Ruptur Buli 2
Ruptur Buli 2
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Disusun Oleh:
Magdalena Lubis 1707101030116
Putri Rahmadhani 1707101030012
Fidhiyah Ramadhani 130611045
Pembimbing:
dr. Nurhayani Dwi Susanti, Sp.Rad
BAGIAN/SMF RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Referat Ilmiah yang
berjudul ”Ruptur Buli”. Penyusunan referat ini merupakan salah satu tugas dalam
menjalani Kepanitraan Klinik Senior pada bagian/SMF Ilmu Radiologi Fakultas
Kedokteran Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Banda Aceh. Penulis menyadari bahwa
penyusunan tugas ini tidak terwujud tanpa ada bantuan dan bimbingan serta
dukungan dari dosen pembimbing. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Nurhayani Dwi Susanti, Sp.Rad
yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas referat ini.
Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penulisan referat ini,
namun penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan tulisan ini.
Akhir kata penulis berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
semua pihak khususnya di bidang kedokteran serta dapat memberikan sumbangan
pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma genito-urinary termasuk salah satu kondisi gawat darurat dan lebih
sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Ruptur pada buli merupakan kasus
yang jarang terjadi, hanya terdapat 1,6% kasus dari keseluruhan trauma tumpul
abdomen dengan angka kematian tinggi (10-34%). Penelitian yang dilakukan
Kinzie tahun 2013 di Texas menemukan insiden ruptur buli sebesar 0,36% kasus
dalam 10 tahun.
Walaupun angka kejadiannya rendah, ruptur buli perlu perhatian khusus dari
klinisi, karena kegagalan mendiagnosis ruptur buli akan menyebabkan komplikasi
yang berat sehingga dibutuhkan deteksi dini dan penanganan awal yang tepat.
Berdasarkan penyebabnya, ruptur buli diklasifikasikan menjadi traumatik
dan non traumatik. Penyebab ruptur non traumatik berupa keganasan maupun
idiopatik. Sedangkan 85-96% penyebab ruptur dilaporkan akibat trauma.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering ruptur buli. Sebanyak 60-
90% cedera buli disebabkan trauma tumpul abdomen yang berkaitan dengan fraktur
pelvis. Penyebab lainnya berupa trauma penetrasi dan iatrogenik saat pembedahan.
Tingkat keparahan ruptur bervariasi bergantung pada distensi buli, kondisi buli
yang penuh akan lebih berisiko cedera apabila terjadi benturan pada area
suprapubik. Ruptur buli terbagi menjadi kontusio buli, ruptur intraperitoneal, dan
ruptur ekstraperitoneal. Angka kejadian ruptur ekstraperitoneal sebanyak 60%,
ruptur intraperitoneal 30%, dan 10% merupakan gabungan keduanya. Kontusio buli
merupakan memar pada dinding buli disertai hematoma perivesika tanpa adanya
ektravasasi urine ke rongga intraperitoneal atau ekstraperitoneal.
Menurut guideline American Urological Association (AUA), pada kasus
ruptur buli yang tidak berkomplikasi dapat dilakukan terapi konservatif. Stabilitas
hemodinamik adalah syarat utama dalam tatalaksana konservatif trauma traktus
urinarius. Terapi ini meliputi drainase kateter, tirah baring total sampai hematuria
teratasi, dan observasi ketat tanda vital dan perdarahan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trauma vesika urinaria atau trauma buli-buli merupakan keadaan darurat
bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera, bila ditanggulangi dapat
menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis. Secara
anatomi buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis
sehingga jarang mengalami cedera.
2.2 Etiologi
Trauma vesika urinaria terbanyak terjadi karena kecelakaan lalulintas atau
kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen dari fraktur tulang pelvis mencederai
kandung kemih. Kemungkinan cedera kandung kemih dapat bervariasi berdasarkan
dari isi kandung kemih, sehingga apabila kandung kemih penuh lebih mungkin
untuk terjadinya cedera dibandingkan pada saat kandung kemih kosong. Fraktur
tulang pelvis dapat menimbulkan kontusio atau ruptur kandung kemih, pada
kontusio kandung kemih hanya terjadi memar pada dinding buli-buli dengan
hematuria tanpa eksravasasi urin.
2
2.3 Epidemiologi
Penyebab trauma kandung kemih paling sering adalah kecelakaan
kendaraan bermotor, di mana kedua sabuk pengaman mengkompresi kandung
kemih. Sekitar 60 - 90 % (rata-rata 80 %) dari pasien cedera kandung kemih akibat
trauma tumpul biasanya disertai dengan fraktur tulang panggul dan 30% dari pasien
dengan fraktur tulang panggul terdapat cedera pada kandung kemih, termasuk
kontusio kandung kemih. Sekitar 25% dari ruptur intraperitoneal kandung kemih
terjadi pada pasien tanpa fraktur panggul. Ruptur intraperitoneal tercatat sekitar
sepertiga dari cedera kandung kemih . Sedangkan untuk ruptur ekstraperitoneal
tercatat 60 % dari sebagian besar cedera kandung kemih dan biasanya berhubungan
dengan fraktur panggul. (AJR).
2.4 Patofisiologi
Kandung kemih dilindungi dengan baik oleh tulang pelvis sehinggaketika
terjadi fraktur pelvis yang disebabkan oleh trauma tumpul maka fragmen dari
fraktur pelvis dapat mencederai kandung kemih dan dapat terjadi ruptur
ekstraperitoneal. Apabila terdapat urin yang terinfeksi dapat mengakibatkan abses
dalam pelvis dan infeksi pelvis yang berat. Pada saat kandung kemih terisi penuh
kemudian tiba – tiba terjadi benturan atau pukulan langsung ke perut bagian bawah
dapat menyebabkan gangguan pada kandung kemih. Jenis gangguan biasanya
adalah gangguan intraperitoneal.
Ruptur intraperitoneal terjadi ketika ada pukulan atau kompresi pada perut
bagian bawah pasien dengan kandung kemih yang penuh sehingga menyebabkan
peningkatan mendadak tekanan intraluminal kandung kemih kemudian
menyebabkan pecahnya puncak yang merupakan bagian terlemah dari kandung
kemih. Puncak dari lengkungan kandung kemih ditutupi oleh peritoneum, maka
cedera yang terjadi di daerah ini akan menyebabkan ekstravasasi intraperitoneal.
Jika diagnosis segera ditegakkan dan jika urin sudah steril, maka tidak ada gejala
yang dapat ditemukan selama beberapa hari, tetapi jika terdapat urin yang
terinfeksi, maka akan cepat berlanjut menjadi peritonitis dan akut abdomen.
3
2.5 Diagnosis
Setelah pasien mengalami cedera pada abdomen bagian bawah, pasien
mengeluh nyeri di daerah suprasimfisis, miksi bercampur darah atau mungkin
pasien tidak dapat miksi. Gambar klinis tergantung dari etiologi trauma, bagian
kandung kemih yang mengalami cedera yaitu intraperitoneal atau ekstraperitoneal,
adanya organ lain yang mengalami cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma.
Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukan kontras ke
dalam kandung kemih sebanyak 300 – 400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan)
melalui kateter peruretra.
2.6 Klasifikasi
Cedera vesika urinaria diklasifikasikan menurut American Association for
the Surgery of Trauma (AAST) - Organ Injury Scale (OIS) menjadi 5 grade.
buli < 2 cm
cm
Laserasi ekstraperitoneal
IV Laserasi > 2 cm
Laserasi intraperitoneal
4
atau ekstraperitoneal yang
meluas ke dalam kandung
V Laserasi
kemih leher atau muara
uretra trigonum.
Tabel 2.1 American Association for the Surgery of Trauma (AAST) - Organ Injury Scale
(OIS)
Gambar 2.3 Grade III Laserasi dari dinding ekstraperitoneal > 2 cm atau
intraperitoneal < 2 cm
5
Gambar 2.4 Grade IV Gambar 2.5 Grade V
Laserasi ekstraperitoneal > 2 cm Laserasi intraperitoneal atau
ekstraperitoneal yang meluas ke dalam
leher kandung kemih atau muara
uretra (trigonum).
2.7 Penatalaksanaan
Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dengan pemberian
cairan intravena atau darah. Bila sirkulasi telah stabil, baru dilakukan reparasi buli
– buli. Prinsip pemulihan ruptur kandung kemih adalah penyaliran ruang
perivesikal , pemulihan dinding, penyaliran kandung kemih dan perivesikal, dan
jaminan arus urin melalui kateter.
6
sembuh setelah 7 - 10 hari. Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi
laparatomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada
organ lain. Jika tidak dioperasi, terjadi ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum
dan dapat menyebabkan peritonitis. Rongga intraperitoneum dicuci, robekan pada
buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di
luar sayatan laparatomi.
2.8 Prognosis
Prognosis akan baik jika penatalaksanaan dilakukan secara segera.
Cystosomy suprapubic tube bisa dilepas setelah 10 hari. Pasien dengan laserasi
yang memanjang sampai ke area neck bladder mungkin untuk terjadi inkontinensia
sementara. Di waktu pelepasannya, kultur urin diperlukan untuk melihat
kemungkinan terjadinya infeksi yang nantinya dibutuhkan terapi selanjutnya.
7
BAB III
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Udara akan terlihat relatif banyak mengisi lumen lambung dan usus besar
sedangkan dalam jumlah sedikit akan mengisi sebagian dari usus kecil. Sedikit
udara dan cairan juga mengisi lumen usus halus dan air fluid level yang minimal
bukan merupakan gambaran patologis. Air fluid level juga dapat djumpai pada
lumen usus besar, dan tiga sampai lima fluid levels dengan panjang kurang dari 2,5
cm masih dalam batas normal serta sering dijumpai di daerah kuadran kanan
bawah.
8
Gambar 3.1 Foto Radiografi Polos Abdomen Normal
3. 2 X-Ray
a. Radioanatomi
Sistogram yang normal berupa garis lingkar, dindingnya rata bundar dan oval.
b. Cystography
9
tingkat akurasi 85 - 100% untuk mendeteksi cedera kandung kemih dan idealnya
harus dilakukan dengan bimbingan dari fluoroscopic. (AJR)
10
3.3 CT Cystographic
11
Gambar 3.3.1 Ruptur intraperitoneal pada seorang pria 53 tahun yang mengalami
12
3. Tipe 3: Cedera Interstitial
Gambar 3.3.2
(5) Cedera interstisial pada seorang pria 41 tahun yang mengalami kecelakaan
kendaraan bermotor. CT cystogram menunjukkan penebalan fokus lenticular dari
dinding kandung kemih disebabkan oleh hematoma interstisial dan kemungkinan
adanya gangguan otot (panah hitam). Fraktur multiple pelvis juga ditemukan (tanda
panah putih).
(6) Cedera interstisial pada wanita 23 tahun yang mengalami luka tusuk tunggal
disebabkan sendiri di daerah suprapubik. Pada pemeriksaan klinis, awalnya luka
dianggap hanya dangkal. Pada CT cystogram menunjukkan adanya fokus dari
bahan kontras intramural (tanda panah hitam), di daerah posterior luka pada perut
(tanda panah putih) dengan adanya cairan di dalam ruang prevesical
ekstraperitoneal (ruang retzius).
13
4. Tipe 4: Ruptur Ekstraperitoneal
Ruptur ekstraperitoneal adalah jenis yang paling umum dari cedera kandung
kemih (80% -90% kasus). Hal ini biasanya disebabkan oleh trauma tembus, trauma
tumpul, mekanisme diduga adalah laserasi langsung ke dalam kandung kemih oleh
fragmen tulang pelvis. Jalur ekstravasasi kontras adalah berubah - ubah.
Ekstravasasi hanya terbatas di ruang perivesical pada ruptur ekstraperitoneal yang
sederhana (Tipe 4a) (Gambar 4.3.3), sedangkan pada rupture ekstraperitoneal
kompleks, bahan kontras melampaui ruang perivesical (Tipe 4b) dan dapat
membedah ke berbagai bidang dan ruang fasia
Gambar 3.3.3
14
Gambar 3.3.4
15
(b,c) CT cystograms (gambar 9c diperoleh pada tingkat yang lebih rendah
daripada gambar 9b ) menunjukkan diastasis dari simfisis pubis (tanda
panah di gambar 9b) dengan gangguan diafragma urogenital , yang
memungkinkan bahan kontras untuk meluas langsung ke membran
subkutan lebih dalam bagian fasia dan di sekitar fasia sub- dartos skrotum
(tanda panah) .
(10) Ruptur ekstraperitoneal kompleks pada seorang pria 38 tahun yang terluka
karena jatuh dari bangunan.
ke dalam skrotum .
16
(b) Pada CT cystogram , bahan kontras di skrotum tetap terkandung di
dalam fasia dartos (tanda panah hitam ), sedangkan bahan kontras juga
meluas ke otot abductor kiri (tanda panah putih) .
(11) Ruptur ekstraperitoneal kompleks pada seorang pria 76 - tahun yang ditabrak
mobil saat dia berjalan,
17
(a) CT cystogram menunjukkan bahan kontras bebas yang menggambarkan
dari lumen usus kecil, sebuah temuan yang merupakan karakteristik dari
suatu ruptur intraperitoneal.
18
BAB IV
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
4. Mc Annich J.W. dan Lue T.F., 2013, Smith and Tanagho’s General
Urology, Ed. 18 Chapter 18, California: Mc Graw Hill, pp. 289-292.
7. Frank H N. Altas of Human Anatomy 25t Edition. 25th ed. Jakarta: EGC;
2014. 20 p.
11. Guyton C HE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC;
2013.
12. Lauralee S. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;
2011. 552 p.
13. Sjamsuhidajat, R., 2010, Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong,
Ed.3 Jakarta: EGC, pp. 884-885.
20
14. Rasad S. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2011. 283 p.
15. Patel PR. Lecture Notes Radiologi. Edisi Kedu. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2012.
16. Grainger RG, Allison DJ, Adam A, Dixon AK. Diagnostic Radiology.
Edisi Ke-4. Phiadelphia: Elsevier Inc.; 2011.
21