ada penambahan
uap air pada ruangan yang dikondisikan, misalnya karena penghuni
ruangan atau peralatan yang menghasilkan uap.

B. Beban Pendinginan Ruangan


Adalah laju aliran kalor yang harus diambil dari dalam ruangan untuk
mempertahankan temperatur dan kelembaban udara relatif ruangan pada
kondisi yang diinginkan.

1) Beban Pendinginan Luar (external cooling load).


Beban pendinginan ini terjadi akibat penambahan panas di dalam
ruangan yang dikondisikan karena sumber kalor dari luar yang masuk
melalui selubung bangunan (building envelope), atau kerangka
bangunan (building shell) dan dinding partisi.
Sumber kalor luar yang termasuk beban pendinginan ini adalah:
a) penambahan kalor radiasi matahari melalui benda transparan seperti
kaca.
b) penambahan kalor konduksi matahari melalui dinding luar dan atap.

318
c) penambahan kalor konduksi matahari melalui benda transparan
seperti kaca.
d) penambahan kalor melalui partisi, langit, langit dan lantai.
e) infiltrasi udara luar yang masuk ke dalam ruangan yang
dikondisikan ventilasi udara luar yang masuk ke dalam ruangan
yang dikondisikan.

2) Beban Pendinginan Dalam (Internal Cooling Load).


Beban pendinginan ini terjadi karena dilepaskannya kalor sensible
maupun kalor laten dari sumber yang ada di dalam ruangan yang
dikondisikan.
Sumber kalor yang termasuk beban pendinginan ini adalah:
a) Penambahan kalor karena orang yang ada di dalam ruang yang
dikondisikan.
b) Penambahan kalor karena adanya pencahayaan buatan di
dalam ruang yang dikondisikan.
c) Penambahan kalor karena adanya motor-motor listrik yang ada
di dalam ruang yang dikondisikan.
d) Penambahan kalor karena adanya peralatan-peralatan listrik
atau pemanas yang ada di dalam ruangan yang dikondisikan.

6. Analisa Psychrometrik
Dalam penggunaannya, kurva psychrometric harus diperluas termasuk cara
pengendalian sifat-sifat panas dari udara tersebut.

319
A. Proses Pengkondisian Udara
1) Gambar diatas menunjukkan proses pengkondisian udara yang
digambarkan pada kurva psychrometric.
2) Udara luar (2) dicampur dengan udara balik dari ruang (1) dan
masuk ke dalam koil pendingin (3) (apparatus). Udara mengalir
melalui koil pendingin (3-4) dan dipasok ke ruangan (4). Udara
yang dipasok ke ruangan bergerak sepanjang garis (4-1)
mengambil beban ruangan, dan siklus berulang.
3) Secara normal udara yang dipasok ke ruangan oleh sistem
pengkondisian Udara, dikembalikan ke koil pendingin. Jadi
dicampurnya dengan udara luar adalah untuk kebutuhan
ventilasi. Campuran kemudian mengalir melalui koil pendingin
dimana kalor dan pengembunan ditambahkan atau dipindahkan,
sesuai yang dipersyaratkan untuk memelihara kondisi yang
diinginkan.
4) Pemilihan peralatan yang tepat untuk melengkapi pengkondisian
ini dan untuk mengendalikan sifat thermodinamis dari udara
tergantung pada keragaman elemen- elemen. Jadi, hanya yang
berpengaruh terhadap sifat-sifat psychrometric udara yang
dibicarakan.
5) Elemen-elemen ini adalah:
a) Faktor kalor sensibel ruangan (RSHF).
b) Faktor kalor sensibel total (GSHF).
c) Temperatur efektif permukaan (TES).
d) Faktor bypass (BF).
e) Faktor kalor sensibel efektif (ESHF).

17.4. SISTEM PENGKONDISIAN UDARA


Sistem pengkondisian udara, terdiri dari
1. Sistem Ekspansi Langsung (DX)

320
A. Sistem ini terdiri dari kipas udara, koil pendingin dan mesin refrigerasi
yang berada di dalam satu kotak.
B. Ada 4 jenis alat pengkondisian udara:
1) jenis paket.
2) jenis jendela.
3) jenis lantai.
4) jenis atap
C. Mesin refrigerasi yang ada didalamnya terdiri dari kondenser (jenis
pendingin air atau udara) dan kompressor yang terpisah dari unit Fan
Koil, tetapi dihubungkan dengan pipa refrigran.

2. Sistem Air Penuh


Pada sistem air penuh, air sejuk (chilled water) dialirkan melalui unit Fan
koil untuk pengkondisian udara. Udara yang diperlukan untuk ventilasi
dimasukkan melalui celah celah pintu atau jendela, lubang masuk pada
dinding dan dimasukkan ke dalam ruangan melalui saluran khusus.

321
3. Sistem Udara Penuh
A. Campuran udara luar dan udara ruangan didinginkan dan dikurangi kadar
uap airnya, kemudian dialirkan kembali ke dalam ruangan melalui saluran
udara. Dalam keadaan di mana beban kalor dari beberapa ruangan yang
akan dilayani berbeda, tidak mungkin mempertahankan udara ruangan pada
suatu temperatur tertentu. Masalah tersebut dapat dipecahkan dengan
melayani ruangan dengan kondisi yang sama oleh satu alat pengkondisian
udara.

Gambar : Sistem udara penuh

B. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan suatu alat pengkondisian udara


dimana ruangan dibagi menjadi 2 daerah:

322
1) Daerah luar, atau daerah pinggir atau daerah perimeter. Daerah ini
meliputi ruangan yang menghadap ke dinding luar gedung.
2) Dearah interior, meliputi ruangan yang dikelilingi oleh daerah luar.
Masing-masing daerah dilayani oleh alat pengkondisian udara yang
terpisah. Sistem pembagian daerah ini disebut Zoning.

Gambar : Pembagian daerah

C. Dua gambar di bawah ini dapat dilihat jenis zoning lainnya berdasarkan
tingkat lantai. Dalam hal tersebut, gedung bertingkat diatur sedemikian
rupa sehingga zoning dilakukan berdasarkan tingkat lantai yang berada
pada tingkat kondisi dan beban kalor yang berbeda. Maka setiap lantai
dilayani oleh alat pengkondisan udara yang terpisah satu sama lain.
Pada sistem unit tingkat lantai, udara luar masuk ke dalam alat
pengkondisian udara sentral melalui saluran udara yang sama; tetapi udara
ruangan dapat masuk kembali langsung ke dalam alat pengkondisian udara
masing-masing lantai, atau diolah terlebih dahulu secara bersama-sama dan
baru kemudian masuk ke dalam alat pengkondisian udara masing-masing
berdasarkan tingkat lantai

323
Gambar : Sistem unit setiap tingkat

324
D. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat sistem yang menggunakan
pemanas ulang. Udara segar yang mengalir di dalam saluran utama
dipertahankan konstan pada temperatur rendah. Kemudian udara
tersebut masuk ke dalam ruangan melalui alat pemanas yang dipasang
pada saluran cabang masing-masing.
Pemanas tersebut memanaskan udara dan diatur sedemikian rupa
sehingga diperoleh temperatur udara yang sesuai dengan temperatur
udara ruangan yang diinginkan.

Gambar : Sistem pemanas terminal

E. Sistem Air – Udara


Dalam sistem air-udara, unit Fan koil dipasang di dalam ruangan yang
akan dikondisikan. Air sejuk (untuk pendinginan) atau air panas (untuk
pemanasan) dialirkan ke dalam unit tersebut sehingga menjadi dingin
atau panas.
Selanjutnya udara tersebut bersirkulasi di dalam ruangan. Demikian
pula untuk keperluan ventilasi, udara luar yang telah didinginkan dan
dikeringkan atau udara luar yang telah dipanaskan dan dilembabkan
dialirkan dari mesin pengkondisian udara sentral ke ruangan yang akan
di kondisikan. Udara luar yang telah dikondisikan ini disebut udara
primer. Pada umumnya, sebagian kalor sensibel dari ruangan diatasi
oleh unit ruangan (unit sekunder); sedangkan kalor laten diatasi oleh
udara primer.

325
Gambar : Sistem air – udara

F. Sistem Pompa Kalor


Sistem pompa kalor dalah siklus refrigerasi yang direncanakan untuk
mengendalikan kalor dalam dua arah (dingin atau panas). Pompa kalor
merupakan penyelesaian alami bila beban kalor pendinginan dan beban
kalor pemanasan mendekati sama. Setiap sistem pengkondisian udara dapat
dirubah menjadi pompa kalor. Pompa kalor merupakan metoda operasional
dari unit refrigerasi yang mengubah sistem pengkondisian udara pada
dirinya sendiri tanpa menggunakan unit ketel uap yang terpisah.

326
4. Persyaratan Kinerja
A. Peralatan Sistem Pengkondisian Udara
Peralatan sistem pengkondisian udara menyediakan satu (paket tunggal)
atau lebih (sistem terpisah/split system) paket yang dirakit di pabrik yang
terdiri dari sarana sirkulasi udara, pembersih udara, pendingin udara
dengan kontrol temperatur dan penurunan kelembaban (dehumidification).
Fungsi pendinginan dioperasikan antara lain oleh listrik atau kalor, dan
kondenser refrigeran didinginkan oleh udara, air atau evaporasi. Apabila
peralatan disediakan lebih dari satu paket, paket yang dipisahkan harus oleh
pabrik direncanakan untuk dapat dipakai bersama.

1) Peralatan Sistem Pengkondisian Udara, yang Dioperasikan dengan


Listrik untuk Pendinginan
Peralatan sistem pengkondisian udara (tanpa batas) yang dipakai untuk
unit (sentral) peralatan pendingin ( yang didinginkan dengan udara, air
dan evaporasi), paket terminal air conditioner dan air conditioner ruang,
besar masukan energi listrik untuk pendinginannya disesuaikan dengan
kondisi standar tertentu seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Kondisi standar tambahan yang dispesifikasikan dalam standar
pemakaian untuk peralatan sistem pengkondisian udara - khusus,
ditunjukkan dengan Koefisien performansi (COP) - pendinginan seperti

327
didefinisikan pada butir 2) dan nilainya tidak kurang seperti
ditunjukkan dalam tabel.

Tabel Standar temperatur2 – pendinginan Peralatan sistem


pengkondisian udara yang digerakkan dengan listrik.

Catatan:
a) Data dalam tabel ini dipakai untuk jenis peralatan sebagai berikut:
1. Sentral Air Conditioner yang didinginkan dengan udara, evaporasi
dan air, ARI std 210-78.
2. Peralatan unitari air conditioner untuk komersial/industri, ARI std
360-75.
3. Terminal paket air conditioner, ARI std 310-76. d). Air
Conditioner ruang, ANSI 2234.1 – 1972.
b) Standar juga didasarkan pada kondisi standar lain, seperti untuk
listrik, jumlah aliran udara pada koil pendingin, jumlah aliran udara
kondenser, kebutuhan untuk rakitan terpisah, minimum statik luar
yang dikondisikan (external static), tahanan aliran udara seperti
dijelaskan pada standar pemakaian.

2) Koefisien Performansi dari Peralatan (COPP ) – Pendinginan


COP adalah perbandingan antara kalor bersih yang dilepaskan (net heat
removal) dengan total masukan energi , dinyatakan dalam unit yang
konsisten dan dibawah kondisi yang ditetapkan dalam perencanaan
Besarnya kalor bersih yang dilepaskan harus didefinisikan sebagai
perubahan total kalor yang terkandung dari udara yang masuk dan yang
meninggalkan peralatan (tanpa reheat).

328
Total masukan energi harus ditentukan oleh kombinasi masukan energi
untuk semua elemen dari paket peralatan yang dipasok, termasuk (tanpa
batas): kompresor, sump heater kompresor, pompa-pompa, fan
pemasok udara, fan udara balik, fan udara untuk kondenser, fan menara
pendingin, pompa sirkulasi air, dan sirkit kontrol peralatan sistem
pengkondisian udara.

(**) Peralatan sistem pengkondisian udara yang digerakkan dengan


listrik1 COP minimum – (pendinginan).

Catatan:
Pemakaian peralatan seperti ditunjukkan pada tabel diatas. Semua
performansi di dasarkan atas ketinggian di atas permukaan air laut, COP
seperti didefinisikan pada gambar diatas.

B. Komponen Sistem Pengkondisian Udara


Komponen sistem pengkondisian udara menyediakan, satu atau lebih paket
rakitan pabrik, sarana untuk menyejukkan air (chilling water) dengan
kontrol temperatur, mengalirkan air dingin ke unit terminal untuk melayani
ruangan yang dikondisikan dalam gedung. Chiller jenis sentrifugal, rotari
atau torak, digerakkan dengan listrik atau absorpsi (digerakkan dengan
kalor).

329
18. SNI 19-2454-2002 TENTANG
TATA CARA TEKNIK OPERASIONAL PENGELOLAAN
SAMPAH PERKOTAAN

18.1. RUANG LINGKUP


Tata cara teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan meliputi dasar-dasar
perencanaan untuk:
1. Daerah pelayanan;
2. Tingkat pelayanan;
3. Teknik operasional mulai dari:
A. Pewadahan sampah;
B. Pengumpulan sampah;
C. Pemindahan sampah;
D. Pengangkutan sarnpah;
E. Pengolahan dan pemilahan sampah;
F. Pembuangan akhir sampah.

Kegiatan pemilahan dan daur ulang semaksimal mungkin dilakukan sejak dari
pewadahan sampah dengan pembuangan akhir sampah.

18.2. ACUAN
1. Departemen PU. Ditjen Cipta Karya, 1999, “Petunjuk teknis perencanaan
pembuangan dan pengelolaan bidang ke PLPan perkotaan dan pedesaan “Tata
Cara Pengelolaan Sampah 3 M”.
2. David Gordon Wilson, 1997, “Solid Waste Management Massachusetts
Institute of Tecnology.
3. George Tohoebanoglous, Hilary Theisen, Samuel A. Vigel 1993 “Integrated
Solid Wste Manajement, Engineering Prinsiples and Management Issues”.

330
18.3. ISTILAH DAN DEFINISI

Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan:

1. Sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan
bahan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar
tidak mambahayalcan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan,
2. Timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat
dalam satuan volume maupun berat per kapita perhari, atau perluas bangunan,
atau perpanjang jalan;
3. Pewadahan sampah adalah aktivitas menampung sampah sementara dalam
suatu wadah individual atau komunal di tempat sumber sampah;
4. Pewadahan individual adalah aktivitas penanganan penampungan sampah
sementara dalam suatu wadah khusus untuk dan dari sampah individu;
5. Pewadahan komunal adalah aktivitas penanganan penampungan sampah
sementara dalam suatu wadah bersama baik dari berbagai sumber maupun
sumber umum;
6. Pengumpulan sampah adalah aktivitas penanganan yang tidak hanya
mengumpulkan sampah dari wadah individual dan atau dari wadah komunal
(bersama) melainkan juga mengangkutnya ketempat terminal tertentu, baik
dengan pengangkutan langsung maupun tidak langsung;
7. Pola pengumpulan individual langsung adalah kegiatan peagambilan
sampah dari rumah- rumah sumber sampah dan diangkut langsung ke tempat
pembuangan akhir tanpa melalui kegiatan pemindahan;
8. Pola pengumpulan individual tidak langsung adalah kegiatan pengambilan
sampah dari masing-masing sumber sampah dibawa ke lokasi pemindahan
untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir;
9. Pola pengumpulan komunal langsung adalah kegiatan pengambilan sampah
dari masing- masing titik komunal dan diangkut ke lokasi pembuangan akhir;
10. Pola pengumpulan komunal tidak langsung adalah kegiatan pengambilan
sampah dari masing-masing titik pewadahan komunal ke lokasi pernindahan
untuk diangkut selanjutnya ke Tempat Pembuangan Akhir,
11. Pola penyapuan jalan adalah kegiatan pengumpulan sampah hasil penyapuan

331
jalaa;
12. Pemindahan sampah adalah kegiatan memindahkan sampah hasil
pengumpulan ke dalam alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pembuangan
akhir;
13. Pepo pemindahan sampah adalah tempat pemindahan sampah yang
dilengkapi dengan container pengangkut dan atau Ram, dan atau kantor
bengkel;
14. Pengangkutan sampah adalah kegiatan membawa sampah dari lokasi
pemindahan atau langsung dari surnber sampah menuju ke tempat pembuangan
akhir;
15. Pengolahan sampah adalah suatu proses untuk mengurangi volume /sampah
dan atau mengubah bentuk sampah menjadi yang bermanfaat, antara lain
dengan cara pembakaran, pengomposan, pemadatan, penghancuran,
pengeringan,dan pendaur ulangan.
16. Pengomposan adalah proses pengolahan sampah organik dengan batuan
mikro organisme sehingga terbentuk kompos;
17. Pembakaran sampah adalah salah sate teknik pengolahan sampah dengan
rnembakar sampah rnenggunakan insinerator sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
18. Pemadatan adalah upaya menguragi volume sampah dengan cara dipadatkan
baik secara manual maupun mekanis, sehingga pengangkutan ke tempat
pembuangan akhir Iebih efisien;
19. Daur ulang adalah proses pengolahan sampah yang menghasilkan produk
baru;
20. Pembuangan akhir sampah adalah tempat dimana dilakukan kegiatan untuk
mengisiolasi sampah sehingga aman bagi lingkungan;
21. Pemilahan adalah proses pemisahan sampah berdasarkan jenis sampah yang
dilakukan sejak dari sumber sampai dengan pembuangan akhir;
22. Sampah B3 rumah tangga adalah sampah yang berasal dari aktivitas rumah
tangga, mengandung bahan dan atau bekas kemasan suatu jenis bahan
berbahaya dan atau beracun, karena sifat atau konsentarsinya dan atau

332
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan
atau mencemarkan lingkungan hidup dan atau membahayakan kesehatan
manusia;
23. Insinerator Berwawasan Lingkungan adalah alat yang digunakan untuk
meminimalkan sampah dengan cara membakar pada temperatur 700 °C pada
tungku bakar dan 200 °C di cerobong.

18.4. PERSYARATAN TEKNIS PENGELOLAAN SAMPAH KOTA


1. Teknik Operasional Pengelolaan Sampah
Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan yang terdiri dari kegiatan
pewadahan sampai dengan pembuangan akhir sampah harus bersifat terpadu
dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya
Skema teknik operasional pengelolaan persarnpahan dapat dilihat pada
Gambar 1

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sistem Pengelolaan Sampah


Perkotaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan sampah perkotaan yaitu:
1) Kepadatan dan penyebaran penduduk;
2) Karakteristik fisik lingkungan dan sosial ekonorni;

333
3) Timbulan dan karakteristik sampah;
4) Budaya sikap dan perilaku masyarakat;
5) Jarak dari sumber sampah ke tempat pembuangan akhir sampah;
6) Rencana tata ruang dan pengembangan kota;
7) Sarana pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir
sampah;
8) Biaya yang tersedia;
9) Peraturan daerah setempat;

18.5. TEKNIK OPERASIONAL


1. Pewadahan Sampah
A. Pola pewadahan
Melakukan pewadahan sampah sesuai dengan jenis sampah yang telah terpilah,
yaitu:
1) Sampah organik seperti daun sisa, sayuran, kulit buah lunak, sisa makanan
dengan wadah warna gelap;
2) Sampah anorganik seperti gelas, plastik, logam, dan lainnya, dengan wadah
warna terang;
3) Sampah bahan barbahaya beracun rumah tangga (jenis sampah B3 seperti
dalam lampiran B), dengan warna merah yang diberi lambang khusus atau
semua ketentuan yang berlaku;
Pola pewadahan sampah dapat dibagi dalarn individual dan komunal.
Pewadahan dimulai dengan pemilahan baik untuk pewadahan individual
maupun komunal sesuai dengan pengelompokan pengelolaan sampah.

B. Kriteria Lokasi dan Penempatan Wadah


Lokasi penempatan wadah adalah sebagai berikut:
1) Wadah individual ditempatkan: di halarnan muka dan di halaman
belakang untuk sumber sampah dari hotel restoran.
2) Wadah komunal ditempatkan: sedekat mungkin dengan sumber
sampah, tidak mengganggu pemakai jalan atau sarana umum lainnya,

334
di luar jalur lalu lintas , pada suatu lokasi yang pengoperasiannya, di
ujung gang kecil, di sekitar taman dan pusat keramaian (untuk wadah
sampah pejalan kaki); untuk pejalan kaki minimal 100m dan jarak antar
wadah sampah.

C. Persyaratan Bahan Wadah


Persyaratan bahan adalah sebagai berikut:
1) Tidak mudah rusak dan kedap air;
2) Ekonomis, mudah diperoleh dibuat oleh masyarakat;
3) Mudah dikosongkan;
Persyaratan untuk bahan dengan pola individual dan komunal seperti pada
tabel 2

Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat PLP

D. Penentuan Ukuran Wadah


Penentuan ukuran volume ditentukan berdasarkan:
1) Jumlah peaghuni tiap rumah;
2) Timbulan sampah;

335
3) Frekuensi pengambilan sampah;
4) Cara pemindahan sampah;
5) Sistern pelayanan (individual atau komunal);
Contoh wadah dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 3.

E. Pengadaan Wadah Sampah Pengadaan Wadah Sampah Untuk


1) Wadah untuk sampah individual oleh pribadi atau Instansi atau
pengelola;
2) Wadah sampah komunal oleh Instansi pengelola.

Tabel 3 - Contoh Wadah dan penggunaannya


Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karp, Direktorat PLP.

2. Pengumpulan Sampah
A. Pola Pengumpulan
Diagram pola pengumpulan sampah seperti pada gambar 2 dan 3

336
337
Pola pengumpulan sampah terdiri dari:
1) Pola individual langsung dengan persyaratan sebagai berikut:
a) Kondisi topografi bergelombang (> 15-40%) , hanya alat
pengumpul mesin yang dapat beroperasi;
b) Kondisi jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu pemakai
jalan lainnya;
c) Kondisi dan jumlah alat memadai;
d) Jumlah timbunan sampah > 0,3 m3 / hari;
e) Bagi penghuni yang berlokasi di jalan protocol;
2) Pola individual tidak langsung dengan persyaratan sebagai berikut:
a) Bagi daerah yang partisipasi masyarakatnya pasif;
b) Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia;
c) Bagi kondisi topografi relatif datar (rata-rata < 5%) dapat
menggunakan alat pengumpul non mesin (gerobak, becak);
d) Alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung;
e) Kondisi lebar gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa
mengganggu pemakai jalan lainnya; rate
f) Harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah.
3) Pola komunal langsung dengan persyaratan sebagai berikut:
a) Bila alat angkut terbatas;
b) Bila kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif
rendah;

338
c) Alat pengumpul sulit menjangkau sumber-surnber sampah
individual (kondisi daerah berbukit, gang /jalan sempit)
d) Peran serta masyarakat tinggi;
e) Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi
yang mudah dijangkau oleh alat pengangkut (truk);
f) Untuk permukiman tidak teratur
4) Pola komunal tidak langsung dengan persyaratan berikut:
a) Peran serta masyarakat tinggi;
b) Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi
yang mudah dijangkau alat pengumpul;
c) Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia;
d) Bagai kondisi topografi relatif datar (rata-rata <5%), dapat
mengunakan alat. pengumpul non mesin (gerobak, becak) bagi
kondisi topografi > 5% dapat menggunakan cara lain seperti
pikulan, kontainer kecil beroda dan karung;
e) Lebar jalan/gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu
pemakai jalan lainnya;
f) harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah.
5) Pola penyapuan jalan dengan persyaratan sebagai berikut:
a) Juru sapu harus mengetahui cara penyapuan untuk setiap daerah
pelayanan(diperkeras, tanah, lapangan rumput dll.);
b) Penanganan penyapuan jalan untu'.: setiap daerah berbe.da
tergantung pada fungsi dan nilai daerah yang dilayani,
c) Pengumpulan, sampah hasil penyapuan jalan diangkut ke lokasi
pemindahan untuk kemudian diangkut keTPA;
d) Pengendalian personel dan peralatan harus baik.

B. Perencanaan Operasional Pengumpulan Perencanaan operasional


pengumpulan sebagai berikut:
1) Rotasi antara 1— 4 /hari;

339
2) Periodisasi : I hari, 2 hari atau maksimal 3 hari sekali, tergantung
dari kondisi komposisi sampah ,yaitu .
3) semakin besar prosentasi sampah organik ,periodisasi pelayanan
maksimal sehari 1 kali,
4) untuk sampah kering, periode pengumpulannya di sesuaikan dengan
jadv,al yang telah ditentukan, dapat dilakukan lebih dari 3 hari 1 kali;
5) untuk sampah B3 disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku;
6) mempunyai daerah pelayanan tertentu dan tetap;
7) mempunyai petugas pelaksana yang tetap dan dipindahkan secara
periodik;
8) pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah
sampah terangkut, jarak tempuh dan kondisi daerah.

C. Pelaksana Pengumpulan Sampah


1) Pelaksana
Pengumpulan sampah dapat dilaksanakan oleh Institusi kebersihan
kota, lembaga swadaya masyarakat, Swasta, Masyarakat (oleh
RT/RW).
2) Pelaksanaan pengumpulan
Jenis sampah yang terpilah dan bernilai ekonomi dapat dikumpulkan
oleh pihak yang berwenang pada waktu yang telah disepakati
bersama antara petugas pengumpul dan masyarakat penghasil
sampah.

3. Pemindahan Sampah
A. Tipe Pemindahan
Tipe pemindahan sampah dapat dilihat pada Tabel 4.

340
B. Lokasi Pemindahan
Lokasi pemindahan adalah sebagai berikut:
1) harus mudah keluar masuk bagi sarana pengumpul dan pengangkut
sampah;
2) tidak jauh dari sumber sampah;
3) berdasarkan tipe, lokasi pemindahan terdiri dari terpusat ( transfer
depo tipe I) dan tersebar ( transfer depo tipe II atau III )
4) jarak antara transfer depo untuk tipe T dan II adalah (1,0 -- 1,5 ) km.

C. Pemilahan
Pemilahan di lokasi pemindahan dapat dilakukan dengan cara manual
oleh petugas kebersihan dan atau masyarakat yang berminat, sebelum
dipindahkan ke alat pengangkut sampah.

D. Cara Pemindahan
Cara pemindahan dapat dilakukan dengan manual, mekanis, gabungan
manual dan mekanis, pangisian kontainer dilakukan secara manual oleh
petugas pengumpul, sedangkan pcngangkutan kontainer ke atas truk
dilakukan secara mekanis (load haul).

341
4. Pengangkutan Sampah
A. Pola Pengangkutan
1) Pengangkutan sampah dengai sistem pengumpulan individual
langsung (door to door) seperti pada gambar 4

Gambar 4 Pola pengangkutan sampah sistem individual langsung


a) truk pengangkut sampah dari pool menuju titik sumber sampah
pertama untuk mengambil sampah;
b) selanjutnya mengambil sampah pada titik-titik sumber sampah
berikutnya sampai truk penuh sesuai dengan kapasitasnya;
c) selanjutnya diangkut ke TPA sampah ;
d) setelah pengosongan di TPA , truk menuju ke lokasi surnber sampah
berikutnya, sampai terpenuhi ritasi yang tclah ditetapkan

2) Pengumpulan sampah melalui sistem pemindahan di transfer depo


type I dan II , pola pengangkutan dapat dilihat pada gambar 5, dan
dilakukan dengan Cara sebagai berikut :

342
a) kendaraan pengangkut sampah keluar dari pool langsung menuju
lokasi pemindahan di transfer depo untuk mengangkut sampah ke
TPA
b) dari TPA kendaraan tersebut kembali ke transfer depo untuk
pengambilan pada rit berikutnya;
c) Pola pengangkutan sampah dengan sistem kontainer tetap biasanya
untuk kontainer kecil serta alat angkut berupa truk pemadat atau
dump truk atau trek biasa dapat dilihat pada Gambar 9, dengan
proses

1. kendaran dari pool menuju kontainer pertama, sampah


dituangkan ke dalam truk compactor dan meletakkan
kembali kontainer yang kosong;
2. kendaraan menuju ke kontainer berikutnya sehingga truk
penuh, untuk kemudian langsung ke TPA;
3. demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir.

B. Pengangkutan Sampah Hasil Pemilahan


Pengangkutan sampah kering yang bernilai ekonomi dilakukan sesuai
dengan jadwal yang telah disepakati.

C. Peralatan Pengangkut Alat pengangkut sampah adalah:


1) Persyaratan alat pengangkut yaitu:
a) alat pengangkut sampah harus dilengkapi :dengan penutup
sampah, minimal dengan jarring;
b) tinggi bak maksimum 1,6 rn;
c) sebaiknya ada alat ungkit;

343
d) kapasitas disesuaikan dengan kelas jalan yang akan dilalui;
e) bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air
sampah.
2) Jenis peralatan dapat berupa:
a) truk (ukuran besar atau kecil)
b) dump truk/tipper truk;
c) armroll truk;
d) truk pemadat;
e) truck dengan crane;
f) mobil penyapu jalan;
g) truk gandengan

5. Pengolahan
Teknik-teknik pengolahan sampah dapat berupa:
A. Pengomposan:
1) berdasarkan kapasitas ( individual, komunal, skala lingkungan);
2) berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan
mikro organisme, tambahan ).
B. Insinerasi yang berwawasan lingkungan
C. Daur ulang
1) sampah an organik disesuaikan dengan jenis sampah
2) menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak;
D. Pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan;
E. Biogasifikasi (pemanfaatan energi hasil pengolahan sampah).
Rincian masing-masing Teknik Pengolahan Sampah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

6. Pembuangan Akhir
A. Persyaratan
Persyaratan Umum dan teknis lokasi pembuangan akhir sampah sesuai
dengan SNI 03 3241 1994 mengenai Tata Cara Pemilihan lokasi TPA.

344
B. Metode Pembuangan Akhir Sampah Kota
Metode pembuangan akhir sampah kota dapat dlakukan sebagai berikut:
1) penimbunan terkendali termasuk pengolahan lindi dan gas;
2) lahan urug saniter termasuk pengolahan lindi dan gas;
3) metode penimbunan sampah untuk daerah pasang surut dengan
sistem kolam (an acrob, fakultatif, maturasi).
Rincian masing-masing metode pembuangan akhir sampah kota sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;

C. Peralatan
Peralatan dan perlengkapan yang digunakan di TPA sampah sebagai
berikut:
1) buldoser untuk perataan, pengurugan dan pemadatan;
2) crawl / track dozer untuk pemadatan pada tanah !unak:
3) wheel dozer untuk perataan, pengurugan;
4) loader dan powershowel untuk penggalian, perataan, pengurugan
dan pemadatan;
5) dragline untuk penggalian dan pengurugan,
6) scraper untuk pengurugan tanah dan perataan;
7) kompaktor (Iandfril compactor) untuk pemadatan timbunan sampah
pada lokasi dalam,
8) jenis peralatan di tempat pembuangan akhir dapat dilihat pada
gambar 1 Lampiran B

345
Tabel Sampah dan Gambar I Tabel 1. B3 Rumah Tangga

Keterangan:
a) pencampuran dengan produk yang mengandung klorin akan menghasilkan gas
yang mematikan.
b) dicampur dengan pembersih kamar mandi

346

Anda mungkin juga menyukai