Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Ambliopia, atau “mata malas”, yang merupakan penurunan tajam penglihatan


tanpa disertai adanya kelainan organik pada mata dan jaras penglihatannya,
merupakan masalah kesehatan yang penting untuk diteliti lebih lanjut mengingat
prevalensinya yang tinggi pada anak-anak dan angka keseluruhan kejadiannya yang
dapat mencapai 4 % dari keseluruhan populasi masyarakat di sebuah negara.(1-2)
Penyakit ini memang sering dinyatakan sebagai penyakit yang khusus menyerang
populasi anak-anak dikarenakan penemuannya atau terdiagnosisnya penyakit ini
memang lebih banyak pada pasien usia kanak-kanak. Namun, bukan berarti penyakit
ini tidak terjadi pada orang dewasa – terutama pada mereka yang tidak terdiagnosa
dan selanjutnya tidak tertangani hingga dewasa. Menurut studi yang dilakukan oleh
Webber dan Wood, ditemukan bahwa pasien ambliopia usia dewasa mengalami
kesulitan dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari dan ditemukan mengalami
distress somatisasi, obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal yang tinggi,
gangguan kecemasan, serta depresi dibandingkan dengan subjek kontrol.(3)

Penelitian terakhir menemukan bahwa struktur yang mengalami dampak dari


penyakit ini adalah sel-sel dari corpus geniculatum laterale, dan usia kritis yang
menentukan pengaruh kelainan ini pada struktur tersebut adalah di beberapa bulan
awal kelahiran hingga anak tersebut berusia 8 tahun.(4) Mengingat hal tersebut,
diagnosis dan tata laksana dini sangat penting dilakukan untuk menentukan fungsi
akhir penglihatan pasien. Diperlukan pengetahuan yang cukup terkait ambliopia
untuk dapat dengan cepat menyadari ada/ tidaknya kelainan tersebut pada pasien.
Referat ini merangkum teori-teori serta penelitian terkahir terkait pemahaman klinis
menganai ambliopia, termasuk di antaranya adalah data prevalensi, etiologi-
klasifikasi, dan tata laksana dari ambliopia yang bermaksud untuk memberi
pengetahuan terkini dalam menunjang diagnosis ambliopia.

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 1


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Ambliopia

Ambliopia berasal dari Bahasa Yunani yang berarti penglihatan tumpul


atau buruk.(4) Ambliopia, yang dikenal juga dengan istilah “mata malas”,
merujuk kepada hilangnya ketajaman penglihatan pada mata tanpa disertai
adanya kelainan organik yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
oftalmologis. Adapun, perkembangan penelitian membuktikan adanya
perburukan penglihatan, setidaknya dalam masa perkembangan, yang mungkin
berakibat pada perubahan histologis pada corpus geniculatum laterale (atrofi),
sehingga sel-sel penglihatan binokular pada korteks oksipitalis hanya
merespons stimuli yang datang dari mata non-ambliopia.(4-6) Dalam bukunya,
Prof. Sidarta Ilyas juga menyepakati bahwa ambliopia dapat terjadi dengan
adanya kelainan organik. Namun, kelainan organik yang terjadi tidak sesuai
dengan visus yang ada.(7) Oleh karena itu, definisi yang lebih banyak digunakan
di berbagai regerensi adalah suatu defisiensi penglihatan spatial dan fokus
(spatial and form vision) yang berakibat pada:

1. penurunan tajam penglihatan absolut di bawah 6/9 pada pemeriksaan


visus dengan Snellen atau E Chart, ATAU
2. penurunan tajam penglihatan di kedua mata dengan perbedaan visus
setidaknya sebesar 2 garis pada pemeriksaan visus dengan Snellen atau
E Chart

yang tidak dapat dikoreksi dan tidak bersesuaian dengan kelainan struktur mata
atau kelainan sistem jaras penglihatan yang mungkin ada.(2)

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 2


2. 1. 1. Epidemiologi Ambliopia

Ambliopia ditemukan sebesar 2-4% dari keseluruhan populasi di


Amerika.(1-2) Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak, namun, jika
tidak tertangani, maka dapat pula ditemukan pada orang dewasa.(2,4) Jenis
kelamin perempuan dan laki-laki memiliki perbandingan yang sama untuk
mengalami kejadian ini. Pada penelitian antar-ras yang dilakukan di
Amerika, diketahui bahwa terdapat perbedaan prevalensi antar-ras di mana
prevalensi tertinggi ditemukan pada ras latin (hispanik). Pada penilitan
yang dilakukan di Inggris, kejadian ambliopia cenderung lebih sering
ditemukan pada masyarakat kelas sosial yang rendah. Adapun, menurut
penelitian yang dilakukan di Amerika, penyebab tersering terjadinya
ambliopia adalah gangguan refraksi (75%) – yakni dikenal dengan istilah
ambliopia anisometropik. Penyebab kedua tersering adalah strabismus.
Walau begitu, tidak semua studi menyepakati hasil ini. Beberapa
penelitian menunjukkan strabismus menjadi penyebab utama terjadinya
ambliopia. Hal ini terkait dengan adanya perbedaan angka kejadian faktor
pemicu terjadinya ambliopia (kejadian gangguan refraksi dan strabismus)
antar-populasi.(1)

2. 1. 2. Gejala dan Tanda Ambliopia

Pasien mengeluhkan adanya penurunan penglihatan pada salah


satu atau kedua mata, disertai dengan adanya gangguan dalam
memperkirakan jarak (depth perception). Selain itu, sering dikeluhkan
atau ditemukan pula adanya strabismus dan kepala sering dimiringkan
ketika berusaha untuk melihat sesuatu.(1,8) Selain itu, dalam bukunya, Prof.
Sidarta Ilyas mencantumkan beberapa tanda lain, yakni:(7)

 Hilangnya sensitivitas kontras


 Mata mudah menalami fiksasi eksentrik

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 3


 Adanya anisokoria
 Penurunan daya akomodasi

Pemeriksaan

1. Refleks Fundus
Pada pemeriksaan, tampak refleks jelas dan simetris pada kedua
pupil, kecuali ada kelainan lain.(1)
2. Visus

Hasil pemeriksaan tidak normal bergantung pada usia –


mengingat bahwa kondisi ini biasa terjadi pada anak-anak.
Contohnya, bayi berusia 3-6 bulan (pre-verbal) mampu mengenali
dan berespons terhadap mimik wajah. Sementara anak-anak usia
lebih dari tiga tahun sudah dapat menggunakan chart untuk
mendapatkan visus sebesar 6/ 12.(1) Menurut AAFP (American
Academy of Family Physician), perburukan penglihatan berkisar
antara ringan (lebih buruk dari 6/ 7,5) hingga berat (lebih buruk
dari 6/ 60) Adapun, pada anak ambliopia, biasanya ditemukan
tajam penglihatan lebih buruk dari 6/ 12 pada anak berusia 3-5
tahun dan lebih buruk dari 6/ 9,5 pada anak berusia lebih dari 6
tahun.(8) Selain itu, ambliopia biasanya terjadi dengan adanya
perbedaan ketajaman penglihatan antara dua mata setidaknya
sebanyak 2 garis pada pemeriksaan visus dengan chart.(9) Chart
yang dapat digunakan untuk memeriksa pada anak-anak (terutama
anak usia 2-3 tahun) selain Snellen chart adalah HOTV, tumbling
E, Lea, dan Allen chart. Dari hasil pemeriksaan visus dengan
menggunakan kaca refraksi dan pin hole, makan akan ditemukan
bahwa kekurangan pada penglihatan tidak dapat dikoreksi.(8)

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 4


Gambar 1. Contoh – Contoh Chart yang Dapat Digunakan untuk Memeriksa
Tajam Penglihatan; Dari Kiri – Kanan (Atas – Bawah) adalah Snellen, HOTV, Lea,
dan Allen. Sumber: Doshi NR, Rodriguez MLF. Amblyopia. American Academy of
Family Physician. 2007 February; 75(3).

Dikenal juga istilah crowding phenomenon (pada orang


ambliopia) yang merujuk kepada penurunan tajam penglihatan dari
huruf isolasi ke huruf dalam baris saat pembacaan chart.
Pemeriksaan ini dilakukan menggunakan chart dengan cara
penderita diminta membaca huruf di baris chart dengan huruf
terkecil yang dibuka satu persatu (atau yang diisolasi), kemudia
isolasi huruf dibuka dan pasien diminta melihat sebaris huruf yang
sama.(7)

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 5


3. Posisi Bola Mata
Pada pasien ambliopia, biasanya ditemukan bahwa posisi bola
mata tidak mengarah lurus ke depan. Namun, mata dapat mengarah
sedikit ke arah lateral (ekso-) atau nasal (eso-) yang dapat langsung
ditemukan pada pemeriksaan Hirchberg (-trofia) atau dengan
pemeriksaan cover and uncover test (-foria).(1) Pada anak-anak,
ambliopia harus diwaspadai terutama jika ditemukan adanya
esotropia pada usia lebih dari 2 bulan dan eksotropia pada usia
lebih dari 3 bulan. Selain itu, dapat pula ditemukan adanya
strabismus melalui pemeriksaan ini.(8)

Gambar 2. Pemeriksaan Hirschberg; (A) Normal, (B) Esotrofia, dan (C) Eksotrofia.
Sumber: Doshi NR, Rodriguez MLF. Amblyopia. American Academy of Family
Physician. 2007 February; 75(3).

4. Struktur Bola Mata dan Otot Pergerakannya


Harus diperiksa ada/ tidaknya ptosis, lesi kornea, dan katarak –
mengingat hal-hal ini mampu menjadi pemicu terjadinya
ambliopia. Periksa pula pergerakan otot bola mata.(1)

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 6


Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah uji density filter
netral, yakni uji penglihatan dengan intensitas sinar yang direndahkan
(dasar pemeriksaannya adalah bahwa pada mata ambliopia, secara
fisiologis penglihatan berada dalam keadaan beradaptasi gelap) untuk
mengetahui adanya ambliopia pada seseorang.(7)

Selain itu, uji worth’s four dot juga dapat dilakukan untuk
melihat adanya fusi, korespondensi retina abnormal, supresi pada satu
mata, dan juling. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kaca mata
dengan filter merah pada mata kanan dan filter biru pada mata kiri, serta
melihat pada objek 4 titik (1 merah, 2 hijau, dan 1 putih).(7)

2. 1. 3. Diagnosis Banding Ambliopia

Terkait definisi yang dikemukakan di sub-judul sebelumnya,


maka terdapat konsekuensi berupa dibutuhkan adanya eliminasi
kemungkinan diagnosis lain sebelum ditegakkannya diagnosis ambliopia.
Diagnosis banding dari penyakit ini termasuk penyakit-penyakit mata yang
sulit dinilai melalui pemeriksaan fisik refraksi dan fundus. Jika penglihatan
yang hilang hanya terjadi pada salah satu mata (unilateral), diagnosis
bandingnya adalah penyakit neuropati optik dengan atropi minimal, seperti
pada trauma okulta dan neuritis optik. Jika penglihatan yang hilang terjadi
pada kedua mata (bilateral), maka diagnosis bandingnya adalah penyakit
Stargaardt, degenerasi dan distrofi fotoreseptor, serta neuropati optik toksik
maupun herediter.(6)

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 7


2. 1. 4. Etiologi dan Klasifikasi Ambliopia

Penelitian yang dilakukan pada hewan dan bayi menemukan adanya


konsep periode kritis untuk menentukan terbentuknya ambliopia pada masa
bayi dan kanak-kanak. Otak yang sedang berkembang sangat sensitif dan
ambliopia dapat terjadi secepat-cepatnya pada minggu-minggu pertama
kelahiran. Mata dan otak harus berkerja dan berkembang bersamaan agar
penglihatan dapat berkembang dengan benar. Jika penglihatan tidak
distimulasi dengan baik, maka korteks penglihatan tidak akan mampu
untuk berkembang dengan baik.(8)

Etiologi dari ambliopia tidaklah banyak. Pada penurunan penglihatan


yang bersifat unilateral oleh ambiopia, etiologinya adalah strabismus,
anisometropia, dan opasitas media uniokular. Sementara itu, pada bilateral
ambiopia, etiologinya adalah ametropia dan opasitas media bilateral.(6)
Dalam bukunya, Crick membagi ambliopia menjadi beberapa subkelas,
yakni:(5)

1. Ambliopia Strabismik
Ambliopia yan terjadi akibat juling lama (biasanya esotropia).(7)
Pada keadaan ini terjadi supresi pada mata tersebut untuk
mencegah gangguan penglihatan diplopia. Jika salah satu mata
anak terbiasa memicing, maka penglihatan dari mata tersebut akan
terbatas (tersupresi). Semakin muda usia anak tersebut, maka
semakin kuat penglihatan mata tersebut tersupresi. Hal ini
biasanya berkaitan dengan penurunan ketajaman penglihatan
karena anak tersebut tidak menggunakan fovea dari mata yang
dipicingkan yang berakibat pada tidak berkembangnya fovea
tersebut. Anak akan kehilangan kemampuan melihat melalui fovea
pada mata tersebut. Derajat ambliopia jenis ini ditentukan dengan
onset mata anak tersebut mulai memicing dan lama durasi anak

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 8


tersebut memicingkan matanya. Ambliopia jenis ini ditata-laksana
dengan oklusi.(5)
2. Ambliopia Anisometropik
Ambliopia jenis ini terjadi pada pasien dengan penglihatan
binokular yang normal, namun terdapat perbedaan refraktif yang
jauh (lebih dari 2,5 D) pada kedua matanya. Pada ambliopia
anisometropik, bayangan benda pada kedua mata tidak sama besar
yang menimbulkan bayangan pada retina secara relatif di luar
fokus dibanding dengan mata lainnya. Biasanya, mata dengan
gangguan refraktif terkecil yang benar-benar difungsikan untuk
melihat, sementara tidak pernah jatuh pada fovea mata yang
satunya (bayangan kabur pada satu mata), menyebabkan terjadinya
ambliopia. Ambliopia yang terjadi akibat ketidakmampuan mata
untuk berfusi. Jenis ambliopia ini ditata-laksana dengan perbaikan
gangguan refraksi pada mata dengan penglihatan terburuk dan
oklusi pada mata lainnya.(5,7)
3. Ambliopia Ametropik
Pada kondisi ini, kedua mata memiliki gangguan refraksi yang
cukup berat (hipermetropia tinggi +7,0 D atau astigmat tinggi 3,0
D) yang tidak dikoreksi dan tidak mampu dikompensasikan oleh
sistem akomodasi dari kedua mata. Biasanya dikarenakan oleh
astigmatisma atau hipermetropia tinggi, sehingga bayangan tidak
pernah jatuh tepat pada fovea pada kedua mata dan pada akhirnya
penglihatan fovea gagal berkembang.(5,7)
4. Ambliopia yang Disebabkan oleh Kurangnya Stimulus
Ambliopia jenis ini dikenal juga sebagai ambliopia eks anopsia.(7)
Hal ini disebabkan gagal jatuhnya bayangan jelas pada fovea di
salah satu mata oleh karena obstruksi fisik terhadap cahaya yang
masuk, contohnya oleh karena katarak kongenital dan ptosis.
Kondisi ini hanya hanya terjadi jika adanya gangguan pada jalan

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 9


masuknya cahaya sebelum usia 7 tahun (setelah usia ini biasanya
sistem penglihatan mulai matang). Secara umum, semakin muda
usia anak ketika gangguan mulai terjadi, maka semakin parah
derajat ambliopia yang terjadi. Pengangkatan obstruksi masuknya
cahaya tidak harus selalu meningkatkan fungsi penglihatan.
Namun, katarak dan ptosis yang terjadi tetap harus ditangani sesuai
indikasi.(5)
Di dalam bukunya, Prof. Sidartya Ilyas juga menambahkan:(7)
 Ambliopia Intoksikasi disebabkan pemakaian tembakau dan alkohol
atau paparan timah dan bahan toksik lainnya. Biasanya disertai
dengan neuritis optik toksik dengan adanya lapang pandang yang
berubah-ubah.
 Ambliopia Histeria dapat terjadi secara unilateral atau bilateral.
Kelainan ini disertai dengan adanya blefarospasme dan lakrimasi
dengan adanya rangsangan. Lapang pandang ditemukan menciut.
 Ambliopia Organik disebabkan oleh kerusakan fovea kongenital.

Selain itu, menurut ATS (Amblyopia Treatment Studies), ambliopia dapat


diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahannya, yakni:(1)
1. Ringan – Sedang
Visus lebih baik dari atau sama dengan 6/ 24.
2. Berat
Visus berkisar antara 6/ 30 – 6/ 120.

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 10


2. 1. 5. Tata Laksana Ambliopia

Semakin dini ditangani, maka perbaikan yang dicapai akan lebih


baik. Beberapa modalitas yang dapat dicoba dalam menatalaksana kasus
ambliopia di antaranya adalah:

1. Koreksi Refraksi
Mata pasien yang mengalami ambliopia harus melalui proses
koreksi refraksi terlebih dahulu sebelum dapat ditatalaksana dengan
terapi oklusi. Kaca mata dapat meningkatkan penglihatan pada 1/3
anak-anak, terutama pada mereka yang mengalami ambliopia
anisometropik.(4)
2. Terapi Oklusi (Patching)
Modalitas ini sudah dilakukan sejak abad ke-18. Terapi ini
memaksa anak untuk menggunakan mata yang mengalami
ambliopia. Oklusi mata sehat menstimulasi penglihatan pada mata
yang lebih lemah dan membantu korteks penglihatan untuk
berkembang lebih baik.(4)
3. Penalisasi
Terapi ini dilakukan dengan cara memberi lensa +2,5 D pada mata
ambliop dan meneteskan atropin pada mata sehat (diharapkan
mampu merelaksasikan struktur yang digunakan untuk
berakomodasi). Atropin bekerja selama 24 jam, dan memiliki onset
kerja yang lama. Oleh karena itu, atropin doberikan pada pagi hari
sebelum memulai aktivitas yang mengharuskan pasien untuk
menggunakan ketajaman penglihatannya. terdapat Terapi ini hanya
dapat diberikan pada ambliopia derajat ringan-sedang. Terapi jenis
ini biasanya dilakukan bersamaan dengan terapi oklusi. Adapun,
menurut studi yang dilakukan ATS, penggunaan modalitas ini tidak
terlalu disarankan mengingat angka rekurensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan modalitas terapi oklusi.(4)

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 11


4. Operasi
Terapi operasi dilakukan pada ambliopia strabismik, bergantung
pada derajat strabismus yang dialami. Selain itu, bergantung pada
etiologi yang dialami oleh seorang pasien, maka operasi katarak dan
operasi ptosis dapat dilakukan. Adapun, kaca mata dan oklusi tetap
harus digunakan pasca-operasi.(4)

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 12


BAB III

KESIMPULAN

Ambliopia merupakan perburukan penglihatan unilateral atau bilateral


yang terjadi tanpa disertai adanya kelainan organik, baik pada bola mata maupun
pada struktur jaras penglihatan post-bola mata. Selain perburukan ketajaman
penglihatan, gejala lain yang dapat digali melalui anamnesis adalah adanya kebiasan
memiringkan kepala saat melihat, gangguan dalam memperkirakan jarak, serta
keluhan mata juling. Ambliopia banyak terjadi pada anak-anak. Namun, dapat pula
ditemukan pada orang dewasa jika tidak terdiagnosa dan ditangani dengan baik pada
masa kanak-kanak. Berdasarkan etiologinya, ambliopia dapat diklasifikasikan
menjadi (1) ambliopia strabismik, (2) ambliopia anisometropik, (3) ambliopia
ametropik, dan (4) ambliopia oleh karena kurangnya stimulus. Berdasarkan
ketajaman penglihatannya, ambliopia dibagi atas derjat ringan-sedang dan berat.
Derajat dan etiologi ambliopia pada seorang pasien patut diidentifikasi untuk
menentukan modalitas tata laksana yang akan dilakukan. Adapun, dari semua pilihan
modalitas terapi ambliopia, pilihan terbaik adalah terapi oklusi.

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 13


DAFTAR PUSTAKA

1. British Medical Journal. BMJ (British Medical Journal). [Online].; 2013 [cited
2014 December 9. Available from: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/1162/basics/epidemiology.html.

2. Karki K. Prevalence of Amblyopia in Ametropias in Clinical Set-Up. Kathmandu


University Medical Journal. 2006; IV(16): p. 470-473.

3. Webber AL, Wood J. Amblyopia: Prevalence, Natural History, Functional Effects,


and Treatment. Clinical Experiment Optometry. 2005 April 18; 88(6): p. 365-375.

4. Shrestha UD, Adhikari S. Amblyopia and Amblyopia Treatment Study. Nepal


Journal of Medical Science. 2013; II(1): p. 66-72.

5. Crick RP, Khaw T. A Textbook of Clinical Ophthalmology: A Practical Guide to


Disorders of the Eyes and Their Management. 3rd ed. Singapore: World Scientific;
2003.

6. Borchert MS. Neuro-Ophthalmology Virtual Education Library. [Online].; 1996


[cited 2014 December 09. Available from:
http://content.lib.utah.edu/cdm/ref/collection/ehsl-nam/id/4886.

7. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.

8. Doshi NR, Rodriguez MLF. Amblyopia. American Academy of Family Physician.


2007 February; 75(3).

9. Kiorpes L, McKee SP. Neural Mechanism Underlying Amblyopia. Current


Opinion in Neurobiology. 1999;(9): p. 480486.

Yofara Maulidiah Muslihah (1111103000047) | 14

Anda mungkin juga menyukai