Anda di halaman 1dari 15

A.

Latar Belakang Masalah

Pembuatan makalah ini dilatar belakangi oleh keingintahuan kami sebagai makhluk ciptaan

tuhan yang diberi akal dan pikiran sehingga menuntut kami untuk mencari tahu segala sesuatu

yang telah diciptakannya. Dari sekian banyak penciptaan Allah SWT. Salah satunya adalah

kehidupan. Akhlak adalah hal ikhwal yang melekat pada jiwa (Sanubari). Kedudukan akhlak

manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa,

sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila

akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya. Dan bagi orang-orang yang mempunyai

akhlak. Tentunya mereka adalah orang-orang yang mempunyai sifat terpuji. Diantaranya Taubat,

Zuhud, Wara’ dan Ikhlas. Seperti dalam menyusun makalah ini didasarkan atas tugas kelompok

yang harus diselesaikan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari sifat terpuji: taubah, zuhud, wara’,dan ikhlas?

2. Apa saja keutamaan dari taubat?

3. Apa saja Tanda-tanda Zuhud, tingkatan wara’ dan Hakikat Ikhlas?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa pengertian dari Taubat, Zuhud, Wara’ dan Ikhlas

2. Mengetahui apa saja keutamaan dari Taubat

3. Mengetahui tanda-tanda dari Zuhud

4. Mengetahui tingkatan wara’ dan hakikat ikhlas

BAB II

PEMBAHASAN
Sifat-sifat Terpuji: Taubat, Zuhud, Wara’ dan Ikhlas

Sifat terpuji merupakan sifat yang sangat dicintai Allah swt. Bahkan sifat ini adalah cara

untuk kita untuk menunjukan rasa sayang dan cinta kita kepada Allah swt. Sifat-sifat terpuji

adalah sifat yang dimiliki bagi orang-orang yang beriman dan memiliki akhlak mahmudah

(akhlak terpuji). Sifat-sifat tersebut adalah : Taubat, Zuhud, Wara’ dan Ikhlas.

A. TAUBAT

1. Pengertian Taubat

Menurut Al-Ghazali, bahwa taubat adalah suatu pengertian yang tersusun secara berurutan

dari tiga hal, yaitu: ilmu, hal (kondisi spiritual) dan perbuatan.

Ilmu adalah mengetahui seberapa besarnya dosa dan keberadaannya sebagai tabir penghalang

antara hamba dan setiap yang dicintai. Jika hamba telah mengetahui hal tersebut secara benar

dan penuh keyakinan hati maka dari pengetahuan ini akan muncul rasa sedih akibat kehilangan

apa yang dicintai. Sebab, apabila hati merasa kehilangan apa yang dicintainya maka ia akan

merasa sedih, dan setiap hal yang tidak dapat dilakukannya akan disesalinya. Rasa sedihnya

tidak dapat melakukan apa yang dicintainya ini disebut penyesalan. Bila rasa sedih ini

mendominasi hati maka dari rasa sedih di dalam hati ini akan muncul suatu keadaan lain yang

disebut iradah (kehendak) dan qashd (keinginan) kepada perbuatan yang memiliki hubungan

dengan masa sekarang, masa lalu dan masa akan dating.

Jadi ilmu merupakan factor utama dan perintis berbagai hal kebaikan. Ilmu yang

dimaksud disini ialah iman dan keyakinan (al-yaqin). Pengetahuan, penyesalan dan keinginan

yang berkaitan dengan masa sekarang, masa yang akan datangdan menyesali apa yang telah

lewat merupakan tiga hal yang tercapai secara berurutan. Ketiganya disebut taubat, bahkan
sering kali istilah taubat dipakai untuk arti penyesalan saja. Sedangkan pengetahuan dijadikan

sebagai pendahuluan, and tindakan meninggalkan (dosa yang pernah dilakukan) dijadikan

sebagai buah. Dengan pengertian inilah Nabi saw bersabda:”Taubat adalah penyesalan.”

Dengan pegertian ini taubat dikatakan bahwa arti taubat adalah mencarinya apa yang ada di

dalam karena kesalahan yang telah terjadi.

Dikatakan pula, bahwa taubat adalah api yang menyala didalam hati dan letupan hati

yang tidak melebar. Atau, taubat adalah melepas pakaian kesangaran dan menyebarkan

hamparan kesetiaan.

Sahal bin Abdullah at-Tasturi berkata, “Taubat adalah bergantinya berbagai gerakan yang

tercela dengan berbagai gerakan yang terpuji. Tetapi hal ini tidak tercapai secara sempurna

kecuali dengan berkhalwat, diam dan memakan yang halal.

Berbagai pendapat tentang definisa Taubat ini tidak terhitung banyaknya. Tetapi mencari

pengetahuan tentang berbagai hakikat persoalan adalah lebih penting ketimbang mencari lafazh

semata-mata.

2. Kewajiban / Keutamaan Taubat

ketahuilah bahwa kewajiban taubat itu dinyatakan secara tegas didalam berbagai ayat dan

hadits. Allah berfirman:

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya

kamu beruntung.” (an-Nur:31)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan yang semurni-

murninya….” (at-Tahrim:8)
Taubat yang semurni-murninya (nashuh) yakni semata=mata karena Allah, terbebas dari

berbagai kotoran. Tentang keutamman taubat, diungkapkan oleh firman Allah:

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Dia (juga) mencintai

orang-orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah:222)

Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah lebih gembira terhadap taubatan seorang hamba yang beriman,

ketimbang (kegembiraan) seorang yang singgah disebuah tempat yang berbahaya dan

membinasakan, ia membawa serta tunggangan yang memuat makanan dan minimannya,

kemudian ia merebahkan kepalanya hingga tertidur nyenyak. Setelah bangun, ia mendapati

tunggangannya telah pergi, lalu ia pun mencarinya. Setelah merasa kepanasan dan kehausan,

atau apa yang dikehendaki Allah, ia berkata, ‘Aku kembali ke tempatku yang aku pakai untuk

tidur lalu aku akan tidur hingga mati’. Kemudian ia meletakkan kepalanya di atas lengannya

untuk bersiap-siap mati. Tetapi kemudian ia terbangun dan mendapatkan tunggangannya beserta

makanan dan minumannya. Sungguh Allah lebih gembira terhadap taubat seorang hamba yang

beriman ketimbang (kegembiraan) yang mendapatkan tungganganya ini.” (Bukhari dan

Muslim)

Berbagai ayat dan hadits tentang keutamaan taubat tak terhitung banyaknya. Bahkan uamt

telah sepakat atas wajibnya taubat. Karena makna taubat adalah mengetahui bahwa dosa dan

kemaksiatan adalah sesuatu yang membinasakan dan dapat menjauhkan diri dari Allah swt.

Diantara makna taubat adalah, meninggalkan kemaksiatan sekarang, bertekad untuk

meninggalkannya di masa dating, dan menyesali kekurangan yang telah terjadi di masa lampau.

Hal ini tidak diragukan lagi merupakan hal yang wajib dilakukan. Sedangkan penyesalan atas
apa yang telah lalu dan menguatkan penyesalan tersebut juga wajib dilakukan. Penyesalan adalah

jiwa taubat, dengannya tercapai kesempurnaan penyesalan.

a) Kewajiban taubat harus segera dilaksanakan, tak perlu diragukan lagi karena mengetahui

keberadaan maksiat sebagai hal yang membinasakan adalah merupakan bagian dari iman itu

sendiri: ia adalah kewajiban yang harus disegerakan. Jadi, pengetahuan tentang bahaya berbagai

dosa dimaksudkan agar menjadi pendorong untuk meninggalkannya. Siapa yang tidak

meninggalkannya maka ia kehilangan bagian dari iman. Sabda Nabi saw: “Tidaklah berzina

orang yang berzina ketika berzina sedangkan ia orang yang beriman.” (Bukhari dan Muslim)

Nabi saw tidak bermaksud meniadakan iman seperti mengenal Allah, wahdaniyah-Nya, sifat-

sifatnya-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, karena hal itu tidak dapat dinafikan oleh

perbuatan zina dan kemaksiatan, tetapi yang dimaksudkan adalah meniadakan keimanan karena

keberadaan zina itu dapat menjauhkan diri dari Allah dan mengakibatkan kemurkaan-Nya.

b) Kesempurnaan, syarat dan kelanggengan taubat hingga akhir kehidupan, telah disebutkan

bahawa taubat adalah pengertian tentang penyesalan yang melahirkan tekad dan keinginan. Dan

penyesalan lahir dari pengetahuan tentang keberadaan maksiat sebagai penghalang dirinya dan

Allah. Masing-masing dari pengetahuan, penyesalan dan tekad itu memiliki kelanggengan dan

kesempurnaan, sedangkan bagi kesempurnaannya ada tanda-tandanya, dan bagi

kelanggengannya ada syarat-syaratnya. Tandanya adalah penyesalan dan kesedihan yang

verlarut-larut, linangan air mata, tangis dan renungan yang panjang. Syarat sah nya, yang

berkaitan dengan masa lampau, adalah membawa pikirannya kembali ke hari pertama ketika ia

mencapai usia baligh dan memeriksa apa yang dilakukannya tahun demi tahun, bulan demi

bulan, hari demi hari dll. Lalu memperhatikan berbagai kekurangan dalam ketaatan dan berbagai

kemaksiatan yang telah dilakukan. Sabda Nabi saw:


“Takutlah kepada Allah dimana saja kamu berada dan sesalilah keburukan dengan kebaikan,

pasti akan menghapuskannya.”

c) Pembagian hamba dalam kaitannya dengan kelanggengan taubat, tingkatan pertama, orang

bermaksiat melakukan taubat dan istiqamah diatas taubat hingga akhir kehidupannya. Orang

yang bersegera melakukan berbagai kebaikan dan mengganti berbagai keburukan dengan

berbagai kebaikan. Taubat ini disebut taubatan nashuha. Tingkatan kedua, orang yang bertaubat

menempuh jalan istiqamah dalam ketaatan dan meninggalkan semua dosa besar, tetapi tidak

dapat terlepas dari dosa yang membelitnya. Tingkatan ini keadaan yang umum dari orang yang

bertaubat. Puncak usaha yang dilakukan dengan memperbanyak kebaikan. Sedangkan

melepaskan diri dari keburukan secara total, sangat jauh kemungkinannya. Mereka mendapatkan

janji kebaikan dari Allah swt : ”Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji

yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya.

“(an-Najm:32). Tingkatan ketiga, bertaubat dan bertahandi atas istiqamah beberapa saat

kemudian dikalahkan oleh syahwat dalam sebagian dosa. Ia melakukan dosa karena dipengaruhi

oleh syahwat tapi masih berkeinginan untuk mendapat karunia Allah swt. Tingkatan keempat,

bertaubat dan langsung istiqamah barang sesaat kemudian kembali lagi melakukan dosa atau

banyak dosa tanpa memiliki hasrat untuk bertaubat, dan tanpa menyesali perbuatannya, bahkan

tenggelam di dalam dosa.

B. ZUHUD

1. Pengertian Zuhud

Jika berbicara tentang zuhud ini ada kaitannya dengan sufi, maksudnya zuhud merupakan

bagian dari sufi. Zuhud dalam istilah tasawuf berarti jalan spiritual atau tahapan-tahapan spiritual
(maqamat) yang harus dilalui seorang sufi. Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari segala

sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu

atau hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi dan tidak menjadikannya sebagai

tujuan. Hanya sarana untuk mencapai derajat ketaqwaan yang merupakan bekal untuk akhirat.

Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ (4):77, yang artinya: “Katakanlah, ‘kesenangan dunia ini

hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa,”

2. Tanda-tanda Zuhud

Ada tiga tanda kezuhudan yang harus ada pada batin seseorang:

Pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang.

Sebagaimana firman Allah: “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari

kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”

(al-Hadid:23) ‫م‬

Kedua, sama saja disisinya orang yang mencela dan orang yang mencacinya. Yang pertama

merupakan tanda zuhud dalam harta sedangkan yang kedua merupakan tanda zuhud dalam

kedudukan.

Ketiga, hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih banyak didominasi oleh lezatnya

ketaatan, karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari cinta; cinta dunia atau cinta Allah.

Kedua cinta ini di dalam hati seperti air dan udara yang ada di dalam gelas. Apabila air

dimasukkan kedalam gelas maka udara pun akan keluar. Keduanya tidak dapat bertemu. Setiap

orang yang akrab dengan Allah pasti ia akan sibuk dengan-Nya dan tidak akan sibuk dengan

selain-Nya. Oleh karena itu dikatakan sebagian me"reka, “Kepada apa zuhud itu membawa

mereka?” dijawab, “Kepada keakraban dengan Allah.” Sedangkan keakraban dengan dunia dan

keakraban dengan Allah tidak akan pernah bertemu.


Jadi tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan

dan kehinaan, pujian dan celaan, karena adanya dominasi keakraban dengan Allah. Dari tanda-

tanda ini tentu muncul beberapa tanda yang lainnya.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Tanda zuhud adalah kedermawanan dengan apa yang ada.”

Ibnu Khafif berkata, “Tandanya ialah adanya rasa lega dalam keluar dari kepemilikan.

“Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”

Ahmad bin Hanbal dan Sufyan rahimahumallah berkata, “Tanda zuhud pendeknya angan-

angan.”

As-Surri berkata, “Tidak akan baik kehidupan orang yang zuhud apabila ia sibuk dari

dirinya, dan tidak akan baik kehidupan orang yang ‘arif apabila ia sibuk dengan dirinya.”

As-Surri berkata lagi, “Aku telah mempraktekan segala sesuatu dari perkara zuhud lalu aku

mendapatkan darinya apa yang aku inginkan kecuali zuhud pada orang; karena sesungguhnya

aku tidak dapat mencapainya dan tidak kuasa mendapatkannya.”

Al-Fudhail rahimahumallah berkata, “Allah menjadi segenap keburukan dalam sebuah

rumah dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia. Dan Allah menjadikan segenap kebaikan

dalam sebuah rumah dan menjadikan kuncinya adalah zuhud dari dunia.”

C. WARA’

1. Pengertian Wara’

Wara’ adalah meninggalkan segala hal yang syubhat: yakni menjauhi atau meninggalkan

segala hal yangbelum jelas haram dan halalnya.Yakni laku (mujahaddah) untuk mencari hidup

yang halal takut terjerumus dalam hal yang haram. Oleh karena itu dia menjauhi pula setiap hal
yang masih samar / syubhat. Wara’ ialah salah satu sendi etika Islam yang sangat penting. Dalam

hadits Nabi bersabda :

“ Hendaklah kamu menjalankan wara’, agar kamu jadi ahli ibadah.”

Prilaku hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas keislaman, apalagi bagi

tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah kedua sesudah taubat, dan disamping itu

merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merupakan tangga awal untuk membersihkan

hati dari ikatan keduniaan. Ibrahim bin Adham mengatakan:

“Wara’ adalah meninggalkan setiap hal yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak

perlu, yaitu meniggalkan berbagai macam kesenangan.” Jadi prilaku wara’ para sufi telah mulai

menghidari berbagai macam kenikmatan yang halal yang menurut pertimbangan mereka tidak

penting.

2. Tingkatan Wara’

Tingkatn pertama, wara’ al-‘udul (wara’ orang-orang yang memiliki kelayakan moralitas)

yaitu setiap hal yang oleh fatwa harus diharamkan diantara hal yang masuk kedalam kategori

haram mutlak yang bila dilanggar maka pelanggarannya dinilai melakukan kefasikan dan

kemaksiatan.

Tingkatan kedua, contohnya adalah setiap syubhat yang tidak wajib dijauhi tetapi dianjurkan

untuk dijauhi. Sedangkan apa yang wajib untuk dijauhi maka dimasukkan kedalam yang haram.

Diantaranya apa yang dibenci untuk dijauhi karena bersikap wra’ darinya merupakan wara’

orang-orang yang was-was. Setiap orang yang tidak mau berburu karena takut jika buruan itu

telah lepas dari seseorang yang telah menangkap dan memilikinya. Ini adalah was-was,
sedangkan apa yang dianjurkan untuk dijauhi tetapitidak wajib adalah yang disabdakan Nabi

saw:

“Tinggalkanlah apa yang merugikanmu kepada apa yang tidak merugikanmu.”

Tingkatan ketiga, wara’ al-Muttaqin. Sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi saw:

“Seorang hamba tidak akan mencapai derajat mutaqin sehingga dia meninggalkan apa yang

tidak berdosa karena takut terhadap apa yang berdosa.”

Umar ra berkata:

“Kami dahulu meninggalkan Sembilan per sepuluh barang yang halal karena takut

terjerumus kedalam yang haram.”

Setiap barang halal yang tidak terlepas dari kekhawatiran maka ia adalah halalyang baik pada

tingkat ketiga. Yakni setiap hal yang pelaksanaannya tidak dikhawatirkan membawa kepada

kemaksiatan sama sekali.

Tingkatan keempat, wara’ash-shiddiqin. Halal disisi mereka adalah setiap hal yang dalam

sebab-sebabnya tidak didahului oleh kemaksiatan, tidak dipergunakan untuk kemaksiatan, dan

tidak pula dimaksudkan untuk melampiaskan kebutuhan baik sekarang ataupun dimasa yang

akan dating , tetapi dimakan semata-mata karena Allah dan untuk memperkuat ibadah kepada-

Nya dan mempertahankan kehidupan karena-Nya.

Ini adalah tingkatan orang-orang yang bertauhid (Muwahhidin) yang telah terhindar dari

tuntutan nafsu mereka.


D. Ikhlas

1. Pengertian Ikhlas

Secara bahasa (lughah) kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: khalasha, yakhlushu,

khulushan, ikhlashan, yang berarti bersih, tiada tercampur, jujur, tulus, membersihkan sesuatu

hingga menjadi bersih.

Sedangkan secara istilah, ikhlas memiliki bermacam-macam arti. Imam al-Qusyairi

dalam kitab Risalatul Qusyairiyah-nya menyebutkan perhal makna ikhlas. Ikhlas berarti

bermaksud menjadikan Allah swt. Sebagai satu-satunya sesembahan. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq

berkata: keikhlasan berarti mensucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesame

makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia.

Ikhlas juga berarti rahasia dari rahasia Tuhan yang ada dalam hati hamba-hamba-Nya.

Nabi bersabda: “Aku bertanya kepada Jibril as. Tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril

berkata: Aku bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah

menjawab: Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang

Kucintai”(HR.Abdul Qasim al-Qusyairi dari Imam A li bin Abi Thalib). Sedangkan dalam al-

Qur’an, di antara ayat-ayat yang dijadikan sebagai landasan untuk berbuat ikhlas adalh QS.al-

Bayyinah/98:5. “Tidaklah orang-orang itu diperintah melainkan agar supaya menyembah

kepada Allah dengan tulus ikhlas beragama untuk Tuhan semata-mata”.

Kata ikhlas biasanya dikhususkan untuk memurnikan tujuan dalam beribadah kepada

Allah swt. Yaitu memurnikan dari segala macam campur tangan sesame makhluk. Sebab, jika

tujuan peribadatan itu sudah dicampuri oleh pengaruh lain, baik yang berupa riya’(pamer),

sombong, dll. Yang merupakan godaan hati, maka amalan-amalan yang semacam itu tentulah

sudah keluar dari pengertian ikhlas.


Hadits Nabi yang dijadikan landasan tentang niat yang ikhlas adalah hadis riwayat

Bukhari: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat, sungguh bagi seseorang

melakukan perbuatan menurut niatnya. Barang siapa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka

ia berhijrah kepada dunia ia akan memperolehnya, atau kepada perempuan yang ia nikahi,

maka hijrahnya adalah kepada yang diniatkannya itu” (HR.Bukhari).

Jadi, seseorang yang ikhlas dalam amalannya adalah seorang yang berbuat sesuatu dan

tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah swt. Serta

mengharapkan keridhaan-Nya saja. Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari

seorang yang betul-betul cinta kepada Allah swt. Dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya

untuk mencintai harta keduniaan.

2. Hakikat Ikhlas

Hakikat ikhlas, ketahuilah bahwa setiap sesuatu bisa ternoda oleh yang lain. Jika sesuatu itu

bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khalish (yang bersih). Pekerjaan yang

membersihkan disebut ikhlas. Allah berfirman:

….”(berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah di telan bagi orang yang

meminumnya.” (an-Nahl:66)

Lawan ikhlas adalah syirik. Siapa yang tidak ikhlas adalah musyrik, hanya saja syirik. Ikhlas

senantiasa datang kepada hati. Jadi tempatnya adalah hati dan hal itu hanya berkenaan dengan

tujuan dan niat. Disebutkan bahwa hakikat niat itu mengacu kepada respon berbagai hal yang

membangkitkan. Bila factor pembangkitnya hanya satu maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam

kaitannya dengan apa yang diniatkan. Siapa yang bersadaqah dengan tujuan riya’ (pamrih

kepada manusia) semata-mata maka dia (secara bahasa) disebut sebagai orang yang mukhlish.
Siapa yang tujuannya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah maka dia juga disebut

orang yang mukhlish. Tapi sudah menjadi tradisi bahwa istilah ikhlas itu khusus berkenaan

dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub kepada Allah dan pelakunya disebut mukhlish.

Siapa yang pembangkitnya semata-mata riya’ (pamrih kepada manusia) maka dia terancam

kehancuran.

Dan untuk memperoleh cinta Allah, usaha yang harus kita lakukan adalah memperbanyak

berbuat baik kepada sesame manusia, khususnya kaum dhu’afa. Allah berfirman:

“SESUNGGUHNYA RAHMAT (CINTA) Allah sangat dekat kepada orang-orang yang

melakukan kebaikan” (QS. Al-A’raf: 56).

Dengan seringnya kita berbuat baik kepada sesame manusia, berarti secara tidak langsung

kita membuka dan sekaligus akan memperoleh sebuah rahasia Allah yang disebut ikhlas,

sebagaimana dalam hadits diatas.

Berkaitan dengan hakikat ikhlas ini, Dzun Nun al-Misry, seorang tokoh sufi, menjelaskan

tentang cirri-ciri orang yang berbuat ikhlas dalam amalnya, diantaranya: pertama, manakala

orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; kedua, melupakan

amal ketika beramal; dan ketiga, jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akherat

karena amal baiknya.

Oleh karena itu,amal yang sedikit yang dilandasi oleh keikhlasan itu lebih baik daripada amal

yang banyak tanpa dilandasi oleh keikhlasan. Artinya bahwa amal yang sedikit yang dilakukan

secara ikhlas dan dilakukan secara terus menerus serta diusahakan untuk selalu menambahnya,

disamping suatu perbuatan yang sangat menyenangkan bagi pelakunya, orang lain, ni juga sangat

disenangi oleh Allah SWT.


Ali bin Abi Thalib berkata” janganlah kamu prihatin karena sedikitnya amalan, tetapi yang

harus diperhatikan itu ialah apakah amalan itu dapat diterima oleh Allah SWT ataukah tidak,

sebab Rasulallah SAW pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal: “Ikhlaskanlah amalmu dan

sudah mencukupi untukmu amalan yang sedikit (asalkan dilakukan dengan ikhlas ). ( H.R

Dailami).

BAB III

KESIMPULAN

”Taubat adalah penyesalan.” Dengan pegertian ini taubat dikatakan bahwa arti taubat

adalah mencarinya apa yang ada di dalam karena kesalahan yang telah terjadi.

Zuhud dalam istilah tasawuf berarti jalan spiritual atau tahapan-tahapan spiritual

(maqamat) yang harus dilalui seorang sufi. Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari segala

sesuatu yang berkaitan dengan dunia.

“Wara’ adalah meninggalkan setiap hal yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang

tidak perlu, yaitu meniggalkan berbagai macam kesenangan.” Jadi prilaku wara’ para sufi telah

mulai menghidari berbagai macam kenikmatan yang halal yang menurut pertimbangan mereka

tidak penting.

Secara bahasa (lughah) kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: khalasha, yakhlushu,

khulushan, ikhlashan, yang berarti bersih, tiada tercampur, jujur, tulus, membersihkan sesuatu

hingga menjadi bersih.

Jadi, seseorang yang ikhlas dalam amalannya adalah seorang yang berbuat sesuatu dan

tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah swt. Serta

mengharapkan keridhaan-Nya saja. Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari
seorang yang betul-betul cinta kepada Allah swt. Dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya

untuk mencintai harta keduniaan.

DAFTAR PUSTAKA

Syukur Amin, 2003. Tasawuf kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hawwa Sa’id,2001. Mensucikan Jiwa. Jakarta Timur: Robbani Press.

Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Asmaran. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai