Anda di halaman 1dari 43

PETUNJUK PRAKTIKUM

FARMAKOGNOSI

Oleh :

Indah Solihah, M.Sc., Apt


Shaum Shiyan, M.Sc., Apt
Fitrya, M.Si., Apt

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
BAB I
PRAKTIKUM BUDIDAYA TANAMAN OBAT

A. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa diharapkan mengenal budidaya tanaman obat secara organik
B. PENDAHULUAN
Ketergantungan dunia pada tumbuhan obat masih cukup tinggi, Hal ini
menunjukan bahwa betapa besarnya fungsi dan peran strategis tumbuhan obat didunia
saat ini. Dengan semakin populernya pemanfaatan tumbuhan obat baik untuk bahan
obat modern, obat tradisional /jamu,kosmetik tradisional mulai terasa adanya kesulitan
untuk mencari bahan bakunya. Indonesia adalah kawasan dengan beranekaragam
tumbuhan penghasil obat–obatan,sangat disayangkan apabila tidak dimanfaatkan
secara maksimal demi kesejahteraan manusia.
Salah satu lembaga internasional yakni World Conservation Monitoring Centre
(WCMC) yang berkedudukan di Inggris melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah
satu kawasan yang tergolong kawasan kaya akan tumbuhan obat karena pusat
keanekaragamn tumbuhan di kawasan Asia Tenggara terdapat di Indonesia yakni
sekitar 1000 jenis, dimana 47 family diantaranya terutama yang berasal dari suku
Zingberaceae, Acanthaceae (Groombridge,1992).
Cara yang paling ideal dan terbaik untuk memperoleh bahan tumbuhan sebagai
sumber obat – obatan maupun kosmetik tradisional adalah dengan membudidayakan
tumbuhan – tumbuhan tersebut. Dengan demikian maka syarat kualitas tumbuhan obat
dapat terjamin ketersediaannya dengan baik. Peraturan mengenai larangan
pengambilan tumbuh–tumbuhan yang telah langka khususnya yang memiliki manfaat
sebagai bahan baku obat–obatan sudah saatnya ditetapkan oleh instansi pemerintah
terkait. Hal ini dimaksudkan agar terjamin kelestariannya. Tumbuhan obat umumnya
tergolong dalam kelompok tanaman budidaya tradisional, yang umumnya telah mampu
beradaptasi dengan lingkungannya selama ratusan tahun silam dan tetap terpelihara
secara turun temurun. Umumnya masyarakat pedesaan yang seringkali memanfaatkan
pekarangan rumah mereka untuk penanaman tumbuhan obat–obatan ( Apotik Hidup )
meskipun masih dilakukan secara sederhana dalam jumlah yang tidak terlalu banyak.
Untuk menunjang pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari maka diperlukan
usaha budidaya yang hasilnya harus lebih baik daripada sebelum dibudidayakan,
sehingga kualitas maupun kuantitas tumbuhan penghasil obat–obatan tetap terjaga.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kesinambungan
keberadaan tumbuhan sumber obat–obatan yakni :
1. Menemukan kondisi yang optimal untuk budidaya tumbuhan obat dalam hal
ini faktor suhu, kelembaban, tempat tumbuh, cahaya matahari dan air
2. Tersedianya plasma nutfah dengan cara pengumpulan tumbuh–tumbuhan obat
dengan variatas genetika sebagai sumber bibit unggul dan rekayasa genetika.
3. Mencari cara terbaik untuk perbanyakan.
4. Meneliti hama dan penyakit serta gulma dengan memperhatikan seminimal
mungkin pemakaian bahan kimia.
5. Mencari saat terbaik untuk panen.
6. Mencari sistem terbaik untuk penanganan pasca panen.
7. Melakukan evaluasi terhadap kemungkinan mekanisasi produksi sebagai
antisipasi terhadap kebutuhan dalam skala yang besar dan diarahkan kepada
pemanfaatan sumber daya yang berasaskan keseimbangan.

C. CARA KERJA
Bahan :
Bahan-bahan yang digunakan antara lain :
1. Manihot utilissima
2. Orthosiphon stamineus
3. Phyllanthus niruri
4. Bahan pengekstraksi : etanol 70%

Peralatan :
Alat-alat yang digunakan selama praktikum adalah sebagai berikut :
1. Cangkul dan garu
2. Ember
3. Alat semprot
4. Sabit
5. Roll meter (alat ukur)
6. Timbangan
7. Lemari pengering
8. Seperangkat alat untuk standardisasi ekstrak dan skrining fitokimia
Rancangan praktikum :
1. Setiap kelompok terdiri atas 5-6 mahasiswa
2. Setiap kelompok menanam jenis tumbuhan yang telah ditentukan pada lahan budidaya
3. Pembagian kelompok :
Kelompok Perlakuan
K1 Urin Kambing
K2 Urin Sapi
K3 Feses Kambing
K4 Feses Sapi
K5 Feses Ayam
K6 Pupuk organik cair

Parameter yang diamati :


1. Tinggi tanaman (cm)
2. Jumlah daun
3. Berat basah (g) dan kering tanaman (g)

Hal-hal lain yang mungkin ditemukan saat kegiatan budidaya tumbuhan obat :
1. Serangga pengganggu
2. Jamur/bakteri
3. Gulma
4. Tingkat kerusakan pada organ tanaman budidaya

Jalannya praktikum :
1. Setiap kelompok menanam jenis tanaman budidaya yg telah ditentukan dalam satu
bedeng.
2. Setiap luasan tersebut dibuat lubang tanam dengan jarak antar lubang 30 cm. Setiap
lubang ditanam satu individu tanaman.
3. Penyiraman dilakukan secara riil melihat keadaan tanaman budidaya. Penyiraman
bukan merupakan perlakuan. Diharapkan mahasiswa melakukan penyiraman di luar
jadwal praktikum.
4. Pemupukan dilakukan pada minggu ke-2, 4 dan 6 sesuai perlakuan.
5. Perlakuan dengan urin kambing/sapi. Cara pengambilan urin kambing/sapi : Dipilih
hewan betina yang sehat, tidak sedang menyusui, urin diambil pada pagi hari. Urin
ditampung di dalam botol gelap yang telah diberi asam asetat 5% sebanyak 5 ml
ditambah 95 cc urin. Selanjutnya sebanyak 100 cc (campuran urin dan asam asetat)
diencerkan dengan akuades menjadi 1000 ml. Setiap lubang tanam dipupuk dengan 50
ml pupuk cair tersebut. Dengan demikian para mahasiswa harus menghitung sendiri
kebutuhan pupuk cair untuk praktikum ini.
6. Perlakuan dengan feses kambing/sapi/ayam. Cara pengambilan feses : dipilih hewan
betina, dewasa, tidak sedang menyusui, sehat. Feses diambil pada pagi hari, jemur
hingga kering, haluskan. Setiap lubang tanam dipupuk dengan 5g pupuk padat tersebut.
Dengan demikian para mahasiswa harus menghitung sendiri kebutuhan pupuk cair
untuk praktikum ini.
7. Perlakuan dengan tetes tebu : Diencerkan 100 ml tetes tebu ke dalam 1000 ml akuades.
Setiap lubang tanam dipupuk dengan 50 ml pupuk tersebut.
8. Diambil sebanyak 50 ml pupuk cair biologi, diencerkan dalam 1000 ml air . Setiap
lubang dipupuk dengan 50 ml pupuk cair biologi.
9. Selama pemeliharaan tanaman budidaya juga dilakukan pemberantasan gulma, hama
dan penyakit. Jenis-jenis gulma dicatat, didokumentasikan, diidentifikasi jenisnya di
laboratorium. Jenis-jenis serangga juga sangat perlu untuk dicatat, didokumentasikan
dan diidentifikasi di laboratorium. Jika ditemukan penyakit seperti karena jamur dan
bakteri maka kedua organisme ini juga akan diisolasi dan dibiakkan di laboratorium.
10. Selama tahapan budidaya semua bahan yang dipakai berasal dari bahan-bahan organik.
Dalam pemberantasan hama dan penyakit juga dipakai bahan-bahan dari tanaman yang
mampu memberantas hama dan penyakit (Berbagai ramuan dan cara pembuatan akan
diberikan kemudian).
11. Selama pelaksanaan praktikum budidaya tumbuhan obat ada beberapa parameter yang
diukur : tinggi tanaman (panjang tanaman), jumlah daun, berat basah dan berat kering
(ketika panen).
12. Pemanenan dilakukan pada minggu ke-7. Diperkirakan panen daun dilakukan sesaat
sebelum tanaman mengalami perbungaan (flowering time). Untuk mengambil tanaman
budidaya perlu dilakukan dengan hati-hati sebab semua bagian tanaman dalam hal ini
dipanen (yield). Sebelum diambil, tanah dibasahi dengan air sehingga akar mudah
dicabut dari tanahnya. Tanaman kemudian dibersihkan dari kotoran, debu dan tanah
yang masih menempel. Selanjutnya dikeringanginkan, dilakukan sortasi basah. Hasil
panen yang terserang penyakit diambil dan dimusnahkan. Hasil panen yang baik
kemudian ditimbang (berat basah) kemudian dirajang (diperkecil volumenya) dan
dikeringkan di dalam almari pengering (oven) pada suhu 60o C hingga kering dan
ditimbang sebagai berat kering. Jika dalam 3 kali penimbangan hasilnya sudah konstan
maka dihasilkan berat kering.
13. Diambil sebanyak 25 gram simplisia kering kemudian diserbuk. Serbuk simplisia ini
kemudian dimaserasi dalam 100 ml etanol 70% sehingga dihasilkan ekstrak etanolik.
14. Selama praktikum berlangsung mahasiswa wajib membuat laporan sementara yang
diperiksa oleh asisten. Laporan sementara sifatnya mandiri bukan laporan kelompok.
Laporan resmi (satu eksemplar dibuat oleh kelompok) dan hasilnya akan
dipresentasikan pada minggu ke-10.

Bentuk lahan (bedengan) yang akan ditanami oleh setiap kelompok :


Manihot utilissima Orthosiphon Phyllantus niruri
stamineus
♣ ♣ ♣ ♣ ♣ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ♠ ♠ ♠ ♠ ♠
♣ ♣ ♣ ♣ ♣ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ♠ ♠ ♠ ♠ ♠
♣ ♣ ♣ ♣ ♣ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ♠ ♠ ♠ ♠ ♠
♣ ♣ ♣ ♣ ♣ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ♠ ♠ ♠ ♠ ♠
♣ ♣ ♣ ♣ ♣ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ♠ ♠ ♠ ♠ ♠
♣ ♣ ♣ ♣ ♣ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ♠ ♠ ♠ ♠ ♠

30 cm
Gambar 1. Bentuk lahan (bedengan) untuk 4 jenis tanaman
Keterangan :
♣ = Manihot utilissima ◙ = Orthosiphon stamineus
♠ = Phyllantus niruri

Contoh ramuan pestisida nabati secara umum :


Daun mimba (Azadirachta indica) 8 kg
Lengkuas (Languas galanga) 6 kg
Serai (Andropogon nardus) 6 kg
Deterjen 20 g
Air 20 l
Cara membuat : Daun mimba, lengkuas, serai ditumbuk. Seluruh bahan diaduk merata dalam
20 liter air kemudian direndam selama 24 jam. Selanjutnya disaring dengan kain halus. Larutan
hasil penyaringan diencerkan lagi dalam 60 liter air. Larutan sebanyak itu dapat digunakan
untuk lahan seluas 1 hektar.

Contoh ramuan untuk pemberantasan jamur dan bakteri :


Sebanyak 50-100 g daun cengkih (Syzygium aromaticum) kering dihaluskan. Kemudian
ditaburkan atau dibenamkan untuk setiap batang tanaman.

STANDARDISASI EKSTRAK
a. Organoleptik
Parameter organoleptik dilakukan untuk mengetahui fisik dan wujud ekstrak kental
yang didapatkan. Organoleptis menggambarkan identitas dari ekstrak yang didapatkan secara
spesifik. Parameter organoleptis ditetapkan menggunakan panca indra untuk menggambarkan
warna, wujud, dan aroma dari ekstrak kental. Parameter ini hanya dimiliki oleh bahan tertentu
dan setiap ekstrak memiliki warna, wujud, dan aroma yang berbeda (Depkes RI, 2000).
b. Bobot Jenis
Piknometer dibersihkan lalu ditimbang (W0) untuk mengkalibrasi piknometer tersebut
kemudian dimasukkan air yang baru didihkan pada suhu 25°C dan ditimbang bobotnya (W1).
Ekstrak kental diencerkan hingga konsentrasi 5% terlebih dahulu kemudian diatur suhunya
kurang lebih 25°C lalu dimasukkan ke dalam piknometer kosong dan ditimbang bobotnya
(W2) (Depkes RI, 2000). Bobot jenis dihitung dengan Persamaan 1.
Bobot jenis = W2–W1 x Bj air ………………………………………….(1)
W1-W0
Keterangan:
W0 = bobot piknometer kosong (g)
W1 = bobot piknometer + air (g)
W2 = bobot piknometer + ekstrak (g)

c. Penetapan Susut Pengeringan


Sebanyak 1 g ekstrak kental ditimbang dalam cawan tertutup yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu 105°C (W1) selama 30 menit. Ekstrak dimasukan dalam oven yang
dibuka tutupnya lalu dikeringkan pada suhu 105°C hingga bobot konstan (W2) (Depkes RI,
2008). Penimbangan dilakukan setelah 1 jam sampai perbedaan (selisih) antara 3 kali
penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%. Susut pengeringan dihitung dengan
Persamaan 2.

Persen susut pengeringan = W1–W2 x 100% …………………………(2)


W2
Keterangan:
W1 = bobot sampel sebelum dipanaskan (g)
W2 = bobot sampel setelah dipanaskan (g)

d. Penetapan Kadar Air


Penetapan kadar air dilakukan dengan menimbang 1 − 2 g ekstrak kental menggunakan
wadah yang telah ditimbang. Ekstrak dikeringkan pada suhu 105°C dan ditimbang bobot
hingga konstan setiap 30 menit sekali. Pengeringan dilanjutkan kemudian dilakukan
penimbangan setelah 1 jam sampai perbedaan (selisih) antara 3 kali penimbangan berturut-
turut tidak lebih dari 0,25%. Persen kadar air dihitung menggunakan Persamaan 3 (Depkes RI,
2000).
Persen kadar air = W1–W2 x 100% …………………………………………………….(3)
W1
Keterangan:
W1 = bobot sampel sebelum dipanaskan (g)
W2 = bobot sampel setelah dipanaskan (g)

e. Penetapan Kadar Sari Larut Air


Ekstrak kental ditimbang sebanyak 1 g (W1). Sampel dimaserasi dengan 25 mL air
jenuh klorofom (2,5 mL kloroform dalam 1 L air) selama 24 jam dengan labu ukur sambil
dikocok-kocok selama 6 jam pertama dan didiamkan selama 18 jam berikutnya. Sebanyak 5
mL filtrat diuapkan menggunakan cawan hingga kering lalu timbang bobotnya (W0). Pelarut
diuapkan dan tersisa residu lalu dipanaskan pada suhu 105°C hingga bobot tetap (W2). Persen
kadar sari larut air dihitung dengan menggunakan Persamaan 4 (Harborne, 1987).
Persen kadar sari larut air = W2–W0 x 5 x 100% ……………………………………..(4)
W1
Keterangan:
W0 = bobot cawan kosong (g)
W1 = bobot ekstrak awal (g)
W2 = bobot cawan + residu yang dioven (g)

f. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol


Sebanyak 1 g ekstrak kental (W1) ditimbang lalu dilarutkan dalam etanol 96%
sebanyak 25 mL selama 24 jam menggunakan labu tersumbat sambil dikocok-kocok berkali-
kali selama 6 jam pertama dan didiamkan selama 18 jam berikutnya. Filtrat disaring cepat
untuk menghindari penguapan etanol. Filtrat sebanyak 5 mL diuapkan hingga kering di dalam
cawan penguap kemudian ditimbang bobotnya (W0). Pelarut diuapkan dan tersisa residu.
Residu dipanaskan pada suhu 105°C hingga bobot tetap (W2). Persen kadar sari larut etanol
dihitung dengan menggunakan Persamaan 5.
Persen kadar sari larut etanol = W2–W0 x 5 x 100% …………………………………….(5)
W1
Keterangan:
W0 = bobot cawan kosong (g)
W1 = bobot ekstrak awal (g)
W2 = bobot cawan + residu yang di oven (g)

SKRINING FITOKIMIA
a.Identifikasi Flavonoid
Cara 1: Uji dengan pereaksi Shinoda (Logam Mg + HCl)
Ekstrak kental sebanyak 0,5 g ditambahkan 5 mL etanol panas dan direndam selama 5 menit.
Hasil ekstrak disaring sehingga didapatkan filtrat kemudian ditambahkan beberapa tetes HCl
pekat dan dimasukkan 0,2 mg bubuk magnesium (logam Mg). Penambahan HCl dan serbuk
magnesium untuk mereduksi inti benzopiron pada flavonoid. Warna merah menunjukkan
keberadaan senyawa golongan flavonoid (Harborne, 1987; Depkes RI, 1995).
Cara 2: Uji dengan NaOH 10%
Ekstrak kental sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 5
mL etanol. Campuran tersebut dipanaskan selama 5 menit kemudian ditambahkan NaOH 10%
sebanyak dua tetes. Keberadaan senyawa golongan flavonoid ditandai dengan perubahan
warna kuning-oranye-merah (Harborne, 1987).
b. Identifikasi Saponin
Ekstrak kental sebanyak 1– 2 g ditambahkan air suling hingga seluruh bahan terendam
kemudian dididihkan selama 2 menit dan didinginkan. Filtrat dikocok dengan kuat sehingga
terbentuk busa di atas filtrat. Keberadaan saponin ditandai dengan terbentuknya buih atau busa
yang stabil di dalam tabung reaksi. Tingginya buih yang terbentuk menyatakan banyak atau
tidaknya kandungan saponin di dalam sampel (Harborne, 1987; Depkes RI, 1995).
c. Identifikasi Alkaloid
Ekstrak kental sebanyak 2 g diambil lalu ditambahkan sedikit kloroform dan pasir serta
ammonia dalam kloroform. Campuran dikocok kemudian disaring. Filtrat ditambahkan H2SO4
2N lalu dikocok. Terbentuk dua lapisan. Lapisan atas berupa fase air dipisahkan lalu diuji
dengan pereaksi Mayer, Wagner, dan Dragendorff. Keberadaan alkaloid ditandai dengan
adanya endapan merah bata dengan pereaksi Wagner, endapan putih dengan pereaksi Mayer,
dan warna merah jingga dengan pereaksi Dragendorff (Harborne, 1987; Depkes RI, 1995;
Djamil dan Anelia, 2009).
d. Identifikasi Steroid dan Triterpenoid
Filtrat dari lapisan bawah pada pengujian alkaloid sebanyak 5 mL diuapkan dengan cawan
penguap hingga diperoleh residu. Tambahkan asam asetat anhidrat sebanyak 2 tetes dan asam
sulfat pekat sebanyak 1 tetes (pereaksi Lieberman-Burchard). Warna hijau yg terbentuk
menunjukkan senyawa steroid atau merah yang terbentuk menunjukkan adanya senyawa
golongan triterpenoid (Djamil dan Anelia, 2009).
e. Identifikasi Tanin
Ekstrak kental sebanyak 2 g ditambahkan 100 mL air lalu dididihkan selama 15 menit
kemudian didinginkan dan disaring maka didapatkan filtrat. Filtrat yang telah disaring
ditambahkan larutan besi (III) klorida 1%. Keberadaan senyawa tanin ditandai dengan
terbentuknya warna biru tua atau hijau kehitaman yang berasal dari ikatan kompleks antara
senyawa tanin dan larutan besi (III) klorida 1% (Djamil dan Anelia, 2009).

ANALISIS KLT
Plat KLT diukur sebesar 1 x 5 cm dengan batas atas dan bawah sebesar 0,5 cm. Ekstrak kental
dibuat konsentrasi 5% dalam etanol 96% kemudian ditotolkan pada plat KLT silika G60 F254
menggunakan pipa kapiler. Plat KLT tersebut dielusi menggunakan eluen kloroform:etil asetat
(5:2). Perbandingan eluen didapatkan dari hasil percobaan kemudian diangin-anginkan dan
dideteksi di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm dengan pereaksi
semprot alumunium (III) klorida 5% dalam etanol (Andriani, 2011). Hasil KLT berupa noda
atau bercak yang berpendar kuning kehijauan dihitung jarak bercak diukur dan dicatat serta
ditentukan nilai Rf menggunakan Persamaan 6 (Indrowati dan Soegihardjo, 2005).
Rf = Jarak titik pusat bercak dari titik awal …………………………………………………(6)
Jarak batas akhir eluen dari titik awal
PARAMETER YANG DIAMATI :

Parameter yang diamati


Pengamatan Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun
Minggu I
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
Minggu V
Minggu VI
Minggu VII
Panen I Berat basah (total) :
Berat kering I.
II.
III
Rendemen : (berat kering/berat basah) x 100% =
Ekstraksi Rendemen : (berat simplisia/berat ekstrak kental)x100% =
Standardisasi
1. Bobot jenis
2. Kadar air
3. Susut pengeringan
4. Kadar sari larut air
5. Kadar sari larut etanol
6. Skrining fitokimia
7. Analisis KLT
BAB II
HERBARIUM
A. Tujuan Praktikum
Mahasiswa diharapkan dapat membuat herbarium kering dan basah.
B. Dasar Teori
Herbarium berasal dari kata “hortus dan botanicus”, artinya kebun botani yang
dikeringkan. Secara sederhana, yang dimaksud herbarium adalah koleksi specimen
yang telah dikeringkan, biasanya disusun berdasarkan sistim klasifikasi. Luca Ghini
(1490-1550) seorang professor Botani di Universitas Bologna, Italia adalah orang
pertama yng mengeringkan tumbuhan di bawah tekanan dan melekatkannya di atas
kertas serta mencatatnya sebagai koleksi ilmiah (Ramadhanil, 2003). Herbarium dibuat
dari specimen yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit atau kerusakan fisik
lain. Jenis herbarium ada 2, basah dan kering. Herbarium basah digunakan untuk
specimen berair dan lembek, misal buah atau bunga yang tebal yang tidak
memungkinkan dilakukan pengawetan dengan cara koleksi kering. Sedangkan,
herbarium kering digunakan untuk specimen yang mudah dikeringkan, misalnya daun,
batang, bunga dan akar (Setyawan dkk., 2005).
Fungsi herbarium secara umum antara lain :
1. Sebagai pusat referensi : herbarium merupakan sumber utama untuk identifikasi
tumbuhan bagi para ahli taksonomi, ekologi, petugas yang menangani jenis
tumbuhan langka, pecinta alam, maupun para petugas yang bergerak dalam
konservasi alam.
2. Sebagai lembaga dokumentasi : herbarium merupakan koleksi yang mempunyai
nilai sejarah, seperti tipe dari taksa baru, contoh penemuan spesies baru, tumbuhan
yang berkhasiat obat, tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi, dan lain-lain
3. Sebagai pusat penyimpan data : herbarium digunakan untuk mendukung studi
ilmiah lainnya, seperti survey ekologi, studi fitokimia, perhitungan kromosom,
analisa perbandingan biologi, dan berperan dalam mengungkap kajian evolusi
(Setyawan dkk., 2005).

Herbarium tentunya memiliki peranan secara langsung dalam penemuan sumber


obat baru yang berasal dari alam. Fungsi herbarium sebagai pusat referensi dapat
mencegah terjadinya pemalsuan bahan baku obat, khususnya yang berasal dari
tumbuhan.
Persiapan koleksi yang baik di lapangan merupakan aspek penting dalam praktek
pembuatan herbarium. Specimen herbarium yang baik harus memberikan informasi
terbaik mengenai tumbuhan tersebut kepada para peneliti. Dengan kata lain, suatu
koleksi tumbuhan harus mempunyai seluruh bagian tumbuhan dan harus ada
keterangan yang memberikan seluruh informasi yang tidak tampak pada specimen
herbarium. Material herbarium dengan bunga dan buah jauh lebih berharga dan biasa
disebut herbarium fertile, sedangkan material herbarium tanpa bunga dan buah disebut
herbarium steril. Untuk keperluan dokumentasi ilmiah dianjurkan agar dibuat material
herbarium fertil. Material herbarium dari pohon berdiameter besar maupun kecil dipilih
ranting yang berbunga dan berbuah. Apabila hal ini sulit dilakukan, cukup diambil
ranting dengan daun-daun dan kuncup utuh dalam satu kesatuan. Material herbarium
dari tumbuhan terna dan rumput-rumputan, batang dan akarnya harus dikumpulkan
pula.
Selain material herbarium harus lengkap, perlu diperhatikan pula bahwa pada saat
pengambilan material herbarium harus dilakukan pula pencatatan data tumbuhannya,
terutama karakter/sifat yang akan hilang jika diawetkan, misal warna mahkota bunga,
bau eksudat, dll. Material herbarium tanpa catatan tumbuhannya dianggap sangat tidak
ada artinya. Pencatatan data tumbuhan dengan menggunakan buku catatan atau blanko
isian. Bersamaan dengan pencatatan identitas tumbuhan tersebut, perlu dengan segera
dibuat label gantung yang diikat pada material herbarium. Satu label untuk satu
specimen. Pada setiap label gantung ditulis kode (singkatan nama), kolektor
(pengumpul), nomor koleksi, nama local (daerah) tumbuhan yang dikumpulkan,
pemanfaatan secara local, lokasi pengumpulan, dan tanggal pengumpulan. Dianjurkan
agar penulisan pada label gantung menggunakan pensil, supaya tulisan tidak larut
apabila terkena siraman alcohol atau spiritus.
C. Cara Kerja
Pembuatan herbarium kering :
1. Proses pengeringan
Material herbarium diambil seluruh bagian tumbuhan (daun, batang, akar, bunga,
buah). Bersihkan material herbarium dari pengotor, keringanginkan. Tata material
di dalam lipatan kertas koran dengan menggunakan selotip. Bagian batang yang
mengandung spora atau bunga atau buah harus disusun sedemikian rupa sehingga
spora, bunga, atau buah terlihat jelas. Tumpuk lipatan koran yang berisi material
dengan lembaran kardus/kayu tripleks, ikat dengan tali raffia, beri beban berat
diatasnya, bisa menggunakan tumpukan buku atau batu bata. Diamkan selama 1
minggu.
2. Pembuatan herbarium
a. Mounting
- Specimen yang sudah kering dijahit atau dilem di atas kertas karton manila
- Gunakan kertas yang kuat atau tidak cepat rusak dan kaku, ukuran 29x43 cm
- Tata daun yang memperlihatkan bagian atas dan bawahnya.
b. Labeling
- Label berisi keterangan tentang tumbuhan, seperti : nama daerah, nama latin,
klasifikasi tumbuhan (kingdom sampai spesies), deskripsi khusus terkait
morfologi tumbuhan, dan manfaat secara tradisional
Pembuatan herbarium basah
1. Siapkan specimen yang telah dibersihkan dari pengotornya, keringanginkan.
2. Buat larutan formalin 4%
3. Tata specimen dalam botol selai, tuang larutan formalin secara perlahan hingga
seluruh bagian specimen terendam. Tutup rapat botol.
4. Beri label yang berisi keterangan tumbuhan : nama daerah, nama family dan
spesies, manfaat secara tradisional.
BAB III
PEMBUATAN SIMPLISIA
A. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa diharapkan mampu membuat simplisia termasuk uji kualitasnya secara
sederhana baik organoleptik maupun makroskopik.
B. DASAR TEORI
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan
bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan
simplisia pelikan atau mineral.
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman
atau eksudat tanaman. Yang dimaksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara
spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu dipisahkan dari
tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian
hewan, atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat murni.
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral
yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia
murni.
Simplisia sebagai bahan baku jamu biasa berasal dari tumbuhan, yang sangat
dipengaruhi oleh faktor luar maupun dalam diri tumbuhan tersebut. Faktor luar meliputi
tempat tumbuh, iklim, ketinggian tanah, pupuk, dan sebagainya. Faktor dalam meliputi
genetik yang terdapat dalam tumbuhan tersebut. Hal ini mengakibatkan variasi
kandungan kimia yang cukup tinggi. Kandungan kimia juga berbeda-beda jika dipanen
pada saat yang berbeda.
Kebanyakan simplisia berasal dari tumbuhan. Penamaan dari simplisia
menggunakan bahasa Latin. Penamaan dari secara umum menandai adanya simplisia
dari bagian tanaman yang diperoleh. Nama simplisia terdiri dari 2 kata, misal Digitalis
folium (daun digitalis) berasal dari tanaman jenis Digitalis purpurea. Beberapa
simplisia hanya dinamai dengan satu kata, misal Opium, Gallae, Aloe, dll. Terminologi
yang digunakan untuk menandai adanya bagian dari tumbuhan terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Terminologi Penamaan Simplisia
No. Nama Latin Keterangan
1. Radix Akar (root), hati-hati! sering tertukar dengan konsep botani.
Namanya radix ternyata merupakan rhizome (akar tinggal)
2. Rhizoma Batang yang berada di bawah tanah, tumbuh mendatar,
secara umum membawa akar lateral/cabang samping
3. Tuber Suatu bagian di dalam tanah yang mengandung nutrisi,
secara botani merupakan akar/rhizome. Tuber adalah bagian
tumbuhan yang menebal, utamanya terdiri dari parenkim
tempat menyimpan makanan (biasanya pati/amilum) dan
dengan sedikit bagian yang berkayu
4. Bulbus Onion, umbi lapis. Secara botani, umbi lapis adalah batang
yang diselimuti dengan daun bernutrisi yang biasanya hanya
sedikit mengandung klorofil
5. Lignum Wood, kayu. Secara botani adalah bagian xilem yang
berkayu. Namun sering keliru, misalnya Quassiae lignum
juga mengandung kulit batang yg tebal, walaupun hanya
sebagian kecil
6. Cortex Bark, kulit kayu. Berupa seluruh jaringan di luar kambium.
Dapat berasal dari akar, batang, dan cabang
7. Folium Leaf, daun terdiri dari daun tengah pada tumbuhan
8. Flos Flower, bunga yang terdiri dari bunga tunggal atau seluruh
karangan bunga
9. Fructus Fruit, buah yang berupa buah yang belum masak, sudah tua
belum masak, sudah masak
10. Pericarpium Fruit peel, kulit buah
11. Semen Seed, biji terdiri dari seluruh biji atau biji tanpa kulit
12. Herba Herb, bagian tumbuhan di atas tanah (aerial parts) terdiri
dari daun, batang, bunga, dan buah
13. Aetheroleum Essential oil, volatile oil, minyak atsiri (minyak menguap,
minyak terbang) adalah produk yg berasal dari tumbuhan
atau bagiannya yg berbau khas yg terdiri banyak komponen
kompleks dan bersifat menguap
14. Oleum Oil, minyak lemak (fixed oil) yang berasal dari tumbuhan
yang dipisahkan dengan pengepresan
15. Pyroleum Tar, dibuat dengan destilasi kering bahan tumbuhan
16. Resina Resin, yaitu produk dan sekret tumbuhan tertentu atau hasil
destilasi balsam, yaitu residu penyulingan balsam
17. Balsamum Balsam, larutan resin dalam minyak atsiri yg dihasilkan oleh
tumbuhan tertentu

Penyiapan Simplisia
Berdasarkan permenkes no. 659/MENKES/SK/X/1991 mengenai Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) yang memiliki landasan umum,
bahwa obat tradisional diperlukan masyarakat untuk memelihara kesehatan, untuk
mengobati gangguan kesehatan, serta memulihkan kesehatan. Untuk mencapai itu perlu
dilakukan langkah-langkah agar obat tradisional yang dihasilkan aman (safety),
bermanfaat (efficacy), dan bermutu (quality). Disebutkan pula bahwa keamanan obat
tradisional sangat tergantung pada bahan baku, bangunan, prosedur dan pelaksanaan
proses pembuatan, peralatan, pengemas, serta personalia yang terlibat dalam
pembuatan obat tradisional. CPOTB merupakan cara pembuatan obat tradisional
dengan pengawasan menyeluruh atau terpadu dan bertujuan untuk menyediakan obat
tradisional yang selalu memenuhi persyaratan yang berlaku.
Aturan yang ditetapkan dalam pemanenan dan pengumpulan tanaman obat,
bertujuan untuk mendapatkan kadar zat aktif yang maksimal. Pemanenan dilakukan
pada dasarnya saat kadar zat aktif paling tinggi. Metode pemanenan disesuaikan dengan
sifat zat aktif tanaman. Ada yg bisa dipanen dengan mesin dan ada yang harus
menggunakan tangan.
Simplisia dapat berasal dari tumbuhan liar atau tanaman yg dibudidaya. Metode
yang digunakan dalam produksi untuk setiap jenis simplisia sangat tergantung dari
faktor ekonomi. Ini dapat disarankan untuk mengumpulkan bahan simplisia dari
tumbuhan liar, jika di alam banyak terdapat dan biaya rendah, sebaliknya jika di alam
langka dan biaya tinggi maka perlu untuk dibudidayakan. Dalam penyiapan atau
pembuatan simplisia, tahapan yang perlu diperhatikan adalah bahan baku simplisia,
proses pembuatan simplisia, dan cara pengepaka/pengemasan dan penyimpanan
simplisia.
Penyiapan Bahan Baku Simplisia
Dalam pembuatan simplisia, kualitas bahan baku simplisia merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan. Sumber bahan baku dapat berupa tumbuhan, hewan, maupun
mineral. Simplisia nabati yang ideal dapat ditinjau dari asal tumbuhan tersebut.
Tumbuhan tersebut dapat berasal dari tanaman budidaya maupun tumbuhan liar.
a. Tumbuhan liar.
Tumbuhan liar artinya tumbuhan tersebut tidak dibudidaya atau tumbuh liar.
Sebetulnya tumbuhan liar tersebut dapat dibudidayakan. Namun hal ini jarang
dilakukan oleh petani karena tradisi atau kebiasaan. Agar tumbuhan yang berasal
dari tumbuhan liar ini mutunya dapat dipertahankan, diperlukan pengawasan
kualitas secara intern yang baik. Apabila suatu bahan baku simplisia yang berasal
dari tumbuhan liar ini melangka, padahal permintaan pasar tinggi, maka sering
dijumpai adanya pemalsuan. Dan pengalaman dapat kita lacak kemudian dicatat
asal-usul bahan tumbuhan yang berasal dari tumbuhan liar, kita periksa kadar
bahan berkhasiat, sehingga kita dapat memilih bahan simplisia serupa untuk
produk kita di masa mendatang. Langkah selanjutnya dapat dilakukan mapping
artinya membuat peta mengenai habitat (tempat tumbuh) tumbuhan tertentu. Misal
untuk mendapatkan kayuangin (Usnea spp.) sekarang harus mendatangkan dari
Jawa Timur (Banyuwangi), karena di Jawa Tengah mulai jarang ditemukan.
b. Tanaman budidaya.
Eropa dan Amerika telah memberlakukan GAP (Good Agricultural Practice)
sebagai sumber bahan baku simplisia. Bibit tanaman harus dipilih yang baik,
ditinjau dari penampilan dan kandungan senyawa berkhasiat, atau dengan kata lain
berkualitas dan bermutu tinggi. Misalnya rimpang temulawak (Curcuma
xanthorrizha) dipilih rimpangnya yang besar-besar dan kandungan
kurkuminoidnya serta minyak atsirinya tinggi. Simplisia yang berasal dari tanaman
budidaya selain berkualitas, juga sama rata atau homogen. Harapan yang
diinginkan dari waktu ke waktu diperoleh simplisia yang mendekati kualitas yang
konsisten. Dari simplisia tersebut akan dihasilkan produk obat tradisional yang
reproducible atau konsisten khasiatnya. Perlu diperhatikan pula bahwa tanaman
budidaya dapat bervariasi kualitanya bila ditanam secara monokultur (tanaman
tunggal dalam satu lahan tertentu) dibandingkan dengan tanaman tumpangsari.
Demikian juga terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap penampilan dan
kandungan kimia suatu tanaman, antara lain tempat tumbuh, iklim, pemupukan,
waktu panen, pengolahan pasca panen, dsb. Sehingga tidak heran bila kita temukan
dalam pasaran bahwa bahan tanaman sebagai bahan baku simplisia yg berasal dari
daerah tertentu memiliki keunggulan tertentu pula.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas simplisia adalah waktu panen yang
tepat. Waktu panen yang tepat akan menghasilkan simplisia yang mengandung
bahan berkhasiat yang optimal. Kandungan kimia dalam tumbuhan tidak sama
sepanjang waktu. Kandungan kimia akan mencapai kadar optimum pada waktu
tertentu. Ketentuan saat pemanenan tumbuhan bagian tumbuhan adalah sebagai
berikut :
1.) Biji (semen) dipanen pada saat buah sudah tua atau buah mengering, misal biji
kedawung
2.) Buah (fructus) dikumpulkan pada saat buah sudah masak atau sudah tua tetapi
belum masak, misalnya lada (misalnya pada pemanenan lada, kalau dilakukan
pada saat buah sudah tua tetapi belum masak akan dihasilkan lada hitam (Piperis
nigri fructus); tetapi kalau sudah masak akan dihasilkan lada putih (Piperis albi
fructus).
3.) Daun (folia) dikumpulkan pada saat tumbuhan menjelang berbunga atau sedang
berbunga tetapi belum berbuah.
4.) Bunga (flos/flores) dipanen pada saat masih kuncup (misalnya cengkeh atau
melati) atau tepat mekar (misalnya bunga mawar atau srigading).
5.) Kulit batang (cortex) diambil dari tanaman atau tumbuhan yang telah tua atau
umur yang tepat, sebaiknya panen pada musim kemarau sehingga kulit kayu
mudah dikelupas.
6.) Umbi lapis (bulbus) dipanen pada waku umbi mencapai besar optimum, yaotu
pada waktu bagian atas tanaman sudah mulai mengering (misal bawang putih
atau bawang merah)
7.) Rimpang (rhizome) dipanen pada waktu pertumbuhan maksimal dan bagian di
atas tanah sudah mulai mengering, yaitu pada permulaan musim kemarau.

C. CARA KERJA
Setelah dilakukan pemanenan bahan baku simplisia, maka tahapan penanganan pasca
panen adalah sebagai berikut :
1. Sortasi basah
- Pilih bahan baku simplisia dengan benar dan murni, artinya bahan baku
simplisia berasal dari tanaman yang dimaksud, bukan tanaman lain.
- Pisahkan dengan bahan organik atau tumbuhan lain atau bagian dari
tumbuhan lain yang mungkin menempel pada bahan baku simplisia.
- Bahan baku simplisia tidak boleh tercampur dengan tanah, kerikil, atau
pengotor lain (misalnya serangga atau bagiannya).
2. Pencucian
- Bersihkan bahan baku simplisia dengan air mengalir (mata air, air sumur,
atau air PAM), hindari menggunakan air sungai karena cemarannya berat.
- Pada pencucian rimpang dapat ditambahkan kalium permanganat 1:8000
yang dilarutkan dalam air untuk mencuci, bertujuan untuk menekan angka
kuman.
- Tiriskan, agar kelebihan air cucian mengalir.
- Timbang berat basah bahan baku simplisia.
3. Perajangan
- Bahan baku simplisia yang tebal, seperti rimpang, buah, batang, umbi.
Dilakukan perajangan agar proses pengeringan tidak terlalu lama, sehingga
dapat menghindari kemungkinan membusuk atau berjamur.
- Iris bahan baku simplisia dengan ketebalan 5-6 cm menggunakan alat
perajang atau pisau berbahan stainless steel atau baja tahan karat.
4. Pengeringan
- Pengeringan merupakan proses pengawetan simplisia sehingga tahan dalam
penyimpanan.
- Pengeringan akan menghindari terurainya kandungan kimia karena pengaruh
enzim.
- Pengeringan yang cukup akan mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan
kapang (jamur). Jamur Aspergillus flavus akan menghasilkan aflatoksin yg
sangat beracun dan dapat menyebabkan kanker hati. Sementara angka
kapang atau khamir (AKK) tidak boleh lebih dari 104 cfu. Mikroba patogen
harus negatif dan kandungan aflatoksin tidak lebih dari 30bpj.
- Proses pengeringan simplisia dapat dilakukan dengan 3 metode :
a. Pemanasan mekanik menggunakan oven
o Tata simplisia pada nampan yang telah dilapisi kertas koran, tata
simplisia menjadi satu lapisan, jangan bertumpuk
o Masukkan ke dalam oven dengan suhu maksimal 60oC
o Panaskan hingga simplisia mudah remah atau mudah dipatahkan.
b. Pemanasan langsung dengan cahaya matahari
o Tata simplisia pada nampan yang telah dilapisi kertas koran, tata
simplisia menjadi satu lapisan, jangan bertumpuk
o Panaskan pada sinar matahari langsung
o Apabila tidak kering satu hari, maka kertas koran pelapis nampan
diganti setiap harinya.
o Panaskan hingga simplisia mudah remah atau mudah dipatahkan.
c. Pemanasan langsung dengan cahaya matahari dan ditutup kain hitam
o Tata simplisia pada nampan yang telah dilapisi kertas koran, tata
simplisia menjadi satu lapisan, jangan bertumpuk
o Panaskan pada sinar matahari langsung dengan ditutup kain hitam
o Apabila tidak kering satu hari, maka kertas koran pelapis nampan
diganti setiap harinya.
o Panaskan hingga simplisia mudah remah atau mudah dipatahkan.
5. Sortasi kering
- Simplisia yang telah kering tersebut masih sekali lagi dilakukan sortasi untuk
memisahkan kotoran, bahan organik asing, dan simplisia yang rusak
(berjamur, patah) karena sebagai akibat proses sebelumnya.
- Timbang berat kering simplisia
- Hitung persen rendemen = (berat basah/berat kering)x100% = .......%
6. Pengepakan dan penyimpanan
- Pengepakan simplisia yang mengandung minyak atsiri, misal rimpang jahe,
daun kemangi, rimpang bangle, dll menggunakan bahan kertas.
- Pengepakan simplisia yang tidak mengandung minyak atsiri menggunakan
bahan pengepak berupa plastik bening.
- Beri label dengan menuliskan nama kelas dan kelompok, metode
pengeringan, dan nama spesies serta organ simplisia
7. Pemeriksaan mutu
- Lakukan pengukuran kadar air untuk memastikan kualitas simplisia.
Simplisia yg baik mengandung kadar air kurang dari 10%.
- Lakukan KLT untuk membandingkan kualitas simplisia dengan metode
pengeringan yang berbeda terhadap kadar senyawa aktifnya.
8. Pembagian kelompok kerja
Metode Pengeringan Bahan Baku
Kelas
Oven Mth lgsg Mth lgsg ditutup kain hitam Simplisia
Klp 1 Klp 3 Klp 5 Daun
A
Klp 2 Klp 4 Klp 6 Kulit Buah
Klp 1 Klp 3 Klp 5 Rimpang
B
Klp 2 Klp 4 Klp 6 Bunga
Klp 1 Klp 3 Klp 5 Herba
C
Klp 2 Klp 4 Klp 6 Buah
LEMBAR KERJA PRAKTIKUM
PEMBUATAN SIMPLISIA

Nama spesies :
Nama simplisia :
No. Prosedur kerja Titik Kritis Hasil Pengamatan Paraf
1. Pengumpulan bahan

2. Sortasi Basah
Penimbangan bahan basah

3. Pencucian

4. Perajangan (proses
perubahan ukuran)

5. Pengeringan
Penimbangan bahan kering
Rendemen

6. Sortasi Kering

7. Pengemasan

Pemeriksaan mutu :
Kadar air

Hasil KLT
8.
BAB IV
ANALISA MAKROSKOPIK

A. TUJUAN PRAKTIKUM
Pada akhir praktikum mahasiswa diharapkan dapat melakukan analisis
kualitatif dan kuantitatif simplisia utuh atau rajangan, tunggal maupun campuran secara
makroskopik.

B. PENDAHULUAN
Pemeriksaan makroskopik hanya dapat diterapkan pada obat tradisional yang
diramu dari simplisia utuh, missal obat tradisional godogan (rebusan). Oleh sebab itu
dalam melakukan uji makroskopik ini diperlukan keterampilan tinggi dalam mengenali
simplisia.
Uji makroskopik dapat dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau
tanpa menggunakan alat. Cara ini dilakukan untuk mencari kekhususan morfologi,
ukuran, dan warna simplisia yang di uji.
Pemerian yang perlu dideskripsikan meliputi tanaman asal, familia, pertelaan
secara organoleptis, ciri khas, ukuran serta gambar simplisia tersebut.

C. CARA KERJA
Simplisia tunggal :
- Ambil contoh simplisia, sebutkan nama spesies dan family-nya.
- Deskripsikan wujudnya secara umum, ciri khas, serta gambar simplisia
tersebut.
Simplisia campuran :
- Sampel campuran simplisia ditebarkan di atas kain/kertas putih lebar.
- Pisahkan simplisia-simplisia tersebut sesuai dengan jenisnya.
- Masing-masing jenis simplisia tersebut diidentifikasi seperti pada simplisia
tunggal.
LEMBAR KERJA PRAKTIKUM
ANALISIS MAKROSKOPI

Nama Praktikan :
Deskripsi simplisia (bentuk, kekerasan, bobot, tekstur permukaan
No. luar dan bidang irisan, bekas patahan, ukuran panjang dan lebar, Paraf
warna, irisan melintang, bau dan rasa)
1. Nama simplisia :
Spesies tanaman :
Family :
Deskripsi dan gambar :
BAB V
PEMBUATAN AMILUM

A. TUJUAN PRAKTIKUM
Pada akhir praktikum, mahasiswa diharapkan dapat membuat amium dan
mengenal jenis-jenis amilum.
B. PENDAHULUAN
Menurut Gunawan (2004), amilum merupakan produk dari fotosintesis yang
biasanya tersimpan dalam organ penimbun cadangan makanan pada tumbuhan, seperti
pada umbi, batang dan biji. Amilum terdiri dari dua macam polisakarida yaitu 20-28%
amilosa dan sisanya amilopektin. Menurut Hidayat (1995), bentuk, tipe dan ukuran
amilum dapat digunakan sebagai ciri taksonomi tumbuhan.
Tanaman dengan kandungan amilum yang digunakan di bidang farmasi adalah
Zea mays (jagung), Oryza sativa (beras), Solanum tuberosum (kentang), Triticum
aesticum (gandum), Maranta arundinacea (garut), Ipomoea batatas (ketela rambat),
Manihot utilissima (ketela pohon). Amilum digunakan sebagai bahan penyusun awur
dan sebagai bahan pembantu dalam pembuatan sediaan farmasi yang meliputi bahan
pengisi tablet, bahan pengikat, dan bahan penghancur. Sementara suspense amilum
dapat diberikan secara oral sebagai antidotum terhadap keracunan iodium dan amilum
gliserin biasa digunakan sebagai emolien dan sebagai basis untuk suppositoria
(Gunawan, 2004).
C. CARA KERJA
Bahan :
- Beras
- Kentang
- Ketela pohon
- Ketela rambat
- Bengkoang
- Jagung
- Aquadest
- Etanol 70%
Alat :
- Pisau
- Blender atau parutan
- Beaker glass
- Kain kassa atau kain mori
- Nampan
- Wadah penampung amilum (pot salep)
- Oven
- Ayakan
Prosedur :
Masing-masing kelompok praktikum mengerjakan 1 jenis amilum
Prosedur pembuatan pati beras
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Siapkan 200g beras, dicuci beras sampai bersih. Rendam selama 24 jam. Tiriskan.
c. Haluskan beras hasil rendaman dengan blender, ditambahkan sedikit air.
d. Saring menggunakan kain kassa atau kain mori sambal diperas secara perlahan-
lahan ke dalam beaker glass. Tambahkan kembali air pada ampas agar proses
ekstraksi optimal.
e. Biarkan perasan membentuk endapan (2-3 jam), setelah terbentuk endapan,
buang airnya. Tambahkan sedikit etanol 70% untuk mempercepat penguapan air
dan menghindari kontaminasi mikroba selama proses pengeringan.
f. Tebarkan dalam nampan, dikeringkan dengan oven suhu 40-50oC.
g. Timbang berat keringnya serta hitung rendemennya.
h. Ayak butir amilum agar diperoleh ukuran yang seragam
i. Dimasukkan ke dalam wadah dan diberi label.

Prosedur pembuatan pati kentang, ketela pohon, ketela rambat, dan bengkoang
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Kupas kulit, cuci, dan timbang masing-masing 500g
c. Potong-potong umbi dan masukkan ke dalam wadah blender, tambahkan sedikit
air, haluskan dengan blender
d. Umbi yang sudah dihaluskan disaring menggunakan kain kassa yang ditumpuk
berlapis-lapis (minimal 3 lapisan) atau kain mori sambil diperas secara perlahan-
lahan ke dalam beaker glass. Tambahkan kembali air pada ampas agar proses
ekstraksi pati optimal
e. Biarkan air perasan membentuk endapan (2-3 jam), setelah terbentuk endapan,
buang airnya. Tambahkan sedikit etanol 70% untuk mempercepat penguapan air
dan menghindari kontaminasi mikroba selama proses pengeringan
f. Tebarkan endapan pada nampan, keringkan pada oven dengan suhu 40-50oC
g. Timbang berat keringnya serta hitung rendemennya
h. Haluskan dan ayak butir amilum agar diperoleh ukuran yang seragam
i. Dimasukkan ke dalam wadah dan diberi label

Prosedur pembuatan pati jagung


a. Disiapkan alat dan bahan
b. Siapkan 200g biji jagung kering
c. Rendam dalam air selama 3 hari dengan pergantian air rendaman tiap 12 jam,
tiriskan
d. Haluskan biji jagung hasil rendaman menggunakan blender, beri sedikit air
e. Saring menggunakan kain kassa atau kain mori sambal diperas secara perlahan
ke dalam beaker glass. Tambahkan kembali air pada ampas agar proses ekstraksi
pati optimal
f. Biarkan air perasan membentuk endapan (2-3 jam), setelah terbentuk endapan,
buang airnya. Tambahkan sedikit etanol 70% untuk mempercepat penguapan air
dan menghindari kontaminasi mikroba selama proses pengeringan
g. Tebarkan endapan pada nampan, keringkan pada oven dengan suhu 40-50oC
h. Timbang berat keringnya serta hitung rendemennya
i. Haluskan dan ayak butir amilum agar diperoleh ukuran yang seragam
j. Dimasukkan ke dalam wadah dan diberi label
BAB VI
ANALISA MIKROSKOPIK

A. TUJUAN PRAKTIKUM
Pada akhir praktikum mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi serbuk
simplisia baik tunggal maupun campuran dengan menggunakan mikroskop serta
menyebutkan ciri khas simplisia yang diperiksa.

B. PENDAHULUAN
Metode mikroskopi merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi simplisia
baik dalam keadaan tunggal maupun campuran. Cara ini dapat diterapkan pada obat
tradisional rajangan, obat tradisional godogan (rebusan) dan obat tradisional bentuk
serbuk maupun bentuk modifikasi (pil, tapel, parem, dll.), namun tidak diterapkan pada
obat tradisional yang diolah dari ekstrak/sari simplisia.
Uji mikroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang derajat
perbesarannya disesuaikan dengan keperluan. Bahan yang diuji dapat berupa sayatan
melintang, radial, paradermal maupun membujur atau berupa serbuk. Pada uji
mikroskopi dicari unsur-unsur anatomi jaringan yang khas. Dari pengujian ini akan
diketahui jenis simplisia berdasarkan fragmen pengenal yang spesifik bagi masing-
masing simplisia.

C. CARA KERJA
I. Gambarkan fragmen-fragmen yang khas dan terlihat pada simplisia-simplisia yang
ditentukan.

Pembuatan preparat : sedikit serbuk daun pada gelas objek ditambah beberapa
tetes larutan kloralhidrat, dihangatkan di atas nyala spiritus. Tutup dengan gelas
penutup, jika perlu ditambah larutan kloralhidrat kembali (jika penambahan berlebih
dapat dihisap dengan kertas saring). Setelah dingin dilihat di bawah mikroskop
dengan perbesaran lemah dan bila perlu dengan perbesaran kuat.
Bandingkan fragmen-fragmen khas sampel (fragmen pengenal) sesuai dengan
literatur (Materia medika Indonesia).

II. Gambarkan butir-butir pati yang terlihat secara mikroskopis


Pembuatan preparat : letakkan sedikit serbuk pati pada gelas objek. Tambahkan
sedikit air, hangatkan di atas nyala aquadest bunsen. Tutup dengan gelas penutup,
jika perlu tambahkan kembali aquadest. Setelah dingin dilihat di bawah mikroskop
dengan perbesaran lemah dan bila perlu dengan perbesaran kuat. Bandingkan butir-
butir pati beras, jagung, kentang, ketela rambat, ketela pohon, dan bengkoang yang
telah dibuat dengan literatur.
LEMBAR KERJA PRAKTIKUM
ANALISIS MIKROSKOPI

No Uraian (Nama bahan, Pelarut, Perbesaran) Gambar dari literatur Hasil Pengamatan Paraf
1. Nama Simplisia :
Tanaman Asal :
Familia :
Dilihat dalam :
Perbesaran :
LEMBAR KERJA PRAKTIKUM
ANALISIS MIKROSKOPI

No Uraian (Nama bahan, Pelarut, Perbesaran) Gambar dari literatur Hasil Pengamatan Paraf
LEMBAR KERJA PRAKTIKUM
ANALISIS MIKROSKOPI

No Uraian (Nama bahan, Pelarut, Perbesaran) Gambar dari literatur Hasil Pengamatan Paraf
BAB IV

PEMBUATAN SEDIAAN GALENIK

A. TUJUAN PRAKTIKUM

Pada akhir praktikum mahasiswa diharapkan dapat membuat beberapa sediaan

galenik termasuk infusa dan maserasi

B. PENDAHULUAN

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air

pada suhu 90℃ selama 15 menit. Kelebihan infusa prosesnya yang sederhana, mudah

dilakukan dan sering dipakai oleh perusahaan traditional dengan sedikit modifikasi.

Sedangkan kelemahan yang ada diantaranya sari tidak stabil, mudah tercemar oleh

kuman dan kapang, sari tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam.

Maserasi merupakan cara penyarian sederhana. Menurut Farmakope Indonesia

proses maserasi berlangsung 4-10 hari, berdasarkan pengalaman 5 hari sudah memadai.

Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dengan cairan penyari. Proses

difusi berlangsung sampai terjadi keseimbangan konsentrasi. Cairan penyari yang

digunakan; air, etanol, etanol-air, atau pelarut lain. Bila cairan penyari yang digunakan

air, maka ditambahkan bahan pengawet pada proses penyarian. Metode dengan

maserasi dipilih untuk menyari simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut

dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan

penyari.

C. CARA KERJA

Infusa

1. Campur simplisia yang memiliki derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air

secukupnya, panaskan di atas tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu

mencapai 90℃ sambil sesekali diaduk.


2. Serkai selagi panas melalui kain flannel tambahkan air panas secukupnya melalui

ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki.

Hal-hal yang harus diperhatikan:

1. Biasanya air yang dipakai untuk membasahi 2x dari bahan, untuk bunga 4x bahan.

2. Bahan ditambah air dan dipanaskan selama 15 menit pada suhu 90-98℃ (15

terhitung saat suhu menunjukkan 90℃).

3. Secara umum 100 bagian sari terdiri dari 10 bagian bahan.

Maserasi

1. 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana.

2. Tuangi dengan 75 bagian cairan penyari, tutup dan biarkan selama 5 hari terlindung

dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk.

3. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas.

4. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga

diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian.

5. Tutup sari, biarkan ditempat sejuk, terlindung cahaya, selama 2 hari.

6. Pisahkan endapannya.
LEMBAR KERJA PRAKTIKUM
SEDIAAN GELANIK

No. Uraian proses kerja Hasil


LEMBAR KERJA PRAKTIKUM
SEDIAAN GELANIK

No. Uraian proses kerja Hasil


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.


Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1978, Materia Medika Indonesia, Jilid II, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1979, Materia Medika Indonesia, Jilid III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1980, Materia Medika Indonesia, Jilid IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1989, Materia Medika Indonesia, Jilid V, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1996, Materia Medika Indonesia, Jilid VI, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1987, Analisis Obat Traditional, Jilid I, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Brain, K.R., dan Turner, T.D., 1975, The PracticaL Evaluation of
Phytopharmaceutical, Wright-Scientehnical, Bristo.
Gunawan, D. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid 1. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Hidayat, E. B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Jurusan Biologi FMIPA ITB,
Bandung.
Sutrisno, R.B., 1986, Analisis Jamu, Universitas Pancasila, Jakarta.
Wagner, H., Bladt, S., dan Zgainski, E.M., 1984, Plant Drug Analysis, Springer-Verlag,
Berlin.

Anda mungkin juga menyukai