Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PLASMA NUTFAH

PELESTARIAN TEMULAWAK

Disusun Oleh :
ANITA DYAH RESPATI

H3514004

AYU BELARIA AVITA

H3514006

DAMAR MUHARRAM G.G.

H3514008

DITA KUSUMA WARDANI

H3514010

DWI FITRIANI

H3514012

D3 AGRIBISNIS MINAT AGROFARMAKA


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Plasma nutfah merupakan koleksi sumber daya genetic yang berupa
keanekaragaman tumbuhan, hewan atau jasad renik untuk tujuan yang luas.
Sastrapraja (1992) menyatakan bahwa plasma nutfah adalah substansi yang
terdapat pada suatu kelompok makhluk hidup yang merupakan sumber sifat
keturunan yang dapat dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar
yang baru. Plasma nutfah merupakan salah satu sumber daya alam yang
sangat penting karena tanpa plasma nutfah kita tidak dapat memuliakan
tanaman, membentuk kultivar atau ras baru karena itu plasma nutfah harus
dikelola secara tepat sehingga dari plasma tersebut dilakukan pemulian agar
dapat mengembangkan kultivar-kultivar unggul, selain itu koleksi plasma
nutfah juga mempunyai tujuan lain misalnya untuk pertukaran dengan
Negara-negara lain.
Saat ini, masyarakat semakin luas menggunakan tumbuhan obat dalam
mengatasi masalah kesehatannya dari pada menggunakan obat-obatan
moderen. Hal ini menandai adanya kesadaran untuk kembali ke alam (back to
nature), dengan memanfaatkan produk-produk alami yang diyakini memiliki
efek samping yang relatif lebih rendah dibandingkan obat modern. Sejak lama
masyarakat telah mengenal dan menggunakan obat-obatan alamiah yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan, dan mineral. Mereka meramu dan
meraciknya sendiri atas dasar pengalaman yang diwariskan secara turuntemurun oleh generasi sebelumnya
Temulawak adalah salah satu tanaman obat potensial yang sejak lama
telah diketahui memiliki berbagai khasiat obat untuk menyembuhkan berbagai

jenis penyakit. Temulawak sudah lama digunakan secara turun temurun oleh
nenek moyang kita untuk mengobati sakit kuning, diare, maag, perut kembung
dan pegal-pegal. Terakhir juga bisa dimanfaatkan untuk menurunkan lemak
darah, mencegah penggumpalan darah sebagai antioksidan dan memelihara
kesehatan dengan meningkatkan daya kekebalan tubuh. Temulawak secara
alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan
terlindung dari teriknya sinar matahari dan memiliki daya adaptasi yang tinggi
terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis.Suhu udara yang baik untuk
budidaya tanaman ini antara 19-30C. Tanaman ini memerlukan curah hujan
tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun. Demikianlah, agar budidaya tanaman
temulawak tetap terus terjaga, untuk itulah dilakukannya pelestarian
khususnya tanaman obat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teknik pelestarian Temulawak?
2. Apa kendala dalam pelestarian Temulawak?
3. Apa solusi dari kendala yang ada untuk pelestarian Temulawak?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui teknik pelestarian Temulawak
2. Untuk mengetahui kendala dalam pelestarian Temulawak
3. Untuk mengetahui dan memberiak solusi dari kendala pelestarian
Temulawak

BAB II
PEMBAHASAN
1. Teknik Budidaya Tanaman Temulawak
Tanaman obat terutama temu-temuan seperti temulawak mempunyai
potensi untuk diekspor, sehingga berpeluang untuk dibudidayakan secara
organik agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Namun hingga saat ini
sistem budidaya tanaman temu-temuan tersebut masih menggunakan cara
LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture), di mana selain
menggunakan pupuk organik juga dikombinasikan dengan pupuk buatan,
dengan takaran yang tidak berlebihan. Petani membudidayakan tanaman
temu-temuan dengan cara LEISA karena biaya produksi yang dikeluarkan
relatif rendah. Budidaya tanaman temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb)
dapat dilakukan dengan banyak teknik. Teknik yang paling mudah dilakukan
dan murah dari segi biaya produksi yaitu teknik konvensional. Pada umumnya
perbanyakan temulawak secara konvensional dilakukan dengan perbanyakan
menggunakan rimpang, baik rimpang induk maupun rimpang anak (Rahardjo
2010). Selain itu juga dapat dilakukan dengan budidaya organik. Pertanian
organik merupakan bentuk usahatani yang tidak menggunakan sama sekali
bahan kimia sintetik dan mengandalkan sepenuhnya penggunaan bahan
organik alami, termasuk phosphat alam, tepung kapur dan lainnya (Rini
2007). Teknik budidaya lainnya yang lebih modern dan dapat memenuhi
kebutuhan yaitu bioteknologi kultur jaringan atau kultur in vitro.
Bioteknologi kultur jaringan merupakan salah satu teknologi dalam
budidaya tanaman yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam kegiatan
pelestarian plasma nutfah, khususnya tanaman obat seperti temulawak.
Penerapan penyimpanan in vitro ada beberapa cara di antaranya adalah

penyimpanan dalam keadaan tumbuh (jangka pendek), penyimpanan


pertumbuhan minimal (jangka pendek dan menengah) dan penyimpanan
dengan pembekuan (jangka panjang). Penyimpanan dalam keadaan tumbuh
adalah cara pemeliharaan dengan melakukan pemindahan tanaman (subkultur)
secara rutin pada media yang sama agar biakan tetap hidup. Untuk
menghindari terjadinya mutasi dan menjaga viabilitas tanaman maka zat
pengatur tumbuh yang digunakan diusahakan seminimal mungkin.
Penyimpanan

pertumbuhan

minimal

adalah

dengan

menekan

pertumbuhan biakan dengan menurunkan proses pembelahan sel dan proses


metabolisme yang hampir mendekati nol. Untuk menekan pertumbuhan
tersebut dilakukan manipulasi suhu, pemberian zat penghambat tumbuh.
Penyimpanan dengan teknik pembekuan atau jangka panjang dengan cara ini
proses metabolism dari sel, jaringan maupun organ yang disimpan dihentikan
sehingga tidak ada proses pertumbuhan. Bahan tanaman yang digunakan
untuk koleksi kultur in vitro tergantung dari sifat yang dikandung oleh
tanaman yang ingin dibiakkan, dapat berupa kalus, emrio, biji, mata tunas dan
meristem. Perbanyakan plasma nutfah tanaman obat melalui kalus jarang
digunakan, karena timbulnya perubahan genetis (Bermawie 2003).
2. Hambatan Budidaya
a. Hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit ini akan berhubungan
dengan kualitas dan jumlah hasil budidaya. Namun masalah penyakit
dapat ditekan dan dicegah apabila teknis budidaya kita mengikuti pola
yang benar.
1) Hama temulawak adalah: Ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites
Esp.), Ulat tanah (Agrotis ypsilon Hufn.) dan Lalat rimpang
(Mimegrala

coerulenfrons

Macquart).

Pengendalian

penyemprotan larutan WT Bvr dosis 10 ml/lt air, WT Trico/Glio


dosis 10 ml/lt air & WT Ajuvant WT dosis 2 ml/lt air

2) Jamur Fusarium Penyebab : F. oxysporum Schlecht dan Phytium


sp. serta bakteri Pseudomonas sp. Berpotensi untuk menyerang
perakaran dan rimpang temulawak baik di kebun atau setelah
panen. Gejala : Fusarium menyebabkan busuk akar rimpang dengan
gejala daum menguning, layu, pucuk mengering dan tanaman mati.
Akar rimpang menjadi keriput dan berwarna kehitam-hitaman dan
bagian tengahnya membusuk. Jamur Phytium menyebabkan daun
menguning, pangkal batang dan rimpang busuk, berubah warna
menjadi coklat dan akhirnya keseluruhan tanaman menjadi busuk.
Pengendalian : Melakukan pergiliran tanaman yaitu setelah panen
tidak menanam tanaman yang berasal dari keluarga Zingiberaceae.
Dilakukan penyemprotan WT Bakterisida dosis 10 ml/lt air, WT
Trico/Glio dosis 10 ml/lt air & WT Ajuvant dosis 2 ml/lt air
3) Penyakit layu. Penyebab: Pseudomonas sp. Gejala : kelayuan daun
bagian bawah yang diawali menguningnya daun, pangkal batang
basah dan rimpang yang dipotong mengeluarkan lendir seperti
getah. Pengendalian : dengan pergiliran tanaman dan penyemprotan
larutan WT Bakterisida dosis 10 ml/lt air, WT Trico/Glio dosis 10
ml/lt air & WT Ajuvant dosis 2 ml/lt air
4) Gulma potensial pada pertanaman temu lawak adalah gulma kebun
antara lain adalah rumput teki, alang-alang, ageratum, dan gulma
berdaun lebar lainnya.
b. Penjualan hasil budidaya. Hal ini memang menjadi masalah klasik di
Indonesia, hampir untuk semua komoditi. Belum ada regulasi yang
jelas mengenai sistem penjualan maupun patokan harga. Rendahnya
produktifvitas dan standar mutu temulawak, baik tanaman basah
maupun simplisia.
c. Budidayanya masih tradisional bahkan masih banyak berupa tanaman
liar.

d. Pengadaan benih masih menggunakan benih dari kebun sendiri atau


dari tanaman liar dan belum mengacu kepada standar mutu benih,
sehingga rata-rata produksi yang diperoleh rendah dan pemasarannya
tidak menentu
e. Pengalaman kegagalan mengakibatkan petani jera atau enggan untuk
melakukan inovasi teknologi baru walaupun sebenarnya memberikan
harapan yang lebih baik
f. Keterbatasan modal, harga yang berfluktuasi atau ketidakpastian harga,
dan kekurangan informasi,
g. Lokasi kebun yang jauh dari pasar/pusat sarana produksi.
h. Kurangnya perhatian berupa pendampingan serta penyuluhan dari
pemerintah pada kelompok tani
i. Kurangnya kualitas SDM dalam budidaya
3.

Solusi
a.

Konservasi in-situ
Plasma nutfah harus dikonversi karena plasma nutfah sering
mengalami erosi genetic yang mengakibatkan jumlah plasma nutfah
semakin menurun. Salah satu yang perlu diperhatikan dalam pelestarian
plasma nutfah adalah penyimpanan. Metode konservasi sumber daya
genetic secara luas terbagi menjadi dua yaitu secara in-situ dan ex-situ.
Konservasi in-situ yaitu konservasi didalam kawasan suaka alam
dan kawasan pelestarian alam. Khususnya untuk tumbuhan meskipun
untuk populasi yang dibiakkan secara alami, konservasi in-situ mungkin
termasuk regenerasi buatan apabila penanaman dilakukan tanpa seleksi
yang disengaja dan pada area yang sama bila benih atau materi reproduksi
lainnya dikumpulkan secara acak.
Memanfaatkan plasma nutfah dengan in-situ memungkinkan
karakterisasi dan evaluasi tanaman serta memudahkan program
persilangan melalui persendian bunga atau serbuk sari secara cepat.

Selain itu proses produksi secara klonal dapat mempertahankan kemasan


genetic materi. Namun demikian, metode koleksi ini rawan punah,
trutama di Negara-negara berkembang yang disebabkan oleh berbagai
factor seperti hama penyakit (baik dilapangan maupun penyimpanan),
iklim yang ektrim, kebakaran lahan, konflik social, serta perubahan
pemanfaatan lahan yang tadinya untuk koleksi plasma nutfah.
Pelestarian plasma nutfah dapat dilakukan dengan

cara

konvensional ataupun modern/bioteknologi. Kedua cara ini membutuhkan


tindakanyang cermat karena sudah barang tentu terdapat kelebihan dan
kekurangannya. Dhanutirto (1990) mengungkapkan bahwa kelebihan cara
konvensional adalah menggunakan lahan yang luas (aneka ragam plasma
nutfah dapat dilestarikan), sedang kekurangannya sulit memonitor dan
kestabilan plasma nutfah sulit dijamin. Lebih lanjut diungkapkan
mengenai kelebihan cara modern membutuhkan ruang yang sempit
(karena dilakukan secara in vitro), mudah memonitor, tenaga kerja tidak
banyak, sedang kekurangannya adalah investasi awal tinggi dan
membutuhkan tenaga ahli yang berkualitas. Para ahli mengungkapkan
bahwa kedua cara ini tidak dapat dipisahkan, karena pada pelaksanaanya
akan saling menunjang. Sejauh ini metode konvensional sudah banyak
berhasil dalam menyelamatkan plasma nutfah yang tentunya sangat
berguna bagi kelangsungan hidup mahluk hidup di muka bumi ini.
Memelihara di tempat dimana tanaman tumbuh merupakan
tindakan yang sudah berabad-abad dilakukan.dengan cara ini tanamna
tidak akan strees terhadap keadaan lingkungan yang baru. Namun
demikian keadaan alami ini akan lebih membiarkan tanaman tersebut dan
akan berkembang secara sendiri tanpa terlalu banyak, atau bahkan tidak
ada jamahan tangan manusia sebagai pengelola. Sudah tentu akan seperti
komuniti alami. Keuntungan lain adalah ekosistem akan lebih terjaga.
Hal-hal yang diperhatikan dalam melaksanaan pelestarian plasma nutfah
adalah:

1. Pengkajian teknologi pelestarian


2. Penyediaan tenaga ahli
3. Pembangunan sarana dan prasarana
Pemerintah dengan rekomendasi dari

panitia

Nasional

Bioteknologi telah menetapkan LIPI dalam hal ini sebagai pusat


penelitian dan pembangunan Bioteknologi menangani Pusat Plasma
Nutfah Nasional. Pemilihan kawasan tertentu dengan menggunakan
kriteria tertentu dengan pertimbangan habitat perwakilan biota serta
penelaahan keterlaksanaan yang baik. Lebih lanjut diungkapkan bahwa
sistem pengeloaanya yang perlu disempurnakan
Pemeliharaan intensif pada metode konvensional in situ dapat
dilakukan dengan mengikat sertakan daerah dan masyarakat bersama
sama mengelola suatu lahan milik Negara seperti halnya hutan, pantai,
prairi/padang rumput dalam hamparan luas dan lainnya dibatasi oleh
perundang-unangan. Pada pelaksanaannya akan memerlukan tenaga kerja
dengan jumlah yang banyak dengan struktur organisasi yang jelas.
Dalam usaha melestarikan hutan-hutan yang kaya akan berbagai
macam flora dan fauna telah di programkan adanya beberapa daerah
konservasil, penghijauan kembali (reboisasi), pembatasan pembukaan
lahan, dan pemeliharaan intensif untuk kawasan-kawasan tertentu yaitu
b.

daerah hutan, tanam industri, taman-taman nasional, marga satwa.


Konservasi ex-situ
Konservasi ex-situ merupakan metode konservasi

yang

mengkonservasi spesies diluar distribusi alami dari populasi aslinya.


Konservasi ini merupakan proses melindungi spesies tumbuhan dan
hewan langka dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau
terancam dan menempatkannya di bawah perlindungan manusia. Tujuan
konservasi ex-situ untuk mendapatkan kondisi penyimpanan yang ideal
sehingga penyimpana plasma nutfah dapat diprtahankan dengan menekan
proses metabolism pada tingkat yang sangat mini. Menurut Harington

dalam Robert dan King, penyimpanan benih adalah salah satu metode
preservasi genotif ang termudah dan termurah.
Konservari ex-situ, menghilangkan spesies dari konteks ekologi
lainnya, melindunginya dibawah kondisi semi terisolasi dimana evolusi
alami dan proses adaptasi dihentikan sementara atau diubah dengan
mengintroduksi specimen pada habitat yang tidak alami (buatan).
Pelestarian tanaman dengan cara memindah tempatkan dari tempat asal
tumbuhnya, dengan sendirinya tercermin ada unsur kesengajaan untuk
memelihara lebih intensif dengan cara mengurangi luas areal penanaman,
menggunakan tenaga kerja yang cukup, sarana yang memadai, atau
bahkan menggunakan bahan-bahan, alat-alat yang canggih seperti yang di
peruntukkan pada kultur teknik in vitro.
Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya adalah
di perlukan tenaga terampil yang terdidik dan mempunyai rasa tanggung
jawab penuh pada pekerjaannya, kelengkapan bahan dan alat yang di
butuhkan seringkali sangat terbatas, menyimpan cara ini khususnya
dengan kebun pembibitan tidak dapat menjamin penyimpan jangka
panjang. Dengan menggunakan cara ini kita dapat lebih memantau
penyelamatan koleksi, baik secara budidaya maupun masalah vandalisme.
Selain itu dapat ditambah koleksi setiap saat bila mana memungkinkan,
baik yang sudah teridentifikasi maupun yang masih sedang dalam taraf
eksplorisasi.
Kebun raya Indonesia, bertanggung jawab pada jenis botani, jadi
diutamakan penempatan kelengkapan koleksi tanaman pribumi yang ada
di Indonesia. Karena keterbatasan lahan atau areal kebun maka masih
diperlukan adanya tambahan terhadapkoleksi botani yang ada dalam
kebun raya itu yang dapat ditanam diberbagai tipe tapak pelestairian
lainnya. Keanekaragaman plasma nutfah tidak menjadi mandat kebun
raya sebab koleksi lebih di tunjukkan kepada keragaman jenis botani.

Usaha pelestarian dilakukan dengan konservasi secara ex-situ


yaitu penanaman di tempat koleksi baru/di luar habitat alaminya. Contoh
tanaman yang dikumpulkan dari eksplorasi berupa biji, umbi, setek dan
organ tanaman lainnya. Materi berupa organ tanaman disterilisasi
menggunakan Rootone-F, selanjutnya ditanam di pot-pot pemeliharaan di
rumah kaca dan kebun pemeliharaan (visitor plot). Pemeliharaan tanaman
dilaksanakan dengan penyiraman, pemupukan baik pupuk Gandasil
maupun pupuk NPK, pengendalian hama dan penyakit, dan pemangkasan
(Ronny Yuniar Galingging, 2006)
c. Eksplorasi
Kegiatan eksplorasi yang merupakan pelacakan atau penjelajahan,
mencari, mengumpulkan dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu
dilakukan untuk mengamankan dari kepunahan. Pendekatan awal dalam
kegiatan eksplorasi pada umumnya dimulai dengan penelitian etnobotani
dan etnofarmakologi sebagai upaya untuk menginventarisasi jenis
tumbuhan obat dan manfaat penggunaannya.
Kegiatan eksplorasi sudah banyak dilakukan oleh berbagai
lembaga penelitian dan industri maupaun perorangan namun hasilhasilnya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga kita tidak pernah
memiliki literatur yang utuh tentang tumbuhan obat dan ramuannya serta
cara pengobatannya. Terlebih lagi kegiatan penelitian ini sering tidak
dilengkapi oleh pendukung herbarium untuk setiap jenis tumbuhan.
Eksplorasi plasma nutfah tanaman obat telah dilakukan Balittro di Taman
Nasional Meru Betiri, G. Ceremai dan G. Cakrabuana Jawa Barat dan
hasil eksplorasi ditanam di kebun koleksi sebagai konservasi ex situ
(Hasnam et al, 2000).
d. Perlindungan Terhadap Tanaman Obat
Sudah sejak lama kurang lebih 50 tahun yang lalu Indonesia
menggunakan tanaman obat sebagai obat, apalagi setelah terjadi krisis

ekonomi yang melanda Indonesia, tanaman obat dipakai sebagai


pengobatan alternatif/pilihan bagi ekonomi lemah. Tanaman obat ini
sedang menjadi isu di negara-negara berkembang dan bagaimana
memberikan perlindungan hukum terhadap tanaman obat, negara-negara
berkembang perlu untuk mempelajarinya (Yunus, 2000). Pengaturan
pemanenan tumbuhan obat dari alam, larangan pemungutan spesies
tumbuhan obat yang terancam punah perlu dilakukan, demikian juga
perlu dilakukan pengontrolan terhadap perdagangan tumbuhan obat dan
produk-produknya (Zuhud et al., 2001).
e. Pemanfaatan tanaman obat
Dalam usaha pemanfaatan tumbuhan obat perlu diperhatikan
kelestarian dari jenis tumbuhan tersebut agar tidak punah. Upaya
peningkatan budidaya selain melestarikan sumber bahan OT diharapkan
dapat mengembangkan produksi tumbuhan obat dalam negeri, dan
selanjutnya dapat diekspor sehingga memberikan nilai tambah dalam
pertumbuhan ekonomi. Keanekaragaman plasma nutfah tumbuhan obat
Indonesia sebagai sumber bahan obat selayaknya diteliti secara lebih
komprehensif dengan pemilihan strategi pendekatan bioprospecting yang
tepat. Bioprospecting mencakup aktivitas berbagai disiplin ilmu terutama
kimia bahan alam, farmakognosi, agrokimia, botani dan ekonomi.
Penelitian bioprospecting laboratoris bertitik tolak dari etnofarmakologi
dan etnobotani. Disamping pemanfaatan plasma nutfah tanaman obat
untuk industri jamu juga dapat dimanfaatkan untuk kosmetika seperti
lidah buaya (menghilangkan noda hitam, menanggulangi kerut,
menstimulasi dan mengganti sel kulit mati dengan sel baru), ketumbar,
lavender dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Di Indonesia banyak sekali tanaman obat yang belum di ketahui jenisnya.
Selain itu banyak tanaman obat yang tidak terjaga kelestariannya dan hampir
punah. Eksplorasi, konservasi dan pelestarian plasma nutfah tanaman obat
indonesia diperlukan agar pemanfaatannya pun menjadi lebih maksimal.
Eksplorasi dilakukan agar mudah mengenali dan mengidentifikasi tanaman
obat, agar tidak salah memanfaatkannya.
b. Tanaman obat terutama temu-temuan seperti temulawak mempunyai potensi
untuk diekspor, sehingga berpeluang untuk dibudidayakan secara organik
agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi.
c. Idealnya semua tumbuhan obat harus dilestarikan, meliputi semua populasi di
alam (in situ) dan dilakukan penangkaran diluar habitatnya (ex situ).
d. Konservasi

tumbuhan

obat

harus

dilakukan

bersama-sama

dengan

masyarakat, dalam arti kegiatan budidaya tumbuhan obat yang berasal dari
dalam hutan tersebut dilakukan oleh masyarakat yang selama ini
memanfaatkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Bermawie, Nurliani Dan Kristina Nn 2003. Penyimpanan In Vitro Tanaman Obat


Potensial Perkembangan Teknologi. Vol. 15 (1): 51-60.
Rahardjo, Mono 2010. Penerapan Sop Budidaya Untuk Mendukung Temulawak
Sebagai Bahan Baku Obat Potensial. Perspektif . Vol 9( 2): 78 93.
Nandika, Dody. 2004. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Bogor: IPB
Press.
Rini Ep, Rahardjo M 2007. Kajian Ekonomi Budidaya Organik Dan Konvensional
Pada 3 Nomor Harapan Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb) Bul. Littro.
Vol. (1): 73 85.

Anda mungkin juga menyukai