Pembuatan makalah ini dilatar belakangi oleh keingintahuan kami sebagai makhluk ciptaan
tuhan yang diberi akal dan pikiran sehingga menuntut kami untuk mencari tahu segala sesuatu
yang telah diciptakannya. Dari sekian banyak penciptaan Allah SWT. Salah satunya adalah
kehidupan. Akhlak adalah hal ikhwal yang melekat pada jiwa (Sanubari). Kedudukan akhlak
manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa,
sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila
akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya. Dan bagi orang-orang yang mempunyai
akhlak. Tentunya mereka adalah orang-orang yang mempunyai sifat terpuji. Diantaranya Taubat,
Zuhud, Wara’ dan Ikhlas. Seperti dalam menyusun makalah ini didasarkan atas tugas kelompok
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
Sifat-sifat Terpuji: Taubat, Zuhud, Wara’ dan Ikhlas
Sifat terpuji merupakan sifat yang sangat dicintai Allah swt. Bahkan sifat ini adalah cara
untuk kita untuk menunjukan rasa sayang dan cinta kita kepada Allah swt. Sifat-sifat terpuji
adalah sifat yang dimiliki bagi orang-orang yang beriman dan memiliki akhlak mahmudah
(akhlak terpuji). Sifat-sifat tersebut adalah : Taubat, Zuhud, Wara’ dan Ikhlas.
A. TAUBAT
1. Pengertian Taubat
Menurut Al-Ghazali, bahwa taubat adalah suatu pengertian yang tersusun secara berurutan
dari tiga hal, yaitu: ilmu, hal (kondisi spiritual) dan perbuatan.
Ilmu adalah mengetahui seberapa besarnya dosa dan keberadaannya sebagai tabir penghalang
antara hamba dan setiap yang dicintai. Jika hamba telah mengetahui hal tersebut secara benar
dan penuh keyakinan hati maka dari pengetahuan ini akan muncul rasa sedih akibat kehilangan
apa yang dicintai. Sebab, apabila hati merasa kehilangan apa yang dicintainya maka ia akan
merasa sedih, dan setiap hal yang tidak dapat dilakukannya akan disesalinya. Rasa sedihnya
tidak dapat melakukan apa yang dicintainya ini disebut penyesalan. Bila rasa sedih ini
mendominasi hati maka dari rasa sedih di dalam hati ini akan muncul suatu keadaan lain yang
disebut iradah (kehendak) dan qashd (keinginan) kepada perbuatan yang memiliki hubungan
Jadi ilmu merupakan factor utama dan perintis berbagai hal kebaikan. Ilmu yang
dimaksud disini ialah iman dan keyakinan (al-yaqin). Pengetahuan, penyesalan dan keinginan
yang berkaitan dengan masa sekarang, masa yang akan datangdan menyesali apa yang telah
lewat merupakan tiga hal yang tercapai secara berurutan. Ketiganya disebut taubat, bahkan
sering kali istilah taubat dipakai untuk arti penyesalan saja. Sedangkan pengetahuan dijadikan
sebagai pendahuluan, and tindakan meninggalkan (dosa yang pernah dilakukan) dijadikan
sebagai buah. Dengan pengertian inilah Nabi saw bersabda:”Taubat adalah penyesalan.”
Dengan pegertian ini taubat dikatakan bahwa arti taubat adalah mencarinya apa yang ada di
Dikatakan pula, bahwa taubat adalah api yang menyala didalam hati dan letupan hati
yang tidak melebar. Atau, taubat adalah melepas pakaian kesangaran dan menyebarkan
hamparan kesetiaan.
Sahal bin Abdullah at-Tasturi berkata, “Taubat adalah bergantinya berbagai gerakan yang
tercela dengan berbagai gerakan yang terpuji. Tetapi hal ini tidak tercapai secara sempurna
Berbagai pendapat tentang definisa Taubat ini tidak terhitung banyaknya. Tetapi mencari
pengetahuan tentang berbagai hakikat persoalan adalah lebih penting ketimbang mencari lafazh
semata-mata.
ketahuilah bahwa kewajiban taubat itu dinyatakan secara tegas didalam berbagai ayat dan
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan yang semurni-
murninya….” (at-Tahrim:8)
Taubat yang semurni-murninya (nashuh) yakni semata=mata karena Allah, terbebas dari
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Dia (juga) mencintai
“Sesungguhnya Allah lebih gembira terhadap taubatan seorang hamba yang beriman,
ketimbang (kegembiraan) seorang yang singgah disebuah tempat yang berbahaya dan
tunggangannya telah pergi, lalu ia pun mencarinya. Setelah merasa kepanasan dan kehausan,
atau apa yang dikehendaki Allah, ia berkata, ‘Aku kembali ke tempatku yang aku pakai untuk
tidur lalu aku akan tidur hingga mati’. Kemudian ia meletakkan kepalanya di atas lengannya
untuk bersiap-siap mati. Tetapi kemudian ia terbangun dan mendapatkan tunggangannya beserta
makanan dan minumannya. Sungguh Allah lebih gembira terhadap taubat seorang hamba yang
Muslim)
Berbagai ayat dan hadits tentang keutamaan taubat tak terhitung banyaknya. Bahkan uamt
telah sepakat atas wajibnya taubat. Karena makna taubat adalah mengetahui bahwa dosa dan
kemaksiatan adalah sesuatu yang membinasakan dan dapat menjauhkan diri dari Allah swt.
meninggalkannya di masa dating, dan menyesali kekurangan yang telah terjadi di masa lampau.
Hal ini tidak diragukan lagi merupakan hal yang wajib dilakukan. Sedangkan penyesalan atas
apa yang telah lalu dan menguatkan penyesalan tersebut juga wajib dilakukan. Penyesalan adalah
a) Kewajiban taubat harus segera dilaksanakan, tak perlu diragukan lagi karena mengetahui
keberadaan maksiat sebagai hal yang membinasakan adalah merupakan bagian dari iman itu
sendiri: ia adalah kewajiban yang harus disegerakan. Jadi, pengetahuan tentang bahaya berbagai
dosa dimaksudkan agar menjadi pendorong untuk meninggalkannya. Siapa yang tidak
meninggalkannya maka ia kehilangan bagian dari iman. Sabda Nabi saw: “Tidaklah berzina
orang yang berzina ketika berzina sedangkan ia orang yang beriman.” (Bukhari dan Muslim)
Nabi saw tidak bermaksud meniadakan iman seperti mengenal Allah, wahdaniyah-Nya, sifat-
sifatnya-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, karena hal itu tidak dapat dinafikan oleh
perbuatan zina dan kemaksiatan, tetapi yang dimaksudkan adalah meniadakan keimanan karena
keberadaan zina itu dapat menjauhkan diri dari Allah dan mengakibatkan kemurkaan-Nya.
b) Kesempurnaan, syarat dan kelanggengan taubat hingga akhir kehidupan, telah disebutkan
bahawa taubat adalah pengertian tentang penyesalan yang melahirkan tekad dan keinginan. Dan
penyesalan lahir dari pengetahuan tentang keberadaan maksiat sebagai penghalang dirinya dan
Allah. Masing-masing dari pengetahuan, penyesalan dan tekad itu memiliki kelanggengan dan
verlarut-larut, linangan air mata, tangis dan renungan yang panjang. Syarat sah nya, yang
berkaitan dengan masa lampau, adalah membawa pikirannya kembali ke hari pertama ketika ia
mencapai usia baligh dan memeriksa apa yang dilakukannya tahun demi tahun, bulan demi
bulan, hari demi hari dll. Lalu memperhatikan berbagai kekurangan dalam ketaatan dan berbagai
c) Pembagian hamba dalam kaitannya dengan kelanggengan taubat, tingkatan pertama, orang
bermaksiat melakukan taubat dan istiqamah diatas taubat hingga akhir kehidupannya. Orang
yang bersegera melakukan berbagai kebaikan dan mengganti berbagai keburukan dengan
berbagai kebaikan. Taubat ini disebut taubatan nashuha. Tingkatan kedua, orang yang bertaubat
menempuh jalan istiqamah dalam ketaatan dan meninggalkan semua dosa besar, tetapi tidak
dapat terlepas dari dosa yang membelitnya. Tingkatan ini keadaan yang umum dari orang yang
melepaskan diri dari keburukan secara total, sangat jauh kemungkinannya. Mereka mendapatkan
janji kebaikan dari Allah swt : ”Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji
yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya.
“(an-Najm:32). Tingkatan ketiga, bertaubat dan bertahandi atas istiqamah beberapa saat
kemudian dikalahkan oleh syahwat dalam sebagian dosa. Ia melakukan dosa karena dipengaruhi
oleh syahwat tapi masih berkeinginan untuk mendapat karunia Allah swt. Tingkatan keempat,
bertaubat dan langsung istiqamah barang sesaat kemudian kembali lagi melakukan dosa atau
banyak dosa tanpa memiliki hasrat untuk bertaubat, dan tanpa menyesali perbuatannya, bahkan
B. ZUHUD
1. Pengertian Zuhud
Jika berbicara tentang zuhud ini ada kaitannya dengan sufi, maksudnya zuhud merupakan
bagian dari sufi. Zuhud dalam istilah tasawuf berarti jalan spiritual atau tahapan-tahapan spiritual
(maqamat) yang harus dilalui seorang sufi. Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari segala
sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu
atau hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi dan tidak menjadikannya sebagai
tujuan. Hanya sarana untuk mencapai derajat ketaqwaan yang merupakan bekal untuk akhirat.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ (4):77, yang artinya: “Katakanlah, ‘kesenangan dunia ini
hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa,”
2. Tanda-tanda Zuhud
Ada tiga tanda kezuhudan yang harus ada pada batin seseorang:
Pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang.
Sebagaimana firman Allah: “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
(al-Hadid:23) م
Kedua, sama saja disisinya orang yang mencela dan orang yang mencacinya. Yang pertama
merupakan tanda zuhud dalam harta sedangkan yang kedua merupakan tanda zuhud dalam
kedudukan.
Ketiga, hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih banyak didominasi oleh lezatnya
ketaatan, karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari cinta; cinta dunia atau cinta Allah.
Kedua cinta ini di dalam hati seperti air dan udara yang ada di dalam gelas. Apabila air
dimasukkan kedalam gelas maka udara pun akan keluar. Keduanya tidak dapat bertemu. Setiap
orang yang akrab dengan Allah pasti ia akan sibuk dengan-Nya dan tidak akan sibuk dengan
selain-Nya. Oleh karena itu dikatakan sebagian me"reka, “Kepada apa zuhud itu membawa
mereka?” dijawab, “Kepada keakraban dengan Allah.” Sedangkan keakraban dengan dunia dan
dan kehinaan, pujian dan celaan, karena adanya dominasi keakraban dengan Allah. Dari tanda-
Yahya bin Mu’adz berkata, “Tanda zuhud adalah kedermawanan dengan apa yang ada.”
Ibnu Khafif berkata, “Tandanya ialah adanya rasa lega dalam keluar dari kepemilikan.
Ahmad bin Hanbal dan Sufyan rahimahumallah berkata, “Tanda zuhud pendeknya angan-
angan.”
As-Surri berkata, “Tidak akan baik kehidupan orang yang zuhud apabila ia sibuk dari
dirinya, dan tidak akan baik kehidupan orang yang ‘arif apabila ia sibuk dengan dirinya.”
As-Surri berkata lagi, “Aku telah mempraktekan segala sesuatu dari perkara zuhud lalu aku
mendapatkan darinya apa yang aku inginkan kecuali zuhud pada orang; karena sesungguhnya
rumah dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia. Dan Allah menjadikan segenap kebaikan
dalam sebuah rumah dan menjadikan kuncinya adalah zuhud dari dunia.”
C. WARA’
1. Pengertian Wara’
Wara’ adalah meninggalkan segala hal yang syubhat: yakni menjauhi atau meninggalkan
segala hal yangbelum jelas haram dan halalnya.Yakni laku (mujahaddah) untuk mencari hidup
yang halal takut terjerumus dalam hal yang haram. Oleh karena itu dia menjauhi pula setiap hal
yang masih samar / syubhat. Wara’ ialah salah satu sendi etika Islam yang sangat penting. Dalam
Prilaku hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas keislaman, apalagi bagi
tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah kedua sesudah taubat, dan disamping itu
merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merupakan tangga awal untuk membersihkan
“Wara’ adalah meninggalkan setiap hal yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak
perlu, yaitu meniggalkan berbagai macam kesenangan.” Jadi prilaku wara’ para sufi telah mulai
menghidari berbagai macam kenikmatan yang halal yang menurut pertimbangan mereka tidak
penting.
2. Tingkatan Wara’
Tingkatn pertama, wara’ al-‘udul (wara’ orang-orang yang memiliki kelayakan moralitas)
yaitu setiap hal yang oleh fatwa harus diharamkan diantara hal yang masuk kedalam kategori
haram mutlak yang bila dilanggar maka pelanggarannya dinilai melakukan kefasikan dan
kemaksiatan.
Tingkatan kedua, contohnya adalah setiap syubhat yang tidak wajib dijauhi tetapi dianjurkan
untuk dijauhi. Sedangkan apa yang wajib untuk dijauhi maka dimasukkan kedalam yang haram.
Diantaranya apa yang dibenci untuk dijauhi karena bersikap wra’ darinya merupakan wara’
orang-orang yang was-was. Setiap orang yang tidak mau berburu karena takut jika buruan itu
telah lepas dari seseorang yang telah menangkap dan memilikinya. Ini adalah was-was,
sedangkan apa yang dianjurkan untuk dijauhi tetapitidak wajib adalah yang disabdakan Nabi
saw:
Tingkatan ketiga, wara’ al-Muttaqin. Sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi saw:
“Seorang hamba tidak akan mencapai derajat mutaqin sehingga dia meninggalkan apa yang
Umar ra berkata:
“Kami dahulu meninggalkan Sembilan per sepuluh barang yang halal karena takut
Setiap barang halal yang tidak terlepas dari kekhawatiran maka ia adalah halalyang baik pada
tingkat ketiga. Yakni setiap hal yang pelaksanaannya tidak dikhawatirkan membawa kepada
Tingkatan keempat, wara’ash-shiddiqin. Halal disisi mereka adalah setiap hal yang dalam
sebab-sebabnya tidak didahului oleh kemaksiatan, tidak dipergunakan untuk kemaksiatan, dan
tidak pula dimaksudkan untuk melampiaskan kebutuhan baik sekarang ataupun dimasa yang
akan dating , tetapi dimakan semata-mata karena Allah dan untuk memperkuat ibadah kepada-
Ini adalah tingkatan orang-orang yang bertauhid (Muwahhidin) yang telah terhindar dari
1. Pengertian Ikhlas
Secara bahasa (lughah) kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: khalasha, yakhlushu,
khulushan, ikhlashan, yang berarti bersih, tiada tercampur, jujur, tulus, membersihkan sesuatu
dalam kitab Risalatul Qusyairiyah-nya menyebutkan perhal makna ikhlas. Ikhlas berarti
bermaksud menjadikan Allah swt. Sebagai satu-satunya sesembahan. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq
berkata: keikhlasan berarti mensucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesame
makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia.
Ikhlas juga berarti rahasia dari rahasia Tuhan yang ada dalam hati hamba-hamba-Nya.
Nabi bersabda: “Aku bertanya kepada Jibril as. Tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril
berkata: Aku bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah
menjawab: Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang
Kucintai”(HR.Abdul Qasim al-Qusyairi dari Imam A li bin Abi Thalib). Sedangkan dalam al-
Qur’an, di antara ayat-ayat yang dijadikan sebagai landasan untuk berbuat ikhlas adalh QS.al-
Kata ikhlas biasanya dikhususkan untuk memurnikan tujuan dalam beribadah kepada
Allah swt. Yaitu memurnikan dari segala macam campur tangan sesame makhluk. Sebab, jika
tujuan peribadatan itu sudah dicampuri oleh pengaruh lain, baik yang berupa riya’(pamer),
sombong, dll. Yang merupakan godaan hati, maka amalan-amalan yang semacam itu tentulah
Bukhari: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat, sungguh bagi seseorang
melakukan perbuatan menurut niatnya. Barang siapa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
ia berhijrah kepada dunia ia akan memperolehnya, atau kepada perempuan yang ia nikahi,
Jadi, seseorang yang ikhlas dalam amalannya adalah seorang yang berbuat sesuatu dan
tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah swt. Serta
mengharapkan keridhaan-Nya saja. Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari
seorang yang betul-betul cinta kepada Allah swt. Dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya
2. Hakikat Ikhlas
Hakikat ikhlas, ketahuilah bahwa setiap sesuatu bisa ternoda oleh yang lain. Jika sesuatu itu
bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khalish (yang bersih). Pekerjaan yang
….”(berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah di telan bagi orang yang
meminumnya.” (an-Nahl:66)
Lawan ikhlas adalah syirik. Siapa yang tidak ikhlas adalah musyrik, hanya saja syirik. Ikhlas
senantiasa datang kepada hati. Jadi tempatnya adalah hati dan hal itu hanya berkenaan dengan
tujuan dan niat. Disebutkan bahwa hakikat niat itu mengacu kepada respon berbagai hal yang
membangkitkan. Bila factor pembangkitnya hanya satu maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam
kaitannya dengan apa yang diniatkan. Siapa yang bersadaqah dengan tujuan riya’ (pamrih
kepada manusia) semata-mata maka dia (secara bahasa) disebut sebagai orang yang mukhlish.
Siapa yang tujuannya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah maka dia juga disebut
orang yang mukhlish. Tapi sudah menjadi tradisi bahwa istilah ikhlas itu khusus berkenaan
dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub kepada Allah dan pelakunya disebut mukhlish.
Siapa yang pembangkitnya semata-mata riya’ (pamrih kepada manusia) maka dia terancam
kehancuran.
Dan untuk memperoleh cinta Allah, usaha yang harus kita lakukan adalah memperbanyak
berbuat baik kepada sesame manusia, khususnya kaum dhu’afa. Allah berfirman:
Dengan seringnya kita berbuat baik kepada sesame manusia, berarti secara tidak langsung
kita membuka dan sekaligus akan memperoleh sebuah rahasia Allah yang disebut ikhlas,
Berkaitan dengan hakikat ikhlas ini, Dzun Nun al-Misry, seorang tokoh sufi, menjelaskan
tentang cirri-ciri orang yang berbuat ikhlas dalam amalnya, diantaranya: pertama, manakala
orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; kedua, melupakan
amal ketika beramal; dan ketiga, jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akherat
Oleh karena itu,amal yang sedikit yang dilandasi oleh keikhlasan itu lebih baik daripada amal
yang banyak tanpa dilandasi oleh keikhlasan. Artinya bahwa amal yang sedikit yang dilakukan
secara ikhlas dan dilakukan secara terus menerus serta diusahakan untuk selalu menambahnya,
disamping suatu perbuatan yang sangat menyenangkan bagi pelakunya, orang lain, ni juga sangat
harus diperhatikan itu ialah apakah amalan itu dapat diterima oleh Allah SWT ataukah tidak,
sebab Rasulallah SAW pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal: “Ikhlaskanlah amalmu dan
sudah mencukupi untukmu amalan yang sedikit (asalkan dilakukan dengan ikhlas ). ( H.R
Dailami).
BAB III
KESIMPULAN
”Taubat adalah penyesalan.” Dengan pegertian ini taubat dikatakan bahwa arti taubat
adalah mencarinya apa yang ada di dalam karena kesalahan yang telah terjadi.
Zuhud dalam istilah tasawuf berarti jalan spiritual atau tahapan-tahapan spiritual
(maqamat) yang harus dilalui seorang sufi. Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari segala
“Wara’ adalah meninggalkan setiap hal yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang
tidak perlu, yaitu meniggalkan berbagai macam kesenangan.” Jadi prilaku wara’ para sufi telah
mulai menghidari berbagai macam kenikmatan yang halal yang menurut pertimbangan mereka
tidak penting.
Secara bahasa (lughah) kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: khalasha, yakhlushu,
khulushan, ikhlashan, yang berarti bersih, tiada tercampur, jujur, tulus, membersihkan sesuatu
Jadi, seseorang yang ikhlas dalam amalannya adalah seorang yang berbuat sesuatu dan
tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah swt. Serta
mengharapkan keridhaan-Nya saja. Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari
seorang yang betul-betul cinta kepada Allah swt. Dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya
DAFTAR PUSTAKA
Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.