Perubahan yang sangat cepat dalam sektor kesehatan dan sektor lain serta lingkungan
nasional/global, memerlukan pola pikir, rencana dan kemimpinan yang strategis, yang
mampu melakukan berbagai penyesuaian dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan
kesehatan yang sudah disepakati.
Dinamika perubahan tersebut juga dialami dan dihadapi oleh tingkat Kabupaten/Kota.
Bahkan beberapa Kabupaten/Kota sudah memberikan respons dengan melakukan perubahan,
misalnya memberikan pelayanan gratis, mengembangkan sistem asuransi kesehatan,
mengembangkan kemitraan dengan swasta dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan,
menggerakkan semua sektor dan masyarakat untuk melaksanakan hidup bersih dan sehat,
dlsb.
Perubahan tersebut memang suatu kebutuhan dan keharusan. Namun harus selalu diingat
bahwa perubahan tersebut harus senantiasa dipandu dan dijiwai oleh nilai-nilai normatif
yang berlaku universal dalam pembangunan kesehatan, yaitu: (a) Efektivitas dan mutu, (b)
Efisiensi, (c) Pemerataan (Equity), (d) Keadilan (Fairness) dan (e) Keberlanjutan (Sustainability)
Oleh sebab itu, perubahan tersebut harus direncanakan dengan baik dan tidak boleh
menyimpang dari nilai-nilai dan tujuan normatif tersebut diatas. Dalam konteks itulah Proyek
DHS-1 mengembangkan Pedoman Reformasi Sektor Kesehatan (Health Sector Reform)
seperti tertuang dalam dokumen ini. Dengan adanya Pedoman ini diharapkan reformasi
sektor kesehatan yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota bisa lebih terencana¸ relevan
dengan prioritas masalah dan situasi daerah, sekaligus berkelanjutan.
Pedoman Reformasi Sektor Kesehatan atau Health Sector Reform ini tersusun berkat
kerjasama dan dukungan dari unit terkait dilingkungan Departemen Kesehatan. Pusat Kajian
Pembangunan Kesehatan, Biro Perencanaan dan Anggaran, Tim Konsultan 3579 dan Tim
Penyusun. Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada
pihak yang telah membantu penyusunan Modul dan Pedoman ini, dan Sekretaris Eksekutif
Proyek DHS-1 yang secara sistematis memfasilitasi mengembangkan draft awal,
mendiskusikannya dengan banyak fihak dan melakukan pelatihan serta bimbingan kepada
daerah.
Semoga pedoman ini bermanfaat bukan saja bagi daerah, akan tetapi juga bagi tingkat
propinsi dan pusat dan siapa saja yang berkepentingan dengan pengembangan dan
penguatan Sistem Kesehatan bukan hanya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dan juga
di Pusat.
ii
DHS-1 MODUL HSR
KATA SAMBUTAN
Alhamdulillah dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
Module Pelatihan untuk meningkakan kapasitas petugas kesehatan dalam melaksanakan
proses desentralisasi yang telah mengalami beberapa kali penyesuaian dapat diselesaikan.
Modul Pelatihan dan Pedoman ini tersusun berkat kerjasama dan dukungan dari Direktorat
Jenderal P2M-PL, Direktorat Kesehatan Ibu, Direktorat Kesehatan Anak, Biro Perencanaan,
Pusat Data dan Informasi Kesehatan, Tim TRT Pusat, Tim Konsultan 3579, para Pihak
Ketiga yang ditunjuk sebagai Pelaksana Pekerjaan dan Sekretaris Eksekutif Proyek
DHS-1 yang telah memfasilitasi penyusunan pedoman dan modul tersebut diatas. Dalam
kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penyusunan Modul dan Pedoman ini.
Kami menyadari bahwa modul pelatihan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
saran dan kritik membangun sangat kami harapkan. Akhirnya, kami berharap Modul dan
Pedoman ini bermanfaat bukan saja bagi daerah, akan tetapi juga bagi tingkat Provinsi
dan Pusat serta siapa saja yang berkepentingan dengan Pengembangan dan Penguatan
Sistem Pelayanan Kesehatan dalam konteks Desentralisasi.
iii
DHS-1 MODUL HSR
DAFTAR ISI
Kontributor i
Kata Sambutan Dirjen ................................................................................................. ii
Kata Sambutan Sekretaris Dirjen................................................................................. iii
Daftar Isi iv
Pendahuluan................................................................................................................. 1
Bagian VI. Kriteria pemilihan dan indikator untuk monitoring dan evaluasi reformasi
sektor kesehatan........................................................................................ 24
1. Kriteria untuk penentuan area/topik reformasi sektor kesehatan.............. 24
2. Indikator untuk perencanaan dan pemantauan.......................................... 25
3. Indikator untuk evaluasi............................................................................ 26
iv
DHS-1 MODUL HSR
PENDAHULUAN
Selama 3 dekade yang lalu, dan terutama decade terakhir, terjadi perubahan yang sangat
besar dan cepat hampir dalam setiap sendi kehidupan, baik pada tingkat global, regional,
nasional maupun daerah. Tidak ada yang bisa mengelak dari tuntutan perubahan. Ada
perubahan yang sifatnya reaktif, ada yang bersifat "trial and error", ada pula yang bersifat
"laises faire", tanpa direncanakan dan tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Sistem kesehatan di Indonesia tidak luput dari "turbulensi" atau "badai" perubahan tersebut.
Perubahan tersebut tidak bisa ditolak atau dielakkan. Pilihannya bukan lagi "berubah"
atau "tidak berubah", akan tetapi "berubah secara terencana dan sistematis" atau
"berubah secara liar dan laises faire".
Pedoman Refomasi Sektor Kesehatan ini disusun untuk membantu penyelenggara kesehatan
di tingkat daerah dan nasional menyesuaikan sistem dan program kesehatan dengan tuntutan
perubahan yang terjadi secara sistemik di segala aspek kehidupan. Reformasi Sektor
Kesehatan adalah suatu keharusan karena kalau tidak dilakukan, sektor kesehatan akan
menjadi tidak relevan dengan perkembangan zaman dan sumberdaya yang dipergunakan
akan menjadi sia-sia.
Selama ini, terutama sejak awal tahun 1980-an, penyesuaian dan perubahan tersebut sudah
dilakukan. Namun sifatnya reaktif, "donor driven" dan tidak langgeng (seumur masa
proyek yang didanai donor), dan terfragmentasi (misalnya perubahan sistem pelayanan
tanpa merubah sistem pembiayaan).
Pedoman ini disusun dengan menggunakan berbagai macam referensi serta pengalaman
empiris di Indonesia. Draft awal disusun dengan bahan referensi tersebut. Beberapa kali
lokakarya dilakukan, dengan melibatkan birokrasi pemerintah di pusat dan daerah, para
akademisi serta fihak swasta.
1
DHS-1 MODUL HSR
pertemuan tentang desentralisasi kesehatan di Cartagena, Columbia, pada tahun 1996,
pertemuan WHO/SEARO tentang Health Financing Reform di Bangkok tahun, 1993,
beberapa pertemuan tentang reformasi sumberdaya manusia untuk kesehatan (human
resources for health) di Geneva, pertemuan-pertemuan Global Advisory Board on
Nurses and Midwive di Geneva, pertemuan UNICEF di Florence (1992) tentang
pengaruh penyesuaian struktural (structural adjustment) terhadap kesehatan ibu dan
anak, serta Pertemuan IHPP (International Health Policy Program) yang didanai oleh
Bank Dunia (di London, Frankfurt dan New York) pada awal tahun 1990-an.
3. Pengalaman reformasi sektor kesehatan di Indonesia khususnya yang menyangkut
Rumah Sakit, yaitu pemberian otonomi yang lebih besar kepada RS milik pemerintah.
4. Penelitian kesehatan di Indonesia yang berkaitan dengan kebijakan kesehatan misalnya
penelitian pembiayaan kesehatan untuk penduduk miskin, penelitian biaya satuan
pelayanan kesehatan, penelitian dan lokakarya tentang otonomi rumah sakit,
pengembangan konsep DUKM (Dana Upaya Kesehatan Masyarakat) dan JPKM
(Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) serta SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional), dll.
5. Produk-produk hukum yang menyangkut reformasi sektor kesehatan, seperti misalnya
UU tentang desentralisasi dan penyusunan rencana program pembangunan, peraturan
tentang penyusunan anggaran dan keuangan negara, dll.
Fokus atau isi pedoman ini adalah perubahan mendasar dalam lima area, yaitu reformasi
(1) kebijakan kesehatan, (2) jenis upaya (program dan pelayanan) kesehatan, (3) sistem
penyelenggaraan pelayanan kesehatan atau "health service delivery system", (4) manajemen
sumberdaya kesehatan, dan (5) prioritas sasaran penduduk.
Dengan demikian, reformasi "mind set" atau pola pikir serta reformasi untuk menjamin
transparansi dan "good governance" tidak menjadi bagian dari pedoman ini. Alasannya,
perubahan "mind set" dan bebas KKN adalah persoalan sistemik dalam penyelenggaraan
bernegara dan berbangsa secara keseluruhan. Jadi tidak bisa dilakukan partial di satu
sektor saja.
2
DHS-1 MODUL HSR
BAGIAN-I
LATAR BELAKANG REFORMASI SEKTOR KESEHATAN
Turbulensi lingkungan
Sistem dan sektor kesehatan disemua negara ada dalam turbulensi perubahan lingkungan
yang sangat cepat. Teknologi informasi meningkatkan pengetahuan dan merubah sikap,
persepsi dan harapan setiap orang di semua pelosok dunia. Mobilitas penduduk didalam
negara ataupun antara negara menyebabkan dunia menjadi tempat berbaurnya (the melting
pot) berbagai macam budaya dan menciptakan tata nilai baru yang lebih universal. Demikian
juga, perkembangan teknologi mempermudah manusia memenuhi kebutuhan hidupnya
walaupun kadangkala dengan biaya yang semakin mahal. Arus kuat untuk membuat dunia
lebih demokratis dan menjamin hak azasi manusia menyebabkan kebijakan dan program
pembangunan tidak bisa lagi dilakukan secara ekslusif oleh sekelompok elit atau penguasa.
Hak suara tidak hanya dilimpahkan kepada jenjang administrasi yang lebih rendah, akan
tetapi sampai kepada kelompok masyarakat bahkan kepada rumah tangga dan perorangan.
Gagalnya sistem ekonomi di negara komunis menambah keyakinan masyarakat dunia
akan efektivitas sistem ekonomi pasar bebas. Privatisasi adalah salah satu bentuk perubahan
yang disarankan. Namun ternyata privatisasi tidak bisa dilakukan membabi buta untuk
sektor kesehatan, karena cisi khas pelayanan kesehatan yang tidak sama dengan komoditas
lainnya.
Disamping perubahan tersebut diatas, yang sering dikatakan sebagai "kemajuan", ternyata
dunia belum bisa mewujudkan cita-cita yang dicetuskan dalam deklarasi hak azasi manusia,
yaitu menciptakan kesejahteraan secara adil dan merata bagi setiap warga dunia. Ketimpangan
pembangunan dan distribusi serta konsumsi kekayaan dunia terus berlanjut dan meningkat,
menghasilkan pertambahan jumlah penduduk miskin di banyak negara.
Sistem kesehatan tidak bisa tidak harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut.
Apabila tidak, sistem kesehatan tersebut akan teralienasi (terasing) dari sistem sosial,
politik dan ekonomi yang terus berubah. Sistem kesehatan akan menjadi semacam barang
tua yang tersingkir dari hiruk pikuk pembangunan dan modernisasi kehidupan manusia.
Pertanyaanya adalah: apakah perubahan tersebut berlangsung sebagai "laises faire" (terseret
arus perubahan) atau sebagai perubahan yang direncanakan secara sistematis. Health Sector
Reform (HSR) yang mengemuka sejak Deklarasi Alma Ata 1978, adalah jawaban atas
pertanyaan tersebut, yaitu perubahan yang mendasar, yang direncanakan, yang bekelanjutan,
sehingga turbulensi lingkungan tersebut diatas tidak membuat tujuan-tujuan pembangunan
kesehatan mengalami hambatan.
3
DHS-1 MODUL HSR
Transisi kesehatan
Sektor kesehatan juga mengalami perubahan besar. Yang menonjol adalah transisi
demografis. Misalnya di Indonesia, BPS (2005) memproyeksikan bahwa pada tahun 2025
nanti jumlah penduduk usia lanjut (65+) akan naik mencapai sekitar 20 juta orang. Jumlah
ini lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk benua Australia, yang hanya sekitar 19
juta pada tahun 2005. Transisi demografis ini menyebabkan transisi pola penyakit, yang
dikenal sebagai "transisi epidemiologi". Data di lapangan menunjukkan semakin tingginya
prevalens dan insidens penyakit degeneratif (hipertensi, jantung, stroke, diabetes, gangguan
mental, dll), sementara penyakit infeksi tetap ada dan belum teratasi secara memuaskan.
Ulah manusia merusak keseimbangan ekologi memacu munculnya penyakit baru (new
emerging diseases) seperti SARS, flu burung dan Nipah encephalitis (di Malaysia). Selain
itu, lingkungan kumuh disekitar penduduk miskin memancing kembalinya penyakit lama
(re-emerging diseases) seperti framboesia, scabies, pes, ebola (di Afrika), dll. Semua ini
menghasilkan transisi epidemiologis dengan tiga pola: degeneratif, infeksi baru dan infeksi
lama, yang menimbulkan beban multiple dalam pembangunan kesehatan (dikenal dengan
"triple burden").
Sementara itu, perubahan lain dalam pola penyakit adalah semakin banyaknya jenis-jenis
faktor resiko penyakit: breeding places nyamuk malaria akibat penambangan dan pembukaan
hutan, penggunaan bahan berbahaya dalam berbagai produk termasuk produk makanan
serta polusi lingkungan dari industri. Faktor resiko lain yang sangat penting adalah
perubahan gaya hidup termasuk pola makan, aktivitas fisik dan kegiatan sehari-hari yang
semakin menimbulkan "stress".
Pertama, tentang penduduk miskin; jumlahnya di Indonesia sangat besar yaitu sekitar 40
juta pada tahun 2005 (sekitar 25%). Namun Bank Dunia, dengan menggunakan batasan
pendapatan US$1/kapita per tahun, memperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin adalah
35-40 juta; dan kalau batas tersebut dinaikkan mejadi US$ 2/kapita/tahun, jumlahnya
adalah 104 juta. Dengan demikian 20% penduduk Indonesia adalah miskin dan 30% adalah
nyaris miskin (near poor). Jelas ini suatu jumlah yang sangat besar dan spektakuler dan
merupakan tantangan besar dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan
kesehatan. Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa pemeliharaan kesehatan penduduk
miskin adalah tanggung jawab negara. Ini berarti sistem pembiayaan kesehatan harus
menjamin kecukupan biaya kesehatan untuk penduduk miskin. Kedua, kemajuan teknologi
kedokteran menawarkan alat-alat yang lebih canggih. Pada satu sisi teknologi canggih
ini lebih efektif, akan tetapi pada umumnya memerlukan biaya yang lebih tinggi. Ketiga,
dimana-mana didunia biaya kesehatan mengalami kenaikan dengan laju inflasi lebih tinggi
4
DHS-1 MODUL HSR
dari pada rata-rata inflasi ekonomi. Untuk negara berkembang ini memberi beban berat
terhadap biaya kesehatan yang sangat terbatas.
Ketiga hal tersebut diatas, yaitu jumlah penduduk miskin yang besar, introduksi alat
kedokteran canggih yang mahal dan inflasi biaya kesehatan, memerlukan perubahan
mendasar dalam sistem pembiayaan kesehatan.
Akuntabilitas publik
Pendidikan penduduk meningkat, disertai akses yang lebih baik terhadap informasi.
Akibatnya, masyarakat semakin menuntut pelayanan kesehatan yang bermutu dan akuntabel.
Stakeholder pembangunan kesehatan juga semakin mengerti indikator-indikator derajat
kesehatan yang seharusnya membaik dari waktu kewaktu. Betulkah status gizi penduduk
membaik? Kenapa IMR dan MMR tidak sebaik negara tetangga yang dulu tertinggal dari
kita, padahal infrastruktur pelayanan kesehatan sudah dibangun secara massal? Kenapa
masih ada "outbreak" (KLB) campak padahal cakupan immunisasi sudah mencapai UCI?
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah semacam gugatan terhadap akuntabilitas pembangunan
kesehatan yang dilaksanakan dengan dana publik. Artinya, masyarakat semakin mengkaitkan
alokasi dan penggunaan dana publik dengan indikator kinerja. Dan indikator kinerja
tersebut tidak lagi terbatas pada indikator input (sarana fisik dan penempatan tenaga
kesehatan), akan tetapi beralih ke indikator output (cakupan program dan utilisasi pelayanan),
bahkan terus bergeser ke indikator outcome (perbaikan indikator derajat kesehatan).
HSR adalah suatu keharusan. Kalau sistem atau sektor kesehatan tidak responsif terhadap
perubahan tersebut. maka sistem tersebut akan menjadi tidak relevan. Sumberdaya yang
dipergunakan akan menjadi sia-sia, akuntabilitas pembangunan kesehatan tidak bisa
dipertanggung jawabkan kepada stakeholder kesehatan, terutama kepada rakyat.
Reformasi sektor kesehatan bukan hal baru. Pada tingkat internasional sudah dilakukan
secara sistematis sejak dicetuskannya "Health for All by 2000" (HFA/2000) dalam "World
Health Assembly" tahun 1977 di Geneva. Sebagai follow up dari kesepakatan tersebut,
pada tahun 1978 dikeluarkan deklarasi Alma Ata yang menyepakati bahwa untuk
5
DHS-1 MODUL HSR
mewujudkan HFA 2000 tersebut, perlu dilakukan perubahan mendasar dalam sistem
kesehatan di setiap negara. Ada dua perubahan mendasar yang disarankan, yaitu:
Sejak deklarasi Alma Ata tersebut, banyak negara di dunia menyusun SKN sekaligus
mengembangkan sistem pelayanan kesehatan primer yang spesifik untuk negara
bersangkutan. Di Indonesia, segera disusun sebuah Sistem Kesehatan Nasional, yang
disyahkan pada tahun 1982. Demikian pula, Indonesia mengembangkan beberapa model
PHC yang dikenal misalnya dengan istilah PKMD (Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Desa) dengan melatih Kader Kesehatan (Promotor Kesehatan Desa atau Promokesa),
peningkatan jangkauan Puskesmas melalui Puskesmas Pembantu, pengembangan Posyandu,
penempatan bidan di desa dan pengembangan Polindes, dll.
Selanjutnya, dalam dekade 1980-an, berbagai proyek kesehatan yang dibiayai oleh dana
internasional dilakukan di Indonesia. Banyak perubahan-perubahan mendasar yang
diintrodusir dalam proyek tersebut, seperti misalnya perubahan tarif RS dan Puskesmas,
perbaikan program gizi berbasis pengembangan masyarakat (community based), penggunaan
obat secara lebih rasional, peningkatan mutu pelayanan kesehatan, pemberian otonomi
kepada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, mengembangkan kemitraan dengan
swasta, menggerakkan peran serta masyarakat, mengembangkan sistem perencanaan dan
penganggaran program dan pelayanan kesehatan, melakukan mobilisasi pendanaan dari
masyarakat, melakukan perencanaan dan pengadaan tenaga kesehatan. Perubahan lainnya
yang sangat mendasar adalah pelaksanaan desentralisasi kesehatan ke tingkat kabupaten
dan kota sejak 1999/2000.
Ada beberapa perubahan dalam kebijakan kesehatan nasional yang juga dapat dikatakan
sebagai reformasi kesehatan seperti misalnya penggunaan obat generik, penempatan dokter
dan bidan melalui sistem kontrak, serta penetapan beberapa program dan pelayanan
sebagai paket pelayanan minimum.
Secara historis, hal yang mendorong (driving forces) dilakukannya reformasi sektor
kesehatan pada awalnya adalah ketidak merataan pembangunan kesehatan, baik antara
negara maupun didalam suatu negara. Di Indonesia misalnya, ketidak merataan tersebut
sekaligus bersifat vertikal (antara strata sosial-ekonomi) dan bersifat horizontal (antara
wilayah - misalnya kota dan desa, antara wilayah timur-barat, Jawa dan luar Jawa).
Namun dalam perkembangannya, terutama dalam dekade 1980-an, fakta empiris lain turut
mendorong dilakukannya reformasi sektor kesehatan. Fakta empiris tersebut termasuk:
(1) sumberdana kesehatan yang semakin terbatas dan berkompetisi dengan kebutuhan
sektor lain,
6
DHS-1 MODUL HSR
(2) inefisiensi penggunaan dana yang terbatas tersebut,
(3) rendahnya mutu pelayanan kesehatan,
(4) gap antara supply yang didominasi pemerintah dengan "need" dan "demand" masyarakat,
(5) tidak jelasnya peranan swasta dan masyarakat dalam sistem kesehatan
(6) kinerja pembangunan kesehatan secara umum jauh dibawah harapan seperti terlihat
pada angka morbiditas dan mortalitas
(7) transisi epidemiologi yang berkaitan dengan transisi demografi
(8) globalisasi yang meningkatkan mobilitas manusia, barang dan teknologi antara negara
(9) perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang menawarkan alternatif baru untuk
pembangunan kesehatan
7
DHS-1 MODUL HSR
BAGIAN II
PENGERTIAN DAN TUJUAN REFORMASI SEKTOR KESEHATAN
1. Pengertian
atau:
"Reformasi sektor kesehatan adalah proses perubahan kebijakan dan tata kelembagaan
yang mendasar dan berkelanjutan, yang dipandu oleh pemerintah, dengan tujuan
meningkatkan fungsi dan kinerja sektor kesehatan yang pada akhirnya meningkatkan
derajat kesehatan penduduk"
2. Tujuan
Secara umum, tujuan reformasi sektor kesehatan adalah meningkatkan kinerja system
kesehatan. Pada mulanya tujuan reformasi sektor kesehatan seperti dinyatakan oleh Weil2
terbatas pada tiga hal berikut, yaitu:
Dalam perkembangannya, tujuan reformasi sekktor kesehatan tersebut menjadi lebih luas
dan lebih rinci (detail). Sekarang ini, tujuan reformasi sektor kesehatan paling tidak
mencakup enam hal sebagai berikut:
1 Cassels A. Health sector reform: key issues in less developed countries. J Int Devel 1995;7:329-374
2 Weil D.E.C. Advancing tuberculosis control within reforming health systems. Int J Tuberc Lung Dis
2000; 4(7): 597-605
8
DHS-1 MODUL HSR
HSR dan Peningkatan Manajemen (Management Improvement)
Peningkatan manajemen skalanya lebih sempit, yaitu pada unit-unit organisasi kesehatan
termasuk unit administratif dan unit pelayanan kesehatan. Jadi misalnya penyesuaian tarif
pelayanan kesehatan terhadap inflasi biaya, bukanlah suatu HSR. Penggunaan komputer
untuk mengolah data di Puskesmas, juga bukan suatu HSR, akan tetapi lebih tepat disebut
peningkatan sistem manajemen informasi. Penggunaan mesin amano untuk absensi staff
Dinas Kesehatan agar lebih rajin masuk kantor, juga tidak bisa disebut HSR. Demikian
juga, pelatihan staff Dinkes agar mampu menyusun anggaran berbasis kinerja, juga bukan
Health Sector Reform.
Akan tetapi, peralihan sistem anggaran dari "line item budget" yang dulu dikenal dengan
DIP/DIK menjadi "performance budget", yang sekarang dikenal sebagai anggaran berbasis
kinerja, adalah sebuah reformasi sistem anggaran kesehatan pemerintah.
10
DHS-1 MODUL HSR
Untuk keperluan evaluasi HSR, perlu dikumpulkan data dasar (baseline data) yang kelak
bisa dipantau dan dievaluasi, apakah reformasi tersebut telah mencapai tujuan atau tidak.
Dengan perkataan lain, keberhasilan atau kegagalan HSR dapat dinilai dengan cara
membandingkan data dasar dengan data evaluasi.
Prinsip kedua, HSR harus didasarkan pada fakta empiris (evidence based). Misalnya
reformasi sistem pelayanan kesehatan dasar tidak bisa dilakukan atas dasar model yang
belum terbukti dan teruji efektif. Sebagai contoh, sejak lama dipercayai bahwa Growth
Monitoring (GM) dalam program gizi akan meningkatkan status gizi ibu dan anak. Ternyata
dalam evaluasi program di Bangladesh, tidak ditemukan bukti bahwa GM efektif
meningkatkan status gizi ibu dan anak.
Pembuktian secara empiris memerlukan aplikasi metode penelitian ilmiah untuk menjamin
kesahihan atau validitas hasil evaluasi HSR yang dilakukan. Oleh sebab itu, dalam HSR
seringkali diperlukan kegiatan "Operational Resarch", untuk meneliti keberhasilan, kelebihan
dan kekurangan suatu reformasi kesehatan yang dilakukan.
Ini berarti penelitian ilmiah perlu menyertai HSR. Ini dapat dilakukan apabila Operational
Research dilakukan dalam proses HSR tersebut. Untuk tingkat daerah, ada baiknya
dipertimbangkan untuk melibatkan institusi penelitian dalam mendesain dan melaksanakan
OR tersebut. Namun pelaksanaan penelitian ilmiah tersebut belibatkan penyelengara
kesehatan (dalam hal ini Dinas Kesehatan, RSUD dan Puskesmas dan profesi kesehatan).
Keterlibatan tersebut mulai dari perencanaan, pelaksanaan, analisis dan pemanfaatan hasil
penelitian tersebut. Penelitian semacam ini, yaitu melibatkan penyelenggara program -
disebut Penelitian Operasional atau Operational Research (OR).
Oleh sebab itu, reformasi kesehatan hendaknya direncanakan dan dilaksanakan sebagai
suatu paket reformasi dalam konteks sistem kesehatan suatu wilayah, misalnya wilayah
tingkat nasional dan wilayah tingkat daerah. Dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan,
lebih-lebih karena reformasi kesehatan dilakukan dengan dana bantuan/pinjaman luar
negeri yang cenderung hanya menyentuh issue spesifik dan terbatas dalam sub-sistem
kesehatan (misalnya terbatas pada "human resources", "health financing", "health information
system", dll).
12
DHS-1 MODUL HSR
4. Terencana
Oleh sebab itu, reformasi sektor kesehatan harus dimasukkan dalam rencana jangka
menengah (5 tahunan) dan rencana jangka panjang (15 - 25 tahunan) pembangunan
kesehatan nasional dan daerah. Artinya, rencana reformasi kesehatan harus muncul dalam
Renstra kesehatan dan RPJP kesehatan.
Lebih lanjut, rerformasi yang ada dalam Renstra tersebut harus diterjemahkan dalam
rencana tahunan. Seringkali ditemukan "gap" antara substansi Renstra Kesehatan dengan
substansi Rencana Tahunan Kesehatan, terutama kalau:
(1) perencanaan kesehatan bersifat sentralistis dan top down sehingga sulit bagi
daerah untuk menyesuaikan rencana tahunannya dengan Renstra
(2) daerah mempunyai Renstra yang tidak berorientasi pada enam tujuan reformasi
yang disebutkan dimuka
(3) rencana program kesehatan didorong oleh proyek-proyek yang bersifat partial
dan fragmented
5. Berkelanjutan
Prinsip selanjutnya adalah keberlanjutan atau sustainability. Prinsip ini masih merupakan
masalah besar dalam pelaksanaan reformasi sektor kesehatan di Indonesia. Sebagian besar
reformasi sektor kesehatan dilakukan dengan dana proyek (hibah atau pinjaman), yang
sejak awal desainnya adalah partial dan fragmented. Artinya, proyek tersebut hanya
menyangkut elemen tertentu dalam sistem kesehatan. Sehingga waktu proyek tersebut
selesai, reformasi yang dikembangkan tidak bisa dilanjutkan karena hambatan ada pada
elemen lain dalam sistem kesehatan yang tidak disentuh dalam design reformasi tersebut.
Misalnya, sebuah proyek untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan menuntut
komitmen waktu yang lebih banyak dari tenaga medis yang melaksanakan pelayanan.
Seharusnya reformasi "mutu" tersebut juga menyentuh aspek reformasi "remunerasi"
(pendapatan) staff. Karena kalau tidak ada reformasi dalam hal remunerasi, maka sistem
peningkatan mutu tersebut tidak bisa berkelanjutan.
Masalah keberlanjutan reformasi juga diamati pada perubahan dalam penggunaan teknologi
canggih dan mahal, yang hanya bisa beroperasi selama dana proyek mendukung biaya
operasional dan pemeliharaan alat-alat canggih tersebut.
13
DHS-1 MODUL HSR
Oleh sebab itu, analisis kelayakan ekonomis sangatlah penting dalam memilih dan
merencanakan reformasi sektor kesehatan. Apakah tersedia SDM yang cukup untuk
melanjutkan reformasi tersebut? Apakah tersedia anggaran yang cukup (APBN dan APBD
atau dana masyarakat) untuk mengadopsi dan melanjutkan reformasi tersebut? Inilah
pertanyaan mendasar yang perlu dijawab untuk menilai apakah suatu pilihan dan rencana
reformasi dapat berkelanjutan.
6. Fleksibel
HSR bukan pemaksaan perubahan kedalam sistem kesehatan. HSR adalah proses untuk
meningkatkan kinerja sistem atau program kesehatan yang diukur dengan 6 indikator
seperti telah disampaikan dimuka, yaitu (a) equity, (b) quality/effectiveness, (c) efficiency,
(d) acceptability, (e) fairness, dan (f) affordability/sustainabiity). Dengan perkataan lain,
HSR adalah proses melakukan "scalling up" (peningkatan kinerja) sistem yang sudah ada.
Oleh sebab itu, bisa saja perubahan tersebut berbeda dari desain awal ataupun berbeda
dari desain yang dibuat secara "top down". Artinya, dalam pelaksanaan HSR harus diterima
kenyataan bahwa reformasi yang dilakukan bisa berbeda antara daerah. Namun tujuannya
tetap sama, yaitu ke enam indikator diatas.
7. Keterlibatan stakeholders
Pertanyaan tentang siapa sebetulnya yang mendorong reformasi kesehatan adalah pertanyaan
kritis yang sering dilontarkan dalam forum-forum reformasi kesehatan. Ada sinyalemen
yang mengatakan bahwa banyak reformasi yang dilakukan adalah "donor driven",
"government driven", "supplier driven", "technology driven", "specialist driven", atau
bahkan "official driven" ("pejabat" driven). Kritik-kritik tersebut menyatakan bahwa
reformasi demikian selain sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, juga mahal,
boros, tidak sustainable dan tidak membangkitkan rasa memiliki (sense of belonging) dan
rasa tanggung jawab (sense of responsibility).
Oleh sebab itu, reformasi kesehatan harus menampung kebutuhan dan aspirasi semua
stakeholder, terutama masyarakat/penduduk sebagai "beneficiaries" (penerima manfaat)
program dan pelayanan kesehatan. Pertama, reformasi kesehatan harus didasarkan pada
"un-met need" masyarakat, yaitu menyangkut masalah penyakit, menyangkut akses
(ekonomi, jarak dan budaya), menyangkut mutu (termasuk kepuasan). Kedua, reformasi
sektor kesehatan sebaiknya merefleksikan aspirasi masyarakat misalnya menyangkut
sistem pembiayaan yang berkeadilan, pelayanan yang manusiawi, dll.
14
DHS-1 MODUL HSR
profesi. Pemerintah harus menjamin agar reformasi apapun yang dilakukan dan siapapun
yang melakukannya, tidak menyimpang dari enam tujuan dan norma reformasi sektor
kesehatan seperti telah disampaikan dimuka.
15
DHS-1 MODUL HSR
BAGIAN IV
AREA REFORMASI KESEHATAN DALAM KONTEKS DESENTRALISASI
Reformasi yang dilakukan dibanyak negara sangat beragam. Bahkan di Indonesia juga
sangat banyak jenis reformasi yang dilakukan. Secara umum, reformasi tersebut menyentuh
hampir semua aspek dalam sistem kesehatan suatu negara.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut, reformasi kesehatan yang selama ini telah dilakukan
dapat dikelompokkan dalam 5 area, seperti diringkaskan dalam diagram berikut; (dengan
beberapa contoh dalam masing-masing area):
Program/ Sasaran
Sumberdaya Sistem
pelayanan (beneficiaries)
pelayanan
*Pembiayaan *Miskin
*SDM *Pelayanan essensial
*Reformasi RS, *Nyaris miskin
*Technologi *SPM
*Reformasi PHC *Rentan
*Obat/bahan *MTBS
*Otonomi *Terpencil
*Dll *Dll
*Publ/private mix *Dll
*Outsourcing
*Dll Ascobatg/02
Secara garis besar - seperti tergambar dalam diagram diatas - ada 5 area reformasi sektor
kesehatan, yaitu:
(1) Reformasi kebijakan dan administrasi kesehatan
(2) Reformasi sumberdaya kesehatan
(3) Reformasi paket pelayanan kesehatan
(4) Reformasi sistem penyampaian pelayanan kesehatan
(5) Reformasi target/sasaran pelayanan/program kesehatan
16
DHS-1 MODUL HSR
Berikut ini disampaikan contoh reformasi dalam ke lima area tersebut, yang umumnya
dilakukan di banyak negara, termasuk di Indonesia.
1. Pergeseran paradigma (misalnya: dari supply ke demand side approach; dari kuratif
ke preventif; kesehatan sebagai investasi, dll)
2. Desentralisasi (desentralisasi kewenangan, desentralisasi fiskal)
3. Kemandirian, misalnya membatasi dana pinjaman maksimum 5% (akhir 1980 sampai
awal 1990)
4. Pemberdayaan masyarakat, misalnya mengikut sertakan wakil masyarakat dalam
sistem kesehatan dengan membentuk Dewan Kesehatan Daerah, dll
5. Redefinisi peran pemerintah: fokus pada barang publik, dari pelaksana (rowing) ke
pengendali (steering), dll
6. Good governance (berbagai reformasi untuk meningkatkan akuntabilitas)
7. Lintas sektor: produk legislatif tentang peran sektor lain, pelaksanaan Amdal dan
ADKL,
8. Pembangunan kesehatan sebagai instrumen reduksi kemiskinan (MDG 2015)
9. Reformasi organisasi: reduksi unit struktural dan peningkatan unit fungsional
.
Reformasi sumberdaya kesehatan
1. Pembiayaan (desentralisasi fiskal dalam sistem pembiayaan pemerintah, pengembangan
asuransi, penerapan anggaran berbasis kinerja, dll)
2. Tenaga/SDM kesehatan (outsourcing, sistem kontrak, produksi, distribusi, dll)
3. Teknologi kesehatan (aplikasi teknologi tepat guna, penggunaan RDT atau "rapid
diagnostic test" untuk malaria, dll)
4. Obat/bahan kesehatan (kemandirian, obat generik, persaingan harga obat, dll)
17
DHS-1 MODUL HSR
Reformasi target prioritas program dan pelayanan kesehatan
18
DHS-1 MODUL HSR
BAGIAN V
LANGKAH-LANGKAH REFORMASI KESEHATAN DITINGKAT DAERAH
Reformasi sektor kesehatan harus terencana. Oleh sebab itu, sistem kesehatan di tingkat
daerah harus dianalisis secara holistik untuk mengetahui kelemahan-kelemahan apa yang
terdapat dalam sistem tersebut dan reformasi apa yang perlu dilakukan. Langkah yang
perlu dilakukan terdiri dari :
1. Perencanaan
Penyusunan rencana reformasi hendaknya adalah bagian dari proses penyusunan Renstra
Kesehatan atau RPJP Kesehatan daerah. Artinya, rencana reformasi harus dibahas sebagai
bagian dari penyusunan rencana berskala agak lama, yaitu jangka menengah (5 tahun)
dan atau jangka panjang (15 - 20 tahun). Reformasi mulai dari perencanaan sampai dengan
evaluasinya biasanya memerlukan waktu lebih dari 1 tahun.
Namun dalam praktek seringkali inisiatif reformasi terjadi dalam bentuk proyek kesehatan
yang "time frame" atau periode waktunya berbeda dari periode waktu RPJM. Dalam hal
ini, perlu ada pembahasan dengan stakeholder RPJM (misalnya Pemda dan DPRD) tentang
inisiatif reformasi yang "baru" tersebut.
Seperti lazimnya perencanaan kesehatan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah analisis
situasi menyeluruh terhadap sistem kesehatan daerah. Tujuan analisis situasi ini adalah
untuk identifikasi masalah yang ada dalam sistem kesehatan tersebut. Langkah berikutnya
adalah melakukan analisis tentang kemungkinan penyebab dari masalah tersebut.
Sebagai ilustrasi, berikut ini disampaikan rencana reformasi sistem kesehatan disuatu
daerah yang berkaitan dengan rendahnya cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
terlatih.
a. Masalah:
- Cakupan K-4 hanya 15% walaupun K-1 mencapai 60%
- Hasil survey khusus menunjukkan 28% ibu hamil dan 20% bayi menderita
malaria
- 75% persalinan ditolong oleh dukun
19
DHS-1 MODUL HSR
b. Penyebab
c. Kemungkinan intervensi:
- Dana kesehatan untuk Gakin dipergunakan untuk subsidi biaya transport ibu
yang akan melahirkan
- Bidan diminta melakukan kunjungan rumah pada trimester terakhir kehamilan
(setiap bumil) untuk melakukan ANC dan menyusun "rencana persalinan"
dengan ibu yang bersangkutan bersama keluarganya
- Bidan diberikan biaya atau alat transport untuk melakukan kunjungan tersebut
- Bidan memberikan insentif uang kepada dukun yang mengirimkan ibu hamil
agar persalinannya ditolong bidan (misalnya dari dana APBD)
- Fasilitas untuk persalinan di Polindes dan Puskesmas ditingkatkan sesuai
standar
- Mengatur sistem remunerasi bidan apabila ia menolong persalinan di fasilitas
Puskesmas
Berbagai macam intervensi tersebut diatas berbeda dari kebijakan dan sistem yang
ada sekarang. Pertanyaannya, perlukah kebijakan dan system yang ada sekarang
dirubah (reform). Menurut kebijakan dan sistem yang ada, pembiayaan kesehatan
untuk penduduk miskin dipergunakan untuk 5 kegiatan pokok, yaitu:
20
DHS-1 MODUL HSR
mencakup semua area seperti telah disampaikan dimuka; seperti disampaikan dalam
matriks berikut:
Area reformasi
Tidak semua jenis intervensi yang sudah diidentifisir harus ditindak lanjuti. Suatu intervensi
perlu selanjutnya dilaksanakan kalau:
Rencana reformasi terdiri dari daftar kegiatan sebagaimana halnya sebuah rencana proyek.
Untuk setiap kegiatan disusun jadwal pelaksanaannya dan juga indikatornya. Pada dasarnya,
sebuah rencana refomasi identik dengan sebuah rencana proyek.
Sebaiknya rencana reformasi dimasukkan sebagai bagian dari rencana strategis, terutama
kalau reformasi tersebut memerlukan waktu beberapa tahun (multi year ). Kalau demikian,
perlu juga disusun rencana implementasinya dalam tahunan (rencana tahunan).
Dalam kenyataan hampir semua kegiatan reformasi sektor kesehatan adalah proyek-proyek
kesehatan yang seringkali dibiayai dengan dana hibah atau pinjaman. Dana hibah dan
21
DHS-1 MODUL HSR
pinjaman ada batas waktunya. Biasanya 5 tahun walaupun cukup banyak proyek kesehatan
yang terpaksa diperpanjang 1 - 3 tahun karena penyerapan dananya tidak lancar. Pengalaman
menunjukkan bahwa banyak proyek yang hasilnya tidak sustainable karena begitu dana
proyek dihentikan, dana dari sistem kesehatan tidak cukupatau tidak ada samasekali untuk
melanjutkan hasil-hasil proyek tersebut.
Oleh sebab itu, dalam perencanaan reformasi sektor kesehatan yang didanai dari bantuan
atau pinjaman berjangka waktu terbatas, pada fase perencanaannya sudah dibuat skenario
"exit strategy". Rencana "exit strategy" adalah rencana menjamin keberlanjutan hasil
reformasi, baik dalam hal pembiayaan, ketenagaan dan komitment.
2. Baseline data
Karena pada dasarnya rencana reformasi mirip dengan rencana sebuah proyek, maka perlu
dikembangkan indikator tertentu untuk keperluan pemantauan (monitoring) dan penilaian
(evaluasi). Sebelum reformasi tersebut dilaksanakan, perlu dikumpulkan data dasar (baseline
data) tentang indikator tersebut, sehingga kemudian bisa dinilai apakah ada perubahan
yang terjadi setelah reformasi dilaksanakan.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan reformasi sebaiknya merupakan bagian integral dari sistem yang berlaku atau
berjalan. Dengan demikian pelaksanaan reformasi tersebut tidak "artifisial" dan tidak
"ekslusif". Ini penting misalnya dalam sistematika dan prosedur penyusunan dan realisasi
anggarannya.
4. Evaluasi HSR
Tujuan utama evaluasi HSR adalah untuk mengetahui apakah tujuan reformasi tercapai
atau tidak. Untuk evaluasi ini kadang-kadang perlu dilakukan sebuah penelitian khusus
(Operational Research) yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif: (a) apakah
reformasi tersebut efektif meningkatkan kinerja pembanguan kesehatan, (b) apakah
reformasi tersebut meningkatkan efisiensi, (c) apakah daerah "committed" dan mampu
mengadopsi hasil reformasi tersebut secara berkelanjutan, dll.
22
DHS-1 MODUL HSR
Evaluasi HSR akan menjadi lebih mudah apabila pada tahap awal reformasi dilakukan
pengumpulan data dasar (baseline data). Banyak proyek-proyek kesehatan yang kegiatannya
adalah reformasi sistem kesehatan, akan tetapi tidak melakukan pengumpulan data dasar,
atau kalaupun dikumpulkan, pengumpulan data dasar tersebut tidak dirancang untuk
keperluan evaluasi. Ada pula proyek kesehatan yang mengumpulkan data dasar tersebut
tidak pada awal proyek akan tetapi pada tahun ke 3 setelah proyek berjalan (dari 5 tahun
masa proyek).
Langkah yang sangat penting dalam HSR adalah mengadopsi dan implementasi hasil HSR
menjadi kebijakan yang implementasinya lebih luas. Issue pokok disini adalah "replicability";
yaitu sejauh mana reformasi yang berhasil disuatu lokalitas (daerah) dapat diterapkan
didaerah lain.
Kalau hasil evaluasi menyunjukkan "evidence" yang valid atau meyakinkan bahwa
reformasi tersebut berhasil baik, maka hasil refromasi tersebut dapat diadopsi dalam
kebijakan.
23
DHS-1 MODUL HSR
BAGIAN VI
KRITERIA PEMILIHAN DAN INDIKATOR UNTUK MONITORING DAN
EVALUASI REFORMASI SEKTOR KESEHATAN
Dalam sistem kesehatan yang sedang dalam masa transisi seperti halnya dengan situasi
di Indonesia, banyak sekali topik atau area reformasi yang perlu dilakukan. Namun perlu
diingat bahwa reformasi kesehatan adalah suatu kegiatan yang relatif "mahal". Umumnya
kegiatan reformasi kesehatan memerlukan sumberdaya yang besar. Oleh sebab itu, dari
sekian banyak kebutuhan reformasi kesehatan, perlu dilakukan pemilihan atau penetapan
prioritas, reformasi apa yang perlu dilakukan.
Dimuka sudah disampaikan adanya 5 area utama reformasi sektor kesehatan. Dalam
masing-masing area ada beberapa topik spesifik yang sudah dan sedang dilakukan di
banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam konteks sistem kesehatan daerah (kabupaten/kota),
proses identifikasi kebutuhan reformasi bisa menghasilkan sejumlah topik yang cukup
banyak, misalnya dalam bidang pembiayaan, ketenagaan, peran serta masyatakat, fasilitas
kesehatan, manajemen kesehatan, peran swasta, dll.
Salah satu pendekatan adalah menelaah reformasi mana yang laik (feasible) untuk dilakukan.
Dengan perkataan lain, mana reformasi yang paling besar kemungkinannya untuk berhasil.
Ini menyangkut issue issue sebagai berikut:
24
DHS-1 MODUL HSR
Sebagai contoh, tabel berikut membantu penetapan prioritas reformasi yang akan dipilih:
Dukungan Dana Expert Indikator
No Pilihan reformasi kesehatan stakeholder tersedia tersedia terukur Waktu Skore
1 Profesional PH (S2) untuk staff Dinkes + + - + + 4
2 Otonomi RS +/- + - - + 2,5
3 Pengembangan asuransi kesehatan + +/- +/- +/- +/- 3,0
4 Penempatan SKM di Puskesmas + + - +/- + 3,5
5 Pelayanan gratis di Puskesmas - +/- - - + 1,5
6 Penerapan paket pelayanan esensial + - + +/- + 3,5
Misalnya hasil analisis sistem kesehatan di suatu daerah mengidentifikasi 6 topik reformasi
kesehatan yang penting dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi. Keterbatasan
kemampuan tidak memungkinkan pelaksanaan semua topik tersebut. Melalui proses
pembahasan dengan stakeholder daerah (Dinas Kesehatan, RSUD, Puskesmas, Pemda,
DPRD, LSM, Toma/Toga), diputuskan topik mana yang menjadi prioritas daerah
bersangkutan. Nilai atau tanda dalam sel-sel tabel/matriks diatas hanyalah alat bantu,
bukan skore untuk mengambil keputusan. Keputusan harus didasarkan pada hasil kesepakatan
atau konsensus, setelah 5 aspek atau kriteria dalam tabel tersebut dipertimbangkan.
Untuk menilai perencanaan dan pemantauan dapat dipergunakan indikator seperti lazimnya
dalam format "logical framework". Yang dipergunakan adalah indikator (1) input, (2)
proses dan (3) output.
25
DHS-1 MODUL HSR
3. Indikator untuk evaluasi
Untuk evaluasi reformasi sektor kesehatan, pertanyaanya apakah tujuan normatif refromasi
tersebut tercapai atau tidak. Untuk itu perlu dikembangkan indikator spesifik untuk masing-
masing tujuan. Dalam tabel berikut disampaikan contoh beberapa indikator yang bisa dan
perlu di kembangkan lebih lanjut.
Seperti terlihat dalam tabel diatas, indicator untuk evaluasi tersebut adalah indicator
"canggih" dalam evaluasi program kesehatan pada umumya. Pengukurannya memerlukan
instrument dan desain penelitian khusus. Oleh sebab itu, disarankan agar evaluasi terhadap
suatu reformasi kesehatan didaerah dilakukan oleh fihak ketiga yang memiliki kemampuan,
khususnya kemampuan dalam hal prinsip dan desain Penelitian Operasional (Operational
Research).
26
DHS-1 MODUL HSR
BAGIAN VII
PENUTUP
Sejarah telah menunjukkan bahwa masalah kesehatan penduduk serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya senantiasa terus berubah. Konsekuensinya, Sistem Kesehatan disuatu
negara dan daerah harus mampu mengakomodir perubahan-perubahan tersebut. Artinya,
system kesehatan juga harus berubah. Namun perubahan tanpa arah dan tujuan dan tanpa
prinsip serta norma yang jelas, akan bermuara pada pemborosan dan kegagalan.
Health Sector Reform adalah suatu cara untuk melakukan perubahan secara terencana,
sistematis dan taat pada prinsip dan norma yang telah disepakati secara umum. Namun
Health Sector Reform bukan proses mudah yang boleh dilakukan secara amatir (tidak
professional). Health Sector Reform juga tidak bisa dilakukan secara terburu-buru, karena
memerlukan pemantauan dan evaluasi secara hati-hati.
Kehati-hatian dalam melakukan Health Sector Reform mutlak diperlukan, karena dampaknya
sangat besar terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah sektor yang mengurusi kesehatan
dan hidup-matinya penduduk.
Contoh-contoh Health Sector Reform yang disampaikan dalam dokumen ini (lihat Box)
menunjukkan bahwa Health Sector memerlukan keakhlian khusus untuk mendesain,
melaksanakan, memantau dan mengevaluasinya serta tidak jarang memerlukan waktu
yang panjang.
Ini bukan berarti Health Sector Reform tidak bisa dilakukan ditingkat Kabupaten/Kota.
Beberapa contoh yang disampaikan adalah reformasi yang di-inisiasi dan dilaksanakan
oleh daerah, walaupun evaluasinya umumnya memerlukan fihak ketiga atau fihak luar.
Oleh sebab itu disarankan agar daerah mempertimbangkan keterlibatan para akhli dalam
pelaksanaan Health Sector Reform tersebut.
27
DHS-1 MODUL HSR
DAFTAR PUSTAKA
1. Cassels, Andrew: Health Sector reform: Key Issues in Less Developed Countries.
WHO, Geneva, July, 1995.
2. Saltman, Richard. Applying Planned Market Logic to Developing Countris Health
System: An Initial Exploration. WHO, Geneva,1995.
3. Jeffers, James R: Pengaruh Faktor Penawaran, Permintaan dan Ekonomi Sosial terhadap
Kebijaksanaan Kesehatan. Prisma, No. 6, XIX, 1990.
4. Ascobat, G: Mobilisasi Dana Kesehatan. Prisma, No. 6, XIX, 1990.
5. The Privatization Council: Public-Private Partnerships in Health Care. Conference
Report, Kuala Lumpur, February-March, 1989.
6. WHO: Interregional Meeting on The Public/Private Mix in National Health System
and the Role Of Ministry of Health. Cocoyoc, Mexico, July 1991.
7. Ascobat G. Reformulation and redistribution of functions in Health Sector Reform.
WHO Technical Consultation of Experts on Health Sector Reform. Non-Aligned
Countries Movement. Cartagena, Colombia. February 9-21, 1997.
8. Berman, Peter (Ed). Health Sector Reform in Developing Countries. Havard University
Press, Boston, 1995.
9. Ascobat Gani. Improving Quality in Public Hospital in Indonesia. Int. Journal of
Health Planning and Management. Vol 11, 1996.
10. Ascobat G. Proposed Health Sector Adjustment to Protect the Healh of thee Poor and
the Vulnerble. Seminar on Policy Reform to Minimize the Impact of the Economic
Crisis. Badan Litbang Depkes RI dan UNICEF, Jakarta, July 15, 1998.
11. Hossain, SM et al. An evaluation of the impact of a US$60 million nutrition program
in Bangladesh. Health Policy and Planning; 20 (1): 35-40, 2005
1. Berman, Peter (Ed). Health Sector Reform in Developing Countries. Havard University
Press, Boston, 1995.
2. Cassels, Andrew: Health Sector reform: Key Issues in Less Developed Countries.
WHO, Geneva, July, 1995.
28
DHS-1 MODUL HSR
BAHAN UNTUK BOX
BOX-1
Reformasi paradigma pembangunan kesehatan
Sejak 1980-an, pada tingkat global terjadi perkembangan dan perubahan paradigma (cara
pandang) tentang pembangunan kesehatan. Perubahan paradigma tersebut berkembang
secara empiris di banyak negara dan di "endorsed" oleh badan-badan dunia seperti WHO,
Unicef, Bank Dunia, UNDP, dll. Beberapa reformasi paradigma yang perlu digaris bawahi
adalah sebagai berikut:
Reformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia telah berlangsung sejak lama, dimulai
dari upaya mengembangkan Dana Sehat (Community Health Financing) selama decade
1970-an. Upaya tersebut tidak begitu berhasil, paling tidak dalam hal efektivitasnya
memobilisasi dana kesehatan secara bermakna. Pada tahun 1982, Depkes mengambil
inisiatif mengembangkan sistem asuransi kesehatan, yang konsepnya dikenal sebagai
DUKM (Dana Upaya Kesehatan Masyarakat). Pada tahun 1989, melalui proyek "Health
Sector Financing" yang dibiayai oleh USAID, konsep DUKM dijabarkan menjadi lebih
operasional yang dikenal sebagai JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat)
(UU N0. 23/1992). Sejak itu banyak Bapel (Badan Penyelenggara) JPKM dibentuk. Dalam
tahun 2000-an, secara sistematis dikembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
yang kemudian diundangkan dalam UU SJSN (tahun 2004).
Uraian diatas adalah sebuah contoh reformasi sistem pembiayaan kesehatan yang secara
bertahap berkembang dari Dana Sehat (terbatas, sukarela), menjadi DUKM (masih
konsepsual, terbatas dan sukarela), JPKM (sudah operasional, juga terbatas dan sukarela)
dan akhirnya SJSN (menyeluruh atau universal coverage dan wajib). Perlu dicatat bahwa
setelah kebijakan otonomi daerah diterapkan, banyak inisiatif local berupa pengembangan
system pembiayaan ditingkat daerah. Inisiatif local tersebut bervariasi. Sebagai contoh
JKJ Jembrana, Jamkesos Tobasa (Toba Samosir), Pelayanan Primer Gratis di Medan,
Batam, dll
Pada tahun 1980-an sudah diketahui bahwa sistem anggaran pemerintah melalui mekanisme
DIP (Daftar Isian Proyek) dan DIK (Daftar Isian Kegiatan) bukan sistem anggaran yang
baik karena (a) anggaran investasi yang ada dalam DIP tidak berkaitan dengan anggaran
operasional yang ada dalam DIK, (b) orientasinya adalah pengadaan input (line item) yang
tidak berkaitan dengan kinerja tertentu yang akan dicapai. Dengan system anggaran seperti
itu, program-program kesehatan mengalami kekurangan anggaran operasional, yaitu untuk
membiayai kegiaan langsung pada tingkat masyarakat. Pada tahun 2002 dilakukan
reformasi terhadap sistem anggaran tersebut, yaitu dengan keluarnya Kepmendagri No.
29/2002 (yang kemudian diperbaharui dengan Permendagri No. 13/2006 dan selanjutnya
diperbaharui lagi dengan Permendagri No. 59/2007). Sejak itu diberlakukan sistem
anggaran berbasis kinerja, dengan ciri sebagai berikut:
a. Setiap anggaran berhubungan dengan kinerja tertentu yang akan dicapai dengan
indikator kinerja yang jelas
b. Ada klasifikasi yang jelas antara anggaran langsung (pelayanan langsung kepada
masyarakat) dan anggaran tidak langsung (membiayai kegiatan penunjang/
manajemen)
Diharapkan dengan sistem anggaran berbasis kinerja ini, kebutuhan biaya operasional dan
biaya langsung untuk melayani masyarakat akan tercukupi. Asumsinya adalah bahwa
anggaran biaya operasional dan biaya langsung akan memacu kinerja pelayanan dan
program kesehatan.
"Contracting out" sudah lama disarankan dalam reformasi kesehatan dan Indonesia sudah
melaksanakannya sejak awal tahun 1990-an, yaitu dengan kebijakan mengontrak dokter
untuk bekerja di Puskesmas dan mengontrak bidan untuk bekerja di desa. Semula, sejak
1975 diberlakukan "dokter Inpres" (Instruksi Presiden), dimana semua dokter yang baru
lulus wajib bekerja di Puskesmas selama 5 tahun (di daerah tidak terpencil seperti Jawa
dan Bali pada umumnya) dan 3 tahun didaerah terpencil (luar Jawa dan Bali pada umumnya).
Kebijakan ini telah berhasil memeratakan distribusi dokter ke sebagian besar wilayah
Indonesia. Namun sistem ini menyebabkan jumlah tenaga kesehatan dengan status PNS
meningkat dari tahun ke tahun, bertentangan dengan trend global untuk mengurangi tenaga
sektor public seperti disarankan dalam konsep "re-inventing government". Penambahan
jumlah PNS menyebabkan beban anggaran pemerintah, terutama untuk biaya pensiun dan
tunjangan-tunjangan hari tua. Sistem dokter kontrak selama 3 tahun, yang dikenal sebagai
dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) menggantikan sistem Inpres cukup berhasil memeratakan
distribusi dokter ke hampir semua Puskesmas.
Sistem kontrak juga diberlakukan untuk penempatan Bidan di desa. Alasan pokok kebijakan
ini adalah karena secara empiris sudah terbukti bahwa sekitar 76% variasi kematian ibu
diantara negara didunia, ditentukan oleh persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
terlatih. Demikian juga, data empiris di Indonesia menunjukkan bahwa 35% variasi angka
kematian bayi ditentukan oleh persalinan oleh tenaga telatih. Sampai akhir 1998, sekitar
56.000 bidan berhasil ditempatkan di desa-desa.
Namun kedua kebijakan tersebut, yaitu dokter PTT dan Bidan PTT, mengalami kemunduran
setelah terjadi krisis ekonomi dan setelah kebijakan desentralisasi diterapkan. Hal ini
disebabkan, selain semakin sulitnya ekonomi penduduk (dokter dan bidan juga mendapat
tambahan penghasilan dari praktek), juga tidak jelasnya peran dan tanggung jawab
pemerintah daerah dalam membiayai dokter PTT dan bidan PTT. Khusus untuk bidan,
faktor lain yang menyebabkan penyusutan jumlah/keberadaannya di desa adalah karena
usianya rata-rata masih muda (setelah mendapat pasangan ikut suami) dan masih kuatnya
demand masyarakat terhadap pelayanan dukun bayi.
Pengembangan sistem remunerasi, kejelasan peran dan tanggung jawab daerah, peningkatan
kemampuan klinis, adalah beberapa issue yang menjadi tantangan kedepan dalam
melanjutkan reformasi ketenagaan melalui sistem kontrak ini.
Pelaksanaan SPM mengalami hambatan karena banyak daerah tidak mampu membiayai
semua jenis program dan pelayanan yang ada dalam Kepmenkes No.1457/2003 tersebut.
Memang belum ada kejelasan apakah pusat perlu membantu daerah yang tidak mampu
menyediakan seluruh biaya SPM. Ketidak jelasan ini antara lain disebabkan PP tentang
SPM belum dikeluarkan, karena kementerian/lembaga lain sampai 2006 belum juga selesai
merumuskan SPM-nya masing-masing.
Dalam sektor kesehatan sendiri dilakukan pembahasan lebih lanjut tentang SPM. Dinilai
bahwa 31 jenis program/pelayanan terlalu banyak. Sementara itu pada tahun 2004 terjadi
perubahan tentang UU Desentralisasi, yaitu dikeluarkannya UU No,. 32 dan 33/2004
menggantikan UUN0. 22 dan 25/1999. Dalam UU No, 32/2004 disebutkan bahwa SPM
harus mencakup program/pelayanan yang:
Dengan evaluasi SPM versi pertama serta pertimbangan terhadap pesan UU No. 32/2004
tersebut diatas, Depkes RI sampai akhir 2006 telah menyusun draft daftar SPM yang lebih
sederhana, yaitu terdiri dari 8 program dengan 28 indikator. Sampai awal 2007 proses
penyempurnaan SPM tersebut masih berlangsung.
Keputusan untuk menempatkan bidan di desa-desa didasarkan pada data empiris bahwa
kematian ibu terutama (70%) disebabkan oleh perdarahan, eklampsia dan infeksi. Selain
itu, kematian bayi - yang sebagian besar terjadi pada usia neonatal - terutama disebabkan
oleh asfiksia/pneumonia. Dengan adanya bidan didesa, diharapkan persalinan akan ditolong
oleh tenaga terlatih, sehingga sebab-sebab kematian tersebut dapat ditangani langsung,
atau cepat dirujuk apabila bidan tidak mampu mengatasinya. Dengan strategi ini diharapkan
angka kematian ibu dan bayi dapat diturunkan lebih cepat.
Di Kabupaten Siak, 21,4% persalinan masih ditolong oleh dukun, setara dengan 1.800
persalinan. Pada tahun 2005, tercatat 101 kematian bayi dan 16 kematian ibu. Pada tahun
itu pula, dikembangkan program kemitraan dukun-bidan, yaitu dicapainya kesepakatan
(MoU) antara Bidan dan Dukun yang disaksikan oleh Camat dan Kepala Desa. Isi
kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut:
- Setiap dukun yang menolong persalinan wajib melapor ke bidan untuk registrasi,
pendampingan dan rujukan apabila terjadi penyulit persalinan.
- Kepada dukun diberikan biaya transport sebesar Rp 10.000 untuk setiap kali
melapor. Apabila dukun merujuk ibu hamil ke bidan untuk mendapat pertolongan
persalinan oleh bidan bersangkutan, maka dukun tersebut akan diberikan insentif
yang besarnya bervariasi antara kecamatan, yaitu antara Rp 100.000 sampai Rp
150.000.
- Apabila dukun tidak melapor dan melakukan penolongan persalinan, akan dikenakan
denda, yaitu membayar sebesar 50% dari besar insentif yang seharusnya ia terima.
- Dana untuk transport dan insentif dukun tersebut disediakan dari APBD Kabupaten
Siak.
- Sebulan sekali diadakan pembinaan dukun di Puskesmas, yang melibatkan Camat
dan staff Puskesmas.
Sampai dengan pertengahan tahun 2006, tercatat beberapa perubahan positif, yaitu:
persalinan oleh tenaga kesehatan naik dari 76,8% menjadi 80.05%, cakupan pemberian
tablet Fe (3x) naik dari 72,8% menjadi 75,6%, dan cakupan K4 naik dari 88,6% menjadi
89,9%.
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dari reformasi diatas, yaitu (a) adanya partisipasi
dari fihak-fihak yang terlibat dalam pelayanan masyarakat, yaitu dukun, bidan, kepala
desa, Puskesmas dan Camat, (2) adanya komitmen politis dari Bupati dan Camat, (2)
adanya komitmen anggaran berupa alokasi APBD, dan (3) pembinaan teratur kepada
dukun.
Kabupaten Jembrana, Bali, mempunyai penduduk sebanyak 253.503 jiwa, yang terdiri
dari 68.817 KK. Sebanyak 6.999 KK (10,2%) termasuk keluarga miskin. Untuk menjamin
akses dan mutu pelayanan bagi seluruh penduduk pada tahun 2002 dikembangkan system
Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) melalui SK Bupati No. 672/2002, yang kemudian
dikukuhkan melalui Perda No. 3/2006 tentang Jaminan Pemeliharaan Sosial Daerah
Kabupaten Jembrana. Bapel JKJ sudah aktif sejak 2003.
Peserta JKJ adalah seluruh penduduk yang memiliki KTP Jembrana dan kepada mereka
diberikan kartu JKJ. Pemegang kartu JKJ berhak mendapat pelayanan rawat jalan gratis
disemua PPK tingkat-1, baik di sarana pelayanan Pemerintah maupun Swasta seperti
bidan, dokter, dokter gigi dan dokter spesialis praktek swasta serta poliklinik Balai
Pengobatan dan RS swasta. Khusus untuk pelayanan di Bidan hanya berlaku pelayanan
Ante Natal Care dan KB. Sedangkan untuk pelayanan persalinan dan pelayanan rawat
inap peserta membayar sesuai dengan tarif yang berlaku kecuali yang bersangkutan
mengikuti program JKJ tahap berikutnya.
Keluarga miskin dibebaskan dari seluruh biaya pengobatan dan perawatan baik di sarana
pelayanan rawat jalan Pemerintah dan swasta maupun sarana pelayanan rawat inap
Pemerintah. Bagi keluarga miskin yang melahirkan di bidan praktek swasta biayanya
ditanggung sesuai dengan ketentuan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin,
termasuk biaya transportasi dari rumah ketempat melahirkan.
Pembiayaan JKJ bersumber dari pengalihan subsidi pemerintah untuk biaya obat-obatan
RS dan Puskesmas, yang jumlahnya mencapai Rp 3,5 milyar/tahun. Sumber lain adalah
dana JPKMM yang berasal dari APBN. Pembayaran kepada PPK dilakukan secara "fee
for services" sesuai dengan tarif yang ditetapkan oleh Pemda.
JKJ adalah sebuah contoh reformasi system pembiayaan kesehatan di sebuah Kabupaten,
yang menerapkan salah satu prinsip SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), yaitu cakupan
menyeluruh (universal coverage). Sekaligus dilakukan reformasi sistem pelayanan kesehatan,
yaitu melibatkan provider swasta sebagai PPK.
Dari analisis data Susenas 2000 dan 2005 terlihat adanya kenaikan utilisasi rawat jalan
serta kenaikan Contraceptive Prevalence Rate (CPR) dan persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan. Evaluasi yang lebih mendalam masih perlu dilakukan untuk melihat
mutu (kepuasan pasien) dan kepuasan PPK, terutama PPK milik swasta.
Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan dasar di desa-desa terpencil dan sulit
dijangkau di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, dikembangkan Bakesra (Balai
Kesehatan Rakyat) yang didukung dengan Akesra (Asuransi Kesehatan Rakyat). Bakesra
dikelola oleh tenaga berstatus tidak tetap yang diangkat dengan SK Kepala Dinas Kesehatan.
Tenaga tersebut bervariasi, terdiri dari Akademi Perawat, Akademi Kebidanan dan Sekolah
Perawat Kesehatan. Pelayanan yang diberikan di Bakesra terdiri dari (1) Promosi kesehatan,
(2) KIA dan gizi, (3) Pengobatan dasar dan (4) Rujukan medik. Gedung Bakesra dibangun
dengan dana dari Pemerintah Daerah. Sampai 2006 sudah ada sebanyak 45 Bakesra di
Kolaka, atau menggunakan rumah penduduk setempat yang dimodifikasi menjadi Bakesra.
Untuk biaya operasional Bakesra, dikembangkan Akesra. Namun sampai 2006 Akesra
tersebut baru dikembangkan di 2 desa. Di dua desa tersebut, setiap keluarga membayar
uang muka sebesar Rp 10.000 dan iuran/premi sebesar Rp 5.000 per bulan. Besar uang
muka dan iuran tersebut merupakan kesepakatan yang dicapai dalam forum rembug desa.
Uang yang terkumpul dikelola oleh Komite Kesehatan Desa.
Catatan selama 12 bulan (2004) menunjukkan bahwa dari 30 Bakesra yang datanya tersedia,
kunjungan berobat rata-rata adalah 259/tahun atau 1 kunjungan per hari, dengan variasi
terendah sebanyak 78 kunjungan dan tertinggi 1.545 kunjungan. Penyakit terbanyak adalah
ISPA, diare, malaria dan lain-lain. Cakupan K1 dan K4 selama 2004 masing-masing adalah
47,47% dan 47.8%. Pertolongan persalinan di desa 30 Bakesra tersebut adalah 44.4% oleh
bidan, 34.2% oleh dukun dan 21,4% oleh tenaga lainnya. Pelayanan gizi yang dilaksanakan
adalah pemberian Vitamin A dengan sasaran bayi, balita dan ibu masa nifas. Selain itu
juga ada pemberian makanan tambahan (PMT)
Contoh diatas adalah sebuah reformasi untuk meningkatkan akses pelayanan bagi penduduk
desa terpencil dan sulit dijangkau. Evaluasi komprehensif masih perlu dilakukan untuk
melihat perkembangan tingkat utilisasi pelayanan serta peranan dana Akesra dalam
menunjang biaya operasional Bakesra. Hasil analisis data Susenas 2000 dan 2005 untuk
beberapa indikator penting disampaikan dalam tabel berikut.
Beberapa indikator menurut data Susenas 2000 dan 2005, Kabupaten Kolaka, Sulawesi
Tenggara.
Indikator 2000 2005 Perubahan
CPR 52.8% 54.5% + 2.7%
Persalinan oleh tenaga kesehatan 33.8% 51.1% + 17.3%
Penduduk sakit yang berobat jalan 23.4% 29.3% + 5.9%
Kurang gizi balita (berat menurut umur) 31.6% 31.9% + 0.3%
Sampai dengan tahun 2000 perencanaan kesehatan di Indonesia dilaksanakan secara "top
down" dan sentralistis. Kabupaten/Kota berfungsi sebagai rencana kesehatan yang ditetapkan
oleh Pusat. Peranan pusat sangat dominan, antara lain karena 75% anggaran kesehatan
daerah berasal dari pusat. Banyak kekurangan dari sistem sentralistis dan top down tersebut.
Ada program tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Kalaupun sesuai, target
yang ditetapkan tidak sesuai masalah dan kapasitas daerah. Selain itu, sistem sentralistis
dan "top down" juga tidak mendorong perkembangan kemampuan manajemen di daerah.
Pada tahun 1994, dikembangkan sistem perencanaan kesehatan daerah yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut: "bottom up", komprehensif, menggunakan data daerah berbasis
fasilitas dan berbasis populasi, terintegrasi dan menggunakan perhitungan anggaran berbasis
kinerja. Sistem perencanaan tersebut disebut Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan
Terpadu atau P2KT (dalam bahasa Inggris disebut Integrated Health Planning and Budgeting
atau IHPB).
Perbedaan P2KT dengan sistem perencanaan kesehatan daerah dimasa lalu disampaikan
dalam tabel berikut:
P2KT telah mengalami beberapa kali revisi sejalan dengan perkembangan desentralisasi
di Indonesia. Revisi tersebut dilakukan sebagai bagian dari proyek DHS 1. Edisi terakhir
(2007) telah disesuaikan dengan UU No. 25 tentang perencanaan Pembangunan serta
Kepmendagri No. 13/2006 tentang penyusunan RKA (Rencana Kerja dan Anggaran)
berbasis kinerja.
P2KT telah dilatihkan di banyak Propinsi termasuk seperti disampaikan dalam tabel berikut.
Rangkuman hasil evaluasi terhadap butir-butir diatas disampaikan dalam tabel berikut:
Elemen P2KT & Pemanfaatannya Ya Tidak Tak Jelas
1 Analisis situasi 50 2 1
2 Penentuan target 49 3 1
3 Penentuan kegiatan 49 3 1
4 Penggunaan indikator 49 3 1
5 Analisis kebutuhan biaya 45 7 1
6 Penganggaran berbasis kinerja 52 1 1
7 Advocacy rencana dan anggaran 50 2 1
8 Peningkatan alokasi anggaran kesehatan 42 11 0
9 Kecukupan biaya operasional 38 15 0
10 Penggunaan untuk Monev 50 3 0
Total 474 50 7
% 89.3% 9.4% 1.3%
Pada tanggal 10 Maret 2006 dicanangkan Gerakan Hidup Sehat Ramah Lingkungan di
Kota Bitung, Sulawesi Tengah. Pencanangan tersebut dilakukan oileh Walikota Bitung,
dilandasi oleh pertimbamgan-pertimbangan berikut:
Tujuan gerakan ini adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kota Bitung
dengan mewujudkan Kota Bersih, Indah dan Sehat serta masyarakat yang hidup dengan
pola ramah lingkungan
Persiapan dan kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan gerakan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Diterbitkannya SK Walikota dan Perda yang mendukung program Kota Sehat
- Membentuk Tim atau Forum Kota Sehat
- Membentuk Presidium Gerakan Hidup Sehat Ramah Lingkungan di Kota
Bitung
- Pembentukan Tim Pembina Kota Sehat
- Membentuk Komite Pembangunan Kesehatan
- Menunjuk Dinas /Badan penanggung jawab lokasi kebersihan lingkungan
Semua kegiatan tersebut didukung oleh dana dari berbagai sumber, termasuk
(1) DHS-1 ADB : Biaya Sosialisasi/Advokasi dan Pelatihan
(2) APBD : Biaya operasional, pengangkatan/kontrak tenaga
(3) Masyarakat : Pembiayaan pelayanan, Dana sehat
Evaluasi pada tahun 2007 sudah menunjukkan hasil positif dari Gerakan Hidup Bersih
dan Ramah Lingkungan di Kota Bitung. Beberapa hasil yang menonjol adalah sebagai
berikut:
1. Kota Bitung dianugerahi ADIPURA sebagai Kota Kecil terbersih oleh Presiden RI
pada tahun 2007
2. Peran serta masyarakat meningkat dalam menjaga kebersihan lingkungan
3. Angka kesakitan yang menurun
2500
2000
1500 2005
2006
1000
2007
500
0
DBD MALARIA DIARE ISPA
Hasil lain dari gerakan hidup bersih tersebut termasuk hal-hal berikut :
- Angka Sekitar 90% keluarga miskin/rentan sudah dapat pelayanan kesehatan dasar
- Keluhan masyarakat pada pelayanan kesehatan semakin berkurang
- Kepedulian masyarakat/swasta terhadap upaya kesehatan di Kota Bitung makin
berkembang antara lain pembentukan Dana Sehat, Komite Kesehatan, Badan Penyantun
Puskesmas, PP Partnership.
- APBD untuk bidang kesehatan mulai naik
- Adanya Perda yang mendukung program kesehatan
- Penambahan tenaga yang berkompeten
Beberapa masalah dalam pengumpulan dan pengadaan data kesehatan termasuk penggunaan
format yang terlalu banyak yang membingungkan penyedia dan pengumpul data. Berbagai
format tersebut menghasilkan informasi yang berbeda, pengisiannya tidak lengkap dan
penririmannya tidak tepat waktu (terlambat).
Dalam tabel berikut disampaikan kegiatan yang telah dilakukan untuk mengembangkan
Simkesda tersebut serta sumber pembiayaan untuk masing-masing kegiatan tersebut.
Kegiatan SIMKESDA dilakukan secara bertahap. Uji coba prototype SIK tersebut dilakukan
di Puskesmas Densel II (Sanur) dan Mengwi pada tahun 2004 dan 2005. Pada tahun 2006
dikembangkan di 10 Puskesmas dan pada tahun 2007 di 13 Puskesmas (lihat tabel berikut)
Dalam tabel berikut disampaikan evaluasi Simkesda di salah satu Puskesmas percontohan
(Densel II).
Sasaran utama pelayanan kesehatan reproduksi remaja ini adalah pelajar SLTP (2.353)
dan SLTA (2.647). Jenis pelayanan yang diberikan termasuk pembinaan dan pelayanan
kesehatan melalui Puskesmas, pelayanan konseling dan penyuluhan tentang kesehatan
reproduksi.
(a) Persentase remaja putra dan putri yang mendapat penyuluhan tentang kesehatan
reproduksi
(b) Persentase remaja putra dan putri yang mendapat pelayanan kesehatan
(c) Jumlah remaja putra dan putri yang mendapatkan pelayanan konseling
Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan adalah unit utama yang menggerakkan pengembangan
pelayanan kesehatan reproduksi remaja tersebut, bekerja sama dengan sektor-sektor lain
termasuk:
(1) Bappeda
(2) Dinas Pendidikan
(3) Tim Penggerak PKK
(4) BKKBN
(5) Jaringan LSM
Gagasan untuk melakukan peningkatan mutu pelayanan di Sulawesi Tengah melalui TQM
(Total Quality Management) didorong oleh kritik masyarakat terhadap mutu pelayanan
Puskesmas yang disampaikan dalam mass media pada bulan April 1999. Sebagai respons,
Kepala Dinas Kesehatan melakukan orientasi dan pelatihan TQM kepada staff Puskesmas,
bekerja sama dengan FK-UGM. Pelatihan tersebut diberikan kepada 135 Puskesmas,
termasuk 12 Puskesmas di Kota Palu. Pelatihan tersebut melibatkan semua staff Puskesmas.
Peningkatan mutu melalui TQM tersebut juga ditunjang dengan peningkatan mutu fisik
dan peralatan Puskesmas yang didukung oleh proyek DHS-1, khususnya mulai tahun
2002.
Indikator hasil TQM (tidak Iangsung) Susenas 2000 Susenas 2005 Kenaikan
1 % orang sakit yang berobat (RI atau RJ) 32.70% 45.70% 13.00%
2 % perempuan 15-49 th ber KB 40.60% 49.40% 8.80%
3 % persalinan ditolong tenaga kesehatan 78.90% 87.60% 8.70%
4 % cakupan immunisasi campak 67.10% 89.60% 22.50%
Tabel diatas menunjukkan adanya perbaikan utilisasi beberapa jenis pelayanan yang dapat
diasumsikan juga disebabkan oleh adanya peningkatan mutu pelayanan di Kota Palu.
Apakah TQM sebagai salah satu reformasi pelayanan kesehatan di Sulawesi Tengah efektif
secara keseluruhan ? Ternyata hasilnya beragam. Persentase orang sakit berobat naik di
Banggai, Poso dan Toli-toli, akan tetapi menurun di Donggala. Penggunaan kontrasepsi
naik di Banggai, Poso dan Donggala, akan tetapi menurun di Toli-toli. Demikian juga,
persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan megalami kenaikan di Banggai,
Poso dan Donggala, dan mengalami penurunan di Toli-toli. Sedangkan cakupan immunisasi
campak naik di Poso akan tetapi mengalami penurunan di Banggai, Donggala dan Toli-
toli.
Hasil yang beragam seperti disampaikan diatas menunjukkan perlunya memonitor dan
evaluasi pelakanan TQM di daerah-daerah tersebut. Kalau TQM akan diperlakukan sebagai
salah satu reformasi pelayanan kesehatan di Sulawesi Tengah, maka perlu diperhatikan
konsistensi dan pelatihan dan pelaksanaanya secara berkelanjutan.
Pada awal tahun 1980 telah dikemukakan bahwa RS milik pemerintah mengalami ketidak
cukupan biaya operasional. Secara teoretis, sebetulnya RS bisa mengatasi masalah tersebut
dengan meningkatkan pendapatannya, yaitu melalui mekanisme tarif dan peningkatan
utilisasi. Namun hal tersebut sulit dilakukan RS. Pertama, tarif RS, khsususnya RSUD,
ditetapkan melalui Perda yang seringkali diwarnai oleh kebijakan populis untuk menekan
tarif serendah mungkin, walaupun ada segmen masyarakat yang sebetulnya mampu
membayar lebih tinggi. Kedua, ICW (Indische Compatabilet Wet) yang dikeluarkan dalam
tahun 1920-an oleh Pemerintah Hindia Belanda - dan masih berlaku - menetapkan bahwa
semua pendapatan lembaga negara harus disetor ke kas negara, dan tidak boleh dipergunakan
langsung. Kedua keadaan ini tidak memberikan insentif bagi RS untuk meningkatkan
pendapatannya.
Gagasan otonomi pengelolaan pendapatan secara langsung mendapat peluang pada tahun
1991 dengan keluarnya Keputusan Presiden tentang Unit Swadana, disusul Keputusan
Menteri Keuangan pada tahun 1992 tentang petunjuk pengelolaan Unit Swadana. Menurut
SK tersebut, RS boleh menggunakan langsung penerimaan fungsionalnya dan 35% dari
penerimaan tersebut dipergunakan untuk insentif staff. Otonomi pengelolaan keuangan
ini mengalami kemunduran pada tahun 1997 dengan keluarnya peraturan tentang RS
sebagai pengelola PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). PNBP 1997 mengharuskan
kembali RS menyetorkan semua pendapatannya. Perubahan cukup besar terjadi pada tahun
2000, khususnya untuk RSUD. Pada tahun tersebut dikeluarkan Kepres No. 40, yang
memberi dua opsi status kelembagaan RSUD, yaitu (a) menjadi BUMD atau (b) menjadi
LPTD (Lembaga Pelaksana Teknis Daerah). Diasumsikan dengan status tersebut RSUD
bisa lebih leluasa menangkap potensi pasar melalui penyesuaian tarif dan diversifikasi
pelayanan serta menggunakan langsung pendapatannya. Belum lama opsi tersebut berjalan,
pada awal tahun 2000-an Asosiasi RS Daerah (Arsada) menyusun konsep otonomi RSUD
yang dikelola sebagai sebuah korporasi publik. Konsep RSUD sebagai "public enterprise"
dikemukakan dalam Kongres Arsada di Bali pada tahun 2002. Pada tahun 2004, dikeluarkan
PP No. 23, yang membolehkan RSUD menjadi sebuah "public enterprise" yang disebut
BLU (Badan Layanan Umum). BLU bukan privatisasi dan tetap nirlaba (tidak mencari
keuntungan). Dengan status BLU, RSUD mendapat otonomi untuk melakukan diversifikasi
pelayanan, namun tetap harus menyediakan pelayanan kesehatan esensial dan melayani
penduduk miskin dengan biaya dari pemerintah. BLU juga mengatur sistem remunerasi
personil yang cukup luas (terdiri dari 7 macam remunerasi), yang besarnya diputuskan
oleh manajemen RS bersangkutan.
Tujuan memberikan status BLU adalah agar RSUD lebih leluasa menetapkan prinsip-
prinsip manajemen sebuah korporasi, mampu menyehatkan keuangannya, menjamin mutu
pelayanan, dan tetap melayani penduduk miskin. Tidak semua RSUD layak menjadi BLU
dan analisis kelayakan ini harus dilakukan sebelumnya, termasuk keharusan menyusun
sebuah Rencana Strategis Bisnis (RBS). Di beberapa RSUD, umumnya kelayakan dan
penyusunan RBS tersebut disusun oleh pihak ketiga. Sampai sekarang (2006) belum ada
evaluasi menyeluruh terhadap RSUD sebagai BLU. Sehingga pertanyaan-pertanyaan
Evaluasi terhadap otonomi tersebut dinilai dengan menggunakan 4 area dalam "balance
scorecard", yaitu (a) perspektif pelangan, (b) perspektif keuangan, (c) perspektif operasional
internal Puskesmas dan (d) perspektif pertumbuhan dan pembelajaran organisasi. Setelah
6 bulan terlihat adanya perubahan (kemajuan) - dibandingkan denga Puskesmas kontrol,
sebagai berikut:
Namun pada evaluasi 6 bulan tersebut belum terlihat kemajuan bermakna dalam hal
kepuasan pelanggan dan kinerja cakupan program. Reformasi pemberian otonomi Puskesmas
ini memerlukan evaluasi lebih lanjut sebelum diadopsi sebagai kebijakan daerah. Selain
evaluasi kinerja Puskesmas (cakupan dan kepuasan pelanggan), perlu dievaluasi dampaknya
terhadap rasa keadilan staff Puskesmas lain yang berada di daerah kurang mampu, dimana
Kabupaten Sumba Timur, sebagaimana halnya dengan daerah lain di NTT, adalah daerah
endemik malaria. AMI (Annual Malaria Index) mencapai 540,84/1000 pada tahun 2004.
Kasus Malaria falciparum juga sangat tinggi, yaitu mencapai 90-95% dari total kasus.
Malaria menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar, dan merupakan perangkap
kemiskinan bagi penduduk Sumba Timur yang angka kemiskiannya cukup tinggi.
Diperkirakan kerugian berupa hilangnya waktu produktif karena sakit malaria ditambah
biaya transport untuk berobat nilainya mencapai Rp 13.618.410.000 (2004). Jumlah ini
termasuk biaya pengobatan, biaya transport untuk berobat dan hilangnya waktu produktif
karena malaria. Jadi belum termasuk kerugian akibat kematian.
Dalam pengobatan malaria faciparum, resistensi adalah salah satu masalah yang dihadapi,
sehingga sejak tahun 2005, dipergunakan Artesunat + amodiaquin, obat malaria yang
relatif baru dan cukup "cost effective" untuk pengobatan Malaria falciparum tersebut.
Disamping masalah resistensi, "case finding", dan kepatuhan makan obat adalah masalah
lain yang dihadapi.
Mulai tahun 2004 pemberantasan malaria di Sumba Timur mendapat bantuan dari dana
Global Fund. Salah satu strategi yang dikembangkan adalah mendirikan Pos Malaria
Desa (Posmaldes) didesa-desa terpencil dan sulit dijangkau, yang pada tahun 2006
jumlahnya mencapai 126 buah. Posmaldes ditangani oleh Kader Malaria (tahun 2006
berjumlah 147 orang) dan kepada mereka diberikan insentif sebesar Rp 75.000/bulan.
Strategi ini telah meningkatkan jumlah temuan dan pengobatan kasus malaria. Evaluasi
menunjukkan hasil yang sangat positif, yaitu turunnya AMI berturut turut dari 540/1000
(2004), menjadi 330/1000 (2005) dan 153/1000 (2006).
Biaya yang dikeluarkan untuk program malaria pada tahun 2004/2005 berjumlah Rp
2.758.548.869, terdiri dari dana APBD (Rp 267.955.000) dan dana Global Fund (Rp
2.490.593.869). Turunnya AMI antara 2004 dan 2005 telah mengurangi kerugian ekonomi
sebesar Rp 7.161.310.000 (turun dari Rp 13.618.410.000 pada tahun 2004 menjadi Rp
6.457.100.000 pada tahun 2005). Dari angka diatas dapat dihitung perbandingan "manfaat"
(kerugian yang dikurangi) dengan biaya, yaitu 2,6 kali.