Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak, atau
melarut dalam suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung
jaringan setempat atau sebagai pembawa zat terapeutik yang bersifat lokal atau
sistemik. Bahan dasar suppositoria yang umum digunakan adalah lemak coklat,
gelatin tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol,
dan esterasam lemak polietilen glikol (Depkes RI, 1995).
Bahan dasar suppositoria mempengaruhi pada pelepasan zat
terapeutiknya. Lemak coklat capat meleleh pada suhu tubuh dan tidak
tercampurkan dengan cairan tubuh, sehingga menghambat difusi obat yang larut
dalam lemak pada tempat yang diobati. Polietilen glikol adalah bahan dasar yang
sesuai dengan beberapa antiseptik, namun bahan dasar ini sangat lambat larut
sehingga menghambat pelepasan zat yang dikandungnya. Bahan pembawa
berminyak, seperti lemak coklat, jarang digunakan dalam sediaan vagina, karena
membentuk residu yang tidak dapat diserap. Sedangkan gelatin jarang digunakan
dalam penggunaan melalui rektal karena disolusinya lambat. (Depkes RI, 1995).
Bobot suppositoria bila tidak dinyatakan lain adalah 3 gr untuk dewasa dan
2 gr untuk anak. Penyimpanan suppositoria sebaiknya di tempat yang sejuk
dalam wadah tertutup rapat. Bentuknya yang seperti torpedo memberikan
keuntungan untuk memudahkan proses masuknya obat dalam anus. Bila bagian
yang besar telah masuk dalam anus, maka suppositoria akan tertarik masuk
dengan sendirinya. (Moh. Anief, 2007)

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sediaan suppositoria ?
2. Apa saja komponen dan pembawa dalam sediaa suppositoria ?
3. Bagaimana pendekatan formulasi dalam sediaan suppositoria ?
4. Bagaimana teknik manufaktur dalam sediaan suppositoria ?

FORMULASI SUPPOSITORIA 1
5. Apa saja evaluasi sediaan suppositoria ?

1.3.Tujuan
1. Mengetahui sediaan suppositoria.
2. Mengetahui komponen dan pembawa dalam sediaan supporitoria.
3. Mengetahui pendekatan formulasi dalam sediaan suppositoria.
4. Mengetahui teknik manufaktur dalam sediaan suppositoria.
5. Mengetahui evaluasi sediaan dalam sediaan suppositoria.

FORMULASI SUPPOSITORIA 2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Definisi Suppositoria
Menurut Farmakope Indonesia ed. IV suppositoria adalah sediaan padat
dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau
uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. (FI ed.IV hal
16)
Suppositoria vaginal (ovula) umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan
berbobot lebih kurang 5 g, dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air atau
yang dapat bercampur dalam air, seperti polietilen glikol atau gelatin
tergliserinasi.
Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai
pembawa zat terapetik yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar
suppositoria yang umum digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi,
minyak nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot
molekul, dan ester asam lemak polietilen glikol.
Bahan dasar suppositoria yang digunakan sangat berpengaruh pada
pelepasan zat terapetik. Lemak coklat cepat meleleh pada suhu tubuh dan tidak
tercampurkan dengan cairan tubuh, oleh karena itu menghambat difusi obat yang
larut dalam lemak pada tempat diobati. Polietilen glikol adalah bahan dasar yang
sesuai untuk beberapa antiseptik. Jika diharapkan bekerja secara sistemik, lebih
baik menggunakan bentuk ionik dari pada nonionik, agar diperoleh ketersediaan
hayati yang maksimum. Meskipun obat bentuk nonionik dapat dilepas dari
bahan dasar yang dapat bercampur dengan air, seperti gelatin tergliserinasi dan
polietilen glikol, bahan dasar ini cenderung sangat lambat larut sehingga
menghambat pelepasan. Bahan pembawa berminyak seperti lemak coklat jarang
digunakan dalam sediaan vagina, karena membentuk residu yang tidak dapat
diserap, Sedangkan gelatin tergliserinasi jarang digunakan melalui rektal karena
disolusinya lambat. Lemak coklat dan penggantinya (lemak keras) lebih baik
untuk menghilangkan iritasi, seperti pada sediaan untuk hemoroid internal.

FORMULASI SUPPOSITORIA 3
2.2.Komponen dan Zat Pambawa Sediaan Suppositoria
A. Zat Aktif
Zat aktif atau bahan obat yang digunakan dalam sediaan suppositoria
bermacam – macam sesuai efek yag diinginkan apakah efek sistemik atau
efek local. Contoh sediaan suppositoria dengan zat aktif sebagai berikut.
Suppositoria aminofilin ( Fornas, HC Ansel,593 ), Suppositoria aspirin
(HC Ansel, 593), Suppositoria bibaza / anusol ( Fornas ), Suppositoria
bisakodil ( BP 2002 hal. 1895; Fornas ), Suppositoria klorpromazin ( BP 2002
hal. 1895), Suppositoria etamifilin ( BP 2001), Suppositoria flurbiprofen ( BP
2002 hal. 1895), Suppositoria gliserol ( BP 2002 hal. 1895), Suppositoria
indometasin ( BP 2002 hal. 1895), Suppositoria metronidazol ( BP 2002 hal.
1895), Suppositoria morfin ( BP 2002 hal. 1895), Suppositoria naproxen ( BP
2002 hal. 1895), Suppositoria parasetamol ( BP 2002 hal. 1895), Suppositoria
Aminofilin (Fornas hal 21). Suppositoria pentazosin ( BP 2002 hal. 1895)
B. Zat Pembawa (Basis)
Basis suppositoria mempunyai peranan penting dalam pelepasan obat
yang dikandungnya. Salah satu syarat utama basis suppositoria adalah selalu
padat dalam suhu ruangan tetapi segera melunak, melebur atau melarut pada
suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat tersedia sepenuhnya,
segera setelah pemakaian (H.C. Ansel, 1990, hal 375).
Menurut Farmakope Indonesia IV, basis suppositoria yang umum
digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati
terhidrogenasi, campuran polietilenglikol (PEG) dengan berbagai bobot
molekul dan ester asam lemak polietilen glikol. Basis suppositoria yang
digunakan sangat berpengaruh pada pelepasan zat terapeutik (FI IV,hlm.16).
Yang perlu diperhatikan untuk basis suppositoria adalah :
1. Asal dan komposisi kimia
2. Jarak lebur/leleh
3. Solid-Fat Index (SFI)
4. Bilangan hidroksil
5. Titik pemadatan
6. Bilangan penyabunan (saponifikasi)

FORMULASI SUPPOSITORIA 4
7. Bilangan iodida
8. Bilangan air (jumlah air yang dapat diserap dalam 100 g lemak)
9. Bilangan asam
(Lachman, Teory and Practice of Industrial Pharmacy, 568-569)
Syarat basis yang ideal antara lain :
1. melebur pada temperatur rektal
2. tidak toksik, tidak menimbulkan iritasi dan sensitisasi
3. dapat bercampur (kompatibel) dengan berbagai obat
4. tidak berbentuk metastabil
5. mudah dilepas dari cetakan
6. memiliki sifat pembasahan dan emulsifikasi
7. bilangan airnya tinggi
8. stabil secara fisika dan kimia selama penyimpanan
9. dapat dibentuk dengan tangan, mesin, kompresi atau ekstrusi
Tipe basis suppositoria berdasarkan karakteristik fisik yaitu (H. C.
Ansel, 1990 hal 376) :
a. Basis suppositoria yang meleleh (Basis berlemak)
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai,
terdiri dari oleum cacao, dan macam-macam asam lemak yang
dihidrogenasi dari minyak nabati seperti minyak palem dan minyak biji
kapas.
Menurut USP, oleum cacao merupakan :
1. Lemak yang diperoleh dari biji Theobroma cacao yang
dipanggang.
2. Secara kimia adalah trigliserida yang terdiri dari
oleapalmitostearin dan oleo distearin
3. Pada suhu kamar, berwarna kekuning-kuningan sampai putih
padat sedikit redup, beraroma coklat
4. Melebur pada 30-36°C
(H. C. Ansel, 1990 hal 376)
5. Titik leleh :31-34 oC

FORMULASI SUPPOSITORIA 5
6. Kelarutan : mudah larut dalam kloroform, eter, petroleum
spirit, larut dalam etanol panas, sedikit larut dalam etanol 95%
7. Stabilitas dan penyimpanan : pemanasan diatas 36 oC
menyebabkan pembentukan kristal metastabil. Oleum cacao
disimpan di suhu < 25 °C
(HOPE , ed. IV hal. 639)
8. Bilangan iod 34 – 38
9. Bilangan asam 4
10. Mudah tengik dan meleleh harus disimpan di tempat sejuk
dan kering terhindar dari cahaya.
(Lachman,575)
11. Bentuk polimorfisa
 Bentuk α melebur pada 24°C diperoleh dengan
pendinginan secara tiba-tiba sampai 0°C.
 Bentuk β diperoleh dari cairan oleum cacao yang diaduk
pada suhu 18-23 °C titik leburnya 28-31 °C
 Bentuk stabil β diperoleh dari bentuk β’, melebur pada
34-35 °C diikuti dengan kontraksi volume
 Bentuk γ melebur pada suhu 18°C, diperoleh dengan
menuangkan oleum cacao suhu 20°C sebelum
dipadatkan ke dalam wadah yang didinginkan pada suhu
yang sangat dingin.
Pembentukan polimorfisa tergantung dari derajat
pemanasan, proses pendinginan dan selama proses.
Pembentukan kristal non stabil dapat dihindari dengan cara :
 Jika massa tidak melebur sempurna, sisa-sisa krsital
mencegah pembentukan krsital non stabil.
 Sejumlah kristal stabil ditambahkan ke dalam leburan
untuk mempercepat perubahan dari bentuk non stabil ke
bentuk stabil. (istilahnya “seeding”)
 Leburan dijaga pada temperatur 28-32 °C selama 1 jam
atau 1 hari.

FORMULASI SUPPOSITORIA 6
Hal-hal yang harus diperhatikan pada basis lemak :
1. Gunakan panas minimal pada proses peleburan, < 40°C
2. Jangan memperlama proses pemanasan
3. Jika melekat pada cetakan gunakan lubrikan
4. Titik pemadatan oleum cacao terletak 12-13 °C dibawah titik
leburnya sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan
suppo (menjaga suppo tetap cair tanpa berubah menjadi
bentuk tidak stabil)
5. Penambahan emulgator seperti tween 61 sebanyak 5-10 %
akan meningkatkan absorpsi air sehingga menjaga zat-zat
yang tidak larut tetap terdispersi/tersuspensi dalam oleum
cacao
6. Kestabilan suspensi dapat ditingkatkan dengan penambahan
bahan-bahan seperti Al monostearat atau silika yang
memberikan leburan oleum cacao bersifat tiksotropik.
7. Untuk obat-obat yang dapat menurunkan titik lebur oleum
cacao seperti minyak atsiri, creosote, fenol,. Kloralhidrat,
digunakan campuran malam atau spermaceti (lemak ikan
paus).(Lachman,576)
b. Basis suppositoria larut air dan basis yang bercampur dengan air
Basis yang penting dari kelompok ini adalah basis gelatin
tergliserinasi dan basis polietilen glikol. Basis gelatin tergliserinasi
terlalu lunak untuk dimasukkan dalam rektal sehingga hanya digunakan
melalui vagina (umum) dan uretra. Basis ini melarut dan bercampur
dengan cairan tubuh lebih lambat dibandingkan dengan oleum cacao
sehingga cocok untuk sediaan lepas lambat. Basis ini menyerap air
karena gliserin yang higroskopis. Oleh karena itu, saat akan dipakai,
suppo harus dibasahi terlebih dahulu dengan air.
Dalam farmakope belanda terdapat formula suppositoria dengan
bahan dasar gelatin, yaitu:panasi 2 bagian gelatin dengan 4 bagian air
dari 5 bagian gliserin sampai diperoleh masa yang homogen. Tambahkan

FORMULASI SUPPOSITORIA 7
air panas sampai diperoleh 11 bagian. Biarkan masa cukup dingindan
tuangkan dalam cetakan, hingga diperolehsupositoria dengan berat 4 g
Obat yang ditambahkan dilarutkan atau digerus dengan sedikit air
atau gliserin yang disisakan dan dicampurkan pada masa yang sudah
dingin. Bila obatnya sedikt dikurangkan pada berat air dan bila obatnya
banyakdikurangkan berat masa bahan dasar.
Polietilen glikol (PEG) merupakan polimer dari etilen oksida dan
air, dibuat menjadi bermacam-macam panjang rantai, berat molekul dan
sifat fisik. Polietilen glikol tersedia dalam berbagai macam berat molekul
mulai dari 200 sampai 8000. PEG yang umum digunakan adalah PEG
200, 400, 600, 1000, 1500, 1540, 3350, 4000, 6000 dan 8000. Pemberian
nomor menunjukkan berat molekul rata-rata dari masing-masing
polimernya. Polietilen glikol yang memiliki berat molekul rata-rata 200,
400, 600 berupa cairan bening tidak berwarna dan yang mempunyai berat
molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih, padat dan
kekerasannya bertambah dengan bertambahnya berat molekul.
Basis polietilenglikol dapat dicampur dalam berbagai
perbandingan dengan cara melebur, dengan memakai dua jenis PEG atau
lebih untuk memperoleh basis suppo dengan konsistensi dan
karakteristik yang diinginkan. PEG menyebabkan pelepasan lebih lambat
dan memiliki titik leleh lebih tinggi daripada suhu tubuh. Penyimpanan
PEG tidak perlu di kulkas dan dapat dalam penggunaan dapat
dimasukkan secara perlahan tanpa kuatir suppo akan meleleh di tangan
(hal yang umum terjadi pada basis lemak). (Ansel, hal 377)
Contoh formula basis (Lachman, 578)
1. PEG 1000 96%, PEG 4000 4%
2. PEG 1000 75%, PEG 4000 25%
Basis a) memiliki titik leleh rendah, sehingga membutuhkan
tempat dingin untuk penyimpanan, terutama pada musim panas. Basis ini
berguna jika kita ingin disintegrasi yang cepat. Sedangkan basis b) lebih
tahan panas daripada basis a) sehingga dapat disimpan pada suhu yang

FORMULASI SUPPOSITORIA 8
lebih tinggi. Basis ini berguna jika kita ingin pelepasan zat yang lambat.
(Lachman, 578)
Suppositoria dengan polietilen glikol tidak melebur ketika terkena
suhu tubuh, tetapi perlahan-lahan melarut dalam cairan tubuh. Oleh
karena itu basis ini tidak perlu diformulasi supaya melebur pada suhu
tubuh. Jadi boleh saja dalam pengerjaannya, menyiapkan suppositoria
dengan campuran PEG yang mempunyai titik lebur lebih tinggi daripada
suhu tubuh.
Keuntungannya, tidak memungkinkan perlambatan pelepasan obat
dari basis begitu suppo dimasukkan, tetapi juga menyebabkan
penyimpanan dapat dilakukan di luar lemari es dan tidak rusak bila
terkena udara panas. Suppo dengan basis PEG harus dicelupkan ke dalam
air untuk mencegah rangsangan pada membran mukosa dan rasa
“menyengat”, terutama pada kadar air dalam basis yang kurang dari 20%.
(Ansel hal 377)
PEG Titik Leleh (°C)
1000 37 – 40
1500 44 – 48
1540 40 – 48
4000 50 – 58
6000 55 – 63
(HOPE, ed.IV p. 455)
Keuntungan basis PEG :
1. Stabil dan inert
2. Polimer PEG tidak mudah terurai.
3. Mempunyai rentang titik leleh dan kelarutan yang luas shg
memungkinkan formula supo dgn berbagai derajat kestabilan
panas dan laju disolusi yg berbeda
4. Tidak membantu pertumbuhan jamur
(Teori dan Praktek Industri Farmasi, hal 1174)
Kerugian basis PEG:
1. Secara kimia lebih reaktif daripada basis lemak.

FORMULASI SUPPOSITORIA 9
2. Dibutuhkan perhatian lebih untuk mencegah kontraksi volume
yang membuat bentuk suppo rusak
3. Kecepatan pelepasan obat larut air menurun dengan meningkatnya
jumlah PEG dgn BM tinggi.
4. Cenderung lebih mengiritasi mukosa drpd basis lemak.
(HOPE, hal 455)
Kombinasi jenis PEG dapat digunakan sebagai basis suppositoria dan
memberikan keuntungan sebagai berikut.:
1. Titik lebur suppositoria dapat meningkat shg lebih tahan
thd suhu ruangan yg hangat.
2. Pelepasan obat tdk tergantung dari titik lelehnya.
3. Stabilitas fisik dalam penyimpanan lebih baik.
4. Sediaan suppositoria akan segera bercampur dengan
cairan rektal.
(HOPE, hal 455)
c. Basis surfaktan
Surfaktan tertentu disarankan sebagai basis hidrofilik sehingga
dapat digunakan tanpa penambahan zat tambahan lain. Surfaktan juga
dapat dikombinasikan dengan basis lain. Basis ini dapat digunakan untuk
memformulasi obat yang larut air dan larut lemak.
Beberapa surfaktan nonionik dengan sifat kimia mendekati
polietilen glikol dapat digunakan sebagai bahan pembawa suppositoria.
Contoh surfaktan ini adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan dan
polioksietilen stearat.
Surfaktan ini dapat digunakan dalam bentuk tunggal atau
kombinasi dengan pembawa suppositoria lain untuk memperoleh rentang
suhu lebur yang lebar dan konsistensi. Salah satu keuntungan utama
pembawa ini adalah dapat terdispersi dalam air. Tetapi harus hati-hati
dalam penggunaan surfaktan, karena dapat meningkatkan kecepatan
absorpsi obat atau dapat berinteraksi dengan molekul obat yang
menyebabkan penurunan aktivitas terapetik.
Keuntungan :

FORMULASI SUPPOSITORIA 10
1. Dapat disimpan pada suhu tinggi
2. Mudah penanganannya
3. Dapat bercampur dengan obat
4. Tidak mendukung pertumbuhan mikroba
5. Nontoksik dan tidak mensensitisasi
(Lachman, Teory and Practice of Industrial Pharmacy, 575, 578)
2.3. Pendekatan Formulasi Dalam Sediaan Farmasi
Apakah untuk tujuan sistemik atau lokal?
Di mana lokasi pemberian suppositoria? Rektal, vaginal, atau uretral?
Bagaimana efek yang diinginkan? Cepat atau lambat?
a. Suppositoria untuk tujuan sistemik
1. Basis yang digunakan tersedia dan ekonomis.
2. Zat aktif harus terdispersi baik dalam basis dan dapat lepas dengan
baik (pada kecepatan yang diinginkan) dalam cairan tubuh di
sekitar suppositoria.
3. Jika zat aktif larut air, gunakan basis lemak dengan kadar air
rendah.
4. Jika zat aktif larut lemak, gunakan basis larut air. Dapat
ditambahkan surfaktan untuk mempertinggi kelarutannya.
5. Untuk meningkatkan homogenitas zat aktif dalam basis sebaiknya
digunakan pelarut yang melarutkan zat aktif atau zat aktif
dihaluskan sebelum dicampur dengan basis yang meleleh.
6. Zat aktif yang larut sedikit dalam air atau pelarut lain yang
tercampur dalam basis, dilarutkan dulu sebelum dicampur dengan
basis.
7. Zat aktif yang langsung dapat dicampur dengan basis, terlebih
dahulu digerus halus sehingga 100 % dapat melewati ayakan 100
mesh.
b. Suppositoria untuk efek lokal
1. Untuk hemoroid, anestetika lokal dan antiseptik (tidak untuk
diabsorbsi).

FORMULASI SUPPOSITORIA 11
2. Basis tidak diabsorpsi, melebur dan melepaskan obat secara
perlahan-lahan.
3. Basis harus dapat melepas sejumlah obat yang memadai dalam
1/2 jam, dan meleleh seluruhnya dengan melepas semua obat
antara 4-6 jam agar terjadi efek lokal dalam kisaran waktu
tersebut.
4. Pilih basis untuk efek local
5. Obat harus didistribusikan secara homogen dalam basis
suppositoria.
(Lachman, “Theory and Practice of Industrial Pharmacy” 3rd ed, 582-
583)
c. Pemilihan Obat / Zat Aktif
Suatu zat aktif dapat dberikan dalam bentuk suppositoria jika:
1. Dapat diabsorpsi dengan cukup melalui mukosa rektal untuk
mencapai kadar terapeutik dalam darah (absorpsi dapat ditingkatkan
dengan bahan pembantu).
2. Absorpsi zat aktif melalui rute oral buruk atau menyebabkan iritasi
mukosa saluran pencernaan, atau zat aktif berupa antibiotik yang
dapat mengganggu keseimbangan flora normal usus.
3. Zat aktif berupa polipeptida kecil yang dapat mengalami proses
enzimatis pada saluran pencernaan bagian atas (sehingga tidak
berguna jika diberikan melalui rute oral).
4. Zat aktif tidak tahan terhadap pH saluran pencernaan bagian atas.
5. Zat aktif digunakan untuk terapi lokal gangguan di rektum atau
vagina.
Sifat dari zat aktif yang mempengaruhi pengembangan
produk suppositoria:
1. Sifat fisik
 Zat aktif dapat berupa cairan, pasta atau solida.
 Penurunan ukuran partikel dapat meningkatkan
bioavailabilitas obat (melalui peningkatan luas permukaan)
dan meningkatkan kinetika disolusi pada ampula rektal.

FORMULASI SUPPOSITORIA 12
 Penurunan ukuran partikel dapat menyebabkan pengentalan
campuran zat aktif/eksipien, yang menyebabkan aliran
menjadi jelek saat pengisian suppositoria ke cetakan, dan juga
memperlambat resorpsi zat aktif.
 Adanya zat aktif berupa kristal kasar (baik karena kondisi zat
aktif saat ditambahkan ke dalam basis atau karena
pembentukan kristal) dapat menyebabkan iritasi permukaan
mukosa rektal yang sensitif.
2. Densitas bulk
Jika terdapat perbedaan yang signifikan antara densitas zat
aktif dengan eksipien,diperlukan perlakuan khusus untuk mencapai
homogenitas produk. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi
hal ini yaitu dengan menurunkan ukuran partikel atau
meningkatkan viskositas produk. Peningkatan viskositas produk
dapat dicapai dengan penambahan bahan pengental, atau dengan
menurunkan suhu campuran agar mendekati titik solidifikasi
sehingga fluiditasnya turun.
3. Kelarutan (solubilitas)
 Peningkatan kelarutan zat aktif dalam basis meningkatkan
homogenitas produk, tetapi menyulitkan/mengurangi
pelepasan zat aktif jika terjadi kecenderungan yang besar dari
zat aktif untuk tetap berada dalam basis.
 Afinitas zat aktif terhadap basis/eksipien dapat diatur dengan
derajat misibilitas dari kedua komponen suppositoria.
b. Pemilihan Basis
Peran utama basis suppositoria:
1. Menjadikan zat aktif tertentu dapat dibuat dalam bentuk
suppositoria yang tepat dengan karakteristik fisikokimia zat aktif
dan keinginan formulator.
2. Basis digunakan untuk mengatur penghantaran pengobatan pada
tempat absorpsinya.
Karakteristik basis yang menentukan selama produksi:

FORMULASI SUPPOSITORIA 13
1. Kontraksi
Sedikit kontraksi pada saat pendinginan volume suppositoria
diinginkan untuk memudahkan pengeluaran dari cetakan.
2. Ke-inert-an (inertness)
Tidak boleh ada interaksi kimia antara basis dengan bahan aktif.
3. Pemadatan
Interval antara titik leleh dengan titik solidifikasi harus
optimal: jika terlalu pendek maka penuangan lelehan ke dalam
cetakan akan sulit; jika terlalu panjang, waktu pemadatan menjadi
lama sehingga laju produksi suppositoria menurun.
4. Viskositas
Jika viskositas tidak cukup, komponen terdispersi dari
campuran akan membentuk sedimen, mengganggu integritas dari
produk akhir.
Karakteristik basis yang menentukan selama penyimpanan:

1. Ketidakmurnian (Impurity)
Kontaminasi bakteri / fungi harus diminimalisir dengan basis
yang non-nutritif dengan kandungan air minimal.
2. Pelunakan (softening)
Suppositoria harus diformulasi agar tidak melunak atau
meleleh selama transportasi atau penyimpanan.
3. Stabilitas
Bahan yang dipilih tidak teroksidasi saat terpapar udara,
kelembapan atau cahaya.
Karakteristik basis yang menentukan selama penggunaan:
1. Pelepasan
Pemilihan basis yang tepat memberikan penghantaran bahan
aktif yang optimal ke tempat target.
2. Toleransi
Suppositoria akhir toksisitasnya harus minimal, dan tidak
menyebabkan iritasi jaringan mukosa rektal yang sensitif.

FORMULASI SUPPOSITORIA 14
Kriteria pemilihan basis berdasarkan karakteristik fisikokimianya:
1. Jarak lebur
Spesifikasi suhu lebur basis suppositoria (terutama basis
lemak) dinyatakan dalam jarak lebur daripada suatu titik lebur. Hal
ini karena terdapat suatu rentang suhu antara bentuk stabil dan
tidak stabil, suatu hasil dari polimorfisme bahan tersebut.
Penambahan cairan ke dalam basis umumnya cenderung
menurunkan suhu leleh suppositoria, sehingga disarankan
penggunaan basis dengan suhu leleh lebih tinggi. Sedangkan,
penambahan sejumlah besar serbuk fine akan meningkatkan
viskositas produk, sehingga diperlukan basis dengan suhu leleh
yang lebih rendah.
2. Bilangan iodin
Rancidifikasi (oksidasi) basis suppositoria dapat menjadi
massalah. Karena sensitivitas dari jaringan mukosa rektal, dan
potensinya terpapar lelehan basis suppositoria, maka antioksidan
berpotensi mengiritasi tidak dianjurkan digunakan dalam
suppositoria. Untuk mencegah penggunaan antioksidan, sebaiknya
digunakan basis dengan bilangan iodin < 3 (dan lebih diutamakan
< 1).
3. Indeks hidroksil
Bahan yang memiliki indeks hidroksil rendah juga
memberikan stabilitas yang lebih baik dalam kasus dimana zat aktif
sensitif terhadap adanya radikal hidroksil.
d. Pemilihan bahan pembantu yang dapat meningkatkan homogenitas
produk, kelarutan, dll
Bahan pembantu digunakan untuk:
1. Meningkatkan penggabungan (inkorporasi) dari serbuk zat aktif
Peningkatan jumlah serbuk zat aktif dapat mengganggu
integritas suppositoria dengan menyebabkan peningkatan
viskositas lelehan, sehingga menghambat alirannya ke dalam
cetakan. Ajuvan yang digunakan untuk mengatasi hal ini yaitu: Mg

FORMULASI SUPPOSITORIA 15
karbonat, minyak netral (gliserida asam lemak jenuh C-8 hingga C-
12 dengan viskositas rendah) 10 % dari bobot suppositoria, dan air
(1 – 2 %).
2. Meningkatkan hidrofilisitas
Penambahan bahan peningkat hidrofilisitas digunakan untuk
mempercepat disolusi suppositoria di rektum, sehingga
meningkatkan absorpsi, jika digunakan dengan konsentrasi rendah.
Tetapi, jika digunakan dalam konsentrasi besar, bahan ini malah
menurunkan absorpsi. Bahan peningkat hidrofilisitas juga dapat
menyebabkan iritasi lokal.
Contoh bahan ini yaitu:
 Surfaktan anionik, misalnya: garam empedu, Ca oleat, setil
stearil alkohol plus 10 % Na alkil sulfat, Na
dioktilsulfosuksinat, Na lauril sulfat (1 %), Na stearat (1
%), dan trietanol amin stearat (3 – 5 %);
 Surfaktan nonionik dan amfoterik, misalnya: ester asam
lemak dari sorbitan (Span & Arlacel), ester asam lemak dari
sorbitan teretoksilasi (Tween), ester dan eter teretoksilasi
(polietilenglikol 400 miristat, Myrj, eter polietilenglikol
dari alkohol lemak), minyak natural termodifikasi (Labrafil
M2273, Cremophor EL, lesitin, kolesterol);
 Gliserida parsial, misalnya: mono- dan digliserida
mengandung asam lemak tergliserolisasi (Atmul 84),
mono- dan digliserida (gliserin monostearat dan gliserin
monooleat), monogliserida asam stearat dan palmitat,
mono- dan digliserida dari asam palmitat dan stearat.
3. Meningkatkan viskositas
Pengaturan viskositas dari lelehan suppositoria selama
pendinginan merupakan titik kritis untuk mencegah sedimentasi.
Bahan yang digunakan yaitu: asam lemak dan derivatnya (Al
monostearat, gliseril monostearat, & asam stearat), alkohol lemak

FORMULASI SUPPOSITORIA 16
(setil, miristat dan stearil alkohol), serbuk inert (bentonit & silika
koloidal).
4. Mengubah suhu leleh
Contoh bahan yang digunakan: asam lemak dan derivatnya
(gliserol stearat dan asam stearat), alkohol lemak (setil alkohol dan
setil stearat alkohol), hidrokarbon (parafin), dan malam (malam
lebah, setil alkohol, dan malam carnauba).
5. Meningkatkan kekuatan mekanis
Pecahnya suppositoria merupakan masalah yang ditemui
saat digunakan basis sintetik. Untuk mengatasinya dapat
ditambahkan ajuvan seperti: polisorbat, minyak jarak (castor oil),
monogliserida asam lemak, gliserin, dan propilenglikol.
6. Mengubah penampilan
Pewarna dapat digunakan untuk berbagai alasan seperti
psikologis, menjamin keseragaman (uniformitas) warna produk
dari lot ke lot, untuk membedakan produk, dan menyembunyikan
kerusakan saat pembuatan seperti eksudasi atau kristalisasi
permukaan. Bahan hidrosolubel, liposolubel dan insolubel serat
tidak bersifat mengiritasi mukosa dapat digunakan untuk mewarnai
suppositoria.
7. Melindungi dari degradasi
Agen antifungi dan antimikroba digunakan jka suppositoria
mengandung bahan asal tanaman atau air. Digunakan asam sorbat
atau garamnya jika pH larutan zat aktif kurang dari 6. p
hidroksibenzoat atau garam natriumnya juga dapat digunakan.
Tetapi, potensi bahan-bahan ini menyebabkan iritasi rektal perlu
dipertimbangkan.
Antioksidan seperti BHT, BHA, tokoferol dan asam askorbat
digunakan untuk mencegah ketengikan (rancidity) pada formulasi
suppositoria yang menggunakan lemak coklat (cocoa butter).
Sequestering agents seperti asam sitrat dan kombinasi
antioksidan digunakan untuk mengkompleks logam yang

FORMULASI SUPPOSITORIA 17
mengkatalisis reaksi redoks. Contohnya: campuran tiga bagian
BHT, BHA, dan propilgalat dengan satu bagian asam sitrat
memberikan hasil memuaskan pada penggunaan 0,01 %.
8. Mengubah absorpsi
Pada kasus di mana absorpsi obat di rektal amat terbatas,
perlu ditambahkan bahan untuk meningkatkan uptake obat
tersebut. Sejumlah bahan telah digunakan untuk meningkatkan
bioavailabilitas dari zat aktif dalam suppositoria. Sebagai contoh,
penambahan enzim depolimerisasi (mukopolisakarase) telah
dipelajari untuk meningkatkan penetrasi beberapa zat aktif.
(Lieberman, “Disperse System”, thn 1989, vol 2, 537-54)

2.4.Teknik Manufaktur Dalam Sediaan Suppositoria


Suppo dapat dibuat dengan beberapa metode yaitu pencetakan dengan
tangan, pencetakan kompresi, dan pencetakan dengan penuangan.
1. Pencetakan dengan tangan (manual)
Pencetakan dengan tangan (manual) merupakan metode paling
sederhana, praktis dan ekonomis untuk memproduksi sejumlah kecil
suppositoria. Caranya dengan menggerus bahan pembawa / basis sedikit
demi sedikit dengan zat aktif, di dalam mortir hingga homogen. Kemudian
massa suppositoria yang mengandung zat aktif digulung menjadi bentuk
silinder lalu dipotong-potong sesuai diameter dan panjangnya. Zat aktif
dicampurkan dalam bentuk serbuk halus atau dilarutkan dalam air. Untuk
mencegah melekatnya bahan pembawa pada tangan, dapat digunakan talk.
2. Pencetakan dengan kompresi / cetak kempa / cold compression
Pada pencetakan dengan kompresi, suppositoria dibuat dengan
mencetak massa yang dingin ke dalam cetakan dengan bentuk yang
diinginkan. Alat kompresi ini terdapat dalam berbagai kapasitas yaitu 1,2
dan 5 g. Dengan metode kompresi, dihasilkan suppositoria yang lebih baik
dibandingkan cara pertama, karena metode ini dapat mencegah
sedimentasi padatan yang larut dalam bahan pembawa suppositoria.
Umumnya metode ini digunakan dalam skala besar produksi dan

FORMULASI SUPPOSITORIA 18
digunakan untuk membuat suppositoria dengan pembawa lemak coklat /
oleum cacao. Beberapa basis yang dapat digunakan adalah campuran PEG
1450 – heksametriol-1,2,6 6% dan 12% polietilen oksida 4000.
3. Pencetakan dengan penuangan / cetak tuang / fusion
Metode pencetakan dengan penuangan sering juga digunakan untuk
pembuatan skala industri. Teknik ini juga sering disebut sebagai teknik
pelelehan. Cara ini dapat dipakai untuk membuat suppositoria dengan
hampir semua pembawa. Cetakannya dapat digunakan untuk membuat 6 -
600 suppositoria. Pada dasarnya langkah-langkah dalam metode ini ialah
melelehkan bahan pembawa dalam penangas air hingga homogen,
membasahi cetakan dengan lubrikan untuk mencegah melekatnya
suppositoria pada dinding cetakan, menuang hasil leburan menjadi suppo,
selanjutnya pendinginan bertahap (pada awalnya di suhu kamar, lalu pada
lemari pendingin bersuhu 7-10 0C, lalu melepaskan suppo dari cetakan.
Cetakan yang umum digunakan sekarang terbuat dari baj a tahan karat,
aluminium, tembaga atau plastik.
Cetakan yang dipisah dalam sekat-sekat, umumnya dapat dibuka
secara membujur. Pada waktu leburan dituangkan cetakan ditutup dan
kemudian dibuka lagi saat akan mengeluarkan suppositoria yang sudah
dingin. Tergantung pada formulasinya, cetakan suppo mungkin
memerlukan lubrikan sebelum leburan dimasukkan ke dalamnya, supaya
memudahkan terlepasnya suppo dari cetakan. Bahan-bahan yang mungkin
menimbulkan iritasi terhadap membran mukosa seharusnya tidak
digunakan sebagai lubrikan (Sylvia Nurendah, skripsi)
Metode yang sering digunakan pada pembuatan suppositoria baik
skala kecil maupun skala industri adalah pencetakan dengan penuangan
(Ansel, 378)

2.5. Evaluasi Sediaan Dalam Sediaan Suppositoria.


1. Appearance
Tes ini lebih ditekankan pada distribusi zat berkhasiat di dalam basis
suppo. Suppo dibelah secara longitudinal kemudian dibuat secara visual

FORMULASI SUPPOSITORIA 19
pada bagian internal dan bagian eksternal dan harus nampak seragam.
Penampakan permukaan serta warna dapat digunakan untuk
mengevaluasi ketidakadaan:
 Celah
 Lubang
 Eksudasi
 Pengembangan lemak
 Migrasi senyawa aktif
(Pharmaceutical Dosage Form Disperse System Volume 2, Herbert A.
Lieberman, 1989,hal. 552)
2. Keragaman Bobot
Timbang masing-masing suppo sebanyak 10, diambil secara acak.
Lalu tentukan bobot rata-rata. Tidak lebih dari 2 suppo yang bobotnya
menyimpang dari bobot rata-rata lebih dari % deviasi, yaitu 5 %.
Keragaman bobot juga merupakan bagian dari uji keseragaman sediaan,
dilakukan bila sediaan mengandung zat aktif 50 mg atau lebih yang
merupakan 50% atau lebih dari bobot sediaan. Jika tidak, keseragaman
sediaan ditentukan dengan metode keseragaman kandungan (lihat poin
6).
(BP 2002, Appendix XII H, A.253, FI IV 1995 hal. 999)
3. Waktu Hancur / Disintegrasi
Uji ini perlu dilakukan terhadap suppo kecuali suppo yang
ditujukan untuk pelepasan termodifikasi atau kerja lokal diperlama.
Suppo yang digunakan untuk uji ini sebanyak 3 buah. Suppo diletakkan
di bagian bawah ‘perforated disc’ pada alat, kemudian dimasukkan ke
silinder yang ada pada alat. Lalu diisi air sebanyak 4 liter dengan suhu
36-37 oC dan dilengkapi dengan stirer. Setiap 10 menit balikkan tiap alat
tanpa mengeluarkannya dari air. Disintegrasi tercapai ketika suppo :
 Terlarut sempurna
 Terpisah dari komponen-komponennya, yang mungkin
terkumpul di permukaan air (bahan lemak meleleh) atau
tenggelam di dasar (serbuk tidak larut) atau terlarut

FORMULASI SUPPOSITORIA 20
(komponenmudah larut) atau dapat terdistribusi di satu atau lebih
cara ini.
 Menjadi lunak, dibarengi perubahan bentuk, tanpa terpisah
sempurna menjadi komponennya, massa tidak lagi memiliki inti
padatan yang membuatnya tahan terhadap tekanan dari pengaduk
kaca.
 Suppo hancur dalam waktu tidak lebih dari 30 menit untuk suppo
basis lemak dan tidak lebih dari 60 menit untuk suppo basis larut
air, kecuali dinyatakan lain.
(BP2002, A237, FI IV hal 1087-1088)
4. Ketegaran / Kehancuran Suppositoria
Tes ini menentukan ketegaran suppo di bawah kondisi tertentu
terhadap pemecahan suppositoria dan ovula yang diukur dengan
menggunakan sejumlah tertentu massa atau beban untuk
menghancurkannya. Tes ini didasarkan untuk suppo dan ovula berbasis
lemak. Uji ini tidak sesuai untuk sediaan yang memiliki bahan pembantu
hidrofilik, seperti campuran gelatin-gliserol.
Alat dipanaskan sampai suhunya 25 oC. Sediaan yang akan diuji
telah diletakkan dalam suhu yang sesuai dengan suhu yang akan
digunakan minimal 24 jam. Tempatkan sediaan di antara kedua penjepit
dengan bagian ujung menghadap ke atas.
Tunggu selama 1 menit dan tambahkan lempeng 200 g pertama.
Tunggu lagi selama 1 menit dan tambahkan lempeng berikutnya. Hal
tersebut diulang dengan cara yang sama sampai sediaan hancur. Massa
yang dibutuhkan menghancurkan sediaan dihitung berdasarkan massa
yang dibutuhkan untuk menghancurkan sediaan (termasuk massa awal
yang terdapat pada alat). Hal-hal yang perlu diperhatikan:
 Apabila sediaan hancur dalam 20 detik setelah pemberian
lempeng terakhir maka massa yang terakhir ini tidak masuk
dalam perhitungan.
 Apabila sediaan hancur dalam waktu antara 20 dan 40 detik
setelah pemberian lempeng terakhir maka massa yang

FORMULASI SUPPOSITORIA 21
dimasukkan ke dalam perhitungan hanya setengah dari massa
yang digunakan, misal 100 g.
 Apabila sediaan belum hancur dalam waktu lebih dari 40 detik
setelah pemberian lempeng terakhir maka seluruh massa lempeng
terakhir dimasukkan ke dalam perhitungan.
 Setiap pengukuran menggunakan 10 sediaan dan pastikan tidak
terdapat residu sediaan sebelum setiap pengukuran.
(BP2002, A334, Leon Lachman, 1990, hal. 586-587)
5. Berhubungan dengan Pelelehan Suppositoria
a. Kisaran Leleh
Uji ini disebut juga uji kisaran meleleh makro, dan uji ini
merupakan suatu ukuran waktu yang diperlukan suppositoria untuk
meleleh sempurna bila dicelupkan ke dalam penangas air dengan
temperatur tetap (37 oC). Sebaliknya uji kisaran meleleh mikro
adalah kisaran leleh yang diukur dalam pipa kapiler hanya untuk
basis lemak. Alat yang biasa digunakan untuk mengukur kisaran
leleh sempurna dari suppositoria adalah suatu alat disintegrasi
tablet USP. Suppositoria dicelupkan seluruhnya dalam penangas
air yang konstan, dan waktu yang diperlukan unutk meleleh
sempurna atau menyebar dalam air sekitarnya diukur. (Leon
Lachman, 1990, hal. 586)
b. Uji Pencairan atau Uji Melunak dari Suppositoria Rektal
Uji ini mengukur waktu yang diperlukan suppositoria rektal
untuk mencair dalam alat yang disesuaikan dengan kondisi in vivo.
Suatu penyaringan melalui selaput semi permeabel diikat pada
kedua ujung kondensor dengan masing-masing ujung pipa terbuka.
Air pada 37 oC disirkulasi melalui kondensor sehingga separuh
bagian bawah pipa kempis dan separuh bagian atas membuka.
Tekanan hidrostatis air dalam alat tersebut kira-kira nol ketika pipa
tersebut mulai kempis. Suppositoria akan sampai pada level
tertentu (lihat gambar pada buku) dan waktu tersebut diukur untuk

FORMULASI SUPPOSITORIA 22
suppositoria meleleh dengan sempurna dalam pipa tersebut. (Leon
Lachman, 1990, hal. 586)
6. Keseragaman Kandungan
Diambil tidak kurang 30 suppo lalu ditetapkan kadar 10 satuan satu
per satu. Kecuali dinyatakan lain, persyaratannya adalah kadar dalam
rentang 85,0%-115,0% dari yang tertera pada etiket dam simpangan baku
relatif kurang dari atau sama dengan 6,0%.
Jika satu satuan berada di luar rentang tersebut, tapi dalam rentang
75,0%-125,0% dari yang tertera dalam etiket, atau simpangan baku
relatif lebih besar dari 6,0%, atau jika kedua kondisi tidak dipenuhi,
dilakukan uji 20 satuan tambahan. Persyaratan dipenuhi jika tidak lebih
dari satu satuan dari 30 terletak di luar rentang 85,0%-115,0% dari yang
tertera pada etiket dan tidak ada satuan terletak di luar rentang 75,0%-
125,0% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif dari 30
satuan sediaan tidak lebih dari 7,8%. (FI ed.IV hal 999-1000)
7. Uji Kerapuhan
Supositoria sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras
yang menjadikannya sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat
digunakan uji elastisitas. Supositoria dipotong horizontal. Kemudian
ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan
jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar, kemudian diberi
beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan jari
atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.

FORMULASI SUPPOSITORIA 23
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diskusi kami, dapat di simpulkan bahwa:
1. Sediaan suppositoria adalah suatu sediaan semi solid yang diberikan
secara rectal maupun vaginal yang berbentuk seperti torpedo dengan
efek terapi yaitu sistemik ataupun local.
2. Dalam pemilihan basis sangat mempengaruhi pelepasan zat aktif dan
efek sistemik ataupun local yang diinginkan oleh formulator.
3. Suppositoria lebih efektif dibandingankan dengan sediaan lain (peoral)
4. Hasil evaluasi sediaan sangat menentukan hasil produk dan efek terapi.

FORMULASI SUPPOSITORIA 24
DAFTAR PUSTAKA

Ansel. 1989.Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI pressAnonim. 1978.

Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia.Edisi ketiga. Departemen


Kesehatan. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia.Edisi keempat.


Departemen Kesehatan. Jakarta.

Soetopo, dkk. 2002. Ilmu Resep dan Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan

Tjay, Tan Hoan. 2007.Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek


Sampingnya Edisi VI . Jakarta : PT Elex Media Komputindo.Voigt. 1995.

Syamsuni .1996. Ilmu Meracik Obat. Jakarta. Erlangga

Pharmaceutical Dosage Form Disperse System Volume 2, Herbert A. Lieberman,


1989,hal. 552

FORMULASI SUPPOSITORIA 25

Anda mungkin juga menyukai